Jilid 067 Halaman 1


KI RANADANA seakan-akan tersadar dari mimpi buruknya. Tiba-tiba saja ia menengadahkan kepalanya. Ia adalah perwira Pajang yang mengemban tugas langsung dari Senapati di daerah Selatan ini. Karena itu, maka katanya,
“Kalian harus tunduk pada perintah kami.”
Orang-orang itu tidak membantah lagi. Beriringan mereka digiring ke luar pintu butulan setelah mereka meletakkan senjata mereka, sedang Swandaru dan Agung Sedayu telah mendahului turun dan menunggu mereka di longkangan. Sementara itu, mereka yang bertempur di halaman pun telah dapat dikuasai sepenuhnya. Ada juga di antara mereka yang terbunuh, namun ada juga yang tertawan hidup-hidup, meskipun ada beberapa orang prajurit yang terluka yang kehilangan pengamatan diri dan akan membunuh mereka semuanya.
“Kita memerlukan sebagian dari mereka yang hidup,” berkata perwira yang bertugas di halaman.
“Jika mereka terbunuh semuanya, kita akan kehilangan jejak sama sekali.”
“Tetapi apa yang diketahui oleh cucurut-cucurut semacam ini. Mungkin orang-orang yang ada di dalam rumah itulah yang pantas dihidupi sekedar untuk mendapatkan keterangannya. Tetapi orang-orang ini tidak pantas sama sekali.”
“Aku perintahkan, yang masih hidup biarlah tetap hidup,” berkata perwira itu dengan tegas.
Tidak ada seorang pun yang membantah lagi. Bersama-sama tawanan yang ada di dalam rumah, mereka dikumpulkan di sudut halaman belakang di bawah penjagaan yang ketat.
Sejenak kemudian, Ki Ranadana pun mulai memberikan perintah agar semuanya kembali ke tempatnya.
“Usahakan, selain yang bertugas di sini, seolah-olah tidak terjadi sesuatu.”
“Ada beberapa orang peronda telah melihat perkelahian di sini. Agaknya mereka memberikan laporan kepada perwira yang ada di banjar.”
“Kau yakin?”
“Ya.”
“Susul mereka. Katakan bahwa tidak terjadi sesuatu. Cegah agar mereka tidak sampai membunyikan isyarat apa pun juga.”
Dua orang prajurit yang bertugas di regol depan pun segera mengambil kudanya dan berpacu menyusul dua orang peronda yang lewat jalan depan.

Untunglah bahwa belum ada tanda apa pun yang dibunyikan. Kedua prajurit itu sempat memberikan penjelasan apa yang telah terjadi. Agung Sedayu dan Swandaru pun kemudian siap menjalankan tugas itu. Namun Sumangkar masih memperingatkan,
“Sebaiknya biarlah keduanya dikawani oleh satu atau dua orang prajurit Pajang agar perjalanan yang meskipun hanya pendek ini tidak terganggu.”
“O,” Ki Ranadana mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Benar. Dalam keadaan yang serba samar-samar memang mudah timbul salah paham. Biarlah dua orang prajurit mengawaninya sampai ke Banyu Asri.”
Dengan demikian maka perjalanan Agung Sedayu dan Swandaru pun disertai dua orang prajurit yang mendapat pesan, agar keduanya tidak memberikan keterangan kepada siapa pun juga supaya tidak terjadi salah paham.
“Katakan kepada siapa pun juga, bahwa besok mereka akan mengetahui dengan pasti apa yang sudah terjadi di sini,” berkata Ki Ranadana.
“Baiklah,” jawab prajurit-prajurit itu. Dan mereka pun mengerti bahwa keterangan-keterangan yang tidak lengkap, hanya akan menambah bahan pembicaraan yang kadang-kadang semakin jauh dari kenyataan yang sebenarnya.
Sejenak kemudian maka keempat orang itu pun segera pergi ke Banyu Asri. Meskipun jarak itu tidak dapat disebut jauh, namun mereka telah mempergunakan kuda untuk mempercepat perjalanan. Untunglah bahwa di antara mereka terdapat dua orang prajurit Pajang seperti yang diusulkan oleh Sumangkar sehingga di setiap gardu, mereka dapat segera lolos tanpa banyak persoalan, meskipun di setiap gardu mereka benar-benar telah dihentikan dan dicurigai.
Tanpa kedua prajurit itu, Agung Sedayu dan Swandaru justru pasti sudah ditahan. Ada di antara para prajurit yang masih saja mencurigai Agung Sedayu sejak Agung Sedayu datang dan berkelahi dengan seorang perwira yang kebetulan kali ini dibawa serta oleh Untara dengan sengaja, meskipun alasannya adalah alasan hari-hari perkawinannya. Tetapi Untara memang berusaha memisahkan perwira muda itu dari adiknya, tanpa hadirnya dirinya sendiri. Ketika mereka memasuki rumah Widura, ternyata rumah itu masih terang benderang dan semua pintu tampaknya masih belum tertutup. Agaknya seperti yang direncanakan, Widura mengadakan jamuan semalam suntuk untuk keselamatan kemanakannya Untara yang sedang menjalani hari-hari perkawinannya

Kedatangan Agung Sedayu, Swandaru, dan kedua prajurit itu telah menimbulkan persoalan-persoalan di setiap hati. Ternyata bahwa desas-desus tentang sesuatu yang terjadi itu telah sampai di telinga para petugas sandi di rumah Untara meskipun hal itu masih belum begitu jelas bagi mereka. Namun sebagai seorang prajurit, maka setiap keterangan tetap merupakan bahan yang harus dicernakkannya. Itulah sebabnya maka ketika mereka melihat Agung Sedayu dan Swandaru datang diiringi oleh dua orang prajurit, maka mereka pun telah bersiap pula di dalam keadaan masing-masing. Mereka yang berada di bagian belakang pun segera duduk di serambi sambil berbicara yang seorang dengan yang lain. Sedang yang ada di bagian depan pun segera naik pula ke pendapa dan duduk di atas tikar yang terbentang dalam pakaian lengkap dengan sebilah keris di lambung. Agung Sedayu dan Swandaru pun mengerti, bahwa di antara sekian orang yang duduk tirakatan itu terdapat beberapa prajurit Pajang.
Meskipun demikian, maka ternyata bahwa pamannya cukup mengerti akan keadaannya, sehingga ketika ia melihat kemanakannya itu datang, langsung dibawanya masuk ke ruang dalam,
“Mari, marilah Agung Sedayu dan Angger Swandaru. Kalian tentu belum makan. Kami mempersilahkan kalian langsung saja untuk mengambil makan kalian berdua.” Sedang kepada kedua prajurit Pajang ia berkata,
“Duduklah di pringgitan. Kalian pun harus makan lebih dahulu. Yang lain agaknya baru saja mendahului karena kami tidak tahu bahwa kalian akan datang.”
Agung Sedayu dan Swandaru tidak membantah. Kedua prajurit yang menyertainya pun tidak. Ternyata meskipun Widura sudah bukan prajurit lagi, namun ia masih tetap bersikap seperti seorang prajurit. Kedua prajurit itu pun segera duduk di pringgitan. Seseorang kemudian menghidangkan makan dan minuman hangat kepada mereka.
“Silahkanlah,” berkata Widura yang kemudian datang kepada kedua orang prajurit itu.
Keduanya ragu-ragu sejenak, namun salah seorang kemudian berkata,
“Apakah kami diperkenankan mencuci diri sebentar.”
“O,” Widura tertawa. Ia tahu bahwa keduanya pasti baru saja berkelahi. Bahkan salah seorang dari padanya masih tampak sangat payah dan bahkan sepercik darah telah menodai bajunya.
Baru setelah keduanya duduk kembali setelah membersihkan tangan dan kaki, mereka pun makan dengan lahapnya. Memang terasa nyaman sekali makan dan minum setelah mereka memeras tenaga dalam perkelahian yang cukup berat.
“Ada juga untungnya,” gumam salah seorang dari keduanya.
“Semula aku menggerutu ketika aku ditunjuk untuk pergi. Rasa-rasanya terlalu malas berkuda di malam hari setelah berkelahi mati-matian. Tetapi ternyata kitalah yang paling beruntung.”
Kawannya tersenyum. Katanya,
“Yang lain akan ganti menggerutu jika mereka tahu, di sini kita mendapat makan yang lengkap dan yang tidak kita temui sehari-hari. Bagaimana pun juga kita berada di tempat perhelatan.”
Keduanya pun mengangguk-angguk. Tetapi mereka tidak lagi berbicara karena mulut mereka sedang sibuk mengunyah.

Dalam pada itu di ruang dalam, Agung Sedayu dan Swandaru pun sudah dipersilahkan makan oleh pamannya. Setelah mereka membersihkan diri pula. Sedangkan Widura sendiri telah duduk pula di hadapan mereka. Ketika Agung Sedayu dan Swandaru mulai menyuapi mulutnya, maka mulailah pamannya bertanya,
“Apakah mereka benar-benar datang ke rumah itu?”
Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk hampir bersamaan.
“Mereka telah datang,” sahut Agung Sedayu.
“Kami datang kepada Paman untuk menyampaikan pemberitahuan itu.”
Ki Widura mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Dan kalian harus bertempur?” ia bertanya pula
“Ya, kami harus bertempur,” jawab Agung Sedayu pula, “Guru terluka.”
“He,” Widura terkejut,
“Kiai Gringsing terluka? Siapakah lawannya?”
“Tetapi tidak apa-apa. Maksudku, hanya luka ringan. Ia harus melawan beberapa orang pilihan. Salah seorang dari mereka mempunyai kemampuan yang tinggi, tetapi sangat licik. Ternyata orang itu adalah orang yang dikirim langsung oleh pimpinan mereka untuk membinasakan para perwira. Tetapi ia langsung bertemu dengan guru.”
“Bagaimana Kiai Gringsing dapat terluka?”
Agung Sedayu pun kemudian menceriterakan serba sedikit apa yang telah terjadi atas gurunya. Hampir di luar dugaan, bahwa orang itu masih mampu melemparkan sebilah pisau dengan cepat sekali. Dan agaknya gurunya pun lengah waktu itu.
“Ia termasuk salah seorang yang sedikit jumlahnya yang pernah berhasil melukai Kiai Gringsing,” berkata Widura.
“Aku hampir tidak pernah melihat ia terluka di dalam pertempuran yang bagaimana pun juga, melawan orang-orang yang paling terpuji kemampuannya.”
Agung Sedayu dan Swandaru tidak menjawab. Dan Widura berkata seterusnya.
“Namun bagaimana pun juga itu merupakan suatu gambaran, bahwa yang datang ke rumah itu bukannya sekedar orang-orang yang berani dan terpilih saja antara mereka, tetapi benar-benar orang yang berkemampuan tinggi. Jika yang dihadapinya bukan Kiai Gringsing, maka akan dapat digambarkan, apa akibatnya.”

Agung Sedayu pun menceriterakan bahwa ada dua orang yang sebenarnya memiliki kemampuan yang tinggi. Yang seorang hampir saja berhasil membinasakan Ki Ranadana. Untunglah, bahwa masih ada kesempatan untuk menyelamatkannya. Ki Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Benar-benar suatu rencana yang tersusun rapi. Jika tidak diketahui sebelumnya oleh Kiai Gringsing, maka para perwira itu akan benar-benar ditumpas oleh mereka, dengan kesan bahwa orang-orang Mataram lah yang melakukannya. Suatu usaha yang berani dan hampir saja berhasil menghancurkan Pajang dan Mataram sekaligus.”

Agung Sedayu dan Swandaru masih saja mengangguk-angguk sambil mengunyah makanan di dalam mulutnya. Mereka pun menyadari betapa bahaya yang sebenarnya dapat mengancam keselamatan para perwira Pajang, dan lebih dari itu, kelangsungan hidup Pajang dan Mataram sendiri, karena jika usaha orang-orang itu berhasil, Pajang dan Mataram pasti akan terlibat dalam suatu benturan yang dahsyat, sedang kedua-duanya masih belum siap untuk melakukannya. Apalagi sebenarnya pada mereka tidak terkandung maksud sama sekali untuk saling berbenturan meskipun agaknya hubungan antara keduanya tidak begitu baik lagi.
“Kita akan berhubungan dengan Ki Lurah Branjangan. Ia lah yang akan memaksa orang-orang yang tertangkap itu untuk tidak lagi menyebut dirinya orang-orang Mataram.”
“Sayang, Paman,” berkata Agung Sedayu,
“tidak ada orang-orang penting yang tersisa. Dua orang yang agaknya dapat memberikan keterangan telah terbunuh, sedang yang lain adalah sekedar pelaksana yang tidak banyak mengerti tentang tugas mereka sendiri.”
“Baiklah. Tetapi mereka tetap merupakan tawanan yang penting bagi kita.”
“Mereka dijaga baik-baik, Paman.”
“Besok kita akan melihat mereka,” berkata Widura,
“sekarang makanlah banyak-banyak, lalu kembalilah kepada Ki Ranadana. Katakanlah bahwa besok kami akan datang pagi-pagi benar.”
“Baiklah, Paman,” jawab Agung Sedayu.
“Teruskanlah. Aku akan pergi menemui Ki Lurah Branjangan.”
Widura pun kemudian meninggalkan kedua anak-anak muda itu pergi ke gandok menemui tamunya yang datang dari Mataram.
Sepeninggal Ki Widura. Swandaru justru menyendok nasi lebih banyak lagi sambil bergumam,
“Tidak ada yang disegani lagi sekarang. Makanlah seperti biasa. Daging ayam lembaran, bubuk dele, pecel lele. Sedap sekali.”
Agung Sedayu tidak menyahut, tetapi ia hanya tersenyum saja melihat mangkuk nasi Swandaru justru menjadi semakin penuh meskipun yang dikunyahnya sudah sebanyak yang tersisa itu pula. Ketika Widura turun ke longkangan di sebelah gandok, ternyata langit telah menjadi kemerah-merahan. Fajar sudah mulai membayang. Karena itu, maka ia berkata kepada diri sendiri,
“Sebentar lagi kami harus sudah berangkat ke rumah Untara itu.”

Ternyata Ki Lurah Branjangan yang berada di gandok masih tidur mendekur. Tetapi bagaimana pun juga mereka serombongan adalah sepasukan prajurit Mataram meskipun belum menyebut dirinya demikian, sehingga ada di antara mereka yang seolah-olah bertugas jaga di antara mereka sendiri. Ketika Widura memasuki gandok dilihatnya dua orang di antara mereka duduk bersila di belakang pintu bilik. Dua helai pedang tersandar di dinding dekat di samping mereka, sedang keris mereka masing-masing tetap berada di lambung. Ketika mereka melihat Widura memasuki ruangan itu, maka mereka pun segera bergeser dan mempersilahkan,
“Marilah Ki Widura.”
Widura tersenyum. Kemudian sambil duduk di antara mereka ia berkata,
“Ki Lurah masih tidur?”
“Ya. Ia tidur nyenyak sekali tampaknya.”
“Aku memerlukannya.”
“O,” kedua orang itu mengerutkan keningnya. Salah seorang di antara mereka pun kemudian berkata,
“Aku akan membangunkannya, Ki Widura.”
Sejenak kemudian sambil mengusap matanya Ki Lurah Branjangan pun segera duduk menemui Widura. Tampak dari wajahnya bahwa ia sudah mulai meraba-raba, apakah kiranya yang telah terjadi.
“Ki Lurah,” berkata Widura,
”ada sekelompok orang-orang Mataram yang datang menyerang rumah para perwira Pajang dengan diam-diam.”
“He? Orang Mataram?”
“Seperti yang kau cemaskan Ki Lurah. Tetapi sebaiknya Ki Lurah melihatnya. Mungkin di antaranya benar-benar ada orang Mataram. Maksudku, orang-orang yang dengan sengaja menyusup ke Mataram untuk sekedar membuat hubungan yang keruh ini menjadi semakin keruh. Aku yakin bahwa ada di antara mereka yang memasuki tubuh Mataram, dan ada yang tinggal di Pajang.”
Ki Lurah Branjangan mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Aku juga berpendapat demikian. Itulah sebabnya aku berada di sini.”
“Silahkan berkemas Ki Lurah. Kita akan pergi ke Jati Anom sejenak, untuk melihat orang-orang yang mengaku dirinya orang-orang Mataram itu.”
“Baiklah. Aku akan mandi sebentar.”
Ki Lurah Branjangan pun segera mandi dan berpakaian rapi, seperti ketika ia datang menyampaikan sumbangan dari Raden Sutawijaya untuk Untara.
“Aku ingin mempersilahkan kalian makan lebih dahulu,” berkata Widura ketika Ki Lurah Branjangan telah siap.
“Ah, sepagi ini?”
“Mungkin Ki Lurah akan sibuk dan tidak sempat makan pagi nanti.”
“Aku makan kapan saja ada kesempatan. Aku tidak mudah menjadi lapar meskipun sehari aku tidak makan.”
“Dan kesempatan itu ada sekarang.”
Ki Lurah. Branjangan mengerutkan keningnya, lalu sambil tertawa ia berkata,
“Baiklah. Bukankah rumah ini sedang mengadakan perhelatan? Tentu makan dan minuman panas tersedia setiap saat. Siang dan malam. Juga di pagi-pagi buta ini.”

Setelah Ki Lurah Branjangan makan pagi, maka mereka pun segera pergi ke rumah Untara yang dipergunakan oleh para perwira itu. Widura, Agung Sedayu, Swandaru, Ki Lurah Branjangan bersama beberapa orang pengiringnya, dan kedua prajurit Pajang yang datang bersama Agung Sedayu dan Swandaru. Sedang para perwira yang sedang berada di rumah Widura justru dipersilahkan untuk tinggal sejenak. Beberapa saat kemudian mereka pun telah sampai. Ki Ranadana segera menyambut kedatangan mereka. Dipersilahkannya mereka duduk di pendapa, di sebelah beberapa sosok mayat yang terbujur diam.
“Inilah sebagian dari mereka,” berkata Ki Ranadana,
“sayang bahwa orang-orang terpenting dari mereka telah terbunuh.”
Ki Lurah Branjangan mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Ya, sayang. Jika mereka tertangkap hidup, maka mereka akan dapat diperas untuk mengatakan sesuatu tentang diri mereka.”
“Aku tidak ingin membunuh,” berkata Sumangkar kemudian,
“tetapi sayang, begitu cepat dan tiba-tiba hal itu terjadi.”
“Ya, Ki Sumangkar tidak dapat berbuat lain daripada membunuhnya,” sahut Ki Ranadana.
“Jika tidak, akulah yang terbunuh saat itu.”
Ki Lurah Branjangan mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu,
“Di manakah di antara mereka yang masih hidup?”
“Di belakang. Di kebun belakang.”
“Apakah aku boleh menemui mereka.”
“Marilah.”
Ki Lurah Branjangan bersama Ki Ranadana, Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar pun segera pergi ke kebun belakang. Agung Sedayu dan Swandaru pun mengikuti mereka pula. Sejenak kemudian Ki Lurah Branjangan telah berada di hadapan para tawanan itu. Ia mengamat-amati mereka seorang demi seorang, selagi langit menjadi semakin cerah.
“Aku adalah seorang Lurah prajurit dari Pajang,” berkata Ki Lurah Branjangan,
“kalian harus menjawab pertanyaanku sebaik-baiknya. Kau harus tahu, bahwa di hadapan seorang perwira, seseorang tidak boleh berbohong.”

Para tawanan itu menjadi ragu-ragu sejenak. Namun jantung mereka terasa berdebaran. Sambil menunjuk seseorang yang berkumis lebat, Ki Lurah Branjangan berkata,
“Jawab pertanyaanku. Dari manakah kalian datang dan untuk apa?”
Orang itu ragu-ragu sejenak. Namun kemudian jawabnya,
“Kami adalah prajurit-prajurit Mataram yang mendapat tugas untuk membunuh para perwira Pajang di sini.”
“Kenapa?” bertanya Ki Lurah Branjangan.
“Kenapa perwira Pajang harus dibunuh? Jika berkesempatan kalian tentu akan membunuh aku juga.”
“Pajang harus dimusnahkan.”
Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Katanya,
“Jadi kau prajurit Mataram?”
“Ya.”
“Siapakah pemimpinmu? Pemimpinmu yang terbunuh itu?”
Orang berkumis itu ragu-ragu sejenak. Dipandanginya beberapa orang kawannya sebelum ia menjawab. Namun sebuah tarikan pada bajunya membuatnya tergagap,
“Ya, ya. Ia pemimpin kami.”
“Siapa namanya?”
“Yang kami tahu, namanya Soma Katik.”
“Kau dapat menyebut seribu nama. Tetapi siapakah orang itu sebenarnya?”
“Soma Katik. Aku tidak tahu lebih dari namanya.”
“Bohong!” Ki Lurah Branjangan telah mengguncang baju orang itu sehingga ia turut terguncang pula.
“Ya, ya. Aku tidak tahu lebih dari itu.”
“Bagaimana mungkin kau berada di dalam pasukannya?”
“Kami memang orang-orang Mataram.”
“Tutup mulutmu!” bentak Ki Lurah Branjangan.
“Jadi kau masih menyebut dirimu orang Mataram? Orang-orang Mataram dapat mengenal pemimpinnya dengan baik. Seorang demi seorang, karena jumlahnya memang belum banyak.”
Orang itu memandang Ki Lurah Branjangan dengan ragu-ragu. Kemudian katanya,
“Maksudku, kami adalah orang-orang Mataram dari kerajaan yang kami susun sendiri.”
“Eh, jadi kau ikut juga menyusun Kerajaan Mataram?”
“Maksudku, pemimpin-pemimpin kami. Dan kami adalah prajurit-prajuritnya yang harus mengabdi sejauh-jauh dapat kami lakukan, agar kelak kami dapat menjadi seorang yang berkedudukan baik apabila kerajaan kami itu benar-benar sudah berdiri.”
“Jadi apa hubungannya dengan Mataram yang ada sekarang, maksudku dengan Raden Sutawijaya.”
“Pemimpin kami adalah Raden Sutawijaya.”
Ki Lurah Branjangan tidak dapat menahan dirinya, sehingga tiba-tiba saja ia sudah menampar mulut orang berkumis itu.
“Gila kau!” teriaknya.
“Jangan, jangan,” orang berkumis itu pun berteriak, sedang kawan-kawannya menjadi sangat berdebar-debar pula.
Tetapi tiba-tiba Ki Lurah Branjangan itu tersenyum, lalu,
“Raden Sutawijaya. Ya, Raden Sutawijaya memang pemimpin tertinggi Mataram. Jadi kau mengabdi kepada Raden Sutawijaya?”

Orang itu ragu-ragu sejenak, lalu perlahan-lahan ia mengangguk.
“Sutawijaya pulalah yang membuka hutan Mentaok itu. Jadi kau seorang di antara orang-orang yang menebas hutan itu?”
Orang itu masih tampak ragu-ragu. Tetapi sekali lagi ia mengangguk.
“Jadi bagaimana dengan hantu-hantu? Aku dengar di Alas Mentaok banyak hantu-hantu?”
“O, ya. Di Alas Mentaok memang banyak terdapat hantu-hantu.”
“Kau tidak takut hantu?”
“Kami bekerja bersama dengan hantu-hantu.”
Ki Lurah Branjangan yang tersenyum-senyum itu tiba-tiba menggeram. Dengan suara yang serak ia bertanya,
“Kalian pernah datang ke Mataram yang kau sebut-sebut itu?”
Pertanyaan itu membuat orang berkumis itu menjadi pucat.
“Jawablah, apakah kau pernah datang ke Mataram seperti yang kau sebutkan itu? Jika kau orang Mataram, kau pasti dapat mengatakan sesuatu tentang Mataram itu”
Orang itu menjadi gemetar.
Dengan sekali dorong, orang itu pun jatuh, terlentang di antara kawan-kawannya. Ki Lurah Branjangan yang masih berwajah merah itu berkata,
“Siapakah yang masih akan menjawab bahwa kalian adalah orang-orang Mataram?”
Tidak seorang pun lagi yang menyahut.
“Siapa?” ulang Ki Lurah Branjangan.
“Tidak ada?” Ki Lurah Branjangan memandang mereka seorang demi seorang dalam cahaya matahari pagi yang sudah mulai naik di atas cakrawala.
“Kalian memang orang-orang gila. Kalian mengatakan apa yang tidak kalian ketahui sama sekali. Hantu-hantu, Kerajaan Mataram dan Sutawijaya.” Ki Lurah Branjangan berhenti sejenak, lalu,
“Untunglah bahwa kalian segera mengaku, dan aku tahu bahwa kalian memang tidak tahu apa-apa, karena kalian hanyalah orang-orang yang tidak punya nalar, sekedar mendapat perintah dari orang yang tidak kau kenal pula. Apakah keuntungan kalian berbuat demikian? Janji untuk menjadi tumenggung, atau bupati atau mantri dan lurah?” Sekali lagi Ki Lurah Branjangan berhenti berbicara. Wajahnya masih juga merah, seperti langit di ujung gunung Merapi.
“Ketahuilah, bahwa aku adalah Ki Lurah Branjangan dari Mataram.”

Pengakuan itu telah mendebarkan jantung orang-orang yang tertawan itu. Sejenak mereka saling berpandangan, lalu dengan mata yang seakan-akan tidak berkedip mereka memandang Ki Lurah Branjangan yang berdiri tegak seperti patung.
“Pandanglah aku baik-baik. Aku datang dari Mataram bersama beberapa orang pengiring. Dan kau harus yakin, bahwa usahamu telah gagal sama sekali untuk membenturkan Pajang dan Mataram dengan cara yang sangat licik ini,” suaranya menjadi semakin keras.
“Sayang, aku hanya berbicara dengan cucurut-cucurut kecil. Aku ingin suaraku didengar oleh pemimpin-pemimpin tertinggimu. Mereka harus tahu, seperti Pajang, Mataram juga sudah siap menghadapi orang-orang macam mereka itu. Macam kalian dan hantu-hantu yang sudah dapat kami ketahui sarangnya, dan yang kini sudah kamanungsan.”
Tidak seorang pun dari antara mereka yang mengucapkan kata-kata, bahkan kepala mereka pun segera tertunduk dalam-dalam.
“Aku akan membawa mereka ke Mataram,” berkata Ki Lurah Branjangan kepada Ki Ranadana,
Tetapi Ki Ranadana menggelengkan kepalanya. Katanya,
“Pajang masih memerlukan mereka. Mudah-mudahan ada jalur yang dapat kami pergunakan untuk menemukan pemimpin mereka.”
Ki Lurah Branjangan mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak membantah. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya sekali lagi ia memandang orang-orang itu satu demi satu.
“Sayang,” katanya,
“orang-orang penting di antara kalian telah meninggal.”
Tidak ada jawaban apa pun juga.
“Aku sudah cukup Ki Ranadana,” berkata Ki Lurah Branjangan.
“Aku kira aku sudah dapat meyakinkan, bahwa orang-orang ini memang benar-benar bukan orang Mataram. Meskipun aku kira di antara mereka yang menjadi pimpinan dari kelompok ini ada yang berada di Mataram dan ada yang berada di Pajang. Kita akan sama-sama dapat membuat laporan kepada atasan kita, agar kita tidak terjerumus ke dalam keadaan yang sama-sama tidak kita kehendaki.”
“Ya,” Ki Ranadana mengangguk-anggukkan kepalanya,
“kehadiran Ki Lurah Branjangan ternyata tidak sia-sia. Apa yang kau cemaskan telah terjadi di sini. Dan kau dapat meyakinkan kami bahwa mereka memang benar-benar bukan orang Mataram.”
Ki Lurah Branjangan tidak menjawab. Hanya kepalanya sajalah yang terangguk-angguk.
“Baiklah,” berkata Ki Ranadana,
“biarlah mereka berada di situ. Marilah kita kembali ke pendapa. Sebentar lagi kita harus menyelenggarakan penguburan mayat-mayat itu.”
Mereka pun kemudian duduk kembali di pendapa. Tetapi rasa-rasanya mereka tidak tenang duduk di sebelah mayat-mayat yang berjajar-jajar meskipun mereka adalah prajurit-prajurit yang berpengalaman di medan perang.
“Ki Ranadana,” berkata Ki Lurah Branjangan,
“aku tidak mempersoalkannya di hadapan orang-orang yang tertawan itu. Tetapi sebenarnya aku ingin membawa orang itu ke Mataram karena mereka mengaku orang-orang Mataram. Aku ingin membuktikan kepada Raden Sutawijaya bahwa kedudukannya benar-benar dalam keadaan yang goyah. Bukan karena ayahanda Sultan Pajang sendiri, tetapi oleh orang-orang yang tidak menyukainya. Yang mencoba mempergunakan hubungan yang memang agak kurang baik pada permulaan kerja kami membuka hutan-hutan di Mentaok, tetapi yang tidak berarti bahwa untuk selanjutnya hubungan itu akan bertambah keruh.”
“Maaf, Ki Lurah Branjangan,” jawab Ki Ranadana,
“yang terjadi ini adalah di daerah kami. Daerah yang diserahkan kepada kami, dalam hal ini sebagai wakil Ki Untara. Aku harus menyelesaikan semua persoalan. Aku harus melaporkan apa yang terjadi bersama orang-orangnya sama sekali. Jika semuanya sudah diterima oleh atasanku, dan mereka mengijinkan Ki Lurah Branjangan untuk membawanya, aku sama sekali tidak berkeberatan. Jika tidak semua, mungkin dua tiga orang. Tetapi terserahlah kepada para senapati tertinggi di Pajang yang akan mengambil keputusan terakhir, termasuk Ki Untara sendiri.”

Ki Lurah Brajangan mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat mengerti, bahwa Ki Ranadana memang tidak dapat melepaskan orang-orang itu. Karena itu, maka ia pun berniat untuk menunggu sampai Untara datang. Setelah berpikir sejenak, maka ia pun kemudian berkata,
“Jadi apakah menurut Ki Ranadana, aku sebaiknya menunggu Ki Untara?”
“Jika Ki Lurah Branjangan dapat menunggu, aku kira tidak ada jeleknya, meskipun sudah tentu Ki Lurah tidak akan dapat mempersoalkannya setelah Ki Untara datang tanpa memberinya kesempatan untuk beristirahat dan melepaskan diri dan kesibukan pekerjaannya.”
Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Benar juga kata-kata Ki Ranadana. Ia tidak akan dapat langsung membicarakannya begitu Untara datang, karena ia tidak datang seorang diri. Ia akan datang bersama isterinya.
“Jadi, bagaimanakah sebaiknya, Ki Ranadana?” bertanya Ki Lurah Branjangan.
“Persoalannya sudah jelas. Ki Lurah ingin membawa bukti kepada Raden Sutawijaya, bahwa sejenis bahaya yang tidak dapat diabaikan sebenarnyalah memang ada, seperti hantu-hantu yang pernah mengganggu pembukaan hutan Mataram, meskipun dalam ujud yang berbeda. Tetapi Ki Lurah Branjangan tidak dapat tergesa-gesa. Dengan demikian, maka terserah kepada Ki Lurah, apakah Ki Lurah Branjangan akan menunggu di sini atau akan mengambil suatu tindakan lain.”
Ki Lurah menjadi ragu-ragu sejenak. Dipandanginya wajah-wajah yang ada di sekitarnya. Wajah Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan para perwira yang lain.
“Aku akan memikirkannya. Tetapi setidak-tidaknya Ki Ranadana sudah mengetahui persoalannya dan dapat menyampaikannya kepada Ki Untara. Mungkin aku akan mengambil jalan lain. Aku akan kembali ke Mataram, dan pada suatu saat aku akan datang lagi. Mungkin orang-orang ini sudah tidak ada di sini dan aku harus mengambilnya di Pajang.”
Ki Ranadana menarik nafas dalam-dalam. Jika Ki Lurah Branjangan benar-benar pergi ke Pajang, maka ia akan mendapat kesan yang lain. Bahkan seandainya saat itu di Jati Anom ada Ki Ranajaya seorang perwira muda yang mempunyai sikap yang keras terhadap Mataram, dan sempat banyak bertemu dan berbicara, persoalannya pun akan berbeda. Sedangkan di Pajang sikap yang berbeda-beda banyak ditemui di kalangan para perwira, di antaranya adalah mertua Ki Untara.
“Tetapi Ki Lurah Branjangan sendiri adalah bekas seorang perwira Pajang,” berkata Ki Ranadana di dalam hatinya. Dan bagi Ki Ranadana, tidak perlu diingkari, bahwa memang banyak di antara para perwira yang tidak puas melihat perkembangan Pajang di saat-saat terakhir. Tetapi Ki Ranadana tidak mengatakannya. Ia akan menyerahkan hal itu sepenuhnya kepada Ki Untara, apakah yang akan dilakukannya jika pada suatu saat Ki Lurah Branjangan kembali untuk mendapatkan tawanan itu, meskipun hanya seorang.

Sejenak Ki Lurah Branjangan berpikir. Akhirnya ia merubah keputusannya untuk menunggu Untara, karena dirasakan akan memakan waktu terlalu lama. Karena itu, agaknya lebih baik baginya kembali saja ke Mataram, dan di saat yang lain kembali ke Jati Anom.
“Aku akan meninggalkan pesan saja,” berkata Ki Lurah Branjangan.
“Jika aku menunggu, maka Raden Sutawijaya pasti akan menjadi gelisah. Disangkanya aku menjumpai halangan di sini. Karena itu, aku akan memilih jalan yang kedua. Kembali ke Mataram dan beberapa waktu kemudian datang lagi ke Jati Anom. Aku minta persoalannya telah diketahui oleh Ki Untara, dan akan lebih baik jika beberapa orang yang dapat kami bawa ke Mataram itu tetap tinggal di sini.”
“Tugas yang berat bagi kami,” sahut Ki Ranadana,
“bukankah selama itu kita harus menjaganya?”
Ki Lurah Branjangan tersenyum. Jawabnya,
“Hanya dua tiga orang saja. Aku kira bukan tugas yang sulit bagi prajurit Pajang yang kuat yang berada di Jati Anom.”
Ki Ranadana pun tertawa. Katanya,
“Aku akan menyampaikannya. Keputusan terakhir tidak ada padaku, tetapi ada pada Ki Untara.”
“Aku mengerti,” Ki Lurah Branjangan pun menganggukkan kepalanya, lalu,
“dengan demikian maka aku kira persoalan ini menjadi jelas. Aku akan kembali ke rumah Ki Widura untuk berkemas. Aku masih menunggu perkembangan keadaan sehari ini. Besok pagi-pagi aku akan kembali ke Mataram.”
Ki Ranadana mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya,
“Silahkan. Tetapi setiap saat kami akan minta Ki Lurah datang meskipun hanya hari ini, selama kami mengadakan pemeriksaan pendahuluan atas para tawanan itu.”
“Aku bersedia sampai malam nanti. Aku akan datang setiap saat aku dipanggil.”
Demikianlah Ki Lurah Branjangan pun kembali bersama Ki Widura ke Banyu Asri. Ternyata Ki Widura sudah tidak ingin mencampuri persoalan para prajurit itu terlampau banyak. Hanya dalam keadaan yang penting sajalah ia bersedia untuk berbuat sesuatu yang berada di dalam lingkungan keprajuritan. Mereka berdua hampir tidak berbicara apa pun di sepanjang perjalanan. Ki Lurah Branjangan sedang mereka-reka tindakan apakah yang sebaiknya dilakukan oleh Mataram menghadapi kenyataan itu, sedang Widura dipengaruhi oleh gambaran-gambaran yang buram yang dapat membatasi hubungan Pajang dan Mataram, sehingga jarak antara kedua kekuasaan resmi atau tidak resmi itu, menjadi semakin jauh. Meskipun demikian ternyata Ki Lurah Branjangan masih mengharap kelak akan dapat membawa seorang atau dua orang dari antara para tawanan itu sebagai bahan yang langsung dapat didengar oleh pemimpin tertinggi di Mataram.

Sementara itu, sepeninggal Ki Lurah Branjangan, Ki Ranadana pun segera memerintahkan anak buahnya untuk berbuat sesuatu atas mayat-mayat yang masih terbaring di pendapa. Sedang yang lain mendapat tugas untuk mengurus para tawanan dan menempatkan dalam ruang yang dapat diawasi. Selain tugas-tugas itu, maka Ki Ranadana pun segera memberitahukan kepada semua perwira dan pemimpin pasukan yang ada di Jati Anom tentang apa yang sebenarnya telah terjadi. Mereka tidak boleh mengadakan tanggapan yang dapat mengeruhkan suasana damai di Jati Anom.
“Biarlah rakyat Jati Anom menunggu pengantin mereka dengan tenang. Jika satu dua orang mengetahui apa yang terjadi, mereka harus yakin, bahwa yang terjadi itu bukan suatu yang perlu menggelisahkan hati. Yang terjadi hanyalah sekedar pengacauan saat-saat Ki Untara melewati hari-hari pengantinnya. Pengacauan yang tidak berarti. Mereka sengaja membuat hari-hari yang penting bagi Ki Untara ini menjadi keruh. Karena itu, janganlah menambah dengan kekeruhan-kekeruhan baru. Prajurit-prajurit Pajang telah siap menjaga segala kemungkinan yang dapat terjadi. Seandainya hal seperti ini akan terulang, maka akibatnya pun sama sekali tidak akan menyentuh rakyat Jati Anom. Dan jangan sekali-sekali menghubungkan kekacauan ini dengan daerah mana pun juga di wilayah kekuasaan Pajang. Yang datang mengacau itu adalah sekelompok orang yang datang dari banyak penjuru,” pesan Ki Ranadana kepada setiap prajurit lewat pemimpin-pemimpin mereka.
Meskipun masih banyak pertanyaan yang timbul di hati setiap prajurit dan rakyat di Jati Anom, namun pesan Ki Ranadana itu telah sedikit memberikan ketenangan di hati mereka. Mereka percaya bahwa Ki Ranadana berkata sebenarnya. Bukan sekedar untuk menenangkan mereka saja. Apalagi mereka melihat kenyataan bahwa tidak ada seorang perwira pun yang terbunuh, meskipun ada juga beberapa prajurit yang terluka. Namun jelas, bahwa prajurit Pajang dalam waktu singkat berhasil menguasai kekacauan yang terjadi itu. Dengan demikian maka kepercayaan rakyat Jati Anom kepada prajuritnya menjadi semakin kuat.
Dalam pada itu, ketika mayat yang berjajar di pendapa itu sudah dikuburkan sebagaimana seharusnya, mulailah Ki Ranadana bersama beberapa orang perwira memeriksa seorang demi seorang dari para tawanannya. Namun sebagian terbesar dari jawaban mereka sama sekali tidak dapat memberikan gambaran yang pasti tentang usaha mereka yang sebenarnya. Tentang pemimpin mereka dan tentang kekuatan yang ada pada mereka. Satu dua di antara mereka pernah mendengar nama Ki Damar dan Ki Telapak Jalak selagi pemimpin mereka berbicara dengan orang-orang yang tidak dikenal. Tetapi mereka seakan-akan sengaja dipisahkan dari jalur yang menghubungkan mereka dengan pemimpin-pemimpin tertinggi mereka. Karena itu, maka Ki Ranadana tidak merasa perlu untuk menghubungi Ki Lurah Branjangan lagi. Biarlah ia beristirahat dan menyiapkan perjalanannya kembali bersama pengiringnya ke Mataram. Ki Lurah Branjangan pun menyadari, agaknya ia memang tidak diperlukan lagi. Apa yang dilakukannya sudah cukup meyakinkan, bahwa orang-orang itu benar-benar bukan orang Mataram. Bahkan mungkin ada di antara mereka yang sudah mengaku, asal dan daerah tempat tinggal masing-masing.

Malam berikutnya, adalah malam yang terlampau sepi bagi Jati Anom. Bagaimana pun juga ada semacam perasaan ngeri merayap setiap hati. Meskipun mereka percaya bahwa prajurit Pajang akan melindungi mereka, tetapi bagi mereka, lebih baik berbaring di pembaringan dari pada berada di jalan-jalan yang senyap. Bahkan ada juga satu dua orang yang menyediakan senjata di bawah tikar, atau digantungkan pada dinding di samping pembaringan. Seandainya ada juga bahaya yang datang, mereka harus berbuat sesuatu untuk kampung halaman mereka. Namun pada malam itu, sebenarnya adalah malam yang paling aman bagi Jati Anom. Di setiap gardu jumlah peronda ditambah menjadi dua kali lipat. Peronda-peronda yang berjalan berkeliling padukuhan diperbanyak pula dan hubungan prajurit berkuda antara padukuhan yang satu dan padukuhan yang lain menjadi semakin sering dilakukan. Bahkan prajurit-prajurit yang biasanya tidur di banjar dan di kademangan, telah berpencar di beberapa tempat untuk menjaga setiap kemungkinan yang dapat terjadi. Tetapi semua itu dilakukan setelah senja turun, sehingga kesibukan para prajurit itu tidak justru menimbulkan kegelisahan pada hati rakyat Jati Anom.
Namun agaknya malam itu benar-benar malam yang sepi. Meskipun ada juga ketegangan di hati para prajurit yang bertugas, namun ternyata bahwa tidak seorang pun yang lewat memasuki Kademangan Jati Anom. Jalan-jalan menjadi lengang, dan lampu-lampu di setiap rumah cahayanya seakan-akan menjadi redup. Bahkan tidak ada seorang pun yang keluar dari rumahnya pergi ke sawah meskipun mendapat giliran menerima air di malam itu. Hati mereka masih dibayangi oleh peristiwa semalam. Meskipun mereka tidak melihat apa yang terjadi, namun mereka melihat iring-iringan mayat yang dibawa ke kuburan, dan mereka juga melihat prajurit Pajang yang terluka, bahkan ada yang cukup parah.
Prajurit Pajang sendiri menyadari, seandainya mereka belum mengetahui sebelumnya apa yang akan terjadi, mungkin serangan itu sebagian besar akan berhasil. Meskipun seandainya mereka sempat memukul isyarat, namun pasti sudah jatuh korban di rumah kediaman Untara yang dipergunakan oleh para perwira itu. Dan korban-korban itu akan menuntut jatuhnya korban-korban berikutnya, karena tentu orang-orang Pajang akan marah dan menganggap bahwa orang-orang Mataram lah yang telah melakukannya.
Dan karena itulah maka Ki Ranadana bersyukur di dalam hati. Ternyata orang tua bercambuk itu telah berhasil mencegah suatu benturan yang dahsyat yang dapat terjadi akibat dari peristiwa yang tidak terduga-duga itu seandainya benar-benar terjadi. Karena itu, diucapkan atau tidak diucapkan, maka Ki Ranadana dan setiap prajurit Pajang yang mengetahui persoalan itu selengkapnya akan mengucapkan terima kasih kepada Kiai Gringsing, yang pada malam itu juga terluka meskipun tidak berarti, karena luka itu pasti akan segera sembuh. Demikianlah perlahan-lahan malam itu pun akhirnya sampai juga pada ujungnya. Ketika langit menjadi merah, maka setiap prajurit yang tegang sepanjang malam menjadi agak lapang. Malam itu ternyata telah mereka lalui tanpa terjadi sesuatu peristiwa yang dapat mengguncangkan ketenteraman Kademangan Jati Anom.
Namun para prajurit itu sadar, bahwa bahaya itu dapat datang bukan saja malam yang lewat. Tetapi masih akan datang lagi malam-malam berikutnya. Bahkan mungkin di siang hari, justru di siang hari prajurit-prajurit Pajang tidak begitu bersiaga seperti di malam hari.

Dalam pada itu, di rumah Ki Widura, Ki Lurah Branjangan telah selesai berkemas. Mereka telah siap meninggalkan rumah Ki Widura kembali ke Mataram.
“Aku mengucapkan terima kasih bahwa Prajurit Pajang telah berhasil mencegah usaha yang keji itu,” berkata Ki Lurah Branjangan kepada Ki Widura.
“Jika tidak maka akibatnya akan sangat parah bagi hubungan antara Pajang dan Mataram.”
“Ki Lurah telah melihat sendiri apa yang terjadi di sini,” sahut Widura.
“Mudah-mudahan hal ini akan menjadi bahan pertimbangan bagi Raden Sutawijaya yang seakan-akan mengasingkan dirinya dari keluarga istana Pajang.”
Ki Lurah Branjangan mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba ia menganggukkan kepalanya,
“Ki Widura benar. Memang Raden Sutawijaya di tengah-tengah hutan belantara yang sedang dibuka. Tetapi aku kira bukan itu soalnya. Raden Sutawijaya dan ayahnya, Ki Gede Pemanahan, terlampau sibuk dengan kerja itu, sehingga masih belum sempat datang menghadap Ayahanda Sultan Pajang. Tetapi tentu bukan maksudnya untuk memisahkan dirinya dari keluarga Sultan Pajang, karena Raden Sutawijaya adalah putera angkatnya yang terkasih, hampir tidak ada bedanya dengan putera Sultan sendiri. Pangeran Benawa.”
Ki Widura tidak menyahut, meskipun kepalanya terangguk-angguk. Yang dikatakan oleh Ki Lurah Branjangan itu adalah sudut pandangan orang-orang Mataram. Namun adalah mustahil bahwa Raden Sutawijaya benar-benar tidak mempunyai waktu sama sekali.
Tetapi Ki Widura tidak mau berbantah dengan seorang perwira Mataram yang pernah menjadi kawannya di dalam lingkungan keprajuritan Pajang. Apalagi kini ia adalah tamunya. Karena itu maka ia pun tidak berusaha membantah meskipun apa yang dikatakan oleh Ki Lurah Branjangan itu tidak sesuai di hatinya. Ki Lurah Branjangan pun kemudian tidak lagi memperbincangkan Raden Sutawijaya. Sekali lagi ia minta diri untuk segera kembali ke Mataram.
“Selamat jalan, Ki Lurah. Mudah-mudahan tidak ada apa-apa di sepanjang jalan.”
Ki Lurah Branjangan tertawa. Jawabnya,
“Mudah-mudahan tidak ada orang Mataram yang menyamun aku di perjalanan.”
Ki Widura pun tertawa pula.
“Aku akan singgah sejenak, untuk minta diri kepada Ki Ranadana. Tetapi aku akan terus melakukan perjalanan tanpa kembali lagi kemari.”
“Silahkan, Ki Lurah,” sahut Widura.
“Ki Ranadana akan senang sekali menerimamu. Marilah, aku akan menyertaimu sampai ke rumah Untara itu.”
Demikianlah Ki Lurah Branjangan itu pun singgah sejenak di rumah Untara untuk minta diri kepada orang-orang yang ada di sana. Ki Ranadana, Kiai Gringsing dengan kedua muridnya, Ki Sumangkar, dan perwira-perwira Pajang yang lain.

Ki Lurah Branjangan segera mulai dengan perjalanannya menuju ke Mataram. Ke daerah yang baru dibuka dan masih merupakan suatu kerja yang sangat berat, sebelum Mataram menjadi kota yang cukup besar. Ternyata bahwa daerah yang sedang tumbuh itu harus menghadapi tantangan-tantangan yang cukup berat, yang seakan-akan tersebar di segala penjuru tanah Pajang. Hambatan-hambatan itu ada di Alas Mentaok yang sedang dibuka itu, di daerah perbatasan yang tidak nyata antara Pajang dan Mataram. Bahkan di Pajang dan di Mataram sendiri. Sepeninggal Ki Lurah Branjangan, maka Kiai Gringsing dan kedua muridnya bersama Ki Sumangkar pun segera minta diri kepada Ki Ranadana. Mereka akan tinggal saja di rumah Widura. Terasa di sana lebih nyaman dan tidak terikat oleh keseganan seperti tinggal bersama para perwira itu.
“Kau juga Agung Sedayu?” bertanya Ki Ranadana.
“Ya. Bukankah aku sedang menyelenggarakan perhelatan perkawinan kakakku.”
Ki Ranadana tersenyum. Katanya,
“Tetapi rumah ini adalah rumahmu. Jika kau ingin tinggal di sini kau berada di rumahmu sendiri.”
Agung Sedayu tertawa. Tetapi sebelum ia menjawab, Swandaru sudah mendahuluinya,
“Di sini tidak ada asap di dapur seperti di rumah Paman Widura sekarang. Jika asap itu sudah lenyap, kami pun akan segera berpindah tempat lagi.”
Semua yang mendengar kata-kata Swandaru itu tertawa. Ki Ranadana tertawa pula. Ia senang melihat anak muda yang gemuk itu. Selain berkelakar, ia pandai juga menggerakkan senjatanya yang aneh itu seperti senjata gurunya. Bahkan ia kagum melihat hasil yang telah dicapai oleh Kiai Gringsing. Ternyata ia telah membentuk kedua muridnya menjadi anak-anak muda yang mengagumkan. Kiai Gringsing beserta murid-muridnya dan Ki Sumangkar segera meninggalkan rumah itu. Sebelum mereka melangkah ke luar regol, Ki Ranadana berkata,
“Kami masih selalu memerlukan bantuan Kiai berdua dan kedua anak-anak muda itu.”
Kiai Gringsing tersenyum,
“Tentu. Kami akan berusaha sejauh dapat kami lakukan. Kami tidak akan tinggal jauh. Kami masih akan tinggal di rumah Ki Widura menunggu pengantin itu datang.”
“Terima kasih,” sahut Ki Ranadana,
“mungkin untuk waktu yang lama sekali setelah Ki Untara hadir di sini, kalian masih tetap kami minta tinggal di sini.”
Kiai Gringsing tidak menjawab. Ia hanya tertawa saja sambil mengangguk-angguk kecil.

Sejenak kemudian, maka mereka pun telah meninggalkan rumah itu. Di sepanjang jalan yang tidak begitu panjang, mereka tidak terlalu banyak berbicara. Mereka melihat prajurit-prajurit Pajang yang selalu siap menghadapi setiap kemungkinan. Siang dan malam. Namun mereka tampaknya berhasil membuat penduduk Jati Anom tidak gelisah, justru merasa tenang melihat kesiagaan para prajurit. Ternyata bahwa setelah peristiwa yang berhasil disederhanakan oleh para perwira dan prajurit Pajang itu sehingga tidak menegangkan hati orang-orang Jati Anom tidak ada lagi yang terjadi. Kedua orang yang mencoba mencegah kawan-kawannya menyerang rumah itu tetapi terlambat, masih sempat melaporkan kehancuran kawan-kawannya kepada pemimpin-pemimpin mereka yang lebih tinggi di Pajang.
“Gila,” berkata salah seorang dari pemimpin itu,
“kita telah terjebak. Siapakah yang dapat ditangkap?”
“Tidak ada yang dapat lepas. Sebagian terbunuh dan sebagian tertangkap hidup.”
Namun akhirnya mereka mendapat keterangan juga, bahwa kedua orang yang justru paling terpercaya dari pasukan itu telah terbunuh. Mereka pun mengetahui pula, bahwa di dalam pertempuran yang terjadi itu terdengar bunyi cambuk yang meledak-ledak.
“Orang bercambuk itu benar-benar berbahaya. Seakan-akan ia berada di segala tempat untuk merintangi tugas-tugas kita. Tetapi kita tidak akan berhenti. Kita akan menyingkirkan Sutawijaya dari Mataram, bagaimana pun juga caranya.”
Kawan-kawannya mengangguk-anggukan kepalanya. Mereka tetap sependapat bahwa Mataram harus dilebur. Barulah akan bangkit suatu kekuatan baru di Mataram, meskipun tidak dengan tiba-tiba. Perlahan-lahan Mataram akan bangun dengan wajah yang baru sama sekali.
Tetapi di antara mereka ternyata menghendaki lebih daripada itu. Bukan saja Mataram, tetapi Pajang pun harus hancur. Tanpa Pajang yang sekarang, tidak akan ada kekuatan yang dapat mengikat kesatuan tanah ini. Kesempatan untuk bangkit bagi Mataram akan menjadi semakin luas. Tetapi satu hal yang masih menjadi persoalan, bahwa di antara para pemimpin gerombolan itu, tidak ada seorang yang bernama Raden Sutawijaya atau Ki Gede Pemanahan, atau Ki Penjawi atau Ki Juru Martani, atau nama-nama lain yang mempunyai pengaruh yang cukup. Yang ada hanyalah nama-nama yang tidak dikenal oleh rakyat Pajang pada umumnya, meskipun ada di antara mereka yang memiliki kemampuan seperti Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak. Bahkan perwira Pajang yang terlibat dalam rencana ini pun bukanlah perwira yang namanya lebih besar dari Untara yang muda itu.

Meskipun demikian mereka berusaha terus. Namun mereka mulai curiga di antara mereka sendiri. Jika tidak ada seorang pengkhianat, maka pasukan mereka yang menyerang rumah kediaman para perwira di Jati Anom itu tidak akan terjebak. Untuk beberapa saat Jati Anom masih tetap tenang. Menjelang hari kelima dari hari perkawinan Untara, maka Jati Anom telah menjadi pulih kembali. Peristiwa yang pernah terjadi di kediaman para perwira itu sudah hampir dilupakan. Baik oleh rakyat Jati Anom mau pun oleh para prajurit Pajang, meskipun mereka tetap berada di dalam kesiap-siagaan. Di hari yang sudah ditentukan, genap sepasar hari perkawinan Untara, maka rumah Widura pun menjadi ramai. Hari itu, kedua pengantin akan datang ke Banyu Asri. Di malam harinya akan diadakan upacara sekali lagi mempertemukan pengantin itu dalam upacara ngunduh pengantin. Di hari yang penting itu, bertebaranlah prajurit Pajang memenuhi kademangan. Bahkan di sawah-sawah pun bertebaran prajurit sandi yang ikut bekerja bersama para petani. Mereka memakai pakaian petani dan membawa cangkul di pundak. Tetapi di lambung mereka tergantung sebuah pedang pendek di bawah kain yang mereka singsingkan. Dengan demikian maka Jati Anom pun menjadi sibuk. Di hari itu, tampaknya sawah yang menebar di seputar padukuhan induk Jati Anom menjadi lebih ramai dari biasanya. Tampaknya petani di Jati Anom menjadi bertambah banyak. Di gubug-gubug di tengah sawah. Di pematang, di tanggul parit, dan di tengah-tengah tanaman jagung yang hampir berbuah.
Namun tidak banyak orang yang menghiraukannya, ada juga satu dua orang lewat yang merasa melihat sesuatu yang agak lain di daerah persawahan itu. Begitu banyak orang yang turun ke sawah pada hari itu. Tetapi mereka tidak menghiraukannya lagi. Sedang bagi orang Jati Anom hal yang serupa itu sudah tidak mengejutkan lagi. Mereka sudah sering melihat prajurit-prajurit sandi yang berkeliaran dalam pakaian seorang petani. Namun agaknya memang tidak sebanyak menjelang datangnya Untara bersama isterinya.
Kesiagaan di hari kelima itu memang agak luar biasa. Mereka bukan semata-mata menjaga keselamatan Untara. Tetapi lebih dari pada itu, mereka menjaga agar peristiwa yang mungkin terjadi itu tidak membakar hati para perwira Pajang dan melemparkan kesalahan kepada orang-orang Mataram.

Menurut utusan yang mendahului, kedua pengantin itu akan datang menjelang sore hari. Mereka beristirahat sejenak, kemudian di malam harinya mereka langsung akan dipersandingkan. Untara sendiri berharap agar semuanya segera selesai, sehingga ia segera dapat melangsungkan tugasnya lagi. Meskipun barangkali ia masih harus beristirahat beberapa hari setelah upacara sepekan itu, namun apabila semuanya sudah selesai, maka ia akan dapat melakukan sebagian tugasnya selagi ia masih beristirahat.
“Pengantin itu berangkat di pagi-pagi benar,” berkata utusan itu,
“pengantin laki-laki naik kuda bersama para pengiring, sedang pengantin perempuan naik tandu. Perjalanan mereka tidak akan dapat terlalu cepat. Apalagi di sepanjang jalan, banyak orang yang melihat dan tentu mengganggu perjalanan mereka pula.”


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar