Jilid 023 Halaman 3


Ketika mereka kemudian tidak mungkin lagi untuk berada di tempat yang lebih dekat, mereka lalu mencari pohon-pohon yang daunnya akan cukup memberi mereka perlindungan. Dari tempat itulah mereka melihat perang tanding yang sedang berlangsung.

Meskipun mereka tidak terlampau dekat, tetapi mereka dapat melihat cukup jelas. Mereka dapat melihat hampir setiap bagian dari unsur-unsur gerak yang dipergunakan oleh kedua belah pihak. Unsur-unsur gerak yang dipergunakan oleh Alap-alap Jalatunda unsur-unsur gerak yang dipergunakan oleh Sidanti. Mereka pun dapat melihat beberapa kelebihan Sidanti atas lawannya, tetapi kelebihan itu hampir tidak banyak berarti dibanding dengan tekad yang menyala-nyala di dalam dada Alap-alap Jalatunda. Nafsu yang menggila itu agaknya telah banyak merubah dirinya menjadi orang yang perkasa. Satu hal yang sangat menyulitkan adalah bahwa meskipun Alap-alap Jalatunda itu hampir-hampir menjadi benar-benar gila, tetapi otaknya agaknya masih tetap terang menghadapi senjata lawan.
Ki Tanu Metir, Agung Sedayu, Swandaru, dan Wuranta melihat perkelahian itu dengan tegangnya. Seolah-olah mereka sendirilah yang terlibat dalam sebuah perang tanding. Meskipun mereka tidak dapat memihak salah satu diantara mereka, tetapi kadang-kadang mereka, harus menahan nafas melihat gerak senjata kedua belah pihak.
“Kenapa Sidanti tidak mempergunakan senjata khususnya. Akhir-akhir ini Sidanti sering mempergunakan senjata rangkap. Pedang dan senjatanya yang mengerikan itu.” bertanya Agung Sedayu.
Ki Tahu Melir menggelengkan kepalanya,
“Entahlah, tetapi agaknya Ki Tambak Wedi telah menentukan bahwa senjata mereka harus sejenis.”
Agung Sedayu tidak bertanya lagi. Perhatian mereka benar-benar dicengkam oleh perkelahian yang semakin lama menjadi semakin seru. Alap-alap Jalatunda ternyata menjadi semakin lincah. Selama ia berada di Tambak Wedi, agaknya ia telah mempergunakan waktunya yang terluang sebaik-baiknya. Sedang Sidanti hampir tidak mendapat perubahan apa-apa. Tingkatan ilmunya pun masih juga seperti yang pernah dilihatnya. Hanya beberapa unsur gerak yang kini menjadi luluh dengan serasi seolah-olah menjadikannya semakin kaya dan cekatan. Tetapi lebih daripada itu, nafsu dan tekad yang menyala-nyala di dalam dada Alap-alap Jalatunda agaknya telah menjadikannya seorang yang aneh. Kekuatannya seolah-olah menjadi berlipat ganda. Kecepatannya bergerak kadang-kadang ada di luar dugaan, bahwa Alap-alap Jalatunda mampu melakukannya. Pengaruh tidak tuak di kepalanya pun agaknya telah membuatnya seperti orang kesurupan. Meskipun demikian, matanya masih juga melihat dengan jelas ujung senjata lawan. Alap-alap Jalatunda itu masih juga tidak kehilangan akal menghadapi saat-saat yang sulit karena serangan-serangan Sidanti.

Namun demikian, semakin lama perkelahian itu berlangsung, maka semakin jelaslah bagi mereka yang memiliki ilmu yang cukup, bahwa betapa Alap-alap Jalatunda itu maju pesat sekali, dan betapa ia berkelahi dengan penuh nafsu kemarahan serta pengaruh tuak di kepalanya, tetapi ia masih belum berhasil menyejajarkan diri dengan Sidanti. Meskipun perkelahian itu agaknya masih tampak seimbang, tetapi Sidanti masih cukup cerdik untuk menyimpan tenaga yang pada saatnya akan dapat mengakhiri perkelahian itu. Dan inilah yang sama sekali tidak diperhitungkan oleh Alap-alap Jalatunda. Ia menganggap bahwa apa yang terjadi itu adalah puncak dari kekuatan, ilmu, kelincahan dan segala macam unsur dalam tata perkelahian. Tetapi ia tidak memperhitungkan, bahwa waktu pun akan turut menentukan akhir dari perkelahian itu. Namun demikian, saat yang menegangkan itu sangat berbahaya pula bagi Sidanti. Kesalahan dan kelengahan akan segera mengakhiri perkelahian. Sekejap demi sekejap perkelahian itu menjadi semakin dahsyat. Bahkan kini tubuh-tubuh mereka telah mulai dialiri oleh titik darah dari goresan-goresan ujung pedang pada tubuh mereka. Tetapi darah yang bercampur dengan keringat ternyata telah menjadikan mereka semakin buas. Dengan demikian maka mereka, yang menyaksikan perkelahian itu pun menjadi semakin tegang. Wajah-wajah mereka menjadi keras dan mata mereka seakan-akan tidak berkedip lagi. Bahkan Ki Tambak Wedi pun kini menjadi semakin tegang pula. Mau tidak mau ia terpengaruh oleh keadaan kedua anak muda yang sedang berkelahi itu. Ia tidak dapat melepaskan diri dari hubungan pribadi antara dirinya dengan Sidanti, sebagai guru dan murid. Sehingga mau tidak mau, betapapun ia mencoba untuk berdiri di tengah-tengah, melepaskan diri dari persoalan yang sedang berlangsung itu, namun orang tua itu di dalam hatinya sudah berpihak kepada muridnya. Ia mengharap Sidanti memenangkan perkelahian itu, tetapi ia juga mengharap agar Alap-alap Jalatunda dan orang-orang Jipang tidak menjadi sakit hati. Demikian asyik ia melihat perkelahian itu, sehingga Ki Tambak Wedi tidak melihat apa yang terjadi di sekitarnya, apalagi melihat orang-orang Sangkal Putung dan Jati Anom, sedang wajah-wajah orang yang berada di sekitarnya pun tidak dilihatnya. Wajah-wajah yang memancarkan suatu sikap dalam menghadapi perang tanding itu. Orang-orang Jipang dan orang-orang Tambak Wedi sendiri ternyata berbagi sikap. Mau tidak mau mereka memihak kepada kawan terdekat. Sanakeling yang hitam itu pun kini tidak lagi acuh tak acuh melihat perkelahian itu. Wajahnya kini tampak menjadi bersungguh-sungguh. Dahinya berkerut-merut dan matanya bersinar, memancarkan kemarahan dan kejengkelan. Betapa ia menyesali tindakan Alap-alap Jalatunda, tetapi ia tidak rela apabila ia harus menyaksikan Alap-alap Jalatunda menjadi korban dalam perang tanding itu. Alap-alap Jalatunda adalah kawan yang telah lama berada dalam satu lingkaran pahit manisnya peperangan melawan Pajang. Meskipun untuk sementara mereka tidak berkumpul di dalam satu lingkungan karena Sanakeling berada di daerah Utara, namun akhirnya mereka bersama-sama mengalami masa yang paling pahit dalam perjuangan mereka. Perjuangan yang tidak berujung pangkal. Yaitu pada saat-saat matinya Tohpati yang bergelar Macan Kepatihan. Kemudian keinginan Sumangkar untuk menyerahkan diri kepada Senapati Pajang yang masih muda, yang bernama Untara, yang kini berada di ujung hidung mereka lagi. Hubungan yang telah terjalin selama ini, hidup dalam satu lingkungan yang dibumbui oleh asin asamnya peperangan, telah menumbuhkan rasa setia-kawan yang dalam. Tetapi ternyata sikap itu bukan sekedar sikap Sanakeling. Hampir setiap prajurit Jipang merasa, seolah-olah mereka sendirilah yang berada di dalam arena melawan Sidanti. Tanpa mereka sadari maka perkelahian itu telah mengingatkan mereka pada peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi. Terbunuhnya Plasa Ireng. Bukan saja terbunuh oleh ujung senjata di dadanya. Tetapi mayatnya pun kemudian mengalami perlakuan yang mengerikan. Dan itu dilakukan oleh Sidanti, yang kini berkelahi melawan Alap-alap Jalatunda.

Kenangan itu ternyata telah membuat orang-orang Jipang semakin benci dan muak melihat Sidanti yang lincah cekatan itu bertempur di dalam arena. Bahkan satu dua di antara mereka ada yang hampir-hampir tidak tahan lagi. Hampir-hampir mereka meloncat masuk ke dalam arena untuk bersama-sama melawan Sidanti yang bagi mereka sangat memuakkan karena sikapnya yang sombong. Sidanti merasa, bahwa ia adalah anak murid Ki Tambak Wedi yang menguasai padepokan ini. Sehingga seolah-olah semua orang di padepokan ini harus tunduk kepadanya. Kekuasaannya justru menjadi terlampau besar, melampaui kekuasaan Tohpati yang bergelar Macan Kepatihan. Sementara orang-orang Jipang dan Tambak Wedi merasa berada di satu pihak dalam kepentingan yang sama, mereka dapat melupakan kebencian itu. Tetapi kini, kebencian, muak dan kejemuan seolah-olah telah mencengkam dada setiap orang Jipang. Demikianlah perkelahian itu berlangsung terus. Tubuh Alap-alap Jalatunda kini telah menjadi basah kuyup. Basah oleh keringat dan titik darah dari luka-lukanya. Namun tubuh Sidanti pun tidak juga dapat menghindari sentuhan-sentuhan senjata lawannya, sehingga goresan-goresan pedang Alap-alap Jalatunda pun telah meneteskan darah anak Tambak Wedi itu pula. Titik-titik keringat itu pun mengalir dari dahi Ki Tambak Wedi yang tua. Wajahnya sejenak menegang, tetapi kemudian semakin lama menjadi semakin kendor ketika ia melihat bahwa keadaan Sidanti menjadi semakin baik. Kini Sidanti mendapat waktu untuk mengatur pernafasannya. Meskipun ia masih harus berjuang sekuat-kuat tenaganya, tetapi orang tua yang bermata tajam setajam mata burung hantu itu mampu melihat, bahwa keadaan Sidanti sudah tidak berbahaya lagi. Namun tidak demikian halnya dengan orang-orang Jipang dan orang-orang Tambak Wedi. Mereka masih juga dicengkam oleh ketegangan yang justru menjadi semakin memuncak. Betapapun juga, akhimya mereka dapat melihat, bahwa kedudukan Sidanti masih lebih baik dari kedudukan Alap-alap Jalatunda. Meskipun kerut-merut di wajah Ki Tambak Wedi sudah tidak sedalam semula, tetapi perhatiannya masih juga tersangkut seluruhnya pada perkelahian itu. Perkelahian itu menjadi begitu mengasyikkan baginya, seolah-olah ia mendapat kesempatan melihat muridnya berlatih dengan memeras segenap kemampuan yang ada padanya. Dalam perkelahian itu ia sempat melihat kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh Sidanti. Kemungkinan-kemungkinan yang baik yang dilepaskannya tanpa menyadari akibatnya. Dan unsur-unsur gerak yang masih belum matang dan serasi dalam hubungan keseluruhan.

Ki Tanu Metir, Agung Sedayu, Swandaru, dan Wuranta pun masih juga dicengkam oleh ketegangan. Meskipun Ki Tanu Metir pun kemudian melihat kelebihan Sidanti atas Alap-alap Jalatunda, namun ketegangan yang mencengkamnya mempunyai bentuk yang berbeda dengan apa yang terjadi atas Ki Tambak Wedi. Kini Ki Tanu Metir ditegangkan, bukan saja oleh perkelahian itu, tetapi terutama oleh rencananya. Perkelahian itu agaknya telah mendekati akhirnya. Apakah saat itu pasukan Untara, setidak-tidaknya mereka yang berkuda telah berada di luar padepokan ini? Seandainya mereka telah datang, mudah-mudahan para penjaga dan peronda tidak melihatmya. Dalam hal ini ia percaya kepada Untara, seorang pemimpin prajurit yang telah cukup berpengalaman. Namun sebenarnya Ki Tanu Metir tidak perlu mencemaskan Untara kalau ia akan dapat dilihat oleh para peronda dan para penjaga. Sebab pada saat itu hampir, setiap orang di padepokan Tambak Wedi telah berada dan berkerumun di sekitar banjar para pemimpin padepokan itu. Sebagian besar berada pada lingkaran yang mengelilingi arena, namun sebagian yang lain berada di atas dinding-dinding halaman. Mereka melihat perkelahian itu dari atas dinding, dari pepohonan dan bahkan dari atap-atap rumah. Sedang mereka yang tidak mendapat kesempatan untuk melihat, berkumpul di jalan-jalan di muka banjar itu. Seolah-olah mereka berada pada suatu puncak ketegangan, pada saat-saat mereka berada dalam gelar perang yang telah berhadapan wajah dengan gelar lawan. Perkelahian itu sendiri kini benar-benar telah mencapai puncaknya pula. Alap-alap Jalatunda telah memeras segenap kemampuan dan tenaga yang ada padanya. Sedang pada saat itu Sidanti justru telah menemukan suatu kepastian, bahwa ia akan segera memenangkan perang tanding itu. Terasa bahwa Alap-alap Jalatunda telah menumpahkan segenap kemungkinan yang ada padanya. Dan karena itu maka ia telah kehilangan perhitungan tentang waktu. Tentang daya tahannya menghadapi waktu yang sengaja diperpanjang oleh Sidanti supaya murid Tambak Wedi itu mendapat suatu keyakinan bahwa saatnya telah datang untuk mengakhiri perkelahian tanpa kesulitan. Dan waktu itu kini telah menjadi semakin dekat.
Dalam ketegangan itu Ki Tanu Metir berbisik,
“Angger, lihatlah, langit telah memerah di Timur.”
“Hampir fajar, Kiai,” desis Agung Sedayu.
“Apakah kira-kira Angger Untara telah datang?”
“Aku rasa sudah, Kiai. Kedatangan Kakang Untara tidak akan terpaut lama dengan kedatanganku.”
“Baiklah. Berikanlah panah itu kepadaku. Kita akan sampai pada saat yang menentukan. Kalau aku salah hitung, maka sebaiknya Angger Untara kembali ke Jati Anom. Dan kalian harus segera pergi mengambil Sekar Mirah. Setelah memberi tanda-tanda kepada Angger Untara, aku akan segera melindungi kalian apabila ada bahaya yang mengancam.”

Agung Sedayu, Swandaru, dan Wuranta merasakan ketegangan dalam pesan Ki Tanu Metir. Ternyata orang tua itu benar-benar sedang menghadapi saat yang menentukan, apakah rencananya dapat berjalan atau gagal sama sekali. Tetapi setidak-tidaknya usaha menyelamatkan Sekar Mirah akan di jalankan, Betapapun besar bahayanya. Panah sendaren dan busurnya segera diberikan oleh Agung Sedayu kepada Ki Tanu Metir. Ki Tanu Metir lah yang nanti akan memberikan tanda-tanda itu kepada Agung Sedayu. Ketika mereka melihat arena perkelahian, maka jelaslah kini bahwa Alap-alap Jalatunda telah menjadi semakin terdesak. Meskipun dari jarak yang agak jauh, tetapi kemampuan mereka mengenal tata perkelahian cukup memberi mereka pengertian apa yang sebenarnya telah terjadi.
“Sesaat lagi ngger. Sesaat lagi kita akan melihat apa yang akan terjadi. Dan sesaat kemudian akan kita lihat, apakah aku tidak akan mendapat marah dari Angger Untara.”
Dalam saat-saat terakhir itu, maka Ki Tambak Wedi tampak menjadi tegang lagi. Kini ia tidak saja berdiri memperhatikan setiap gerak kedua anak muda di dalam arena itu, tetapi kini ia bergeser semakin dekat. Ketika cahaya merah di Timur menjadi semakin jelas, maka Alap-alap Jalatunda  pun menjadi semakin payah. Ternyata dalam perkelahian yang terjadi itu, ia telah memeras segenap kemampuan yang ada padanya, sehingga dalam waktu yang singkat ia seakan-akan telah kehabisan tenaga. Pada saat itu keadaan Sidanti masih cukup baik. Tenaganya masih segar dan perhitungannya atas kelemahan Alap-alap Jalatunda menjadi semakin masak. Sanakeling  pun ternyata melihat keadaan itu. Wajahnya yang hitam menjadi semakin tegang. Kini ia berdiri terbungkuk-bungkuk di dalam lingkaran orang-orang yang melihat perkelahian itu seperti Ki Tambak Wedi. Seakan-akan apa yang dilihatnya itu tidak begitu jelas di matanya. Namun sebenarnya, dadanya telah dipenuhi oleh kecemasan yang memuncak. Kalau Sidanti tidak dapat mengendalikan dirinya, maka Alap-alap Jalalunda itu akan mengalami nasib yang sangat jelek. Maka setiap wajah orang-orang yang melihat perkelahian itu kini menjadi kian tegang. Mereka menyadari bahwa perkelahian itu sudah akan sampai pada akhirnya. Meskipun Alap-alap Jalatunda masih tetap dalam perlawanan yang cukup, tetapi setiap kali ia selalu terdesak. Luka-luka di tubuhnya  pun menjadi kian banyak. Goresan-goresan pedang Sidanti telah membuat tubuhnya berwarna darah. Tetapi tubuh Sidanti sendiri juga telah diwarnai oleh darahnya yang menetes dari luka-lukanya. Dan darah itu telah membuat Sidanti menjadi buas dan liar, seperti Alap-alap- Jalatunda itu pula. Dan itulah yang dicemaskan oleh Ki Tambak Wedi. Betapapun ia memihak muridnya di dalam hati, tetapi orang tua itu masih selalu mengingat kepentingan yang jauh lebih besar daripada seorang Sekar Mirah. Kepentingan yang selama ini selalu diperhitungkan dan diotak-atik. Karena itulah maka ia menjadi cemas melihat perkembangan keadaan. Melihat mata muridnya yang menjadi semerah darah yang menetes dari luka-lukanya. Agaknya Sidanti itu telah melupakan pesan-pesannya, bahwa perang tanding itu diakhiri apabila salah seorang telah terluka dan telah jelas tidak dapat memberikan perlawanan, sehingga kemenangan telah dapat ditentukan pada pihak yang lain. Tetapi dalam keadaan serupa itu, apakah mereka yang berkelahi masih dapat mengingat peraturan yang dibuatnya itu?

Semakin jelas cahaya fajar memancar dari balik dedaunan di Timur, maka Sidanti  pun menjadi semakin bernafsu. Kini ia telah sampai pada suatu saat, untuk memenangkan perang tanding itu. Karena itulah maka ia  pun menjadi semakin garang. Sedang Alap-alap Jalatunda  pun agaknya merasa, bahwa kesempatan baginya menjadi semakin tipis. Namun dengan demikian, maka hatinya menjadi bulat untuk mempertahankan dirinya tanpa mengenal surut sebelum nyawanya loncat dari tubuhnya. Karena itu, pada saat-saat terakhir, seolah-olah kekuatan Alap-alap Jalatunda yang telah surut itu tumbuh kembali. Tandangnya benar-benar mengejutkan. Sidanti sama sekali tidak menduga, bahwa ketika perkelahian itu justru hampir berakhir karena Alap-alap Jalatunda sudah kehabisan tenaga, maka anak muda itu tiba-tiba melenting secepat bilalang menyerangnya. Begitu cepat dan begitu garang. Pedangnya menebas dengan kecepatan yang hampir tidak dapat dimengerti, bahwa seseorang mampu berbuat demikian. Serangan yang tidak disangka-sangka itu telah membuat Sidanti menjadi bingung. Agaknya Alap-alap Jalatunda mengerahkan segenap sisa-sisa tenaganya dalam keputus-asaan. Dan bentuk daripadanya sungguh-sungguh di luar dugaan. Bukan saja Sidanti yang terkejut melihat serangan itu. Ki Tambak Wedi yang berada di belakang Sidanti  pun menjadi terkejut pula. Tak masuk di akalnya bahwa Alap-alap Jalatunda telah berbuat sedemikian cepat dan mengejutkan. Ki Tanu Metir dan ketiga anak-anak muda yang melihat perkelahian itu pun menahan nafasnya. Bahkan terdengar Ki Tanu Metir berdesis karena gejolak perasaannya. Serangan Alap-alap Jalatunda itu benar-benar mengejutkan dan di luar perhitungan. Akibat dari serangan itu bagi Sidanti pun tidak terduga pula. Dalam kebingungan Sidanti hanya mampu berusaha menangkis kilatan pedang yang menyambarnya. Tetapi ia tidak menyangka bahwa kekuatan yang terlontar pada sambaran pedang itu pun luar biasa pula. Karena itulah, maka tangkisan Sidanti terdorong oleh kekuatan tenaga Alap-alap Jalatunda. Dan Sidanti tidak mampu untuk menghindar lagi. Pedang Alap-alap Jalatunda itu menyambar pundaknya. Terdengar Sidanti mengeluh pendek. Setiap mulut di arena itu  pun berdesis melihat kejadian yang sama sekali tidak terduga-duga itu. Mereka tidak lagi berkedip ketika mereka melihat darah mengalir dari pundak yang menganga karena luka. Betapa cemas hati Ki Tambak Wedi melihat muridnya terluka. Kalau Sidanti kemudian tidak dapat memperbaiki keadaannya, dan pedang Alap-alap Jalatunda itu sekali lagi mengenainya, maka kemungkinan terbesar bagi muridnya adalah, kalah di dalam perang tanding itu. Dan akibat dari kekalahan ini akan panjang sekali. Akibat dari kekalahan yang dirasakan sebagai suatu penghinaan ini pasti akan membekas di hati Sidanti sepanjang hidupnya. Mungkin Sidanti akan kehilangan segala gairah hidup di masa mendatang karena Sekar Mirah juga akan lepas dari tangannya. Namun berlawanan daripada itu, maka Sidanti akan dapat menjadi seorang iblis yang kehilangan bentuk-bentuk kemanusiaannya sama sekali. Ia akan menjadi seorang yang paling berbahaya. Seorang yang kehilangan tujuan hidupnya selain dendam. Dan dendam itu akan dibawanya kemana ia pergi dan ditumpahkannya kepada siapa saja yang dijumpainya. Karena itu maka wajah Ki Tambak Wedi  pun menjadi semakin tegang. Otot-otot di wajahnya seakan-akan mencuat ke luar dari keningnya. Apalagi ketika sekali lagi ia melihat Alap-alap Jalatunda mengayunkan pedangnya. Anak muda itu agaknya tidak mau melepaskan kesempatan yang ada pada saat itu. Dalam keputus-asaan ia melihat lawannya terluka. Dalam saat-saat yang tidak disangka-sangkanya ia melihat darah Sidanti meleleh dari luka yang menganga di pundaknya. Dengan demikian maka nafsunya menjadi melonjak kembali. Kesempatan terakhir itu akan dipergunakannya sebaik-baiknya. Mengakhiri perkelahian dengan mengakhiri hidup Sidanti yang memuakkan baginya itu. Tetapi ternyata membunuh Sidanti tidak semudah yang disangkanya. Tidak seperti yang dibayangkan oleh Alap-alap Jalatunda dalam saat-saat ia berputus-asa, dalam saat-saat otaknya sudah mulai kabur. Ketika pedangnya terayun sederas ayunannya yang pertama, maka Sidanti sudah menyadari kesalahannya, bahwa ia menganggap Alap-alap Jalatunda sudah tidak berdaya sama sekali. Karena itu, sebelum ia siap benar menghadapinya, maka tiba-tiba ia melontar mundur sejauh-jauhnya. Itulah yang segera dapat dilakukan menghadapi Alap-alap Jalatunda yang seakan-akan menjadi gila. Ketika Ki Tambak Wedi melihat sikap dan geraknya itu, maka perlahan-lahan ia berdesis, “Bagus, Sidanti.”

Ternyata Alap-alap Jalatunda sudah tidak mampu lagi membuat perhitungan yang baik. Kali ini ayunannya sama sekali tidak menyentuh apa  pun juga, sedang tenaga yang dilontarkan lewat ayunan itu adalah segenap tenaga yang masih tersisa padanya. Sehingga ketika ayunan itu tidak mengenai lawannya, Alap-alap Jalatunda terseret oleh kekuatan tenagannya sendiri. Sejenak ia terhuyung-huyung. Dengan susah payah ia mencoba mempertahankan keseimbangan badannya. Tetapi ternyata tenaganya telah terkuras habis dalam gerak-geraknya yang terakhir. Karena itulah maka kemudian anak muda yang sedang dilanda oleh nafsu yang tidak terkendali itu tidak lagi mampu bertahan dalam keseimbangan. Sesaat kemudian orang-orang yang mengerumuni arena itu melihat Alap-alap Jalatunda itu terdorong ke samping lalu terjerembab jatuh di tanah. Sidanti yang telah berhasil membuat jarak beberapa langkah dari Alap-alap Jalatunda menggeram. Ia melihat Alap-alap Jalatunda itu terjatuh. Ketika terasa pundaknya menjadi pedih, maka hatinya  pun menjadi terbakar karenanya. Kemarahannya yang telah memuncak, bukan saja karena pundaknya terluka, tetapi juga karena Alap-alap Jalatunda telah mencoba untuk merampas Sekar Mirah dari tangannya, maka kini seakan-akan meledak dengan dahsyatnya. Gelora di dalam dada Sidanti sudah tidak tertahan lagi. Giginya terdengar gemeretak. Matanya menjadi semerah darah yang memercik dari lukanya. Tangannya yang menggenggam pedang itu  pun kemudian menjadi gemetar. Ketika sekali lagi ia melihat Alap-alap Jalatunda yang sedang tertatih-tatih mencoba untuk berdiri itu, nyala yang membakar dadanya telah berkobar menghanguskan perasaannya. Yang terdengar kemudian adalah Sidanti itu berteriak nyaring. Seperti seekor harimau lapar, ia menerkam lawannya dengan ujung pedangnya. Setiap dada mereka yang melihat gerak Sidanti itu terasa berdesir. Kemudian jantung mereka seolah-olah berhenti mengalir. Mereka terpukau oleh suatu kejadian yang begitu dahsyat dan mengerikan. Mereka tersadar ketika mereka mendengar Ki Tambak Wedi berteriak nyaring,
“Sidanti, hentikan. Hentikan!”
Tetapi suara itu seolah-olah tidak didengar oleh anak muda yang sedang mengamuk itu. Luka di pundaknya ternyata telah menjadikannya bermata gelap, ia lupa segala-galanya. Lupa kepada peraturan yang dibuat oleh gurunya. Lupa akan kepentingan-kepentingan lain yang lebih besar daripada yang kini sedang dipertengkarkan. Lupa kepada semua usaha yang telah dirintis oleh gurunya selama ini.
Alap-alap Jalatunda bagi Sidanti saat itu adalah iblis yang harus dilenyapkan. Iblis yang telah melukai tangannya cukup parah. Bahkan hampir-hampir merenggut jiwanya pula. Apalagi iblis itu telah mencoba merampas Sekar Mirah dengan kekerasan. Karena itu, maka tidak ada yang lebih baik baginya daripada membinasakannya. Betapa gurunya berteriak mencegahnya, namun semuanya sudah terjadi. Sidanti yang sedang dibakar oleh kemarahan itu pun mampu bergerak secepat Alap-alap Jalatunda. Bahkan ternyata sisa-sisa kekuatan Sidanti masih cukup banyak, sehingga tumpahan sisa-sisa tenaga itu  pun lebih dahsyat pula.
Sekali lagi mereka mendengar Ki Tambak Wedi berteriak,
“Sidanti, apakah kau gila?”
Sidanti tidak juga mendengar. Bahkan dalam kegelapan pikiran karena kemarahan yang memuncak, maka kebuasan anak muda itu tumbuh kembali. Seperti pada saat ia berhasil membunuh Plasa Ireng, maka kini diulanginya perbuatannya itu. Alap-alap Jalatunda sama sekali tidak berdaya ketika Sidanti menerkamnya. Ujung pedangnya yang tajam berkilat-kilat langsung menghunjam ke dadanya. Alap-alap Jalatunda yang sedang tertatih-tatih berdiri itu mengaduh pendek. Beberapa langkah ia terdorong oleh kekuatan Sidanti yang ditumpahkannya di ujung pedangnya. Kemudian anak muda itu  pun terbanting jatuh di tanah. Darah yang merah menyembur dari luka di dadanya itu. Namun sekejap matanya masih memancarkan dendam tiada terhingga. Sekali tubuh itu menggeliat lalu kemudian diam untuk selamanya.

Tetapi agaknya Sidanti tidak puas dengan tusukan yang langsung menghunjam jantung lawannya. Sekali lagi pedang itu ditariknya, dan sekali lagi pedang itu menghunjam ke tubuh lawannya. Ketika untuk ketiga kalinya ia ingin menusuk tubuh yang tidak berdaya itu, terasa badannya terdorong ke samping oleh suatu kekuatan yang luar biasa, sehingga hampir-hampir ia jatuh terjerambab. Sambil berteriak tinggi ia memperbaiki keseimbangannya. Hampir-hampir ia meloncat menyerang. Tetapi niatnya itu diurungkannya. Betapapun hatinya menjadi gelap pekat, tetapi ketika ia melihat gurunya berdiri di hadapannya, maka Sidanti itu  pun tegak seperti patung di tempatnya.
“Ternyata kau benar-benar gila, Sidanti,” teriak Ki Tambak Wedi.
Tetapi sebelum Sidanti menjawab, maka terdengar orang lain berteriak nyaring,
“Omong kosong! Kalian, guru dan murid, ternyata telah merencanakan hal ini. Kalian telah dengan sengaja melakukan pembunuhan yang direncanakan.”
Dada Ki Tambak Wedi bergetar mendengar teriakan itu. Ketika ia berpaling, dilihatnya wajah yang hitam itu seolah-olah membara memancarkan kemarahan tiada taranya. Sambil menuding Ki Tambak Wedi dengan pedangnya ia berkata,
“Satu-satu kau akan menghilangkan pemimpin-pemimpin prajurit Jipang. Kali ini Alap-alap Jalatunda. Tetapi lain kali aku, supaya kau dapat berbuat menurut kehendakmu atas pasukanmu. Tidak. Aku bukan budak kalian. Kami prajurit Jipang bukan budak-budak orang Tambak Wedi. Kalian jangan mimpi memperalat kami untuk tujuan-tujuan kalian yang memuakkan itu.”
Betapa kemarahan melanda dada Ki Tambak Wedi yang tua itu, tetapi sekali lagi ia masih mencoba menyabarkan diri. Ia tidak dapat melupakan bahwa Untara telah berada di Jati Anom.
“Sanakeling,” katanya,
“aku minta maaf atas kesalahan Sidanti. Aku berjanji untuk membuat perhitungan atas perbuatannya ini.”
“Tidak ada lain kecuali Sidanti harus dibunuh seperti Alap-alap Jalatunda. Dibunuh tanpa mengenal perikemanusiaan. Ia pula yang telah membunuh Plasa Ireng dan menggores-gores punggungnya dengan senjatanya silang-menyilang selagi orang itu telah mati. Kini Alap-alap Jalatunda yang tidak berdaya dan telah ditusuk oleh pedangnya tepat di dada, masih juga tidak memberinya kepuasan. Lihat, Ki Tambak Wedi. Lihat luka di tubuh Alap-alap Jalatunda itu. Betapapun gila anak muda itu, tetapi Alap-alap Jalatunda adalah kawan seperjuanganku sejak masa Adipati Jipang, Aria Penangsang. Sekarang anak itu dibunuhnya dengan semena-mena.”
“Sanakeling,” berkata Ki Tambak Wedi,
“peristiwa ini tidak berlangsung begitu saja. Peristiwa ini terjadi karena suatu sebab. Menilik dari sebab itu, maka Alap-alap Jalatunda pun mempunyai kesalahan pula sehingga perang tanding ini  pun tidak dapat dihindari.”
“Tetapi kau telah membuat peraturan untuk perang tanding ini, Kiai. Ternyata kau curang dengan peraturanmu. Kalau Alap-alap Jalatunda menang, kau masih sempat menyelamatkan muridmu, tetapi kalau muridmu menang, maka akibatnya adalah seperti yang kita lihat sekarang. Kalau kau benar-benar ingin mencegah, Kiai, maka kau pasti dapat menggagalkan pembunuhan ini.”
“Jangan berprasangka begitu jelek Sanakeling,” jawab Ki tambak Wedi,
“kau tahu, aku berdiri pada jarak yang cukup jauh dari Sidanti. Aku juga sudah berusaha, tetapi …”
“Aku bukan anak-anak yang dapat kau tipu dengan jawaban itu,” jawab Sanakeling.

Gelora di dalam dada Ki Tambak Wedi menjadi semakin keras, tetapi dengan sekuat tenaga ia masih berusaha menyabarkan diri. ia masih selalu mengingat kepentingan yang selama ini telah diperhitungkannya baik-baik. Tetapi tiba-tiba terdengar dari belakangnya, Sidanti berteriak,
“Guru, jangan dibiarkan orang itu mengigau sesuka hatinya. Serahkan orang itu kepadaku pula.”
Mendengar teriakan Sidanti itu, maka wajah Senakeling yang telah menjadi kemerah-merahan itu semakin menegang. Sejenak dipandanginya anak muda yang bernama Sidanti dengan penuh kebencian. Dan tiba-tiba Sanakeling itu tanpa diduga-duga melenting ke arah Sidanti dengan pedang terjulur lurus samping oleh kekuatan yang tak dapat dilawannya. Dalam pada itu Ki Tambak Wedi  pun telah berdiri di hadapannya.
“Tunggu dulu,” katanya.
“Setan itu harus dibinasakan!” teriak Sanakeling tidak kalah kerasnya dari suara Sidanti.
“Ia menjadi semakin memuakkan bagiku.”
“Ayo, lakukanlah kalau kau mampu,” jawab Sidanti lantang,
“aku tidak akan lari dari arena.”
“Tutup mulutmu!” kini Ki Tambak Wedi-lah yang berteriak sambil berpaling ke arah Sidanti.
“Kau telah menghancurkan segala rencana yang telah aku susun berminggu-minggu. Kau menganggap bahwa perempuan keparat itu lebih penting dari segala-galanya.”
“Minggir kau tua bangka,” yang berteriak adalah Sanakeling tidak kalah kerasnya dari suara teriakan Tambak Wedi. Ternyata orang itu  pun telah kehilangan nalar jernihnya. Kemarahan yang telah membakar jantungnya, ternyata tidak dapat diredakannya.
“Sanakeling,” wajah Ki Tambak Wedi  pun telah mulai berkerut-merut,
“aku sudah menahan diri sekian lama supaya aku tidak terseret dalam arus kemarahan yang tidak bermanfaat sama sekali ini selain akan menghancurkan diri kita sendiri. Tetapi kau pun harus menyadari bahwa ketelanjuran ini jangan menjadi sebab bagi kita untuk menikam dada sendiri.”
“Ternyata kau masih juga ingin melindungi muridmu itu?” bentak Sanakeling tanpa mengenal takut.
“Sanakeling,” suara Ki Tambak Wedi menjadi semakin keras dan bergetar. Betapa ia masih mencoba menahan dirinya sekuat-kuat tenaganya.
“Aku peringatkan sekali lagi. Hentikan tuduhan itu. Kita bicara dengan baik, supaya kita dapat memecahkan persoalan dengan baik pula.”
“Tak ada yang dibicarakan. Hanya ada satu pilihan bagimu, Ki Tambak Wedi. Serahkan Sidanti kepadaku. Aku akan membunuhnya dan membelah dadanya. Aku ingin melihat jantung dan hati yang tersimpan di dalam dada itu. Jantung dan hati anak itu pasti ditumbuhi bulu-bulu seperti jantung dan hati iblis.”

Betapapun kesabaran yang dipaksakan di dalam dada Ki Tambak Wedi, namun akhirnya wajahnya menjadi merah pula seperti warna langit di ujung Timur menjelang fajar. Warna merah di langit menjadi semakin nyata, dan warna merah wajah Ki Tambak Wedi  pun menjadi semakin menyala.
“Minggir!” teriak Sanakeling kemudian dengan penuh nafsu.
“Aku tidak akan minggir,” jawab Ki Tambak Wedi,
“aku akan tetap menghalangi setiap tindakan lebih lanjut.”
Sejenak Sanakeling terdiam. Dipandanginya wajah Ki Tambak Wedi dengan tajamnya. Tiba-tiba ia menyadari dengan siapa yang sedang berbicara. Orang tua itu, Ki Tambak Wedi, memang tidak akan dapat digertaknya, apalagi ditakut-takutinya. Meskipun demikian hasratnya untuk membunuh Sidanti tidak juga dapat disingkirkanhya dari hatinya.
Dalam pada itu terdengar Sidanti berkata,
“Guru, kenapa guru menghalanginya. Biarlah Sanakeling mencoba, apakah Sidanti mampu melawannya atau tidak.”
“Diam!” teriak Ki Tambak Wedi keras sekali. “Diam, diam kau!”
Namun nyala di dada Sanakeling telah menjadi semakin dahsyat membakar hangus jantungnya dan mendidihkan darahnya. Ia tidak lagi mau mundur. Sidanti harus mati.
“Kiai,” berkata Sanakeling,
“aku pun tidak akan minggir. Aku pun tidak akan mengurungkan niatku. Aku tetap dalam pendirianku untuk membunuh Sidanti. Nyawa Plasa Ireng dan Alap-alap Jalatunda akan selalu menuntut kepadaku, seandainya aku tidak berhasil membunuhnya dengan tanganku.”
Tubuh Sidanti menjadi gemetar karenanya. Tetapi ia tidak berani berteriak lagi. Namun demikian ia melangkah beberapa langkah maju dengan pedang yang berwarna darah di dalam genggamannya. Ki Tambak Wedi hampir-hampir tidak dapat menahan tangannya lagi. Hampir-hampir mulut Sanakeling ditamparnya. Tetapi niat itu diurungkan. Namun orang tua itu menggeram,
“Lalu apa maumu? Aku akan tetap berdiri di sini. Apakah kau akan menyerang aku?”

Sekali lagi Sanakeling terdiam untuk sejenak. Tanpa sesadarnya ia memandang berkeliling. Hati Sanakeling itu  pun bergelora ketika ia melihat orangnya, prajurit-prajurit Jipang berdiri tegak di satu sisi di luar arena. Tangan-tangan mereka telah melekat di hulu pedang masing-masing. Ketika Sanakeling melihat wajah-wajah itu di bawah cahaya obor dan cahaya fajar, maka wajah-wajah itu tampak seperti wajah-wajah yang berlumuran darah merah. Hati Sanakeling  pun menjadi semakin dahsyat diamuk oleh dendam dan kebencian. Kini ia berdiri di antara anak buahnya yang ternyata setia kepadanya. Anak buah yang telah dipisahkannya dari Sumangkar yang lemah dan menyerah. Anak buahnya yang ada padanya adalah anak buahnya yang dapat dianggapnya prajurit-prajurit pilihan. Kehadirannya di Tambak Wedi bukanlah untuk menghambakan diri dan menjadikan diri mereka alat untuk kepentingan Sidanti. Tidak. Sanakeling merasa bahwa ia masih tetap senapati, pengganti Tohpati yang bergelar Macan Kepatihan. Dengan demikian maka ia tidak lagi berhasil membendung gelora di dalam dadanya. Ketika, terpandang olehnya sekali lagi wajah Ki Tambak Wedi yang berkerut-merut, bermata tajam setajam mata burung hantu dan berhidung seperti paruh itu, serta kemudian dilihatnya wajah Sidanti yang licik dan bengis, maka Sanakeling itu  pun melangkah beberapa langkah mundur. Namun tiba-tiba pedangnya bergetar, dan terdengar suitan nyaring melontar dari mulutnya. Suitan aba-aba yang diberikan oleh seorang senapati, kepada prajuritnya yang telah bersiap menunggu perintahnya. Orang Jipang yang berdiri mengitari arena, yang selama itu terpaku di tempatnya, seperti wajah lautan yang tenang dengan tiba-tiba telah bergejolak seperti tersentuh badai. Dengan tangkasnya mereka berloncatan dengan senjata terhunus. Mereka itu adalah prajurit-prajurit yang telah cukup berpengalaman. Dengan demikian maka segera mereka dapat menyesuaikan diri dengan kehendak pimpinannya. Dalam waktu yang singkat mereka telah menemukan bentuk kelompok-kelompok masing-masing. Dan sesuai dengan bunyi aba-aba yang diberikan oleh Sanakeling, maka mereka  pun segera bergerak. Tetapi Sidanti  pun adalah bekas seorang prajurit yang mengenal tata gelar olah peperangan dalam kelompok yang besar. Ia tidak saja mampu berkelahi perseorangan, tetapi ia  pun mampu menguasai orang-orangnya. Karena itu ketika ia mendengar Sanakeling memberikan aba-abanya kepada orang-orangnya, maka Sidanti  pun segera berteriak nyaring menyiapkan orang-orangnya untuk menanggapi keadaan. Ternyata orang-orang Tambak Wedi  pun tanggap akan segala sasmita dan perintah yang diberikan Sidanti. Mereka  pun segera bergerak dan bersiap untuk menghadapi setiap kemungkinan. Ki Tambak Wedi melihat peristiwa itu dengan hati yang bergelora. Keadaan telah menjadi semakin buruk, dan kedua belah pihak  pun telah terbagi dalam lingkungan masing-masing, bertebaran di halaman sampai ke jalan-jalan di sepanjang pedukuhan itu. Kalau benar-benar terjadi benturan antara mereka, maka perkelahian akan berlangsung di mana-mana. Di halaman banjar ini, di halaman di sekitarnya, di sepanjang jalan dan di mana saja kedua pihak itu akan bertemu. Dengan demikian maka korban akan tidak terhitung lagi jumlahnya. Dan yang paling menyedihkan bagi Ki Tambak Wedi adalah, rencana yang telah disusunnya selama ini ternyata akan gagal. Karena itu maka seperti orang kesurupan ia berdiri di antara kedua belah pihak yang telah siap untuk bertempur. Dengan mengangkat tangannya tinggi-tinggi ia berteriak,
“Hentikan, hentikan!”
Tetapi Sanakeling dan Sidanti sudah tidak mendengar lagi teriakan itu. Sejenak kemudian terdengar Sanakeling memekikkan perintah untuk maju, dan sekejap kemudian yang terdengar adalah teriakan Sidanti.
“Hentikan! Hentikan!” teriak Ki Tambak Wedi.
“Sanakeling, tarik orang-orangmu. Kau sadar bahwa aku dapat membunuhmu dalam sekejap?”

Tetapi Sanakeling kini sudah tidak berdiri sendiri. Beberapa orang berdiri di sekitarnya dalam suatu kelompok yang rapi. Susunan yang teratur dari suatu sikap perang prajurit-prajurit yang berpengalaman. Dari kelompoknya Sanakeling berteriak,
“Jangan menakut-nakuti, Tambak Wedi. Ayo, cobalah sekarang membunuh Sanakeling. Senapati Jipang yang berkuasa sejak meninggalnya Kakang Raden Tohpati yang bergelar Macan Kepatuhan.”
Dada Ki Tambak Wedi bergetar dahsyat sekali mendengar jawaban itu. Di belakangnya ia melihat Sidanti pun telah bersiap pula dengan seluruh kekuatan Tambak Wedi.
Namun Ki Tambak Wedi menyadari, bahwa orang-orang Jipang mempunyai pengalaman yang lebih baik. Mereka adalah bekas-bekas prajurit Wira Tamtama yang terlatih dan berpengalaman dalam perang-perang yang besar dan bahkan mereka telah membiasakan diri pula perang dalam keadaan yang paling dahsyat sekalipun. Selama mereka berkeliaran sepeninggal Arya Jipang, maka keadaan mereka telah menjadi semakin parah, dan mereka pun menjadi semakin garang menghadapi lawan-lawannya. Tetapi meskipun demikian mereka hanya mempunyai seorang pemimpin yang cukup tangguh, Sanakeling. Sedang di pihaknya ada beberapa orang yang dapat dipercaya. Sidanti, Argajaya dan apabila tidak terelakkan lagi, adalah Ki Tambak Wedi sendiri. Ketika sekali lagi Ki Tambak Wedi mendengar Sanakeling berteriak, maka habislah harapannya untuk melerai pertengkaran itu, dan habis pulalah kesabarannya. Perkelahian antara mereka sudah tidak terelakkan lagi. Meskipun Ki Tambak Wedi itu menyesali perbuatan Sidanti bukan alang-kepalang, namun setelah keadaan menjadi sedemikian, ia tidak dapat mengingkarinya. Ia harus melibatkan diri dan ikut dalam perkelahian itu. Demikianlah maka sesaat lagi ketika sinar fajar telah menjadi kekuning-kuningan, maka kedua pihak itu  pun kehilangan segala macam pertimbangan. Kedua belah pihak telah masak untuk bertempur karena keadaan mereka sehari-hari. Setiap kali mereka merasa saling iri hati, saling mengejek, dan saling menyindir. Kini mereka tidak lagi perlu mengejek dan menyindir, tetapi pedang-pedang mereka segera dapat berbicara. Pertempuran  pun segera berkobar di dalam halaman banjar desa yang tidak begitu luas itu. Sebagian lagi berkelahi di halaman di sekitar banjar itu. Bahkan di jalan-jalan dan di mana saja kedua belah pihak dapat bertemu. Ternyata menghadapi keadaan yang demikian, prajurit-prajurit Jipang segera dapat menyusun diri dalam lingkungan masing-masing. Mereka mampu membuat semacam gelar-gelar kecil meskipun tidak sempurna. Sergapan-sergapan yang tiba-tiba dari arah yang tidak diduga-duga membuat orang-orang Tambak Wedi agak menjadi bingung. Namun sejenak kemudian Ki Tambak Wedi sendiri terjun ke dalam pertempuran itu sambil berteriak,
“Sanakeling. Menyerahlah sebelum orang-orangmu habis binasa di padepokan ini.”
Sanakeling melihat Tambak Wedi itu langsung menyerangnya. Tetapi ia telah cukup mempersiapkan diri menyambut serangan itu. Tidak seorang diri, tetapi sekelompok prajurit-prajurit pilihan. Sepuluh orang bersama-sama dalam satu lingkaran menyongsong hadirnya hantu dari lereng Merapi itu. Sepuluh ujung pedang terjulur lurus ke arah Ki Tambak Wedi yang meloncat menyerang Sanakeling, sehingga serangan itu pun terpaksa diurungkannya. Dalam pada itu Sidanti pun segera melihat keadaan. Ia tidak perlu berada di dekat gurunya. Ia harus mempengaruhi daerah pertempuran yang lain, seperti juga Argajaya segera meloncat menjauhi Ki Tambak Wedi.

Pada sebatang pohon di luar halaman banjar itu, Ki Tanu Metir, Agung Sedayu, Swandaru, dan Wuranta mengamati keadaan dengan hati yang berdebar-debar. Mereka kini melihat orang-orang Jipang dan orang-orang padepokan Tambak Wedi telah bergumul dalam pertempuran-pertempuran yang seru. Sidanti dan Argajaya telah mengambil tempatnya masing-masing, sedang Ki Tambak Wedi masih saja tetap berada di halaman banjar berhadapan dengan Sanakeling. Tetapi lingkaran perkelahian itu menjadi semakin ribut ketika beberapa orang telah berada di sekitar Sanakeling pula untuk bersama-sama melawan Ki Tambak Wedi. Sejenak orang-orang yang berada di atas pohon itu melihat perkembangan keadaan. Namun kemudian Ki Tanu Metir itu  pun berkata,
“Marilah kita turun. Perkelahian itu sebentar lagi akan menebar sampai kemari. Apabila kita masih tetap berada di sini, maka kita tidak akan sempat turun.”
Mereka berempat  pun segera turun dengan hati-hati. Apalagi cahaya merah fajar telah menjadi kuning keputih-putihan. Sejenak lagi matahari pasti sudah akan menjenguk di atas ujung-ujung pepohonan. Demikian sibuk orang-orang Jipang dan padepokan Tambak Wedi berkelahi, sehingga mereka tidak melihat orang-orang yang meloncat turun dari pohon itu. Mereka masing-masing hanya melihat ujung pedang lawan yang terarah ke dada masing-masing.
“Perkelahian ini benar-benar seimbang. Orang-orang Jipang mempunyai beberapa kelebihan, tetapi orang-orang Tambak Wedi  pun mempunyai kelebihannya sendiri. Mungkin perkelahian ini akan memakan waktu yang lama, namun korban  pun akan berhamburan seperti babatan alang-alang.”
Agung Sedayu dan Swandaru mengerutkan keningnya, sedang tengkuk Wuranta terasa meremang. Ia belum pernah menyaksikan sendiri perkelahian yang hiruk-pikuk seperti yang terjadi saat itu.
Dalam pada itu Agung Sedayu pun bertanya,
“Lalu apa yang harus kita lakukan, Kiai?”
“Kalian bertiga pergi ke tempat Sekar Mirah. Aku akan tetap di sini melihat keadaan. Apabila keadaan telah memungkinkan, aku akan memberi tanda kepada Angger Untara. Aku harap mereka telah siap di mulut padepokan ini. Dan mudah-mudahan sebentar lagi pasukannya yang berjalan kaki telah sampai pula di sini.”
Agung Sedayu, Swandaru, dan Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini mereka baru jelas akan perhitungan Ki Tanu Metir. Ternyata perhitungannya kini telah mendekati kebenaran. Orang-orang Jipang dan orang-orang Tambak Wedi saling bertempur sendiri. Ketiga anak muda itu dapat membayangkan, bagaimanakah akhir dari peristiwa ini. Untara akan hadir sebagai pihak ketiga. Dan pertempuran akan menjadi semakin kisruh. Hanya prajurit-prajurit Pajang cukup berpengalaman sajalah yang akan dapat menyesuaikan dirinya dalam keadaan yang demikian.
“Apakah Kiai akan segera memberikan tanda itu?”
“O, jangan tergesa-gesa, Ngger. Kita menunggu kekuatan yang ada di padepokan ini berkurang. Sebentar lagi maka orang-orang Jipang dan orang-orang padepokan ini akan sudah menjadi jauh susut. Dalam pertempuran serupa ini, maka korban akan cepat sekali berjatuhan,”
Agung Sedayu tidak menjawab. Yang menyahut kemudian adalah Swandaru,
“Biarlah, kita biarkan saja mereka menumpas diri mereka sendiri.”
“Hal itu memang mungkin sekali terjadi, Ngger. Orang yang terakhir akan berdiri di atas timbunan bangkai kawan dan lawan. Tetapi jangan dibiarkan hal itu terjadi. Apabila menurut perhitungan Angger Untara sudah mampu mengatasi keadaan, maka biarlah ia menghentikan pertempuran ini. Biarlah mereka tidak berlarut-larut saling membantai dengan luapan dendam tiada taranya.”
Swandaru mengerutkan keningnya. Dipandanginya gurunya dengan pertanyaan yang memancar dari matanya.
“Kalau kita biarkan hal ini terjadi, Ngger, itu adalah karena terpaksa harus kita lakukan. Sebenarnya kita sama sekali tidak menghendaki. Tetapi, jalan lain tidak kita ketemukan untuk segera dapat menyelesaikan persoalan ini, sehingga mereka yang terlampau bernafsu dalam kepentingan sendiri, terpaksa kita korbankan. Tetapi pembunuhan yang mengerikan seterusnya sedapat mungkin harus dicegah.”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar keterangan gurunya, sedang Wuranta menekurkan wajahnya. Tetapi Swandaru masih saja belum mengerti. Dalam persoalan seperti ini, maka apabila terjadi pembunuhan, bukankah itu salah mereka yang saling berbunuhan itu sendiri? Namun Swandaru itu tidak bertanya lagi. Disadarinya bahwa waktu sudah menjadi kian sempit.
“Nah, sekarang pergilah kalian ke tempat Sekar Mirah. Aku tetap di sini untuk pada waktunya memanggil Angger Untara.”
“Baiklah, Kiai,” sahut ketiga anak-anak muda itu bersamaan.
Dan mereka  pun kemudian meninggalkan halaman itu dengan hati-hati. Mereka berjalan di sepanjang halaman, meloncati dinding-dinding batu dan berlindung di balik rimbunnya rumpun-rumpun bambu liar. Tetapi cahaya pagi semakin lama menjadi semakin terang. Sekali-sekali mereka mendengar derap orang berlari-lari, sehingga mereka terpaksa mengendapkan diri mereka. Orang-orang itu adalah orang-orang padepokan Tambak Wedi yang terlambat datang ke banjar desa karena tugas-tugas mereka. Ketika mereka mengetahui bahwa perkelahian telah berkobar dari kawan-kawan mereka yang sengaja berkeliling padepokan untuk memberitahukan tentang hal itu, maka mereka  pun meninggalkan tugas-tugas mereka dan berlari-lari pergi ke banjar desa untuk segera melibatkan diri dalam perkelahian yang semakin lama menjadi semakin hiruk-pikuk. Ketika ketiga anak-anak muda itu meloncat masuk ke halaman belakang rumah yang diperuntukkan bagi Sekar Mirah, maka hati mereka menjadi berdebar-debar. Sesaat mereka tertegun. Dengan berbisik Swandaru bertanya,
“Lalu, apakah yang akan kita lakukan atas Sekar Mirah. Apakah anak itu kita ambil dan kita bawa ke luar?”
“Jangan,” sahut Agung Sedayu,
“kita menunggu Ki Tanu Metir. Selama ini kita awasi saja rumah itu, untuk menjaga keselamatannya.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia agaknya masih ragu-ragu. Apakah dengan menunggu Ki Tanu Metir, mereka tidak akan terlambat. Bagaimanakah seandainya kemudian Sidanti memerintahkan atau ia sendiri datang bersama orang-orangnya untuk mengambil gadis itu.
Agung Sedayu agaknya melihat keragu-raguan itu. Maka katanya pula,
“Kita tidak tahu pasti maksud Ki Tanu Metir. Bukankah Ki Tanu Metir berkata, bahwa kita akan membawa Sekar Mirah lewat jalan yang aman dan lapang, hanya apabila terpaksa kita akan mencobanya lewat urung-urung itu.
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun ia masih juga ragu-ragu tetapi ia tidak memaksanya, tetapi ia kemudian berkata,
“Kalau demikian, marilah kita mendekat, supaya kita melihat apa yang terjadi di dalam gubug kecil itu.”
Agung Sedayu tidak berkeberatan dengan pendapat Swandaru itu. Sebenarnya ia  pun terlampau mencemaskan nasib gadis itu. Maka jawabnya,
“Marilah. Kita menungguinya di belakang rumah. Bukankah begitu, Kakang Wuranta?”
“Marilah,” sahut Wuranta sambil menganggukkan kepalanya.
Ketiganya  pun kemudian merayap semakin dekat. Mereka kemudian duduk di belakang serum pun perdu. Tetapi hati mereka sama sekali tidak tenteram ketika mereka masih juga mendengar gadis itu menangis.
“Semalam suntuk ia menangis,” desis Wuranta.
“Kasihan,” sahut Swandaru,
“anak itu anak bengal. Setiap kali aku selalu bertengkar dan berkelahi di rumah. Tetapi aku menjadi sangat beriba hati melihatnya kini.”
“Apakah salahnya kalau kita masuk?” tiba-tiba Agung Sedayu berbisik.
“Kita berada di dalam. Kita sudah terlanjur berada di sarang lawan. Apa  pun yang terjadi harus kita tanggungkan.”
Sejenak Swandaru memandangi wajah Agung Sedayu. Dan sesaat kemudian ia berkata,
“Itu adalah pendapat yang paling baik. Mari kita masuk.”
“Aku sudah mempunyai jalan yang paling baik untuk memasuki rumah itu,” berkata Wuranta.
“Jangan lewat pintu depan. Sidanti pasti masih menempatkan satu dua pengawas di sekitar tempat ini. Biasanya di rumah di muka rumah ini,” berkata Wuranta.
Agung Sedayu dan Swandaru memandanginya sejenak,
“Jalan manakah yang kau maksud?”
“Aku kira jalan yang telah dipergunakan oleh Alap-alap Jalatunda,” jawab Wuranta.
“Lihatlah sudut rumah itu.”

Karena cahaya pagi telah memercik ke atas padepokan Tambak Wedi itu pula, maka segera mereka melihat bahwa sudut rumah itu telah terbuka.
“Hem,” Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba ia menjadi tergesa-gesa untuk segera menemui adiknya. Maka katanya,
“Marilah. Apalagi yang kita tunggu? Kalau sebentar lagi Sidanti datang kemari, biarlah aku menyambutnya.”
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi kalimat itu telah menumbuhkan kekaguman di hati Wuranta. Katanya di dalam hati,
“Anak muda putera Ki Demang Sangkal Putung ini agaknya seorang anak muda yang pilih tanding. Kebenciannya kepada Sidanti sampai ke ujung ubun-ubun. Dan agaknya ia mampu mengimbanginya.” Tetapi Wuranta itu tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Mereka bertiga  pun kemudian pergi ke sudut rumah. Perlahan-lahan Swandaru merenggangkan dinding.
“Dinding ini memang sudah terbuka,” bisiknya perlahan-lahan.
“Masuklah,” sahut Agung Sedayu.
Dengan hati-hati Swandaru yang gemuk itu  pun merangkak masuk. Tetapi agaknya jalan itu terlalu sempit baginya, sehingga anak yang gemuk itu mendapatkan sedikit kesulitan.
“Tolong, tariklah dinding ini. Bajuku terkait,” desis Swandaru.
Tetapi ternyata kata-katanya itu telah mengejutkan Sekar Mirah yang sedang terisak-isak. Ketika ia bangkit dan memandangi sudut rumah itu, dilihatnya sesosok bayangan merangkak masuk. Maka tanpa sesadarnya gadis itu  pun menjerit sekuat-kuat tenaganya. Ia menjadi sangat ketakutan dan ngeri. Terasa seakan-akan Alap-alap Jalatunda atau Sidanti-lah yang datang itu.
“He,” Swandaru  pun terkejut sehingga ia  pun berkata lantang, “Kenapa kau berteriak Mirah.”
Bukan kepalang terkejut gadis itu mendengar suara yang sudah dikenalnya baik-baik. Suara yang selalu mengganggunya di Kademangan Sangkal Putung. Suara yang selalu mengejeknya dan memarahinya setiap saat. Tetapi dalam keadaan serupa itu, maka suara itu seakan-akan suara panggilan dari dunia yang lepas bebas, panggilan dari kampung halaman.
Begitu besar pengaruh suara itu, sehingga justru sekali lagi Sekar Mirah berteriak,
“Kakang, Kakang Swandaru.”
“Hus, anak bodoh,” bentak Swandaru, “jangan berteriak-teriak.”
Tetapi Sekar Mirah tidak mendengarnya. Dengan penuh luapan perasaan ia berkata,
“Kau datang Kakang. Bukankah kau akan mengambil aku dan membawa aku kepada ayah dan ibu kembali?”
“Ya, ya,” potong Swandaru,“tetapi jangan berteriak-teriak.” Kemudian kepada Agung Sedayu ia berkata,
“Kakang, tolong, bajuku terkait. Anak gila itu malahan berteriak-teriak saja. Kalau aku dekat, aku bungkam mulutnya.”

Dengan tergesa-gesa dan tangan gemetar Agung Sedayu menarik dinding bambu di sudut rumah itu. Dengan demikian maka kini Swandaru dapat merangkak masuk. Ketika ia berdiri dan berjalan mendekati Sekar Mirah, maka Sekar Mirah  pun segera mengenalnya pula. Anak yang gemuk bulat itu. Maka dengan serta-merta Sekar Mirah  pun berlari, menubruk dan memeluknya seperti kanak-anak yang manja. Sambil menangis sejadi-jadinya ia berkata,
“Kakang, Kakang, bawa aku kembali. Bawa aku kembali kepada ayah dan ibu.”
Sesaat Swandaru tidak dapat mengucapkan kata-kata. Dibiarkannya Sekar Mirah menangis di dadanya. Bahkan terasa matanya  pun menjadi pedih. Sejenak kedua kakak beradik itu tenggelam dalam keadaan yang demikian. Mereka sama sekali tidak mengucapkan kata-kata, tetapi isak Sekar Mirah melontarkan harapan untuk dapat menikmati masa depannya yang masih panjang. Masa depan yang cerah. Gadis itu merasa bahwa seolah-olah mereka telah berada kembali di Kademangan Sangkal Putung, di rumah ayah dan ibunya. Tetapi gadis itu terkejut ketika ia mendengar dinding di sudut rumah itu berderik. Ketika ia berpaling, ia melihat sesosok bayangan yang lain sedang memasuki rumah itu.
“Kakang,” katanya, “siapakah orang itu?”
Tetapi Swandaru tidak perlu menjawab. Orang yang merangkak itu kini telah berdiri. Dalam keremangan pagi dalam gubug yang tertutup itu, Sekar Mirah melihat seorang anak muda berdiri di hadapannya. Sekali lagi anak itu terkejut seperti pada saat ia melihat kakaknya masuk.
“Jadi, kau tidak sendiri kakang?” Swandaru menggeleng.
“Bukankah itu Kakang Agung Sedayu?”
Swandaru mengangguk. “Ya,” gumamnya.
“Oh,” tiba-tiba Sekar Mirah itu melepaskan kakaknya. Ia ingin meloncat untuk mendapatkan Agung Sedayu. Tetapi langkahnya tertegun karena tangannya ditahan oleh Swandaru. Sekar Mirah mencoba untuk menarik tangannya, tetapi pegangan Swandaru cukup kuat, sehingga tangan itu tidak terlepas dari pegangannya.
Baru sesaat kemudian Sekar Mirah menyadari kegadisannya. Wajahnya tiba-tiba menjadi kemerah-merahan. Ditundukkannya kepalanya dalam-dalam. Dan kembali ia menyembunyikan wajahnya di dada kakaknya. Ia merasa bersyukur bahwa kakaknya telah menahannya, sehingga ia tidak merasa malu untuk seterusnya, apabila ia bertemu dengan Agung Sedayu. Agung Sedayu sendiri menundukkan wajahnya pula. Anak muda itu benar-benar telah membeku. Ia tidak tahu apa yang sebaiknya dilakukan dan apa yang harus dikatakan. Karena itu ia berdiri saja seperti patung. Di belakang Agung Sedayu, Wuranta telah berdiri pula di dalam rumah itu. Terasa sesuatu berdesir di dalam dadanya. Ia merasa aneh untuk mengenali dirinya sendiri. Ketika ia melihat sikap Sekar Mirah terhadap Agung Sedayu, meskipun Swandaru tidak melepaskannya, namun ia menangkap hubungan yang lain antara keduanya. Hubungan bukan saja hubungan karena keadaan yang menyentak seperti saat itu. Tetapi hubungan yang telah cukup lama dan bukan hanya sekedar sentuhan yang baru-baru saja pada permukaan pandangan. Tetapi hubungan itu adalah hubungan yang telah menghunjam dalam-dalam di dalam dada masing-masing.


Halaman 1 2 3


<<< Jilid 022                                                                                                       Jilid 024 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar