“Pesan itu?” Ki Tanu Metirlah yang menjadi heran, tetapi kemudian ia menyadari bahwa pesannya terlampau singkat buat Wuranta, sehingga, ia masih perlu banyak penjelasan.
Demikianlah Ki
Tanu Metir memberinya beberapa penjelasan tentang pesannya. Untara harus
membawa seluruh pasukannya ke ambang pintu padepokan Tambak Wedi. Tetapi supaya
sebagian dari mereka segera siap dipergunakan apabila perlu, maka mereka yang
mendapatkan kuda harus berangkat lebih dahulu. Sedang yang lain harus segera
menyusul.
“Kalau aku
melepaskan tiga panah sendaren berturut-turut, ingat Ngger, tiga,” berkata Ki
Tanu Metir seterusnya,
“maka pasukan
Untara harus bergerak memasuki padepokan ini. Tetapi kalau aku melepaskan dua
panah sendaren berturut-turut beberapa kali, maka mereka harus mengurungkan
niatnya dan kembali ke Jati Anom. Sedang apabila aku melepaskan lima panah
sendaren berturut-turut beberapa kali, maka aku memberi tahukan bahwa keadaan
Jati Anom gawat. Mereka harus bersiap sedia menyingkiri sergapan Ki Tambak Wedi
dan menghindari benturan pasukan.”
Wuranta
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Ki Tanu Metir berkata selanjutnya,
“Nah, cepat ke
Jati Anom, pakai kudaku.”
“Di mana kuda
Kiai, dan dari mana aku akan keluar?”
Ki Tanu Metir
tersenyum. Jawabnya,
“Bukankah kau
pernah berceritera tentang urung-urung sungai. Nah, aku masuk lewat urung-urung
itu, Ngger. Aku menyelam sejenak, lalu muncul lagi di balik dinding padepokan
ini.”
“Oh,” Wuranta
berdesah.
“Apakah kau
tidak dapat berenang?”
“Dapat, Kiai.”
“Dan apakah
kau kira-kira dapat menyelam lewat, urung-urung yang pendek itu?”
“Ya, Kiai.”
“Nah, ambillah
kudaku. Kudaku ada di bagian Selatan dari padepokan ini. Kau berjalan saja
sepanjang pinggiran sungai. Kau akan menemukan kudaku terikat pada sebatang
pohon turi.”
“Apakah Kiai
masuk dari sebelah Selatan?”
“Tidak, sangat
sulit untuk menentang arus sungai. Aku masuk lewat urung-urung Utara mengikuti
arus.”
“Tetapi kenapa
kuda Kiai berada di Selatan?”
“Aku siapkan
kuda itu lebih dahulu, apabila setiap saat aku harus menghindarkan diri dari
padepokan ini. Aku telah meneliti seluruh keadaan di sekitar padepokan ini.”
Wuranta
mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Begitu
hati-hati orang tua ini, sehingga semuanya telah diperhitungkannya dengan rapi.
Dan kini ia harus pergi ke Jati Anom dengan kuda Ki Tanu Metir itu untuk
menyampaikan pesannya kepada Untara.”
Sebelum
Wuranta berangkat, Ki Tanu Metir masih berpesan,
“Kau, dan juga
Agung Sedayu dan Swandaru harus berbuat serupa itu pula, Ngger. Kalian nanti
harus mengikat kuda-kuda kalian di bagian Selatan meskipun kalian, akan masuk
lewat bagian Utara.”
“Baik, Kiai.”
“Nah, yang
paling cepat harus sampai di sini adalah Agung Sedayu, Swandaru, dan kau,
Ngger. Kalau aku tidak ada karena aku sedang melihat keadaan, maka kalian harus
menunggu aku di sini.”
“Baik, Kiai.”
“Kalau keadaan
berbahaya bagi kalian aku akan menungu di bawah pohon turi itu. Kecuali kalau
aku ditangkap oleh Ki Tambak Wedi.”
Wuranta
tersenyum. Jawabnya,
“Aku akan
segera pergi Kiai, mudah-mudahan aku dapat melakukan tugas ini.”
“Jangan kau
pacu kudamu sebelum kau yakin bahwa derap kudamu tidak akan didengar oleh
setiap orang di padepokan ini. Demikian pula apabila, kau nanti kembali beserta
pasukan berkuda Angger Untara. Apabila mereka menyadari bahwa kau lolos maka
keadaan akan dapat berubah dan berkembang ke arah yang tidak kita kehendaki.”
“Baik, Kiai.”
Wuranta
itu pun kemudian meninggalkan Ki Tanu
Metir. Orang tua itu masih memberinya beberapa petunjuk dan pesan, kemudian
sekali ia berkata,
“Jangan kau
cemaskan nasib gadis ini. Aku akan mencoba mempertanggungjawabkannya.”
Wuranta
mengangguk. Lalu melangkahkan kakinya hilang di dalam gelap. Namun Wuranta itu
harus berhati-hati. Ditempuhnya jalan-jalan yang sepi, yang tidak sering
dilalui orang. Namun terasa padepokan itu amat sunyinya. Ketika ia memberanikan
diri mendekati simpang-simpang empat di dalam padepokan itu ternyata tak
seorang pun yang mengawalnya. Agaknya
mereka sedang berkumpul di halaman banjar yang luar untuk dapat menyaksikan apa
yang sedang terjadi di sana. Ketika Wuranta sampai ke pinggir sungai, ia
menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi ia adalah perenang yang baik sejak
kanak-anak. Karena itu, maka disangkutkannya kainnya tinggi-tinggi dan
Betapapun dingin malam menggigit tubuhnya, namun Wuranta itu pun kemudian terjun juga menyelam. Sambil
meraba-raba dinding padepokan menyelusur mengikuti arus sungai. Ternyata
dinding itu tidak begitu tebal, dan sejenak kemudian ia telah muncul pula di
seberang dinding di luar padepokan.
“Hem,” Wuranta
itu menjadi basah kuyup. Terdengar giginya gemeretak karena dingin.
“Segar juga
mandi di malam buta.”
Sejenak
kemudian Wuranta itu telah menemukan kuda Ki Tanu Metir di pinggir kali di
belakang sebuah gerumbul terikat pada sebatang pohon turi yang tinggi.
Hati-hati dipakainya kuda itu menuju ke Jati Anom. Tetapi selalu diingatnya
pesan Ki Tanu Metir. Dihindarinya jalan yang lazim. Ia melingkar lewat sebuah lapangan
perdu yang agak rimbun. Meskipun jalan tidak datar, tetapi Wuranta berhasil
memotong arah dan agak jauh dari padepokan ia berhasil menemukan jalan yang
harus dilalui. Ketika ia yakin bahwa ia sudah cukup jauh dari padepokan, maka
segera ia berpacu seperti angin, meskipun jalan yang ditempuhnya kadang-kadang
terjal, tetapi ia ingin segera sampai di Jati Anom untuk menyampaikan pesan Ki
Tanu Metir kepada Untara.
Sepeninggal
Wuranta, Ki Tanu Metir berdiri diam untuk sesaat. Dicobanya untuk mendengar tangis
Sekar Mirah. Ternyata tangis itu masih saja berkepanjangan. Sejenak orang tua
itu menjadi ragu-ragu. Tetapi kemudian diputuskannya untuk membiarkan saja
Sekar Mirah itu dalam keadannya, supaya tidak menimbulkan kecurigaan pada para
pengawasnya. Bahkan Ki Tanu Metir itu
pun segera meninggalkan tempat itu dengan hati-hati untuk melihat apa
yang sedang terjadi di padepokan ini. Orang tua itu sama sekali belum pernah
menginjakkan kakinya di dalam padepokan ini. Tetapi ia telah mengenal beberapa
arah menurut petunjuk dan ceritera Wuranta. Sebagai seorang yang telah kenyang
minum air di perantauan, maka Kiai Gringsing
pun segera mampu menyesuaikan dirinya. Tetapi orang tua itu menyadari
sepenuhnya, bahwa di dalam padepokan itu ada seorang yang sebaya dengan dirinya.
Bukan saja sebaya umurnya, tetapi hampir segala-galanya. Itulah sebabnya maka
ia harus berada di puncak kewaspadaan. Perlahan-lahan orang itu menyusuri
halaman demi halaman. Mengingati setiap pengamatannya atas sesuatu. Pohon-pohon
yang cukup besar, rumah-rumah dan pagar-pagar. Dikenalinya setiap regol yang
dijumpainya dan arah yang dapat ditempuhnya apabila ia menjumpai bahaya. Akhirnya
dari kejauhan Ki Tanu Metir itu melihat berpuluh-puluh obor yang ditancapkan di
halaman. Itu adalah halaman banjar para pemimpin padepokan Tambak Wedi.
Ternyata Sidanti dan Alap-alap Jalatunda tidak dapat menunda persoalannya
sampai besok apabila matahari telah menyingsing. Mereka benar-benar ingin
menyelesaikan persoalannya malam ini. Bahkan sekarang. Dari kejauhan Kiai
Gringsing melihat bahwa laskar padepokan itu benar-benar telah terbagi.
Sebagian di sebelah sisi adalah laskar Tambak Wedi, sedang di sisi yang lain,
yang tampaknya lebih sigap, adalah para prajurit Jipang. Tetapi kelebihan pada
orang-orang Tambak Wedi adalah para pemimpinnya. Ki Tambak Wedi, Sidanti,
Argajaya dan beberapa orang lagi. Mereka adalah orang-orang pilihan, yang
mempunyai takaran yang cukup banyak bagi prajurit-prajurit biasa. Apalagi Ki
Tambak Wedi sendiri. Kiai Gringsing masih melihat beberapa orang mempersiapkan
arena. Beberapa orang yang lain memasang obor-obor di tempat-tempat yang telah
ditentukan. Perang tanding kali ini adalah benar-benar sebuah perang tanding
yang sangat menarik. Sambil melihat persiapan itu Kiai Gringsing masih saja
selalu menghitung waktu. Wuranta itu benar-benar diharapkannya dapat
menyampaikan pesannya. Kalau tidak, maka Untara akan banyak kehilangan
kesempatan. Dan orang tua itu mengharap bahwa Wuranta akan jauh lebih cepat
mencapai Jati Anom dengan kudanya. Menurut perhitungannya, maka pasukan Untara
yang mendapatkan kuda akan segera datang pula. Sedang mereka yang berjalan akan
menyusul. Mereka akan sampai di ambang pintu padepokan ini selambat-lambatnya
pada saat fajar menyingsing. Sehingga sesaat sebelum fajar, ia sudah dapat
mengharap pasukan berkuda Untara bergerak apabila diperlukan, sementara
menunggu pasukannya yang lain.
“Mudah-mudahan
aku tidak salah hitung,” gumam Kiai Gringsing di dalam hatinya,
“dan
mudah-mudahan perkelahian itu tidak segera selesai. Apabila demikian, maka aku
akan mendapat kesulitan. Yang paling mungkin aku lakukan adalah melarikan Sekar
Mirah, membenamkannya di bawah urung-urung kemudian membawanya bersembunyi di
balik belukar. Hem.” Orang tua itu menarik nafas. Tampaklah ia tersenyum,
tetapi sejenak kemudian wajahnya telah menjadi tegang kembali. Sebenarnyalah
bahwa hatinya selalu gelisah dan berdebar-debar. Tanpa disadari ia telah
menggerakkan sepasukan prajurit Pajang di bawah pimpinan senapati muda yang
berkuasa di daerah sekitar Gunung Merapi.
“Kalau aku
gagal, dan laporannya nanti didengar oleh Ki Gede Pemanahan, maka aku akan
digantungnya,” desisnya kepada diri sendiri.
Kini Kiai
Gringsing melihat persiapan hampir selesai. Obor-obor telah terpasang
berkeliling. Dan sebagian dari laskar kedua pihak telah berada di sekitar arena
itu pula.
Sementara itu
Wuranta berpacu tanpa mengingat jalan yang dilaluinya. Sekali-sekali kudanya
meloncati tempat-tempat yang terjal, dan sekali-sekali terpaksa mendaki sedikit
untuk seterusnya berlari lagi menuruni tebing. Yang terpahat di dalam dadanya
adalah, secepatnya menemui Agung Sedayu dan Swandaru untuk mempertemukannya
dengan Untara. Waktu yang diperlukan oleh Wuranta ternyata terlampau pendek.
Kecepatan kudanya benar-benar mengagumkan dan Wuranta sendiri ternyata mampu
menguasai kuda yang sedang berlari dalam kecepatan yang sangat tinggi.
Dipilihnya jalan-jalan sempit dan memintas untuk menghindarkan diri dari para
peronda dan memilih jarak terdekat. Tanpa turun dari kudanya Wuranta memasuki
halaman rumahnya, sehingga Agung Sedayu dan Swandaru menjadi sangat terkejut
karenanya. Berloncatan mereka turun dari pembaringannya dan dengan tergesa-gesa
pula berlari ke arah pintu dengan pedang masing-masing di tangan, meskipun
belum mereka tarik dari sarungnya.
“Adi Agung
Sedayu dan Swandaru,” berkata Wuranta dengan nafas terengah-engah,
“marilah, ikut
aku. Pertemukan aku dengan Kakang Untara.”
Swandaru dan
Agung Sedayu tidak segera menjawab. Suara itu adalah suara Wuranta.
Perlahan-lahan Swandaru membuka pintu.
Sejenak mereka
menatap wajah Wuranta yang tegang. Kemudian terdengar Agung Sedayu bertanya,
“Apakah yang
terjadi Kakang Wuranta?”
“Aku harus
segera bertemu dengan Kakang Untara.”
“Adakah
sesuatu yang penting?”
“Ya. Penting
dan tergesa-gesa.”
Sejenak Agung
Sedayu dan Swandaru saling berpandangan. Kemudian bertanyalah Swandaru,
“Apakah yang
penting itu?”
“Nanti, nanti
kau akan mendengarnya juga. Aku harus menghadap Kakang Untara, tetapi aku tidak
berani seorang diri. Sebab ada kesan yang kurang baik tentang diriku.”
Belum lagi
Swandaru menjawab, maka mereka pun
segera dikejutkan oleh derap dua ekor kuda yang seolah-olah saja langsung
meloncat di jalan di muka halaman itu. Ketika kuda-kuda itu telah berada tepat
di muka regol, maka mereka pun berhenti.
Salah seorang daripada mereka masuk dengan hati-hati ke halaman sambil berkata,
“Siapa di
situ? Aku melihat seekor kuda memasuki halaman ini. Tetapi terlampau cepat bagi
kami yang hanya melihat dari kejauhan. Tetapi agaknya kuda dan penunggangnya
masih berada di halaman.”
“Ya,” Agung
Sedayu lah yang menjawab,
“yang datang
adalah Kakang Wuranta.”
“He, Wuranta
anak Jati Anom?”
“Ya.”
“O, kalau
begitu aku berkepentingan dengan anak itu. Bukankah anak itu yang dikatakan
selama ini berpihak kepada orang-orang di lereng Merapi, dari padepokan Ki
Tambak Wedi.”
Dada Wuranta
berdesir mendengar kata-kata itu. Hampir-hampir ia berteriak menjawabnya,
tetapi segera disadarinya kedudukannya dan dipercayakannya dirinya kepada Agung
Sedayu dan Swandaru.
“Akulah yang
bertanggung jawab atasnya saat ini,” jawab Agung Sedayu.
“Kami adalah
petugas ronda malam ini. Kamilah yang bertanggung jawab atas keamanan Jati Anom
dan sekitarnya.”
“Tetapi aku
mempunyai wewenang khusus dari Kakang Untara, senapati di daerah ini, meskipun
aku bukan seorang prajurit.”
Kedua prajurit
berkuda itu terdiam. Tetapi belum lagi mereka puas dengan jawaban itu, maka
kemudian menyusul empat orang peronda datang berjalan kaki masuk kedalam regol
halaman setelah sejenak bercakap-cakap dengan prajurit berkuda yang seorang di
luar halaman.
“Aku juga
melihat kuda itu. Aku ikuti arahnya. Ternyata ia telah berada di sini.”
Wuranta
menarik nafas dalam-dalam. Kini ia pun
tahu, betapa ketatnya penjagaan Kademangan Jati Anom yang tampaknya begitu
lengang. Tetapi agaknya setiap jengkal tanah selalu mendapat pengawasan yang
teliti.
Dalam pada
itu pun Agung Sedayu berkata,
“Berdasarkan
wewenang khusus yang aku miliki, biarlah aku membawa Kakang Wuranta menghadap
Kakang Untara.”
Para prajurit
yang berada di regol halaman, itu sejenak saling berpandangan. Tetapi mereka
harus mempercayai Agung Sedayu. Mereka mengenal anak itu sebagai adik Untara.
Dan mereka pun telah mendengar apa yang
telah dilakukan oleh Agung Sedayu. Karena itu tidak ada alasan bagi mereka
untuk mencurigainya. Meskipun demikian para prajurit itu sejenak masih
diselubungi oleh keragu-raguan, sehingga Agung Sedayu berkata,
“Berikan kuda
kalian. Aku dan Adi Swandaru akan mengantarkan Kakang Wuranta sekarang juga.
Ada hal yang penting harus segera diketahui oleh Kakang Untara.”
Kedua prajurit
berkuda itu tidak menjawab. Sesaat mereka saling berpandangan. Sementara itu
Agung Sedayu telah melangkah di halaman mendekati kedua prajurit berkuda itu
diikuti oleh Swandaru.
“Maaf, aku
memerlukan kuda kalian untuk kepentingan Jati Anom dan Pajang.”
Kedua prajurit
itu menjadi seperti orang yang sedang kebingungan. Prajurit itu tidak berbuat
apa-apa ketika Agung Sedayu menarik kendali kudanya, dan bahkan prajurit itu
pun meloncat turun tanpa disadarinya. Demikian prajurit yang seorang lagi.
Dengan kepala kosong diserahkannya kudanya kepada Swandaru.
“Aku akan
pergi ke kademangan,” berkata Agung Sedayu kepada prajurit-prajurit yang
berdiri tegak mematung di halaman itu, “susullah kami ke sana. Mungkin kalian pun akan mendengar sesuatu yang penting itu.”
Agung Sedayu
tidak menunggu prajurit itu menjawab. Segera ia berkata kepada Wuranta,
“Mari Kakang,
aku antarkan kau kepada Kakang Untara.”
Sejenak
kemudian ketiga ekor kuda itu telah berlari dengan cepatnya menuju ke
kademangan. Para prajurit yang melihatnya seolah-olah terpaku beku di
tempatnya. Mereka memandangi kepulan debu yang putih yang sesaat kemudian telah
lenyap dalam kegelapan malam. Ketika kuda-kuda itu telah hilang dari pandangan
mata mereka maka seolah-olah mereka pun
baru menyadari keadaan mereka sehingga salah seorang berkata,
“He, kenapa
kita berdiri saja di sini. Mari kita lihat, apakah mereka benar-benar pergi ke
kademangan.”
Seperti
berloncatan berebut dahulu mereka pun
segera melangkah pergi, meninggalkan halaman rumah Wuranta, pergi menyusul
ketiga ekor kuda itu ke kademangan seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu. Demikian
Wuranta memasuki jalan induk kademangan bersama Agung Sedayu dan Swandaru,
segera ia melihat, bahwa penjagaan di Jati Anom
pun kini tidak kalah rapatnya dibanding dengan Padepokan Tambak Wedi.
Bahkan ia sama sekali tidak dapat menilai, manakah yang lebih kuat di antara
kedua pasukan itu. Namun agaknya mata Ki Tambak Wedi mempunyai ketajaman
penglihatan yang jauh melampaui penglihatannya. Karena Wuranta berjalan
beriring dengan Agung Sedayu dan Swandaru maka ia tidak banyak mendapat
pertanyaan. Bahkan untuk menghindari hal-hal yang dapat memperlambat perjalanan
itu, maka Agung Sedayu dan Swandaru sama sekali tidak menyebut-nyebut nama
Wuranta. Sebab nama itu mempunyai kesan yang tidak menyenangkan bagi
orang-orang Jati Anom, terutama anak-anak mudanya dan bagi orang-orang Pajang
yang telah mendengarnya. Wuranta adalah salah seorang yang mereka anggap telah
hilang dari lingkungan mereka dan berada di dalam lingkungan lawan. Tetapi
ketika Wuranta memasuki halaman kademangan, maka suasana tiba-tiba menjadi
tegang. Di halaman kademangan, Agung Sedayu dan Swandaru tidak lagi berhasil
menyembunyikan anak muda itu dari pengamatan anak-anak muda Jati Anom yang
berada di halaman kademangannya. Bahkan beberapa orang datang berlari-lari
sambil bertanya,
“Agung Sedayu,
apakah kau telah berhasil menangkapnya?”
Agung Sedayu
tidak menjawab. Tetapi wajah Wuranta-lah yang menjadi merah padam. Ketika
kuda-kuda mereka berhenti, maka segera mereka dikerumuni oleh beberapa anak
muda dan prajurit Pajang. Wajah-wajah mereka menunjukkan pancaran kebencian
bercampur-baur dengan teka-teki tentang kedatangan anak muda itu.
“Kita
menghadap Kakang Untara,” desis Agung Sedayu. Wuranta tidak menyahut. Setelah
mengikatkan kudanya pada tiang di halaman, maka ia pun segera berjalan rapat di belakang Agung
Sedayu untuk menghindari hal-hal yang tidak dikehendaki. Namun demikian,
Wuranta itu mengeluh di dalam hati sampai demikian dalam pengorbanan yang harus
diberikan kepada kampung halamannya. Seandainya tak seorang pun sempat menerangkan apa yang sebenarnya
dilakukan, maka seandainya ia mati dibunuh anak muda sepadukuhannya, maka
mayatnya pasti akan dilempar saja ke kali sebagai seorang pengkhianat. Tetapi
kali ini ia masih menggantungkan diri kepada Agung Sedayu. Bukan soal hidup
atau mati, tetapi soal kebersihan namanya itulah yang lebih penting baginya.
“Akan kau bawa
ke mana anak itu?” tiba-tiba terdengar suara di antara mereka yang berdiri di
seputar ketiga anak muda itu.
Agung Sedayu
berpaling. Dilihatnya seorang bertubuh tinggi agak kekurus-kurusan,
“Oh, kau
Kakang Jawawi.”
“Ya, tetapi
akan kau bawa ke mana anak itu?” Wuranta mengerutkan keningnya. Jawawi adalah
salah seorang anak muda yang banyak mendapat kepercayaan di Jati Anom seperti
dirinya. Dan ia sadar sesadar-sadarnya bahwa Jawawi pun telah menjadi salah paham memandang
persoalannya.
“Akan aku bawa
menghadap Kakang Untara.”
“Jangan,”
berkata Jawawi. Matanya menjadi semakin tajam memancarkan kebencian,
“Wuranta
adalah anak Jati Anom. Persoalannya adalah persoalan kami. Bukan persoalan
prajurit Pajang.”
Dada Agung
Sedayu dan Swandaru berdesir. Apalagi Wuranta. Tetapi dalam keadaan ini,
Wuranta mengambil sikap yang baginya paling menguntungkan. Diam.
Karena Agung
Sedayu tidak segera menjawab, maka Jawawi berkata terus sambil melangkah maju,
“Adi Sedayu.
Serahkan anak itu kepadaku, kepada anak-anak muda Jati Anom.”
“Jangan,
Kakang,” sahut Agung Sedayu.
“Yang
mempunyai kekuasaan tertinggi di daerah ini sekarang adalah Kakang Untara.
Kakang Untara adalah senapati yang mendapat kekuasaan dari Panglima Wira
Tamtama.”
“Sekali lagi aku
peringatkan,” potong Jawawi,
“persoalan ini
bukan persoalan prajurit Pajang. Persoalan ini adalah persoalan anak-anak muda
Jati Anom.”
Agung Sedayu
menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi sudah pasti bahwa ia tidak akan dapat
menyerahkan Wuranta kepada Jawawi. Maka jawabnya,
“Kakang,
biarlah Kakang Untara. mengambil sikap. Kecuali Kakang Untara sedang mengemban
tugas sebagai seorang senapati, ia pun
seorang anak Jati Anom pula. Aku pulalah yang menemukan Kakang Wuranta. Aku pun
anak Jati Anom. Nah, percayakanlah Kakang Wuranta kepadaku dan Kakang Untara.
Kami akan memenuhi keinginanmu, karena kami
pun anak-anak muda Jati Anom pula.”
Agung Sedayu
tidak ingin persoalan ini menjadi berkepanjangan. Segera Ia berjalan maju
menyibakkan orang-orang yang mengelilinginya. Wuranta pun mengikutinya, dekat-dekat di belakangnya.
Sedang di belakang Wuranta berjalan Swandaru yang gemuk.
Beberapa orang
tanpa menyadari, segera menyibak memberi mereka jalan. Tetapi agaknya Jawawi
masih belum puas dengan keadaan itu, sehingga segera ia melangkah pula mengikuti
Agung Sedayu sambil berkata,
“Adi Agung
Sedayu. Jangan membuat kami kecewa. Supaya kami tidak berbuat hal-hal yang
tidak kalian inginkan.”
Agung Sedayu
mengerutkan keningnya. Tetapi ia pun
tetap pada pendiriannya. Jawabnya,
“Jangan
memaksa, Kakang Jawawi. Supaya keadaan Jati Anom tidak menjadi bertambah kisruh
hanya karena kau menuruti perasaanmu saja.”
Wajah Jawawi
menjadi merah mendengar jawaban Agung Sedayu. Hampir-hampir ia membentaknya dan
mencoba menahannya, seandainya pintu kademangan itu tiba-tiba tidak terbuka.
Ketika mereka berpaling, mereka melihat di muka pintu itu berdiri Untara dan Ki
Demang Jati Anom.
“Apa yang
kalian ributkan?”
Sebelum Agung
Sedayu menjawab, terdengar Jawawi mendahului,
“Kami hanya
ingin Wuranta diserahkan kepada kami. Tetapi Adi Agung Sedayu berkeberatan,
sehingga kami terpaksa memaksanya.”
Untara
mengerutkan keningnya. Ketika dilihat olehnya dalam keremangan malam,
orang-orang berkerumun di halaman demikian tegangnya.
“Bawa anak itu
kemari,” tiba-tiba terdengar suara Untara. Suara yang penuh memancarkan kewibawaan
seorang pemimpin prajurit yang bertanggung jawab.
“Aku mempunyai
kekuasaan tidak terbatas di sini sebagai pengemban perintah dari Pajang.”
Tak ada
seorang pun yang berani menentang
kata-kata itu. Kecuali kata-kata itu mengandung ancaman, tetapi wibawanya
seolah-olah memukau setiap hati orang yang mendengarnya. Karena itu ketika
kemudian Agung Sedayu membawa Wuranta meninggalkan halaman dan menaiki pendapa
kademangan langsung masuk ke pringgitan, orang-orang yang berada di halaman itu
hanya memandangi mereka saja. Namun demikian, setelah Wuranta itu hilang di
balik pintu pringgitan, terbersitlah kata-kata di antara mereka, bahwa mereka
akan menunggu di halaman sampai Wuranta diserahkan kepada mereka.
“Hanya kamilah
yang berhak menghukumnya,” gumam mereka.
Di dalam
pringgitan, Ki Demang Jati Anom memandangi Wuranta dengan hampir tak berkedip,
seakan-akan baru pertama kali ini ia melihat. Sedang Wuranta yang merasakan
tatapan mata itu, hanya menundukkan kepalanya saja. Ia masih tetap
berpendirian, bahwa segala sesuatunya akan sangat tergantung kepada Agung
Sedayu dan Swandaru.
“Duduklah
Wuranta,” Untara mempersilahkan. Wuranta terperanjat mendengar suara Untara.
Suara itu telah dikenalnya sejak beberapa puluh tahun yang lampau, selagi
mereka masih kanak-anak. Wuranta telah mengenal Untara dalam permainan, dalam
pergaulan yang lebih dewasa, sampai suatu ketika Untara itu meninggalkan Jati
Anom mengabdikan diri kepada Adipati Pajang. Tetapi nada suara itu agak berbeda
dengan nada suara Untara di masa-masa mudanya. Kini terasa bahwa kata-kata itu
diucapkan bukan oleh seorang anak muda padesan seperti dirinya, tetapi nadanya
adalah nada seorang pimpinan prajurit.
Wuranta
itu pun kemudian duduk diapit-apit oleh
Agung Sedayu dan Swandaru. Sekali-sekali anak muda Jati Anom itu mengangkat
wajahnya pula, namun kemudian wajah itu
pun tertunduk lagi.
“Kau baru
datang dari padepokan Tambak Wedi, Wuranta?”
Wuranta
mengangkat wajahnya. Perlahan-lahan ia menjawab,
“Ya, Untara,
eh, Tuan, eh.”
“Panggil
namaku,” potong Untara.
“Ya, Kakang
Untara.”
“Hem,”
tiba-tiba terdengar Ki Demang Jati Anom menggeram. Ketika Wuranta beserta orang
lain yang berada di dalam pringgitan itu berpaling ke arahnya, maka tampaklah
wajah itu menjadi tegang. Dengan kata-kata yang bergetar Ki Demang berkata,
“Wuranta, ternyata kau sangat mengecewakan kami, orang-orang Jati Anom. Apakah
sebabnya maka tiba-tiba saja kau telah berada di padepokan setan lereng Merapi
itu? Apakah tanah ini, kampung halaman ini, kurang memberimu kepuasan? Kurang
memberimu sandang pangan dan perlindungan?”
“Nanti dulu,
Ki Demang,” potong Untara,
“jangan
tergesa-gesa menyatakan sikap. Aku ingin tahu, kenapa tiba-tiba saja ia menemui
Agung Sedayu dan Swandaru.”
Ki Demang
menelan ludahnya. Tetapi dadanya serasa menghentaki karena kecewa. Kecewa
terhadap anak muda yang pernah dipercayainya.
“Wuranta,”
berkata Untara kemudian,
“apakah, kau
membawa sesuatu berita atau pesan atau apa pun yang penting untukku dan untuk
seluruh Jati Anom?”
Wuranta
mengerutkan keningnya. Ketika ia mengangkat wajahnya, maka terpandang olehnya
wajah Ki Demang menjadi semakin tegang. Dengan serta-merta Demang Jati Anom itu
bertanya,
“Apakah
artinya ini?”
Untara tidak
menjawab. Tetapi tatapan matanya telah memaksa Wuranta berkata,
“Ya, Kakang.
Aku membawa pesan Ki Tanu Metir untuk Kakang.”
Wajah Ki
Demang Jati Anom menjadi semakin tegang karenanya. Dari sepasang matanya
memancar sorot yang mengandung beribu macam pertanyaan. Untara agaknya dapat
menangkap pertanyaan-pertanyaan yang bergumul lewat pancaran mata Demang Jati
Anom. Maka supaya pembicaraan seterusnya menjadi lancar maka ia berkata,
“Wuranta,
apakah pekerjaanmu dapat berjalan dengan baik?”
“Ya, Kakang
Untara. Tetapi malam ini adalah malam terakhir bagi Wuranta di lereng Merapi,
di padepokan Tambak Wedi. Seharusnya pagi ini aku sudah digantung di muka regol
padepokan itu, karena ternyata Ki Tambak Wedi dapat mengetahui perananku.”
“Tetapi kau
berhasil melepaskan dirimu.”
“Aku bertemu
dengan Ki Tanu Metir.”
“Apakah Ki
Tanu Metir ada di dalam padepokan itu?”
“Ya. Ki Tanu
Metir telah berhasil masuk ke dalam padepokan setelah Ki Tanu Metir mendapat
gambaran tentang daerah itu.”
Untara menarik
nafas dalam-dalam. Kemudian dengan singkat dikatakannya beberapa hal tentang
anak muda yang bernama Wuranta itu. Akhirnya Untara berkata,
“Ki Demang,
sekarang ternyata peranan Wuranta telah berakhir. Ia tidak akan menjadi orang
padepokan Tambak Wedi lagi. Beruntunglah ia berhasil melepaskan diri dan
kembali ke Jati Anom. Kalau tidak, maka ia akan menjadi banten sedang mayatnya
akan bergantungan di regol padepokan Ki Tambak Wedi.”
Sejenak Ki
Demang Jati Anom itu tidak dapat mengucapkan sepatah kata pun. Dengan
ternganga-nganga dipandanginya wajah Wuranta yang tunduk berganti-ganti dengan
wajah Untara yang tersenyum.
“Ki Demang,
kau akan berbangga mempunyai seorang anak muda seperti Wuranta. Maafkanlah
bahwa segalanya telah dirahasiakan, oleh Ki Tanu Metir, karena Ki Tanu Metir
belum banyak mengenal orang-orang Jati Anom sendiri. Anggaplah itu sebagai
suatu sikap berhati-hati daripadanya.”
“Oh,” Ki
Demang menarik nafas dalam-dalam, setelah getar di dadanya mereda, gumamnya,
“maafkan aku
Wuranta. O, sungguh aku tidak menyangka bahwa demikianlah keadaan yang
sebenarnya. Hem, ternyata telah kau pertaruhkan apa saja yang kau miliki untuk
pekerjaanmu. Nyawa dan nama, syukurlah bahwa kau masih tetap hidup.”
“Tuhan
melindunginya,” desis Agung Sedayu.
“Ya. ya, Tuhan
telah melindunginya,” sahut Ki Demang.
“Dan sekarang,
apakah pesan yang kau bawa itu?”
“Kakang Untara,”
berkata Wuranta kemudian,
“pesan ini
penting dan tergesa-gesa. Kalau mungkin maka sebelum fajar pasukan Kakang
Untara harus sudah berada di ambang pintu padepokan Ki Tambak Wedi.”
“He,” Untara
mengerutkan keningnya, “bagaimana mungkin?”
“Keadaan di
padepokan Tambak Wedi berkembang terlampau cepat. Meskipun perhitungan Ki Tanu
Metir mendasarkan pada persoalan di dalam padepokan itu sendiri, tetapi agaknya
Ki Tanu Metir yakin bahwa kali ini Kakang akan dapat berhasil.”
Dahi Untara
tampak berkerut-merut, sedang Ki Demang masih belum terlepas sama sekali dari
debar jantungnya pada saat ia mengetahui kedudukan Wuranta sebenarnya. Ia masih
saja serasa bermimpi melihat anak muda itu duduk di hadapannya sambil
memberikan beberapa keterangan dan pesan dari orang yang bernama Ki Tanu Metir.
“Sebenarnya
aku mempunyai kepercayaan yang kuat terhadap Ki Tanu Metir,” gumam Untara.
“Aku melihat
hal-hal yang tidak masuk di dalam nalarku,” sahut Wuranta.
“Meskipun
demikian, tetapi menggerakkan pasukan demikian tergesa-gesa hampir tidak
mungkin aku lakukan.”
“Menurut Ki
Tanu Metir, maka pasukan berkudalah yang diperlukannya dahulu. Sedang pasukan
yang lain dapat menyusul kemudian.”
Untara
mengangguk-anggukkan kepalanya. Senapati yang masih muda itu berpikir dan
mencoba membayangkan apa yang sedang terjadi di padepokan Tambak Wedi.
“Apakah perang
tanding itu akan sedemikian menarik bagi orang-orang Tambak Wedi dan orang
Jipang?” bertanya Untara kemudian.
“Ya, Kakang,”
jawab Wuranta.
“Sehingga
mereka akan lengah dan tidak menyadari bahwa kita menyerang mereka dengan
tiba-tiba? Seandainya demikian, maka apakah mereka tidak akan segera dapat
menyusun diri dan melakukan perlawanan? Sedang kekuatan mereka berada di atas
kekuatan kita, apalagi hanya sekedar prajurit-prajurit berkuda sebelum prajurit
yang lain datang.”
Wuranta tidak
segera menjawab. Agaknya ia menjadi ragu-ragu mendengar pertanyaan itu. Tetapi
akhirnya ia berkata,
“Aku kurang
tahu Kakang. Ki Tanu Metir-lah yang membuat perhitungan berdasarkan
pengamatannya dan laporan-laporan yang aku berikan setiap saat aku bertemu.”
Untara
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia berkata,
“Baiklah, aku
akan menyiapkan prajurit-prajurit berkuda. Mereka akan dapat mencapai padepokan
Tambak Wedi sebelum fajar. Tetapi pasukan yang lain masih memerlukan waktu,
sehingga kemungkinan, yang terbesar, mereka akan sampai sesudah matahari
terbit.”
“Terserahlah
kepadamu, Kakang. Aku hanya sekedar menyampaikan pesan itu. Kemudian aku harus
segera kembali bersama Adi Agung Sedayu dan Swandaru. Kami harus memasuki
padepokan dan berada di sekitar pondok tempat Sekar Mirah disembunyikan. Kami
harus membawa panah sendaren sebagai tanda yang dimaksud oleh Ki Tambak Wedi,
yang akan dilepaskan pada saatnya menurut pesannya.”
“Apakah
perjalanan itu tidak terlampau berbahaya bagimu serta Agung Sedayu dan Adi
Swandaru?”
“Tetapi kami
harus kembali segera sebelum semuanya terjadi. Panah-panah itulah yang akan
dipakai oleh Ki Tanu Metir untuk memberikan tanda kepada Kakang Untara.”
Untara
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kerut-merut di dahinya menyatakan betapa ia
mencoba memecahkan persoalan yang sedang dihadapi. Akhirnya pemimpin prajurit
Pajang di Jati Anom itu berkata,
“Baik. Aku
akan memenuhi pesan Ki Tanu Metir. Aku akan segera mengumpulkan semua prajurit
berkuda. Aku akan minta Ki Demang Jati Anom untuk meminjamkan kepada kami,
berapa saja kuda yang ada di kademangan ini.”
“Nah.
Begitulah Kakang. Mudah-mudahan semua dapat berjalan lancar. Mudah-mudahan
rencana Ki Tanu Metir dapat terjadi. Aku hanya dapat membantu menurut kemampuan
yang ada padaku. Tetapi apabila kali ini Kakang Untara berhasil, maka aku akan
turut berhingga karenanya.”
“Baiklah
Wuranta. Sekarang bagaimana dengan kau?”
“Aku akan
mendahului bersama adi Agung Sedayu dan adi Swandaru.”
“Pergilah. Hati-hatilah
dengan perjalanan yang berbahaya itu. Kalau kalian gagal memasuki padepokan itu
dan menyerahkan anak-anak panah sendaren itu kepada Ki Tanu Metir, maka
segalanya akan menjadi gagal pula.”
“Baiklah,
Kakang. Aku akan berusaha untuk melakukan tugasku sebaik-baiknya”
“Aku mempunyai
gambaran yang agak terang tentang peristiwa yang akan terjadi di padepokan itu.
Aku dapat mengerti jalan pikiran Ki Tanu Metir. Dan aku sependapat pula. Karena
itu, pergilah, dan lakukan tugasmu baik-baik.”
“Baiklah,
Kakang,” sahut Wuranta. Kemudian kepada Agung Sedayu dan Swandaru ia berkata,
“Marilah kita
berangkat. Kita harus mendahului Kakang Untara seperti yang dimaksud oleh Ki
Tanu Metir.”
Sebenamya
Agung Sedayu dan Swandaru sudah tidak sabar lagi menunggu Wuranta dan Untara
berbincang berkepanjangan. Karena itu ketika Wuranta mengajak mereka pergi,
maka seperti berjanji mereka menyahut,
“Marilah, aku
sudah siap.”
Wuranta, Agung
Sedayu, dan Swandaru itu pun segera minta diri kepada Untara dan Ki Demang Jati
Anom, yang melepaskan mereka dengan hati yang berdebar-debar. Namun ketika
mereka sudah sampai di ambang pintu, maka kembali mereka diganggu oleh
kecemasan mereka menghadapi anak-anak muda Jati Anom. Karenanya maka langkah
mereka pun tertegun sejenak.
“Kenapa?”
bertanya Untara.
“Bagaimana
dengan Jawawi? Ia salah terima melihat sikapku selama ini, Ki Demang,” berkata
Wuranta kepada Ki Demang.
“Bukan hanya
Jawawi, aku pun salah mengerti. Tetapi marilah, aku antar kalian keluar
halaman. Sesudah itu, selamat jalan melakukan tugas kalian.”
Ki Demang-lah
yang kemudian mendahului keluar dari pringgitan menemui anak-anak muda Jati
Anom yang masih saja menunggu di halaman. Ketika Ki Demang turun ke halaman,
diikuti oleh Wuranta, Agung Sedayu, dan Swandaru kemudian Untara, maka yang
pertama sekali menyambut adalah Jawawi. Katanya,
“Nah, Ki
Demang. Akhirnya anak itu jatuh juga ke tangan kita. Setelah beberapa hari ia
menghantui kita dengan tingkah laku dan perbuatannya, maka sekarang ia tidak
akan dapat lagi meninggalkan halaman kademangan ini.”
“Ya, ya
Jawawi,” sahut Ki Demang,
“demikianlah
kiranya apabila dugaan kita atas anak ini benar.”
Jawawi
mengerutkan keningnya. Dadanya menjadi berdebar-debar ketika ia masih melihat
pedang tergantung di lambung Wuranta. Apakah ia masih berhak membawa pedang
itu?
“Tetapi,”
berkata Ki Demang seterusnya,
“ternyata
pimpinan prajurit Pajang masih memerlukannya. Untuk suatu keperluan maka kita
belum dapat berbuat apa-apa atas anak muda ini. Biarlah ia kami serahkan saja
kepada pimpinan prajurit Pajang di Jati Anom.”
Jawawi
benar-benar tidak dapat mengerti pernyataan Ki Demang itu, sehingga beberapa
langkah ia maju, “Ki Demang, kami tidak dapat mengerti penjelasan itu.”
“Jelasnya,”
berkata Ki Demang, “kita belum dapat berbuat apa-apa atas Wuranta saat ini. Ia
masih diperlukan oleh pimpinan prajurit Pajang. Ia harus pergi bersama Angger
Agung Sedayu dan Angger Swandaru untuk suatu tugas. Nah, relakanlah, ia pergi.
Sebenarnyalah Wuranta adalah seorang anak muda yang tidak seperti kalian
sangka. Tetapi kali ini aku kekurangan waktu untuk memberi penjelasan yang
berkepanjangan. Untuk kepentingan Jati Anom dan Pajang, biarlah Wuranta pergi.
Nanti atau besok kalian akan mendengar, apakah, sebabnya maka kami tidak dapat
berbuat apa-apa atasnya.”
“Ki Demang.
Apakah sebenarnya yang akan dilakukannya? Kami menjadi bingung. Apakah kami
harus mempergunakan kekerasan untuk menangkapnya?”
“Tidak perlu,”
sahut Ki Demang, “kita tidak memerlukan kekerasan. Aku akan menjadi tanggungan
apabila ia lari. Akulah yang akan kalian tangkap, dan akulah yang akan
menggantikannya menerima tuduhan apa pun juga.”
Anak-anak muda
Jati Anom saling berpandangan sejenak. Mata mereka memancarkan ketidak-relaan
hati mereka menghadapi sikap Ki Demang. Tetapi mereka tidak dapat berbuat
banyak. Karena itu mereka hanya berdiri saja seperti patung ketika Ki Demang
kemudian mempersilahkan Agung Sedayu, Swandaru, dan Wuranta untuk segera pergi.
“Silahkan.
Silahkan melakukan tugas itu.”
“Baiklah Ki
Demang,” sahut Agung Sedayu.
Mereka pun
kemudian mengemasi kuda-kuda mereka. Dari seorang prajurit Agung Sedayu telah
menerima seendong panah-panah sendaren yang akan dipergunakannya nanti untuk
memberi tanda. Setelah menyilangkan busur dipunggungnya, maka mereka pun segera
meloncat ke atas punggung kuda masing-masing dan kuda itu pun segera berlari
secepat angin. Di perjalanan mereka tidak menjumpai sandungan apa pun. Tak
seorang pun peronda dari Tambak Wedi yang mereka jumpai. Agaknya mereka lebih
senang atau mungkin lebih tegang menyaksikan arena yang berada di banjar
pimpinan daripada melakukan tugas masing-masing. Seperti pesan Ki Tanu Metir,
maka mereka pun tidak menyembunyikan kuda-kuda mereka di arah Utara, darimana
mereka masuk, tetapi kuda-kuda itu disembunyikan di arah Selatan, dari mana
mereka nanti akan keluar. Setelah mengikat kuda-kuda mereka di tempat yang
rimbun, namun banyak ditumbuhi oleh rerumputan yang hijau, maka segera mereka
berjalan tergesa-gesa, mengelilingi pagar tembok dari jarak yang cukup. Seperti
pada saat Wuranta keluar dari padepokan itu, maka mereka pun kemudian akan
memasuki padepokan itu dengan cara yang sama.
“Kita meloncat
turun?” bertanya Swandaru perlahan-lahan.
“Ya,” sahut
Wuranta.
“Berenang di
bawah permukaan air?” Swandaru mendesak.
“Tidak hanya di
bawah permukaan air, tetapi di bawah urung-urung dinding padepokan ini. Apakah
kau dapat mengerti Adi?”
Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi kemudian ia berdesis,
“Dinginnya
bukan main. Bagaimanakah kalau aku membeku di dalam urung-urung itu?”
Agung Sedayu
tersenyum, katanya,
“Aku akan
menyeretmu.” Swandaru tertawa perlahan-lahan. Kemudian dicancutkannya kain
panjangnya dan dilepasnya bajunya, diikatkan pada lambungnya.
“Marilah,”
ajak Wuranta, “lihat aku.”
“Gelapnya
bukan main,” desis Swandaru.
Sejenak
kemudian Wuranta pun segera meloncat diikuti oleh Agung Sedayu. Sedang sejenak
Swandaru masih ragu-ragu. Giginya beradu kedinginan. Tetapi ia tidak dapat
berdiam diri saja di situ, sehingga sejenak kemudian ia pun meloncat pula,
terjun ke dalam air.
Ketika Wuranta
dan Agung Sedayu telah berada di tepian, maka Swandaru pun masih juga belum
nampak. Kedua anak muda itu menjadi berdebar-debar dan cemas. Namun sejenak
kemudian mereka melihat sebuah kepala tersembul agak jauh dari tepian.
“Uah,” Swandaru
mengeluh begitu ia berdiri di pinggir kali, “kepalaku bengkak.”
“Kenapa?”
bertanya Agung Sedayu.
“Terbentur
urung-urung itu. Bukan main. Aku kira aku sudah berada di dalam. Ketika aku
ingin mumbul kepermukaan air, tiba-tiba kepalaku membentur batu.”
“Latihan yang
baik. Latihan apabila kepala itu nanti terbentur tangkai pedang
prajurit-prajurit Tambak Wedi.”
Swandaru
tertawa, sehingga Agung Sedayu terpaksa mencegahnya,
“Hus. Jangan
terlampau keras. Kita tidak berada di Kademangan Sangkal Putung atau Jati Anom.
Tetapi kita berada di Padepokan Tambak Wedi.”
Swandaru
menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Tetapi kemudian ia berkata,
“Kita tetap
dalam pakaian basah kuyup.”
Agung Sedayu
dan Wuranta tertawa. Mereka melihat Swandaru menggigil dan giginya beradu.
“Dinginnya
bukan main,” keluhnya.
“Mungkin Ki
Tambak Wedi menyediakan ganti pakaian, untukmu,” berkata Agung Sedayu.
Swandaru Geni
itu pun tersenyum pula. Diraba-rabanya kepalanya yang terbentur urung-urung.
Katanya,
“Untung aku
tidak pingsan di dalam air. Kalau aku pingsan, maka kalian tidak akan menemuiku
lagi.”
“Tetapi kita
tidak boleh menyia-nyiakan waktu,” berkata Agung Sedayu kemudian.
“Nah,
tunjukkanlah, di mana tempat kita berjanji dengan Ki Tanu Metir.”
“Marilah,”
sahut Wuranta.
Mereka pun
segera melangkahkan kaki mereka. Dengan hati-hati mereka menyusuri tepian
sungai, menuju ke tempat Sekar Mirah ditempatkan. Tetapi tiba-tiba Agung Sedayu
menggamit kedua kawannya sambil berdesis perlahan-lahan,
“Aku mendengar
orang bercakap-cakap.”
“Ya,” sahut Swandaru
berbisik. Dan Wuranta pun menyahut pula,
“Ya, aku juga
mendengar.”
“Kita
bersembunyi,” ajak Agung Sedayu, “supaya kita tidak terlampau sibuk nanti.”
Ketiganya pun
kemudian segera bersembunyi. Sejenak kemudian suara orang bercakap-cakap itu
pun menjadi semakin dekat.
“Marilah, agak
cepat sedikit,” ajak salah seorang dari orang-orang yang bercakap-cakap itu,
“aku ingin
melihat akhir dari perang tanding yang dahsyat itu.”
“Bukan main,”
sahut yang lain, “keduanya memang tanggon.”
“Sehari
semalam perkelahian itu tidak akan selesai,” potong yang lain.
“Tidak,”
berkata yang pertama,
“aku masih
melihat beberapa kelebihan dari Angger Sidanti. Mungkin Alap-alap yang gila itu
tidak akan dapat bertahan sampai fajar.”
“Kau dapat
memperhitungkan perkelahian itu? Aku tidak percaya,” sahut yang lain.
“Tetapi aku
mendengar orang dari Menoreh itu bercakap-cakap.”
“Jadi bukan
taksiranmu sendiri.”
Tak ada
jawaban. Mereka pun semakin lama menjadi semakin jauh. Akhirnya percakapan
mereka sudah tidak dapat ditangkap lagi oleh Agung Sedayu yang sedang
bersembunyi.
Ketika
prajurit-prajurit itu sudah menjadi semakin jauh, maka ketiga anak-anak muda
itu pun meneruskan perjalanan mereka sambil bercakap berbisik-bisik.
“Agaknya
perkelahian itu dahsyat sekali,” desis Swandaru.
“Aneh. Apakah
Alap-alap Jalatunda menjadi jauh meloncat maju? Aku sangka jarak antara
Alap-alap Jalatunda dan Sidanti agak terlampau jauh, sehingga perang tanding
antara keduanya tidak akan makan waktu terlampau lama.”
“Menurut
Alap-alap Jalatunda sendiri,” jawab Wuranta,
“ia selalu
melatih diri di tepian dengan pasir, batu-batu dau kayu-kayuan.”
“Betapapun
tekunnya, tetapi berlatih seorang diri tidak akan dapat mendatangkan kemajuan
yang sepesat itu,” sahut Swandaru.
“Hal itu
mungkin saja terjadi, Adi,” berkata Agung Sedayu. Ia sendiri pernah mengalami.
Bukan saja berlatih di tepian, tetapi berlatih di atas rontal. Membuat gambar
gerakan-gerakan yang kemudian dicobanya. Dan Agung Sedayu itu meneruskan.
“Mungkin
gurunya telah memberinya bekal bermacam-macam unsur gerak yang dapat
dihubungkan yang satu dengan yang lain dalam satu susunan yang serasi, serta
latihan-latihan jasmaniah untuk memperbesar kekuatan tenaga dan ketrampilan
bergerak.”
Swandaru dan
Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun mereka tidak mengerti
seluruhnya, tetapi keterangan Agung Sedayu itu dapat masuk di dalam akal
mereka.
Sejenak
kemudian mereka telah menyelusur halaman menuju kepondok Sekar Mirah. Mereka
harus sangat hati-hati. Wuranta menyadari bahwa Sidanti meletakkan beberapa orang
pengawas di sekitar rumah itu. Mereka terpaksa melingkar dan masuk ke halaman
pondok Sekar Mirah lewat belakang. Sejenak mereka berdiam diri, memperhatikan
suasana di sekitarnya. Malam dengan tenangnya merayap ke ujungnya. Tetapi
gelapnya masih saja sedemikian pekatnya, sehingga mereka hampir-hampir tidak
dapat melihat apa pun di halaman itu selain bayangan-bayangan tetumbuhan yang
hitam kelam.
“Marilah kita
mendekat. Aku berjanji dengan Ki Tanu Metir tepat di belakang rumah, di sudut
kiri.”
“Marilah,”
desis Agung Sedayu. Mereka pun kemudian merayap mendekati pondok itu. Semakin
lama semakin dekat, tiba-tiba Swandaru mengangkat wajahnya sambil berdesis.
“Anak itu
masih menangis. Apakah semalaman ia menangis saja?”
Wuranta tidak
menyahut. Tetapi mereka kini menjadi semakin dekat dengan sudut rumah itu.
Ketika mereka
sampai di balik gerumbul-gerumbul yang rimbun dekat, di belakang rumah itu,
maka mereka pun berhenti. Mereka harus menanti Ki Tanu Metir di tempat itu.
Tetapi
Swandaru dan Agung Sedayu hampir-hampir tidak dapat menahan diri ketika mereka
masih saja mendengar Sekar Mirah menangis terisak-isak. Dengan terbata-bata
Swandaru berbisik,
“Aku akan
masuk. Aku tidak dapat membiarkan Sekar Mirah selalu kecemasan dan ketakutan.”
“Tetapi Ki
Tanu Metir berpesan supaya kita menunggu.”
“Kenapa kita
harus menunggu? Aku akan membawanya ke luar,” sahut Swandaru.
“Lewat
urung-urung?” bertanya Wuranta.
“Apakah tidak
ada jalan lain?”
“Ada. Di sana
ada sebuah regol yang cukup besar. Tetapi di regol itu, orang-orang Tambak Wedi
dan orang-orang Jipang menyambut setiap orang yang akan lewat.”
Swandaru
mengerutkan keningnya. Sadarlah ia kini, bahwa ia berada di suatu tempat yang
tertutup rapat. Tidak mudah baginya untuk menerobos masuk dan keluar dari
lingkungan itu. Meskipun barangkali dengan sedikit kesulitan, dinding padepokan
yang tinggi itu dapat juga dipanjatnya, tetapi para peronda yang hilir mudik
mungkin akan melihatnya.
Untuk sesaat
mereka pun saling berdiam diri. Isak tangis Sekar Mirah masih juga mereka dengar.
Semakin lama terasa semakin pedih di hati Swandaru dan Agung Sedayu. Ingin
mereka segera meloncat masuk menolongnya dan membawanya lari. Tetapi hal itu
ternyata berada di luar kemampuan mereka. Belum lagi mereka dapat menenangkan
diri mereka, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh kehadiran sesosok tubuh dekat di
belakang mereka. Namun segera mereka dapat mengenalnya. Orang itu adalah Ki
Tanu Metir.
“Ha aku memang
mengira kalau kalian telah menunggu aku di sini,” desisnya perlahan-lahan.
“Ya, Kiai,”
sahut Wuranta.
“Bagus. Apakah
kalian tidak lupa membawa panah sendaren?”
“Tidak, Kiai,”
jawab Agung Sedayu.
Ki Tanu Metir
tersenyum melihat seendong panah dan busur yang menyilang di punggung Agung
Sedayu.
“Di sini
banyak dapat diketemukan busur,” berkata Ki Tanu Metir,
“tetapi baik
juga kau membawanya.”
Agung Sedayu
tidak tahu maksud kata-kata Ki Tanu Metir itu, tetapi ia tidak bertanya
sesuatu.
“Sekarang,
marilah kita melihat perang tanding yang berlangsung di banjar para pemimpin
padepokan ini. Perang tanding antara Sidanti dan Alap-alap Jalatunda. Perang
tanding yang benar-benar tanding. Aku sama sekali tidak menyangka bahwa
Alap-alap Jalatunda mampu mengimbangi kekuatan Sidanti.”
“Apakah mereka
benar-benar seimbang menurut penilaian Kiai?” bertanya Agung Sedayu.
“Ya,” sahut Ki
Tanu Metir,
“tetapi memang
Sidanti mempunyai beberapa kelebihan. Meskipun perkelahian itu dapat
berlangsung lama, namun kalau Sidanti tidak membuat kesalahan-kesalahan yang
berarti, maka Alap-alap Jalatunda tidak akan dapat memenangkan perkelahian itu.
Tetapi kelengahan Sidanti itu masih mungkin saja terjadi, sebab Sidanti masih
juga merasa mempunyai banyak kelebihan dari lawannya, sehingga beberapa kali
hampir-hampir saja ia tergilas oleh amukan Alap-alap Jalatunda yang benar-benar
seperti orang gila.”
“Menarik
sekali,” desis Swandaru, “marilah kita melihat. Tetapi bagaimana dengan Sekar
Mirah itu? Apakah tidak sebaiknya kita lepaskan dahulu dan kita bawa keluar
dari padepokan ini?”
“Jalan masih
belum terbuka. Aku kira sulit untuk membawanya lewat urung-urung seperti yang
baru saja kau lalui.”
“Bagaimana
jalan itu dapat terbuka?”
“Marilah kita
mengharap bersama-sama. Tetapi apabila terpaksa dan jalan itu tidak juga
terbuka, kita akan menempuh jalan yang paling berbahaya, keluar lewat urung-urung.”
“Tetapi
bagaimana sekarang?”
“Biarlah kita
tinggalkan saja gadis itu untuk sementara,” Swandaru dan Agung Sedayu tidak
menyahut. Sebenamya mereka tidak sampai hati melihat gadis itu menangis
terisak-isak dengan penuh ketakutan dan kecemasan akan nasibnya.
“Apakah
setidak-tidaknya kita tidak memberitahukan kehadiran kita kepadanya?” bertanya
Agung Sedayu kemudian.
“Itu akan
mempengaruhi sikapnya. Mungkin ia akan kehilangan segala akal dan nalarnya,
sehingga justru akan menyulitkan. Mungkin gadis itu tidak lagi dapat mengekang
perasaannya. Ia akan dapat berteriak-teriak minta supaya ia dilarikan atau
untuk kepentingan yang lain. Tetapi dengan demikian maka tugas kita akan
gagal.”
Agung Sedayu
dan Swandaru dapat mengerti sepenuhnya keterangan gurunya. Karena itu mereka
tidak mendesaknya.
“Marilah, kita
lihat perkelahian itu,” gumam Ki Tanu Metir kemudian.
“Marilah,”
jawab ketiga anak-anak muda itu hampir bersamaan.
Ketiganya pun
kemudian dengan sangat hati-hati berjalan mengikuti Ki Tanu Metir menyusup
diantara tanaman-tanaman di kebun dan halaman-halaman. Menyelinap di balik
gerumbul-gerumbul liar dan rumpun-rumpun bambu yang rimbun. Sekali-sekali
mereka harus meloncati dinding halaman yang tidak terlampau tinggi, tidak
setinggi dinding padepokan ini. Tak sepatah kata pun terucapkan dalam
perjalanan yang pendek itu. Mereka saling berdiam diri dan berangan-angan.
Tetapi mereka pun ingin segera sampai ke banjar para pemimpin padepokan untuk
segera melihat apa yang terjadi di arena perang tanding antara Sidanti dan
Alap-alap Jalatunda.
“Angger Agung
Sedayu,” berbisik Ki Tanu Metir,
“kalau apa
yang aku harapkan tidak terjadi, maka aku akan memberimu isyarat. Kau harus
segera kembali ke tempat Sekar Mirah dan mencoba melarikannya lewat urung-urung
itu. Memang pekerjaan ini berbahaya bagimu dan bagi Sekar Mirah, tetapi apabila
tidak ada jalan lain maka hal ini harus dilakukan. Aku bersama Angger Swandaru
dan Angger Wuranta akan mencoba melindungi, sampai kita akan mencapai kuda-kuda
kita. Bukankah kalian membawa empat ekor-kuda?”
“Oh,”
anak-anak muda itu saling berpandangan. Ternyata mereka lupa membawa seekor
kuda kosong untuk Ki Tanu Metir.
“Apakah kalian
lupa membawa seekor kuda untukku?”
“Ya, Kiai.”
Ki Tanu Metir
tersenyum,
“Tidak apa,”
katanya, “aku akan ikut di atas kuda Angger Swandaru. Tetapi aku mengharap
bahwa kita tidak akan memerlukannya, sebab kita akan melalui jalan yang lapang
dan aman tanpa gangguan suatu apa pun.”
Setelah mereka
melampaui beberapa halaman, memintasi jalan-jalan sempit dan gelap, meloncati
dinding-dinding dan menyusup lewat rumpun-rumpun bambu yang lebat, maka
akhirnya mereka melihat cahaya obor yang bersinar terang-benderang tidak
terlampau jauh dari mereka.
Ki Tanu Metir
yang berjalan paling depan pun berhenti sejenak. Perlahan-lahan ia berbisik,
“Nah, itulah, Ngger. Itulah arena perang tanding yang agaknya masih cukup
ramai.”
“Marilah kita
melihat, Kiai,” ajak Swandaru.
“Hem, kita
bukan orang padepokan Tambak Wedi. Apabila salah seorang dari mereka melihat
kehadiran kita, maka perang tanding itu akan terhenti sejenak, dan mereka akan
beramai-ramai mengejar kita seperti anak-anak sedang mengejar tupai. Karena
itu, kita harus cukup berhati-hati.”
Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya, “Ya. Aku mengerti.”
“Kita hanya
dapat melihat dari kejauhan. Beruntunglah bahwa perhatian Ki Tambak Wedi
seluruhnya telah dirampas oleh perkelahian yang agaknya tidak diduganya. Ki
Tambak Wedi benar-benar terkejut melihat tandang Alap-alap Jalatunda. Orang tua
itu agaknya masih terlampau percaya kepada Sidanti. Dan kepercayaannya itu yang
telah membuatnya lengah. Kini ia dihadapkan pada kenyataan, bahwa Alap-alap
Jalatunda itu mampu menandingi muridnya. Kalau kepandaian mereka terpaut, maka
perbedaan itu sama sekali tidak banyak dan tidak menentukan.”
Ketiga anak
muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Betapa mereka ingin melihat perang
tanding itu, namun mereka tidak dapat berbuat sekehendak hati. Sebab nasib
mereka pun kini sedang berada diujung duri.
Ki Tanu Metir
itu kemudian berbisik lagi,
“Kita akan
mencoba untuk mendekat. Tetapi tidak terlampau dekat. Supaya kita dapat melihat
dengan jelas, maka kita akan memanjat.”
Ketiganya
bersama Ki Tanu Metir pun lalu mencoba merayap semakin dekat. Tetapi mereka
selalu berusaha untuk tetap berada di balik bayangan dedaunan yang rimbun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar