Rasa-rasanya jantung mereka menjadi semakin cepat berdentangan. Bukan saja para penyerang, tetapi prajurit-prajurit Pajang yang menyaksikan itu pun menjadi berdebar-debar pula. Rasa-rasanya mereka tidak dapat menunggu lagi. Tangan mereka telah bergetar dan darah mereka menjadi semakin cepat mengalir. Sejenak kemudian mereka mendengar derit yang lirih sekali. Ternyata para prajurit Pajang yang berada di sisi rumah itu melihat bahwa pintu butulan telah terbuka. Dengan isyarat tangan, maka pemimpin kelompok itu memanggil orang-orangnya yang bertugas masuk ke dalam rumah itu bersama seorang yang dipercaya langsung dari pimpinan mereka. Seorang perwira Pajang yang melihat pintu yang terbuka itu pun menjadi berdebar-debar pula. Dan ia pun yakin bahwa di antara para penyerang itu pasti ada satu atau dua orang yang benar-benar dapat dipercaya melakukan tugas itu.
“Jika saja
rencana ini tidak dapat diketahui, maka akulah yang ada di dalam rumah itu
bersama beberapa orang kawan. Barangkali aku dan beberapa orang kawan itu sama
sekali tidak sempat berbuat sesuatu ketika pedang-pedang mereka menikam dada
ini, selagi kami masih tidur,” katanya di dalam hati. Dan ia pun merasa
bersukur bahwa ia sempat mendengar rencana itu dan kini ia telah siap
menghadapi setiap kemungkinan.
“Meskipun
seandainya aku akan mati juga malam ini, tetapi aku mati sambil menggenggam
pedang seperti seharusnya seorang prajurit, bukan mati di pembaringan tanpa
berbuat sesuatu,” perwira itu menggeram di dalam hati. Tanpa disadarinya maka
tangannya pun telah meraba hulu pedangnya.
“Apakah Ki
Ranadana dan kawan-kawannya yang ada di dalam rumah itu tidak tertidur, dan
mereka mengetahui bahwa yang mereka tunggu telah datang?” ia bertanya kepada
diri sendiri. Tetapi karena yang ada di dalam rumah itu adalah orang-orang yang
dapat dipercaya, maka ia pun mencoba untuk menenteramkan dirinya sendiri.
Sejenak
kemudian perwira itu melihat beberapa orang merayap mendekati pintu butulan
itu. Sedang di bagian lain, beberapa bayangan yang bergerak-gerak menjadi
semakin dekat dengan regol halaman. Mereka harus langsung menyergap para
penjaga yang jumlahnya tidak begitu banyak itu tanpa memberi kesempatan mereka
membunyikan tanda apa pun juga.
Dada setiap
orang di halaman rumah Untara itu menjadi semakin tegang. Bahkan para prajurit
yang ada di regol itu bagaikan duduk di atas bara api. Mereka mengerti, bahwa
beterapa orang sedang merayap untuk menerkam mereka, namun mereka masih harus
duduk di tempatnya. Meskipun demikian, senjata-senjata mereka telah siap di
lambung. Sekejap saja senjata itu akan berada di genggaman. Demikian juga
kawan-kawannya yang ada di sudut-sudut halaman depan. Rasa-rasanya mereka sudah
ingin meloncat menyerang bayangan yang merambat semakin dekat dengan regol itu.
Dalam pada itu, orang-orang yang ada di dalam rumah itu pun segera berdiri di
depan bilik yang mereka perkirakan di pakai oleh para perwira Pajang. Sejenak
mereka memusatkan segenap pikiran dan perhatian mereka kepada tugas yang akan
mereka lakukan. Ketika semuanya menurut perhitungan pemimpin kelompok penyerang
itu sudah siap, maka terdengarlah dari dalam rumah itu suara burung hantu yang
keras sekali tiga kali. Hanya tiga kali. Dan yang tiga kali itu adalah perintah
bagi setiap orang di dalam pasukan kecilnya untuk menyerang semua sasaran yang
telah ditentukan. Pada saat suara burung hantu itu menggema, dua orang yang
dengan napas terengah-engah menyusul mereka dari Pengging menjadi
berdebar-debar. Ternyata mereka sudah terlambat. Meskipun mereka sudah berada
di belakang rumah Untara, namun perintah itu sudah diberikan, sehingga mereka
tidak dapat berbuat apa-apa.
“Terlambat,”
desah yang seorang.
“Tetapi,
kenapa mereka masih sempat menunggu perintah itu? Jika orang-orang Pajang sudah
menunggu mereka, maka demikian mereka memasuki halaman rumah ini, mereka pasti
akan segera diterkam oleh para prajurit Pajang,” sahut yang lain.
“Kita menunggu
perkembangan,” berkata yang lain.
Demikianlah
mereka menunggu apa yang terjadi di dalam rumah Untara dan di halamannya itu.
Dalam pada
itu, demikian isyarat itu berbunyi, maka setiap orang yang ada di dalam rumah
itu pun segera mendorong pintu bilik. Senjata-senjata telanjang yang ada di
tangan mereka telah bergetar. Pemimpin kelompok itu berada di depan satu bilik
bersama beberapa orang kawannya, sedang orang yang langsung diperbantukan
kepadanya oleh pemimpin mereka itu berada di bilik yang lain bersama beberapa
orang pula. Mereka harus melakukan tugas mereka dengan cepat dan cermat. Sedang
beberapa orang lainnya berada di bilik yang lain pula, untuk mengawasi jika di
dalam bilik itu ada juga penghuninya.
Bersama dengan
gerit pintu-pintu bilik itu, para penyerang yang sudah siap menunggu di halaman
pun segera berloncatan. Jumlah mereka ternyata cukup banyak untuk membinasakan
beberapa orang yang bertugas di regol itu. Namun, demikian isyarat itu
berbunyi, maka prajurit-prajurit Pajang yang berada di regol itu pun segera
berloncatan berdiri. Seakan-akan suara burung hantu itu memang merupakan
perintah bagi mereka untuk bersiap menghadapi setiap kemungkinan. Sekejap para
penyerang itu pun menjadi heran. Namun mereka tidak menghiraukannya lagi.
Seperti banjir bandang mereka pun segera menyerang. Orang-orang yang ada di
regol itu harus ditumpas. Tetapi mereka
tiba-tiba saja mereka mendengar gemerisik dedaunan dan semak-semak di
sekitar mereka. Sebelum mereka mencapai gardu itu, mereka menjadi terpukau
karena beberapa orang yang tiba-tiba saja justru berloncatan menyerang mereka. Sebelum
mereka menyadari keadaan mereka, maka tiba-tiba mereka mendengar salah seorang
dari prajurit Pajang itu berkata lantang,
“Kalian
terjebak. Menyerahlah.”
Tetapi para
penyerang itu tidak yakin akan kata-kata prajurit Pajang itu meskipun mereka
melihat beberapa orang berdatangan. Karena itu, maka pemimpin kelompok mereka
pun berkata,
“Tumpas
mereka. Jangan ada yang tersisa. Mataram harus menguasai daerah Jati Anom
sebelum menguasai seluruh Pajang.”
Kata-kata itu
mendebarkan jantung para prajurit Pajang. Untunglah mereka sudah mengetahui
dengan siapa mereka berhadapan, sehingga mereka pun tidak mudah terpengaruh
oleh kata-kata itu, yang seakan-akan para penyerang itu adalah orang-orang
Mataram.
Ternyata
serangan itu telah mendapat sambutan hangat. Para penjaga di regol halaman pun
sudah siap menunggu mereka menyergap. Namun ternyata bahwa para penyerang tidak
dapat memusatkan kekuatan mereka, kepada para praturit yang tidak begitu banyak
jumlahnya di regol, tetapi mereka harus melayani prajurit-prajurit Pajang yang
bermunculan seperti laron dimusim hujan. Ternyata bahwa jumlah prajurit Pajang
itu pun cukup banyak sehingga para penyerang itu pun menjadi berdebar-debar.
Apalagi prajurit Pajang yang mereka hadapi adalah prajurit pilihan.
“Gila,”
pemimpin kelompok penyerang itu menggeram,
“kita harus
memencar. Kita binasakan semua orang yang ada di halaman ini.”
Dalam pada itu
kelompok cadangan yang harus mengawasi jika ada di antara para prajurit Pajang
yang melarikan diri itu pun tidak lagi dapat tinggal diam. Mereka pun segera
terlibat pula di dalam perkelahian melawan para prajurit Pajang.
Dalam pada
itu, yang ada di dalam rumah pun terkejut bukan kepalang. Ternyata mereka hanya
menjumpai seorang perwira Pajang di dalam rumah itu. Dan perwira itu adalah Ki
Ranadana. Sedang yang lain sama sekali bukan prajurit Pajang. Namun justru
karena itulah, maka kemudian mereka menjumpai banyak sekali kesulitan.
Para penyerang
yang belum mengenal Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar itu semula tidak begitu
menghiraukannya. Pembunuhan di dalam rumah itu akan tetap berlangsung, siapa
pun yang ada di dalamnya. Perwira yang hanya seorang itu harus dibunuh pula,
sedang salah seorang dari orang-orang yang ada di rumah itu akan dihidupinya.
“Kalian tidak
usah melawan,” berkata pemimpin gerombolan itu,
“kami datang
dengan kekuatan yang tidak akan terlawan oleh kalian. Marilah kalian berkumpul
di ruang tengah.”
Ki Ranadana
dan Ki Sumangkar memandang pemimpin kelompok itu sejenak, lalu sambil mengangguk-angguk
Ki Ranadana menjawab,
“Apakah yang
akan kalian lakukan atas kami?”
“Sayang, kami
akan membunuh kalian. Para perwira dan siapa pun yang ada di dalam rumah ini.”
Ki Ranadana
dan Ki Sumangkar tidak segera menyahut, sedang di depan pintu bilik yang lain
terdengar seorang dari para penyerang itu berkata,
“Keluar. Kami
akan memenggal lehermu. Lebih baik kau mati di ruang yang agak luas daripada di
bilik yang sempit agar rohmu mendapat jalan yang agak lapang.”
Dan terdengar
jawab Kiai Gringsing,
“Baiklah. Kami
akan keluar ke ruang yang lebih luas. Tetapi apakah kalian benar-benar akan
membunuh kami?”
“Jangan banyak
bicara. Sediakan diri untuk mati. Pedang kami akan memenggal leher kalian.”
Tetapi yang
terdengar kemudian adalah kata-kata Swandaru,
“Kulit kami
amat liat. Apakah pedang kalian cukup tajam?”
Pertanyaan itu
benar-benar tidak diduga oleh orang-orang yang datang memasuki rumah itu.
Karena itu, sejenak mereka hanya memandang Swandaru dengan tatapan mata yang
aneh.
“He, kenapa
kalian menjadi heran seperti melihat hantu?” bertanya Swandaru pula.
“Ayo, jawab
pertanyaanku. Apakah pedangmu cukup tajam untuk memotong leherku. Kulitku cukup
liat dan tulangku sangat keras.”
“Persetan,”
orang yang dikirim oleh pemimpin para penyerang itu menggeram,
“kaulah yang
akan aku bunuh pertama-tama.”
“Aku?” Swandaru
membelalakkan matanya.
“Kenapa bukan
yang lain? Kau misalnya?”
“Tutup
mulutmu,” orang itu berteriak.
“Kami adalah
para perwira pilihan dari prajurit Pajang,” berkata Swandaru.
“Ketika kami
memasuki lingkungan keprajuritan, kami harus melalui pendadaran yang berat.
Nah, apakah kami yang sudah melalui pendadaran itu harus menyerahkan leher kami
begitu saja?”
Orang itu
tidak menjawab. Tetapi tiba-tiba saja ia menyergap masuk. Agaknya kemarahannya
sudah memuncak sampai ke ubun-ubun. Beberapa orang kawannya pun ikut pula
menyergap. Mereka langsung menyerang kiai Gringsing dan kedua muridnya dan
berusaha membunuh mereka sebelum mereka sempat berbuat apa pun juga, apalagi
memberikan isyarat. Demikian juga pemimpin kelompok penyerang itu. Mereka pun
telah menyerang Ki Ranadana dan Ki Sumangkar di dalam biliknya yang sempit.
“Ki Ranadana,”
berkata Ki Sumangkar,
“agak
menjauhlah. Senjataku memerlukan ruang yang agak luas.”
“Eh,” sahut Ki
Ranadana,
“apakah aku
tidak akan kau beri sisa tempat di ruang ini? Jika demikian, sebaiknya aku
keluar saja.”
“Jangan
sekarang. Kita memilih tempat yang sempit ini saja dahulu.”
Ki Ranadana
tidak menjawab, tetapi ia bergeser ke sudut yang lain menjauhi Sumangkar yang
kemudian menggenggam senjatanya yang aneh. Trisulanya yang berantai di tangan
kanan, dan yang sebuah lagi di tangan kiri langsung digenggamnya pada
tangkainya.
Namun yang
paling mengejutkan para penyerang itu, ketika Swandaru yang langsung diserang
telah menarik cambuk yang membelit di lambungnya. Ketika cambuk itu meledak,
rasa-rasanya meledak pulalah setiap jantung dari para pemimpin penyerang itu.
Sedikit banyak mereka telah pernah mendengar, bahwa kawan-kawan mereka yang
berjuang di Alas Mentaok, telah gagal sama sekali akibat hadirnya orang-orang
yang bersenjata cambuk. Dan kini rumah Untara itu telah digetarkan pula oleh
suara cambuk.
Bukan saja
Swandaru yang kemudian telah meledakkan cambuknya. Namun juga Agung Sedayu dan
bahkan Kiai Gringsing, karena lawan mereka telah langsung menyerang mereka
dengan pedang ke arah jantung mereka, untuk segera membunuh apabila mungkin,
maka mereka pun telah mempergunakan senjata mereka pula. Demikianlah di dalam
bilik yang sebelah, tiga buah cambuk telah meledak bersahut-sahutan.
Di bilik yang
lain, trisula Sumangkar telah berputar pula pada rantai yang mengikatnya.
Suaranya berdesing mengerikan. Sedang Ki Ranadana yang bersenjata pedang pun
telah mulai pula bertempur melawan orang-orang yang menyerangnya.
Betapapun
juga, namun putaran trisula di tangan Sumangkar telah menimbulkan persoalan
bagi para penyerangnya, sehingga beberapa orang terpaksa terdesak surut oleh
kawan-kawan mereka. Dengan lambat laun pasti Sumangkar telah mendesak lawannya
ke pintu keluar dari bilik itu.
“Kita akan
mencari jalan keluar,” berkata Sumangkar kepada Ki Ranadana,
“supaya kita
dapat lebih leluasa bermain-main.”
“Aku
sependapat,” berkata Ki Ranadana. Meskipun ia tidak mendesak lawannya, namun
suara trisula Sumangkar yang berdesing itu berpengaruh juga, sehingga Ki
Ranadana pun telah mendesak lawannya pula.
Demikianlah
maka para penyerang itu tidak mau bertahan di dalam bilik yang sempit itu pula.
Mereka pun segera berloncatan keluar disusul oleh Sumangkar dengan senjatanya
yang mengerikan. Yang terakhir keluar dari bilik itu adalah Ki Ranadana. Tetapi
ketika beberapa orang lawan menyambutnya, maka ia tidak langsung pergi ke ruang
tengah yang agak luas, tetapi ia berhenti saja di pintu sambil bertempur. Jika
ia agak terdesak oleh beberapa orang lawannya maka ia melangkah surut, sehingga
ia langsung menghadapi sebuah pintu yang sempit. Dengan demikian ia sempat
mempergunakan pintu bilik itu sebagai perisai, sehingga lawannya terpaksa
berdiri di satu arah daripadanya.
“Licik,” geram
salah seorang lawannya,
“jangan
berdiri di pintu.”
Tetapi Ki
Ranadana tertawa. Katanya,
“Bagaimana
mungkin kau dapat mengatakan aku licik, sedang kau menyerang dengan pasukan
segelar sepapan?”
Lawan-lawannya
tidak menjawab. Tetapi mereka berusaha mendesak Ranadana masuk ke dalam bilik
itu kembali dan beramai-ramai membinasakannya. Tetapi Ki Ranadana menyadari
keadaannya, sehingga karena itu maka ia pun bertahan mati-matian agar ia tetap
berada di pintu bilik itu.
“Untunglah
bahwa kami dapat mengetahui lebih dahulu serangan ini. Jika tidak, maka kami
akan benar-benar dibantai tanpa perlawanan,” berkata Ki Ranadana di dalam
hatinya. Seperti yang tersirat di hati setiap prajurit Pajang. Namun demikian
ia masih juga memikirkan Ki Sumangkar, Kiai Gringsing dan kedua muridnya.
“Adik Untara
adalah seorang yang dapat dipercaya,” berkata Ki Ranadana, karena ia mengetahui
bahwa Agung Sedayu berhasil mengalahkan seorang perwira muda dari Pajang pada
perselisihan yang tidak dapat dihindarkan, justru di saat Agung Sedayu baru saja
datang di tempat ini.
“Tetapi anak
muda yang gemuk itu, apabila orang tua itu, pasti memiliki kemampuan yang cukup
pula,” katanya pula kepada diri sendiri.
Sekilas Ki
Ranadana melihat bagaimana Sumangkar bertempur melawan beberapa orang yang
menyerangnya. Putaran trisulanya benar-benar membatasi kemampuan gerak
lawannya. Trisula yang disangkutkan pada ujung rantai itu tidak saja berputar
seperti baling-baling, tetapi kadang menjulur mematuk seperti seekor ular yang
berbisa. Dalam pada itu, cambuk yang meledak-ledak di bilik sebelah serasa
telah menggetarkan rumah yang besar itu. Bahkan kemudian seperti Sumangkar,
Kiai Gringsing telah mendesak lawannya ke luar ruangan, sehingga di ruang
tengah yang luas itulah mereka kemudian bertempur. Swandaru tersenyum melihat
Sumangkar telah lebih dahulu ada di ruang itu. Ketika ia memandang Ki Ranadana,
maka keningnya pun terkerut-merut.
Bukan saja
Swandaru, tetapi Kiai Gringsing pun melihat, bahwa Ki Ranadana mulai menjadi
lelah menghadapi lawan-lawannya. Di antaranya adalah pemimpin kelompok
penyerang yang memiliki kelebihan dari kawan-kawannya. Hanya dengan mengerahkan
segenap kemampuannya sajalah Ki Ranadana tetap bertahan di depan pintu bilik
itu. Tetapi Ki Ranadana sama sekali tidak mengeluh dan tidak menjadi cemas. Ia
menyadari, bahwa keadaan ini adalah keadaan yang jauh lebih baik daripada
keadaan yang seharusnya terjadi. Seperti setiap perwira ia berpendapat, bahwa
seandainya ia sendiri menjadi korban, bukanlah merupakan soal yang memberati
perasaannya, namun dengan suatu keyakinan, bahwa keadaan akan dapat dikuasai
oleh pasukannya. Ternyata bahwa Swandaru lah yang berasa paling dekat dengan
pintu bilik Ki Ranadana. Itulah sebabnya, maka ia pun segera berusaha berbuat
sesuatu untuk mengurangi tekanan yang semakin lama menjadi semakin berat. Tetapi
Swandaru tidak segera berhasil. Beberapa orang berusaha menahannya dan
memisahkannya dari Ki Ranadana.
Dalam pada
itu, di luar rumah, para penyerang telah terlibat pula dalam pertempuran yang
sengit. Mereka yang menyerang para prajurit yang tampaknya tidak begitu banyak
di gardu peronda, menjadi berdebar-debar melihat para prajurit Pajang yang
berloncatan dari dalam gelap. Karena itulah, maka setiap orang yang ada
langsung terlibat dalam perkelahian. Kelompok yang harus mengawasi perkembangan
keadaan di halaman itu sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk tetap berada
di tempatnya. Mereka pun langsung melibatkan diri dalam perkelahian yang seru. Tetapi
para prajurit Pajang sama sekali tidak membunyikan tanda apa pun seperti yang
sudah dipesankan kepada mereka. Jika keadaan tidak memaksa, maka mereka harus
menyelesaikan tugas itu tanpa mengganggu ketenteraman Jati Anom. Mereka tidak
boleh menimbulkan kesan bahwa ada sekelompok orang yang mampu menerobos masuk
ke dalam lingkungan prajurit Pajang, dan lebih daripada itu, ketenangan
hari-hari perkawinan Untara tidak boleh terganggu. Namun kesiagaan yang cermat
telah menempatkan para prajurit Pajang itu dalam kedudukan yang baik. Apalagi
ketika para prajurit yang ada di halaman belakang pun telah ikut melibatkan
diri pula menyerang orang-orang yang bertugas mengawasi keadaan di bagian
belakang. Karena jumlah mereka tidak banyak, maka mereka pun segera bergeser ke
halaman depan, bergabung dengan kawan-kawannya yang sedang bertempur pula. Dengan
demikian maka perkelahian yang terjadi di halaman rumah Untara itu menjadi
semakin seru. Samar-samar oleh cahaya lampu minyak di gardu, orang-orang yang
bertempur itu berusaha membedakan, yang manakah kawan dan manakah lawan. Namun
prajurit Pajang ternyata telah memakai ciri-ciri keprajuritan mereka
masing-masing, sehingga di antara mereka dengan mudah dapat saling mengenal. Karena
prajurit-prajurit Pajang yang bertempur di halaman itu adalah prajurit-prajurit
pilihan, serta jumlah mereka pun memadai, maka mereka segera menguasai keadaan.
Namun ternyata lawan-lawan mereka pun adalah orang-orang terpilih pula,
sehingga prajurit-prajurit Pajang itu harus mengerahkan segenap kemampuan
mereka, secara pribadi dan secara bersama-sama untuk mendesak lawan mereka.
Tetapi orang-orang itu sejauh mungkin tidak sampai merembes ke luar, halaman,
agar ketenangan Jati Anom tidak terganggu. Di luar regol depan, dua orang
prajurit pengawas dari Pajang menyaksikan perkelahian yang bergolak di halaman.
Setelah mereka yakin, bahwa tidak akan ada lagi orang-orang yang bakal datang,
maka mereka pun segera ikut pula di dalam perkelahian itu.
Namun dalam
pada itu. Keadaan Ki Ranadana ternyata menjadi semakin sulit karena jumlah
lawannya yang kuat. Bagaimanapun juga ia berusaha, namun ternyata bahwa ia
perlahan-lahan terdesak juga, sehingga sedikit demi sedikit ia bergeser masuk
ke dalam bilik.
“Jika aku
terdorong masuk,” berkata Ki Ranadana,
“maka aku
tidak akan dapat menyaksikan akhir dari perkelahian ini meskipun aku yakin,
bahwa prajurit Pajang akan menguasai keadaan.”
Dalam pada
itu, Swandaru yang berada dekat dengan pintu bilik itu masih belum dapat
berbuat sesuatu untuk membantu Ki Ranadana, sehingga karena itu, maka ia pun
berusaha sekuat-kuat tenaganya untuk memecahkan kepungan atas dirinya sendiri.
Namun demikian usaha itu bukannya usaha yang mudah. Ternyata Kiai Gringsing dan
Ki Sumangkar pun melihat kesulitan Ki Ranadana. Karena itu, hampir bersamaan
mereka berusaha untuk menolongnya. Sumangkar yang masih belum mempergunakan
segenap kemampuannya tiba-tiba memutar trisulanya semakin cepat. Kini ia tidak
memperhitungkan lagi korban yang bakal jatuh. Baginya, orang-orang itu tidak
akan banyak dapat memberikan keterangan, sehingga apabila terpaksa ujung trisulanya
menimbulkan kematian, maka itu adalah sesuatu hal yang tidak dapat
dihindarinya. Karena itu, sejenak kemudian terdengar salah seorang dari
lawan-lawannya mengeluh tertahan. Namun hampir bersamaan di lingkaran
perkelahian yang lain seseorang menjerit kesakitan, ketika ujung cambuk Kiai
Gringsing mengenai pelipisnya. Sekilas warna merah seakan-akan menyala di wajah
itu, kemudian darah yang merah mengalir memenuhi kepalanya. Dua orang sekaligus
telah terluka. Yang seorang di kepalanya, sedang yang lain, trisula Ki
Sumangkar langsung mematuk dada. Ternyata hal itu sangat berpengaruh.
Orang-orang yang mendesak Ki Ranadana pun menjadi ragu-ragu. Tetapi di antara
mereka adalah pemimpin kelompok itu sendiri, sehingga ia pun segera menguasai
keadaan, dan memimpin kawan-kawannya untuk mendesak lawannya kembali. Meskipun
demikian, hati pemimpin penyerang itu sudah dihinggapi oleh keragu-raguan.
Siapa sajakah yang berada di dalam rumah ini, sehingga kawan-kawannya sama
sekali tidak segera berhasil membunuh mereka. Bahkan dua orang kawannya telah
terluka parah. Ketika kemudian sebuah hentakan mendesak Ki Ranadana, maka ia
telah kehilangan kesempatan untuk bertahan di depan pintu. Ternyata pemimpin
kelompok penyerang itu berhasil meloncat masuk untuk menyerang Ki Ranadana dari
arah lain. Namun dengan demikian Ki Ranadana tidak tetap berdiri saja di pintu.
Ia pun segera meloncat masuk dan mundur mendekati dinding agar ia dapat melawan
tanpa mendapat serangan dari belakang.
Empat orang
termasuk pemimpin gerombolan penyerang itu menyusulnya. Pedang mereka telah
teracu lurus ke dada Ki Ranadana, sehingga hampir tidak ada kesempatan baginya
untuk menghindarkan diri dari bencana. Apalagi ketika dilihatnya dua orang
lawannya tetap berdiri di pintu untuk menjaga agar tidak ada seorang pun yang
dapat membantunya. Meskipun demikian Ki Ranadana tidak menyerah begitu saja. Ia
tahu, salah seorang dari keempat lawannya itu adalah orang yang pilih tanding.
Karena itu, maka perlawanannya dipusatkan kepadanya. Namun hatinya
berdebar-debar ketika ia mendengar orang itu berkata,
“Aku akan
membunuhnya. Bantulah kawan-kawanmu yang lain. Aku menunggu kesempatan untuk
berkelahi dengan leluasa seperti ini. Di dalam perkelahian yang kisruh aku
justru merasa terganggu. Sekarang aku mendapat kesempatan untuk mengetahui
dengan pasti, betapa tinggi ilmu seorang perwira Pajang.”
Hati Ranadana
menjadi berdebar-debar. Apalagi ketika ketiga orang yang lain benar-benar
menarik dirinya dari perkelahian itu.
“Jaga pintu
itu,” berkata pemimpin gerombolan itu,
“jangan
seorang pun boleh masuk. Setelah orang ini mati, biarlah aku menyelesaikan yang
lain. Jaga mereka agar mereka tidak sempat lari.”
Ketiganya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Seorang dari mereka langsung pergi ke pintu,
sedang yang dua orang lainnya masih termangu-mangu. Sejenak kemudian
perkelahian seorang lawan seorang telah terjadi. Tetapi seperti yang dikatakan
oleh pemimpin gerombolan itu, rasa-rasanya ia kini mendapat kesempatan lebih
banyak, sehingga dengan demikian, meskipun ia hanya seorang diri, maka perwira
itu pun tidak dapat mengimbanginya. Selangkah demi selangkah ia terdesak.
Apalagi tenaganya yang telah diperas di depan pintu itu pun telah menjadi
semakin susut. Dalam pada itu, Kiai Gringsing pun menjadi cemas karena Ki
Ranadana terdesak. Tetapi ia tidak dapat meninggalkan lingkaran perkelahiannya.
Ternyata seorang lawannya adalah orang yang memiliki kemampuan yang tinggi.
Ditambah lagi dengan dua orang yang membantunya. Orang itu adalah orang yang
langsung diperbantukan dari pemimpin gerombolan yang lebih tinggi lagi
tingkatnya. Tetapi ternyata yang dihadapinya kini adalah Kiai Gringsing. Karena
itu, maka orang yang telah mendapat kepercayaan itu menjadi berdebar-debar. Ia
memang pernah mendengar tentang orang-orang bercambuk. Tetapi kini ia harus
menghadapinya sendiri.
“Orang ini
telah membunuh Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak,” berkata orang itu di dalam
hatinya. Dengan demikian ia dapat menilai, betapa tinggi ilmu orang bercambuk
itu.
“Tetapi aku
tidak sebodoh Kiai Telapak Jalak,” berkata orang itu di dalam hatinya pula,
“aku harus
dapat mengumpankan cucurut-cucurut bodoh ini, sementara aku mengambil
keuntungan dan kemudian membinasakan.”
Ternyata
berbeda dengan pemimpin gerombolan penyerang itu sendiri, yang ingin
membinasakan Ranadana dengan tangannya dan kemampuannya sebagai suatu
kebanggaan bahwa ternyata perwira Pajang tidak lebih daripada dirinya sendiri,
maka orang yang sedang bertempur dengan Kiai Gringsing itu mempunyai caranya
sendiri. Meskipun ia memiliki kemampuan melampaui kawan-kawannya namun ia sama
sekali tidak berusaha melindungi mereka. Bahkan dibiarkannya kawan-kawannya
menyerang dan memancing perhatian Kiai Gringsing sementara ia berusaha
menyerang dengan diam-diam. Ia sama sekali tidak menghiraukan jika ada satu dua
orang kawannya yang tersentuh senjata lawan atau bahkan terbunuh sekalipun. Namun
bahwa kesempatan itu masih juga belum terbuka baginya membuatnya semakin marah.
Bukan saja kepada Kiai Gringsing tetapi kepada kawan-kawannya sendiri yang
tidak mampu menarik perhatian lawannya sebanyak-banyaknya sehingga memberi
kesempatan kepadanya untuk menikam lawannya dengan kecepatan yang dimilikinya.
“Hmm. Orang
bercambuk ini memang gila,” ia menggeram. Namun ketika ia sadar, bahwa masih
ada beberapa orang lain yang harus diselesaikan, maka ia pun bertempur semakin
sengit pula.
“Jangan
berkelahi seperti pengecut,” ia menggeram,
“aku dikirim
untuk membantu kalian, untuk menyelesaikan tugas yang dibebankan oleh
Sutawijaya kepada kita. Karena itu, jangan bertempur seperti seorang gadis yang
sedang menerima lamaran.”
Mendengar
sindiran itu, kawan-kawannya menjadi berdebar-debar. Tetapi usaha orang itu
berhasil karena kawan-kawannya bertempur semakin gigih dan kadang-kadang
benar-benar berhasil menarik perhatian Kiai Gringsing sepenuhnya. Namun dengan
demikian, Kiai Gringsing menyadari betapa liciknya lawannya yang seorang ini.
Meskipun kemampuannya jauh lebih besar dari kawan-kawannya, namun ia justru
berlindung kepada mereka dan kemudian jika ia berhasil, maka dirinyalah yang akan
mendapat pujian, seakan-akan ialah yang telah mampu menyelesaikan tugas itu. Karena
itu, kemarahan Kiai Gringsing justru ditujukan kepada orang itu, sehingga ada
yang telah dilupakannya. Jika ia dapat menangkap orang itu hidup-hidup, maka ia
akan mendapat penjelasan lebih banyak tentang orang itu dan gerombolannya,
bahkan pemimpin-pemimpin yang lebih tinggi. Tetapi Kiai Gringsing tidak
mengerti susunan dan tingkatan dari lawannya. Yang ia ketahui, lawannya yang
seorang ini sangat licik dan pengecut meskipun dengan demikian ia justru
menjadi sangat berbahaya.
Sejenak
kemudian, maka serangan-serangan Kiai Gringsing telah dipusatkan kepada orarg
yang licik itu. Betapapun ia berusaha berlindung di punggung kawan-kawannya,
namun ujung cambuk Kiai Gringsing seakan-akan selalu mengejarnya. Tetapi orang
itu masih juga sempat berteriak,
“Ayo, jangan
lari. Aku ada di antara kalian.”
Namun
bagaimanapun juga, serangan-serangan Kiai Gringsing tidak juga dapat
dihindarinya. Sekali-sekali ujung cambuk orang tua itu telah menyentuhnya, dan
membuat jalur yang pedih dikulitnya. Akhirnya orang itu pun menyadari
keadaannya. Ternyata lawannya memusatkan serangan-serangannya kepadanya. Karena
itu, maka ia tidak dapat ingkar lagi, bahwa ia harus bertempur sebaik-baiknya.
“Tetapi orang
bercambuk ini benar-benar gila,” katanya di dalam hati.
“Kenapa ia
berada juga di tempat ini? Jika yang ada di dalam rumah ini benar-benar empat
atau lima orang perwira prajurit Pajang, maka aku kira tugas akan cepat
selesai.”
Dalam pada itu
ia sempat juga bertanya-tanya tentang pemimpin gerombolannya. Ia mengetahui
bahwa pemimpinnya itu sedang mengejar seorang perwira yang terdesak ke dalam
bilik. Tetapi sampai berapa lamanya ia masih belum dapat menyelesaikannya pula.
Dalam pada itu, perkelahian di dalam ruangan itu pun menjadi semakin sengit.
Lawan-lawan yang tidak terduga ternyata telah dijumpai oleh gerombolan
penyerang itu. Yang kemudian menjadi paling parah adalah sekelompok orang yang
bertempur melawan Sumangkar. Sejenak kemudian maka seorang demi seorang telah
dijatuhkannya. Mati atau terluka berat. Sumangkar memang ingin segera
menyelesaikan tugasnya untuk dapat menolong Ki Ranadana yang agaknya terdesak. Swandaru,
yang bertempur dengan segenap kemampuannya, tidak dapat berbuat secepat
Sumangkar. Menghadapi beberapa orang sekaligus, Swandaru masih harus berjuang
sekuat-kuatnya, sekedar untuk bertahan. Namun ia masih mendapatkan kesulitan
untuk memecahkan kepungan dan membantu Ki Ranadana. Sejenak kemudian dada
Swandaru berdesir ketika ia tidak melihat lagi Agung Sedayu bertempur di
tempatnya. Ia tidak melihat ke mana saudara seperguruannya itu pergi. Yang
paling mungkin adalah bahwa Agung Sedayu telah digiring oleh lawan-awannya
seperti Ki Ranadana masuk ke dalam bilik yang lain, karena Agung Sedayu berdiri
tidak begitu jauh dari pintu bilik itu. Ketika Swandaru sempat melihat
perkelahian antara gurunya dengan lawannya maka dadanya menjadi berdebar-debar.
Ia dapat melihat, bahwa seorang dari lawan-lawan gurunya adalah seorang yang
berilmu tinggi. Dengan demikian, maka Swandaru pun menjadi semakin garang.
Cambuknya menjadi semakin cepat berputar dan menggelegar seperti patuk seekor
burung sikatan.
Sementara itu,
lawan Ki Sumangkar seorang demi seorang telah berjatuhan. Namun setiap kali orang
baru telah menyerangnya pula. Bahkan orang-orang yang semula berkelahi melawan
Ki Ranadana di dalam bilik itu pun telah membantu kawan-kawannya mengepung Ki
Sumangkar yang bersenjata trisula itu. Dalam pada itu Agung Sedayu benar-benar
telah masuk ke dalam bilik di sebelah. Tetapi ia tidak mempunyai lawan seberat
Ki Ranadana. Bahkan sebagian lawannya yang lain telah melepaskan dirinya dan
membantu bertempur melawan Sumangkar. Ternyata bahwa sejenak kemudian ketika
cambuknya meledak, seorang dari lawannya telah meloncat surut sambil
menyeringai. Kemudian disusul oleh ledakan-ledakan yang kedua dan yang ketiga. Ledakan-ledakan
itu telah memberitahukan kepada Swandaru bahwa Agung Sedayu memang berada di
dalam bilik itu. Tetapi Swandaru tidak dapat membayangkan, apa yang telah
terjadi atas kakak seperguruannya itu. Demikianlah maka akhirnya Agung Sedayu
berhasil melumpuhkan lawan-lawannya, karena sebagian yang lain telah bertempur
melawan Sumangkar, namun yang seorang demi seorang terlempar dari gelanggang. Pada
saat yang gawat itulah Agung Sedayu mencoba melihat bilik yang lain yang
dibatasi dengan dinding bambu. Sambil mematahkan satu dua anyaman ia melihat
bahwa keadaan Ki Ranadana benar-benar gawat. Kini ia sudah terjepit di sudut
bilik. Sejenak kemudian maka lawannya pasti akan dapat membinasakannya.
“Inikah nilai
dari perwira-perwira Pajang?” berkata pemimpin penyerang itu.
“Pada saatnya,
Mataram pasti akan segera menguasai. Mataram mempunyai pasukan yang jauh lebih
kuat. Baik jumlahnya maupun kemampuan seorang demi seorang. Kami sedang
membujuk Mangir untuk ikut bersama kami dan juga Menoreh. Nah, sampailah
saatnya Pajang akan runtuh.”
“Persetan,” Ki
Ranadana menggeram,
“kau jangan
mengigau. Pajang akan tetap tegak. Dan kau sama sekali bukan orang Mataram.”
“He?” pemimpin
penyerang itu mengerutkan keningnya.
“Kau sama
sekali tidak berasal dari Mataram. Di sini ada seorang perwira dari Mataram
yang akan menentukan, apakah kau benar-benar seorang Mataram atau bukan.”
“Gila. Kau
masih juga mengigau di saat matimu.”
Ki Ranadana
tidak menjawab. Tetapi serangan lawannya menjadi semakin garang, sehingga
akhirnya Ki Ranadana benar-benar telah kehilangan kesempatan untuk berbuat
sesuatu. Namun pada saat itulah, tiba-tiba dinding yang menyekat antara kedua
bilik di rumah itu pecah oleh dorongan kekuatan yang besar. Seorang anak muda
muncul dengan cambuk di tangan. Anak muda itu adalah Agung Sedayu.
“Gila,” geram
pemimpin penyerang itu. Tetapi ketika cambuk Agung Sedayu meledak, ia terpaksa
berusaha menghindar. Ternyata bahwa Agung Sedayu memburunya terus, dengan
ledakan-ledakan yang dahsyat.
Namun lawannya
adalah seorang yang pilih tanding. Itulah sebabnya, sejenak kemudian ia
berhasil menguasai dirinya dan dengan mantap melawan serangan-serangan Agung
Sedayu.
“Licik,” ia
berteriak.
Tetapi Agung
Sedayu dan Ki Ranadana tidak menjawab. Keduanya segera menempatkan diri untuk
melawan pemimpin penyerang itu.
“Sisihkan anak
muda ini,” teriak pemimpin penyerang itu kepada orang yang berdiri di muka
pintu.
Tetapi orang
yang berdiri di muka pintu itu sudah tidak mampu berbuat apa-apa, karena ujung
trisula Ki Sumangkar telah menyentuhnya. Demikianlah lambat laun, para
penyerang itu pun menjadi semakin berkurang. Seorang demi seorang mereka telah
terbunuh. Jika bukan, oleh Ki Sumangkar, maka cambuk Kiai Gringsing-lah yang
telah melemparkan lawannya. Namun orang yang berilmu tinggi, yang bersama-sama
dengan beberapa orang berkelahi melawan Kiai Gringsing itu pun masih juga
berusaha untuk menang. Namun agaknya kesempatannya semakin lama menjadi semakin
tipis. Dalam pada itu, di halaman keadaan para penyerang itu menjadi lebih
parah. Prajurit-prajurit Pajang mendesaknya ke satu sudut di halaman sehingga
mereka hampir tidak mendapat kesempatan untuk berbuat sesuatu.
“Tentu ada
pengkhianatnya di antara kita,” geram salah seorang dari para penyerang itu.
Namun mereka
tidak sempat lagi mencari, siapakah pengkhianatnya yang ada di antara mereka
itu. Sementara itu, dua orang utusan yang berpacu dari Pengging sama sekali
tidak sempat mencegah kawan-kawannya. Dari kejauhan mereka mendengar hiruk
pikuk pertempuran. Namun mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Dan mereka pun
tidak berani terjun langsung ke dalam pertempuran itu jika keduanya tidak ingin
binasa pula. Perkelahian itu pun semakin lama menjadi semakin jelas akan segera
sampai ke akhirnya. Kiai Gringsing sudah berhasil mengurangi lawannya seorang
demi seorang, sehingga akhirnya, Kiai Gringsing harus berhadapan dengan dua
orang saja. Yang seorang justru orang yang paling licik yang pernah dijumpainya.
Demikianlah dalam keadaan terdesak, maka ternyata orang yang licik itu sama
sekali tidak bertanggung jawab lagi terhadap apa yang terjadi. Ketika kawannya
mencoba menyerang Kiai Gringsing dari lambung, dan berhasil menarik perlawanan
orang tua itu, maka tiba-tiba saja ia meloncat berlari meninggalkan lawannya.
“Pengecut,”
Kiai Gringsing menggeram. Namun ia tidak melepaskannya. Ditinggalkannya
lawannya yang seorang lagi dan dengan marahnya ia mengejar lawannya yang
melarikan diri itu. Ternyata bahwa lawannya berhasil keluar dari pintu butulan
dan turun ke longkangan samping. Namun ia tidak dapat lari lebih jauh lagi.
Tiba-tiba saja ia mendengar cambuk Kiai Gringsing meledak, dan terasa segores
luka yang pedih di lambungnya. Dengan serta-merta ia memutar diri. Dengan
sekuat tenaga dilemparkannya sebuah pisau belati ke arah Kiai Gringsing. Tetapi
Kiai Gringsing sempat melihat pisau belati yang meluncur itu, sehingga ia masih
sempat menghindarinya.
Sejenak
kemudian maka orang itu pun mencoba untuk sekali lagi melepaskan diri dari
tangan Kiai Gringsing. Bukan saja karena ia memang licik, tetapi ia sadar,
bahwa jika ia tertangkap hidup-hidup, maka ia pasti akan diperas oleh
orang-orang Pajang untuk memberikan keterangan tentang para pemimpinnya yang sebagian
memang berada di Pajang. Namun Kiai Gringsing yang marah karena kelicikannya
itu tidak membiarkannya meninggalkan halaman itu. Ketika orang itu mencoba
meloncati dinding batu, maka sekali lagi terdengar cambuk Kiai Gringsing
menggelepar dan membelit kakinya. Dengan suatu hentakan maka orang itu pun
terseret jatuh di hadapan Kiai Gringsing yang sedang marah. Tetapi orang itu
ternyata tidak menyerah. Sekali lagi sebuah pisau belati meluncur cepat sekali.
Kali ini Kiai Gringsing tidak menyangka, bahwa orang yang masih terbaring di
tanah itu mampu melemparkan pisau sekeras dan secepat itu, sehingga dengan
demikian, maka Kiai Gringsing menjadi agak lemah. Karena itu, maka usahanya
untuk menghindari pisau itu tidak sepenuhnya berhasil. Meskipun pisau itu tidak
menghunjam di arah jantungnya, namun pisau itu telah menyobek bahunya. Kemarahan
Kiai Gringsing benar-benar tidak dapat dikendalikannya. Karena itu, maka
tiba-tiba saja cambuknya meledak dua kali. Dua kali ledakan cambuk yang
digerakkan oleh tenaga Kiai Gringsing. Bukan saja karena kemarahannya melihat
kelicikan lawannya, tetapi juga karena pisau lawannya yang menyobek dan bahkan
masih melekat di bahunya. Orang itu masih sempat menggeliat sesaat. Sebuah luka
yang mengerikan telah menganga di dadanya dan hampir di lehernya. Ternyata
bahwa orang itu tidak dapat menahan perasaan sakit dan darah yang tidak
habis-habisnya mengalir dari lukanya itu, sehingga sejenak kemudian maka ia pun
telah melepaskan napasnya yang terakhir. Sejenak Kiai Gringsing memandang mayat
yang terbujur di tanah. Baru kemudian ia sadar, bahwa pisau belati lawannya
masih menancap di bahunya, sehingga dengan demikian maka perlahan-lahan pisau
itu ditariknya. Demikian pisau itu terlepas, maka darah pun seakan-akan telah
menyembur dari luka itu. Namun Kiai Gringsing adalah seorang dukun yang baik.
Sebelum ia sempat mengobati lukanya, maka dipetiknya beberapa genggam daun
metir. Setelah dikunyahnya, maka daun metir itu pun segera dilekatkannya pada
lukanya, sehingga sejenak kemudian lukanya telah tidak mencucurkan darah
terlalu banyak lagi. Setelah sekali lagi mengawasi lawannya, Kiai Gringsing pun
kemudian melangkah kembali ke dalam. Di dalam, beberapa orang masih berkelahi
dengan gigihnya. Apalagi Ki Ranadana. Tetapi ketika ia memasuki rumah itu,
dilihat Ki Sumangkar sudah tidak ada di tempatnya lagi. Ia telah berhasil
memasuki bilik tempat Ki Ranadana dan Agung Sedayu bertempur melawan pemimpin
penyerang itu.
“Menyerah
sajalah,” berkata Sumangkar.
Tetapi orang
itu menggelengkan kepalanya sambil menggeram,
“Kalian
sajalah yang menyerah. Aku mengemban tugas dari Raden Sutawijaya untuk
membinasakan kalian. Karena itulah maka kalian harus binasa.”
“Apakah dalam
keadaan seperti ini kau masih merasa mampu untuk membinasakan kami?” bertanya Sumangkar.
“Kenapa tidak.
Kau semuanya harus mati. Semua perwira Pajang di Jati Anom harus mati.”
“Ki Sanak,”
berkata Sumangkar,
“sebaiknya kau
menyadari keadaanmu. Di luar, orang-orangmu telah terkepung oleh prajurit
Pajang. Tidak seorang pun dari kalian yang akan berhasil lolos dari halaman
rumah ini, karena sebenarnyalah kalian telah terjebak. Kami telah mengetahui
rencana kalian, bahwa kalian akan membunuh para perwira yang ada di Jati Anom
dan mengatasnamakan diri kalian sebagai petugas dari Raden Sutawijaya. Tetapi
kalian keliru.”
“Persetan,”
geram pemimpin penyerang itu. Tiba-tiba saja ia telah menyerang Ranadana dengan
garangnya. Hampir tidak dapat dicegah lagi, ujung senjatanya telah siap
menembus dada perwira yang sedang lengah itu.
Agung Sedayu yang
berdiri di samping Ki Ranadana segera meloncat ke samping sambil meledakkan
cambuknya ke arah hulu pedang pemimpin penyerang itu dengan hentakan sendal
pancing. Maksudnya agar ujung pedang orang itu bergeser dari dada Ki Ranadana. Sementara
itu Ki Ranadana sendiri terkejut bukan kepalang. Karena itu yang dapat
dilakukannya hanyalah sekedar menangkis serangan itu dengan pedangnya. Tetapi
untunglah bahwa usaha Agung Sedayu berhasil, sehingga hentakan cambuknya telah
menarik serangan orang itu ke samping, sehingga sama sekali tidak mengenai
sasarannya. Namun ternyata yang lebih parah dari itu, adalah tindakan Sumangkar
yang terkejut. Hampir di luar sadarnya, tangannya telah bergerak dan ujung
trisulanya telah meluncur dan menghunjam ke lambung orang yang sedang menyerang
Ki Ranadana. Akibat dari serangan Sumangkar itu ternyata tidak dapat
dihindarkan lagi dari sentuhan maut.
“Ki Sanak,”
berkata Sumangkar yang kemudian berjongkok di samping orang itu,
“aku tidak
sengaja membunuhmu. Tetapi barangkali seorang kawanku akan dapat mengobati
luka-lukamu.”
“Persetan,”
orang itu menggeram sambil meyeringai menahan sakit.
Sumangkar
masih melihat wajah orang itu menegang menahan sakit. Namun agaknya lukanya
benar-benar telah parah, sehingga kemungkinan untuk mengobatinya pun tidak ada
sama sekali.
Dengan
demikian Sumangkar, Agung Sedayu, dan Ki Ranadana tanpa dapat berbuat apa-apa
menyaksikan perlahan orang itu dijemput oleh maut. Ketika ia membuka matanya
sekali lagi, dipandanginya Sumangkar sejenak. Masih tampak keheranan membayang
di sorot mata yang sudah redup itu. Seakan-akan ia tidak percaya bahwa di rumah
itu, di rumah yang didiami para perwira Pajang, ada seseorang tua yang memiliki
senjata yang mengerikan itu. Pada saat itulah Kiai Gringsing masuk ke dalam
rumah itu lewat pintu butulan. Ia masih melihat Swandaru bertempur sejenak.
Namun ketika ia melangkah masuk pintu butulan itu, beberapa orang yang
berkelahi melawan Swandaru itu pun berloncatan mundur.
“Kami
menyerah,” berkata salah seorang dari mereka.
Kiai Gringsing
memandang mereka sejenak. Kemudian ia pun memberi isyarat kepada Swandaru agar
orang-orang yang menyerah itu diberi kesempatan untuk hidup.
“Siapa
pemimpinmu,” bertanya Kiai Gringsing kepada salah seorang dari mereka.
Orang itu
menunjuk sesosok mayat yang terbaring di dalam bilik itu.
Kiai Gringsing
pun kemudian berdiri di muka pintu sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Jika
demikian ada dua orang yang memiliki kelebihan dari kawan-kawannya. Karena itu,
maka ia pun bertanya pula,
“Siapakah yang
mencoba melarikan diri itu?”
“Seseorang
yang langsung dikirim oleh pemimpin kami di Mataram.”
“Jangan sebut
Mataram,” bentak Swandaru,
“kau kira kami
tidak mengetahui bahwa kalian bukan orang-orang Mataram.”
“Kami
orang-orang Mataram.”
“Coba ulangi,”
sekali lagi Swandaru membentak sambil mengangkat cambuknya.
Orang itu
menjadi pucat, lalu katanya tergagap,
“Tetapi,
tetapi kami mendapat perintah untuk mengaku orang Mataram.”
“Nah, jika
demikian masih mungkin. Kalian memang mendapat perintah demikian,” sahut Kiai
Gringsing, lalu,
“siapa orang
yang mencoba melarikan diri itu?”
“Ia adalah
seseorang yang diperbantukan kepada kami oleh pimpinan kami yang lebih tinggi
lagi, yang, yang sepengetahuan kami memang berada di Mataram dan Pajang.”
“Jika demikian
orang itu termasuk orang yang penting.”
Orang itu
menganggukkan kepalanya. Barulah Kiai Gringsing sadar, bahwa ia telah terseret
oleh gejolak perasaannya, justru karena orang itu telah melukainya, selain
orang itu memang orang yang licik. Dalam pada itu pemimpin penyerang itu pun
telah terbunuh pula, sehingga sulitlah bagi Kiai Gringsing untuk menyelusur
orang-orang yang telah menggerakkan mereka.
Namun demikian
ia berkata kepada orang-orang itu,
“Kalian
tawanan prajurit Pajang. Ki Ranadana akan mengurus kalian.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar