Jilid 068 Halaman 2


“Kumpulkan mereka di sini,” katanya lantang kepada kawannya yang mendorong kedua orang itu dengan punggung tombak pendeknya.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Lalu,
“Mereka akan berkumpul lagi dan kami harus berkelahi lagi.”
“Kumpulkan mereka. Kami tidak akan membuat kesalahan serupa, membiarkan orang-orang semacam mereka itu berlari bercerai-berai. Kami akan mengepung mereka dan membunuh mereka di dalam lingkaran kepungan kami. Kecuali jika mereka dapat memenuhi syarat-syarat kami.”
“Tidak akan dapat mereka penuhi,” berkata yang baru datang sambil mendorong kedua tawanannya,
“sebaiknya mereka dibunuh saja.”
“Kami akan membunuh mereka beramai-ramai. Ada berapa orang yang sudah terkumpul?”
Tidak ada seorang pun yang menjawab. Tetapi orang itu telah menghitungnya dan bergumam,
“Enam orang. Masih ada tiga orang yang belum kami ketemukan.”
“Yang seorang sudah mati. Aku berkelahi melawan tiga di antara mereka. Inilah yang dua. Hampir saja aku membunuhnya. Tetapi aku mendengar isyaratmu.”
“Apakah kau berada dekat sekali dari tempat ini?”
“Aku menggiring orang ini. Maksudku, mereka akan kami bawa keluar hutan ini dan menggantungkan tubuhnya di mulut lorong, sampai keduanya mati dengan sendirinya. Keduanya adalah orang yang paling sombong yang pernah aku temui.”
Yang mendengar kata-kata itu menjadi ngeri. Agaknya mereka adalah orang-orang yang dapat membunuh dengan hati yang dingin, seperti mereka sedang menebas pohon pisang yang sedang berbuah.
“Nah,” berkata penyamun yang bersuit itu,
“kumpulkan mereka. Apa masih ada yang lain?”
“Mudah-mudahan yang lain belum terbunuh. Kawan-kawan kami sedang mencari mereka.”
Penyamun itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia memandang ke tikungan. Seakan-akan ia pun sedang menunggu kawan-kawannya yang lain. Karena tidak seorang pun yang tampak, maka sekali lagi ia bersuit lebih keras lagi. Dari kejauhan terdengar suara suitan yang serupa. Agaknya kawan-kawannya mendengar isyaratnya dan menjawab isyarat itu dengan suitan pula.

Beberapa saat mereka menunggu. Kiai Gringsing masih tetap berdiri di tempatnya. Demikian pula Ki Sumangkar, Ki Demang, Agung Sedayu dan Swandaru. Sedang orang-orang yang berdatangan kemudian menjadi semakin gelisah karenanya. Sejenak kemudian, muncullah dua orang yang lain, hampir berbareng. Yang seorang menggiring seorang tawanan yang sudah hampir tidak dapat berjalan lagi, sedang yang lain datang seorang diri.
“Nah, kumpulkan mereka,” berkata penyamun yang pertama-tama datang, yang agaknya adalah pemimpin mereka.
“Buat apa?” bertanya yang menggiringnya.
“Kami akan membunuh beramai-ramai. Semuanya ada tujuh orang ditambah dengan lima. Dua belas orang.” orang itu berhenti sejenak. Lalu,
“Manakah yang seorang?”
“Belum kami ketemukan. Ia pasti bersembunyi di dalam hutan. Tersesat atau keluar lewat belukar. Tetapi ia tidak akan dapat hidup. Jika ia keluar hutan, maka ia akan ditangkap juga, sedang apabila ia masih tetap ada di dalam hutan yang lebat, maka ia akan menjadi mangsa binatang buas nanti malam.”
Pemimpin penyamun itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya,
“Jika demikian, kita tidak menunggunya. Berapa orangkah kita semuanya?”
Para penyamun itu menghitung jumlah mereka sendiri. Lalu,
“Delapan orang.”
Pemimpin penyamun itu masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Baiklah. Kami semua ada delapan orang. Yang kita hadapi lima orang, dengan tujuh orang yang sudah hampir mati.”
“Yang sudah lelah silahkan beristirahat,” berkata seorang penyamun yang lain,
“kami masih segar dan senjata kami belum bernoda darah. Kami berempatlah yang akan menyelesaikan semuanya.”
“Aku belum membunuh!” teriak yang lain, yang datang seorang diri.
“Aku akan ikut beramai-ramai sekarang.”
“Semua akan ikut,” jawab pemimpin penyamun itu,
“tetapi aku ingin kepastian, apakah orang-orang berkuda itu mau memenuhi permintaan kami?”
Para penyamun itu terdiam.
“Bagaimana, Ki Sanak?” bertanya pemimpin penyamun itu kepada Kiai Gringsing,
“Bawalah kepada kami beberapa keping emas dan perak. Kami memberi waktu dua hari dengan dua orang tanggungan. Tanggungan yang kami pilih adalah kedua anak-anak muda itu.”
“Ah,” desah Kiai Gringsing,
“tentu tidak mungkin. Mereka adalah cucu-cucu kami yang akan melanjutkan kelangsungan hidup nama kami.”
“Terserahlah kepada kalian. Jika kalian membawa emas itu, maka keduanya akan kami bebaskan.”
“Kami agak kurang percaya menilik sikap dan kata-kata kalian. Jika kami datang membawa tebusan, maka kami pun pasti akan kalian bunuh.”

Pemimpin penyamun itu mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian tertawa berkepanjangan. Katanya,
“Kau terlampau berprasangka, kakek tua. Jika demikian, maka tidak ada pilihan lagi dari kalian selain mati. Kami, yang delapan orang ini akan beramai-ramai membunuh kalian. Melawan atau tidak melawan.”
“Itu tidak berperikemanusiaan.”
“Kami memang tidak berperikemanusiaan. Tetapi tidak apalah. Agaknya cukup menyenangkan berburu manusia seperti kalian. Nah, apakah kalian bersenjata?”
Kiai Gringsing menggeleng. Jawabnya,
“Kami tidak bersenjata.”
“Kalau begitu, kami akan memberi kalian senjata. Pedang atau tombak atau senjata apakah yang kalian pilih?”
Kiai Gringsing terdiam sejenak. Namun tiba-tiba ia berkata,
“Bukankah yang berdiri di sana itu, petani yang duduk di gardu ketika aku lewat?”
Orang yang ditunjuk Kiai Gringsing itu tersenyum. Katanya,
“Kau masih dapat mengenali aku. Ingatanmu baik sekali, Kakek. Aku memang yang tadi duduk di gardu itu. Tetapi aku bukan petani seperti yang kau sangka. Aku adalah salah seorang dari penyamun-penyamun yang kebetulan sudah lama ingin memiliki seekor kuda yang tegar seperti kudamu itu.”
“Kalian adalah penjahat-penjahat yang licik. Tentu penjual makanan itu pun kawanmu pula. Ia lah yang menjerumuskan kami lewat jalan ini. Ternyata kalian sudah menunggu kami di sini. Orang itu memang berusaha menjebak kami.”
Hampir berbareng penyamun-penyamun itu tertawa, Pemimpinnya berkata,
“Kau menyenangkan sekali, Kakek tua. Sayang sebentar lagi kau akan mati. Tetapi sebaiknya kau mati paling akhir. Aku senang mendengar kau berkicau seperti seekor burung.”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Tetapi tanpa diduga-duga, ternyata Swandaru tidak lagi dapat menahan perasaannya. Tiba-tiba saja dengan lantang ia menjawab.
“Kalian akan kecewa. Meskipun Kakek ini sebangsa burung, tetapi bukan jenis burung berkicau. Kakek ini adalah seekor burung kedasih, yang suaranya menggemakan kematian. Nah, apakah kalian siap untuk mati?”
Kata-kata Swandaru itu memang mengejutkan sekali. Bahkan Kiai Gringsing sendiri pun terkejut karenanya. Tetapi sifat-sifat itulah memang yang menonjol pada muridnya yang gemuk itu.

Sejenak, para penyamun yang berdiri bertebaran itu menjadi termangu-mangu. Seakan-akan mereka tidak percaya pada pendengarannya, bahwa anak muda yang gemuk itu telah berkata tentang kematian. Bukan kematian orang-orang yang ketakutan itu, tetapi kematian para penyamun. Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar sudah tidak dapat mencegah lagi. Agaknya benturan yang keras akan segera terjadi. Salah seorang dari penyamun itu ternyata tidak dapat dilawan oleh tiga orang sekaligus, bahkan salah seorang dari ketiga lawannya itu telah terbunuh dan yang dua lainnya, dikuasainya dengan mutlak. Dan sekarang yang ada di sekitarnya adalah delapan orang penyamun. Sedang rombongan Kiai Gringsing bersama orang-orang yang seakan-akan sudah tidak berdaya lagi itu berjumlah lima dan tujuh orang. Namun yang tujuh orang itu sama sekali sudah tidak bersenjata. Dalam pada itu, penyamun-penyamun itu pun telah bergeger maju. Ternyata kata-kata Swandaru itu membuat mereka marah. Pemimpin penyamun itu pun kemudian berkata,
“Jadi kalian benar-benar akan melawan?”
Kiai Gringsing-lah yang cepat-cepat menjawab,
“Apakah kalian benar-benar akan memberi senjata kepada kami, agar kalian mendapat perlawanan yang kalian kehendaki? Berilah senjata itu jika benar-benar kalian ingin berkelahi.”
Wajah pemimpin penyamun itu menjadi merah. Tiba-tiba ia berteriak,
“Hati-hatilah! Orang-orang ini ternyata lebih sombong dari orang-orang yang baru saja kalian hancurkan itu.”“
“Berikan kami senjata, terutama orang-orang yang baru saja kalian kalahkan. Agaknya kalian telah melucuti senjatanya.”
“Persetan!”
“Kalian akan ingkar?” bertanya Ki Sumangkar.
“Itulah ciri dari sifat dan watak kalian. Demikian juga agaknya jika kami menyerahkan tebusan berupa apa pun juga.”
“Diam, diam!” pemimpin penyamun itu berteriak.
“Kenapa kami harus diam? Kita sudah mendapat gambaran yang jelas dari keadaan yang akan kita hadapi.” Swandaru lah yang menyahut,
“Kalian akan membunuh kami. Diam atau tidak, persoalan yang kami hadapi akan serupa saja. Karena itu, jangan risau bahwa kami berbuat sekehendak kami.”
Para penyamun itu tidak dapat menahan kemarahan mereka lagi. Pemimpin penyamun itu tiba-tiba meneriakkan perintah,
“Kepung mereka! Jangan seorang pun yang dapat lepas. Kita sudah kehilangan seorang dari kelinci-kelinci itu.”
“Tetapi, tetapi,” tiba-tiba salah seorang dari orang-orang yang sudah tidak berdaya itu berkata dengan gemetar,
“kami sudah menyerah. Apakah kami dapat menyingkir dan tidak ikut campur lagi?”
“Kami akan membunuh kalian semua!” teriak pemimpin penyamun itu dengan marahnya.
“Kenapa kalian ketakutan?” bertanya Kiai Gringsing kepada orang itu,
“Kalian semula hanya sembilan orang. Sekarang jumlah kita semua bertambah menjadi duabelas orang.”
“Kami sudah tidak bersenjata dan jumlah lawan kita pun berlipat. Tadi, kami sembilan orang melawan empat orang. Apalagi dalam keadaan kami yang parah, dan apakah kalian juga mampu berkelahi seperti kami?”
“Mungkin tidak. Tetapi kami mempunyai harga diri. Jika kami harus mati, kami harus mati dengan dada tengadah. Tetapi kami sama sekali tidak akan pasrah untuk mati. Kami akan melawan, dan kamilah yang akan membunuh mereka.”
“Gila!” teriak tiga orang penyamun hampir berbareng. Dan pemimpin mereka berkata,
“Bersiaplah untuk mati. Tetapi kami telah menentukan cara mati yang paling baik bagi orang-orang yang sombong seperti kalian. Kami akan mengikat kaki kalian pada sebatang dahan di dalam hutan. Kepala kalian akan diraih oleh seekor harimau yang ganas dari bawah atau seekor ular menyelusur pada tali pengikat kaki kalian itu. Mungkin juga semut salaka yang akan menyerang kalian dan menyerap darah kalian sampai kering, dan makan daging kalian sehingga yang akan tinggal bergantungan adalah kerangka yang kering.”

Kata-kata itu telah mendirikan bulu roma. Bahkan Swandaru pun berdesis,
“Mengerikan sekali. Tetapi bagaimana jika terjadi sebaliknya? Kalian lah yang akan kami gantungkan pada dahan kayu di hutan ini atau kami ikat dan kami seret di belakang kuda kami?”
“Jangan beri kesempatan mereka berbicara lagi!” teriak pemimpin penyamun yang marah itu.
Serentak para penyamun itu mulai bergerak dari segala arah, sehingga Kiai Gringsing pun harus menyesuaikan dirinya. Kelima orang itu pun segera berpencar. Ki Demang tidak mempunyai pilihan lain daripada berkelahi, meskipun kadang-kadang sepercik kecemasan merayapi hatinya.
Agaknya Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar tidak sampai hati, untuk melepaskan Ki Demang begitu saja menghadapi lawan-lawannya, sehingga karena itu meskipun merasa tidak saling berjanji, keduanya berdiri di sebelah-menyebelah. Sedang Agung Sedayu dan Swandaru dengan gerak naluriah telah menghadapi para penyamun dari arah yang lain. Kelimanya sama sekali tidak mempedulikan lagi, apakah orang-orang yang sudah patah keberaniannya sama sekali itu akan membantu mereka atau tidak. Ketika para penyamun itu kemudian mengacu-acukan senjata mereka, maka Kiai Gringsing pun berkata,
“Bukankah Ki Demang membawa senjata?”
“Ya,” sahut Ki Demang. Dengan tergesa-gesa, ia pun kemudian mencabut pedangnya jang tersangkut di punggung kudanya.
“He!” teriak pemimpin penyamun,
“ternyata kalian bersenjata.”
Kiai Gringsing memandang Ki Demang sejenak, lalu memandang pemimpin penyamun itu sambil berkata,
“Apakah salahnya jika kami bersenjata? Sebenarnya kami sudah tahu bahwa kami akan bertemu dengan penyamun di sini. Sejak kami bertemu dengan seseorang yang mencurigakan, kami sudah merasa bahwa kami harus bersiap menghadapi segala kemungkinan. Apalagi ketika kami berbicara dengan penjual makanan yang menunjukkan jalan ini kepada kami, jalan yang kami tahu, bahwa bukan jalan yang seharusnya kami lalui. Kami pun tahu bahwa para petani itu sama sekali, bukan petani wajar, karena di sekitar padukuhan yang sudah tidak berpenghuni ini, tidak ada sawah yang sedang digarap. Kami pun curiga atas pemberian penjual makanan yang menurut dugaan kami pasti mengandung sesuatu yang tidak wajar pula. Nah, apakah kata kalian jika sebenarnya kami sudah siap untuk berkelahi?”
“Persetan!” pemimpin penyamun itu menjadi merah padam. Dan sebelum ia melanjutkan, Swandaru telah mendahului,
“Menyesal bahwa kawan-kawan kami yang terdahulu tidak menunggu kami, karena mereka tidak tahu bahwa kami akan lewat. Tetapi sebaiknya sekarang mereka tidak pasrah pada nasibnya yang malang.”

Orang-orang yang terdahulu, yang telah dikalahkan mutlak itu menjadi bimbang. Tetapi mereka sama sekali sudah tidak bersenjata. Bahkan ada di antara mereka yang sudah luka-luka. Agaknya Ki Sumangkar dapat menangkap gejolak hati mereka. Karena itu maka katanya,
“Jika kalian sudah tidak bersenjata, kalian dapat mempergunakan apa saja, batu, potongan kayu yang bertebaran itu, atau apa pun juga. Tetapi yang penting adalah keberanian kalian mempertahankan diri. Daripada kalian mati tanpa perlawanan, maka alangkah baiknya jika kalian masih menunjukkan sedikit kejantanan. Mati dalam perlawanan.”
“Persetan!” potong pemimpin penyamun yang marah,
“Siapa yang melawan, kematiannya pasti akan sangat menyedihkan. Tetapi siapa yang menyerah, nasibnya akan dipertimbangkan.”
“Ha!” Swandaru hampir berteriak,
“Kalian sudah mulai cemas bahwa kami semuanya akan bangkit melawan kalian, meskipun bersenjata sepotong kayu. Meskipun sepotong kayu, jika kami mampu mempergunakannya, maka yang sepotong itu tidak akan dapat dikalahkan oleh pedang atau sebatang tombak pendek atau aku lihat di antara kalian ada yang membawa sepasang bindi bergigi. Tampaknya memang mengerikan, tetapi itu tidak lebih dari sepotong dahan randu alas yang berduri.”
“Sebentar lagi kalian tidak akan dapat mengigau!” teriak pemimpin penyamun. Lalu,
“Apakah yang ditunggu lagi. Bunuh semuanya dengan cara yang sudah aku katakan. Mati perlahan-lahan.”
Tetapi Swandaru justru tertawa. Katanya,
“Jika kalian menusuk dadaku dengan tombak, maka aku akan mati. Nah, kalian boleh menggantungkan mayatku pada sebatang pohon, apakah dengan kaki di atas atau di bawah atau di samping, aku sudah tidak akan dapat mengetahuinya.”
“Diam, diam!” lalu perintahnya kepada orang-orangnya,
“Bunuh semuanya! Tetapi biarkan anak gemuk yang gila ini hidup.”
“Terima kasih!” Swandaru pun berteriak.
Tetapi Swandaru tidak dapat berkata lebih banyak lagi, karena kedelapan penyamun itu pun bersama-sama berloncatan menyerang. Ki Demang-lah yang menjadi sangat cemas, bukan saja karena dirinya sendiri, tetapi terutama justru karena anaknya yang membuat pemimpin penyamun itu menjadi marah sekali. Sejenak kemudian, maka mereka pun telah terlibat dalam suatu perkelahian. Kiai Gringsing dan kedua muridnya terpaksa mengurai senjata mereka, cambuk yang berjuntai panjang, sedang Ki Sumangkar pun telah memutar trisulanya yang terikat pada seutas rantai, sedang pasangannya digenggamnya dengan tangan kirinya.
“Gila!” teriak pemimpin penyamun ketika mereka melihat jenis senjata itu.

Orang-orang yang ketakutan itu pun mulai tergugah hatinya. Mereka mulai dijalari oleh harapan, bahwa orang-orang yang baru datang itu dapat membantu mereka menyelamatkan diri, karena agaknya kelima orang itu memang sudah siap untuk berkelahi. Sejenak mereka termangu-mangu. Namun tiba-tiba salah seorang dari mereka segera memungut sepotong kayu yang banyak berserakan di hutan itu. Dengan kayu itu, ia bertekad untuk mempertahankan diri bersama-sama dengan kelima orang berkuda yang baru datang dan yang kemudian telah terlibat dalam perkelahian dengan para penyamun. Dengan demikian, maka kawan-kawannya pun segera mengikutinya pula. Dahan-dahan yang kering itu merupakan senjata yang cukup untuk sekedar bertahan di sela-sela dentang senjata beradu dan ledakan cambuk Kiai Gringsing dan murid-muridnya. Bahkan ada di antara mereka yang menggenggam sepasang dahan kayu yang tidak terlalu panjang, tetapi ada yang membawa sebatang dahan yang lurus sepanjang tombak pendek. Meskipun ujung kayu itu tidak seruncing tombak, tetapi jika ia berhasil memukul lawannya, maka pukulan itu akan cukup membuat lawannya menjadi pingsan. Usaha mempersenjatai diri itu ternyata telah membuat para penyamun menjadi semakin marah. Tetapi mereka tidak dapat berbuat sekehendak hati, karena orang-orang itu telah mulai mengadakan perlawanan lagi. Apalagi kini di samping mereka terdapat beberapa orang yang ternyata memiliki kemampuan yang tidak mereka sangka-sangka.
Kemarahan para penyamun itu pun segera mereka tumpahkan terutama kepada Kiai Gringsing dan kawan-kawannya. Tetapi ketika cambuk Kiai Gringsing mulai meledak disela-sela desing trisula Sumangkar, maka penyamun-penyamun itu harus mengakui betapa dahsyatnya lawan-lawan mereka saat itu. Kiai Gringsing dan kedua muridnya beserta Ki Sumangkar pun segera melayani lawan-lawan mereka. Ki Demang justru telah bertempur dengan pedangnya, karena seorang penyamun yang marah meloncat menyerangnya. Namun demikian, meskipun orang-orang yang semula ketakutan itu sudah mempersenjatai diri, namun mereka hampir tidak berarti sama sekali di dalam perkelahian yang menjadi semakin seru. Dengan demikian, maka Kiai Gringsing bersama kawan-kawannya harus berkelahi melawan kedelapan orang itu. Hanya kadang-kadang saja, orang-orang yang bersenjata kayu itu dapat juga mengganggu para penyamun itu dengan serangan-serangan yang tidak berbahaya bagi mereka. Dengan demikian maka para penyamun itu pun kemudian memusatkan kekuatan mereka kepada Kiai Gringsing dan kawan-kawannya. Orang-orang yang bersenjata kayu itu sama sekali tidak akan berdaya jika kelima orang itu sudah dapat dilumpuhkan. Ternyata kemudian di dalam perkelahian yang berlangsung semakin sengit, Kiai Gringsing dan kawan-kawannya mengetahui, bahwa lawan-lawannya sama sekali bukan orang-orang yang berilmu tinggi. Jika seorang dari mereka dapat mengalahkan tiga orang sekaligus, itu bukan karena mereka memiliki kelebihan yang luar biasa, tetapi ketiga orang lawannya lah yang sama sekali tidak memiliki keberanian yang cukup untuk bertempur terus.

Karena itulah, maka kedelapan orang itu sama sekali tidak dapat menguasai lawannya, meskipun Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar tidak menunjukkan kelebihan yang ada padanya. Mereka berkelahi seperti lawan-lawannya. Tata geraknya sederhana dan kadang-kadang tanpa arti. Mereka sekedar mempertahankan diri dan memancing segenap tenaga lawannya, agar mereka menjadi lelah dan akan dapat mereka kuasai tanpa membunuh seorang pun dari mereka. Tanpa perintah yang terucapkan, Swandaru dan Agung Sedayu dapat mengerti isyarat yang diberikan oleh gurunya. Sedang Ki Sumangkar sempat juga berbisik di telinga Ki Demang,
“Jangan membunuh lawan.”
Ki Demang termangu-mangu sejenak. Tetapi sebagai seorang Demang yang pernah berhadapan dengan prajurit di bawah pimpinan Tohpati, maka ia pun mampu menjaga dirinya. Berganti-ganti mereka berlima melibatkan diri melawan satu atau dua orang penyamun sekaligus. Agung Sedayu dan Swandaru pun tidak berbuat terlampau kasar terhadap lawan-lawan mereka. Apalagi Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar. Orang-orang yang semula ketakutan dan yang kemudian bersenjatakan kayu-kayu yang mereka pungut di antara batang-kayu, sama sekali tidak mendapat kesempatan lagi. Kelima orang yang bergerak dalam lingkaran yang sempit di sekitar mereka itu bagaikan pagar yang rapat sekali, dan terdiri dari berpuluh-puluh orang dengan senjatanya masing-masing.
Ki Demang pun harus menyesuaikan diri dengan cara lawan-lawannya berkelahi. Mereka bergeser di seputar lingkaran, sehingga lawan-lawannya tidak dapat memusatkan serangannya terhadap seseorang. Ternyata bahwa kedelapan penyamun itu tidak berdaya menghadapi kelima orang itu. Meskipun kelima orang itu tidak memberikan serangan yang berbahaya, namun mereka tidak tahu apa yang sebaiknya mereka lakukan terhadap orang-orang itu. Dalam pada itu, lawan-lawannya pun menjadi semakin lama semakin bingung bercampur marah. Mereka menganggap bahwa lawan-lawan mereka itu pun akan segera dapat mereka binasakan. Namun ternyata bahwa mereka hampir kehilangan nalar untuk mengalahkan mereka. Swandaru yang biasanya tidak dapat mengendalikan diri, ternyata saat itu sama sekali tidak bernafsu untuk berbuat lebih banyak dari bertahan dan membiarkan lawan-lawannya menjadi lelah. Demikian juga Agung Sedayu. Namun selagi Swandaru sambil tersenyum meledakkan cambuknya, ia sempat melihat seseorang yang meloncat dari sebuah dahan ke dahan yang lain. Demikian lincahnya seperti seekor kera yang besar sekali sedang bermain-main di antara pepohonan hutan. Terasa dada Swandaru menjadi berdebar-debar. Ia hanya dapat melihat sepintas karena kebetulan orang itu berada di arah pandangannya, sedangkan gurunya dan Ki Sumangkar sedang menghadap ke arah lain. Ayahnya bahkan sedang melawan orang yang berdiri berlawanan arah dengan lawannya. Dan Agung Sedayu pun tidak sedang memandang ke arah itu.
“Apakah penglihatanku benar?” ia bertanya di dalam hatinya, sehingga selagi ia merenungi bayangan itu, hampir saja senjata lawannya menyentuh hidungnya.
Swandaru terkejut ketika sebuah bindi berdesing di depan wajahnya. Untunglah ia masih sempat mengelak. Namun dengan demikian, dengan gerak naluriah ia menyerang lawannya. Ujung cambuknya berhasil membelit pergelangan tangan, dan ketika ia menghentakkan cambuknya, orang itu pun terseret beberapa langkah dan kemudian jatuh berguling. Bindi yang hampir mengenai Swandaru itu pun terlepas dari tangannya.

Ketika ia bangkit dan meloncat surut, dilihatnya tangannya terkelupas dan mulai membasah darah.
“Gila!” ia berteriak.
Swandaru tidak mengacuhkannya. Selagi lawannya masih sedang memperbaiki keadaannya, ia mencoba memandang ke arah bayangan yang dilihatnya. Tetapi ia tidak melihat apa-apa lagi. Karena itu, agar kawan-kawannya menyiapkan diri menghadapi keadaan yang tiba-tiba saja dapat mempengaruhi perkelahian itu, maka ia pun berkata,
“Guru, apakah Guru melihat sesuatu di luar arena perkelahian ini?”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Cambuknya dengan mudah dapat menahan lawan-lawannya. Dengan pandangannya yang tajam ia mencoba mengawasi keadaan di sekitarnya. Tetapi ia tidak dapat melihat sesuatu.
“Di arah ini, Guru,” berkata Swandaru kemudian.
Kiai Gringsing tidak dapat begitu saja berpaling, karena bagaimanapun juga ia sedang berhadapan dengan dua orang lawan. Sehingga karena itu, maka ia pun menjawab,
“Kau kemari.”
Swandaru menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi sebelum ia berbuat sesuatu Agung Sedayu-lah yang menyahut,
“Aku akan datang, Guru.”
Belum lagi gema suaranya berhenti, maka cambuknya segera meledak mendorong lawannya beberapa langkah surut. Bahkan kemudian jatuh berguling di tanah, sedang ketika cambuk itu sekali lagi meledak, lawannya yang seorang lagi memekik kesakitan. Ujung cambuk Agung Sedayu membelit kakinya dan oleh hentakan yang keras, maka yang seorang itu pun terbanting jatuh pula. Sementara itu, Agung Sedayu segera meloncat meninggalkan lawannya dan menggantikan kedudukan Kiai Gringsing melawan dua orang yang lain. Dalam pada itu, ketika kedua orang lawan Agung Sedayu yang terjatuh itu bangkit, maka yang berdiri dihadapan mereka adalah Kiai Gringsing yang juga bersenjata cambuk. Kedua orang itu masih menyeringai sejenak. Yang seorang kakinya menjadi merah oleh darah yang meleleh dari lukanya. Sedang yang lain telah kehilangan pedangnya, sehingga ia membutuhkan waktu sejenak untuk mencarinya. Sambil bertempur melawan kedua lawannya, Kiai Gringsing mencoba mengawasi pepohonan yang semakin dalam menyusup ke dalam hutan, tampaknya semakin lebat.

Tetapi ternyata, pandangan mata Kiai Gringsing benar-benar tajam. Setiap gerakan dahan pepohonan tidak lepas dari pengawasannya, sehingga akhirnya ia melihat pula sesosok bayangan yang duduk, di atas dahan hanya beberapa langkah dari arena perkelahian, berlindung di balik rimbunnya dedaunan dan sulur-sulur yang bergayutan. Kiai Gringsing menarik nafas. Tetapi ia masih belum berbuat sesuatu. Bahkan ia masih bertempur dengan kedua lawannya, seolah-olah ia masih belum melihat orang yang bersembunyi sambil memperhatikan perkelahian itu. Meskipun Kiai Gringsing tidak melihat orang itu dengan jelas, namun menilik sikapnya ia dapat menduga, bahwa orang itu adalah orang yang memiliki ilmu yang cukup, setidak-tidaknya ia adalah orang yang memiliki kepercayaan kepada diri sendiri. Dengan demikian, Kiai Gringsing harus berhati-hati. Keadaan agaknya akan menjadi semakin gawat. Namun selagi orang itu masih duduk diam, Kiai Gringsing pun tidak berbuat sesuatu. Ia masih saja melayani lawannya seperti sebelumnya. Namun hatinya berdesir ketika ia melihat gerak yang lain di kejauhan. Ternyata selain orang yang duduk memperhatikan perkelahian itu, masih ada orang lain yang sedang mengawasi pula. Tetapi ketika Kiai Gringsing melihat bahwa orang yang duduk itu sekali-sekali berpaling dan tidak membuat gerak yang mencurigakan, maka Kiai Gringsing mengerti, bahwa kedua orang itu adalah kawan. Dengan demikian, Kiai Gringsing harus menjadi semakin berhati-hati. Ternyata bahwa sejenak kemudian, lawan mereka akan bertambah. Bahkan bertambah dengan dua orang yang pasti memiliki kelebihan dari kawan-kawannya yang telah berada di arena perkelahian. Selain Kiai Gringsing mencoba menemukan dugaan yang lebih dekat lagi atas kedua orang itu, tiba-tiba saja Swandaru berkata lantang,
“Apakah, Guru sudah melihatnya?”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Jawabnya kemudian,
“Apakah kau benar-benar melihat sesuatu?”
“Ya, Guru. Aku melihat sesuatu bergerak-gerak di kejauhan.”
Kiai Gringsing tidak menyahut. Sekilas ia melihat lagi bayangan yang bergerak semakin dekat.
“Aku melihat lagi, Kiai,” Swandaru hampir berteriak. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ternyata yang dilihat Swandaru adalah justru orang yang berada di kejauhan. Bukan orang yang duduk di atas dahan itu.
“Jika demikian, orang ini benar-benar orang yang harus diperhitungkan,” berkata Kiai Gringsing kepada diri sendiri. Bahwa ia dapat hadir di tempat itu tanpa diketahuinya adalah pertanda, bahwa orang itu adalah orang yang cukup mempunyai bekal dalam olah kanuragan. Meskipun pada saat ia mendekat agaknya Kiai Gringsing sedang sibuk melayani lawannya, apalagi ia sedang menghadap ke arah lain, namun orang itu adalah orang yang memiliki kelebihan dari orang-orang kebanyakan.
“Ternyata mereka datang berdua,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya. Sehingga dengan demikian, maka banyak kemungkinan yang dapat terjadi.
“Ternyata bahwa kami tidak dapat melewati mereka begitu saja,” berkata Kiai Gringsing pula di dalam hatinya,
“tentu Ki Demang menjadi semakin cemas. Apalagi jika terjadi sesuatu. Jika perjalanan ini urung, maka ia pasti akan menjadi kecewa sekali dan akulah yang akan dipersalahkannya.”

Karena itu, maka Kiai Gringsing pun harus berusaha, bahwa apa yang akan dihadapinya ini, tidak akan mengurungkan perjalanan mereka ke Menoreh.
“Tetapi kedua orang itu cukup mendebarkan,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya.
Meskipun demikian, Kiai Gringsing tampaknya masih tidak begitu menghiraukannya. Tetapi sekali-sekali ia memandang juga ke atas dahan itu dengan sudut matanya.
Sejenak kemudian, ketika Swandaru sekali lagi melihat, ia pun berkata,
“Sekarang orang itu menjadi semakin dekat.”
“Ya,” sahut Kiai Gringsing, “ia menjadi semakin dekat.”
Sumangkar, Agung Sedayu dan Ki Demang sebenarnya tertarik juga untuk melihat. Tetapi mereka harus melawan orang-orang yang menyerang mereka dari jurusan lain, sedang orang-orang yang bersenjatakan kayu itu hampir tidak dapat membantu mereka sama sekali. Agung Sedayu yang masih muda itu akhirnya tidak dapat menahan diri. Meskipun ia bukan seorang yang cepat kehilangan pengamatan diri, namun keinginannya untuk melihat orang yang dikatakan oleh Swandaru itu telah memaksanya untuk segera mengalahkan lawannya, setidak-tidaknya mendesak mereka jauh-jauh. Kemudian cambuknya menggelepar keras sekali. Dengan cepatnya ia memutarnya sekali lagi, dan ketika cambuk itu meledak pula, maka terdengar suara seseorang mengaduh.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ia sama sekali tidak bertempur dengan menunjukkan kemampuannya yang sebenarnya. Bahkan sebagian kecil saja yang dipergunakannya untuk melawan para penyamun itu. Karena itu ketika ia mendengar cambuk Agung Sedayu meledak, tahulah ia bahwa Agung Sedayu-lah yang tidak telaten kali ini. Bukan Swandaru. Namun Kiai Gringsing pun mengetahui, bahwa Agung Sedayu pasti ingin segera dapat melihat orang yang disebut oleh Swandaru itu. Tetapi Kiai Gringsing tidak mencegahnya. Hal itu memang sudah waktunya terjadi. Bahkan semakin cepat menarik perhatian orang-orang yang bergayutan di pepohonan itu, menjadi semakin baik pula. Ternyata bahwa Agung Sedayu mendesak lawannya dengan dahsyatnya. Ia tidak memerlukan waktu yang panjang. Ketika sekali lagi cambuknya meledak, sekali lagi lawannya harus menyeringai menahan sakit sambil mengeluh tertahan. Namun cambuk Agung Sedayu menjadi semakin sering meledak. Dengan demikian, maka lawan-lawannya itu pun menjadi semakin sering mengaduh. Di tubuhnya telah tergores jalur-jalur merah silang-melintang. Dengan demikian, maka keduanya menjadi ragu-ragu untuk mendekatinya. Dalam kesempatan-kesempatan itulah Agung Sedayu mencoba berpaling. Tetapi ia tidak segera dapat melihat orang yang di katakan oleh Swandaru itu. Namun dengan demikian maka Agung Sedayu pun menjadi semakin jengkel, sehingga cambuknya pun menjadi semakin garang pula. Ternyata bahwa tindakan Agung Sedayu itu, serta noda-noda darah pada tubuh lawan-lawannya telah menarik perhatian orang yang duduk di atas dahan sambil memperhatikan pertempuran yang menjadi semakin cepat. Sejenak ia termangu-mangu, namun kemudian terdengar suaranya,
“Kau memang dahsyat sekali anak muda.”
Agung Sedayu terkejut, mendengar suara itu. Demikian juga Sumangkar dan Ki Demang. Karena mereka tidak melihat, mereka menyangka bahwa yang disebut oleh Swandaru itu tidak berada pada jarak sedekat itu.

Bahkan Swandaru sendiri pun terkejut pula. Yang dilihatnya adalah orang lain, dan tiba-tiba ia mendengar suara tidak begitu jauh dari arena.
“He, apakah ada yang lain?” bertanya Swandaru tanpa sesadarnya.
Orang itu tertawa. Jawabnya,
“Memang ada yang lain. Yang kau lihat adalah seorang kawanku.”
“O, jadi kalian berdua?” bertanya Swandaru.
“Ya. Kami datang berdua. Dengan delapan orang yang sudah bertempur lebih dahulu, kami adalah sepuluh orang.”
“Bagus,” Swandaru lah yang menjawab,
“setiap orang dari kami akan berkelahi melawan dua orang.”
“Tetapi orang itu tertawa pula. Katanya,
“Jangan terlampau sombong. Bagaimana jika kami berdua saja yang akan turun ke arena? Biarlah delapan orang-orang kami itu menonton sambil mengepung kalian, jika ada di antara kalian yang akan melarikan diri.”
“He,” Swandaru meloncat surut setelah meledakkan cambuknya beberapa kali dan mendorong lawan-lawannya. Katanya,
“Turunlah. Aku ingin melihat tampangmu.”
“Persetan!” orang itu menggeram. Tetapi ia pun kemudian tertawa lagi,
“Kau menyenangkan anak muda. Tetapi sayang, bahwa karena itulah maka kau akan menjadi seorang anak peliharaan di tempat kami.”
Swandaru tidak segera menjawab. Tetapi cambuknya meledak keras sekali, sehingga kedua lawannya berloncatan surut. Baru kemudian Swandaru berkata,
“Turunlah. Aku ingin melihat wajahmu.”
“Apakah kau tidak melihat sekarang?”
“Terlindung oleh sulur-sulur kayu.”
“Baiklah. Aku akan turun,” lalu katanya kepada anak buahnya,
“jangan menyerang korban-korbanmu lebih dahulu. Biarlah mereka mepunyai kesempatan mengenal wajahku. Mundurlah supaya mereka tidak berprasangka.”

Para penyamun itu pun segera berloncatan mundur. Bukan saja karena perintah orang yang bertengger di atas dahan itu, tetapi justru karena sebenarnya mereka menjadi ketakutan mendengar ledakan cambuk dan desing trisula Sumangkar, meskipun ujung trisula itu sama sekali belum pernah menyentuh lawan-lawannya. Sejenak kemudian, orang yang berada di atas dahan itu pun segera meloncat turun. Demikian Kiai Gringsing dan kawan-kawannya melihat wajahnya, maka hati mereka pun bergejolak. Sejenak Kiai Gringsing termangu-mangu memandanginya. Namun sebagai seorang yang cukup berpengalaman, maka ia pun segera dapat menenangkan hatinya.
“Ki Sanak,” berkata Kiai Gringsing kemudian,
“aku tidak menyangka bahwa kau adalah orang yang justru memegang pimpinan di daerah ini.”
Orang itu tertawa. Jawabnya,
“Aku pun tidak menyangka, bahwa kau yang tua itulah yang memimpin kawan-kawanmu. Bukan Ki Demang yang kau katakan itu.”
Ki Sumangkar pun kemudian menyahut pula,
“Jadi warung itu merupakan kedok yang bagus sekali bagimu, Ki Sanak.”
Orang itu tertawa sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Demikianlah. Aku memang mempergunakannya sebagai kedok yang baik sekali.”
Agung Sedayu, Swandaru dan Ki Demang memandanginya dengan heran pula. Namun mereka pun kemudian dapat menenangkan diri mereka sendiri. Namun Agung Sedayu masih juga berdesis sambil mendekati Ki Demang,
“Penunggu warung itu, Ki Demang.”
“Ya, penunggu warung. Tentu tidak seorang pun mengira bahwa ia memiliki kemampuan yang begitu tinggi.”
“Guru sudah mencurigainya. Tetapi karena ia tidak mempunyai alasan yang lain, maka guru tentu tidak menyangka bahwa ialah justru yang memimpin perampokan ini. Dan ternyata bahwa ia sendiri mempunyai kemampuan yang begitu tinggi.”
“Ya. Kita harus berhati-hati. Bagaimanapun juga hal ini pasti akan mengganggu perjalanan kita, setidak-tidaknya memperpanjang waktu.”
“Tetapi tentu tidak dapat kita hindari. Jika orang itu yang memimpin perampokan, maka kita pasti akan mengalaminya lewat jalan manapun, karena ia pasti akan dapat mengatur orang-orangnya.”
“Ya, ya. Kau benar. Kita tidak dapat menghindarinya lewat jalan yang manapun.”
Keduanya pun terdiam, ketika mereka mendengar orang yang semula dikenalnya sebagai penunggu warung itu berkata,
“Ternyata firasatmu baik Ki, Sanak. Aku tahu bahwa makanan yang aku berikan tidak kau makan sama sekali.”
“Terima kasih,” sahut Kiai Gringsing. Lalu,
“Tetapi justru kebaikan yang berlebih-lebihan itu dapat menimbulkan kecurigaan. Bukankah hampir tidak pernah terjadi, seorang penunggu atau katakanlah penjual makanan yang begitu baik hati memberi bekal perjalanan kepada orang lewat tanpa alasan?”
Orang itu tertawa. Katanya,
“Tetapi karena kau mampu berpikir itulah agaknya maka kau menolak pemberianku, meskipun tidak berterus terang. Kau terima juga makanan itu meskipun kemudian kau buang. Tetapi ada juga yang dengan lahapnya dimakan dan akibatnya mereka tidak dapat memberikan perlawanan yang berarti. Mereka menjadi sesak nafas dan kehilangan kekuatan.”
“Apakah setiap orang lewat kau beri bekal makanan buatanmu itu?”
“Tidak. Hanya orang-orang khusus saja. Seperti kau yang sudah mencurigai aku, maka aku pun sebenarnya agak curiga juga kepadamu. Terutama Ki Demang itu. Aku melihat sesuatu di balik pelana kudanya. Dan ternyata dugaanku benar. Senjata. Seorang Demang yang bersenjata sudah tentu berbahaya sekali. Ternyata dugaanku tidak salah. Meskipun agaknya Ki Demang bertempur seperti acuh tidak acuh, namun tidak seorang pun yang mampu mendekatinya,” orang itu berhenti sejenak. Lalu,
“Tetapi, ternyata kemudian bahwa bukan saja Ki Demang, tetapi anak muda yang gemuk yang banyak berbicara itu pun mempunyai kemampuan yang cukup baik, sehingga dengan demikian, maka kalian berlima mampu bertahan melawan kedelapan orang anak buahku.”
“Terima kasih atas pujian itu. Tetapi adalah wajar, bahwa kami harus berjuang mempertahankan diri dan harta benda kami yang cukup banyak jumlahnya, karena kami pergi untuk melamar seorang gadis dan membawa oleh-oleh untuknya.”
Orang yang semula bertengger di atas pohon itu tertawa. Katanya,
“Seperti kau mencurigai pemberianku, aku pun jadi curiga akan ceriteramu. Dalam keadaan yang demikian gawat bagimu, kau masih juga mengatakan bahwa kau membawa harta benda yang cukup banyak jumlahnya. Bukankah itu benar-benar mencurigakan?”
Kiai Gringsing pun tersenyum. Lalu katanya,
“Baiklah. Dengan demikian kita memang sudah saling mencurigai. Kita masing-masing memang sudah siap untuk berdiri berseberangan. Kau hendak menyamun kami, dan kami pun ingin mempertahankan diri dan milik kami. Setidak-tidaknya kuda-kuda kami yang tegar.”
“Baiklah. Aku percaya bahwa kau dapat mengalahkan dua tiga orang anak buahku sekaligus setiap orang. Tetapi kau belum mengenal aku dan seorang sahabatku, kami memang orang-orang baru di sini. Tetapi kami mendapat tugas yang berat sekali.”
“Kau sadari tugasmu sebagai seorang penyamun. Apakah penyamun mempunyai ikatan yang luas sekali, sehingga kau mendapat perintah untuk bertugas di sini?”
Orang itu tertawa. Jawabnya,
“Demikianlah agaknya. Tetapi kami bukanlah penyamun kebanyakan. Kami adalah pagar bagi Mataram.”
“Seperti yang kau katakan. Kau ingin memagari Mataram dan memisahkannya dari dunia luar. Nah, siapakah yang memegang kendali dari antara kalian? Apakah kau pemimpin tertinggi dari gerakan yang ingin memperkecil arti Mataram?”
“Eh, kau salah duga. Tentu bukan aku, karena aku hanya sekedar menjalankan perintah. Tetapi meskipun demikian, aku mempunyai wewenang yang luas di sini. Beberapa orang yang bertugas di sekitar Alas Tambak Baya dan Mentaok tidak dapat berbuat banyak menghadapi Mataram. Sekarang aku akan mencoba dengan caraku.”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi persoalan yang dikatakan oleh orang itu adalah persoalan yang sudah diduganya. Kiai Gringsing ingin mendengar keterangan yang lebih dalam lagi. Tetapi sulitlah dapat di harapkan dari orang itu. Meskipun demikian ia masih juga mencobanya,
“Ki Sanak. Meskipun kau berhasil di sini, tetapi jalan ke Mataram bukan hanya satu jalur. Dari Selatan, dari Barat, dan dari Utara masih tetap terbuka.”
“Semua jalan sudah ditutup. Tetapi menurut perhitungan kami, jalan yang menghadap langsung ke Pajang ini adalah jalan yang paling penting. Karena itu, aku lah yang ditugaskannya di sini.”
“O, kalau begitu Ki Sanak adalah orang yang paling dipercaya dari lingkunganmu.”
Orang itu tersenyum. Katanya,
“Ya. Akulah orang yang paling dipercaya.”
“Masih adakah orang yang melampauimu?”
“Tidak. Tidak ada lagi orang yang melampaui aku.”
“Yang menugaskan kau di sini?”
Orang itu mengerutkan keningnya. Katanya,
“Mungkin. Satu-satunya orang yang mungkin melampaui aku.”
“Kenapa mungkin?”
“Ia hanya memiliki pengaruh. Jika aku dan pemimpin kami itu harus bertempur, maka aku kira, aku tidak akan dapat dikalahkannya.”
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Tetapi harapan untuk mendapat penjelasan dari orang ini, baik sebelum maupun seandainya ia berhasil menangkapnya, akan sia-sia saja. Seperti juga yang pernah terjadi, mereka adalah orang-orang yang teguh memegang rahasia. Kiai Damar, Kiai Telapak jalak, orang-orang yang menyerang rumah Untara yang dihuni oleh para perwira Pajang dan tentu juga orang-orang ini.
“Tetapi setidak-tidaknya aku harus membuka jalur ini,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya,
“Jika orang-orang itu masih ada di jalur ini, maka hubungan dengan Mataram pasti akan benar-benar terputus. Prajurit-prajurit yang meronda tidak akan dapat memecahkan masalah ini, karena mereka hanya sekedar lewat dan segera kembali ke Mataram. Dan jika terjadi benturan senjata, maka prajurit Mataram itu tidak akan dapat mengalahkan orang-orang ini, terutama penjual makanan itu.”
Dalam pada itu, maka orang itu pun kemudian berkata,
“Nah, sekarang kalian yang sudah terlanjur mengetahui beberapa hal tentang kami dan usaha kami, tidak akan dapat keluar lagi dari hutan ini.”
“Jangan meramalkan yang belum terjadi.”
Orang itu tertawa. Katanya,
“Aku tidak pernah ikut campur dalam setiap perampokan dan kadang-kadang pembantaian. Tetapi kali ini, ternyata orang-orangku tidak mampu melakukannya. Karena itu, aku sendiri harus turun tangan. Jika tidak, maka pagar yang kami buat pasti akan dapat kau tembus. Apakah kau akan pergi ke Menoreh atau ke Mataram?”

Kiai Gringsing tidak menyahut. Ketika ia kemudian melihat orang yang satu lagi dengan jelas, maka orang itu adalah orang yang mula-mula bertanya kepadanya, di saat ia beristirahat sebelum sampai ke tepi hutan Tambak Baya.
“Nah, jangan menyesal, bahwa kami harus menjalankan tugas kami. Kami mendapat kebebasan mempergunakan cara yang paling kami sukai untuk membantai korban-korban kami. Adalah kebetulan sekali bahwa yang paling menarik dari kalian adalah anak muda yang gemuk itu.”
Kiai Gringsing tidak menyahut. Tetapi ketika ia berpaling kepada Ki Demang, dilihatnya wajah itu menjadi berkerut merut. Namun, itu adalah wajar sekali. Ki Demang sedang dalam perjalanan untuk melamar seorang gadis justru untuk Swandaru. Dan kini Swandaru yang menjadi pusat sasaran para penyamun itu. Meskipun demikian Ki Demang percaya, bahwa Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar pasti tidak akan tinggal diam. Dalam pada itu, penjual makanan yang ternyata adalah pemimpin dari para penyamun itu maju selangkah sambil berkata,
“Kami akan segera melakukan tugas kami. Kami akan membunuh kalian. Tetapi anak yang gemuk itu akan menjalaninya yang terakhir kali.”
Tetapi adalah di luar dugaan bahwa Swandaru menyahut,
“Sejak tadi kau hanya berbicara saja tanpa berbuat sesuatu. Ayo, kita segera menentukan siapakah yang akan terbantai. Kami atau kalian.”
Orang yang ternyata memimpin para penyamun itu mengerutkan keningnya, namun ia pun tertawa,
“Kau memang menyenangkan sekali.”
“Persetan!” Swandaru menjadi tidak sabar lagi. Orang itu masih saja tertawa. Tetapi suara tertawanya terputus ketika cambuk Swandaru tiba-tiba saja meledak.
“Anak setan!” pemimpin penyamun itu menggeram. Namun Kiai Gringsing lah yang menyahut,
“Marilah, Ki Sanak. Kita sudah bersiap.”
Orang itu memandang Kiai Gringsing dengan sorot mata yang menyala. Dengan isyarat ia memanggil kawannya yang paling dipercaya. Katanya,
“Marilah kita selesaikan orang-orang ini.”
Kiai Gringsing melihat orang itu meloncat mendekat. Karena itu, maka ia pun berkata,
“Marilah, adi Sumangkar. Kita yang tua-tua sajalah yang sebaiknya melayani tamu-tamu kita kali ini,” lalu katanya kepada Swandaru dan Agung Sedayu,
“Kalian mempunyai tugas khusus. Kedelapan orang itu tentu tidak akan hanya sekedar menonton. Jika mereka berbuat sesuatu, adalah bagianmu.”

Mendengar kata-kata gurunya itu, Swandaru menjadi kecewa. Karena itu, maka ia pun menjawab,
“Aku ingin bahwa aku lah yang mendapat kesempatan membantai penjual makanan yang licik itu.”
Tetapi gurunya menyahut,
“Jangan kalian biarkan kedelapan orang itu mengganggu kami. Kami ingin berkelahi seperti kami sedang melagukan tembang macapat.”
Swandaru mengerutkan keningnya. Ia mengerti bahwa gurunya tentu berpendirian lain. Karena itu maka katanya di dalam hati,
“Orang itu tentu orang yang memiliki kemampuan yang tinggi menurut pendapat guru, sehingga aku tidak diperkenankan untuk bertempur melawannya.”
Dalam pada itu, Sumangkar pun telah menyiapkan dirinya di samping Kiai Gringsing. Seperti Kiai Gringsing maka Sumangkar pun melihat, bahwa kedua orang itu bukan orang-orang kebanyakan dan bukan pula seperti penyamun-penyamun yang lain.
Orang yang semula menunggui warung itu pun kemudian berkata,
“Kalian akan menyesal. Tetapi apa boleh buat. Aku harus menyelesaikan kalian di sini. Kalian sudah membuat aku marah dan tentu jualanku sekarang sudah habis dicuri orang, karena tidak ada yang menungguinya.”
Tanpa diduga-duga Swandaru menjawab,
“Jika daganganmu habis dicuri orang, maka pencurinya tentu anak buahmu sendiri, karena di sini sama sekali tidak ada orang lain.”
“Persetan!” orang itu memotong. Namun sebelum orang itu berbicara, Kiai Gringsing telah mendekat selangkah sambil berkata,
“Bersiaplah. Jangan membual kepada anak-anak. Kita sudah berjanji untuk berkelahi dan mempertaruhkan nyawa.”


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar