Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Agaknya Untara telah menemukan pengalaman baru di dalam sikapnya, sehingga ia bukan lagi Untara yang terlampau tajam. Meskipun demikian, masih tampak pada sikap dan kata-katanya, Untara adalah seorang senapati perang, yang pada saat-saat tertentu pasti akan tampil dalam sikap dan tindakan-tindakan seorang senapati.
“Apakah Kiai
bersedia membantu kami dan Paman Widura di dalam hal ini?” desak Untara.
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Aku tidak
berkeberatan. Aku akan membantu Anakmas.” Kiai Gringsing berhenti sejenak.
Ditatapnya wajah Sumangkar yang juga sedang mengangguk-angguk, lalu katanya,
“Dan kami
sudah mulai melihat sesuatu, yang barangkali penting Anakmas ketahui.”
Untara menjadi
tegang sejenak, lalu,
“Maksud Kiai,
sesuatu yang menyangkut persoalan yang kita bicarakan ini?”
Kiai Gringsing
pun mengangguk. Lalu dikatakannya apa yang dilihatnya di dalam perjalanannya ke
Jati Anom.
“Apakah
mungkin para prajurit yang sedang nganglang berhenti dan membuat perapian?”
Kiai Gringsing mencoba bertanya.
“Tidak, tentu
tidak mungkin,” Untara merenung sejenak.
“Itulah yang
penting. Memang persoalan-persoalan yang kadang-kadang tidak pernah kita duga
sebelumnya. Aku akan memerintahkan para prajurit untuk menelitinya.”
“Jangan
tergesa-gesa, Anakmas. Seperti yang kau katakan, bahwa prajurit-prajurit itu
sebagian telah bersikap keras menghadapi ketegangan antara Pajang dan Mataram.
Ketegangan yang justru tumbuhnya dari atas.”
“Jadi?”
“Biarlah kami
melihatnya. Nanti malam kami akan mencoba meyakinkan, apakah sebenarnya yang
telah kami lihat itu.”
Untara
mengerutkan keningnya. Namun ia pun mengangguk-angguk sambil berkata,
“Baiklah. Jika
Kiai memerlukan, kami dapat menyediakan beberapa orang prajurit.”
Tetapi Kiai
Gringsing menggelengkan kepalanya. Jawabnya,
“Jangan
menimbulkan kesan yang tegang, agar upacara perkawinan Anakmas dapat berjalan
dengan tenang. Kami hanya memerlukan ijin Anakmas. Dan kami akan mencoba
berbuat dengan hati-hati, karena kami sadari, di mana kami sedang berdiri.”
Untara menarik
nafas dalam-dalam. Adalah di luar kebiasaannya untuk begitu saja mempercayakan
tugas yang berat kepada orang lain, bukan kepada lingkungannya. Ia mempunyai
sekelompok petugas sandi yang dapat melakukan tugas-tugas serupa itu. Namun
demikian, benar juga kata Kiai Gringsing. Jika ia memerintahkan pasukan
sandinya dan menemukan sesuatu yang dianggapnya penting, maka akan timbul
ketegangan dalam lingkungan prajurit Pajang. Ketegangan itu tentu akan
berpengaruh pada hari perkawinannya yang segera akan berlangsung. Sejenak
Untara merenungi kata-kata Kiai Gringsing. Namun kemudian ia mengangguk-anggukkan
kepalanya sambil berkata,
“Aneh sekali.
Tiba-tiba saja aku setuju dengan pendapat Kiai. Namun hal itu justru karena aku
sudah mengenal Kiai berdua bersama murid-murid Kiai.”
“Terima kasih
atas kepercayaan ini. Nanti malam kami akan mencoba mengetahui apa yang
sebenarnya telah dilakukan oleh orang-orang yang membuat perapian di hutan
itu.”
“Silahkan
Kiai. Tetapi kami berharap, bahwa tidak akan timbul salah paham dengan
petugas-petugas sandi dari Pajang. Jika kalian terpaksa berselisih pendapat, maka
kalian harus berkata berterus terang, bahwa kalian mendapat tugas khusus dari
aku, dari senapati di daerah Selatan ini, supaya persoalan kalian dikembalikan
kepadaku. Aku berharap, agar kalian tidak bertindak langsung terhadap petugas
sandi itu, karena aku yakin bahwa tidak ada seorang pun dari petugas-petugas
sandi Pajang yang dapat berbuat seperti Kiai.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Memang tugas di medan yang sedang dibayangi oleh ketegangan
ini memerlukan kewaspadaan yang tinggi, karena kadang-kadang petugas-petugas
khusus semacam yang akan mereka jalani itu dapat mengakibatkan, justru mereka
harus berhadapan dengan berbagai pihak.
Namun Kiai
Gringsing memahami pesan itu, sehingga karena itu, maka ia pun mengangguk-anggukkan
kepalanya sambil berkata,
“Baiklah,
Anakmas. Kami akan melakukan semua pesan Anakmas. Dan karena itulah, maka sore
nanti kami minta diri untuk kembali ke Sangkal Putung, agar kepergian kami
tidak menimbulkan kecurigaan.”
Untara
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Silahkan.
Kiai dapat menempuh jalan yang mana pun yang baik bagi Kiai. Namun sebelumnya,
Kiai dapat bertemu dengan Ki Lurah Branjangan, sekedar memperkenalkan diri.”
Kiai Gringsing
memandang Sumangkar sejenak, namun kemudian ia mengangguk pula sambil berkata,
“Baiklah. Aku
akan memperkenalkan diri dengan salah seorang petugas dari Mataram. Aku kira
Mataram memang perlu menyusun jaringan pengamanan bagi diri mereka sendiri.”
“Ya, tetapi
Mataram masih berada di dalam lingkungan Pajang, sehingga tanggung jawab
keamanannya seluruhnya masih menjadi tanggung jawabku.”
Kiai Gringsing
mengerutkan keningnya, namun kemudian ia pun menyahut,
“Ya, ya.
Memang segala sesuatunya, Mataram harus mempertanggung-jawabkannya kepada
Pajang, dalam hal ini kepada senapati yang mendapat tanggung jawab di daerah
Selatan, yang langsung berhadapan dengan Mataram.”
“Bukan yang
berhadapan dengan Mataram,” sahut Untara,
“tetapi yang
kekuasaannya meliputi Mataram.”
“O,” sekali
lagi Kiai Gringsing mengangguk-angguk,
“ya, yang
kekuasaannya meliputi daerah Selatan sampai ke Alas Mentaok.”
Tampak wajah
Untara menegang sedikit. Namun ia pun kemudian berusaha untuk menghilangkan
segala kesan itu. Sambil tersenyum Untara berkata,
“Kiai benar.
Kekuasaanku sampai ke Alas Mentaok dengan segala isi dan perkembangan yang
terjadi atasnya, karena bentuk penyerahan Sultan Pajang kepada Ki Gede
Pemanahan masih belum jelas.”
Kiai Gringsing
tidak menyahut lagi, selain mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekilas ia
memandang Sumangkar, dan Sumangkar pun ternyata baru mengangguk-angguk. Mereka
tidak dapat berbuat lain daripada menangkap siratan sikap Untara yang
sebenarnya sebagai seorang prajurit Pajang. Sejenak kemudian kedua orang tua
itu pun diperkenalkan dengan Ki Lurah Branjangan. Namun ternyata pertemuan Ki
Lurah Branjangan dengan Ki Sumangkar telah menumbuhkan keheranan sejenak.
Tetapi sejenak kemudian Ki Lurah Branjangan tersenyum sambil tertawa,
“Ki Sumangkar,
aku sudah mendengar pengampunan khusus dari Sultan Pajang atasmu.”
Sumangkar
hanya tersenyum saja, sementara Kiai Gringsing bertanya,
“Jadi kalian
sudah saling mengenal?”
Sumangkar
mengangguk. Katanya,
“Aku
mengenalnya sebagai Ki Lurah Mudal.”
“Nama itu
terlalu jelek. Ki Widura lebih senang menyebut aku Ki Lurah Branjangan.”
Demikianlah,
mereka sempat berbicara sejenak dengan akrabnya, seolah-olah mereka bertemu
dengan kawan sendiri dari lingkungan yang sama.
Ketika
kemudian matahari menjadi semakin rendah, maka Kiai Gringsing dan Sumangkar pun
segera minta diri. Mereka berpura-pura akan kembali ke Sangkal Putung bersama
Agung Sedayu dan Swandaru. Hanya Untara dan Widura sajalah yang mengetahui,
bahwa mereka berniat untuk mengintai orang-orang yang tidak dikenal yang telah
membuat perapian di hutan yang terbentang di pinggir jalan, antara Sangkal Putung
dan Jati Anom.
“Bagaimana
dengan kuda-kuda ini?” bertanya Swandaru ketika mereka mendekati hutan rindang
itu.
“Apakah
kuda-kuda ini tidak justru mengganggu?”
Kiai Gringsing
mengerutkan keningnya, lalu,
“Kita ikat
kuda-kuda itu agak jauh dari hutan.”
Mereka
berempat pun kemudian menuju ke sebuah pategalan di ujung hutan. Mereka
mengikat kuda-kuda mereka di tengah pategalan dan tersembunyi, sehingga tidak
mudah diketahui oleh orang-orang yang lewat di pinggir pategalan itu.
“Bagaimana
kalau pemiliknya menengok pategalan ini di malam nanti?” bertanya Swandaru.
“Jarang sekali
seseorang pergi ke pategalan yang kebetulan sedang mulai ditanami. Jika pohung
ini menjelang mengambil buahnya, barulah setiap kali mereka menengok di malam
hari.”
“Kita menunggu
gelap di sini?” bertanya Agung Sedayu tiba-tiba.
“Ya, kita
menunggu gelap di sini. Tempat ini terlindung oleh pepohonan yang cukup
rimbun,” sahut gurunya.
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil berjalan hilir-mudik, dicobanya untuk
membayangkan apa yang akan mereka lakukan, apabila hari menjadi gelap. Tiba-tiba
saja ia berhenti dan bertanya kepada gurunya,
“Apakah
mungkin orang yang membuat perapian itu orang-orang yang tidak dikenal di
daerah ini, Guru?”
Gurunya
menganggukkan kepalanya.
“Ya,”
jawabnya, “agaknya mereka orang asing di sini.”
“Jika mereka
orang asing, apakah perapian itu tidak mengundang para peronda untuk
mendekatinya?”
“Bukankah
mereka berada di tempat yang terlindung agak menjorok masuk. Dan menurut
perhitungan mereka, para peronda dari Jati Anom tidak akan sampai ke tempat
mereka membuat perapian itu.”
“Agaknya
memang demikianlah,” sambung Sumangkar.
“Ternyata
tidak seorang peronda pun yang pernah melaporkan tentang perapian kepada
Untara.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya pula.
“Dan sebentar
lagi kita akan melihat, siapakah sebenarnya mereka itu.”
Ketika
matahari menjadi semakin rendah dan hilang di balik cakrawala, maka mereka pun
segera mulai bersiap-siap. Mereka harus mendahului orang-orang yang ingin
mereka ketahui keadaannya itu. Karena itu, ketika malam mulai turun, mereka
berempat pun segera meninggalkan kuda-kuda mereka. Dengan hati-hati mereka
berjalan menuju ke hutan yang tidak begitu lebat, yang membentang di sebelah
jalan ke Sangkal Putung.
“Bagaimana
jika ada harimau yang sampai ke pategalan itu, Guru?” bertanya Swandaru.
“Kemungkinan
itu kecil sekali. Terlalu jauh bagi seekor harimau. Kecuali apabila harimau itu
benar-benar kelaparan. Tetapi mudah-mudahan tidak ada seekor harimau yang pergi
ke pategalan, karena biasanya mereka tidak akan menjumpai apa pun di sana.
Agaknya harimau-harimau yang kelaparan lebih senang pergi ke padesan untuk
mencuri ternak.”
Mereka
berempat pun segera masuk ke dalam daerah hutan yang sudah menjadi gelap.
Mereka menempatkan diri mereka di tempat yang cukup terlindung, tetapi mereka
dapat melihat lapangan rumput yang diselingi oleh pohon-pohon perdu di luar
hutan sampai ke pinggir jalan. Dari kegelapan mereka akan dapat melihat
bayangan yang bergerak-gerak di tempat yang terbuka, apabila orang-orang itu
benar-benar datang lagi ke sekitar tempat itu. Untuk memperluas jarak jangkau
pengamatan mereka, maka mereka berempat tidak berada di tempat yang sama. Kiai
Gringsing dan Swandaru memanjat sebatang pohon yang tidak jauh dari bekas
perapian yang mereka ketemukan agak menjorok ke dalam, sedang Ki Sumangkar dan
Agung Sedayu berada di dalam semak-semak, justru di bibir hutan itu.
“Apakah mereka
akan kembali, Guru?” bertanya Swandaru.
“Kita tidak
tahu,” jawab gurunya,
“tetapi aku
mengharap mereka akan kembali. Mereka akan membuat perapian lagi, dan berbicara
tentang tugas-tugas mereka.”
Swandaru
menganggukkan kepalanya.
“Tetapi memang
mungkin pula mereka menemukan tempat lain yang lebih baik. Dan apabila
demikian, kita akan sia-sia semalam suntuk di tempat ini,” sambung gurunya.
Swandaru
mengerutkan keningnya Tetapi ia hanya berdesah di dalam dirinya,
“Jika
demikian, kamilah yang lebih bodoh dari orang-orang itu.”
Namun keduanya
tidak berbicara lagi. Swandaru duduk di atas dahan yang besar, bersandar
batangnya yang condong, sedang gurunya duduk sambil berjuntai, seperti sedang
duduk di sebuah ayunan yang tergantung tinggi-tinggi. Agung Sedayu dan
Sumangkar pun tidak banyak berbicara. Mereka lebih memusatkan perhatian mereka
kepada keadaan di sekitarnya, sehingga mereka tidak ubahnya seperti
patung-patung yang membeku. Mereka mulai menjadi gelisah, ketika malam menjadi
semakin malam, namun tidak seorang pun yang tampak lewat di dekat mereka,
apalagi berhenti dan membuat perapian. Tetapi meskipun demikian, mereka masih
tetap menahan hati, karena mereka masih berpengharapan, bahwa mereka tidak akan
gagal. Selagi mereka termangu-mangu menunggu orang-orang yang belum mereka
ketahui dengan pasti itu, tiba-tiba Kiai Gringsing yang duduk berjuntai di atas
sebatang dahan itu mengerutkan keningnya. Kemudian digamitnya Swandaru yang
duduk terkantuk-kantuk.
“Ssst, jangan
tidur,” desisnya.
Swandaru
menggelengkan kepalanya, “Tidak, aku tidak tidur.”
“Lihatlah,”
bisik gurunya kemudian.
Swandaru
mengangkat wajahnya mencari sesuatu di dalam rimbunnya dedaunan.
“Bukan di
sana, tetapi lihat itu.”
“Api,” desis
Swandaru dengan serta merta sambil membelalakkan matanya.
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Di sela-sela batang pepohonan mereka melihat
samar-samar nyala api di dalam kegelapan. Meskipun tidak tepat di tempat yang
kemarin, tetapi perapian itu tidak berada terlalu jauh.
“Marilah kita
melihat,” bisik Swandaru.
“Jangan
tergesa-gesa. Kita belum tahu, siapakah mereka itu. Jika mereka memiliki
kemampuan indra yang melampaui manusia biasa, maka kita harus sangat
berhati-hati. Tetapi mudah-mudahan mereka orang-orang biasa seperti kita.”
Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun di dalam hatinya ia berkata,
“Guru juga
orang yang melampaui kewajaran manusia yang lain.”
Sejenak Kiai
Gringsing masih tetap berada di tempatnya. Perapian yang mereka lihat sedikit
bertambah besar, namun kemudian susut kembali. Agaknya orang-orang yang
mengerumuninya berusaha agar perapian itu tidak menjadi begitu besar.
“Apakah Kakang
Agung Sedayu juga melihatnya?” bertanya Swandaru.
Kiai Gringsing
menggeleng. Jawabnya,
“Mungkin
tidak. Tempatnya tidak memungkinkan.”
Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu,
“Apakah kita
akan memberitahukan kepadanya dan Paman Sumangkar?”
“Ya. Aku akan
memberitahukan. Tunggulah kau di sini. Jika ada sesuatu yang penting, kau dapat
memberitahukan kepadaku dengan isyarat.”
“Apakah
isyarat itu?”
“Kau dapat
menirukan suara burung kedasih seperti orang-orang di Alas Tambak Baya?”
“Ya.”
“Nah, itulah isyaratnya
jika perlu sekali. Tetapi aku tidak akan lama, karena mereka berada tidak jauh
dari tempat ini, asal saja mereka tidak berpindah tempat.”
Kiai Gringsing
kemudian, turun dengan hati-hati. Ketika ia sudah berdiri di tanah, ia tidak
segera bergeser. Dengan ketajaman panca inderanya ia meyakinkan lebih dahulu,
bahwa tidak ada orang yang berada di sekitar tempat itu. Baru setelah ia yakin
benar-benar bahwa tidak ada seorang pun yang melihatnya, maka Kiai Gringsing
itu mulai bergeser mendekati tempat Sumangkar dan Agung Sedayu bersembunyi. Ternyata
mereka berdua tidak beranjak dari tempatnya. Namun karena Sumangkar tidak tahu,
bahwa Kiai Gringsing akan datang kepadanya, maka desir dedaunan yang tersentuh
oleh tubuh Kiai Gringsing membuatnya bersiap-siap. Bahkan digamitnya Agung
Sedayu yang duduk di sampingnya. Agung Sedayu pun kemudian mempersiapkan
dirinya pula. Suara desir itu lambat laun didengarnya pula. Namun mereka berdua
itu menarik nafas, ketika mereka mendengar suara Kiai Gringsing lirih,
“Adi Sumangkar?”
“Kiai
Gringsing?” Sumangkar menyahut.
“Ya. Aku.”
Sumangkar pun
kemudian bergeser ketika Kiai Gringsing menjadi semakin dekat di luar gerumbul
tempatnya bersembunyi. Sambil menjenguk keluar ia berkata,
“Apakah Kiai
melihat sesuatu?”
“Ya. Aku sudah
melihat sesuatu.”
“O, adakah
mereka lewat di dekat tempat Kiai bersembunyi di hutan itu?”
Kiai Gringsing
menggeleng,
“Tidak. Aku
tidak melihat mereka lewat. Mungkin mereka mengambil jalan lain. Tetapi aku
sudah melihat perapian itu.”
“Jika
demikian, mereka sudah ada di tempatnya.”
“Perapian itu
bergeser sedikit.”
“Jadi, maksud
Kiai?”
“Marilah, kita
melihat apa yang mereka lakukan.”
Sumangkar pun
kemudian menggamit Agung Sedayu dan memberinya isyarat untuk mengikutinya.
“Agung
Sedayu,” berkata Kiai Gringsing kemudian,
“Kau mengawani
Swandaru di atas dahan pohon itu. Aku dan pamanmu Sumangkar akan melihat,
siapakah yang telah membuat perapian itu?”
“Kenapa kami
tidak ikut melihatnya pula, Guru?” bertanya Agung Sedayu yang menjadi kecewa
karenanya. Ia sudah sampai ke tempat itu dan duduk di dalam semak-semak. Tetapi
tiba-tiba ia tidak diperbolehkan ikut mengetahui siapakah sebenarnya yang
berada di sekitar perapian itu.
Kiai Gringsing
dapat membaca perasaan kecewa itu. Karena itu maka katanya,
“Baiklah. Tetapi
hati-hatilah. Kau dan Swandaru berada di belakang. Jangan mendekat sebelum aku
memberikan isyarat. Kita masih belum tahu ketajaman indra orang-orang di
sekitar perapian itu.”
Setelah mereka
singgah sejenak untuk memanggil Swandaru, mereka berempat pun segera pergi
mendekati perapian yang samar-samar. Tetapi Agung Sedayu dan Swandaru berada
beberapa langkah di belakang Kiai Gringsing dan Sumangkar.
Dengan
hati-hati sekali, kedua orang tua itu merayap semakin dekat. Setiap langkah,
mereka perhitungkan baik-baik, agar tidak menimbulkan suara yang dapat
mengejutkan atau menunjukkan kepada orang-orang di sekitar perapian itu, bahwa
ada orang yang sedang mengintai. Sementara Agung Sedayu dan Swandaru mengikuti
saja dari jarak yang agak jauh, namun tidak sampai kehilangan arah, karena
malam yang serasa menjadi semakin gelap di dalam rimbunnya hutan yang meskipun
tidak begitu lebat. Akhirnya kedua orang tua-tua itu berhasil mendekati
perapian itu. Mereka berdiri di balik pepohonan sambil mengatur pernafasan, agar
orang-orang di sekitar perapian itu tidak mengetahui kehadiran mereka. Beberapa
saat Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar berada di tempatnya, mereka masih belum
mendengar orang-orang itu berbicara satu patah kata pun. Mereka duduk sambil
menundukkan kepala di sekeliling perapian sambil memanasi badannya.
“Tidak, bukan
hanya badannya,” berkata Kiai Gringsing dan Sumangkar di dalam hatinya ketika
mereka melihat semakin jelas, bahwa dua orang di antara mereka sedang
memanggang beberapa potong daging binatang.
“Apakah mereka
beberapa orang pemburu yang sedang berburu di hutan ini?” bertanya kedua orang
tua-tua itu di dalam hati pula.
Namun mereka
mengerutkan keningnya, ketika mereka melihat kulit domba teronggok di samping
lingkaran itu.
“Tentu bukan
pemburu,” keduanya mendapat kepastian.
“Pemburu-pemburu
tidak akan menyembelih kambing di hutan perburuannya.”
Karena itu,
maka keduanya menjadi semakin bernafsu untuk mengetahui siapakah mereka itu.
Agung Sedayu
dan Swandaru duduk beberapa langkah dari gurunya. Mereka pun melihat merahnya
api di dedaunan dan pepohonan. Namun mereka tidak dapat melihat dengan jelas,
siapa saja yang berada di sekitar perapian itu dan apa saja yang sedang mereka
lakukan. Ketika Swandaru akan berbisik sesuatu, Agung Sedayu meletakkan jari
telunjuknya di bibir anak muda yang gemuk itu, sehingga Swandaru mengurungkan
loncatan kata-katanya yang sudah ada di tenggorokan.
Baru setelah
daging yang mereka panggang di perapian itu masak, terdengar salah seorang dari
mereka berbicara,
“Kita makan sekarang.”
Tidak seorang
pun yang menjawab. Tetapi mereka pun kemudian bergeser sedikit. Salah seorang
dari orang-orang yang mengelilingi perapian itu pun berdiri dan melangkah
beberapa langkah untuk mengambil beberapa bungkus nasi. Kiai Gringsing dan Sumangkar
harus menahan hati mereka. Dengan demikian keduanya harus duduk menunggu sampai
orang-orang itu selesai makan dan berbicara sesuatu, sehingga keduanya
mendapatkan suatu kesimpulan tentang orang-orang itu. Sementara itu yang dapat
dilakukan adalah sekedar menghitung orang-orang itu. Meskipun agak sulit, namun
akhirnya Kiai Gringsing berdesis di dalam hati,
“Tujuh orang.”
Sambil
menunggu mereka makan, maka Kiai Gringsing memberi isyarat kepada Sumangkar
untuk mendapat pertimbangan memanggil murid-muridnya. Menurut penilaiannya,
orang-orang yang berada di perapian itu bukanlah orang-orang yang memiliki
kemampuan melampaui orang kebanyakan. Ki Sumangkar yang mengerti isyarat itu
pun mengangguk, karena ia pun sependapat dengan Kiai Gringsing. Dengan demikian,
maka Agung Sedayu dan Swandaru yang sudah mulai menjadi jemu, kini dapat ikut
serta menunggui orang-orang yang sedang makan itu. Namun dengan demikian mereka
pun menemukan kejemuan baru. Orang-orang yang sedang makan itu membuat Agung
Sedayu dan Swandaru menjadi tidak sabar lagi menunggu. Tetapi mereka harus
memaksa diri duduk saja merenung. Bahkan Swandaru sudah mulai terkantuk-kantuk,
bersandar sebatang pohon, justru membelakangi. orang-orang yang sedang makan
itu. Namun tiba-tiba saja mereka terkejut ketika terdengar, derap kaki kuda di
kejauhan. Semakin lama menjadi semakin dekat. Dan ternyata, bahwa bukan saja
Kiai Gringsing dan muridnya serta Ki Sumangkar sajalah yang terkejut, tetapi
juga orang-orang yang sedang mengelilingi perapian itu. Tiba-tiba saja
terdengar perintah,
“Padamkan
api.”
Beberapa orang
segera berdiri dan mencakup tanah kering dan dihamburkannya di atas perapian,
sehingga sejenak kemudian api itu pun menjadi padam, meskipun masih juga tampak
asap yang mengepul. Namun ketika angin berhembus, asap itu pun segera pecah
berserakan. Derap kaki kuda itu pun menjadi semakin dekat. Tetapi ternyata,
bahwa kuda-kuda itu sama sekali tidak berhenti. Agaknya beberapa orang peronda
telah lewat di jalan yang membujur di pinggir hutan itu.
“Anak setan,”
terdengar salah seorang dari orang-orang yang mengitari perapian yang telah
padam itu mengumpat.
“Malam kemarin
tidak ada seorang pun yang lewat. Sekarang peronda-peronda itu berkeliling
sampai ke tempat ini.”
“Apakah ada
orang yang berhasil mencium kehadiran kita di sini?” bertanya yang lain.
“Aku belum
mendapatkan tanda-tanda itu,” sahut yang mula-mula berbicara, yang agaknya
adalah pemimpin mereka.
“Makanlah,”
desis suara yang lain,
“kita akan
segera pergi.”
“Sudah habis,”
terdengar jawaban.
Namun tiba-tiba
yang lain lagi berkata,
“Nasiku
tumpah. Aku tergesa-gesa berdiri, ketika api perapian itu harus dipadamkan.”
“Tinggal
daunnya,” jawab yang lain,
“aku tahu, kau
makan daging kambing, serta tulangnya sekali. Biasanya kau makan nasi serta
daunnya.”
“Sst,” desis
pemimpin mereka,
“kita masih
harus mengawasi kesiagaan Untara semalam ini. Besok kita dapat memastikan, di
mana kita akan mulai, karena besok lusa, Untara sudah harus pergi ke Pengging.
Sepeninggal Untara kita harus bertindak dengan cepat, supaya kesan yang kita
timbulkan tidak sempat mendapatkan penyelidikannya langsung. Hanya Untara-lah
yang masih dapat berpikir bening menghadapi Mataram. Pada umumnya, para
prajurit sudah diracuni oleh kecurigaan.”
“Bagaimana
dengan Widura?”
“Widura sudah bukan
prajurit lagi. Ia sudah jemu, karena ketuaannya yang semakin mengganggu
tugas-tugas keprajuritannya.”
“Ia belum
terlalu tua.”
Terdengar
suara tertawa pendek. Namun untuk beberapa lamanya tidak terdengar suara yang
lain. Maka sejenak kemudian, hutan itu telah dicengkam oleh kesenyapan. Yang
terdengar adalah suara binatang malam di kejauhan. Suara burung hantu dan
bilalang yang berderik di rerumputan. Yang mula-mula terdengar adalah suara
pemimpin dari orang-orang yang duduk di sekitar perapian yang sudah padam itu,
“Tidak seorang
pun yang dapat membaca pikiran orang lain dengan tepat. Tetapi agaknya Widura
itu pun sudah jemu mengabdikan diri kepada Sultan Adiwijaya. Tetapi karena ia
tidak mau berkhianat, maka lebih baik baginya untuk mengundurkan diri saja dari
lingkungannya.”
“Apakah Ki
Lurah yakin?” tiba-tiba terdengar suara yang berat.
“Aku yakin.
Banyak prajurit yang lari ke Mataram. Lurah Branjangan lari pula di samping Ki
Lurah Mahoni dan Ki Lurah Sarimpat.”
“Tetapi
hubungan Mataram dengan Pajang masih belum dapat diambil kesimpulan apa pun
juga,” suara yang berat itu terdengar lagi.
“Ternyata
menurut beberapa orang petugas kami, Raden Sutawijaya telah mengirimkan
beberapa jodang sumbangan kepada Untara.”
“Kau bodoh
sekali,” berkata pemimpinnya,
“itu sekedar
suatu cara untuk menahan, agar Pajang jangan terlalu cepat bertindak, sebelum
Mataram siap.”
“Begitu?”
“Ya. Dan
adalah tugas kita untuk memancing tindakan Pajang terhadap Mataram. Tepat
setelah Untara meninggalkan Jati Anom.”
Sejenak
kemudian tidak terdengar jawaban sama sekali. Yang terdengar hanyalah
nafas-nafas yang berdesah. Kiai Gringsing dan Sumangkar yang duduk berdekatan
saling memandang sejenak. Tanpa disadarinya keduanya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ternyata yang mereka duga telah benar-benar terjadi. Orang-orang itu
adalah orang-orang yang dengan sengaja ingin menimbulkan benturan langsung
antara Pajang dan Mataram secepatnya. Namun keduanya masih belum dapat
menyatakan pendapatnya. Mereka masih harus menunggu sejenak, untuk melihat
perkembangan yang bakal terjadi.
“Marilah kita
pergi,” terdengar suara pemimpinnya,
“kita melihat
keadaan di Jati Anom. Kita masih mempunyai waktu sampai malam besok. Di dalam
waktu itu kita harus sudah dapat menentukan, apakah yang akan kita lakukan dan
di mana?”
“Sekarang kita
sudah mendapat gambaran itu,” sahut suara yang lain.
Kiai Gringsing
dan Sumangkar bersama kedua anak-anak muda yang mengikutinya itu menjadi
berdebar-debar. Namun mereka menjadi kecewa, karena ternyata orang-orang itu
tidak mengatakan apa pun tentang rencana itu. Bahkan salah seorang dari mereka
berkata,
“Marilah kita
pergi.”
“Kita memutari
Jati Anom dari sebelah Timur. Kita akan mencari kemungkinan yang lebih baik
dari yang telah kita dapatkan apabila mungkin. Kita lewati Lemah Cengkar dan
melihat hutan kecil di sebelahnya.”
“Arah itu
tidak menguntungkan,” sahut yang lain.
“Marilah kita
coba melihatnya.”
Tidak seorang
pun yang menjawab. Di dalam kegelapan, Kiai Gringsing dan Sumangkar hampir
tidak dapat melihat orang-orang itu. Namun pandangan mata mereka yang tajam,
masih juga dapat menangkap bayangan-bayangan yang bergerak-gerak dan kemudian
berjalan meninggalkan tempat itu. Sejenak kemudian, mereka telah benar-benar
hilang di dalam kegelapan terlindung oleh pepohonan. Bahkan langkah kaki mereka
serta desah dedaunan telah tidak terdengar lagi.
Sejenak
kemudian, Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun ia masih harus
berbisik,
“Mereka pergi
ke sebelah Timur Jati Anom.”
“Ya.
Orang-orang itulah yang diperhitungkan oleh Ki Lurah Branjangan,” sahut
Sumangkar.
“Tetapi mereka
mengetahui, bahwa Raden Sutawijaya mengirimkan orang ke Jati Anom.”
“Tetapi mereka
tidak memperhitungkan sejauh Ki Lurah Branjangan dan para pemimpin Mataram.
Mereka hanya sekedar menduga, bahwa Mataram yang agaknya tidak mereka ketahui
siapa orangnya itu telah menyerahkan sebuah bingkisan yang banyak kepada
Untara.”
“Tetapi
siapakah mereka sebenarnya, Guru?” bertanya Agung Sedayu.
“Kami belum
tahu pasti.”
“Apakah mereka
bukan justru orang-orang Pajang sendiri yang menghendaki agar segera mendapat
perintah untuk menghancurkan Mataram.”
Kiai Gringsing
menggeleng,
“Nadanya bukan
orang Pajang. Dan agaknya Untara telah berbicara dengan beberapa orang senapati
yang lain, sehingga para pemimpin prajurit di Pajang mengetahui rencana Ki
Lurah Branjangan. Dan mereka tidak akan dengan membabi buta meneruskan
rencananya untuk mengaku orang-orang Mataram, karena mereka akan segera dikenal
oleh Ki Lurah Branjangan itu.”
“Jadi
kesimpulan Guru?” sahut Swandaru.
“Bukan
orang-orang Pajang, tetapi pasti juga bukan orang Mataram.”
“Apakah
mungkin mereka pengikut-pengikut Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak?”
“Bahkan
mungkin kedudukan mereka lebih tinggi dari para hantu di Alas Mentaok itu,”
sahut Kiai Gringsing.
“Mungkin di
antara mereka terdapat orang yang sebenarnya berada di belakang tabir dan
menggerakkan kendali atas Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak serta orang-orang
yang lain lagi.”
Agung Sedayu
dan Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun tiba-tiba saja Swandaru
bertanya,
“Tetapi, jika
mereka adalah orang-orang yang memiliki kelebihan dari Kiai Telapak Jalak,
apakah mereka tidak sangat berbahaya, Guru? Dan apakah kita akan dapat
mengikutinya dan menyadap pembicaraan mereka?”
“Tentu bukan
orang-orang yang duduk di perapian itu. Maksudku, yang akan memimpin mereka.
Yang memimpin keseluruhan gerak dari orang-orang yang tidak mau melihat Mataram
menjadi tempat yang ramai, seperti juga sebagian orang-orang Pajang yang tidak
mau melihat Mataram menjadi sebuah kota.”
Kedua murid
Kiai Gringsing itu mengangguk-angguk. Tetapi Agung Sedayu masih juga bertanya,
“Guru, apakah
sebabnya Pajang berkeberatan? Bukankah Pati, dan kota-kota di pesisir
berkembang dengan pesat pula? Adipati-adipati di daerah Timur juga menumbuhkan
persoalan-persoalan tersendiri. Tetapi mengapa perhatian Sultan Adiwijaya
justru ditujukan kepada daerah yang baru berkembang. Daerah yang masih terlalu
lemah, dibandingkan dengan daerah para adipati yang sudah tumbuh semakin kuat
itu? Atau barangkali akulah yang sama sekali tidak dapat membayangkan kesiagaan
prajurit Pajang di daerah-daerah lain yang dianggapnya juga bergolak?”
“Tidak, Agung
Sedayu. Perhatian Pajang kini terutama tertuju kepada Mataram.”
“Jika
demikian, kenapa, Guru?”
Kiai Gringsing
menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian,
“Meskipun
kadipaten yang lain lebih kuat dari Mataram sekarang, Agung Sedayu, tetapi di
daerah-daerah itu tidak ada sebuah nama yang mempunyai pengaruh sebesar Raden
Sutawijaya dan Ki Gede Pemanahan. Di daerah pesisir tidak ada seorang pun yang
sangat dihormati oleh Sultan Adiwijaya seperti Ki Gede Pemanahan dan yang
memiliki kemampuan mengemudikan pemerintahan seperti orang tua itu. Itulah
sebabnya, beberapa orang di Pajang menjadi sangat cemas melihat perkembangan
Mataram. Terutama para senapati yang masih tetap menganggap, Pajang sebagai
pusat dari perkembangan tanah ini.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat mengerti keterangan gurunya itu.
Ternyata, bahwa seseorang memang dapat menjadi sangat berpengaruh atas suatu
persoalan yang sedang berkembang. Namun sebelum Agung Sedayu bertanya lebih
lanjut, maka Kiai Gringsing pun berkata,
“Kita
mengikutinya sampai ke Lemah Cengkar.”
“Bagaimana
dengan kuda-kuda itu, Guru?” bertanya Swandaru.
“Biar saja ia
berada di pategalan itu. Tidak akan terjadi apa-apa atas mereka. Mungkin
kuda-kuda itu sekarang sedang tidur dengan nyenyak.”
Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak bertanya lagi.
“Kita akan
memintas, sehingga kita akan mendahului mereka sampai ke Lemah Cengkar,”
berkata Kiai Gringsing kemudian.
“Apakah mereka
tidak juga memilih jalan memintas?” bertanya Agung Sedayu.
“Agaknya
mereka bukan orang yang tinggal di sekitar daerah ini. Mereka tidak mengenal
jalan-jalan sempit di tengah hutan ini.”
“Apakah Guru
mengenalnya?”
“He, bukankah
aku orang Dukuh Pakuwon.”
“O,” Agung
Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Gurunya, yang
juga bernama Tanu Metir, itu memang pernah tinggal di Pakuwon untuk waktu yang
cukup lama, sehingga tidak mustahil, jika dukun tua dari Dukuh Pakuwon itu
mengenal jalan-jalan setapak di daerah ini. Maka mereka berempat pun segera
berangkat menyusuri pinggiran hutan. Namun kemudian mereka pun segera memotong,
setelah mereka menemukan sebuah jalan sempit yang memintas. Mereka menyusup
pepohonan dan pohon-pohon perdu. Tetapi hutan ini tidak seganas Alas Tambak
Baya, apalagi Alas Mentaok. Karena itu, bagi keempat orang itu, perjalanan
mereka bukannya perjalanan yang terlampau sulit. Meskipun demikian, terbersit
juga sebuah kenangan di dalam hati Agung Sedayu. Sejak kecil ia mendengar
ceritera tentang Lemah Cengkar yang angker. Menurut kata orang, di daerah Lemah
Cengkar terdapat seekor harimau putih yang jauh lebih besar dari harimau
kebanyakan. Bahkan lebih besar dari Macan Gembong sekalipun. Sudah tentu, bahwa
menurut ceritera macan putih itu sama sekali bukan harimau sebenarnya, tetapi
harimau jadi-jadian. Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Terkenang pula ketika
ia untuk pertama kali mengikuti kakaknya, Untara. Betapa ia dibayangi oleh
wajah-wajah hantu yang menakutkan. Untunglah, ketika ia berada di Alas Mentaok,
hatinya sudah tabah menghadapi wajah-wajah hantu yang menakutkan itu. Jika
sekiranya ia dilepaskan di daerah Alas Mentaok selagi ia masih dibelenggu oleh
perasaan takutnya, maka ia tidak akan lebih baik dari orang-orang yang
ketakutan di daerah yang sedang dibuka itu. Tetapi kini, Agung Sedayu tidak
lagi dihantui oleh ceritera tentang Macan Putih di Lemah Cengkar. Bahkan
sejenak kemudian, pikirannya sudah beralih kepada orang-orang yang sedang
diikutinya itu.
Setelah
beberapa lama mereka berjalan, maka mereka pun menjadi semakin dekat dengan
daerah Lemah Cengkar. Sebuah hutan kecil terbentang di sebelah Utara daerah
yang masih liar itu. Beberapa batang pohon yang besar tumbuh di antara
kekerdilan semak-semak. Dan di atas sebuah puntuk kecil terdapat sebuah batu
yang aneh. Seolah-olah batu itu diatur oleh tangan manusia dan diletakkannya di
atas gumuk kecil itu.
“Kita menunggu
di sini. Mereka pasti akan melintas jalan ini,” berkata Kiai Gringsing.
Kedua muridnya
dan Ki Sumangkar hanya menganggukkan kepalanya. Mereka percaya, bahwa Kiai
Gringsing seakan-akan memiliki firasat yang sangat tajam. Mereka kemudian
bersembunyi di balik semak-semak untuk menunggu orang-orang yang semula
mengelilingi perapian dan yang kemudian berusaha untuk menemukan pangkal yang
baik bagi usaha mereka mengacaukan Jati Anom.
Ternyata bahwa
perhitungan Kiai Gringsing tidak salah. Sejenak kemudian, mereka telah
mendengar suara ranting-ranting perdu yang berpatahan.
“Kalian di
sini, Agung Sedayu dan Swandaru. Kali ini kita tidak sekedar mengintai
orang-orang yang duduk mengelilingi perapian. Tetapi kita akan mengikuti mereka
bergeser dari satu tempat ke tempat yang lain. Jangan pergi ke mana pun. Aku
berdua bersama Ki Sumangkar akan mengikuti mereka dan akan mencari kalian ke
tempat ini jika kami sudah merasa cukup.”
Ia melihat
kekecewaan membayang di wajah kedua muridnya. Namun kali ini Kiai Gringsing
tidak dapat mempertimbangkan kemungkinan lain yang lebih baik. Betapa pun
kecewa bergejolak di dalam hatinya, namun kedua murid Kiai Gringsing itu harus
mematuhi kata-kata gurunya, karena hal itu pasti sudah dipertimbangkannya
baik-baik. Sesaat kemudian, maka ketujuh orang yang sedang mereka tunggu itu
pun lewat beberapa langkah di hadapan Kiai Gringsing menuju ke rumpun-rumpun
perdu yang lebih lebat di pinggir hutan kecil agak ke Utara. Dengan isyarat,
Kiai Gringsing mengajak Ki Sumangkar untuk segera mengikuti mereka. Tetapi
untuk sementara keduanya tidak berani mendekat, karena mereka masih berada di
tempat yang agak terbuka. Namun ketika kemudian mereka memasuki hutan perdu
yang liar, barulah keduanya berusaha untuk mengikutinya dari jarak yang semakin
dekat.
“Ternyata
tempat ini cukup baik,” desis salah seorang dari mereka.
Tidak ada yang
segera menanggapi. Tetapi mereka berjalan terus menelusuri rumpun-rumpun perdu
yang menjadi semakin lebat, dan kemudian sampai di daerah hutan kecil yang
gelap.
Sesaat
kemudian, pemimpin mereka itu pun berkata,
“Kita berhenti
sebentar. Kita pertimbangkan tempat ini.”
Orang-orang
itu pun kemudian berhenti. Mereka berdiri menghadap ke Jati Anom.
“Kita akan
membuat pertimbangan-pertimbangan,” berkata pemimpinnya,
“apakah tempat
ini lebih menguntungkan atau tidak, dibandingkan dengan hutan mlandingan
sebelah Barat Jati Anom?”
Kawan-kawannya
tidak segera menyahut.
“Kita akan
menyerang Jati Anom dan berusaha membuat kegaduhan sejauh-jauh mungkin. Kita
mengharap betapapun mereka bersiaga, namun mereka akan lengah juga sepeninggal
Untara, karena pengamanan mereka pasti sebagian terbesar mereka tujukan bagi
Untara dan para perwira yang hadir di Jati Anom dan akan membawa Untara ke
Pengging. Kegaduhan yang timbul pasti akan segera membuat Rangga Parasta marah
dan mempengaruhi Untara untuk segera bertindak setelah hari-hari pertamanya
dilewatinya. Dari tempat ini, kita dapat mencapai Sendang Gabus tanpa
kesulitan. Kita akan menghindari jalan langsung ke Banyu Asri. Yang harus kita
lakukan adalah memasuki rumah Untara. Bukan rumah Widura.”
“Tetapi prajurit
Pajang sebagian terbesar ada di banjar kademangan. Jika kita tidak segera
mencapai rumah Untara, maka para peronda akan sempat membangunkan para prajurit
yang ada di banjar dan juga yang berpencaran di sekitarnya,” sahut seseorang.
“Kita akan
berputar lewat sebelah Selatan. Justru di sebelah Timur Banyu Asri.”
“Jika
demikian, apakah tidak lebih baik kita berada di sebelah Barat. Jika kita
terpaksa harus secepatnya menghilang, kita dapat naik ke lereng Merapi, dan
bersembunyi di sekitar bekas padepokan Tambak Wedi.”
“Tetapi untuk
mencapai rumah Untara yang dipergunakan sebagai tempat tinggal para perwira
itu, kita lebih baik datang dari arah ini. Kita akan membunuh beberapa orang
perwira, kemudian kita dapat menghilang ke Barat, karena jika ada kesempatan
membangunkan para prajurit di banjar, mereka akan datang dari arah Timur.
“Jadi kenapa
kita harus datang dari arah Timur juga?”
“Supaya tidak
menimbulkan kemungkinan ada persiapan lebih dahulu di bagian Barat, jika memang
ada satu dua orang peronda yang melihat salah seorang dari kita yang akan
menyusup masuk. Dan jarak untuk mencapai rumah Untara agaknya lebih aman,
karena pengamanan daerah ini pasti akan ditekankan di daerah Barat, karena
mereka masih harus mengawasi rumah Widura.”
“Jadi kenapa
kita tidak menghindar ke Timur juga?” bertanya yang lain.
“Sudah aku
katakan, jika ada satu dua orang yang sempat membunyikan tengara,
prajurit-prajurit yang ada di banjar akan bangun dan mereka akan datang dari
arah Timur. Namun kita berharap, bahwa mereka masih tetap nyenyak ketika kita
datang.”
Sejenak tidak
ada seorang pun yang segera menyahut. Agaknya mereka sedang merenungi rencana
itu. Daerah ini memang baik mereka jadikan daerah persiapan. Sedang daerah
lereng Merapi adalah daerah yang baik untuk mereka jadikan tempat menghindar.
Batu-batu padas yang besar dan liku-liku lereng yang berselimut batang-batang
perdu memberikan kemungkinan lolos yang sebesar-besarnya. Apalagi mereka sempat
meninggalkan Kademangan Jati Anom, kemudian memasuki alas mlandingan yang
meskipun tidak begitu luas, mereka akan dapat hampir memastikan untuk berhasil
menyelamatkan diri di lereng-lereng yang berbatu padas. Untuk beberapa saat
lamanya orang-orang itu masih berdiam diri sambil mengawasi keadaan di
sekitarnya. Tetapi gelap malam rasa-rasanya menjadi semakin pepat, sehingga
sejenak kemudian, salah seorang dari mereka berkata,
“Aku kira kita
dapat mengajukan rencana ini. Tetapi sebaiknya besok siang kita melihat keadaan
ini untuk mendapatkan kepastian.”
“Di siang
hari?”
“Ya.”
“Berbahaya
sekali.”
“Tentu tidak
perlu kita semua berbareng datang kemari. Aku akan datang dengan seorang dari
kalian.”
“Hanya dua
orang?”
“Ya, tentu
tidak akan menumbuhkan kecurigaan. Adalah merupakan hal yang biasa bila dua
orang berjalan bersama-sama. Apakah yang aneh? Jika kita datang bertujuh,
memang hal itu akan dapat menumbuhkan persoalan.”
Kawan-kawannya
hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang mereka harus melihat keadaan ini
di siang hari supaya mereka dapat memastikan apa yang harus mereka lakukan.
“Marilah, kita
sekarang pergi.”
“Apakah kita
tidak melihat Jati Anom?”
“Tidak ada
yang baru di Jati Anom. Besok pun tidak ada. Tetapi besok kita dapat melihat
Banyu Asri yang sepi, setelah Untara pergi. Lusa kita akan melakukan rencana
kita memasuki Jati Anom itu.”
Tidak ada
seorang pun yang menyahut.
“Marilah,”
gumam pemimpinnya itu sambil melangkah.
Sejenak
kemudian mereka pun berjalan berurutan meninggalkan tempat itu.
Dalam pada
itu, Sumangkar dan Kiai Gringsing yang mengintip mereka, membiarkan mereka
pergi. Mereka sama sekali tidak berbuat sesuatu, selain memandang bayangan yang
kehitam-hitaman itu hilang di dalam kelam. Sejenak kemudian, barulah mereka
berdiri sambil menggeliat. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, Kiai
Gringsing berdesis,
“Rencana yang
baik.”
Sumangkar pun
mengangguk-angguk pula, katanya,
“Tentu rencana
ini di susun oleh orang yang cukup berpengalaman.”
“Ya,” sahut
Kiai Gringsing,
“kita harus
berhati-hati. Kita tidak dapat menghadapi mereka tanpa orang lain.”
“Prajurit-prajurit
itu?”
“Kita harus
berhati-hati. Siapa tahu, bahwa ada orang-orang mereka yang menyusup di dalam
lingkungan keprajuritan.”
Sumangkar
mengangguk-angguk dan mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak segera menemukan
sesuatu untuk mengatasi persoalan itu.
“Marilah, kita
kembali kepada Agung Sedayu dan Swandaru. Barangkali kita akan menemukan sikap
sambil berjalan.”
Keduanya pun
segera kembali ke tempat mereka meninggalkan Agung Sedayu dan Swandaru. Kiai
Gringsing menggeleng-gelengkan kepalanya, ketika dilihatnya Swandaru sedang
tidur dengan nyenyaknya.
“Dapat juga ia
tidur nyenyak,” desis Kiai Gringsing.
Agung Sedayu
tersenyum sambil menjawab,
“Ia kecewa
sekali karena kami tidak boleh ikut serta. Karena itu, lebih baik baginya untuk
tidur saja daripada menggerutu tidak habis-habisnya.”
Kedua orang
tua-tua itu pun tersenyum. Ternyata percakapan itu telah membangunkan Swandaru,
sehingga sambil menggeliat ia berkata,
“Apakah
sekarang sudah fajar pagi?”
“Sudah lewat,”
jawab Agung Sedayu.
Swandaru pun
kemudian berdiri sambil bertanya,
“Di mana
orang-orang itu, Guru?”
“Sudah pergi.”
“Pergi? Dan
kita membiarkan mereka pergi tanpa berbuat apa-apa?”
“Kita tidak
berbuat apa-apa.”
“Kenapa guru?”
Agung Sedayu pun bertanya,
“bukankah
mereka orang-orang yang berbahaya?”
“Ya. Mereka
memang orang-orang yang berbahaya. Tetapi kita tidak dapat berbuat sesuatu atas
mereka itu sekarang. Dengan demikian, kita tidak akan dapat menemukan
kepalanya, kecuali ekornya saja, seperti seekor cicak, meskipun kita mematahkan
ekornya, maka ekor itu akan segera tumbuh kembali.”
Kedua
murid-muridnya tidak menjawab, meskipun mereka belum mengerti alasan gurunya
itu yang sebenarnya.
“Mereka
bukannya orang-orang terpenting dari lingkungan mereka,” berkata Kiai
Gringsing.
“Mereka
hanyalah semacam penunjuk jalan, atau petugas-petugas sandi.”
“Tetapi jika
kita menangkap mereka, maka mereka tidak akan dapat memberikan keterangan lebih
jauh kepada atasan mereka.”
“Ya, karena
mereka tidak kembali kepadanya. Tetapi, bahwa mereka tidak kembali ke pangkalan
itu pasti menimbulkan persoalan bagi mereka. Jika mereka bukan orang-orang yang
sangat dungu, maka mereka pasti akan segera merubah rencana mereka. Perubahan
rencana itu sangat merugikan bagi kita. Sekarang kita sudah dapat mengetahui
rencana ini. Agaknya mereka mendapat kepercayaan penuh untuk menentukan dari
mana mereka datang dan kemana mereka akan pergi. Jika rencana itu berubah, kita
tidak akan dapat mengerti, apakah yang akan mereka lakukan kemudian.”
“Tetapi apakah
kita dapat memastikan, bahwa pendapat orang-orang itu akan diterima oleh
atasannya?”
“Menilik
pembicaraan mereka, mereka adalah satu-satunya kelompok yang mendapat tugas
untuk menentukan garis serangan,” jawab gurunya, namun kemudian,
“tetapi memang
tidak mustahil, bahwa mereka hanya dapat memberikan bahan dan pertimbangan.
Meskipun demikian inti dari rencana itu sudah kita ketahui, sehingga kita dapat
menentukan sikap.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar