Lalu katanya kepada pamannya,
“Paman, aku
persilahkan Paman menerimanya.”
Widura
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Baiklah, Ki Lurah
Branjangan. Jodang-jodang ini akan aku terima dan akan aku bawa masuk ke dalam.
Apakah jodang-jodangnya nanti akan kalian bawa kembali setelah isinya aku
terima?”
Ki Lurah Branjangan
tertawa sambil menjawab,
“Tidak. Tidak.
Kami tidak akan membawa jodangnya kembali ke Mataram. Kami menyerahkan semuanya
beserta tempatnya.”
Widura pun
tersenyum pula, katanya,
“Terima kasih.
Terlebih-lebih lagi terima kasih.”
Kemudian
bersama Agung Sedayu, Swandaru, dan beberapa orang pembantu, yang sebenarnya
adalah prajurit-prajurit Pajang, jodang-jodang itu dibawa masuk ke dalam.
Swandaru yang mengusung sebuah jodang bersama Agung Sedayu, setelah
meletakkannya di ruang dalam, menyingkap tutup jodang itu sedikit. Katanya,
“Bukan main,
kau lihat setumpuk kain panjang dalam satu jodang?”
“Sst,” Agung
Sedayu berdesis, “jangan.”
“Aku hanya
ingin melihat. Mungkin di jodang yang lain kau akan menemukan segulung kain
sutera. Yang lain lagi beberapa puluh lembar ikat kepala, sabuk, kamus, dan
timang. Yang lain lagi, yang lain lagi. Tentu bermacam-macam sekali.”
“Sudahlah.
Tentu banyak sekali. Yang memberikan sumbangan adalah Raden Sutawijaya. Sampai
saat ini ia masih Putera Sultan Pajang.”
“Anak angkat.”
“Ya, tetapi
kedudukan itu masih tetap.”
Keduanya pun
kemudian kembali ke pendapa dan duduk di antara tamu-tamunya. Beberapa orang
pelayan telah menyuguhkan hidangan bagi tamu-tamunya. Minuman panas dan
beberapa macam makanan. Sejenak mereka masih sempat berbicara tentang hari-hari
perkawinan. Tentang rencana yang akan dilaksanakan dalam urut-urutan upacara
sampai upacara terakhir di rumah Widura. Namun kemudian, terasa bahwa
pembicaraan Ki Lurah Branjangan mulai tidak lancar lagi. Kadang-kadang ia
mendehem, dan kadang-kadang ia tampak gelisah. Sejenak dipandanginya Agung
Sedayu, kemudian Swandaru yang duduk di antara mereka. Mereka yang menemui Ki
Lurah Branjangan melihat perubahan sikap itu. Untara, yang meskipun masih muda,
tetapi ia sudah cukup matang menanggapi berbagai macam persoalan segera
bertanya,
“Apakah ada
sesuatu yang ingin kau katakan? Aku kira selain isi jodang yang telah kami
terima dengan perasaan terima kasih yang tidak terhingga itu, kau tentu
menerima beberapa pesan pula untuk kami.”
Ki Lurah
Branjangan mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi sekali lagi ia memandang
Agung Sedayu dan Swandaru.
“Katakanlah.
Mereka adalah anak-anak baik. Mereka tidak akan mengganggu. Jika yang kau
katakan itu suatu rahasia yang besar, mereka tidak akan membocorkannya, kecuali
kalau kau memang minta agar mereka meninggalkan pertemuan ini.”
Ki Lurah
Branjangan ragu-ragu sejenak. Namun kemudian,
“Biarlah
mereka di sini. Mereka sudah mengenal Raden Sutawijaya, dan mereka agaknya
belum lama meninggalkan Alas Mentaok yang sedang dibuka itu.”
“Ya, mereka
baru datang dari Mentaok. Menurut keterangannya, ia ikut membuka hutan,
meskipun hanya beberapa lama.”
“Ya. Raden
Sutawijaya juga mengatakan demikian.”
“Kalau kau
tidak berkeberatan, aku tidak akan menyuruh mereka pergi.”
Ki Lurah
Branjangan mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Biar sajalah
mereka mendengar. Aku pun yakin, bahwa mereka bukan orang lain bagi kita.”
“Bagi kita?”
bertanya Widura.
“Ya. Bagi
orang-orang Pajang dan orang-orang Mataram.”
Untara dan
Widura saling berpandangan sejenak. Namun mereka pun tidak berkata apa pun
juga. Yang berkata selanjutnya adalah Branjangan,
“Baiklah aku
sedikit berbicara tentang diriku sendiri lebih dahulu.” Ia berhenti sejenak,
lalu berpaling kepada kawan-kawannya,
“Mereka pun
tidak perlu dicurigai. Aku percaya kepada kawan-kawanku.”
Untara mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Sekarang aku
berada di Mataram. Aku mengikuti Raden Sutawijaya sejak ia mulai menetap di
daerah baru itu.”
“Kenapa kau
pergi ke Mataram?” tiba-tiba Untara bertanya.
“Tidak
apa-apa. Sama saja bagiku. Mataram adalah kelanjutan dari Pajang, karena Raden
Sutawijaya adalah putera angkat Sultan Pajang.”
“Kalau sama
saja, kenapa kau tinggalkan Pajang dan pergi ke Mataram, suatu daerah baru?
Kalau sama saja kenapa kau menentukan suatu perubahan dan menjatuhkan pilihan?”
Ki Lurah
Branjangan tertawa. Jawabnya,
“Bukan pilihan
yang mutlak.”
Untara
mengerutkan keningnya. Ketika ia memandang wajah Widura, maka dilihatnya, bahwa
pada wajah itu pun tersirat kesan yang aneh. Dan sejenak kemudian, Untara pun
bertanya,
“Apakah yang
kau maksudkan, Ki Lurah Branjangan?”
“Maksudku,
bahwa pilihanku bukan karena sesuatu. Bukan karena yang baru lebih baik dari
yang lama. Tetapi aku hanya ingin suasana yang bergerak. Maju terus tidak
berhenti, seperti yang terjadi di Pajang sekarang.”
Untara
memandang wajah Ki Lurah Branjangan sejenak, lalu,
“Apakah
menurut penilaianmu, Pajang tidak akan berkembang?”
“Aku tidak
melihat sesuatu yang bergerak di Pajang. Semuanya berjalan seperti yang telah
berjalan. Seakan-akan Pajang adalah sebuah sungai di satu musim. Airnya
mengalir dengan tenangnya. Pagi, siang, sore dan malam.” Branjangan berhenti
sejenak, lalu,
“Tetapi
Mataram yang baru adalah sebatang sungai di musim pancaroba. Kadang-kadang
airnya hampir kering, tetapi kadang-kadang banjir bandang. Gerak yang
demikianlah yang menarik hati. Kemungkinan masa depan dari Mataram bagiku akan
lebih baik dari Pajang. Mungkin hal ini disebabkan karena Raden Sutawijaya
adalah seorang anak muda. Sedang Sultan Pajang telah menjadi semakin tua dan
semakin jauh tenggelam ke dalam kamukten.”
“Mungkin kau
benar. Tetapi kau lupa, bahwa di Pajang ada juga seorang anak muda yang akan
mampu menggerakkan Pajang nanti pada saatnya.”
“Pangeran
Benawa maksudmu?”
“Ya.”
Branjangan
menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
“Aku tidak
dapat mengatakan sesuatu tentang Pangeran Benawa yang baik hati. Seorang yang
ramah dan tidak pernah mendendam seseorang, betapa pun besar kesalahan orang
itu atasnya. Yang tidak sampai hati menjatuhkan hukuman kepada orang yang
bersalah, dan yang tidak berani memandang seekor kucing menerkam seekor tikus.
Ia mengampuni semua orang yang mengaku bersalah, dan yang tidak mengaku
sekalipun. Bahkan ia tidak akan mempertahankan miliknya, jika ia melihat
seorang pencuri mengambilnya.”
Untara menarik
nafas dalam-dalam. Ia melihat kebenaran dari tanggapan Branjangan atas Pangeran
Benawa. Tetapi itu bukan berarti bahwa Pajang harus ditinggalkan. Sebagai
seorang perwira yang ikut berjuang membina Pajang sejak berdirinya, maka Untara
tidak akan dapat membiarkan Pajang jatuh ke dalam kelemahannya sendiri, justru
karena kebaikan hati yang melimpah ruah. Tetapi sebelum Untara menjawab, Ki
Lurah Branjangan telah mendahuluinya,
“Tetapi bukan
maksudku untuk mempersoalkan apakah kita harus memilih Pajang atau Mataram.
Sudah aku katakan, keduanya sama, karena arah perkembangannya seharusnya akan
menemukan titik sentuhan. Tetapi kini aku melihat Mataram bergolak lebih
dahsyat. Hanya itu. Dan memang bukan maksudku untuk mempersoalkan, kenapa aku
berada di sana, dan kalian di sini.” Ki Lurah Branjangan berhenti sejenak,
lalu,
“Ada pesan
yang lebih penting dari itu, Ki Untara. Meskipun aku belum pernah, dan itu
hanyalah suatu kebetulan, berada di bawah pimpinanmu sebagai seorang senapati,
tetapi aku sudah mendengar, bahwa kau adalah seorang senapati yang mumpuni.”
Untara dan
Widura tidak menyahut. Tetapi mereka menjadi berdebar-debar.
“Jangan takut,
bahwa aku akan membujukmu setelah aku menyerahkan sumbangan itu,” Ki Lurah
Branjangan masih sempat tertawa.
Dan Untara pun
menjawab,
“Hanya
anak-anak yang diam menangis jika diberi sebongkah gula.”
Branjangan
mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menarik nafas sambil berkata,
“Hampir aku
lupa, bahwa aku berbicara dengan Ki Untara.”
“Katakan pesan
yang penting itu,“ Untara menjadi tidak sabar.
“He, aku
sekarang adalah seorang tamu menjelang perhelatan perkawinanmu. Bukan seorang
prajurit di medan.”
Untara
menggigit bibirnya. Tetapi ia tidak menyahut.
“Baiklah,”
berkata Ki Lurah Branjangan,
“bagaimanapun
juga, aku memilih cara yang paling lunak untuk berbicara. Aku tidak biasa
mempersoalkan sesuatu yang bagaimanapun besarnya dengan tegang.”
“Baik, baik.
Katakanlah, ini bukan perintah.”
Branjangan
tertawa. Jawabnya,
“Baiklah,” ia
berhenti pula sambil memandang Agung Sedayu dan Swandaru berganti-ganti. Tetapi
keduanya tidak berbuat apa pun juga.
“Ki Untara,”
suara Ki Lurah Branjangan merendah,
“bagaimanapun
juga, harus kita akui, bahwa ada ketegangan antara Pajang dan Mataram.”
“Ya,” sahut
Untara pendek.
“Dan kau
adalah seorang senapati tertinggi di daerah Selatan ini, daerah yang langsung
berhadapan dengan garis ketegangan itu.”
“Ya.”
“Itulah sebabnya,
aku harus menemuimu atas perintah Raden Sutawijaya, selain menyerahkan
sumbangan. Kita masing-masing harus menjaga, agar kesibukanmu mengurus hari
perkawinanmu ini tidak dimanfaatkan orang yang ingin mengail di air yang keruh.
Bukankah di hari-hari perkawinanmu itu nanti, Jati Anom dan Banyu Asri akan
penuh dengan prajurit, terutama perwira-perwira tinggi? Aku tahu, kau pasti
sudah menyiapkan penjagaan. Tetapi sekedar untuk melindungi keselamatan para
perwira itu. Namun di samping itu, kita harus berusaha untuk menghapus setiap
kesan buruk yang timbul selama kesibukanmu itu.”
Untara
mengerutkan keningnya. Ia masih belum jelas atas maksud Ki Lurah Branjangan,
meskipun ia mengerti arah pembicaraanya itu. Tetapi Untara tidak bertanya. Ia
menunggu saja Branjangan melanjutkan kata-katanya. Dan sejenak kemudian
Branjangan pun berkata,
“Tugasku
adalah menyampaikan permintaan kepadamu, agar kami, dari Mataram diperkenankan
ikut serta mengawasi keamanan selama berlangsung perkawinanmu.”
Untara
mengerutkan keningnya. Ia menjadi heran mendengar permintaan itu, sehingga ia
bertanya,
“Ki Lurah,
bagaimana mungkin Mataram akan ikut menjaga keamanan di daerah ini. Aku sudah
mempercayakan semuanya kepada anak buahku. Dan Pajang tidak kekurangan prajurit
untuk menjaga keamanan, jangankan Jati Anom dan Banyu Asri, bahkan prajurit
Pajang masih sanggup menjaga keamanan di seluruh Pajang.”
“Aku mengerti,
aku mengerti. Tetapi maksudku, bukannya karena kami menganggap Pajang tidak
mempunyai kekuatan. Tetapi sekedar menjaga agar tidak terjadi salah paham.” Ki
Lurah Branjangan berhenti sejenak, lalu,
“Ki Untara. Di
Mataram telah terjadi peristiwa yang pahit. Beberapa orang telah membuat para
pekerja menjadi ketakutan dengan hantu-hantuannya. Kemudian tersebar
desas-desus, bahwa hantu-hantu itu sebenarnya adalah usaha dari orang-orang
Pajang yang tidak ingin melihat Mataram berkembang. Dan tentu saja kami tidak
mempercayainya. Jika Pajang tidak ingin melihat Mataram berkembang, maka para
pemimpin di Pajang tidak perlu membuat hantu-hantuan. Mereka dapat datang
dengan pasukan segelar sepapan. Maka Mataram akan hapus dalam waktu satu hari
saja.”
Untara
mengerutkan keningnya. Tetapi ia masih tetap diam saja. Dan Ki Lurah Branjangan
pun meneruskan,
“Yang kami
cemaskan Ki Untara, jika ada orang-orang yang dengan sengaja membakar
ketegangan yang memang telah ada. Sekelompok orang-orang yang tidak bertanggung
jawab, mengacaukan acara perkawinanmu, dan mengaku sebagai orang-orang
Mataram.”
“Kami tidak
berkeberatan. Kami akan menumpas mereka karena kami mempunyai pasukan yang
cukup.”
“Kami percaya.
Tetapi soalnya bukan sekedar menumpas. Tetapi, bahwa Pajang harus yakin, bahwa
Mataram tidak akan berbuat demikian. Tugas yang dibebankan kepada kami,
bukannya ikut membantu menumpas kejahatan serupa itu. Tetapi untuk mengenal,
apakah mereka benar-benar orang Mataram. Jika benar, maka kami tidak akan
segan-segan mengambil tindakan. Tetapi jika tidak, maka kami akan dapat
mengatakan kepada mereka, bahwa Mataram tidak bertanggung jawab atas tindakan mereka,
sehingga dengan demikian, mereka akan tersudut pada sebuah pengakuan, siapakah
sebenarnya mereka, karena mereka tidak mengenal kami.”
Untara menarik
nafas dalam-dalam. Ditatapnya Widura sejenak. Ternyata, permintaan Ki Lurah
Branjangan itu memang masuk akal. Orang-orang Mataram sendiri mencemaskan jika
ada segolongan orang yang memancing kekeruhan. Jika mereka menamakan diri
orang-orang Mataram dan mengacaukan perhelatan yang dikunjungi oleh sejumlah
perwira, apalagi jika mereka berhasil menjatuhkan korban, maka pembalasan pasti
akan di tujukan kepada Mataram.
Sambil
mengangguk- berkata,
“Apakah kau
mencemaskan hal itu dapat terjadi?”
“Kita wajib
berjaga-jaga. Ada banyak pihak yang tidak senang melihat perkembangan Mataram.
Antara lain orang-orang yang ingin membuka hutan itu untuk kepentingan mereka
sendiri. Mereka tidak senang melihat Raden Sutawijaya berhasil membuat Alas
Mentaok menjadi suatu negeri yang ramai. Contoh yang jelas, yang diketahui pula
oleh Agung Sedayu dan Swandaru, usaha Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak. Tetapi
kami tidak yakin, bahwa Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak itu orang puncak yang
menggerakkan usaha untuk menggagalkan pembukaan Alas Mentaok. Kami
memperhitungkan, bahwa masih ada orang-orang lain di belakang mereka, sehingga
kemungkinan-kemungkinan yang tidak kita kehendaki itu tidak terjadi.”
Untara
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi ia memandang Widura, seolah-olah
minta pertimbangan daripadanya. Tetapi Widura tidak memberikan kesan apa pun.
Namun demikian, agaknya Widura juga tidak menolak pesan dari Raden Sutawijaya
itu.
“Kau dapat
mempertimbangkan, Ki Untara,” berkata Ki Lurah Branjangan,
“aku tidak
tergesa-gesa. Jika kau setuju, maka akulah yang mendapat tugas untuk itu,
beserta orang-orang yang sekarang bersamaku membawa barang-barang dari Raden
Sutawijaya. Selain kami, menurut pesan Raden Sutawijaya, Agung Sedayu dan
Swandaru akan dapat membantu, karena ia mengenal beberapa orang Mataram dan
beberapa orang perwira Pajang. Sementara penghubung antara kami di sini dan
pimpinan kami di Mataram adalah Wanakerti dan dua orang kawannya.”
Untara
mengangguk-angguk. Ketika ia memandang Agung Sedayu dan Swandaru, tampaklah
kedua anak-anak muda itu mengerutkan keningnya. Mereka belum mengenal Ki Lurah
Branjangan. Apakah pesan itu benar-benar datang dari Raden Sutawijaya, apakah
sekedar atas kehendaknya sendiri, karena Ki Lurah Branjangan itu pernah
mendengar namanya dan tiba-tiba saja ditemukannya mereka di sini.
“Baiklah Ki
Lurah. Kami minta kalian tinggal di sini. Kami akan mempertimbangkan. Karena
aku tidak sendiri, maka aku akan memanggil beberapa orang perwira untuk
membicarakannya.”
“Silahkan.
Kami akan menunggu keputusan. Apa pun yang akan kalian putuskan, kami akan
tunduk.”
“Ya, kamilah
yang memegang tanggung jawab keamanan, bukan saja di daerah Jati Anom dan Banyu
Asri, tetapi juga di daerah Mataram sendiri. Karena itu, keputusan kami memang
mengikat bagi kalian dan bagi Mataram yang sampai saat ini masih belum mendapat
bentuk yang pasti.”
Ki Lurah
Branjangan mengangkat wajahnya dan bergeser setapak. Tetapi kemudian menarik
nafas sambil berkata,
“Ya.
Demikianlah, Mataram memang belum mempunyai bentuk yang jelas.”
Widura hanya
dapat menarik nafas dalam-dalam. Di dalam keadaan yang demikian sifat-sifat
keprajuritan Untara lah yang melonjak. Sebagai seorang senapati yang langsung
berhadapan dengan batas yang samar dari daerah baru, yang memang belum
mempunyai bentuk, Untara harus mempunyai sikap. Dan sikapnya ternyata jelas di
dalam hubungan yang resmi.
“Mataram adalah
daerah tanggung jawabnya, meskipun di Mataram ada Raden Sutawijaya, putera
angkat Sultan Pajang dan Ki Gede Pemanahan yang pernah menjadi panglima pasukan
Pajang. Tetapi di Mataram, mereka tidak lagi berada pada kedudukannya itu.”
Ki Lurah
Branjangan yang mengenal Untara tidak juga mengingkarinya. Sebab dari segi tata
pemerintahan, Mataram memang berada di bawah Pajang, sehingga kekuasaan
senapati di daerah Selatan ini pun masih juga mencakup daerah yang kemudian
disebut Mataram, di Alas Mentaok. Ki Lurah Branjangan pun sadar, bahwa setiap
perdebatan mengenai kekuasaan di Mataram, hanya akan mendorong Untara bersikap
lebih keras. Menurut pengamatan orang-orang Mataram, sebenarnya Untara bukannya
orang yang dengan kekuasaannya berusaha menindas perkembangan Mataram. Untara
sendiri tidak berkeberatan melihat Mataram berkembang, namun sudah pasti, bahwa
Mataram yang berkembang itu adalah bagian dari Pajang, kecuali Jika Sultan
Pajang memberikan bentuk yang lain kelak. Sehingga karena itu, maka ia pun
hanya sekedar mengangguk-angguk saja. Dalam pada itu, maka Untara pun sejenak
kemudian mempersilahkan tamu-tamunya untuk beristirahat.
“Silahkan
beristirahat di gandok wetan,” berkata Widura pula kepada para tamunya. Lalu
kepada Agung Sedayu,
“Antarkan Ki
Lurah beserta kawan-kawannya ke gandok.”
Agung Sedayu
menganggukkan kepalanya. Bersama Swandaru maka mereka pun mempersilahkan Ki
Lurah Branjangan bersama para pengiringnya pergi ke gandok Wetan. Namun ketika
Agung Sedayu dan Swandaru akan kembali lagi ke pendapa setelah Ki Lurah
Branjangan duduk di amben bambu yang besar di gandok itu, langkahnya tertegun.
Ki Lurah itu memanggilnya hampir berbisik,
“Kemarilah.
Duduklah di sini.”
Kedua
anak-anak muda itu menjadi heran. Tetapi ketika mereka melihat Ki Lurah
Branjangan tertawa, mereka pun segera duduk di sampingnya.
“Aku membawa
pesan dari Raden Sutawijaya bagi kalian,” berkata ki Lurah Branjangan.
“Bukan
apa-apa, sekedar salam dan ucapan selamat atas perkawinan kakakmu.”
“O, terima
kasih,” sahut Agung Sedayu.
“Dan barangkali
Raden Sutawijaya tahu pasti, bahwa aku akan bertemu dengan kalian berdua di
sini. Maka Raden Sutawijaya menyampaikan harapannya, agar kalian suka membantu
tugasku di sini dan dalam waktu yang dekat berkunjung ke Mataram.”
Agung Sedayu
dan Swandaru saling berpandangan sejenak, lalu,
“Kami tidak
berkeberatan,” sahut Agung Sedayu.
“Kami
mengerti, bahwa Mataram tidak ingin terjerumus ke dalam kesulitan menghadapi
Pajang. Jika ada orang yang memancing persoalan dan dengan sengaja membenturkan
Mataram atas Pajang, dalam keadaan seperti sekarang, Mataram memang akan
mengalami banyak kesulitan.”
Ki Lurah
Branjangan mengerutkan keningnya. Katanya,
“Kau terlampau
banyak mengetahui tentang Mataram. Siapakah yang mengatakan kepadamu?”
“Tidak ada.
Dan aku hanya menduga-duga.”
Ki Lurah
Branjangan mengangguk-angguk. Kini ia melihat sendiri, betapa tangkasnya anak
muda itu berpikir, sehingga karena itu ia tidak dapat bersikap sebagaimana ia
menghadapi anak-anak. Sebelum Ki Lurah Branjangan berkata lebih lanjut, Agung
Sedayu sudah berdiri dan berkata,
“Silahkan Ki
Lurah beristirahat. Ruang dan bilik gandok ini akan segera dibersihkan. Jika
Kakang Untara sependapat, maka Ki Lurah akan berada di sini secepat-cepatnya
sepuluh hari sampai Kakang Untara selesai dengan upacara ngunduh penganten.”
“Terima
kasih,” sahut Ki Lurah Branjangan.
Agung Sedayu
dan Swandaru pun kemudian meninggalkan Ki Lurah itu duduk termangu-mangu.
Seorang pembantunya yang terdekat segera duduk di sampingnya sambil berkata,
“Anak ini
ternyata cukup matang untuk menanggapi setiap persoalan. Ki Lurah tidak dapat
menganggapnya sebagai anak-anak lagi. Sikap Ki Lurah kurang
bersungguh-sungguh.”
“Aku keliru.
Ketika aku memperkenalkan diri, aku menganggap keduanya masih terlalu muda,
sehingga aku bersikap sekenanya. Ternyata kedua anak-anak muda itu telah
mentertawakan aku di dalam hati. Mereka bersikap matang, meskipun agaknya dapat
juga dibawa bergurau.”
“Tentu mereka
merasa geli mendengar pujian-pujian bagi mereka, seperti anak-anak yang sedang
belajar berdiri.”
“Ya, aku kira
mereka akan senang dengan pujian-pujian itu seperti kebanyakan anak-anak muda
di masa pancaroba. Bukankah menilik umur mereka, mereka adalah anak-anak yang
menginjak masa gelisah dan mendambakan kebanggaan dan pujian? Tetapi tidak bagi
mereka. Hampir saja aku minta mereka menyingkir, ketika aku akan berbicara
dengan Untara setelah aku memujinya.”
“Itulah
sebabnya, maka Raden Sutawijaya memanggil mereka, atau setidak-tidaknya
mengharap kedatangan mereka. Bukan sekedar anak-anak muda yang kebetulan mampu
berkelahi, tetapi mereka mampu juga berpikir,” desis Ki Lurah Branjangan lebih
lanjut. Lalu tiba-tiba suaranya merendah,
“Lalu betapa
kemampuan yang dimiliki oleh guru mereka. Kemampuan lahir dan kemampuan
berpikir.”
Pembantunya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Gumamnya,
“Agaknya
memang ada tetesan darah orang besar pada keduanya, Untara dan adiknya. Jika
Agung Sedayu terjun ke dalam lingkungan keprajuritan, maka ia akan memiliki
kemampuan seperti Untara di medan mau pun menanggapi keseluruhan keadaan dan
suasana.”
Dalam pada
itu, sepeninggal Ki Lurah Branjangan dan para pengiringnya, serta setelah Agung
Sedayu dan Swandaru kembali ke pendapa, maka Untara pun mulai minta pendapat
mereka tentang pesan Raden Sutawijaya.
“Aku dapat mengerti,”
berkata Widura,
“agar tidak
semua noda-noda hitam dilemparkan kepada orang-orang Mataram.”
Untara mengangguk-anggukkan
kepalanya. Lalu,
“Apakah itu
bukan sekedar usaha untuk mencuci tangan?”
“Aku rasa
bukan maksudnya,” berkata Widura pula,
“orang-orang
Mataram pun menyadari ketegangan yang seakan-akan semakin lama menjadi semakin
runcing. Tetapi kita semuanya tidak mengerti, apakah sebabnya. Sultan Adiwijaya
sudah menyerahkan tanah Mentaok kepada Pemanahan. Sebenarnya tidak ada
persoalan lagi yang perlu menambah ketegangan.”
“Tetapi
tindakan Ki Gede Pemanahan sudah menimbulkan kesan yang tegang.”
Widura
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Memang
kebangkitan Mataram dapat diurai dalam banyak arti. Terlebih-lebih lagi
usaha-usaha yang sengaja membenturkan daerah yang baru berkembang itu agar
hancur sama sekali,” desis Widura.
“Adalah wajar,
bahwa perkembangan Mataram yang dimulai dengan ketegangan itu akan selalu
dibayangi oleh ketegangan pula,” desis Untara.
Dalam pada
itu, Agung Sedayu yang mendengarkan pembicaraan itu tergerak juga hatinya untuk
ikut berbicara. Betapapun ia ragu-ragu, namun akhirnya ia berkata pula,
“Kakang
Untara, menurut penglihatanku, Mataram berkembang dengan wajar. Kenapa Pajang
tidak pernah mempersoalkan perkembangan daerah-daerah lain kecuali Mataram?”
Untara
mengerutkan keningnya. Sambil memandang wajah Agung Sedayu dengan kerut-merut
di kening, Untara bertanya,
“Misalnya?”
Agung Sedayu
menjadi semakin ragu-ragu melihat tanggapan kakaknya. Tetapi karena ia sudah
terlanjur mengatakannya, maka ia pun harus manjawabnya,
“Sependengaranku,
Pati. Jika tidak yang terlalu besar, daerah Mangir, dan daerah Tanah Perdikan
Menoreh.”
Untara menarik
nafas dalam-dalam. Katanya,
“Tidak ada
persoalan yang mendahului perkembangan daerah itu. Menoreh telah mendapatkan
bentuknya. Karena Argapati pernah berjasa kepada pimpinan pemerintahan pada
waktu itu. Menoreh mendapatkan bentuk Tanah Perdikan. Mangir adalah sebuah
kademangan yang besar di daerah Selatan. Tidak pernah ada persoalan apa-apa
dengan Mangir. Juga Pati diterima oleh Ki Penjawi dengan wajar. Sedangkan
daerah pesisir masih harus ditertibkan, karena ada beberapa orang Adipati yang
merasa tidak lagi berada di bawah kekuasaan Pajang setelah Demak lenyap. Nah,
bukankah tidak hanya Mataram saja yang menjadi persoalan kini?”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia merasa, bahwa pengetahuannya tentang Pajang
memang hanya terlampau sedikit dibandingkan dengan kakaknya, Untara. Bahkan
Swandaru pun ikut mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Perhatiannya terhadap
pemerintahan sebenarnya cukup besar. Tetapi ia tidak sempat mempersoalkannya
dengan orang-orang yang mempunyai pengetahuan yang luas tentang hal itu.
“Mataram
adalah salah satu persoalan di antara banyak persoalan yang di hadapi oleh Pajang,”
berkata Untara selanjutnya,
“Pajang masih
harus meneruskan usaha Demak untuk mempersatukan seluruh daerah yang pernah
menjadi suatu ikatan negara yang besar.”
Agung Sedayu
dan Swandaru masih mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Baiklah,”
berkata Untara kemudian,
“kita kembali
kepada persoalan semula. Kita sebaiknya memang menerima tawaran itu tanpa
prasangka. Jika ternyata mereka menyalah-gunakan kepercayaan yang kita berikan,
mereka pasti akan menyesal.” Lalu katanya kepada Agung Sedayu,
“Sedayu,
agaknya Raden Sutawijaya masih teringat kepadamu. Kau dapat membantu kami dan
orang-orang Mataram. Kau dapat berdiri di tengah, agar kami tidak saling
menyalahi. Kau mengerti?”
Agung Sedayu
menganggukkan kepalanya sambil menjawab,
“Baik Kakang.
Aku bersedia.”
“Tetapi
sebaiknya kau minta gurumu datang bersama Ki Sumangkar. Orang-orang tua
mempunyai pendapat yang baik, yang kadang-kadang melampaui pendapat para
pemimpin pemerintahan. Katakanlah, bahwa aku mengundang mereka sebelum aku
pergi ke Pengging. Aku minta keduanya mengawani paman Widura di sini. Namun
demikian, aku akan bertemu dengan beberapa orang perwira untuk menyampaikan
maksud Ki Lurah Branjangan. Aku kira kebanyakan dari mereka tidak pula akan
menolak. Mungkin ada satu dua orang yang berpendirian terlampau tajam. Tetapi
aku dapat memerintahkan kepada mereka untuk melunakkan sikapnya, atau aku bawa
saja mereka sebagai pengiringku ke Pengging.” Untara berhenti sejenak, lalu,
“Bukankah
begitu, Paman?”
“Aku
sependapat Untara, dan aku senang sekali mendapat kawan Ki Tanu Metir dan Ki
Sumangkar.”
“Jika
demikian, biarlah Agung Sedayu menjemput mereka. Ia dapat segera pergi dan
segera pula kembali. Sangkal Putung tidak terlampau jauh. Tetapi aku tidak
minta Ki Demang datang sekarang. Aku tahu, bahwa ia tidak dapat meninggalkan kewajibannya
begitu saja. Bukankah begitu, Swandaru?”
Swandaru
tersenyum sambil mengangguk, “Ya, begitulah.”
“Tetapi tentu
kau akan memberitahukan kepada Demang di Jati Anom,” potong Widura.
“Ia akan
datang malam nanti untuk ikut tirakatan di sini,” sahut Untara.
Ternyata bahwa
Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar tidak usah menunggu sampai menjelang hari
sepasaran dan ngunduh penganten. Sebenarnya kedua orang tua itu akan datang
menjelang hari-hari penjemputan sepasang penganten dan upacara di rumah Widura.
Namun agaknya karena persoalan yang tiba-tiba itu. Agung Sedayu dan Swandaru
harus mempercepat kehadiran mereka, sementara Untara akan berbicara dengan para
perwira. Seperti yang diduga oleh Untara, maka beberapa orang perwira sama
sekali tidak berkeberatan, ketika Untara menyampaikan permintaan Ki Lurah
Branjangan atas pesan Raden Sutawijaya di dalam pertemuan yang segera diadakan
di rumah Untara. Tetapi juga seperti yang diduga oleh Untara, ada juga beberapa
orang di antara mereka yang sambil mencibirkan bibirnya bergumam di antara
mereka.
“Sebenarnya
aku tidak sependapat.”
Tetapi
pengaruh Untara terlalu besar atas mereka, sehingga tidak seorang pun yang
langsung berani menolak. Dalam pada itu, Agung Sedayu dan Swandaru telah
berpacu ke Sangkal Putung. Mereka harus menyampaikan permintaan Untara agar
Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar bersedia untuk datang ke Jati Anom menjelang
keberangkatan Untara ke Pengging, bukan menjelang upacara kedatangannya dari
Pengging bersama isterinya kelak. Kedatangannya di Sangkal Putung memang agak
menimbulkan berbagai pertanyaan di dalam hati. Baik pada Kiai Gringsing dan
Sumangkar, maupun pada Ki Demang Sangkal Putung. Mereka akan berada di Jati
Anom sampai upacara pengantin selesai seluruhnya. Namun tiba-tiba mereka telah
muncul, justru sebelum Untara berangkat ke Pengging. Tetapi ketika Agung Sedayu
dan Swandaru melihat kesan di wajah-wajah itu, maka mereka pun segera
menyampaikan kepentingan mereka kepada orang-orang tua itu. Agung Sedayu pun
segera berceritera kepada gurunya dan Ki Sumangkar, sedang Swandaru segera
menemui ayahnya.
“Jadi kami
diminta segera datang ke Jati Anom?” bertanya Kiai Gringsing.
“Ya,” jawab
Agung Sedayu.
“Kapan kita
akan berangkat?”
“Hari ini.”
Kiai Gringsing
mengerutkan keningnya Namun kemudian sambil tersenyum ia berkata,
“Tetapi jangan
hari ini. Besok pagi-pagi benar kita berangkat. Udaranya tentu segar dan
perjalanan kita akan menyenangkan.”
Agung Sedayu
merenung sejenak. Tetapi ia ragu-ragu untuk mengambil keputusan.
“Tentu Angger
Untara akan memakluminya.”
Agung Sedayu
mengangguk-angguk. Tetapi ia berkata,
“Aku akan
berbicara dengan Swandaru lebih dahulu.”
Ternyata
Swandaru yang berada di dalam rumahnya bersama ayah dan ibunya pun menggeliat
sambil berkata,
“Memang
sebaiknya besok saja, Kakang. Aku malas untuk kembali sekarang.”
“Tetapi mereka
menunggu kita,” sahut Agung Sedayu.
Sebelum
Swandaru menyahut, terdengar dari balik pintu ruang dalam suara seorang
perempuan,
“Biar sajalah
kalau Kakang Sedayu akan kembali sendiri. Kau, Kiai Gringsing, dan Guru pasti
akan pergi paling cepat besok pagi.”
Agung Sedayu
memandang ke arah daun pintu yang separo terbuka, tetapi ia tidak melihat orang
yang menyahut kata-katanya meskipun ia tahu, bahwa suara itu adalah suara Sekar
Mirah. Karena itu, Agung Sedayu pun menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak dapat
membantah lagi. Swandaru yang sudah hampir menjawab sebelum Sekar Mirah,
tersenyum sambil mencibirkan bibirnya. Bahkan kemudian ia berbisik,
“Nah, apakah
Kakang Agung Sedayu masih akan membantah lagi.”
Agung Sedayu
menundukkan kepalanya. Sekilas ia melihat wajah Ki Demang dan Nyai Demang
tersenyum pula.
“Baiklah,”
Agung Sedayu pun kemudian berdesis lambat, seolah-olah hanya ingin didengarnya
sendiri,
“kita akan
kembali besok saja ke Jati Anom.”
Demikianlah,
di sore hari, Agung Sedayu sempat juga bercakap-cakap dengan Sekar Mirah,
meskipun Agung Sedayu masih saja dibatasi oleh perasaannya yang kurang terbuka.
Ragu-ragu dan kebimbangan masih selalu membayanginya. Bukan tentang Sekar Mirah
sendiri, tetapi tentang sikap yang dianggapnya baik terhadap Sekar Mirah.
“Jadi, banyak
sekali perwira-perwira yang akan datang?” bertanya Sekar Mirah.
“Ya, beberapa
orang perwira tinggi kawan-kawan Kakang Untara akan datang.”
“Juga
isteri-isteri mereka?”
“Tentu. Mereka
yang sudah beristeri akan datang bersama isteri-isteri mereka.”
“Dan anak-anak
gadis mereka?”
Agung Sedayu
mengerutkan keningnva. Dengan ragu-ragu ia menjawab,
“Aku tidak
tahu. Dan aku pun tidak tahu apakah ada perwira kawan-kawan Kakang Untara yang
sudah mempunyai anak gadis.”
“Tentu ada.
Dan jika demikian, sebaiknya aku tidak usah datang.”
“Kenapa?”
“Ayah dan ibu
juga tidak usah datang.”
“Kenapa?
Kenapa, he?” Agung Sedayu menjadi bingung.
“Aku tentu
tidak akan mendapat tempat. Ayah dan ibu pun pasti hanya akan tersisih. Jika
tamu-tamunya adalah para perwira, maka ayah, sekedar seorang Demang, pasti
hanya akan mendapat tempat di sudut yang paling gelap.”
“Ah, ada-ada
saja kau, Mirah.”
Sekar Mirah
tidak segera menyahut. Tetapi sambil bersungut-sungut ia menatap ke kejauhan.
Memang terbayang di rongga matanya, ayah dan ibunya duduk di sudut yang
tersendiri. Ayahnya yang berada di pendapa sama sekali tidak dihiraukan oleh
para perwira yang hadir karena ayahnya hanyalah seorang Demang, sedang ibunya
yang duduk di pringgitan pun sama sekali tidak mendapat perhatian di antara
isteri-isteri perwira tinggi dari Pajang. Sedang dirinya sendiri pun sama
sekali tidak mendapat tempat, karena Agung Sedayu sibuk melayani para tamu dan
persiapan jamuan di belakang. Sedang gadis-gadis dari kota tidak akan
menghiraukannya.
Agung Sedayu
yang melihat Sekar Mirah bersungut-sungut menarik nafas sambil berkata,
“Kau jangan
membayangkan jamuan yang diselenggarakan kelak sebagai jamuan yang besar
sekali, dan yang akan dihadiri oleh para tamu tertinggi dari Pajang. Sama
sekali tidak, Sekar Mirah. Memang ada beberapa orang perwira tinggi yang akan
hadir. Tetapi sebagian besar tamu Kakang Untara adalah sanak kadang sendiri.
Tetangga-tetangga di Jati Anom dan para bebahu. Justru para perwira dan
isteri-isterinyalah yang akan disediakan tempat tersendiri.”
Sekar Mirah
mengerutkan keningnya. Lalu, “Benar?”
“Tentu.”
“Dan aku?”
“Ada
saudara-saudaraku yang akan mengawanimu. Sanak kadang yang masih dekat dalam
hubungan keluarga. Mereka akan senang sekali melihat kau, karena sebagian dari
mereka telah mendengar namamu.”
“Dari mana
mereka mendengar namaku?”
“Bukankah
Paman Widura pernah mengenalmu. Dan bukankah Kakang Untara juga pernah berada
di Sangkal Putung? Seperti Kakang Untara, maka Paman Widura lah yang akan
menjadi pengganti ibu bapaku.”
“Bukan Kakang
Untara?”
Agung Sedayu
mengerutkan keningnya. Lalu,
“Ya, mungkin
Kakang Untara dan Paman Widura sekaligus.”
“Kakang Untara
sudah mempunyai sisihan. Ia akan dapat bertindak sebagai ibu dan ayahmu. Dan
itu adalah kewajibannya. Kecuali jika Paman Widura menghendaki.”
“Kita serahkan
saja kepada keduanya.”
“Tetapi tentu
kita akan lebih berbangga, bahwa yang akan menerima kita di dalam lingkungan
keluarga adalah Kakang Untara.”
“Kenapa?”
“Bukankah
Kakang Untara seorang senapati besar, lebih besar dari Paman Widura? Bukankah
dengan demikian, akan memberikan kebanggaan yang lebih besar pula kepada kita?”
Terasa sesuatu
berdesir di dada Agung Sedayu. Pengenalannya tentang Sekar Mirah menjadi semakin
bertambah. Sekar Mirah bukan saja seorang gadis yang tinggi hati, tetapi di
antara orang-orang yang dianggapnya lebih besar, ia merasa rendah diri. Dan
Agung Sedayu tidak ingkar, bahwa sifat-sifat yang demikian memang ada juga
padanya. Namun dalam pada itu, tercetus juga suatu imbangan yang meledak di
hatinya. Untuk mengatasi rasa rendah diri itu, Sekar Mirah ingin tampak menjadi
seorang yang besar. Yang agung, di samping pada dasarnya ia seorang yang
mempunyai keinginan dan cita-cita yang melonjak-lonjak.
Tetapi Agung
Sedayu tidak mengatakannya. Bahkan ia berusaha menyembunyikan kesan itu
jauh-jauh. Sambil tersenyum ia berkata,
“Aku akan
minta kepada Kakang Untara, agar aku pun mendapat kesempatan mencicipi
kebesarannya.”
Ketika
kemudian malam menjadi gelap, maka Agung Sedayu dan Swandaru berada di gandok
bersama gurunya dan Ki Sumangkar. Ketika sekar Mirah datang pula ke gandok itu,
Swandaru segera mengusirnya,
“He, masuk ke
dalam. Jangan berada di sini.”
“Kenapa?”
bertanya Sekar Mirah, “aku akan bertemu dengan guruku.”
“Macammu. Kau
pasti mencari Kakang Agung Sedayu.”
Sekar Mirah
menjadi merah sejenak. Diambilnya ajuk-ajuk lampu di atas bancik dan
dilemparkannya kepada Swandaru. Tetapi Swandaru sempat menghindar.
“Jangan,
jangan Mirah. Kau merusak barang-barang saja.”
Kini Sekar
Mirah memegang kendi berisi air. Katanya,
“Ayo, sekali
lagi kau ulangi.”
Swandaru kini
berdiri di belakang Agung Sedayu. Katanya,
“Jawablah,
Kakang. Ternyata Sekar Mirah tidak mencari kau.”
Sekar Mirah
meletakkan kendi itu sambil bergeramang. Tetapi ia pun segera meninggalkan
gandok dan masuk ke dalam. Sepeninggal Sekar Mirah, Swandaru tidak dapat
menahan tertawanya.
“Jangan kau
ganggu Sekar Mirah itu lagi,” berkata gurunya,
“ia sedang
dipengaruhi oleh angan-angannya. Angan-angan tentang dirinya sendiri, justru
karena Untara akan segera kawin.”
“Kenapa? Apa
hubungannya dengan perkawinan Kakang Untara.”
Ki Sumangkar
tersenyum sambil menjawab,
“Gadis itu
sudah berangan-angan tentang dirinya. Setelah Untara, maka akan segera datang saatnya,
Agung Sedayu kawin.”
“O,” Swandaru
mengangguk-angguk. Namun sebelum ia berkata lebih lanjut, Agung Sedayu mendahului,
“Tetapi apakah
Sekar Mirah akan kawin mendahului kakaknya?”
“Apa
salahnya,” Swandaru mengerutkan keningnya.
“Tidak ada
salahnya. Tetapi alangkah baiknya, jika kakaknya akan kawin lebih dahulu. Dan
itu berarti kita akan segera pergi ke Menoreh. Kita akan menempuh perjalanan
yang jauh dan melintasi garis tegang antara Pajang dan Mataram, meskipun garis
itu tidak dapat ditentukan di mana.”
Swandaru
mengerutkan keningnya. Namun ia tidak menjawab lagi. Bahkan tangannya segera
menutup mulutnya yang sedang menguap.
“Aku akan
tidur. Biarlah semuanya itu terjadi di dalam mimpi. Agaknya menyenangkan juga.”
Agung Sedayu
memandanginya sejenak. Tetapi ia tidak berkata apa pun lagi.
Di pagi hari
berikutnya, Agung Sedayu dan Swandaru bersama gurunya dan Ki Sumangkar pun
segera bersiap memenuhi undangan Untara. Langsung atau tidak langsung,
rasa-rasanya ada juga kewajiban mereka untuk ikut berbicara tentang Pajang dan
Mataram. Dan Untara yang akan meninggalkan Jati Anom kini memerlukannya.
“Jika Kakang
Agung Sedayu tidak menjemputku, kelak menjelang upacara sepasaran di rumah
Paman Widura, aku segan untuk datang,” Sekar Mirah bersungut-sungut.
“Apabila
mungkin, aku akan menjemputmu dan menjemput Ki dan Nyi Demang di Sangkal
Putung,” berkata Agung Sedayu ketika ia sudah siap untuk berangkat.
Sejenak
kemudian, maka mereka pun telah melintasi bulak persawahan di luar padukuhan
Sangkal Putung. Mereka memilih jalan di sisi sebelah Timur, menyusuri
hutan-hutan yang rindang di ujung bulak. Semakin jauh hutan itu masih juga agak
lebat dan kadang-kadang seekor harimau yang lapar sampai juga di jalan di
pinggir hutan itu. Tetapi keempat orang itu sama sekali tidak mencemaskan diri
mereka, meskipun mereka bertemu empat ekor harimau sekaligus. Yang menarik
perhatian ketika mereka menyusuri pinggir hutan itu adalah suara burung-burung
liar di saat-saat matahari memanjat naik. Riang bersahut-sahutan, seakan-akan
mereka benar-benar telah menikmati kedamaian yang mantap. Kiai Gringsing yang
berkuda di paling depan tiba-tiba saja terhenti, sehingga mereka yang berada di
belakangnya pun terhenti pula. Bahkan orang tua itu kemudian meloncat turun
sambil mengamat-amati keadaan di sekitarnya, dan menyusup masuk beberapa
langkah ke dalam hutan rindang itu. Ki Sumangkar, Agung Sedayu, dan Swandaru
pun kemudian berloncatan turun pula. Hampir berbareng perhatian mereka pun
segera tertarik pula oleh seonggok abu yang di perhatikan oleh Kiai Gringsing.
“Perapian,”
desis Kiai Gringsing.
Sumangkar
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya,” ia menyahut,
“agaknya ada
beberapa orang yang membuat perapian di sini.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dilihatnya ranting-ranting perdu di sekitarnya
berpatahan dan rumput-rumput pun roboh terinjak kaki orang, dan bahkan agaknya
ada di antara mereka yang berbaring. Beberapa lembar daun pembungkus makanan
bertebaran pula di sekitar tempat itu.
“Ada beberapa
orang yang semalam bermalam di sini,” berkata Kiai Gringsing,
“dan itu
sangat menarik perhatian.”
Sumangkar
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak kemudian ia bergumam,
“Orang-orang
asing bagi daerah ini. Agaknya mereka membawa bekal makanan.”
Agung Sedayu
dan Swandaru pun mengangguk-angguk pula. Meskipun mereka tidak memberikan
tanggapannya, namun mereka mulai berpikir dan menghubungkan hal itu dengan
kemungkinan yang dikatakan oleh Ki Lurah Branjangan.
“Memang ada
sesuatu yang harus kita perhatikan,” berkata Kiai Gringsing kemudian,
“baiklah hal
ini dapat kita jadikan bahan persoalan dengan Angger Untara dan Ki Lurah
Branjangan itu.”
Agung Sedayu
yang masih saja mengangguk-angguk kemudian bertanya,
“Jadi, di
manakah kira-kira mereka sekarang?”
Kiai Gringsing
dan Sumangkar berbareng menggeleng. Yang menjawab kemudian adalah Kiai
Gringsing,
“Kita tidak
tahu, ke mana mereka pergi. Mungkin mereka berkeliaran di sekitar Jati Anom
untuk mendapat bahan yang lebih lengkap tentang daerah itu, dan kemungkinan
yang akan dilakukan di dalam upacara penganten itu.”
“Dan di malam
hari mereka akan berkumpul lagi di sini,” sahut Agung Sedayu.
Kiai Gringsing
tidak menyahut. Tetapi seperti yang diduganya, Agung Sedayu kemudian berkata,
“Kita dapat
mengintainya di sini, di malam hari.”
“Ya,” Swandaru
menyambung,
“kita dapat
mengetahui, siapakah mereka itu. Jika perlu, kita akan menghancurkan mereka
sebelum mereka berbuat apa-apa.”
“Kau selalu
tergesa-gesa,” potong Agung Sedayu,
“kita harus
yakin dahulu tentang mereka.”
“Tentu, kita
harus yakin dahulu. Karena itu, baiklah nanti malam kita lihat. Siapakah yang
ada di sekitar hutan ini?”
“Mungkin
mereka tidak kembali ke tempat ini, tetapi mereka akan berada di tempat lain,”
berkata Kiai Gringsing.
Dan Sumangkar
menyahut,
“Tetapi tidak
akan jauh dari tempat ini.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya,
“Baiklah,
marilah kita meneruskan perjalanan yang pendek ini. Mungkin kita dapat
menemukan jawab di Jati Anom. Siapa tahu, mereka justru para prajurit yang
sedang nganglang untuk mengawasi keadaan.”
Setelah sekali
lagi mereka meneliti tempat itu, dan tidak menemukan tanda-tanda baru, mereka
pun segera meneruskan perjalanan mereka ke Jati Anom, dengan membawa sebuah
laporan tentang perapian di hutan kecil agak menjorok masuk dari jalan setapak
di pinggir hutan itu.
Perjalanan ke
Jati Anom itu tidak memakan waktu terlalu lama. Ketika Matahari naik di atas
ujung pepohonan, mereka pun telah sampai ke daerah kademangan itu. Meskipun
Jati Anom yang sudah mulai miring karena letaknya di lereng Merapi itu tidak
sesubur Sangkal Putung, namun sawahnya pun tampak hijau sejauh mata memandang.
Pematang-pematang yang bagaikan tangga raksasa memanjat semakin lama menjadi
semakin tinggi di lereng Gunung Merapi. Namun demikian masih juga tampak
dataran-dataran yang rata seluas jangkauan mata. Derap beberapa ekor kuda di
tengah-tengah bulak itu memang menarik perhatian para petani yang bekerja di
sawah. Namun mereka pun mengetahui bahwa seorang senapati dari Pajang yang kebetulan
berasal dan kini berada di Jati Anom akan melangsungkan perkawinannya, sehingga
dengan demikian Jati Anom telah menjadi semakin ramai. Bukan saja orang-orang
yang berkepentingan dengan hari perkawinan Untara, tetapi juga
prajurit-prajurit memperpendek gelombang pengamatan mereka. Setiap kali dua
orang prajurit berkuda melintasi bulak-bulak panjang yang memisahkan padukuhan
yang satu dengan padukuhan yang lain. Bahkan mereka mengawasi juga pinggiran
hutan di atas padukuhan Jati Anom dan di daerah sebelah Timur. Kedatangan Kiai
Gringsing dan Sumangkar di rumah Widura telah disambut dengan akrab. Sebagai
orang yang meskipun bukan berasal dan berada di dalam lingkungan pemerintahan
dan pimpinan keprajuritan, namun keduanya adalah orang-orang yang memiliki kelebihan.
Bahkan Untara tahu benar, bahwa sebenarnya Sumangkar bukan sekedar seorang yang
tidak berarti di Kepatihan Jipang pada masa pemerintahan Adipati Penangsang
yang diembani oleh Patih Mantahun.
Setelah duduk
sejenak sambil berbicara tentang keselamatan masing-masing serta meneguk air
panas, barulah Untara mengatakan maksudnya mempersilahkan keduanya hadir di
Jati Anom lebih cepat dari rencana mereka.
“Justru selagi
aku tidak berada di tempat, Paman Widura memerlukan kawan yang dapat dibawa
berbincang,” berkata Untara kemudian.
“Bahkan aku
mengharap Kiai berdua hadir kemarin di Jati Anom. Aku sudah gelisah, apakah
Kiai berdua agak berkeberatan meninggalkan Sangkal Putung.”
Kiai Gringsing
tersenyum. Sambil mengangguk-angguk ia berkata,
“Bukan
berkeberatan. Tetapi kami ingin berkuda di pagi hari yang segar seperti ini”
Untara
tersenyum. Sambil mengangguk-angguk ia pun kemudian mulai mengatakan maksudnya.
“Di gandok
itulah Ki Lurah Branjangan beserta pengiringnya beristirahat.”
Kiai Gringsing
pun mengangguk-angguk pula,
“Agung Sedayu
sudah mengatakan serba sedikit. Dan sekarang aku menjadi semakin jelas.” Kiai
Gringsing berhenti sejenak, lalu,
“Tetapi kita
memang terus berhati-hati. Dan bukankah Anakmas Untara sudah memperhitungkan
semua kemungkinan dan mempersiapkan para prajurit?”
“Ya,” Untara
mengangguk-angguk pula,
“tetapi
prajurit Pajang telah bersikap. Bahkan sebagian dari mereka terlampau keras
menentang Mataram. Barangkali Agung Sedayu pernah berceritera apa yang
dialaminya karena kecurigaan prajurit Pajang yang berlebih-lebihan. Karena itu,
di dalam persoalan yang terlalu lembut dan licin, mereka kurang dapat
menanggapinya. Juga Ki Lurah Branjangan yang datang dan Mataram itu sudah
bersikap, meskipun ia masih berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya. Karena itu,
aku memerlukan pihak yang dapat menguasai keadaan ini sebaik-baiknya di samping
kedua belah pihak akan berjalan sesuai dengan garis tugas masing-masing.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar