“Ketika aku pulang dari Jati Anom, aku tidak segera pergi melakukan tugas hari itu, karena aku menyangka bahwa kalian akan segera menyusul. Ternyata kalian kembali beberapa hari kemudian.”
Kiai Gringsing
hanya tersenyum saja. Sedang Swandaru berkata,
“Sebenarnya
kami juga akan segera pulang, Ayah. Tetapi ternyata dapur Paman Widura masih
terus berasap.”
“Pantas,”
desis seseorang dari dalam pintu. Swandaru berpaling. Meskipun ia tidak melihat
seseorang tetapi ia tahu bahwa suara itu suara Sekar Mirah.
“He, kau iri
ya?”
Sekar Mirah menjengukkan
kepalanya, katanya,
“Kenapa aku
iri? Apa yang aku irikan? Jika aku tidak mengingat sopan santun aku pulang
sebelum pengantin didudukkan di depan sentong tengah.”
“Kenapa?”
“Tidak seorang
pun menghiraukan kedatangan kami seperti yang aku duga. Hanya isteri-isteri
perwira sajalah yang dipersilahkan duduk. Ayah pun tidak mendapat tempat yang
baik meskipun Ayah datang jauh sebelum pengantin siap.”
“Ah,” sahut
ayahnya,
“aku duduk
bersama Ki Demang di Jati Anom. Dalam perhelatan, semua orang sibuk dan sudah
barang tentu mereka tidak dapat menemui tamunya seorang demi seorang.”
“Ki Demang
tidak jadi bermalam di Jati Anom,” bertanya Agung Sedayu memotong.
“Aku sibuk
sekali dengan pekerjaan yang bertimbun-timbun. Bendungan yang belum selesai,
perluasan tanah pertanian mendesak hutan sebelah Barat karena terasa daerah
kami menjadi semakin padat, dan gangguan-gangguan keamanan yang mulai terasa
meskipun tidak menggelisahkan.”
Swandaru
mengerutkan keningnya. Jawaban ayahnya terasa aneh di telinganya. Apakah hal
yang dikatakan oleh ayahnya itu tiba-tiba saja telah tumbuh menjadi sesuatu
persoalan yang gawat di Sangkal Putung. Semua yang dikatakan oleh ayahnya itu
memang pernah didengarnya. Tetapi kini ayahnya menyebut bahwa persoalan itu
merupakan persoalan yang membuatnya terlampau sibuk.
“Agaknya Sekar
Mirah-lah yang memaksa ayah tidak bermalam di Jati Anom. Mungkin Paman Widura
tidak sempat mempersilahkan mereka karena kesibukannya menerima tamu-tamu yang
lain,” berkata Swandaru di dalam hatinya.
“Tetapi
bukankah hal itu wajar di dalam suatu perhelatan?”
Tetapi
Swandaru tidak mengatakannya. Bahkan kemudian ia berkata kepada diri sendiri,
“Untunglah
bahwa ayah pun menyadari hal itu. Tetapi yang penting bagi Sekar Mirah, Kakang
Agung Sedayu yang sibuk pula mengatur jamuan di belakang, tidak sempat menemui
Sekar Mirah dan mempertemukannya dengan mempelai perempuan.”
Namun Swandaru
itu pun tersenyum di dalam hati. Ia sadar, bahwa dalam tingkat hubungan antara
Agung Sedayu dan Sekar Mirah dapat menimbulkan persoalan-persoalan yang
aneh-aneh, seperti ceritera anak-anak muda yang kemudian sudah berkeluarga, di
dalam pertemuan-pertemuan dan di dalam pembicaraan sambil bergurau di
gardu-gardu perondan.
“Mungkin aku
akan menghadapi persoalan yang serupa. Jika Pandan Wangi merajuk karena aku
terlampau lama tidak datang ke Menoreh, aku akan menjadi pening,” gumam
Swandaru di dalam hati.
Dan tiba-tiba
saja ia menjadi gelisah. Sudah terlampau lama tidak mendengar berita tentang
Menoreh. Dan sudah terlalu lama hubungannya dengan Menoreh seakan-akan
terputus.
“Hantu-hantu
di Mentaok itulah yang gila, sehingga aku tertahan di sana untuk waktu yang
cukup lama. Mungkin Pandan Wangi menganggap aku tidak datang lagi kepadanya,
atau ayahnya mengambil keputusan lain. Mungkin ada anak muda Menoreh sendiri
yang berhasil mengambil alih persoalanku dengan Pandan Wangi,” Swandaru menjadi
berdebar-debar memikirkan masalahnya itu. Namun ia tidak segera dapat
mengatakannya pada saat itu.
“Tetapi
semuanya sudah selesai. Tidak ada lagi persoalan yang akan menghambat.
Mudah-mudahan Ki Gede Menoreh tidak menganggap bahwa aku sudah mati di
perjalanan.”
Persoalan itu
pun merupakan persoalan yang selalu mendebarkan hati Swandaru. Seolah-olah ia
tidak sabar lagi menunggu hari-hari berikutnya untuk pergi ke Menoreh. Bahkan
ia berkata di dalam hatinya,
“Jika ayah
merasa terlampau sibuk dan tidak dapat bermalam di Jati Anom untuk semalam
saja, apakah ayah juga akan berkeberatan untuk segera pergi ke Menoreh.”
Tetapi
Swandaru tidak dapat mengatakan hal itu langsung kepada ayahnya. Karena itu,
ketika mereka kemudian beristirahat di gandok, Swandaru mengatakan hal itu
kepada gurunya. Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Baiklah, aku
akan mengatakannya kepada ayahmu. Mudah-mudahan ayahmu dapat meninggalkan
kesibukannya barang dua pekan untuk pergi ke Menoreh menghadap Ki Gede Menoreh
itu. Kau benar, jika hubungan ini terlalu lama terputus, mungkin Ki Argapati
mengambil sikap lain.”
“Terima kasih,
Guru. Aku segan mengatakannya kepada ayah langsung. Lagipula, ayah tentu akan
lebih memperhatikan kata-kata Guru daripada permintaanku sendiri.”
Kiai Gringsing
hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Tetapi ia tidak dapat ingkar, bahwa
hal itu merupakan kewajibannya pula, karena muridnya bagi Kiai Grmgsing tidak
ada bedanya dengan anaknya sendiri. Sedang kedua muridnya itu kini sedang
menghadapi masalah yang serupa.
“Tetapi
persoalan Agung Sedayu sudah lebih jelas dari persoalan Swandaru. Meskipun
secara resmi Anakmas Untara dan Widura belum datang menemui Ki Demang dan
membicarakan masalah anaknya, namun agaknya orang tua Sekar Mirah sudah
menerima persoalan itu seluruhnya. Persoalan yang menyusul adalah sekedar
hubungan resmi,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya.
Karena itu,
maka Kiai Gringsing pun berusaha untuk mendapatkan waktu yang sebaik-baiknya.
Di sore hari, ketika mereka sudah menyelesaikan semua pekerjaan, dan sesudah
membersihkan diri, mereka pun duduk di pendapa bersama Ki Demang dan Ki
Sumangkar, di bawah nyala lampu minyak yang berkeredipan disentuh angin. Sejenak
mereka berbicara tentang Kademangan Sangkal Putung, tentang musim dan tentang
tanaman yang subur di sawah dan pategalan. Barulah pembicaraan mereka mulai
merayap kepada anak-anak muda di Sangkal Putung, dan kemudian mereka pun
berbicara tentang Swandaru.
Kiai Gringsing
tidak mau kehilangan kesempatan itu. Karena itu, maka ia pun segera mengulangi
pembicaraan yang pernah disampaikan meskipun hanya sepintas, bahwa Swandaru
telah membuat hubungan dengan seorang gadis di Menoreh, putera Ki Argapati,
kepala Tanah Perdikan Menoreh. Ki Demang pun mengangguk-anggukkan kepalanya.
Persoalan itu sedikit banyak sudah pernah didengarnya. Namun ia masih
memerlukan banyak sekali penjelasan.
“Apakah Ki
Argapati benar-benar tidak berkeberatan, Kiai?” bertanya Ki Demang.
“Hal itu harus
aku yakini sebelum aku berangkat, agar aku tidak sia-sia pergi menempuh jarak
yang jauh, meninggalkan kademangan yang sedang berusaha mengembangkan diri di
segala bidang ini?”
Kiai Gringsing
menarik nafas dalam-dalam. Alasan Ki Demang sebenarnya tentu bukan kesibukannya
di segala bidang karena perkembangan Sangkal Putung, tetapi jika Ki Argapati
menolak lamaran yang disampaikannya, maka hatinya pasti akan menjadi sangat
sakit. Apalagi ia datang dari jauh. Kiai Gringsing itu pun kemudian
mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata,
“Pertanyaan
itu wajar tumbuh pada Ki Demang. Apabila kedatangan kita tidak membawa hasil,
maka alangkah sakitnya hati ini. Namun jika kita tilik dari kewajaran hidup,
kita memang mempunyai dua kemungkinan untuk setiap permintaan. Diterima atau
ditolak. Sudah barang tentu Ki Demang baru dapat mengambil kepastian setelah
menyatakan permintaan itu dan mendapat jawaban. Bahkan kadang-kadang datang
lamaran bagi seorang gadis oleh dua tiga orang sekaligus. Dan sudah barang
tentu tidak semua akan dapat diterima.”
Ki Demang pun
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian,
“Ya, Kiai.
Demikianlah memang seharusnya. Maksudku, apakah sebelum aku datang melamar
kepada Ki Gede Menoreh, sudah ada tanda bahwa lamaranku akan diterima?”
“Pada saat itu
Ki Demang, ketika aku meninggalkan Menoreh, agaknya tanda-tanda itu memang
sudah ada. Sedang anak-anak yang bersangkutan pun tampaknya sudah sejalan.
Tetapi aku tidak tahu perkembangan yang terjadi kemudian. Namun menilik bahwa
Ki Argapati adalah orang yang cukup dewasa, aku kira ia tidak akan dengan mudah
menarik kembali sikapnya. Tentu juga mengenai puterinya itu. Kecuali jika ada
keadaan yang sangat memaksa. Pandan Wangi adalah seorang gadis yang memang
sedang mekar.”
Ki Demang
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Karena itu,
Ki Demang, sebaiknya hal ini memang harus segera dilakukan. Apakah lamaran ini
diterima atau tidak, kita tidak mempersoalkannya sekarang. Kedua-duanya memang
mungkin dan kedua-duanya pun wajar. Meskipun demikian menurut penilaianku,
lamaran Ki Demang hampir dapat dipastikan akan diterima oleh Ki Argapati sesuai
dengan hubungan yang pernah ada, jika tidak ada persoalan yang mendesak seperti
yang aku katakan tadi.”
Ki Demang
menarik nafas dalam-dalam. Memang hal itu adalah kewajiban yang harus
dilakukan. Karena itu, maka ia pun menganggukkan kepalanya sambil menyahut,
“Baiklah Kiai.
Aku akan segera pergi ke Menoreh. Tetapi karena Kiai-lah yang dahulu pernah
datang kepada Ki Argapati, maka sudah barang tentu aku minta Kiai ikut
bersamaku. Apalagi Kiai adalah guru Swandaru yang tentu juga sekaligus akan
ikut berkepentingan dengan persoalan anak itu.”
“Tentu aku
tidak berkeberatan, Ki Demang. Aku akan pergi ke Menoreh.”
“Bagaimana
dengan Ki Sumangkar?” bertanya Ki Demang.
Ki Sumangkar
menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia pun menyahut,
“Terserahlah
kepada Ki Demang. Apakah aku perlu menyertainya atau tidak. Aku tidak mempunyai
pilihan sendiri untuk itu.”
Ki Demang
merenung sejenak, lalu,
“Mengingat
perjalanan yang jauh, alangkah baiknya jika Ki Sumangkar pergi bersama kami.
Banyak kemungkinan dapat terjadi di perjalanan. Apalagi suasana yang kini
hampir tidak menentu. Di perbatasan yang kabur antara Pajang dan Mataram, akan
dapat ditemui banyak persoalan-persoalan di luar dugaan. Seperti yang aku
dengar, hantu-hantu Alas Mentaok yang ternyata terjadi dari orang-orang yang
mempunyai kepentingan tertentu. Orang-orang yang menyerang rumah Anakmas Untara
yang dihuni oleh para perwira dan barangkali banyak lagi hal yang serupa
meskipun bentuknya berbeda.”
“Jika demikian
kita akan berjalan dalam sebuah rombongan kecil,” sahut Ki Sumangkar.
“Sudah barang
tentu Anakmas Agung Sedayu akan ikut serta bersama kita. Dan bagaimana dengan
Sekar Mirah?”
Ki Demang menarik
nafas dalam-dalam. Katanya,
“Sebaiknya
Sekar Mirah menunggu ibunya di rumah. Sudah barang tentu bahwa ibunya tidak
akan dapat ikut menempuh perjalanan begitu panjang dan terbahaya.”
Ki Sumangkar
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Aku
sependapat dengan Ki Demang. Tetapi menilik sifatnya, bagaimana jika ia memaksa
juga.”
“Kita akan mencoba
meyakinkan, bahwa ibunya memerlukan seorang pelindung. Sudah tentu bukan orang
lain yang paling dapat dipercaya. Dan sudah barang tentu aku dan Swandaru kali
ini harus pergi meninggalkannya.”
Ki Sumangkar
mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun demikian ia masih meragukan, apakah
Sekar Miiah yang keras hati itu dapat dibujuknya untuk tinggal.
“Kita besok
akan bersiap-siap,” berkata Ki Demang.
“Aku menyadari
bahwa hal ini harus segera dilaksanakan agar persoalannya tidak berkembang ke
arah yang tidak kita kehendaki. Kita tidak tahu apakah yang sudah terjadi di
Menoreh akhir-akhir ini dan kita juga tidak tahu apa yang terjadi di daerah
yang sedang tumbuh itu. Mudah-mudahan kita masih dapat lewat tanpa
dihalang-halangi oleh keadaan dan suasana yang bagaimana pun juga.”
“Baiklah, Ki Demang,”
berkata Kiai Gringsing.
“Kita pun akan
segera mendapat penyelesaian. Jika pembicaraan telah bulat, maka pelaksanaanya
pun sebaiknya di lakukan dengan cepat.”
Ki Demang
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian,
“Aku akan
berbicara dengan Nyai Demang dan Sekar Mirah. Silahkan Kiai memberitahukan
kedua anak-anak muda itu agar mereka pun mempersiapkan diri menempuh perjalanan
yang panjang ini, Kiai. Meskipun keduanya pernah pergi ke Menoreh, namun mereka
pun harus membuat ancang-ancang untuk perjalanan ini.”
Maka malam itu
juga Ki Demang di Sangkal Pulung telah berbicara dengan isterinya tentang
rencana kepergiannya ke Menoreh.
“Kapan Ki
Demang akan pergi?” bertanya isterinya.
“Besok aku
akan menyerahkan pengamatan dan pimpinan kademangan ini kepada bebahu
Kademangan Sangkal Putung. Mereka akan menjalankan tugasku sehari-hari, tetapi
mereka tidak akan mengambil tindakan yang sangat penting yang menyangkut
perubahan apa pun di Sangkal Putung. Besok lusa aku akan menyiapkan bekal dan
minta diri kepada orang-orang tua bersama Swandaru. Jadi hari berikutnyalah aku
akan berangkat.”
“Begitu
tergesa-gesa?” isterinya menjadi heran.
“Tentu tidak
mungkin. Jika kau mengikat seorang gadis, tentu harus membawa barang-barang
yang umumnya dipergunakan sebagai pengikat. Pakaian sepengadeg, dan beberapa
jenis barang lainnya.”
“Aku belum
akan membelikan peningset. Bukankah kita belum pernah melamarnya dengan resmi?
Jika semua persoalan telah selesai, barulah aku akan pergi lagi membawa peningset
itu.”
Nyai Demang
mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu ia pun bertanya,
“Siapa saja
yang akan pergi bersama Ki Demang?”
“Kiai
Gringsing yang pernah merintis pembicaraan dengan Ki Gede Menoreh, kemudian
sudah tentu Swandaru sendiri, Angger Agung Sedayu dan Ki Sumangkar.”
“Bagaimana
dengan Sekar Mirah?”
“Biarlah ia
tinggal di rumah mengawanimu. Ia bukan saja anak kita, tetapi ia adalah
pelindung yang dapat dipercaya. Sekar Mirah sekarang memiliki kemampuan yang
jauh lebih besar dari kemampuan Ki Jagabaya jika di rumah ini datang sesuatu
yang membahayakan.”
“Bagaimana
jika ia ingin ikut, karena Ki Demang pergi bersama dengan Anakmas Agung Sedayu
dan gurunya Ki Sumangkar?”
“Aku akan
berbicara. Panggillah anak itu sebentar jika ia belum tidur.”
Sejenak
kemudian maka Sekar Mirah pun telah duduk bersama ayah dan ibunya. Tampaklah
bahwa ia menjadi gelisah. Bahkan Sekar Mirah menyangka bahwa ayahnya akan
berbicara tentang dirinya sendiri. Tetapi ketika ayahnya sudah mengatakan
maksudnya, tiba-tiba saja ia tidak lagi menjadi gelisah, tetapi sepercik
kekecewaan telah melonjak di hatinya. Sebenarnya ada keinginan di dalam
hatinya, bahwa persoalannya pun sebaiknya segera diselesaikan. Tetapi sudah
barang tentu, sebagai seorang gadis ia tidak dapat mengatakannya.
“Kau tinggal
di rumah Mirah,” berkata ayahnya.
“Aku ikut,”
Sekar Mirah bersungut-sungut.
“Kau tinggal
di rumah.”
“Semua orang
pergi, dan aku tinggal di rumah.”
“Justru karena
semua orang pergi. Kau mengawani ibumu. Jika kau juga pergi, maka ibumu akan tinggal
di rumah tanpa seorang kawan pun.”
“Kenapa Ibu
tidak pergi sama sekali? Bukankah akan lebih baik jika Ayah datang berdua
bersama Ibu?”
“Tentu. Tetapi
perjalanan ke Menoreh bukan perjalanan yang pendek. Bukankah kau pernah pergi
ke sana? Kau dapat membayangkan, bagaimanakah sulitnya jika ibumu juga pergi
bersama kami.”
Sekar Mirah
merenung sejenak. Tetapi tampak membayang kekecewaan di wajahnya.
“Aku tidak
akan pergi terlalu lama, Mirah. Kau tahu bahwa kini aku sedang sibuk dengan
Sangkal Putung yang sedang berkembang ini.”
“Kenapa aku
tidak boleh ikut, Ayah?”
“Sudah aku
katakan. Ibumu tidak ada pelindungnya. Kau adalah pelindung yang paling baik
baginya.”
Sekar Mirah
menarik nafas dalam-dalam.
“Ya, Mirah,”
berkata ibunya,
“tanpa kau aku
menjadi sendiri. Bagaimana pun juga tenteramnya kademangan ini, tetapi aku
pasti masih juga selalu cemas jika aku sekedar menyandarkan keselamatan isi
rumah ini kepada peronda.”
Sekar Mirah
tidak menyahut. Kepalanya sajalah yang kadang-kadang menengadah, kadang-kadang
tunduk. Sebenarnya ia ingin sekali turut menempuh perjalanan. Selain ia dapat
pergi bersama gurunya dan Agung Sedayu, ia pun dapat melihat keadaan yang
berbeda dari yang dilihatnya sehari-hari.
Tetapi ketika
terpandang wajah ibunya yang suram, maka ia pun berkata,
“Baiklah,
Ayah. Aku akan mengawani Ibu di rumah.”
“Terima kasih,
Sekar Mirah. Aku akan pergi dengan tenang jika kau bersedia menjaga ibumu.”
Ki Demang
sudah mendapat keputusan untuk berangkat besok tiga hari lagi. Ketika Sekar
Mirah bertemu dengan gurunya, maka gurunya pun memberinya nasehat seperti yang
dikatakan oleh ayahnya.
“Jagalah ibumu
baik-baik. Meskipun kau seorang gadis, tetapi kau adalah gadis yang lain dari
gadis-gadis kawanmu bermain. Kau tidak saja dapat bermain nini towong di terang
bulan, tetapi kau dapat melindungi ibumu dari bahaya yang sebenarnya.”
Kesempatan
yang singkat sebelum mereka berangkat, dipergunakan oleh Ki Demang untuk
menyerahkan pimpinan kademangan kepada para bebahunya, kemudian minta diri
kepada orang-orang tua agar lamarannya dapat diterima oleh Ki Gede Menoreh.
“Hati-hatilah,”
pesan seorang yang rambutnya telah menjadi putih seluruhnya,
“perjalanan
ini sangat jauh dan berbahaya karena kalian harus melewati Alas Tambak Baya,
Alas Mentaok, menyeberang sungai yang besar dan deras, dan perjalanan di daerah
yang asing bagi kalian.”
Ki Demang
mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun ia pergi bersama beberapa orang yang
dapat dipercaya, namun setiap pesan diperhatikannya juga. Meskipun
kadang-kadang orang-orang tua yang memberinya pesan mawanti-wanti itu sama
sekali belum pernah melihat Alas Tambak Baya dan Alas Mentaok, namun tanggapan
naluriah mereka kadang-kadang berguna baginya.
Dan atas pesan
orang tua yang rambutnya sudah memutih itu Ki Demang menyahut,
“Terima kasih,
Paman. Perjalanan ini memang perjalanan yang jauh.”
“Dengan siapa
kau akan pergi?”
“Dengan
Swandaru dan beberapa orang lagi.”
“Kau tidak
membawa Ki Jagabaya?”
“Tidak,
Paman.”
“O, bawalah
dia. Orang itu akan dapat memberikan perlindungan kepadamu dan kepada anakmu.”
Ki Demang
mengerutkan keningnya. Tetapi orang itu memang tidak tahu bahwa Swandaru
sendiri mempunyai kemampuan melampaui Ki Jagabaya, karena orang tua itu sudah
jarang-jarang keluar rumahnya. Tetapi Ki Demang menjawab,
“Tenaga Ki
Jagabaya diperlukan di kademangan ini, Paman. Ia harus melindungi tidak hanya
satu dua orang, tetapi beratus-ratus, bersama-sama anak-anak muda Sangkal
Putung.”
“Tidak ada
apa-apa di sini. Kademangan ini cukup aman. Tetapi Alas Tambak Baya dan Alas
Mentaok itu sangat wingit. Bukan saja hantu-hantu penunggu pepohonan yang
besar-besar dan batu-batu yang angker, tetapi juga penyamun-penyamun dan
perampok-perampok yang masih banyak berkeliaran.”
Ki Demang
mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Jawabnya,
“Aku akan
sangat hati-hati. Meskipun aku tidak pergi bersama Ki Jagabaya, namun aku pergi
bersama beberapa orang kawan yang dapat dipercaya.”
“Tetapi mereka
tidak akan memberi ketenangan seperti Ki Jagabaya.”
“Mudah-mudahan
mereka dapat melindungi aku seperti Ki Jagabaya.”
Orang tua itu
mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berkata,
“Jika kau
yakin mereka dapat melindungi kau seperti Ki Jagabaya, terserahlah. Aku hanya
dapat berdoa, mudah-mudahan kau selamat, dan Cucu Swandaru dapat menemukan
jodohnya.” Ia berhenti sejenak, lalu,
“Tetapi kenapa
ia mengambil perempuan yang begitu jauh?”
“Hati mereka
telah bertaut.”
“Di mana
mereka bertemu?”
“Di Menoreh.”
“Apakah Swandaru
pernah pergi ke Menoreh?”
“Pernah. Belum
lama ia kembali.”
“O,” orang tua
itu mengangguk-angguk. Lalu,
“Anak-anak
sekarang. Masih ingusan sudah sampai ke ujung bumi. Syukurlah ia kembali dengan
selamat. Dan mudah-mudahan perjalananmu pun selamat pula.”
“Terima kasih,
Paman. Kami yang akan berangkat mohon pengestu.”
Orang-orang
tua yang lain pun berpesan serupa. Bahkan para bebahu Kademangan Sangkal Putung
yang mengetahui siapa Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, Agung Sedayu, dan Swandaru
sendiri pun berpesan agar mereka berhati-hati.
“Menurut
pendengaran kami,” Ki Jagabaya berkata,
“perampokan
dan penyamun di sepanjang jalan menjadi semakin meningkat. Mungkin hal ini
disebabkan kegagalan mereka di Mataram dan juga di Jati Anom serta di
tempat-tempat lain, mendorong mereka untuk mengambil jalan lain. Semua jalan
yang menuju ke Mataram tidak tenteram sama sekali. Ada dugaan bahwa orang-orang
yang tidak senang melihat Mataram berdiri itu berusaha untuk membendung arus
manusia yang tidak henti-hentinya memasuki daerah baru itu.”
“Memang masuk
akal,” berkata Kiai Gringsing yang hadir juga di antara mereka,
“orang-orang
yang kecewa itu dapat berbuat apa saja. Tetapi mungkin mereka tidak sekedar
melepaskan kekecewaannya. Tetapi semuanya itu dilakukan atas suatu dasar
pertimbangan dan perhitungan yang masak.”
Ki Demang
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun Kiai Gringsing melanjutkan,
“Tetapi kita
akan berhati-hati. Kita akan mencari jalan yang paling aman, yang jauh dari
kemungkinan perampokan dan penyamun.”
Ki Demang
masih mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dalam pada itu
Ki Jagabaya berkata,
“Tetapi kita
percaya kepada Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar. Apalagi mereka sudah pernah
pergi ke Menoreh. Bahkan Sekar Mirah pun pernah. Bedanya, sekarang
perampok-perampok itu bagaikan semut yang diusir dari sarangnya. Bertebaran ke
mana pun di seluruh hutan.”
“Pasti ada
jalan yang tidak mereka awasi. Justru jalan-jalan sempit dan yang jarang
dilalui orang. Meskipun kemungkinan untuk bertemu dengan mereka masih ada
juga.”
Para bebahu
Sangkal Putung itu pun mengangguk-anggukkan kepala. Tetapi mereka percaya bahwa
Ki Demang akan dapat sampai ke tempat tujuan dan kembali ke Sangkal Putung,
meskipun ada juga perasaan was-was di dalam hati. Jika terjadi sesuatu atasnya,
maka orang yang berhak mewarisi ikut serta bersamanya. Yang tinggal adalah
Sekar Mirah. Sedang anak muda yang agaknya dipilihnya menjadi sisihannya, pergi
juga bersama Ki Demang itu.
Namun
demikian, rencana Ki Demang tetap dilaksanakan. Setelah hari yang ditentukan
tiba, maka semuanya pun telah siap. Mereka kini tidak sekedar berjalan kaki,
tetapi mereka akan pergi berkuda, supaya perjalanan mereka tidak terlampau
lama.
“Cepatlah
pulang, Ayah,” pesan Sekar Mirah dengan suara yang tersangkut di kerongkongan.
Ki Demang
memandang wajah Sekar Mirah yang muram. Seakan-akan ia melihat wajah gadis itu
semasa kanak-kanak apabila ia ingin ikut pergi bersamanya keliling kademangan.
“Kau tinggal
bersama ibu.”
“Tidak, aku
ikut Ayah.”
“Kau lelah.”
“Tidak.”
Dan jika ia
tidak mengijinkannya, maka gadis kecil itu akan menangis.
Tetapi
sekarang Sekar Mirah berusaha menahan air mata yang sebenarnya hampir pecah
dari pelupuknya. Namun, Sekar Mirah itu menyadari bahwa ia bukan anak-anak
lagi, dan bahkan ia kini adalah pelindung ibunya di dalam segala hal. Ia harus
melayani ibunya sebagai seorang gadis, tetapi jika perlu ia harus melindungi
ibunya sebagai seorang yang memiliki ilmu kanuragan. Bukan saja Ki Demang yang
memandang Sekar Mirah dengan iba, tetapi juga Kiai Gringsing, Sumangkar,
Swandaru, dan Agung Sedayu. Mereka mengerti betapa perasaan gadis itu.
Sekaligus beberapa orang yang tersangkut di hatinya telah pergi. Ayahnya,
kakaknya, gurunya, dan seorang anak muda yang telah merampas hatinya. Karena
itu, maka wajah-wajah itu pun menjadi muram dan berkesan dalam. Namun akhirnya
mereka pun berangkat juga meninggalkan Kademangan Sangkal Putung. Di regol
halaman berdiri Nyai Demang bersama Sekar Mirah dan beberapa bebahu kademangan
beserta beberapa orang tua tetangga terdekat.
“Mudah-mudahan
kalian selamat di perjalanan,” seorang perempuan tua berdoa sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya,
“dan kalian
akan pulang membawa seorang menantu yang cantik bagi Nyai Demang.”
Mereka mulai
dengan sebuah perjalanan yang jauh. Perjalanan yang mereka sadari sebagai
perjalanan yang cukup berat. Tetapi Ki Demang tidak merasa cemas sama sekali,
karena lima orang yang menempuh perjalanan itu, empat di antaranya sudah pernah
melakukannya. Beberapa saat lamanya mereka masih menyusuri jalan di Kademangan
Sangkal Putung. Beberapa orang yang sudah mendengar bahwa Ki Demang akan pergi
ke Menoreh yang mereka jumpai, mengucapkan juga beberapa ucapan selamat jalan,
sedang satu dua orang yang masih belum jelas bertanya,
“Apakah Ki
Demang akan menempuh perjalanan jauh?”
“Ya,” jawab Ki
Demang.
“Jadi benar
kata orang bahwa Ki Demang akan pergi ke Menoreh?”
“Ya.”
“Sebuah
perjalanan yang jauh dan berbahaya. Ki Demang akan melintasi hutan yang penuh
dengan binatang buas.”
Demang
mengerutkan keningnya. Yang dikatakan orang ini agak berbeda dengan yang pernah
diucapkan oleh orang lain. Yang terdahulu selalu memperingatkan, agar kelompok
kecil yang bersamanya pergi ke Menoreh itu berhati-hati menghadapi penyamun,
perampok, atau sekelompok orang-orang yang sekedar ingin mengacau dan
membendung orang-orang yang mengalir ke Mataram dan sebangsanya. Tetapi yang
seorang ini memperingatkan agar mereka berhati-hati terhadap binatang buas.
Namun sambil tersenyum Ki Demang berkata,
“Tentu. Kami
akan berhati-hati menghadapi apa dan siapa pun.”
“Alas Mentaok
adalah sarang binatang buas,” katanya.
“Ada lebih
dari lima jenis harimau yang hidup di hutan itu. Dan yang tidak kalah ganasnya
adalah anjing hutan. Meskipun seekor demi seekor anjing hutan itu tidak begitu
berbahaya, tetapi jika mereka datang dalam kelompok yang terdiri dari puluhan
dan bahkan ratusan ekor, maka sebenarnyalah kalian bertemu dengan bahaya maut.”
“Kami dapat
memanjat,” jawab Ki Demang.
“Kuda-kuda
kalianlah yang akan tinggal menjadi kerangka tidak lebih dari seratus
hitungan.”
Ki Demang
mengerutkan keningnya. Namun Kiai Gringsing-lah yang menyahut,
“Mudah-mudahan
kami tidak bertemu dengan segerombolan anjing hutan yang berbahaya itu.”
“Mudah-mudahan.
Anjing hutan itu sama sekali tidak dapat didekati. Sekelompok banteng pun akan
menepi jika mereka menyadari bahwa mereka berada di dalam lingkungan
anjing-anjing hutan, meskipun anjing-anjing hutan itu tidak menyerang mereka.”
“Terima
kasih,” Ki Sumangkar-lah yang kemudian menyahut.
Ketika mereka
melanjutkan perjalanan, maka tampak wajah Ki Demang agak berkerut, sehingga
sambil tersenyum Kiai Gringsing berkata,
“Peringatan
yang baik. Tetapi kita tidak perlu cemas. Anjing-anjing hutan yang liar itu
hidup beberapa tahun yang lampau, sebelum Mentaok dihuni oleh hantu-hantu yang
menakut-nakuti orang-orang Mataram yang membuka hutan itu. Hantu-hantu itu
agaknya mempunyai cara yang baik untuk membunuh anjing-anjing liar itu,
sehingga jumlahnya cepat sekali susut.”
“Bagaimana
cara mereka membunuh anjing-anjing liar itu?” bertanya Ki Demang.
“Dengan racun.
Mereka adalah orang-orang yang ahli dalam hal bermain-main dengan racun. Seekor
lembu dilumuri racun hampir diseluruh tubuhnya. Kemudian lembu itu di lepaskan
di antara anjing-anjing liar. Nah, sekaligus mereka dapat membunuh
berpuluh-puluh anjing liar itu.”
Ki Demang
Sangkal Putung itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan wajahnya yang
mulai berkerut itu pun menjadi cerah kembali. Dalam pada itu kuda mereka
berjalan terus. Semakin lama semakin jauh meninggalkan Kademangan Sangkal
Putung.
Di perjalanan
itu Ki Demang justru merasa dirinya sebagai anak-anak yang berjalan di antara
pemomongnya. Meskipun di antara mereka terdapat anaknya yang masih muda dan
Agung Sedayu, namun ia merasa bahwa mereka itu adalah pelindung-pelindungnya
yang baik. Ia merasa bahwa ia adalah orang yang paling lemah di antara
sekelompok kecil orang-orang yang akan pergi ke Menoreh itu. Mereka berjalan
terus. Dengan mengendarai kuda, mereka maju lebih cepat daripada berjalan kaki.
Tetapi apabila mereka sampai ke daerah-daerah yang berhutan lebat, maka mereka
akan maju lebih lambat daripada jika mereka tidak membawa kuda. Di dalam hutan
yang lebat, kuda bukannya tunggangan. Bahkan kadang-kadang kuda merudang
menikmati bekal mereka.
Namun selagi
mereka masih berada di luar hutan, maka perjalanan mereka sama sekali tidak
terhambat. Kuda mereka berlari kencang, seakan-akan berpacu dengan matahari
yang semakin lama menjadi semakin tinggi. Ketika matahari mencapai puncak
langit, maka mereka pun beristirahat sejenak. Mereka memberi kesempatan kepada
kuda mereka untuk makan rumput yang hijau, sedang penunggang-penunggangnya pun
duduk di bawah pohon yang rindang menikmati bekal mereka.
Selagi mereka
duduk sambil menyuapi mulut mereka, mereka melihat seseorang datang mendekat.
Dengan ragu-ragu orang itu bertanya,
“Apakah Ki
Sanak sedang dalam perjalanan?”
Ki Demang yang
duduk di paling tepi menjawab,
“Ya, kami
sedang dalam perjalanan.”
“Apakah Ki
Sanak akan menyeberang hutan Tambak Baya dan Mentaok?”
Ki Demang
menjadi ragu-ragu sejenak, lalu dipandanginya Kiai Gringsing yang duduk di
sampingnya
“Kami akan
pergi ke Menoreh Ki Sanak,” jawab Kiai Gringsing.
“O, apakah
kalian tidak akan pergi ke Mataram yang sekarang sedang tumbuh?”
Kiai Gringsing
menggeleng.
“Sayang,”
desisnya.
“Kenapa?”
“Aku ingin
pergi ke Mataram.”
“Kenapa kau tidak
pergi?”
“Aku menunggu
beberapa orang yang akan bersama-sama menyeberangi Alas Tambak Baya ini.”
“Kenapa harus
menunggu?”
Orang itu mengerutkan
keningnya. Katanya,
“Jalan
terlampau berbahaya. Jika kita ingin menyeberangi hutan, biasanya beberapa
orang pergi bersama.”
“Siapakah yang
mengatakan kepada Ki Sanak?”
“Orang-orang
yang tinggal di sebelah hutan itu. Jika Ki Sanak singgah pada sebuah warung,
maka orang-orang itu akan memberitahukan kepada Ki Sanak.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya,
“Jika Ki Sanak
ingin pergi bersama dengan kami sampai ke seberang Alas Tambak Baya, kami tidak
berkeberatan sama sekali. Tetapi selanjutnya Ki Sanak pergi sendiri ke
Mataram.”
“Aku tidak
berani.”
“Jika
demikian, kami akan mengantar Ki Sanak sampai ke Mataram. Kami akan singgah di
Mataram sejenak.”
Tiba-tiba saja
orang itu menjadi ragu-ragu. Lalu katanya,
“Apakah Ki
Sanak siap menghadapi kemungkinan yang dapat terjadi di perjalanan?”
“Apakah yang
mungkin terjadi?”
“Perampokan.”
“Kami tidak
membawa apa-apa. Mungkin bekal makan kami inilah yang akan dirampoknya. Nasi
jagung dan gembrot sembukan. Selebihnya tidak ada.”
Orang itu mengerutkan
keningnya. Katanya,
“Kuda kalian
adalah kuda-kuda yang tegar.”
“Kuda padesan.
Sekedar dapat menyambung perjalanan.”
Orang itu
masih ragu-ragu. Namun kemudian ia menggeleng,
“Tidak usah,
Ki Sanak. Aku tidak akan mengganggu Ki Sanak. Silahkan berjalan terus ke
Menoreh.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Tetapi katanya kemudian,
“Sebenarnya
arah perjalanan kami masih belum pasti. Kami mungkin akan langsung pergi ke
Menoreh, tetapi ada juga niat kami pergi ke Mataram.” Ia berhenti sejenak,
lalu,
“Tetapi di
mana bekal dan barang-barang Ki Sanak disimpan?”
“Ada diwarung
itu. Di pinggir Alas Tambak Baya.”
“Kenapa Ki
Sanak ada di sini? Kenapa Ki Sanak tidak menunggu saja di pinggir hutan itu?”
Orang itu
termangu-mangu sejenak, namun kemudian jawabnya,
“Aku sedang
berjalan-jalan di sini ketika aku melihat kalian berhenti dan beristirahat di
sini.”
“O,” Kiai
Gringsing mengangguk-angguk,
“jika Ki Sanak
berubah pendirian dan ingin pergi bersama kami, beritahukan hal itu kepada
kami.”
“Apakah kalian
akan berjalan terus?”
“Ya. Kami akan
bermalam di seberang Alas Tambak Baya jika kami dapat mencapainya.”
“Tetapi kemana
sebenarnya kalian akan pergi?”
“Kami belum
tahu. Mungkin kami dapat berganti haluan dengan tiba-tiba.”
“Tetapi kalian
tentu mempunyai rencana.”
“Rencana kami
masih belum pasti. Tetapi jika kau akan pergi bersamaku, kami akan memastikan
rencana kami. Kami pergi ke Mataram, karena kami mempunyai saudara yang tinggal
di sana.”
Orang itu
menjadi termangu-mangu. Namun katanya kemudian,
“Terima kasih.
Pergilah ke Menoreh. Aku akan menunggu orang lain.”
Kiai Gringsing
tidak segera menyahut. Dipandanginya orang itu tajam-tajam, sehingga ketika
tatapan mata mereka beradu, orang itu memalingkan wajahnya.
“Kenapa kau
tiba-tiba mengurungkan niatmu pergi bersama kami?” bertanya Kiai Gringsing.
“Aku tidak mau
mengganggu kalian, selamat jalan.”
Orang itu
tidak menunggu Kiai Gringsing menjawab. Tetapi ia pun segera meninggalkannya.
Namun ia sama sekali tidak pergi ke padesan di pinggir hutan Tambak Baya. Sepeninggal
orang itu Ki Demang di Sangkal Putung berkata,
“Aku menjadi
bingung. Orang itu pun agaknya menjadi bingung mendengar keterangan Kiai.”
Kiai Gringsing
memandang orang yang semakin lama menjadi semakin jauh itu. Gumamnya kemudian seakan-akan
kepada diri sendiri,
“Aku menjadi
curiga kepadanya.”
“Kenapa Kiai
menjadi curiga?”
“Mula-mula
hanya sekedar firasat, tetapi semakin lama aku melihat tanda-tanda itu. Kenapa
ia tidak mau pergi bersama kami ke Mataram?”
“Mungkin ia
menjadi curiga juga kepada Kiai, karena tiba-tiba saja Kiai berputar haluan.”
Kiai Gringsing
menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian,
“Mungkin aku
terlampau berprasangka, Tetapi mudah-mudahan orang itu sama sekali tidak
berniat buruk.”
“Ia seorang
diri.”
“Seharusnya ia
tidak berada di sini, tetapi di padesan itu. Tetapi mungkin juga ia mempunyai
beberapa orang kawan yang menunggui barang-barangnya.”
“Marilah kita
pergi ke padesan itu,” tiba-tiba saja Ki Sumangkar menyela.
“Di sana ada
orang yang menjual makanan, barangkali kita dapat membeli tambahan bekal di
perjalanan.”
Kiai Gringsing
merenung sejenak, lalu,
“Baiklah. Kita
pergi ke padesan yang kecil itu.”
Mereka pun
segera pergi kepadesan itu. Dilihatnya beberapa orang duduk di sebuah gardu.
Tetapi mereka adalah orang-orang yang beristirahat setelah bekerja di sawah,
ternyata dari alat-alat yang masih ada pada mereka.
“Hanya ada
sebuah warung kecil,” berkata Ki Sumangkar,
“agaknya jalan
ini memang sepi.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Marilah kita
membeli bekal.”
“Bekal kita
sudah cukup,” berkata Ki Demang.
“Sekedar
berbicara dengan penjual itu.”
“Baiklah. Aku
menunggu di sini.”
Kiai Gringsing
dan Sumangkar lah yang kemudian mendekat. Sambil membeli beberapa macam makanan
Ki Gringsing berkata,
“Apakah jalan
ini menjadi sepi sekarang?”
“Ya, Ki
Sanak,” jawab penjual makanan yang sudah agak lanjut itu,
“jalan sangat
sepi.”
“Kenapa?”
“Aku tidak
tahu. Tetapi menurut pendengaranku jalan sekarang menjadi tidak aman. Banyak
orang yang terpaksa melepaskan barang-barangnya karena mereka tidak mau
kehilangan nyawanya.”
“Perampok?”
Orang itu
menarik nafas dalam-dalam.
Kiai Gringsing
dan Ki Sumangkar berpandangan sejenak. Ternyata apa yang mereka dengar selagi
mereka masih di Sangkal Putung itu tidak jauh dari keadaan yang sebenarnya.
Bagi Kiai Gringsing, perampokan yang terjadi itu bukan semata-mata untuk
mendapatkan barang-barang dan kekayaan, tetapi tentu suatu usaha untuk
memisahkan Mataram dari lingkungan disekitarnya.
“Tetapi apakah
masih ada orang yang kadang-kadang lewat?”
“Ya,
kadang-kadang. Beberapa orang kadang-kadang berkumpul di sini. Mereka membentuk
semacam kelompok kecil untuk menyeberangi Alas Tambak Baya dan kemudian masuk
ke Alas Mentaok yang sedang dibuka itu.”
“Kau tahu
segala-galanya,” berkata Ki Sumangkar.
Orang itu
mengerutkan keningnya. Lalu suaranya menjadi terputus-putus,
“Tidak. Aku
tidak tahu apa-apa.”
Tetapi
Sumangkar tersenyum,
“Jangan takut.
Aku bukan ingin menakut-nakutimu. Tetapi apakah di dalam kelompok-kelompok
kecil orang tidak takut dirampok? Bagaimana jika perampoknya berjumlah besar?”
“Kadang-kadang
ada prajurit Mataram yang datang kemari. Hampir setiap tiga hari, sehingga
orang-orang itu sabar menunggu. Jika ada prajurit Mataram datang menyongsong
mereka, maka mereka pun pergi dengan aman ke Mataram. Tetapi akhir-akhir ini
sering timbul kerusuhan tidak di tengah-tengah hutan, tetapi di sekitar tempat
ini.”
“Maksudmu
perampok-perampok itu datang kemari?”
Orang itu
tidak segera menjawab. Tetapi dipandanginya kedua orang yang berdiri di muka
barang-barang dagangannya itu. Sekali-sekali ia memandang Ki Demang, Agung
Sedayu yang berdiri beberapa langkah dari tempatnya sambil memegangi kuda.
“Tetapi
siapakah kalian?” bertanya penjual makanan itu.
“Yang berdiri
itu adalah Demang Sangkal Putung,” sahut Kiai Gringsing,
“jangan takut.
Kami hanyalah sekedar lewat.”
“Ya. Aku dapat
mengenal dari wajah dan sikap kalian, bahwa kalian bukan dari golongan mereka.
Tetapi ….” orang itu tidak melanjutkan kata-katanya.
“Apakah kau
melihat seseorang yang kau curigai?”
Orang itu
tidak menyahut. Tetapi diedarkannya pandangan matanya berkeliling. Kiai
Gringsing dan Sumangkar mengikuti arah pandangan mata orang itu. Tetapi mereka
tidak melihat seseorang pun.
“Dinding-dinding
sekarang mempunyai telinga,” berkata orang itu,
“aku tidak
berani mengatakan apa pun.”
“Jangan takut.
Tidak ada orang lain yang mendengar.”
Orang itu
masih ragu-ragu. Lalu,
“Apakah Ki
Sanak yakin?”
“Ya. Aku
yakin, tidak ada orang lain yang mendengar.”
“Tetapi
siapakah sebenarnya Ki Sanak berdua?”
“Kami adalah
saudara-saudara Ki Demang. Kami adalah paman-pamannya.”
“Dan kedua
anak-anak muda itu?”
“Yang seorang
anaknya, yang seorang kemanakannya.”
“Kalian
tinggal di Sangkal Putung?”
“Ya.”
“Baiklah. Aku
ingin mengiakan pertanyaan Ki Sanak. Para perampok itu kadang-kadang datang
kemari, karena semakin sedikit orang yang lewat menyeberang hutan Tambak Baya
dan hutan Mentaok.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu bertanya,
“Apakah hari
ini tidak ada seorang pun yang akan menyeberang hutan ini?”
“Ada seorang.
Ia menunggu kawan.”
“Di mana ia
sekarang. “
“Berjalan-jalan.
Ia sangat gelisah karena belum ada kawan yang akan pergi bersamanya.”
“Bukankah
sering ada pengawal-pengawal Mataram yang kau sebut sebagai prajurit-prajurit
itu?”
“Ia menjadi
gelisah karena perampok-perampok itu sekarang tidak sekedar menunggu, tetapi
mereka menyongsong korban-korban mereka kemari.”
Kiai Gringsing
menjadi gelisah. Dipandanginya Sumangkar dengan wajah yang tegang. Lalu,
“Jadi, jadi
mereka akan datang kemari.”
“Ya.”
“Kalau begitu
aku tidak akan beristirahat di sini. Aku akan pergi seperti orang itu. Atau
sebaiknya aku kembali saja ke Sangkal Putung.”
“Kenapa
kembali?”
“Aku tidak
dapat menyediakan diri untuk dibantai oleh para perampok.”
“Bukankah
kalian akan pergi ke Mataram?”
“Tidak, kami
belum pasti pergi ke Mataram. Mungkin ke Mataram, mungkin ke Menoreh.”
“Kenapa?”
Kiai Gringsing
yang gelisah menggeleng,
“Tetapi aku
kira kita tidak akan pergi ke mana-mana.”
Penjual
makanan itu tiba-tiba tersenyum, katanya,
“Kenapa kalian
menjadi ketakutan?”
Sumangkar yang
gemetar berkata, “Kita kembali saja.”
Tetapi orang
setengah tua di belakang barang-barang jualannya itu tertawa. Katanya,
“Kalian tidak
usah takut.”
“Kenapa?”
“Aku tahu
jalan yang paling baik yang dapat kau lalui.”
“Maksudmu?”
“Jalan yang
jarang-jarang dilalui orang, tetapi justru karena itu kalian tidak akan
menjumpai seorang perampok pun. Mereka tidak akan telaten duduk berhari-hari
tanpa mendapatkan seorang korban pun.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Jadi, ada
jalan yang Ki Sanak anggap tidak akan ada seorang perampok pun yang mengganggu
perjalanan kami?”
“Ya.”
“Tetapi jalan
itu menuju ke Menoreh atau ke Mataram?”
“Kedua-duanya.
Kau dapat menempuh jalan itu, kemudian kau dapat memilih jika kalian sampai
pada sebuah jalan simpang setelah kalian melewati Alas Tambak Baya.
“Maksudmu
jalan itu adalah jalan lurus satu-satunya sehingga kami akan menjumpai jalan
simpang?”
“Ya.”
“Terima kasih.
Kami harus segera pergi.”
“Ya. Kalian
harus segera berangkat sebelum perampok-perampok itu datang.”
“Kapankah
kira-kira para pengawal dari Mataram itu akan datang kemari?”
“Baru kemarin
mereka datang, tiga hari lagi paling cepat. Mungkin lebih lagi, karena jalan
semakin sepi.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia memandang beberapa orang yang ada di
gardu. Seorang di antaranya ternyata memperhatikannya baik-baik. Tetapi Kiai
Gringsing tidak menghiraukannya.
“Jika demikian
kami akan segera pergi. Terima kasih atas petunjuk Ki Sanak. Tetapi jalan
manakah yang akan kami tempuh?”
“Melingkarlah.
Lewat di belakang padukuhan ini kalian akan sampai jalan sempit yang menjelujur
masuk ke dalam hutan. Jalan itulah yang akan kalian lalui.”
“Tetapi jalan
itu justru menjauhi arah yang kami tuju. Jalan itu menuju ke Utara, baru ke
Barat.”
“Tetapi
setelah masuk ke dalam hutan, jalan itu akan melingkar ke Selatan. Memang ada
simpang empat pada persilangan jalan itu dengan jalan yang biasa dilalui orang,
tetapi kalian dapat berhati-hati dan dengan menyusup gerumbul-gerumbul perdu,
kalian dapat menyilang jalan yang sering ditunggui para penyamun itu.”
“Baiklah.
Terima kasih. Kami akan segera pergi.”
“Tentu Ki
Demang Sangkal Putung membawa bekal banyak sekali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar