Mendengar kata-kata pamannya, dada Agung Sedayu yang sudah gemetar menjadi semakin gemetar. Namun tiba-tiba terasa sesuatu yang aneh dikepalanya. Ia akan mati. Dan sebenarnya ia takut sekali kepada mati itu. Sedang kini, tanpa diduganya ia dihadapkan pada kekuasaan maut. Namun pamannya itu berkata,
“Satu-satunya
jalan untuk menyelamatkan dirimu adalah melawan”
Kata-kata itu
melingkar-lingkar saja di dalam benaknya. Betapa ia takut menghadapi lawannya,
namun betapa ia lebih takut lagi kepada maut. Karena itu maka tiba-tiba ia
dahadapkan pada dua pilihan. Mati atau melawan.
Tubuh Agung
Sedayu masih bergetar. Namun tiba-tiba ia mengangkat wajahnya, dipandangnya
wajah Sidanti yang menyala. Sesaat getar di dadanya menjadi bertambah cepat.
Namun ketakutannya kepada maut itu telah semakin mendesaknya. Ia tidak mau
mati, apalagi di tengah-tengah lapangan di hadapan beratus-ratus orang, dan di
antaranya adalah Sekar Mirah. Terasa sesuatu bergolak di dadanya. Dan karena
itulah maka tubuhnya menjadi semakin bergetar. Namun kini ia menemukan suatu
sikap untuk menyelamatkan dirinya. Dan jalan satu-satunya adalah melawan. Tak
ada jalan lain. Kalau ia masih mungkin melarikan dirinya, maka ia akan lari dan
bersembunyi. Namun ia tahu pasti, demikian ia melangkah, maka anak panah
Sidanti pasti akan hinggap di punggungnya. Karena itu Agung Sedayu tidak berani
melarikan diri. Sedayu pun terkejut ketika terdengar suara Sidanti menggelegar
ditelinganya,
“Ayo Sedayu.
Siapkan busurmu”
Sedayu
mengangkat wajahnya, dan tiba-tiba terdengar ia berkata dengan suaranya yang
bergetar,
“Swandaru,
berilah aku anak panah”
Semua yang
mendengar kata-kata itu terkejut. Dan ketegangan pun menjadi semakin memuncak.
Mereka segera akan menyaksikan suatu perang tanding antara dua anak muda yang
mereka angap memiliki kekuatan-kekuatan diluar kekuatan kebanyakan orang, sehingga
dengan demikian maka perang tanding ini pasti akan menjadi sangat dahsyatnya. Widura
pun terkejut mendengar jawaban Sedayu. Namun tiba-tiba dadanya pun bergelora.
Ia menjadi terharu melihat Agung Sedayu berusaha untuk mempertahankan hidupnya.
Tetapi meskipun demikian, perasaan khawatir merayap-rayap di dalam dada Widura,
meskipun Agung Sedayu kemudian berusaha untuk menyelamatkan dirinya, namun betapapun
juga, hatinya yang kerdil pasti masih akan mengganggunya. Dengan demikian,
Widura kembali menjadi ragu-ragu apakah Agung Sedayu akan berhasil
menyelamatkan dirinya. Tetapi seandainya terjadi sesuatu, maka lebih baik
apabila Agung Sedayu itu menghadapinya secara jantan daripada mati seperti
kelinci betina. Swandaru pun dengan tangan yang gemetar pula menyerahkan
sebatang anak panah kepada Agung Sedayu. Betapa ia menyesal. Namun semuanya
telah terjadi, dan kini ia tinggal menunggu akibat dari perbuatannya. Sementara
itu Sidanti pun telah memegang sebatang anak panah pula. kini ia maju lagi
beberapa langkah. Kemudian ia berkata dengan lantang,
“Siapakah yang
akan mengucapkan hitungan sampai sepuluh?”
Lapangan itu
menjadi hening seketika. Tak seorang pun yang menjawab. Karena itu Sidanti
mengulangi lebih keras lagi,
“Ayo, siapakah
yang akan mengucapkan hitungan?”
Kembali
lapangan itu tenggelam dalam kesepian. Gema suara Sidanti itu pun kemudian
lenyap pula. sehingga dengan demikian Sidanti menjadi semakin marah karenanya.
Ia merasa seakan-akan semua orang di lapangan itu sama sekali tidak
menghargainya. Karena itu tiba-tiba ia berkata,
“Ayo adi
Sedayu. Suapaya aku tidak disangka curang, kaulah yang mengucapkan hitungan
itu”
Agung Sedayu
tidak dapat menjawab kata-kata itu. Ia sedang sibuk berjuang melawan
perasaannya sendiri yang saling berbenturan. Namun Sidanti tidak menunggu Agung
Sedayu menjawab, ia langsung berjalan mendekati anak muda itu dan berdiri di
belakangnya beradu punggung. Sementara itu, sepasang mata yang tajam diatara
para penonton, memperhatikan perkembangan keadaan dengan seksama. Ia tersenyum
ketika melihat Sedayu menerima sebatang anak panah dari Swandaru. Ia tersenyum
pula ketika melihat Sedayu menempatkan anak panah di tali busurnya. Namun
meskipun demikian, orang yang bermata tajam itu dapat menilai apakah kira-kira
yang akan dilakukan oleh Agung Sedayu. Seandainya Agung Sedayu itu berhati
jantan, maka kekalahannya tak usah dikhawatirkan. Namun di dalam dada orang itu
bergolaklah perasaan seperti perasaan yang tersimpan di dalam dada Widura, dan
karena itu pula ia menjadi cemas akan nasib anak muda itu. Dalam pada itu,
Sidanti sudah tidak sabar lagi. Ia sudah berdiri tegak di belakang Agung Sedayu
beradu punggung. Namun Agung Sedayu masih belum mulai dengan hitungannya.
Sehingga Sidanti sekali lagi berteriak,
“Mulailah adi
Sedayu. Kalau tidak akulah yang akan menghitung, dan aku akan melangkah menurut
irama hitungan itu. Aku tidak peduli apa yang akan kau kalukan, namun sesudah
hitungan kesepuluh aku akan melepaskan anak panahku ini”
Debar di dada
Agung Sedayu menjadi semakin cepat dan cepat saja. Sedang mulutnya masih saja
terbungkam. Ia sengaja tidak mau mulai dengan mengucapkan hitungan.
Dibiarkannya Sidanti menghitungnya. Ia ingin dapat memusatkan segenap kekuatan
yang ada padanya untuk menindas perasaannya. Perasaan yang selalu mengganggunya.
Bahkan kemudian dicobanya untuk membulatkan tekadnya.
“Kalau aku
ingin menghindari kematian, aku harus melawan. Menghentikan sumber gerak dari
terkaman kematian itu.”
Sidanti
kemudian benar-benar tidak sabar lagi. Apalagi ketika dilihatnya matahari telah
semakin rendah di atas cakrawala. Dengan agak silau Sidanti memandang
punggung-punggung bukit disebelah barat, sebagaimana ia menghadap. Kemudian
katanya,
“Lihat,
matahari hampir terbenam.”
Tetapi Agung
Sedayu masih berdiam diri, sehingga Sidanti yang telah kehabisan kesabaran itu
berteriak,
“Aku akan
mulai dengan hitungan itu.”
Anak muda yang
sedang dibakar oleh nyala kemarahan itu tidak menunggu lebih lama lagi. Maka
terdengarlah suaranya lantang,
“Satu”
kemudian, “Dua” dan sejalan dengan itu, kakinya pun terayun maju, selangkah
demi selangkah. Pada saat yang bersamaan Agung Sedayu pun bergerak pula,
setapak demi setapak.
Tetapi
tiba-tiba terdengar sebuah tawa yang lunak bergetar di antara para penonton
yang berjejalan itu. Meskipun demikian suara itu telah mengejutkan setiap orang
yang berdiri di lapangan. Apalagi ketika di antara derai tertawanya terdengar
kata-katanya,
“Sidanti,
ternyata kau curang.”
Langkah dan
hitungan Sidanti pun terhenti pula. Mendengar kata-kata itu nyala di dalam
dadanya serasa tersiram minyak. Dengan serta-merta ia berpaling sambil
berteriak,
“tidak. Aku
tidak curang” namun Sidanti tidak segera dapat melihat orang itu. Orang yang
telah mentertawakannya.
Sementara itu
terdengar orang itu berkata pula,
“Kenapa kau
memilih arah itu? Bukankah dengan demikian kau mengharap, bahwa apabila
hitunganmu telah sampai hitungan ke sepuluh, dan Agung Sedayu itu pun berbalik
maka sinar matahari yang silau ini akan melindungimu”
“Gila” teriak
Sidanti,
“Siapakah
kau?” Sidanti benar-benar tersinggung mendengar kata-kata itu. Memang, keadaan
itu pun mendapat perhatiannya pula, dan bahkan diperhitungkannya. Tetapi ketika
seseorang menebak dengan tepat, maka kemarahannya menjadi semakin menggelegak. Bukan
saja Sidanti namun Agung Sedayu, Widura, dan bahkan setiap orang menjadi sibuk
mencari orang yang berkata demikian itu. Setiap orang dengan menegakkan
lehernya memandang ke satu arah, ke tempat orang yang telah menghentikan perang
tanding yang mendebarkan itu. Dan akhirnya mereka melihat juga. Melihat orang
yang berbicara itu sedang berjalan menyibak orang-orang yang berdiri berjejalan
di hadapannya. Kata-kata orang yang belum diketahui itu pun merupakan sebuah
singgungan pada perasaan Widura. Kenapa ia tidak melihat ketidak adilan itu?
Baru kemudian ia menyadari, bahwa alangkah berbahayanya seandainya pertandingan
itu berlangsung. Demikian Agung Sedayu memutar tubuhnya, maka segera ia akan
segera menjadi silau karena matahari sudah sedemikian rendahnya. Ternyata
kemudian orang lainlah yang memberi peringatan akan hal itu. Bukan dirinya
pemimpin laskar Pajang yang bertanggung jawab di Sangkal Putung. Karena itu
Widura pun segera ingin tahu, siapakah orang itu. Dan orang itu pun datanglah
kepadanya. Semakin lama menjadi semakin dekat menyusup di antara penonton yang
sengaja memberi jalan, sehingga akhirnya, muncullah orang itu di tengah-tengah
lingkaran. Demikian yang muncul dari antara para penonton, maka berdesirlah
dada Widura. Betapa ia terkejut melihat kehadirannya. Seorang anak muda yang
sebaya dengan Sidanti. Bertubuh kekar padat berwajah tenang dan terang. Dengan
sebuah senyum yang segar anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi sebelum
Widura sempat berkata sesuatu karena getar dadanya, terdengar Agung Sedayu
seakan-akan menjerit tinggi,
“Kakang.
Kakang Untara. Kaukah itu?”
Untara, ia
sebenarnyalah anak muda itu Untara, berpaling kepada adiknya. Kini ia tertawa.
Suara tertawanya masih selunak seperti suaranya yang pertama-tama
diperdengarkan. Kemudian terdengar ia berkata,
“aku datang
untuk menyaksikan pertunjukkan yang diselenggarakan oleh paman Widura”
Sekali lagi
dada Widura berdesir. Dan yang didengarnya kemudian adalah suara ribut di
antara penonton. Ternyata mereka terkejut pula melihat kehadiran anak muda itu,
apalagi setelah Agung Sedayu menyebut namanya, Untara. Jadi itulah orangnya
yang bernama Untara, kakak Agung Sedayu. Dengan demikian, maka kembali para
penonton itu berjejalan mendesak maju. Mereka ingin melihat wajah anak muda
yang namanya telah jauh lebih dahulu hadir daripada orangnya. Dada Widura kini
telah menjadi tenang kembali. Dengan sebuah senyum yang tulus ia mendekati
kemenakannya. Diulurkannya tangannya sambil berkata lirih,
“Aku tidak
dapat mencegahnya”
Untara
menyambut uluran tangan pamannya. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia
berkata,
“aku senang
melihat perang tanding ini. Namun aku ingin melihat perang tanding ini berjalan
dengan sempurna”
“Suatu
kekhilafan, Untara” sahut Widura.
Sekali lagi
Untara tertawa. Wajahnya yang terang itu kemudian memandang berkeliling. Setiap
wajah yang dipandangnya, maka tanpa sengaja, wajah itu mengangguk, dan dengan
rendah hati Untara pun menganggukkan kepalanya pula.
Sidanti yang
melihat kehadiran Untara itu dadanya berdentang pula seperti melihat hantu yang
paling dibencinya. Wajahnya yang merah membara itu seakan-akan benar-benar
telah menyala. Kini ia melihat Untara itu berdiri di hadapannya. Sedang
orang-orang di sekitarnya telah mendesak maju sekedar ingin melihat wajah
Untara itu. Dengan demikian, maka Sidanti itu pun telah kehilangan segenap
pertimbangannya. Maka semua orang yang berada di lapangan itu tiba-tiba
terkejut ketika mereka mendengar Sidanti itu berteriak,
“Minggir.
Pertandingan akan tetap berlangsung terus. Jangan hiraukan orang yang tidak
tahu menahu persoalannya”
Untara
mengerutkan keningnya. Ketika ia berpaling kepada Widura, maka Widura itu pun
memandangnya, seakan-akan minta pertimbangan kepadanya.
Untara
mengangkat bahunya, katanya,
“Kekuasaan di
daerah ini berada di tangan paman Widura. silahkan. Aku hanya ingin melihat
apakah pertandingan ini akan berlangsung dengan jujur”
“Jangan
menyindir” teriak Sidanti.
“Aku tahu
maksudmu. Meskipun semula aku tidak memperdulikan matahari itu, namun
seandainya hal-hal yang tak berarti itu harus dipertimbangkan, baiklah kita
menghadap arah utara dan selatan”.
Kembali
terdengar Untara tertawa, sambil berkata,
“Jangan marah
Sidanti.”
Terasa
kata-kata itu menusuk jantung Sidanti seperti tusukan sembilu. Dengan menggeretakkan
gigi ia berkata lantang,
“Nah Sedayu. Kau
dengar?”
Sedayu yang
seakan-akan terpesona karena kehadiran kakaknya itu, tiba-tiba seperti
terbangun dari mimpinya. Ia terkejut ketika ia merasa Sidanti mendorongnya. Dan
didengarnya sekali lagi Sidanti berteriak,
“Bersiaplah”.
Seperti
seorang anak yang mengharapkan sesuatu dari bapaknya Agung Sedayu memandang
wajah kakaknya. Dan tiba-tiba dilihatnya kakaknya itu mengangguk kepadanya.
Hanya mengangguk, namun anggukan kepala itu seperti telah mengalirkan suatu
kekuatan baru di dalam hatinya. Kehadiran Untara yang tiba-tiba itu,
benar-benar memperbesar hati Agung Sedayu. Karena itu, maka dengan gerak yang
lebih tenang kini ia berdiri menghadap ke utara, sedang Sidanti berdiri di
belakangnya menghadap ke selatan.
Dan ketika
kemudian Sidanti hampir mengulangi hitungannya, terdengarlah Untara berkata,
“Biarlah aku
menolong kalian. Akulah yang akan menghitung sampai bilangan kesepuluh”
“Bagus” teriak
Sidanti. “Mulailah”
Untara
berjalan mendekati mereka yang telah berdiri beradu punggung itu. Terdengar ia
bergumam,
“Aku telah
melihat pertandingan ini sejak permulaan. Dan aku mengagumi kalian yang telah
melakukan permainan yang aneh-aneh. Namun ternyata kalian hanya memanah
benda-benda mati. Sekarang kalian akan memanah benda-benda yang hidup, yang
mungkin mengelakkan diri dari kejaran anak panah kalian. Benar-benar pekerjaan
yang tidak terlalu mudah”
“Mulailah”
potong Sidanti tidak sabar. Tetapi kata-kata Untara itu seakan-akan memberikan
petunjuk-petunjuk baru bagi Agung Sedayu. Memberikan petunjuk bahwa dalam
perang tanding yang demikian, maka mereka diperkenankan untuk mengelakkan
serangan lawan. Maka akhirnya Untara itu pun mulai dengan hitungannya. Untara
itu kini berdiri tegak. Sesaat ia memandang orang-orang yang melingkari mereka.
Kemudian dengan tenang ia berkata kepada para penonton,
“Mundurlah
kalian. Jangan berdiri di ujung utara dan selatan. Kalau anak panah itu nanti
tidak mengenai sasaran, maka kalianlah yang akan terkena”
Penonton di
ujung utara dan selatan itu pun mendesak mundur. Mereka menjadi takut, kalau
justru dada merekalah yang akan tembus oleh anak panah-anak panah itu. Namun
setiap kata-kata Untara itu, semakin meyakinkan Agung Sedayu, bahwa ia masih
mungkin untuk menyelamatkan dirinya dari maut. Ia masih mungkin mengelak, dan
panah-panah itu masih mungkin tidak mengenai sasaran.
Tetapi Sidanti
menjadi semakin tidak sabar. Dengan marahnya ia berteriak sekali lagi,
“He Untara.
Apakah kau tidak sanggup menghitung?”
“Baiklah”
sahut Untara. “Sekarang bersiaplah”
“Aku sudah
siap sejak kau belum menampakkan dirimu” jawab Sidanti.
Untara
tersenyum. kemudian selangkah ia maju. Dan kini mulailah ia menghitung,
“Satu…dua…”
Suasana
meningkat menjadi semakin tegang, semakin tegang, sejalan dengan
bilangan-bilangan yang disebutkan Untara. Untara sendiri sebenarnya menjadi
cemas juga, seperti Widura yang tegang kaku seperti patung batu. Namun baik
Untara maupun Widura, bahkan beberapa orang lain, Hudaya, Citra Gati, Swandaru
dan beberapa orang lagi, ternyata berdoa di dalam hatinya, setidak-tidaknya Sedayu
tidak menjadi binasa karenanya. Kini bilangan-bilangan yan diucapkan Untara
sudah semakin tinggi.
“Enam…tujuh…”
Dan lapangan itu menjadi semakin hening. Tetapi dalam pada itu, tekad di dalam
dada Agung Sedayu menjadi semakin bulat. Ia tidak mau mati. Dan akhirnya
sampailah hitungan itu pada akhirnya. Seperti bisul yang akan pecah disetiap
ubun-ubun penonton, terdegarlah Untara menyebut bilangan terakhir dengan suara
gemetar,
“Sepuluh ….”
Sidanti yang
dibakar oleh kemarahan, hampir tidak sabar menunggu bilangan yang kesepuluh.
Dan ketidak sabarannya itu sama sekali tidak menguntungkannya. Demikian ia
mendengar Untara menyebut bilangan kesepuluh itu, dengan serta-merta ia memutar
tubuhnya sekaligus menarik busurnya. Hanya sesaat ia membidikkan panahnya, dan
panah itu dengan cepatnya meluncur ke dada Agung Sedayu arah ke kiri. Arah
jantung. Tetapi Agung Sedayu pun telah memutar tubuhnya pula. ia tidak
menyangka bahwa lawannya bertindak secepat itu. Ia sama sekali belum pernah
melihat, mengetahui dan apalagi mengalami perang tanding semacam itu, sehingga
karena itu ia masih ragu-ragu untuk melakukannya meskipun tekadnya untuk
menghindari maut telah bulat di dalam hatinya. Karena itu, ternyata Sidanti
berhasil mendahuluinya. Dan sebenarnya Sidanti adalah pembidik yang baik. Panah
itu dengan lajunya menuju ke sasarannya dengan tepat. Dada kiri Agung Sedayu. Tetapi
Agung Sedayu itu pun sebenarnya bukan sebuah patung. Di dalam tubuhnya
tersimpan berbagai macam ilmu yang tidak dapat diabaikan. Namun ilmu-ilmu itu
seakan-akan tersimpan dalam kotak yang tertutup. Kini ia melihat sebuah anak
panah meluncur dengan cepatnya, menuju ke dadanya. Karena itu, dengan gerak
naluriah maka Sedayu yang memiliki ketangkasan yang tinggi itu pun segera
bergesar setapak sambil memiringkan tubuhnya. Namun panah Sidanti terlampau
cepat. Betapapun cepatnya gerak Agung Sedayu, namun ia tidak mampu menghindari
anak panah itu sepenuhnya. Sehingga dengan cepatnya panah itu mematuk lengan
kirinya. Tetapi untunglah bahwa anak panah itu tidak mengenai bagian yang
penting pada lengannya itu, sehingga anak panah itu pun kemudian bergeser dan
jatuh di samping Agung Sedayu. Meskipun demikian, maka segera sepercik darah
mengalir dari luka itu. Semakin lama menjadi semakin deras. Tampaklah Agung
Sedayu menyeringai menahan sakit. Tetapi hanya sesaat. Ternyata darah yang
mengalir dari lukanya itu telah menghangatkan hatinya. Kini ia telah terluka,
dan ternyata demikianlah rasa sakit yang menggigit pundaknya. Rasa sakit itu
kini tidak saja ditakutkannya, namun sudah dirasakannya. Dan rasa sakit itu
ternyata tidak seperti apa yang dibayangkannya. Darah yang mengalir dari
lukanya itu bukanlah pertanda akan kematiannya. Dan meskipun kini darah itu
telah mengalir, tetapi ia masih tetap berdiri tegak dan hampir luka itu dapat
diabaikannya. Tiba-tiba timbullah perasaan heran di dalam dadanya. Apakah hanya
perasaan ini yang harus ditanggungnya. Alangkah ringannya. Bahkan berkatalah
Agung Sedayu di dalam hatinya,
“Jadi ternyata
aku tidak mati. Aku ternyata dapat juga membebaskan diri dari kematian itu. Dan
kini aku telah melakukannya. Perang tanding”
Terasalah
sesuatu bergolak di dalam dada Agung Sedayu. Terasa seakan-akan ia telah
melampaui suatu masa yang tidak pernah dibayangkannya. Terasa seakan-akan ia
telah menerobos suatu batas yang selama ini mengungkungnya. Dan sebenarnya
dinding yang memagari Agung Sedayu kini telah terpecahkan. Dan lenyaplah
seluruh perasaan takutnya. Kini Agung Sedayu itu tidak takut lagi kepada luka,
kepada darah dan kepada maut sekalipun. Sebab ternyata ia mampu menghindari
maut, apabila Tuhan belum menghendakinya.
“Ya” katanya
dalam hati, sebagai seorang yang percaya kepada Tuhan, akhirnya Sedayu itu
menemukan keyakinan,
“Aku tidak
perlu takut mati. Sebab kematian adalah takdir Tuhan. Ternyata kali ini aku
telah bebas dari kematian itu, karena Tuhan belum menghendakinya”.
Bahkan kini
Agung Sedayu mengangkat wajahnya, dipandanginya Sidanti yang berdiri gemetar
menahan marah, duapuluh langkah di hadapannya. Di tangannya kini masih tergenggam
sebatang anak panah. Sedang Sidanti telah melepaskan satu-satunya anak
panahnya. Ketegangan di lapangan itu segera sampai kepuncaknya. Dengan tajamnya
Agung Sedayu menandang lawannya. Sidanti, yang dalam pandangan mata Sedayu,
kini tidak lebih daripada dirinya sendiri. Sidanti itu tiba-tiba bukanlah
seorang yang menakutkan lagi. Agung Sedayu, meskipun pundaknya telah terluka,
namun luka yang tidak begitu dalam itu sama sekali tidak berpengaruh padanya.
Kini ia dapat berbuat apa saja atas lawannya. Betapapun tangkasnya lawannya
itu, namun ia mempunyai banyak waktu untuk membidiknya, menarik busurnya
dalam-dalam dan melepaskan anak panah secepat tati. Dalam keadaan yang
demikian, alangkah sulitnya untuk menghindari, sebab setiap kali ia dapat
melepaskan anak panahnya dengan tiba-tiba. Sidanti masih berdiri tegak seperti
tonggak. Kini tubuhnya bergetar semakin keras. Kemarahannya benar-benar telah
memuncak sampai ke ubun-ubunnya. Meskipun demikian ia tidak gentar menghadapi
panah Agung Sedayu. Dengan kecepatannya bergerak ia yakin bahwa ia mampu
menghindari anak panah lawannya. Tetapi Agung Sedayu itu masih belum membidik
lawannya. Meskipun kini ia sudah dapat melepaskan diri dari sebuah belenggu
yang selama ini mengungkungnya dalam satu dunia yang gelap, namun masih belum
terlintas di dalam angan-angannya untuk membunuh seseorang. Itulah sebabnya
maka ia masih berdiri dengan ragu.
Dalam pada itu
tiba-tiba terdengar suara Sidanti serak,
“He Sedayu,
apa yang kau tunggu?”
Agung Sedayu
terkejut mendengar suara itu. Sekali lagi ia menatap wajah lawannya dengan
tajamnya. Wajah yang keras dan penuh dendam. Namun, betapa ia menjadi muak
melihat wajah Sidanti, tetapi perasaan itu belum dapat memaksanya untuk mencoba
membunuh seseorang. Dan kembali Agung Sedayu berdiri termangu-mangu. Lapangan
kecil itu kini benar-benar dikuasai oleh kesenyapan yang tegang. Matahari di
langit menjadi semakin rendah. Warna-warna merah dengan segarnya membayang di
ujung-ujung pepohonan dan menyangkut di tepi-tepi gumpalan mega di langit.
Sekali-sekali tampak di udara burung-burung cangak berbondong-bondong terbang
pulang ke sarangnya. Melintas dari arah barat ketimur.
Dalam
kesenyapan itu, tiba-tiba terdengar suara Untara dengan nada yang rendah,
“Agung Sedayu.
Pertandingan ini akan segera selesai apabila kau telah melepaskan anak panahmu
itu”
Agung Sedayu
menjadi semakin bimbang. Dicobanya untuk menenangkan perasaannya. Dan dicobanya
untuk memandang dada Sidanti. Tetapi, kembali ia tidak dapat memaksa dirinya
untuk membunuh seseorang meskipun orang itu telah bertekad untuk membunuhnya. Yang
terdengar kemudian kembali suara Untara,
“Agung Sedayu,
adalah tidak bijaksana untuk membunuh lawan yang sudah tidak berdaya”
Agung Sedayu
berpaling kepada kakaknya, seakan-akan ia telah menemukan suatu penyelesaian
yang baik bagi perselisihannya. Ia dapat mengerti kata-kata kakaknya,
sebagaimana ia selalu mendengar cerita ayahnya dahulu, bahwa penyelesaian dari
persengketaan tidak harus ditandai dengan kematian. Tetapi tanpa
disangka-sangka, maka Agung Sedayu itu mendengar suara Sidanti menggelegar,
“Agung Sedayu,
aku bukan pengecut yang minta kau kasihani. Ayo kalau kau jantan. Cobalah
membunuh Sidanti”
Agung Sedayu
mengangkat keningnya. Namun Untara itu berkata pula,
“Anak panah
yang sebatang itu hakmu Sedayu. Kemana saja kau bidikkan, maka perang tanding
ini sudah selesai. Dan semua persoalan pun selesai pula”
“Jangan turut
campur Untara. Urusan ini sama sekali bukan urusanmu” bentak Sidanti sambil
menggertakkan giginya karena marah.
Tetapi Untara
seakan-akan tidak mendengar kata-kata Sidanti. Bahkan Widura pun kemudian
berkata,
“Kau benar
Untara”
Agung Sedayu
masih tegak dengan penuh kebimbangan. Ia kini telah berhasil menerobos dinding
yang menyekapnya dalam ketakutan. Namun ia masih belum dapat berbuat lebih jauh
daripada melihat kenyataan diri dan melihat kekuasaan yang menguasai hidupnya
dan hidup orang-orang lain. Karena itu, ia menjadi semakin bimbang. Membunuh
adalah perbuatan yang melawan kehendak Tuhan. Dalam kebimbangan itu tiba-tiba
Agung Sedayu melihat serombongan burung cangak terbang rendah melintas di
lapangan. Dan tiba-tiba pula ia ingin melepaskan ketegangan yang mencekam
dadanya. Dengan serta-merta, ia mengangkat busurnya. Dan sesaat kemudian
satu-satunya anak panahnya itu meloncat dengan cepatnya, menyambar seekor
cangak yang terbang dengan tenang dan perlahan-lahan di atasnya. Semua orang
terkejut melihat perbuatan Agung Sedayu. Mereka hanya sesaat melihat Agung
Sedayu mengangkat busurnya. Dan sesaat kemudian mereka sudah melihat, seekor
dari burung-burung cangak itu terpelanting dan jatuh di tanah. Agung Sedayu
sendiri terkejut melihat hasil bidikannya. Cangak yang sama sekali tidak tahu
menahu persoalannya itu tiba-tiba jatuh menjadi korbannya. Namun, adalah lebih
baik melepaskan ketegangan di dadanya dengan membunuh seekor burung daripada
membunuh Sidanti. Tanpa diduga-duga sebelumnya, maka tiba-tiba semua orang yang
berdiri di lapangan itu pun kemudian melepaskan ketegangan yang selama ini
mencengkam dada mereka. Dengan serta-merta meledaklah sorak-sorai yang gemuruh
dengan dasyatnya, sedahsyat gunung Merapi itu meledak. Mereka bersorak karena
mereka melihat akhir dari perang tanding itu tanpa jatuhnya korban. Mereka
bersorak pula karena mereka melihat ketangkasan Agung Sedayu. Beberapa orang
dari mereka bergumam,
“Alangkah
dahsyatnya anak muda itu”
Tetapi, bagi
Sidanti, apa yang terjadi itu seakan-akan merupakan tamparan yang langsung
mengenai wajahnya. Karena itu, maka darahnya menjadi seakan-akan mendidih. Ia
sudah tidak ingat lagi apakah yang sebaiknya dilakukan. Dengan gigi yang
gemeretak ia meloncat maju sambil berteriak,
“Perang
tanding ini belum selesai. Aku tantang kau dengan cara yang lain”
Teriakan
Sidanti itu benar-benar mengejutkan. Semua orang yang mendengar tertegun heran.
Bahkan Widura, Untara dan bahkan Agung Sedayu sendiri, mereka melihat Sidanti
dengan wajah yang menyala-nyala datang mendekati Sedayu. Dilemparkannya
busurnya ke tanah, lalu berkata,
“Agung Sedayu.
Ada seribu macam cara untuk melakukan perang tanding. Marilah kita pilih salah
satu di antaranya. Tidak mempergunakan jarak yang sejauh duapuluh langkah,
tetapi kita lakukan dalam jarak yang dekat”
Agung Sedayu
menjadi bingung. Ia telah menghindari kemungkinan yang lebih buruk dari perang
tanding yang baru saja dilakukan. Ia dengan sengaja tidak membidik lawannya
dengan anak panahnya. Tetapi kini bahkan ia dihadapkan pada kemungkinan yang
lebih jelek. Namun dengan demikian, Hudaya, Citra Gati, Sendaya dan orang-orang
lain menjadi semakin muak melihat kesombongan Sidanti. Hampir-hampir saja
mereka tidak dapat mengendalikan diri mereka pula. Tetapi yang maju ke depan
adalah Widura,
“Cukup
Sidanti. Jangan membuat persoalan menjadi lebih parah”
Tetapi dengan
kasarnya Sidanti menyahut,
“Apa pedulimu.
Persoalan ini adalah persoalan antara Sidanti dan Agung Sedayu”
“Tetapi aku
kali ini tidak akan mengijinkan” berkata Widura pula.
“Aku tidak
perlu ijinmu” bantah Sidanti.
Widura itu pun
kemudian menjadi marah pula. meskipun demikian ia tetap pada pendiriannya,
bahwa ia tidak ingin melihat orang-orangnya menjadi hancur karena menikam dada
sendiri, sementara Macan Kepatihan sudah soap untuk menerkam mereka. Karena itu
maka katanya,
“Simpanlah
tenaga kalian. Marilah kita adakan perlombaan yang lain. Kalau kalian tetap
pada pendirian kalian ingin melihat siapakah yang lebih unggul di antara
kalian, nah perlihatkanlah dalam perlawanan kalian atas Macan Kepatihan.
Siapakah yang mampu membunuh Macan Kepatihan, maka ialah yang menang”
“Aku tidak
akan menunggu sampai kesempatan itu datang” jawab Sidanti.
“Biarlah kita
melakukannya sekarang. Yang menanglah yang kelak harus membunuh Macan
Kepatihan. Kalau tidak biarlah ia dibunuh saja sama sekali”
“Aku tidak
mengijinkan” berkata Widura tegas-tegas.
“Persetan”
teriak Sidanti. Kemudian kepada Agung Sedayu ia berkata,
“Bersiaplah
Agung Sedayu. Marilah kita bertempur tanpa senjata. Kita akan sampai pada suatu
kepastian, siapakah yang akan mati di antara kita. Jangan berhenti sebelum
keputusan itu jatuh”
Dada Agung
Sedayu itu pun bergelora. Setelah darah tertumpah dari luka di pundaknya itu,
tiba-tiba Agung Sedayu kini seolah-olah telah menemukan dirinya sendiri dalam
nilai-nilai yang sewajarnya. Karena itu tiba-tiba terdengar anak muda itu
menggeram. Dengan tatagnya ia berkata,
“Kalau itu
yang kau kehendaki Sidanti, marilah aku layani”
Kembali
suasana menjadi semakin tegang. Widura benar-benar terkejut mendengar jawaban
Agung Sedayu. Jawaban yang sama sekali tak disangka-sangka. Dan sebenarnya
memang Widura tidak tahu apa yang sudah bergolak di dalam dada Agung Sedayu.
Setelah ia merasakan luka di tangannya, seakan-akan tumbuhlah kepercayaannya
pada diri sendiri, bahwa Sidanti bukanlah seorang yang tak dapat dikalahkan. Untara
tersenyum di dalam hati mendengar jawaban Agung Sedayu. Katanya dalam hati,
“Kalau anak
itu selalu ikut saja bersama aku, maka tak akan ditemukannya kepercayaan pada
dirinya. Agaknya keadaannya selama ini telah memaksa dirinya untuk mencoba
menggantungkan nasibnya kepada diri sendiri”. Namun meskipun demikian, Untara
tidak menghendaki perkelahian itu berlangsung. Ia dapat mengerti sepenuhnya,
apa yang sedang dijaga sebaik-baiknya oleh Widura. Karena itu, maka Untara itu
pun berkata,
“Agung Sedayu.
Tidak seharusnya setiap tantangan kau terima. Kau dapat menolaknya untuk
kepentingan yang lebih besar dari kepentingan diri kita sendiri. Pertandingan
hari ini sebenarnyalah telah selesai. Laskar Pajang di Sangkal Putung hanya
diperkenankan melakukan perlombaan memanah. Lebih daripada itu tidak. Bahkan
kalian telah melakukannya melampaui kebiasaan, dimana kalian mempergunakan diri
kalian untuk sasaran”
“Jangan ikut
campur Untara” teriak Sidanti keras-keras.
“Kedatanganmu
kemari sama sekali tidak kami harapkan. Pergilah dan kalau ingin menonton,
nontonlah. Jangan ribut”
“Sidanti”
jawab Untara,
“aku mencoba
melihat jauh seperti yang dikatakan paman Widura. Jangan mempertajam
pertentangan di antara kita sendiri”
“Aku tidak
perlu mendengar sesorahmu” bentak Sidanti.
“Jangan gurui
aku. Aku tahu apa yang akan terjadi di Sangkal Putung. Kau sangka tanpa Agung
Sedayu pekerjaan di Sangkal Putung ini tidak akan selesai?”
Untara menarik
alisnya. Sebelum ia menjawab, didengarnya Agung Sedayu berkata,
“Kakang,
berilah aku kesempatan”
Untara menjadi
heran pula mendengar tekad adiknya. Bahkan kemudian Agung Sedayu itu berkata
pula kepada Widura,
“Paman,
biarlah aku mencobanya”
“Tidak Sedayu”
jawab Widura dan Untara hampir bersamaan.
Rupanya Agung
Sedayu itu pun menjadi kecewa. Ledakan yang meronta-ronta di dalam dadanya
setelah selama ini terkekang dalam suatu himpitan ketakutan, seakan-akan sedang
mencari salurannya. Karena itu betapa tak terduga arus yang melanda dada Agung
Sedayu itu. Meskipun demikian, Agung Sedayu adalah seorang anak yang patuh
kepada kakaknya sejak masa kecilnya. Karena itu, maka ia tidak akan dapat
memaksa seandainya kakaknya mencegahnya.
Tetapi Sidanti
tidak menjadi reda karenanya. Seperti orang gila ia berteriak-teriak,
“Jangan
halangi aku. Siapa yang menghalangi aku itulah lawanku. Aku bunuh ia tanpa
sebab”
Widura mengangkat
wajahnya memandang wajah Sidanti yang telah benar-benar menjadi buas. Sekali
lagi ia ingin mencoba melunakkannya. Dengan hati-hati Widura melangkah maju
sambil berkata,
“Sidanti,
sadarilah keadaanmu. Keadaan kita bersama di Sangkal Putung ini. Jangan
memandang keadaan dalam suatu lingkungan yang sempit. Tetapi pandanglah seluruh
persoalan yang kita hadapi”
Namun agaknya
kata-kata Widura itu sia-sia saja. Sidanti telah menjadi seakan-akan wuru. Yang
ada di dalam benaknya hanyalah kekerasan, perkelahian, dan membunuh atau dibunuh.
Karena itu ia menjawab,
“Jangan
halangi aku”
Untara pun
melihat, bahwa sama sekali tak ada kemungkinan untuk dapat mengekang Sidanti.
Karena itu maka ia akan berusaha untuk menyingkirkan adiknya. Apabila Agung
Sedayu dapat dijauhkannya, dan perkelahian iu dapat ditunda, maka nanti apabila
kepala Sidanti telah bertambah dingin, segala sesuatu akan dapat
diselesaikannya dengan baik. Karena itu, betapa kecewanya Agung Sedayu, namun
ia tidak dapat berbuat apa pun ketika kakaknya menarik tangannya dan membawanya
meninggalkan tempat itu. Tetapi sebelum Agung Sedayu dan Untara berhasil
menerobos lingkaran yang pepat itu terdengar Sidanti berteriak,
“Jangan pergi
pengecut. Tak ada gunanya. Aku akan mengejarmu sampai ke ujung bukit Merapi itu
sekalipun”
Namun Untara
tak menghiraukannya. Didorongnya adiknya dan disibakkannya orang-orang yang
mengerumuninya. Meskipun demikian Sidanti yang gila itu meloncat maju sambil
berteriak lebih keras lagi,
“Berhenti
pengecut”
Widura lah
yang kemudian kehabisan kesabaran. Ia sudah menjadi sedemikian bingungnya
mencegah perkelahian itu. Karena itu, tiba-tiba ia pun berteriak nyaring,
“Sidanti,
berhenti di tempatmu. Aku adalah pimpinan laskar Pajang di Sangkal Putung. Aku
mempunyai wewenang untuk melakukan segala kebijaksanaan di sini. Aku
perintahkan kau tetap di tempatmu”
Kata-kata itu
menggelegar ditelinga Sidanti. Dengan cepatnya ia memutar tubuhnya menghadapi
Widura, namun Widura benar-benar telah siap. Dan bahkan tiba-tiba Sidanti itu
pun melihat Hudaya, Citra Gati, Sendawa dan bahkan Swandaru meloncat maju.
Tanpa berjanji mereka seakan-akan telah mengepung Sidanti yang hampir menjadi
gila itu. Sidanti menggeram. Matanya yang buas menjadi semakin buas. Ditatapnya
orang-orang yang berdiri di sekitarnya seolah-olah hendak ditelannya
bulat-bulat. Dengan kemarahan yang seakan-akan hendak meledakkan dadanya
Sidanti berteriak,
“ayo, ayo.
Majulah bersama-sama. Inilah Sidanti, murid Ki Tambak Wedi”
Widura menatap
wajah Sidanti yang menyala itu dengan mata menyala pula. tiba-tiba saja ia
berkata,
“Sidanti,
apakah kau sedang menunggu bantuan gurumu? Jangan kau harapkan itu, sebab di
sini hadir pula orang yang dahulu pernah mencegah gurumu membunuh aku itu. Kau
lihat cemeti kuda yang terjatuh di samping tanda yang dilemparkan gurumu itu?” Kata-kata
itu terasa berdentangan di dada Sidanti. Namun tidak hanya Sidanti yang
terkejut karenanya. Semua orang menjadi terkejut pula, ternyata lingkaran besi
dan cemeti kuda itu adalah permulaan dari pertentangan-pertentangan yang akan
menjadi semakin memuncak dari dua orang sakti yang tak mereka ketahui dan belum
pernah mereka lihat pula orangnya.
Sesaat Sidanti
berdiam diri. Memang ia mengharap gurunya akan membantunya, melawan
kelinci-kelinci yang tak berarti itu di hadapan Ki Tambak Wedi. Tetapi kemudian
disadarinya, bahwa ternyata di lapangan itu hadir pula, orang lain yang pernah
mencegah langkah gurunya di tegalan kemarin malam. Karena itu maka Sidanti itu
berbimbang untuk sesaat. Tetapi kemarahannya telah benar-benar menguasai
otaknya. Sehingga betapapun yang akan dihadapinya, namun ia sama sekali tidak
dapat memperhitungkannya. Dengan demikian, maka Sidanti itu sama sekali tidak
menjadi surut. Bahkan dengan lantangnya ia menjawab,
“Apakah kau
sangka Sidanti hanya dapat menggantungkan dirinya kepada orang lain? Ki Tambak
Wedi telah menempa Sidanti untuk menjadi seorang laki-laki jantan. Ayo.
Siapakah yang pertama-tama. Agung Sedayu atau kakaknya yang bernama Untara
itu.”
Untara mencoba
untuk tidak menghiraukannya. Tetapi Agung Sedayu tiba-tiba berhenti di
tempatnya. Tiba-tiba ia merasa, bahwa sebenarnya ia tidak mau pula dihinakan.
Apalagi setelah ia menemukan penilaian yang wajar atas dirinya, justru setelah
sebatang anak panah menyobek pundaknya.
“Menyingkirlah
Sedayu” desah Untara.
“Ia menghinaku
kakang.” Jawab Sedayu.
Tetapi Untara
berbisik,
“Sidanti
adalah seorang anak muda yang tangguh. Sedangkan kau, agaknya baru saja
menyadari kelaki-lakianmu. Kau tidak akan dapat melawannya.”
Tetapi
ledakan-ledakan yang dasyat di dada Agung Sedayu itu pun telah membakar hatinya
pula. Karena itu ia menjawab,
“berilah aku
kesempatan.”
Untara menjadi
jengkel karenanya. Maka dibentaknya adiknya,
“Pergi. Biar
paman Widura mengurus Sidanti”
Tiba-tiba
Untara terkejut ketika ia mendengar Sidanti berteriak,
“Untara.
Jangan kau sembunyikan adikmu. Atau kau sendiri yang hendak bersembunyi?”
Terasa sesuatu
berdesir di dalam dada Untara. Ia dapat mencegah orang lain untuk tidak
menghiraukan maki dan cerca, namun ketika kata-kata itu ditujukan kepada
dirinya, terasa dadanya itu bergetar. Meskipun demikian, Untara itu tidak
berpaling. Yang didengarnya kemudian adalah suara pamannya, Widura,
“Sidanti,
kalau kau tetap dalam pendirianmu, maka perintah untuk menangkapmu segera akan
aku jatuhkan”
Ternyata
Sidanti benar-benar telah kehilangan segenap pertimbangannya. Ia seolah-olah
tidak mendengar kata-kata Widura. bahkan kemudian ia berkata kepada Untara,
“Untara, kalau
kau sembunyikan adikmu maka kaulah lawanku”
Kini Untara
terpaksa berhenti. Terasa dadanya bergetar semakin cepat. Namun ketika
dilihatnyan luka di pundak Sedayu, Untara menarik nafas. Sedayu, Betapapun
tinggi ilmunya, namun ia sama sekali belum berpengalaman dalam satu perkelahian
yang benar-benar menentukan hidup dan mati. Apalagi kini pundaknya itu telah
terluka, dan darah mengalir dari luka itu. Karena itu maka kekuatannya pun
pasti berkurang.
Untara
terkejut ketika Agung Sedayu mendesaknya,
“Kakang,
apakah kakang akan membiarkan Sidanti menghina kita?”
“Jangan
Sedayu” sahut Untara,
“Sadarilah
keadaanmu. Pundakmu telah terluka. Mungkin pundak itu tidak terganggu pada saat
kau menarik busur, tetapi dalam pertempuran jarak dekat, maka luka itu akan
sangat berpengaruh”
Agung Sedayu
meraba lukanya. Terasa luka itu memang pedih. Tetapi serasa sama sekali tidak
berpengaruh baginya. Namun Untara itu pun dapat memperitungkannya dengan tepat,
maka sambungnya,
“Kalau kau
bergerak, maka darah akan semakin banyak mengalir dari luka itu. Kau akan
menjadi lemas, dan lehermu akan dipilin sampat patah oleh iblis itu”
Tetapi seperti
bendungan yang baru saja pecah oleh banjir, maka Agung Sedayu benar-benar
sedang mencari saluran untuk menumpahkan ledakan-ledakan yang terjadi di
dadanya. Namun ia tidak berani melawan kehendak kakaknya. Karena itu hanya
dadanya sajalah yang bergelora. Sementara itu terdengar Sidanti berkata pula,
“Untara.
Jangan kau sembunyikan anak itu. Atau kau sendiri terpaksa aku bunuh di
lapangan ini”
Sekali lagi
dada Untara bergetar. Ketika ia berpaling, ia melihat Widura mengangkat
tangannya. Hampir saja Widura menjatuhkan perintah untuk menangkap Sidanti. Tetapi
segera Untara mencegahnya,
“Jangan paman”
Widura
tertegun. Tangannya itu pun terkulai kembali. Dengan tegangnya ia memandang
wajah Untara. Tetapi untara itu kemudian berkata,
“Paman,
biarlah Agung Sedayu aku bawa kembali kekademangan. Aku harap Sidanti dapat
menenangkan hatinya sehingga kemudian ia mendapat pertimbangan-pertimbangan
yang wajar”
Tetapi
kata-kata Untara itu justru semakin menyakitkan telinga Sidanti. Hatinya yang
marah itu menjadi semakin parah. Dengan serta-merta ia melontarkan dirinya,
langsung menyerang Untara yang sekali lagi tidak bersiaga. Tetapi Untara
bukanlah anak-anak yang menangis melihat barongan-ndadi. Ketika ia melihat
Sidanti itu dengan satu loncatan panjang menyerangnya, segera ia menarik satu
kakinya ke samping dan dengan merendahkan dirinya, Untara berhasil menghindari
tangan Sidanti yang menyambar kepalanya. Agung Sedayu yang berdiri di muka
Untara pun terpaksa menghindar pula. tidak kalah tangkasnya, ia pun meloncat
surut. Sementara itu terdengar Widura berteriak nyaring,
“Sidanti.
Apakah kau telah benar-benar menjadi gila. Hai Citra Gati, bersiaplah”
Citra Gati pun
segera meloncat maju diikuti oleh beberapa orang yang lain. Tetapi segera
Untara berteriak pula,
“Jangan maju
bersama-sama”
“Aku berhak
menangkapnya” sahut Widura.
“Jangan”
berkata Untara.
“Aku adalah
senapati Pajang di Sangkal Putung” desak Widura.
“Aku adalah
pemegang kuasa dari panglima Wiratamtama, Ki Gede Pemanahan untuk daerah di
sekitar gunung Merapi. Mengamati dan mengamankan segala kebijaksanaan panglima,
termasuk daerah Sangkal Putung” potong Untara.
“Oh” Widura
itu pun terdiam. Kini benar-benar disadarinya akan kedudukan kemenakannya itu.
Karena itu, maka kemudian dibiarkannya kemenakannya itu membuat kebijaksanaan
sendiri.
Sidanti pun
mendengar kata-kata Untara itu. Sesaat kata-kata itu berpengaruh juga di dalam
benaknya. Namun sesaat kemudian ia sudah tidak memperdulikannya lagi.
Pertimbangan-pertimbangannya sudah tidak dapat mempengaruhi kemarahannya. Di
hadapan sekian banyak orang, Sidanti yang merasa dirinya pahlawan yang tak
terkalahkan itu, harus menunjukkan bahwa sebenarnyalah ia tak dapat dikalahkan.
Karena itu, bahkan Sidanti itu berkata,
“Apa yang akan
kau lakukan Untara, pemegang kuasa penglima Wiratamtama untuk daerah ini?”
“Sidanti”
berkata Untara.
“Atas nama
kekuasaan yang ada padaku, jangan berbuat hal-hal yang dapat merugikan nama
baik Wiratamtama”
“Ini adalah
kesempatan bagiku” berkata Sidanti,
“Seharusnya
akulah yang memegang jabatan itu. Sebenarnya Sidanti lebih tangguh daripada
Untara”
“Jangan
mengigau Sidanti” potong Untara. Betapapun ia mencoba menyabarkan dirinya,
namun darahnya pun adalah darah seorang prajurit muda. Ketika ia melihat Agung
Sedayu melangkah maju, didorongnya adiknya itu ke samping sambil berkata pula,
“Sadari
kedudukanmu. Atau aku harus menempuh kebijaksanaan lain seperti paman Widura”
“Terserah
padamu Untara” sahut Sidanti,
“Tetapi aku
ingin menantangmu kini. Apakah kau benar-benar berhak memakai pangkatmu itu.
Atau ternyata akulah yang sebenarnya berhak”
Untara menggigit
bibirnya. Sidanti benar-benar keras kepala. Pengaruh kehadiran gurunyalah yang
telah memaksanya untuk berbuat gila itu. Sementara itu, matahari telah tenggelam
di bawah garis cakrawala. Lapangan itu pun menjadi semakin lama menjadi semakin
gelap. Hanya bintang-bintang di langit sajalah yang kemudian gemerlapan,
seolah-olah ikut serta berdesak-desakan menyaksikan apa yang akan terjadi di
lapangan itu. Untara masih berdiri sambil menggigit bibirnya. Getar di dalam
dadanya terasa menjadi semakin bergelora. Kalau ia bertindak atas nama
jabatannya, serta mengerahkan anak buah Widura untuk menangkap Sidanti, maka
dendam yang membakar hati anak muda itu masih akan menyala untuk
selama-lamanya. Sidanti akan mungkin sekali kelak mencari kesempatan untuk membalas
dendam terhadap orang-orang Widura itu satu per satu. Dengan demikian maka
keadaan Sangkal Putung akan menjadi bertambah sulit. Namun tiba-tiba Untara itu
pun melangkah maju. Dengan lantang ia berkata,
“Aku terima
tantangan Sidanti”
“Untara”
terdengar Widura memotong kata-kata kemenakannya.
“Paman” sahut
Untara.
“Persoalan ini
biarlah aku jadikan persoalan antara aku dan Sidanti. Persoalan perseorangan
yang sama sekali tidak menyangkut kedudukan kami masing-masing. Persoalan
perseorangan yang akan kami selesaikan secara perseorangan pula. Bukankah
begitu Sidanti?”
Sidanti
benar-benar sudah tidak dapat membedakan antara persoalan perseorangan dan
peroalannya dalam ikatan kelaskaran. Tiba-tiba saja ia berteriak menjawab,
“Ya. Aku tidak
perduli persoalan apa pun yang kau pilih. Namun biarlah kita bertakar darah,
melihat siapa yang lebih keras tulangnya dan siapakah yang lebih liat kulitnya”
Widura sudah
tidak mungkin lagi untuk mencegah perkelahian itu. Kini Sidanti dan Untara
telah maju dan orang-orang di sekitarnya dengan sendirinya, berdesakan mundur.
Meskipun lapangan itu menjadi semakin gelap, dan sebagian dari mereka sudah
tidak dapat lagi melihat apa yang terjadi di tengah-tengah lingkaran manusia
itu, namun mereka masih belum mau meninggalkan lapangan itu. Mereka masih
hendak menunggu, apakah yang terjadi dengan Untara dan Sidanti. Ternyata
Sidanti benar-benar tak dapat mengekang dirinya. Dengan penuh nafsu ia meloncat
menghadapi Untara. Sedang Untara itu pun segera bersiaga pula. Untara itu pun
sadar sesadar-sadarnya bahwa lawannya kali ini adalah murid Ki Tambak Wedi,
seorang sakti yang namanya telah dikenal oleh setiap orang hampir dari segala
penjuru. Sidanti itu ternyata tak mau banyak bicara lagi. Dengan suatu peringatan
pendek ia menggeram,
“Untara, aku
mulai”
Sebelum Untara
sempat menjawab, Sidanti telah meloncat menyerangnya. Sebuah pukulan mendatar
mengarah ke pelipis lawannya. Namun Untara telah bersiaga sepenuhnya. Betapapun
cepatnya gerak Sidanti, namun Untara masih sempat dengan tangkasnya menghindari.
Dengan satu gerakan yang cepat, Untara menundukkan kepalanya. Tetapi ia tidak
membiarkan tangan Sidanti yang masih terjulur itu. Dengan cepatnya disambarnya
tangan itu dengan sebuah ketukan dipergelangan. Tetapi Sidanti cukup cekatan
pula, dengan kecepatan yang sama Sidanti berhasil menarik tangannya dan
membebaskannya dari ketukan tangan Untara. Untara menarik nafas dalam-dalam
melihat kecepatan Sidanti. Nama Ki Tambak Wedi benar-benar bukan sekedar cerita
yang berlebih-lebihan. Kini ternyata Untara mengalami sendiri, betapa
cekatannya murid Ki Tambak Wedi. Ternyata pula, sesaat kemudian Sidanti telah
mulai menyerangnya kembali. Dengan garangnya Sidanti melontarkan sebuah
serangan dengan kakinya ke arah lambung lawannya. Namun sekali lagi Untara
berhasil menarik satu kakinya, dan dengan memiringkan tubuhnya ia telah
terhindar dari serangan Sidanti. Tetapi Sidanti tidak mau membiarkan lawannya,
dengan sebuah putaran pada satu kakinya, Sidanti melepaskan serangan kaki
berganda. Demikian cepatnya, sehingga Untara terpaksa meloncat selangkah
mundur. Ketika Sidanti akan mencoba mengejarnya dengan serangan pula, maka
Untaralah yang kini mendahului lawannya. Dengan tangkasnya ia melontar
menyambar dada Sidanti yang masih mencoba menyergapnya. Sidanti terkejut
melihat serang yang tiba-tiba itu. Dengan cepat ia merendahkan dirinya dan
bahkan kemudian ketika tangan Untara yang lain menyambar kepalanya, Sidanti
terpaksa melontar ke samping. Maka mereka sesaat kemudian tenggelam dalam satu
pertempuran yang sengit. Sidanti yang tangkas dan lincah melawan Untara yang
tangguh-tanggon. Betapa ilmu Ki Tambak Wedi terpaksa berbenturan dengan ilmu
dari Jati Anom, Widura, Ki Demang Sangkal Putung, Hudaya, Citra Gati, Swandaru
dan bahkan Agung Sedayu yang berdiri di sekitar arena itu, melihat perkelahian
itu dengan wajah yang tegang. Mereka mengenal Sidanti sebagai seorang anak muda
yang telah berhasil mempertahankan diri, meskipun tidak sepenuhnya, terhadap
serangan-serangan Tohpati. Karena itu, maka mereka menjadi berdebar-debar.
Seandainya Untara tak berhasil mempertahankan dirinya, maka Sidanti yang gila
itu pasti dapat berbuat hal-hal diluar kemungkinan yang wajar. Namun sebenarnya
Widura tidak menjadi cemas atas nasib Untara. Ia ahu betul bahwa kemenakannya
yang besar itu, setidak-tidaknya pasti akan dapat menyamai Sidanti. Tetapi
apakah selama ini lukanya telah benar-benar sembuh, sehingga segenap
kekuatannya telah pulih kembali. Namun melihat kecepatannya bergerak, Widura
menduga Untara telah mencapai keadaan dan kemantapan ilmu seperti sediakala.
Sehingga dengan demikian, maka perkelahian itu pasti akan berlangsung dahsyat
sekali.
Sebenarnyalah
pertempuran itu semakin lama menjadi semakin seru. Sidanti yang dengan penuh
nafsu bertempur itu, segera mengerahkan segenap kemampuannya. Semakin cepat ia
dapat menjatuhkan lawannya, semakin tinggi pula nilai dirinya. Bahkan apabila
kelak Agung Sedayu tidak puas melihat kekalahan kakaknya, biarlah ia sendiri
mencobanya. Karena itulah maka serangan-serangan Sidanti menjadi semakin seru
seperti angin ribut yang menghantam pepohonan. Berputar-putar dengan
dahsyatnya. Namun Untara itu pun tangguh setangguh batu karang pantai. Tegak
dengan kokohnya, seakan-akan berakar menghunjam bumi. Tetapi apabila
serangannya melanda lawannya, beruntun seperti batu-batu yang berguguran di
lereng Merapi.
Pertempuran di
lapangan di muka banjar desa itu semakin lama menjadi semakin seru. Keduanya
adalah anak-anak muda yang sedang berkembang. Mereka meiliki bekal ilmu yang
tak dimiliki oleh kebanyakan orang. Maka perkelahian di antara mereka
benar-benar menjadi sedemikian sengitnya seperti petir yang sedang bersabung di
udara. Sambar menyambar dalam kecepatan yang hampir tak dapat diikuti oleh
mata. Sehingga karena itu, maka mereka berdua kemudian, seakan-akan telah
berubah menjadi bayangan-bayangan yang terbang berputaran, bahkan kemudian
mereka seakan-akan telah berubah menjadi gumpalan asap hitam dimalam yang
gelap. Tetapi semakin lama menjadi semakin terang bagi Untara. Setelah ia
bertempur dengan segenap tenaga pada taraf permulaan, akhirnya berhasil
menemukan dan mengetahui letak kekuatan dan kelemahan lawannya. Meskipun
Sidanti pun mampu pula mengamati kelemahan lawannya, namun ternyata Untara
menang seulas dari Sidanti. Untara, yang memegang kekuasaan dari Panglima
Wiratamtama di daerah itu, ternyata bukan seorang yang hanya mempunyai nama
mengagumkan. Tetapi Untara benar-benar seorang yang dapat dipercaya. Lahir dan
batinnya. Dengan demikian, maka kemudian Untara dapat menempatkan dirinya pada
keadaan yang tepat. Tetapi justru karena ia telah dapat melihat nilai dari
dirinya sendiri di hadapan lawannya itu, maka ia menjadi semakin tenang. Dengan
demikian sambil bertempur ia kini sempat mencari kemungkinan-kemungkinan yang
sebaik-baiknya untuk menyelesaikan persoalan yang disebutnya dengan persoalan
pribadi. Namun, ternyata Sidanti masih memeras tenaganya habis-habisan. Ia
telah benar-benar waringuten. Otaknya seakan-akan telah berhenti bekerja
kecuali mencari kemungkinan-kemungkinan untuk membinasakan lawannya dalam
perkelahian itu. Mula-mula memang ia merasakan tekanan Untara menjadi semakin
bertambah tajam. Namun kemudian tekanan-tekanan itu seolah-olah menjadi terurai
kembali. Dan dalam penilaian Sidanti, keadaan mereka menjadi seimbang kembali. Sebenarnyalah,
kini Untara telah menemukan suatu cara untuk menyelesaikan persengketaan ini
tanpa menimbulkan dendam. Meskipun kemudian terasa olehnya, bahwa meskipun
berat, namun ia akan dapat menguasai lawannya, tetapi Untara tidak mau berbuat
demikian. Sebab, apabila ia menekan Sidanti, sehingga anak muda yang keras hati
itu dilumpuhkan, maka dendam akan tetap membara di dadanya. Dendam itu akan
dapat berbahaya bagi Sangkal Putung. Apabila dendam itu meledak pada saat
kedatangan laskar Jipang, maka akibatnya akan mengerikan sekali. Dengan
demikian, terbesitlah kebijaksanaan di dalam diri Senapati muda dari Jati Anom
itu. Ia kini tidak benar-benar ingin menundukkan Sidanti. Meskipun ia tetap
memberi kesan, bahwa ia bertempur mati-matian, namun sebenarnya Untara kini
seakan-akan tinggal melayani segala solah lawannya. Sekali-sekali ia
menghindar, dan sekali-sekali ia menyerang pula. Tetapi serangannya tidak
benar-benar mengarah ke tempat-tempat yang berbahaya. Demikian cakapnya Untara
membawakan dirinya, serta karena kelebihan ilmunya yang kemudian meyakinkannya,
maka Sidanti selama ini masih belum tahu apa yang dilakukan oleh Untara. Itulah
sebabnya ia masih berjuang sekuat-kuat tenaganya. Dan memang demikianlah yang
dikehendaki oleh Untara. Sekali-sekali ia menekan lawannya, kemudian
melepaskannya dalam keadaan yang menguntungkan. Dengan demikian maka nafsu
bertempur Sidanti itu menjadi melonjak-lonjak tak terkendali. Sebab
sekali-sekali ia menjadi cemas, namun tiba-tiba ia melihat kesempatan terbuka.
Sehingga mau tidak mau ia ingin mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya.
Tetapi bagi
mereka yang tidak mengalami pertempuran itu, mempunyai kesempatan untuk menilai
apa yang sebenarnya telah terjadi. Tetapi tidak semua orang dapat berbuat
demikian. Yang pertama-tama melihat permainan Untara itu adalah Widura, dan
kemudian Agung Sedayu. Mereka dengan dada yang berdebar-debar menanti,
bagaimana akhir dari pertempuran itu. Sebab dengan permainannya maka Untara
tidak akan mau melumpuhkan lawannya. Hudaya, Citra Gati dan beberapa orang
laskar Pajang pun melihat sesuatu yang aneh. Tetapi mereka tidak dapat
mengerti, apakah sebabnya maka pertempuran itu kadang-kadang menjadi sangat
berat sebelah, namun kemudian menjadi seimbang kembali. Sedang orang-orang lain
yang berdiri melingkari arena itu, sama sekali tidak tahu, bagaimana mereka
harus menilai perkelahian itu. Bahkan ada di antara mereka yang menjadi pening,
dan ada pula yang bahkan tidak melihat sesuatu karena malam yang menjadi
semakin kelam. Dalam pada itu, semakin lama, maka usaha Untara untuk mencapai
penyelesaian menurut rencananya, tampaknya akan berhasil. Tenaga Sidanti yang
terperas itu semakin lama menjadi semakin susut. Sedang Untara, yang memiliki
bekal serta pengalaman yang lebih banyak, masih tetap pada kesegarannya semula.
Tetapi ia tidak mau menunjukkan kelebihannya itu. Ia ingin Sidanti
menyelesaikan pertempuran tanpa menjadi kecewa, malu atau dendam. Untara ingin
memberi kesan, bahwa perkelahian itu akan berhenti dengan sendirinya tanpa ada
yang kalah tanpa ada yang menang. Meskipun hati kecilnya, kadang-kadang ingin
juga menunjukkan kelebihannya, sebagai seorang yang mendapat kekuasaan yang
luas, namun ia berpikir lebih jauh dari harga diri itu. Ia melihat Sangkal
Putung tidak saja malam ini. Tetapi besok, lusa, beberapa hari dan minggu yang
akan datang, bahkan Sangkal Putung untuk masa yang tak terbatas dalam
lingkungan pemerintahan Pajang. Dan ternyata pula kemudian, tandang Sidanti itu
pun menjadi semakin susut. Kegarangannya lambat laun menjadi berkurang dan
lincahannya pun menjadi surut pula, demikian pula yang dilakukan oleh Untara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar