Meskipun demikian, Sidanti menjadi agak kecewa pula. Setelah ia mendengar bahwa bagi mereka hanya diadakan satu macam perlombaan saja. Memanah. Yang lain tidak.
“Biarlah”
katanya dalam hati.
“Aku pun jemu
pada permainan anak-anak itu. Tetapi memanah adalah permainan yang
mengasyikkan”
Hari itu telah
dilampaui oleh anak-anak Sangkal Putung dengan penuh kesibukan. Bahkan sampai
pada malam harinya pun mereka hampir tidak dapat tidur. Mereka sibuk dengan
berbagai persoalan di dalam angan-angannya. Sedangkan mereka yang besok akan
turun kearena, masih mencoba untk menambah ketrampilannya. Meskipun demikian,
Widura tidak kehilangan kewaspadaan. Dibiarkannya anak-anak Sangkal Putung
sibuk dengan persoalannya. Namun Widura tetap menempatkan orang-orangnya di
segenap penjuru. Ia tidak mau dengan tiba-tiba ditelan begitu saja oleh laskar
Tohpati. Karena itu, setiap saat ia tetap pada kesiapsiagaan yang sebenarnya.
Bukan sekedar bersiap untuk mengadakan perlombaan-perlombaan semacam itu.
Karena itu, maka malam itu pun Widura telah bersiap untk berkeliling
kademangan. Kali ini ia tidak berjalan bersama Sidanti, tetapi kembali ia pergi
dengan Agung Sedayu.
Agung Sedayu
tidak pernah mengetahui apa yang telah terjadi dengan pamannya. Dan ia tidak
tahu pula, mengapa semalam pamannya membawa Sidanti serta, dan kini ia harus
ikut pula kembali seperti malam-malam sebelumnya. Seperti biasanya, setelah
mereka berkeliling di semua gardu-gardu perondaan, maka mereka berdua pergi ke
tempat mereka berlatih, gunung Gowok. Di sepanjang perjalanan itu, hampir tak
ada yang mereka percakapkan. Widura tidak memberitahukan apa saya yang pernah
terjadi, dan Sedayu tidak mau menyatakan pertanyaan-pertanyaan yang bergelut di
dalam dadanya. Namun kemudian, ketika mereka hampir sampai ke puntuk kecil itu,
terdengar Widura berkata,
“Sedayu,
apakah kau tidak ingin ikut serta berlomba?”
Agung Sedayu
tidak segera menjawab. terjadilah suatu kesibukan di dalam dadanya. Ia merasa,
bahwa ia pun mampu untuk melepaskan panah hampir dalam keadaan yang tak mungkin
dilakukan oleh orang lain. Namun, sekali lagi Sedayu terpaksa menggigit
bibirnya. Ia belum berhasil melampaui dinding yan memagari jiwanya. Alangkah
kerdilnya. Ia takut, kalau ia tidak dapat melakukan dengan pantas, sehingga
orang-orang di Sangkal Putung akan kecewa terhadapnya. Ia takut bahwa orang-orang
itu akhirnya mengetahui tentang dirinya. Bahwa ia tidak lebih dari seorang
pengecut. Karena kebimbangan dan kecemasan yang bercampur baur di dalam
dadanya, Sedayu masih tetap berdiam diri.
“Sedayu” akhirnya
terdengar pamannya berkata,
“Aku telah
mencegah dilakukannya perlombaan-perlombaan segala macam jenis. Aku mencoba
untuk menghindarkan setiap persoalan yang akan mempertajam ketegangan dan
prasangka di antara anak buahku. Selain itu, aku telah menghindarkan
kemungkinan, bahwa orang-orang Sangkal Putung dan anak buahku mengharap suatu
pertandingan yang dahsyat antara Sidanti dan adik Untara yang mereka
bangga-banggakan.” Widura terdiam sesaat. Ketika ia berpaling, dilihatnya Agung
Sedayu berjalan sambil menekurkan kepalanya. Kata-kata pamannya itu benar-benar
telah menampar jantungnya. Kalau benar-benar terjadi, bagaimanakah sikap yang
akan diambilnya. Apakah ia akan melawan Sidanti? Alangkah mengerikan. Sidanti
adalah seorang anak muda yang perkasa, yang telah mampu melawan Tohpati
meskipun tidak sempurna. Karena itu, meskipun dengan rotan sebesar ibu jari kaki,
atau dengan tongkat berujung bola rotan, Sidanti itu akan dapat membunuhnya.
Dan ia akan mati terkapar di tengah arena, diiringi dengan teriakan dan
umpatan-umpatan penuh kekecewaan atas dirinya.
Tiba-tiba bulu
kuduk Sedayu berdiri. Dan tiba-tiba pula ia menjawab,
“aku tidak
ikut dalam perlombaan apa pun paman”
Widura lah
yang kini terdiam. Kalau Agung Sedayu itu sama sekali tidak turut, maka akan
timbullah berbagai pertanyaan di antara anak buahnya. Karena itu ia berkata,
“Sedayu,
bukankah kau masih pandai melepaskan panah?”
Mendengar
pertanyaan pamannya itu sekali lagi Agung Sedayu terdiam. Sehingga terdengar
Widura mendesaknya,
“Sedayu,
bukankah kau masih pandai memanah? Mungkin kau dapat ikut dalam perlombaan itu
sehingga kau akan dapat memenangkannya”
Berbagai
persoalan kini saling mendesak di dalam dada Agung Sedayu. Apakah sebenarnya
yang ditakutinya dalam perlombaan memanah? Kalah atau menang, maka ia tak akan
menderita sakit karenanya. Namun tiba-tiba Agung Sedayu itu menjadi ngeri
membayangkan akibat dari perlombaan itu. Kalau ia kalah, maka orang akan sangat
kecewa kepadanya, namun apabila ia memenangkan perlombaan itu dan mengalahkan
Sidanti, maka jangan-jangan anak muda yang perkasa itu mendendamnya. Karena itu
akhirnya Agung Sedayu menjawab,
“Aku tidak
ikut paman”
“He” Widura menjadi
semakin tidak mengerti.
“Perlombaan
memanah pun kau tidak berani?”
“Aku sedang
berpikir tentang akibatnya. Kalau aku menang atas Sidanti, maka jangan-jangan
Sidanti menjadi semakin bersakit hati” jawab Sedayu.
“Hem”
terdengar Widura menggeram. Hampir ia tidak dapat menahan kejengkelannya.
Seandainya ia tidak mengingat bahwa anak itu adalah anak kakaknya perempuan,
maka Sedayu pasti sudah dipukulnya dan dipaksanya untuk berbuat sesuatu. Atau
malahan sudah dipaksanya untuk bertempur melawan Sidanti. Atau anak itu telah
lama diusirnya dari Sangkal Putung. Tetapi apa boleh buat. Namun anak itu
benar-benar telah memusingkan kepalanya, meskipun kali ini alasannya bisa juga
dimengerti. Akhirnya mereka sampai juga digunung Gowok. Dengan penuh
kejengkelan Widura membawa Agung Sedayu dalam satu latihan. Karena itu maka apa
yang dilakukan Widura, hampir merupakan pertempuran yang sebenarnya. Tetapi
alangkah bodohnya Sedayu. Ia tidak dapat mengerti hati pamannya, sehingga ia
tidak menyangka bahwa pamannya kali ini ingin mencobanya, supaya sekali-sekali
ia mengalami suatu keadaan seperti yang harus dialami oleh setiap laki-laki.
Sedayu hanya menganggap bahwa pamannya telah menuntunnya dalam suatu tingkatan
yang lebih maju dari yang biasa dilakukannya. Maka karena ia takut bahwa
pamannya akan marah kepadanya, seandainya ilmunya tidak maju-maju juga, maka
Agung Sedayu itu pun kemudian mencoba melayani pamannya dengan sepenuh tenaga
pula. Maka Widura melepaskan kejengkelan hatinya pada latihan itu. Serangannya
datang bertubi-tubi. Ia ingin melihat apa yang dilakukan Agung Sedayu, apabila
tubuhnya benar-benar terkena oleh serangannya. Tetapi sekali lagi Widura itu
mengumpat tak habis-habisnya di dalam hatinya. Demikian ia memperketat
serangannya, maka pertahanan Agung Sedayu pun menjadi semakin rapat. Bahkan
untuk menyenangkan hati pamannya, sekali-sekali Sedayu berhasil menyerangnya
pula dengan serangan-serangan yang kadang-kadang membingungkannya. Dalam
keadaan yang demikian itu, maka Agung Sedayu pun telah memeras hampir segenap
kemampuannya. Kemampuan yang pernah dipelajarinya dari kakaknya, dari ayahnya
dan dari pamannya itu. Sebenarnyalah Agung Sedayu bukanlah seorang anak yang
kerdil dalam ilmunya, seperti kekerdilan jiwanya. Semakin keras
serangan-serangan yang dilancarkan oleh pamannya itu, semakin heranlah dada
Widura dibuatnya. Betapa serasinya Agung Sedayu memadukan unsur-unsur gerak
yang diwarisi dari Ki Sadewa lewat kakaknya, lewat ayahnya itu sendiri atau
lewat dirinya dengan unsur-unsur gerak yang pernah dilihatnya dan dihayatinya
dalam latihan-latihan melawan Kiai Gringsing di gunung Gowok itu.
“Aneh” berkata
Widura di dalam hatinya.
“Kalau hati
anak ini sebesar hati kakaknya, bukankah ilmunya tidak terpaut banyak dari ilmu
yang aku miliki?”
Namun Widura
itu tidak berkata apapun. Dipercepatnya setiap geraknya dan bahkan kini Widura
telah sampai kepada puncak ilmunya. Namun Sedayu itu masih melawannya dengan
gigih. Bahkan kadang-kadang anak muda itu mampu melakukan hal-hal yang tak
pernah dimengertinya sebelumnya. Selain dari geraknya yang cepat dan cekatan,
ternyata tenaga Agung Sedayu pun cukup kuat pula. Apabila sekali-sekali terjadi
benturan di antaranya, maka terasa juga tubuh pamannya itu bergetar. Bahkan
apabila serangan-serangan Widura itu berhasil mengenainya, maka Sedayu itu pun
hanya berdesis, namun kemudian seakan-akan anak muda itu tak merasakan sesuatu.
Dan ia mampu untuk bergerak kembali dengan lincahnya, selincah burung seriti
menangkap mangsanya di udara. Namun betapa Agung Sedayu berjuang mempertahankan
dirinya, tetapi Widura memiliki pengalaman yang jauh lebih besar daripadanya.
Sehingga lambat laun, terasa juga tekanan-tekanan Widura menjadi semakin mendesak.
Tangan Widura itu semakin lama menjadi semakin sering menyentuh tubuhnya.
Meskipun tidak di tempat-tempat yang berbahaya, namun sentuhan-sentuhan itu
terasa sakit-sakit juga. Widura melihat keadaan itu. Justru Karena itu ia
memperkuat serangannya. Ia ingin tahu, batas tertinggi dari ilmu kemenakannya. Tiba-tiba
latihan yang keras itu pun terganggu. Dari atas puntuk kecil itu, Widura dan
Agung Sedayu mendengar suara tertawa dengan nada yang tinggi. Segera mereka
mengenal suara itu, suara Kiai Gringsing. Bahkan kemudian Kiai Gringsing itu
tidak saja tertawa, tetapi ia kini bertepuk tangan sambil memuji,
“Bagus Sedayu,
ternyata muridmu itu menjadi bertambah terampil juga akhirnya”
Gerak Widura
itu pun kemudian terganggu. Karena itu maka kemudian ia melontar mundur sambil
berkata,
“Sudahlah
Sedayu, kita hentikan dahulu latihan ini”
Mendengar
kata-kata pamannya itu, Agung Sedayu menjadi bergembira. Sebenarnya telah agak
lama ia menahan diri supaya ia tidak mengecewakan pamannya itu. Dengan demikian
latihan yang berlangsung dengan serunya itu terhenti. Dengan menganggukkan
kepalanya Widura berkata kepada Kiai Gringsing,
“Selamat malam
Kiai”
“Kenapa
latihan ini berhenti?” kata Kiai Gringsing tanpa menghiraukan sapa Widura.
Widura menarik
nafas. Jawabnya,
“Latihan ini
telah berlangsung lama. Kami telah sama-sama lelah”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Gumamnya,
“Syukurlah
kalau kau selalu tekun dengan latihan-latihan itu Widura. Mudah-mudahan pada
suatu saat kau dapat menandingi Topati”
“Mudah-mudahan
Kiai” sahut Widura. Tetapi Widura itu kemudian terkejut bukan buatan ketika
Kiai Gringsing itu berkata,
“Ternyata
Tohpati itu benar-benar seperti hantu. Baru saja aku melihat ia berjalan
mendekat tikungan di sebelah”
“He” bertanya
Widura tersentak,
“Adakah Kiai
melihatnya di tikungan itu?”
Kiai Gringsing
mengangguk,
“Ya” jawabnya.
“Ia berjalan
bersama dua orang pengawalnya”
“Jadi apakah
mereka melihat kita berlatih di sini?” bertanya Widura pula.
“Aku kira
tidak” sahut Kiai Gringsing,
“Kalau demikian
barangkali kalian telah menjadi mayat dibawah gunung Gowok ini”
“Hem” Widura
menarik nafas dalam-dalam.
“Setan itu
benar-benar berbahaya’
Dalam pada itu
Widura menjadi gelisah karenanya. Kedatangan Tohpati benar-benar berbahaya. Ia
akan dapat mendatangi setiap gardu dan membunuh segenap isinya. Namun apabila
demikian, maka pasti telah didengarnya tanda bahaya. Tetapi agaknya Tohpati itu
hanya sekedar lewat, dan ingin mengetahui keadaan Sangkal Putung. Tiba-tiba ia
menjadi berdebar-debar karenanya. Mungkin Tohpati telah mendengar tentang perlombaan
yang akan diadakan besok,
“Gila” Widura
mengumpat di dalam hatinya.
“Aku telah
melakukan hal-hal yang aku sangka baik sekali. Aku hanya memberi waktu
persiapan penyelenggaraan satu hari saja, supaya kabar ini tidak tersiar jauh.
Namun agaknya hantu itu telah mendengarnya pula”. Kembali berbagai persoalan
telah menyesakkan dada Widura. persoalan antara laskarnya dengan laskar
Tohpati, persoalan antara orang-orangnya sendiri, persoalan Sidanti dan gurunya
Ki Tambak Wedi, hubungan yang menyedihkan antara Sidanti dan Sedayu. Dan segala
macam persoalan itu setiap kali memukul-mukul otaknya sehingga kepalanya itu
akan pecah karenanya. Dan kini Tohpati itu telah siap untuk menerkamnya. Dalam
kegelisahannya itu Widura hampir tak dapat menahan diri ketika ia mendengar
Sedayu berkata dengan gemetar,
“Paman,
marilah kita kembali kekademangan”
“Kenapa?”
bentak Widura.
Ketika ia
berpaling, ia melihat betapa sikap Agung Sedayu menjadi sangat gelisah. Tetapi
Widura itu tahu benar, bahwa anak itu sama sekali tidak gelisah memikirkan
Sangkal Putung seperti dirinya, namun anak itu menjadi gelisah karena
ketakutan. Widura itu menjadi marah ketika ia mendengar Agung Sedayu berkata
dengan jujur,
“Paman, apakah
yang akan terjadi dengan kita kalau Macan Kepatihan itu nanti mengetahui
kehadiran kita di sini?”
“Persetan
dengan Macan Kepatihan” sahut Widura. Namun kata-kata Widura itu terputus oleh
kata-kata Kiai Gringsing,
“Widura,
jangan terlalu sombong. Gurumu itu tahu benar tingkatan ilmumu. Kau belum
waktunya melawan Tohpati seorang lawan seorang, kalau kau tidak mau membunuh
diri. Nasehatnya itu harus kau turut. Sikap berhati-hati itulah yang akan
membawamu ke jalan keselamatan”
“Aku bukan
pengecut” teriak Widura.
“Aku akan
berkeliling kademangan sekali lagi. Aku akan memeringatkan setiap gardu
peronda, bahwa bahaya berada di ujung hidung mereka”
Dada Sedayu
itu menjadi semakin bergetar. Pamannya akan mengadakan pengamatan sekali lagi
atas gardu-gardu peronda. Bukankah dengan demikian kemungkinannya untuk bertemu
dengan Tohpati itu semakin besar. Di sudut-sudut desa, di prapatan-prapatan di
tengah sawah, atau ditikungan-tikungan yang sepi. Namun ia melihat bahwa
pamannya menjadi marah kepadanya. Karena itu betapa Agung Sedayu mengeluh di
dalam hatinya. Yang kemudian terdengar adalah kata-kata Kiai Gringsing sambil
tertawa,
“He kau
benar-benar berani Widura, seperti kau berani menentang maut melawan Ki Tambak
Wedi”
Tiba-tiba
pandangan mata Widura itu pun terbanting di atas rerumputan liar di bawah
kakinya. Teringatlah ia kepada pertolongan yang pernah diberikan oleh Kiai
Gringsing malam kemarin. Kini orang yang menolongnya itu memeringatkannya,
supaya ia tidak melawan Tohpati itu seorang lawan seorang. Karena itu ia
menyesal atas kekasarannya. Maka katanya ke sambil menganggukkan kepalanya,
“Maafkan aku
Kiai”
“He” sahut
Kiai Gringsing.
“Kenapa
kepadaku. Seharusnya kau minta maaf kepada gurumu itu”
Sekali lagi
Widura mengumpat di dalam hatinya. Namun katanya,
“Ya ya. Aku
akan minta maaf kepadanya”
“Bagus”
berkata Kiai Gringsing.
“Kau harus
selalu menuruti nasehat gurumu. Di rumah, gurumu pasti akan memberimu beberapa
petunjuk, mungkin tentang persiapan Tohpati itu. Mungkin tentang hal yang lain.
Namun adalah perlu kau dengar seandainya gurumu itu memerintahkan kepadamu
untuk mempersiapkan diri. Seluruh pasukan. Bukan seorang Widura yang sombong.
Serangan itu tidak terlalu lama akan terjadi. Tetapi Tohpati itu tak akan
berbuat apa-apa malam ini. Nah, selamat malam. Aku tidak sempat bermain-main
malam ini. Besok aku akan nonton perlombaan yang kau adakan”
Dada Widura
berdesir mendengar kata-kata Kiai Gringsing. Namun ia tidak mendapat kesempatan
lagi untuk menanyakan sesuatu. Karena Kiai Gringsing itu kemudian melangkah
pergi dengan langkah seenaknya meninggalkan Widura dan Agung Sedayu yang
terpaku di tempatnya. Tetapi, tergoreslah di dalam jantungnya,
peristiwa-peristiwa yang pasti akan menggoncangkan lagi kehidupan Sangkal
Putung. Besok atau lusa Tohpati akan menyerangnya kembali. Apa yang dikatakan
oleh Kiai Gringsing itu tidak lebih dan tidak kurang dari suatu peringatan
kepadanya dan pemberitahuan tentang persiapan-persiapan yang dilakukan oleh
Tohpati. Namun ia tidak perlu mencemaskan hari besok. Kata-kata orang bertopeng
itu, bahwa besok ia akan menonton perlombaan yang akan diadakannya, telah agak
memberinya ketenangan, meskipun ia tidak dapat menggantungkan nasibnya kepada
orang itu. Mudah-mudahn ia masih berhasil menghim pun kekuatan Sangkal Putung,
yang setidak-tidaknya masih seperti pada saat perlawanannya dahulu ketika
Tohpati menyerangnya. Mudah-mudahn tenaga Sidanti masih dapat dipergunakannya
sebaik-baiknya. Tetapi bagaimana dengan besok lusa, tiga hari, empat hari dan
lebih-lebih lima hari lagi? Bagaimanakah nasib Sangkal Putung apabila Tohpati
menyerang tepat pada saat Ki Tambak Wedi memuntutnya? Widura
menggeleng-gelengkan kepalanya ketika terlintas di dalam benaknya, harapan
bahwa Kiai Gringsing akan menolongnya kembali apabila Ki Tambak Wedi akan
membunuhnya.
“Tidak”
katanya dalam hati.
“Aku tidak
akan memperhitungkan setiap pertolongan yang belum pasti akan datang. Aku harus
memperhitungkan kekuatan sendiri” katanya pula. Bahkan kemudian timbullah di
dalam benaknya suatu pikiran untuk mengirimkan utusan ke Pajang. Keadaan Sangkal
Putung benar-benar gawat. Biarlah salah seorang perwira yang terpercaya akan
datang untuk melawan Tohpati lebih-lebih Ki Tambak Wedi.
“Hem”
gumamnya,
“Apabila besok
aku belum menemukan cara lain, biarlah seseorang mengharap kedatangan Ki Gede
Pemanahan sendiri menyelesaikan persoalan Ki Tambak Wedi, atau bekas perwira
nara manggala Demak, guru loring pasar.”
Widura menarik
nafas dalam-dalam. Itulah keputusannya untuk sementara. Ketika ia memandang
wajah Sedayu, timbullah kembali kejengkelannya terhadap anak itu. Apabila anak
itu memiliki keberanian, mereka berdua pasti akan dapat membunuh Tohpati
meskipun dengan perjuangan yang berat. Sebab ilmu Tohpati itu sendiri tidak
terpaut banyak di atas ilmunya. Namun Sedayu itu hanya pandai mengeluh, gemetar
dan ia pasti akan mati ketakutan sebelum tangannya mampu menarik pedang dari
sarungnya. Karena itu Widura tidak berkata sepatah pun kepada kemenakannya itu.
Langsung ia memutar tubuhnya dan melangkah kembali kekademangan. Sedayu pun
kemudian cepat-cepat mengikutinya. Namun kini terasa olehnya bahwa pamannya itu
benar-benar marah kepadanya. Karena itu maka Sedayu pun benar-benar menjadi
bersedih hati. Ia tidak berani berkata apa pun kepada pamannya selain berjalan
saja di belakangnya. Di sepanjang jalan itu Widura sempat juga memikirkan
kemenakannya itu. Bagaimana caranya, sehingga ia dapat menguasai berbagai unsur
gerak dan dapat menyusunnya dalam satu gabungan yang serasi. Anak itu tidak
pernah berbuat sesuatu selain duduk terpekur dan bermain-main dengan rontal dan
pensil. Tak pernah dilihatnya Agung Sedayu berlatih di dalam pringgitan yang
tak begitu luas itu. Dan tak pernah dilihatnya Agung Sedayu meninggalkan
pringgitan selain apabila ia pergi mandi dan sesuci diri. Namun ia tidak mau
menanyakannya. Ia hanya ingin mencari pemecahan dengan caranya sendiri atas
teka teki itu. Demikian mereka sampai di kademangan, Widura langsung melepaskan
pakaiannya dan merebahkan dirinya di pembaringannya. Tak sepatah kata pun yang
diucapkan kepada Agung Sedayu sehingga Agung Sedayu itu pun menjadi semakin
bersedih. Sekali-sekali ia sempat juga untuk menilai diri. Dan kadang-kadang
timbul juga pikiran dikepalanya untuk besok mengikuti pertandingan memanah.
“Paman marah
karena aku tak ikut serta” katanya dalam hati.
“atau karena
hal-hal yang lain, atau karena keseluruhannya”. Namun ia kembali menjadi ngeri
membayangkan akibat dari perlombaan itu.
“Ah” katanya
dalam hati pula,
“Biarlah paman
marah kepadaku. Ia tidak akan berbuat apa-apa selain berdiam diri. Tetapi akan
berbedalah sikap Sidanti itu”
Sedayu pun
kemudian mencoba melupakan semua itu. Karena kelelahan akhirnya ia pun tertidur
pula dengan nyenyaknya.
Sebenarnya
Widura belum juga tertidur. Ia berdiam diri, dan memang ia munggu kemenakannya
tertidur. Ia ingin tahu apa saja yang ditulis oleh Sedayu dalam
rontal-rontalnya. Apakah ada hubungannya dengan kemajuan ilmunya yang pesat
itu. Perlahan-lahan Widura itu bangun, dan perlahan-lahan pula ia membuka
beberapa pakaian Sedayu yang diberikannya olehnya. Di dalam lipatan-lipatan
pakaian itu ditemuinya beberapa helai rontal yang pernah diminta oleh anak itu
daripadanya. Demikian Widura membuka halaman pertama dari rontal itu, demikian
dadanya bergetar,
“Inilah
sebabnya” gumamnya seorang diri. Kini ia tahu benar, mengapa Agung Sedayu dapat
maju dengan cepatnya. Otak anak itu ternyata cerdas pula dalam penelaahan ilmu
tata bela diri. Di dalam tubuhnya ternyata tersimpan pula darah ayahnya yang
menyalakan keteguhan dan ketrampilan jasmaniah. Namun, sayang betapa sayangnya.
Hati anak itu belum terbuka. Dinding yang mencengkam dirinya dalam bilik
ketakutan belum dapat dipecahkannya. Jadi apa yang dilakukan oleh Sedayu selama
ini, sama sekali tidak menulis cerita-cerita atau tembang dan kidung. Tetapi ia
telah melukiskan beberapa unsur gerak. Mencobanya menggabungkan unsur yang satu
dengan yang lain, dan mencoba melukiskan pula cara-cara untuk mempertahankan
diri dan mengelak dari serangan-serangan yang keras. Di dalam rontal-rotal itu
Widura melihat beberapa gambar dengan garis-garis arah dari setiap gerakan.
Digambarnya beberapa macam unsur gerak, kemudian digambarnya di belakang
gambar-gambar itu, sebuah gambar yang lain dengan garis-garis arah untuk
menggabungkan gambar-gambar yang terdahulu.
“Hem” Widura
menarik nafas dalam-dalam,
“Ternyata anak
ini melatih diri dengan angan-angannya selain latihan-latihan yang kami adakan
di gunung Gowok. Itulah sebabnya aku sering melihat unsur-unsur gerak yang tak
aku ketahui darimana dipelajarinya”
Dan Widura itu
tak jemu-jemunya melihat gambar-gambar yang dibuat oleh Agung Sedayu. Suatu
cara memperdalam ilmu yang jarang ditemuinya. Namun ternyata Agung Sedayu
pandai juga menggambar. Gambar-gambar yang dibuatnya ternyata sedemikian jelas.
Sikap, gerak dan tujuan-tujuan dari setiap gerakan sekaligus cara-cara untuk
menghindarkannya. Tetapi suatu hal yang tak dapat dilakukan oleh Agung Sedayu.
Yaitu melatih untuk percaya pada kekuatan dan ilmunya. Betapa pun Agung Sedayu
mengalami kemajuan yang pesat, namun ilmu itu seakan-akan pohon yang subur
namun tak berbuah. Tiba-tiba timbullah pikiran di dalam benak Widura. katanya
dalam hati,
“Ah, biarlah
pada suatu kali, anak ini mengalami pertentangan yang tak dapat dihindari
dengan Sidanti. Aku ingin melihat apa yang akan dilakukan. Tetapi apabila sekali
Agung Sedayu sempat mengayunkan tangan atau kakinya, maka untuk melawan Sidanti
itu pun Agung Sedayu akan dapat bertahan beberapa lama sampai saatnya aku
memisahkannya. Namun dengan demikian, setidak-tidaknya perkelahian itu akan
berkesan bahwa keduanya memiliki ilmu yang seimbang. Ternyata gerak dan cara
bertahan anak ini mengagumkan juga. Apabila demikian, seterusnya Agung Sedayu
akan menjadi seorang yang jantan dan berani”
Kemudian
dengan hati-hati pula rontal-rontal itu dimasukkannya kembali ke tempatnya. Dan
dengan hati-hati pula Widura itu berdiri dan berjalan kepembaringannya, dan
sesaat kemudian pemimpin laskar Pajang yang sedang kebingungan itu tertidur
pula.
Malam yang
tinggal sepotong itu berjalan dengan tenangnya. Tohpati yang benar-benar telah
menyusup ke dalam dinding perondaan laskar Pajang, sebenarnyalah tidak berbuat
sesuatu selain keinginannya untuk mengetahui keadaan. Namun Macan Kepatihan itu
pun mengumpat di dalam hatinya seperti Widura mengumpatinya. Katanya kepada
kedua pengawalnya,
“Paman Widura
benar-benar seperti setan. Dalam keadaan apa pun peronda-perondanya tak pernah
berlengah hati. Apakah mereka tidak terpengaruh oleh perlombaan yang akan
diadakan besok? Sayang, aku baru mendengar rencana perlombaan itu senja tadi,
sehingga aku tak sempat menyiapkan anak buahku. Seandainya aku mendapat waktu
dua tiga hari saja, maka pada saat-saat perlombaan itu aku akan dapat
menggulungnya lumat-lumat. Kedua pengawalnya tak dapat menjawab lain daripada
menganggukkan kepala mereka. Sebab dengan mata kepala mereka sendiri melihat
dari kejauhan kesiagaan laskar Pajang yang sedang bertugas di gardu-gardu
peronda. Mereka melihat beberapa orang dari mereka berjalan hilir mudik di muka
gardu sambil memegang tombak atau pedang-pedang mereka yang sudah telanjang.
“Tetapi”
berkata Tohpati kemudian kepada pengawalnya,
“mudah-mudahan
setelah perlombaan itu berakhir, laskar Sangkal Putung masih tenggelam dalam
suasana itu, sehingga meskipun sedikit mereka melupakan tugas-tugas mereka
sehari-hari. Mudah-mudahan mereka tidak mencium gerakanku kali ini seperti
beberapa waktu yang lalu sehingga aku menjumpai kegagalan yang menyedihkan.
“Persiapan
kita akan sangat mudah sekali diketahui orang, sehingga petugas-petugas sandi
Pajang segera menciumnya” berkata salah seorang pengawalnya.
“Kita akan
meninggalkan cara-cara yang pernah kita lakukan” jawab Tohpati,
“aku akan
membawa kalian dan orang-orang kita masuk ke dalam hutan. Semua kekuatan yang
terpencar harus kita tarik. Semuanya akan berkumpul di dalam hutan yang akan
aku tentukan. Dari sana kita akan bergerak. Mudah-mudahan tak seorang pun yang
mengetahuinya, kecuali di antara kita ada pengkhianat atau justru orang-orang
dari petugas-petugas sandi Pajang yang berhasil masuk ke dalam lingkungan
kita.”
“Kemungkinan
itu kecil sekali” sahut pengawalnya
“Kau benar”
berkata Tohpati pula.
“Aku mengenal
anak buahku satu per satu dengan baiknya. Nah, kalau demikian, aku akan berbuat
seperti paman Widura. Secepat-cepatnya sebelum laskarnya terpencar ke segenap
penjuru”
“Kapan kita
adakan sergapan itu?” bertanya pengawalnya.
“Secepatnya”
sahut Tohpati.
Kemudian
mereka tidak bercakap-cakap lagi. Dengan hati-hati mereka berjalan di daerah
perondan laskar Pajang. Bahkan kadang-kadang mereka berhasil menyusup
halaman-halaman yang gelap dan mendekati tempat-tempat yang penting serta
gardu-gardu perondan. Dengan otak yang cemerlang, Tohpati dapat mengingat-ingat
daerah-daerah yang sepi, yang dapat dilaluinya untuk langsung mencapai jantung
Sangkal Putung, meskipun masih diragukan apabila Tohpati berjalan bersama
dengan orang-orangnya dalam jumlah yang besar. Namun Tohpati itu selalu
mengulang-ulang rencananya. Dan ini adalah kesalahan yang terbesar yang
dibuatnya.
Sejak ia
menginjakkan kakinya di daerah Sangkal Putung, rencana itu telah diucapkannya.
Dan ia sama sekali tidak tahu, bahwa seseorang yang sakti, dengan diam-diam
mengikutinya. Dan orang itu telah berhasil mendengar sebagian dari rencananya.
Orang itu adalah Kiai Gringsing. Karena itulah maka Kiai Gringsing segera pergi
kemudian gunung Gowok. Ia takut apabila Widura dan Sedayu berada di sana, dan
kemudian Tohpati itu pun berjalan ke sana pula. Untunglah mereka tidak saling
berpapasan. Apabila demikian maka pertempuran tak dapat dihindarkan. Sedangkan
Kiai Gringsing tahu benar bahwa Widura pasti harus bekerja sendiri melawan tiga
orang yang jauh berada di atas kemampuannya. Dan semuanya itu telah berlalu.
Widura telah tertidur nyenyak di kademangan Sangkal Putung, dan Tohpati pun
telah meningggalkan daerah yang akan dijadikan buruannya. Menjelang fajar,
Sangkal Putung telah menjadi riuh. Anak-anak telah bangun. Kebih-lebih lagi,
mereka yang akan ikut serta dalam perlombaan-perlombaan. Mereka mengenakan
pakaian mereka yang sebaik-baiknya. Menghias senjata-senjata mereka, dengan
warna-warna yang beraneka. Bagi mereka yang akan mengikuti sodoran, tidak saja
pakaian mereka sendiri yang mereka hias dengan berbagai keoncer-keloncer kain
beraneka warna, namun kuda-kuda mereka pun mereka hias sebaik-baiknya.
Ujung-ujung tombak mereka yang terbuat dari bola-bola kayu itu pun mereka hiasi
dengan pita-pita berwarna. Ada pula di antara mereka yang membuat kalung-kalung
dari rangkaian-rangkaian bunga. Melati, menur dan sebagainya. Mereka kalungkan
rangkaian bunga itu dilehernya, dileher kuda-kuda mereka dan pada
senjata-senjata mereka. Demikianlah hari itu Sangkal Putung ditandai dengan
kesibukan yang luar biasa. Hampir segenap penduduk Sangkal Putung tumplak blak,
mengunjungi lapangan di muka banjar desa. Mereka ingin menyaksikan anak-anak mereka,
adik-adik mereka atau suami-suami mereka yang ikut serta dalam
perlombaan-perlombaan itu. Ternyata hari itu merupakan hari yang sangat
menggembirakan. Namun apabila ada di antara mereka yang mendengar bahwa semalam
Macan Kepatihan telah mengunjungi kademangan itu, mungkin suasananya akan jauh
berbeda. Tetapi, ternyata Widura mengetahuinya. Karena itu, justru ia telah
memperkuat setiap sudut kademangan. Dilengkapinya gardu-gardu peronda itu
dengan kuda-kuda yang kuat dan diperintahkannya untuk mengadakan perondaan
keliling dengan kuda-kuda itu.
“Jangan
seorang atau dua orang” pesannya kepada anak buahnya.
“Pergilah
berempat. Pergunakan kuda yang sebaik-baiknya dan bawalah tanda-tanda bahaya
yang dapat kau bunyikan setiap saat dan di setiap tempat”
Perintah itu
agak mengherankan bagi anak buahnya. Namun mereka hanya menyangka bahwa karena
di daerah Sangkal Putung sedang ada keramaian, maka penjagaan pun harus
diperkuatnya.
Lapangan di
muka banjar desa itu pun menjadi penuh dengan manusia. Beberapa anak-anak muda
telah menaiki kuda masing-masing dan berjalan melingkar-lingkar di
tengah-tengah lapangan. Beberapa orang di antaranya telah mencoba memacu
kudanya dari satu sudut ke sudut yang lain dengan tombak-tombak mereka di
tangan. Dan sekali-sekali telah terdengar pula sorak sorai penonton, apabila
mereka melihat seorang anak muda yang tampan bermain dengan manisnya di atas
punggung kudanya. Tepuk tangan penonton itu pun seakan-akan meledak ketika
mereka melihat Swandaru masuk ke lapangan dengan tombak di tangan, bumbung
panah di lambung kudanya dan sebuah busur yang besar menyilang dipunggungnya.
Demikian ia memasuki lapangan, disendalnya kendali kuda putihnya, dan kuda itu
pun segera nyirig. Berjalan miring dengan manisnya. Memang Swandaru itu benar-benar
dapat menguasai kudanya. Sekali lagi ia menarik kekang kudanya sambil menyentuh
perut kuda itu, dan kuda itu pun segera nyongklang, berlari keliling lapangan. Laskar
Widura yang akan mengikuti perlombaan itu telah hadir pula. Namun bagi mereka
perlombaan yang boleh diikuti hanyalah perlombaan memanah. Meskipun demikian,
untuk melepaskan kejemuan mereka, banyak juga di antara mereka yang
mengikutinya. Widura pun kemudian hadir pula di lapangan itu bersama-sama
dengan Ki Demang Sangkal Putung. Di belakang mereka berjalan Sedayu dengan
kepala tunduk. Ketika para penonton melihat kehadiran mereka, kembali tepuk
tangan dan sorak mbata rubuh bergetar di lapangan itu. Namun perlahan-lahan
mereka dirayapi oleh berbagai pertanyaan di dalam hati mereka. Mereka tidak
melihat Widura dan Agung Sedayu membawa busur dan anak panah, sehingga kemudian
mereka menjadi kecewa. Terdengar salah seorang penonton berbisik,
“Apakah
pahlawan itu tidak akan turut serta dalam perlombaan ini?”
Kawannya itu
sebenarnya menjadi kecewa juga. Namun untuk menghibur hatinya sendiri ia
menjawab,
“Tak
sepantasnya ia ikut dalam perlombaan yang sekecil ini. Mungkin ia akan ikut
serta apabila perlombaan semacam ini diadakan dialun-alun Pajang”
Kawannya yang
bertanya itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawaban yang memang masuk
diakalnya. Sesaat kemudian, Widura dan Ki Demang Sangkal Putung beserta Agung
Sedayu telah duduk di tempat yang telah disediakan. Pada saat matahari mulai
memanjat langit, maka Widura segera membuka perlombaan itu. Dengan sebuah kapak
diputusnya tali yang mengikat pemukul bende di sudut lapangan. Kemudian
seseorang yang telah ditentukan memungut pemukul bende itu, dan dengan bunyi
yang berdengung-dengung bende itu bergema. Sekali, dua kali dan kemudian tiga
kali. Dengan diiringi oleh tepuk tangan yang seakan-akan memecahkan selaput
telinga, maka perlombaan segera dimulai. Beberapa orang anak buah Widura
berjalan ketengah lapangan, memimpin perlombaan-perlombaan bagi anak-anak muda
Sangkal Putung. Perlombaan yang pertama adalah perlombaan ketangkasan bermain
pedang. Namun bukan sebenarnya pedang yang dipergunakan. Tetapi mereka
mempergunakan rotan dan perisai anyaman bambu.
Permainan ini
benar-benar mengasyikkan dan menegangkan. Beberapa anak-anak muda yang gagah
telah turut serta mengambil bagian. Berganti-ganti. Satu dua telah terpaksa
keluar dari lapangan dengan kepala tunduk. Punggung dan dada mereka dilukisi
oleh jalur-jalur merah biru. Namun bagi mereka yang menang, jalur-jalur itu
sama sekali tidak terasa pedihnya. Sejalan dengan terik matahari yang semakin
menyengat-nyengat tubuh mereka, maka permainan itu pun menjadi semakin sengit.
Bahkan kemudian mencapai puncaknya ketika diarena itu tinggal dua orang yang
berhadapan untuk menentukan, siapakah di antara anak-anak muda Sangkal Putung
yang akan menjadi pemenang pertama dalam perlombaan itu. Mereka adalah Swandaru
Geni dan seorang anak muda yang gagah, bertubuh tinggi besar, bernama Wisuda. Sejenak
kedua anak muda itu, Swandaru dan Wisuda saling berhadapan, maka tepuk tangan
dan sorak sorai membahana di udara Sangkal Putung. Tiga orang anak buah Widura,
Hudaya, Citra Gati dan Sonya telah memimpin pertarungan yang sengit itu. Dengan
seksama mereka memperhatikan setiap gerak, setiap sabetan rotan dan setiap
sentuhan rotan itu ditubuh mereka. Pukulan-pukulan yang mendapat hitungan
adalah pukulan-pukulan yang mengenai tubuh dibagian atas perut tetapi dibagian
bawah leher. Pertarungan itu berjalan dengan serunya. Wisuda bertubuh tinggi
dan besar, sedang Swandaru lebih pendek dan bulat. Meskipun demikian ternyata
tenaga Swandaru jauh lebih kuat dari tenaga lawannya. Apabila rotan-rotan
mereka berbenturan, tampaklah bahwa tenaga Swandaru selalu berhasil mendorong
tenaga lawannya. Ketika bende berbunyi, maka pertarungan itu pun berhentilah.
Suasana menjadi tegang ketika para penonton menunggu Citra Gati mengumumkan
pemenangnya. Dan demikian Citra Gati maju selangkah, maka lapangan yang penuh
dengan manusia itu seakan-akan sama sekali tak berpenghuni. Setelah mencocokkan
hitungan masing-masing maka berkatalah Citra Gati,
“Ternyata yang
akan menjadi pahlawan dalam permainan ini adalah anak muda yang bulat pendek,
bernama Swandaru”
Langit
seakan-akan runtuh di atas mereka karena sorak para penonton. Namun Swandaru
tidak puas dengan sebutan itu. Katanya membetulkan namanya,
“Sebutlah
selengkapnya paman, Swandaru Geni”
Citra Gati
tersenyum. ketika ia mengulang nama itu, tak seorang pun yang mendengarnya,
karena suara riuh dari pada penonton itu sendiri. Sidanti yang melihat sambutan
yang sedemikian hangatnya atas pahlawan anak-anak muda Sangkal Putung itu
mencibirkan bibirnya. Katanya dalam hati,
“Swandaru itu
pasti akan menjadi bertambah sombong. Aku ingin sekali lagi mengajarnya untuk
merasakan bahwa apa yang dicapainya itu belum semenir dibanding dengan ilmuku.
Sayang tak ada kesepatan bagi anak buah laskar Pajang untuk melakukannya”
Perlombaan
yang berikut adalah sodoran. Dengan duduk dipunggung kuda mereka
mempertunjukkan ketrampilam mereka bermain tombak yang ujungnya dibuat dari bola-bola
kayu. Permainan ini tak kalah menariknya. Di antara sorak kekaguman ada pula
yang terpaksa menerima ejekan-ejekan para penonton, karena sebelum mereka
sempat mempertunjukkan keahlian mereka, ternyata mereka telah jatuh
terpelanting dair kuda-kuda mereka. Dalam perlombaan ini sekali lagi Swandaru
merajai lapangan di muka banjar desa itu. Kuda putihnya seakan-akan tahu benar
apa yang harus dilakukan untuk membantu tuannya. Dan karena itulah maka sekali
lagi para penonton menyorakinya sebagai pahlawan yang lengkap dari anak-anak
muda Sangkal Putung. Ki Demang yang duduk di samping Widura itu pun
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia berbangga atas hasil yang dicapai anaknya.
Usahanya melatih dan menempa anaknya tidaklah sia-sia. Mudah-mudahan untuk
seterusnya anaknya mendapat bimbingan dan latihan yang lebih baik daripada apa
yang pernah dicapainya. Widura pun tampak tersenyum-senyum di antara sorak para
penonton. Namun sekali-sekali ia mengedarkan pandangannya ke segenap sudut. Di
antara perhatiannya atas permainan-permainan itu, diam-diam ia berusaha untuk
melihat, apakah Kiai Gringsing berada di antara para penonton yang sekian
banyaknya. Tetapi Widura itu kemudian menjadi kecewa. Adalah mustahil untuk
menemukan seorang di antara sekian banyak orang, apalagi orang itu belum
dikenalnya. Sudah tentu Kiai Gringsing tidak akan mengenakan topengnya, dan
sudah tentu pula ia tidak akan memakai kain gringsingnya. Seandainya dapat
dijumpainya seseorang memakai kain gringsing, bukanlah jaminan bahwa orang itu
adalah Kiai Gringsing, sebab kain gringsing memang banyak digemari orang. Permainan
yang terakhir adalah permainan yang paling menggemparkan. Panahan. Dan panahan
ini diikuti pula oleh anak buah Widura. bahkan seorang anak muda yang sudah
lama dikagumi di Sangkal Putung turut pula mengambil bagian. Sidanti. Namun
para penonton itu menjadi kecewa ketika mereka benar-benar melihat, bahwa Agung
Sedayu tidak ikut serta dalam perlombaan. Apa yang mereka nantikan, dan juga
sebenarnya dinantikan oleh anak buah Widura sendiri, adalah pertandingan yang
akan berlangsung seru antara Sidanti dan Agung Sedayu. Namun mereka benar-benar
menjadi kecewa. Bahkan ada di antara mereka yang mulai dirayapi oleh berbagai
pertanyaan tentang Agung Sedayu. Apakah sebenarnya anak muda itu mampu berbuat
sesuatu?
Swandaru dan
Sekar Mirah pun menjadi kecewa pula karenanya. Dengan wajah bersunguut-sungut
Swandaru menyelinap di antara mereka dan menggamit Agung Sedayu pada lengannya.
Katanya berbisik,
“Apakah tuan
tidak ikut serta?”
Dada Agung Sedayu
berdesir. Namun kemudian dengan lemahnya ia menggeleng. Katanya,
“Tidak
Swandaru”
Widura
mendengar pertanyaan itu. Namun sengaja berpaling pun tidak. Sebenarnya Widura
sendiri menjadi sangat kecewa bahwa Agung Sedayu tidak mau ikut serta dalam
pertandingan ini. Sesaat kemudian berjajarlah mereka yang akan mengambil bagian
dalam perlombaan ini. Tidak terkecuali, anak buah Widura. di antaranya Sidanti
yang dengan tersenyum-senyum memasuki lapangan. Betapa kecewa anak muda itu,
melampaui semuanya setelah ia mengetahui pula bahwa Agung Sedayu tidak ada di
antara para pengikut perlombaan.
Di hadapan
mereka tergantung lesan yang harus mereka kenai. Sasaran itu dibuat dari sabut
kelapa yang dibalut dengan kain. Dan dibagi menjadi empat bagian. Kepala, sekecil
telur angsa, leher, yang agak cukup panjang, badan lebih besar dan panjang dari
leher dan yang terakhir bandul sebesar jeruk bali. Sasaran yang berupa
orang-orangan kecil itulah yang akan menentukan siapakah di antara para
pengikut yang paling pandai membidikkan panahnya. Ketika bende berbunyi, maka
perlombaan itu pun dimulailah. Setiap pengikut memiliki lima buah anak panah.
Dan oleh kelima buah anak panah itu maka akan diambil nilai tertinggi di antara
mereka. Apabila anak panah mereka mengenai kepala, maka berarti mereka akan
mendapat lima buah nilai. Leher tiga nilai dan badan dua nilai. Sedangkan
apabila pana mereka mengenai bandul, maka apabila mereka telah mendapat nilai,
maka nilai itu akan gugur tiga nilai. Sesaat kemudian meluncurlah anak panah
yang pertama diikuti oleh sorak para penonton. Namun sayang, panah itu sama
sekali tidak mengenai sasarannya. Disusul dengan anak panah yang kedua, ketiga.
Namun ketiga anak panah itu menyentuh sasaran pun tidak. Penonton
bersorak-sorak kembali ketiga anak panah yang keempat kemudian tepat mengeni
leher sasaran. Tiga nilai.
Maka penonton
pun berteriak-teriak pula,
“Tiga, tiga”
Penonton
mejadi tegang ketika meluncur anak panah yang kelima. Dan meledaklah sorak para
penonton. Bukan karena mereka menjadi kagum anak panah itu, mereka tertawa
geli, karena anak panah itu mengenai bandul.
“Habis, habis”
teriak mereka. Dan tiga nilai yang didapatnya dari panah keempat itu pun
menjadi habis karena dengan mengenai bandul itu, maka berarti tiga nilai
digugurkan.
Orang yang
pertama itu sambil menundukkan kepalanya terpaksa berjalan keluar lapangan.
Namun ia pun menjadi geli juga. karena itu, sempat juga ia tersenyum-senyum
sendiri. Maka kemudian majulah orang kedua, ketiga, keempat. Namun tak seorang
pun yang dapat menggemparkan penonton karena bidikan-bidikannya yang tepat.
Sekali dua kali ada juga di antara mereka yang mengenai sasaran. Namun di
antara lima anak panah itu, maka paling banyak dua di antaranya yang dapat
mengenai sasarannya. Ketika kemudian sampai pada giliran Swandaru maju dengan
anak panahnya, maka penonton pun menjadi gempar pula. Swandaru telah dapat
merampas hati penonton dengan dua kemenangan berturut-turut di dalam arena
pertandingan itu. karena itu, maka di antara penonton itu pun mengharap pula, agar
kali ini, Swandaru akan dapat setidak-tidaknya tidak mengecewakan mereka. Sebenarnyalah,
maka anak panah yang pertama yang dilepaskan oleh Swandaru benar-benar telah
menggemparkan penonton. Meskipun tidak mengenai kepala, namun sekali bidik
Swandaru telah mengguncangkan sasaran dengan mengenai bagian badannya.
Kegemparan penonton menjadi semakin riuh, ketika panah Swandaru yang kedua
dapat mengenai leher. Ketika Swandaru menarik tali busurnya yang ketiga
kalinya, maka terdengarlah suara riuh di sekitar arena,
“Naik sedikit
Swandaru, naik sedikit”
Dan meledaklah
sorak para penonton seakan-akan memecahkan selaput telinga ketika anak panah
Swandaru itu benar-benar mengenai kepala sasaran. Swandaru itu pun kemudian
berhenti sesaat. Setelah menarik nafas dalam-dalam, maka sekali lagi lapangan
itu diguncangkan oleh tepuk sorak yang gemuruh. Sekali lagi anak panah Swandaru
mengenai kepala. Namun para penonton itu menjadi kecewa ketika anak panah
Swandaru yang kelima yang terbang dari busurnya dengan kecepatan penuh, hanya
menyentuh saja kepala sasaran, namun tidak hinggap padanya, sehingga dengan
demikian, anak panah itu dianggap tidak mengenai sasarannya. Swandaru itu
memandangi anak panah yang kelima dengan penuh penyesalan. Katanya sambil
bertolak pinggang,
“He, kenapa
kau tidak mau berpaling sejari saja. Kalau kau berpaling sedikit saja, maka
anak panah itu akan hinggap di kepalamu”
Namun kemudian
telah terdengar bende untuk pengikut berikutnya. Kini mulailah anak buah Widura
dengan perlombaan itu. Namun ada pula di antaranya yang tidak lebih tepat dari
anak-anak muda Sangkal Putung. Sendawa misalnya. Betapa pandai ia
mengayun-ayunkan kelewangnya, namun ternyata ia bukan pembidik yang tepat, ia
dapat mengenai perut lawannya di medan-medan pertempuran. Namun perut orang
jauh lebih besar dari seluruh tubuh orang-orangan yang harus dikenainya sebagai
sasaran. Tetapi ternyata Hudaya ada pemanah yang baik. Sejak ia melepaskan anak
panahnya yang pertama, maka ia telah menggemparkan lapangan itu. Anak panahnya
yang pertama ternyata langsung mengenai kepala sasaran. Demikianlah anak
panahnya yang kedua. Ketika ia merik busurnya untuk yang ketiga kalinya dengan
berdebar-debar penonton menanti. Dan sekali lagi meledaklah sorak yang gemuruh.
Panah ketiga itu pun mengenai kepala sasaran pula. Demikianlah para penonton
menjadi semakin tegang. Sekali lagi para penonton berteriak-teriak
sekuat-kuatnya ketika anak panah yang keempatnya hinggap dikepala. Dengan
demikian ketegangan diarena itu menjadi semakin memuncak. Keempat anak panah
yang telah memenuhi kepala orang-orangan itu pun dicabutlah untuk memberi
tempat seandainya anak panah yang kelima ini pun akan mengenainya pula. Dan
lapangan itu seakan-akan menjadi benar-benar runtuh ketika penonton menyaksikan
anak panah kelima yang lepas dari busur Hudaya. Anak panah itu pun tepat pula
mengenai kepala orang-orangan itu. Sehingga dengan demikian pemanah itu pun
telah menunjukkan kesempurnaan bidikannya. Bukanlah karena kebetulan ia dapat
mengenai kepala sasaran. Namun sebenarnyalah memang Hudaya adalah pembidik yang
baik. Ketika kemudian terdengar bende berbunyi, masuklah Citra Gati
ketengah-tengah lingkaran. Dengan tersenyum-senyum ia memberi ucapan selamat
kepada Hudaya, katanya,
“Hudaya,
ternyata kau tidak memberi aku tempat. Apa yang dapat kau kerjakan? Tak ada
yang dapat berbuat lebih baik daripadamu”
Hudaya itu pun
tersenyum pula. Namun ia tidak menjawab. ketika ia bergeser dari tempatnya, ia
terkejut ketika ia melihat mata Sidanti menyala-nyala. Ternyata Sidanti tidak
rela melihat kecakapan Hudaya membidikkan anak panahya. Sambutan rakyat Sangkal
Putung atas kemenangannya itu pun tak menyenangkannya. Tetapi ternyata Hudaya
itu tak menghiraukannya. Ia langsung berjalan kembali ke tempatnya. Berdiri
dalam jajaran para peserta untuk melihat bagaimana hasil bidikan kawan-kawannya
yang lain.
Dan ternyata
Citra Gati itu pun tidak mengecewakan. Dengan tersenyum ia menarik busurnya
untuk yang pertama kalinya. Ketika anak panahnya terlepas, maka dengan
tegangnya ia mengikutinya dengan pandangan matanya. Ia tersenyum pula ketika
didengarnya sorak penonton. Anak panah itu pun hinggap dikepala. Demikianlah
anak panahnya yang kedua, ketiga dan keempat. Lapangan itu benar-benar menjadi
gempar. Ketika ia memasang anak panahnya yang kelima, Citra Gati berpaling
kepada Hudaya. Dilihatnya Hudaya tertawa dan berkata,
“Ayo panahmu
tinggal satu. Nilaimu tak akan melampaui nilaiku. Tak mungkin kau dapat
membidik kepala orang-orangan itu hingga enam kali”
“Berilah aku
anak panah satu lagi” sahut Citra Gati.
Hudaya tidak
menjawab. Hanya telunjuknyalah yang menunjuk ke orang-orangan di ujung
lapangan.
Citra Gati
menarik nafas dalam-dalam. Panah-panahnya yang lain telah dicabut pula. Dan
kini ia membidikkan anak panahnya yang kelima. Sekali lagi lapangan itu menjadi
gempar. Tidak saja sorak yang membahana, namun beberapa orang yang todal dapat
mengendalikan perasaannya telah melemparkan bermacam-macam benda keudara. Tutup
kepala, tongkat-tongkat dan bahkan kain yang dipakainya. Anak panah Citra Gati yang
kelima pun tepat mengenai sasaran. Kepala. Hudaya pun kemudian berlari-lari
mendapatkan sahabatnya itu. Sambil memberi salam ia berkata,
“Terlalu. Kau
tak mau kalah satu nilai pun daripadaku”
Citra Gati
tidak menjawab. perlahan-lahan ia bergeser dari lingkaran pembidik. Kini
sampailah giliran yang terakhir. Demikian anak muda itu berjalan ke tengah-tengah
lingkaran, maka para penonton pun telah menyorakinya. Dengan tersenyum anak
muda itu melambaikan tangannya. Namun senyum itu tidak begitu cerah seperti
senyumnya semalam, pada saat ia mengenangkan kemenangan yang bakal dicapainya.
Anak muda itu adalah Sidanti. Ia sama sekali tidak mencemaskan dirinya. Ia
yakin bahwa kelima anak panahnya akan tepat mengenai sasaran. Namun betapa pun
demikian, maka Hudaya dan Citra Gati itu pun dapat berbuat seperti apa yang
akan dilakukan. Sehingga hal itu pasti akan mengurangi kebesaran namanya.
Meskipun demikian, ia tidak dapat berbuat apa-apa. Hudaya dan Citra Gati telah
melakukannya. Dan apa yang diyakini itu benar-benar terjadilah. Sidanti tidak
memerlukan waktu terlalu lama seperti Hudaya dan Citra Gati. Itulah
kemenangannya yang dapat ditunjukkan kepada orang-orang Sangkal Putung. Ia
hanya memerlukan saat yang pendek. Memasang, menarik sambil mengangkat busur,
kemudian seakan-akan tanpa membidik, maka anak panah itu pun meluncur menuju
sasaran. Dan adalah mentakjubkan sekali. Anak panah itu seolah-olah mempunyai
mata, sehingga dengan langsung hinggap di kepala orang-orangan.
Orang-orang
Sangkal Putung itu benar-benar tak dapat menahan diri lagi. Mereka
berloncat-loncatan dan seperti orang yang kehilangan akal kesadaran menari-nari
sambil berteriak-teriak keras-keras. Dengan sebuah senyuman yang kecil Sidanti
mengambil anak panahnya yang kedua. Anak panah ini pun menggemparkan para
penonton pula. Sekali Sidanti mengerling ke arah Sekar Mirah yang duduk tidak
jauh dari Ki Demang Sangkal Putung. Dilihatnya wajah gadis itu menjadi tegang.
Namun tiba-tiba ketika ia melihat anak panah Sidanti hinggap di sasarannya,
dengan serta-merta ia pun bertepuk tangan sekeras-kerasnya. Namun ketika ia
memandang wajah Agung Sedayu, Sidanti menjadi agak kecewa. Anak muda itu
memandang anak panahnya dengan pandangan yang kosong. Ia bertepuk tangan karena
orang-orang lain bertepuk tangan. Tetapi tak ada kesan kekaguman memancar di
wajahnya.
“Persetan
dengan anak itu” gerutunya di dalam hati.
“Namun adalah
suatu kenyataan ia tidak berani turun ke arena”
Sidanti puas
dengan kata-kata diangan-angannya. Kembali ia memandang sasarannya, dan kembali
anak panahnya mematuk kepala. Demikianlah maka kegemparan meledak
sejadi-jadinya di lapangan itu ketika panah Sidanti yang kelima hinggap tepat
di kepala orang-orangan itu pula. Ketika sorak sorai orang-orang Sangkal Putung
itu telah mereda, maka Widura tampak berdiri dan melangkah maju kearena. Betapa
pun isi dadanya, namun ia memberikan ucapan selamat pula kepada Hudaya, Citra
Gati dan Sidanti. Kemudian dengan nyaring ia berkata,
“Kita masih
harus memilih satu di antara ketiga-tiganya. Kini lepaskanlah sasaran itu.
Gantungkan dengan tali yang agak panjang. Terbalik. Kepalanya di bawah. Dan
apabila tanda berbunyi, ayunkan orang-orangan itu. Nah, ketiga-tiganya mendapat
kesempatan yang sama. Membidikkan anak panahnya pada waktu yang bersamaan.
Masing-masing dengan tiga buah anak panah, dalam hitungan sampai angka kelima
belas”
Hudaya dan
Citra Gati tertawa masam. Terdengar Hudaya berbisik,
“Sekarang aku
harus mengaku kalah. Kalau ada satu saja anak panahku yang hinggap, ambillah
nilainya”
“Kita tidak
sedang membagi makan. Ambillah angkamu untukmu. Atau barangkali dapat kau
simpan untuk perlombaan yang akan datang” sahut Citra Gati.
Keduanya
kemudian terdiam. Mereka melihat beberapa orang sedang menggantungkan sasaran
dengan tali yang cukup panjang. Kemudian mereka menerima tiga anak panah
masing-masing. Dan ketika bende berbunyi, mereka harus sudah siap berdiri pada
satu baris lurus menghadap orang-orangan yang telah siap untuk diayunkan. Sesaat
kemudian sasaran itu pun telah dilepaskan. Terayun-ayun seperti buaian tertiup
angin yang kencang. Hudaya, Citra Gati dan Sidanti berdiri dengan tegangnya.
Sedang Sidanti tampak tersenyum-senyum kecil. Kali ini ia yakin, bahwa ia akan
memenangkan pertandingan ini. Penonton benar-benar menjadi tegang ketika
terdengar Widura mulai dengan hitungannya,
“Satu, dua,
tiga, ………..”
Panah yang
pertama lepas adalah anak panah Sidanti. Anak panah itu benar-benar seperti
mempunyai mata. Meskipun sasarannya masih juga terayun-ayun, namun anak panah
Sidanti tepat mengenai kepala. Dan lapangan itu pun menjadi semakin gemuruh
pula.
“Uh” geram
Hudaya, ketika ia melihat ayunan orang-orangan itu dan menjadi goyah karena anak
panah Sidanti.
“Makin sulit”
gerutunya. Citra Gati tidak menyahut. Ia membidik dengan cermatnya, dan anak
panahnya yang pertama terbang seperti dikejar setan. Dan sorak di lapangan itu
pun membahana pula. Kali ini Citra Gati pun tepat mengenai kepala sasaran.
Belum lagi
sorak itu berhenti, maka seolah-olah disusul pula dengan ledakan tepuk tangan
yang tak kalah kerasnya. Panah Hudaya pun menyusul kedua anak panah yang
mendahuluinya. Kepala.
Citra Gati
menyeringai.
“Setan kau
Hudaya” gumamnya.
Namun Hudaya
hanya tersenyum saja. Tetapi segera senyumnya lenyap ketika terdengar para
penonton berteriak-teriak seperti orang mabuk. Panah kedua Sidanti tepat
mengenai sasarannya pula.
Kini sasaran
itu terayun berputaran tidak menentu. karena itu, para pemanah itu menjadi
semakin sulit. Hudaya masih membidkkan anak panahnya. Namun anak panah Citra
Gati lah yang terbang lebih dulu. Yang terdengar adalah pekik penyesalan. Anak
panah Citra Gati itu hanya menyentuh kepala sasaran, namun karena kepala
sasaran itu goyah, dan padanya telah melekat beberapa anak panah, maka anak
panah Citra Gati itu meloncat dan jatuh beberapa langkah dari orang-orangan
itu.
“Gila” teriak
Citra Gati diluar sadarnya. Dan ia mengumpat kembali ketika ia mendengar sorak
gemuruh para penonton seperti akan meruntuhkan gunung Merapi. Anak panah
Sidanti yang ketiga telah hinggap dikepala orang-orangan itu pula.Hudaya
menggeram. Ia belum melepaskan anak panahnya yang kedua. Dengan menggigit
bibirnya, anak panah itu berlari kencang sekali. Namun sekali lagi penonton
menyesal karenanya. Anak panah itu mengenai anak panah yang lain pula, yang
telah lebih dahulu hinggap pada sasaran itu. Anak panah itu pun tak dapat
hinggap pula dan jatuh terpelanting beberapa langkah jauhnya. Pada saat itu
Citra Gati telah mengangkat busurnya. Namun sasaran itu bergerak-gerak tak
keruan. Kini tak ada lagi harapan baginya untuk mengenai kepala, sebab kepala
sasaran itu seolah-olah telah penuh dengan anak panah yang bergoyang-goyang
pula. hana pembidik-pembidik yang luar biasa sajalah yang akan dapat
mengenainya. Karena itu Citra Gati membidikkan anak panahnya keleher sasaran.
Namun tiba-tiba betapa ia menjadi kecewa. Hudaya pun kecewa bukan buatan. Belum
lagi mereka sempat melepaskan anak panah mereka yang ketiga terdengar Widura
mengucapkan hitungan yang terakhir, “Lima belas……” dan terdengarlah bende
berbunyi dengan nyaringnya.
Hitungan yang
terakhir itu pun disambut dengan pekik sorak dari para penonton. Mereka
berteriak-teriak menyebut nama Sidanti. Dan Sidanti itu pun kemudian melangkah
maju ketengah-tengah lapangan sambil melambaikan tangannya. Anak muda itu
menjadi semakin bergembira ketika ia melihat Sekar Mirah seperti anak-anak yang
melonjak-lonjak sambil mengacungkan ibu jari kepadanya.
“Nah,
lihatlah” kata Sidanti dalam hatinya,
“Apa yang
dapat dilakukan oleh Sedayu itu. Ternyata tidak lebih dari seorang perempuan
cengeng yang hanya dapat bersembunyi di punggung pamannya”
Hudaya masih
berdiri di tempatnya, dan Citra Gati pun masih berada di sampingnya pula. terdengar
kemudian Hudaya berkata,
“Aku
benar-benar tidak membutuhkan nilai itu. Ambillah. Kau akan menjadi pemenang kedua”
Citra Gati
tersenyum. ia tidak menjawab kata-kata Hudaya. Namun katanya,
“Lihatlah
betapa sombongnya anak muda itu”
“Biarkanlah ia
berbuat demikian” sahut Hudaya.
“Coba kau mau
apa? bukankah kau dapat dikalahkan dengan jujur?”
“Aku tidak mau
apa-apa” jawab Citra Gati,
“Aku
benar-benar kalah. Tetapi bagaimana dengan Agung Sedayu?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar