Meskipun darahnya masih sesegar pada saat ia datang, namun dikurangi segala ketangkasan dan ketangguhannya. Tetapi, dalam pada itu, selain Widura dan Agung Sedayu, di antara penonton itu, seseorang memandangi perkelahian itu dengan nafas tertahan-tahan. Betapa matanya menyalakan kemarahan yang tiada taranya, dan betapa hatinya mengumpat tak habis-habisnya. Orang itu melihat peristiwa di lapangan sejak permulaan sampai saat-saat terakhir. Namun selalu saja ia menjadi kecewa dan marah. Apalagi sejak kehadiran Untara, maka berkali-kali ia menggeretakkan giginya. Tetapi ia masih saja selalu menahan dirinya.
Kini ia
melihat permainan yang dilakukan oleh Untara itu. Betapa ia pun menjadi
tersinggung karenanya. Ia melihat kesempatan-kesempatan untuk melumpuhkan
Sidanti, namun kesempatan itu tak dipergunakan oleh Untara. Tetapi sudah tentu
Sidanti sendiri tidak dapat melihat keadaan itu. Sidanti sendiri sedang
memusatkan perhatiannya dalam perlawanannya, sehingga kesempatan dan jarak yang
diperlukan tidak dimilikinya. Orang itu adalah Ki Tambak Wedi. Dengan
menghentak-hentakkan kakinya, ia menahan segenap perasaan yang bergelora di
dalam dadanya. Ia melihat betapa Agung Sedayu berhasil melampaui muridnya itu
dalam perlombaan memanah. Namun di dalam hati kecilnya ia bergumam,
“Benar-benar
anak setan. Kecakapan Sadewa bermain panah tercermin pada anak itu”
Sedang kini
anak Ki Sadewa yang besar, Untara, sedang bertempur pula melawan muridnya. Dan
ternyata anak Sadewa itu tak dapat dikalahkannya. Bahkan anak Sadewa itu telah
memberi beberapa peluang kepada Sidanti. Bukankah itu suatu penghinaan bagi
perguruan Tambak Wedi. Dengan nafas yang tertahan-tahan, ia melihat Sidanti
masih bertempur mati-matian. Namun ia melihat juga bahwa sebenarnya Untara
dengan segera dapat menghancurkan pertahanan Sidanti.
“Hem”
geramnya.
Ki Tambak Wedi
itu kemudian memandang berkeliling di antara orang-orang yang melihat
perkelahian itu. Dadanya tiba-tiba menjadi berdebar-debar. Ia telah mencoba
memaksa Widura untuk memenuhi tuntutan muridnya dan menakut-nakutinya dengan
tanda-tanda yang diberikannya. Tetapi Ki Tambak Wedi itu akhirnya mengumpat
habis-habisan di dalam hatinya, ketika ia melihat sebuah cemeti yang melenting
jatuh di tengah-tengah arena itu pula. Meskipun ia belum tahu, betapa tinggi
nilai orang itu, namun itu adalah suatu pertanda bahwa seseorang telah bersedia
untuk ikut serta melibatkan diri dalam pertentangan melawannya, apabila ia ikut
campur dalam persoalan anak-anak muda di Sangkal Putung itu. Tetapi sampai
demikian jauh, Ki Tambak Wedi belum mengetahui, siapakah orangnya yang telah
berani meletakkan diri untuk melawan Ki Tambak Wedi, yang berilmu hampir
sempurna itu. Tetapi kini, ia melihat Sidanti berada dalam kesulitan. Karena
itu, maka apakah ia akan berdiam diri saja, membiarkan Sidanti menjadi bahan
permainan Untara? Tiba-tiba Ki Tambak Wedi itu mendesak maju. Menyusup di
antara para penonton dan kemudian berusaha untuk dapat melihat setiap peristiwa
dengan semakin jelas.
Pertempuran
diarena itu masih saja berlangsung dengan serunya, meskipun semakin lama sudah
menjadi semakin kendor. Namun serangan-serangan Sidanti masih cukup berbahaya
apabila Untara sedikit kurang berwaspada. Sedangkan Untara sendiri dengan
sengaja telah mengurangi tekanan-tekanannya atas Sidanti, sehingga kemudian
Sidanti benar-benar mendapat kesan seperti yang diharapkan oleh Untara. Sidanti
menganggap kemudian, bahwa perkelahian itu tidak akan dapat berakhir.
Kedua-duanya pasti akan berhenti kelelahan. Meskipun Sidanti itu
mengumpat-umpat di dalam hatinya, namun hal yang demikian itu pasti akan lebih
baik daripada apabila dirinya dilumpuhkan. Dengan keadaannya itu, maka Sidanti
masih akan dapat menepuk dada, bahwa Sidanti tidak dapat dikalahkan oleh
seeorang yang sekalipun mendapat kepercayaan dari pimpinan tertinggi
Wiratamtama. Maka Sidanti itu pun teringat pula akan perkelahiannya dengan
Widura, mereka akhirnya terpaksa menghentikan perkelahian setelah mereka
hampir-hampir tak mampu lagi berdiri. Kini peristiwa itu akan terulang kembali.
Dan sebenarnyalah hal itu berlaku baginya. Ketika malam menjadi semakin dalam,
maka tenaga Sidanti itu seakan-akan benar-benar telah habis terperas. Setiap
kali, ia sendiri terdorong oleh kekuatan serangan-serangannya yang tak mengenai
sasarannya. Beberapa kali ia terjatuh dan bangun kembali. Sedang Untara pun
berbuat hal-hal serupa. Kadang-kadang mereka berdua terpaksa jatuh bersama-sama
dan kemudian dengan susah payah bangun bersama-sama pula. Sedemikian sering
hal-hal yang serupa terjadi, sehingga akhirnya Widura dan Agung Sedayu menjadi
ragu-ragu, apakah Untara itu sebenarnya kelelahan ataukah ia masih dalam
permainannya yang baik. Tetapi yang mereka lihat kemudian, kedua-duanya itu pun
menjadi jatuh bangun berkali-kali. Dalam pada itu, Ki Tambak Wedi sudah tidak
sabar lagi melihat peristiwa itu. Ia akan berbuat sesuatu sebelum Sidanti benar-benar
menjadi lemas. Ia ingin menunjukkan kepada Widura dan Untara, bahwa kemauannya
tak boleh diabaikan. Ia akan tetap pada pendiriannya, sepasar sejak malam
kemarin. Widura harus sudah merubah sikapnya terhadap Sidanti. Meskipun rencana
itu kemudian pasti akan terpengaruh oleh kehadiran Untara, namun Untara itu
sendiri pun harus dapat ditundukkannya pula seperi Widura. Tetapi Ki Tambak
Wedi itu pun sadar, bahwa agaknya pendirian Widura sukar untuk dapat
ditundukkan. Ia telah bertekad untuk memeluk kewajibannya dengan
sebaik-baiknya. Apalagi kini Untara ada di antara mereka, sehingga dengan
demikian pekerjaannya akan menjadi semakin sulit.
“Aku akan
hadir di antara mereka” pikir Ki Tambak Wedi,
“Dan aku akan
memberikan beberapa pertunjukan, supaya Untara itu pun meyakini keadaannya,
serta keadaan Sangkal Putung. Sedang apabila orang yang melontarkan cemetinya
itu benar-benar ingin membuat perhitungan dengan Tambak Wedi, maka kesempatan
ini pun akan aku terima pula”
Setelah
mendapat ketetapan itu, maka Ki Tambak Wedi itu pun beringsut semakin maju
lagi. Sekali lagi matanya beredar berkeliling untuk melihat segala kemungkinan
yang ada di sekitar tempat itu. Ketika kemudian dipandanginya arena di antara
lingkaran orang yang pepat, Ki Tambak Wedi masih melihat muridnya berjuang
sekuat tenaganya. Namun sekali lagi ia melihat, Sidanti menyerang Untara dengan
kakinya. Tetapi serangan itu dapat dihindari oleh lawannya, sehingga karena
tubuhnya sudah sedemikian lemahnya, Sidanti terbawa oleh kekuatannya sendiri,
terhuyung-huyung hanya beberapa langkah di samping Untara. Kalau pada saat itu
Untara meloncat ke sampingnya dan menghantam tengkuknya, maka pertempuran itu
pun akan berakhir. Tetapi Untara tidak berbuat demikian. Dibiarkannya Sidanti
menemukan keseimbangannya kembali. Kemudian baru ia melangkah maju dan
mengayunkan tangannya menyerang dada lawannya dengan gerak yang amat lamban.
Sudah tentu Sidanti telah sempat menarik dirinya mundur, sehingga serangan
Untara itu tidak mengenainya. Bahkan Sidanti itu masih sempat dengan tangan
kanannya menghantam pergelangan tangan Untara, meskipun Untara masih cukup
cepat menghindarinya. Tetapi bagi Ki Tambak Wedi, perbuatan Untara itu adalah
suatu penghinaan bagi harga dirinya. Ki Tambak Wedi mengumpat tak
habis-habisnya atas kekalahan muridnya berturut-turut. Karena itu maka tak ada
jalan lain daripada dengan tenaganya, memaksa Untara dan Widura mengakui
kelebihan Sidanti dari mereka untuk beberapa persoalan, sehingga
kesempatan-kesempatan Sidanti akan menjadi lebih besar lagi dalam lingkungan
Wiratamtama. Itulah sebabnya, maka tekadnya menjadi bulat. Ia harus menampakkan
dirinya. Tetapi ketika sekali lagi ia mendesak maju, didengarnya seseorang
mendehem di sampingnya. Mula-mula Ki Tambak Wedi sama sekali tidak menaruh
perhatian kepada orang lain, namun setiap ia menyusup, maka orang itu pun
selalu berada di sampingnya, dan bahkan selalu saja mendehem tak
habis-habisnya. Ki Tambak Wedi itu pun kemudian berpaling. Dilihatnya di
sampingnya seseorang yang sebaya dengan umurnya tersenyum kepadanya. Ki Tambak
Wedi mengerutkan keningnya. Meskipun malam menjadi semakin gelap. Namun matanya
yang tajam dapat melihat beberapa bagian dari wajah orang yang berdiri sambil
tersenyum di sampingnya itu. Orang itu sama sekali tak menarik perhatian Ki
Tambak Wedi, sehingga ia sama sekali tak mempedulikannya. Tetapi ketika ia
melangkah kembali, maka sekali lagi orang itu mengikutinya, bahkan kemudian
mendesaknya.
Kini Ki Tambak
Wedi tidak dapat mengabaikannya lagi. Orang ini pasti bukan tidak punya maksud
dengan perbuatan-perbuatannya itu. Karena itu sebagai seorang yang telah masak,
maka segera pikirannya hinggap pada seseorang yang telah melemparkan cemeti
kuda ketengah-tengah arena. Dan Ki Tambak Wedi pun tak mau bertanya
melingkar-lingkar. Langsung ia bertanya kepada orang di sampingnya itu
perlahan-lahan,
“Kaukah yang
memiliki cemeti kuda itu tadi?”
Ternyata orang
yang berdiri di samping Ki Tambak Wedi itu pun tidak mau berputar-putar pula.
maka jawabnya lirih,
“Ya, aku”
“Hem” Ki
Tambak Wedi menggeram. “Apa maumu?”
“Tidak
apa-apa” jawab orang itu. “Aku juga ingin menonton seperti kau”
“Hanya
menonton?” desak Ki Tambak Wedi.
“Ya” jawab
orang itu, “Selama kau juga hanya menonton”
Ki Tambak Wedi
mengerutkan keningnya. Kini ia telah berhadapan dengan orang yang selama ini
menimbulkan bermacam-macam teka-teki padanya. Pasti orang ini pulalah yang
kemarin malam telah menggagalkan maksudnya membunuh Widura dengan bunyi cambuk
yang menghentak-hentak. Karena itu maka katanya perlahan-lahan pula,
“He, kaukah
yang kemarin malam bermain-main dengan cambuk?”
“Ya” jawab
orang itu pendek.
Sekali lagi Ki
Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Siapakah kau?”
Orang itu
tertawa. Sesaat ia berdiam diri, sedang orang-orang di samping mereka, yang sedang
terpukau oleh perkelahian di tengah-tengah arena itu, agaknya sama sekali tak
memperhatikan percakapan itu.
Baru sesaat
kemudian orang itu menjawab,
“Gringsing.
Namaku Kiai Gringsing”
“Hem” kembali
Ki Tambak Wedi menggeram. Nama yang dapat disebutkan oleh setiap mulut, juga
setiap mulut dapat menyebut nama sekehendak hatinya. Ki Tambak Wedi itu pun
segera maklum, bahwa kalau itu pasti nama yang dibuatnya untuk tujuan-tujuan
tertentu. Karena itu sahutnya,
“Ternyata kau
lebih beruntung daripadaku”
“Kenapa?”
bertanya orang itu.
“Kau telah
menabung satu kemenangan. Kau mengenal aku, tetapi aku tidak mengenalmu” jawab
Ki Tambak Wedi.
“Aku sudah
memperkenalkan diri” berkata orang itu.
“Hem. Aku
bukan anak-anak” potong Ki Tambak Wedi.
Kemudian untuk
sesaat mereka pun berdiam diri. Pertempuran antara Sidanti dan Untara menjadi
semakin lambat. Masing-masing hampir tak dapat lagi menguasai dirinhya.
Ayunan-ayunan tangan mereka adalah tenaga yang akan membawa mereka sendiri
dalam satu tarikan yang kadang-kadang tak dapat mereka cegah, menjerumuskan
mereka sehingga terguling di tanah. Tetapi mata-mata yang tajam akan meragukan
keadaan Untara. Betapapun ia mencoba berbuat sebaik-baiknya namun kadang-kadang
kelincahannya masih tampak juga. Tetapi sedemikian jauh, Sidanti dan
orang-orang yang berdiri di sekitarnya pada umumnya tak dapat mengertinya.
Bahkan di dalam hati mereka, mereka berkata,
“Sidanti
benar-benar seorang yang tangguh. Ternyata ia mampu juga melawan orang yang
bernama Untara itu. Seorang yang namanya menjadi buah bibir setiap prajurit di
daerah selatan dan barat daya. Di sekitar gunung Merapi”.
Tetapi Widura
berkali-kali menarik nafas dalam-dalam, sedang Agung Sedayu yang mengetahui
keadaan sebenarnya itu pun menggeretakkan giginya. Namun mereka menyadari,
betapa Untara telah mementingkan tugasnya daripada sekedar harga dirinya yang
berlebih-lebihan. Gigi Ki Tambak Wedi itu pun beradu pula. seakan-akan ia
sedang menahan sesuatu yang bergelora di dalam dadanya. Maka ketika kemudian ia
melihat Sidanti dan Untara itu jatuh bangun berganti-ganti, Ki Tambak Wedi itu
pun berkata,
“Aku akan
masuk ke dalam arena”
Kiai Gringsing
itu berpaling. Kemudian ia tersenyum kecil. Katanya,
“Aku ikut.
Boleh?”
“Jangan
membuat persoalan dengan aku. Apakah kau guru Untara atau Widura?” bertanya Ki
Tambak Wedi.
Kiai Gringsing
tertawa pula.
“Aneh”
jawabnya,
“Apakah kau
benar-benar tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu. Bukankah guru anak-anak itu
telah mati?”
“Hem” Ki Tambak
Wedi menggeram. Katanya,
“Mungkin kau
meneruskan pekerjaan Sadewa?”
Kiai Gringsing
menggeleng-gelengkan kepala. Sahutnya,
“Kau pun tahu,
bahwa unsur-unsur gerak mereka hampir-hampir murni. Kalau mereka memiliki guru
lain, maka kau pasti akan mengetahui”
“Hem” sekali
lagi Ki Tambak Wedi menggeram,
“Persetan. Tetapi
jangan ganggu aku. Apa kepentinganmu dengan anak-anak itu?”
“Tidak
apa-apa. Aku bukan sanak bukan kadangnya. Tetapi sebaiknya, biarlah anak-anak
itu bermain-main sesama mereka. Bukankah Untara telah berlaku bijaksana?”
“Suatu
penghinaan bagi perguruan Tambak Wedi” jawab guru Sidanti itu.
“Kau terlalu perasa”
berkata Kiai Gringsing,
“Jangan
terlalu kau manjakan muridmu itu, supaya ia dapat menemukan kebahagiaan hidup
kelak”
“Jangan gurui
aku. Pergi kemana kau kehendaki. Aku akan mengajar Untara itu menilai pendapat
orang lain”
“Aku ikut”
“Jangan gila”
“Biarlah
anak-anak bermain-main sesama mereka. Dan biarlah kami orang-orang tua membuat
permainan sendiri”
Mata Ki Tambak
Wedi kini benar-benar memancarkan kemarahan yang menyala di dalam dadanya. Diamatinya
wajah orang yang berdiri di sampingnya itu dengan seksama. Wajah itu sama
sekali belum pernah dilihatnya. Tetapi tiba-tiba Ki Tambak Wedi itu menjadi
curiga. Meskipun malam menjadi semakin gelap. Namun kemudian Ki Tambak Wedi itu
melihat garis-garis yang tidak wajar pada wajah itu.
“Kenapa kau
coreng-coreng mukamu?” tiba-tiba ia bertanya.
Kiai Gringsing
mengerutkan keningnya. Jawabnya,
“apakah kau
melihat coreng moreng ini?”
“Aku tidak
buta” sahut Ki Tambak Wedi.
“Kau
benar-benar bermata tajam melampaui mata burung hantu” sahut Kiai Gringsing.
Dan katanya kemudian,
“Ya. Aku agak
sakit mata. Karena itu aku menggoreskan beberapa jenis obat-obatan dahi dan
pelipisku”
“Hem” kembali
Ki Tambak Wedi menggeram. Betapa kemarahannya melanda-landa dadanya, namun
semakin lama menjadi semakin menyadari, bahwa orang yang menamakan diri Kiai
Gringsing itu bukanlah seseorang yang membanggakan diri hanya karena
kemenangan-kemengangan kecil yang pernah dialaminya.
“Jadi
bagaimanakah maksudmu?” bertanya Ki Tambak Wedi
“Biarkan
mereka hidup dalam damai. Kalau Sidanti itu tidak terlalu bernafsu untuk
hal-hal yang aneh-aneh, dan kau tak mendorong-dorongnya, maka tak akan ada
persoalan di antara mereka”
“Itu adalah
suatu contoh dari seorang tua yang berotak beku. Ketenangan tidak selamanya
baik. Dengan ketenangan itu Sidanti selamanya akan tetap di tempatnya”
“Tetapi
tingkat demi tingkat harus dicapainya dengan wajar”
“Diamlah.
Jangan ganggu aku”
Ki Tambak Wedi
itu kemudian melangkah setapak maju di antara beberapa orang yang berdiri di
sekitarnya. Namun Kiai Gringsing itu pun melangkah maju pula.
“Aku
peringatkan kau sekali lagi” desah Ki Tambak Wedi.
“Peringatan
buatmu sendiri” sahut Kiai Gringsing.
Kini Ki Tambak
Wedi sudah tidak dapat menahan dirinya lagi. Tetapi untuk bertempur dengan
orang yang menyebut namanya Kiai Gringsing itu pun masih memerlukan berbagai
pertimbangan. Sidanti telah benar-benar payah. Sedang agaknya Untara masih
cukup segar untuk menundukkan apabila mau. Bahkan untuk membinasakan sekali.
Kalau orang yang bernama Kiai Gringsing itu tidak dapat dikalahkannya dengan
segera, maka baik Sidanti maupun dirinya sendiri pasti akan menemui kesulitan.
Widura, Agung Sedayu dan orang-orang Widura yang lain masih ada dalam keadaan
yang segar. Betapapun mereka seorang demi seorang tak akan berarti baginya,
namun kalau mereka bergerak bersama-sama dan di antaranya orang yang bernama
Kiai Gringsing ini, maka keadaannya akan sangat berbeda. Setidak-tidaknya
keadaan Sidanti lah yang akan menjadi sangat berbahaya. Tidak mustahil Untara
menjadi bermata gelap dan membinasakannya. Karena itu, maka Ki Tambak Wedi itu
ingin mengetahui sampai dimana kemampuan kekuatan Kiai Gringsing. Meskipun apa
yang akan diketahuinya itu tidak tepat seperti keadaan sebenarnya, namun dengan
caranya maka Ki Tambak Wedi akan dapat mengira-irakan sampai berapa jauh
kemungkinan yang dimiliki oleh Kiai Gringsing itu. Maka, ketika orang itu telah
berdiri di sampingnya, Ki Tambak Wedi itu pun berkata sambil menepuk bahu Kiai
Gringsing,
“Ki sanak, apakah
kau benar-benar tidak menghendaki aku ikut serta dalam permainan itu?”
Tetapi Kiai
Gringsing pun bukan anak-anak yang menundukkan wajahnya apabila seseorang
membelai pundaknya. Ketika Kiai Gringsing melihat tangan Ki Tambak Wedi
bergerak untuk menepuk pundaknya, maka segera orang itu seakan-akan mengerutkan
tubuhnya, sehingga ketika pundaknya tersentuh tangan Ki Tambak Wedi,
kedua-duanya menjadi kagum akan kekuatan masing-masing. Sentuhan itu
seolah-olah beradunya dua batang besi baja yang berlaga. Ketika Ki Tambak Wedi
kemudian berpaling dan memandang wajah Kiai Gringsing, dilihatnya wajah itu
tersenyum. katanya,
“Kau akan
mematahkan pundakku. Tanganmu keras seperti batu”
“Hem” Ki
Tambak Wedi menggeram. Orang ini benar-benar bukan orang yang sekedar menyombongkan
diri. Ketika ia meraba pundak Kiai Gringsing, seluruh kekuatannya telah
dipusatkannya di ujung jari-jarinya. Seandainya Kiai Gringsing tidak memiliki
daya tahan yang seimbang, maka pundak itu pasti akan luka di dalam. Bahkan
mungkin sebelah tangannya akan lumpuh. Apalagi orang kebanyakan, maka
tulang-tulang bahunya pasti akan remuk. Tetapi orang yang menyebut dirinya Kiai
Gringsing itu, ternyata telah memberikan perlawanan yang wajar tanpa
menggerakkan badannya selain sekedar berkerut. Agaknya Kiai Gringsing itu telah
menyalurkan kekuatan daya tahannya di pundaknya. Sehingga karena itu ketukan
tangan Ki Tambak Wedi tak melukainya. Dengan demikian maka Ki Tambak Wedi
benar-benar harus berpikir. Di arena, pertempuran menjadi semakin lambat. Bahkan
hampir berhenti sama sekali. Sekali-sekali dilihatnya Sidanti menebarkan
pandangan matanya berkeliling. Agaknya anak itu benar-benar mengharapkan
kehadiran gurunya. Tetapi kini di samping Ki Tambak Wedi, berdiri seorang yang
dapat mengimbangi kekuatannya.
Namun Ki
Tambak Wedi agaknya belum puas dengan percobaannya. Ketukan tangannya itu belum
meyakinkannya. Ia ingin sekali lagi melihat apakah ia harus mempertimbangkan
orang itu benar-benar. Karena itu maka desisnya,
“Ki sanak. Aku
akan mengucapkan selamat atas kesentausaan ki sanak. Pundak Ki Sanak itu
benar-benar sekeras baja. Aku kira aku belum pernah melihat seorang pun dari
daerah Gunung Merapi ini yang kuat seperti Ki Sanak. Dan nama Kiai Gringsing
pun merupakan nama baru bagiku”
Kiai Gringsing
itu pun tiba-tiba tertawa, meskipun ia berusaha untuk menahannya, sehingga satu
dua orang berpaling kepadanya. Tetapi karena kemudian suara tertawa itu
terputus, maka orang-orang itu pun tidak memperhatikannya lagi. Kiai Gringsing
itu segera menyadai tantangan Ki Tambak Wedi, bahkan di dalam hati ia berkata,
“Tantangan
yang bijaksana. Kami harus bertempur tanpa seorang pun yang mengetahuinya”
“Bagaimana ki
Sanak?” desak Ki Tambak Wedi.
“Terima kasih
atas ucapan selamat ini” belum lagi Kiai Gringsing selesai berkata, dilihatnya
Ki Tambak Wedi mengulurkan tangannya. Kiai Gringsing pun kemudian menyambut
tangan itu. Dan keduanya bersalaman. Namun tak seorang pun yang mengetahui,
bahwa sebenarnya mereka itu sedang bertempur. Masing-masing mengerahkan segenap
kekuatan lahir dan batinnya ke telapak tangannya, yang sedang bersalaman itu.
Masing-masing menekankan jari-jarinya sekuat-kuat tenaga mereka dan berusaha
meremukkan tulang-tulang lawannya. Namun ternyata mereka berdua adalah
orang-orang yang benar-benar sakti. Kedua tangan itu pun seakan-akan berubah
menjadi gumpalan-gumpalan besi baja yang saling himpit menghimpit. Betapa
mereka berjuang untuk melumatkan tangan lawannya. Tetapi mereka akhirnya harus
mengakui bahwa mereka satu sama lain tak akan dapat saling mengalahkan.
Meskipun demikian, keringat mengalir dari seluruh permukaan kulit mereka,
melampaui keringat mereka yang sedang bertempur, namun mereka harus menyadari,
bahwa kekuatan mereka berimbang. Sedemikian kuatnya mereka memeras tenaga lahir
dan batin mereka, sehingga terasa tubuh-tubuh mereka menjadi panas, dan leher
mereka serasa kering. Tetapi genggaman mereka tidak juga menjadi berubah.
Keseimbangan itu tetap berlangsung sehingga kemudian terdengar Ki Tambak Wedi
menggeram,
“Bukan main”
“Apa yang
bukan main?” sahut Kiai Gringsing.
Ki Tambak Wedi
tidak menjawab, dicobanya untuk menuntaskan tenaganya, namun Kiai Gringsing pun
berbuat serupa. Sehingga karenanya maka keadaan itu pun tidak juga berubah. Akhirnya
Ki Tambak Wedi melihat, bahwa tidak ada gunanya pertempuran yang aneh itu diteruskan.
Karena itu maka katanya,
“Aku sudah
menyampaikan ucapan selamat itu”
Kiai Gringsing
masih belum melemahkan genggamannya. Jawabnya,
“Terima kasih
atas ucapan selamat yang cukup hangat ini”
Akhirnya
keduanya sedikit demi sedikit mengurangi tekanan-tekanan pada telapak-telapak
tangan mereka. Sehingga dengan demikian maka akhirnya tangan mereka itu pun
terurai.
“Hem” Kiai
Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Kemudian sambil tersenyum ia berkata,
“Baru sekali
ini aku menerima ucapan selamat yang sedemikian hangatnya melampaui hangatnya
api neraka”
“Karena itu
sebabnya maka kau berani menghalang-halangi maksudku” berkata Ki Tambak Wedi
tanpa menjawab kata-kata Kiai Gringsing,
“Ternyata
orang yang menamakan diri Kiai Gringsing adalah orang yang mampu menyamai
kekuatanku. Namun apakah ilmu kanuragan dan tata perkelahianmu dapat menyamai
Ki Tambak Wedi?”
Kiai Gringsing
menggeleng,
“Entahlah, aku
belum pernah berkelahi melawan Ki Tambak Wedi. Sebenarnyalah bahwa aku tidak
senang berkelahi seperti anak-anak berebut tulang tanpa arti”
“Omong kosong”
desak Ki Tambak Wedi.
Kiai Gringsing
tidak menjawab. Tetapi kini ia melihat perkelahian di arena. Dan Ki Tambak Wedi
pun kemudian melihat ke sana pula. Sekali-sekali mereka masih mengayunkan
serangan-serangan mereka berganti-ganti. Tetapi perkelahian itu sudah tidak
merupakan perkelahian lagi. Mereka hanya sekedar berdiri berhadap-hadapan dan
kadang-kadang menggerakkan tangan-tangan mereka atau kaki-kaki mereka, untuk
kemudian terhuyung-huyung beberapa langkah. Kalau tangan mereka sekali-sekali
beradu. Maka mereka kedua-duanya terdorong ke belakang dan jatuh bersama-sama. Kini
Untara dan Sidanti itu berdiri berhadap-hadapan. Hanya mata mereka sajalah yang
masih tetap menyala. Sidanti sekali-sekali masih menggeram penuh kemarahan.
Namun kemudian terdengar Untara berkata,
“Sidanti,
apakah hasil dari perkelahian ini?”
Terdengat gigi
Sidanti gemeretak. Nyala yang memancar dari matanya itu seakan-akan ingin
membakar hangus lawannya. Namun demikian ia menjawab dengan bangganya,
“Untara,
ternyata namamu hanya sekedar untuk menakut-nakuti lawan-lawanmu. Di sini
sekarang orang dapat melihat bahwa kau tidak lebih dari Sidanti”
“Ya” sahut
Untara,
“Itukah hasil
yang memang kau inginkan dari perkelahian ini, sehingga orang dapat menilai
keunggulan Sidanti dari setiap orang di Sangkal Putung?”
“Ya, Sidanti
ingin membuktikan, bahwa Sidanti berhak untuk menamakan dirinya sejajar dengan
Untara”
“Bagus”
berkata Untara,
“Kalau hanya
itu yang kau inginkan, kenapa tidak kau katakan sejak tadi? Dengan demikian
kita tidak perlu membuang-buang tenaga. Kau lihat bukan? Tenaga kita terbuang
tanpa arti”
“Cukup berarti
bagiku”
“Kau menjadi
puas karenanya?”
“Belum, aku
ingin menundukkanmu”
“Apakah
kausangka akan berhasil?”
“Kalau tidak
sekarang, pada kesempatan lain”
“Baik, kalau
begitu biarlah kita bicarakan pada kesempatan lain itu. Sekarang kau sudah
puas?”
Sekali lagi
Sidanti menggertakkan giginya. Tetapi ia tidak dapat menjawab pertanyaan itu.
Ya, apakah ia sudah puas? Kalau tidak, apakah yang akan dilakukan? Sidanti itu
terdiam sesaat. Tetapi untuk menutupi kegelisahannya ia bertanya,
“Apakah
perkelahian ini kita lanjutkan Untara?”
Untara
tersenyum pahit. Jawabnya,
“Apakah kau
memandang bahwa perkelahian seterusnya akan bermanfaat bagimu?”
“Persetan. Aku
bertanya kepadamu”
Sekarang
Untara terdiam sesaat. Tetapi tiba-tiba kemudian ia berkata,
“Persoalan
antara aku dan Sidanti telah kami anggap selesai saat ini. Terserahlah apabila
pada masa-masa yang akan datang, persoalan itu akan diungkapkan kembali.
Sekarang kembali ke kademangan”
“Jangan
menganggap soal di antara kita sudah selesai. Soal itu baru selesai apabila
Untara telah mengakui keunggulan Sidanti daripadanya” berkata Sidanti dengan
sombongnya.
Tetapi Untara
seakan-akan tidak mendengar kata-kata itu. Bahkan sekali lagi ia mengangkat
wajahnya sambil berkata,
“Paman Widura,
kembali ke kademangan”
Widura itu pun
seakan-akan menjadi tersadar dari mimpinya yang dahsyat. Karena itu dengan
tergagap ia menjawab,
“Baik, Untara.
Kita akan segera kembali”
Kemudian
kepada orang-orangnya Widura berkata,
“Tinggalkan
lapangan ini. Kembali ke kademangan”
Orang-orang
Widura pun kemudian mulai bergerak dari tempat mereka, setelah mereka terpaku
beberapa lama. Orang-orang lain pun kemudian menghambur pula dari lingkaran
itu, pulang ke rumah masing-masing dengan kesan yang aneh di dalam hati mereka.
Mereka melihat perkelahian yang tanpa ujung dan pangkal itu. Sebagian dari
mereka bertanya-tanya pula di dalam hati mereka, “Apakah Untara benar-benar tak
mampu mengalahkan Sidanti?” Sedang orang lain berkata di dalam hatinya,
“Sidanti benar-benar seorang anak muda yang luar biasa. Ternyata ia mampu
melawan Untara dalam perkelahian yang tidak berakhir”
Tetapi Widura,
Agung Sedayu, Ki Tambak Wedi dan Kiai Gringsing melihat apa yang sebenarnya
terjadi, bahkan beberapa orang anak buah Widura pun merasakan sesuatu yang aneh
dari pertempuran itu. Meskipun demikian, mereka tidak dapat mengerti, apakah
yang aneh itu. Ketika orang-orang di sekitar arena itu sudah siap meninggalkan
lapangan, maka terdengar Sidanti itu berkata,
“Aku tinggal
di sini”
“Kau pun
kembali ke kademangan, Sidanti” berkata Untara.
“Tidak” jawab
Sidanti.
“Kau dengar
perintah ini? Kali ini aku berbicara bukan atas nama pribadiku. Kau dengar?”
Tubuh Sidanti
itu menggigil karena marah. Tetapi tubuhnya benar-benar telah lemah. Sedang
gurunya masih belum juga menampakkan dirinya. Namun Sidanti itu kemudian
menduga bahwa gurunya pasti memperhitungkan juga, hadirnya seseorang yang telah
melemparkan cemeti kuda diarena itu.
Karena Sidanti
itu masih tegak di tempatnya terdengar Untara mengulangi,
“Sidanti,
kembali ke kademangan. Jangan melawan perintah”
Sidanti
menggeram. Tetapi ia telah menjadi sedikit puas, bahwa orang-orang Sangkal
Putung telah melihat, bahwa ia mampu melawan Untara yang perkasa dalam
perkelahian yang tak berakhir. Dengan demikian, maka meskipun ia terpaksa
menuruti perintahnya, namun itu adalah karena tugasnya sebagai seorang
prajurit. Tetapi nilai seorang-seorang, ia adalah sejajar dengan Untara. Dan
karena kebanggaannya itulah, maka ia tidak menjadi terlalu berkeras hati.
Betapapun segannya, ia berjalan juga meninggalkan lapangan itu menuju
kekademangan. Di sepanjang jalan ia masih dapat menengadahkan wajahnya,
seakan-akan berkata kepada setiap orang yang dijumpainya,
“Inilah
Sidanti, yang mampu menyamai keperwiraan Untara, orang yang mendapat kuasa
langsung dari pimpinan tertinggi Wiratamtama”
Demikianlah
maka satu demi satu orang-orang yang berada di lapangan itu pergi dengan kesan
masing-masing. Di belakang Sidanti yang sedang menikmati kebanggaannya,
berjalan Untara dan Widura. Di belakang mereka berjalan Agung Sedayu. Namun
Agung Sedayu itu kini tidak lagi berjalan menunduk, tetapi wajahnya pun
tengadah seperti juga Sidanti. Dan orang-orang pun memandangnya dengan penuh
kekaguman. Apabila Sidanti mampu menyamai keperwiraan Untara, maka Agung Sedayu
memiliki ketangkasan memanah melampaui Sidanti. Bahkan ada di antara mereka
yang bertanya-tanya di dalam hati mereka,
“Apakah Agung
Sedayu ini melampaui kakak kandungnya, sehingga ia pun akan sanggup mengalahkan
Sidanti?”
Namun
perlombaan di lapangan itu telah benar-benar berkesan di hati para penontonnya,
orang-orang Sangkal Putung. Mereka itu kini tahu dengan jelas, bahkan hampir
pasti, siapakah orang-orangnya yang menjadi tiang kademangannya, Sidanti, Agung
Sedayu dan sekarang hadir Untara di samping Widura sendiri. Meskipun mereka
ternyata seakan-akan bersaing satu dengan yang lain, namun berkumpulnya tokoh-tokoh
itu di Sangkal Putung, agaknya telah memberi sedikit ketenangan kepada penduduk
yang menyimpan berbagai macam perbekalan di padukuhan dan kademangan mereka
itu.
Sekar Mirah
kini tak dapat berlari-lari menyusul Agung Sedayu maupun Sidanti. Ayahnya membimbingnya
tanpa melepaskan tangannya, sedang Swandaru berjalan agak jauh di belakang
mereka sambil menuntun kudanya. Tetapi wajahnya kini telah menjadi lebih
terang. Untunglah bahwa di palagan itu benar-benar tidak jatuh korban. Ia
menjadi menyesal juga atas perbuatannya. Namun sebenarnya, di sudut hatinya,
terasa juga kekecewaannya atas Untara. Ternyata Untara itu tidak mampu untuk
melumpuhkan Sidanti. Meskipun kadang-kadang ia berpikir juga, ketika ia melihat
Untara dan Widura lewat di mukanya, langkah Untara itu masih jauh lebih tegap
dari langkah Sidanti yang hampir terhuyung-huyung meskipun dengan wajah
tengadah. Ketika mereka telah meninggalkan lapangan, dan berjalan menyusur
jalan-jalan padukuhan, Widura yang berjalan di samping kemenakannya itu tiba-tiba
menggamit pundaknya,
“Untara”
Untara
berpaling.
“Ya” katanya.
“Aku belum
sempat bertanya kepadamu, kemana kau selama ini, namun aku masih menyimpan
pertanyaan lain yang ingin aku katakan lebih dahulu kepadamu. Kenapa kau
biarkan Sidanti masih menepuk dadanya?”
Untara
tersenyum sambil menarik nafas. Ketika ia menoleh dilihatnya adiknya berjalan
di belakangnya. Tiba-tiba terbesitlah sesuatu di dalam dadanya. Adiknya kini
benar-benar telah menjadi seorang anak laki-laki. Karena itu, sebelum ia
menjawab pertanyaan pamannya ia berkata seakan-akan kepada dirinya sendiri,
“Hem, Sedayu
agaknya telah menemukan dirinya sendiri”
Agung Sedayu
yang berjalan sambil mengangkat wajahnya itu terkejut. Tiba-tiba saja kepalanya
itu ditundukkannya. Meskipun demikian, ia menjadi terharu juga mendengar
kata-kata kakaknya itu. Namun ia masih berdiam diri saja.
Sesaat
kemudian baru Untara itu menjawab pertanyaan Widura,
“Sidanti
adalah seorang anak perasa dan pendendam. Karena itu ia sebenarnya sangat
berbahaya. Biarlah ia menikmati kebanggaan-kebanggaan yang dapat sekedar
membujuknya. Kalau anak itu memberontak terhadap perintah-perintah paman
bersamaan waktunya dengan kedatangan Tohpati, maka keadaan paman di sini akan
menjadi sangat kalut. Biarlah anak itu mendapat sekedar kepuasan dan besok
kalau Tohpati itu datang, maka kita akan dapat melawannya dengan kekuatan
sepenuhnya”
“Hem” Widura
menarik nafas panjang-panjang. Katanya,
“Sudah aku
usahakan dengan beribu-ribu cara. Aku biarkan ia berbuat sekehendaknya,
meskipun kadang-kadang aku memaksanya dengan kekerasan. Namun anak itu memang
mempunyai tuntutan pribadi yang berlebih-lebihan. Apalagi agaknya gurunya
selalu memberinya harapan-harapan, sehingga karena itu perbuatan-perbuatannya
kadang-kadang melampaui batas”
“Mudah-mudahan
paman bijaksana” sahut Untara.
“Tetapi” tiba-tiba
Agung Sedayu menyela,
“Apabila paman
telah memanjakannya, maka ia akan bertambah berani menentang kehendak paman”
Widura dan
Untara berpaling bersama-sama. Namun kemudian Widura itu tersenyum. Katanya,
“Tentu tidak
mungkin kalau aku sendiri harus memaksanya dalam suatu persoalan. Anak-anak
yang lain pun menganggap demikian. Namun bukankah berkali-kali aku memberi
kesempatan kepadamu, Agung Sedayu? Aku mengharap bahwa kaulah, sebelum
kedatangan kakakmu, seperti juga harapan anak buahku, akan dapat sedikit
memberinya peringatan. Ternyata agaknya kau selama ini terlalu baik hati,
sehingga kau tidak pernah melayaninya, Betapapun Sidanti itu menyakiti hatimu”
Agung Sedayu
menggigit bibirnya sambil menundukkan wajahnya. Sedang Untara pun tersenyum
pula karenanya. Katanya,
“Paman, apakah
yang dikerjakan Agung Sedayu selama ini?”
“Ia datang sebagai
pahlawan” sehut pamannya.
“Namun
seterusnya ia lebih senang duduk di pringgitan siang dan malam”
“Ah” desah
Agung Sedayu.
Untara
tertawa. Kemudian katanya,
“Aku dengar,
kau telah berhasil mengalahkan genderuwo bermata satu di tikungan randu alas,
Sedayu?”
Agung Sedayu
masih menundukkan wajahnya. Sudah beberapa lama ia lupa pada genderuwo itu. Dan
tiba-tiba ia kini menjadi geli terhadap dirinya sendiri. Betapa ia takut kepada
nama-nama yang belum pernah dikenal adanya. Genderuwo bermata satu, macan putih
dari Lemah Cengkar, namun ia lebih geli lagi kalau diingatnya, lututnya
dua-duanya menjadi gemetar ketika tiba-tiba Sidanti marah kepadanya, pada saat
ia sedang bercakap-cakap dengan Sekar Mirah.
“Sekar Mirah.
Ya, Sekar Mirah” tiba-tiba hatinya berteriak,
“Aku
kehilangan setiap kesempatan bertemu dengan gadis itu, bukankah karena aku
takut kepada Sidanti? Kini aku tidak takut lagi kepadanya. Dan aku tidak akan
menghindari setiap pertemuan dengan gadis itu”
Tetapi yang
kemudian didengarnya adalah kata-kata pamannya,
“Untara,
kedatanganmu aku harap akan membawa angin baru bagi kademangan ini. Dan malam
nanti jangan kau harap kau akan dapat tidur. Betapapun letihnya, kau harus
bercerita kepada kami di sini, dimana kau selama ini, dan apa yang telah
terjadi dengan dirimu. Berhari-hari aku dan Agung Sedayu mencarimu, namun yang
kami ketemukan adalah seorang bertopeng yang menyebut dirinya Kiai Gringsing”.
Betapapun
dinginnya malam, namun Untara itu pun merasa, bahwa keringatnya tidak juga
menjadi kering. Ketika ia sampai di kademangan, maka pertama kali yang
dilakukannya adalah mandi. Tetapi demikian ia selesai berpakaian, peluhnya
telah mulai mengaliri tubuhnya kembali. Sedang dikepalanya selalu
berputar-putar berbagai pertanyaan yang nanti pasti harus dijawabnya. Apakah
yang akan dikatakan, seandainya seseorang bertanya kepadanya, kemanakah ia
selama ini, dan apa sajakah yang sudah dilakukannya?
Tetapi
akhirnya yan dicemaskannya itu pun terjadi. Ketika ia duduk di pringgitan
bersama-sama dengan Widura, Agung Sedayu dan Ki Demang Sangkal Putung, maka
dari pintu bermunculan para pemimpin laskar Pajang yang berada di Sangkal Putung.
Satu demi satu, tanpa dipersilahkan. Mereka kemudian duduk melingkar di atas
tikar anyaman di tengah-tengah pringgitan itu.
Di pendapa
Sidanti duduk di tempatnya sambil menimang-nimang senjatanya yang masih
terbalut wrangka di kedua ujungnya, kemudian dengan rapinya senjatanya itu
diselubunginya dengan kain putih. Ketika ia melihat beberapa orang masuk ke
pringgitan, ia mencibirkan bibirnya.
“Buat apa
mengerumuni anak yang sombong itu?” katanya dalam hati.
“Aku sangka
Untara itu setidak-tidaknya dapat menyamai kesaktian Macan Kepatihan. Tetapi
ternyata ia tidak lebih baik dari Widura sendiri”
Dengan mata
yang redup ia memandangi setiap orang yang berjalan didekatnya. Bahkan kemudian
dengan malasnya ia berbaring sambil menguap keras-keras. Seorang prajurit yang
tidak jauh daripadanya berkata,
“Ah, kakang
Sidanti, kau mengejutkan aku”
‘Huh” sahut
Sidanti,
“Kenapa kau
tidak ikut masuk ke pringgitan saja?”
“Hanya para
pemimpin kelompok yang boleh masuk. Pringgitan itu terlalu sempit” jawab orang
itu.
“Kenapa kakang
tidak ikut masuk dan mendengarkan cerita Untara itu?”
“Buat apa aku
mendengarkan bualannya? Ternyata aku kecewa setelah aku menilai sendiri
kekuatan orang yang bernama Untara itu. Dahulu aku kagum apabila aku mendengar
namanya. Sekarang ternyata aku sama sekali tidak mempunyai harapan apa pun atas
kehadirannya. Kalau Macan Kepatihan itu datang kembali, maka nasib kita masih
akan sama saja. Apalagi agaknya Macan Kepatihan telah melihat kekuatan yang ada
di Sangkal Putung. Ia pasti tidak akan datang dengan kekuatan yang sama dengan
pada saat ia datang dahulu”
Prajurit itu
tidak menjawab. ia pun mempunyai perasaan yang sama seperti apa yang dikatakan
oleh Sidanti. Ada juga rasa kecewa di dadanya, setelah ia melihat Untara dan
Sidanti bertempur. Sedang hasilnya, keduanya tak dapat saling mengalahkan.
Dengan demikian, maka apa yang diharapkan dari Untara untuk melawan Macan
Kepatihan akan tidak terpenuhi. Apabila kelak Macan Kepatihan itu datang
beserta laskarnya yang lebih kuat, serta apabila Macan Kepatihan berhasil
mengumpulkan orang-orang ternama yang tersebar, maka keadaan Sangkal Putung
pasti benar-benar ada dalam bahaya. Tetapi prajurit itu tidak bertanya apapun.
Perlahan-lahan ia berjalan ke halaman dan duduk termenung di atas sebuah batu.
Dilihatnya beberapa kawannya yang berada di regol halaman, tampak selalu
berwaspada, sedang di muka gandok dilihatnya beberapa orang tidur mendengkur
sambil memeluk pedang-pedang mereka. Tetapi sebentar kemudian prajurit itu pun
menjadi mengantuk pula, sehingga dengan segannya ia pun berjalan kegandok
wetan, dan merebahkan diri di samping kawan-kawannya. Tetapi ia tidak berhasil
memejamkan matanya. Berkali-kali ia tersadar karena kegelisahannya.
Di pringgitan,
Untara terpaksa mendengarkan berbagai pertanyaan yang bertubi-tubi
menghujaninya. Beberapa pertanyaan dapat dijawabnya dengan mudah. Namun yang
lain telah membingungkannya. Peluh dingin mengalir di kening Untara ketika ia
mendengar pamannya bertanya,
“Untara, aku
telah sampai ke rumah Ki Tanu Metir, sehari setelah kau hilang. Aku tidak dapat
menemukan jejakmu dan Ki Tanu Metir. Seseorang mengatakan bahwa kau telah
diculik oleh gerombolan Alap-alap Jalatunda. Tetapi sekarang, tiba-tiba saja
kau muncul dengan segar bugar. Apakah yang sebenarnya telah terjadi di dukuh
Pakuwon?”
Untara menarik
nafas dalam-dalam. Sesaat ia berpikir, kemudian ia menjawab,
“Ya, aku
memang dalam kesulitan waktu itu. Tetapi seseorang telah menyelamatkan aku”
“Siapa?”
bertanya Widura.
Untara itu
kemudian memandang berkeliling. Satu per satu, wajah-wajah yang penuh minat
memperhatikannya itu ditatapnya. Kemudian dengan hati-hati ia menjawab,
“Aku ditolong
oleh seorang yang tak kukenal, karena wajahnya ditutup oleh sebuah topeng”
“Kiai
Gringsing?” sela Widura.
“Ya”
Widura
tertawa. Agung Sedayu pun tersenyum juga. Tetapi orang lain, yang belum pernah
mengenal Kiai Gringsing menjadi terkejut karenanya. Tetapi mereka berdiam diri.
Mereka menunggu pertanyaan-pertanyaan Widura selanjutnya.
Tetapi yang berkata
kemudian adalah Untara,
“Kenapa paman
tertawa?”
“Aku pernah
bertemu dengan Kiai Gringsing”
“Lalu?”
“Aku pernah
melihat jejak-jejak kuda dari kandang Ki Tanu Metir”
“Apa
hubungannya dengan Kiai Gringsing?”
“Kiai
Gringsing menyangkal bahwa ia pernah datang ke rumah Ki Tanu Metir”
Untara mengerutkan
keningnya. Tetapi kemudian ia pun tersenyum pula. Katanya,
“Kiai
Gringsing memang orang yang aneh. Karena itu biarlah untuk sementara aku tidak
bercerita tentang orang itu”
Widura
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia memahami jawaban Untara. Kiai Gringsing
pasti berpesan kepadanya, untuk merahasiakan dirinya.
“Tetapi”
berkata Untara kemudian,
“Aku mengharap
bahwa waktu itu tidak terlalu lama. Syukurlah kalau Kiai Gringsing sendiri
datang kepada kita di sini dan bercerita tentang dirinya”.
“Bukankah Kiai
Gringsing hadir juga di lapangan siang tadi?” bertanya Widura.
“Ya” sahut
Untara,
“Aku melihat
ciri-cirinya dilemparkan ke tengah-tengah arena, ketika seseorang melemparkan
ciri-cirinya yang lain, yang agaknya Ki Tambak Wedi”
Widura
mengerutkan keningnya. Kemudian ia bertanya,
“Kau kenal
juga ciri Ki Tambak Wedi?”
Untara tidak
menjawab. Tetapi ia tersenyum.
Beberapa orang
lain yang mendengarkan cerita itu, sebagian besar sama sekali tidak tahu ujung
pangkalnya. Karena itu mereka hanya berdiam diri mendengarkan. Swandaru yang
kemudian duduk di belakang ayahnya pun sama sekali tidak mengerti apa saja yang
sedang dipersoalkan. Tetapi pertemuan itu tidak berlangsung lebih lama lagi.
Beberapa orang menjadi sangat mengantuk dan Untara sendiri menjadi sangat
lelah. Karena itu katanya,
“Aku minta
maaf, karena aku sangat lelah, apakah aku boleh meninggalkan pertemuan ini?”
Widura
tersenyum, jawabnya,
“Pertemuan
tanpa kau tidak akan ada gunanya. Karena itu, biarlah pertemuan ini berakhir.
Kita harus beristirahat, meskipun kita hampir sampai ke ujung malam. Sebentar
lagi kita harus sudah bangun dan menunaikan kewajiban kita masing-masing.”
Pringgitan itu
sesaat kemudian menjadi sepi. Untara tidak mau tidur di pembaringan Widura. Ia
lebih senang tidur di atas sehelai tikar bersama adiknya.
Ketika
semuanya telah pergi, dan ketika Untara telah membaringkan dirinya di samping
adiknya, maka katanya perlahan-lahan,
“Apakah yang
kau kerjakan selama ini?”
Agung Sedayu
menarik nafas. Jawabnya,
“Aku hampir
mati kecemasan”
Untara
tersenyum. Katanya,
“Kalau tidak
karena terpaksa oleh keadaan, aku kira kau masih saja suka merengek-rengek. Aku
turut berbangga dengan keadaanmu sekarang. Mudah-mudahan penyakitmu tidak
kambuh lagi setelah aku datang”
“Mudah-mudahan”
gumam Agung Sedayu. Dalam pada itu, terasa sesuatu bergolak di dalam dadanya.
Ia tiba-tiba saja memiliki perasaan yang asing tentang dirinya. Tentang dunia
sekitarnya. Tiba-tiba tanpa disengaja ia meraba luka di pundaknya yang telah
dibalut rapi. Luka itu tidak seberapa. Tetapi luka itu seakan-akan telah
membangunkannya dari tidur yang nyenyak. Apa yang telah dilakukannya di
lapangan, ternyata mampu membangkitkan kebanggaan atas diri sendiri, sehingga
karena itu, Agung Sedayu kini melihat kemampuan yang dimilikinya. Karena itulah
maka kini ia percaya akan dirinya sendiri.
Di hari
berikutnya, hampir seluruh penduduk Sangkal Putung bercerita sesamanya tentang
apa yang mereka saksikan di lapangan. Mereka menjadi kagum kepada Agung Sedayu,
yang dalam ketangkasan memanah dapat melampaui Sidanti. Mereka menjadi kagum
pula, bahwa sebelumnya Agung Sedayu sama sekali tidak berhasrat untuk ikut
serta dalam perlombaan itu.
“Alangkah
rendah hatinya anak muda itu” beberapa orang di antara mereka memujinya.
Namun ada pula
yang menjadi semakin kagum kepada Sidanti, atau yang menjadi kecewa terhadap
Untara. Meskipun demikian, maka mereka menjadi agak tenang juga dengan
kehadiran Untara. Dengan demikian maka kekuatan di Sangkal Putung itu menjadi
bertambah. Tetapi dalam pada itu, penduduk Sangkal Putung menjadi cemas ketika
mereka melihat kesiagaan laskar Pajang itu meningkat. Setiap hari mereka
melihat, peronda-peronda berkuda hilir mudik di padukuhan mereka.
Peronda-peronda berkuda yang menghubungkan satu desa dengan desa yang lain dalam
lingkungan kademangan Sangkal Putung. Bahkan kesiap-siagaan anak-anak muda
Sangkal Putung pun meningkat pula, gardu-gardu peronda yang dikhususkan bagi
mereka pun selalu dipenuhi oleh anak-anak muda itu. Setiap saat mereka berlatih
mempergunakan senjata. Sebab mereka merasa, bahwa ilmu tata berkelahi yang ada
pada mereka, masih belum mencukupi dibandingkan dengan laskar Pajang, maupun
laskar Jipang. Namun tekad merekalah yang agaknya telah memperkuat ketahanan
mereka menghadapi setia keadaan. Sebenarnyalah Widura telah memberikan beberapa
peringatan kepada laskarnya, bahwa kemungkinan Macan Kepatihan akan menyergap
mereka setiap saat. Karena itulah maka setiap gardu peronda di ujung-ujung desa
selalu diperlengkapi dengan alat-alat tanda bahaya yang sebaik-baiknya serta
beberapa ekor kuda. Di halaman kademangan pun telah dikumpulkan beberapa ekor
kuda yang cukup baik dari segenap penduduk Sangkal Putung. Setiap saat laskar
Pajang itu harus bergerak cepat ke tempat-tempat yang dianggap sangat
berbahaya. Sedang pada hari itu pula Untara sedang mengagumi cara adiknya untuk
meningkatkan ilmunya. Untara melihat beberapa lembar rontal yang telah dilukis
oleh Agung Sedayu. Dengan pengetahuan yang jauh lebih luas, Untara berhasil
memberikan beberapa petunjuk kepada adiknya mengenai lukisan-lukisannya.
Beberapa unsur gerak ternyata menjadi lebih mantap dan lebih sempurna. Untara
mencoba mengurangi kelemahan-kelemahan yang ada di dalam lukisan adiknya.
“Nanti malam
biarlah aku melihat ketangkasanmu” berkata Untara kepada adiknya,
“mudah-mudahan
Tohpati tidak menyergap kita hari ini”
Sehari itu
dilalui dengan berbagai ketegangan di hati anggota laskar Pajang. Dan bahkan
oleh segenap penduduk Sangkal Putung. Pagi-pagi mereka sudah pergi ke warung di
ujung desa, kemudian memasak agak lebih banyak dari biasanya. Apabila
sewaktu-waktu datang keributan, mereka sudah menyimpan makanan di rumahnya.
Bahkan beberapa orang telah mempersiapkan barang-barang yang mereka anggap
berharga. Ketika seorang perempuan sibuk membungkus barang-barangnya,
bertanyalah suaminya,
“Untuk apa
barang-barang itu kau kumpulkan?”
“Apakah kita
tidak pergi mengungsi saja kakang?”
“Kemana kita
akan mengungsi?”
“Ke
kademangan-kademangan sebelah”
“Tak ada
gunanya. Di kademangan ini di tempatkan sejumlah laskar Pajang. Di
kademangan-kademangan lain sama sekali tidak, selain hanya kadang-kadang saja
dilewati oleh para peronda dari kademangan ini juga”
Istrinya
termenung sesaat, namun kemudian jawabnya,
“Tetapi aku
dengar, kademangan ini menjadi tujuan penyerbuan dari laskar Jipang, sebab
kademangan inilah yang dianggap menjadi sumber perbekalan. Sedang kademangan
lain tidak”
“Sesudah
kademangan ini, akan datang gilirannya kademangan-kademangan lain. Dan kita
akan mengungsi dari satu kademangan ke lain kademangan?”
Istrinya tidak
berkata-kata lagi. Meloncat dari satu tempat ke tempat lain dengan seluruh
anak-anaknya adalah pekerjaan yang tidak menyenangkan. Tetapi tinggal di rumah
pun hatinya selalu gelisah. Sehingga kemudian suaminya berkata,
“Yang
sebaik-baiknya adalah mempertahankan kademangan ini bersama-sama dengan laskar
Pajang”
“Sampai berapa
tahun laskar Pajang itu akan tinggal di sini? Bukankah dengan demikian
akibatnya akan hampir sama?”
“Kenapa?”
“Mereka makan
beras kita yang kita pertahankan dari sergapan laskar Jipang”
“Tidak
seberapa. Mereka makan hanya sepenuh-penuh perut mereka. Sedang laskar Jipang
akan mengambil semuanya, bahkan dengan semua benda-benda berharga dari
kademangan ini”
Kembali
istrinya berdiam diri. Ketika suaminya kemudian berkata lagi, hatinya
berdebar-debar. Katanya,
“Nyai,
sebaiknya kita pertahankan kademangan ini. Sebaiknya setiap laki-laki ikut
serta. Tidak hanya anak-anak muda saja”
“Kau akan
pergi juga?”
“Ya” jawab
suaminya, “Seperti Ranu dan Harda”
Alangkah
cemasnya istrinya mendengar kata-kata itu. Kenapa timbul perselisihan di pusat
kerajaan, sehingga daerah-daerah yang jauh pun mengalamai akibatnya? Peperangan
benar-benar merupakan sesuatu yang mengerikan sekali. Yang memisahkan
suami-suami dari istri-istri mereka, ayah dari anak-anak mereka, dan anak dari
ibu-ibu mereka. Peperangan telah mematahkan cinta manusia. Cinta sesama. Tetapi,
laki-laki itu kemudian pergi juga ke banjar desa bersama dengan laki-laki yang
lain. Mereka mengganti cangkul, bajak dan garu dengan pedang di genggaman
tangannya.
Tidak saja
anak-anak muda, kemudian orang-orang yang telah meningkat kepertengahan abad
pun ikut serta menyerahkan dirinya pada pengabdian bagi tanah kelahirannya,
bagi kampung halamannya. Mereka menempatkan diri di bawah pengawasan langsung
Demang Sangkal Putung. Dan bagi mereka telah dibagikan tugas, untuk menjaga
kademangan dan lumbung-lumbung desa pada saat-saat yang genting. Sedang
anak-anak muda diperkenankan ikut dalam perlawanan langsung apabila musuh-musuh
mereka benar-benar datang. Tetapi hari itu telah dilewati dengan aman. Laskar
Macan Kepatihan sama sekali tidak menampakkan diri. Tetapi tidak mustahil bahwa
mereka akan menyergap di malam hari.
“Setan itu
benar-benar mengganggu kademangan ini” gerutu Widura, ketika malam turun.
“Mereka
barangkali kini sedang tidur dengan nyenyaknya, sedang kita harus selalu
berjaga-jaga menunggu kedatangan mereka”
“Pada suatu
ketika, kitalah yang mengambil prakarsa. Bukan mereka. Sebab dengan demikian,
keadaan kita merekalah yang menentukan” sahut Untara.
Widura
mengangguk-anggukkan kepalanya. Seharusnyalah demikian. Apabila datang saatnya,
laskar Pajang lah yang harus mencari sisa-sisa laskar Macan Kepatihan untuk
dimusnahkan. Malam itu seperti yang biasa dilakukan oleh Widura, adalah pergi
berkeliling gardu-gardu peronda. Kali ini Widura tidak hanya pergi berdua
dengan Agung Sedayu, tetapi Untara turut serta bersama mereka. Satu persatu
Widura mengunjungi gardu-gardu besar, dan pusat-pusat penjagaan. Ternyata tak
seorang pun dari anak buahnya yang mengabaikan segala perintahnya. Sebab
sedikit kelengahan yang mereka lakukan, maka akibatnya dapat mengerikan sekali.
Sehingga dengan demikian dengan penuh kesadaran mereka melakukan tugas-tugas
mereka dengan penuh tanggung jawab. Yang terakhir dilakukan oleh Widura adalah
pergi ke Gunung Gowok. Untara ingin melihat, bagaimanakah perkembangan adiknya
selama ini. Karena itu, maka ketika mereka telah beristirahat sejenak, Untara
itu pun berkata,
“Nah Agung
Sedayu. Aku ingin melihat, apakah kau hanya sekedar pandai melukis di atas
rontal-rontal itu, ataukah kau pandai juga melakukannya”
“Anak itu luar
biasa” berkata Widura,
“Kalau ia
memiliki keteguhan hati, maka ia tak akan kalah dengan aku atau Sidanti.”
Untara tersenyum.
Katanya kepada adiknya,
“Hatimu
sekecil hati kelinci. Namun agaknya sekarang kau telah menemukan harga dirimu,
sehingga karena itu hatimu akan berkembang. Dengan demikian maka kau akan dapat
menjadi seorang laki-laki yang tidak menggantungkan nasibmu kepada orang lain.”
Agung Sedayu
tidak menjawab. Tetapi ia ingin menunjukkan kepada kakaknya, apakah yang telah
yang dimilikinya selama ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar