KIAI GRINGSING termangu-mangu sejenak. Sekilas ia memandang Ki Sumangkar. Dan jawabnya kemudian,
“Tidak banyak.
Hanya sekedar hadiah untuk bakal menantunya.”
“O, jadi Ki
Demang Sangkal Putung akan pergi ke bakal menantunya di Menoreh?”
“Ya.”
Penjual itu
tertawa. Katanya,
“Kenapa kau
membuat dirimu sendiri bingung, dengan ceritera bahwa kau akan pergi ke
Mataram? Mungkin kau mencoba untuk menghilangkan jejak kepergianmu. Jika di
sini ada perampok atau setidak-tidaknya orang-orangnya, mereka tidak tahu pasti
kemana kau akan pergi.”
Kiai Gringsing
termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia mengangguk,
“Ya, ya,
begitulah.”
“Nah, sekarang
pergilah dengan aman. Turutlah nasehat kami.”
“Terima kasih.
Jika kau tidak berbaik hati memberitahukan hal itu kepada kami, maka kami tentu
akan melewati jalan yang berbahaya itu, dan kami akan terjebak ke dalam sarang
para penyamun. Barang-barang Ki Demang yang tidak seberapa nilainya, yang akan
diberikan kepada bakal menantunya itu, tentu akan dirampasnya.”
“Ya. Sekarang,
pergilah lewat jalan yang aku katakan.”
“Terima
kasih.”
“Tetapi,
apakah kalian memerlukan bekal di perjalanan kalian?”
“O, hanya
sedikit, karena kami sudah membawanya.”
“Ambillah.”
Kiai Gringsing
menjadi heran, sehingga ia pun bertanya,
“Apakah
maksudmu, aku membeli bekal padamu?”
“Ambillah. Kau
tidak usah membeli. Jualanku tinggal sisanya. Aku sudah mendapat banyak untung
sampai hari ini.”
“Ah, jangan
begitu.”
“Ambillah
menurut kebutuhanmu.”
Kiai Gringsing
menjadi ragu-ragu. Tetapi ia pun mengambil beberapa macam makanan. Lalu sambil
mengangguk-angguk ia berkata,
“Kau baik
sekali. Mudah-mudahan, kebaikanmu akan berbuah sesuai menurut nilainya.”
Kiai Gringsing
dan Sumangkar pun kemudian meninggalkan penjual itu. Tetapi, Kiai Gringsing-lah
yang membawa makanan yang diambilnya dari dagangan orang yang memberinya banyak
petunjuk itu. Ketika ia kemudian mendapatkan Ki Demang, maka dikatakanlah semua
pesan penjual makanan dan beberapa macam bahan yang sering dibutuhkan di dalam
perjalanan yang panjang, apalagi lewat hutan yang lebat. Ki Demang
termangu-mangu sejenak mendengar semua pesan itu. Namun kemudian katanya,
“Jadi, kita
akan berjalan lewat jalan yang ditunjukkan itu?”
Kiai Gringsing
menganggukkan kepalanya.
“Ya. Kita akan
pergi lewat jalan yang ditunjukkan itu.”
“Dan bekal
itu?” Ki Demang ragu-ragu.
“Maksudku,
orang itu terlampau baik hati kepada kita.”
“Ya. Ia tahu
bahwa Ki Demang akan pergi ke Menoreh, dan aku katakan kepadanya bahwa Ki
Demang membawa sekedar hadiah buat bakal menantunya.”
“Ah,” Ki
Demang berdesah.
“Sudahlah,
marilah kita berangkat sebelum ada seorang perampok yang datang kemari.”
Ki Demang,
Agung Sedayu dan Swandaru menjadi ragu-ragu. Tetapi mereka tidak bertanya lagi.
Mereka pun segera meloncat ke atas punggung kuda masing-masing dan meneruskan
perjalanan, lewat jalan yang ditunjukkan oleh penjual di warung itu.
“Guru,” tiba-tiba
Agung Sedayu berkata,
“aku merasakan
sesuatu yang tidak wajar pada perjalanan kita ini. Apakah benar jalan yang kita
lalui ini, jalan yang paling aman?”
“Padukuhan ini
terlampau lengang,” desis Swandaru,
“Apakah
padukuhan ini masih dihuni orang?”
Kiai Gringsing
tersenyum. Katanya,
“Itulah yang
menarik. Dan karena hal yang tidak wajar, dan kelengangan padukuhan inilah aku
mau mendengarkan petunjuk orang itu.”
“Maksud Guru,
menghindari penyamun?”
Kiai Gringsing
tertawa. Katanya,
“Kita adalah
petualang yang gatal tangan. Tetapi bukan itu maksudku. Jika kita bertemu
dengan penyamun, maka kita akan mendapat keterangan tentang mereka.”
“Aku tidak
mengerti, bagaimana maksud Kiai sebenarnya?” bertanya Ki Demang.
Kiai Gringsing
pun mengamat-amati makanan yang dibawanya sejenak. Namun makanan itu pun kemudian
dilemparkannya jauh-jauh.
“Aku tidak
yakin bahwa makanan itu tidak mengandung racun yang sangat lemah, dan dapat
memberikan pengaruh atas tenaga kita, sehingga pada suatu saat kita akan
kehilangan segenap kemampuan kita.”
“O”
“Jelasnya, Ki
Demang. Aku berprasangka, mudah-mudahan prasangka ini keliru,” Kiai Gringsing
berhenti sejenak. Lalu,
“Bahwa orang
itu telah menjerumuskan kita ke dalam sarang perampok. Padukuhan ini adalah
padukuhan yang kosong. Rumah, halaman dan kebun tampak kotor dan tidak terpelihara.
Aku tidak melihat seorang pun yang ada di dalam rumahnya. Sawah yang berada di
dekat padukuhan ini pun menjadi bera dan tidak ditanami lagi. Tentu padukuhan
ini sudah dikosongkan oleh penduduknya dan mereka mengungsi ke
padukuhan-padukuhan lain, meskipun mereka masih bekerja di sawah yang agak jauh
dari padukuhan ini.”
“O. Dan kita
sengaja menjerumuskan diri?”
“Sekedar
didorong oleh perasaan ingin tahu. Tetapi mungkin gunanya lebih dari itu.”
Ki Demang
termangu-mangu sejenak. Dipandanginya wajah Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar
berganti-ganti, dan kemudian wajah Agung Sedayu dan Swandaru. Namun sebelum ia
berkata sesuatu, Swandaru sudah mendahuluinya,
“Kita akan
mendapat mainan, Ayah. Apa salahnya kita mencari perampok-perampok itu?”
“Ah, bukankah
kita akan melamar seorang gadis? Marilah kita hindari semua kemungkinan yang
dapat menghambat perjalanan. Aku bukannya menjadi takut terhadap perampok. Aku
lebih takut kepada anjing-anjing liar itu seandainya masih ada. Ketika aku
mendengar ceritera tentang anjing liar, aku benar-benar menjadi gemetar.
Alangkah sakitnya digigit oleh berpuluh-puluh anjing tanpa berbuat sesuatu.
Tetapi terhadap para perampok, seandainya terpaksa kita bertemu, apa boleh
buat. Aku juga membawa senjata,” Ki Demang berhenti sejenak. Tanpa disadarinya
dirabanya hulu pedangnya yang tersangkut di bawah sehelai kain di punggung kuda
di bawah pelana, sehingga senjata itu tidak begitu tampak dari kejauhan. Lalu
katanya,
“Tetapi jika
kita tahu benar bahwa kita akan bertemu dengan sekelompok perampok, apa gunanya
kita berjalan terus lewat jalan ini? Apakah tidak lebih baik jika kita
mengambil jalan lain yang lebih aman dan tidak mengganggu kepergian kita, untuk
suatu keperluan yang sangat penting ini?”
Swandaru yang
merasa berkepentingan itu pun mengerutkan keningnya. Tetapi ia masih juga
ragu-ragu. Sebenarnya ia ingin juga cepat-cepat sampai ke Menoreh tanpa
gangguan apa pun. Tetapi perampok-perampok itu pun tentu sangat menarik hati.
Apalagi apabila di antara mereka ada orang-orang yang dapat dianggap penting
dari antara mereka.
Kiai Gringsing
yang mengangguk-angguk, kemudian menjawab setelah merenung sejenak,
“Ki Demang
memang benar. Tetapi bagi kita, persoalan perampok itu bukannya sekedar
perampok biasa. Perampok itu tentu ada hubungannya dengan berdirinya Mataram.
Sebagai daerah yang baru tumbuh, ternyata Mataram menghadapi banyak sekali
tantangan. Dimana-mana, orang-orang yang tidak senang terhadap Mataram dengan
serentak telah melakukan kegiatannya. Sudah barang tentu semuanya dijalin dalam
satu puncak kekuasaan dari mereka itu. Terlebih-lebih lagi, beberapa orang
senapati tertinggi Pajang benar-benar tidak mau melihat kehadiran Mataram
sebagai suatu daerah yang kuat. Tentu banayak alasan yang dapat dikemukakan.
Sebagian dari mereka adalah orang-orang yang tidak ingin melihat Raden
Sutawijaya memiliki kekuasaan, karena ia adalah orang yang besar. Jika ia
mempunyai bekal kekuasaan atas suatu daerah yang betapa kecilnya, maka ia pasti
akan dapat mengembangkan kekuasaan itu dengan baik. Ada pula di antara mereka
adalah prajurit-prajurit, yang semata-mata mengemban tugas. Di antara mereka
adalah Untara. Ia merasa ikut membina Pajang sejak berdirinya. Karena itu, maka
ia tidak akan dapat dengan mudah melepaskan diri dari ikatan yang terjalin,
antara dirinya dengan Pajang. Yang lain adalah orang-orang yang berjiwa kerdil
dan dengki, sehingga mereka menjadi iri melihat perkembangan Mataram, sedang
yang masih harus di cari sebabnya adalah orang-orang yang langsung merintangi
pembukaan hutan itu, di hutan itu sendiri. Mungkin mereka adalah orang-orang
yang sebelumnya sudah bertempat tinggal di daerah itu atau di
padukuhan-padukuhan di sekitar Alas Mentaok dan sudah mempersiapkan diri untuk
membuka hutan itu. Tetapi, sudah barang tentu mereka merasa dihalangi oleh
usaha Raden Sutawijaya. Namun semua itu barulah sekedar dugaan.”
Ki Demang
mengerutkan keningnya. Tetapi seperti Swandaru, ia menjadi ragu-ragu. ia
berdiri di antara kepentingannya sendiri dan kepentingan yang lebih besar.
“Nah, apakah Ki
Demang dapat sepakat dengan perjalanan ini?”
Ki Demang
tidak segera menyahut. Di antara, mereka terdapat Kiai Gringsing dan Ki
Sumangkar. Sudah tentu bahwa keduanya adalah pelindung yang baik. Apalagi Ki
Demang sendiri bukan sekedar seorang yang harus pasrah diri dalam perlindungan
orang lain, karena ia pun mampu pula berkelahi. Tetapi setiap kali ia menjadi
gelisah. Jika sesuatu terjadi di perjalanan, apakah yang akan dilakukan
kemudian? Namun akhirnya, Ki Demang tidak dapat mengelak lagi. Meskipun Agung
Sedayu dan Swandaru tidak menyatakan pendapatnya lagi, tetapi menurut tatapan
mata mereka, keduanya ingin mencoba untuk meneruskan perjalanan lewat jalan
sempit itu.
“Baiklah,”
berkata Ki Demang,
“aku akan
mengikuti kalian. Aku percaya bahwa kalian sudah membuat perhitungan yang
sebaik-baiknya.”
“Mudah-mudahan
semua angan-angan dan prasangka kami tidak benar, Ki Demang.”
Ki Demang
menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia pun kemudian mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya,
“Marilah, kita
melihat apa yang ada di depan kita.”
Kiai Gringsing
memandang Ki Demang sejenak. Lalu katanya,
“Kita akan
berusaha, bahwa apa yang kita lakukan ini tidak mengganggu perjalanan kita,
karena pada pokoknya kita sedang pergi ke Menoreh. Apa yang terjadi ini
hanyalah sekedar gejolak di permukaan air saja. Tetapi arusnya tetap menuju ke
muara.”
Ki Demang
memandang wajah Kiai Gringsing sejenak. Namun ia pun kemudian tersenyum sambil
berkata,
“Aku sudah
terlalu tua untuk bertualang.”
“Umurku lebih
tua.”
“Bukan umur.
Tetapi jiwa kita masing-masing. Aku adalah seorang Demang yang biasa bekerja di
satu tempat yang ajeg, tidak berkeliling kemana-mana. Dan cara hidup yang
demikian itulah, yang agaknya membuat jiwaku lebih tua dari Kiai Gringsing dan
Ki Sumangkar.”
Kiai Gringsing
dan Ki Sumangkar tersenyum, sedang Swandaru tertawa pendek. Dipandanginya wajah
ayahnya yang memang masih nampak lebih muda dari Kiai Gringsing dan Ki
Sumangkar. Bahkan katanya,
“Kebiasaan
Ayah memang hanya menunggui banjar dan bendungan di Sangkal Putung.”
“Bukan begitu,
Ki Demang,” berkata Ki Sumangkar,
“kita memang
mempunyai pekerjaan dan kebiasaan kita masing-masing. Itulah justru yang
membuat kehidupan ini menjadi sangat menarik.”
Ki Demang pun
tersenyum pula. Tetapi ia tidak menyahut lagi. Mereka meneruskan perjalanan
melingkar padukuhan yang sepi, kemudian menyusuri jalan sempit di bulak yang
tidak ditanami. Tetapi bulak itu pun tidak begitu luas. Kemudian, mereka
mengikuti jalan itu berbelok menuju ke Alas Tambak Bayu. Tetapi jalan yang
mereka lalui itu agaknya memang hampir tidak pernah disentuh kaki. Rerumputan
liar dan dedaunan yang dilemparkan oleh pepohonan di sebelah-menyebelah jalan
itu, sama sekali tidak menyibak.
Meskipun
demikian, agaknya sesuatu telah menarik perhatian Kiai Gringsing, Dilihatnya
batang-batang rumput yang patah, dan di antara dedaunan kuning yang runtuh,
kadang-kadang tampak juga bekas kaki yang belum terlalu lama pada tanah yang
gembur lembab. Karena itu, maka Kiai Gringsing pun kemudian menggamit Ki
Sumangkar dan memperlihatkan bekas-bekas yang menarik perhatiannya itu, sambil
berjalan terus perlahan-lahan.
Ki Sumangkar
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Ya. Aku juga
melihat.”
Kedua orang
tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekilas dipandanginya wajah Ki Demang
yang tampak bersungguh-sungguh dan wajah kedua anak-anak muda yang justru
menjadi cerah. Ternyata udara terbuka membuat mereka menjadi gembira. Mereka
dapat melihat alam yang luas dan rasa-rasanya hati mereka pun menjadi lapang,
selapang bulak yang tidak ditanami itu. Tetapi kedua anak-anak muda itu beserta
Ki Demang tertegun, ketika mereka melihat Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar yang
berkuda di paling depan berhenti sejenak. Tampaknya mereka sedang
mengamat-amati jalan di depan kaki-kaki kuda mereka.
“Ada apa,
Kiai?” bertanya Ki Demang.
Kiai Gringsing
berpaling. Namun ia pun kemudian tersenyum. Katanya,
“Tidak
apa-apa. Aku hanya melihat bahwa dekat sebelum kita, ada juga orang yang lewat
jalan ini. Tentu atas petunjuk penjual itu.”
“O.”
“Aku semakin
yakin, bahwa orang yang menunggui warung itu bukan orang yang baik hati seperti
kita duga semula. Padukuhan yang berubah cepat sekali sejak kami lewat terakhir
kalinya, memberikan kesan yang menarik, sehingga kita memang harus
berhati-hati.
Ki Demang
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak kemudian ia pun menyahut,
“Baiklah. Aku
akan berhati-hati. Tetapi mudah-mudahan jika terjadi sesuatu, tidak akan
mengganggu rencana perjalanan kita yang sebenarnya.”
“Aku rasa
memang tidak, Ki Demang.”
Ki Demang
tidak menyahut lagi. Namun sekali ia berpaling. Di belakangnya, Agung Sedayu
dan Swandaru menengadahkan kepalanya sambil memandang ke kejauhan. Memandang
sinar matahari yang menjadi semakin terik, membakar wajah bulak yang tidak
ditanami. Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya ia memang sudah
dipagari oleh kekuatan yang dapat dipercaya. Namun demikian, baginya lebih baik
tidak bertemu dan berkelahi dengan siapa pun daripada harus terganggu, meskipun
tidak terlalu lama.
“Tetapi
bagaimanakah jika kekuatan perampok itu melampaui kekuatan kami?” ia berdesah
di dalam hati. Tetapi Ki Demang tidak mau memikirkannya lagi. Bukan karena ia
menjadi ketakutan. Tetapi, ia tidak ingkar bahwa ia menjadi cemas.
“Jika aku
tidak sedang dalam perjalanan yang penting,” katanya di dalam hati, Ki Demang
bukannya orang yang menjadi ketakutan dan bersembunyi ketika Tohpati mengancam
kademangannya. Bahkan bersama para pengawal kademangan yang masih muda-muda dan
beberapa orang laki-laki yang tidak ingin melihat kademangannya ditelan oleh
pasukan Tohpati, Ki Demang maju juga ke medan.
Tetapi yang
mencemaskannya kini, adalah justru kepentingan perjalanannya itu. Namun agaknya
kawan-kawannya seperjalanan adalah petualang-petualang yang selalu tertarik
pada persoalan-persoalan yang mendebarkan. Termasuk anaknya yang menjadi murid
Kiai Gringsing. Bahkan jika diijinkan, anaknya perempuan akan berbuat serupa
pula. Namun sebenarnya, jika Kiai Gringsing tertarik kepada perampok-perampok
itu, bukan semata-mata karena darah petualangannya. Sebenarnya ia pun telah
dicengkam oleh kecemasan. Betapa beratnya tantangan yang harus dihadapi oleh
daerah yang sedang tumbuh itu.
“Kenapa aku
ikut berprihatin atas Mataram?” kadang ia bertanya kepada diri sendiri.
Namun, betapa
pun ia mencoba menyembunyikan perasaannya, tetapi terhadap dirinya sendiri ia
harus berkata dengan jujur, bahwa sebenarnyalah ia kecewa terhadap Pajang
sekarang. Pajang yang dahulu diharapkan dapat menjadi pelita dan pemersatu
daerah-daerah yang bertebaran di tanah ini. Tetapi agaknya Sultan Pajang tidak
akan berhasil, karena kemudian ia terbenam dalam kamukten yang
berlebih-lebihan, meskipun di masa mudanya ia adalah anak muda yang sangat
prihatin. Seorang anak muda yang seakan-akan selalu tidur berselimut embun di
sawah, yang beratapkan langit yang luas. Tetapi Kiai Gringsing selalu mencoba
menghindarkan diri dari setiap dorongan untuk berbuat lebih jauh lagi. Bahkan
kadang-kadang ia mencoba menasehati dirinya sendiri,
“Apakah
artinya kau seorang diri. Seorang dukun tua, yang tersisih dari percaturan pemerintah
sejak Demak masih berdiri?”
Kiai Gringsing
menarik nafas dalam-dalam. Dan ia terperanjat ketika ia mendengar suara
sawangan berdesing di atas kepalanya. Dengan serta-merta Kiai Gringsing
menengadahkan wajahnya. Tetapi dedaunan di sebelah-menyebelah jalan yang rimbun
menutup pandangannya, sehingga ia tidak dapat melihat seekor merpati yang
terbang dengan sawangan itu. Ketika ia maju beberapa langkah dan berhenti di
tempat terbuka, suara sawangan itu telah menjadi semakin jauh.
“Merpati
dengan sawangan,” ia berdesis.
“Ya,” sahut Ki
Sumangkar,
“ketika aku
masih kanak-kanak, aku senang juga bermain dengan burung merpati yang diberi
sawangan, sehingga seolah-olah kita mendengar desing yang tiada putus-putusnya
di udara.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Ketika ia berpaling, dilihatnya Ki Demang menjadi heran dan
bertanya,
“Apakah Kiai
juga senang bermain sawangan?”
Kiai Gringsing
tersenyum. Sebelum ia menjawab Swandaru pun berkata pula,
“Aku mempunyai
banyak sawangan di rumah. Tetapi burung merpatiku sudah hampir habis
disembelih. Ayah dan Ibu ternyata benci kepada burung merpati, karena merusak
genting dan mengotori dinding.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi ia menengadahkan kepalanya karena
suara itu terdengar lagi, semakin lama semakin dekat.
“Aku pernah
mendengar isyarat semacam ini.” katanya.
“Isyarat?”
bertanya Ki Demang.
“Aku kira di
padukuhan yang kosong, tidak ada anak-anak yang bermain sawangan.”
Ki Sumangkar
mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Katanya,
“Memang agak
aneh bahwa di sini ada seekor merpati dengan sebuah sawangan.”
“Maksud, Kiai,
apakah merpati ini suatu isyarat bagi para perampok itu?”
“Boleh jadi.
Orang-orang di pinggir padukuhan itulah yang melepaskannya, untuk
memberitahukan bahwa di jalan ini lewat beberapa orang yang dapat dijadikan
korbannya.”
Ki Demang
menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengerutkan keningnya ia berkata,
“Jadi menurut
dugaan, Kiai, kita sudah hampir berpapasan dengan perampok-perampok itu?”
“Sekedar
dugaan. Sebentar lagi kita memasuki hutan yang semakin lebat. Memang mungkin
sekali kita ditunggu oleh para perampok itu di mulut hutan.
Ki Demang
memandang hutan yang terbentang di hadapannya. Kemudian ia pun berdesah,
“Jika memang
jalan itu yang harus kita tempuh, apa boleh buat.”
Hampir di luar
sadarnya, disentuhnya tangkai pedangnya yang mencuat dari balik sehelai kain di
punggung kudanya, di bawah pelana.
Kiai Gringsing
dapat membaca perasaan Ki Demang. Sebagai orang tua yang membawa anak
laki-lakinya melamar, maka sudah barang tentu bahwa ia tidak ingin menjumpai
gangguan berupa apa pun juga. Tetapi bagi Kiai Gringsing, rasa-rasanya
orang-orang itu perlu ditemuinya. Jika mungkin untuk sekedar bertanya-jawab
apabila mereka mengetahui serba sedikit tentang diri mereka dan orang-orang
yang berdiri di belakang mereka. Menurut perhitungannya, maka para perampok itu
tidak akan mengganggu perjalanannya ke Menoreh dan apalagi merintanginya.
Mungkin memang ada persoalan yang harus di atasinya, tetapi persoalan-persoalan
itu tidak akan banyak mempunyai arti. Meskipun demikian, Kiai Gringsing tetap
berhati-hati. Memang mungkin sekali, bahwa perampok yang dijumpainya adalah
segerombolan orang-orang yang kuat dan yang mendapat kepercayaan untuk memagari
Mataram, agar Mataram tidak lagi dapat terlalu banyak menarik perhatian orang,
sehingga dalam waktu yang singkat akan dapat menjadi sebuah negeri yang ramai.
Bagi Kiai Gringsing suara sawangan merpati itu adalah meyakinkan sekali. Ia
pernah mendengar isyarat yang sama. Dan kini dihubungkan dengan kecurigaaannya
kepada orang-orang yang pernah ditemuinya, maka suara sawangan itu adalah suara
yang merupakan isyarat juga baginya, agar ia berhati-hati. Karena itu, ketika
mereka menjadi semakin dekat dengan mulut lorong yang menyusup ke dalam hutan,
maka Kiai Gringsing pun kemudian merubah urut-urutan perjalanan mereka. Yang di
paling depan dari mereka adalah Kiai Gringsing. Tetapi mereka tidak lagi
berjajar dua, tetapi beriringan seorang demi seorang. Di belakang Kiai
Gringsing adalah Swandaru, kemudian Ki Demang Sangkal Putung. Di belakang Ki
Demang adalah Agung Sedayu dan di paling belakang dari iring-iringan itu adalah
Ki Sumangkar.
“Urut kacang,”
desis Swandaru.
Agung Sedayu
yang berada di belakang Ki Demang menjawab,
“Jalan memang
terlampau sempit.”
“Mungkin kita
harus turun dari punggung kuda,” sahut Ki Sumangkar yang ada di paling
belakang.
Kiai Gringsing
sama sekali tidak berkata apa pun. Dengan penuh perhatian dipandanginya hutan
yang lebat di hadapannya. Beberapa langkah lagi mereka akan menyusuri hutan
perdu yang sempit, kemudian mereka akan segera memasuki hutan yang pepat.
“Berhati-hatilah,”
desis Kiai Gringsing ketika mereka telah berada di antara gerumbul-gerumbul
perdu.
Swandaru yang
berkuda di belakang Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Ada semacam
kegembiraan yang tidak dikenalnya di dalam hatinya. Ternyata bahwa anak muda
itu memang memiliki jiwa petualangan. Kemungkinan-kemungkinan yang berbahaya
dan keras seakan-akan membuatnya semakin gairah menghadapi perjalanan itu. Bagi
Swandaru ternyata petualangan dan seorang isteri memiliki daya tariknya
masing-masing, sehingga ia ingin menempuh kedua-duanya. Ki Demang yang berada
di belakang Swandaru menjadi berdebar-debar. Di dalam setiap benturan
kekerasan, sesuatu dapat terjadi atas setiap orang yang terlibat di dalamnya.
Mungkin dirinya sendiri, mungkin Swandaru, atau kedua-duanya. Dengan demikian
maka perjalanan ini adalah perjalanan yang sia-sia. Namun ia tidak dapat
menentang kematian setiap orang di dalam rombongannya yang kecil itu. Karena
itu, sebagai seorang yang memiliki kepercayaan kepada Yang Menjadikannya, maka
Ki Demang itu pun berdoa di dalam hatinya, agar perjalanan itu mendapat
perlindungan-Nya.
Dalam pada
itu, wajah Agung Sedayu pun nampak bersungguh-sungguh. Berbeda dengan Swandaru,
maka yang dipersoalkan oleh Agung Sedayu di dalam hatinya adalah,
kesulitan-kesulitan yang banyak dihadapi oleh Mataram. Apakah sebabnya maka
orang-orang itu masih saja berusaha menggagalkan usaha Raden Sutawijaya untuk
membina daerah yang sedang tumbuh ini? Apakah salahnya jika Mataram menjadi
ramai seperti kota-kota lain di dalam wilayah Pajang?
Masih
terngiang di telinganya keterangan gurunya, bahwa Pajang memusatkan
perhatiannya kepada perkembangan Mataram, dan yang justru beberapa orang
menganggapnya sebagai lawan, karena Mataram memiliki seorang Raden Sutawijaya.
Pengaruh Raden Sutawijaya akan dapat menyuramkan kebesaran cahaya yang pernah
dipancarkan oleh seorang anak, yang bernama Jaka Tingkir dan disebut Mas
Karebet, yang kemudian menduduki tahta Pajang.
Di luar
kehendaknya sendiri, ternyata Agung Sedayu tertarik sekali pada perkembangan
Mataram. Ia bahkan menjadi kagum melihat kemauan yang keras dari Raden
Sutawijaya yang didorong oleh ayahnya, Ki Gede Pemanahan, untuk mengatasi
setiap kesulitan. Bahkan menurut penilaian Agung Sedayu, setiap kesulitan yang
dihadapinya, merupakan pendorong yang kuat bagi Raden Sutawijaya.
Di paling
belakang dari iring-iringan itu adalah Sumangkar. Persoalan yang dihadapinya di
saat-saat terakhir, membuatnya kehilangan gairah untuk memikirkan
masalah-masalah yang menyangkut pemerintahan. Yang ada di dalam hatinya
kemudian adalah, jika benar mereka akan menghadapi segerombolan perampok yang
mengganggu kemungkinan pertumbuhan Mataram, maka perampok-perampok itu harus
dimusnahkan. Baik Mataram maupun Pajang tentu tidak akan mendapat keuntungan
dari sikap keras yang tidak dilandasi oleh kepentingan yang luas dan jauh,
selain kepentingan bagi diri sendiri dan gerombolannya. Bahkan di sejajari
dengan usaha-usaha untuk mengadu domba antara Pajang dan Mataram.
Maka sejenak
kemudian iring-iringan itu sudah sampai ke mulut lorong yang menghunjam ke
dalam hutan Tambak Baya. Lorong itu adalah lorong yang agaknya memang jarang
sekali dilalui orang, selain mereka yang terjerumus karena petunjuk orang-orang
yang memang dipasang oleh para perampok, atau satu dua orang-orang yang mencari
kayu bakar di hutan-hutan. Dengan angan-angan dan persoalan yang berbeda-beda
di dalam hati masing-masing, maka mereka pun mulai memasuki hutan itu. Meskipun
di bagian tepi dari hutan Tambak Baya itu masih belum merupakan hutan yang
lebat pepat, namun sudah terasa bahwa udara mulai menjadi lembab.
Sekali-sekali
mereka masih mendengar sawangan merpati yang terbang melingkar-lingkar di atas
mereka. Sehingga karena itu, maka mereka pun menjadi semakin berhati-hati. Namun
dugaan Kiai Gringsing, bahwa dihadapan iring-iringan kecil itu sudah ada
sekelompok orang yang mendahului menjadi semakin kuat, karena bekas-bekasnya
tampak semakin nyata. Ranting-ranting yang patah dan batang-batang rerumputan
liar yang terinjak kaki di sepanjang jalan itu.
“Agaknya sudah
ada pula orang yang terjerumus ke dalam neraka ini,” berkata Kiai Gringsing di
dalam hatinya. Namun ia sama sekali tidak mengatakannya, meskipun menurut
dugaan Kiai Gringsing, kawan-kawan seperjalanannya mengetahui pula bekas-bekas
itu, terutama Ki Sumangkar.
Dalam pada
itu, tiba-tiba saja Swandaru bertanya,
“Guru, apakah
Guru sudah mengenal jalan ini?”
Kiai Gringsing
menggelengkan kepalanya. Jawabnya,
“Aku baru kali
ini melalui jalan ini, meskipun jalan ini agaknya sudah lama ada, dan bahkan
sekarang sudah tidak dipergunakan lagi. Tetapi aku kira jalan ini bukan jalan
yang harus dilalui untuk pergi ke Mataram.”
“Jadi, apakah
kita akan dapat menemukan jalan keluar dari hutan ini? Meskipun hutan ini tidak
seluas Mentaok, tetapi hutan ini cukup lebat.”
“Asal kita
tidak kehilangan kiblat. Selagi matahari masih ada di langit, kita akan dapat
mengetahui arah.”
Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia masih bertanya,
“Tetapi
bagaimana jika jalan ini kemudian terputus. Apakah kita harus menyusup hutan di
antara sulur-sulur kayu dan menyibakkan dedaunan yang rimbun? Dengan demikian,
maka seperti kata Paman Sumangkar, bukan kita naik punggung kuda, tetapi
kuda-kuda itu akan menjadi beban selama perjalanan ini.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya, ia mengerti pertanyaan muridnya itu. Namun
jawabnya,
“Kita melihat
keadaan yang akan kita hadapi.”
Swandaru
mengerutkan keningnya. Gurunya ternyata tidak menjawab pertanyaannya. Dan
mereka bersama-sama masih harus menunggu dan melihat, apa yang mereka hadapi
kemudian. Dengan demikian, maka Swandaru tidak bertanya lagi. Sambil maju terus
ia memandang keadaan di sekitarnya, rasa-rasanya memang ada sesuatu di
perjalanan itu. Bahkan nalurinya mengatakan bahwa beberapa pasang mata
seakan-akan sedang mengintip di balik dedaunan.
Belum lagi
mereka menusuk jauh ke dalam, tiba-tiba saja mereka telah dikejutkan oleh suara
yang aneh, tidak jauh di hadapan mereka. Karena itu, maka Kiai Gringsing pun
memperlambat langkah kudanya. Didengarnya suara itu dengan saksama. Seperti
yang pernah dikenalnya dalam keadaan yang tidak dapat diketahuinya dengan pasti
itu, orang-orang yang bersembunyi di hutan Mentaok dan mungkin juga yang
bersembunyi di hutan Tambak Baya ini telah membuat berbagai macam keadaan yang
membuat seseorang menjadi bingung. Semakin dekat, ternyata bahwa suara itu
adalah suara merintih seseorang. Semakin lama semakin dekat. Bahkan bukan saja
seseorang yang merintih-rintih, tetapi orang itu benar-benar berteriak minta
tolong. Sejenak kemudian mereka pun melihat seseorang berlari-lari
terhuyung-huyung dari arah yang berlawanan. Di tubuhnya terdapat noda-noda
darah yang masih basah.
“Lihat!” Ki
Demang hampir berteriak pula.
“Tunggu,”
cegah Kiai Gringsing,
“kami pernah
tertipu oleh keadaan yang serupa. Kita pernah melihat orang, yang luka parah
dengan darah di seluruh tubuhnya, ternyata orang itu sama sekali tidak terluka.
Dan darah itu sama sekali bukan darah yang sebenarnya.”
Orang yang
berlari-lari itu ketika melihat iring-iringan orang berkuda, maka seakan-akan
mendapatkan tenaga baru untuk berlari-lari mendekat. Suaranya yang telah parau
masih terdengar,
“Tolong,
tolonglah kami.”
“Ia tidak sendiri,”
desis Swandaru. Kiai Gringsing pun justru telah berhenti. Dengan, sigapnya ia
meloncat turun. Ketika orang yang berlari-lari itu mendekatinya sambil
memegangi lambungnya. Kiai Gring-sing berkata,
“Berhenti di
situ.”
Orang itu
terkejut. Tetapi ia berkata terputus-putus,
“Tolong.
Tolonglah kami.”
“Apakah kau
terluka?”
“Ya, Ki Sanak.
Aku terluka parah. Tiga orang kawanku masih terjebak. Mereka berkelahi melawan
beberapa orang penyamun.”
“Jangan mendekat,”
cegah Kiai Gringsing pula.
“Berdiri di
situ. Akulah yang akan mendekat.”
Orang yang
pucat itu menjadi semakin heran. Tetapi ia berhenti juga sambil berpegangan
sebatang pohon. Kiai Gringsing pun segera melangkah mendekatinya. Di
amat-amatinya orang itu sejenak. Kemudian,
“Tunjukkan
lukamu.”
Orang itu
ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia menunjuk lambungnya,
“Singsingkan
bajumu.”
Orang itu
menjadi semakin termangu-mangu. Tetapi ia menyingsingkan bajunya pula. Dari
balik baju itu Kiai Gringsing melihat lambungnya tergores oleh ujung senjata
tajam. Kali ini ia tidak akan tertipu lagi. Dari luka itu pula darahnya telah
menitik. Benar-benar darahnya. Bukan sekedar warna merah. Karena itu maka Kiai
Gringsing pun segera mendekatinya. Diamatinya luka itu sejenak. Dan ia pun
yakin bahwa kali ini ia tidak tertipu lagi. Orang yang dihadapinya itu adalah
benar-benar orang yang terluka. Dan ia tidak menganggap bahwa orang itu telah
dengan sengaja melukai dirinya sendiri begitu parah untuk menjebaknya.
“Kenapa kau,
Ki Sanak?” bertanya Kiai Gringsing.
“Penyamun.
Kami telah dicegat di balik tikungan itu.”
“Kau bertempur
melawan mereka?”
“Kami ingin
menyelamatkan barang kami. Tetapi kami tidak dapat bertahan. Aku terluka dan
melarikan diri. Mungkin aku sedang mereka cari sekarang.”
“Tidak sulit
mencarimu. Tetesan darah di tubuhmu membawa mereka segera datang kemari.”
“Lindungi
kami.”
“Kami harus
berkelahi melawan mereka?”
Orang itu
termangu-mangu sejenak. Namun kemudian tatapan matanya yang pasrah itu pun
menjadi redup. Katanya,
“Apa boleh
buat. Jika kalian tidak dapat melindungi aku karena kalian tidak ingin terlibat
dalam perkelahian, aku tidak dapat memaksa. Nasibku sebentar lagi akan
ditentukan oleh mereka, apabila mereka menemukan jejakku.”
“Mereka pasti
akan menemukan. Bagaimana, Ki Sanak dapat lari?” bertanya Kiai Gringsing.
“Kami
tiba-tiba saja telah disergap. Beberapa orang dari kami telah berkelahi.
Meskipun kami berusaha keras, tetapi kami tidak akan mampu melawan mereka.
Karena itu, kami berlari-larian ke segala arah mencari keselamatan diri kami
masing-masing. Beberapa orang penyamun telah mengejar kami berpencaran. Sedang
tiga orang di antara kami tidak sempat berlari. Dan mereka masih bertahan
melawan seorang penyamun. Sedang penyamun-penyamun yang lain mengejar kami yang
berpencaran. Aku dapat menyelipkan diriku di antara dedaunan dan kemudian lari
sampai ke tempat ini. Aku tidak tahu bagaimana nasib kawan-kawanku yang lain.”
“Ada berapa
orang penyamun yang mencegatmu? “
“Empat orang.
Tetapi tiga orang dari kami tidak dapat mengalahkan seorang dari mereka.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ternyata jumlah penyamun itu tidak banyak.
“Berapa jumlah
kawan Ki Sanak seluruhnya?” bertanya Kiai Gringsing kemudian.
“Kami berlima,
sedang rombongan yang lain berempat.”
“Maksudmu
rombongan yang lain?”
“Kami terdiri
dari dua rombongan yang bersama-sama akan pergi ke Mataram. Jumlah kami
seluruhnya sembilan orang.”
Kiai Gringsing
masih mengangguk-angguk. Lalu ia pun bertanya pula,
“Kalian
sembilan orang tidak dapat melawan hanya empat orang?”
“Tetapi yang
empat orang itu adalah orang-orang yang luar biasa. Ketika aku bersembunyi, aku
masih melihat tiga orang di antara kami yang terikat dalam suatu perkelahian,
melawan seorang saja dari antara mereka, karena yang tiga dari mereka sedang
berpencaran mengejar kami. Tetapi, tiga orang kawan kami itu tidak berdaya.
Mungkin mereka kini sudah berlari pula. Atau mati.”
Sejenak Kiai
Gringsing memandangi wajah yang pucat itu. Kemudian berpaling kepada Sumangkar
sambil berkata,
“Di hadapan
kita ada empat orang penyamun.”
Sumangkar yang
ada di paling belakangpun kemudian maju mendekati Kiai Gringsing. Ia pun
mengamati orang yang terluka itu dengan saksama. Lalu katanya kepada Kiai
Gringsing,
“Marilah kita
berjalan terus.”
“Kalian akan
berjalan terus?” bertanya orang yang terluka itu.
“Ya. Kami akan
berjalan terus,” sahut Ki Sumangkar.
“Kalian akan
membantu kami?”
“Tergantung
kepada keadaan yang akan kita hadapi.”
“O,” orang itu
menjadi sedikit kecewa.
“Sekarang,” berkata
Kiai Gringsing kemudian,
“cobalah
mengobati lukamu itu.”
“Obat apakah
yang harus aku pergunakan sekarang? Aku sama sekali tidak membawa obat apa pun
juga.”
Kiai Gringsing
pun kemudian mengambil sebuah bumbung kecil, berisi obat bagi luka-luka baru.
Kemudian ditaburkannya serbuk dari bumbung itu pada luka di lambung yang cukup
panjang. Meskipun goresan itu tidak terlalu dalam, namun jika tidak segera
mendapat pengobatan, maka luka itu akan dapat berbahaya bagi orang itu. Orang
itu menjadi terheran-heran, bahwa tanpa disangka-sangka ia telah bertemu dengan
seseorang yang dapat mengobati lukanya. Dengan demikian ia mulai bertanya-tanya
kepada diri sendiri,
“Siapakah
orang-orang berkuda ini?”
Namun, baru
saja Kiai Gringsing selesai mengobati orang itu, dilihatnya sesosok bayangan di
kejauhan. Hanya sekilas, karena bayangan itu segera berlindung di balik
dedaunan. Karena itu, maka Kiai Gringsing kemudian berkata,
“Kita diamati
oleh beberapa orang.”
“Siapa?”
bertanya Ki Sumangkar yang kebetulan tidak melihat bayangan itu.
“Apakah adi
Sumangkar memperhatikan para petani yang ada di gardu?”
“Ya.”
“Apakah kesan
yang kau dapat?”
“Aku
mencurigainya. Petani-petani itu seakan-akan sedang berisirahat. Tetapi tidak
ada sawah yang dikerjakan di dekat gardu itu.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya,
“Kita akan
berhadapan dengan orang-orang yang akan mengejar orang yang terluka ini, dan
orang-orang yang memang ditugaskan mengikuti kita.”
“Ya.”
“Nah,
tempatkan diri kalian masing-masing,” berkata Kiai Gringsing. Lalu,
“Tidak
menguntungkan jika kita berada di punggung kuda di daerah yang pepat seperti
ini.”
Ki Sumangkar
menganggukkan kepalanya.
Sejenak
kemudian, maka mereka pun telah berloncatan turun. Agung Sedayu, Swandaru dan
Ki Demang Sangkal Putung pun segera menambatkan kuda mereka, seperti juga Kiai
Gringsing dan Ki Sumangkar.
“Mau tidak mau
perjalanan ini akan terganggu,” desis Ki Demang.
“Maaf, Ki Demang,”
berkata Kiai Gringsing,
“mudah-mudahan
tidak memerlukan waktu terlalu lama.”
Ki Demang pun
menganggukkan kepalanya. Ia masih saja berdiri di sisi kudanya, karena
senjatanya tersangkut pada pelana kudanya, terlindung oleh selembar kain di
bawah pelana itu.
Sejenak mereka
menunggu, sedang orang yang terluka itu duduk sambil menyeringai menahan panas
oleh obat yang diberikan Kiai Gringsing pada lukanya. Namun kegelisahan di
hatinya bahkan telah mengurangi rasa sakit yang dideritanya.
“Ternyata kami
tidak dapat maju lagi,” bisik Ki Sumangkar kepada orang itu,
“Kami
menghadapi persoalan kami sendiri. Mudah-mudahan kawan-kawanmu selamat.”
Orang itu
dapat mengerti. Karena itu maka ia pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun
sejenak kemudian, mereka terkejut ketika mereka mendengar derap orang
berlari-lari kejar mengejar. Kemudian muncullah seseorang yang berlari
sekencang-kencangnya, menuju ke arah mereka.
“Itu seorang
dari kawan kami,” desis orang yang terluka itu. Lalu sambil melambaikan
tangannya ia memanggil,
“Aku di sini.”
“Sst,” desis
Kiai Gringsing.
Orang itu
terkejut mendengar desis Kiai Gringsing. Tetapi dalam pada itu kawannya sudah
mendengar dan melihatnya, sehingga karena itu, maka dengan serta-merta ia pun
berlari mendatanginya. Sejenak kemudian muncullah orang yang mengejarnya.
Ketika orang itu melihat buruannya berlari di antara beberapa orang, maka ia
pun segera berhenti. Orang yang baru saja datang sambil berlari-lari itu
berhenti di samping kawannya yang terluka dengan nafas terengah-engah. Tanpa
menghiraukan orang lain ia bertanya,
“Kau sudah ada
di sini?”
“Ya. Aku
bertemu dengan orang-orang ini.”
“Ia
berteriak-teriak,” sahut Kiai Gringsing,
“untunglah
bahwa yang mendengar suaranya adalah kami bukan orang-orang yang mencarinya.”
“Aku bingung
dan ketakutan.”
“Kau terluka?”
bertanya kawannya. Orang yang terluka itu mengangguk.
Namun dalam
pada itu, orang yang mengejarnya tertawa sambil berkata,
“Tidak ada
jalan untuk lari. Karena itu, dengan telaten kami mencari kalian seorang demi
seorang.”
Semua orang
memandanginya dengan tajamnya. Tetapi tidak seorang pun yang segera menyahut.
“Jika kalian
keluar dari hutan ini, kalian bukan berarti terlepas dari tangan kami,” orang
yang mengejar itu berkata selanjutnya. Lalu,
“Bahkan bukan
saja kalian yang sudah terlanjur berada di tangan kami, tetapi orang-orang yang
baru datang dengan mengendarai kuda itu pun tidak akan dapat meninggalkan kami
dengan selamat. Jangan menyesal bahwa kalian telah berada di dalam kekuasaan
kami. Hutan Tambak Baya dan Mentaok adalah kerajaan kami.”
“Siapakah
sebenarnya kalian, Ki Sanak?” bertanya Kiai Gringsing.
“Tidak ada
yang dapat mengenal kami dengan tepat. Kami adalah orang-orang yang tidak
bernama dan tidak bertempat tinggal. Istana kami adalah hutan ini. Dan kalian
telah masuk ke dalam lingkungan kami, sehingga kalian tidak akan dapat keluar
lagi. Mungkin masih ada cara bagi kalian antuk menyelamatkan diri, tetapi
barangkali memerlukan suatu perjanjian yang matang.”
“Apa
maksudmu?”
“Apakah kalian
membawa harta benda? Mungkin bekal kalian atau mungkin barang dagangan?”
“Jika tidak?”
“Nyawa kalian lah
yang kami perlukan. Atau, dua orang di antara kalian menjadi tawanan kami. Keduanya
akan kami bebaskan kemudian, jika yang lain dapat menebusnya dengan uang atau
emas atau apa pun yang kami tentukan.”
Kiai Gringsing
menarik nafas dalam-dalam. Sejenak dipandanginya Ki Sumangkar yang berdiri
sambil menyilangkan tangan di dadanya. Sedang Agung Sedayu dan Swandaru berdiri
sebelah-menyebelah Ki Demang yang termangu-mangu di sisi kudanya.
“Nah, apakah
yang akan kalian pilih? Atau, barangkali kalian sekarang sudah membawa
barang-barang yang cukup?”
“Jika kami
membawa barang-barang yang cukup, apakah kami dapat meneruskan perjalanan kami
ke Mataram?” bertanya Kiai Gringsing.
“Tidak. Kalian
boleh pergi, tetapi kalian harus kembali, tidak terus ke Mataram atau kemana
pun juga. Kalian hanya dapat kembali tanpa pilihan yang lain. Sedangkan apabila
kalian tidak membawa apa-apa, dan tidak bersedia menyerahkan dua orang sebagai
tanggungan, maka kalian semuanya akan kami bunuh.”
“Apakah
keberatan kalian jika kami pergi ke Mataram?”
“Tentu tidak
ada. Tetapi kami berhak untuk menentukan kemana kalian harus pergi, karena
daerah ini adalah kerajaan kami. Apa yang kami katakan harus kalian lakukan.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekilas di pandanginya dua orang yang berhasil
melepaskan diri dari tangan para perampok itu, dan kini ada di antara
rombongannya. Namun sekilas terbayang tiga orang yang berusaha berkelahi
mati-matian, tetapi tidak berhasil mengalahkan hanya seorang lawan. Tetapi
menurut perhitungan Kiai Gringsing, jika orang-orang itu berhasil melarikan
diri, maka mereka pasti akan sampai ke tempat ini karena jalan ini adalah jalan
keluar dari hutan Tambak Baya, kecuali mereka yang tersesat dan kehilangan
arah. Karena itu, maka Kiai Gringsing sengaja memperpanjang waktu sambil
menunggu orang-orang lain yang mungkin akan berdatangan.
“Ki Sanak,”
berkata Kiai Gringsing,
“kenapa kalian
mengganggu perjalanan kami dan perjalanan rombongan-rombongan yang lebih dahulu
dari kami? Jika kalian sekedar penyamun yang memerlukan harta benda, maka
kalian tentu akan berkeberatan jika kami berjalan terus ke Mataram.”
“Kami bukan
orang yang paling bodoh di muka bumi,” jawab orang itu,
“tentu kalian
dapat berceritera kepada orang-orang Mataram tentang kami.”
“Apakah jika
kami kembali ke asal kami, kami tidak dapat berceritera tentang kalian?”
“Aku tidak
peduli. Dan mereka yang mendengar ceriteramu itu, tidak akan berani lewat jalan
ini pergi ke Mataram.”
“Apakah dengan
demikian kalian tidak kehilangan mata pencaharian? Bukankah semakin banyak
orang yang lewat, rejeki kalian menjadi semakin banyak?”
Wajah orang
itu menegang sejenak. Namun kemudian ia pun tertawa,
“Kalian cukup
cerdas. Tetapi sayang, bahwa aku tidak peduli pada pendapat kalian itu.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dipandanginya wajah orang yang belum dikenalnya
itu sejenak. Ternyata wajah itu menyimpan ungkapan sikap yang keras dan kasar.
“Ki Sanak,” berkata
Kiai Gringsing kemudian,
“apakah
sebenarnya maksud kalian dengan tingkah laku kalian di hutan Tambak Baya ini?
Manakah yang lebih penting bagi kalian, menyamun untuk mendapatkan harta benda,
atau menahan arus manusia yang mengalir ke Mataram?”
Orang itu
mengerutkan keningnya. Dan kembali wajahnya menegang. Katanya,
“Terlalu
banyak yang ingin kau ketahui. Sekarang, apakah kau membawa barang-barang
berharga?”
Kiai Gringsing
memandang ke tikungan. Masih belum ada orang lain yang datang. Karena itu ia
masih mencoba memperpanjang waktu,
“Apakah
sebenarnya yang kau maksud dengan barang-barang berharga? Pakaian atau uang.”
“Apa saja.
Pakaian, uang, emas atau intan berlian atau kuda-kudamu yang tegar itu.”
“Yang jelas
dapat kau lihat adalah kuda-kuda kami. Tetapi sayang, bahwa kuda kami akan kami
pakai untuk meneruskan perjalanan. Apakah ada yang lain yang kau kehendaki?”
“Nyawa kalian.
Memang sebaiknya nyawa kalian. Jika kalian mati terbunuh, maka semua barang
yang kalian bawa akan menjadi milik kami. Juga kuda-kuda itu.”
“Kau hanya
seorang diri. Kami berlima dan sekarang bertujuh, meskipun yang seorang telah
terluka. Tetapi, ia masih mampu berkelahi melawanmu.”
Tiba-tiba saja
orang itu tertawa terbahak-bahak. Katanya,
“Kau sangka
aku hanya seorang diri?”
Kiai Gringsing
masih belum menjawab ketika tiba-tiba saja ia melihat seseorang berlari-lari.
Tetapi langkahnya tertegun sejenak ketika ia melihat sekelompok orang yang berdiri
di jalan sempit itu. Dan ternyata orang itu adalah salah seorang dari
kawan-kawan orang yang terluka itu, sehingga sekali lagi ia memanggil sambil
melambaikan tangannya,
“Aku di sini.”
Dengan
ragu-ragu orang itu mendekat. Ternyata di belakangnya diikuti oleh seorang
lagi.
“Kemarilah,”
berkata orang yang terluka itu. Penyamun yang mengejar orang-orang itu pun
memandang kedua orang yang datang itu. Katanya kemudian,
“Baiklah,
kalian berkumpul di sini. Dengan demikian kami akan lebih mudah menyelesaikannya.”
Kiai Gringsing
memandang kedua orang yang datang itu sejenak. Ketika keduanya sudah dekat, ia
pun bertanya,
“Dimana
kawan-kawanmu?”
Kedua orang
itu menggeleng. Salah seorang menjawab,
“Aku tidak
tahu.”
“Kami akan
mencari mereka,” penyamun itulah yang menyahut. Lalu diletakkannya jari-jarinya
ke dalam mulutnya. Ketika ia meniup, terdengarlah suara suitan yang nyaring,
yang gemanya seakan-akan memenuhi Hutan Tambak Baya.
“Apa yang akan
kau lakukan?” bertanya Kiai Gringsing.
“Aku memanggil
kawan-kawanku.”
Kiai Gringsing
mengerutkan keningnya. Ketika ia menebarkan pandangannya, dilihatnya beberapa
sosok bayangan yang bergerak-gerak. Kemudian muncullah beberapa orang mendekati
mereka. Empat orang lagi. Tetapi selain empat orang itu, masih ada lagi seorang
yang datang sambil mendorong dua orang yang sudah tidak berdaya. Bahkan yang
seorang agaknya telah terluka, meskipun tidak parah.
“Itu kawan
kami,” desis orang yang terluka.
“Ya.” sahut
yang lain.
“Mereka adalah
kawan-kawanmu,” berkata penyamun itu. Lalu,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar