Jilid 066 Halaman 1


KEDUA murid Kiai Gringsing itu mengangguk-angguk. Meskipun agak lambat, namun alasan itu akhirnya dimengertinya pula. Rencana yang sudah mereka mengerti itulah yang sebaiknya berjalan, karena rencana yang lain tidak akan dapat mereka sadap dengan mudah, apalagi jika pernah terjadi, orang-orang mereka hilang di daerah Jati Anom.
“Apakah kita akan bertindak sendiri?” bertanya Agung Sedayu tiba-tiba.
Kiai Gringsing tidak segera menjawab. Dipandanginya wajah Sumangkar yang berkerut-merut.
“Kita tidak akan dapat bertindak sendiri,” berkata Sumangkar.
“Bukankah begitu?”
Kiai Gringsing menganggukkan kepalanya. Jawabnya,
“Kita memang tidak akan dapat berbuat sendiri.”
“Jadi, apakah yang harus kita lakukan?”
“Kita harus berbicara dengan Ki Widura. Kita memerlukan pertimbangannya. Orang-orang yang akan melakukan rencana yang sudah tersusun itu pasti tidak hanya satu dua orang. Dan sesuai dengan rencananya, yang datang pasti bukan orang-orang kebanyakan.”
“Apakah inti dari rencana mereka, Guru?” bertanya Swandaru.
“Rencana mereka sangat mengerikan. Membunuh para perwira yang tinggal di rumah Untara untuk membangkitkan kemarahan prajurit-prajurit Pajang. Dengan demikian maka Pajang pasti tidak akan dapat menahan hati lagi. Sedang para penyerang itu akan meninggalkan kesan bahwa orang-orang Mataram-lah yang telah melakukannya,”
“Seperti yang diperhitungkan Ki Lurah Branjangan. Orang itu memang mempunyai pandangan yang tajam.”
“Bukan sekedar perhitungan. Tentu orang-orang Mataram telah mencium rencana ini dari petugas-petugas sandinya, meskipun samar-samar. Karena itulah agaknya Ki Lurah Branjangan bertugas untuk menjaga, jika penciuman yang samar-samar itu benar-benar akan terjadi. Dan ternyata bahwa yang didengar oleh orang-orang Mataram itu bukan sekedar mimpi yang buruk.”
“Jadi, apakah kita akan berbicara pula dengan Untara?” bertanya Sumangkar kemudian.
“Biarlah Untara menjalani hari-harinya dengan tenang. Meskipun kita memberitahukan kepadanya, tetapi kita jangan memberikan kesan, bahwa masalah yang dihadapinya adalah masalah yang terlalu berat.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Kiai Gringsing berkata selanjutnya
“Marilah kita kembali ke rumah Widura.”
“He, bukankah kita pergi ke Sangkal Putung sore tadi?”
Kiai Gringsing tersenyum Jawabnya,
“Ya, kita kembali ke Sangkal Putung sore tadi, sehingga baru besok pagi kita dapat mengunjungi Widura. Tetapi untuk benar-benar pergi ke Sangkal Putung menjelang pagi ini, agaknya akan sangat mengejutkan.”
“Lalu?”
“Marilah kita pergi ke tempat kuda kita tertambat. Kita beristirahat di pategalan itu sebentar, kemudian menjelang terang tanah kita mencari sumber air untuk membersihkan diri.”

Sumangkar dan kedua murid Kiai Gringsing itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Betapapun malasnya, Swandaru terpaksa juga berjalan di belakang Agung Sedayu menuju ke hutan kecil di sebelah jalan ke Sangkal Putung, kemudian ke pategalan tempat kuda mereka tertambat. Ternyata ketika mereka sampai ke pategalan itu, langit sudah menjadi merah. Sehingga karena itu, mereka hanya mempunyai sedikit sekali kesempatan untuk beristirahat.
“Aku akan tidur sehari penuh,” desis Swandaru.
“Tentu tidak mungkin,” jawab Agung Sedayu,
“kita berada di tempat perhelatan. Semua orang akan sibuk dengan persiapan keberangkatan Kakang Untara.”
“Aku akan bersembunyi di atas kandang, di belakang. Tidak ada orang yang akan mencari aku, karena aku tidak banyak dikenal oleh keluarga Kakang Untara.”
“Aku yang mengenalmu dan aku akan mencarimu.”
Swandaru memandang Agung Sedayu dengan dahi yang berkerut, lalu gumamnya,
“Aku akan mendekur terus.”
Ternyata di sepanjang jalan dan selagi mereka duduk di atas kuda mereka, Kiai Gringsing dan Sumangkar masih saja membicarakan segenap kemungkinan yang akan terjadi. Namun mereka berkesimpulan, bahwa suasana tidak boleh dikacaukan karena peristiwa yang bakal terjadi setelah Untara pergi. Untara harus tetap tenang dan tidak terganggu karenanya, meskipun ia mengetahui serba sedikit apa yang terjadi. Setelah cahaya merah menjadi semakin merah, dan menjadi semburat kuning, maka mereka pun segera meninggalkan tempat itu.
“Hapuskan jejak sejauh mungkin,” berkata Kiai Gringsing.
Agung Sedayu dan Swandaru pun berusaha untuk melakukannya. Meskipun tidak sempurna, tetapi tidak segera menimbulkan kesan yang mencurigakan bagi pemilik pategalan itu.
“Belum tentu dua tiga hari sekali pategalan ini di kunjungi pemiliknya,” gumam Swandaru,
“biar saja begitu.”
“Hus,” desis Agung Sedayu, “jangan terlampau malas.”
Ketika matahari terbit, mereka masih berada di sebuah belik kecil untuk mencuci muka. Kemudian mereka pun segera melanjutkan perjalanan kembali ke Jati Anom. Kedatangan mereka yang masih terlalu pagi memang menimbulkan berbagai pertanyaan, tetapi sebagian dari orang-orang yang ada di rumah Widura menjadi acuh tidak acuh karena kesibukan mereka. Hanya beberapa orang pekerja yang sebenarnya adalah petugas sandi yang memang dipergunakan oleh Untara sajalah yang memperhatikan mereka berempat agak lebih banyak dari orang lain. Untara yang sedang sibuk dengan kepentingan perajalannya, memerlukan menemui Kiai Gringsing bersama Widura. Mereka ingin tahu hasil dari kerja yang dilakukannya semalam.
“Tidak banyak yang aku ketahui,” berkata Kiai Gringsing,
“namun pada dasarnya, rencana pengacauan itu memang ada. Seperti yang dicemaskan oleh Ki Lurah Branjangan itu memang akan terjadi.”
“Jadi bagaimana menurut pertimbangan Kiai?” bertanya Untara. Sebenarnya bukan kebiasaan Untara untuk menyerahkan keputusan kepada orang lain, apalagi di luar lingkungannya. Tetapi ia bukan orang yang sama sekali tidak mau mendengarkan pendapat orang lain.

Dan kini ia tidak dapat lagi memusatkan pikirannya kepada tugasnya melulu. Karena itu, maka ia memang memerlukan nasehat dari orang-orang yang dipercayanya meskipun ia berada di luar lingkungan keprajuritan.
“Sudahlah, Anakmas Untara,” berkata Kiai Gringsing,
“serahkan semua kepada orang yang kau percaya. Tetapi aku minta ijin untuk berbicara dengan orang itu tanpa ada orang lain, meskipun perwira prajurit Pajang. Aku ingin berbicara dengan perwira itu di sini bersama Ki Widura. Anakmas tidak perlu cemas, bahwa kekacauan itu akan dapat mengganggu, bukan saja perhelatan anakmas, tetapi juga hubungan Pajang dan Mataram. Kami akan mencoba mengatasinya sebaik-baiknya.”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia bertanya,
“Dan Kiai tidak memerlukan aku untuk ikut berbicara?”
“Tentu aku tidak dapat menolak jika Anakmas memutuskan demikian. Tetapi jangan terlalu berpengaruh bagi Anakmas. Jika Anakmas datang ke rumah pengantin perempuan dengan kening yang berkerut-merut, maka kesannya akan berbeda. Mertua Anakmas akan bertanya-tanya, kenapa menantuku berwajah murung justru di malam pengantin?”
Untara tersenyum. Tetapi sebagai seorang senapati ia dapat menangkap dengan ketajaman tanggapan, bahwa persoalan yang sebenarnya bukannya begitu sederhana. Atas perintah Untara, maka perwira yang tertua, yang mendapat wewenang melakukan tugas Untara selama Untara sibuk dengan persoalan pribadinya, segera datang ke rumah Widura. Perwira itu meskipun rambutnya sudah diselingi oleh warna-warna putih, namun tatapan matanya yang tajam, serta tubuhnya yang kuat kekar, masih tetap merupakan seorang yang pantas disegani. Setelah saling memperkenalkan diri, maka perwira yang bernama Ki Ranadana itu segera mendapat penjelasan dari Untara siapakah yang sekarang sedang dihadapi.
Ki Ranadana mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Aku menyesal, bahwa aku tidak mendapat tugas di Sangkal Putung saat itu bersama Ki Widura, sehingga aku baru mengenal Kiai sekarang ini.” Ia berhenti sejenak, lalu,
“Tetapi aku akan berdebar-debar juga jika aku bertemu dengan Ki Sumangkar di medan waktu itu.”
Sumangkar hanya tersenyum saja. Meskipun ia belum mengenal terlalu baik, namun agaknya Ki Ranadana telah mengetahuinya, siapakah sebenarnya orang yang bernama Ki Sumangkar itu.
“Nah, silahkan,” berkata Untara kemudian,
“aku akan menjadi pendengar saja.”
“Pendengar yang baik,” sahut Kiai Gringsing,
“dengan demikian Anakmas tidak akan selalu memikirkannya.”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil tersenyum ia berkata,
“Ya, aku akan mencoba melupakannya, setidak-tidaknya untuk lima hari selama aku berada di Pengging.”

Sejenak kemudian mereka pun mulai berbicara tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat timbul. Dengan hati-hati Kiai Gringsing mengatakan apa yang dilihatnya dan apa yang didengarnya. Rencana yang agaknya telah tersusun dan hampir merupakan kepastian tentang usaha orang-orang itu untuk memasuki rumah Untara, dan membunuh beberapa orang perwira.
“Itu bukan persoalan yang dapat dilupakan begitu saja,” tiba-tiba Untara memotong.
“Anakmas Untara sudah berjanji untuk menjadi pendengar yang baik, sehingga Anakmas Untara tidak usah ikut mempersoalkannya. Bukankah Anakmas Untara sudah diwakili Ki Ranadana?”
Untara menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
“Persoalannya adalah persoalan yang besar. Apakah aku akan melepaskan persoalan ini berlalu begitu saja? Sebenarnya ini adalah suatu kesempatan untuk mengetahui, siapakah yang sebenarnya telah membuat jurang yang semakin dalam antara Pajang dan Mataram.”
“Tetapi ada kemungkinan lain,” berkata Kiai Gringsing.
“Mungkin Anakmas Untara terlalu berpikir jauh dan berlandaskan pada masalah-masalah yang besar. Tetapi hal ini mungkin berpijak pada masalah yang sangat sederhana meskipun dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kemampuan tinggi.”
“Apakah alasan yang sederhana itu?”
“Orang-orang yang tidak ingin melihat orang lain membuka Alas Mentaok siapa pun orangnya. Mereka adalah orang-orang yang kecewa, karena mereka sendiri mempunyai pamrih atas Alas Mentaok. Tidak ada persoalan apa pun yang ada hubungannya dengan kepemimpinan Sultan Pajang dan Ki Gede Pemanahan beserta puteranya Raden Sutawijaya.”
“Jika demikian maka keadaannya akan menjadi semakin parah. Seolah-olah kita yang memiliki kemampuan berpikir sebagai prajurit, akan diadu domba begitu saja oleh orang-orang yang sekedar dikendalikan nafsu ketamakan?”
“Itulah sebabnya kita berhati-hati. Persoalannya memang cukup gawat, tetapi kita sudah mengetahuinya lebih dahulu. Apalagi di sini ada Ki Lurah Branjangan yang sekarang berada di gandok. Ia akan dapat ikut memecahkan masalahnya apabila kita berhasil menangkap beberapa orang dari mereka.”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu,
“Baiklah. Aku akan menjadi pendengar yang baik.”
Kiai Gringsing tersenyum. Dipandanginya wajah Untara sejenak, lalu wajah Ki Ranadana. Setelah menarik nafas maka ia pun berkata,
“Kita akan membuat rencana untuk menjebak mereka.”
“Ya. Dan itu bukan suatu hal yang mudah,” sahut Ranadana.
“Besok kita akan menentukan garis pertahanan yang akan kita susun.”
“Kenapa besok. Kita tidak boleh lengah. Aku akan memanggil beberapa orang perwira untuk membicarakan hal ini bersama Kiai berdua.”
Tetapi Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya.
“Jangan. Semakin banyak orang yang mengetahui masalah ini, bahaya kebocoran pun menjadi semakin besar. Jika orang-orang itu mengetahuinya, bahwa kita sudah mencium rencana mereka, maka mereka pasti akan merubah cara mereka untuk mengacaukan Jati Anom dan memancing kekeruhan.
Ki Ranadana mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Tetapi pada pokoknya kita sudah mengetahui, bahwa sasaran utama yang telah mereka tentukan adalah para perwira yang ada di Jati Anom, dan yang tentu saja tidak ikut ke Pengging bersama Anakmas Untara. Tetapi seandainya mereka berhasil membunuh seorang perwira saja, maka kemarahan prajurit Pajang tidak akan dapat dibendung lagi.”

Untara yang mendengarkan percakapan itu menganggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak berbicara apa pun. Ia percaya bahwa Kiai Gringsing dan Ki Ranadana pasti akan menemukan jalan yang paling baik untuk mencegah pembunuhan itu. Meskipun ada juga kegelisahan di hati Untara, namun ia mencoba untuk mempercayakan hal itu kepada orang-orang yang ditinggalkannya di Jati Anom. Selain Kiai Gringsing dan Ki Ranadana, masih ada pula Widura dan Ki Sumangkar. Mereka adalah orang-orang yang mempunyai pengalaman yang cukup dan pikiran yang cerah untuk memecahkan seiap persoalan.
“Aku kira bahan yang aku berikan sudah cukup Ki Ranadana. Hari ini kita akan merenungkan, apa yang akan kita lakukan. Sementara itu Anakmas Untara dapat mempersiapkan dirinya. Besok Anakmas harus pergi ke Pengging. Bukan saja diiringi oleh keluarga pengantin, tetapi juga oleh sepasukan prajurit.”
Untara tersenyum. Katanya,
“Baiklah. Aku akan mempersiapkan diriku. Silahkanlah kalian berbicara tentang usaha kalian untuk menyelamatkan daerah ini dari kekacauan yang dapat menyeret Pajang dalam suatu keadaan yang gawat. Aku percaya kepada kalian.”
Untara pun kemudian meninggalkan pertemuan itu. Ia sadar, bahwa kehadirannya memang agak mengganggu, Kiai Gringsing tidak akan menyebutkan rencana apa pun yang dapat membuatnya gelisah. Sepeninggal Untara, maka barulah Kiai Gringsing berkata,
“Kita harus menyelamatkan sasaran itu.”
“Ya,” jawab Ki Ranadana,
“dan itu bukannya yang sulit. Tetapi bagaimana kita dapat membuktikan bahwa yang datang itu benar-benar bukan orang-orang Mataram.”
“Ki Lurah Branjangan akan menentukan.”
“Aku tahu. Tetapi bagaimana kita meyakinkan prajurit-prajurit dan rakyat yang sudah dibekali dengan kecurigaan.”
“Kita harus berhasil menangkap beberapa orang di antara mereka hidup-hidup. Kita hadapkan orang itu kepada Ki Lurah Branjangan di hadapan beberapa orang prajurit yang paling berpengaruh.”
Ki Ranadana mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Jadi, apakah kita akan menjebak mereka? Menurut perhitunganku, menahan mereka di luar kademangan adalah lebih baik. Kita dapat mengurangi ketegangan dan ketakutan.”
“Aku sepenapat,” sahut Kiai Gringsing,
“tetapi aku masih belum dapat memastikan, apakah pendapat orang-orang yang berhasil kami ikuti itu diterima. Dalam hal ini, apakah mereka akan datang dari Barat atau seperti yang mereka katakan, mereka akan datang dari Timur.”
Ki Ranadana mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu,
“Jika demikian, bagaimana pendapat Kiai?”
“Kita jebak mereka di halaman rumah Anakmas Untara dan di sepanjang jalan. Menilik rencana yang akan mereka jalankan, jumlah mereka tidak akan begitu banyak. Tetapi di antara mereka pasti ada orang-orang yang dapat dipercaya untuk menghadapi para perwira yang diperkirakan jumlahnya akan jauh berkurang, karena sebagian telah pergi mengikuti dan mengawal Anakmas Untara ke Pengging besok.”
“Kenapa harus di halaman dan di dalam padukuhan Jati Anom?”
“Kesempatan mereka untuk melarikan diri harus kita tutup serapat-rapatnya. Di luar padukuhan mereka akan banyak mendapat kesempatan untuk lari.”

Ki Ranadana mengangguk-anggukkan kepalanya. Semuanya itu akan terjadi besok malam menurut perhitungan mereka, setelah besok Untara berangkat ke Pengging.
“Aku akan memberitahukan masalahnya setelah Untara berangkat,” berkata Ki Ranadana,
“agar persiapan pengantin itu tidak terganggu.”
“Ya,” sahut Kiai Gringsing.
“Kita akan memerlukan prajurit seperlunya dalam kesiagaan penuh, tanpa menyatakan persoalannya yang sebenarnya kecuali kepada beberapa orang pemimpin kelompok. Kita harus menjaga agar semuanya itu seakan-akan hanyalah kesiagaan karena Jati Anom menjadi sepi.”
Demikianlah mereka telah sepakat untuk mengatur persiapan besok setelah Untara berangkat. Menurut keputusan terakhir, Untara akan berangkat besok dengan iring-iringan yang kuat. Beberapa orang keluarga yang meskipun agak jauh, pergi mengantarkannya. Tetapi Widura justru tinggal di Banyu Asri karena persoalan yang cukup gawat yang akan terjadi di padukuhan Jati Anom. Dengan persetujuan Untara, maka menjelang sore yang kemudian turun di atas Jati Anom, Kiai Gringsing dan Sumangkar pergi juga ke Lemah Cengkar. Jika pendapat orang-orang yang kemarin diikutinya itu disetujui oleh pimpinan mereka, maka ada kemungkinan satu dua orang yang lebih tinggi tingkatannya, akan memastikan tempat itu sebagai landasan gerak mereka. Tetapi kali itu mereka tidak membawa Agung Sedayu dan Swandaru. Ternyata bahwa Kiai Gringsing dan Sumangkar mendapatkan kepastian itu. Beberapa orang ternyata kembali ke Lemah Cengkar dan bahkan mereka agaknya telah menentukan di mana mereka harus berkumpul. Tetapi Kiai Gringsing dan Sumangkar tidak dapat mendekati mereka, keduanya hanya dapat melihat dari kejauhan sambil berjongkok menyabit rumput.
“Mereka benar-benar datang seperti yang mereka rencanakan,” berkata Kiai Gringsing.
Sumangkar menganggukkan kepalanya. Katanya,
“Mereka agaknya telah mapan dengan tempat ini. Yang tinggi itu agaknya pemimpinnya. Ia mengangguk-angguk mantap sekali.”
Kiai Gringsing tidak menyahut. Ketika orang yang tinggi itu kebetulan berpaling, maka kedua orang tua-tua itu bekerja semakin tekun, menyabit rumput yang hijau segar. Tetapi keduanya menjadi berdebar-debar ketika orang-orang itu mendekatinya. Orang yang tinggi itu berdiri beberapa langkah di samping Ki Sumangkar dan memandang kedua orang tua itu berganti-ganti.
“He, siapakah kalian?”
Sumangkar mengangkat wajahnya. Tubuhnya yang tidak ditutup dengan baju itu tampak berkeringat dan terbakar oleh sinar matahari di sore hari.
“He, siapa kau?”
“Namaku Puji Ki Sanak.”
“Dari mana?”
“Sendang Gabus.”
Orang yang tinggi itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu ia pun bertanya,
“Apakah kau bukan orang Jati Anom?”
Sumangkar menggeleng.
“Bukan Ki Sanak. Tetapi aku memang sering pergi ke Jati Anom. Apakah Ki Sanak memerlukan sesuatu yang dapat kami bantu?”
“Tidak, tidak,” jawab orang itu, lalu,
“bukankah di Jati Anom ada pengantin agung.”
“O, maksud Ki Sanak pengantin Senapati Pajang itu?”
“Ya.”
“Ya. Besok ia akan berangkat ke Pengging. Apakah Ki Sanak akan mengunjungi perhelatan itu?”
“Ya. Aku akan datang. Tetapi besok, di hari ke lima, jika Untara membawa isterinya kembali. Aku bukan keluarga dekat.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia menegang sejenak ketika orang itu bertanya,
“Kenapa kau menyabit rumput di sini dan di sore hari?”
Namun Sumangkar pun segera tersenyum sambil menjawab,
“Seperti yang Ki Sanak lihat, rumput di sini tumbuh subur. Aku bukan saja menyabit rumput di sini, tetapi di pagi hari aku kadang-kadang menggembalakan kambing dan kerbau di tempat ini.”
“Jarang sekali ada orang yang menggembalakan ternaknya di sini. Bukankah Lemah Cengkar terkenal angker karena Macan Putihnya?”
“Tetapi tidak bagi gembala,” jawab Sumangkar.
“Pohon Panca Warna yang angker itu memberikan buahnya khusus bagi para gembala. Selain bagi gembala yang setiap hari bermain di bawahnya, buahnya dapat menjadi racun. Tetapi tidak bagi kami. Anak-anak sampai orang yang paling tua sekalipun.”
Orang itu mengerutkan keningnya sejenak. Namun tiba-tiba ia tersenyum sambil berkata,
“Itu adalah akal yang licik dari para gembala. Agar buah itu tidak diambil orang lain, kalian membuat ceritera begitu?”
“Tidak. Memang tidak ada orang yang berani makan buahnya.”
Orang yang tinggi itu mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun berkata kepada kawan-kawannya,
“Marilah, kita tinggalkan tempat ini.”
Sumangkar tidak bertanya apa pun kepada mereka, kenapa mereka berada di tempat itu, namun orang yang tinggi itulah yang berkata sebelum ia pergi,
“Kami adalah pemburu harimau. Kami sebenarnya ingin melihat Macan Putih di daerah ini. Jika menurut dugaan kami, macan itu adalah macan sewajarnya, maka kulitnya akan sangat berharga. Tetapi jika yang disebut Macan Putih itu menurut ciri-cirinya adalah harimau jadi-jadian, sudah tentu kami tidak akan berani berbuat apa-apa.”
Sumangkar mengangguk-angguk. Jawabnya,
“Hanya di malam hari Macan Putih itu menampakkan diri.”
“Menurut kepercayaanmu. Tetapi jika harimau itu benar-benar harimau, di siang hari kami akan menemukan bekas-bekasnya, sehingga memberikan petunjuk bagi kami untuk berburu di malam hari.”

Sumangkar mengangguk-angguk. Sekilas dipandanginya Kiai Gringsing tetapi orang tua itu masih tetap sibuk menyabit rumput. Sejenak kemudian orang-orang itu pun pergi meninggalkan tempat itu. Sesekali mereka masih berpaling. Salah seorang dari mereka berpendapat, bahwa kedua orang itu dapat membahayakan keadaan mereka. Tetapi orang yang tinggi itu berkata,
“Gembala itu tidak mengerti apa-apa. Tetapi jika kita berbuat sesuatu, maka justru akan dapat menimbulkan persoalan. Katakanlah jika orang-orang itu tidak pulang ke rumahnya malam nanti, maka keluarga mereka tentu akan mengadu. Bukan sekedar kepada bebahu kademangannya, tetapi kepada prajurit Pajang di Jati Anom. Nah, hal itu akan dapat membuat mereka bertanya-tanya dan barangkali justru menimbulkan kesiagaan yang lebih mantap sepeninggal Untara.”
Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan orang tinggi itu berkata lagi,
“Kita berpencar, agar kita tidak menumbuhkan kecurigaan apa pun.”
Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar memandangi orang-orang itu sampai mereka hilang di balik gerumbul-gerumbul perdu. Mereka berpencar ke arah yang berbeda, agar orang-orang yang menjumpai mereka tidak bertanya-tanya tentang sekelompok orang yang tidak dikenal. Ketika mereka sudah tidak tampak lagi, Kiai Gringsing dan Sumangkar pun segera berdiri. Dikibaskannya kain panjang mereka yang menjadi kotor dan diusapnya keringat yang membasahi kening.
“Agaknya semuanya sudah hampir dapat dipastikan,” berkata Kiai Gringsing.
“Ya. Dan kita harus menyusun rencana sebaik-baiknya hersama Ki Ranadana. Jika kita masih juga terjebak, maka kitalah yang ternyata terlampau dungu.”
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Lalu katanya,
“Marilah kita kembali.”
Mereka pun kemudian meninggalkan Lemah Cengkar dan meninggalkan keranjang mereka di pinggir belukar ilalang. Baju yang mereka lilitkan di pinggang pun segera mereka pakai, sementara keringat mereka masih saja mengalir. Tetapi keduanya tidak membuang sabit mereka.
Orang Sendang Gabus dan Jati Anom tidak menghiraukannya sama sekali. Tidak banyak orang yang mengenal keduanya dan tidak banyak orang yang menghiraukan mereka seperti juga orang-orang Sendang Gabus dan Jati Anom tidak menghiraukan orang-orang asing yang lewat di jalan-jalan padukuhan mereka. Orang-orang Jati Anom menyangka bahwa mereka adalah penghuni kademangan dan padukuhan tetangga yang sedang dalam perjalanan, seperti yang sering terjadi. Berpuluh-puluh kali, dan bahkan beratus-ratus kali. Setiap hari ada saja orang yang tidak mereka kenal lewat di sepanjang jalan kademangan.

Matahari semakin lama menjadi makin rendah, sedang di rumah Widura pun tampak menjadi semakin sibuk. Beberapa orang tua-tua sudah menyiapkan beberapa buah jodang yang besok akan dibawa serta bersama pengantin laki-laki. Jodang-jodang yang berisi pakaian buat pengantin wanita. Sanggan yang terdiri dari buah-buahan, setangkep pisang dan kelengkapannya. Di malam berikutnya, pintu rumah Widura sama sekali tidak pernah tertutup meskipun hanya sekejap. Semalam suntuk, hilir-mudik orang tua-tua yang mengatur persiapan keberangkatan Untara besok, sementara di halaman rumah itu, beberapa orang pembantu juga tampak hilir-mudik menyiapkan bermacam-macam kebutuhan. Kenapa masih di sini. Cepat ke sana. Namun sebagian dari mereka adalah petugas-petugas sandi yang mengawasi keamanan rumah Widura, karena setiap saat dapat terjadi sesuatu yang tidak terduga-duga. Selama kesibukan itu, Ki Lurah Branjangan dan beberapa orang pengiringnya, masih saja dipersilahkan tinggal di pendapa, agar mereka tidak terlibat dalam kesibukan, sehingga mereka tidak sempat beristirahat. Namun sekali-sekali mereka datang juga ke pendapa dan duduk bercakap-cakap dengan Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar. Namun sampai demikian jauh, Kiai Gringsing masih belum memberitahukan, apa yang pernah didengarnya dari orang-orang yang tidak mereka kenal itu. Tetapi malam itu Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar memerlukan menemui Ki Ranadana. Semuanya harus diatur sebaik-baiknya sehingga apabila tiba saatnya, prajurit-prajurit Pajang tidak terjebak dalam kesulitan, dan terlebih-lebih lagi, mereka jangan sampai terjerat ke dalam suatu kesan, bahwa orang-orang Mataram telah datang ke Jati Anom dan mempergunakan saat-saat yang sibuk itu untuk menimbulkan kekacauan.
“Aku akan menyiapkan sekelompok prajurit pilihan,” berkata Ki Ranadana. Lalu,
“Untuk sementara aku tidak akan mengatakan keperluan yang sebenarnya. Di pagi besok kelompok pilihan itu sekedar aku persiapkan untuk pengamanan keberangkatan Ki Untara. Tetapi kelompok itu juga yang akan aku pergunakan di malam hari besok untuk menjebak orang-orang liar itu.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia masih juga bertanya,
“Bagaimana dengan para perwira yang masih tinggal di rumah itu, karena mereka tidak ikut serta mengantar Anakmas Untara ke Pengging.”
“Sampai gelap mereka akan tetap di rumah itu. Tetapi di saat berikutnya mereka akan aku persilahkan pergi ke Banyu Asri, untuk berjaga-jaga dan ikut berdoa agar pengantin yang pergi ke Pengging selamat sampai ke tujuan dan perkawinan dapat berlangsung dengan baik.”
“Tanpa memberitahukan keadaan yang sebenarnya sama sekali?”
“Beberapa orang akan diberi tahu. Dan yang beberapa orang itu akan terlibat langsung apabila orang-orang itu benar-benar telah datang. Sedang yang lain, akan diatur oleh seorang perwira yang cukup berpengalaman apabila diperlukan. Demikian juga para prajurit yang ada di banjar. Aku akan menempatkan tiga orang perwira di Banjar itu untuk mendengar pertempuran yang dapat timbul apabila mereka mengatasi kebingungan yang mungkin terjadi.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Ternyata Ki Ranadana adalah seorang perwira tua yang berhati-hati.
“Sampai Untara berangkat, tidak akan ada seorang, pun selain kita yang mengetahui, apa yang bakal terjadi. Para perwira pun tidak. Yang mereka ketahui, kelompok pilihan itu sekedar untuk berjaga-jaga tanpa sasaran yang pasti,” berkata Ki Ranadana.
“Baik sekali. Dengan demikian tidak akan timbul kegelisahan justru menjelang keberangkatan pengantin ini.”
Rencana Ki Ranadana berlangsung seperti yang dikehendakinya, sementara persiapan keberangkatan Untara pun telah selesai.

Seperti yang telah ditentukan oleh orang tua-tua, maka di hari berikutnya, berangkatlah Untara bersama pengiringnya ke Pengging dengan pengawalan yang cukup kuat. Beberapa orang perwira dari Jati Anom ikut bersamanya sebagai pengiring. Sebagian lagi adalah kawan-kawannya dan para perwira yang datang dari Pajang. Namun ketika iring-iringan itu mulai bergerak, Untara masih sempat berbisik kepada Widura dan Ki Ranadana yang berdiri didekatnya,
“Jagalah padukuhan ini baik-baik. Jangan sampai terjadi sesuatu yang dapat memberikan kesan yang jelek sekali, justru karena aku tidak ada. Bantuan Kiai Gringsing dan murid-muridnya beserta Ki Sumangkar sangat kita perlukan.”
Widura dan Ki Ranadana mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Percayakan saja kepadaku,” berkata Ki Ranadana,
“jangan kau pikirkan Jati Anom. Aku dan Ki Widura akan mengurusnya. Urusanmu adalah pengantin perempuan itu.”
“Ah kau,” desis Untara sambil tersenyum.
Ki Ranadana dan Ki Widura pun tersenyum pula. Tetapi hati mereka cukup berdebar-debar. Sepeninggal Untara, mereka masih harus menyiapkan diri menghadapi persoalan yang gawat, yang barangkali mempunyai akibat yang sangat jauh.
Agung Sedayu dan Swandaru mengantar pengantin itu sampai ke regol padukuhan. Kemudian dilepaskannya Untara pergi di atas punggung kuda. Tetapi mereka tidak dapat berpacu terlampau cepat. Meskipun beberapa buah pedati-pedati yang memuat jodang-jodang yang berisi bermacam-macam keperluan telah berangkat lebih dahulu menjelang fajar, namun kuda-kuda mereka pasti akan segera melampauinya.
Tetapi segala sesuatunya telah diatur. Telah disediakan sebuah rumah khusus buat peristirahatan pengantin laki-laki. Sebelum pengantin laki-laki pergi ke rumah pengantin perempuan dengan segala peralatannya, maka pengantin itu akan tinggal di rumah yang sudah ditentukan sambil menunggu kedatangan pedati-pedati yang membawa beberapa buah jodang itu. Dalam pada itu, sepeninggal Untara, maka Ki Ranadana pun segera membicarakan tugasnya. Prajurit pilihan yang dipersiapkan masih tetap di dalam kelompoknya. Karena sebenarnya prajurit itu memang dipersiapkan untuk pengamanan Jati Anom di malam yang mendatang.
Tetapi seperti yang telah mereka putuskan, Ki Ranadana belum memberitahukan hal itu kepada para perwira yang lain. Ia masih tetap menyimpan hal itu di dalam dirinya. Sepeninggal pengantin laki-laki, maka rumah Widura menjadi semakin sepi. Beberapa orang sanak kadangnya telah minta diri pulang ke rumah masing-masing.
“Besok lusa aku akan kembali menjelang sepasaran pengantin,” berkata salah seorang dari mereka.
Sambil mengucapkan terima kasih Widura mempersilahkan mereka dan mengantar sampai ke regol halaman. Apalagi di dalam hati Widura memang mengharap agar mereka segera meninggalkan rumahnya, agar ia mendapat kesempatan untuk memikirkan kemungkinan yang bakal terjadi malam nanti. Meskipun Widura tidak berkata berterus terang, tetapi ia sudah membayangkan kepada Ki Lurah Branjangan bahwa sesuatu memang mungkin terjadi, seperti yang diperhitungkannya.
“Mudah-mudahan perhitunganku salah,” berkata Ki Lurah Branjangan.
“Aku hanya terlampau curiga, seperti juga Raden Sutawijaya. Kami, orang-orang Mataram, merasa bahwa suasana yang meliputi Mataram kini adalah suasana yang lapuk sekali. Setiap saat dapat terjadi perubahan-perubahan. Dan banyak sekali pihak yang memang menginginkan Mataram tenggelam sebelum tumbuh.”
“Ah, jangan berprasangka terlampau buruk. Meskipun kemungkinan itu terjadi, tetapi kau jangan terlampau berkecil hati. Sudah tentu, para prajurit Pajang akan berusaha untuk melihat kebenaran sejauh dapat dijangkau. Mereka tidak akan begitu saja melemparkan kesalahan kepada sesuatu pihak tanpa bukti-bukti yang meyakinkan.”
Ki Lurah Branjangan mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Aku akan tetap di sini sampai hari-hari perkawinan ini selesai. Aku harus melihat perkembangan suasana. Alangkah baiknya jika tidak terjadi sesuatu. Tetapi jika ada persoalan yang tumbuh selama ini dan menyangkut nama Mataram, aku akan berusaha menyelesaikannya.”

Ki Ranadana dan Widura telah mulai sibuk mengatur diri bersama Kiai Gringsing, kedua muridnya dan Ki Sumangkar. Mereka menentukan di mana prajurit Pajang harus menunggu orang-orang yang akan menyergap rumah Untara. Adalah tidak menimbulkan kesan apa pun ketika Agung Sedayu, Swandaru, dan gurunya bersama Ki Sumangkar memasuki rumah itu diiringi oleh Ki Ranadana, karena rumah itu memang rumah Agung Sedayu. Bahkan tidak seorang pun yang curiga ketika ia berjalan-jalan di kebun belakang. Mengitari sebuah rumah kecil di bagian belakang, yang masih juga dihuni keluarga yang menunggui rumah itu sejak rumah itu ditinggalkan oleh Agung Sedayu dan Untara. Dalam kesempatan itulah Ki Ranadana menentukan tempat-tempat yang akan mendapat pengawasan dari prajurit-prajurit pilihan. Dan prajurit-prajurit itu baru akan mengetahui persoalannya setelah senja. Demikian juga para perwira yang akan dipindahkan ke rumah Widura selain mereka yang bertugas. Sepeninggal para perwira itu. Kiai Gringsing, Sumangkar, Ranadana, dan tiga orang perwira yang akan dipilih sajalah yang akan tinggal di rumah itu, sedang para perwira yang berada di rumah Widura akan ditempatkan di bawah pengaruh Widura, meskipun ia bukan prajurit lagi.
“Di dalam saat yang gawat, mereka akan terlibat. Juga para prajurit di banjar. Tetapi jika keadaan dapat di atasi, maka kekisruhan akan dibatasi sekecil-kecilnya, sehingga rakyat Jati Anom tidak akan menjadi bingung karenanya.”
Demikian semua rencana sudah menjadi matang, seperti juga beberapa orang yang berada agak jauh dari Jati Anom. Mereka pun telah menyiapkan suatu rencana yang matang pula. Dan orang-orang itulah yang dengan sengaja ingin memancing kekeruhan. Mereka akan menyerang para perwira di Jati Anom dengan diam-diam. Dan dengan tersamar mereka ingin meninggalkan kesan seakan-akan mereka adalah orang-orang Mataram yang dengan menyelubungi diri membuat keributan di daerah yang berada dekat sekali dengan batas yang sebenarnya tidak dapat ditentukan dengan nyata. Dengan demikian, maka semakin jauh matahari menjelajahi langit di sebelah Barat, maka ketegangan-ketegangan menjadi semakin nampak. Baik di Jati Anom, maupun di sebuah hutan kecil di sebelah jalan ke Sangkal Putung.

Sekelompok kecil orang-orang yang tidak dikenal memasuki hutan itu dan hilang di antara rimbunnya pepohonan. Mereka tidak datang bersamaan untuk menghindari kecurigaan orang lain. Kadang-kadang mereka hanya datang berdua, bertiga dan tidak lebih dari empat orang setiap kelompok. Namun ternyata mereka berkumpul menjadi sekelompok orang yang cukup banyak setelah mereka berada di dalam hutan yang terlindung itu.
“Setelah gelap, kita akan mempersiapkan diri kita di Lemah Cengkar,” berkata salah seorang dari mereka.
“Kita akan melingkar dan memasuki Jati Anom dari Utara.”
“Dari Utara?” bertanya salah seorang dari mereka.
“Apakah kita tidak dapat memasuki Jati Anom dari Timur?”
“Sendang Gabus?”
“Ya.”
Orang yang agaknya merupakan pemimpin mereka ini menggelengkan kepalanya. Jawabnya,
“Tidak. Kita akan datang dari Utara. Kemarin aku sudah memastikan setelah aku melihat daerah Lemah Cengkar di sore hari. Daerah itu memang agak sulit. Gerumbul-gerumbul berduri. Dan jika ada yang masih percaya, di sana ada seekor harimau putih. Tetapi kita tidak mempunyai kepentingan apa pun dengan harimau putih itu, meskipun seandainya harimau itu adalah harimau jadi-jadian.”
Kawan-kawannya hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Lewat gerumbul-gerumbul berduri itu kita mendekati Jati Anom, dan kita akan menyusup di sela-sela para peronda dan gardu-gardu yang sudah kita kenal letaknya. Kita akan langsung memasuki halaman rumah Untara. Kita akan membunuh para perwira yang ada di rumah itu, sambil mengumpati mereka dan sekali-sekali menyebut nama Mataram. Tetapi ingat, jangan semua orang dibunuh, agar ada yang berceritera tentang kita, bahwa kita menyebut-nyebut nama Sutawijaya dan Pemanahan sebagai orang terbaik. Hanya itu, seolah-olah kita memang menyembunyikan kenyataan bahwa kita orang-orang Mataram.”
Kawan-kawannya menarik napas dalam-dalam. Pekerjaan itu memang sulit. Mereka harus berpura-pura menjadi orang Mataram yang sedang berpura-pura pula.
“Kita akan masuk lewat bagian belakang. Kita harus menyergap dengan tiba-tiba. Sebagian para penjaga di depan regol dan yang lain para perwira di dalam rumah itu. Sekali lagi aku peringatkan, mereka jangan sampai mendapat kesempatan untuk membunyikan tanda apa pun. Tetapi mereka jangan ditumpas semuanya. Biarlah satu dua orang yang telah terluka parah dapat hidup terus untuk menceriterakan apa yang telah terjadi.” Orang itu berhenti sejenak, lalu,
“Yang harus diperhatikan adalah, bahwa para perwira Pajang bukannya anak-anak. Mereka adalah prajurit yang mendapat tempaan yang cukup. Mereka memiliki kemampuan keprajuritan yang tinggi, dan memiliki kemampuan secara pribadi pula, sehingga jika mereka sempat bangun, mereka akan memberikan perlawanan yan sangat berat. Aku sendiri akan berada di antara mereka yang harus membunuh beberapa orang perwira itu. Aku mendengar laporan, bahwa sebagian besar dari mereka ikut bersama Untara. Aku kira di dalam rumah itu tidak akan ada lebih dari lima orang perwira saja.”
“Hanya lima?” bertanya seseorang.
“Ya. Yang lain pasti ada di banjar. Sebagian ada di rumah Widura bersama beberapa orang petugas sandi, dan yang lain ada di kademangan dan di gardu induk.”
“Kita tidak dapat menumpas mereka sekaligus.”
“Bodoh kau,” bentak pemimpinnya, “kita memang tidak ingin menumpas mereka. Kita hanya sekedar membuat orang-orang Pajang marah. Jika di antara para perwira itu, dua atau tiga orang saja yang terbunuh bersama para prajurit pengawal rumah itu, itu sudah cukup. Pajang akan menjadi marah, dan kita mengharap, mereka akan mengambil tindakan terhadap orang-orang Mataram. Apakah kau mengerti?”
“Aku mengerti. Tetapi alangkah baiknya jika keduanya dapat dilaksanakan bersama-sama.”
“Sebuah mimpi yang bagus sekali. Tetapi kemampuan kita tidak akan mungkin.”
Ternyata pemimpinnya masih memberikan beberapa pesan kepada anak buahnya, agar usaha mereka itu tidak gagal. Mereka mengharap, bahwa Pajang benar-benar segera bertindak terhadap Mataram. Jika terjadi demikian, maka selain dendam mereka terbalas karena kematian orang-orang mereka yang terpenting di Alas Mentaok, maka Mataram akan segera dikosongkan. Mereka akan mendapat kesempatan dengan perlahan-lahan mengisi kekosongan itu. Lewat beberapa orang perwira dan pemimpin pemerintahan yang mereka kenal, maka mereka akan mendapat pengesahan atas penggunaan tanah di Alas Mentaok itu.

Tetapi selagi mereka bersiap, Kiai Gringsing, kedua muridnya, Sumangkar, dan Ki Ranadana pun telah menyiapkan penyambutannya pula. Meskipun mereka tidak tahu pasti, dari mana orang-orang itu akan memasuki halaman rumah Agung Sedayu itu, namun mereka telah menyiapkan sepasukan pilihan yang akan menyambut mereka, meskipun sampai matahari menyentuh pucuk pepohonan di ujung Barat, mereka masih belum mengetahui apa yang bakal terjadi. Mereka hanya sekedar mendapat perintah untuk bersiaga. Dalam pada itu Kiai Gringsing dan Sumangkar masih juga mempertimbangkan beberapa lama, apakah Agung Sedayu dan Swandaru lebih baik berada di Banyu Asri saja. Namun akhirnya mereka mengambil keputusan bahwa biarlah keduanya berada di rumah yang akan menjadi sasaran itu, namun keduanya harus berhati-hati dan benar-benar mempersiapkan diri untuk menghadapi kemungkinan yang berat, karena Kiai Gringsing dan Sumangkar yakin, bahwa orang-orang yang akan memasuki rumah itu pun adalah orang-orang pilihan.
Demikianlah, matahari pun semakin lama menjadi makin rendah, sehingga akhirnya wajah langit pun menjadi kemerah-merahan dan senja pun turun dengan perlahan-lahan.
“Kita harus segera bersiaga,” berkata Kiai Gringsing kepada Ki Ranadana.
Perwira prajurit Mataram itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia sudah siap dengan pasukan pilihannya hingga setelah hari menjadi benar-benar gelap, dipanggilnya pasukannya itu.
“Kau mendapat tugas khusus malam ini,” berkata Ki Ranadana kepada pemimpin prajurit pilihan itu.
Perintah itu sebenarnya tidak begitu mengherankan bagi mereka. Adalah menjadi kewajiban seorang prajurit untuk berjaga-jaga di dalam setiap kemungkinan.
“Malam ini adalah malam yang mendebarkan jantung,” berkata Ki Ranadana kemudian,
“karena itu, aku telah memilih kalian. Karena kalian adalah sekelompok prajurit pilihan.”
Pemimpin kelompok prajurit pilihan itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menyangka, bahwa justru malam itu Jati Anom akan menjadi sepi, sehingga penjagaan harus diperkuat.
“Nah,” berkata Ki Ranadana,
“kalian akan bertugas di rumah ini. Pada saatnya aku akan memberikan perintah lebih lanjut.”
Barulah pemimpin kelompok itu mengerutkan keningnya. Tetapi ia masih belum bertanya apa pun selain bersiap untuk menjalankan perintah. Para perwira pun tidak kalah heran, ketika mereka dikumpulkan oleh Ki Ranadana dan mendapat perintah untuk bermalam di rumah Widura semalam itu.
“Widura memerlukan kawan untuk berjaga-jaga memanjatkan doa, agar Untara selamat sampai di perjalanan, dan sejahtera untuk selanjutnya,” berkata Ki Ranadana kepada para perwira.
Sejenak para perwira itu saling berpandangan. Namun kemudian Ki Ranadana melanjutkan,
“Aku persilahkan kalian segera berangkat. Ki Widura tentu sudah menunggu. Bersama kalian adalah kemanakan Ki Widura yang seorang, adik Ki Untara, yang akan mengantarkan kalian, tetapi anak itu akan segera kembali ke rumah ini, rumahnya.”
Tidak banyak yang dapat mereka tanyakan. Para perwira itu pun kemudian berkemas dan pergi meninggalkan rumah Agung Sedayu menuju ke rumah Widura. Namun demikian, Ki Ranadana masih berpesan kepada Agung Sedayu, agar Widura benar-benar mengawasi para perwira itu agar mereka tidak melakukan hal-hal yang dapat merugikan. Meskipun Widura sudah bukan prajurit, namun pengaruhnya masih terasa pada para perwira yang masih muda-muda itu. Tetapi tidak semua perwira harus bermalam di rumah Widura, Ki Ranadana masih menahan tiga orang perwira yang sudah setengah umur bersamanya, tanpa memberikan penjelasan mengenai persoalan yang sebenarnya.
“Aku akan menjadi kesepian jika kalian semuanya berada di Banyu Asri,” berkata Ki Ranadana.
“Biarlah yang tua-tua berada di sini menunggui rumah ini, dan yang muda-muda mendapat kesempatan untuk berkelakar dengan gadis-gadis Jati Anom.”
Meskipun demikian, perwira-perwira muda itu bertanya-tanya juga di dalam hati, apakah sebenarnya yang telah mendorong Ki Ranadana mengirim mereka ke rumah Widura. Memang tidak ada kesan apa pun di rumah Widura. Mereka disambut dengan ramah dan gembira. Seakan-akan memang Widura mengharap kedatangan mereka untuk berjaga-jaga dan beramah-tamah. Namun demikian, para penjaga yang biasanya bertugas di rumah Untara pun telah dipindahkan pula ke rumah itu bersama para perwira, sedang yang bertugas di halaman rumah Untara telah digantikan oleh para prajurit pilihan. Meskipun demikian, untuk menjaga setiap kemungkinan dan barangkali perubahan sasaran, terlebih-lebih lagi apabila ada pengkhianatan, sehingga orang-orang itu merubah sasaran ke Banyu Asri, dan menyerang rumah Widura, Ranadana pun masih tetap menempatkan beberapa orang petugas sandi di sekitar rumah Widura itu.

Baru setelah Agung Sedayu kembali lagi, dan malam menjadi semakin larut, Ki Ranadana memanggil setiap orang yang masih ada di halaman rumah Untara, termasuk pemimpin kelompok prajurit pilihan itu.
“Malam menjadi semakin jauh,” katanya,
“sebentar lagi kita akan menghadapi tugas yang berat dan menegangkan. Kita tidak tahu kapan hal itu akan terjadi. Mungkin sebentar lagi, selagi kita masih berbicara ini, tetapi mungkin pula menjelang fajar.”
Para perwira dan pemimpin kelompok prajurit pilihan itu menjadi berdebar-debar. Perlahan-lahan dan dengan sejelas-jelasnya Ki Ranadana menguraikan apa yang mungkin akan terjadi malam itu. Hasil pengamatan Kiai Gringsing dan Sumangkar, serta kehadiran Ki Lurah Branjangan. Hubungan persoalan yang tidak terlepas yang satu dengan yang lain, serta yang paling akhir adalah keadaan halaman rumah itu sendiri.
“Penjagaan itu harus diletakkan di tempat yang sudah aku tentukan. Sebentar lagi kita akan pergi ke halaman, ke kebun belakang dan tempat-tempat di sekitar rumah ini yang pantas mendapat pengawasan,” berkata Ki Ranadana kemudian.
“Aku sengaja tidak memberitahukan kepada siapa pun juga selain kalian.”
Mereka yang mendengarkan penjelasan Ki Ranadana itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Terbayang sekelompok orang-orang yang tentu juga pilihan sedang merayap mendekati halaman rumah itu. Namun demikian salah seorang dari ketiga perwira itu bertanya, “Apakah para peronda di gardu-gardu sudah diberitahukan, setidak-tidaknya untuk bersiaga?”
“Aku tidak memberitahukan tepat apa yang terjadi. Aku hanya memerintahkan mereka untuk bersiap lebih mantap jika sesuatu terjadi.”
Perwira itu mengangguk-angguk. Katanya,
“Mungkin kita tidak dapat menyelesaikan mereka di halaman ini, sehingga ada di antara mereka yang berhasil lolos. Jika demikian, kita memerlukan peronda-peronda itu.”
“Ya. Bukan saja peronda-peronda itu, tetapi juga prajurit di banjar dan para perwira di rumah Widura.”
“Kenapa mereka tidak diberitahukan saja?”
“Bukan karena kita tidak percaya. Tetapi aku ingin membatasi persoalan ini sesempit mungkin. Jika kita berhasil, maka kita akan menangkap mereka di halaman ini tanpa menimbulkan ketegangan dan keributan. Kita masih harus ingat, bahwa lima hari lagi, Jati Anom akan ngunduh pengantin. Supaya kita bersama dapat menyambut pengantin itu dengan tenang, maka kita akan mencoba membatasi persoalan ini sejauh mungkin, selain perhitungan kita atas keamanan persiapan ini sendiri. Semakin banyak orang yang mengetahui bahwa kita sudah bersiap, maka bahaya tentang hal itu semakin besar bagi kita, karena mereka tentu memiliki telinga di sekitar kita.”
Para perwira itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nah, sekarang, marilah kita mengatur diri. Mungkin orang-orang itu sekarang sudah ada di balik dinding kebun belakang.”

Demikianlah mereka segera pergi ke kebun belakang. Ki Ranadana menunjukkan kepada pemimpin kelompok prajurit pilihan itu untuk menempatkan orang-orangnya di tempat terlindung. Bukan saja di bagian belakang, tetapi juga di samping dan di depan rumah. Sedang mereka yang ada di gardu, dipersiapkan seperti penjagaan yang biasa dilakukan setiap hari.
“Ingat,” berkata Ki Ranadana,
“mereka adalah orang-orang pilihan. Biarkan mereka semuanya masuk. Yang akan mereka lakukan adalah menyergap para penjaga di depan dan sebagian yang lebih matang akan memasuki rumah ini. Biarlah kami yang berada di dalam rumah itu.”
Pemimpin kelompok itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nah, lakukan tugasmu sebaik-baiknya,” berkata Ki Ranadana, lalu katanya kepada para perwira,
“Kalian masing-masing akan mendapat tugas di antara prajurit.


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar