Jilid 068 Halaman 1


KIAI GRINGSING termangu-mangu sejenak. Sekilas ia memandang Ki Sumangkar. Dan jawabnya kemudian,
“Tidak banyak. Hanya sekedar hadiah untuk bakal menantunya.”
“O, jadi Ki Demang Sangkal Putung akan pergi ke bakal menantunya di Menoreh?”
“Ya.”
Penjual itu tertawa. Katanya,
“Kenapa kau membuat dirimu sendiri bingung, dengan ceritera bahwa kau akan pergi ke Mataram? Mungkin kau mencoba untuk menghilangkan jejak kepergianmu. Jika di sini ada perampok atau setidak-tidaknya orang-orangnya, mereka tidak tahu pasti kemana kau akan pergi.”
Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia mengangguk,
“Ya, ya, begitulah.”
“Nah, sekarang pergilah dengan aman. Turutlah nasehat kami.”
“Terima kasih. Jika kau tidak berbaik hati memberitahukan hal itu kepada kami, maka kami tentu akan melewati jalan yang berbahaya itu, dan kami akan terjebak ke dalam sarang para penyamun. Barang-barang Ki Demang yang tidak seberapa nilainya, yang akan diberikan kepada bakal menantunya itu, tentu akan dirampasnya.”
“Ya. Sekarang, pergilah lewat jalan yang aku katakan.”
“Terima kasih.”
“Tetapi, apakah kalian memerlukan bekal di perjalanan kalian?”
“O, hanya sedikit, karena kami sudah membawanya.”
“Ambillah.”
Kiai Gringsing menjadi heran, sehingga ia pun bertanya,
“Apakah maksudmu, aku membeli bekal padamu?”
“Ambillah. Kau tidak usah membeli. Jualanku tinggal sisanya. Aku sudah mendapat banyak untung sampai hari ini.”
“Ah, jangan begitu.”
“Ambillah menurut kebutuhanmu.”

Kiai Gringsing menjadi ragu-ragu. Tetapi ia pun mengambil beberapa macam makanan. Lalu sambil mengangguk-angguk ia berkata,
“Kau baik sekali. Mudah-mudahan, kebaikanmu akan berbuah sesuai menurut nilainya.”
Kiai Gringsing dan Sumangkar pun kemudian meninggalkan penjual itu. Tetapi, Kiai Gringsing-lah yang membawa makanan yang diambilnya dari dagangan orang yang memberinya banyak petunjuk itu. Ketika ia kemudian mendapatkan Ki Demang, maka dikatakanlah semua pesan penjual makanan dan beberapa macam bahan yang sering dibutuhkan di dalam perjalanan yang panjang, apalagi lewat hutan yang lebat. Ki Demang termangu-mangu sejenak mendengar semua pesan itu. Namun kemudian katanya,
“Jadi, kita akan berjalan lewat jalan yang ditunjukkan itu?”
Kiai Gringsing menganggukkan kepalanya.
“Ya. Kita akan pergi lewat jalan yang ditunjukkan itu.”
“Dan bekal itu?” Ki Demang ragu-ragu.
“Maksudku, orang itu terlampau baik hati kepada kita.”
“Ya. Ia tahu bahwa Ki Demang akan pergi ke Menoreh, dan aku katakan kepadanya bahwa Ki Demang membawa sekedar hadiah buat bakal menantunya.”
“Ah,” Ki Demang berdesah.
“Sudahlah, marilah kita berangkat sebelum ada seorang perampok yang datang kemari.”
Ki Demang, Agung Sedayu dan Swandaru menjadi ragu-ragu. Tetapi mereka tidak bertanya lagi. Mereka pun segera meloncat ke atas punggung kuda masing-masing dan meneruskan perjalanan, lewat jalan yang ditunjukkan oleh penjual di warung itu.
“Guru,” tiba-tiba Agung Sedayu berkata,
“aku merasakan sesuatu yang tidak wajar pada perjalanan kita ini. Apakah benar jalan yang kita lalui ini, jalan yang paling aman?”
“Padukuhan ini terlampau lengang,” desis Swandaru,
“Apakah padukuhan ini masih dihuni orang?”
Kiai Gringsing tersenyum. Katanya,
“Itulah yang menarik. Dan karena hal yang tidak wajar, dan kelengangan padukuhan inilah aku mau mendengarkan petunjuk orang itu.”
“Maksud Guru, menghindari penyamun?”
Kiai Gringsing tertawa. Katanya,
“Kita adalah petualang yang gatal tangan. Tetapi bukan itu maksudku. Jika kita bertemu dengan penyamun, maka kita akan mendapat keterangan tentang mereka.”
“Aku tidak mengerti, bagaimana maksud Kiai sebenarnya?” bertanya Ki Demang.

Kiai Gringsing pun mengamat-amati makanan yang dibawanya sejenak. Namun makanan itu pun kemudian dilemparkannya jauh-jauh.
“Aku tidak yakin bahwa makanan itu tidak mengandung racun yang sangat lemah, dan dapat memberikan pengaruh atas tenaga kita, sehingga pada suatu saat kita akan kehilangan segenap kemampuan kita.”
“O”
“Jelasnya, Ki Demang. Aku berprasangka, mudah-mudahan prasangka ini keliru,” Kiai Gringsing berhenti sejenak. Lalu,
“Bahwa orang itu telah menjerumuskan kita ke dalam sarang perampok. Padukuhan ini adalah padukuhan yang kosong. Rumah, halaman dan kebun tampak kotor dan tidak terpelihara. Aku tidak melihat seorang pun yang ada di dalam rumahnya. Sawah yang berada di dekat padukuhan ini pun menjadi bera dan tidak ditanami lagi. Tentu padukuhan ini sudah dikosongkan oleh penduduknya dan mereka mengungsi ke padukuhan-padukuhan lain, meskipun mereka masih bekerja di sawah yang agak jauh dari padukuhan ini.”
“O. Dan kita sengaja menjerumuskan diri?”
“Sekedar didorong oleh perasaan ingin tahu. Tetapi mungkin gunanya lebih dari itu.”

Ki Demang termangu-mangu sejenak. Dipandanginya wajah Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar berganti-ganti, dan kemudian wajah Agung Sedayu dan Swandaru. Namun sebelum ia berkata sesuatu, Swandaru sudah mendahuluinya,
“Kita akan mendapat mainan, Ayah. Apa salahnya kita mencari perampok-perampok itu?”
“Ah, bukankah kita akan melamar seorang gadis? Marilah kita hindari semua kemungkinan yang dapat menghambat perjalanan. Aku bukannya menjadi takut terhadap perampok. Aku lebih takut kepada anjing-anjing liar itu seandainya masih ada. Ketika aku mendengar ceritera tentang anjing liar, aku benar-benar menjadi gemetar. Alangkah sakitnya digigit oleh berpuluh-puluh anjing tanpa berbuat sesuatu. Tetapi terhadap para perampok, seandainya terpaksa kita bertemu, apa boleh buat. Aku juga membawa senjata,” Ki Demang berhenti sejenak. Tanpa disadarinya dirabanya hulu pedangnya yang tersangkut di bawah sehelai kain di punggung kuda di bawah pelana, sehingga senjata itu tidak begitu tampak dari kejauhan. Lalu katanya,
“Tetapi jika kita tahu benar bahwa kita akan bertemu dengan sekelompok perampok, apa gunanya kita berjalan terus lewat jalan ini? Apakah tidak lebih baik jika kita mengambil jalan lain yang lebih aman dan tidak mengganggu kepergian kita, untuk suatu keperluan yang sangat penting ini?”
Swandaru yang merasa berkepentingan itu pun mengerutkan keningnya. Tetapi ia masih juga ragu-ragu. Sebenarnya ia ingin juga cepat-cepat sampai ke Menoreh tanpa gangguan apa pun. Tetapi perampok-perampok itu pun tentu sangat menarik hati. Apalagi apabila di antara mereka ada orang-orang yang dapat dianggap penting dari antara mereka.
Kiai Gringsing yang mengangguk-angguk, kemudian menjawab setelah merenung sejenak,
“Ki Demang memang benar. Tetapi bagi kita, persoalan perampok itu bukannya sekedar perampok biasa. Perampok itu tentu ada hubungannya dengan berdirinya Mataram. Sebagai daerah yang baru tumbuh, ternyata Mataram menghadapi banyak sekali tantangan. Dimana-mana, orang-orang yang tidak senang terhadap Mataram dengan serentak telah melakukan kegiatannya. Sudah barang tentu semuanya dijalin dalam satu puncak kekuasaan dari mereka itu. Terlebih-lebih lagi, beberapa orang senapati tertinggi Pajang benar-benar tidak mau melihat kehadiran Mataram sebagai suatu daerah yang kuat. Tentu banayak alasan yang dapat dikemukakan. Sebagian dari mereka adalah orang-orang yang tidak ingin melihat Raden Sutawijaya memiliki kekuasaan, karena ia adalah orang yang besar. Jika ia mempunyai bekal kekuasaan atas suatu daerah yang betapa kecilnya, maka ia pasti akan dapat mengembangkan kekuasaan itu dengan baik. Ada pula di antara mereka adalah prajurit-prajurit, yang semata-mata mengemban tugas. Di antara mereka adalah Untara. Ia merasa ikut membina Pajang sejak berdirinya. Karena itu, maka ia tidak akan dapat dengan mudah melepaskan diri dari ikatan yang terjalin, antara dirinya dengan Pajang. Yang lain adalah orang-orang yang berjiwa kerdil dan dengki, sehingga mereka menjadi iri melihat perkembangan Mataram, sedang yang masih harus di cari sebabnya adalah orang-orang yang langsung merintangi pembukaan hutan itu, di hutan itu sendiri. Mungkin mereka adalah orang-orang yang sebelumnya sudah bertempat tinggal di daerah itu atau di padukuhan-padukuhan di sekitar Alas Mentaok dan sudah mempersiapkan diri untuk membuka hutan itu. Tetapi, sudah barang tentu mereka merasa dihalangi oleh usaha Raden Sutawijaya. Namun semua itu barulah sekedar dugaan.”

Ki Demang mengerutkan keningnya. Tetapi seperti Swandaru, ia menjadi ragu-ragu. ia berdiri di antara kepentingannya sendiri dan kepentingan yang lebih besar.
“Nah, apakah Ki Demang dapat sepakat dengan perjalanan ini?”
Ki Demang tidak segera menyahut. Di antara, mereka terdapat Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar. Sudah tentu bahwa keduanya adalah pelindung yang baik. Apalagi Ki Demang sendiri bukan sekedar seorang yang harus pasrah diri dalam perlindungan orang lain, karena ia pun mampu pula berkelahi. Tetapi setiap kali ia menjadi gelisah. Jika sesuatu terjadi di perjalanan, apakah yang akan dilakukan kemudian? Namun akhirnya, Ki Demang tidak dapat mengelak lagi. Meskipun Agung Sedayu dan Swandaru tidak menyatakan pendapatnya lagi, tetapi menurut tatapan mata mereka, keduanya ingin mencoba untuk meneruskan perjalanan lewat jalan sempit itu.
“Baiklah,” berkata Ki Demang,
“aku akan mengikuti kalian. Aku percaya bahwa kalian sudah membuat perhitungan yang sebaik-baiknya.”
“Mudah-mudahan semua angan-angan dan prasangka kami tidak benar, Ki Demang.”
Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia pun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Marilah, kita melihat apa yang ada di depan kita.”
Kiai Gringsing memandang Ki Demang sejenak. Lalu katanya,
“Kita akan berusaha, bahwa apa yang kita lakukan ini tidak mengganggu perjalanan kita, karena pada pokoknya kita sedang pergi ke Menoreh. Apa yang terjadi ini hanyalah sekedar gejolak di permukaan air saja. Tetapi arusnya tetap menuju ke muara.”
Ki Demang memandang wajah Kiai Gringsing sejenak. Namun ia pun kemudian tersenyum sambil berkata,
“Aku sudah terlalu tua untuk bertualang.”
“Umurku lebih tua.”
“Bukan umur. Tetapi jiwa kita masing-masing. Aku adalah seorang Demang yang biasa bekerja di satu tempat yang ajeg, tidak berkeliling kemana-mana. Dan cara hidup yang demikian itulah, yang agaknya membuat jiwaku lebih tua dari Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar.”
Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar tersenyum, sedang Swandaru tertawa pendek. Dipandanginya wajah ayahnya yang memang masih nampak lebih muda dari Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar. Bahkan katanya,
“Kebiasaan Ayah memang hanya menunggui banjar dan bendungan di Sangkal Putung.”
“Bukan begitu, Ki Demang,” berkata Ki Sumangkar,
“kita memang mempunyai pekerjaan dan kebiasaan kita masing-masing. Itulah justru yang membuat kehidupan ini menjadi sangat menarik.”
Ki Demang pun tersenyum pula. Tetapi ia tidak menyahut lagi. Mereka meneruskan perjalanan melingkar padukuhan yang sepi, kemudian menyusuri jalan sempit di bulak yang tidak ditanami. Tetapi bulak itu pun tidak begitu luas. Kemudian, mereka mengikuti jalan itu berbelok menuju ke Alas Tambak Bayu. Tetapi jalan yang mereka lalui itu agaknya memang hampir tidak pernah disentuh kaki. Rerumputan liar dan dedaunan yang dilemparkan oleh pepohonan di sebelah-menyebelah jalan itu, sama sekali tidak menyibak.

Meskipun demikian, agaknya sesuatu telah menarik perhatian Kiai Gringsing, Dilihatnya batang-batang rumput yang patah, dan di antara dedaunan kuning yang runtuh, kadang-kadang tampak juga bekas kaki yang belum terlalu lama pada tanah yang gembur lembab. Karena itu, maka Kiai Gringsing pun kemudian menggamit Ki Sumangkar dan memperlihatkan bekas-bekas yang menarik perhatiannya itu, sambil berjalan terus perlahan-lahan.
Ki Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Ya. Aku juga melihat.”
Kedua orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekilas dipandanginya wajah Ki Demang yang tampak bersungguh-sungguh dan wajah kedua anak-anak muda yang justru menjadi cerah. Ternyata udara terbuka membuat mereka menjadi gembira. Mereka dapat melihat alam yang luas dan rasa-rasanya hati mereka pun menjadi lapang, selapang bulak yang tidak ditanami itu. Tetapi kedua anak-anak muda itu beserta Ki Demang tertegun, ketika mereka melihat Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar yang berkuda di paling depan berhenti sejenak. Tampaknya mereka sedang mengamat-amati jalan di depan kaki-kaki kuda mereka.
“Ada apa, Kiai?” bertanya Ki Demang.
Kiai Gringsing berpaling. Namun ia pun kemudian tersenyum. Katanya,
“Tidak apa-apa. Aku hanya melihat bahwa dekat sebelum kita, ada juga orang yang lewat jalan ini. Tentu atas petunjuk penjual itu.”
“O.”
“Aku semakin yakin, bahwa orang yang menunggui warung itu bukan orang yang baik hati seperti kita duga semula. Padukuhan yang berubah cepat sekali sejak kami lewat terakhir kalinya, memberikan kesan yang menarik, sehingga kita memang harus berhati-hati.
Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak kemudian ia pun menyahut,
“Baiklah. Aku akan berhati-hati. Tetapi mudah-mudahan jika terjadi sesuatu, tidak akan mengganggu rencana perjalanan kita yang sebenarnya.”
“Aku rasa memang tidak, Ki Demang.”
Ki Demang tidak menyahut lagi. Namun sekali ia berpaling. Di belakangnya, Agung Sedayu dan Swandaru menengadahkan kepalanya sambil memandang ke kejauhan. Memandang sinar matahari yang menjadi semakin terik, membakar wajah bulak yang tidak ditanami. Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya ia memang sudah dipagari oleh kekuatan yang dapat dipercaya. Namun demikian, baginya lebih baik tidak bertemu dan berkelahi dengan siapa pun daripada harus terganggu, meskipun tidak terlalu lama.
“Tetapi bagaimanakah jika kekuatan perampok itu melampaui kekuatan kami?” ia berdesah di dalam hati. Tetapi Ki Demang tidak mau memikirkannya lagi. Bukan karena ia menjadi ketakutan. Tetapi, ia tidak ingkar bahwa ia menjadi cemas.
“Jika aku tidak sedang dalam perjalanan yang penting,” katanya di dalam hati, Ki Demang bukannya orang yang menjadi ketakutan dan bersembunyi ketika Tohpati mengancam kademangannya. Bahkan bersama para pengawal kademangan yang masih muda-muda dan beberapa orang laki-laki yang tidak ingin melihat kademangannya ditelan oleh pasukan Tohpati, Ki Demang maju juga ke medan.

Tetapi yang mencemaskannya kini, adalah justru kepentingan perjalanannya itu. Namun agaknya kawan-kawannya seperjalanan adalah petualang-petualang yang selalu tertarik pada persoalan-persoalan yang mendebarkan. Termasuk anaknya yang menjadi murid Kiai Gringsing. Bahkan jika diijinkan, anaknya perempuan akan berbuat serupa pula. Namun sebenarnya, jika Kiai Gringsing tertarik kepada perampok-perampok itu, bukan semata-mata karena darah petualangannya. Sebenarnya ia pun telah dicengkam oleh kecemasan. Betapa beratnya tantangan yang harus dihadapi oleh daerah yang sedang tumbuh itu.
“Kenapa aku ikut berprihatin atas Mataram?” kadang ia bertanya kepada diri sendiri.
Namun, betapa pun ia mencoba menyembunyikan perasaannya, tetapi terhadap dirinya sendiri ia harus berkata dengan jujur, bahwa sebenarnyalah ia kecewa terhadap Pajang sekarang. Pajang yang dahulu diharapkan dapat menjadi pelita dan pemersatu daerah-daerah yang bertebaran di tanah ini. Tetapi agaknya Sultan Pajang tidak akan berhasil, karena kemudian ia terbenam dalam kamukten yang berlebih-lebihan, meskipun di masa mudanya ia adalah anak muda yang sangat prihatin. Seorang anak muda yang seakan-akan selalu tidur berselimut embun di sawah, yang beratapkan langit yang luas. Tetapi Kiai Gringsing selalu mencoba menghindarkan diri dari setiap dorongan untuk berbuat lebih jauh lagi. Bahkan kadang-kadang ia mencoba menasehati dirinya sendiri,
“Apakah artinya kau seorang diri. Seorang dukun tua, yang tersisih dari percaturan pemerintah sejak Demak masih berdiri?”
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Dan ia terperanjat ketika ia mendengar suara sawangan berdesing di atas kepalanya. Dengan serta-merta Kiai Gringsing menengadahkan wajahnya. Tetapi dedaunan di sebelah-menyebelah jalan yang rimbun menutup pandangannya, sehingga ia tidak dapat melihat seekor merpati yang terbang dengan sawangan itu. Ketika ia maju beberapa langkah dan berhenti di tempat terbuka, suara sawangan itu telah menjadi semakin jauh.
“Merpati dengan sawangan,” ia berdesis.
“Ya,” sahut Ki Sumangkar,
“ketika aku masih kanak-kanak, aku senang juga bermain dengan burung merpati yang diberi sawangan, sehingga seolah-olah kita mendengar desing yang tiada putus-putusnya di udara.”
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ketika ia berpaling, dilihatnya Ki Demang menjadi heran dan bertanya,
“Apakah Kiai juga senang bermain sawangan?”
Kiai Gringsing tersenyum. Sebelum ia menjawab Swandaru pun berkata pula,
“Aku mempunyai banyak sawangan di rumah. Tetapi burung merpatiku sudah hampir habis disembelih. Ayah dan Ibu ternyata benci kepada burung merpati, karena merusak genting dan mengotori dinding.”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi ia menengadahkan kepalanya karena suara itu terdengar lagi, semakin lama semakin dekat.
“Aku pernah mendengar isyarat semacam ini.” katanya.
“Isyarat?” bertanya Ki Demang.
“Aku kira di padukuhan yang kosong, tidak ada anak-anak yang bermain sawangan.”
Ki Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Katanya,
“Memang agak aneh bahwa di sini ada seekor merpati dengan sebuah sawangan.”
“Maksud, Kiai, apakah merpati ini suatu isyarat bagi para perampok itu?”
“Boleh jadi. Orang-orang di pinggir padukuhan itulah yang melepaskannya, untuk memberitahukan bahwa di jalan ini lewat beberapa orang yang dapat dijadikan korbannya.”
Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengerutkan keningnya ia berkata,
“Jadi menurut dugaan, Kiai, kita sudah hampir berpapasan dengan perampok-perampok itu?”
“Sekedar dugaan. Sebentar lagi kita memasuki hutan yang semakin lebat. Memang mungkin sekali kita ditunggu oleh para perampok itu di mulut hutan.
Ki Demang memandang hutan yang terbentang di hadapannya. Kemudian ia pun berdesah,
“Jika memang jalan itu yang harus kita tempuh, apa boleh buat.”
Hampir di luar sadarnya, disentuhnya tangkai pedangnya yang mencuat dari balik sehelai kain di punggung kudanya, di bawah pelana.
Kiai Gringsing dapat membaca perasaan Ki Demang. Sebagai orang tua yang membawa anak laki-lakinya melamar, maka sudah barang tentu bahwa ia tidak ingin menjumpai gangguan berupa apa pun juga. Tetapi bagi Kiai Gringsing, rasa-rasanya orang-orang itu perlu ditemuinya. Jika mungkin untuk sekedar bertanya-jawab apabila mereka mengetahui serba sedikit tentang diri mereka dan orang-orang yang berdiri di belakang mereka. Menurut perhitungannya, maka para perampok itu tidak akan mengganggu perjalanannya ke Menoreh dan apalagi merintanginya. Mungkin memang ada persoalan yang harus di atasinya, tetapi persoalan-persoalan itu tidak akan banyak mempunyai arti. Meskipun demikian, Kiai Gringsing tetap berhati-hati. Memang mungkin sekali, bahwa perampok yang dijumpainya adalah segerombolan orang-orang yang kuat dan yang mendapat kepercayaan untuk memagari Mataram, agar Mataram tidak lagi dapat terlalu banyak menarik perhatian orang, sehingga dalam waktu yang singkat akan dapat menjadi sebuah negeri yang ramai. Bagi Kiai Gringsing suara sawangan merpati itu adalah meyakinkan sekali. Ia pernah mendengar isyarat yang sama. Dan kini dihubungkan dengan kecurigaaannya kepada orang-orang yang pernah ditemuinya, maka suara sawangan itu adalah suara yang merupakan isyarat juga baginya, agar ia berhati-hati. Karena itu, ketika mereka menjadi semakin dekat dengan mulut lorong yang menyusup ke dalam hutan, maka Kiai Gringsing pun kemudian merubah urut-urutan perjalanan mereka. Yang di paling depan dari mereka adalah Kiai Gringsing. Tetapi mereka tidak lagi berjajar dua, tetapi beriringan seorang demi seorang. Di belakang Kiai Gringsing adalah Swandaru, kemudian Ki Demang Sangkal Putung. Di belakang Ki Demang adalah Agung Sedayu dan di paling belakang dari iring-iringan itu adalah Ki Sumangkar.
“Urut kacang,” desis Swandaru.
Agung Sedayu yang berada di belakang Ki Demang menjawab,
“Jalan memang terlampau sempit.”
“Mungkin kita harus turun dari punggung kuda,” sahut Ki Sumangkar yang ada di paling belakang.

Kiai Gringsing sama sekali tidak berkata apa pun. Dengan penuh perhatian dipandanginya hutan yang lebat di hadapannya. Beberapa langkah lagi mereka akan menyusuri hutan perdu yang sempit, kemudian mereka akan segera memasuki hutan yang pepat.
“Berhati-hatilah,” desis Kiai Gringsing ketika mereka telah berada di antara gerumbul-gerumbul perdu.
Swandaru yang berkuda di belakang Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Ada semacam kegembiraan yang tidak dikenalnya di dalam hatinya. Ternyata bahwa anak muda itu memang memiliki jiwa petualangan. Kemungkinan-kemungkinan yang berbahaya dan keras seakan-akan membuatnya semakin gairah menghadapi perjalanan itu. Bagi Swandaru ternyata petualangan dan seorang isteri memiliki daya tariknya masing-masing, sehingga ia ingin menempuh kedua-duanya. Ki Demang yang berada di belakang Swandaru menjadi berdebar-debar. Di dalam setiap benturan kekerasan, sesuatu dapat terjadi atas setiap orang yang terlibat di dalamnya. Mungkin dirinya sendiri, mungkin Swandaru, atau kedua-duanya. Dengan demikian maka perjalanan ini adalah perjalanan yang sia-sia. Namun ia tidak dapat menentang kematian setiap orang di dalam rombongannya yang kecil itu. Karena itu, sebagai seorang yang memiliki kepercayaan kepada Yang Menjadikannya, maka Ki Demang itu pun berdoa di dalam hatinya, agar perjalanan itu mendapat perlindungan-Nya.
Dalam pada itu, wajah Agung Sedayu pun nampak bersungguh-sungguh. Berbeda dengan Swandaru, maka yang dipersoalkan oleh Agung Sedayu di dalam hatinya adalah, kesulitan-kesulitan yang banyak dihadapi oleh Mataram. Apakah sebabnya maka orang-orang itu masih saja berusaha menggagalkan usaha Raden Sutawijaya untuk membina daerah yang sedang tumbuh ini? Apakah salahnya jika Mataram menjadi ramai seperti kota-kota lain di dalam wilayah Pajang?
Masih terngiang di telinganya keterangan gurunya, bahwa Pajang memusatkan perhatiannya kepada perkembangan Mataram, dan yang justru beberapa orang menganggapnya sebagai lawan, karena Mataram memiliki seorang Raden Sutawijaya. Pengaruh Raden Sutawijaya akan dapat menyuramkan kebesaran cahaya yang pernah dipancarkan oleh seorang anak, yang bernama Jaka Tingkir dan disebut Mas Karebet, yang kemudian menduduki tahta Pajang.
Di luar kehendaknya sendiri, ternyata Agung Sedayu tertarik sekali pada perkembangan Mataram. Ia bahkan menjadi kagum melihat kemauan yang keras dari Raden Sutawijaya yang didorong oleh ayahnya, Ki Gede Pemanahan, untuk mengatasi setiap kesulitan. Bahkan menurut penilaian Agung Sedayu, setiap kesulitan yang dihadapinya, merupakan pendorong yang kuat bagi Raden Sutawijaya.
Di paling belakang dari iring-iringan itu adalah Sumangkar. Persoalan yang dihadapinya di saat-saat terakhir, membuatnya kehilangan gairah untuk memikirkan masalah-masalah yang menyangkut pemerintahan. Yang ada di dalam hatinya kemudian adalah, jika benar mereka akan menghadapi segerombolan perampok yang mengganggu kemungkinan pertumbuhan Mataram, maka perampok-perampok itu harus dimusnahkan. Baik Mataram maupun Pajang tentu tidak akan mendapat keuntungan dari sikap keras yang tidak dilandasi oleh kepentingan yang luas dan jauh, selain kepentingan bagi diri sendiri dan gerombolannya. Bahkan di sejajari dengan usaha-usaha untuk mengadu domba antara Pajang dan Mataram.

Maka sejenak kemudian iring-iringan itu sudah sampai ke mulut lorong yang menghunjam ke dalam hutan Tambak Baya. Lorong itu adalah lorong yang agaknya memang jarang sekali dilalui orang, selain mereka yang terjerumus karena petunjuk orang-orang yang memang dipasang oleh para perampok, atau satu dua orang-orang yang mencari kayu bakar di hutan-hutan. Dengan angan-angan dan persoalan yang berbeda-beda di dalam hati masing-masing, maka mereka pun mulai memasuki hutan itu. Meskipun di bagian tepi dari hutan Tambak Baya itu masih belum merupakan hutan yang lebat pepat, namun sudah terasa bahwa udara mulai menjadi lembab.
Sekali-sekali mereka masih mendengar sawangan merpati yang terbang melingkar-lingkar di atas mereka. Sehingga karena itu, maka mereka pun menjadi semakin berhati-hati. Namun dugaan Kiai Gringsing, bahwa dihadapan iring-iringan kecil itu sudah ada sekelompok orang yang mendahului menjadi semakin kuat, karena bekas-bekasnya tampak semakin nyata. Ranting-ranting yang patah dan batang-batang rerumputan liar yang terinjak kaki di sepanjang jalan itu.
“Agaknya sudah ada pula orang yang terjerumus ke dalam neraka ini,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya. Namun ia sama sekali tidak mengatakannya, meskipun menurut dugaan Kiai Gringsing, kawan-kawan seperjalanannya mengetahui pula bekas-bekas itu, terutama Ki Sumangkar.
Dalam pada itu, tiba-tiba saja Swandaru bertanya,
“Guru, apakah Guru sudah mengenal jalan ini?”
Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya. Jawabnya,
“Aku baru kali ini melalui jalan ini, meskipun jalan ini agaknya sudah lama ada, dan bahkan sekarang sudah tidak dipergunakan lagi. Tetapi aku kira jalan ini bukan jalan yang harus dilalui untuk pergi ke Mataram.”
“Jadi, apakah kita akan dapat menemukan jalan keluar dari hutan ini? Meskipun hutan ini tidak seluas Mentaok, tetapi hutan ini cukup lebat.”
“Asal kita tidak kehilangan kiblat. Selagi matahari masih ada di langit, kita akan dapat mengetahui arah.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia masih bertanya,
“Tetapi bagaimana jika jalan ini kemudian terputus. Apakah kita harus menyusup hutan di antara sulur-sulur kayu dan menyibakkan dedaunan yang rimbun? Dengan demikian, maka seperti kata Paman Sumangkar, bukan kita naik punggung kuda, tetapi kuda-kuda itu akan menjadi beban selama perjalanan ini.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya, ia mengerti pertanyaan muridnya itu. Namun jawabnya,
“Kita melihat keadaan yang akan kita hadapi.”
Swandaru mengerutkan keningnya. Gurunya ternyata tidak menjawab pertanyaannya. Dan mereka bersama-sama masih harus menunggu dan melihat, apa yang mereka hadapi kemudian. Dengan demikian, maka Swandaru tidak bertanya lagi. Sambil maju terus ia memandang keadaan di sekitarnya, rasa-rasanya memang ada sesuatu di perjalanan itu. Bahkan nalurinya mengatakan bahwa beberapa pasang mata seakan-akan sedang mengintip di balik dedaunan.

Belum lagi mereka menusuk jauh ke dalam, tiba-tiba saja mereka telah dikejutkan oleh suara yang aneh, tidak jauh di hadapan mereka. Karena itu, maka Kiai Gringsing pun memperlambat langkah kudanya. Didengarnya suara itu dengan saksama. Seperti yang pernah dikenalnya dalam keadaan yang tidak dapat diketahuinya dengan pasti itu, orang-orang yang bersembunyi di hutan Mentaok dan mungkin juga yang bersembunyi di hutan Tambak Baya ini telah membuat berbagai macam keadaan yang membuat seseorang menjadi bingung. Semakin dekat, ternyata bahwa suara itu adalah suara merintih seseorang. Semakin lama semakin dekat. Bahkan bukan saja seseorang yang merintih-rintih, tetapi orang itu benar-benar berteriak minta tolong. Sejenak kemudian mereka pun melihat seseorang berlari-lari terhuyung-huyung dari arah yang berlawanan. Di tubuhnya terdapat noda-noda darah yang masih basah.
“Lihat!” Ki Demang hampir berteriak pula.
“Tunggu,” cegah Kiai Gringsing,
“kami pernah tertipu oleh keadaan yang serupa. Kita pernah melihat orang, yang luka parah dengan darah di seluruh tubuhnya, ternyata orang itu sama sekali tidak terluka. Dan darah itu sama sekali bukan darah yang sebenarnya.”
Orang yang berlari-lari itu ketika melihat iring-iringan orang berkuda, maka seakan-akan mendapatkan tenaga baru untuk berlari-lari mendekat. Suaranya yang telah parau masih terdengar,
“Tolong, tolonglah kami.”
“Ia tidak sendiri,” desis Swandaru. Kiai Gringsing pun justru telah berhenti. Dengan, sigapnya ia meloncat turun. Ketika orang yang berlari-lari itu mendekatinya sambil memegangi lambungnya. Kiai Gring-sing berkata,
“Berhenti di situ.”
Orang itu terkejut. Tetapi ia berkata terputus-putus,
“Tolong. Tolonglah kami.”
“Apakah kau terluka?”
“Ya, Ki Sanak. Aku terluka parah. Tiga orang kawanku masih terjebak. Mereka berkelahi melawan beberapa orang penyamun.”
“Jangan mendekat,” cegah Kiai Gringsing pula.
“Berdiri di situ. Akulah yang akan mendekat.”
Orang yang pucat itu menjadi semakin heran. Tetapi ia berhenti juga sambil berpegangan sebatang pohon. Kiai Gringsing pun segera melangkah mendekatinya. Di amat-amatinya orang itu sejenak. Kemudian,
“Tunjukkan lukamu.”
Orang itu ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia menunjuk lambungnya,
“Singsingkan bajumu.”
Orang itu menjadi semakin termangu-mangu. Tetapi ia menyingsingkan bajunya pula. Dari balik baju itu Kiai Gringsing melihat lambungnya tergores oleh ujung senjata tajam. Kali ini ia tidak akan tertipu lagi. Dari luka itu pula darahnya telah menitik. Benar-benar darahnya. Bukan sekedar warna merah. Karena itu maka Kiai Gringsing pun segera mendekatinya. Diamatinya luka itu sejenak. Dan ia pun yakin bahwa kali ini ia tidak tertipu lagi. Orang yang dihadapinya itu adalah benar-benar orang yang terluka. Dan ia tidak menganggap bahwa orang itu telah dengan sengaja melukai dirinya sendiri begitu parah untuk menjebaknya.
“Kenapa kau, Ki Sanak?” bertanya Kiai Gringsing.
“Penyamun. Kami telah dicegat di balik tikungan itu.”
“Kau bertempur melawan mereka?”
“Kami ingin menyelamatkan barang kami. Tetapi kami tidak dapat bertahan. Aku terluka dan melarikan diri. Mungkin aku sedang mereka cari sekarang.”
“Tidak sulit mencarimu. Tetesan darah di tubuhmu membawa mereka segera datang kemari.”
“Lindungi kami.”
“Kami harus berkelahi melawan mereka?”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian tatapan matanya yang pasrah itu pun menjadi redup. Katanya,
“Apa boleh buat. Jika kalian tidak dapat melindungi aku karena kalian tidak ingin terlibat dalam perkelahian, aku tidak dapat memaksa. Nasibku sebentar lagi akan ditentukan oleh mereka, apabila mereka menemukan jejakku.”
“Mereka pasti akan menemukan. Bagaimana, Ki Sanak dapat lari?” bertanya Kiai Gringsing.
“Kami tiba-tiba saja telah disergap. Beberapa orang dari kami telah berkelahi. Meskipun kami berusaha keras, tetapi kami tidak akan mampu melawan mereka. Karena itu, kami berlari-larian ke segala arah mencari keselamatan diri kami masing-masing. Beberapa orang penyamun telah mengejar kami berpencaran. Sedang tiga orang di antara kami tidak sempat berlari. Dan mereka masih bertahan melawan seorang penyamun. Sedang penyamun-penyamun yang lain mengejar kami yang berpencaran. Aku dapat menyelipkan diriku di antara dedaunan dan kemudian lari sampai ke tempat ini. Aku tidak tahu bagaimana nasib kawan-kawanku yang lain.”
“Ada berapa orang penyamun yang mencegatmu? “
“Empat orang. Tetapi tiga orang dari kami tidak dapat mengalahkan seorang dari mereka.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Ternyata jumlah penyamun itu tidak banyak.
“Berapa jumlah kawan Ki Sanak seluruhnya?” bertanya Kiai Gringsing kemudian.
“Kami berlima, sedang rombongan yang lain berempat.”
“Maksudmu rombongan yang lain?”
“Kami terdiri dari dua rombongan yang bersama-sama akan pergi ke Mataram. Jumlah kami seluruhnya sembilan orang.”
Kiai Gringsing masih mengangguk-angguk. Lalu ia pun bertanya pula,
“Kalian sembilan orang tidak dapat melawan hanya empat orang?”
“Tetapi yang empat orang itu adalah orang-orang yang luar biasa. Ketika aku bersembunyi, aku masih melihat tiga orang di antara kami yang terikat dalam suatu perkelahian, melawan seorang saja dari antara mereka, karena yang tiga dari mereka sedang berpencaran mengejar kami. Tetapi, tiga orang kawan kami itu tidak berdaya. Mungkin mereka kini sudah berlari pula. Atau mati.”
Sejenak Kiai Gringsing memandangi wajah yang pucat itu. Kemudian berpaling kepada Sumangkar sambil berkata,
“Di hadapan kita ada empat orang penyamun.”
Sumangkar yang ada di paling belakangpun kemudian maju mendekati Kiai Gringsing. Ia pun mengamati orang yang terluka itu dengan saksama. Lalu katanya kepada Kiai Gringsing,
“Marilah kita berjalan terus.”
“Kalian akan berjalan terus?” bertanya orang yang terluka itu.
“Ya. Kami akan berjalan terus,” sahut Ki Sumangkar.
“Kalian akan membantu kami?”
“Tergantung kepada keadaan yang akan kita hadapi.”
“O,” orang itu menjadi sedikit kecewa.
“Sekarang,” berkata Kiai Gringsing kemudian,
“cobalah mengobati lukamu itu.”
“Obat apakah yang harus aku pergunakan sekarang? Aku sama sekali tidak membawa obat apa pun juga.”

Kiai Gringsing pun kemudian mengambil sebuah bumbung kecil, berisi obat bagi luka-luka baru. Kemudian ditaburkannya serbuk dari bumbung itu pada luka di lambung yang cukup panjang. Meskipun goresan itu tidak terlalu dalam, namun jika tidak segera mendapat pengobatan, maka luka itu akan dapat berbahaya bagi orang itu. Orang itu menjadi terheran-heran, bahwa tanpa disangka-sangka ia telah bertemu dengan seseorang yang dapat mengobati lukanya. Dengan demikian ia mulai bertanya-tanya kepada diri sendiri,
“Siapakah orang-orang berkuda ini?”
Namun, baru saja Kiai Gringsing selesai mengobati orang itu, dilihatnya sesosok bayangan di kejauhan. Hanya sekilas, karena bayangan itu segera berlindung di balik dedaunan. Karena itu, maka Kiai Gringsing kemudian berkata,
“Kita diamati oleh beberapa orang.”
“Siapa?” bertanya Ki Sumangkar yang kebetulan tidak melihat bayangan itu.
“Apakah adi Sumangkar memperhatikan para petani yang ada di gardu?”
“Ya.”
“Apakah kesan yang kau dapat?”
“Aku mencurigainya. Petani-petani itu seakan-akan sedang berisirahat. Tetapi tidak ada sawah yang dikerjakan di dekat gardu itu.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya,
“Kita akan berhadapan dengan orang-orang yang akan mengejar orang yang terluka ini, dan orang-orang yang memang ditugaskan mengikuti kita.”
“Ya.”
“Nah, tempatkan diri kalian masing-masing,” berkata Kiai Gringsing. Lalu,
“Tidak menguntungkan jika kita berada di punggung kuda di daerah yang pepat seperti ini.”
Ki Sumangkar menganggukkan kepalanya.
Sejenak kemudian, maka mereka pun telah berloncatan turun. Agung Sedayu, Swandaru dan Ki Demang Sangkal Putung pun segera menambatkan kuda mereka, seperti juga Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar.
“Mau tidak mau perjalanan ini akan terganggu,” desis Ki Demang.
“Maaf, Ki Demang,” berkata Kiai Gringsing,
“mudah-mudahan tidak memerlukan waktu terlalu lama.”
Ki Demang pun menganggukkan kepalanya. Ia masih saja berdiri di sisi kudanya, karena senjatanya tersangkut pada pelana kudanya, terlindung oleh selembar kain di bawah pelana itu.

Sejenak mereka menunggu, sedang orang yang terluka itu duduk sambil menyeringai menahan panas oleh obat yang diberikan Kiai Gringsing pada lukanya. Namun kegelisahan di hatinya bahkan telah mengurangi rasa sakit yang dideritanya.
“Ternyata kami tidak dapat maju lagi,” bisik Ki Sumangkar kepada orang itu,
“Kami menghadapi persoalan kami sendiri. Mudah-mudahan kawan-kawanmu selamat.”
Orang itu dapat mengerti. Karena itu maka ia pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun sejenak kemudian, mereka terkejut ketika mereka mendengar derap orang berlari-lari kejar mengejar. Kemudian muncullah seseorang yang berlari sekencang-kencangnya, menuju ke arah mereka.
“Itu seorang dari kawan kami,” desis orang yang terluka itu. Lalu sambil melambaikan tangannya ia memanggil,
“Aku di sini.”
“Sst,” desis Kiai Gringsing.
Orang itu terkejut mendengar desis Kiai Gringsing. Tetapi dalam pada itu kawannya sudah mendengar dan melihatnya, sehingga karena itu, maka dengan serta-merta ia pun berlari mendatanginya. Sejenak kemudian muncullah orang yang mengejarnya. Ketika orang itu melihat buruannya berlari di antara beberapa orang, maka ia pun segera berhenti. Orang yang baru saja datang sambil berlari-lari itu berhenti di samping kawannya yang terluka dengan nafas terengah-engah. Tanpa menghiraukan orang lain ia bertanya,
“Kau sudah ada di sini?”
“Ya. Aku bertemu dengan orang-orang ini.”
“Ia berteriak-teriak,” sahut Kiai Gringsing,
“untunglah bahwa yang mendengar suaranya adalah kami bukan orang-orang yang mencarinya.”
“Aku bingung dan ketakutan.”
“Kau terluka?” bertanya kawannya. Orang yang terluka itu mengangguk.
Namun dalam pada itu, orang yang mengejarnya tertawa sambil berkata,
“Tidak ada jalan untuk lari. Karena itu, dengan telaten kami mencari kalian seorang demi seorang.”
Semua orang memandanginya dengan tajamnya. Tetapi tidak seorang pun yang segera menyahut.
“Jika kalian keluar dari hutan ini, kalian bukan berarti terlepas dari tangan kami,” orang yang mengejar itu berkata selanjutnya. Lalu,
“Bahkan bukan saja kalian yang sudah terlanjur berada di tangan kami, tetapi orang-orang yang baru datang dengan mengendarai kuda itu pun tidak akan dapat meninggalkan kami dengan selamat. Jangan menyesal bahwa kalian telah berada di dalam kekuasaan kami. Hutan Tambak Baya dan Mentaok adalah kerajaan kami.”
“Siapakah sebenarnya kalian, Ki Sanak?” bertanya Kiai Gringsing.
“Tidak ada yang dapat mengenal kami dengan tepat. Kami adalah orang-orang yang tidak bernama dan tidak bertempat tinggal. Istana kami adalah hutan ini. Dan kalian telah masuk ke dalam lingkungan kami, sehingga kalian tidak akan dapat keluar lagi. Mungkin masih ada cara bagi kalian antuk menyelamatkan diri, tetapi barangkali memerlukan suatu perjanjian yang matang.”
“Apa maksudmu?”
“Apakah kalian membawa harta benda? Mungkin bekal kalian atau mungkin barang dagangan?”
“Jika tidak?”
“Nyawa kalian lah yang kami perlukan. Atau, dua orang di antara kalian menjadi tawanan kami. Keduanya akan kami bebaskan kemudian, jika yang lain dapat menebusnya dengan uang atau emas atau apa pun yang kami tentukan.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Sejenak dipandanginya Ki Sumangkar yang berdiri sambil menyilangkan tangan di dadanya. Sedang Agung Sedayu dan Swandaru berdiri sebelah-menyebelah Ki Demang yang termangu-mangu di sisi kudanya.
“Nah, apakah yang akan kalian pilih? Atau, barangkali kalian sekarang sudah membawa barang-barang yang cukup?”
“Jika kami membawa barang-barang yang cukup, apakah kami dapat meneruskan perjalanan kami ke Mataram?” bertanya Kiai Gringsing.
“Tidak. Kalian boleh pergi, tetapi kalian harus kembali, tidak terus ke Mataram atau kemana pun juga. Kalian hanya dapat kembali tanpa pilihan yang lain. Sedangkan apabila kalian tidak membawa apa-apa, dan tidak bersedia menyerahkan dua orang sebagai tanggungan, maka kalian semuanya akan kami bunuh.”
“Apakah keberatan kalian jika kami pergi ke Mataram?”
“Tentu tidak ada. Tetapi kami berhak untuk menentukan kemana kalian harus pergi, karena daerah ini adalah kerajaan kami. Apa yang kami katakan harus kalian lakukan.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekilas di pandanginya dua orang yang berhasil melepaskan diri dari tangan para perampok itu, dan kini ada di antara rombongannya. Namun sekilas terbayang tiga orang yang berusaha berkelahi mati-matian, tetapi tidak berhasil mengalahkan hanya seorang lawan. Tetapi menurut perhitungan Kiai Gringsing, jika orang-orang itu berhasil melarikan diri, maka mereka pasti akan sampai ke tempat ini karena jalan ini adalah jalan keluar dari hutan Tambak Baya, kecuali mereka yang tersesat dan kehilangan arah. Karena itu, maka Kiai Gringsing sengaja memperpanjang waktu sambil menunggu orang-orang lain yang mungkin akan berdatangan.
“Ki Sanak,” berkata Kiai Gringsing,
“kenapa kalian mengganggu perjalanan kami dan perjalanan rombongan-rombongan yang lebih dahulu dari kami? Jika kalian sekedar penyamun yang memerlukan harta benda, maka kalian tentu akan berkeberatan jika kami berjalan terus ke Mataram.”
“Kami bukan orang yang paling bodoh di muka bumi,” jawab orang itu,
“tentu kalian dapat berceritera kepada orang-orang Mataram tentang kami.”
“Apakah jika kami kembali ke asal kami, kami tidak dapat berceritera tentang kalian?”
“Aku tidak peduli. Dan mereka yang mendengar ceriteramu itu, tidak akan berani lewat jalan ini pergi ke Mataram.”
“Apakah dengan demikian kalian tidak kehilangan mata pencaharian? Bukankah semakin banyak orang yang lewat, rejeki kalian menjadi semakin banyak?”
Wajah orang itu menegang sejenak. Namun kemudian ia pun tertawa,
“Kalian cukup cerdas. Tetapi sayang, bahwa aku tidak peduli pada pendapat kalian itu.”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Dipandanginya wajah orang yang belum dikenalnya itu sejenak. Ternyata wajah itu menyimpan ungkapan sikap yang keras dan kasar.
“Ki Sanak,” berkata Kiai Gringsing kemudian,
“apakah sebenarnya maksud kalian dengan tingkah laku kalian di hutan Tambak Baya ini? Manakah yang lebih penting bagi kalian, menyamun untuk mendapatkan harta benda, atau menahan arus manusia yang mengalir ke Mataram?”
Orang itu mengerutkan keningnya. Dan kembali wajahnya menegang. Katanya,
“Terlalu banyak yang ingin kau ketahui. Sekarang, apakah kau membawa barang-barang berharga?”
Kiai Gringsing memandang ke tikungan. Masih belum ada orang lain yang datang. Karena itu ia masih mencoba memperpanjang waktu,
“Apakah sebenarnya yang kau maksud dengan barang-barang berharga? Pakaian atau uang.”
“Apa saja. Pakaian, uang, emas atau intan berlian atau kuda-kudamu yang tegar itu.”
“Yang jelas dapat kau lihat adalah kuda-kuda kami. Tetapi sayang, bahwa kuda kami akan kami pakai untuk meneruskan perjalanan. Apakah ada yang lain yang kau kehendaki?”
“Nyawa kalian. Memang sebaiknya nyawa kalian. Jika kalian mati terbunuh, maka semua barang yang kalian bawa akan menjadi milik kami. Juga kuda-kuda itu.”
“Kau hanya seorang diri. Kami berlima dan sekarang bertujuh, meskipun yang seorang telah terluka. Tetapi, ia masih mampu berkelahi melawanmu.”
Tiba-tiba saja orang itu tertawa terbahak-bahak. Katanya,
“Kau sangka aku hanya seorang diri?”
Kiai Gringsing masih belum menjawab ketika tiba-tiba saja ia melihat seseorang berlari-lari. Tetapi langkahnya tertegun sejenak ketika ia melihat sekelompok orang yang berdiri di jalan sempit itu. Dan ternyata orang itu adalah salah seorang dari kawan-kawan orang yang terluka itu, sehingga sekali lagi ia memanggil sambil melambaikan tangannya,
“Aku di sini.”
Dengan ragu-ragu orang itu mendekat. Ternyata di belakangnya diikuti oleh seorang lagi.
“Kemarilah,” berkata orang yang terluka itu. Penyamun yang mengejar orang-orang itu pun memandang kedua orang yang datang itu. Katanya kemudian,
“Baiklah, kalian berkumpul di sini. Dengan demikian kami akan lebih mudah menyelesaikannya.”
Kiai Gringsing memandang kedua orang yang datang itu sejenak. Ketika keduanya sudah dekat, ia pun bertanya,
“Dimana kawan-kawanmu?”
Kedua orang itu menggeleng. Salah seorang menjawab,
“Aku tidak tahu.”
“Kami akan mencari mereka,” penyamun itulah yang menyahut. Lalu diletakkannya jari-jarinya ke dalam mulutnya. Ketika ia meniup, terdengarlah suara suitan yang nyaring, yang gemanya seakan-akan memenuhi Hutan Tambak Baya.
“Apa yang akan kau lakukan?” bertanya Kiai Gringsing.
“Aku memanggil kawan-kawanku.”

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Ketika ia menebarkan pandangannya, dilihatnya beberapa sosok bayangan yang bergerak-gerak. Kemudian muncullah beberapa orang mendekati mereka. Empat orang lagi. Tetapi selain empat orang itu, masih ada lagi seorang yang datang sambil mendorong dua orang yang sudah tidak berdaya. Bahkan yang seorang agaknya telah terluka, meskipun tidak parah.
“Itu kawan kami,” desis orang yang terluka.
“Ya.” sahut yang lain.
“Mereka adalah kawan-kawanmu,” berkata penyamun itu. Lalu,


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar