“Kita makan lebih dahulu,” berkata Kiai Gringsing. Lalu kepada Agung Sedayu ia berkata,
“Ambillah
semangkuk air untuk mencuci tangan.”
Agung Sedayu
pun kemudian mengambil semangkuk air untuk mencuci tangan. Tetapi ketika Kiai
Gringsing melihat air itu ia berkata,
“Lihat. Aku
memerlukan air itu.”
Agung Sedayu
tidak mengerti maksud gurunya. Tetapi diberikannya air di dalam mangkuk itu,
yang ternyata tidak dipakainya untuk mencuci tangannya.
“Makanlah,”
berkata Kiai Gringsing,
“tetapi air
ini aku perlukan untuk keperluan yang lain.”
Agung Sedayu
tidak segera berani bertanya. Maka dibukanya bungkusan makanannya dan kemudian
dimakannya dengan lahapnya, seperti juga gurunya. Hanya Swandaru sajalah, yang
dengan susah payah berusaha untuk menelan makannya sesuap demi sesuap.
“Makanlah,
supaya kau cepat menjadi baik,” berkata gurunya. Dan Swandaru pun telah memaksa
dirinya untuk makan sebanyak-banyaknya meskipun ia tidak berhasil menghabiskan
rangsumnya seperti biasanya.
Setelah mereka
selesai makan, maka berkata Kiai Gringsing,
“Kemarilah
Swandaru. Aku memerlukan kau.”
Swandaru
mengerutkan keningnya, dan selangkah ia bergeser mendekati gurunya.
“Bagaimana
keadaanmu sekarang?”
“Semakin baik,
Guru.”
“Bagus,” sahut
gurunya,
“kemarilah.
Aku memerlukan noda-noda di bajumu itu.”
Swandaru masih
belum mengerti maksud gurunya. Karena itu, ia mendekat lagi.
“Bukalah
bajumu. Gantilah dengan bajumu yang sebuah lagi.”
Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dibukanya dan ia mengenakan bajunya yang lain.
Kiai Gringsing
menerima baju Swandaru yang telah kotor itu. Baju yang memang sudah kumal dan
lusuh, yang selalu dipakainya sehari-hari apabila ia pergi bekerja.
“Untunglah kau
tidak berbuka baju saat itu,” berkata Kiai Gringsing.
“Bukankah kau
biasanya membuka bajumu kalau bekerja?”
“Ya, Guru.”
Kiai Gringsing
menganggukkan kepalanya. Perlahan-lahan Kiai Gringsing membasahi noda darah di
baju Swandaru sambil berdesis,
“Lihat, apakah
ada orang yang mengamati kita?”
Agung Sedayu
menebarkan pandangan matanya berkeliling. Dilihatnya orang-orang lain sibuk
dengan kepentingannya sendiri. Sedang orang yang kekurus-kurusan berdiri di
pintu barak memandang ke luar. Di luar, di serambi barak, beberapa orang telah
berbaring di tempat masing-masing.
“Awasilah,
jangan ada orang yang melihat apa yang aku lakukan.”
“Baiklah,
Guru.”
Kiai Gringsing
sendiri berpaling sejenak. Kemudian ia duduk menghadap ke dinding.
Dicelupkannya ujung baju Swandaru yang terpercik darah orang yang tiba-tiba
saja telah memeluk Swandaru dalam keadaan luka parah. Sejenak Swandaru menatap
wajah gurunya yang tegang. Dengan teliti Kiai Gringsing mengamati titik air
yang kemudian menjadi kemerah-merahan. Wajah orang tua itu semakin lama menjadi
semakin tegang memandangi air di dalam mangkuk itu, sehingga akhirnya ia
menarik nafas dalam-dalam.
“Kenapa,
Guru?” bertanya Swandaru.
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ada sesuatu tersimpan di hatinya. Namun ia
hanya berkata,
“Aku masih
harus meyakinkan banyak hal di sini.” Ia merenung sejenak, lalu,
“Swandaru, kau
tidak usah ikut aku ke tempat dukun itu. Biarlah Agung Sedayu menunggui kau di
sini. Aku akan pergi sendiri.”
“Apakah
artinya, Guru?”
“Jangan terlampau
keras,” potong Kiai Gringsing cepat-cepat.
“Biarlah
sementara aku tidak mengatakannya sebabnya. Tetapi untuk menempuh jalan yang
sulit itu. Swandaru masih terlampau lemah.”
“Tidak, Guru.
Aku sudah menjadi semakin baik.”
“Tetapi jalan
itu sangat sulit.”
Swandaru
mengerutkan keningnya. Ketika ia memandang wajah Agung Sedayu, ia melihat
pertanyaan yang tersirat pula di sorot matanya.
“Jangan ributkan
hal ini,” berkata gurunya,
“aku akan
pergi sendiri. Swandaru masih harus berbaring dengan tenang untuk mendapatkan
tenaganya kembali seperti sediakala.” Katanya kepada Agung Sedayu,
“Tungguilah
adikmu. Ingat, pada orang-orang yang aneh itu. Kepada orang yang kurus dan
orang yang bertubuh kekar itu. Biar saja apa yang mereka katakan dan mereka
nasehatkan. Dengar saja dan anggukkan kepalamu kalau kau segan mengiakannya.”
Agung Sedayu
tidak segera menyahut. Tetapi keragu-raguannya menjadi semakin membayang di
wajahnya.
“Untuk
sementara kau pasti akan berteka-teki. Tetapi pada saatnya kau akan mengetahui,
apa yang sebenarnya aku lakukan.”
Agung Sedayu
dan Swandaru mengangguk-anggukkan kepala mereka.
“Tetapi,
bukankah Guru akan segera kembali?”
“Aku akan
berusaha untuk segera kembali. Kalau lewat tengah malam aku belum juga kembali,
aku menemui kesulitan.”
Dada Agung
Sedayu berdesir. Dengan demikian ia sadar, bahwa gurunya pun merasa bahwa
masalah yang dihadapinya bukan sebuah permainan yang mengasikkan. Tetapi
gurunya menganggap bahwa masalah adik seperguruannya itu adalah masalah yang
bersungguh-sungguh. Dengan demikian hampir di luar sadarnya ia berkata,
“Kalau Guru
tidak kembali setelah tengah malam, apakah aku harus mencarinya?”
“Terima kasih.
Tetapi jangan diburu oleh nafsu dan perasaan,” jawab gurunya.
“Kalau aku
tidak dapat menghindarkan diri dari kesulitan itu, maka kau pasti hanya akan
menambah jumlah korban.”
“O,” Agung
Sedayu menundukkan kepalanya, “jadi bagaimana?”
“Agung Sedayu
dan Swandaru,” Kiai Gringsing semakin bersungguh-sungguh,
“kalau aku
tidak kembali, jangan coba-coba untuk mencari sendiri.”
“Lalu?”
“Kau berdua
harus menghadap Raden Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar.”
Kedua muridnya
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ceriterakan
apa yang telah terjadi,” sambung gurunya, lalu,
“tetapi aku
agaknya berpikir terlampau jauh. Agaknya tidak akan ada apa-apa di sepanjang
jalan.”
“Mudah-mudahan,
Guru.”
“Tetapi ingat,
hati-hatilah kalian di sini. Jangan berbuat sesuatu yang dapat menambah
kesulitan.”
Kedua muridnya
menganggukkan kepalanya.
“Aku akan
membawa obat pemberian dukun itu. Mudah-mudahan aku menemukan sesuatu.”
Kiai Gringsing
pun kemudian minta diri kepada kedua muridnya, dan kemudian beberapa orang yang
masih duduk-duduk di dalam barak yang diterangi oleh lampu minyak itu.
“He, kau tidak
jadi membawa anakmu yang sakit itu?”
“Aku berubah
pendapat,” katanya, “aku pikir jalan sangat sulit untuk orang yang sedang
sakit. Aku akan pergi sendiri.”
Tiba-tiba saja
orang yaag kurus itu pun mendekatinya,
“Jadi kau
pergi sendiri?”
“Aku kasihan
kepada anakku. Ia masih terlampau lemah dan barangkali justru akan mempersulit
perjalanan.”
“Lalu,
bagaimana dukun sakti itu dapat mengobati anakmu kalau ia tidak melihat
keadaannya.”
“Aku yakin
bahwa dukun sakti itu mengerti apa yang dihadapinya tanpa melihat orangnya.”
Orang yang
kurus itu tidak menyahut lagi. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia
memandang Kiai Gringsing melangkah keluar pintu barak. Di luar malam telah
menjadi semakin kelam, dan orang-orang yang hanya berada di serambi barak itu
telah berbaring di tempat masing-masing.
“Kau terlampau
berani,” seseorang berdesis.
Kiai Gringsing
berpaling. Katanya kemudian,
“Inilah
kuwajiban seorang ayah. Betapa pun aku dicengkam oleh ketakutan tetapi aku
harus berangkat. Anakku memerlukannya.”
Orang itu
memandanginya dengan penuh iba. Terdengar ia berdesis,
“Truna Podang,
meskipun tampangmu seperti seorang badut kecil, tetapi kau adalah seorang ayah
yang baik. Seandainya aku yang menanggung peristiwa semacam itu, aku tidak akan
berani berbuat seperti kau. Aku pasti akan mati beku di sepanjang jalan menuju
ke rumah dukun sakti yang dikerumuni …………….,” orang itu tidak berani meneruskan
kata-katanya.
Seorang
kawannya yang berbaring di sampingnya telah menyentuhnya.
“Dikerumuni
apa?” bertanya Kiai Gringsing meskipun sebenarnya ia tahu, kata-kata apakah
yang tidak terlontar dari mulut orang itu.
Orang itu
hanya menggelengkan kepalanya saja, sedang Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Di luar Kiai Gringsing masih melihat orang yang kekar itu berjalan
sambil menjinjing sebuah mangkuk berisi air. Ketika orang itu melihat pula Kiai
Gringsing, ia bertanya,
“Kau jadi akan
pergi?”
“Ya.”
“Mana
anak-anakmu?” bertanya orang yang kekar itu.
“Aku berubah
pendirian. Aku tidak membawa anak-anakku. Yang sakit itu masih terlampau lemah,
sedang jalan menuju ke tempat dukun ilmu gaib itu terlampau sulit.”
Orang yang
bertubuh kekar itu mengerutkan keningnya Lalu katanya,
“Apakah
sebenarnya maksudmu?”
“Aku tidak
mengerti pertanyaanmu.”
“Kenapa anakmu
tidak kau bawa?”
“Ia masih
terlampau lelah.”
“Bukankah
anakmu yang sakit, yang kau katakan digigit ular itu?”
“Ya.”
“Terserahlah
kepadamu. Aku tidak tahu, apakah yang seharusnya kau lakukan, supaya kau
selamat. Kau adalah orang yang keras kepala. Orang yang keras kepala seperti
kau itulah yang biasanya akan menjumpai banyak kesulitan.”
“Mudah-mudahan
aku tidak,” sahut Truna Podang,
“aku sudah
terlampau bingung karena anakku sakit. Aku tidak dapat berbuat lain. Aku tidak
sempat memikirkan diriku sendiri.”
“Sama sekali
tidak. Kau sama sekali tidak memikirkan keselamatan anak-anakmu. Kau terlampau
mementingkan dirimu sendiri.”
“Kenapa?”
“Kalau kau mau
mundur setapak, maka anak-anakmu akan selamat. Tanah itu adalah tanah yang
wingit. Berapa orang terpaksa mengurungkan niatnya. Kau sudah mendengar,
sekarang kau mengalaminya sendiri. Tetapi kau masih tetap berkeras kepala.”
Kiai Gringsing
tidak menjawab. Meskipun kepalanya terangguk-angguk namun sama sekali tidak
terbersit niat di hatinya untuk menarik diri dari kerja yang sudah dimulainya.
Bukan karena ia ingin sebidang tanah garapan, tetapi ia justru semakin ingin
mengetahui apakah yang sebenarnya tengah berlangsung di antara kesibukan Ki
Gede Pemanahan dan puteranya yang lagi membuka hutan ini. Orang yang kekar itu
masih berdiri sejenak memandanginya, seakan-akan ia ingin meyakinkan, apakah
Kiai Gringsing yang dikenalnya bernama Truna Podang itu benar-benar mengerti
maksudnya. Karena Truna Podang itu tidak menjawab, maka orang itu berkata pula,
“Pikirkan
kata-kataku sebelum terlanjur. Sekarang, kalau kau mau pergi ke rumah dukun sakti
itu, pergilah. Sekali lagi aku pesan, hati-hati di jalan dan jangan berniat
untuk berbuat aneh-aneh supaya kau sempat pulang kembali menemui anak-anakmu.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Terima
kasih.”
Ketika orang
itu meninggalkannya, Kiai Gringsing pun kemudian berjalan tertatih-tatih
meninggalkan barak yang menjadi semakin sepi. Seseorang memandanginya dengan
perasaan kasihan. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa.
Sejenak
kemudian orang yang bertubuh kekar itu pun masuk pula ke dalam barak sambil
bergumam,
“Orang yang
bodoh dan tamak. Dikorbankannya anak-anaknya untuk kepuasan pribadinya. Kalau
ia mendapatkan tanah itu, tetapi kehilangan anak-anaknya, buat apakah
sebenarnya tanah itu baginya yang sudah begitu tua?”
“Ada apa?”
tanya seseorang.
“Truna
Podang,” jawab orang itu,
“ia sampai
hati mengorbankan anak-anaknya untuk mendapatkan harta lahiriah.”
Tidak ada
orang yang menyahut. Namun mereka memang sering mendengar hal-hal serupa itu.
Orang tua yang sampai hati mengorbankan anak-anaknya untuk mendapatkan kepuasan
diri.
“Tetapi Truna
Podang justru terlampau cinta kepada anak-anaknya,” berkata seseorang di dalam
hati. Tetapi ia tidak mau berbantah lagi. Apalagi malam menjadi semakin dalam,
dan ketakutan telah mulai merayapi setiap hati. Terlebih-lebih mereka yang
berada di serambi karena ruang di dalam barak telah terlampau penuh.
Dalam pada itu
Kiai Gringsing telah menjadi semakin jauh dari barak. Ia masih melihat sinar
lampu yang berkeredipan di gardu pengawas yang sepi dan sinar-sinar yang
meloncat ke luar dari gubug-gubug yang berserakan. Namun setiap pintu dari
gubug-gubug itu telah tertutup rapat. Tergambar di dalam angan-angan Kiai
Gringsing, orang-orang yang berjejal-jejal di dalam gubug-gubug itu, dibayangi
oleh ketakutan dan kecemasan. Ketika Kiai Gringsing sudah menjadi semakin jauh
dari barak, maka ia pun segera menyingsingkan kain panjangnya. Sekali ia
menengadahkan kepalanya, memandang langit yang ditaburi oleh bintang. Dan orang
tua ternyata telah memanjatkan doa di dalam hati. Baginya tidak ada kekuasaan
yang melampaui kekuasaan Yang Maha Kuasa. Seribu jin, seribu setan, dan
hantu-hantu tidak akan dapat mengatasi kuasa-Nya dan kehendak-Nya. Selagi ia
masih di dalam perlindungan-Nya, maka apa saja yang dihadapi tidak akan dapat
menggetarkan sehelai bulunya pun.
“Mudah-mudahan
aku tidak dilepaskan-Nya karena aku sudah terlampau banyak berbuat dosa,”
desisnya.
Kiai Gringsing
itu pun kemudian mempercepat langkahnya menembus gelapnya malam. Ia kini bukan
lagi Truna Podang yang berjalan terbungkuk-bungkuk. Tetapi kini ia adalah Kiai
Gringsing yang cekatan dan trengginas. Diloncatinya lubang-lubang yang
berserakan di tengah-tengah jalan yang semakin lama menjadi semakin jelek. Kiai
Gringsing mengangkat kepalanya ketika tiba-tiba saja ia mendengar suara yang
berdesing berputar-putar. Semakin lama semakin jelas, sehingga langkahnya pun
terganggu karenanya. Suara itu seolah-olah berputaran di udara tidak
henti-hentinya.
Sementara itu,
di barak yang ditinggalkan oleh Kiai Gringsing, semakin lama suasana menjadi
semakin sepi. Hanya desah nafas yang semakin teratur sajalah yang seakan-akan
saling sahut menyahut. Namun beberapa orang yang belum tertidur tiba-tiba
terkejut ketika mendengar seseorang meloncat masuk dengan nafas terengah-engah.
Mereka yang tanpa sadar, berpaling ke arah pintu melihat orang yang
kekurus-kurusan itu berdiri dengan tubuh gemetar.
“Kenapa?”
bertanya seseorang.
Orang yang kurus
itu menggelengkan kepalanya,
“Tidak ada
apa-apa.”
“Tetapi kenapa
kau menjadi ketakutan?” desak orang lain.
Orang yang
kurus itu berpaling sejenak. Dipandanginya pintu yang memang tidak pernah
tertutup itu.
“Kenapa?”
desak yang lain lagi
“Aku kira
tidak ada apa-apa. Tetapi aku sajalah yang terlampau ketakutan.”
“Ya, tetapi
kau kenapa?”
“Aku melihat
sesuatu. Tetapi aku kira hanya mataku sajalah yang salah.”
“Kau melihat
apa?”
“Hanya sebuah
bayang-bayang di bawah pohon belimbing.”
“He, kenapa
kau sampai ke bawah pohon belimbing malam-malam begini?” tiba-tiba orang yang
bertubuh kekar bertanya.
“Maksudku,
mumpung belum terlampau malam. Aku memang ingin mengurangi kemungkinan untuk
keluar di malam hari.”
“Kenapa tidak
di pakiwan he?”
“Aku takut ke
pakiwan.”
“Bodoh kau.
Justru di bawah pohon belimbing itu yang seharusnya kau takuti. Kau tidak hanya
membayangkan atau matamu sajalah yang salah lihat. Aku yakin kau pasti melihat
sesuatu,” berkata orang yang bertubuh kekar itu.
Orang yang
kekurus-kurusan itu tidak menjawab lagi. Dengar tubuh yang masih gemetar ia
melangkah ke tempatnya. Punggungnya yang tidak tertutup oleh sehelai baju
tampak berkeringat seperti seseorang yang baru saja melakukan pekerjaan yang
terlampau berat. Tetapi orang itu ternyata tidak segera pergi tempatnya. Dengan
ragu-ragu ia langsung pergi ke sudut ruangan, di mana Swandaru sedang berbaring
ditunggui oleh Agung Sedayu.
“Bagaimana
dengan keadaanmu?” ia bertanya.
Swandaru hanya
mengedipkan matanya saja perlahan-lahan. Sedang Agung Sedayu lah yang menjawab,
“Mudah-mudahan
ayah mendapat obatnya.”
Orang yang
kekurus-kurusan itu mengangguk-angguk. Sekali-sekali dirabanya dahi Swandaru.
Tetapi anak itu sudah tidak panas lagi. Bahkan perlahan-lahan keringatnya pula
tampak mengembun di keningnya. Keringatnya yang wajar.
Orang yang
kekurus-kurusan itu menjadi heran. Sebelum Swandaru diobati, ia sudah menjadi
agak baik, meskipun tampaknya ia masih sangat lemah.
“Tetapi aku
tidak mengetahui keadaan yang sebenarnya. Mungkin ia sudah berangsur baik
karena racun yang menyusup ke dalam tubuhnya bukannya racun yang keras,”
berkata orang yang kekurus-kurusan itu di dalam hatinya.
Namun
pertanyaan yang diucapkan kemudian adalah,
“Bagaimana
rasanya badanmu sekarang?”
Ternyata kedua
anak-anak murid Kiai Gringsing itu sudah kejangkitan kebiasaan gurunya.
Meskipun tidak berjanji hampir bersamaan mereka menjawab,
“Parah.”
“He?” orang
itu menjadi heran,
“Kau tidak
begitu pucat, dan tubuhmu menjadi hangat seperti orang yang sehat.”
Swandaru
menggelengkan kepalanya dan Agung Sedayu berkata,
“Memang
mungkin tampaknya demikian. Tetapi keadaannya mengkhawatirkan, menurut ayah dan
dukun di rumah sebelah barak ini.”
“Tetapi
bagaimana dengan Sangkan itu sendiri?” potong orang itu,
“Bagaimana
dengan kau? Kau merasakan dan yang paling mengerti tentang dirimu sendiri.”
Swandaru
menggeleng lemah. Suaranya hampir tidak terdengar,
“Aku tidak
kuat lagi.”
Agung Sedayu
dan Swandaru menjadi heran ketika mereka melihat kepuasan tersirat di wajah
orang yang kekurus-kurusan itu. Katanya,
“Pelajaran
yang mahal bagimu. Peristiwa ini harus selalu menjadi pertimbanganmu di setiap
langkah. Aku menganjurkan agar kau berdua mengajak ayahmu mengurungkan niatnya
menebas hutan di daerah yang werit itu. Beberapa orang telah menarik diri.
Bahkan di daerah ini pun semakin lama menjadi semakin sepi. Satu-satu
orang-orang yang semula telah bertekad untuk membersihkan daerah ini menjadi
mundur dan meninggalkan tempat yang mengerikan ini.”
Kedua
anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Apakah kau
mengerti maksudku?”
Seperti yang
dipesankan gurunya Agung Sedayu mengangguk pula, meskipun ia ragu-ragu.
“Jangan
menunggu sampai terlambat.”
Agung Sedayu
mengangguk lagi.
“He, apakah
kau mendengar kata-kataku?” orang itu tiba-tiba membentaknya.
“Aku
benar-benar berniat baik.”
“Ya, aku
mendengar. Dan aku sudah mengangguk. Tetapi semuanya itu tergantung kepada
ayah. Mungkin ia mendapatkan keputusannya setelah ia menghadap dukun sakti
itu.”
“Kaulah yang
harus ikut memaksanya untuk kepentingan adikmu dan kau sendiri.”
Agung Sedayu
tidak menjawab, tetapi ia mengangguk saja.
“He, kenapa
kau hanya mengangguk-angguk saja seperti nini towok? Apakah kau tidak senang
mendengarkan nasehatku, he?” orang itu menjadi jengkel.
“O, bukan
maksudku. Aku mendengarkannya dan, memang menjadi kebiasaanku untuk
mengangguk-anggukkan kepala apabila aku mendengarkan nasehat seseorang,” jawab
Agung Sedayu.
“Tetapi kau
membuat aku menjadi sakit hati,” berkata orang yang kekurus-kurusan itu.
“Dengar.
Sekarang di dekat barak ini, di bawah pohon belimbing, telah muncul sesosok
hantu. Mungkin kaulah yang menyebabkannya. Selama ini aku tidak pernah
diganggunya meskipun seandainya memang sudah ada di situ sejak lama.”
Agung Sedayu
mengangguk lagi. Tetapi ketika ia sadar, segera ia menjawab,
“Mudah-mudahan
bukan kamilah yang menyebabkannya.”
“Kau jangan
mencuci tangan. Sebelum kau ada di sini semuanya berjalan baik. Gangguan
semakin lama semakin terbatas. Sekarang agaknya kau telah mengungkat kemarahan
hantu-hantu itu.”
“Bukankah kau
katakan bahwa selama ini orang-orang menjadi ketakutan? Dan sebelum kami
datang, satu demi satu mereka telah meninggalkan tempat ini? Kenapa justru kami
yang menjadi paran tutuhan. Menjadi seolah-olah tempat sampah untuk melemparkan
kesalahan,” Agung Sedayu menjadi semakin kehilangan kesabaran.
Jawaban Agung
Sedayu itu ternyata telah menyinggung perasaan orang kekurus-kurusan itu
sehingga ia berkata,
“He, kau
berani membantah? Aku peringatkan kau, jangan berbuat gila di sini.”
Dan sebelum
Agung Sedayu menjawab, agaknya orang yang kekar yang mendengarkan pembicaraan
itu menjadi jengkel pula, sehingga dari tempatnya ia berkata lantang sehingga
mengejutkan orang-orang yang sedang tidur,
“Jangan ulangi
jawaban itu anak-anak bengal. Sekali-sekali aku ingin memukul mulutmu.”
Terasa darah
Agung Sedayu melonjak. Namun, ia masih tetap menguasai dirinya seperti pesan
ayahnya. Ketika sekilas ia melihat wajah Swandaru yang terbaring diam itu,
tampaklah seleret warna merah membayang di wajah yang gemuk itu.
“Maaf,”
berkata Agung Sedayu kemudian,
“aku tidak
bermaksud menyinggung perasaan kalian.”
“Tutup mulutmu,
“ bentak orang yang kekar itu.
“Sayang ayahmu
tidak ada. Kalau ada, aku paksa ia menghajarmu. Kalau tidak, kamilah yang akan
menghajar kau dan membungkam mulutmu.”
Agung Sedayu
menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia mengangguk berkali-kali.
“He, kau dengar?”
Sekali lagi
Agung Sedayu mengangguk.
“Kau dengar
he? Kau tidak mau menjawab?”
“O, jadi aku
harus menjawab? Aku tidak berani membuka mulutku.”
Tiba-tiba
orang yang kekar itu meloncat bangkit. Untunglah bahwa berbareng dengan itu,
beberapa orang telah terbangun pula. Mereka segera berusaha menahan orang yang
bertubuh kekar itu.
“Jangan.
Adiknya baru sakit dan ayahnya tidak ada.”
Orang yang
bertubuh kekar itu menggeram. Tangannya dihentak-hentakkannya sambil
mengumpat-umpat. Seandainya orang-orang di dalam barak itu tidak mengerumuninya
dan meredakan marahnya, maka ia pasti sudah tidak mengekang dirinya lagi.
“Anak gila,”
ia masih mengumpat-umpat,
“di seluruh
daerah ini tidak seorang pun yang berani melawan Sura Gempal. Kau anak ingusan
saja sudah berani membantah dan bahkan menghina. Sayang saat ini aku terhalang
oleh sekian banyak orang. Kalau tidak, mulutmu benar-benar akan berdarah.
Ingat, tidak ada orang yang berani melawan Sura Gempal. Bahkan para petugas dan
pengawas pun tidak.”
Agung Sedayu sama
sekali tidak menyahut. Ia masih berada di tempatnya, namun supaya tidak
menumbuhkan berbagai pertanyaan di antara orang-orang yang berada di barak itu,
ia pun telah berdiri dengan tubuh gemetar. Tetapi ia tidak mengucapkan sepatah
kata pun. Beberapa orang kemudian membimbing orang yang bertubuh kekar, yang
menyebut dirinya bernama Sura Gempal itu kembali ke tempatnya. Salah seorang
dari orang-orang itu berkata,
“Jangan
hiraukan. Bukankah mereka hanya anak-anak.”
“Tetapi itu
akan menjadi kebiasaan yang kurang baik. Kalau aku membiarkan anak itu
menghinaku, maka lain kali orang lain pun akan menghinaku pula.”
“Anak itu
sudah minta maaf. Ia menjadi ketakutan sekali.”
Orang yang
menyebut dirinya bernama Sura Gempal itu berpaling. Ketika dilihatnya Agung
Sedayu berdiri gemetar, hatinya menjadi sedikit terhibur.
“Kali ini aku
maafkan kau,” katanya, “tetapi lain kali, aku sobek mulutmu.”
Agung Sedayu
tidak menjawab. Ketika orang itu telah duduk kembali di tempatnya, maka orang
lain pun kembali ke tempat masing-masing. Seseorang yang sudah agak lanjut usia
mendekati Agung Sedayu.
“Sudahlah.
Hati-hatilah untuk lain kali. Jangan menyakiti hati orang.”
Mulut
Swandaru-lah yang sudah mulai bergerak. Tetapi ia terdiam ketika kaki Agung
Sedayu menyentuh lututnya.
“Sudahlah.
Tidurlah. Ayahmu akan segera pulang.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Ya, ya. Aku
akan tidur.”
Agung Sedayu
pun kemudian duduk di samping Swandaru. Orang yang kurus itu sudah tidak ada di
dekat mereka, dan orang yang kekar dan menyebut dirinya bernama Sura Gempal itu
pun sudah berbaring pula di tempatnya. Sejenak kemudian Agung Sedayu pun
berbaring pula di samping Swandaru. Sebelum ia mapan Swandaru sudah berdesis
perlahan-lahan,
“Kenapa kau
biarkan orang itu membuka mulutnya terlampau lebar?”
“Kenapa?”
bertanya Agung Sedayu.
“Akulah yang
tidak tahan. Hampir saja aku meloncat bangun.”
“Hus. Bukankah
guru sudah berpesan, agar kita tidak menambah kesulitan di sini.”
“Dan
membiarkan diri kita diumpat-umpat tanpa salah?”
Agung Sedayu
tersenyum,
“Guru sudah
memberikan contoh, bahwa kadang-kadang kita harus berbuat demikian.”
Swandaru
mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun tersenyum pula. Bahkan katanya,
“Memang
kadang-kadang terasa, kenikmatan tersendiri untuk membiarkan diri kita
dihinakan oleh orang-orang yang tidak tahu diri itu.”
Agung Sedayu
mengangguk-angguk sambil berkata,
“Itu adalah
suatu bentuk kesombongan tersendiri.”
“He, kenapa?
Bukankah itu suatu sikap rendah hati.”
“Ya, tetapi
bukankah di dalam hati kita, justru kita merasa bahwa dengan demikian kita
sudah merendahkannya?”
“Ah, kau
terlampau berbelit-belit.”
“Ya. Tetapi
bukankah kadang-kadang kita menepuk dada sambil berkata ‘Inilah, akulah orang
yang baik, rendah hati, yang tidak pernah menyombongkan diri’. Tetapi bukankah
itu suatu bentuk kesombongan yang terbesar?”
Swandaru
merenung sejenak. Namun kemudian ia tersenyum pula,
“Ternyata kau
sempat memikirkannya.”
“Bukankah kita
sedang tidak mempunyai kerja saat ini.”
“Sudahlah.
Orang-orang lain sudah tidur. Apakah kita tidak akan tidur?”
“Tidurlah. Kau
memang perlu beristirahat cukup. Aku akan menunggu sampai lewat tengah malam.
Apakah guru segera kembali atau tidak.”
Swandaru
mengangguk-angguk kecil. Namun kemudian ia berkata,
“Apakah aku
akan dapat tidur sebelum guru datang?”
“Tidurlah. Aku
akan menunggunya.”
Keduanya pun
kemudian terdiam. Ruangan itu memang sudah terlampau sepi sehingga keduanya pun
tidak ada minat lagi untuk bercakap-cakap. Swandaru yang belum pulih benar itu
pun berusaha untuk dapat tidur meskipun hanya sejenak. Tetapi ingatannya kepada
gurunya, maka ia hanya dapat memejamkan matanya saja, tetapi sama sekali tidak
tertidur. Apalagi Agung Sedayu yang berbaring di sampingnya melekat dinding.
Tubuhnya seakan-akan terhimpit oleh tubuh Swandaru yang gemuk itu. Ia bahkan
sama sekali tidak berhasil untuk sekedar memejamkan matanya. Ditatapnya saja
atap barak yang terbuat dari anyaman rerumputan dan ilalang, sedang
angan-angannya jauh bersama angin malam yang berhembus lambat.
Dalam pada
itu, Kiai Gringsing masih ada di perjalanan. Suara berdesing di udara itu
seolah-olah selalu mengikutinya ke mana ia pergi. Sekali ia menarik nafas
dalam-dalam. Akhirnya ia memutuskan untuk mengetahui, suara apakah yang selalu
mengganggunya itu. Orang tua itu pun kemudian duduk di atas sebuah batu di
pinggir jalan sambil sekali-sekali menengadahkan kepalanya. Tetapi malam begitu
gelap sehingga ia tidak dapat melihat sesuatu.
“Gila,”
desisnya, “suara itu sangat mengganggu.”
Namun ketika
teringat olehnya pesannya kepada murid-muridnya, bahwa tengah malam ia harus
kembali, maka ia pun segera melanjutkan perjalanannya. Tetapi suara yang
berdesing itu seolah-olah mengikutinya kemana ia pergi. Melingkar-lingkar.
Sejenak menghilang kemudian mendekat lagi. Namun akhirnya Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan
kepalanya. Bahkan kemudian ia pun tersenyum sambil berkata kepada diri sendiri,
“Aku puji cara
mereka. Hampir saja aku dijangkiti penyakit ketakutan itu pula.”
Kini Kiai
Gringsing tidak menghiraukan lagi suara yang melingkar-lingkar itu. Langkahnya
semakin dipercepat. Diloncatinya parit-parit kecil yang menyilang jalan setapak
yang sedang dilaluinya. Ketika ia sampai di sebuah parit yang sedang dibuat, di
sebelah sebatang pohon yang besar, Kiai Gringsing berhenti sejenak. Ia harus
berbelok ke kanan, menuruti jalan yang sempit sampai sebuah sungai kecil yang
curam. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Jalan yang ditempuh memang
sebuah jalan yang mengerikan. Dedaunan yang rimbun bergantungan di atas jalan
sempit itu. Sulur-sulur yang liar bergayutan sebelah menyebelah. Tetapi Kai
Gringsing tidak akan mundur. Ia berjalan terus betapa gelapnya. Namun sebagai
seorang perantau yang berpengalaman, Kiai Gringsing segera dapat mengenal jalan
yang akan dilaluinya itu. Langkah Kiai Gringsing tertegun ketika ia melihat
sesuatu bergerak-gerak di kejauhan. Di dalam gelapnya malam, mata Kiai
Gringsing yang tajam melihat sesuatu yang menghilang di balik rerumputan,
kemudian suara gemerisik batang-batang ilalang yang- tersibak. Namun kemudian
sepi kembali. Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat menduga
bahwa bayangan yang bergerak-gerak itu adalah bayangan seorang. Namun orang itu
pasti bukan orang kebanyakan, karena tiba-tiba saja ia telah hilang seperti
ditelan bumi, meskipun Kiai Gringsing mengetahui bahwa orang itu pasti
bersembunyi di balik pepohonan. Tetapi geraknya yang cepat itu menandakan,
bahwa orang itu adalah orang yang memiliki kemampuan cukup. Begitu besar
keinginan Kiai Gringsing untuk mengetahui, siapakah orang itu, hampir saja ia
meloncat menyusulnya. Untunglah bahwa ia masih dapat mengekang dirinya. Yang
berjalan menuju ke rumah dukun sakti itu kini adalah Truna Podang. Karena itu,
ketika ia menjadi semakin dekat dengan bayangan yang bersembunyi itu, langkah
Kiai Gringsing menjadi semakin lambat, bahkan kemudian tertatih-tatih seperti
orang yang kelelahan. Meskipun Kiai Gringsing tidak melihat, tetapi ketajaman
inderanya merasakan, bahwa ada sepasang mata yang sedang mengintip langkahnya.
“Ini pasti
salah seorang pembantu dukun sakti itu,” katanya di dalam hati,
“ia harus
mengamati tamu-tamunya.”
Karena itu,
Kiai Gringsing harus melakukan perannya dengan baik. Sebagai seorang petani
yang sedang digelisahkan oleh anaknya yang sedang sakit. Betapa pun ketakutan
dan kecemasan membakar dada, tetapi petani yang takut kehilangan anaknya itu
berjalan tertatih-tatih di dalam gelapnya malam. Namun tidak sesuatu yang
terjadi. Ketika ia sampai di sungai kecil yang curam, maka Kiai Gringsing pun
merayap turun. Air sungai yang hanya sedalam mata kaki itu terasa betapa
dinginnya.
Tetapi ketika
ia mulai merangkak naik, tiba-tiba Kiai Gringsing itu dikejutkan oleh suara
tertawa yang aneh. Suara tertawa yang halus, tetapi menegangkan. Kiai Gringsing
berhenti sejenak. Segera ia mengetahui darimana arah suara itu. Tetapi ia sama
sekali tidak berhasrat untuk menemukannya. Karena itu, ia merangkak terus naik
tebing yang cukup curam. Akhirnya Kiai Gringsing sampai juga di seberang, di
atas tebing. Dengan penuh kewaspadaan ia melangkah terus. Kini ia merasa bahwa
tidak hanya seorang sajalah yang sedang mengawasi. Seakan-akan di setiap
langkahnya ia bertemu dengan tatapan mata yang tajam. Namun Kiai Gringsing
tetap tabah. Ia berjalan terus, sehingga akhirnya ia sampai ke suatu tempat
yang ditebari oleh batu-batu yang besar.
“Di sinilah
rumah dukun sakti itu,” desis Kiai Gringsing.
Kiai Gringsing
melangkah terus. Ia harus mencari rumah dukun sakti itu, di antara batu-batu
besar yang berserak-serakan. Tetapi sebelum ia menemukan rumah itu, Kiai
Gringsing sekali lagi tertegun. Ia mendengar derap kaki-kaki kuda mendekati
daerah berbatu-batu itu. Sejenak Kiai Gringsing terpaku di tempatnya. Ia
menduga bahwa ada kira-kira lima atau enam ekor kuda. Semakin lama menjadi
semakin dekat.
“Apakah
kuda-kuda ini sejenis kuda-kuda hantu yang menakut-nakuti daerah yang sedang
dibuka itu?” ia bertanya kepada diri sendiri.
Tetapi Kiai
Gringsing memutuskan untuk segera menemukan rumah dukun sakti itu supaya ia
dapat mengambil suatu kesimpulan dari pertemuan itu untuk melakukan tindakan
selanjutnya. Ia tidak mempedulikan lagi suara derap kaki-kaki kuda itu. Ia
tidak menghiraukan pula, apakah kuda-kuda itu kuda-kuda hantu atau kuda-kuda
yang lain. Sejenak kemudian dada Kiai Gringsing menjadi berdebar-debar. Ia
mendengar desir langkah seseorang yang tergesa-gesa. Karena itu segera ia
mengendapkan diri di balik sebuah batu. Di dalam keremangan malam ia melihat
sesosok bayangan yang berjalan cepat menjauhi segerumbul perdu di balik
sebongkah batu yang besar. Ketika orang itu hilang di balik bebatuan, maka Kiai
Gringsing pun merayap mendekatinya. Dadanya berdesir ketika ia melihat di balik
gerumbul itu, berdiri sebuah gubug yang kecil, dilindungi oleh beberapa gumpal
batu yang besar dan gerumbul-gerumbul yang rimbun.
“Inikah
rumahnya?” ia bertanya kepada diri sendiri pula. Namun dalam pada itu suara
derap kaki-kaki kuda itu pun menjadi semakin dekat. Tetapi agaknya kuda-kuda
itu pun tidak dapat maju dengan cepat, karena daerah yang terlampau sulit
dilalui.
“Apakah derap
itu derap kaki-kaki kuda hantu yang mengikuti aku?” Kiai Gringsing bertanya
pula di dalam hatinya.
Tetapi Kiai
Gringsing memang ingin mengetahui bentuk dan wajah hantu-hantu yang telah
menakut-nakuti setiap orang yang sedang berusaha membuka hutan dan
menjadikannya suatu negeri di bawah pimpinan Ki Gede Pemanahan dan puteranya
Raden Sutawijaya bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar.
Sejenak Kiai
Gringsing termangu-mangu di tempatnya. Manakah yang lebih dahulu akan
dilakukannya. Masuk menemui dukun sakti itu, atau menunggu hantu-hantu itu
lewat. Tetapi kalau ia menunggu hantu-hantu itu lewat, mungkin tanggapan dukun
sakti itu kepadanya sudah akan menjadi berlainan. Selagi Kiai Gringsing
dibayangi oleh keragu-raguannya, maka derap kaki-kaki kuda itu menjadi semakin
dekat. Dengan demikian Kiai Gringsing tidak mendapat kesempatan lagi. Karena
itu yang mula-mula dikerjakan adalah mencari tempat untuk berlindung.
“Apakah aku
dapat berlindung dari mata hantu-hantu,” katanya di dalam hati.
“Apa boleh
buat. Apabila hantu-hantu itu melihat aku, aku tidak akan menghindar.”
Kiai Gringsing
adalah orang yang cukup berpengalaman dan memiliki ilmu yang hampir sempurna di
dalam olah kanuragan. Apalagi adalah seorang yang mempunyai kepercayaan yang
mantap kepada Yang Maha Kuasa. Dengan demikian, maka ia pun segera dapat
menguasai diri dan dengan tenang menghadapi setiap kemungkinan. Namun demikian,
tanpa sesadarnya ia telah meraba tangkai cambuknya yang membelit di lambung. Kiai
Gringsing menjadi semakin berdebar-debar ketika ia mendengar derap itu semakin
dekat. Kemudian berhenti di sebelah gubug yang tersembunyi itu. Tetapi Kiai
Gringsing terkejut ketika ia mendengar salah seorang dari mereka yang berkuda
itu bertanya,
“Inikah
rumahnya?”
“Ya. inilah
rumahnya,” sahut yang lain, “Marilah, kita temui dukun itu.”
Dada Kiai
Gringsing menjadi berdebar-debar. Keinginannya untuk mengetahui menjadi semakin
mendesak dadanya. Karena itu, maka sambil merangkak-rangkak ia bergeser maju.
Dengan pendengarannya yang tajam ia yakin bahwa tidak ada orang lain di sekitarnya.
Agaknya orang-orang yang mengawasinya di sepanjang jalan, tidak mendekat ke
gubug ini. Sejenak kemudian Kiai Gringsing mendengar pintu gubug itu diketok
orang.
“Kiai, bukakan
pintu.”
Sejenak tidak
terdengar jawaban.
“Kiai.”
Baru kemudian
perlahan-lahan terdengar jawaban dalam nada yang berat,
“Siapa di
luar?”
“Kami adalah
peronda dari Tanah Mataram.”
Kiai Gringsing
ternyata telah terkejut pula mendengar jawaban itu. Mereka adalah orang-orang
Ki Gede Pemanahan yang dengan resmi sudah mempergunakan nama Tanah Mataram. Sejenak
tidak terdengar suara apa pun. Namun kemudian terdengar suara dari dalam gubug
itu,
“Apakah maksud
kalian datang kemari di malam begini?”
“Kami mau
bertemu dengan Kiai.”
Kembali
suasana menjadi sepi. Yang terdengar hanyalah suara-suara malam yang mendirikan
bulu. Suara burung hantu dikejauhan yang kadang-kadang disahut oleh suara
binatang-binatang buas yang lamat-lamat.
“Kiai,” suara
peronda itu terdengar lagi.
“Tunggu,”
jawab dari dalam.
Sejenak
kemudian terdengar suara pintu gubug itu berderit. Dan suara yang berat mempersilahkan
para peronda itu,
“Marilah.
Silahkan masuk. Tetapi agaknya gubug ini terlampau sempit.”
“Terima
kasih,” jawab salah seorang peronda itu,
“kami tidak
akan masuk berbareng.”
Dua orang di
antara para peronda itu pun kemudian memasuki gubug yang sempit itu, sedangkan
yang lain berada di luar.
Kiai Gringsing
menjadi berdebar-debar. Kalau mereka yang ada di luar gubug itu kemudian
melangkah hilir-mudik dan ada di antara mereka yang mengelilingi gubug ini,
maka ia harus segera bergeser menjauh. Namun agaknya para peronda itu tidak
berkisar dari depan gubug itu. Beberapa orang di antara mereka bercakap-cakap
perlahan-lahan. Sedang yang lain sama sekali tidak berbicara apa pun. Dari
dalam gubug Kiai Gringsing mendengar salah seorang dari kedua peronda yang
masuk itu berkata,
“Kiai, kami
mendengar bahwa Kiai-lah dukun sakti yang bernama Kiai Damar.”
“Ya,” jawab
suara yang berat,
“akulah yang
bernama Kiai Damar.”
“Bagus,” desis
peronda itu,
“kami telah
datang kepada orang yang tepat.”
“Apakah
sebenarnya maksud kalian?” bertanya Kiai Damar.
“Kami telah
diutus oleh Raden Sutawijaya.”
“Maksudmu
Putera Ki Gede Pemanahan?”
“Ya.”
“Apakah
maksudnya?”
“Kiai,”
berkata peronda itu kemudian,
“Kiai adalah
seseorang yang menurut kepercayaan orang-orang di sekitar tempat ini, bahkan
sampai ke daerah-daerah yang jauh, mampu mengobati segala macam penyakit. Di
antaranya penyakit yang termasuk aneh-aneh yang menurut keterangan beberapa
orang disebabkan oleh hantu-hantu.”
“Tidak hanya
keterangan beberapa orang,” potong Kiai Damar,
“memang
demikianlah keadaannya. Maksudku, bukan tentang aku, tetapi tentang hantu-hantu
itu. Sebenarnyalah bahwa banyak sekali orang yang sakit karena kesiku. Dan aku
adalah salah seorang dari mereka yang berusaha untuk memohonkan maaf bagi
orang-orang yang kesiku itu. Jadi sama sekali bukan mengobati seperti yang kau
katakan.”
“Begitulah.
Tetapi akibatnya hampir sama. Orang yang sakit itu menjadi sembuh karenanya.”
“Tidak. Tetapi
mereka kemudian dimaafkannya.”
“Ya.
Begitulah,” peronda itu berhenti sejenak.
“Dengan
demikian, maka hubungan Kiai dengan hantu-hantu itu menjadi akrab.”
Dukun sakti
yang bernama Kiai Damar itu tidak segera menjawab. Sejenak ia
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi agaknya ia sudah dapat menduga, ke
manakah arah pembicaraan para peronda itu.
Karena Kiai
Damar tidak menjawab maka peronda itu meneruskan,
“Kiai.
Sebagaimana Kiai Damar tahu, kini kami sedang sibuk membuka hutan untuk
menjadikannya sebuah negeri. Namun akhir-akhir ini kami merasa terganggu.
Ketenteraman bekerja para penebang telah diusik oleh desas-desus adanya
hantu-hantu yang berkeliaran dan mengganggu. Bukan saja para pendatang yang
akan membuka hutan, tetapi para petugas sendiri menjadi ngeri. Hal itu terjadi
di segala bagian dari penebangan hutan ini. Di bagian Selatan, tengah, dan
Utara. Bahkan ada di antara mereka yang sudah meletakkan alat-alat mereka dan
kembali ke tempat asal mereka.”
Kiai Damar
itu, merenung sejenak. Lalu,
“Aku mengerti
maksud kalian. Kalian ingin hantu-hantu itu tidak mengganggu kerja para
pendatang yang menebas hutan itu bukan?”
“Tepat, Kiai.
Seperti yang kami minta kepada seorang dukun sakti, yang menyebut dirinya
bernama Kiai Telapak Jalak yang tinggal di ujung Selatan dari daerah penebangan
hutan ini. Juga menyendiri seperti Kiai Damar.”
Kiai Damar
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi kemudian ia menjawab,
“Permintaan
ini wajar sekali. Tetapi aku merasa bahwa aku sekarang berdiri di tengah-tengah
sungai yang banjir. Terus aku pasti akan basah, kembali pasti basah juga.”
“Kenapa Kiai?”
“Aku mengerti
jalan pikiran kalian. Itulah sulitnya. Tetapi aku juga mengerti kenapa hal itu
terjadi. Aku, mungkin juga orang yang kau sebut bernama Telapak Jalak itu,
memang bergaul dengan hantu-hantu. Apa yang dapat aku tangkap dari siratan
jalan pikiran mereka pun dapat aku mengerti.”
“Apakah kata
mereka?”
“Ki Sanak,”
Kiai Damar menarik nafas dalam-dalam, “dengan mata wadag kita memang tidak
dapat melihat bahwa sebenarnya kita berhadapan dengan suatu negeri. Lengkap
dengan istana dan prajuritnya. Kau tahu maksudku? Hutan yang kini sedang
ditebang itu adalah suatu negeri. Anehnya, namanya juga Mataram seperti yang
kalian pergunakan sekarang? Tetapi sebenarnya hal itu juga tidak aneh, karena
raja-raja yang sekarang memerintah adalah keturunan raja-raja dari kerajaan
Mataram lama.”
Para peronda
itu mengerutkan keningnya.
“Coba,
pikirkan. Bagaimana aku harus bersikap, apabila aku tahu, mereka menjadi sakit
hati karena istananya kalian rusak. Pohon raksasa yang mereka anggap
bangsal-bangsal di dalam istana mereka, di dalam rumah-rumah para Adipati dan
Tumenggung menurut tata kepangkatan kita, kalian tebang dengan semena-mena.”
Para peronda
itu tidak menjawab.
“Apakah yang
akan dilakukan oleh Ki Gede Pemanahan selagi ia masih berada di Pajang, dan
yang akan dilakukan oleh puteranya, apabila tiba-tiba raja Arya Penangsang
datang menghancurkan istana Pajang dan bangunan di Lor Pasar?”
Para peronda
itu masih diam saja.
“Nah, itulah
kira-kira alasan yang mereka pergunakan, kenapa mereka berusaha untuk mencegah
kealpaan Ki Gede Pemanahan, agar tidak menjadi berlarut-larut.” Kiai Damar
berhenti sejenak lalu, “Ki Sanak. Sebenarnya hantu-hantu itu memang mempunyai
kekuasaan yang lebih besar dari manusia wadag. Kemenangan mereka yang paling
cepat kita kenal, bahwa mereka dapat melihat kita, tetapi kita sukar sekali
untuk melihat mereka tanpa mereka kehendaki sendiri. Karena itu, mereka menjadi
lebih mudah mengganggu kita dan kita tidak akan dapat mengganggu mereka.”
Peronda itu
masih mengangguk. Namun kemudian salah seorang dari mereka berkata,
“Tetapi
bukankah hutan ini masih sangat luas Kiai. Apakah mereka tidak dapat diajak
berbicara, agar mereka berpindah saja ke bagian-bagian hutan yang lain.”
Kiai Damar
tertawa pendek. “Kalian memang aneh. Itu adalah sikap yang tidak adil. Yang
mementingkan diri sendiri. Kalian datang kemudian, tetapi kalian ingin mengusir
yang sudah ada di tempat itu sejak berabad-abad, bahkan jauh sebelum keturunan
Mataram lama memasuki lingkungan ini dengan peradaban yang lebih baik.”
“Peradaban
apakah yang Kiai maksud?”
“Peradaban di
dalam tata kehidupan mereka. Jangan kau kira bahwa di dalam kehidupan mereka
tidak ada peradaban seperti yang kita miliki. Mereka mempunyai susunan
pemerintahan dan peraturan-peraturan yang harus mereka taati.”
“Jadi,
bagaimanakah kesimpulan Kiai? Apakah tidak dapat tidak perlu mengadakan semacam
perang?”
“Tunggu,” Kiai
Damar memotong,
“jangan
terlampau sombong sehingga kata-katamu terdorong terlampau jauh. Aku mengenal
mereka dan aku mengenal kalian. Kalau perang itu benar-benar akan berlangsung,
maka yang akan terjadi adalah perampasan sepihak semata-mata, yang akan terjadi
adalah penumpasan sepihak semata-mata. Apakah yang dapat kau lakukan? Apa?”
“Kita
mempunyai orang-orang seperti Kiai Telapak Jalak dan Kiai Damar sendiri.”
Sekali lagi
Kiai Damar tertawa, “Aneh sekali,” katanya.
“Apakah kalian
menyangka bahwa aku mampu berbuat sesuatu atas mereka? Aku hanya mengenal
mereka, dan sejauh-jauh dapat aku lakukan adalah berlutut sambil mohon maaf
atas kekhilafan manusia yang sombong dan tamak ini.”
“Jadi,
tegasnya?”
“Aku tidak
dapat berbuat apa-apa. Bahkan aku berpesan, jangan menunggu hantu-hantu itu
kehilangan kesabaran. Raja mereka adalah Raja yang bijaksana yang sampai saat ini
masih berusaha untuk mengatasi persoalan ini. Tetapi pada suatu saat, dengan
sepatah kata mantra kalian akan diterkam oleh penyakit yang maha dahsyat, dan
tumpaslah kalian bersama dengan keluarga kalian.”
“Kiai,”
berkata peronda itu,
“aku dapat
mengerti. Keterangan yang Kiai berikan mirip benar dengan keterangan Kiai
Telapak Jalak. Bahkan pada dasarnya bersamaan maksudnya.”
Kiai
Gringsing, yang bersembunyi di belakang gubug itu menahan nafas. Dari
peronda-peronda itu ia mengetahui bahwa di samping Kiai Damar, masih ada orang
lain yang dianggap sebagai seorang dukun yang sakti dan bernama Kiai Telapak
Jalak. Selanjutnya Kiai Gringsing mendengar Kiai Damar berkata,
“Apakah orang
yang bernama Telapak Jalak itu juga pernah memberikan keterangan seperti yang
aku katakan?”
“Ya, Kiai.”
“Kalau
demikian aku percaya, bahwa ia pun benar-benar dapat bergaul dengan hantu-hantu
di hutan Mentaok. Tetapi apabila ada keterangan lain, maka orang itu pasti
berbohong, karena aku yakin bahwa aku benar.”
“Ya, Kiai.
Tetapi bagaimana menurut pendapat Kiai, apakah yang sebaiknya kami lakukan.”
Kiai Damar
menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian,
“Pertanyaan
inilah yang membuat aku menjadi pening. Aku merasa bahwa jawaban yang dapat aku
berikan, pasti suatu jawaban yang tidak akan memberi kepuasan bagi kalian dan
terutama bagi Ki Gede Pemanahan beserta puteranya.”
“Apakah
jawaban itu?”
“Ki Sanak,”
berkata Kiai Damar,
“aku tidak
berani mengatakannya. Namun seandainya aku masih mendapat kemungkinan, aku akan
berusaha agar pada suatu saat kita menemukan jalan yang sebaik-baiknya, agar
kita mendapat kesempatan untuk membuka hutan ini. Tetapi sudah tentu dengan
berbagai macam syarat.”
“Apakah Kiai
dapat menyebutkan syaratnya?”
“Tentu belum
sekarang. Pada suatu saat aku akan menghadap Raja dari Kerajaan Mataram. Bukan
Mataram yang didirikan oleh Ki Gede Pemanahan, tetapi Mataram Kajiman. Aku
ingin mendapat penjelasan langsung dari Raja Mataram, yang tidak dapat dilihat
dengan mata wadag ini, bagaimanakah sebaiknya agar kita tidak mendapatkan kutuk
daripadanya, sedang kita mendapatkan bagian dari Tanah Mentaok seperti yang
kita harapkan.”
“Kapan hal itu
akan Kiai lakukan?”
“Segera. Namun
sementara ini, usaha perluasan daerah penebangan agar dibatasi atau dihentikan
sama sekali. Orang-orang biar kembali ke tempat masing-masing. Sedang yang
sudah terlanjur dibuka ini pun pasti akan mengalami berbagai macam syarat yang
harus dipenuhi.”
Para peronda
itu terdiam sejenak. Namun kemudian salah seorang dari keduanya berkata,
“Baiklah. Aku
mengharap Kiai secepatnya dapat menghubungi Raja Kajiman itu, sehingga kami
akan segera dapat menyesuaikan diri dengan pembicaraan Kiai.”
“Baiklah.
Tetapi ingat, sementara ini pembukaan daerah baru harus dicegah.”
“Aku akan
melaporkannya kepada Ki Gede Pemanahan.” Peronda itu berhenti sejenak, lalu,
“Sekarang kami
akan minta diri. Kami dikirim khusus untuk menemui Kiai Damar.”
“Siapakah yang
telah memerintahkan kalian menghubungi aku. Ki Gede Pemanahan atau Sutawijaya?”
“Ki Gede
Pemanahan,” jawab peronda itu.
“Nah,
sampaikan semuanya yang aku katakan kepada Ki Gede Pemanahan.”
Sejenak
kemudian maka kedua peronda itu pun keluar dari gubug Kiai Damar. Sejenak
mereka berbicara dengan kawan-kawannya yang menunggu di luar. Dan sejenak
kemudian mereka pun telah berada di atas punggung kuda masing-masing,
meninggalkan gubug itu. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Kini ia
mengetahui, bagaimanakah pendapat dukun sakti itu tentang usaha pembukaan hutan
dan yang menurut katanya Kerajaan Mataram Kajiman. Namun tiba-tiba Kiai
Gringsing ingin mengetahui, apakah yang akan dikatakan oleh para peronda itu,
sehingga ia pun segera merayap meninggalkan tempatnya. Dengan segenap kemampuan
yang ada padanya, Kiai Gringsing pun segera menyusul orang-orang yang berkuda
perlahan-lahan di dalam gelapnya malam. Derap kaki-kaki kuda yang lamat-lamat
telah memungkinkan Kiai Gringsing untuk segera menemukan arah. Beberapa langkah
ia mendahului kuda-kuda yang berjalan dengan malasnya menyusup hutan yang
semakin lama menjadi semakin gelap. Ketika ia sudah berada di depan, maka
segera dicarinya segumpal tanah padas. Dilemparkannya segumpal tanah itu ke
atas, tepat di atas jalan yang akan dilalui kuda-kuda itu. Kemudian ia pun
segera bersembunyi di balik sebuah gerumbul tepat di pinggir jalan setapak itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar