Jilid 067 Halaman 3


“Ketika aku pulang dari Jati Anom, aku tidak segera pergi melakukan tugas hari itu, karena aku menyangka bahwa kalian akan segera menyusul. Ternyata kalian kembali beberapa hari kemudian.”
Kiai Gringsing hanya tersenyum saja. Sedang Swandaru berkata,
“Sebenarnya kami juga akan segera pulang, Ayah. Tetapi ternyata dapur Paman Widura masih terus berasap.”
“Pantas,” desis seseorang dari dalam pintu. Swandaru berpaling. Meskipun ia tidak melihat seseorang tetapi ia tahu bahwa suara itu suara Sekar Mirah.
“He, kau iri ya?”
Sekar Mirah menjengukkan kepalanya, katanya,
“Kenapa aku iri? Apa yang aku irikan? Jika aku tidak mengingat sopan santun aku pulang sebelum pengantin didudukkan di depan sentong tengah.”
“Kenapa?”
“Tidak seorang pun menghiraukan kedatangan kami seperti yang aku duga. Hanya isteri-isteri perwira sajalah yang dipersilahkan duduk. Ayah pun tidak mendapat tempat yang baik meskipun Ayah datang jauh sebelum pengantin siap.”
“Ah,” sahut ayahnya,
“aku duduk bersama Ki Demang di Jati Anom. Dalam perhelatan, semua orang sibuk dan sudah barang tentu mereka tidak dapat menemui tamunya seorang demi seorang.”
“Ki Demang tidak jadi bermalam di Jati Anom,” bertanya Agung Sedayu memotong.
“Aku sibuk sekali dengan pekerjaan yang bertimbun-timbun. Bendungan yang belum selesai, perluasan tanah pertanian mendesak hutan sebelah Barat karena terasa daerah kami menjadi semakin padat, dan gangguan-gangguan keamanan yang mulai terasa meskipun tidak menggelisahkan.”

Swandaru mengerutkan keningnya. Jawaban ayahnya terasa aneh di telinganya. Apakah hal yang dikatakan oleh ayahnya itu tiba-tiba saja telah tumbuh menjadi sesuatu persoalan yang gawat di Sangkal Putung. Semua yang dikatakan oleh ayahnya itu memang pernah didengarnya. Tetapi kini ayahnya menyebut bahwa persoalan itu merupakan persoalan yang membuatnya terlampau sibuk.
“Agaknya Sekar Mirah-lah yang memaksa ayah tidak bermalam di Jati Anom. Mungkin Paman Widura tidak sempat mempersilahkan mereka karena kesibukannya menerima tamu-tamu yang lain,” berkata Swandaru di dalam hatinya.
“Tetapi bukankah hal itu wajar di dalam suatu perhelatan?”
Tetapi Swandaru tidak mengatakannya. Bahkan kemudian ia berkata kepada diri sendiri,
“Untunglah bahwa ayah pun menyadari hal itu. Tetapi yang penting bagi Sekar Mirah, Kakang Agung Sedayu yang sibuk pula mengatur jamuan di belakang, tidak sempat menemui Sekar Mirah dan mempertemukannya dengan mempelai perempuan.”
Namun Swandaru itu pun tersenyum di dalam hati. Ia sadar, bahwa dalam tingkat hubungan antara Agung Sedayu dan Sekar Mirah dapat menimbulkan persoalan-persoalan yang aneh-aneh, seperti ceritera anak-anak muda yang kemudian sudah berkeluarga, di dalam pertemuan-pertemuan dan di dalam pembicaraan sambil bergurau di gardu-gardu perondan.
“Mungkin aku akan menghadapi persoalan yang serupa. Jika Pandan Wangi merajuk karena aku terlampau lama tidak datang ke Menoreh, aku akan menjadi pening,” gumam Swandaru di dalam hati.
Dan tiba-tiba saja ia menjadi gelisah. Sudah terlampau lama tidak mendengar berita tentang Menoreh. Dan sudah terlalu lama hubungannya dengan Menoreh seakan-akan terputus.
“Hantu-hantu di Mentaok itulah yang gila, sehingga aku tertahan di sana untuk waktu yang cukup lama. Mungkin Pandan Wangi menganggap aku tidak datang lagi kepadanya, atau ayahnya mengambil keputusan lain. Mungkin ada anak muda Menoreh sendiri yang berhasil mengambil alih persoalanku dengan Pandan Wangi,” Swandaru menjadi berdebar-debar memikirkan masalahnya itu. Namun ia tidak segera dapat mengatakannya pada saat itu.
“Tetapi semuanya sudah selesai. Tidak ada lagi persoalan yang akan menghambat. Mudah-mudahan Ki Gede Menoreh tidak menganggap bahwa aku sudah mati di perjalanan.”
Persoalan itu pun merupakan persoalan yang selalu mendebarkan hati Swandaru. Seolah-olah ia tidak sabar lagi menunggu hari-hari berikutnya untuk pergi ke Menoreh. Bahkan ia berkata di dalam hatinya,
“Jika ayah merasa terlampau sibuk dan tidak dapat bermalam di Jati Anom untuk semalam saja, apakah ayah juga akan berkeberatan untuk segera pergi ke Menoreh.”

Tetapi Swandaru tidak dapat mengatakan hal itu langsung kepada ayahnya. Karena itu, ketika mereka kemudian beristirahat di gandok, Swandaru mengatakan hal itu kepada gurunya. Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Baiklah, aku akan mengatakannya kepada ayahmu. Mudah-mudahan ayahmu dapat meninggalkan kesibukannya barang dua pekan untuk pergi ke Menoreh menghadap Ki Gede Menoreh itu. Kau benar, jika hubungan ini terlalu lama terputus, mungkin Ki Argapati mengambil sikap lain.”
“Terima kasih, Guru. Aku segan mengatakannya kepada ayah langsung. Lagipula, ayah tentu akan lebih memperhatikan kata-kata Guru daripada permintaanku sendiri.”
Kiai Gringsing hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Tetapi ia tidak dapat ingkar, bahwa hal itu merupakan kewajibannya pula, karena muridnya bagi Kiai Grmgsing tidak ada bedanya dengan anaknya sendiri. Sedang kedua muridnya itu kini sedang menghadapi masalah yang serupa.
“Tetapi persoalan Agung Sedayu sudah lebih jelas dari persoalan Swandaru. Meskipun secara resmi Anakmas Untara dan Widura belum datang menemui Ki Demang dan membicarakan masalah anaknya, namun agaknya orang tua Sekar Mirah sudah menerima persoalan itu seluruhnya. Persoalan yang menyusul adalah sekedar hubungan resmi,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya.
Karena itu, maka Kiai Gringsing pun berusaha untuk mendapatkan waktu yang sebaik-baiknya. Di sore hari, ketika mereka sudah menyelesaikan semua pekerjaan, dan sesudah membersihkan diri, mereka pun duduk di pendapa bersama Ki Demang dan Ki Sumangkar, di bawah nyala lampu minyak yang berkeredipan disentuh angin. Sejenak mereka berbicara tentang Kademangan Sangkal Putung, tentang musim dan tentang tanaman yang subur di sawah dan pategalan. Barulah pembicaraan mereka mulai merayap kepada anak-anak muda di Sangkal Putung, dan kemudian mereka pun berbicara tentang Swandaru.
Kiai Gringsing tidak mau kehilangan kesempatan itu. Karena itu, maka ia pun segera mengulangi pembicaraan yang pernah disampaikan meskipun hanya sepintas, bahwa Swandaru telah membuat hubungan dengan seorang gadis di Menoreh, putera Ki Argapati, kepala Tanah Perdikan Menoreh. Ki Demang pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Persoalan itu sedikit banyak sudah pernah didengarnya. Namun ia masih memerlukan banyak sekali penjelasan.
“Apakah Ki Argapati benar-benar tidak berkeberatan, Kiai?” bertanya Ki Demang.
“Hal itu harus aku yakini sebelum aku berangkat, agar aku tidak sia-sia pergi menempuh jarak yang jauh, meninggalkan kademangan yang sedang berusaha mengembangkan diri di segala bidang ini?”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Alasan Ki Demang sebenarnya tentu bukan kesibukannya di segala bidang karena perkembangan Sangkal Putung, tetapi jika Ki Argapati menolak lamaran yang disampaikannya, maka hatinya pasti akan menjadi sangat sakit. Apalagi ia datang dari jauh. Kiai Gringsing itu pun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata,
“Pertanyaan itu wajar tumbuh pada Ki Demang. Apabila kedatangan kita tidak membawa hasil, maka alangkah sakitnya hati ini. Namun jika kita tilik dari kewajaran hidup, kita memang mempunyai dua kemungkinan untuk setiap permintaan. Diterima atau ditolak. Sudah barang tentu Ki Demang baru dapat mengambil kepastian setelah menyatakan permintaan itu dan mendapat jawaban. Bahkan kadang-kadang datang lamaran bagi seorang gadis oleh dua tiga orang sekaligus. Dan sudah barang tentu tidak semua akan dapat diterima.”
Ki Demang pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian,
“Ya, Kiai. Demikianlah memang seharusnya. Maksudku, apakah sebelum aku datang melamar kepada Ki Gede Menoreh, sudah ada tanda bahwa lamaranku akan diterima?”
“Pada saat itu Ki Demang, ketika aku meninggalkan Menoreh, agaknya tanda-tanda itu memang sudah ada. Sedang anak-anak yang bersangkutan pun tampaknya sudah sejalan. Tetapi aku tidak tahu perkembangan yang terjadi kemudian. Namun menilik bahwa Ki Argapati adalah orang yang cukup dewasa, aku kira ia tidak akan dengan mudah menarik kembali sikapnya. Tentu juga mengenai puterinya itu. Kecuali jika ada keadaan yang sangat memaksa. Pandan Wangi adalah seorang gadis yang memang sedang mekar.”
Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Karena itu, Ki Demang, sebaiknya hal ini memang harus segera dilakukan. Apakah lamaran ini diterima atau tidak, kita tidak mempersoalkannya sekarang. Kedua-duanya memang mungkin dan kedua-duanya pun wajar. Meskipun demikian menurut penilaianku, lamaran Ki Demang hampir dapat dipastikan akan diterima oleh Ki Argapati sesuai dengan hubungan yang pernah ada, jika tidak ada persoalan yang mendesak seperti yang aku katakan tadi.”
Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Memang hal itu adalah kewajiban yang harus dilakukan. Karena itu, maka ia pun menganggukkan kepalanya sambil menyahut,
“Baiklah Kiai. Aku akan segera pergi ke Menoreh. Tetapi karena Kiai-lah yang dahulu pernah datang kepada Ki Argapati, maka sudah barang tentu aku minta Kiai ikut bersamaku. Apalagi Kiai adalah guru Swandaru yang tentu juga sekaligus akan ikut berkepentingan dengan persoalan anak itu.”
“Tentu aku tidak berkeberatan, Ki Demang. Aku akan pergi ke Menoreh.”
“Bagaimana dengan Ki Sumangkar?” bertanya Ki Demang.
Ki Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia pun menyahut,
“Terserahlah kepada Ki Demang. Apakah aku perlu menyertainya atau tidak. Aku tidak mempunyai pilihan sendiri untuk itu.”
Ki Demang merenung sejenak, lalu,
“Mengingat perjalanan yang jauh, alangkah baiknya jika Ki Sumangkar pergi bersama kami. Banyak kemungkinan dapat terjadi di perjalanan. Apalagi suasana yang kini hampir tidak menentu. Di perbatasan yang kabur antara Pajang dan Mataram, akan dapat ditemui banyak persoalan-persoalan di luar dugaan. Seperti yang aku dengar, hantu-hantu Alas Mentaok yang ternyata terjadi dari orang-orang yang mempunyai kepentingan tertentu. Orang-orang yang menyerang rumah Anakmas Untara yang dihuni oleh para perwira dan barangkali banyak lagi hal yang serupa meskipun bentuknya berbeda.”
“Jika demikian kita akan berjalan dalam sebuah rombongan kecil,” sahut Ki Sumangkar.
“Sudah barang tentu Anakmas Agung Sedayu akan ikut serta bersama kita. Dan bagaimana dengan Sekar Mirah?”
Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
“Sebaiknya Sekar Mirah menunggu ibunya di rumah. Sudah barang tentu bahwa ibunya tidak akan dapat ikut menempuh perjalanan begitu panjang dan terbahaya.”
Ki Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Aku sependapat dengan Ki Demang. Tetapi menilik sifatnya, bagaimana jika ia memaksa juga.”
“Kita akan mencoba meyakinkan, bahwa ibunya memerlukan seorang pelindung. Sudah tentu bukan orang lain yang paling dapat dipercaya. Dan sudah barang tentu aku dan Swandaru kali ini harus pergi meninggalkannya.”

Ki Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun demikian ia masih meragukan, apakah Sekar Miiah yang keras hati itu dapat dibujuknya untuk tinggal.
“Kita besok akan bersiap-siap,” berkata Ki Demang.
“Aku menyadari bahwa hal ini harus segera dilaksanakan agar persoalannya tidak berkembang ke arah yang tidak kita kehendaki. Kita tidak tahu apakah yang sudah terjadi di Menoreh akhir-akhir ini dan kita juga tidak tahu apa yang terjadi di daerah yang sedang tumbuh itu. Mudah-mudahan kita masih dapat lewat tanpa dihalang-halangi oleh keadaan dan suasana yang bagaimana pun juga.”
“Baiklah, Ki Demang,” berkata Kiai Gringsing.
“Kita pun akan segera mendapat penyelesaian. Jika pembicaraan telah bulat, maka pelaksanaanya pun sebaiknya di lakukan dengan cepat.”
Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian,
“Aku akan berbicara dengan Nyai Demang dan Sekar Mirah. Silahkan Kiai memberitahukan kedua anak-anak muda itu agar mereka pun mempersiapkan diri menempuh perjalanan yang panjang ini, Kiai. Meskipun keduanya pernah pergi ke Menoreh, namun mereka pun harus membuat ancang-ancang untuk perjalanan ini.”
Maka malam itu juga Ki Demang di Sangkal Pulung telah berbicara dengan isterinya tentang rencana kepergiannya ke Menoreh.
“Kapan Ki Demang akan pergi?” bertanya isterinya.
“Besok aku akan menyerahkan pengamatan dan pimpinan kademangan ini kepada bebahu Kademangan Sangkal Putung. Mereka akan menjalankan tugasku sehari-hari, tetapi mereka tidak akan mengambil tindakan yang sangat penting yang menyangkut perubahan apa pun di Sangkal Putung. Besok lusa aku akan menyiapkan bekal dan minta diri kepada orang-orang tua bersama Swandaru. Jadi hari berikutnyalah aku akan berangkat.”
“Begitu tergesa-gesa?” isterinya menjadi heran.
“Tentu tidak mungkin. Jika kau mengikat seorang gadis, tentu harus membawa barang-barang yang umumnya dipergunakan sebagai pengikat. Pakaian sepengadeg, dan beberapa jenis barang lainnya.”
“Aku belum akan membelikan peningset. Bukankah kita belum pernah melamarnya dengan resmi? Jika semua persoalan telah selesai, barulah aku akan pergi lagi membawa peningset itu.”
Nyai Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu ia pun bertanya,
“Siapa saja yang akan pergi bersama Ki Demang?”
“Kiai Gringsing yang pernah merintis pembicaraan dengan Ki Gede Menoreh, kemudian sudah tentu Swandaru sendiri, Angger Agung Sedayu dan Ki Sumangkar.”
“Bagaimana dengan Sekar Mirah?”
“Biarlah ia tinggal di rumah mengawanimu. Ia bukan saja anak kita, tetapi ia adalah pelindung yang dapat dipercaya. Sekar Mirah sekarang memiliki kemampuan yang jauh lebih besar dari kemampuan Ki Jagabaya jika di rumah ini datang sesuatu yang membahayakan.”
“Bagaimana jika ia ingin ikut, karena Ki Demang pergi bersama dengan Anakmas Agung Sedayu dan gurunya Ki Sumangkar?”
“Aku akan berbicara. Panggillah anak itu sebentar jika ia belum tidur.”

Sejenak kemudian maka Sekar Mirah pun telah duduk bersama ayah dan ibunya. Tampaklah bahwa ia menjadi gelisah. Bahkan Sekar Mirah menyangka bahwa ayahnya akan berbicara tentang dirinya sendiri. Tetapi ketika ayahnya sudah mengatakan maksudnya, tiba-tiba saja ia tidak lagi menjadi gelisah, tetapi sepercik kekecewaan telah melonjak di hatinya. Sebenarnya ada keinginan di dalam hatinya, bahwa persoalannya pun sebaiknya segera diselesaikan. Tetapi sudah barang tentu, sebagai seorang gadis ia tidak dapat mengatakannya.
“Kau tinggal di rumah Mirah,” berkata ayahnya.
“Aku ikut,” Sekar Mirah bersungut-sungut.
“Kau tinggal di rumah.”
“Semua orang pergi, dan aku tinggal di rumah.”
“Justru karena semua orang pergi. Kau mengawani ibumu. Jika kau juga pergi, maka ibumu akan tinggal di rumah tanpa seorang kawan pun.”
“Kenapa Ibu tidak pergi sama sekali? Bukankah akan lebih baik jika Ayah datang berdua bersama Ibu?”
“Tentu. Tetapi perjalanan ke Menoreh bukan perjalanan yang pendek. Bukankah kau pernah pergi ke sana? Kau dapat membayangkan, bagaimanakah sulitnya jika ibumu juga pergi bersama kami.”
Sekar Mirah merenung sejenak. Tetapi tampak membayang kekecewaan di wajahnya.
“Aku tidak akan pergi terlalu lama, Mirah. Kau tahu bahwa kini aku sedang sibuk dengan Sangkal Putung yang sedang berkembang ini.”
“Kenapa aku tidak boleh ikut, Ayah?”
“Sudah aku katakan. Ibumu tidak ada pelindungnya. Kau adalah pelindung yang paling baik baginya.”
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam.
“Ya, Mirah,” berkata ibunya,
“tanpa kau aku menjadi sendiri. Bagaimana pun juga tenteramnya kademangan ini, tetapi aku pasti masih juga selalu cemas jika aku sekedar menyandarkan keselamatan isi rumah ini kepada peronda.”
Sekar Mirah tidak menyahut. Kepalanya sajalah yang kadang-kadang menengadah, kadang-kadang tunduk. Sebenarnya ia ingin sekali turut menempuh perjalanan. Selain ia dapat pergi bersama gurunya dan Agung Sedayu, ia pun dapat melihat keadaan yang berbeda dari yang dilihatnya sehari-hari.
Tetapi ketika terpandang wajah ibunya yang suram, maka ia pun berkata,
“Baiklah, Ayah. Aku akan mengawani Ibu di rumah.”
“Terima kasih, Sekar Mirah. Aku akan pergi dengan tenang jika kau bersedia menjaga ibumu.”

Ki Demang sudah mendapat keputusan untuk berangkat besok tiga hari lagi. Ketika Sekar Mirah bertemu dengan gurunya, maka gurunya pun memberinya nasehat seperti yang dikatakan oleh ayahnya.
“Jagalah ibumu baik-baik. Meskipun kau seorang gadis, tetapi kau adalah gadis yang lain dari gadis-gadis kawanmu bermain. Kau tidak saja dapat bermain nini towong di terang bulan, tetapi kau dapat melindungi ibumu dari bahaya yang sebenarnya.”
Kesempatan yang singkat sebelum mereka berangkat, dipergunakan oleh Ki Demang untuk menyerahkan pimpinan kademangan kepada para bebahunya, kemudian minta diri kepada orang-orang tua agar lamarannya dapat diterima oleh Ki Gede Menoreh.
“Hati-hatilah,” pesan seorang yang rambutnya telah menjadi putih seluruhnya,
“perjalanan ini sangat jauh dan berbahaya karena kalian harus melewati Alas Tambak Baya, Alas Mentaok, menyeberang sungai yang besar dan deras, dan perjalanan di daerah yang asing bagi kalian.”
Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun ia pergi bersama beberapa orang yang dapat dipercaya, namun setiap pesan diperhatikannya juga. Meskipun kadang-kadang orang-orang tua yang memberinya pesan mawanti-wanti itu sama sekali belum pernah melihat Alas Tambak Baya dan Alas Mentaok, namun tanggapan naluriah mereka kadang-kadang berguna baginya.
Dan atas pesan orang tua yang rambutnya sudah memutih itu Ki Demang menyahut,
“Terima kasih, Paman. Perjalanan ini memang perjalanan yang jauh.”
“Dengan siapa kau akan pergi?”
“Dengan Swandaru dan beberapa orang lagi.”
“Kau tidak membawa Ki Jagabaya?”
“Tidak, Paman.”
“O, bawalah dia. Orang itu akan dapat memberikan perlindungan kepadamu dan kepada anakmu.”
Ki Demang mengerutkan keningnya. Tetapi orang itu memang tidak tahu bahwa Swandaru sendiri mempunyai kemampuan melampaui Ki Jagabaya, karena orang tua itu sudah jarang-jarang keluar rumahnya. Tetapi Ki Demang menjawab,
“Tenaga Ki Jagabaya diperlukan di kademangan ini, Paman. Ia harus melindungi tidak hanya satu dua orang, tetapi beratus-ratus, bersama-sama anak-anak muda Sangkal Putung.”
“Tidak ada apa-apa di sini. Kademangan ini cukup aman. Tetapi Alas Tambak Baya dan Alas Mentaok itu sangat wingit. Bukan saja hantu-hantu penunggu pepohonan yang besar-besar dan batu-batu yang angker, tetapi juga penyamun-penyamun dan perampok-perampok yang masih banyak berkeliaran.”
Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Jawabnya,
“Aku akan sangat hati-hati. Meskipun aku tidak pergi bersama Ki Jagabaya, namun aku pergi bersama beberapa orang kawan yang dapat dipercaya.”
“Tetapi mereka tidak akan memberi ketenangan seperti Ki Jagabaya.”
“Mudah-mudahan mereka dapat melindungi aku seperti Ki Jagabaya.”
Orang tua itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berkata,
“Jika kau yakin mereka dapat melindungi kau seperti Ki Jagabaya, terserahlah. Aku hanya dapat berdoa, mudah-mudahan kau selamat, dan Cucu Swandaru dapat menemukan jodohnya.” Ia berhenti sejenak, lalu,
“Tetapi kenapa ia mengambil perempuan yang begitu jauh?”
“Hati mereka telah bertaut.”
“Di mana mereka bertemu?”
“Di Menoreh.”
“Apakah Swandaru pernah pergi ke Menoreh?”
“Pernah. Belum lama ia kembali.”
“O,” orang tua itu mengangguk-angguk. Lalu,
“Anak-anak sekarang. Masih ingusan sudah sampai ke ujung bumi. Syukurlah ia kembali dengan selamat. Dan mudah-mudahan perjalananmu pun selamat pula.”
“Terima kasih, Paman. Kami yang akan berangkat mohon pengestu.”

Orang-orang tua yang lain pun berpesan serupa. Bahkan para bebahu Kademangan Sangkal Putung yang mengetahui siapa Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, Agung Sedayu, dan Swandaru sendiri pun berpesan agar mereka berhati-hati.
“Menurut pendengaran kami,” Ki Jagabaya berkata,
“perampokan dan penyamun di sepanjang jalan menjadi semakin meningkat. Mungkin hal ini disebabkan kegagalan mereka di Mataram dan juga di Jati Anom serta di tempat-tempat lain, mendorong mereka untuk mengambil jalan lain. Semua jalan yang menuju ke Mataram tidak tenteram sama sekali. Ada dugaan bahwa orang-orang yang tidak senang melihat Mataram berdiri itu berusaha untuk membendung arus manusia yang tidak henti-hentinya memasuki daerah baru itu.”
“Memang masuk akal,” berkata Kiai Gringsing yang hadir juga di antara mereka,
“orang-orang yang kecewa itu dapat berbuat apa saja. Tetapi mungkin mereka tidak sekedar melepaskan kekecewaannya. Tetapi semuanya itu dilakukan atas suatu dasar pertimbangan dan perhitungan yang masak.”
Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun Kiai Gringsing melanjutkan,
“Tetapi kita akan berhati-hati. Kita akan mencari jalan yang paling aman, yang jauh dari kemungkinan perampokan dan penyamun.”
Ki Demang masih mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dalam pada itu Ki Jagabaya berkata,
“Tetapi kita percaya kepada Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar. Apalagi mereka sudah pernah pergi ke Menoreh. Bahkan Sekar Mirah pun pernah. Bedanya, sekarang perampok-perampok itu bagaikan semut yang diusir dari sarangnya. Bertebaran ke mana pun di seluruh hutan.”
“Pasti ada jalan yang tidak mereka awasi. Justru jalan-jalan sempit dan yang jarang dilalui orang. Meskipun kemungkinan untuk bertemu dengan mereka masih ada juga.”
Para bebahu Sangkal Putung itu pun mengangguk-anggukkan kepala. Tetapi mereka percaya bahwa Ki Demang akan dapat sampai ke tempat tujuan dan kembali ke Sangkal Putung, meskipun ada juga perasaan was-was di dalam hati. Jika terjadi sesuatu atasnya, maka orang yang berhak mewarisi ikut serta bersamanya. Yang tinggal adalah Sekar Mirah. Sedang anak muda yang agaknya dipilihnya menjadi sisihannya, pergi juga bersama Ki Demang itu.
Namun demikian, rencana Ki Demang tetap dilaksanakan. Setelah hari yang ditentukan tiba, maka semuanya pun telah siap. Mereka kini tidak sekedar berjalan kaki, tetapi mereka akan pergi berkuda, supaya perjalanan mereka tidak terlampau lama.
“Cepatlah pulang, Ayah,” pesan Sekar Mirah dengan suara yang tersangkut di kerongkongan.
Ki Demang memandang wajah Sekar Mirah yang muram. Seakan-akan ia melihat wajah gadis itu semasa kanak-kanak apabila ia ingin ikut pergi bersamanya keliling kademangan.
“Kau tinggal bersama ibu.”
“Tidak, aku ikut Ayah.”
“Kau lelah.”
“Tidak.”
Dan jika ia tidak mengijinkannya, maka gadis kecil itu akan menangis.

Tetapi sekarang Sekar Mirah berusaha menahan air mata yang sebenarnya hampir pecah dari pelupuknya. Namun, Sekar Mirah itu menyadari bahwa ia bukan anak-anak lagi, dan bahkan ia kini adalah pelindung ibunya di dalam segala hal. Ia harus melayani ibunya sebagai seorang gadis, tetapi jika perlu ia harus melindungi ibunya sebagai seorang yang memiliki ilmu kanuragan. Bukan saja Ki Demang yang memandang Sekar Mirah dengan iba, tetapi juga Kiai Gringsing, Sumangkar, Swandaru, dan Agung Sedayu. Mereka mengerti betapa perasaan gadis itu. Sekaligus beberapa orang yang tersangkut di hatinya telah pergi. Ayahnya, kakaknya, gurunya, dan seorang anak muda yang telah merampas hatinya. Karena itu, maka wajah-wajah itu pun menjadi muram dan berkesan dalam. Namun akhirnya mereka pun berangkat juga meninggalkan Kademangan Sangkal Putung. Di regol halaman berdiri Nyai Demang bersama Sekar Mirah dan beberapa bebahu kademangan beserta beberapa orang tua tetangga terdekat.
“Mudah-mudahan kalian selamat di perjalanan,” seorang perempuan tua berdoa sambil mengangguk-anggukkan kepalanya,
“dan kalian akan pulang membawa seorang menantu yang cantik bagi Nyai Demang.”
Mereka mulai dengan sebuah perjalanan yang jauh. Perjalanan yang mereka sadari sebagai perjalanan yang cukup berat. Tetapi Ki Demang tidak merasa cemas sama sekali, karena lima orang yang menempuh perjalanan itu, empat di antaranya sudah pernah melakukannya. Beberapa saat lamanya mereka masih menyusuri jalan di Kademangan Sangkal Putung. Beberapa orang yang sudah mendengar bahwa Ki Demang akan pergi ke Menoreh yang mereka jumpai, mengucapkan juga beberapa ucapan selamat jalan, sedang satu dua orang yang masih belum jelas bertanya,
“Apakah Ki Demang akan menempuh perjalanan jauh?”
“Ya,” jawab Ki Demang.
“Jadi benar kata orang bahwa Ki Demang akan pergi ke Menoreh?”
“Ya.”
“Sebuah perjalanan yang jauh dan berbahaya. Ki Demang akan melintasi hutan yang penuh dengan binatang buas.”
Demang mengerutkan keningnya. Yang dikatakan orang ini agak berbeda dengan yang pernah diucapkan oleh orang lain. Yang terdahulu selalu memperingatkan, agar kelompok kecil yang bersamanya pergi ke Menoreh itu berhati-hati menghadapi penyamun, perampok, atau sekelompok orang-orang yang sekedar ingin mengacau dan membendung orang-orang yang mengalir ke Mataram dan sebangsanya. Tetapi yang seorang ini memperingatkan agar mereka berhati-hati terhadap binatang buas. Namun sambil tersenyum Ki Demang berkata,
“Tentu. Kami akan berhati-hati menghadapi apa dan siapa pun.”
“Alas Mentaok adalah sarang binatang buas,” katanya.
“Ada lebih dari lima jenis harimau yang hidup di hutan itu. Dan yang tidak kalah ganasnya adalah anjing hutan. Meskipun seekor demi seekor anjing hutan itu tidak begitu berbahaya, tetapi jika mereka datang dalam kelompok yang terdiri dari puluhan dan bahkan ratusan ekor, maka sebenarnyalah kalian bertemu dengan bahaya maut.”
“Kami dapat memanjat,” jawab Ki Demang.
“Kuda-kuda kalianlah yang akan tinggal menjadi kerangka tidak lebih dari seratus hitungan.”
Ki Demang mengerutkan keningnya. Namun Kiai Gringsing-lah yang menyahut,
“Mudah-mudahan kami tidak bertemu dengan segerombolan anjing hutan yang berbahaya itu.”
“Mudah-mudahan. Anjing hutan itu sama sekali tidak dapat didekati. Sekelompok banteng pun akan menepi jika mereka menyadari bahwa mereka berada di dalam lingkungan anjing-anjing hutan, meskipun anjing-anjing hutan itu tidak menyerang mereka.”
“Terima kasih,” Ki Sumangkar-lah yang kemudian menyahut.

Ketika mereka melanjutkan perjalanan, maka tampak wajah Ki Demang agak berkerut, sehingga sambil tersenyum Kiai Gringsing berkata,
“Peringatan yang baik. Tetapi kita tidak perlu cemas. Anjing-anjing hutan yang liar itu hidup beberapa tahun yang lampau, sebelum Mentaok dihuni oleh hantu-hantu yang menakut-nakuti orang-orang Mataram yang membuka hutan itu. Hantu-hantu itu agaknya mempunyai cara yang baik untuk membunuh anjing-anjing liar itu, sehingga jumlahnya cepat sekali susut.”
“Bagaimana cara mereka membunuh anjing-anjing liar itu?” bertanya Ki Demang.
“Dengan racun. Mereka adalah orang-orang yang ahli dalam hal bermain-main dengan racun. Seekor lembu dilumuri racun hampir diseluruh tubuhnya. Kemudian lembu itu di lepaskan di antara anjing-anjing liar. Nah, sekaligus mereka dapat membunuh berpuluh-puluh anjing liar itu.”
Ki Demang Sangkal Putung itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan wajahnya yang mulai berkerut itu pun menjadi cerah kembali. Dalam pada itu kuda mereka berjalan terus. Semakin lama semakin jauh meninggalkan Kademangan Sangkal Putung.
Di perjalanan itu Ki Demang justru merasa dirinya sebagai anak-anak yang berjalan di antara pemomongnya. Meskipun di antara mereka terdapat anaknya yang masih muda dan Agung Sedayu, namun ia merasa bahwa mereka itu adalah pelindung-pelindungnya yang baik. Ia merasa bahwa ia adalah orang yang paling lemah di antara sekelompok kecil orang-orang yang akan pergi ke Menoreh itu. Mereka berjalan terus. Dengan mengendarai kuda, mereka maju lebih cepat daripada berjalan kaki. Tetapi apabila mereka sampai ke daerah-daerah yang berhutan lebat, maka mereka akan maju lebih lambat daripada jika mereka tidak membawa kuda. Di dalam hutan yang lebat, kuda bukannya tunggangan. Bahkan kadang-kadang kuda merudang menikmati bekal mereka.
Namun selagi mereka masih berada di luar hutan, maka perjalanan mereka sama sekali tidak terhambat. Kuda mereka berlari kencang, seakan-akan berpacu dengan matahari yang semakin lama menjadi semakin tinggi. Ketika matahari mencapai puncak langit, maka mereka pun beristirahat sejenak. Mereka memberi kesempatan kepada kuda mereka untuk makan rumput yang hijau, sedang penunggang-penunggangnya pun duduk di bawah pohon yang rindang menikmati bekal mereka.
Selagi mereka duduk sambil menyuapi mulut mereka, mereka melihat seseorang datang mendekat. Dengan ragu-ragu orang itu bertanya,
“Apakah Ki Sanak sedang dalam perjalanan?”
Ki Demang yang duduk di paling tepi menjawab,
“Ya, kami sedang dalam perjalanan.”
“Apakah Ki Sanak akan menyeberang hutan Tambak Baya dan Mentaok?”
Ki Demang menjadi ragu-ragu sejenak, lalu dipandanginya Kiai Gringsing yang duduk di sampingnya
“Kami akan pergi ke Menoreh Ki Sanak,” jawab Kiai Gringsing.
“O, apakah kalian tidak akan pergi ke Mataram yang sekarang sedang tumbuh?”
Kiai Gringsing menggeleng.
“Sayang,” desisnya.
“Kenapa?”
“Aku ingin pergi ke Mataram.”
“Kenapa kau tidak pergi?”
“Aku menunggu beberapa orang yang akan bersama-sama menyeberangi Alas Tambak Baya ini.”
“Kenapa harus menunggu?”
Orang itu mengerutkan keningnya. Katanya,
“Jalan terlampau berbahaya. Jika kita ingin menyeberangi hutan, biasanya beberapa orang pergi bersama.”
“Siapakah yang mengatakan kepada Ki Sanak?”
“Orang-orang yang tinggal di sebelah hutan itu. Jika Ki Sanak singgah pada sebuah warung, maka orang-orang itu akan memberitahukan kepada Ki Sanak.”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya,
“Jika Ki Sanak ingin pergi bersama dengan kami sampai ke seberang Alas Tambak Baya, kami tidak berkeberatan sama sekali. Tetapi selanjutnya Ki Sanak pergi sendiri ke Mataram.”
“Aku tidak berani.”
“Jika demikian, kami akan mengantar Ki Sanak sampai ke Mataram. Kami akan singgah di Mataram sejenak.”
Tiba-tiba saja orang itu menjadi ragu-ragu. Lalu katanya,
“Apakah Ki Sanak siap menghadapi kemungkinan yang dapat terjadi di perjalanan?”
“Apakah yang mungkin terjadi?”
“Perampokan.”
“Kami tidak membawa apa-apa. Mungkin bekal makan kami inilah yang akan dirampoknya. Nasi jagung dan gembrot sembukan. Selebihnya tidak ada.”
Orang itu mengerutkan keningnya. Katanya,
“Kuda kalian adalah kuda-kuda yang tegar.”
“Kuda padesan. Sekedar dapat menyambung perjalanan.”
Orang itu masih ragu-ragu. Namun kemudian ia menggeleng,
“Tidak usah, Ki Sanak. Aku tidak akan mengganggu Ki Sanak. Silahkan berjalan terus ke Menoreh.”
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Tetapi katanya kemudian,
“Sebenarnya arah perjalanan kami masih belum pasti. Kami mungkin akan langsung pergi ke Menoreh, tetapi ada juga niat kami pergi ke Mataram.” Ia berhenti sejenak, lalu,
“Tetapi di mana bekal dan barang-barang Ki Sanak disimpan?”
“Ada diwarung itu. Di pinggir Alas Tambak Baya.”
“Kenapa Ki Sanak ada di sini? Kenapa Ki Sanak tidak menunggu saja di pinggir hutan itu?”
Orang itu termangu-mangu sejenak, namun kemudian jawabnya,
“Aku sedang berjalan-jalan di sini ketika aku melihat kalian berhenti dan beristirahat di sini.”
“O,” Kiai Gringsing mengangguk-angguk,
“jika Ki Sanak berubah pendirian dan ingin pergi bersama kami, beritahukan hal itu kepada kami.”
“Apakah kalian akan berjalan terus?”
“Ya. Kami akan bermalam di seberang Alas Tambak Baya jika kami dapat mencapainya.”
“Tetapi kemana sebenarnya kalian akan pergi?”
“Kami belum tahu. Mungkin kami dapat berganti haluan dengan tiba-tiba.”
“Tetapi kalian tentu mempunyai rencana.”
“Rencana kami masih belum pasti. Tetapi jika kau akan pergi bersamaku, kami akan memastikan rencana kami. Kami pergi ke Mataram, karena kami mempunyai saudara yang tinggal di sana.”

Orang itu menjadi termangu-mangu. Namun katanya kemudian,
“Terima kasih. Pergilah ke Menoreh. Aku akan menunggu orang lain.”
Kiai Gringsing tidak segera menyahut. Dipandanginya orang itu tajam-tajam, sehingga ketika tatapan mata mereka beradu, orang itu memalingkan wajahnya.
“Kenapa kau tiba-tiba mengurungkan niatmu pergi bersama kami?” bertanya Kiai Gringsing.
“Aku tidak mau mengganggu kalian, selamat jalan.”
Orang itu tidak menunggu Kiai Gringsing menjawab. Tetapi ia pun segera meninggalkannya. Namun ia sama sekali tidak pergi ke padesan di pinggir hutan Tambak Baya. Sepeninggal orang itu Ki Demang di Sangkal Putung berkata,
“Aku menjadi bingung. Orang itu pun agaknya menjadi bingung mendengar keterangan Kiai.”
Kiai Gringsing memandang orang yang semakin lama menjadi semakin jauh itu. Gumamnya kemudian seakan-akan kepada diri sendiri,
“Aku menjadi curiga kepadanya.”
“Kenapa Kiai menjadi curiga?”
“Mula-mula hanya sekedar firasat, tetapi semakin lama aku melihat tanda-tanda itu. Kenapa ia tidak mau pergi bersama kami ke Mataram?”
“Mungkin ia menjadi curiga juga kepada Kiai, karena tiba-tiba saja Kiai berputar haluan.”
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian,
“Mungkin aku terlampau berprasangka, Tetapi mudah-mudahan orang itu sama sekali tidak berniat buruk.”
“Ia seorang diri.”
“Seharusnya ia tidak berada di sini, tetapi di padesan itu. Tetapi mungkin juga ia mempunyai beberapa orang kawan yang menunggui barang-barangnya.”
“Marilah kita pergi ke padesan itu,” tiba-tiba saja Ki Sumangkar menyela.
“Di sana ada orang yang menjual makanan, barangkali kita dapat membeli tambahan bekal di perjalanan.”
Kiai Gringsing merenung sejenak, lalu,
“Baiklah. Kita pergi ke padesan yang kecil itu.”
Mereka pun segera pergi kepadesan itu. Dilihatnya beberapa orang duduk di sebuah gardu. Tetapi mereka adalah orang-orang yang beristirahat setelah bekerja di sawah, ternyata dari alat-alat yang masih ada pada mereka.
“Hanya ada sebuah warung kecil,” berkata Ki Sumangkar,
“agaknya jalan ini memang sepi.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Marilah kita membeli bekal.”
“Bekal kita sudah cukup,” berkata Ki Demang.
“Sekedar berbicara dengan penjual itu.”
“Baiklah. Aku menunggu di sini.”
Kiai Gringsing dan Sumangkar lah yang kemudian mendekat. Sambil membeli beberapa macam makanan Ki Gringsing berkata,
“Apakah jalan ini menjadi sepi sekarang?”
“Ya, Ki Sanak,” jawab penjual makanan yang sudah agak lanjut itu,
“jalan sangat sepi.”
“Kenapa?”
“Aku tidak tahu. Tetapi menurut pendengaranku jalan sekarang menjadi tidak aman. Banyak orang yang terpaksa melepaskan barang-barangnya karena mereka tidak mau kehilangan nyawanya.”
“Perampok?”
Orang itu menarik nafas dalam-dalam.

Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar berpandangan sejenak. Ternyata apa yang mereka dengar selagi mereka masih di Sangkal Putung itu tidak jauh dari keadaan yang sebenarnya. Bagi Kiai Gringsing, perampokan yang terjadi itu bukan semata-mata untuk mendapatkan barang-barang dan kekayaan, tetapi tentu suatu usaha untuk memisahkan Mataram dari lingkungan disekitarnya.
“Tetapi apakah masih ada orang yang kadang-kadang lewat?”
“Ya, kadang-kadang. Beberapa orang kadang-kadang berkumpul di sini. Mereka membentuk semacam kelompok kecil untuk menyeberangi Alas Tambak Baya dan kemudian masuk ke Alas Mentaok yang sedang dibuka itu.”
“Kau tahu segala-galanya,” berkata Ki Sumangkar.
Orang itu mengerutkan keningnya. Lalu suaranya menjadi terputus-putus,
“Tidak. Aku tidak tahu apa-apa.”
Tetapi Sumangkar tersenyum,
“Jangan takut. Aku bukan ingin menakut-nakutimu. Tetapi apakah di dalam kelompok-kelompok kecil orang tidak takut dirampok? Bagaimana jika perampoknya berjumlah besar?”
“Kadang-kadang ada prajurit Mataram yang datang kemari. Hampir setiap tiga hari, sehingga orang-orang itu sabar menunggu. Jika ada prajurit Mataram datang menyongsong mereka, maka mereka pun pergi dengan aman ke Mataram. Tetapi akhir-akhir ini sering timbul kerusuhan tidak di tengah-tengah hutan, tetapi di sekitar tempat ini.”
“Maksudmu perampok-perampok itu datang kemari?”
Orang itu tidak segera menjawab. Tetapi dipandanginya kedua orang yang berdiri di muka barang-barang dagangannya itu. Sekali-sekali ia memandang Ki Demang, Agung Sedayu yang berdiri beberapa langkah dari tempatnya sambil memegangi kuda.
“Tetapi siapakah kalian?” bertanya penjual makanan itu.
“Yang berdiri itu adalah Demang Sangkal Putung,” sahut Kiai Gringsing,
“jangan takut. Kami hanyalah sekedar lewat.”
“Ya. Aku dapat mengenal dari wajah dan sikap kalian, bahwa kalian bukan dari golongan mereka. Tetapi ….” orang itu tidak melanjutkan kata-katanya.
“Apakah kau melihat seseorang yang kau curigai?”
Orang itu tidak menyahut. Tetapi diedarkannya pandangan matanya berkeliling. Kiai Gringsing dan Sumangkar mengikuti arah pandangan mata orang itu. Tetapi mereka tidak melihat seseorang pun.
“Dinding-dinding sekarang mempunyai telinga,” berkata orang itu,
“aku tidak berani mengatakan apa pun.”
“Jangan takut. Tidak ada orang lain yang mendengar.”
Orang itu masih ragu-ragu. Lalu,
“Apakah Ki Sanak yakin?”
“Ya. Aku yakin, tidak ada orang lain yang mendengar.”
“Tetapi siapakah sebenarnya Ki Sanak berdua?”
“Kami adalah saudara-saudara Ki Demang. Kami adalah paman-pamannya.”
“Dan kedua anak-anak muda itu?”
“Yang seorang anaknya, yang seorang kemanakannya.”
“Kalian tinggal di Sangkal Putung?”
“Ya.”
“Baiklah. Aku ingin mengiakan pertanyaan Ki Sanak. Para perampok itu kadang-kadang datang kemari, karena semakin sedikit orang yang lewat menyeberang hutan Tambak Baya dan hutan Mentaok.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu bertanya,
“Apakah hari ini tidak ada seorang pun yang akan menyeberang hutan ini?”
“Ada seorang. Ia menunggu kawan.”
“Di mana ia sekarang. “
“Berjalan-jalan. Ia sangat gelisah karena belum ada kawan yang akan pergi bersamanya.”
“Bukankah sering ada pengawal-pengawal Mataram yang kau sebut sebagai prajurit-prajurit itu?”
“Ia menjadi gelisah karena perampok-perampok itu sekarang tidak sekedar menunggu, tetapi mereka menyongsong korban-korban mereka kemari.”
Kiai Gringsing menjadi gelisah. Dipandanginya Sumangkar dengan wajah yang tegang. Lalu,
“Jadi, jadi mereka akan datang kemari.”
“Ya.”
“Kalau begitu aku tidak akan beristirahat di sini. Aku akan pergi seperti orang itu. Atau sebaiknya aku kembali saja ke Sangkal Putung.”
“Kenapa kembali?”
“Aku tidak dapat menyediakan diri untuk dibantai oleh para perampok.”
“Bukankah kalian akan pergi ke Mataram?”
“Tidak, kami belum pasti pergi ke Mataram. Mungkin ke Mataram, mungkin ke Menoreh.”
“Kenapa?”

Kiai Gringsing yang gelisah menggeleng,
“Tetapi aku kira kita tidak akan pergi ke mana-mana.”
Penjual makanan itu tiba-tiba tersenyum, katanya,
“Kenapa kalian menjadi ketakutan?”
Sumangkar yang gemetar berkata, “Kita kembali saja.”
Tetapi orang setengah tua di belakang barang-barang jualannya itu tertawa. Katanya,
“Kalian tidak usah takut.”
“Kenapa?”
“Aku tahu jalan yang paling baik yang dapat kau lalui.”
“Maksudmu?”
“Jalan yang jarang-jarang dilalui orang, tetapi justru karena itu kalian tidak akan menjumpai seorang perampok pun. Mereka tidak akan telaten duduk berhari-hari tanpa mendapatkan seorang korban pun.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Jadi, ada jalan yang Ki Sanak anggap tidak akan ada seorang perampok pun yang mengganggu perjalanan kami?”
“Ya.”
“Tetapi jalan itu menuju ke Menoreh atau ke Mataram?”
“Kedua-duanya. Kau dapat menempuh jalan itu, kemudian kau dapat memilih jika kalian sampai pada sebuah jalan simpang setelah kalian melewati Alas Tambak Baya.
“Maksudmu jalan itu adalah jalan lurus satu-satunya sehingga kami akan menjumpai jalan simpang?”
“Ya.”
“Terima kasih. Kami harus segera pergi.”
“Ya. Kalian harus segera berangkat sebelum perampok-perampok itu datang.”
“Kapankah kira-kira para pengawal dari Mataram itu akan datang kemari?”
“Baru kemarin mereka datang, tiga hari lagi paling cepat. Mungkin lebih lagi, karena jalan semakin sepi.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia memandang beberapa orang yang ada di gardu. Seorang di antaranya ternyata memperhatikannya baik-baik. Tetapi Kiai Gringsing tidak menghiraukannya.
“Jika demikian kami akan segera pergi. Terima kasih atas petunjuk Ki Sanak. Tetapi jalan manakah yang akan kami tempuh?”
“Melingkarlah. Lewat di belakang padukuhan ini kalian akan sampai jalan sempit yang menjelujur masuk ke dalam hutan. Jalan itulah yang akan kalian lalui.”
“Tetapi jalan itu justru menjauhi arah yang kami tuju. Jalan itu menuju ke Utara, baru ke Barat.”
“Tetapi setelah masuk ke dalam hutan, jalan itu akan melingkar ke Selatan. Memang ada simpang empat pada persilangan jalan itu dengan jalan yang biasa dilalui orang, tetapi kalian dapat berhati-hati dan dengan menyusup gerumbul-gerumbul perdu, kalian dapat menyilang jalan yang sering ditunggui para penyamun itu.”
“Baiklah. Terima kasih. Kami akan segera pergi.”
“Tentu Ki Demang Sangkal Putung membawa bekal banyak sekali.


Halaman 1 2 3


<<< Jilid 066                                                                                                       Jilid 068 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar