Jilid 065 Halaman 2


Lalu katanya kepada pamannya,
“Paman, aku persilahkan Paman menerimanya.”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Baiklah, Ki Lurah Branjangan. Jodang-jodang ini akan aku terima dan akan aku bawa masuk ke dalam. Apakah jodang-jodangnya nanti akan kalian bawa kembali setelah isinya aku terima?”
Ki Lurah Branjangan tertawa sambil menjawab,
“Tidak. Tidak. Kami tidak akan membawa jodangnya kembali ke Mataram. Kami menyerahkan semuanya beserta tempatnya.”
Widura pun tersenyum pula, katanya,
“Terima kasih. Terlebih-lebih lagi terima kasih.”
Kemudian bersama Agung Sedayu, Swandaru, dan beberapa orang pembantu, yang sebenarnya adalah prajurit-prajurit Pajang, jodang-jodang itu dibawa masuk ke dalam. Swandaru yang mengusung sebuah jodang bersama Agung Sedayu, setelah meletakkannya di ruang dalam, menyingkap tutup jodang itu sedikit. Katanya,
“Bukan main, kau lihat setumpuk kain panjang dalam satu jodang?”
“Sst,” Agung Sedayu berdesis, “jangan.”
“Aku hanya ingin melihat. Mungkin di jodang yang lain kau akan menemukan segulung kain sutera. Yang lain lagi beberapa puluh lembar ikat kepala, sabuk, kamus, dan timang. Yang lain lagi, yang lain lagi. Tentu bermacam-macam sekali.”
“Sudahlah. Tentu banyak sekali. Yang memberikan sumbangan adalah Raden Sutawijaya. Sampai saat ini ia masih Putera Sultan Pajang.”
“Anak angkat.”
“Ya, tetapi kedudukan itu masih tetap.”

Keduanya pun kemudian kembali ke pendapa dan duduk di antara tamu-tamunya. Beberapa orang pelayan telah menyuguhkan hidangan bagi tamu-tamunya. Minuman panas dan beberapa macam makanan. Sejenak mereka masih sempat berbicara tentang hari-hari perkawinan. Tentang rencana yang akan dilaksanakan dalam urut-urutan upacara sampai upacara terakhir di rumah Widura. Namun kemudian, terasa bahwa pembicaraan Ki Lurah Branjangan mulai tidak lancar lagi. Kadang-kadang ia mendehem, dan kadang-kadang ia tampak gelisah. Sejenak dipandanginya Agung Sedayu, kemudian Swandaru yang duduk di antara mereka. Mereka yang menemui Ki Lurah Branjangan melihat perubahan sikap itu. Untara, yang meskipun masih muda, tetapi ia sudah cukup matang menanggapi berbagai macam persoalan segera bertanya,
“Apakah ada sesuatu yang ingin kau katakan? Aku kira selain isi jodang yang telah kami terima dengan perasaan terima kasih yang tidak terhingga itu, kau tentu menerima beberapa pesan pula untuk kami.”
Ki Lurah Branjangan mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi sekali lagi ia memandang Agung Sedayu dan Swandaru.
“Katakanlah. Mereka adalah anak-anak baik. Mereka tidak akan mengganggu. Jika yang kau katakan itu suatu rahasia yang besar, mereka tidak akan membocorkannya, kecuali kalau kau memang minta agar mereka meninggalkan pertemuan ini.”
Ki Lurah Branjangan ragu-ragu sejenak. Namun kemudian,
“Biarlah mereka di sini. Mereka sudah mengenal Raden Sutawijaya, dan mereka agaknya belum lama meninggalkan Alas Mentaok yang sedang dibuka itu.”
“Ya, mereka baru datang dari Mentaok. Menurut keterangannya, ia ikut membuka hutan, meskipun hanya beberapa lama.”
“Ya. Raden Sutawijaya juga mengatakan demikian.”
“Kalau kau tidak berkeberatan, aku tidak akan menyuruh mereka pergi.”
Ki Lurah Branjangan mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Biar sajalah mereka mendengar. Aku pun yakin, bahwa mereka bukan orang lain bagi kita.”
“Bagi kita?” bertanya Widura.
“Ya. Bagi orang-orang Pajang dan orang-orang Mataram.”
Untara dan Widura saling berpandangan sejenak. Namun mereka pun tidak berkata apa pun juga. Yang berkata selanjutnya adalah Branjangan,
“Baiklah aku sedikit berbicara tentang diriku sendiri lebih dahulu.” Ia berhenti sejenak, lalu berpaling kepada kawan-kawannya,
“Mereka pun tidak perlu dicurigai. Aku percaya kepada kawan-kawanku.”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Sekarang aku berada di Mataram. Aku mengikuti Raden Sutawijaya sejak ia mulai menetap di daerah baru itu.”
“Kenapa kau pergi ke Mataram?” tiba-tiba Untara bertanya.
“Tidak apa-apa. Sama saja bagiku. Mataram adalah kelanjutan dari Pajang, karena Raden Sutawijaya adalah putera angkat Sultan Pajang.”
“Kalau sama saja, kenapa kau tinggalkan Pajang dan pergi ke Mataram, suatu daerah baru? Kalau sama saja kenapa kau menentukan suatu perubahan dan menjatuhkan pilihan?”
Ki Lurah Branjangan tertawa. Jawabnya,
“Bukan pilihan yang mutlak.”

Untara mengerutkan keningnya. Ketika ia memandang wajah Widura, maka dilihatnya, bahwa pada wajah itu pun tersirat kesan yang aneh. Dan sejenak kemudian, Untara pun bertanya,
“Apakah yang kau maksudkan, Ki Lurah Branjangan?”
“Maksudku, bahwa pilihanku bukan karena sesuatu. Bukan karena yang baru lebih baik dari yang lama. Tetapi aku hanya ingin suasana yang bergerak. Maju terus tidak berhenti, seperti yang terjadi di Pajang sekarang.”
Untara memandang wajah Ki Lurah Branjangan sejenak, lalu,
“Apakah menurut penilaianmu, Pajang tidak akan berkembang?”
“Aku tidak melihat sesuatu yang bergerak di Pajang. Semuanya berjalan seperti yang telah berjalan. Seakan-akan Pajang adalah sebuah sungai di satu musim. Airnya mengalir dengan tenangnya. Pagi, siang, sore dan malam.” Branjangan berhenti sejenak, lalu,
“Tetapi Mataram yang baru adalah sebatang sungai di musim pancaroba. Kadang-kadang airnya hampir kering, tetapi kadang-kadang banjir bandang. Gerak yang demikianlah yang menarik hati. Kemungkinan masa depan dari Mataram bagiku akan lebih baik dari Pajang. Mungkin hal ini disebabkan karena Raden Sutawijaya adalah seorang anak muda. Sedang Sultan Pajang telah menjadi semakin tua dan semakin jauh tenggelam ke dalam kamukten.”
“Mungkin kau benar. Tetapi kau lupa, bahwa di Pajang ada juga seorang anak muda yang akan mampu menggerakkan Pajang nanti pada saatnya.”
“Pangeran Benawa maksudmu?”
“Ya.”
Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
“Aku tidak dapat mengatakan sesuatu tentang Pangeran Benawa yang baik hati. Seorang yang ramah dan tidak pernah mendendam seseorang, betapa pun besar kesalahan orang itu atasnya. Yang tidak sampai hati menjatuhkan hukuman kepada orang yang bersalah, dan yang tidak berani memandang seekor kucing menerkam seekor tikus. Ia mengampuni semua orang yang mengaku bersalah, dan yang tidak mengaku sekalipun. Bahkan ia tidak akan mempertahankan miliknya, jika ia melihat seorang pencuri mengambilnya.”
Untara menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat kebenaran dari tanggapan Branjangan atas Pangeran Benawa. Tetapi itu bukan berarti bahwa Pajang harus ditinggalkan. Sebagai seorang perwira yang ikut berjuang membina Pajang sejak berdirinya, maka Untara tidak akan dapat membiarkan Pajang jatuh ke dalam kelemahannya sendiri, justru karena kebaikan hati yang melimpah ruah. Tetapi sebelum Untara menjawab, Ki Lurah Branjangan telah mendahuluinya,
“Tetapi bukan maksudku untuk mempersoalkan apakah kita harus memilih Pajang atau Mataram. Sudah aku katakan, keduanya sama, karena arah perkembangannya seharusnya akan menemukan titik sentuhan. Tetapi kini aku melihat Mataram bergolak lebih dahsyat. Hanya itu. Dan memang bukan maksudku untuk mempersoalkan, kenapa aku berada di sana, dan kalian di sini.” Ki Lurah Branjangan berhenti sejenak, lalu,
“Ada pesan yang lebih penting dari itu, Ki Untara. Meskipun aku belum pernah, dan itu hanyalah suatu kebetulan, berada di bawah pimpinanmu sebagai seorang senapati, tetapi aku sudah mendengar, bahwa kau adalah seorang senapati yang mumpuni.”

Untara dan Widura tidak menyahut. Tetapi mereka menjadi berdebar-debar.
“Jangan takut, bahwa aku akan membujukmu setelah aku menyerahkan sumbangan itu,” Ki Lurah Branjangan masih sempat tertawa.
Dan Untara pun menjawab,
“Hanya anak-anak yang diam menangis jika diberi sebongkah gula.”
Branjangan mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menarik nafas sambil berkata,
“Hampir aku lupa, bahwa aku berbicara dengan Ki Untara.”
“Katakan pesan yang penting itu,“ Untara menjadi tidak sabar.
“He, aku sekarang adalah seorang tamu menjelang perhelatan perkawinanmu. Bukan seorang prajurit di medan.”
Untara menggigit bibirnya. Tetapi ia tidak menyahut.
“Baiklah,” berkata Ki Lurah Branjangan,
“bagaimanapun juga, aku memilih cara yang paling lunak untuk berbicara. Aku tidak biasa mempersoalkan sesuatu yang bagaimanapun besarnya dengan tegang.”
“Baik, baik. Katakanlah, ini bukan perintah.”
Branjangan tertawa. Jawabnya,
“Baiklah,” ia berhenti pula sambil memandang Agung Sedayu dan Swandaru berganti-ganti. Tetapi keduanya tidak berbuat apa pun juga.
“Ki Untara,” suara Ki Lurah Branjangan merendah,
“bagaimanapun juga, harus kita akui, bahwa ada ketegangan antara Pajang dan Mataram.”
“Ya,” sahut Untara pendek.
“Dan kau adalah seorang senapati tertinggi di daerah Selatan ini, daerah yang langsung berhadapan dengan garis ketegangan itu.”
“Ya.”
“Itulah sebabnya, aku harus menemuimu atas perintah Raden Sutawijaya, selain menyerahkan sumbangan. Kita masing-masing harus menjaga, agar kesibukanmu mengurus hari perkawinanmu ini tidak dimanfaatkan orang yang ingin mengail di air yang keruh. Bukankah di hari-hari perkawinanmu itu nanti, Jati Anom dan Banyu Asri akan penuh dengan prajurit, terutama perwira-perwira tinggi? Aku tahu, kau pasti sudah menyiapkan penjagaan. Tetapi sekedar untuk melindungi keselamatan para perwira itu. Namun di samping itu, kita harus berusaha untuk menghapus setiap kesan buruk yang timbul selama kesibukanmu itu.”
Untara mengerutkan keningnya. Ia masih belum jelas atas maksud Ki Lurah Branjangan, meskipun ia mengerti arah pembicaraanya itu. Tetapi Untara tidak bertanya. Ia menunggu saja Branjangan melanjutkan kata-katanya. Dan sejenak kemudian Branjangan pun berkata,
“Tugasku adalah menyampaikan permintaan kepadamu, agar kami, dari Mataram diperkenankan ikut serta mengawasi keamanan selama berlangsung perkawinanmu.”
Untara mengerutkan keningnya. Ia menjadi heran mendengar permintaan itu, sehingga ia bertanya,
“Ki Lurah, bagaimana mungkin Mataram akan ikut menjaga keamanan di daerah ini. Aku sudah mempercayakan semuanya kepada anak buahku. Dan Pajang tidak kekurangan prajurit untuk menjaga keamanan, jangankan Jati Anom dan Banyu Asri, bahkan prajurit Pajang masih sanggup menjaga keamanan di seluruh Pajang.”
“Aku mengerti, aku mengerti. Tetapi maksudku, bukannya karena kami menganggap Pajang tidak mempunyai kekuatan. Tetapi sekedar menjaga agar tidak terjadi salah paham.” Ki Lurah Branjangan berhenti sejenak, lalu,
“Ki Untara. Di Mataram telah terjadi peristiwa yang pahit. Beberapa orang telah membuat para pekerja menjadi ketakutan dengan hantu-hantuannya. Kemudian tersebar desas-desus, bahwa hantu-hantu itu sebenarnya adalah usaha dari orang-orang Pajang yang tidak ingin melihat Mataram berkembang. Dan tentu saja kami tidak mempercayainya. Jika Pajang tidak ingin melihat Mataram berkembang, maka para pemimpin di Pajang tidak perlu membuat hantu-hantuan. Mereka dapat datang dengan pasukan segelar sepapan. Maka Mataram akan hapus dalam waktu satu hari saja.”
Untara mengerutkan keningnya. Tetapi ia masih tetap diam saja. Dan Ki Lurah Branjangan pun meneruskan,
“Yang kami cemaskan Ki Untara, jika ada orang-orang yang dengan sengaja membakar ketegangan yang memang telah ada. Sekelompok orang-orang yang tidak bertanggung jawab, mengacaukan acara perkawinanmu, dan mengaku sebagai orang-orang Mataram.”
“Kami tidak berkeberatan. Kami akan menumpas mereka karena kami mempunyai pasukan yang cukup.”
“Kami percaya. Tetapi soalnya bukan sekedar menumpas. Tetapi, bahwa Pajang harus yakin, bahwa Mataram tidak akan berbuat demikian. Tugas yang dibebankan kepada kami, bukannya ikut membantu menumpas kejahatan serupa itu. Tetapi untuk mengenal, apakah mereka benar-benar orang Mataram. Jika benar, maka kami tidak akan segan-segan mengambil tindakan. Tetapi jika tidak, maka kami akan dapat mengatakan kepada mereka, bahwa Mataram tidak bertanggung jawab atas tindakan mereka, sehingga dengan demikian, mereka akan tersudut pada sebuah pengakuan, siapakah sebenarnya mereka, karena mereka tidak mengenal kami.”

Untara menarik nafas dalam-dalam. Ditatapnya Widura sejenak. Ternyata, permintaan Ki Lurah Branjangan itu memang masuk akal. Orang-orang Mataram sendiri mencemaskan jika ada segolongan orang yang memancing kekeruhan. Jika mereka menamakan diri orang-orang Mataram dan mengacaukan perhelatan yang dikunjungi oleh sejumlah perwira, apalagi jika mereka berhasil menjatuhkan korban, maka pembalasan pasti akan di tujukan kepada Mataram.
Sambil mengangguk- berkata,
“Apakah kau mencemaskan hal itu dapat terjadi?”
“Kita wajib berjaga-jaga. Ada banyak pihak yang tidak senang melihat perkembangan Mataram. Antara lain orang-orang yang ingin membuka hutan itu untuk kepentingan mereka sendiri. Mereka tidak senang melihat Raden Sutawijaya berhasil membuat Alas Mentaok menjadi suatu negeri yang ramai. Contoh yang jelas, yang diketahui pula oleh Agung Sedayu dan Swandaru, usaha Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak. Tetapi kami tidak yakin, bahwa Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak itu orang puncak yang menggerakkan usaha untuk menggagalkan pembukaan Alas Mentaok. Kami memperhitungkan, bahwa masih ada orang-orang lain di belakang mereka, sehingga kemungkinan-kemungkinan yang tidak kita kehendaki itu tidak terjadi.”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi ia memandang Widura, seolah-olah minta pertimbangan daripadanya. Tetapi Widura tidak memberikan kesan apa pun. Namun demikian, agaknya Widura juga tidak menolak pesan dari Raden Sutawijaya itu.
“Kau dapat mempertimbangkan, Ki Untara,” berkata Ki Lurah Branjangan,
“aku tidak tergesa-gesa. Jika kau setuju, maka akulah yang mendapat tugas untuk itu, beserta orang-orang yang sekarang bersamaku membawa barang-barang dari Raden Sutawijaya. Selain kami, menurut pesan Raden Sutawijaya, Agung Sedayu dan Swandaru akan dapat membantu, karena ia mengenal beberapa orang Mataram dan beberapa orang perwira Pajang. Sementara penghubung antara kami di sini dan pimpinan kami di Mataram adalah Wanakerti dan dua orang kawannya.”
Untara mengangguk-angguk. Ketika ia memandang Agung Sedayu dan Swandaru, tampaklah kedua anak-anak muda itu mengerutkan keningnya. Mereka belum mengenal Ki Lurah Branjangan. Apakah pesan itu benar-benar datang dari Raden Sutawijaya, apakah sekedar atas kehendaknya sendiri, karena Ki Lurah Branjangan itu pernah mendengar namanya dan tiba-tiba saja ditemukannya mereka di sini.
“Baiklah Ki Lurah. Kami minta kalian tinggal di sini. Kami akan mempertimbangkan. Karena aku tidak sendiri, maka aku akan memanggil beberapa orang perwira untuk membicarakannya.”
“Silahkan. Kami akan menunggu keputusan. Apa pun yang akan kalian putuskan, kami akan tunduk.”
“Ya, kamilah yang memegang tanggung jawab keamanan, bukan saja di daerah Jati Anom dan Banyu Asri, tetapi juga di daerah Mataram sendiri. Karena itu, keputusan kami memang mengikat bagi kalian dan bagi Mataram yang sampai saat ini masih belum mendapat bentuk yang pasti.”
Ki Lurah Branjangan mengangkat wajahnya dan bergeser setapak. Tetapi kemudian menarik nafas sambil berkata,
“Ya. Demikianlah, Mataram memang belum mempunyai bentuk yang jelas.”

Widura hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Di dalam keadaan yang demikian sifat-sifat keprajuritan Untara lah yang melonjak. Sebagai seorang senapati yang langsung berhadapan dengan batas yang samar dari daerah baru, yang memang belum mempunyai bentuk, Untara harus mempunyai sikap. Dan sikapnya ternyata jelas di dalam hubungan yang resmi.
“Mataram adalah daerah tanggung jawabnya, meskipun di Mataram ada Raden Sutawijaya, putera angkat Sultan Pajang dan Ki Gede Pemanahan yang pernah menjadi panglima pasukan Pajang. Tetapi di Mataram, mereka tidak lagi berada pada kedudukannya itu.”
Ki Lurah Branjangan yang mengenal Untara tidak juga mengingkarinya. Sebab dari segi tata pemerintahan, Mataram memang berada di bawah Pajang, sehingga kekuasaan senapati di daerah Selatan ini pun masih juga mencakup daerah yang kemudian disebut Mataram, di Alas Mentaok. Ki Lurah Branjangan pun sadar, bahwa setiap perdebatan mengenai kekuasaan di Mataram, hanya akan mendorong Untara bersikap lebih keras. Menurut pengamatan orang-orang Mataram, sebenarnya Untara bukannya orang yang dengan kekuasaannya berusaha menindas perkembangan Mataram. Untara sendiri tidak berkeberatan melihat Mataram berkembang, namun sudah pasti, bahwa Mataram yang berkembang itu adalah bagian dari Pajang, kecuali Jika Sultan Pajang memberikan bentuk yang lain kelak. Sehingga karena itu, maka ia pun hanya sekedar mengangguk-angguk saja. Dalam pada itu, maka Untara pun sejenak kemudian mempersilahkan tamu-tamunya untuk beristirahat.
“Silahkan beristirahat di gandok wetan,” berkata Widura pula kepada para tamunya. Lalu kepada Agung Sedayu,
“Antarkan Ki Lurah beserta kawan-kawannya ke gandok.”
Agung Sedayu menganggukkan kepalanya. Bersama Swandaru maka mereka pun mempersilahkan Ki Lurah Branjangan bersama para pengiringnya pergi ke gandok Wetan. Namun ketika Agung Sedayu dan Swandaru akan kembali lagi ke pendapa setelah Ki Lurah Branjangan duduk di amben bambu yang besar di gandok itu, langkahnya tertegun. Ki Lurah itu memanggilnya hampir berbisik,
“Kemarilah. Duduklah di sini.”
Kedua anak-anak muda itu menjadi heran. Tetapi ketika mereka melihat Ki Lurah Branjangan tertawa, mereka pun segera duduk di sampingnya.
“Aku membawa pesan dari Raden Sutawijaya bagi kalian,” berkata ki Lurah Branjangan.
“Bukan apa-apa, sekedar salam dan ucapan selamat atas perkawinan kakakmu.”
“O, terima kasih,” sahut Agung Sedayu.
“Dan barangkali Raden Sutawijaya tahu pasti, bahwa aku akan bertemu dengan kalian berdua di sini. Maka Raden Sutawijaya menyampaikan harapannya, agar kalian suka membantu tugasku di sini dan dalam waktu yang dekat berkunjung ke Mataram.”
Agung Sedayu dan Swandaru saling berpandangan sejenak, lalu,
“Kami tidak berkeberatan,” sahut Agung Sedayu.
“Kami mengerti, bahwa Mataram tidak ingin terjerumus ke dalam kesulitan menghadapi Pajang. Jika ada orang yang memancing persoalan dan dengan sengaja membenturkan Mataram atas Pajang, dalam keadaan seperti sekarang, Mataram memang akan mengalami banyak kesulitan.”
Ki Lurah Branjangan mengerutkan keningnya. Katanya,
“Kau terlampau banyak mengetahui tentang Mataram. Siapakah yang mengatakan kepadamu?”
“Tidak ada. Dan aku hanya menduga-duga.”

Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Kini ia melihat sendiri, betapa tangkasnya anak muda itu berpikir, sehingga karena itu ia tidak dapat bersikap sebagaimana ia menghadapi anak-anak. Sebelum Ki Lurah Branjangan berkata lebih lanjut, Agung Sedayu sudah berdiri dan berkata,
“Silahkan Ki Lurah beristirahat. Ruang dan bilik gandok ini akan segera dibersihkan. Jika Kakang Untara sependapat, maka Ki Lurah akan berada di sini secepat-cepatnya sepuluh hari sampai Kakang Untara selesai dengan upacara ngunduh penganten.”
“Terima kasih,” sahut Ki Lurah Branjangan.
Agung Sedayu dan Swandaru pun kemudian meninggalkan Ki Lurah itu duduk termangu-mangu. Seorang pembantunya yang terdekat segera duduk di sampingnya sambil berkata,
“Anak ini ternyata cukup matang untuk menanggapi setiap persoalan. Ki Lurah tidak dapat menganggapnya sebagai anak-anak lagi. Sikap Ki Lurah kurang bersungguh-sungguh.”
“Aku keliru. Ketika aku memperkenalkan diri, aku menganggap keduanya masih terlalu muda, sehingga aku bersikap sekenanya. Ternyata kedua anak-anak muda itu telah mentertawakan aku di dalam hati. Mereka bersikap matang, meskipun agaknya dapat juga dibawa bergurau.”
“Tentu mereka merasa geli mendengar pujian-pujian bagi mereka, seperti anak-anak yang sedang belajar berdiri.”
“Ya, aku kira mereka akan senang dengan pujian-pujian itu seperti kebanyakan anak-anak muda di masa pancaroba. Bukankah menilik umur mereka, mereka adalah anak-anak yang menginjak masa gelisah dan mendambakan kebanggaan dan pujian? Tetapi tidak bagi mereka. Hampir saja aku minta mereka menyingkir, ketika aku akan berbicara dengan Untara setelah aku memujinya.”
“Itulah sebabnya, maka Raden Sutawijaya memanggil mereka, atau setidak-tidaknya mengharap kedatangan mereka. Bukan sekedar anak-anak muda yang kebetulan mampu berkelahi, tetapi mereka mampu juga berpikir,” desis Ki Lurah Branjangan lebih lanjut. Lalu tiba-tiba suaranya merendah,
“Lalu betapa kemampuan yang dimiliki oleh guru mereka. Kemampuan lahir dan kemampuan berpikir.”
Pembantunya mengangguk-anggukkan kepalanya. Gumamnya,
“Agaknya memang ada tetesan darah orang besar pada keduanya, Untara dan adiknya. Jika Agung Sedayu terjun ke dalam lingkungan keprajuritan, maka ia akan memiliki kemampuan seperti Untara di medan mau pun menanggapi keseluruhan keadaan dan suasana.”
Dalam pada itu, sepeninggal Ki Lurah Branjangan dan para pengiringnya, serta setelah Agung Sedayu dan Swandaru kembali ke pendapa, maka Untara pun mulai minta pendapat mereka tentang pesan Raden Sutawijaya.
“Aku dapat mengerti,” berkata Widura,
“agar tidak semua noda-noda hitam dilemparkan kepada orang-orang Mataram.”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu,
“Apakah itu bukan sekedar usaha untuk mencuci tangan?”
“Aku rasa bukan maksudnya,” berkata Widura pula,
“orang-orang Mataram pun menyadari ketegangan yang seakan-akan semakin lama menjadi semakin runcing. Tetapi kita semuanya tidak mengerti, apakah sebabnya. Sultan Adiwijaya sudah menyerahkan tanah Mentaok kepada Pemanahan. Sebenarnya tidak ada persoalan lagi yang perlu menambah ketegangan.”
“Tetapi tindakan Ki Gede Pemanahan sudah menimbulkan kesan yang tegang.”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Memang kebangkitan Mataram dapat diurai dalam banyak arti. Terlebih-lebih lagi usaha-usaha yang sengaja membenturkan daerah yang baru berkembang itu agar hancur sama sekali,” desis Widura.
“Adalah wajar, bahwa perkembangan Mataram yang dimulai dengan ketegangan itu akan selalu dibayangi oleh ketegangan pula,” desis Untara.

Dalam pada itu, Agung Sedayu yang mendengarkan pembicaraan itu tergerak juga hatinya untuk ikut berbicara. Betapapun ia ragu-ragu, namun akhirnya ia berkata pula,
“Kakang Untara, menurut penglihatanku, Mataram berkembang dengan wajar. Kenapa Pajang tidak pernah mempersoalkan perkembangan daerah-daerah lain kecuali Mataram?”
Untara mengerutkan keningnya. Sambil memandang wajah Agung Sedayu dengan kerut-merut di kening, Untara bertanya,
“Misalnya?”
Agung Sedayu menjadi semakin ragu-ragu melihat tanggapan kakaknya. Tetapi karena ia sudah terlanjur mengatakannya, maka ia pun harus manjawabnya,
“Sependengaranku, Pati. Jika tidak yang terlalu besar, daerah Mangir, dan daerah Tanah Perdikan Menoreh.”
Untara menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
“Tidak ada persoalan yang mendahului perkembangan daerah itu. Menoreh telah mendapatkan bentuknya. Karena Argapati pernah berjasa kepada pimpinan pemerintahan pada waktu itu. Menoreh mendapatkan bentuk Tanah Perdikan. Mangir adalah sebuah kademangan yang besar di daerah Selatan. Tidak pernah ada persoalan apa-apa dengan Mangir. Juga Pati diterima oleh Ki Penjawi dengan wajar. Sedangkan daerah pesisir masih harus ditertibkan, karena ada beberapa orang Adipati yang merasa tidak lagi berada di bawah kekuasaan Pajang setelah Demak lenyap. Nah, bukankah tidak hanya Mataram saja yang menjadi persoalan kini?”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia merasa, bahwa pengetahuannya tentang Pajang memang hanya terlampau sedikit dibandingkan dengan kakaknya, Untara. Bahkan Swandaru pun ikut mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Perhatiannya terhadap pemerintahan sebenarnya cukup besar. Tetapi ia tidak sempat mempersoalkannya dengan orang-orang yang mempunyai pengetahuan yang luas tentang hal itu.
“Mataram adalah salah satu persoalan di antara banyak persoalan yang di hadapi oleh Pajang,” berkata Untara selanjutnya,
“Pajang masih harus meneruskan usaha Demak untuk mempersatukan seluruh daerah yang pernah menjadi suatu ikatan negara yang besar.”
Agung Sedayu dan Swandaru masih mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Baiklah,” berkata Untara kemudian,
“kita kembali kepada persoalan semula. Kita sebaiknya memang menerima tawaran itu tanpa prasangka. Jika ternyata mereka menyalah-gunakan kepercayaan yang kita berikan, mereka pasti akan menyesal.” Lalu katanya kepada Agung Sedayu,
“Sedayu, agaknya Raden Sutawijaya masih teringat kepadamu. Kau dapat membantu kami dan orang-orang Mataram. Kau dapat berdiri di tengah, agar kami tidak saling menyalahi. Kau mengerti?”
Agung Sedayu menganggukkan kepalanya sambil menjawab,
“Baik Kakang. Aku bersedia.”
“Tetapi sebaiknya kau minta gurumu datang bersama Ki Sumangkar. Orang-orang tua mempunyai pendapat yang baik, yang kadang-kadang melampaui pendapat para pemimpin pemerintahan. Katakanlah, bahwa aku mengundang mereka sebelum aku pergi ke Pengging. Aku minta keduanya mengawani paman Widura di sini. Namun demikian, aku akan bertemu dengan beberapa orang perwira untuk menyampaikan maksud Ki Lurah Branjangan. Aku kira kebanyakan dari mereka tidak pula akan menolak. Mungkin ada satu dua orang yang berpendirian terlampau tajam. Tetapi aku dapat memerintahkan kepada mereka untuk melunakkan sikapnya, atau aku bawa saja mereka sebagai pengiringku ke Pengging.” Untara berhenti sejenak, lalu,
“Bukankah begitu, Paman?”
“Aku sependapat Untara, dan aku senang sekali mendapat kawan Ki Tanu Metir dan Ki Sumangkar.”
“Jika demikian, biarlah Agung Sedayu menjemput mereka. Ia dapat segera pergi dan segera pula kembali. Sangkal Putung tidak terlampau jauh. Tetapi aku tidak minta Ki Demang datang sekarang. Aku tahu, bahwa ia tidak dapat meninggalkan kewajibannya begitu saja. Bukankah begitu, Swandaru?”
Swandaru tersenyum sambil mengangguk, “Ya, begitulah.”
“Tetapi tentu kau akan memberitahukan kepada Demang di Jati Anom,” potong Widura.
“Ia akan datang malam nanti untuk ikut tirakatan di sini,” sahut Untara.

Ternyata bahwa Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar tidak usah menunggu sampai menjelang hari sepasaran dan ngunduh penganten. Sebenarnya kedua orang tua itu akan datang menjelang hari-hari penjemputan sepasang penganten dan upacara di rumah Widura. Namun agaknya karena persoalan yang tiba-tiba itu. Agung Sedayu dan Swandaru harus mempercepat kehadiran mereka, sementara Untara akan berbicara dengan para perwira. Seperti yang diduga oleh Untara, maka beberapa orang perwira sama sekali tidak berkeberatan, ketika Untara menyampaikan permintaan Ki Lurah Branjangan atas pesan Raden Sutawijaya di dalam pertemuan yang segera diadakan di rumah Untara. Tetapi juga seperti yang diduga oleh Untara, ada juga beberapa orang di antara mereka yang sambil mencibirkan bibirnya bergumam di antara mereka.
“Sebenarnya aku tidak sependapat.”
Tetapi pengaruh Untara terlalu besar atas mereka, sehingga tidak seorang pun yang langsung berani menolak. Dalam pada itu, Agung Sedayu dan Swandaru telah berpacu ke Sangkal Putung. Mereka harus menyampaikan permintaan Untara agar Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar bersedia untuk datang ke Jati Anom menjelang keberangkatan Untara ke Pengging, bukan menjelang upacara kedatangannya dari Pengging bersama isterinya kelak. Kedatangannya di Sangkal Putung memang agak menimbulkan berbagai pertanyaan di dalam hati. Baik pada Kiai Gringsing dan Sumangkar, maupun pada Ki Demang Sangkal Putung. Mereka akan berada di Jati Anom sampai upacara pengantin selesai seluruhnya. Namun tiba-tiba mereka telah muncul, justru sebelum Untara berangkat ke Pengging. Tetapi ketika Agung Sedayu dan Swandaru melihat kesan di wajah-wajah itu, maka mereka pun segera menyampaikan kepentingan mereka kepada orang-orang tua itu. Agung Sedayu pun segera berceritera kepada gurunya dan Ki Sumangkar, sedang Swandaru segera menemui ayahnya.
“Jadi kami diminta segera datang ke Jati Anom?” bertanya Kiai Gringsing.
“Ya,” jawab Agung Sedayu.
“Kapan kita akan berangkat?”
“Hari ini.”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya Namun kemudian sambil tersenyum ia berkata,
“Tetapi jangan hari ini. Besok pagi-pagi benar kita berangkat. Udaranya tentu segar dan perjalanan kita akan menyenangkan.”
Agung Sedayu merenung sejenak. Tetapi ia ragu-ragu untuk mengambil keputusan.
“Tentu Angger Untara akan memakluminya.”
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi ia berkata,
“Aku akan berbicara dengan Swandaru lebih dahulu.”
Ternyata Swandaru yang berada di dalam rumahnya bersama ayah dan ibunya pun menggeliat sambil berkata,
“Memang sebaiknya besok saja, Kakang. Aku malas untuk kembali sekarang.”
“Tetapi mereka menunggu kita,” sahut Agung Sedayu.
Sebelum Swandaru menyahut, terdengar dari balik pintu ruang dalam suara seorang perempuan,
“Biar sajalah kalau Kakang Sedayu akan kembali sendiri. Kau, Kiai Gringsing, dan Guru pasti akan pergi paling cepat besok pagi.”

Agung Sedayu memandang ke arah daun pintu yang separo terbuka, tetapi ia tidak melihat orang yang menyahut kata-katanya meskipun ia tahu, bahwa suara itu adalah suara Sekar Mirah. Karena itu, Agung Sedayu pun menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak dapat membantah lagi. Swandaru yang sudah hampir menjawab sebelum Sekar Mirah, tersenyum sambil mencibirkan bibirnya. Bahkan kemudian ia berbisik,
“Nah, apakah Kakang Agung Sedayu masih akan membantah lagi.”
Agung Sedayu menundukkan kepalanya. Sekilas ia melihat wajah Ki Demang dan Nyai Demang tersenyum pula.
“Baiklah,” Agung Sedayu pun kemudian berdesis lambat, seolah-olah hanya ingin didengarnya sendiri,
“kita akan kembali besok saja ke Jati Anom.”
Demikianlah, di sore hari, Agung Sedayu sempat juga bercakap-cakap dengan Sekar Mirah, meskipun Agung Sedayu masih saja dibatasi oleh perasaannya yang kurang terbuka. Ragu-ragu dan kebimbangan masih selalu membayanginya. Bukan tentang Sekar Mirah sendiri, tetapi tentang sikap yang dianggapnya baik terhadap Sekar Mirah.
“Jadi, banyak sekali perwira-perwira yang akan datang?” bertanya Sekar Mirah.
“Ya, beberapa orang perwira tinggi kawan-kawan Kakang Untara akan datang.”
“Juga isteri-isteri mereka?”
“Tentu. Mereka yang sudah beristeri akan datang bersama isteri-isteri mereka.”
“Dan anak-anak gadis mereka?”
Agung Sedayu mengerutkan keningnva. Dengan ragu-ragu ia menjawab,
“Aku tidak tahu. Dan aku pun tidak tahu apakah ada perwira kawan-kawan Kakang Untara yang sudah mempunyai anak gadis.”
“Tentu ada. Dan jika demikian, sebaiknya aku tidak usah datang.”
“Kenapa?”
“Ayah dan ibu juga tidak usah datang.”
“Kenapa? Kenapa, he?” Agung Sedayu menjadi bingung.
“Aku tentu tidak akan mendapat tempat. Ayah dan ibu pun pasti hanya akan tersisih. Jika tamu-tamunya adalah para perwira, maka ayah, sekedar seorang Demang, pasti hanya akan mendapat tempat di sudut yang paling gelap.”
“Ah, ada-ada saja kau, Mirah.”
Sekar Mirah tidak segera menyahut. Tetapi sambil bersungut-sungut ia menatap ke kejauhan. Memang terbayang di rongga matanya, ayah dan ibunya duduk di sudut yang tersendiri. Ayahnya yang berada di pendapa sama sekali tidak dihiraukan oleh para perwira yang hadir karena ayahnya hanyalah seorang Demang, sedang ibunya yang duduk di pringgitan pun sama sekali tidak mendapat perhatian di antara isteri-isteri perwira tinggi dari Pajang. Sedang dirinya sendiri pun sama sekali tidak mendapat tempat, karena Agung Sedayu sibuk melayani para tamu dan persiapan jamuan di belakang. Sedang gadis-gadis dari kota tidak akan menghiraukannya.

Agung Sedayu yang melihat Sekar Mirah bersungut-sungut menarik nafas sambil berkata,
“Kau jangan membayangkan jamuan yang diselenggarakan kelak sebagai jamuan yang besar sekali, dan yang akan dihadiri oleh para tamu tertinggi dari Pajang. Sama sekali tidak, Sekar Mirah. Memang ada beberapa orang perwira tinggi yang akan hadir. Tetapi sebagian besar tamu Kakang Untara adalah sanak kadang sendiri. Tetangga-tetangga di Jati Anom dan para bebahu. Justru para perwira dan isteri-isterinyalah yang akan disediakan tempat tersendiri.”
Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Lalu, “Benar?”
“Tentu.”
“Dan aku?”
“Ada saudara-saudaraku yang akan mengawanimu. Sanak kadang yang masih dekat dalam hubungan keluarga. Mereka akan senang sekali melihat kau, karena sebagian dari mereka telah mendengar namamu.”
“Dari mana mereka mendengar namaku?”
“Bukankah Paman Widura pernah mengenalmu. Dan bukankah Kakang Untara juga pernah berada di Sangkal Putung? Seperti Kakang Untara, maka Paman Widura lah yang akan menjadi pengganti ibu bapaku.”
“Bukan Kakang Untara?”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Lalu,
“Ya, mungkin Kakang Untara dan Paman Widura sekaligus.”
“Kakang Untara sudah mempunyai sisihan. Ia akan dapat bertindak sebagai ibu dan ayahmu. Dan itu adalah kewajibannya. Kecuali jika Paman Widura menghendaki.”
“Kita serahkan saja kepada keduanya.”
“Tetapi tentu kita akan lebih berbangga, bahwa yang akan menerima kita di dalam lingkungan keluarga adalah Kakang Untara.”
“Kenapa?”
“Bukankah Kakang Untara seorang senapati besar, lebih besar dari Paman Widura? Bukankah dengan demikian, akan memberikan kebanggaan yang lebih besar pula kepada kita?”
Terasa sesuatu berdesir di dada Agung Sedayu. Pengenalannya tentang Sekar Mirah menjadi semakin bertambah. Sekar Mirah bukan saja seorang gadis yang tinggi hati, tetapi di antara orang-orang yang dianggapnya lebih besar, ia merasa rendah diri. Dan Agung Sedayu tidak ingkar, bahwa sifat-sifat yang demikian memang ada juga padanya. Namun dalam pada itu, tercetus juga suatu imbangan yang meledak di hatinya. Untuk mengatasi rasa rendah diri itu, Sekar Mirah ingin tampak menjadi seorang yang besar. Yang agung, di samping pada dasarnya ia seorang yang mempunyai keinginan dan cita-cita yang melonjak-lonjak.
Tetapi Agung Sedayu tidak mengatakannya. Bahkan ia berusaha menyembunyikan kesan itu jauh-jauh. Sambil tersenyum ia berkata,
“Aku akan minta kepada Kakang Untara, agar aku pun mendapat kesempatan mencicipi kebesarannya.”

Ketika kemudian malam menjadi gelap, maka Agung Sedayu dan Swandaru berada di gandok bersama gurunya dan Ki Sumangkar. Ketika sekar Mirah datang pula ke gandok itu, Swandaru segera mengusirnya,
“He, masuk ke dalam. Jangan berada di sini.”
“Kenapa?” bertanya Sekar Mirah, “aku akan bertemu dengan guruku.”
“Macammu. Kau pasti mencari Kakang Agung Sedayu.”
Sekar Mirah menjadi merah sejenak. Diambilnya ajuk-ajuk lampu di atas bancik dan dilemparkannya kepada Swandaru. Tetapi Swandaru sempat menghindar.
“Jangan, jangan Mirah. Kau merusak barang-barang saja.”
Kini Sekar Mirah memegang kendi berisi air. Katanya,
“Ayo, sekali lagi kau ulangi.”
Swandaru kini berdiri di belakang Agung Sedayu. Katanya,
“Jawablah, Kakang. Ternyata Sekar Mirah tidak mencari kau.”
Sekar Mirah meletakkan kendi itu sambil bergeramang. Tetapi ia pun segera meninggalkan gandok dan masuk ke dalam. Sepeninggal Sekar Mirah, Swandaru tidak dapat menahan tertawanya.
“Jangan kau ganggu Sekar Mirah itu lagi,” berkata gurunya,
“ia sedang dipengaruhi oleh angan-angannya. Angan-angan tentang dirinya sendiri, justru karena Untara akan segera kawin.”
“Kenapa? Apa hubungannya dengan perkawinan Kakang Untara.”
Ki Sumangkar tersenyum sambil menjawab,
“Gadis itu sudah berangan-angan tentang dirinya. Setelah Untara, maka akan segera datang saatnya, Agung Sedayu kawin.”
“O,” Swandaru mengangguk-angguk. Namun sebelum ia berkata lebih lanjut, Agung Sedayu mendahului,
“Tetapi apakah Sekar Mirah akan kawin mendahului kakaknya?”
“Apa salahnya,” Swandaru mengerutkan keningnya.
“Tidak ada salahnya. Tetapi alangkah baiknya, jika kakaknya akan kawin lebih dahulu. Dan itu berarti kita akan segera pergi ke Menoreh. Kita akan menempuh perjalanan yang jauh dan melintasi garis tegang antara Pajang dan Mataram, meskipun garis itu tidak dapat ditentukan di mana.”
Swandaru mengerutkan keningnya. Namun ia tidak menjawab lagi. Bahkan tangannya segera menutup mulutnya yang sedang menguap.
“Aku akan tidur. Biarlah semuanya itu terjadi di dalam mimpi. Agaknya menyenangkan juga.”
Agung Sedayu memandanginya sejenak. Tetapi ia tidak berkata apa pun lagi.

Di pagi hari berikutnya, Agung Sedayu dan Swandaru bersama gurunya dan Ki Sumangkar pun segera bersiap memenuhi undangan Untara. Langsung atau tidak langsung, rasa-rasanya ada juga kewajiban mereka untuk ikut berbicara tentang Pajang dan Mataram. Dan Untara yang akan meninggalkan Jati Anom kini memerlukannya.
“Jika Kakang Agung Sedayu tidak menjemputku, kelak menjelang upacara sepasaran di rumah Paman Widura, aku segan untuk datang,” Sekar Mirah bersungut-sungut.
“Apabila mungkin, aku akan menjemputmu dan menjemput Ki dan Nyi Demang di Sangkal Putung,” berkata Agung Sedayu ketika ia sudah siap untuk berangkat.
Sejenak kemudian, maka mereka pun telah melintasi bulak persawahan di luar padukuhan Sangkal Putung. Mereka memilih jalan di sisi sebelah Timur, menyusuri hutan-hutan yang rindang di ujung bulak. Semakin jauh hutan itu masih juga agak lebat dan kadang-kadang seekor harimau yang lapar sampai juga di jalan di pinggir hutan itu. Tetapi keempat orang itu sama sekali tidak mencemaskan diri mereka, meskipun mereka bertemu empat ekor harimau sekaligus. Yang menarik perhatian ketika mereka menyusuri pinggir hutan itu adalah suara burung-burung liar di saat-saat matahari memanjat naik. Riang bersahut-sahutan, seakan-akan mereka benar-benar telah menikmati kedamaian yang mantap. Kiai Gringsing yang berkuda di paling depan tiba-tiba saja terhenti, sehingga mereka yang berada di belakangnya pun terhenti pula. Bahkan orang tua itu kemudian meloncat turun sambil mengamat-amati keadaan di sekitarnya, dan menyusup masuk beberapa langkah ke dalam hutan rindang itu. Ki Sumangkar, Agung Sedayu, dan Swandaru pun kemudian berloncatan turun pula. Hampir berbareng perhatian mereka pun segera tertarik pula oleh seonggok abu yang di perhatikan oleh Kiai Gringsing.
“Perapian,” desis Kiai Gringsing.
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya,” ia menyahut,
“agaknya ada beberapa orang yang membuat perapian di sini.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Dilihatnya ranting-ranting perdu di sekitarnya berpatahan dan rumput-rumput pun roboh terinjak kaki orang, dan bahkan agaknya ada di antara mereka yang berbaring. Beberapa lembar daun pembungkus makanan bertebaran pula di sekitar tempat itu.
“Ada beberapa orang yang semalam bermalam di sini,” berkata Kiai Gringsing,
“dan itu sangat menarik perhatian.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak kemudian ia bergumam,
“Orang-orang asing bagi daerah ini. Agaknya mereka membawa bekal makanan.”

Agung Sedayu dan Swandaru pun mengangguk-angguk pula. Meskipun mereka tidak memberikan tanggapannya, namun mereka mulai berpikir dan menghubungkan hal itu dengan kemungkinan yang dikatakan oleh Ki Lurah Branjangan.
“Memang ada sesuatu yang harus kita perhatikan,” berkata Kiai Gringsing kemudian,
“baiklah hal ini dapat kita jadikan bahan persoalan dengan Angger Untara dan Ki Lurah Branjangan itu.”
Agung Sedayu yang masih saja mengangguk-angguk kemudian bertanya,
“Jadi, di manakah kira-kira mereka sekarang?”
Kiai Gringsing dan Sumangkar berbareng menggeleng. Yang menjawab kemudian adalah Kiai Gringsing,
“Kita tidak tahu, ke mana mereka pergi. Mungkin mereka berkeliaran di sekitar Jati Anom untuk mendapat bahan yang lebih lengkap tentang daerah itu, dan kemungkinan yang akan dilakukan di dalam upacara penganten itu.”
“Dan di malam hari mereka akan berkumpul lagi di sini,” sahut Agung Sedayu.
Kiai Gringsing tidak menyahut. Tetapi seperti yang diduganya, Agung Sedayu kemudian berkata,
“Kita dapat mengintainya di sini, di malam hari.”
“Ya,” Swandaru menyambung,
“kita dapat mengetahui, siapakah mereka itu. Jika perlu, kita akan menghancurkan mereka sebelum mereka berbuat apa-apa.”
“Kau selalu tergesa-gesa,” potong Agung Sedayu,
“kita harus yakin dahulu tentang mereka.”
“Tentu, kita harus yakin dahulu. Karena itu, baiklah nanti malam kita lihat. Siapakah yang ada di sekitar hutan ini?”
“Mungkin mereka tidak kembali ke tempat ini, tetapi mereka akan berada di tempat lain,” berkata Kiai Gringsing.
Dan Sumangkar menyahut,
“Tetapi tidak akan jauh dari tempat ini.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya,
“Baiklah, marilah kita meneruskan perjalanan yang pendek ini. Mungkin kita dapat menemukan jawab di Jati Anom. Siapa tahu, mereka justru para prajurit yang sedang nganglang untuk mengawasi keadaan.”
Setelah sekali lagi mereka meneliti tempat itu, dan tidak menemukan tanda-tanda baru, mereka pun segera meneruskan perjalanan mereka ke Jati Anom, dengan membawa sebuah laporan tentang perapian di hutan kecil agak menjorok masuk dari jalan setapak di pinggir hutan itu.

Perjalanan ke Jati Anom itu tidak memakan waktu terlalu lama. Ketika Matahari naik di atas ujung pepohonan, mereka pun telah sampai ke daerah kademangan itu. Meskipun Jati Anom yang sudah mulai miring karena letaknya di lereng Merapi itu tidak sesubur Sangkal Putung, namun sawahnya pun tampak hijau sejauh mata memandang. Pematang-pematang yang bagaikan tangga raksasa memanjat semakin lama menjadi semakin tinggi di lereng Gunung Merapi. Namun demikian masih juga tampak dataran-dataran yang rata seluas jangkauan mata. Derap beberapa ekor kuda di tengah-tengah bulak itu memang menarik perhatian para petani yang bekerja di sawah. Namun mereka pun mengetahui bahwa seorang senapati dari Pajang yang kebetulan berasal dan kini berada di Jati Anom akan melangsungkan perkawinannya, sehingga dengan demikian Jati Anom telah menjadi semakin ramai. Bukan saja orang-orang yang berkepentingan dengan hari perkawinan Untara, tetapi juga prajurit-prajurit memperpendek gelombang pengamatan mereka. Setiap kali dua orang prajurit berkuda melintasi bulak-bulak panjang yang memisahkan padukuhan yang satu dengan padukuhan yang lain. Bahkan mereka mengawasi juga pinggiran hutan di atas padukuhan Jati Anom dan di daerah sebelah Timur. Kedatangan Kiai Gringsing dan Sumangkar di rumah Widura telah disambut dengan akrab. Sebagai orang yang meskipun bukan berasal dan berada di dalam lingkungan pemerintahan dan pimpinan keprajuritan, namun keduanya adalah orang-orang yang memiliki kelebihan. Bahkan Untara tahu benar, bahwa sebenarnya Sumangkar bukan sekedar seorang yang tidak berarti di Kepatihan Jipang pada masa pemerintahan Adipati Penangsang yang diembani oleh Patih Mantahun.
Setelah duduk sejenak sambil berbicara tentang keselamatan masing-masing serta meneguk air panas, barulah Untara mengatakan maksudnya mempersilahkan keduanya hadir di Jati Anom lebih cepat dari rencana mereka.
“Justru selagi aku tidak berada di tempat, Paman Widura memerlukan kawan yang dapat dibawa berbincang,” berkata Untara kemudian.
“Bahkan aku mengharap Kiai berdua hadir kemarin di Jati Anom. Aku sudah gelisah, apakah Kiai berdua agak berkeberatan meninggalkan Sangkal Putung.”
Kiai Gringsing tersenyum. Sambil mengangguk-angguk ia berkata,
“Bukan berkeberatan. Tetapi kami ingin berkuda di pagi hari yang segar seperti ini”
Untara tersenyum. Sambil mengangguk-angguk ia pun kemudian mulai mengatakan maksudnya.
“Di gandok itulah Ki Lurah Branjangan beserta pengiringnya beristirahat.”
Kiai Gringsing pun mengangguk-angguk pula,
“Agung Sedayu sudah mengatakan serba sedikit. Dan sekarang aku menjadi semakin jelas.” Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu,
“Tetapi kita memang terus berhati-hati. Dan bukankah Anakmas Untara sudah memperhitungkan semua kemungkinan dan mempersiapkan para prajurit?”
“Ya,” Untara mengangguk-angguk pula,
“tetapi prajurit Pajang telah bersikap. Bahkan sebagian dari mereka terlampau keras menentang Mataram. Barangkali Agung Sedayu pernah berceritera apa yang dialaminya karena kecurigaan prajurit Pajang yang berlebih-lebihan. Karena itu, di dalam persoalan yang terlalu lembut dan licin, mereka kurang dapat menanggapinya. Juga Ki Lurah Branjangan yang datang dan Mataram itu sudah bersikap, meskipun ia masih berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya. Karena itu, aku memerlukan pihak yang dapat menguasai keadaan ini sebaik-baiknya di samping kedua belah pihak akan berjalan sesuai dengan garis tugas masing-masing.”


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar