Jilid 005 Halaman 2


Mendengar kata-kata pamannya, dada Agung Sedayu yang sudah gemetar menjadi semakin gemetar. Namun tiba-tiba terasa sesuatu yang aneh dikepalanya. Ia akan mati. Dan sebenarnya ia takut sekali kepada mati itu. Sedang kini, tanpa diduganya ia dihadapkan pada kekuasaan maut. Namun pamannya itu berkata,
“Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan dirimu adalah melawan”
Kata-kata itu melingkar-lingkar saja di dalam benaknya. Betapa ia takut menghadapi lawannya, namun betapa ia lebih takut lagi kepada maut. Karena itu maka tiba-tiba ia dahadapkan pada dua pilihan. Mati atau melawan.
Tubuh Agung Sedayu masih bergetar. Namun tiba-tiba ia mengangkat wajahnya, dipandangnya wajah Sidanti yang menyala. Sesaat getar di dadanya menjadi bertambah cepat. Namun ketakutannya kepada maut itu telah semakin mendesaknya. Ia tidak mau mati, apalagi di tengah-tengah lapangan di hadapan beratus-ratus orang, dan di antaranya adalah Sekar Mirah. Terasa sesuatu bergolak di dadanya. Dan karena itulah maka tubuhnya menjadi semakin bergetar. Namun kini ia menemukan suatu sikap untuk menyelamatkan dirinya. Dan jalan satu-satunya adalah melawan. Tak ada jalan lain. Kalau ia masih mungkin melarikan dirinya, maka ia akan lari dan bersembunyi. Namun ia tahu pasti, demikian ia melangkah, maka anak panah Sidanti pasti akan hinggap di punggungnya. Karena itu Agung Sedayu tidak berani melarikan diri. Sedayu pun terkejut ketika terdengar suara Sidanti menggelegar ditelinganya,
“Ayo Sedayu. Siapkan busurmu”
Sedayu mengangkat wajahnya, dan tiba-tiba terdengar ia berkata dengan suaranya yang bergetar,
“Swandaru, berilah aku anak panah”
Semua yang mendengar kata-kata itu terkejut. Dan ketegangan pun menjadi semakin memuncak. Mereka segera akan menyaksikan suatu perang tanding antara dua anak muda yang mereka angap memiliki kekuatan-kekuatan diluar kekuatan kebanyakan orang, sehingga dengan demikian maka perang tanding ini pasti akan menjadi sangat dahsyatnya. Widura pun terkejut mendengar jawaban Sedayu. Namun tiba-tiba dadanya pun bergelora. Ia menjadi terharu melihat Agung Sedayu berusaha untuk mempertahankan hidupnya. Tetapi meskipun demikian, perasaan khawatir merayap-rayap di dalam dada Widura, meskipun Agung Sedayu kemudian berusaha untuk menyelamatkan dirinya, namun betapapun juga, hatinya yang kerdil pasti masih akan mengganggunya. Dengan demikian, Widura kembali menjadi ragu-ragu apakah Agung Sedayu akan berhasil menyelamatkan dirinya. Tetapi seandainya terjadi sesuatu, maka lebih baik apabila Agung Sedayu itu menghadapinya secara jantan daripada mati seperti kelinci betina. Swandaru pun dengan tangan yang gemetar pula menyerahkan sebatang anak panah kepada Agung Sedayu. Betapa ia menyesal. Namun semuanya telah terjadi, dan kini ia tinggal menunggu akibat dari perbuatannya. Sementara itu Sidanti pun telah memegang sebatang anak panah pula. kini ia maju lagi beberapa langkah. Kemudian ia berkata dengan lantang,
“Siapakah yang akan mengucapkan hitungan sampai sepuluh?”
Lapangan itu menjadi hening seketika. Tak seorang pun yang menjawab. Karena itu Sidanti mengulangi lebih keras lagi,
“Ayo, siapakah yang akan mengucapkan hitungan?”

Kembali lapangan itu tenggelam dalam kesepian. Gema suara Sidanti itu pun kemudian lenyap pula. sehingga dengan demikian Sidanti menjadi semakin marah karenanya. Ia merasa seakan-akan semua orang di lapangan itu sama sekali tidak menghargainya. Karena itu tiba-tiba ia berkata,
“Ayo adi Sedayu. Suapaya aku tidak disangka curang, kaulah yang mengucapkan hitungan itu”
Agung Sedayu tidak dapat menjawab kata-kata itu. Ia sedang sibuk berjuang melawan perasaannya sendiri yang saling berbenturan. Namun Sidanti tidak menunggu Agung Sedayu menjawab, ia langsung berjalan mendekati anak muda itu dan berdiri di belakangnya beradu punggung. Sementara itu, sepasang mata yang tajam diatara para penonton, memperhatikan perkembangan keadaan dengan seksama. Ia tersenyum ketika melihat Sedayu menerima sebatang anak panah dari Swandaru. Ia tersenyum pula ketika melihat Sedayu menempatkan anak panah di tali busurnya. Namun meskipun demikian, orang yang bermata tajam itu dapat menilai apakah kira-kira yang akan dilakukan oleh Agung Sedayu. Seandainya Agung Sedayu itu berhati jantan, maka kekalahannya tak usah dikhawatirkan. Namun di dalam dada orang itu bergolaklah perasaan seperti perasaan yang tersimpan di dalam dada Widura, dan karena itu pula ia menjadi cemas akan nasib anak muda itu. Dalam pada itu, Sidanti sudah tidak sabar lagi. Ia sudah berdiri tegak di belakang Agung Sedayu beradu punggung. Namun Agung Sedayu masih belum mulai dengan hitungannya. Sehingga Sidanti sekali lagi berteriak,
“Mulailah adi Sedayu. Kalau tidak akulah yang akan menghitung, dan aku akan melangkah menurut irama hitungan itu. Aku tidak peduli apa yang akan kau kalukan, namun sesudah hitungan kesepuluh aku akan melepaskan anak panahku ini”
Debar di dada Agung Sedayu menjadi semakin cepat dan cepat saja. Sedang mulutnya masih saja terbungkam. Ia sengaja tidak mau mulai dengan mengucapkan hitungan. Dibiarkannya Sidanti menghitungnya. Ia ingin dapat memusatkan segenap kekuatan yang ada padanya untuk menindas perasaannya. Perasaan yang selalu mengganggunya. Bahkan kemudian dicobanya untuk membulatkan tekadnya.
“Kalau aku ingin menghindari kematian, aku harus melawan. Menghentikan sumber gerak dari terkaman kematian itu.”
Sidanti kemudian benar-benar tidak sabar lagi. Apalagi ketika dilihatnya matahari telah semakin rendah di atas cakrawala. Dengan agak silau Sidanti memandang punggung-punggung bukit disebelah barat, sebagaimana ia menghadap. Kemudian katanya,
“Lihat, matahari hampir terbenam.”
Tetapi Agung Sedayu masih berdiam diri, sehingga Sidanti yang telah kehabisan kesabaran itu berteriak,
“Aku akan mulai dengan hitungan itu.”
Anak muda yang sedang dibakar oleh nyala kemarahan itu tidak menunggu lebih lama lagi. Maka terdengarlah suaranya lantang,
“Satu” kemudian, “Dua” dan sejalan dengan itu, kakinya pun terayun maju, selangkah demi selangkah. Pada saat yang bersamaan Agung Sedayu pun bergerak pula, setapak demi setapak.

Tetapi tiba-tiba terdengar sebuah tawa yang lunak bergetar di antara para penonton yang berjejalan itu. Meskipun demikian suara itu telah mengejutkan setiap orang yang berdiri di lapangan. Apalagi ketika di antara derai tertawanya terdengar kata-katanya,
“Sidanti, ternyata kau curang.”
Langkah dan hitungan Sidanti pun terhenti pula. Mendengar kata-kata itu nyala di dalam dadanya serasa tersiram minyak. Dengan serta-merta ia berpaling sambil berteriak,
“tidak. Aku tidak curang” namun Sidanti tidak segera dapat melihat orang itu. Orang yang telah mentertawakannya.
Sementara itu terdengar orang itu berkata pula,
“Kenapa kau memilih arah itu? Bukankah dengan demikian kau mengharap, bahwa apabila hitunganmu telah sampai hitungan ke sepuluh, dan Agung Sedayu itu pun berbalik maka sinar matahari yang silau ini akan melindungimu”
“Gila” teriak Sidanti,
“Siapakah kau?” Sidanti benar-benar tersinggung mendengar kata-kata itu. Memang, keadaan itu pun mendapat perhatiannya pula, dan bahkan diperhitungkannya. Tetapi ketika seseorang menebak dengan tepat, maka kemarahannya menjadi semakin menggelegak. Bukan saja Sidanti namun Agung Sedayu, Widura, dan bahkan setiap orang menjadi sibuk mencari orang yang berkata demikian itu. Setiap orang dengan menegakkan lehernya memandang ke satu arah, ke tempat orang yang telah menghentikan perang tanding yang mendebarkan itu. Dan akhirnya mereka melihat juga. Melihat orang yang berbicara itu sedang berjalan menyibak orang-orang yang berdiri berjejalan di hadapannya. Kata-kata orang yang belum diketahui itu pun merupakan sebuah singgungan pada perasaan Widura. Kenapa ia tidak melihat ketidak adilan itu? Baru kemudian ia menyadari, bahwa alangkah berbahayanya seandainya pertandingan itu berlangsung. Demikian Agung Sedayu memutar tubuhnya, maka segera ia akan segera menjadi silau karena matahari sudah sedemikian rendahnya. Ternyata kemudian orang lainlah yang memberi peringatan akan hal itu. Bukan dirinya pemimpin laskar Pajang yang bertanggung jawab di Sangkal Putung. Karena itu Widura pun segera ingin tahu, siapakah orang itu. Dan orang itu pun datanglah kepadanya. Semakin lama menjadi semakin dekat menyusup di antara penonton yang sengaja memberi jalan, sehingga akhirnya, muncullah orang itu di tengah-tengah lingkaran. Demikian yang muncul dari antara para penonton, maka berdesirlah dada Widura. Betapa ia terkejut melihat kehadirannya. Seorang anak muda yang sebaya dengan Sidanti. Bertubuh kekar padat berwajah tenang dan terang. Dengan sebuah senyum yang segar anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi sebelum Widura sempat berkata sesuatu karena getar dadanya, terdengar Agung Sedayu seakan-akan menjerit tinggi,
“Kakang. Kakang Untara. Kaukah itu?”
Untara, ia sebenarnyalah anak muda itu Untara, berpaling kepada adiknya. Kini ia tertawa. Suara tertawanya masih selunak seperti suaranya yang pertama-tama diperdengarkan. Kemudian terdengar ia berkata,
“aku datang untuk menyaksikan pertunjukkan yang diselenggarakan oleh paman Widura”

Sekali lagi dada Widura berdesir. Dan yang didengarnya kemudian adalah suara ribut di antara penonton. Ternyata mereka terkejut pula melihat kehadiran anak muda itu, apalagi setelah Agung Sedayu menyebut namanya, Untara. Jadi itulah orangnya yang bernama Untara, kakak Agung Sedayu. Dengan demikian, maka kembali para penonton itu berjejalan mendesak maju. Mereka ingin melihat wajah anak muda yang namanya telah jauh lebih dahulu hadir daripada orangnya. Dada Widura kini telah menjadi tenang kembali. Dengan sebuah senyum yang tulus ia mendekati kemenakannya. Diulurkannya tangannya sambil berkata lirih,
“Aku tidak dapat mencegahnya”
Untara menyambut uluran tangan pamannya. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata,
“aku senang melihat perang tanding ini. Namun aku ingin melihat perang tanding ini berjalan dengan sempurna”
“Suatu kekhilafan, Untara” sahut Widura.
Sekali lagi Untara tertawa. Wajahnya yang terang itu kemudian memandang berkeliling. Setiap wajah yang dipandangnya, maka tanpa sengaja, wajah itu mengangguk, dan dengan rendah hati Untara pun menganggukkan kepalanya pula.
Sidanti yang melihat kehadiran Untara itu dadanya berdentang pula seperti melihat hantu yang paling dibencinya. Wajahnya yang merah membara itu seakan-akan benar-benar telah menyala. Kini ia melihat Untara itu berdiri di hadapannya. Sedang orang-orang di sekitarnya telah mendesak maju sekedar ingin melihat wajah Untara itu. Dengan demikian, maka Sidanti itu pun telah kehilangan segenap pertimbangannya. Maka semua orang yang berada di lapangan itu tiba-tiba terkejut ketika mereka mendengar Sidanti itu berteriak,
“Minggir. Pertandingan akan tetap berlangsung terus. Jangan hiraukan orang yang tidak tahu menahu persoalannya”
Untara mengerutkan keningnya. Ketika ia berpaling kepada Widura, maka Widura itu pun memandangnya, seakan-akan minta pertimbangan kepadanya.
Untara mengangkat bahunya, katanya,
“Kekuasaan di daerah ini berada di tangan paman Widura. silahkan. Aku hanya ingin melihat apakah pertandingan ini akan berlangsung dengan jujur”
“Jangan menyindir” teriak Sidanti.
“Aku tahu maksudmu. Meskipun semula aku tidak memperdulikan matahari itu, namun seandainya hal-hal yang tak berarti itu harus dipertimbangkan, baiklah kita menghadap arah utara dan selatan”.
Kembali terdengar Untara tertawa, sambil berkata,
“Jangan marah Sidanti.”
Terasa kata-kata itu menusuk jantung Sidanti seperti tusukan sembilu. Dengan menggeretakkan gigi ia berkata lantang,
“Nah Sedayu. Kau dengar?”

Sedayu yang seakan-akan terpesona karena kehadiran kakaknya itu, tiba-tiba seperti terbangun dari mimpinya. Ia terkejut ketika ia merasa Sidanti mendorongnya. Dan didengarnya sekali lagi Sidanti berteriak,
“Bersiaplah”.
Seperti seorang anak yang mengharapkan sesuatu dari bapaknya Agung Sedayu memandang wajah kakaknya. Dan tiba-tiba dilihatnya kakaknya itu mengangguk kepadanya. Hanya mengangguk, namun anggukan kepala itu seperti telah mengalirkan suatu kekuatan baru di dalam hatinya. Kehadiran Untara yang tiba-tiba itu, benar-benar memperbesar hati Agung Sedayu. Karena itu, maka dengan gerak yang lebih tenang kini ia berdiri menghadap ke utara, sedang Sidanti berdiri di belakangnya menghadap ke selatan.
Dan ketika kemudian Sidanti hampir mengulangi hitungannya, terdengarlah Untara berkata,
“Biarlah aku menolong kalian. Akulah yang akan menghitung sampai bilangan kesepuluh”
“Bagus” teriak Sidanti. “Mulailah”
Untara berjalan mendekati mereka yang telah berdiri beradu punggung itu. Terdengar ia bergumam,
“Aku telah melihat pertandingan ini sejak permulaan. Dan aku mengagumi kalian yang telah melakukan permainan yang aneh-aneh. Namun ternyata kalian hanya memanah benda-benda mati. Sekarang kalian akan memanah benda-benda yang hidup, yang mungkin mengelakkan diri dari kejaran anak panah kalian. Benar-benar pekerjaan yang tidak terlalu mudah”
“Mulailah” potong Sidanti tidak sabar. Tetapi kata-kata Untara itu seakan-akan memberikan petunjuk-petunjuk baru bagi Agung Sedayu. Memberikan petunjuk bahwa dalam perang tanding yang demikian, maka mereka diperkenankan untuk mengelakkan serangan lawan. Maka akhirnya Untara itu pun mulai dengan hitungannya. Untara itu kini berdiri tegak. Sesaat ia memandang orang-orang yang melingkari mereka. Kemudian dengan tenang ia berkata kepada para penonton,
“Mundurlah kalian. Jangan berdiri di ujung utara dan selatan. Kalau anak panah itu nanti tidak mengenai sasaran, maka kalianlah yang akan terkena”
Penonton di ujung utara dan selatan itu pun mendesak mundur. Mereka menjadi takut, kalau justru dada merekalah yang akan tembus oleh anak panah-anak panah itu. Namun setiap kata-kata Untara itu, semakin meyakinkan Agung Sedayu, bahwa ia masih mungkin untuk menyelamatkan dirinya dari maut. Ia masih mungkin mengelak, dan panah-panah itu masih mungkin tidak mengenai sasaran.
Tetapi Sidanti menjadi semakin tidak sabar. Dengan marahnya ia berteriak sekali lagi,
“He Untara. Apakah kau tidak sanggup menghitung?”
“Baiklah” sahut Untara. “Sekarang bersiaplah”
“Aku sudah siap sejak kau belum menampakkan dirimu” jawab Sidanti.
Untara tersenyum. kemudian selangkah ia maju. Dan kini mulailah ia menghitung,
“Satu…dua…”

Suasana meningkat menjadi semakin tegang, semakin tegang, sejalan dengan bilangan-bilangan yang disebutkan Untara. Untara sendiri sebenarnya menjadi cemas juga, seperti Widura yang tegang kaku seperti patung batu. Namun baik Untara maupun Widura, bahkan beberapa orang lain, Hudaya, Citra Gati, Swandaru dan beberapa orang lagi, ternyata berdoa di dalam hatinya, setidak-tidaknya Sedayu tidak menjadi binasa karenanya. Kini bilangan-bilangan yan diucapkan Untara sudah semakin tinggi.
“Enam…tujuh…” Dan lapangan itu menjadi semakin hening. Tetapi dalam pada itu, tekad di dalam dada Agung Sedayu menjadi semakin bulat. Ia tidak mau mati. Dan akhirnya sampailah hitungan itu pada akhirnya. Seperti bisul yang akan pecah disetiap ubun-ubun penonton, terdegarlah Untara menyebut bilangan terakhir dengan suara gemetar,
“Sepuluh ….”
Sidanti yang dibakar oleh kemarahan, hampir tidak sabar menunggu bilangan yang kesepuluh. Dan ketidak sabarannya itu sama sekali tidak menguntungkannya. Demikian ia mendengar Untara menyebut bilangan kesepuluh itu, dengan serta-merta ia memutar tubuhnya sekaligus menarik busurnya. Hanya sesaat ia membidikkan panahnya, dan panah itu dengan cepatnya meluncur ke dada Agung Sedayu arah ke kiri. Arah jantung. Tetapi Agung Sedayu pun telah memutar tubuhnya pula. ia tidak menyangka bahwa lawannya bertindak secepat itu. Ia sama sekali belum pernah melihat, mengetahui dan apalagi mengalami perang tanding semacam itu, sehingga karena itu ia masih ragu-ragu untuk melakukannya meskipun tekadnya untuk menghindari maut telah bulat di dalam hatinya. Karena itu, ternyata Sidanti berhasil mendahuluinya. Dan sebenarnya Sidanti adalah pembidik yang baik. Panah itu dengan lajunya menuju ke sasarannya dengan tepat. Dada kiri Agung Sedayu. Tetapi Agung Sedayu itu pun sebenarnya bukan sebuah patung. Di dalam tubuhnya tersimpan berbagai macam ilmu yang tidak dapat diabaikan. Namun ilmu-ilmu itu seakan-akan tersimpan dalam kotak yang tertutup. Kini ia melihat sebuah anak panah meluncur dengan cepatnya, menuju ke dadanya. Karena itu, dengan gerak naluriah maka Sedayu yang memiliki ketangkasan yang tinggi itu pun segera bergesar setapak sambil memiringkan tubuhnya. Namun panah Sidanti terlampau cepat. Betapapun cepatnya gerak Agung Sedayu, namun ia tidak mampu menghindari anak panah itu sepenuhnya. Sehingga dengan cepatnya panah itu mematuk lengan kirinya. Tetapi untunglah bahwa anak panah itu tidak mengenai bagian yang penting pada lengannya itu, sehingga anak panah itu pun kemudian bergeser dan jatuh di samping Agung Sedayu. Meskipun demikian, maka segera sepercik darah mengalir dari luka itu. Semakin lama menjadi semakin deras. Tampaklah Agung Sedayu menyeringai menahan sakit. Tetapi hanya sesaat. Ternyata darah yang mengalir dari lukanya itu telah menghangatkan hatinya. Kini ia telah terluka, dan ternyata demikianlah rasa sakit yang menggigit pundaknya. Rasa sakit itu kini tidak saja ditakutkannya, namun sudah dirasakannya. Dan rasa sakit itu ternyata tidak seperti apa yang dibayangkannya. Darah yang mengalir dari lukanya itu bukanlah pertanda akan kematiannya. Dan meskipun kini darah itu telah mengalir, tetapi ia masih tetap berdiri tegak dan hampir luka itu dapat diabaikannya. Tiba-tiba timbullah perasaan heran di dalam dadanya. Apakah hanya perasaan ini yang harus ditanggungnya. Alangkah ringannya. Bahkan berkatalah Agung Sedayu di dalam hatinya,
“Jadi ternyata aku tidak mati. Aku ternyata dapat juga membebaskan diri dari kematian itu. Dan kini aku telah melakukannya. Perang tanding”

Terasalah sesuatu bergolak di dalam dada Agung Sedayu. Terasa seakan-akan ia telah melampaui suatu masa yang tidak pernah dibayangkannya. Terasa seakan-akan ia telah menerobos suatu batas yang selama ini mengungkungnya. Dan sebenarnya dinding yang memagari Agung Sedayu kini telah terpecahkan. Dan lenyaplah seluruh perasaan takutnya. Kini Agung Sedayu itu tidak takut lagi kepada luka, kepada darah dan kepada maut sekalipun. Sebab ternyata ia mampu menghindari maut, apabila Tuhan belum menghendakinya.
“Ya” katanya dalam hati, sebagai seorang yang percaya kepada Tuhan, akhirnya Sedayu itu menemukan keyakinan,
“Aku tidak perlu takut mati. Sebab kematian adalah takdir Tuhan. Ternyata kali ini aku telah bebas dari kematian itu, karena Tuhan belum menghendakinya”.
Bahkan kini Agung Sedayu mengangkat wajahnya, dipandanginya Sidanti yang berdiri gemetar menahan marah, duapuluh langkah di hadapannya. Di tangannya kini masih tergenggam sebatang anak panah. Sedang Sidanti telah melepaskan satu-satunya anak panahnya. Ketegangan di lapangan itu segera sampai kepuncaknya. Dengan tajamnya Agung Sedayu menandang lawannya. Sidanti, yang dalam pandangan mata Sedayu, kini tidak lebih daripada dirinya sendiri. Sidanti itu tiba-tiba bukanlah seorang yang menakutkan lagi. Agung Sedayu, meskipun pundaknya telah terluka, namun luka yang tidak begitu dalam itu sama sekali tidak berpengaruh padanya. Kini ia dapat berbuat apa saja atas lawannya. Betapapun tangkasnya lawannya itu, namun ia mempunyai banyak waktu untuk membidiknya, menarik busurnya dalam-dalam dan melepaskan anak panah secepat tati. Dalam keadaan yang demikian, alangkah sulitnya untuk menghindari, sebab setiap kali ia dapat melepaskan anak panahnya dengan tiba-tiba. Sidanti masih berdiri tegak seperti tonggak. Kini tubuhnya bergetar semakin keras. Kemarahannya benar-benar telah memuncak sampai ke ubun-ubunnya. Meskipun demikian ia tidak gentar menghadapi panah Agung Sedayu. Dengan kecepatannya bergerak ia yakin bahwa ia mampu menghindari anak panah lawannya. Tetapi Agung Sedayu itu masih belum membidik lawannya. Meskipun kini ia sudah dapat melepaskan diri dari sebuah belenggu yang selama ini mengungkungnya dalam satu dunia yang gelap, namun masih belum terlintas di dalam angan-angannya untuk membunuh seseorang. Itulah sebabnya maka ia masih berdiri dengan ragu.
Dalam pada itu tiba-tiba terdengar suara Sidanti serak,
“He Sedayu, apa yang kau tunggu?”
Agung Sedayu terkejut mendengar suara itu. Sekali lagi ia menatap wajah lawannya dengan tajamnya. Wajah yang keras dan penuh dendam. Namun, betapa ia menjadi muak melihat wajah Sidanti, tetapi perasaan itu belum dapat memaksanya untuk mencoba membunuh seseorang. Dan kembali Agung Sedayu berdiri termangu-mangu. Lapangan kecil itu kini benar-benar dikuasai oleh kesenyapan yang tegang. Matahari di langit menjadi semakin rendah. Warna-warna merah dengan segarnya membayang di ujung-ujung pepohonan dan menyangkut di tepi-tepi gumpalan mega di langit. Sekali-sekali tampak di udara burung-burung cangak berbondong-bondong terbang pulang ke sarangnya. Melintas dari arah barat ketimur.
Dalam kesenyapan itu, tiba-tiba terdengar suara Untara dengan nada yang rendah,
“Agung Sedayu. Pertandingan ini akan segera selesai apabila kau telah melepaskan anak panahmu itu”

Agung Sedayu menjadi semakin bimbang. Dicobanya untuk menenangkan perasaannya. Dan dicobanya untuk memandang dada Sidanti. Tetapi, kembali ia tidak dapat memaksa dirinya untuk membunuh seseorang meskipun orang itu telah bertekad untuk membunuhnya. Yang terdengar kemudian kembali suara Untara,
“Agung Sedayu, adalah tidak bijaksana untuk membunuh lawan yang sudah tidak berdaya”
Agung Sedayu berpaling kepada kakaknya, seakan-akan ia telah menemukan suatu penyelesaian yang baik bagi perselisihannya. Ia dapat mengerti kata-kata kakaknya, sebagaimana ia selalu mendengar cerita ayahnya dahulu, bahwa penyelesaian dari persengketaan tidak harus ditandai dengan kematian. Tetapi tanpa disangka-sangka, maka Agung Sedayu itu mendengar suara Sidanti menggelegar,
“Agung Sedayu, aku bukan pengecut yang minta kau kasihani. Ayo kalau kau jantan. Cobalah membunuh Sidanti”
Agung Sedayu mengangkat keningnya. Namun Untara itu berkata pula,
“Anak panah yang sebatang itu hakmu Sedayu. Kemana saja kau bidikkan, maka perang tanding ini sudah selesai. Dan semua persoalan pun selesai pula”
“Jangan turut campur Untara. Urusan ini sama sekali bukan urusanmu” bentak Sidanti sambil menggertakkan giginya karena marah.
Tetapi Untara seakan-akan tidak mendengar kata-kata Sidanti. Bahkan Widura pun kemudian berkata,
“Kau benar Untara”
Agung Sedayu masih tegak dengan penuh kebimbangan. Ia kini telah berhasil menerobos dinding yang menyekapnya dalam ketakutan. Namun ia masih belum dapat berbuat lebih jauh daripada melihat kenyataan diri dan melihat kekuasaan yang menguasai hidupnya dan hidup orang-orang lain. Karena itu, ia menjadi semakin bimbang. Membunuh adalah perbuatan yang melawan kehendak Tuhan. Dalam kebimbangan itu tiba-tiba Agung Sedayu melihat serombongan burung cangak terbang rendah melintas di lapangan. Dan tiba-tiba pula ia ingin melepaskan ketegangan yang mencekam dadanya. Dengan serta-merta, ia mengangkat busurnya. Dan sesaat kemudian satu-satunya anak panahnya itu meloncat dengan cepatnya, menyambar seekor cangak yang terbang dengan tenang dan perlahan-lahan di atasnya. Semua orang terkejut melihat perbuatan Agung Sedayu. Mereka hanya sesaat melihat Agung Sedayu mengangkat busurnya. Dan sesaat kemudian mereka sudah melihat, seekor dari burung-burung cangak itu terpelanting dan jatuh di tanah. Agung Sedayu sendiri terkejut melihat hasil bidikannya. Cangak yang sama sekali tidak tahu menahu persoalannya itu tiba-tiba jatuh menjadi korbannya. Namun, adalah lebih baik melepaskan ketegangan di dadanya dengan membunuh seekor burung daripada membunuh Sidanti. Tanpa diduga-duga sebelumnya, maka tiba-tiba semua orang yang berdiri di lapangan itu pun kemudian melepaskan ketegangan yang selama ini mencengkam dada mereka. Dengan serta-merta meledaklah sorak-sorai yang gemuruh dengan dasyatnya, sedahsyat gunung Merapi itu meledak. Mereka bersorak karena mereka melihat akhir dari perang tanding itu tanpa jatuhnya korban. Mereka bersorak pula karena mereka melihat ketangkasan Agung Sedayu. Beberapa orang dari mereka bergumam,
“Alangkah dahsyatnya anak muda itu”

Tetapi, bagi Sidanti, apa yang terjadi itu seakan-akan merupakan tamparan yang langsung mengenai wajahnya. Karena itu, maka darahnya menjadi seakan-akan mendidih. Ia sudah tidak ingat lagi apakah yang sebaiknya dilakukan. Dengan gigi yang gemeretak ia meloncat maju sambil berteriak,
“Perang tanding ini belum selesai. Aku tantang kau dengan cara yang lain”
Teriakan Sidanti itu benar-benar mengejutkan. Semua orang yang mendengar tertegun heran. Bahkan Widura, Untara dan bahkan Agung Sedayu sendiri, mereka melihat Sidanti dengan wajah yang menyala-nyala datang mendekati Sedayu. Dilemparkannya busurnya ke tanah, lalu berkata,
“Agung Sedayu. Ada seribu macam cara untuk melakukan perang tanding. Marilah kita pilih salah satu di antaranya. Tidak mempergunakan jarak yang sejauh duapuluh langkah, tetapi kita lakukan dalam jarak yang dekat”
Agung Sedayu menjadi bingung. Ia telah menghindari kemungkinan yang lebih buruk dari perang tanding yang baru saja dilakukan. Ia dengan sengaja tidak membidik lawannya dengan anak panahnya. Tetapi kini bahkan ia dihadapkan pada kemungkinan yang lebih jelek. Namun dengan demikian, Hudaya, Citra Gati, Sendaya dan orang-orang lain menjadi semakin muak melihat kesombongan Sidanti. Hampir-hampir saja mereka tidak dapat mengendalikan diri mereka pula. Tetapi yang maju ke depan adalah Widura,
“Cukup Sidanti. Jangan membuat persoalan menjadi lebih parah”
Tetapi dengan kasarnya Sidanti menyahut,
“Apa pedulimu. Persoalan ini adalah persoalan antara Sidanti dan Agung Sedayu”
“Tetapi aku kali ini tidak akan mengijinkan” berkata Widura pula.
“Aku tidak perlu ijinmu” bantah Sidanti.
Widura itu pun kemudian menjadi marah pula. meskipun demikian ia tetap pada pendiriannya, bahwa ia tidak ingin melihat orang-orangnya menjadi hancur karena menikam dada sendiri, sementara Macan Kepatihan sudah soap untuk menerkam mereka. Karena itu maka katanya,
“Simpanlah tenaga kalian. Marilah kita adakan perlombaan yang lain. Kalau kalian tetap pada pendirian kalian ingin melihat siapakah yang lebih unggul di antara kalian, nah perlihatkanlah dalam perlawanan kalian atas Macan Kepatihan. Siapakah yang mampu membunuh Macan Kepatihan, maka ialah yang menang”
“Aku tidak akan menunggu sampai kesempatan itu datang” jawab Sidanti.
“Biarlah kita melakukannya sekarang. Yang menanglah yang kelak harus membunuh Macan Kepatihan. Kalau tidak biarlah ia dibunuh saja sama sekali”
“Aku tidak mengijinkan” berkata Widura tegas-tegas.
“Persetan” teriak Sidanti. Kemudian kepada Agung Sedayu ia berkata,
“Bersiaplah Agung Sedayu. Marilah kita bertempur tanpa senjata. Kita akan sampai pada suatu kepastian, siapakah yang akan mati di antara kita. Jangan berhenti sebelum keputusan itu jatuh”

Dada Agung Sedayu itu pun bergelora. Setelah darah tertumpah dari luka di pundaknya itu, tiba-tiba Agung Sedayu kini seolah-olah telah menemukan dirinya sendiri dalam nilai-nilai yang sewajarnya. Karena itu tiba-tiba terdengar anak muda itu menggeram. Dengan tatagnya ia berkata,
“Kalau itu yang kau kehendaki Sidanti, marilah aku layani”
Kembali suasana menjadi semakin tegang. Widura benar-benar terkejut mendengar jawaban Agung Sedayu. Jawaban yang sama sekali tak disangka-sangka. Dan sebenarnya memang Widura tidak tahu apa yang sudah bergolak di dalam dada Agung Sedayu. Setelah ia merasakan luka di tangannya, seakan-akan tumbuhlah kepercayaannya pada diri sendiri, bahwa Sidanti bukanlah seorang yang tak dapat dikalahkan. Untara tersenyum di dalam hati mendengar jawaban Agung Sedayu. Katanya dalam hati,
“Kalau anak itu selalu ikut saja bersama aku, maka tak akan ditemukannya kepercayaan pada dirinya. Agaknya keadaannya selama ini telah memaksa dirinya untuk mencoba menggantungkan nasibnya kepada diri sendiri”. Namun meskipun demikian, Untara tidak menghendaki perkelahian itu berlangsung. Ia dapat mengerti sepenuhnya, apa yang sedang dijaga sebaik-baiknya oleh Widura. Karena itu, maka Untara itu pun berkata,
“Agung Sedayu. Tidak seharusnya setiap tantangan kau terima. Kau dapat menolaknya untuk kepentingan yang lebih besar dari kepentingan diri kita sendiri. Pertandingan hari ini sebenarnyalah telah selesai. Laskar Pajang di Sangkal Putung hanya diperkenankan melakukan perlombaan memanah. Lebih daripada itu tidak. Bahkan kalian telah melakukannya melampaui kebiasaan, dimana kalian mempergunakan diri kalian untuk sasaran”
“Jangan ikut campur Untara” teriak Sidanti keras-keras.
“Kedatanganmu kemari sama sekali tidak kami harapkan. Pergilah dan kalau ingin menonton, nontonlah. Jangan ribut”
“Sidanti” jawab Untara,
“aku mencoba melihat jauh seperti yang dikatakan paman Widura. Jangan mempertajam pertentangan di antara kita sendiri”
“Aku tidak perlu mendengar sesorahmu” bentak Sidanti.
“Jangan gurui aku. Aku tahu apa yang akan terjadi di Sangkal Putung. Kau sangka tanpa Agung Sedayu pekerjaan di Sangkal Putung ini tidak akan selesai?”
Untara menarik alisnya. Sebelum ia menjawab, didengarnya Agung Sedayu berkata,
“Kakang, berilah aku kesempatan”
Untara menjadi heran pula mendengar tekad adiknya. Bahkan kemudian Agung Sedayu itu berkata pula kepada Widura,
“Paman, biarlah aku mencobanya”
“Tidak Sedayu” jawab Widura dan Untara hampir bersamaan.

Rupanya Agung Sedayu itu pun menjadi kecewa. Ledakan yang meronta-ronta di dalam dadanya setelah selama ini terkekang dalam suatu himpitan ketakutan, seakan-akan sedang mencari salurannya. Karena itu betapa tak terduga arus yang melanda dada Agung Sedayu itu. Meskipun demikian, Agung Sedayu adalah seorang anak yang patuh kepada kakaknya sejak masa kecilnya. Karena itu, maka ia tidak akan dapat memaksa seandainya kakaknya mencegahnya.
Tetapi Sidanti tidak menjadi reda karenanya. Seperti orang gila ia berteriak-teriak,
“Jangan halangi aku. Siapa yang menghalangi aku itulah lawanku. Aku bunuh ia tanpa sebab”
Widura mengangkat wajahnya memandang wajah Sidanti yang telah benar-benar menjadi buas. Sekali lagi ia ingin mencoba melunakkannya. Dengan hati-hati Widura melangkah maju sambil berkata,
“Sidanti, sadarilah keadaanmu. Keadaan kita bersama di Sangkal Putung ini. Jangan memandang keadaan dalam suatu lingkungan yang sempit. Tetapi pandanglah seluruh persoalan yang kita hadapi”
Namun agaknya kata-kata Widura itu sia-sia saja. Sidanti telah menjadi seakan-akan wuru. Yang ada di dalam benaknya hanyalah kekerasan, perkelahian, dan membunuh atau dibunuh. Karena itu ia menjawab,
“Jangan halangi aku”
Untara pun melihat, bahwa sama sekali tak ada kemungkinan untuk dapat mengekang Sidanti. Karena itu maka ia akan berusaha untuk menyingkirkan adiknya. Apabila Agung Sedayu dapat dijauhkannya, dan perkelahian iu dapat ditunda, maka nanti apabila kepala Sidanti telah bertambah dingin, segala sesuatu akan dapat diselesaikannya dengan baik. Karena itu, betapa kecewanya Agung Sedayu, namun ia tidak dapat berbuat apa pun ketika kakaknya menarik tangannya dan membawanya meninggalkan tempat itu. Tetapi sebelum Agung Sedayu dan Untara berhasil menerobos lingkaran yang pepat itu terdengar Sidanti berteriak,
“Jangan pergi pengecut. Tak ada gunanya. Aku akan mengejarmu sampai ke ujung bukit Merapi itu sekalipun”
Namun Untara tak menghiraukannya. Didorongnya adiknya dan disibakkannya orang-orang yang mengerumuninya. Meskipun demikian Sidanti yang gila itu meloncat maju sambil berteriak lebih keras lagi,
“Berhenti pengecut”
Widura lah yang kemudian kehabisan kesabaran. Ia sudah menjadi sedemikian bingungnya mencegah perkelahian itu. Karena itu, tiba-tiba ia pun berteriak nyaring,
“Sidanti, berhenti di tempatmu. Aku adalah pimpinan laskar Pajang di Sangkal Putung. Aku mempunyai wewenang untuk melakukan segala kebijaksanaan di sini. Aku perintahkan kau tetap di tempatmu”
Kata-kata itu menggelegar ditelinga Sidanti. Dengan cepatnya ia memutar tubuhnya menghadapi Widura, namun Widura benar-benar telah siap. Dan bahkan tiba-tiba Sidanti itu pun melihat Hudaya, Citra Gati, Sendawa dan bahkan Swandaru meloncat maju. Tanpa berjanji mereka seakan-akan telah mengepung Sidanti yang hampir menjadi gila itu. Sidanti menggeram. Matanya yang buas menjadi semakin buas. Ditatapnya orang-orang yang berdiri di sekitarnya seolah-olah hendak ditelannya bulat-bulat. Dengan kemarahan yang seakan-akan hendak meledakkan dadanya Sidanti berteriak,
“ayo, ayo. Majulah bersama-sama. Inilah Sidanti, murid Ki Tambak Wedi”

Widura menatap wajah Sidanti yang menyala itu dengan mata menyala pula. tiba-tiba saja ia berkata,
“Sidanti, apakah kau sedang menunggu bantuan gurumu? Jangan kau harapkan itu, sebab di sini hadir pula orang yang dahulu pernah mencegah gurumu membunuh aku itu. Kau lihat cemeti kuda yang terjatuh di samping tanda yang dilemparkan gurumu itu?” Kata-kata itu terasa berdentangan di dada Sidanti. Namun tidak hanya Sidanti yang terkejut karenanya. Semua orang menjadi terkejut pula, ternyata lingkaran besi dan cemeti kuda itu adalah permulaan dari pertentangan-pertentangan yang akan menjadi semakin memuncak dari dua orang sakti yang tak mereka ketahui dan belum pernah mereka lihat pula orangnya.
Sesaat Sidanti berdiam diri. Memang ia mengharap gurunya akan membantunya, melawan kelinci-kelinci yang tak berarti itu di hadapan Ki Tambak Wedi. Tetapi kemudian disadarinya, bahwa ternyata di lapangan itu hadir pula, orang lain yang pernah mencegah langkah gurunya di tegalan kemarin malam. Karena itu maka Sidanti itu berbimbang untuk sesaat. Tetapi kemarahannya telah benar-benar menguasai otaknya. Sehingga betapapun yang akan dihadapinya, namun ia sama sekali tidak dapat memperhitungkannya. Dengan demikian, maka Sidanti itu sama sekali tidak menjadi surut. Bahkan dengan lantangnya ia menjawab,
“Apakah kau sangka Sidanti hanya dapat menggantungkan dirinya kepada orang lain? Ki Tambak Wedi telah menempa Sidanti untuk menjadi seorang laki-laki jantan. Ayo. Siapakah yang pertama-tama. Agung Sedayu atau kakaknya yang bernama Untara itu.”
Untara mencoba untuk tidak menghiraukannya. Tetapi Agung Sedayu tiba-tiba berhenti di tempatnya. Tiba-tiba ia merasa, bahwa sebenarnya ia tidak mau pula dihinakan. Apalagi setelah ia menemukan penilaian yang wajar atas dirinya, justru setelah sebatang anak panah menyobek pundaknya.
“Menyingkirlah Sedayu” desah Untara.
“Ia menghinaku kakang.” Jawab Sedayu.
Tetapi Untara berbisik,
“Sidanti adalah seorang anak muda yang tangguh. Sedangkan kau, agaknya baru saja menyadari kelaki-lakianmu. Kau tidak akan dapat melawannya.”
Tetapi ledakan-ledakan yang dasyat di dada Agung Sedayu itu pun telah membakar hatinya pula. Karena itu ia menjawab,
“berilah aku kesempatan.”
Untara menjadi jengkel karenanya. Maka dibentaknya adiknya,
“Pergi. Biar paman Widura mengurus Sidanti”
Tiba-tiba Untara terkejut ketika ia mendengar Sidanti berteriak,
“Untara. Jangan kau sembunyikan adikmu. Atau kau sendiri yang hendak bersembunyi?”

Terasa sesuatu berdesir di dalam dada Untara. Ia dapat mencegah orang lain untuk tidak menghiraukan maki dan cerca, namun ketika kata-kata itu ditujukan kepada dirinya, terasa dadanya itu bergetar. Meskipun demikian, Untara itu tidak berpaling. Yang didengarnya kemudian adalah suara pamannya, Widura,
“Sidanti, kalau kau tetap dalam pendirianmu, maka perintah untuk menangkapmu segera akan aku jatuhkan”
Ternyata Sidanti benar-benar telah kehilangan segenap pertimbangannya. Ia seolah-olah tidak mendengar kata-kata Widura. bahkan kemudian ia berkata kepada Untara,
“Untara, kalau kau sembunyikan adikmu maka kaulah lawanku”
Kini Untara terpaksa berhenti. Terasa dadanya bergetar semakin cepat. Namun ketika dilihatnyan luka di pundak Sedayu, Untara menarik nafas. Sedayu, Betapapun tinggi ilmunya, namun ia sama sekali belum berpengalaman dalam satu perkelahian yang benar-benar menentukan hidup dan mati. Apalagi kini pundaknya itu telah terluka, dan darah mengalir dari luka itu. Karena itu maka kekuatannya pun pasti berkurang.
Untara terkejut ketika Agung Sedayu mendesaknya,
“Kakang, apakah kakang akan membiarkan Sidanti menghina kita?”
“Jangan Sedayu” sahut Untara,
“Sadarilah keadaanmu. Pundakmu telah terluka. Mungkin pundak itu tidak terganggu pada saat kau menarik busur, tetapi dalam pertempuran jarak dekat, maka luka itu akan sangat berpengaruh”
Agung Sedayu meraba lukanya. Terasa luka itu memang pedih. Tetapi serasa sama sekali tidak berpengaruh baginya. Namun Untara itu pun dapat memperitungkannya dengan tepat, maka sambungnya,
“Kalau kau bergerak, maka darah akan semakin banyak mengalir dari luka itu. Kau akan menjadi lemas, dan lehermu akan dipilin sampat patah oleh iblis itu”
Tetapi seperti bendungan yang baru saja pecah oleh banjir, maka Agung Sedayu benar-benar sedang mencari saluran untuk menumpahkan ledakan-ledakan yang terjadi di dadanya. Namun ia tidak berani melawan kehendak kakaknya. Karena itu hanya dadanya sajalah yang bergelora. Sementara itu terdengar Sidanti berkata pula,
“Untara. Jangan kau sembunyikan anak itu. Atau kau sendiri terpaksa aku bunuh di lapangan ini”
Sekali lagi dada Untara bergetar. Ketika ia berpaling, ia melihat Widura mengangkat tangannya. Hampir saja Widura menjatuhkan perintah untuk menangkap Sidanti. Tetapi segera Untara mencegahnya,
“Jangan paman”
Widura tertegun. Tangannya itu pun terkulai kembali. Dengan tegangnya ia memandang wajah Untara. Tetapi untara itu kemudian berkata,
“Paman, biarlah Agung Sedayu aku bawa kembali kekademangan. Aku harap Sidanti dapat menenangkan hatinya sehingga kemudian ia mendapat pertimbangan-pertimbangan yang wajar”

Tetapi kata-kata Untara itu justru semakin menyakitkan telinga Sidanti. Hatinya yang marah itu menjadi semakin parah. Dengan serta-merta ia melontarkan dirinya, langsung menyerang Untara yang sekali lagi tidak bersiaga. Tetapi Untara bukanlah anak-anak yang menangis melihat barongan-ndadi. Ketika ia melihat Sidanti itu dengan satu loncatan panjang menyerangnya, segera ia menarik satu kakinya ke samping dan dengan merendahkan dirinya, Untara berhasil menghindari tangan Sidanti yang menyambar kepalanya. Agung Sedayu yang berdiri di muka Untara pun terpaksa menghindar pula. tidak kalah tangkasnya, ia pun meloncat surut. Sementara itu terdengar Widura berteriak nyaring,
“Sidanti. Apakah kau telah benar-benar menjadi gila. Hai Citra Gati, bersiaplah”
Citra Gati pun segera meloncat maju diikuti oleh beberapa orang yang lain. Tetapi segera Untara berteriak pula,
“Jangan maju bersama-sama”
“Aku berhak menangkapnya” sahut Widura.
“Jangan” berkata Untara.
“Aku adalah senapati Pajang di Sangkal Putung” desak Widura.
“Aku adalah pemegang kuasa dari panglima Wiratamtama, Ki Gede Pemanahan untuk daerah di sekitar gunung Merapi. Mengamati dan mengamankan segala kebijaksanaan panglima, termasuk daerah Sangkal Putung” potong Untara.
“Oh” Widura itu pun terdiam. Kini benar-benar disadarinya akan kedudukan kemenakannya itu. Karena itu, maka kemudian dibiarkannya kemenakannya itu membuat kebijaksanaan sendiri.
Sidanti pun mendengar kata-kata Untara itu. Sesaat kata-kata itu berpengaruh juga di dalam benaknya. Namun sesaat kemudian ia sudah tidak memperdulikannya lagi. Pertimbangan-pertimbangannya sudah tidak dapat mempengaruhi kemarahannya. Di hadapan sekian banyak orang, Sidanti yang merasa dirinya pahlawan yang tak terkalahkan itu, harus menunjukkan bahwa sebenarnyalah ia tak dapat dikalahkan. Karena itu, bahkan Sidanti itu berkata,
“Apa yang akan kau lakukan Untara, pemegang kuasa penglima Wiratamtama untuk daerah ini?”
“Sidanti” berkata Untara.
“Atas nama kekuasaan yang ada padaku, jangan berbuat hal-hal yang dapat merugikan nama baik Wiratamtama”
“Ini adalah kesempatan bagiku” berkata Sidanti,
“Seharusnya akulah yang memegang jabatan itu. Sebenarnya Sidanti lebih tangguh daripada Untara”
“Jangan mengigau Sidanti” potong Untara. Betapapun ia mencoba menyabarkan dirinya, namun darahnya pun adalah darah seorang prajurit muda. Ketika ia melihat Agung Sedayu melangkah maju, didorongnya adiknya itu ke samping sambil berkata pula,
“Sadari kedudukanmu. Atau aku harus menempuh kebijaksanaan lain seperti paman Widura”
“Terserah padamu Untara” sahut Sidanti,
“Tetapi aku ingin menantangmu kini. Apakah kau benar-benar berhak memakai pangkatmu itu. Atau ternyata akulah yang sebenarnya berhak”

Untara menggigit bibirnya. Sidanti benar-benar keras kepala. Pengaruh kehadiran gurunyalah yang telah memaksanya untuk berbuat gila itu. Sementara itu, matahari telah tenggelam di bawah garis cakrawala. Lapangan itu pun menjadi semakin lama menjadi semakin gelap. Hanya bintang-bintang di langit sajalah yang kemudian gemerlapan, seolah-olah ikut serta berdesak-desakan menyaksikan apa yang akan terjadi di lapangan itu. Untara masih berdiri sambil menggigit bibirnya. Getar di dalam dadanya terasa menjadi semakin bergelora. Kalau ia bertindak atas nama jabatannya, serta mengerahkan anak buah Widura untuk menangkap Sidanti, maka dendam yang membakar hati anak muda itu masih akan menyala untuk selama-lamanya. Sidanti akan mungkin sekali kelak mencari kesempatan untuk membalas dendam terhadap orang-orang Widura itu satu per satu. Dengan demikian maka keadaan Sangkal Putung akan menjadi bertambah sulit. Namun tiba-tiba Untara itu pun melangkah maju. Dengan lantang ia berkata,
“Aku terima tantangan Sidanti”
“Untara” terdengar Widura memotong kata-kata kemenakannya.
“Paman” sahut Untara.
“Persoalan ini biarlah aku jadikan persoalan antara aku dan Sidanti. Persoalan perseorangan yang sama sekali tidak menyangkut kedudukan kami masing-masing. Persoalan perseorangan yang akan kami selesaikan secara perseorangan pula. Bukankah begitu Sidanti?”
Sidanti benar-benar sudah tidak dapat membedakan antara persoalan perseorangan dan peroalannya dalam ikatan kelaskaran. Tiba-tiba saja ia berteriak menjawab,
“Ya. Aku tidak perduli persoalan apa pun yang kau pilih. Namun biarlah kita bertakar darah, melihat siapa yang lebih keras tulangnya dan siapakah yang lebih liat kulitnya”
Widura sudah tidak mungkin lagi untuk mencegah perkelahian itu. Kini Sidanti dan Untara telah maju dan orang-orang di sekitarnya dengan sendirinya, berdesakan mundur. Meskipun lapangan itu menjadi semakin gelap, dan sebagian dari mereka sudah tidak dapat lagi melihat apa yang terjadi di tengah-tengah lingkaran manusia itu, namun mereka masih belum mau meninggalkan lapangan itu. Mereka masih hendak menunggu, apakah yang terjadi dengan Untara dan Sidanti. Ternyata Sidanti benar-benar tak dapat mengekang dirinya. Dengan penuh nafsu ia meloncat menghadapi Untara. Sedang Untara itu pun segera bersiaga pula. Untara itu pun sadar sesadar-sadarnya bahwa lawannya kali ini adalah murid Ki Tambak Wedi, seorang sakti yang namanya telah dikenal oleh setiap orang hampir dari segala penjuru. Sidanti itu ternyata tak mau banyak bicara lagi. Dengan suatu peringatan pendek ia menggeram,
“Untara, aku mulai”

Sebelum Untara sempat menjawab, Sidanti telah meloncat menyerangnya. Sebuah pukulan mendatar mengarah ke pelipis lawannya. Namun Untara telah bersiaga sepenuhnya. Betapapun cepatnya gerak Sidanti, namun Untara masih sempat dengan tangkasnya menghindari. Dengan satu gerakan yang cepat, Untara menundukkan kepalanya. Tetapi ia tidak membiarkan tangan Sidanti yang masih terjulur itu. Dengan cepatnya disambarnya tangan itu dengan sebuah ketukan dipergelangan. Tetapi Sidanti cukup cekatan pula, dengan kecepatan yang sama Sidanti berhasil menarik tangannya dan membebaskannya dari ketukan tangan Untara. Untara menarik nafas dalam-dalam melihat kecepatan Sidanti. Nama Ki Tambak Wedi benar-benar bukan sekedar cerita yang berlebih-lebihan. Kini ternyata Untara mengalami sendiri, betapa cekatannya murid Ki Tambak Wedi. Ternyata pula, sesaat kemudian Sidanti telah mulai menyerangnya kembali. Dengan garangnya Sidanti melontarkan sebuah serangan dengan kakinya ke arah lambung lawannya. Namun sekali lagi Untara berhasil menarik satu kakinya, dan dengan memiringkan tubuhnya ia telah terhindar dari serangan Sidanti. Tetapi Sidanti tidak mau membiarkan lawannya, dengan sebuah putaran pada satu kakinya, Sidanti melepaskan serangan kaki berganda. Demikian cepatnya, sehingga Untara terpaksa meloncat selangkah mundur. Ketika Sidanti akan mencoba mengejarnya dengan serangan pula, maka Untaralah yang kini mendahului lawannya. Dengan tangkasnya ia melontar menyambar dada Sidanti yang masih mencoba menyergapnya. Sidanti terkejut melihat serang yang tiba-tiba itu. Dengan cepat ia merendahkan dirinya dan bahkan kemudian ketika tangan Untara yang lain menyambar kepalanya, Sidanti terpaksa melontar ke samping. Maka mereka sesaat kemudian tenggelam dalam satu pertempuran yang sengit. Sidanti yang tangkas dan lincah melawan Untara yang tangguh-tanggon. Betapa ilmu Ki Tambak Wedi terpaksa berbenturan dengan ilmu dari Jati Anom, Widura, Ki Demang Sangkal Putung, Hudaya, Citra Gati, Swandaru dan bahkan Agung Sedayu yang berdiri di sekitar arena itu, melihat perkelahian itu dengan wajah yang tegang. Mereka mengenal Sidanti sebagai seorang anak muda yang telah berhasil mempertahankan diri, meskipun tidak sepenuhnya, terhadap serangan-serangan Tohpati. Karena itu, maka mereka menjadi berdebar-debar. Seandainya Untara tak berhasil mempertahankan dirinya, maka Sidanti yang gila itu pasti dapat berbuat hal-hal diluar kemungkinan yang wajar. Namun sebenarnya Widura tidak menjadi cemas atas nasib Untara. Ia ahu betul bahwa kemenakannya yang besar itu, setidak-tidaknya pasti akan dapat menyamai Sidanti. Tetapi apakah selama ini lukanya telah benar-benar sembuh, sehingga segenap kekuatannya telah pulih kembali. Namun melihat kecepatannya bergerak, Widura menduga Untara telah mencapai keadaan dan kemantapan ilmu seperti sediakala. Sehingga dengan demikian, maka perkelahian itu pasti akan berlangsung dahsyat sekali.
Sebenarnyalah pertempuran itu semakin lama menjadi semakin seru. Sidanti yang dengan penuh nafsu bertempur itu, segera mengerahkan segenap kemampuannya. Semakin cepat ia dapat menjatuhkan lawannya, semakin tinggi pula nilai dirinya. Bahkan apabila kelak Agung Sedayu tidak puas melihat kekalahan kakaknya, biarlah ia sendiri mencobanya. Karena itulah maka serangan-serangan Sidanti menjadi semakin seru seperti angin ribut yang menghantam pepohonan. Berputar-putar dengan dahsyatnya. Namun Untara itu pun tangguh setangguh batu karang pantai. Tegak dengan kokohnya, seakan-akan berakar menghunjam bumi. Tetapi apabila serangannya melanda lawannya, beruntun seperti batu-batu yang berguguran di lereng Merapi.

Pertempuran di lapangan di muka banjar desa itu semakin lama menjadi semakin seru. Keduanya adalah anak-anak muda yang sedang berkembang. Mereka meiliki bekal ilmu yang tak dimiliki oleh kebanyakan orang. Maka perkelahian di antara mereka benar-benar menjadi sedemikian sengitnya seperti petir yang sedang bersabung di udara. Sambar menyambar dalam kecepatan yang hampir tak dapat diikuti oleh mata. Sehingga karena itu, maka mereka berdua kemudian, seakan-akan telah berubah menjadi bayangan-bayangan yang terbang berputaran, bahkan kemudian mereka seakan-akan telah berubah menjadi gumpalan asap hitam dimalam yang gelap. Tetapi semakin lama menjadi semakin terang bagi Untara. Setelah ia bertempur dengan segenap tenaga pada taraf permulaan, akhirnya berhasil menemukan dan mengetahui letak kekuatan dan kelemahan lawannya. Meskipun Sidanti pun mampu pula mengamati kelemahan lawannya, namun ternyata Untara menang seulas dari Sidanti. Untara, yang memegang kekuasaan dari Panglima Wiratamtama di daerah itu, ternyata bukan seorang yang hanya mempunyai nama mengagumkan. Tetapi Untara benar-benar seorang yang dapat dipercaya. Lahir dan batinnya. Dengan demikian, maka kemudian Untara dapat menempatkan dirinya pada keadaan yang tepat. Tetapi justru karena ia telah dapat melihat nilai dari dirinya sendiri di hadapan lawannya itu, maka ia menjadi semakin tenang. Dengan demikian sambil bertempur ia kini sempat mencari kemungkinan-kemungkinan yang sebaik-baiknya untuk menyelesaikan persoalan yang disebutnya dengan persoalan pribadi. Namun, ternyata Sidanti masih memeras tenaganya habis-habisan. Ia telah benar-benar waringuten. Otaknya seakan-akan telah berhenti bekerja kecuali mencari kemungkinan-kemungkinan untuk membinasakan lawannya dalam perkelahian itu. Mula-mula memang ia merasakan tekanan Untara menjadi semakin bertambah tajam. Namun kemudian tekanan-tekanan itu seolah-olah menjadi terurai kembali. Dan dalam penilaian Sidanti, keadaan mereka menjadi seimbang kembali. Sebenarnyalah, kini Untara telah menemukan suatu cara untuk menyelesaikan persengketaan ini tanpa menimbulkan dendam. Meskipun kemudian terasa olehnya, bahwa meskipun berat, namun ia akan dapat menguasai lawannya, tetapi Untara tidak mau berbuat demikian. Sebab, apabila ia menekan Sidanti, sehingga anak muda yang keras hati itu dilumpuhkan, maka dendam akan tetap membara di dadanya. Dendam itu akan dapat berbahaya bagi Sangkal Putung. Apabila dendam itu meledak pada saat kedatangan laskar Jipang, maka akibatnya akan mengerikan sekali. Dengan demikian, terbesitlah kebijaksanaan di dalam diri Senapati muda dari Jati Anom itu. Ia kini tidak benar-benar ingin menundukkan Sidanti. Meskipun ia tetap memberi kesan, bahwa ia bertempur mati-matian, namun sebenarnya Untara kini seakan-akan tinggal melayani segala solah lawannya. Sekali-sekali ia menghindar, dan sekali-sekali ia menyerang pula. Tetapi serangannya tidak benar-benar mengarah ke tempat-tempat yang berbahaya. Demikian cakapnya Untara membawakan dirinya, serta karena kelebihan ilmunya yang kemudian meyakinkannya, maka Sidanti selama ini masih belum tahu apa yang dilakukan oleh Untara. Itulah sebabnya ia masih berjuang sekuat-kuat tenaganya. Dan memang demikianlah yang dikehendaki oleh Untara. Sekali-sekali ia menekan lawannya, kemudian melepaskannya dalam keadaan yang menguntungkan. Dengan demikian maka nafsu bertempur Sidanti itu menjadi melonjak-lonjak tak terkendali. Sebab sekali-sekali ia menjadi cemas, namun tiba-tiba ia melihat kesempatan terbuka. Sehingga mau tidak mau ia ingin mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya.

Tetapi bagi mereka yang tidak mengalami pertempuran itu, mempunyai kesempatan untuk menilai apa yang sebenarnya telah terjadi. Tetapi tidak semua orang dapat berbuat demikian. Yang pertama-tama melihat permainan Untara itu adalah Widura, dan kemudian Agung Sedayu. Mereka dengan dada yang berdebar-debar menanti, bagaimana akhir dari pertempuran itu. Sebab dengan permainannya maka Untara tidak akan mau melumpuhkan lawannya. Hudaya, Citra Gati dan beberapa orang laskar Pajang pun melihat sesuatu yang aneh. Tetapi mereka tidak dapat mengerti, apakah sebabnya maka pertempuran itu kadang-kadang menjadi sangat berat sebelah, namun kemudian menjadi seimbang kembali. Sedang orang-orang lain yang berdiri melingkari arena itu, sama sekali tidak tahu, bagaimana mereka harus menilai perkelahian itu. Bahkan ada di antara mereka yang menjadi pening, dan ada pula yang bahkan tidak melihat sesuatu karena malam yang menjadi semakin kelam. Dalam pada itu, semakin lama, maka usaha Untara untuk mencapai penyelesaian menurut rencananya, tampaknya akan berhasil. Tenaga Sidanti yang terperas itu semakin lama menjadi semakin susut. Sedang Untara, yang memiliki bekal serta pengalaman yang lebih banyak, masih tetap pada kesegarannya semula. Tetapi ia tidak mau menunjukkan kelebihannya itu. Ia ingin Sidanti menyelesaikan pertempuran tanpa menjadi kecewa, malu atau dendam. Untara ingin memberi kesan, bahwa perkelahian itu akan berhenti dengan sendirinya tanpa ada yang kalah tanpa ada yang menang. Meskipun hati kecilnya, kadang-kadang ingin juga menunjukkan kelebihannya, sebagai seorang yang mendapat kekuasaan yang luas, namun ia berpikir lebih jauh dari harga diri itu. Ia melihat Sangkal Putung tidak saja malam ini. Tetapi besok, lusa, beberapa hari dan minggu yang akan datang, bahkan Sangkal Putung untuk masa yang tak terbatas dalam lingkungan pemerintahan Pajang. Dan ternyata pula kemudian, tandang Sidanti itu pun menjadi semakin susut. Kegarangannya lambat laun menjadi berkurang dan lincahannya pun menjadi surut pula, demikian pula yang dilakukan oleh Untara.


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar