Jilid 066 Halaman 3


Rasa-rasanya jantung mereka menjadi semakin cepat berdentangan. Bukan saja para penyerang, tetapi prajurit-prajurit Pajang yang menyaksikan itu pun menjadi berdebar-debar pula. Rasa-rasanya mereka tidak dapat menunggu lagi. Tangan mereka telah bergetar dan darah mereka menjadi semakin cepat mengalir. Sejenak kemudian mereka mendengar derit yang lirih sekali. Ternyata para prajurit Pajang yang berada di sisi rumah itu melihat bahwa pintu butulan telah terbuka. Dengan isyarat tangan, maka pemimpin kelompok itu memanggil orang-orangnya yang bertugas masuk ke dalam rumah itu bersama seorang yang dipercaya langsung dari pimpinan mereka. Seorang perwira Pajang yang melihat pintu yang terbuka itu pun menjadi berdebar-debar pula. Dan ia pun yakin bahwa di antara para penyerang itu pasti ada satu atau dua orang yang benar-benar dapat dipercaya melakukan tugas itu.
“Jika saja rencana ini tidak dapat diketahui, maka akulah yang ada di dalam rumah itu bersama beberapa orang kawan. Barangkali aku dan beberapa orang kawan itu sama sekali tidak sempat berbuat sesuatu ketika pedang-pedang mereka menikam dada ini, selagi kami masih tidur,” katanya di dalam hati. Dan ia pun merasa bersukur bahwa ia sempat mendengar rencana itu dan kini ia telah siap menghadapi setiap kemungkinan.
“Meskipun seandainya aku akan mati juga malam ini, tetapi aku mati sambil menggenggam pedang seperti seharusnya seorang prajurit, bukan mati di pembaringan tanpa berbuat sesuatu,” perwira itu menggeram di dalam hati. Tanpa disadarinya maka tangannya pun telah meraba hulu pedangnya.
“Apakah Ki Ranadana dan kawan-kawannya yang ada di dalam rumah itu tidak tertidur, dan mereka mengetahui bahwa yang mereka tunggu telah datang?” ia bertanya kepada diri sendiri. Tetapi karena yang ada di dalam rumah itu adalah orang-orang yang dapat dipercaya, maka ia pun mencoba untuk menenteramkan dirinya sendiri.
Sejenak kemudian perwira itu melihat beberapa orang merayap mendekati pintu butulan itu. Sedang di bagian lain, beberapa bayangan yang bergerak-gerak menjadi semakin dekat dengan regol halaman. Mereka harus langsung menyergap para penjaga yang jumlahnya tidak begitu banyak itu tanpa memberi kesempatan mereka membunyikan tanda apa pun juga.

Dada setiap orang di halaman rumah Untara itu menjadi semakin tegang. Bahkan para prajurit yang ada di regol itu bagaikan duduk di atas bara api. Mereka mengerti, bahwa beterapa orang sedang merayap untuk menerkam mereka, namun mereka masih harus duduk di tempatnya. Meskipun demikian, senjata-senjata mereka telah siap di lambung. Sekejap saja senjata itu akan berada di genggaman. Demikian juga kawan-kawannya yang ada di sudut-sudut halaman depan. Rasa-rasanya mereka sudah ingin meloncat menyerang bayangan yang merambat semakin dekat dengan regol itu. Dalam pada itu, orang-orang yang ada di dalam rumah itu pun segera berdiri di depan bilik yang mereka perkirakan di pakai oleh para perwira Pajang. Sejenak mereka memusatkan segenap pikiran dan perhatian mereka kepada tugas yang akan mereka lakukan. Ketika semuanya menurut perhitungan pemimpin kelompok penyerang itu sudah siap, maka terdengarlah dari dalam rumah itu suara burung hantu yang keras sekali tiga kali. Hanya tiga kali. Dan yang tiga kali itu adalah perintah bagi setiap orang di dalam pasukan kecilnya untuk menyerang semua sasaran yang telah ditentukan. Pada saat suara burung hantu itu menggema, dua orang yang dengan napas terengah-engah menyusul mereka dari Pengging menjadi berdebar-debar. Ternyata mereka sudah terlambat. Meskipun mereka sudah berada di belakang rumah Untara, namun perintah itu sudah diberikan, sehingga mereka tidak dapat berbuat apa-apa.
“Terlambat,” desah yang seorang.
“Tetapi, kenapa mereka masih sempat menunggu perintah itu? Jika orang-orang Pajang sudah menunggu mereka, maka demikian mereka memasuki halaman rumah ini, mereka pasti akan segera diterkam oleh para prajurit Pajang,” sahut yang lain.
“Kita menunggu perkembangan,” berkata yang lain.
Demikianlah mereka menunggu apa yang terjadi di dalam rumah Untara dan di halamannya itu.
Dalam pada itu, demikian isyarat itu berbunyi, maka setiap orang yang ada di dalam rumah itu pun segera mendorong pintu bilik. Senjata-senjata telanjang yang ada di tangan mereka telah bergetar. Pemimpin kelompok itu berada di depan satu bilik bersama beberapa orang kawannya, sedang orang yang langsung diperbantukan kepadanya oleh pemimpin mereka itu berada di bilik yang lain bersama beberapa orang pula. Mereka harus melakukan tugas mereka dengan cepat dan cermat. Sedang beberapa orang lainnya berada di bilik yang lain pula, untuk mengawasi jika di dalam bilik itu ada juga penghuninya.

Bersama dengan gerit pintu-pintu bilik itu, para penyerang yang sudah siap menunggu di halaman pun segera berloncatan. Jumlah mereka ternyata cukup banyak untuk membinasakan beberapa orang yang bertugas di regol itu. Namun, demikian isyarat itu berbunyi, maka prajurit-prajurit Pajang yang berada di regol itu pun segera berloncatan berdiri. Seakan-akan suara burung hantu itu memang merupakan perintah bagi mereka untuk bersiap menghadapi setiap kemungkinan. Sekejap para penyerang itu pun menjadi heran. Namun mereka tidak menghiraukannya lagi. Seperti banjir bandang mereka pun segera menyerang. Orang-orang yang ada di regol itu harus ditumpas. Tetapi mereka  tiba-tiba saja mereka mendengar gemerisik dedaunan dan semak-semak di sekitar mereka. Sebelum mereka mencapai gardu itu, mereka menjadi terpukau karena beberapa orang yang tiba-tiba saja justru berloncatan menyerang mereka. Sebelum mereka menyadari keadaan mereka, maka tiba-tiba mereka mendengar salah seorang dari prajurit Pajang itu berkata lantang,
“Kalian terjebak. Menyerahlah.”
Tetapi para penyerang itu tidak yakin akan kata-kata prajurit Pajang itu meskipun mereka melihat beberapa orang berdatangan. Karena itu, maka pemimpin kelompok mereka pun berkata,
“Tumpas mereka. Jangan ada yang tersisa. Mataram harus menguasai daerah Jati Anom sebelum menguasai seluruh Pajang.”
Kata-kata itu mendebarkan jantung para prajurit Pajang. Untunglah mereka sudah mengetahui dengan siapa mereka berhadapan, sehingga mereka pun tidak mudah terpengaruh oleh kata-kata itu, yang seakan-akan para penyerang itu adalah orang-orang Mataram.
Ternyata serangan itu telah mendapat sambutan hangat. Para penjaga di regol halaman pun sudah siap menunggu mereka menyergap. Namun ternyata bahwa para penyerang tidak dapat memusatkan kekuatan mereka, kepada para praturit yang tidak begitu banyak jumlahnya di regol, tetapi mereka harus melayani prajurit-prajurit Pajang yang bermunculan seperti laron dimusim hujan. Ternyata bahwa jumlah prajurit Pajang itu pun cukup banyak sehingga para penyerang itu pun menjadi berdebar-debar. Apalagi prajurit Pajang yang mereka hadapi adalah prajurit pilihan.
“Gila,” pemimpin kelompok penyerang itu menggeram,
“kita harus memencar. Kita binasakan semua orang yang ada di halaman ini.”
Dalam pada itu kelompok cadangan yang harus mengawasi jika ada di antara para prajurit Pajang yang melarikan diri itu pun tidak lagi dapat tinggal diam. Mereka pun segera terlibat pula di dalam perkelahian melawan para prajurit Pajang.
Dalam pada itu, yang ada di dalam rumah pun terkejut bukan kepalang. Ternyata mereka hanya menjumpai seorang perwira Pajang di dalam rumah itu. Dan perwira itu adalah Ki Ranadana. Sedang yang lain sama sekali bukan prajurit Pajang. Namun justru karena itulah, maka kemudian mereka menjumpai banyak sekali kesulitan.

Para penyerang yang belum mengenal Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar itu semula tidak begitu menghiraukannya. Pembunuhan di dalam rumah itu akan tetap berlangsung, siapa pun yang ada di dalamnya. Perwira yang hanya seorang itu harus dibunuh pula, sedang salah seorang dari orang-orang yang ada di rumah itu akan dihidupinya.
“Kalian tidak usah melawan,” berkata pemimpin gerombolan itu,
“kami datang dengan kekuatan yang tidak akan terlawan oleh kalian. Marilah kalian berkumpul di ruang tengah.”
Ki Ranadana dan Ki Sumangkar memandang pemimpin kelompok itu sejenak, lalu sambil mengangguk-angguk Ki Ranadana menjawab,
“Apakah yang akan kalian lakukan atas kami?”
“Sayang, kami akan membunuh kalian. Para perwira dan siapa pun yang ada di dalam rumah ini.”
Ki Ranadana dan Ki Sumangkar tidak segera menyahut, sedang di depan pintu bilik yang lain terdengar seorang dari para penyerang itu berkata,
“Keluar. Kami akan memenggal lehermu. Lebih baik kau mati di ruang yang agak luas daripada di bilik yang sempit agar rohmu mendapat jalan yang agak lapang.”
Dan terdengar jawab Kiai Gringsing,
“Baiklah. Kami akan keluar ke ruang yang lebih luas. Tetapi apakah kalian benar-benar akan membunuh kami?”
“Jangan banyak bicara. Sediakan diri untuk mati. Pedang kami akan memenggal leher kalian.”
Tetapi yang terdengar kemudian adalah kata-kata Swandaru,
“Kulit kami amat liat. Apakah pedang kalian cukup tajam?”
Pertanyaan itu benar-benar tidak diduga oleh orang-orang yang datang memasuki rumah itu. Karena itu, sejenak mereka hanya memandang Swandaru dengan tatapan mata yang aneh.
“He, kenapa kalian menjadi heran seperti melihat hantu?” bertanya Swandaru pula.
“Ayo, jawab pertanyaanku. Apakah pedangmu cukup tajam untuk memotong leherku. Kulitku cukup liat dan tulangku sangat keras.”
“Persetan,” orang yang dikirim oleh pemimpin para penyerang itu menggeram,
“kaulah yang akan aku bunuh pertama-tama.”
“Aku?” Swandaru membelalakkan matanya.
“Kenapa bukan yang lain? Kau misalnya?”
“Tutup mulutmu,” orang itu berteriak.
“Kami adalah para perwira pilihan dari prajurit Pajang,” berkata Swandaru.
“Ketika kami memasuki lingkungan keprajuritan, kami harus melalui pendadaran yang berat. Nah, apakah kami yang sudah melalui pendadaran itu harus menyerahkan leher kami begitu saja?”

Orang itu tidak menjawab. Tetapi tiba-tiba saja ia menyergap masuk. Agaknya kemarahannya sudah memuncak sampai ke ubun-ubun. Beberapa orang kawannya pun ikut pula menyergap. Mereka langsung menyerang kiai Gringsing dan kedua muridnya dan berusaha membunuh mereka sebelum mereka sempat berbuat apa pun juga, apalagi memberikan isyarat. Demikian juga pemimpin kelompok penyerang itu. Mereka pun telah menyerang Ki Ranadana dan Ki Sumangkar di dalam biliknya yang sempit.
“Ki Ranadana,” berkata Ki Sumangkar,
“agak menjauhlah. Senjataku memerlukan ruang yang agak luas.”
“Eh,” sahut Ki Ranadana,
“apakah aku tidak akan kau beri sisa tempat di ruang ini? Jika demikian, sebaiknya aku keluar saja.”
“Jangan sekarang. Kita memilih tempat yang sempit ini saja dahulu.”
Ki Ranadana tidak menjawab, tetapi ia bergeser ke sudut yang lain menjauhi Sumangkar yang kemudian menggenggam senjatanya yang aneh. Trisulanya yang berantai di tangan kanan, dan yang sebuah lagi di tangan kiri langsung digenggamnya pada tangkainya.
Namun yang paling mengejutkan para penyerang itu, ketika Swandaru yang langsung diserang telah menarik cambuk yang membelit di lambungnya. Ketika cambuk itu meledak, rasa-rasanya meledak pulalah setiap jantung dari para pemimpin penyerang itu. Sedikit banyak mereka telah pernah mendengar, bahwa kawan-kawan mereka yang berjuang di Alas Mentaok, telah gagal sama sekali akibat hadirnya orang-orang yang bersenjata cambuk. Dan kini rumah Untara itu telah digetarkan pula oleh suara cambuk.
Bukan saja Swandaru yang kemudian telah meledakkan cambuknya. Namun juga Agung Sedayu dan bahkan Kiai Gringsing, karena lawan mereka telah langsung menyerang mereka dengan pedang ke arah jantung mereka, untuk segera membunuh apabila mungkin, maka mereka pun telah mempergunakan senjata mereka pula. Demikianlah di dalam bilik yang sebelah, tiga buah cambuk telah meledak bersahut-sahutan.
Di bilik yang lain, trisula Sumangkar telah berputar pula pada rantai yang mengikatnya. Suaranya berdesing mengerikan. Sedang Ki Ranadana yang bersenjata pedang pun telah mulai pula bertempur melawan orang-orang yang menyerangnya.
Betapapun juga, namun putaran trisula di tangan Sumangkar telah menimbulkan persoalan bagi para penyerangnya, sehingga beberapa orang terpaksa terdesak surut oleh kawan-kawan mereka. Dengan lambat laun pasti Sumangkar telah mendesak lawannya ke pintu keluar dari bilik itu.
“Kita akan mencari jalan keluar,” berkata Sumangkar kepada Ki Ranadana,
“supaya kita dapat lebih leluasa bermain-main.”
“Aku sependapat,” berkata Ki Ranadana. Meskipun ia tidak mendesak lawannya, namun suara trisula Sumangkar yang berdesing itu berpengaruh juga, sehingga Ki Ranadana pun telah mendesak lawannya pula.
Demikianlah maka para penyerang itu tidak mau bertahan di dalam bilik yang sempit itu pula. Mereka pun segera berloncatan keluar disusul oleh Sumangkar dengan senjatanya yang mengerikan. Yang terakhir keluar dari bilik itu adalah Ki Ranadana. Tetapi ketika beberapa orang lawan menyambutnya, maka ia tidak langsung pergi ke ruang tengah yang agak luas, tetapi ia berhenti saja di pintu sambil bertempur. Jika ia agak terdesak oleh beberapa orang lawannya maka ia melangkah surut, sehingga ia langsung menghadapi sebuah pintu yang sempit. Dengan demikian ia sempat mempergunakan pintu bilik itu sebagai perisai, sehingga lawannya terpaksa berdiri di satu arah daripadanya.
“Licik,” geram salah seorang lawannya,
“jangan berdiri di pintu.”
Tetapi Ki Ranadana tertawa. Katanya,
“Bagaimana mungkin kau dapat mengatakan aku licik, sedang kau menyerang dengan pasukan segelar sepapan?”

Lawan-lawannya tidak menjawab. Tetapi mereka berusaha mendesak Ranadana masuk ke dalam bilik itu kembali dan beramai-ramai membinasakannya. Tetapi Ki Ranadana menyadari keadaannya, sehingga karena itu maka ia pun bertahan mati-matian agar ia tetap berada di pintu bilik itu.
“Untunglah bahwa kami dapat mengetahui lebih dahulu serangan ini. Jika tidak, maka kami akan benar-benar dibantai tanpa perlawanan,” berkata Ki Ranadana di dalam hatinya. Seperti yang tersirat di hati setiap prajurit Pajang. Namun demikian ia masih juga memikirkan Ki Sumangkar, Kiai Gringsing dan kedua muridnya.
“Adik Untara adalah seorang yang dapat dipercaya,” berkata Ki Ranadana, karena ia mengetahui bahwa Agung Sedayu berhasil mengalahkan seorang perwira muda dari Pajang pada perselisihan yang tidak dapat dihindarkan, justru di saat Agung Sedayu baru saja datang di tempat ini.
“Tetapi anak muda yang gemuk itu, apabila orang tua itu, pasti memiliki kemampuan yang cukup pula,” katanya pula kepada diri sendiri.
Sekilas Ki Ranadana melihat bagaimana Sumangkar bertempur melawan beberapa orang yang menyerangnya. Putaran trisulanya benar-benar membatasi kemampuan gerak lawannya. Trisula yang disangkutkan pada ujung rantai itu tidak saja berputar seperti baling-baling, tetapi kadang menjulur mematuk seperti seekor ular yang berbisa. Dalam pada itu, cambuk yang meledak-ledak di bilik sebelah serasa telah menggetarkan rumah yang besar itu. Bahkan kemudian seperti Sumangkar, Kiai Gringsing telah mendesak lawannya ke luar ruangan, sehingga di ruang tengah yang luas itulah mereka kemudian bertempur. Swandaru tersenyum melihat Sumangkar telah lebih dahulu ada di ruang itu. Ketika ia memandang Ki Ranadana, maka keningnya pun terkerut-merut.
Bukan saja Swandaru, tetapi Kiai Gringsing pun melihat, bahwa Ki Ranadana mulai menjadi lelah menghadapi lawan-lawannya. Di antaranya adalah pemimpin kelompok penyerang yang memiliki kelebihan dari kawan-kawannya. Hanya dengan mengerahkan segenap kemampuannya sajalah Ki Ranadana tetap bertahan di depan pintu bilik itu. Tetapi Ki Ranadana sama sekali tidak mengeluh dan tidak menjadi cemas. Ia menyadari, bahwa keadaan ini adalah keadaan yang jauh lebih baik daripada keadaan yang seharusnya terjadi. Seperti setiap perwira ia berpendapat, bahwa seandainya ia sendiri menjadi korban, bukanlah merupakan soal yang memberati perasaannya, namun dengan suatu keyakinan, bahwa keadaan akan dapat dikuasai oleh pasukannya. Ternyata bahwa Swandaru lah yang berasa paling dekat dengan pintu bilik Ki Ranadana. Itulah sebabnya, maka ia pun segera berusaha berbuat sesuatu untuk mengurangi tekanan yang semakin lama menjadi semakin berat. Tetapi Swandaru tidak segera berhasil. Beberapa orang berusaha menahannya dan memisahkannya dari Ki Ranadana.

Dalam pada itu, di luar rumah, para penyerang telah terlibat pula dalam pertempuran yang sengit. Mereka yang menyerang para prajurit yang tampaknya tidak begitu banyak di gardu peronda, menjadi berdebar-debar melihat para prajurit Pajang yang berloncatan dari dalam gelap. Karena itulah, maka setiap orang yang ada langsung terlibat dalam perkelahian. Kelompok yang harus mengawasi perkembangan keadaan di halaman itu sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk tetap berada di tempatnya. Mereka pun langsung melibatkan diri dalam perkelahian yang seru. Tetapi para prajurit Pajang sama sekali tidak membunyikan tanda apa pun seperti yang sudah dipesankan kepada mereka. Jika keadaan tidak memaksa, maka mereka harus menyelesaikan tugas itu tanpa mengganggu ketenteraman Jati Anom. Mereka tidak boleh menimbulkan kesan bahwa ada sekelompok orang yang mampu menerobos masuk ke dalam lingkungan prajurit Pajang, dan lebih daripada itu, ketenangan hari-hari perkawinan Untara tidak boleh terganggu. Namun kesiagaan yang cermat telah menempatkan para prajurit Pajang itu dalam kedudukan yang baik. Apalagi ketika para prajurit yang ada di halaman belakang pun telah ikut melibatkan diri pula menyerang orang-orang yang bertugas mengawasi keadaan di bagian belakang. Karena jumlah mereka tidak banyak, maka mereka pun segera bergeser ke halaman depan, bergabung dengan kawan-kawannya yang sedang bertempur pula. Dengan demikian maka perkelahian yang terjadi di halaman rumah Untara itu menjadi semakin seru. Samar-samar oleh cahaya lampu minyak di gardu, orang-orang yang bertempur itu berusaha membedakan, yang manakah kawan dan manakah lawan. Namun prajurit Pajang ternyata telah memakai ciri-ciri keprajuritan mereka masing-masing, sehingga di antara mereka dengan mudah dapat saling mengenal. Karena prajurit-prajurit Pajang yang bertempur di halaman itu adalah prajurit-prajurit pilihan, serta jumlah mereka pun memadai, maka mereka segera menguasai keadaan. Namun ternyata lawan-lawan mereka pun adalah orang-orang terpilih pula, sehingga prajurit-prajurit Pajang itu harus mengerahkan segenap kemampuan mereka, secara pribadi dan secara bersama-sama untuk mendesak lawan mereka. Tetapi orang-orang itu sejauh mungkin tidak sampai merembes ke luar, halaman, agar ketenangan Jati Anom tidak terganggu. Di luar regol depan, dua orang prajurit pengawas dari Pajang menyaksikan perkelahian yang bergolak di halaman. Setelah mereka yakin, bahwa tidak akan ada lagi orang-orang yang bakal datang, maka mereka pun segera ikut pula di dalam perkelahian itu.

Namun dalam pada itu. Keadaan Ki Ranadana ternyata menjadi semakin sulit karena jumlah lawannya yang kuat. Bagaimanapun juga ia berusaha, namun ternyata bahwa ia perlahan-lahan terdesak juga, sehingga sedikit demi sedikit ia bergeser masuk ke dalam bilik.
“Jika aku terdorong masuk,” berkata Ki Ranadana,
“maka aku tidak akan dapat menyaksikan akhir dari perkelahian ini meskipun aku yakin, bahwa prajurit Pajang akan menguasai keadaan.”
Dalam pada itu, Swandaru yang berada dekat dengan pintu bilik itu masih belum dapat berbuat sesuatu untuk membantu Ki Ranadana, sehingga karena itu, maka ia pun berusaha sekuat-kuat tenaganya untuk memecahkan kepungan atas dirinya sendiri. Namun demikian usaha itu bukannya usaha yang mudah. Ternyata Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar pun melihat kesulitan Ki Ranadana. Karena itu, hampir bersamaan mereka berusaha untuk menolongnya. Sumangkar yang masih belum mempergunakan segenap kemampuannya tiba-tiba memutar trisulanya semakin cepat. Kini ia tidak memperhitungkan lagi korban yang bakal jatuh. Baginya, orang-orang itu tidak akan banyak dapat memberikan keterangan, sehingga apabila terpaksa ujung trisulanya menimbulkan kematian, maka itu adalah sesuatu hal yang tidak dapat dihindarinya. Karena itu, sejenak kemudian terdengar salah seorang dari lawan-lawannya mengeluh tertahan. Namun hampir bersamaan di lingkaran perkelahian yang lain seseorang menjerit kesakitan, ketika ujung cambuk Kiai Gringsing mengenai pelipisnya. Sekilas warna merah seakan-akan menyala di wajah itu, kemudian darah yang merah mengalir memenuhi kepalanya. Dua orang sekaligus telah terluka. Yang seorang di kepalanya, sedang yang lain, trisula Ki Sumangkar langsung mematuk dada. Ternyata hal itu sangat berpengaruh. Orang-orang yang mendesak Ki Ranadana pun menjadi ragu-ragu. Tetapi di antara mereka adalah pemimpin kelompok itu sendiri, sehingga ia pun segera menguasai keadaan, dan memimpin kawan-kawannya untuk mendesak lawannya kembali. Meskipun demikian, hati pemimpin penyerang itu sudah dihinggapi oleh keragu-raguan. Siapa sajakah yang berada di dalam rumah ini, sehingga kawan-kawannya sama sekali tidak segera berhasil membunuh mereka. Bahkan dua orang kawannya telah terluka parah. Ketika kemudian sebuah hentakan mendesak Ki Ranadana, maka ia telah kehilangan kesempatan untuk bertahan di depan pintu. Ternyata pemimpin kelompok penyerang itu berhasil meloncat masuk untuk menyerang Ki Ranadana dari arah lain. Namun dengan demikian Ki Ranadana tidak tetap berdiri saja di pintu. Ia pun segera meloncat masuk dan mundur mendekati dinding agar ia dapat melawan tanpa mendapat serangan dari belakang.

Empat orang termasuk pemimpin gerombolan penyerang itu menyusulnya. Pedang mereka telah teracu lurus ke dada Ki Ranadana, sehingga hampir tidak ada kesempatan baginya untuk menghindarkan diri dari bencana. Apalagi ketika dilihatnya dua orang lawannya tetap berdiri di pintu untuk menjaga agar tidak ada seorang pun yang dapat membantunya. Meskipun demikian Ki Ranadana tidak menyerah begitu saja. Ia tahu, salah seorang dari keempat lawannya itu adalah orang yang pilih tanding. Karena itu, maka perlawanannya dipusatkan kepadanya. Namun hatinya berdebar-debar ketika ia mendengar orang itu berkata,
“Aku akan membunuhnya. Bantulah kawan-kawanmu yang lain. Aku menunggu kesempatan untuk berkelahi dengan leluasa seperti ini. Di dalam perkelahian yang kisruh aku justru merasa terganggu. Sekarang aku mendapat kesempatan untuk mengetahui dengan pasti, betapa tinggi ilmu seorang perwira Pajang.”
Hati Ranadana menjadi berdebar-debar. Apalagi ketika ketiga orang yang lain benar-benar menarik dirinya dari perkelahian itu.
“Jaga pintu itu,” berkata pemimpin gerombolan itu,
“jangan seorang pun boleh masuk. Setelah orang ini mati, biarlah aku menyelesaikan yang lain. Jaga mereka agar mereka tidak sempat lari.”
Ketiganya mengangguk-anggukkan kepalanya. Seorang dari mereka langsung pergi ke pintu, sedang yang dua orang lainnya masih termangu-mangu. Sejenak kemudian perkelahian seorang lawan seorang telah terjadi. Tetapi seperti yang dikatakan oleh pemimpin gerombolan itu, rasa-rasanya ia kini mendapat kesempatan lebih banyak, sehingga dengan demikian, meskipun ia hanya seorang diri, maka perwira itu pun tidak dapat mengimbanginya. Selangkah demi selangkah ia terdesak. Apalagi tenaganya yang telah diperas di depan pintu itu pun telah menjadi semakin susut. Dalam pada itu, Kiai Gringsing pun menjadi cemas karena Ki Ranadana terdesak. Tetapi ia tidak dapat meninggalkan lingkaran perkelahiannya. Ternyata seorang lawannya adalah orang yang memiliki kemampuan yang tinggi. Ditambah lagi dengan dua orang yang membantunya. Orang itu adalah orang yang langsung diperbantukan dari pemimpin gerombolan yang lebih tinggi lagi tingkatnya. Tetapi ternyata yang dihadapinya kini adalah Kiai Gringsing. Karena itu, maka orang yang telah mendapat kepercayaan itu menjadi berdebar-debar. Ia memang pernah mendengar tentang orang-orang bercambuk. Tetapi kini ia harus menghadapinya sendiri.
“Orang ini telah membunuh Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak,” berkata orang itu di dalam hatinya. Dengan demikian ia dapat menilai, betapa tinggi ilmu orang bercambuk itu.
“Tetapi aku tidak sebodoh Kiai Telapak Jalak,” berkata orang itu di dalam hatinya pula,
“aku harus dapat mengumpankan cucurut-cucurut bodoh ini, sementara aku mengambil keuntungan dan kemudian membinasakan.”

Ternyata berbeda dengan pemimpin gerombolan penyerang itu sendiri, yang ingin membinasakan Ranadana dengan tangannya dan kemampuannya sebagai suatu kebanggaan bahwa ternyata perwira Pajang tidak lebih daripada dirinya sendiri, maka orang yang sedang bertempur dengan Kiai Gringsing itu mempunyai caranya sendiri. Meskipun ia memiliki kemampuan melampaui kawan-kawannya namun ia sama sekali tidak berusaha melindungi mereka. Bahkan dibiarkannya kawan-kawannya menyerang dan memancing perhatian Kiai Gringsing sementara ia berusaha menyerang dengan diam-diam. Ia sama sekali tidak menghiraukan jika ada satu dua orang kawannya yang tersentuh senjata lawan atau bahkan terbunuh sekalipun. Namun bahwa kesempatan itu masih juga belum terbuka baginya membuatnya semakin marah. Bukan saja kepada Kiai Gringsing tetapi kepada kawan-kawannya sendiri yang tidak mampu menarik perhatian lawannya sebanyak-banyaknya sehingga memberi kesempatan kepadanya untuk menikam lawannya dengan kecepatan yang dimilikinya.
“Hmm. Orang bercambuk ini memang gila,” ia menggeram. Namun ketika ia sadar, bahwa masih ada beberapa orang lain yang harus diselesaikan, maka ia pun bertempur semakin sengit pula.
“Jangan berkelahi seperti pengecut,” ia menggeram,
“aku dikirim untuk membantu kalian, untuk menyelesaikan tugas yang dibebankan oleh Sutawijaya kepada kita. Karena itu, jangan bertempur seperti seorang gadis yang sedang menerima lamaran.”
Mendengar sindiran itu, kawan-kawannya menjadi berdebar-debar. Tetapi usaha orang itu berhasil karena kawan-kawannya bertempur semakin gigih dan kadang-kadang benar-benar berhasil menarik perhatian Kiai Gringsing sepenuhnya. Namun dengan demikian, Kiai Gringsing menyadari betapa liciknya lawannya yang seorang ini. Meskipun kemampuannya jauh lebih besar dari kawan-kawannya, namun ia justru berlindung kepada mereka dan kemudian jika ia berhasil, maka dirinyalah yang akan mendapat pujian, seakan-akan ialah yang telah mampu menyelesaikan tugas itu. Karena itu, kemarahan Kiai Gringsing justru ditujukan kepada orang itu, sehingga ada yang telah dilupakannya. Jika ia dapat menangkap orang itu hidup-hidup, maka ia akan mendapat penjelasan lebih banyak tentang orang itu dan gerombolannya, bahkan pemimpin-pemimpin yang lebih tinggi. Tetapi Kiai Gringsing tidak mengerti susunan dan tingkatan dari lawannya. Yang ia ketahui, lawannya yang seorang ini sangat licik dan pengecut meskipun dengan demikian ia justru menjadi sangat berbahaya.

Sejenak kemudian, maka serangan-serangan Kiai Gringsing telah dipusatkan kepada orarg yang licik itu. Betapapun ia berusaha berlindung di punggung kawan-kawannya, namun ujung cambuk Kiai Gringsing seakan-akan selalu mengejarnya. Tetapi orang itu masih juga sempat berteriak,
“Ayo, jangan lari. Aku ada di antara kalian.”
Namun bagaimanapun juga, serangan-serangan Kiai Gringsing tidak juga dapat dihindarinya. Sekali-sekali ujung cambuk orang tua itu telah menyentuhnya, dan membuat jalur yang pedih dikulitnya. Akhirnya orang itu pun menyadari keadaannya. Ternyata lawannya memusatkan serangan-serangannya kepadanya. Karena itu, maka ia tidak dapat ingkar lagi, bahwa ia harus bertempur sebaik-baiknya.
“Tetapi orang bercambuk ini benar-benar gila,” katanya di dalam hati.
“Kenapa ia berada juga di tempat ini? Jika yang ada di dalam rumah ini benar-benar empat atau lima orang perwira prajurit Pajang, maka aku kira tugas akan cepat selesai.”
Dalam pada itu ia sempat juga bertanya-tanya tentang pemimpin gerombolannya. Ia mengetahui bahwa pemimpinnya itu sedang mengejar seorang perwira yang terdesak ke dalam bilik. Tetapi sampai berapa lamanya ia masih belum dapat menyelesaikannya pula. Dalam pada itu, perkelahian di dalam ruangan itu pun menjadi semakin sengit. Lawan-lawan yang tidak terduga ternyata telah dijumpai oleh gerombolan penyerang itu. Yang kemudian menjadi paling parah adalah sekelompok orang yang bertempur melawan Sumangkar. Sejenak kemudian maka seorang demi seorang telah dijatuhkannya. Mati atau terluka berat. Sumangkar memang ingin segera menyelesaikan tugasnya untuk dapat menolong Ki Ranadana yang agaknya terdesak. Swandaru, yang bertempur dengan segenap kemampuannya, tidak dapat berbuat secepat Sumangkar. Menghadapi beberapa orang sekaligus, Swandaru masih harus berjuang sekuat-kuatnya, sekedar untuk bertahan. Namun ia masih mendapatkan kesulitan untuk memecahkan kepungan dan membantu Ki Ranadana. Sejenak kemudian dada Swandaru berdesir ketika ia tidak melihat lagi Agung Sedayu bertempur di tempatnya. Ia tidak melihat ke mana saudara seperguruannya itu pergi. Yang paling mungkin adalah bahwa Agung Sedayu telah digiring oleh lawan-awannya seperti Ki Ranadana masuk ke dalam bilik yang lain, karena Agung Sedayu berdiri tidak begitu jauh dari pintu bilik itu. Ketika Swandaru sempat melihat perkelahian antara gurunya dengan lawannya maka dadanya menjadi berdebar-debar. Ia dapat melihat, bahwa seorang dari lawan-lawan gurunya adalah seorang yang berilmu tinggi. Dengan demikian, maka Swandaru pun menjadi semakin garang. Cambuknya menjadi semakin cepat berputar dan menggelegar seperti patuk seekor burung sikatan.

Sementara itu, lawan Ki Sumangkar seorang demi seorang telah berjatuhan. Namun setiap kali orang baru telah menyerangnya pula. Bahkan orang-orang yang semula berkelahi melawan Ki Ranadana di dalam bilik itu pun telah membantu kawan-kawannya mengepung Ki Sumangkar yang bersenjata trisula itu. Dalam pada itu Agung Sedayu benar-benar telah masuk ke dalam bilik di sebelah. Tetapi ia tidak mempunyai lawan seberat Ki Ranadana. Bahkan sebagian lawannya yang lain telah melepaskan dirinya dan membantu bertempur melawan Sumangkar. Ternyata bahwa sejenak kemudian ketika cambuknya meledak, seorang dari lawannya telah meloncat surut sambil menyeringai. Kemudian disusul oleh ledakan-ledakan yang kedua dan yang ketiga. Ledakan-ledakan itu telah memberitahukan kepada Swandaru bahwa Agung Sedayu memang berada di dalam bilik itu. Tetapi Swandaru tidak dapat membayangkan, apa yang telah terjadi atas kakak seperguruannya itu. Demikianlah maka akhirnya Agung Sedayu berhasil melumpuhkan lawan-lawannya, karena sebagian yang lain telah bertempur melawan Sumangkar, namun yang seorang demi seorang terlempar dari gelanggang. Pada saat yang gawat itulah Agung Sedayu mencoba melihat bilik yang lain yang dibatasi dengan dinding bambu. Sambil mematahkan satu dua anyaman ia melihat bahwa keadaan Ki Ranadana benar-benar gawat. Kini ia sudah terjepit di sudut bilik. Sejenak kemudian maka lawannya pasti akan dapat membinasakannya.
“Inikah nilai dari perwira-perwira Pajang?” berkata pemimpin penyerang itu.
“Pada saatnya, Mataram pasti akan segera menguasai. Mataram mempunyai pasukan yang jauh lebih kuat. Baik jumlahnya maupun kemampuan seorang demi seorang. Kami sedang membujuk Mangir untuk ikut bersama kami dan juga Menoreh. Nah, sampailah saatnya Pajang akan runtuh.”
“Persetan,” Ki Ranadana menggeram,
“kau jangan mengigau. Pajang akan tetap tegak. Dan kau sama sekali bukan orang Mataram.”
“He?” pemimpin penyerang itu mengerutkan keningnya.
“Kau sama sekali tidak berasal dari Mataram. Di sini ada seorang perwira dari Mataram yang akan menentukan, apakah kau benar-benar seorang Mataram atau bukan.”
“Gila. Kau masih juga mengigau di saat matimu.”
Ki Ranadana tidak menjawab. Tetapi serangan lawannya menjadi semakin garang, sehingga akhirnya Ki Ranadana benar-benar telah kehilangan kesempatan untuk berbuat sesuatu. Namun pada saat itulah, tiba-tiba dinding yang menyekat antara kedua bilik di rumah itu pecah oleh dorongan kekuatan yang besar. Seorang anak muda muncul dengan cambuk di tangan. Anak muda itu adalah Agung Sedayu.
“Gila,” geram pemimpin penyerang itu. Tetapi ketika cambuk Agung Sedayu meledak, ia terpaksa berusaha menghindar. Ternyata bahwa Agung Sedayu memburunya terus, dengan ledakan-ledakan yang dahsyat.

Namun lawannya adalah seorang yang pilih tanding. Itulah sebabnya, sejenak kemudian ia berhasil menguasai dirinya dan dengan mantap melawan serangan-serangan Agung Sedayu.
“Licik,” ia berteriak.
Tetapi Agung Sedayu dan Ki Ranadana tidak menjawab. Keduanya segera menempatkan diri untuk melawan pemimpin penyerang itu.
“Sisihkan anak muda ini,” teriak pemimpin penyerang itu kepada orang yang berdiri di muka pintu.
Tetapi orang yang berdiri di muka pintu itu sudah tidak mampu berbuat apa-apa, karena ujung trisula Ki Sumangkar telah menyentuhnya. Demikianlah lambat laun, para penyerang itu pun menjadi semakin berkurang. Seorang demi seorang mereka telah terbunuh. Jika bukan, oleh Ki Sumangkar, maka cambuk Kiai Gringsing-lah yang telah melemparkan lawannya. Namun orang yang berilmu tinggi, yang bersama-sama dengan beberapa orang berkelahi melawan Kiai Gringsing itu pun masih juga berusaha untuk menang. Namun agaknya kesempatannya semakin lama menjadi semakin tipis. Dalam pada itu, di halaman keadaan para penyerang itu menjadi lebih parah. Prajurit-prajurit Pajang mendesaknya ke satu sudut di halaman sehingga mereka hampir tidak mendapat kesempatan untuk berbuat sesuatu.
“Tentu ada pengkhianatnya di antara kita,” geram salah seorang dari para penyerang itu.
Namun mereka tidak sempat lagi mencari, siapakah pengkhianatnya yang ada di antara mereka itu. Sementara itu, dua orang utusan yang berpacu dari Pengging sama sekali tidak sempat mencegah kawan-kawannya. Dari kejauhan mereka mendengar hiruk pikuk pertempuran. Namun mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Dan mereka pun tidak berani terjun langsung ke dalam pertempuran itu jika keduanya tidak ingin binasa pula. Perkelahian itu pun semakin lama menjadi semakin jelas akan segera sampai ke akhirnya. Kiai Gringsing sudah berhasil mengurangi lawannya seorang demi seorang, sehingga akhirnya, Kiai Gringsing harus berhadapan dengan dua orang saja. Yang seorang justru orang yang paling licik yang pernah dijumpainya. Demikianlah dalam keadaan terdesak, maka ternyata orang yang licik itu sama sekali tidak bertanggung jawab lagi terhadap apa yang terjadi. Ketika kawannya mencoba menyerang Kiai Gringsing dari lambung, dan berhasil menarik perlawanan orang tua itu, maka tiba-tiba saja ia meloncat berlari meninggalkan lawannya.
“Pengecut,” Kiai Gringsing menggeram. Namun ia tidak melepaskannya. Ditinggalkannya lawannya yang seorang lagi dan dengan marahnya ia mengejar lawannya yang melarikan diri itu. Ternyata bahwa lawannya berhasil keluar dari pintu butulan dan turun ke longkangan samping. Namun ia tidak dapat lari lebih jauh lagi. Tiba-tiba saja ia mendengar cambuk Kiai Gringsing meledak, dan terasa segores luka yang pedih di lambungnya. Dengan serta-merta ia memutar diri. Dengan sekuat tenaga dilemparkannya sebuah pisau belati ke arah Kiai Gringsing. Tetapi Kiai Gringsing sempat melihat pisau belati yang meluncur itu, sehingga ia masih sempat menghindarinya.

Sejenak kemudian maka orang itu pun mencoba untuk sekali lagi melepaskan diri dari tangan Kiai Gringsing. Bukan saja karena ia memang licik, tetapi ia sadar, bahwa jika ia tertangkap hidup-hidup, maka ia pasti akan diperas oleh orang-orang Pajang untuk memberikan keterangan tentang para pemimpinnya yang sebagian memang berada di Pajang. Namun Kiai Gringsing yang marah karena kelicikannya itu tidak membiarkannya meninggalkan halaman itu. Ketika orang itu mencoba meloncati dinding batu, maka sekali lagi terdengar cambuk Kiai Gringsing menggelepar dan membelit kakinya. Dengan suatu hentakan maka orang itu pun terseret jatuh di hadapan Kiai Gringsing yang sedang marah. Tetapi orang itu ternyata tidak menyerah. Sekali lagi sebuah pisau belati meluncur cepat sekali. Kali ini Kiai Gringsing tidak menyangka, bahwa orang yang masih terbaring di tanah itu mampu melemparkan pisau sekeras dan secepat itu, sehingga dengan demikian, maka Kiai Gringsing menjadi agak lemah. Karena itu, maka usahanya untuk menghindari pisau itu tidak sepenuhnya berhasil. Meskipun pisau itu tidak menghunjam di arah jantungnya, namun pisau itu telah menyobek bahunya. Kemarahan Kiai Gringsing benar-benar tidak dapat dikendalikannya. Karena itu, maka tiba-tiba saja cambuknya meledak dua kali. Dua kali ledakan cambuk yang digerakkan oleh tenaga Kiai Gringsing. Bukan saja karena kemarahannya melihat kelicikan lawannya, tetapi juga karena pisau lawannya yang menyobek dan bahkan masih melekat di bahunya. Orang itu masih sempat menggeliat sesaat. Sebuah luka yang mengerikan telah menganga di dadanya dan hampir di lehernya. Ternyata bahwa orang itu tidak dapat menahan perasaan sakit dan darah yang tidak habis-habisnya mengalir dari lukanya itu, sehingga sejenak kemudian maka ia pun telah melepaskan napasnya yang terakhir. Sejenak Kiai Gringsing memandang mayat yang terbujur di tanah. Baru kemudian ia sadar, bahwa pisau belati lawannya masih menancap di bahunya, sehingga dengan demikian maka perlahan-lahan pisau itu ditariknya. Demikian pisau itu terlepas, maka darah pun seakan-akan telah menyembur dari luka itu. Namun Kiai Gringsing adalah seorang dukun yang baik. Sebelum ia sempat mengobati lukanya, maka dipetiknya beberapa genggam daun metir. Setelah dikunyahnya, maka daun metir itu pun segera dilekatkannya pada lukanya, sehingga sejenak kemudian lukanya telah tidak mencucurkan darah terlalu banyak lagi. Setelah sekali lagi mengawasi lawannya, Kiai Gringsing pun kemudian melangkah kembali ke dalam. Di dalam, beberapa orang masih berkelahi dengan gigihnya. Apalagi Ki Ranadana. Tetapi ketika ia memasuki rumah itu, dilihat Ki Sumangkar sudah tidak ada di tempatnya lagi. Ia telah berhasil memasuki bilik tempat Ki Ranadana dan Agung Sedayu bertempur melawan pemimpin penyerang itu.
“Menyerah sajalah,” berkata Sumangkar.
Tetapi orang itu menggelengkan kepalanya sambil menggeram,
“Kalian sajalah yang menyerah. Aku mengemban tugas dari Raden Sutawijaya untuk membinasakan kalian. Karena itulah maka kalian harus binasa.”
“Apakah dalam keadaan seperti ini kau masih merasa mampu untuk membinasakan kami?” bertanya Sumangkar.
“Kenapa tidak. Kau semuanya harus mati. Semua perwira Pajang di Jati Anom harus mati.”
“Ki Sanak,” berkata Sumangkar,
“sebaiknya kau menyadari keadaanmu. Di luar, orang-orangmu telah terkepung oleh prajurit Pajang. Tidak seorang pun dari kalian yang akan berhasil lolos dari halaman rumah ini, karena sebenarnyalah kalian telah terjebak. Kami telah mengetahui rencana kalian, bahwa kalian akan membunuh para perwira yang ada di Jati Anom dan mengatasnamakan diri kalian sebagai petugas dari Raden Sutawijaya. Tetapi kalian keliru.”
“Persetan,” geram pemimpin penyerang itu. Tiba-tiba saja ia telah menyerang Ranadana dengan garangnya. Hampir tidak dapat dicegah lagi, ujung senjatanya telah siap menembus dada perwira yang sedang lengah itu.

Agung Sedayu yang berdiri di samping Ki Ranadana segera meloncat ke samping sambil meledakkan cambuknya ke arah hulu pedang pemimpin penyerang itu dengan hentakan sendal pancing. Maksudnya agar ujung pedang orang itu bergeser dari dada Ki Ranadana. Sementara itu Ki Ranadana sendiri terkejut bukan kepalang. Karena itu yang dapat dilakukannya hanyalah sekedar menangkis serangan itu dengan pedangnya. Tetapi untunglah bahwa usaha Agung Sedayu berhasil, sehingga hentakan cambuknya telah menarik serangan orang itu ke samping, sehingga sama sekali tidak mengenai sasarannya. Namun ternyata yang lebih parah dari itu, adalah tindakan Sumangkar yang terkejut. Hampir di luar sadarnya, tangannya telah bergerak dan ujung trisulanya telah meluncur dan menghunjam ke lambung orang yang sedang menyerang Ki Ranadana. Akibat dari serangan Sumangkar itu ternyata tidak dapat dihindarkan lagi dari sentuhan maut.
“Ki Sanak,” berkata Sumangkar yang kemudian berjongkok di samping orang itu,
“aku tidak sengaja membunuhmu. Tetapi barangkali seorang kawanku akan dapat mengobati luka-lukamu.”
“Persetan,” orang itu menggeram sambil meyeringai menahan sakit.
Sumangkar masih melihat wajah orang itu menegang menahan sakit. Namun agaknya lukanya benar-benar telah parah, sehingga kemungkinan untuk mengobatinya pun tidak ada sama sekali.
Dengan demikian Sumangkar, Agung Sedayu, dan Ki Ranadana tanpa dapat berbuat apa-apa menyaksikan perlahan orang itu dijemput oleh maut. Ketika ia membuka matanya sekali lagi, dipandanginya Sumangkar sejenak. Masih tampak keheranan membayang di sorot mata yang sudah redup itu. Seakan-akan ia tidak percaya bahwa di rumah itu, di rumah yang didiami para perwira Pajang, ada seseorang tua yang memiliki senjata yang mengerikan itu. Pada saat itulah Kiai Gringsing masuk ke dalam rumah itu lewat pintu butulan. Ia masih melihat Swandaru bertempur sejenak. Namun ketika ia melangkah masuk pintu butulan itu, beberapa orang yang berkelahi melawan Swandaru itu pun berloncatan mundur.
“Kami menyerah,” berkata salah seorang dari mereka.
Kiai Gringsing memandang mereka sejenak. Kemudian ia pun memberi isyarat kepada Swandaru agar orang-orang yang menyerah itu diberi kesempatan untuk hidup.
“Siapa pemimpinmu,” bertanya Kiai Gringsing kepada salah seorang dari mereka.
Orang itu menunjuk sesosok mayat yang terbaring di dalam bilik itu.
Kiai Gringsing pun kemudian berdiri di muka pintu sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Jika demikian ada dua orang yang memiliki kelebihan dari kawan-kawannya. Karena itu, maka ia pun bertanya pula,
“Siapakah yang mencoba melarikan diri itu?”
“Seseorang yang langsung dikirim oleh pemimpin kami di Mataram.”
“Jangan sebut Mataram,” bentak Swandaru,
“kau kira kami tidak mengetahui bahwa kalian bukan orang-orang Mataram.”
“Kami orang-orang Mataram.”
“Coba ulangi,” sekali lagi Swandaru membentak sambil mengangkat cambuknya.
Orang itu menjadi pucat, lalu katanya tergagap,
“Tetapi, tetapi kami mendapat perintah untuk mengaku orang Mataram.”
“Nah, jika demikian masih mungkin. Kalian memang mendapat perintah demikian,” sahut Kiai Gringsing, lalu,
“siapa orang yang mencoba melarikan diri itu?”
“Ia adalah seseorang yang diperbantukan kepada kami oleh pimpinan kami yang lebih tinggi lagi, yang, yang sepengetahuan kami memang berada di Mataram dan Pajang.”
“Jika demikian orang itu termasuk orang yang penting.”

Orang itu menganggukkan kepalanya. Barulah Kiai Gringsing sadar, bahwa ia telah terseret oleh gejolak perasaannya, justru karena orang itu telah melukainya, selain orang itu memang orang yang licik. Dalam pada itu pemimpin penyerang itu pun telah terbunuh pula, sehingga sulitlah bagi Kiai Gringsing untuk menyelusur orang-orang yang telah menggerakkan mereka.
Namun demikian ia berkata kepada orang-orang itu,
“Kalian tawanan prajurit Pajang. Ki Ranadana akan mengurus kalian.”


Halaman 1 2 3


<<< Jilid 065                                                                                                       Jilid 067 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar