Jilid 005 Halaman 3


Meskipun darahnya masih sesegar pada saat ia datang, namun dikurangi segala ketangkasan dan ketangguhannya. Tetapi, dalam pada itu, selain Widura dan Agung Sedayu, di antara penonton itu, seseorang memandangi perkelahian itu dengan nafas tertahan-tahan. Betapa matanya menyalakan kemarahan yang tiada taranya, dan betapa hatinya mengumpat tak habis-habisnya. Orang itu melihat peristiwa di lapangan sejak permulaan sampai saat-saat terakhir. Namun selalu saja ia menjadi kecewa dan marah. Apalagi sejak kehadiran Untara, maka berkali-kali ia menggeretakkan giginya. Tetapi ia masih saja selalu menahan dirinya.

Kini ia melihat permainan yang dilakukan oleh Untara itu. Betapa ia pun menjadi tersinggung karenanya. Ia melihat kesempatan-kesempatan untuk melumpuhkan Sidanti, namun kesempatan itu tak dipergunakan oleh Untara. Tetapi sudah tentu Sidanti sendiri tidak dapat melihat keadaan itu. Sidanti sendiri sedang memusatkan perhatiannya dalam perlawanannya, sehingga kesempatan dan jarak yang diperlukan tidak dimilikinya. Orang itu adalah Ki Tambak Wedi. Dengan menghentak-hentakkan kakinya, ia menahan segenap perasaan yang bergelora di dalam dadanya. Ia melihat betapa Agung Sedayu berhasil melampaui muridnya itu dalam perlombaan memanah. Namun di dalam hati kecilnya ia bergumam,
“Benar-benar anak setan. Kecakapan Sadewa bermain panah tercermin pada anak itu”
Sedang kini anak Ki Sadewa yang besar, Untara, sedang bertempur pula melawan muridnya. Dan ternyata anak Sadewa itu tak dapat dikalahkannya. Bahkan anak Sadewa itu telah memberi beberapa peluang kepada Sidanti. Bukankah itu suatu penghinaan bagi perguruan Tambak Wedi. Dengan nafas yang tertahan-tahan, ia melihat Sidanti masih bertempur mati-matian. Namun ia melihat juga bahwa sebenarnya Untara dengan segera dapat menghancurkan pertahanan Sidanti.
“Hem” geramnya.
Ki Tambak Wedi itu kemudian memandang berkeliling di antara orang-orang yang melihat perkelahian itu. Dadanya tiba-tiba menjadi berdebar-debar. Ia telah mencoba memaksa Widura untuk memenuhi tuntutan muridnya dan menakut-nakutinya dengan tanda-tanda yang diberikannya. Tetapi Ki Tambak Wedi itu akhirnya mengumpat habis-habisan di dalam hatinya, ketika ia melihat sebuah cemeti yang melenting jatuh di tengah-tengah arena itu pula. Meskipun ia belum tahu, betapa tinggi nilai orang itu, namun itu adalah suatu pertanda bahwa seseorang telah bersedia untuk ikut serta melibatkan diri dalam pertentangan melawannya, apabila ia ikut campur dalam persoalan anak-anak muda di Sangkal Putung itu. Tetapi sampai demikian jauh, Ki Tambak Wedi belum mengetahui, siapakah orangnya yang telah berani meletakkan diri untuk melawan Ki Tambak Wedi, yang berilmu hampir sempurna itu. Tetapi kini, ia melihat Sidanti berada dalam kesulitan. Karena itu, maka apakah ia akan berdiam diri saja, membiarkan Sidanti menjadi bahan permainan Untara? Tiba-tiba Ki Tambak Wedi itu mendesak maju. Menyusup di antara para penonton dan kemudian berusaha untuk dapat melihat setiap peristiwa dengan semakin jelas.

Pertempuran diarena itu masih saja berlangsung dengan serunya, meskipun semakin lama sudah menjadi semakin kendor. Namun serangan-serangan Sidanti masih cukup berbahaya apabila Untara sedikit kurang berwaspada. Sedangkan Untara sendiri dengan sengaja telah mengurangi tekanan-tekanannya atas Sidanti, sehingga kemudian Sidanti benar-benar mendapat kesan seperti yang diharapkan oleh Untara. Sidanti menganggap kemudian, bahwa perkelahian itu tidak akan dapat berakhir. Kedua-duanya pasti akan berhenti kelelahan. Meskipun Sidanti itu mengumpat-umpat di dalam hatinya, namun hal yang demikian itu pasti akan lebih baik daripada apabila dirinya dilumpuhkan. Dengan keadaannya itu, maka Sidanti masih akan dapat menepuk dada, bahwa Sidanti tidak dapat dikalahkan oleh seeorang yang sekalipun mendapat kepercayaan dari pimpinan tertinggi Wiratamtama. Maka Sidanti itu pun teringat pula akan perkelahiannya dengan Widura, mereka akhirnya terpaksa menghentikan perkelahian setelah mereka hampir-hampir tak mampu lagi berdiri. Kini peristiwa itu akan terulang kembali. Dan sebenarnyalah hal itu berlaku baginya. Ketika malam menjadi semakin dalam, maka tenaga Sidanti itu seakan-akan benar-benar telah habis terperas. Setiap kali, ia sendiri terdorong oleh kekuatan serangan-serangannya yang tak mengenai sasarannya. Beberapa kali ia terjatuh dan bangun kembali. Sedang Untara pun berbuat hal-hal serupa. Kadang-kadang mereka berdua terpaksa jatuh bersama-sama dan kemudian dengan susah payah bangun bersama-sama pula. Sedemikian sering hal-hal yang serupa terjadi, sehingga akhirnya Widura dan Agung Sedayu menjadi ragu-ragu, apakah Untara itu sebenarnya kelelahan ataukah ia masih dalam permainannya yang baik. Tetapi yang mereka lihat kemudian, kedua-duanya itu pun menjadi jatuh bangun berkali-kali. Dalam pada itu, Ki Tambak Wedi sudah tidak sabar lagi melihat peristiwa itu. Ia akan berbuat sesuatu sebelum Sidanti benar-benar menjadi lemas. Ia ingin menunjukkan kepada Widura dan Untara, bahwa kemauannya tak boleh diabaikan. Ia akan tetap pada pendiriannya, sepasar sejak malam kemarin. Widura harus sudah merubah sikapnya terhadap Sidanti. Meskipun rencana itu kemudian pasti akan terpengaruh oleh kehadiran Untara, namun Untara itu sendiri pun harus dapat ditundukkannya pula seperi Widura. Tetapi Ki Tambak Wedi itu pun sadar, bahwa agaknya pendirian Widura sukar untuk dapat ditundukkan. Ia telah bertekad untuk memeluk kewajibannya dengan sebaik-baiknya. Apalagi kini Untara ada di antara mereka, sehingga dengan demikian pekerjaannya akan menjadi semakin sulit.
“Aku akan hadir di antara mereka” pikir Ki Tambak Wedi,
“Dan aku akan memberikan beberapa pertunjukan, supaya Untara itu pun meyakini keadaannya, serta keadaan Sangkal Putung. Sedang apabila orang yang melontarkan cemetinya itu benar-benar ingin membuat perhitungan dengan Tambak Wedi, maka kesempatan ini pun akan aku terima pula”

Setelah mendapat ketetapan itu, maka Ki Tambak Wedi itu pun beringsut semakin maju lagi. Sekali lagi matanya beredar berkeliling untuk melihat segala kemungkinan yang ada di sekitar tempat itu. Ketika kemudian dipandanginya arena di antara lingkaran orang yang pepat, Ki Tambak Wedi masih melihat muridnya berjuang sekuat tenaganya. Namun sekali lagi ia melihat, Sidanti menyerang Untara dengan kakinya. Tetapi serangan itu dapat dihindari oleh lawannya, sehingga karena tubuhnya sudah sedemikian lemahnya, Sidanti terbawa oleh kekuatannya sendiri, terhuyung-huyung hanya beberapa langkah di samping Untara. Kalau pada saat itu Untara meloncat ke sampingnya dan menghantam tengkuknya, maka pertempuran itu pun akan berakhir. Tetapi Untara tidak berbuat demikian. Dibiarkannya Sidanti menemukan keseimbangannya kembali. Kemudian baru ia melangkah maju dan mengayunkan tangannya menyerang dada lawannya dengan gerak yang amat lamban. Sudah tentu Sidanti telah sempat menarik dirinya mundur, sehingga serangan Untara itu tidak mengenainya. Bahkan Sidanti itu masih sempat dengan tangan kanannya menghantam pergelangan tangan Untara, meskipun Untara masih cukup cepat menghindarinya. Tetapi bagi Ki Tambak Wedi, perbuatan Untara itu adalah suatu penghinaan bagi harga dirinya. Ki Tambak Wedi mengumpat tak habis-habisnya atas kekalahan muridnya berturut-turut. Karena itu maka tak ada jalan lain daripada dengan tenaganya, memaksa Untara dan Widura mengakui kelebihan Sidanti dari mereka untuk beberapa persoalan, sehingga kesempatan-kesempatan Sidanti akan menjadi lebih besar lagi dalam lingkungan Wiratamtama. Itulah sebabnya, maka tekadnya menjadi bulat. Ia harus menampakkan dirinya. Tetapi ketika sekali lagi ia mendesak maju, didengarnya seseorang mendehem di sampingnya. Mula-mula Ki Tambak Wedi sama sekali tidak menaruh perhatian kepada orang lain, namun setiap ia menyusup, maka orang itu pun selalu berada di sampingnya, dan bahkan selalu saja mendehem tak habis-habisnya. Ki Tambak Wedi itu pun kemudian berpaling. Dilihatnya di sampingnya seseorang yang sebaya dengan umurnya tersenyum kepadanya. Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Meskipun malam menjadi semakin gelap. Namun matanya yang tajam dapat melihat beberapa bagian dari wajah orang yang berdiri sambil tersenyum di sampingnya itu. Orang itu sama sekali tak menarik perhatian Ki Tambak Wedi, sehingga ia sama sekali tak mempedulikannya. Tetapi ketika ia melangkah kembali, maka sekali lagi orang itu mengikutinya, bahkan kemudian mendesaknya.

Kini Ki Tambak Wedi tidak dapat mengabaikannya lagi. Orang ini pasti bukan tidak punya maksud dengan perbuatan-perbuatannya itu. Karena itu sebagai seorang yang telah masak, maka segera pikirannya hinggap pada seseorang yang telah melemparkan cemeti kuda ketengah-tengah arena. Dan Ki Tambak Wedi pun tak mau bertanya melingkar-lingkar. Langsung ia bertanya kepada orang di sampingnya itu perlahan-lahan,
“Kaukah yang memiliki cemeti kuda itu tadi?”
Ternyata orang yang berdiri di samping Ki Tambak Wedi itu pun tidak mau berputar-putar pula. maka jawabnya lirih,
“Ya, aku”
“Hem” Ki Tambak Wedi menggeram. “Apa maumu?”
“Tidak apa-apa” jawab orang itu. “Aku juga ingin menonton seperti kau”
“Hanya menonton?” desak Ki Tambak Wedi.
“Ya” jawab orang itu, “Selama kau juga hanya menonton”
Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Kini ia telah berhadapan dengan orang yang selama ini menimbulkan bermacam-macam teka-teki padanya. Pasti orang ini pulalah yang kemarin malam telah menggagalkan maksudnya membunuh Widura dengan bunyi cambuk yang menghentak-hentak. Karena itu maka katanya perlahan-lahan pula,
“He, kaukah yang kemarin malam bermain-main dengan cambuk?”
“Ya” jawab orang itu pendek.
Sekali lagi Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Siapakah kau?”
Orang itu tertawa. Sesaat ia berdiam diri, sedang orang-orang di samping mereka, yang sedang terpukau oleh perkelahian di tengah-tengah arena itu, agaknya sama sekali tak memperhatikan percakapan itu.
Baru sesaat kemudian orang itu menjawab,
“Gringsing. Namaku Kiai Gringsing”
“Hem” kembali Ki Tambak Wedi menggeram. Nama yang dapat disebutkan oleh setiap mulut, juga setiap mulut dapat menyebut nama sekehendak hatinya. Ki Tambak Wedi itu pun segera maklum, bahwa kalau itu pasti nama yang dibuatnya untuk tujuan-tujuan tertentu. Karena itu sahutnya,
“Ternyata kau lebih beruntung daripadaku”
“Kenapa?” bertanya orang itu.
“Kau telah menabung satu kemenangan. Kau mengenal aku, tetapi aku tidak mengenalmu” jawab Ki Tambak Wedi.
“Aku sudah memperkenalkan diri” berkata orang itu.
“Hem. Aku bukan anak-anak” potong Ki Tambak Wedi.
Kemudian untuk sesaat mereka pun berdiam diri. Pertempuran antara Sidanti dan Untara menjadi semakin lambat. Masing-masing hampir tak dapat lagi menguasai dirinhya. Ayunan-ayunan tangan mereka adalah tenaga yang akan membawa mereka sendiri dalam satu tarikan yang kadang-kadang tak dapat mereka cegah, menjerumuskan mereka sehingga terguling di tanah. Tetapi mata-mata yang tajam akan meragukan keadaan Untara. Betapapun ia mencoba berbuat sebaik-baiknya namun kadang-kadang kelincahannya masih tampak juga. Tetapi sedemikian jauh, Sidanti dan orang-orang yang berdiri di sekitarnya pada umumnya tak dapat mengertinya. Bahkan di dalam hati mereka, mereka berkata,
“Sidanti benar-benar seorang yang tangguh. Ternyata ia mampu juga melawan orang yang bernama Untara itu. Seorang yang namanya menjadi buah bibir setiap prajurit di daerah selatan dan barat daya. Di sekitar gunung Merapi”.

Tetapi Widura berkali-kali menarik nafas dalam-dalam, sedang Agung Sedayu yang mengetahui keadaan sebenarnya itu pun menggeretakkan giginya. Namun mereka menyadari, betapa Untara telah mementingkan tugasnya daripada sekedar harga dirinya yang berlebih-lebihan. Gigi Ki Tambak Wedi itu pun beradu pula. seakan-akan ia sedang menahan sesuatu yang bergelora di dalam dadanya. Maka ketika kemudian ia melihat Sidanti dan Untara itu jatuh bangun berganti-ganti, Ki Tambak Wedi itu pun berkata,
“Aku akan masuk ke dalam arena”
Kiai Gringsing itu berpaling. Kemudian ia tersenyum kecil. Katanya,
“Aku ikut. Boleh?”
“Jangan membuat persoalan dengan aku. Apakah kau guru Untara atau Widura?” bertanya Ki Tambak Wedi.
Kiai Gringsing tertawa pula.
“Aneh” jawabnya,
“Apakah kau benar-benar tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu. Bukankah guru anak-anak itu telah mati?”
“Hem” Ki Tambak Wedi menggeram. Katanya,
“Mungkin kau meneruskan pekerjaan Sadewa?”
Kiai Gringsing menggeleng-gelengkan kepala. Sahutnya,
“Kau pun tahu, bahwa unsur-unsur gerak mereka hampir-hampir murni. Kalau mereka memiliki guru lain, maka kau pasti akan mengetahui”
“Hem” sekali lagi Ki Tambak Wedi menggeram,
“Persetan. Tetapi jangan ganggu aku. Apa kepentinganmu dengan anak-anak itu?”
“Tidak apa-apa. Aku bukan sanak bukan kadangnya. Tetapi sebaiknya, biarlah anak-anak itu bermain-main sesama mereka. Bukankah Untara telah berlaku bijaksana?”
“Suatu penghinaan bagi perguruan Tambak Wedi” jawab guru Sidanti itu.
“Kau terlalu perasa” berkata Kiai Gringsing,
“Jangan terlalu kau manjakan muridmu itu, supaya ia dapat menemukan kebahagiaan hidup kelak”
“Jangan gurui aku. Pergi kemana kau kehendaki. Aku akan mengajar Untara itu menilai pendapat orang lain”
“Aku ikut”
“Jangan gila”
“Biarlah anak-anak bermain-main sesama mereka. Dan biarlah kami orang-orang tua membuat permainan sendiri”

Mata Ki Tambak Wedi kini benar-benar memancarkan kemarahan yang menyala di dalam dadanya. Diamatinya wajah orang yang berdiri di sampingnya itu dengan seksama. Wajah itu sama sekali belum pernah dilihatnya. Tetapi tiba-tiba Ki Tambak Wedi itu menjadi curiga. Meskipun malam menjadi semakin gelap. Namun kemudian Ki Tambak Wedi itu melihat garis-garis yang tidak wajar pada wajah itu.
“Kenapa kau coreng-coreng mukamu?” tiba-tiba ia bertanya.
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Jawabnya,
“apakah kau melihat coreng moreng ini?”
“Aku tidak buta” sahut Ki Tambak Wedi.
“Kau benar-benar bermata tajam melampaui mata burung hantu” sahut Kiai Gringsing. Dan katanya kemudian,
“Ya. Aku agak sakit mata. Karena itu aku menggoreskan beberapa jenis obat-obatan dahi dan pelipisku”
“Hem” kembali Ki Tambak Wedi menggeram. Betapa kemarahannya melanda-landa dadanya, namun semakin lama menjadi semakin menyadari, bahwa orang yang menamakan diri Kiai Gringsing itu bukanlah seseorang yang membanggakan diri hanya karena kemenangan-kemengangan kecil yang pernah dialaminya.
“Jadi bagaimanakah maksudmu?” bertanya Ki Tambak Wedi
“Biarkan mereka hidup dalam damai. Kalau Sidanti itu tidak terlalu bernafsu untuk hal-hal yang aneh-aneh, dan kau tak mendorong-dorongnya, maka tak akan ada persoalan di antara mereka”
“Itu adalah suatu contoh dari seorang tua yang berotak beku. Ketenangan tidak selamanya baik. Dengan ketenangan itu Sidanti selamanya akan tetap di tempatnya”
“Tetapi tingkat demi tingkat harus dicapainya dengan wajar”
“Diamlah. Jangan ganggu aku”
Ki Tambak Wedi itu kemudian melangkah setapak maju di antara beberapa orang yang berdiri di sekitarnya. Namun Kiai Gringsing itu pun melangkah maju pula.
“Aku peringatkan kau sekali lagi” desah Ki Tambak Wedi.
“Peringatan buatmu sendiri” sahut Kiai Gringsing.

Kini Ki Tambak Wedi sudah tidak dapat menahan dirinya lagi. Tetapi untuk bertempur dengan orang yang menyebut namanya Kiai Gringsing itu pun masih memerlukan berbagai pertimbangan. Sidanti telah benar-benar payah. Sedang agaknya Untara masih cukup segar untuk menundukkan apabila mau. Bahkan untuk membinasakan sekali. Kalau orang yang bernama Kiai Gringsing itu tidak dapat dikalahkannya dengan segera, maka baik Sidanti maupun dirinya sendiri pasti akan menemui kesulitan. Widura, Agung Sedayu dan orang-orang Widura yang lain masih ada dalam keadaan yang segar. Betapapun mereka seorang demi seorang tak akan berarti baginya, namun kalau mereka bergerak bersama-sama dan di antaranya orang yang bernama Kiai Gringsing ini, maka keadaannya akan sangat berbeda. Setidak-tidaknya keadaan Sidanti lah yang akan menjadi sangat berbahaya. Tidak mustahil Untara menjadi bermata gelap dan membinasakannya. Karena itu, maka Ki Tambak Wedi itu ingin mengetahui sampai dimana kemampuan kekuatan Kiai Gringsing. Meskipun apa yang akan diketahuinya itu tidak tepat seperti keadaan sebenarnya, namun dengan caranya maka Ki Tambak Wedi akan dapat mengira-irakan sampai berapa jauh kemungkinan yang dimiliki oleh Kiai Gringsing itu. Maka, ketika orang itu telah berdiri di sampingnya, Ki Tambak Wedi itu pun berkata sambil menepuk bahu Kiai Gringsing,
“Ki sanak, apakah kau benar-benar tidak menghendaki aku ikut serta dalam permainan itu?”
Tetapi Kiai Gringsing pun bukan anak-anak yang menundukkan wajahnya apabila seseorang membelai pundaknya. Ketika Kiai Gringsing melihat tangan Ki Tambak Wedi bergerak untuk menepuk pundaknya, maka segera orang itu seakan-akan mengerutkan tubuhnya, sehingga ketika pundaknya tersentuh tangan Ki Tambak Wedi, kedua-duanya menjadi kagum akan kekuatan masing-masing. Sentuhan itu seolah-olah beradunya dua batang besi baja yang berlaga. Ketika Ki Tambak Wedi kemudian berpaling dan memandang wajah Kiai Gringsing, dilihatnya wajah itu tersenyum. katanya,
“Kau akan mematahkan pundakku. Tanganmu keras seperti batu”
“Hem” Ki Tambak Wedi menggeram. Orang ini benar-benar bukan orang yang sekedar menyombongkan diri. Ketika ia meraba pundak Kiai Gringsing, seluruh kekuatannya telah dipusatkannya di ujung jari-jarinya. Seandainya Kiai Gringsing tidak memiliki daya tahan yang seimbang, maka pundak itu pasti akan luka di dalam. Bahkan mungkin sebelah tangannya akan lumpuh. Apalagi orang kebanyakan, maka tulang-tulang bahunya pasti akan remuk. Tetapi orang yang menyebut dirinya Kiai Gringsing itu, ternyata telah memberikan perlawanan yang wajar tanpa menggerakkan badannya selain sekedar berkerut. Agaknya Kiai Gringsing itu telah menyalurkan kekuatan daya tahannya di pundaknya. Sehingga karena itu ketukan tangan Ki Tambak Wedi tak melukainya. Dengan demikian maka Ki Tambak Wedi benar-benar harus berpikir. Di arena, pertempuran menjadi semakin lambat. Bahkan hampir berhenti sama sekali. Sekali-sekali dilihatnya Sidanti menebarkan pandangan matanya berkeliling. Agaknya anak itu benar-benar mengharapkan kehadiran gurunya. Tetapi kini di samping Ki Tambak Wedi, berdiri seorang yang dapat mengimbangi kekuatannya.

Namun Ki Tambak Wedi agaknya belum puas dengan percobaannya. Ketukan tangannya itu belum meyakinkannya. Ia ingin sekali lagi melihat apakah ia harus mempertimbangkan orang itu benar-benar. Karena itu maka desisnya,
“Ki sanak. Aku akan mengucapkan selamat atas kesentausaan ki sanak. Pundak Ki Sanak itu benar-benar sekeras baja. Aku kira aku belum pernah melihat seorang pun dari daerah Gunung Merapi ini yang kuat seperti Ki Sanak. Dan nama Kiai Gringsing pun merupakan nama baru bagiku”
Kiai Gringsing itu pun tiba-tiba tertawa, meskipun ia berusaha untuk menahannya, sehingga satu dua orang berpaling kepadanya. Tetapi karena kemudian suara tertawa itu terputus, maka orang-orang itu pun tidak memperhatikannya lagi. Kiai Gringsing itu segera menyadai tantangan Ki Tambak Wedi, bahkan di dalam hati ia berkata,
“Tantangan yang bijaksana. Kami harus bertempur tanpa seorang pun yang mengetahuinya”
“Bagaimana ki Sanak?” desak Ki Tambak Wedi.
“Terima kasih atas ucapan selamat ini” belum lagi Kiai Gringsing selesai berkata, dilihatnya Ki Tambak Wedi mengulurkan tangannya. Kiai Gringsing pun kemudian menyambut tangan itu. Dan keduanya bersalaman. Namun tak seorang pun yang mengetahui, bahwa sebenarnya mereka itu sedang bertempur. Masing-masing mengerahkan segenap kekuatan lahir dan batinnya ke telapak tangannya, yang sedang bersalaman itu. Masing-masing menekankan jari-jarinya sekuat-kuat tenaga mereka dan berusaha meremukkan tulang-tulang lawannya. Namun ternyata mereka berdua adalah orang-orang yang benar-benar sakti. Kedua tangan itu pun seakan-akan berubah menjadi gumpalan-gumpalan besi baja yang saling himpit menghimpit. Betapa mereka berjuang untuk melumatkan tangan lawannya. Tetapi mereka akhirnya harus mengakui bahwa mereka satu sama lain tak akan dapat saling mengalahkan. Meskipun demikian, keringat mengalir dari seluruh permukaan kulit mereka, melampaui keringat mereka yang sedang bertempur, namun mereka harus menyadari, bahwa kekuatan mereka berimbang. Sedemikian kuatnya mereka memeras tenaga lahir dan batin mereka, sehingga terasa tubuh-tubuh mereka menjadi panas, dan leher mereka serasa kering. Tetapi genggaman mereka tidak juga menjadi berubah. Keseimbangan itu tetap berlangsung sehingga kemudian terdengar Ki Tambak Wedi menggeram,
“Bukan main”
“Apa yang bukan main?” sahut Kiai Gringsing.
Ki Tambak Wedi tidak menjawab, dicobanya untuk menuntaskan tenaganya, namun Kiai Gringsing pun berbuat serupa. Sehingga karenanya maka keadaan itu pun tidak juga berubah. Akhirnya Ki Tambak Wedi melihat, bahwa tidak ada gunanya pertempuran yang aneh itu diteruskan. Karena itu maka katanya,
“Aku sudah menyampaikan ucapan selamat itu”
Kiai Gringsing masih belum melemahkan genggamannya. Jawabnya,
“Terima kasih atas ucapan selamat yang cukup hangat ini”

Akhirnya keduanya sedikit demi sedikit mengurangi tekanan-tekanan pada telapak-telapak tangan mereka. Sehingga dengan demikian maka akhirnya tangan mereka itu pun terurai.
“Hem” Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Kemudian sambil tersenyum ia berkata,
“Baru sekali ini aku menerima ucapan selamat yang sedemikian hangatnya melampaui hangatnya api neraka”
“Karena itu sebabnya maka kau berani menghalang-halangi maksudku” berkata Ki Tambak Wedi tanpa menjawab kata-kata Kiai Gringsing,
“Ternyata orang yang menamakan diri Kiai Gringsing adalah orang yang mampu menyamai kekuatanku. Namun apakah ilmu kanuragan dan tata perkelahianmu dapat menyamai Ki Tambak Wedi?”
Kiai Gringsing menggeleng,
“Entahlah, aku belum pernah berkelahi melawan Ki Tambak Wedi. Sebenarnyalah bahwa aku tidak senang berkelahi seperti anak-anak berebut tulang tanpa arti”
“Omong kosong” desak Ki Tambak Wedi.
Kiai Gringsing tidak menjawab. Tetapi kini ia melihat perkelahian di arena. Dan Ki Tambak Wedi pun kemudian melihat ke sana pula. Sekali-sekali mereka masih mengayunkan serangan-serangan mereka berganti-ganti. Tetapi perkelahian itu sudah tidak merupakan perkelahian lagi. Mereka hanya sekedar berdiri berhadap-hadapan dan kadang-kadang menggerakkan tangan-tangan mereka atau kaki-kaki mereka, untuk kemudian terhuyung-huyung beberapa langkah. Kalau tangan mereka sekali-sekali beradu. Maka mereka kedua-duanya terdorong ke belakang dan jatuh bersama-sama. Kini Untara dan Sidanti itu berdiri berhadap-hadapan. Hanya mata mereka sajalah yang masih tetap menyala. Sidanti sekali-sekali masih menggeram penuh kemarahan. Namun kemudian terdengar Untara berkata,
“Sidanti, apakah hasil dari perkelahian ini?”

Terdengat gigi Sidanti gemeretak. Nyala yang memancar dari matanya itu seakan-akan ingin membakar hangus lawannya. Namun demikian ia menjawab dengan bangganya,
“Untara, ternyata namamu hanya sekedar untuk menakut-nakuti lawan-lawanmu. Di sini sekarang orang dapat melihat bahwa kau tidak lebih dari Sidanti”
“Ya” sahut Untara,
“Itukah hasil yang memang kau inginkan dari perkelahian ini, sehingga orang dapat menilai keunggulan Sidanti dari setiap orang di Sangkal Putung?”
“Ya, Sidanti ingin membuktikan, bahwa Sidanti berhak untuk menamakan dirinya sejajar dengan Untara”
“Bagus” berkata Untara,
“Kalau hanya itu yang kau inginkan, kenapa tidak kau katakan sejak tadi? Dengan demikian kita tidak perlu membuang-buang tenaga. Kau lihat bukan? Tenaga kita terbuang tanpa arti”
“Cukup berarti bagiku”
“Kau menjadi puas karenanya?”
“Belum, aku ingin menundukkanmu”
“Apakah kausangka akan berhasil?”
“Kalau tidak sekarang, pada kesempatan lain”
“Baik, kalau begitu biarlah kita bicarakan pada kesempatan lain itu. Sekarang kau sudah puas?”
Sekali lagi Sidanti menggertakkan giginya. Tetapi ia tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Ya, apakah ia sudah puas? Kalau tidak, apakah yang akan dilakukan? Sidanti itu terdiam sesaat. Tetapi untuk menutupi kegelisahannya ia bertanya,
“Apakah perkelahian ini kita lanjutkan Untara?”
Untara tersenyum pahit. Jawabnya,
“Apakah kau memandang bahwa perkelahian seterusnya akan bermanfaat bagimu?”
“Persetan. Aku bertanya kepadamu”
Sekarang Untara terdiam sesaat. Tetapi tiba-tiba kemudian ia berkata,
“Persoalan antara aku dan Sidanti telah kami anggap selesai saat ini. Terserahlah apabila pada masa-masa yang akan datang, persoalan itu akan diungkapkan kembali. Sekarang kembali ke kademangan”
“Jangan menganggap soal di antara kita sudah selesai. Soal itu baru selesai apabila Untara telah mengakui keunggulan Sidanti daripadanya” berkata Sidanti dengan sombongnya.
Tetapi Untara seakan-akan tidak mendengar kata-kata itu. Bahkan sekali lagi ia mengangkat wajahnya sambil berkata,
“Paman Widura, kembali ke kademangan”
Widura itu pun seakan-akan menjadi tersadar dari mimpinya yang dahsyat. Karena itu dengan tergagap ia menjawab,
“Baik, Untara. Kita akan segera kembali”
Kemudian kepada orang-orangnya Widura berkata,
“Tinggalkan lapangan ini. Kembali ke kademangan”

Orang-orang Widura pun kemudian mulai bergerak dari tempat mereka, setelah mereka terpaku beberapa lama. Orang-orang lain pun kemudian menghambur pula dari lingkaran itu, pulang ke rumah masing-masing dengan kesan yang aneh di dalam hati mereka. Mereka melihat perkelahian yang tanpa ujung dan pangkal itu. Sebagian dari mereka bertanya-tanya pula di dalam hati mereka, “Apakah Untara benar-benar tak mampu mengalahkan Sidanti?” Sedang orang lain berkata di dalam hatinya, “Sidanti benar-benar seorang anak muda yang luar biasa. Ternyata ia mampu melawan Untara dalam perkelahian yang tidak berakhir”
Tetapi Widura, Agung Sedayu, Ki Tambak Wedi dan Kiai Gringsing melihat apa yang sebenarnya terjadi, bahkan beberapa orang anak buah Widura pun merasakan sesuatu yang aneh dari pertempuran itu. Meskipun demikian, mereka tidak dapat mengerti, apakah yang aneh itu. Ketika orang-orang di sekitar arena itu sudah siap meninggalkan lapangan, maka terdengar Sidanti itu berkata,
“Aku tinggal di sini”
“Kau pun kembali ke kademangan, Sidanti” berkata Untara.
“Tidak” jawab Sidanti.
“Kau dengar perintah ini? Kali ini aku berbicara bukan atas nama pribadiku. Kau dengar?”
Tubuh Sidanti itu menggigil karena marah. Tetapi tubuhnya benar-benar telah lemah. Sedang gurunya masih belum juga menampakkan dirinya. Namun Sidanti itu kemudian menduga bahwa gurunya pasti memperhitungkan juga, hadirnya seseorang yang telah melemparkan cemeti kuda diarena itu.
Karena Sidanti itu masih tegak di tempatnya terdengar Untara mengulangi,
“Sidanti, kembali ke kademangan. Jangan melawan perintah”
Sidanti menggeram. Tetapi ia telah menjadi sedikit puas, bahwa orang-orang Sangkal Putung telah melihat, bahwa ia mampu melawan Untara yang perkasa dalam perkelahian yang tak berakhir. Dengan demikian, maka meskipun ia terpaksa menuruti perintahnya, namun itu adalah karena tugasnya sebagai seorang prajurit. Tetapi nilai seorang-seorang, ia adalah sejajar dengan Untara. Dan karena kebanggaannya itulah, maka ia tidak menjadi terlalu berkeras hati. Betapapun segannya, ia berjalan juga meninggalkan lapangan itu menuju kekademangan. Di sepanjang jalan ia masih dapat menengadahkan wajahnya, seakan-akan berkata kepada setiap orang yang dijumpainya,
“Inilah Sidanti, yang mampu menyamai keperwiraan Untara, orang yang mendapat kuasa langsung dari pimpinan tertinggi Wiratamtama”

Demikianlah maka satu demi satu orang-orang yang berada di lapangan itu pergi dengan kesan masing-masing. Di belakang Sidanti yang sedang menikmati kebanggaannya, berjalan Untara dan Widura. Di belakang mereka berjalan Agung Sedayu. Namun Agung Sedayu itu kini tidak lagi berjalan menunduk, tetapi wajahnya pun tengadah seperti juga Sidanti. Dan orang-orang pun memandangnya dengan penuh kekaguman. Apabila Sidanti mampu menyamai keperwiraan Untara, maka Agung Sedayu memiliki ketangkasan memanah melampaui Sidanti. Bahkan ada di antara mereka yang bertanya-tanya di dalam hati mereka,
“Apakah Agung Sedayu ini melampaui kakak kandungnya, sehingga ia pun akan sanggup mengalahkan Sidanti?”
Namun perlombaan di lapangan itu telah benar-benar berkesan di hati para penontonnya, orang-orang Sangkal Putung. Mereka itu kini tahu dengan jelas, bahkan hampir pasti, siapakah orang-orangnya yang menjadi tiang kademangannya, Sidanti, Agung Sedayu dan sekarang hadir Untara di samping Widura sendiri. Meskipun mereka ternyata seakan-akan bersaing satu dengan yang lain, namun berkumpulnya tokoh-tokoh itu di Sangkal Putung, agaknya telah memberi sedikit ketenangan kepada penduduk yang menyimpan berbagai macam perbekalan di padukuhan dan kademangan mereka itu.
Sekar Mirah kini tak dapat berlari-lari menyusul Agung Sedayu maupun Sidanti. Ayahnya membimbingnya tanpa melepaskan tangannya, sedang Swandaru berjalan agak jauh di belakang mereka sambil menuntun kudanya. Tetapi wajahnya kini telah menjadi lebih terang. Untunglah bahwa di palagan itu benar-benar tidak jatuh korban. Ia menjadi menyesal juga atas perbuatannya. Namun sebenarnya, di sudut hatinya, terasa juga kekecewaannya atas Untara. Ternyata Untara itu tidak mampu untuk melumpuhkan Sidanti. Meskipun kadang-kadang ia berpikir juga, ketika ia melihat Untara dan Widura lewat di mukanya, langkah Untara itu masih jauh lebih tegap dari langkah Sidanti yang hampir terhuyung-huyung meskipun dengan wajah tengadah. Ketika mereka telah meninggalkan lapangan, dan berjalan menyusur jalan-jalan padukuhan, Widura yang berjalan di samping kemenakannya itu tiba-tiba menggamit pundaknya,
“Untara”
Untara berpaling.
“Ya” katanya.
“Aku belum sempat bertanya kepadamu, kemana kau selama ini, namun aku masih menyimpan pertanyaan lain yang ingin aku katakan lebih dahulu kepadamu. Kenapa kau biarkan Sidanti masih menepuk dadanya?”
Untara tersenyum sambil menarik nafas. Ketika ia menoleh dilihatnya adiknya berjalan di belakangnya. Tiba-tiba terbesitlah sesuatu di dalam dadanya. Adiknya kini benar-benar telah menjadi seorang anak laki-laki. Karena itu, sebelum ia menjawab pertanyaan pamannya ia berkata seakan-akan kepada dirinya sendiri,
“Hem, Sedayu agaknya telah menemukan dirinya sendiri”
Agung Sedayu yang berjalan sambil mengangkat wajahnya itu terkejut. Tiba-tiba saja kepalanya itu ditundukkannya. Meskipun demikian, ia menjadi terharu juga mendengar kata-kata kakaknya itu. Namun ia masih berdiam diri saja.

Sesaat kemudian baru Untara itu menjawab pertanyaan Widura,
“Sidanti adalah seorang anak perasa dan pendendam. Karena itu ia sebenarnya sangat berbahaya. Biarlah ia menikmati kebanggaan-kebanggaan yang dapat sekedar membujuknya. Kalau anak itu memberontak terhadap perintah-perintah paman bersamaan waktunya dengan kedatangan Tohpati, maka keadaan paman di sini akan menjadi sangat kalut. Biarlah anak itu mendapat sekedar kepuasan dan besok kalau Tohpati itu datang, maka kita akan dapat melawannya dengan kekuatan sepenuhnya”
“Hem” Widura menarik nafas panjang-panjang. Katanya,
“Sudah aku usahakan dengan beribu-ribu cara. Aku biarkan ia berbuat sekehendaknya, meskipun kadang-kadang aku memaksanya dengan kekerasan. Namun anak itu memang mempunyai tuntutan pribadi yang berlebih-lebihan. Apalagi agaknya gurunya selalu memberinya harapan-harapan, sehingga karena itu perbuatan-perbuatannya kadang-kadang melampaui batas”
“Mudah-mudahan paman bijaksana” sahut Untara.
“Tetapi” tiba-tiba Agung Sedayu menyela,
“Apabila paman telah memanjakannya, maka ia akan bertambah berani menentang kehendak paman”
Widura dan Untara berpaling bersama-sama. Namun kemudian Widura itu tersenyum. Katanya,
“Tentu tidak mungkin kalau aku sendiri harus memaksanya dalam suatu persoalan. Anak-anak yang lain pun menganggap demikian. Namun bukankah berkali-kali aku memberi kesempatan kepadamu, Agung Sedayu? Aku mengharap bahwa kaulah, sebelum kedatangan kakakmu, seperti juga harapan anak buahku, akan dapat sedikit memberinya peringatan. Ternyata agaknya kau selama ini terlalu baik hati, sehingga kau tidak pernah melayaninya, Betapapun Sidanti itu menyakiti hatimu”
Agung Sedayu menggigit bibirnya sambil menundukkan wajahnya. Sedang Untara pun tersenyum pula karenanya. Katanya,
“Paman, apakah yang dikerjakan Agung Sedayu selama ini?”
“Ia datang sebagai pahlawan” sehut pamannya.
“Namun seterusnya ia lebih senang duduk di pringgitan siang dan malam”
“Ah” desah Agung Sedayu.
Untara tertawa. Kemudian katanya,
“Aku dengar, kau telah berhasil mengalahkan genderuwo bermata satu di tikungan randu alas, Sedayu?”

Agung Sedayu masih menundukkan wajahnya. Sudah beberapa lama ia lupa pada genderuwo itu. Dan tiba-tiba ia kini menjadi geli terhadap dirinya sendiri. Betapa ia takut kepada nama-nama yang belum pernah dikenal adanya. Genderuwo bermata satu, macan putih dari Lemah Cengkar, namun ia lebih geli lagi kalau diingatnya, lututnya dua-duanya menjadi gemetar ketika tiba-tiba Sidanti marah kepadanya, pada saat ia sedang bercakap-cakap dengan Sekar Mirah.
“Sekar Mirah. Ya, Sekar Mirah” tiba-tiba hatinya berteriak,
“Aku kehilangan setiap kesempatan bertemu dengan gadis itu, bukankah karena aku takut kepada Sidanti? Kini aku tidak takut lagi kepadanya. Dan aku tidak akan menghindari setiap pertemuan dengan gadis itu”
Tetapi yang kemudian didengarnya adalah kata-kata pamannya,
“Untara, kedatanganmu aku harap akan membawa angin baru bagi kademangan ini. Dan malam nanti jangan kau harap kau akan dapat tidur. Betapapun letihnya, kau harus bercerita kepada kami di sini, dimana kau selama ini, dan apa yang telah terjadi dengan dirimu. Berhari-hari aku dan Agung Sedayu mencarimu, namun yang kami ketemukan adalah seorang bertopeng yang menyebut dirinya Kiai Gringsing”.
Betapapun dinginnya malam, namun Untara itu pun merasa, bahwa keringatnya tidak juga menjadi kering. Ketika ia sampai di kademangan, maka pertama kali yang dilakukannya adalah mandi. Tetapi demikian ia selesai berpakaian, peluhnya telah mulai mengaliri tubuhnya kembali. Sedang dikepalanya selalu berputar-putar berbagai pertanyaan yang nanti pasti harus dijawabnya. Apakah yang akan dikatakan, seandainya seseorang bertanya kepadanya, kemanakah ia selama ini, dan apa sajakah yang sudah dilakukannya?
Tetapi akhirnya yan dicemaskannya itu pun terjadi. Ketika ia duduk di pringgitan bersama-sama dengan Widura, Agung Sedayu dan Ki Demang Sangkal Putung, maka dari pintu bermunculan para pemimpin laskar Pajang yang berada di Sangkal Putung. Satu demi satu, tanpa dipersilahkan. Mereka kemudian duduk melingkar di atas tikar anyaman di tengah-tengah pringgitan itu.

Di pendapa Sidanti duduk di tempatnya sambil menimang-nimang senjatanya yang masih terbalut wrangka di kedua ujungnya, kemudian dengan rapinya senjatanya itu diselubunginya dengan kain putih. Ketika ia melihat beberapa orang masuk ke pringgitan, ia mencibirkan bibirnya.
“Buat apa mengerumuni anak yang sombong itu?” katanya dalam hati.
“Aku sangka Untara itu setidak-tidaknya dapat menyamai kesaktian Macan Kepatihan. Tetapi ternyata ia tidak lebih baik dari Widura sendiri”
Dengan mata yang redup ia memandangi setiap orang yang berjalan didekatnya. Bahkan kemudian dengan malasnya ia berbaring sambil menguap keras-keras. Seorang prajurit yang tidak jauh daripadanya berkata,
“Ah, kakang Sidanti, kau mengejutkan aku”
‘Huh” sahut Sidanti,
“Kenapa kau tidak ikut masuk ke pringgitan saja?”
“Hanya para pemimpin kelompok yang boleh masuk. Pringgitan itu terlalu sempit” jawab orang itu.
“Kenapa kakang tidak ikut masuk dan mendengarkan cerita Untara itu?”
“Buat apa aku mendengarkan bualannya? Ternyata aku kecewa setelah aku menilai sendiri kekuatan orang yang bernama Untara itu. Dahulu aku kagum apabila aku mendengar namanya. Sekarang ternyata aku sama sekali tidak mempunyai harapan apa pun atas kehadirannya. Kalau Macan Kepatihan itu datang kembali, maka nasib kita masih akan sama saja. Apalagi agaknya Macan Kepatihan telah melihat kekuatan yang ada di Sangkal Putung. Ia pasti tidak akan datang dengan kekuatan yang sama dengan pada saat ia datang dahulu”
Prajurit itu tidak menjawab. ia pun mempunyai perasaan yang sama seperti apa yang dikatakan oleh Sidanti. Ada juga rasa kecewa di dadanya, setelah ia melihat Untara dan Sidanti bertempur. Sedang hasilnya, keduanya tak dapat saling mengalahkan. Dengan demikian, maka apa yang diharapkan dari Untara untuk melawan Macan Kepatihan akan tidak terpenuhi. Apabila kelak Macan Kepatihan itu datang beserta laskarnya yang lebih kuat, serta apabila Macan Kepatihan berhasil mengumpulkan orang-orang ternama yang tersebar, maka keadaan Sangkal Putung pasti benar-benar ada dalam bahaya. Tetapi prajurit itu tidak bertanya apapun. Perlahan-lahan ia berjalan ke halaman dan duduk termenung di atas sebuah batu. Dilihatnya beberapa kawannya yang berada di regol halaman, tampak selalu berwaspada, sedang di muka gandok dilihatnya beberapa orang tidur mendengkur sambil memeluk pedang-pedang mereka. Tetapi sebentar kemudian prajurit itu pun menjadi mengantuk pula, sehingga dengan segannya ia pun berjalan kegandok wetan, dan merebahkan diri di samping kawan-kawannya. Tetapi ia tidak berhasil memejamkan matanya. Berkali-kali ia tersadar karena kegelisahannya.

Di pringgitan, Untara terpaksa mendengarkan berbagai pertanyaan yang bertubi-tubi menghujaninya. Beberapa pertanyaan dapat dijawabnya dengan mudah. Namun yang lain telah membingungkannya. Peluh dingin mengalir di kening Untara ketika ia mendengar pamannya bertanya,
“Untara, aku telah sampai ke rumah Ki Tanu Metir, sehari setelah kau hilang. Aku tidak dapat menemukan jejakmu dan Ki Tanu Metir. Seseorang mengatakan bahwa kau telah diculik oleh gerombolan Alap-alap Jalatunda. Tetapi sekarang, tiba-tiba saja kau muncul dengan segar bugar. Apakah yang sebenarnya telah terjadi di dukuh Pakuwon?”
Untara menarik nafas dalam-dalam. Sesaat ia berpikir, kemudian ia menjawab,
“Ya, aku memang dalam kesulitan waktu itu. Tetapi seseorang telah menyelamatkan aku”
“Siapa?” bertanya Widura.
Untara itu kemudian memandang berkeliling. Satu per satu, wajah-wajah yang penuh minat memperhatikannya itu ditatapnya. Kemudian dengan hati-hati ia menjawab,
“Aku ditolong oleh seorang yang tak kukenal, karena wajahnya ditutup oleh sebuah topeng”
“Kiai Gringsing?” sela Widura.
“Ya”
Widura tertawa. Agung Sedayu pun tersenyum juga. Tetapi orang lain, yang belum pernah mengenal Kiai Gringsing menjadi terkejut karenanya. Tetapi mereka berdiam diri. Mereka menunggu pertanyaan-pertanyaan Widura selanjutnya.
Tetapi yang berkata kemudian adalah Untara,
“Kenapa paman tertawa?”
“Aku pernah bertemu dengan Kiai Gringsing”
“Lalu?”
“Aku pernah melihat jejak-jejak kuda dari kandang Ki Tanu Metir”
“Apa hubungannya dengan Kiai Gringsing?”
“Kiai Gringsing menyangkal bahwa ia pernah datang ke rumah Ki Tanu Metir”
Untara mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia pun tersenyum pula. Katanya,
“Kiai Gringsing memang orang yang aneh. Karena itu biarlah untuk sementara aku tidak bercerita tentang orang itu”

Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia memahami jawaban Untara. Kiai Gringsing pasti berpesan kepadanya, untuk merahasiakan dirinya.
“Tetapi” berkata Untara kemudian,
“Aku mengharap bahwa waktu itu tidak terlalu lama. Syukurlah kalau Kiai Gringsing sendiri datang kepada kita di sini dan bercerita tentang dirinya”.
“Bukankah Kiai Gringsing hadir juga di lapangan siang tadi?” bertanya Widura.
“Ya” sahut Untara,
“Aku melihat ciri-cirinya dilemparkan ke tengah-tengah arena, ketika seseorang melemparkan ciri-cirinya yang lain, yang agaknya Ki Tambak Wedi”
Widura mengerutkan keningnya. Kemudian ia bertanya,
“Kau kenal juga ciri Ki Tambak Wedi?”
Untara tidak menjawab. Tetapi ia tersenyum.
Beberapa orang lain yang mendengarkan cerita itu, sebagian besar sama sekali tidak tahu ujung pangkalnya. Karena itu mereka hanya berdiam diri mendengarkan. Swandaru yang kemudian duduk di belakang ayahnya pun sama sekali tidak mengerti apa saja yang sedang dipersoalkan. Tetapi pertemuan itu tidak berlangsung lebih lama lagi. Beberapa orang menjadi sangat mengantuk dan Untara sendiri menjadi sangat lelah. Karena itu katanya,
“Aku minta maaf, karena aku sangat lelah, apakah aku boleh meninggalkan pertemuan ini?”
Widura tersenyum, jawabnya,
“Pertemuan tanpa kau tidak akan ada gunanya. Karena itu, biarlah pertemuan ini berakhir. Kita harus beristirahat, meskipun kita hampir sampai ke ujung malam. Sebentar lagi kita harus sudah bangun dan menunaikan kewajiban kita masing-masing.”
Pringgitan itu sesaat kemudian menjadi sepi. Untara tidak mau tidur di pembaringan Widura. Ia lebih senang tidur di atas sehelai tikar bersama adiknya.
Ketika semuanya telah pergi, dan ketika Untara telah membaringkan dirinya di samping adiknya, maka katanya perlahan-lahan,
“Apakah yang kau kerjakan selama ini?”
Agung Sedayu menarik nafas. Jawabnya,
“Aku hampir mati kecemasan”
Untara tersenyum. Katanya,
“Kalau tidak karena terpaksa oleh keadaan, aku kira kau masih saja suka merengek-rengek. Aku turut berbangga dengan keadaanmu sekarang. Mudah-mudahan penyakitmu tidak kambuh lagi setelah aku datang”
“Mudah-mudahan” gumam Agung Sedayu. Dalam pada itu, terasa sesuatu bergolak di dalam dadanya. Ia tiba-tiba saja memiliki perasaan yang asing tentang dirinya. Tentang dunia sekitarnya. Tiba-tiba tanpa disengaja ia meraba luka di pundaknya yang telah dibalut rapi. Luka itu tidak seberapa. Tetapi luka itu seakan-akan telah membangunkannya dari tidur yang nyenyak. Apa yang telah dilakukannya di lapangan, ternyata mampu membangkitkan kebanggaan atas diri sendiri, sehingga karena itu, Agung Sedayu kini melihat kemampuan yang dimilikinya. Karena itulah maka kini ia percaya akan dirinya sendiri.

Di hari berikutnya, hampir seluruh penduduk Sangkal Putung bercerita sesamanya tentang apa yang mereka saksikan di lapangan. Mereka menjadi kagum kepada Agung Sedayu, yang dalam ketangkasan memanah dapat melampaui Sidanti. Mereka menjadi kagum pula, bahwa sebelumnya Agung Sedayu sama sekali tidak berhasrat untuk ikut serta dalam perlombaan itu.
“Alangkah rendah hatinya anak muda itu” beberapa orang di antara mereka memujinya.
Namun ada pula yang menjadi semakin kagum kepada Sidanti, atau yang menjadi kecewa terhadap Untara. Meskipun demikian, maka mereka menjadi agak tenang juga dengan kehadiran Untara. Dengan demikian maka kekuatan di Sangkal Putung itu menjadi bertambah. Tetapi dalam pada itu, penduduk Sangkal Putung menjadi cemas ketika mereka melihat kesiagaan laskar Pajang itu meningkat. Setiap hari mereka melihat, peronda-peronda berkuda hilir mudik di padukuhan mereka. Peronda-peronda berkuda yang menghubungkan satu desa dengan desa yang lain dalam lingkungan kademangan Sangkal Putung. Bahkan kesiap-siagaan anak-anak muda Sangkal Putung pun meningkat pula, gardu-gardu peronda yang dikhususkan bagi mereka pun selalu dipenuhi oleh anak-anak muda itu. Setiap saat mereka berlatih mempergunakan senjata. Sebab mereka merasa, bahwa ilmu tata berkelahi yang ada pada mereka, masih belum mencukupi dibandingkan dengan laskar Pajang, maupun laskar Jipang. Namun tekad merekalah yang agaknya telah memperkuat ketahanan mereka menghadapi setia keadaan. Sebenarnyalah Widura telah memberikan beberapa peringatan kepada laskarnya, bahwa kemungkinan Macan Kepatihan akan menyergap mereka setiap saat. Karena itulah maka setiap gardu peronda di ujung-ujung desa selalu diperlengkapi dengan alat-alat tanda bahaya yang sebaik-baiknya serta beberapa ekor kuda. Di halaman kademangan pun telah dikumpulkan beberapa ekor kuda yang cukup baik dari segenap penduduk Sangkal Putung. Setiap saat laskar Pajang itu harus bergerak cepat ke tempat-tempat yang dianggap sangat berbahaya. Sedang pada hari itu pula Untara sedang mengagumi cara adiknya untuk meningkatkan ilmunya. Untara melihat beberapa lembar rontal yang telah dilukis oleh Agung Sedayu. Dengan pengetahuan yang jauh lebih luas, Untara berhasil memberikan beberapa petunjuk kepada adiknya mengenai lukisan-lukisannya. Beberapa unsur gerak ternyata menjadi lebih mantap dan lebih sempurna. Untara mencoba mengurangi kelemahan-kelemahan yang ada di dalam lukisan adiknya.
“Nanti malam biarlah aku melihat ketangkasanmu” berkata Untara kepada adiknya,
“mudah-mudahan Tohpati tidak menyergap kita hari ini”

Sehari itu dilalui dengan berbagai ketegangan di hati anggota laskar Pajang. Dan bahkan oleh segenap penduduk Sangkal Putung. Pagi-pagi mereka sudah pergi ke warung di ujung desa, kemudian memasak agak lebih banyak dari biasanya. Apabila sewaktu-waktu datang keributan, mereka sudah menyimpan makanan di rumahnya. Bahkan beberapa orang telah mempersiapkan barang-barang yang mereka anggap berharga. Ketika seorang perempuan sibuk membungkus barang-barangnya, bertanyalah suaminya,
“Untuk apa barang-barang itu kau kumpulkan?”
“Apakah kita tidak pergi mengungsi saja kakang?”
“Kemana kita akan mengungsi?”
“Ke kademangan-kademangan sebelah”
“Tak ada gunanya. Di kademangan ini di tempatkan sejumlah laskar Pajang. Di kademangan-kademangan lain sama sekali tidak, selain hanya kadang-kadang saja dilewati oleh para peronda dari kademangan ini juga”
Istrinya termenung sesaat, namun kemudian jawabnya,
“Tetapi aku dengar, kademangan ini menjadi tujuan penyerbuan dari laskar Jipang, sebab kademangan inilah yang dianggap menjadi sumber perbekalan. Sedang kademangan lain tidak”
“Sesudah kademangan ini, akan datang gilirannya kademangan-kademangan lain. Dan kita akan mengungsi dari satu kademangan ke lain kademangan?”
Istrinya tidak berkata-kata lagi. Meloncat dari satu tempat ke tempat lain dengan seluruh anak-anaknya adalah pekerjaan yang tidak menyenangkan. Tetapi tinggal di rumah pun hatinya selalu gelisah. Sehingga kemudian suaminya berkata,
“Yang sebaik-baiknya adalah mempertahankan kademangan ini bersama-sama dengan laskar Pajang”
“Sampai berapa tahun laskar Pajang itu akan tinggal di sini? Bukankah dengan demikian akibatnya akan hampir sama?”
“Kenapa?”
“Mereka makan beras kita yang kita pertahankan dari sergapan laskar Jipang”
“Tidak seberapa. Mereka makan hanya sepenuh-penuh perut mereka. Sedang laskar Jipang akan mengambil semuanya, bahkan dengan semua benda-benda berharga dari kademangan ini”
Kembali istrinya berdiam diri. Ketika suaminya kemudian berkata lagi, hatinya berdebar-debar. Katanya,
“Nyai, sebaiknya kita pertahankan kademangan ini. Sebaiknya setiap laki-laki ikut serta. Tidak hanya anak-anak muda saja”
“Kau akan pergi juga?”
“Ya” jawab suaminya, “Seperti Ranu dan Harda”
Alangkah cemasnya istrinya mendengar kata-kata itu. Kenapa timbul perselisihan di pusat kerajaan, sehingga daerah-daerah yang jauh pun mengalamai akibatnya? Peperangan benar-benar merupakan sesuatu yang mengerikan sekali. Yang memisahkan suami-suami dari istri-istri mereka, ayah dari anak-anak mereka, dan anak dari ibu-ibu mereka. Peperangan telah mematahkan cinta manusia. Cinta sesama. Tetapi, laki-laki itu kemudian pergi juga ke banjar desa bersama dengan laki-laki yang lain. Mereka mengganti cangkul, bajak dan garu dengan pedang di genggaman tangannya.

Tidak saja anak-anak muda, kemudian orang-orang yang telah meningkat kepertengahan abad pun ikut serta menyerahkan dirinya pada pengabdian bagi tanah kelahirannya, bagi kampung halamannya. Mereka menempatkan diri di bawah pengawasan langsung Demang Sangkal Putung. Dan bagi mereka telah dibagikan tugas, untuk menjaga kademangan dan lumbung-lumbung desa pada saat-saat yang genting. Sedang anak-anak muda diperkenankan ikut dalam perlawanan langsung apabila musuh-musuh mereka benar-benar datang. Tetapi hari itu telah dilewati dengan aman. Laskar Macan Kepatihan sama sekali tidak menampakkan diri. Tetapi tidak mustahil bahwa mereka akan menyergap di malam hari.
“Setan itu benar-benar mengganggu kademangan ini” gerutu Widura, ketika malam turun.
“Mereka barangkali kini sedang tidur dengan nyenyaknya, sedang kita harus selalu berjaga-jaga menunggu kedatangan mereka”
“Pada suatu ketika, kitalah yang mengambil prakarsa. Bukan mereka. Sebab dengan demikian, keadaan kita merekalah yang menentukan” sahut Untara.
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Seharusnyalah demikian. Apabila datang saatnya, laskar Pajang lah yang harus mencari sisa-sisa laskar Macan Kepatihan untuk dimusnahkan. Malam itu seperti yang biasa dilakukan oleh Widura, adalah pergi berkeliling gardu-gardu peronda. Kali ini Widura tidak hanya pergi berdua dengan Agung Sedayu, tetapi Untara turut serta bersama mereka. Satu persatu Widura mengunjungi gardu-gardu besar, dan pusat-pusat penjagaan. Ternyata tak seorang pun dari anak buahnya yang mengabaikan segala perintahnya. Sebab sedikit kelengahan yang mereka lakukan, maka akibatnya dapat mengerikan sekali. Sehingga dengan demikian dengan penuh kesadaran mereka melakukan tugas-tugas mereka dengan penuh tanggung jawab. Yang terakhir dilakukan oleh Widura adalah pergi ke Gunung Gowok. Untara ingin melihat, bagaimanakah perkembangan adiknya selama ini. Karena itu, maka ketika mereka telah beristirahat sejenak, Untara itu pun berkata,
“Nah Agung Sedayu. Aku ingin melihat, apakah kau hanya sekedar pandai melukis di atas rontal-rontal itu, ataukah kau pandai juga melakukannya”
“Anak itu luar biasa” berkata Widura,
“Kalau ia memiliki keteguhan hati, maka ia tak akan kalah dengan aku atau Sidanti.”
Untara tersenyum. Katanya kepada adiknya,
“Hatimu sekecil hati kelinci. Namun agaknya sekarang kau telah menemukan harga dirimu, sehingga karena itu hatimu akan berkembang. Dengan demikian maka kau akan dapat menjadi seorang laki-laki yang tidak menggantungkan nasibmu kepada orang lain.”
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia ingin menunjukkan kepada kakaknya, apakah yang telah yang dimilikinya selama ini.


Halaman 1 2 3


<<< Jilid 004                                                                                                       Jilid 006 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar