Jilid 065 Halaman 3


Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Agaknya Untara telah menemukan pengalaman baru di dalam sikapnya, sehingga ia bukan lagi Untara yang terlampau tajam. Meskipun demikian, masih tampak pada sikap dan kata-katanya, Untara adalah seorang senapati perang, yang pada saat-saat tertentu pasti akan tampil dalam sikap dan tindakan-tindakan seorang senapati.
“Apakah Kiai bersedia membantu kami dan Paman Widura di dalam hal ini?” desak Untara.
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Aku tidak berkeberatan. Aku akan membantu Anakmas.” Kiai Gringsing berhenti sejenak. Ditatapnya wajah Sumangkar yang juga sedang mengangguk-angguk, lalu katanya,
“Dan kami sudah mulai melihat sesuatu, yang barangkali penting Anakmas ketahui.”
Untara menjadi tegang sejenak, lalu,
“Maksud Kiai, sesuatu yang menyangkut persoalan yang kita bicarakan ini?”
Kiai Gringsing pun mengangguk. Lalu dikatakannya apa yang dilihatnya di dalam perjalanannya ke Jati Anom.
“Apakah mungkin para prajurit yang sedang nganglang berhenti dan membuat perapian?” Kiai Gringsing mencoba bertanya.
“Tidak, tentu tidak mungkin,” Untara merenung sejenak.
“Itulah yang penting. Memang persoalan-persoalan yang kadang-kadang tidak pernah kita duga sebelumnya. Aku akan memerintahkan para prajurit untuk menelitinya.”
“Jangan tergesa-gesa, Anakmas. Seperti yang kau katakan, bahwa prajurit-prajurit itu sebagian telah bersikap keras menghadapi ketegangan antara Pajang dan Mataram. Ketegangan yang justru tumbuhnya dari atas.”
“Jadi?”
“Biarlah kami melihatnya. Nanti malam kami akan mencoba meyakinkan, apakah sebenarnya yang telah kami lihat itu.”
Untara mengerutkan keningnya. Namun ia pun mengangguk-angguk sambil berkata,
“Baiklah. Jika Kiai memerlukan, kami dapat menyediakan beberapa orang prajurit.”
Tetapi Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya. Jawabnya,
“Jangan menimbulkan kesan yang tegang, agar upacara perkawinan Anakmas dapat berjalan dengan tenang. Kami hanya memerlukan ijin Anakmas. Dan kami akan mencoba berbuat dengan hati-hati, karena kami sadari, di mana kami sedang berdiri.”

Untara menarik nafas dalam-dalam. Adalah di luar kebiasaannya untuk begitu saja mempercayakan tugas yang berat kepada orang lain, bukan kepada lingkungannya. Ia mempunyai sekelompok petugas sandi yang dapat melakukan tugas-tugas serupa itu. Namun demikian, benar juga kata Kiai Gringsing. Jika ia memerintahkan pasukan sandinya dan menemukan sesuatu yang dianggapnya penting, maka akan timbul ketegangan dalam lingkungan prajurit Pajang. Ketegangan itu tentu akan berpengaruh pada hari perkawinannya yang segera akan berlangsung. Sejenak Untara merenungi kata-kata Kiai Gringsing. Namun kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata,
“Aneh sekali. Tiba-tiba saja aku setuju dengan pendapat Kiai. Namun hal itu justru karena aku sudah mengenal Kiai berdua bersama murid-murid Kiai.”
“Terima kasih atas kepercayaan ini. Nanti malam kami akan mencoba mengetahui apa yang sebenarnya telah dilakukan oleh orang-orang yang membuat perapian di hutan itu.”
“Silahkan Kiai. Tetapi kami berharap, bahwa tidak akan timbul salah paham dengan petugas-petugas sandi dari Pajang. Jika kalian terpaksa berselisih pendapat, maka kalian harus berkata berterus terang, bahwa kalian mendapat tugas khusus dari aku, dari senapati di daerah Selatan ini, supaya persoalan kalian dikembalikan kepadaku. Aku berharap, agar kalian tidak bertindak langsung terhadap petugas sandi itu, karena aku yakin bahwa tidak ada seorang pun dari petugas-petugas sandi Pajang yang dapat berbuat seperti Kiai.”
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Memang tugas di medan yang sedang dibayangi oleh ketegangan ini memerlukan kewaspadaan yang tinggi, karena kadang-kadang petugas-petugas khusus semacam yang akan mereka jalani itu dapat mengakibatkan, justru mereka harus berhadapan dengan berbagai pihak.
Namun Kiai Gringsing memahami pesan itu, sehingga karena itu, maka ia pun mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata,
“Baiklah, Anakmas. Kami akan melakukan semua pesan Anakmas. Dan karena itulah, maka sore nanti kami minta diri untuk kembali ke Sangkal Putung, agar kepergian kami tidak menimbulkan kecurigaan.”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Silahkan. Kiai dapat menempuh jalan yang mana pun yang baik bagi Kiai. Namun sebelumnya, Kiai dapat bertemu dengan Ki Lurah Branjangan, sekedar memperkenalkan diri.”
Kiai Gringsing memandang Sumangkar sejenak, namun kemudian ia mengangguk pula sambil berkata,
“Baiklah. Aku akan memperkenalkan diri dengan salah seorang petugas dari Mataram. Aku kira Mataram memang perlu menyusun jaringan pengamanan bagi diri mereka sendiri.”
“Ya, tetapi Mataram masih berada di dalam lingkungan Pajang, sehingga tanggung jawab keamanannya seluruhnya masih menjadi tanggung jawabku.”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya, namun kemudian ia pun menyahut,
“Ya, ya. Memang segala sesuatunya, Mataram harus mempertanggung-jawabkannya kepada Pajang, dalam hal ini kepada senapati yang mendapat tanggung jawab di daerah Selatan, yang langsung berhadapan dengan Mataram.”
“Bukan yang berhadapan dengan Mataram,” sahut Untara,
“tetapi yang kekuasaannya meliputi Mataram.”
“O,” sekali lagi Kiai Gringsing mengangguk-angguk,
“ya, yang kekuasaannya meliputi daerah Selatan sampai ke Alas Mentaok.”

Tampak wajah Untara menegang sedikit. Namun ia pun kemudian berusaha untuk menghilangkan segala kesan itu. Sambil tersenyum Untara berkata,
“Kiai benar. Kekuasaanku sampai ke Alas Mentaok dengan segala isi dan perkembangan yang terjadi atasnya, karena bentuk penyerahan Sultan Pajang kepada Ki Gede Pemanahan masih belum jelas.”
Kiai Gringsing tidak menyahut lagi, selain mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekilas ia memandang Sumangkar, dan Sumangkar pun ternyata baru mengangguk-angguk. Mereka tidak dapat berbuat lain daripada menangkap siratan sikap Untara yang sebenarnya sebagai seorang prajurit Pajang. Sejenak kemudian kedua orang tua itu pun diperkenalkan dengan Ki Lurah Branjangan. Namun ternyata pertemuan Ki Lurah Branjangan dengan Ki Sumangkar telah menumbuhkan keheranan sejenak. Tetapi sejenak kemudian Ki Lurah Branjangan tersenyum sambil tertawa,
“Ki Sumangkar, aku sudah mendengar pengampunan khusus dari Sultan Pajang atasmu.”
Sumangkar hanya tersenyum saja, sementara Kiai Gringsing bertanya,
“Jadi kalian sudah saling mengenal?”
Sumangkar mengangguk. Katanya,
“Aku mengenalnya sebagai Ki Lurah Mudal.”
“Nama itu terlalu jelek. Ki Widura lebih senang menyebut aku Ki Lurah Branjangan.”
Demikianlah, mereka sempat berbicara sejenak dengan akrabnya, seolah-olah mereka bertemu dengan kawan sendiri dari lingkungan yang sama.

Ketika kemudian matahari menjadi semakin rendah, maka Kiai Gringsing dan Sumangkar pun segera minta diri. Mereka berpura-pura akan kembali ke Sangkal Putung bersama Agung Sedayu dan Swandaru. Hanya Untara dan Widura sajalah yang mengetahui, bahwa mereka berniat untuk mengintai orang-orang yang tidak dikenal yang telah membuat perapian di hutan yang terbentang di pinggir jalan, antara Sangkal Putung dan Jati Anom.
“Bagaimana dengan kuda-kuda ini?” bertanya Swandaru ketika mereka mendekati hutan rindang itu.
“Apakah kuda-kuda ini tidak justru mengganggu?”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya, lalu,
“Kita ikat kuda-kuda itu agak jauh dari hutan.”
Mereka berempat pun kemudian menuju ke sebuah pategalan di ujung hutan. Mereka mengikat kuda-kuda mereka di tengah pategalan dan tersembunyi, sehingga tidak mudah diketahui oleh orang-orang yang lewat di pinggir pategalan itu.
“Bagaimana kalau pemiliknya menengok pategalan ini di malam nanti?” bertanya Swandaru.
“Jarang sekali seseorang pergi ke pategalan yang kebetulan sedang mulai ditanami. Jika pohung ini menjelang mengambil buahnya, barulah setiap kali mereka menengok di malam hari.”
“Kita menunggu gelap di sini?” bertanya Agung Sedayu tiba-tiba.
“Ya, kita menunggu gelap di sini. Tempat ini terlindung oleh pepohonan yang cukup rimbun,” sahut gurunya.
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil berjalan hilir-mudik, dicobanya untuk membayangkan apa yang akan mereka lakukan, apabila hari menjadi gelap. Tiba-tiba saja ia berhenti dan bertanya kepada gurunya,
“Apakah mungkin orang yang membuat perapian itu orang-orang yang tidak dikenal di daerah ini, Guru?”
Gurunya menganggukkan kepalanya.
“Ya,” jawabnya, “agaknya mereka orang asing di sini.”
“Jika mereka orang asing, apakah perapian itu tidak mengundang para peronda untuk mendekatinya?”
“Bukankah mereka berada di tempat yang terlindung agak menjorok masuk. Dan menurut perhitungan mereka, para peronda dari Jati Anom tidak akan sampai ke tempat mereka membuat perapian itu.”
“Agaknya memang demikianlah,” sambung Sumangkar.
“Ternyata tidak seorang peronda pun yang pernah melaporkan tentang perapian kepada Untara.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya pula.
“Dan sebentar lagi kita akan melihat, siapakah sebenarnya mereka itu.”

Ketika matahari menjadi semakin rendah dan hilang di balik cakrawala, maka mereka pun segera mulai bersiap-siap. Mereka harus mendahului orang-orang yang ingin mereka ketahui keadaannya itu. Karena itu, ketika malam mulai turun, mereka berempat pun segera meninggalkan kuda-kuda mereka. Dengan hati-hati mereka berjalan menuju ke hutan yang tidak begitu lebat, yang membentang di sebelah jalan ke Sangkal Putung.
“Bagaimana jika ada harimau yang sampai ke pategalan itu, Guru?” bertanya Swandaru.
“Kemungkinan itu kecil sekali. Terlalu jauh bagi seekor harimau. Kecuali apabila harimau itu benar-benar kelaparan. Tetapi mudah-mudahan tidak ada seekor harimau yang pergi ke pategalan, karena biasanya mereka tidak akan menjumpai apa pun di sana. Agaknya harimau-harimau yang kelaparan lebih senang pergi ke padesan untuk mencuri ternak.”
Mereka berempat pun segera masuk ke dalam daerah hutan yang sudah menjadi gelap. Mereka menempatkan diri mereka di tempat yang cukup terlindung, tetapi mereka dapat melihat lapangan rumput yang diselingi oleh pohon-pohon perdu di luar hutan sampai ke pinggir jalan. Dari kegelapan mereka akan dapat melihat bayangan yang bergerak-gerak di tempat yang terbuka, apabila orang-orang itu benar-benar datang lagi ke sekitar tempat itu. Untuk memperluas jarak jangkau pengamatan mereka, maka mereka berempat tidak berada di tempat yang sama. Kiai Gringsing dan Swandaru memanjat sebatang pohon yang tidak jauh dari bekas perapian yang mereka ketemukan agak menjorok ke dalam, sedang Ki Sumangkar dan Agung Sedayu berada di dalam semak-semak, justru di bibir hutan itu.
“Apakah mereka akan kembali, Guru?” bertanya Swandaru.
“Kita tidak tahu,” jawab gurunya,
“tetapi aku mengharap mereka akan kembali. Mereka akan membuat perapian lagi, dan berbicara tentang tugas-tugas mereka.”
Swandaru menganggukkan kepalanya.
“Tetapi memang mungkin pula mereka menemukan tempat lain yang lebih baik. Dan apabila demikian, kita akan sia-sia semalam suntuk di tempat ini,” sambung gurunya.
Swandaru mengerutkan keningnya Tetapi ia hanya berdesah di dalam dirinya,
“Jika demikian, kamilah yang lebih bodoh dari orang-orang itu.”

Namun keduanya tidak berbicara lagi. Swandaru duduk di atas dahan yang besar, bersandar batangnya yang condong, sedang gurunya duduk sambil berjuntai, seperti sedang duduk di sebuah ayunan yang tergantung tinggi-tinggi. Agung Sedayu dan Sumangkar pun tidak banyak berbicara. Mereka lebih memusatkan perhatian mereka kepada keadaan di sekitarnya, sehingga mereka tidak ubahnya seperti patung-patung yang membeku. Mereka mulai menjadi gelisah, ketika malam menjadi semakin malam, namun tidak seorang pun yang tampak lewat di dekat mereka, apalagi berhenti dan membuat perapian. Tetapi meskipun demikian, mereka masih tetap menahan hati, karena mereka masih berpengharapan, bahwa mereka tidak akan gagal. Selagi mereka termangu-mangu menunggu orang-orang yang belum mereka ketahui dengan pasti itu, tiba-tiba Kiai Gringsing yang duduk berjuntai di atas sebatang dahan itu mengerutkan keningnya. Kemudian digamitnya Swandaru yang duduk terkantuk-kantuk.
“Ssst, jangan tidur,” desisnya.
Swandaru menggelengkan kepalanya, “Tidak, aku tidak tidur.”
“Lihatlah,” bisik gurunya kemudian.
Swandaru mengangkat wajahnya mencari sesuatu di dalam rimbunnya dedaunan.
“Bukan di sana, tetapi lihat itu.”
“Api,” desis Swandaru dengan serta merta sambil membelalakkan matanya.
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Di sela-sela batang pepohonan mereka melihat samar-samar nyala api di dalam kegelapan. Meskipun tidak tepat di tempat yang kemarin, tetapi perapian itu tidak berada terlalu jauh.
“Marilah kita melihat,” bisik Swandaru.
“Jangan tergesa-gesa. Kita belum tahu, siapakah mereka itu. Jika mereka memiliki kemampuan indra yang melampaui manusia biasa, maka kita harus sangat berhati-hati. Tetapi mudah-mudahan mereka orang-orang biasa seperti kita.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun di dalam hatinya ia berkata,
“Guru juga orang yang melampaui kewajaran manusia yang lain.”
Sejenak Kiai Gringsing masih tetap berada di tempatnya. Perapian yang mereka lihat sedikit bertambah besar, namun kemudian susut kembali. Agaknya orang-orang yang mengerumuninya berusaha agar perapian itu tidak menjadi begitu besar.
“Apakah Kakang Agung Sedayu juga melihatnya?” bertanya Swandaru.
Kiai Gringsing menggeleng. Jawabnya,
“Mungkin tidak. Tempatnya tidak memungkinkan.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu,
“Apakah kita akan memberitahukan kepadanya dan Paman Sumangkar?”
“Ya. Aku akan memberitahukan. Tunggulah kau di sini. Jika ada sesuatu yang penting, kau dapat memberitahukan kepadaku dengan isyarat.”
“Apakah isyarat itu?”
“Kau dapat menirukan suara burung kedasih seperti orang-orang di Alas Tambak Baya?”
“Ya.”
“Nah, itulah isyaratnya jika perlu sekali. Tetapi aku tidak akan lama, karena mereka berada tidak jauh dari tempat ini, asal saja mereka tidak berpindah tempat.”

Kiai Gringsing kemudian, turun dengan hati-hati. Ketika ia sudah berdiri di tanah, ia tidak segera bergeser. Dengan ketajaman panca inderanya ia meyakinkan lebih dahulu, bahwa tidak ada orang yang berada di sekitar tempat itu. Baru setelah ia yakin benar-benar bahwa tidak ada seorang pun yang melihatnya, maka Kiai Gringsing itu mulai bergeser mendekati tempat Sumangkar dan Agung Sedayu bersembunyi. Ternyata mereka berdua tidak beranjak dari tempatnya. Namun karena Sumangkar tidak tahu, bahwa Kiai Gringsing akan datang kepadanya, maka desir dedaunan yang tersentuh oleh tubuh Kiai Gringsing membuatnya bersiap-siap. Bahkan digamitnya Agung Sedayu yang duduk di sampingnya. Agung Sedayu pun kemudian mempersiapkan dirinya pula. Suara desir itu lambat laun didengarnya pula. Namun mereka berdua itu menarik nafas, ketika mereka mendengar suara Kiai Gringsing lirih,
“Adi Sumangkar?”
“Kiai Gringsing?” Sumangkar menyahut.
“Ya. Aku.”
Sumangkar pun kemudian bergeser ketika Kiai Gringsing menjadi semakin dekat di luar gerumbul tempatnya bersembunyi. Sambil menjenguk keluar ia berkata,
“Apakah Kiai melihat sesuatu?”
“Ya. Aku sudah melihat sesuatu.”
“O, adakah mereka lewat di dekat tempat Kiai bersembunyi di hutan itu?”
Kiai Gringsing menggeleng,
“Tidak. Aku tidak melihat mereka lewat. Mungkin mereka mengambil jalan lain. Tetapi aku sudah melihat perapian itu.”
“Jika demikian, mereka sudah ada di tempatnya.”
“Perapian itu bergeser sedikit.”
“Jadi, maksud Kiai?”
“Marilah, kita melihat apa yang mereka lakukan.”
Sumangkar pun kemudian menggamit Agung Sedayu dan memberinya isyarat untuk mengikutinya.
“Agung Sedayu,” berkata Kiai Gringsing kemudian,
“Kau mengawani Swandaru di atas dahan pohon itu. Aku dan pamanmu Sumangkar akan melihat, siapakah yang telah membuat perapian itu?”
“Kenapa kami tidak ikut melihatnya pula, Guru?” bertanya Agung Sedayu yang menjadi kecewa karenanya. Ia sudah sampai ke tempat itu dan duduk di dalam semak-semak. Tetapi tiba-tiba ia tidak diperbolehkan ikut mengetahui siapakah sebenarnya yang berada di sekitar perapian itu.
Kiai Gringsing dapat membaca perasaan kecewa itu. Karena itu maka katanya,
“Baiklah. Tetapi hati-hatilah. Kau dan Swandaru berada di belakang. Jangan mendekat sebelum aku memberikan isyarat. Kita masih belum tahu ketajaman indra orang-orang di sekitar perapian itu.”
Setelah mereka singgah sejenak untuk memanggil Swandaru, mereka berempat pun segera pergi mendekati perapian yang samar-samar. Tetapi Agung Sedayu dan Swandaru berada beberapa langkah di belakang Kiai Gringsing dan Sumangkar.

Dengan hati-hati sekali, kedua orang tua itu merayap semakin dekat. Setiap langkah, mereka perhitungkan baik-baik, agar tidak menimbulkan suara yang dapat mengejutkan atau menunjukkan kepada orang-orang di sekitar perapian itu, bahwa ada orang yang sedang mengintai. Sementara Agung Sedayu dan Swandaru mengikuti saja dari jarak yang agak jauh, namun tidak sampai kehilangan arah, karena malam yang serasa menjadi semakin gelap di dalam rimbunnya hutan yang meskipun tidak begitu lebat. Akhirnya kedua orang tua-tua itu berhasil mendekati perapian itu. Mereka berdiri di balik pepohonan sambil mengatur pernafasan, agar orang-orang di sekitar perapian itu tidak mengetahui kehadiran mereka. Beberapa saat Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar berada di tempatnya, mereka masih belum mendengar orang-orang itu berbicara satu patah kata pun. Mereka duduk sambil menundukkan kepala di sekeliling perapian sambil memanasi badannya.
“Tidak, bukan hanya badannya,” berkata Kiai Gringsing dan Sumangkar di dalam hatinya ketika mereka melihat semakin jelas, bahwa dua orang di antara mereka sedang memanggang beberapa potong daging binatang.
“Apakah mereka beberapa orang pemburu yang sedang berburu di hutan ini?” bertanya kedua orang tua-tua itu di dalam hati pula.
Namun mereka mengerutkan keningnya, ketika mereka melihat kulit domba teronggok di samping lingkaran itu.
“Tentu bukan pemburu,” keduanya mendapat kepastian.
“Pemburu-pemburu tidak akan menyembelih kambing di hutan perburuannya.”
Karena itu, maka keduanya menjadi semakin bernafsu untuk mengetahui siapakah mereka itu.
Agung Sedayu dan Swandaru duduk beberapa langkah dari gurunya. Mereka pun melihat merahnya api di dedaunan dan pepohonan. Namun mereka tidak dapat melihat dengan jelas, siapa saja yang berada di sekitar perapian itu dan apa saja yang sedang mereka lakukan. Ketika Swandaru akan berbisik sesuatu, Agung Sedayu meletakkan jari telunjuknya di bibir anak muda yang gemuk itu, sehingga Swandaru mengurungkan loncatan kata-katanya yang sudah ada di tenggorokan.
Baru setelah daging yang mereka panggang di perapian itu masak, terdengar salah seorang dari mereka berbicara,
“Kita makan sekarang.”

Tidak seorang pun yang menjawab. Tetapi mereka pun kemudian bergeser sedikit. Salah seorang dari orang-orang yang mengelilingi perapian itu pun berdiri dan melangkah beberapa langkah untuk mengambil beberapa bungkus nasi. Kiai Gringsing dan Sumangkar harus menahan hati mereka. Dengan demikian keduanya harus duduk menunggu sampai orang-orang itu selesai makan dan berbicara sesuatu, sehingga keduanya mendapatkan suatu kesimpulan tentang orang-orang itu. Sementara itu yang dapat dilakukan adalah sekedar menghitung orang-orang itu. Meskipun agak sulit, namun akhirnya Kiai Gringsing berdesis di dalam hati,
“Tujuh orang.”
Sambil menunggu mereka makan, maka Kiai Gringsing memberi isyarat kepada Sumangkar untuk mendapat pertimbangan memanggil murid-muridnya. Menurut penilaiannya, orang-orang yang berada di perapian itu bukanlah orang-orang yang memiliki kemampuan melampaui orang kebanyakan. Ki Sumangkar yang mengerti isyarat itu pun mengangguk, karena ia pun sependapat dengan Kiai Gringsing. Dengan demikian, maka Agung Sedayu dan Swandaru yang sudah mulai menjadi jemu, kini dapat ikut serta menunggui orang-orang yang sedang makan itu. Namun dengan demikian mereka pun menemukan kejemuan baru. Orang-orang yang sedang makan itu membuat Agung Sedayu dan Swandaru menjadi tidak sabar lagi menunggu. Tetapi mereka harus memaksa diri duduk saja merenung. Bahkan Swandaru sudah mulai terkantuk-kantuk, bersandar sebatang pohon, justru membelakangi. orang-orang yang sedang makan itu. Namun tiba-tiba saja mereka terkejut ketika terdengar, derap kaki kuda di kejauhan. Semakin lama menjadi semakin dekat. Dan ternyata, bahwa bukan saja Kiai Gringsing dan muridnya serta Ki Sumangkar sajalah yang terkejut, tetapi juga orang-orang yang sedang mengelilingi perapian itu. Tiba-tiba saja terdengar perintah,
“Padamkan api.”
Beberapa orang segera berdiri dan mencakup tanah kering dan dihamburkannya di atas perapian, sehingga sejenak kemudian api itu pun menjadi padam, meskipun masih juga tampak asap yang mengepul. Namun ketika angin berhembus, asap itu pun segera pecah berserakan. Derap kaki kuda itu pun menjadi semakin dekat. Tetapi ternyata, bahwa kuda-kuda itu sama sekali tidak berhenti. Agaknya beberapa orang peronda telah lewat di jalan yang membujur di pinggir hutan itu.
“Anak setan,” terdengar salah seorang dari orang-orang yang mengitari perapian yang telah padam itu mengumpat.
“Malam kemarin tidak ada seorang pun yang lewat. Sekarang peronda-peronda itu berkeliling sampai ke tempat ini.”
“Apakah ada orang yang berhasil mencium kehadiran kita di sini?” bertanya yang lain.
“Aku belum mendapatkan tanda-tanda itu,” sahut yang mula-mula berbicara, yang agaknya adalah pemimpin mereka.
“Makanlah,” desis suara yang lain,
“kita akan segera pergi.”
“Sudah habis,” terdengar jawaban.
Namun tiba-tiba yang lain lagi berkata,
“Nasiku tumpah. Aku tergesa-gesa berdiri, ketika api perapian itu harus dipadamkan.”
“Tinggal daunnya,” jawab yang lain,
“aku tahu, kau makan daging kambing, serta tulangnya sekali. Biasanya kau makan nasi serta daunnya.”
“Sst,” desis pemimpin mereka,
“kita masih harus mengawasi kesiagaan Untara semalam ini. Besok kita dapat memastikan, di mana kita akan mulai, karena besok lusa, Untara sudah harus pergi ke Pengging. Sepeninggal Untara kita harus bertindak dengan cepat, supaya kesan yang kita timbulkan tidak sempat mendapatkan penyelidikannya langsung. Hanya Untara-lah yang masih dapat berpikir bening menghadapi Mataram. Pada umumnya, para prajurit sudah diracuni oleh kecurigaan.”
“Bagaimana dengan Widura?”
“Widura sudah bukan prajurit lagi. Ia sudah jemu, karena ketuaannya yang semakin mengganggu tugas-tugas keprajuritannya.”
“Ia belum terlalu tua.”

Terdengar suara tertawa pendek. Namun untuk beberapa lamanya tidak terdengar suara yang lain. Maka sejenak kemudian, hutan itu telah dicengkam oleh kesenyapan. Yang terdengar adalah suara binatang malam di kejauhan. Suara burung hantu dan bilalang yang berderik di rerumputan. Yang mula-mula terdengar adalah suara pemimpin dari orang-orang yang duduk di sekitar perapian yang sudah padam itu,
“Tidak seorang pun yang dapat membaca pikiran orang lain dengan tepat. Tetapi agaknya Widura itu pun sudah jemu mengabdikan diri kepada Sultan Adiwijaya. Tetapi karena ia tidak mau berkhianat, maka lebih baik baginya untuk mengundurkan diri saja dari lingkungannya.”
“Apakah Ki Lurah yakin?” tiba-tiba terdengar suara yang berat.
“Aku yakin. Banyak prajurit yang lari ke Mataram. Lurah Branjangan lari pula di samping Ki Lurah Mahoni dan Ki Lurah Sarimpat.”
“Tetapi hubungan Mataram dengan Pajang masih belum dapat diambil kesimpulan apa pun juga,” suara yang berat itu terdengar lagi.
“Ternyata menurut beberapa orang petugas kami, Raden Sutawijaya telah mengirimkan beberapa jodang sumbangan kepada Untara.”
“Kau bodoh sekali,” berkata pemimpinnya,
“itu sekedar suatu cara untuk menahan, agar Pajang jangan terlalu cepat bertindak, sebelum Mataram siap.”
“Begitu?”
“Ya. Dan adalah tugas kita untuk memancing tindakan Pajang terhadap Mataram. Tepat setelah Untara meninggalkan Jati Anom.”
Sejenak kemudian tidak terdengar jawaban sama sekali. Yang terdengar hanyalah nafas-nafas yang berdesah. Kiai Gringsing dan Sumangkar yang duduk berdekatan saling memandang sejenak. Tanpa disadarinya keduanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ternyata yang mereka duga telah benar-benar terjadi. Orang-orang itu adalah orang-orang yang dengan sengaja ingin menimbulkan benturan langsung antara Pajang dan Mataram secepatnya. Namun keduanya masih belum dapat menyatakan pendapatnya. Mereka masih harus menunggu sejenak, untuk melihat perkembangan yang bakal terjadi.
“Marilah kita pergi,” terdengar suara pemimpinnya,
“kita melihat keadaan di Jati Anom. Kita masih mempunyai waktu sampai malam besok. Di dalam waktu itu kita harus sudah dapat menentukan, apakah yang akan kita lakukan dan di mana?”
“Sekarang kita sudah mendapat gambaran itu,” sahut suara yang lain.
Kiai Gringsing dan Sumangkar bersama kedua anak-anak muda yang mengikutinya itu menjadi berdebar-debar. Namun mereka menjadi kecewa, karena ternyata orang-orang itu tidak mengatakan apa pun tentang rencana itu. Bahkan salah seorang dari mereka berkata,
“Marilah kita pergi.”
“Kita memutari Jati Anom dari sebelah Timur. Kita akan mencari kemungkinan yang lebih baik dari yang telah kita dapatkan apabila mungkin. Kita lewati Lemah Cengkar dan melihat hutan kecil di sebelahnya.”
“Arah itu tidak menguntungkan,” sahut yang lain.
“Marilah kita coba melihatnya.”

Tidak seorang pun yang menjawab. Di dalam kegelapan, Kiai Gringsing dan Sumangkar hampir tidak dapat melihat orang-orang itu. Namun pandangan mata mereka yang tajam, masih juga dapat menangkap bayangan-bayangan yang bergerak-gerak dan kemudian berjalan meninggalkan tempat itu. Sejenak kemudian, mereka telah benar-benar hilang di dalam kegelapan terlindung oleh pepohonan. Bahkan langkah kaki mereka serta desah dedaunan telah tidak terdengar lagi.
Sejenak kemudian, Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun ia masih harus berbisik,
“Mereka pergi ke sebelah Timur Jati Anom.”
“Ya. Orang-orang itulah yang diperhitungkan oleh Ki Lurah Branjangan,” sahut Sumangkar.
“Tetapi mereka mengetahui, bahwa Raden Sutawijaya mengirimkan orang ke Jati Anom.”
“Tetapi mereka tidak memperhitungkan sejauh Ki Lurah Branjangan dan para pemimpin Mataram. Mereka hanya sekedar menduga, bahwa Mataram yang agaknya tidak mereka ketahui siapa orangnya itu telah menyerahkan sebuah bingkisan yang banyak kepada Untara.”
“Tetapi siapakah mereka sebenarnya, Guru?” bertanya Agung Sedayu.
“Kami belum tahu pasti.”
“Apakah mereka bukan justru orang-orang Pajang sendiri yang menghendaki agar segera mendapat perintah untuk menghancurkan Mataram.”
Kiai Gringsing menggeleng,
“Nadanya bukan orang Pajang. Dan agaknya Untara telah berbicara dengan beberapa orang senapati yang lain, sehingga para pemimpin prajurit di Pajang mengetahui rencana Ki Lurah Branjangan. Dan mereka tidak akan dengan membabi buta meneruskan rencananya untuk mengaku orang-orang Mataram, karena mereka akan segera dikenal oleh Ki Lurah Branjangan itu.”
“Jadi kesimpulan Guru?” sahut Swandaru.
“Bukan orang-orang Pajang, tetapi pasti juga bukan orang Mataram.”
“Apakah mungkin mereka pengikut-pengikut Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak?”
“Bahkan mungkin kedudukan mereka lebih tinggi dari para hantu di Alas Mentaok itu,” sahut Kiai Gringsing.
“Mungkin di antara mereka terdapat orang yang sebenarnya berada di belakang tabir dan menggerakkan kendali atas Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak serta orang-orang yang lain lagi.”
Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun tiba-tiba saja Swandaru bertanya,
“Tetapi, jika mereka adalah orang-orang yang memiliki kelebihan dari Kiai Telapak Jalak, apakah mereka tidak sangat berbahaya, Guru? Dan apakah kita akan dapat mengikutinya dan menyadap pembicaraan mereka?”
“Tentu bukan orang-orang yang duduk di perapian itu. Maksudku, yang akan memimpin mereka. Yang memimpin keseluruhan gerak dari orang-orang yang tidak mau melihat Mataram menjadi tempat yang ramai, seperti juga sebagian orang-orang Pajang yang tidak mau melihat Mataram menjadi sebuah kota.”

Kedua murid Kiai Gringsing itu mengangguk-angguk. Tetapi Agung Sedayu masih juga bertanya,
“Guru, apakah sebabnya Pajang berkeberatan? Bukankah Pati, dan kota-kota di pesisir berkembang dengan pesat pula? Adipati-adipati di daerah Timur juga menumbuhkan persoalan-persoalan tersendiri. Tetapi mengapa perhatian Sultan Adiwijaya justru ditujukan kepada daerah yang baru berkembang. Daerah yang masih terlalu lemah, dibandingkan dengan daerah para adipati yang sudah tumbuh semakin kuat itu? Atau barangkali akulah yang sama sekali tidak dapat membayangkan kesiagaan prajurit Pajang di daerah-daerah lain yang dianggapnya juga bergolak?”
“Tidak, Agung Sedayu. Perhatian Pajang kini terutama tertuju kepada Mataram.”
“Jika demikian, kenapa, Guru?”
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian,
“Meskipun kadipaten yang lain lebih kuat dari Mataram sekarang, Agung Sedayu, tetapi di daerah-daerah itu tidak ada sebuah nama yang mempunyai pengaruh sebesar Raden Sutawijaya dan Ki Gede Pemanahan. Di daerah pesisir tidak ada seorang pun yang sangat dihormati oleh Sultan Adiwijaya seperti Ki Gede Pemanahan dan yang memiliki kemampuan mengemudikan pemerintahan seperti orang tua itu. Itulah sebabnya, beberapa orang di Pajang menjadi sangat cemas melihat perkembangan Mataram. Terutama para senapati yang masih tetap menganggap, Pajang sebagai pusat dari perkembangan tanah ini.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat mengerti keterangan gurunya itu. Ternyata, bahwa seseorang memang dapat menjadi sangat berpengaruh atas suatu persoalan yang sedang berkembang. Namun sebelum Agung Sedayu bertanya lebih lanjut, maka Kiai Gringsing pun berkata,
“Kita mengikutinya sampai ke Lemah Cengkar.”
“Bagaimana dengan kuda-kuda itu, Guru?” bertanya Swandaru.
“Biar saja ia berada di pategalan itu. Tidak akan terjadi apa-apa atas mereka. Mungkin kuda-kuda itu sekarang sedang tidur dengan nyenyak.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak bertanya lagi.
“Kita akan memintas, sehingga kita akan mendahului mereka sampai ke Lemah Cengkar,” berkata Kiai Gringsing kemudian.
“Apakah mereka tidak juga memilih jalan memintas?” bertanya Agung Sedayu.
“Agaknya mereka bukan orang yang tinggal di sekitar daerah ini. Mereka tidak mengenal jalan-jalan sempit di tengah hutan ini.”
“Apakah Guru mengenalnya?”
“He, bukankah aku orang Dukuh Pakuwon.”
“O,” Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya.

Gurunya, yang juga bernama Tanu Metir, itu memang pernah tinggal di Pakuwon untuk waktu yang cukup lama, sehingga tidak mustahil, jika dukun tua dari Dukuh Pakuwon itu mengenal jalan-jalan setapak di daerah ini. Maka mereka berempat pun segera berangkat menyusuri pinggiran hutan. Namun kemudian mereka pun segera memotong, setelah mereka menemukan sebuah jalan sempit yang memintas. Mereka menyusup pepohonan dan pohon-pohon perdu. Tetapi hutan ini tidak seganas Alas Tambak Baya, apalagi Alas Mentaok. Karena itu, bagi keempat orang itu, perjalanan mereka bukannya perjalanan yang terlampau sulit. Meskipun demikian, terbersit juga sebuah kenangan di dalam hati Agung Sedayu. Sejak kecil ia mendengar ceritera tentang Lemah Cengkar yang angker. Menurut kata orang, di daerah Lemah Cengkar terdapat seekor harimau putih yang jauh lebih besar dari harimau kebanyakan. Bahkan lebih besar dari Macan Gembong sekalipun. Sudah tentu, bahwa menurut ceritera macan putih itu sama sekali bukan harimau sebenarnya, tetapi harimau jadi-jadian. Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Terkenang pula ketika ia untuk pertama kali mengikuti kakaknya, Untara. Betapa ia dibayangi oleh wajah-wajah hantu yang menakutkan. Untunglah, ketika ia berada di Alas Mentaok, hatinya sudah tabah menghadapi wajah-wajah hantu yang menakutkan itu. Jika sekiranya ia dilepaskan di daerah Alas Mentaok selagi ia masih dibelenggu oleh perasaan takutnya, maka ia tidak akan lebih baik dari orang-orang yang ketakutan di daerah yang sedang dibuka itu. Tetapi kini, Agung Sedayu tidak lagi dihantui oleh ceritera tentang Macan Putih di Lemah Cengkar. Bahkan sejenak kemudian, pikirannya sudah beralih kepada orang-orang yang sedang diikutinya itu.
Setelah beberapa lama mereka berjalan, maka mereka pun menjadi semakin dekat dengan daerah Lemah Cengkar. Sebuah hutan kecil terbentang di sebelah Utara daerah yang masih liar itu. Beberapa batang pohon yang besar tumbuh di antara kekerdilan semak-semak. Dan di atas sebuah puntuk kecil terdapat sebuah batu yang aneh. Seolah-olah batu itu diatur oleh tangan manusia dan diletakkannya di atas gumuk kecil itu.
“Kita menunggu di sini. Mereka pasti akan melintas jalan ini,” berkata Kiai Gringsing.
Kedua muridnya dan Ki Sumangkar hanya menganggukkan kepalanya. Mereka percaya, bahwa Kiai Gringsing seakan-akan memiliki firasat yang sangat tajam. Mereka kemudian bersembunyi di balik semak-semak untuk menunggu orang-orang yang semula mengelilingi perapian dan yang kemudian berusaha untuk menemukan pangkal yang baik bagi usaha mereka mengacaukan Jati Anom.
Ternyata bahwa perhitungan Kiai Gringsing tidak salah. Sejenak kemudian, mereka telah mendengar suara ranting-ranting perdu yang berpatahan.
“Kalian di sini, Agung Sedayu dan Swandaru. Kali ini kita tidak sekedar mengintai orang-orang yang duduk mengelilingi perapian. Tetapi kita akan mengikuti mereka bergeser dari satu tempat ke tempat yang lain. Jangan pergi ke mana pun. Aku berdua bersama Ki Sumangkar akan mengikuti mereka dan akan mencari kalian ke tempat ini jika kami sudah merasa cukup.”

Ia melihat kekecewaan membayang di wajah kedua muridnya. Namun kali ini Kiai Gringsing tidak dapat mempertimbangkan kemungkinan lain yang lebih baik. Betapa pun kecewa bergejolak di dalam hatinya, namun kedua murid Kiai Gringsing itu harus mematuhi kata-kata gurunya, karena hal itu pasti sudah dipertimbangkannya baik-baik. Sesaat kemudian, maka ketujuh orang yang sedang mereka tunggu itu pun lewat beberapa langkah di hadapan Kiai Gringsing menuju ke rumpun-rumpun perdu yang lebih lebat di pinggir hutan kecil agak ke Utara. Dengan isyarat, Kiai Gringsing mengajak Ki Sumangkar untuk segera mengikuti mereka. Tetapi untuk sementara keduanya tidak berani mendekat, karena mereka masih berada di tempat yang agak terbuka. Namun ketika kemudian mereka memasuki hutan perdu yang liar, barulah keduanya berusaha untuk mengikutinya dari jarak yang semakin dekat.
“Ternyata tempat ini cukup baik,” desis salah seorang dari mereka.
Tidak ada yang segera menanggapi. Tetapi mereka berjalan terus menelusuri rumpun-rumpun perdu yang menjadi semakin lebat, dan kemudian sampai di daerah hutan kecil yang gelap.
Sesaat kemudian, pemimpin mereka itu pun berkata,
“Kita berhenti sebentar. Kita pertimbangkan tempat ini.”
Orang-orang itu pun kemudian berhenti. Mereka berdiri menghadap ke Jati Anom.
“Kita akan membuat pertimbangan-pertimbangan,” berkata pemimpinnya,
“apakah tempat ini lebih menguntungkan atau tidak, dibandingkan dengan hutan mlandingan sebelah Barat Jati Anom?”
Kawan-kawannya tidak segera menyahut.
“Kita akan menyerang Jati Anom dan berusaha membuat kegaduhan sejauh-jauh mungkin. Kita mengharap betapapun mereka bersiaga, namun mereka akan lengah juga sepeninggal Untara, karena pengamanan mereka pasti sebagian terbesar mereka tujukan bagi Untara dan para perwira yang hadir di Jati Anom dan akan membawa Untara ke Pengging. Kegaduhan yang timbul pasti akan segera membuat Rangga Parasta marah dan mempengaruhi Untara untuk segera bertindak setelah hari-hari pertamanya dilewatinya. Dari tempat ini, kita dapat mencapai Sendang Gabus tanpa kesulitan. Kita akan menghindari jalan langsung ke Banyu Asri. Yang harus kita lakukan adalah memasuki rumah Untara. Bukan rumah Widura.”
“Tetapi prajurit Pajang sebagian terbesar ada di banjar kademangan. Jika kita tidak segera mencapai rumah Untara, maka para peronda akan sempat membangunkan para prajurit yang ada di banjar dan juga yang berpencaran di sekitarnya,” sahut seseorang.
“Kita akan berputar lewat sebelah Selatan. Justru di sebelah Timur Banyu Asri.”
“Jika demikian, apakah tidak lebih baik kita berada di sebelah Barat. Jika kita terpaksa harus secepatnya menghilang, kita dapat naik ke lereng Merapi, dan bersembunyi di sekitar bekas padepokan Tambak Wedi.”
“Tetapi untuk mencapai rumah Untara yang dipergunakan sebagai tempat tinggal para perwira itu, kita lebih baik datang dari arah ini. Kita akan membunuh beberapa orang perwira, kemudian kita dapat menghilang ke Barat, karena jika ada kesempatan membangunkan para prajurit di banjar, mereka akan datang dari arah Timur.
“Jadi kenapa kita harus datang dari arah Timur juga?”
“Supaya tidak menimbulkan kemungkinan ada persiapan lebih dahulu di bagian Barat, jika memang ada satu dua orang peronda yang melihat salah seorang dari kita yang akan menyusup masuk. Dan jarak untuk mencapai rumah Untara agaknya lebih aman, karena pengamanan daerah ini pasti akan ditekankan di daerah Barat, karena mereka masih harus mengawasi rumah Widura.”
“Jadi kenapa kita tidak menghindar ke Timur juga?” bertanya yang lain.
“Sudah aku katakan, jika ada satu dua orang yang sempat membunyikan tengara, prajurit-prajurit yang ada di banjar akan bangun dan mereka akan datang dari arah Timur. Namun kita berharap, bahwa mereka masih tetap nyenyak ketika kita datang.”

Sejenak tidak ada seorang pun yang segera menyahut. Agaknya mereka sedang merenungi rencana itu. Daerah ini memang baik mereka jadikan daerah persiapan. Sedang daerah lereng Merapi adalah daerah yang baik untuk mereka jadikan tempat menghindar. Batu-batu padas yang besar dan liku-liku lereng yang berselimut batang-batang perdu memberikan kemungkinan lolos yang sebesar-besarnya. Apalagi mereka sempat meninggalkan Kademangan Jati Anom, kemudian memasuki alas mlandingan yang meskipun tidak begitu luas, mereka akan dapat hampir memastikan untuk berhasil menyelamatkan diri di lereng-lereng yang berbatu padas. Untuk beberapa saat lamanya orang-orang itu masih berdiam diri sambil mengawasi keadaan di sekitarnya. Tetapi gelap malam rasa-rasanya menjadi semakin pepat, sehingga sejenak kemudian, salah seorang dari mereka berkata,
“Aku kira kita dapat mengajukan rencana ini. Tetapi sebaiknya besok siang kita melihat keadaan ini untuk mendapatkan kepastian.”
“Di siang hari?”
“Ya.”
“Berbahaya sekali.”
“Tentu tidak perlu kita semua berbareng datang kemari. Aku akan datang dengan seorang dari kalian.”
“Hanya dua orang?”
“Ya, tentu tidak akan menumbuhkan kecurigaan. Adalah merupakan hal yang biasa bila dua orang berjalan bersama-sama. Apakah yang aneh? Jika kita datang bertujuh, memang hal itu akan dapat menumbuhkan persoalan.”
Kawan-kawannya hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang mereka harus melihat keadaan ini di siang hari supaya mereka dapat memastikan apa yang harus mereka lakukan.
“Marilah, kita sekarang pergi.”
“Apakah kita tidak melihat Jati Anom?”
“Tidak ada yang baru di Jati Anom. Besok pun tidak ada. Tetapi besok kita dapat melihat Banyu Asri yang sepi, setelah Untara pergi. Lusa kita akan melakukan rencana kita memasuki Jati Anom itu.”
Tidak ada seorang pun yang menyahut.
“Marilah,” gumam pemimpinnya itu sambil melangkah.
Sejenak kemudian mereka pun berjalan berurutan meninggalkan tempat itu.

Dalam pada itu, Sumangkar dan Kiai Gringsing yang mengintip mereka, membiarkan mereka pergi. Mereka sama sekali tidak berbuat sesuatu, selain memandang bayangan yang kehitam-hitaman itu hilang di dalam kelam. Sejenak kemudian, barulah mereka berdiri sambil menggeliat. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, Kiai Gringsing berdesis,
“Rencana yang baik.”
Sumangkar pun mengangguk-angguk pula, katanya,
“Tentu rencana ini di susun oleh orang yang cukup berpengalaman.”
“Ya,” sahut Kiai Gringsing,
“kita harus berhati-hati. Kita tidak dapat menghadapi mereka tanpa orang lain.”
“Prajurit-prajurit itu?”
“Kita harus berhati-hati. Siapa tahu, bahwa ada orang-orang mereka yang menyusup di dalam lingkungan keprajuritan.”
Sumangkar mengangguk-angguk dan mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak segera menemukan sesuatu untuk mengatasi persoalan itu.
“Marilah, kita kembali kepada Agung Sedayu dan Swandaru. Barangkali kita akan menemukan sikap sambil berjalan.”
Keduanya pun segera kembali ke tempat mereka meninggalkan Agung Sedayu dan Swandaru. Kiai Gringsing menggeleng-gelengkan kepalanya, ketika dilihatnya Swandaru sedang tidur dengan nyenyaknya.
“Dapat juga ia tidur nyenyak,” desis Kiai Gringsing.
Agung Sedayu tersenyum sambil menjawab,
“Ia kecewa sekali karena kami tidak boleh ikut serta. Karena itu, lebih baik baginya untuk tidur saja daripada menggerutu tidak habis-habisnya.”
Kedua orang tua-tua itu pun tersenyum. Ternyata percakapan itu telah membangunkan Swandaru, sehingga sambil menggeliat ia berkata,
“Apakah sekarang sudah fajar pagi?”
“Sudah lewat,” jawab Agung Sedayu.
Swandaru pun kemudian berdiri sambil bertanya,
“Di mana orang-orang itu, Guru?”
“Sudah pergi.”
“Pergi? Dan kita membiarkan mereka pergi tanpa berbuat apa-apa?”
“Kita tidak berbuat apa-apa.”
“Kenapa guru?” Agung Sedayu pun bertanya,
“bukankah mereka orang-orang yang berbahaya?”
“Ya. Mereka memang orang-orang yang berbahaya. Tetapi kita tidak dapat berbuat sesuatu atas mereka itu sekarang. Dengan demikian, kita tidak akan dapat menemukan kepalanya, kecuali ekornya saja, seperti seekor cicak, meskipun kita mematahkan ekornya, maka ekor itu akan segera tumbuh kembali.”

Kedua murid-muridnya tidak menjawab, meskipun mereka belum mengerti alasan gurunya itu yang sebenarnya.
“Mereka bukannya orang-orang terpenting dari lingkungan mereka,” berkata Kiai Gringsing.
“Mereka hanyalah semacam penunjuk jalan, atau petugas-petugas sandi.”
“Tetapi jika kita menangkap mereka, maka mereka tidak akan dapat memberikan keterangan lebih jauh kepada atasan mereka.”
“Ya, karena mereka tidak kembali kepadanya. Tetapi, bahwa mereka tidak kembali ke pangkalan itu pasti menimbulkan persoalan bagi mereka. Jika mereka bukan orang-orang yang sangat dungu, maka mereka pasti akan segera merubah rencana mereka. Perubahan rencana itu sangat merugikan bagi kita. Sekarang kita sudah dapat mengetahui rencana ini. Agaknya mereka mendapat kepercayaan penuh untuk menentukan dari mana mereka datang dan kemana mereka akan pergi. Jika rencana itu berubah, kita tidak akan dapat mengerti, apakah yang akan mereka lakukan kemudian.”
“Tetapi apakah kita dapat memastikan, bahwa pendapat orang-orang itu akan diterima oleh atasannya?”
“Menilik pembicaraan mereka, mereka adalah satu-satunya kelompok yang mendapat tugas untuk menentukan garis serangan,” jawab gurunya, namun kemudian,
“tetapi memang tidak mustahil, bahwa mereka hanya dapat memberikan bahan dan pertimbangan. Meskipun demikian inti dari rencana itu sudah kita ketahui, sehingga kita dapat menentukan sikap.”


Halaman 1 2 3


<<< Jilid 064                                                                                                       Jilid 066 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar