Jilid 068 Halaman 3


Orang itu menggeram. Lalu tiba-tiba saja ia berteriak,
“Beri aku senjata. Cepat. Beri aku senjata. Agaknya untuk membunuh orang ini diperlukan senjata.”
Sejenak para penyamun itu saling berpandangan. Dan orang itu sekali lagi berteriak,
“Berikan senjata itu kepadaku. Apakah kalian tuli? He, yang memegang sepasang bindi. Berikan kepadaku sebuah. Dan kau yang memegang pedang dan pisau belati panjang. Berikan pisau itu kepadaku. Aku akan membunuh orang ini dengan bindi dan pisau belati.”
Orang yang memegang sepasang bindi itu pun segera berlari-lari kepadanya, dan menyerahkan sebuah dari sepasang bindinya, sedang yang membawa sebuah pedang dan pisau belati panjang pun datang pula kepadanya menyerahkan pisau belatinya.
“Nah, aku kini sudah bersenjata dan kalian masih juga bersenjata. Aku akan membunuh orang tua ini, dan kalian harus membunuh anak-anak muda itu beserta Ki Demang. Kemudian tikus-tikus yang lain itu pun harus kau bunuh pula.” lalu ia pun berpaling kepada kawannya yang telah siap melawan Sumangkar, “Bunuh pulalah orang yang membawa senjata aneh itu. Seakan-akan ia adalah seorang petualang yang biasa membelah dada orang dengan trisulanya itu.”
Orang yang diajak berbicara itu mengangguk dan menjawab,
“Senjatanya memang sangat menarik. Tetapi orang itu sama sekali tidak menarik bagiku. Apakah kau pernah mendengar tentang orang-orang bercambuk yang telah membunuh Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak?”
Penjual yang menjadi pemimpin para penyamun itu mengerutkan keningnya. Katanya,
“O, aku memang pernah mendengar, tetapi aku tidak menghiraukannya. Apakah orang-orang itu adalah orang yang sedang kita hadapi sekarang ini?”
“Aku kira.”
“Persetan! Jika demikian, mereka benar-benar harus dibunuh,” lalu ia pun berteriak kepada para penyamun yang lain,
“Cepat, bunuhlah anak-anak muda itu dengan Ki Demang sekali. Mereka tidak berhak lagi keluar dari hutan ini. Kemudian kalian harus menjaga agar kedua orang tua-tua ini tidak dapat lari. Karena, merekalah agaknya yang telah membunuh Kiai Damar, mengaku atau tidak mengaku.”

Para penyamun itu pun segera bergeser maju. Kini mereka berdelapan hanya tinggal menghadapi tiga orang lagi, karena yang dua, Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar sudah terikat kepada kedua orang yang sudah bersiap pula menyerangnya. Swandaru menggeram ketika ia melihat tiga orang mendekatinya. Ia harus berkelahi melawan tiga orang itu. Sedangkan Agung Sedayu pun harus berhadapan dengan tiga orang pula, dan Ki Demang dengan pedangnya berhadapan dengan dua orang penyamun. Ternyata Swandaru tidak menunggu mereka menyerang. Sejenak kemudian terdengar cambuknya meledak. Ia lah yang lebih dahulu mulai menyerang lawan-lawannya. Ledakan cambuk Swandaru bagaikan aba-aba setiap orang yang ada di tempat itu. Semuanya pun segera berloncatan dan menghadapi lawan masing-masing. Ki Demang tidak lagi dapat berpikir lain daripada bertempur. Mau tidak mau, perkelahian memang harus terjadi karena orang-orang yang berada di mulut hutan itu ternyata adalah orang-orang yang sengaja menghalang-halangi, tetapi menakut-nakuti dengan membunuh orang-orang lain, yang lebih dahulu melalui jalan itu. Sejenak kemudian, maka Ki Demang pun telah bertempur mati-matian. Tetapi karena ia memiliki pengalaman yang cukup, maka dua orang lawannya bukannya lawan yang dapat membahayakan jiwanya, meskipun ia harus memeras tenaga. Namun demikian, jika perkelahian itu berlangsung lama, maka nafasnyalah yang agaknya akan mengalami kesulitan. Swandaru dan Agung Sedayu pun segera berloncatan dengan lincahnya. Karena mereka mencemaskan nasib Ki Demang di Sangkal Putung, maka mereka pun tidak lagi sekedar melayani lawannya seperti yang telah di lakukannya. Kini mereka benar-benar harus segera membinasakan lawannya sebelum dirinya sendiri. Karena itulah, maka tandang Swandaru dan Agung Sedayu tidak lagi seperti saat mereka bertempur sebelumnya. Kini mereka memeras segenap kemampuan yang ada. Selain lawannya memang menjadi lebih banyak, maka mereka harus berpacu dengan waktu. Mereka tidak tahu, apakah Ki Demang mampu mempertahankan dirinya melawan kedua orang itu, sedangkan apakah gurunya dan Ki Sumangkar dapat mengimbangi lawannya itu pun, masih merupakan pertanyaan yang besar bagi keduanya. Meskipun kedua anak-anak muda itu tidak berjanji, tetapi mereka menganggap bahwa semakin cepat mereka menyelesaikan tugas mereka, itu akan berarti semakin baik buat dirinya sendiri dan buat orang lain yang memerlukan pertolongan. Dengan demikian, maka sejenak kemudian pertempuran itu pun meningkat menjadi semakin seru. Untuk melawan Swandaru dan Agung Sedayu yang bertempur seperti banteng yang terluka itu, lawan-lawannya pun telah memeras kemampuan yang ada pada mereka. Dalam pada itu Ki Demang pun harus mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya. Kedua lawannya ternyata memiliki pikiran yang serupa dengan Swandaru dan Agung Sedayu. Jika Ki Demang itu segera dapat dibinasakan, maka mereka berdua pun akan segera dapat membantu kawan-kawannya yang lain. Namun ternyata, meskipun umurnya sudah menjadi semakin tua, Ki Demang cukup tangkas untuk mempertahankan dirinya. Kadang-kadang ia memang harus berloncatan surut. Tetapi kemudian, ia segera menemukan keseimbangan yang mantap untuk bertahan.
Swandaru-lah yang setiap kali menggeram jika ia melihat ayahnya harus bergeser surut. Namun lawannya pun tidak dengan sukarela menyerahkan diri mereka. Meskipun di antara mereka terdapat orang yang telah terluka, tetapi perlawanannya masih tetap harus diperhitungkan.

Sementara itu, Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar pun telah terlibat di dalam pertempuran yang sengit. Ternyata penjual makanan itu bukan sekedar menakut-nakuti dengan sikap dan kata-katanya. Dengan sebuah bindi dan sebuah pisau belati panjang ia bertempur melawan Kiai Gringsing yang mempergunakan cambuknya. Setiap kali cambuk itu meledak bagaikan memecahkan selaput telinga. Namun orang yang memegang bindi dan pisau belati panjang itu setiap kali tertawa sambil berkata,
“Tenagamu dahsyat sekali, Ki Sanak.”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Ternyata ia benar-benar menemukan lawan yang cukup tangguh, sehingga dengan demikian ia menjadi heran, bahwa orang-orang yang berhimpun untuk menentang berdirinya Mataram itu terdiri dari orang-orang yang pilih tanding. Jika mereka bergabung menjadi satu dan menyusun sebuah pasukan yang besar, maka kekuatannya pasti akan menggetarkan Pajang maupun Mataram. Yang pernah dikenalnya dari lingkungan mereka adalah Kiai Damar, Kiai Telapak Jalak, seorang yang telah menyerang rumah Untara yang dihuni oleh para perwira bersama pemimpin gerombolan penyerang itu, dan kini dua orang lagi yang belum dikenal namanya.
“Delapan orang,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya,
“adalah sulit sekali bagi Mataram untuk mendapatkan delapan orang seperti orang-orang ini. Di Mataram yang dapat aku ketahui hanyalah Ki Gede Pemanahan sendiri dan yang masih sedang berkembang adalah Raden Sutawijaya. Meskipun barangkali Mataram dapat menyusun kelompok-kelompok yang kuat untuk melawan mereka, tetapi Mataram pasti akan mengalami kesulitan.”
Tetapi untunglah bahwa mereka tidak bergerak dalam irama yang mantap, sehingga kemampuan mereka pun agaknya terpecah-pecah. Dalam perkelahian yang sengit, maka Kiai Gringsing kemudian benar-benar harus berhati-hati. Lawannya kali ini adalah seorang yang dapat bergerak secepat tatit, sehingga kadang-kadang ujung cambuknya tidak dapat mengejarnya, bahkan kadang-kadang, angin yang berdesir karena ayunan bindi orang itu telah terasa di kening Kiai Gringsing. Sedikit saja ia lengah, maka kepalanya pasti dipecahkan oleh lawannya itu.
“Benar-benar di luar dugaanku,” berkata Kiai Gringsing di dalam hati,
“jika terjadi sesuatu atas salah seorang dari kami, maka akulah yang bertanggung jawab.”
Namun, selagi ia sempat melihat dengan sudut matanya Swandaru dan Agung Sedayu, hatinya menjadi sedikit tenang, meskipun Ki Demang Sangkal Putung kadang-kadang membuatnya tegang.

Lawan Ki Sumangkar pun ternyata seorang yang tangguh. Tetapi Ki Sumangkar tidak mengalami tekanan yang terlampau berat seperti Kiai Gringsing. Meskipun orang itu mampu mengimbangi tata gerak Ki Sumangkar, namun keduanya masih juga harus berjuang untuk menentukan siapakah yang akan menang, dengan kemungkinan yang lebih baik pada Ki Sumangkar, jika Ki Sumangkar tidak berbuat kesalahan. Setiap kali, Ki Sumangkar dengan senjatanya yang dahsyat itu, berhasil mendorong lawannya surut. Tetapi kemudian lawannya itu pun segera memperbaiki keadaannya. Dalam keadaan yang sulit, lawannya mencoba bertahan dengan senjatanya yang aneh pula. Dua batang tongkat pendek yang tajam di kedua ujungnya, sehingga seakan-akan ia mempergunakan empat buah mata tombak yang runcing.
“Ternyata kami tidak dapat melampaui penyamun-penyamun ini dengan tanpa berjuang mati-matian,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya. Apalagi ternyata lawannya memang memiliki kemampuan yang mendebarkan. Senjatanya itu setiap kali rasa-rasanya telah menyentuh kulit Kiai Gringsing. Bahkan Gringsing terkejut ketika terasa sebuah sentuhan telah menyentuh lengan bajunya. Dengan gerak naluriah ia melangkah surut. Jika bindi itu menyentuh tangannya, maka tulangnya pasti akan remuk, dan seterusnya kepalanyalah yang akan dipecah oleh lawannya itu. Karena itulah, maka Kiai Gringsing menjadi semakin berhati-hati dan sekaligus berjuang semakin dahsyat. Sebagai seorang yang memiliki pengalaman yang cukup dan ilmu yang tinggi ia pun segera berusaha menyesuaikan dirinya, tanpa melupakan kemungkinan waktu yang lama dari pertempuran itu, sehingga ia pun harus mengatur pernafasan sejak permulaan. Pertempuran antara Kiai Gringsing dengan lawannya itu pun meningkat semakin dahsyat. Keduanya memiliki kelebihan dari orang-orang kebanyakan, sehingga karena itu, maka arena perkelahian mereka pun seakan-akan menjadi ajang angin pusaran yang sangat dahsyat. Pohon-pohon perdu pun berserakan dan ranting-ranting berpatahan. Senjata Kiai Gringsing meledak memekakkan telinga disela-sela desing bindi dan pisau belati panjang yang bagaikan melontarkan arus angin yang tiada taranya. Dan perkelahian itu pun kemudian bagaikan tidak dapat dinilai lagi. Gerak tangan dan kaki mereka tidak lagi dapat diikuti dengan mata telanjang.

Ternyata Ki Sumangkar menjadi cemas melihat perkelahian itu. Di Jati Anom Kiai Gringsing telah dapat dilukai, sedang di saat-saat sebelumnya, Kiai Gringsing hampir selalu dapat langsung menguasai lawannya. Dan sekarang ia menjumpai lawan yang seakan-akan lebih tinggi lagi ilmunya dari lawan-lawan sebelumnya. Tetapi dalam pada itu, Sumangkar sendiri masih terlibat dalam perkelahian yang dahsyat. Ternyata lawannya pun segera mengerahkan segenap tenaganya untuk berusaha secepatnya mengakhiri perkelahian. Tetapi ternyata bahwa Sumangkar bukan lawan yang dapat ditentukan nasibnya. Di lingkaran yang lain, Agung Sedayu dan Swandaru bertempur mati-matian pula untuk segera mengalahkan lawan-lawan mereka, seperti juga Ki Demang yang sudah mengerahkan semua kemampuannya melawan penyamun-penyamun itu. Dengan hati yang berdebar-debar, tetapi juga dengan kemarahan yang mencengkam, Swandaru memutar cambuknya seperti baling-baling, sedang cambuk Agung Sedayu menyambar-nyambar seperti puluhan cambuk yang berterbangan di udara. Orang-orang lain yang bersenjatakan potongan-potongan kayu, sama sekali tidak mampu lagi melibatkan diri di dalam perkelahian itu. Hanya kadang-kadang saja mereka mengayun-ayunkan kayu di tangan mereka apabila para penyamun itu terdesak. Tetapi mereka segera melangkah surut apabila penyamun-penyamun itu memandang mereka dengan tatapan mata yang marah.
“Kepung mereka!” teriak Swandaru, “Jangan biarkan mereka lari.”
Orang-orang itu termangu-mangu sejenak. Lalu terdengar suara Swandaru itu lagi,
“Mereka juga mengepung kita dan berusaha agar kita tidak dapat keluar dari hutan ini. Jangan takut. Aku ada di antara kalian. Jika mereka akan menyerang kalian, maka punggungnya akan aku sobek dengan ujung cambukku.”
Orang-orang yang sudah hampir kehilangan keberaniannya sama sekali itu saling berpandangan. Tetapi mereka tidak segera berbuat apa-apa. Karena itu, maka Swandaru berteriak lagi,
“Berbuatlah sesuatu. Jika kita berhasil membunuh mereka, kita akan selamat. Tetapi jika tidak, kita lah yang akan digantung di mulut lorong ini dengan kaki kita di atas, dan dibiarkannya kita mati perlahan-lahan atau digapai oleh seekor harimau yang akan melubangi kepala kita dengan taring-taringnya.”
Mereka masih saja termangu-mangu. Namun kemudian Agung Sedayu pun berkata pula sambil bertempur,
“Seorang kawanmu telah mati di tangan mereka. Kawanmu itu telah menjadi banten perjuangan kalian untuk melepaskan diri.”

Ternyata kata-kata itu telah menyentuh hati mereka. Karena itu, mereka pun kemudian berpencaran, meskipun mereka tidak berani berdiri sendiri. Mereka telah berdiri terbagi menjadi tiga kelompok kecil yang masing-masing mencoba menjaga lawan-lawan Agung Sedayu, Swandaru dan Ki Demang Sangkal Putung.
“Bagus!” teriak Swandaru,
“Kalian dapat memukul kepala mereka dengan tongkat-tongkat kayu kalian.”
Tetapi, orang-orang itu masih saja berdiri termangu-mangu. Mereka tidak berani menerjunkan diri di dalam arena perkelahian itu. Apalagi mereka yang telah terluka. Namun tampak di wajah mereka, sepercik keberanian mulai tumbuh. Juga karena seorang kawan mereka telah terbunuh, sehingga korban yang telah jatuh itu mendorong mereka untuk menuntut balas. Yang kemudian segera menguasai lawan-lawannya justru adalah Agung Sedayu. Sebuah serangan mendatar membuat ketiga lawannya berloncatan mundur. Namun tiba-tiba seorang dari mereka segera meloncat begitu ujung cambuk Agung Sedayu berdesing di depan wajahnya. Tombak pendeknya berputar sekali, lalu mematuk leher anak muda itu. Tetapi Agung Sedayu pun cepat mengelak, ia sempat meloncat ke samping dan kemudian berputar setengah lingkaran. Tetapi pada saat itu, sebuah bindi melayang menyambar ubun-ubunnya. Dengan demikian, Agung Sedayu terpaksa meloncat lagi. Namun seorang lawannya yang lain mengayunkan pedangnya langsung menebas lehernya. Agung Sedayu tidak sempat meloncat lagi. Tetapi ia merendahkan diri untuk mengelakkan pedang itu. Pada saat yang gawat itulah, Agung Sedayu melihat ujung tombak lawannya melayang ke lambungnya. Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Ia harus bertindak tepat. Dalam waktu sekejap, ia harus menentukan suatu langkah untuk membebaskan dirinya dari lawan-lawannya yang semakin garang. Agung Sedayu bergeser sedikit surut. Ia masih tetap merendahkan dirinya. Namun tiba-tiba ia berputar di atas tumitnya, dan sekali lagi cambuknya berputar pula mendatar. Lawan-lawannya segera berloncatan surut. Tetapi orang yang sedang meloncat dengan ujung tombak terjulur itu tidak dapat berbuat sesuatu, karena ia sedang melayang laju ke depan. Yang dapat dilakukannya kemudian adalah berusaha menangkis ujung cambuk yang terayun tepat kepadanya. Karena itulah, maka tombaknya pun segera dirundukkannya. Dengan sebuah hentakan, ia ingin menghentikan ayunan cambuk Agung Sedayu. Namun dengan demikian, maka terjadilah benturan antara dua senjata itu, sehingga ujung cambuk Agung Sedayu pun langsung membelit tangkai tombak itu. Agung Sedayu yang sudah memperhitungkannya itu pun segera menarik ujung cambuknya sendal pancing. Dengan sepenuh kekuatannya, ia menghentakkan cambuknya demikian tiba-tiba, sehingga lawannya tidak mampu lagi menguasai senjatanya. Senjata itu pun kemudian terlepas dari tangannya dan terlempar beberapa langkah, lawannya sama sekali tidak mampu bertahan untuk tetap menggenggam tangkai tombaknya itu. Agung Sedayu melihat kesempatan terbuka baginya. Karena itu, ia tidak menyia-nyiakannya. Sekejap kemudian, maka ia pun segera meloncat menyerang lawannya yang sudah tidak bersenjata itu. Tetapi ternyata, bahwa kawan-kawan penyamun itu tidak membiarkan kawannya itu menjadi sasaran serangan Agung Sedayu tanpa melakukan perlawanan. Hampir berbareng mereka menyerang dengan ujung senjata yang terjulur lurus ke depan.

Agung Sedayu melihat serangan yang datang dengan dahsyatnya itu. Sekali lagi ia memutar cambuknya untuk mempertahankan jaraknya dari penyamun-penyamun itu. Namun tiba-tiba saja dengan cambuk yang masih berputar, Agung Sedayu meloncat langsung dengan garangnya, menyerang lawannya yang sudah tidak bersenjata itu. Lawannya masih berusaha mengelak. Dengan tangkas ia meloncat surut sambil merendahkan dirinya dalam-dalam, di bawah putaran cambuk Agung Sedayu. Namun, ternyata yang mengenainya sama sekali bukan ujung cambuk Agung Sedayu. Selagi cambuknya masih berputar, dan orang itu telah terbebas dari sambaran ujung cambuk yang berdesing di atas kepalanya, namun tiba-tiba saja terdengar keluhan yang tertahan. Ternyata kaki Agung Sedayu lah yang menyambar orang yang sedang merunduk itu, sehingga ia terlempar beberapa langkah surut dan kemudian jatuh berguling di tanah. Demikian kerasnya tendangan kaki Agung Sedayu, sehingga terasa tulang-tulang iganya menjadi remuk karenanya, dan karena itulah, maka ia tidak lagi mampu untuk bangkit dan ikut memberikan perlawanan. Dengan demikian, maka lawannya telah berkurang dengan seorang, yang justru merupakan penggerak dari perlawanan mereka. Dengan demikian, maka perlawanan yang kemudia-pun menjadi jauh lebih lemah. Dua orang yang masih tetap bertempur itu hampir tidak mempunyai kesempatan lagi. Dan Agung Sedayu pun tidak menyia-nyiakan waktu lagi. Keadaan masih cukup gawat. Ia melihat betapa Ki Demang bertahan mati-matian sehingga keringatnya telah membasahi seluruh tubuh dan pakaiannya. Namun dalam pada itu, selagi Agung Sedayu berusaha mengakhiri perlawanan kedua penyamun yang lain, ia mendengar seseorang memekik kesakitan. Ia masih sempat memalingkan wajahnya dan melihat seorang lawan Swandaru terlempar dari arena dan jatuh di tanah dengan darah yang meleleh dari luka di lambungnya. Ternyata Swandaru telah berhasil mengenai lambung lawannya dengan ujung cambuknya dan dengan sebuah tarikan yang menghentak, maka karah-karah besi di ujung cambuk itu telah melukai lambung lawannya. Sesaat kemudian, Agung Sedayu pun mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya untuk segera menjatuhkan lawan-lawannya yang lain. Dan usaha itu tidak terlampau sulit baginya. Seorang demi seorang, maka lawannya itu pun berhasil di lumpuhkannya. Yang seorang menjadi pingsan karena keningnya telah disambar oleh ujung cambuk Agung Sedayu, sedang yang lain tidak mampu lagi melakukan perlawanan karena kakinya rasa-rasanya patah karenanya. Berbeda dengan Agung Sedayu, Swandaru masih bertempur melawan kedua lawannya, yang agaknya dengan gigih melakukan perlawananan. Keduanya mulai berlari-lari mengelilingi pepohonan hutan, mereka memanfaatkan rimbunnya dedaunan dan batang perdu yang tumbuh liar.
“Licik!” geram Swandaru yang menjadi marah karenanya.
Tetapi lawan-lawannya tidak menghiraukannya. Mereka masih menyerang, dan kemudian berlari-larian menjauh. Agung Sedayu yang sudah selesai dengan lawan-lawannya, melihat cara yang licik itu. Karena itu, maka ia pun segera meloncat memburu salah seorang dari mereka sambil berkata,
“Selesaikanlah yang seorang itu. Aku akan menyelesaikan yang seorang lagi.”
Swandaru berpaling, dilihatnya Agung Sedayu telah bebas dari lawan-lawannya. Tetapi ia menyahut,
“Bebaskan Ki Demang dari kedua lawannya. Aku akan menyelesaikan cecurut-cecurut ini.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Kemudian dipandanginya arena pertempuran antara Ki Demang melawan kedua orang penyamun yang bertempur mati-matian. Ki Demang memang tidak dapat segera dikalahkan. Bahkan serangan-serangan Ki Demang adalah serangan-serangan yang berbahaya. Tetapi lawannya pun bertempur dengan gigihnya, sehingga Ki Demang harus memeras segenap tenaga dan kemampuannya. Karena itulah, maka nafasnya menjadi semakin cepat mengalir dan keringatnya membasahi seluruh permukaan kulit tubuhnya. Agung Sedayu menarik nafas panjang. Meskipun Ki Demang memiliki pengalaman dan ilmu yang dapat mengimbangi lawannya, namun agaknya nafas Ki Demang lah yang pada suatu saat pasti akan mengganggunya. Karena itu, maka Agung Sedayu pun kemudian selangkah demi selangkah mendekati Ki Demang di Sangkal Putung. Dengan saksama ia memandang kedua lawan Ki Demang itu berganti-ganti. Dan bagi Agung Sedayu keduanya tidak memiliki kelebihan apa pun juga. Kedua lawan Ki Demang itu tidak lebih baik dari ketiga lawannya yang telah dikalahkannya. Namun dalam pada itu, langkah Agung Sedayu itu terasa bagaikan hentakan-hentakan di dalam dada kedua lawan Ki Demang. Mereka sadar, bahwa ternyata Agung Sedayu bukan seorang anak muda kebanyakan, yang menggigil melihat senjata berputar. Ternyata Agung Sedayu itu memiliki kemampuan yang sangat mengejutkan para penyamun itu. Tetapi para penyamun itu tidak dapat berbuat apa pun juga. Langkah Agung Sedayu sama sekali tidak ada yang menghalanginya lagi. Selangkah demi selangkah ia mendekat dan setiap langkahnya membuat nafas para penyamun itu menjadi semakin sesak. Ternyata kegelisahan para penyamun itu telah mempengaruhi sikapnya. Perlawanannya pun menjadi kacau, sehingga mereka tidak dapat lagi memusatkan perhatiannya pada ujung-ujung senjatanya. Pada saat yang demikian itulah, Ki Demang menghentakkan semua kemampuan yang ada padanya. Pedangnya berputar cepat sekali, dan kemudian meliuk mematuk dengan dahsyatnya. Sesaat kemudian terdengar jerit terputus. Ternyata pedang itu telah menembus dada seorang lawannya. Darah yang merah memancar dari luka itu. Sesaat ia masih dapat berdiri, namun sesaat kemudian tubuhnya itu pun roboh, seperti robohnya sebatang kayu yang mati. Kawannya tercengang memandang tubuh yang terguling tanpa berdaya sama sekali itu. Bahkan sejenak kemudian, setiap orang yang menyaksikan, dapat memastikan bahwa orang yang terbaring itu sudah tidak bernafas lagi.
Penyamun yang seorang itu berdiri termangu-mangu. Sejenak ia kebingungan. Dipandangnya Ki Demang di Sangkal Putung berdiri dengan pedang telanjang di tangan. Pedang yang sudah dilumuri dengan darah kawannya. Dan ketika ia sempat berpaling, beberapa langkah di sampingnya, dilihatnya anak muda bercambuk itu berdiri termangu-mangu.
Rasa-rasanya nyawanya telah berada di ujung ubun-ubunnya. Ketika ia sempat memandang perkelahian yang terjadi beberapa langkah dari mereka, hatinya menjadi semakin berkeriput. Ternyata penjual makanan, yang selama ini menjadi kebanggaan para penyamun itu, masih belum dapat mengalahkan Kiai Gringsing yang tua itu. Bahkan agaknya perkelahian itu masih akan berlangsung lama. Sehingga dengan demikian, ia tidak akan dapat mengharapkan perlindungan dari penjual di warung yang sebenarnya adalah pemimpinnya itu.
“Kenapa ada juga orang yang mampu bertempur melawannya?” berkata penyamun itu di dalam hatinya.
Namun ia kemudian tidak sempat berpikir lagi. Kini, Ki Demang dengan pedang di tangan dan Agung Sedayu sudah menjadi semakin dekat. Di tempat lain, Sumangkar pun bertempur mati-matian untuk mempertahankan dirinya dan sekali-sekali berusaha menyerang lawannya langsung ke tempat yang berbahaya. Tetapi ia masih juga belum berhasil, sehingga pertempuran itu masih juga berlangsung dengan sengitnya.

Karena itulah, maka penyamun itu menjadi putus asa. Ia merasa tidak akan dapat berbuat sesuatu melawan Ki Demang dan anak muda yang bersenjata cambuk itu. Sehingga sejenak kemudian, maka dilemparkannya senjatanya di tanah sambil berteriak,
“Aku menyerah. Jangan bunuh aku dengan cara yang mengerikan itu.”
Agung Sedayu memandang orang itu dengan tajamnya. Namun terhadap seseorang yang sudah melemparkan senjatanya, ia tidak dapat berbuat apa-apa.
“Kau menyerah?” ia bertanya dengan nada yang datar.
“Ya, aku menyerah.”
Agung Sedayu mendekatinya. Kemudian ditariknya orang itu sambil berkata kepada orang-orang yang sudah kehilangan keberanian, meskipun mereka masih menggenggam potongan-potongan kayu di tangannya.
“Ambillah orang ini dan ikatlah. Ikatlah dengan lulup kayu atau dengan kain panjangnya sendiri.”
Orang-orang itu termangu-mangu sejenak. Dan Agung Sedayu berkata selanjutnya,
“Ia tidak akan berbuat apa-apa. Aku akan menunggui kalian.”
Mereka masih termangu-mangu sejenak. Agung Sedayu yang tidak sabar, kemudian mendorong orang yang sudah tidak bersenjata itu, sehingga jatuh terjerembab di antara mereka yang bersenjatakan kayu kering itu. Tiba-tiba saja salah seorang dari mereka bangkit dengan garangnya sambil berkata,
“Bunuh. Bunuh saja orang ini.”
“Ya. Bunuh saja,” yang lain menyahut.
Ketika mereka mulai mengangkat kayunya, Agung Sedayu berteriak,
“Jangan kau bunuh! Aku menyuruh kalian mengikat tangannya.”
“Tetapi mereka telah membunuh kawanku,” jawab salah seorang.
“Tetapi ia sudah menyerah.”
“Aku tidak peduli,” dan yang lain menyahut pula,
“Aku tidak peduli. Ia sudah membunuh. Kami pun akan membunuhnya pula. Hutang harta membayar harta, hutang nyawa membayar nyawa.”
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Ia mengerti bahwa ledakan perasaan orang-orang yang selama ini ketakutan itu membuat mereka kehilangan pertimbangan. Sebelum Agung Sedayu terbuat sesuatu, orang-orang itu pun telah berteriak-teriak pula,
“Biarlah aku yang membunuhnya.” Dan yang lain,
“Pukul saja kepalanya.”

Orang yang sudah menyerah itu menjadi semakin ketakutan. Terbayang di wajahnya, betapa ia kehilangan dirinya sendiri. Sama sekali tidak tampak kegarangan dan kekejaman yang pernah dilakukannya.
“Jangan bunuh aku, jangan bunuh aku.” orang itu surut ke belakang dan berjongkok dihadapan Agung Sedayu sambil memohon,
“Jangan bunuh aku, jangan bunuh aku.”
Agung Sedayu memandanginya dengan keragu-raguan yang bergejolak di dalam hati. Jika ia mencoba melindungi orang itu, apakah tidak akan timbul salah paham dan justru persoalan baru dengan orang-orang yang akan membunuhnya? Sekilas Agung Sedayu sempat melihat Swandaru yang masih bertempur melawan para penyamun yang berlari-larian mengitari pepohonan dan rumpun-rumpun perdu yang liar. Kemudian dipandanginya sejenak wajah Ki Demang yang masih tegang.
“Ampuni aku, ampuni aku,” penyamun itu merengek seperti anak-anak yang memaksa ibunya untuk membelikan baju yang baru.
“Tidak ada kesempatan lagi bagimu!” teriak orang-yang marah itu.
Namun dalam pada itu Agung Sedayu bertanya kepadanya,
“Apakah kau masih tetap ingin hidup?”
“Ya. Aku masih ingin hidup.”
“Kau ketakutan melihat potongan-potongan kayu yang terayun-ayun itu?”
“Ya. Aku takut sekali.”
“Apakah kau tidak pernah membayangkan, begitulah perasaan takut itu mencengkam hati?”
“Aku takut sekali.”
“Apakah kau tidak pernah membayangkan, bahwa orang lain yang ketakutan, seperti juga yang kau alami saat ini? Bahkan seandainya ada orang yang kau gantung, dengan kakinya di atas dan kau biarkan kepalanya diraih oleh kuku-kuku harimau, mempunyai perasaan takut melampaui perasaanmu sekarang.”
“Bukan aku, bukan akulah yang mengikat.”
“Siapakah yang mengikat, tetapi betapa tidak senangnya dihinggapi oleh perasaan takut. Perasaan takut memang dapat menyiksa seseorang melampaui mati itu sendiri. Dan kau sekarang pun sedang ketakutan. Aku tidak dapat berbuat apa-apa.”
“Jangan biarkan aku dibunuh, jangan.”
“Aku ingin kau mendalami perasaan takut. Hayatilah sebaik-baiknya agar kau tidak akan pernah melupakan, bagaimana seseorang yang sedang ketakutan. Dengan demikian di kesempatan yang mana pun juga, apabila kau masih akan tetap hidup, kau tidak akan membuat orang lain menjadi takut.”
“Tidak, aku tidak akan menakut-nakuti orang lagi.”
“Aku tidak yakin kalau kau berkata dari dalam lubuk hatimu. Kau hanya sekedar mengucapkan kata-kata tanpa memikirkan arti dari kata-katamu.”
Orang itu memandang Agung Sedayu sejenak, dan ia masih mendengar orang-orang lain berteriak-teriak,
“Serahkan kepada kami.”

Orang itu telah benar-benar menjadi ketakutan. Keringat dingin mengalir membasahi segenap pakaiannya. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa bahwa orang itu telah benar-benar merasakan betapa tersiksanya seseorang yang dicengkam oleh ketakutan. Karena itu, maka katanya kepada orang-orang yang melingkarinya dengan tongkat-tongkat kayu yang terayun-ayun,
“Sudahlah. Kita akan mengikatnya. Biarlah ia tetap hidup dalam ketakutan. Kami akan menyerahkannya kepada para peronda dari Mataram.”
“Tidak, kami akan membunuhnya.”
“Aku tidak sependapat.”
“Aku tidak peduli. Aku ingin membunuhnya.”
Orang-orang itu pun kemudian berdesakan maju. Wajah mereka menjadi tegang dan tatapan mata mereka yang merah, memancarkan kemarahan yang tiada taranya.
“Jika demikian,” berkata Agung Sedayu kemudian,
“aku tidak akan ikut campur lagi. Terserahlah kepada kalian. Biarlah ia mengambil senjatanya. Dan aku akan mengajak semua kawan-kawanku pergi,” ia berhenti sejenak. Lalu,
“Lihat, saudaraku yang gemuk itu masih belum berhasil mengalahkan lawannya, yang bertempur sambil berputar-putar dengan liciknya. Biarlah ia melepaskan kedua orang itu dan menyerahkan kepada kalian.”
Orang-orang itu pun tiba-tiba telah terdiam.
“Kemudian aku akan memanggil orang-orang tua yang sedang bertempur itu pula. Biarlah kalian menyelesaikannya.”
Orang-orang itu pun menjadi semakin diam.
Namun dalam pada itu, terdengar Swandaru berkata,
“Kakang. Jangan biarkan orang-orang ini melarikan diri. Kenapa kau masih saja berdiri di situ?”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Lalu katanya,
“Baiklah.” Namun kemudian kepada orang-orang di sekitarnya ia bertanya,
“Nah, cepat pilih. Mengikat orang ini atau kami semuanya akan meninggalkan gelanggang.”
Orang-orang itu tidak segera menjawab.
“Cepat. Katakan. Aku tidak mempunyai waktu lagi. Aku harus segera mengambil keputusan. Jawab, ya atau tidak. Jika kau ingin mengikatnya, jawablah ya. Cepat.”
Orang-orang itu masih termangu-mangu. Di wajah mereka masih tampak dendam yang tidak mudah terhapuskan. Sementara Swandaru telah berteriak sekali lagi,
“Jangan biarkan mereka lari.”

Agung Sedayu menjadi termangu-mangu. Namun sebelum ia meninggalkan orang-orang itu, Ki Demang lah yang telah lebih dahulu bergeser. Suara Swandaru bagaikan membangunkannya dari sebuah mimpi melihat penyamun yang sedang ketakutan. Dan ketakutan itu adalah bencana, yang paling dahsyat di dalam hidup seseorang. Dengan tergesa-gesa Ki Demang pun kemudian berlari ke arena pertempuran yang luas, karena lawan Swandaru masih saja selalu berputar-putar. Dengan loncatan panjang ia mencoba memotong gerakan salah seorang penyamun yang sedang mengitari sebuah gerumbul perdu, sedang yang lain sedang mencoba menyerang Swandaru dari samping. Penyamun itu pun segera berhenti. Sekilas dipandanginya pedang Ki Demang yang masih berlumuran darah yang mulai membeku.
Terasa sesuatu meremang di tengkuknya. Namun sebelum ada perintah untuk menyingkir, penyamun itu masih harus berjuang mati-matian. Adalah pengkhianat, penyamun yang menyerah dengan ketakutan seperti lawan Ki Demang, yang kini berdiri berjongkok di hadapan Agung Sedayu itu.
Karena betapa dadanya dicengkam oleh kecemasan, namun kedua penyamun yang tidak ingin menjadi pengkhianat itu masih juga berusaha untuk berjuang terus. Yang seorang melawan Swandaru, sedang yang lain melawan Ki Demang. Dengan demikian maka Swandaru tidak memerlukan waktu yang lama untuk menguasai lawannya. Ledakan cambuknya segera membuat lawannya terbanting jatuh. Ketika ujung cambuk Swandaru kemudian membelit pergelangan kaki lawannya itu dan menariknya, maka penyamun itu telah terseret beberapa langkah mendekati Swandaru. Dengan susah payah, penyamun itu berusaha meloncat bangkit. Tetapi ketika ia berdiri, ternyata tangan Swandaru telah mendorongnya, dan sekali lagi ia terjatuh di tanah.
“Jangan bangkit lagi!” bentak Swandaru sambil menginjak tangan penyamun yang masih menggenggam senjatanya itu.
“Persetan!” penyamun itu menggeram. Tetapi suaranya segera terputus, karena cambuk Swandaru meledak tepat di depan wajahnya.
“Lepaskan senjatamu, atau aku menyobek wajahmu dengan ujung cambukku.”
Orang itu memandang Swandaru sejenak. Tetapi sudah tidak ada jalan lain baginya kecuali melepaskan senjatanya. Pada saat itu, orang-orang yang bersenjata potongan-potongan kayu itu pun telah melepaskan niatnya untuk membunuh. Mereka pun kemudian mengikat tangan penyamun yang menyerah itu pada sebatang pohon, sementara Agung Sedayu berjalan mendekati Ki Demang yang masih berkelahi.

Betapa kuatnya ikatan yang ada di antara para penyamun itu, dan betapa dalam ketaatan mereka terhadap pemimpin-pemimpinnya, namun penyamun yang sedang bertempur melawan Ki Demang itu pun sama sekali tidak berdaya untuk bertahan terus. Apalagi ketika Agung Sedayu telah berdiri di sebelah arena itu. Dalam pada itu, Sumangkar masih berjuang mati-matian untuk dapat mengatasi lawannya. Bahkan kemudian orang tua yang pernah berada di istana Kepatihan Jipang itu masih harus memeras segenap kemampuannya. Namun dengan demikian, maka Sumangkar tidak mempunyai cara lain untuk mengakhiri pertempuran itu, selain benar-benar melumpuhkan lawannya, dan jika terpaksa, maka ia harus membunuhnya. Dengan demikian, maka senjatanya yang dahsyat itu pun segera berputar semakin cepat. Sekali-sekali trisula kecilnya di ujung rantai itu meliuk dan menyambar mendatar. Bahkan sekali-sekali mematuk dengan dahsyatnya. Lawannya pun telah berjuang mati-matian untuk mempertahankan diri. Seperti para penyamun yang lain, ia tidak menyangka bahwa ia akan menjumpai lawan sekuat itu. Jika saja Sumangkar mempergunakan senjatanya yang diterimanya dari gurunya, sebuah tongkat baja putih berkepala tengkorak yang kekuning-kuningan, maka namanya akan segera dikenal kembali sebagai saudara seperguruan Patih Mantahun. Tetapi Sumangkar memang ingin melupakan semuanya itu, sehingga senjatanya itu pun telah diserahkannya kepada muridnya. Dan kini ia justru mempergunakan senjata yang mengerikan bagi lawan-lawannya, meskipun bagi Sumangkar sendiri, senjatanya ini tidak sedahsyat senjatanya, yang diterima dari gurunya itu.
Ketika serangan Sumangkar menjadi semakin dahsyat, maka semakin jelas, bahwa lawannya kadang menjadi gugup, sehingga Sumangkar yang telah memeras segenap kemampuannya itu, mempergunakan setiap kesempatan untuk mengakhiri perkelahian, sebelum nafasnya sendiri terputus karenanya. Dan pengerahan segenap kemampuan Sumangkar itu, telah melahirkan serangan-serangan yang sangat berbahaya bagi lawannya. Hanya karena lawannya pun orang yang memiliki kelebihan di dalam olah kanuragan, maka ia masih juga dapat mengelak dan menghindari serangan-serangan itu. Tetapi Sumangkar yang benar-benar telah dikuasai oleh nafas pertempuran, tidak lagi dapat berbuat lain daripada berjuang sejauh-jauh dapat dilakukan. Segala ilmu dan kemampuan yang ada padanya telah dicurahkan dan bahkan telah diperasnya habis-habisan,
“Aku tidak boleh menunggu sampai nafasku putus,” katanya di dalam hati.
Dengan serangan yang menghentak-hentak, Sumangkar pun kemudian mendesak lawannya semakin dahsyat, sehingga lawannya pun menjadi semakin terdesak karenanya. Ujung trisula Sumangkar semakin lama serasa menjadi semakin dekat mengitari tubuhnya yang basah oleh keringat. Namun menghadapi serangan Sumangkar yang semakin dahsyat itu, lawannya pun berjuang semakin keras pula. Bahkan untuk sesaat, lawannya itu telah melakukan tindakan untung-untungan. Jika ia berhasil, ia akan dapat mengatasi kemampuan Sumangkar. Jika tidak, maka semuanya masih harus diperhitungkan lagi. Dengan demikian, maka serangan yang dilakukannya adalah serangan yang dahsyat sekali. Sedahsyat angin prahara yang melanda pepohonan. Sumangkar terkejut mengalami serangan itu. Sesaat ia terdesak. Namun ia pun kemudian menyadari, bahwa lawannya telah mencurahkan segenap kemampuannya untuk sesaat. Sesaat yang diharapkan dapat menentukan akhir dari perkelahian itu.

Dengan demikian, Sumangkar pun harus mengimbanginya pula. Dikerahkannya pula segenap tenaga, kekuatan, kemampuan dan ilmu yang ada padanya. Ia pun melakukan pertimbangan yang sama seperti lawannya. Jika ia berhasil, maka perkelahian ini akan berakhir. Jika tidak, maka ia akan mungkin sekali terjerumus ke dalam kesulitan. Karena itulah, maka sejenak kemudian telah terjadi benturan dua ilmu yang sangat dahsyat. Benturan antara dua kekuatan puncak yang sukar dicari bandingnya. Orang-orang yang ada di sekitarnya sempat menyaksikan benturan kekuatan yang dahsyat itu. Bahkan Kiai Gringsing dan lawannya, yang mempunyai kepentingan yang sama untuk menyaksikan akhir dari pertempuran itu, telah dengan sendirinya mengendorkan pertempuran yang terjadi di antara mereka. Agung Sedayu, Swandaru, Ki Demang di Sangkal Putung pun telah dicengkam pula oleh kecemasan, sedang orang-orang lain memandang puncak pertempuran itu dengan mulut ternganga. Sejenak kemudian, keduanya hampir tidak lagi dapat dilihat dengan mata telanjang. Keduanya berputar seperti angin pusaran dalam selubung bayangan senjata masing-masing. Namun sejenak kemudian, di balik selubung putaran senjata itu terdengar suara tertahan. Sebuah keluhan. Tetapi tidak terlontar seluruhnya. Yang menyaksikan pertempuran itu menjadi termangu-mangu. Mereka menunggu sejenak dengan tegangnya. Dan yang sejenak itu rasa-rasanya bagaikan tanpa akhir. Tetapi sejenak kemudian, mereka mulai dapat melihat apa yang telah terjadi. Keduanya mulai tampak semakin jelas. Namun seorang dari keduanya mulai terhuyung-huyung surut. Dan sejenak kemudian semuanya menjadi jelas. Sumangkar berdiri tegak dengan pangkal rantainya di dalam genggaman. Meskipun demikian, tampaklah segores luka di pundaknya, sehingga di lengannya meleleh titik darah yang merah. Namun dalam pada itu, lawannya terbungkuk sambil memegangi dadanya. Tangannya dan lengannya menjadi basah oleh darahnya yang memancar dari luka di dada itu. Sejenak orang itu masih berdiri di atas kedua kakinya. Dengan matanya yang redup dipandanginya wajah Sumangkar yang tegang.
“Kau, kau menang,” suaranya dalam dan datar,
“aku tidak menyangka, bahwa aku akan bertemu dengan orang semacam kau. Dalam keadaan seperti ini, seharusnya kau menentukan sikap dan berpihak Pajang atau Mataram.”
“Apakah kau juga berpihak?” bertanya Sumangkar. Orang itu menggeleng. Katanya,
“Tidak. Aku tidak berpihak. Tetapi aku menentukan pihakku sendiri.”
“Aku juga menentukan sikapku sendiri. Aku pun heran bahwa di dalam keadaan seperti ini, kau masih saja berkeliaran di hutan. Kenapa, kau tidak berada di Pajang atau Mataram seperti yang kau katakan itu? Dan apakah pihak yang kau tentukan sendiri itu akan berhasil mengatasi kekuasaan Mataram dan Pajang?”
“Tidak sebodoh itu. Tetapi ceriteranya terlampau panjang, dan umurku terlampau pendek.”
“Sebut, siapakah kau dan siapakah pemimpinmu tertinggi sebelum kau mati. Kau akan menebus dosamu, dan jalanmu akan menjadi lapang.”

Tampak wajah itu ragu-ragu sejenak, tetapi ia pun kemudian menyeringai menahan sakit.
“Kau menang,” suaranya semakin sendat,
“tetapi sampai akhir hayatku, aku tidak akan mengakui adanya Mataram, meskipun aku tidak berdiri di pihak Pajang.”
“Jadi, jadi?” Sumangkar meloncat mendekatinya dan mencoba menahan tubuh itu.
Tetapi, tubuh itu sudah terlampau lemah. Trisula Sumangkar menusuk dadanya terlampau dalam. Tiga bekas luka berderet di dada itu.
“Sebut nama pemimpinmu,” bisik Sumangkar.
Tetapi orang itu sudah tidak menyahut. Sejenak ia masih menggeliat. Tetapi kemudian, Sumangkar mendengar tarikan nafasnya yang terakhir. Perlahan-lahan Sumangkar meletakkan tubuh itu. Sejenak ia merenung. Namun sejenak kemudian ia berpaling, terdengar suara gemerasak yang tiba-tiba saja mengejutkan dan mengejutkan setiap orang yang sedang terpukau oleh peristiwa itu. Serentak mereka berpaling, dan serentak mereka melihat lawan Kiai Gringsing meloncat meninggalkan arena. Kiai Gringsing ternyata tidak mau melepaskan lawannya. Secepat loncatan lawannya, ia pun segera memburunya, menyusup dedaunan perdu di hutan yang liar itu. Mereka pun segera berkejar-kejaran. Kiai Gringsing berusaha sejauh-jauh dapat dilakukan untuk mengejar lawannya dan apabila mungkin menangkapnya. Tetapi ternyata bahwa kemampuan lawannya tidak berada di bawah kemampuannya.
Bahkan Sumangkar yang telah meletakkan lawannya itu pun berusaha untuk ikut mengejarnya pula. Sumangkar adalah seorang yang memiliki kecepatan berlari yang tinggi. Karena itu, ia ingin membantu Kiai Gringsing mengejar orang yang sedang meninggalkan arena itu. Tetapi ternyata bahwa kedua-duanya tidak berhasil. Bahkan selagi mereka berkejar-kejaran, Kiai Gringsing masih mendengar suara tertawanya di sela-sela gemerisik dedaunan,
“Orang bercambuk, kali ini kau menang. Tetapi bukan aku kalah perang tanding melawanmu. Kawan-kawanku lah yang ternyata tidak mampu mengimbangi orang-orangmu. Namun aku sendiri sama sekali tidak gentar melawan kau dan kawanmu yang berhasil membunuh kepercayaanku itu. Tetapi jangan kau kira bahwa usaha kami akan berhenti sampai di sini. Kami akan berusaha terus, sehingga Mataram ini tenggelam dalam kesombongan Sutawijaya dan Pemanahan sendiri.”
“Siapakah kau sebenarnya?” bertanya Kiai Gringsing sambil mengejar terus.
“Aku adalah seorang Panembahan yang tidak bernama.”
“Apakah kepentinganmu dengan Mataram?”
Yang didengar oleh Kiai Gringsing hanyalah suara tertawanya saja yang berkepanjangan. Tetapi ia tidak lagi dapat melihat orangnya. Bahkan Kiai Gringsing telah kehilangan arah ketika suara tertawanya itu berhenti. Akhirnya, Kiai Gringsing pun berhenti dengan nafas yang terengah-engah. Sebagai seorang yang mumpuni, maka ia pun harus mengakui bahwa lawannya kali ini adalah orang yang mempunyai kelebihan dari sesamanya. Sejenak kemudian, Sumangkar pun mendekatinya. Ia pun masih juga terengah-engah. Setelah bertempur memeras tenaga, ia masih harus berlari-larian di antara pepohonan.
“Luar biasa,” ia berdesis di antara desah nafasnya.
“Ya, luar biasa,” sahut Kiai Gringsing.
“Jika ia tersusul, belum tentu kita dapat menangkapnya,” berkata Sumangkar kemudian.
“Adi Sumangkar,” berkata Kiai Gringsing kemudian,
“aku tidak begitu pasti. Tetapi dari sikap dan tandangnya, ia tentu orang yang yakin akan dirinya. Yakin bahwa dirinya memiliki kemampuan yang tidak mudah terkalahkan oleh siapa pun juga,” Kiai Gringsing berhenti sejenak. Lalu,
“Tetapi apakah adi Sumangkar melihat sesuatu yang dapat dikenal pada orang itu?”
Sumangkar menggelengkan kepalanya. Jawabnya,
“Aku tidak melihatnya, Kiai. Tetapi samar-samar menilik tata geraknya, aku seolah-olah pernah melihatnya, meskipun hampir berubah sama sekali.”
“Nah, itulah yang ingin aku katakan,” sahut Kiai Gringsing,
“sesuatu yang samar tampak pada tata gerak itu.”

Ki Sumangkar tidak menyahut, tetapi tatapan matanya mengambang ke kejauhan, menembus rimbunnya gerumbul-gerumbul liar di dalam hutan itu.
“Marilah,” berkata Kiai Gringsing,
“kita kembali kepada Ki Demang di Sangkal Putung.”
“Marilah,” sahut Ki Sumangkar,
“Mataram ternyata menghadapi tantangan yang sangat berat. Mudah-mudahan, Ki Gede Pemanahan sanggup mengatasinya.”
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba ia berkata,
“Mungkin ia dapat mengenal pula tata gerak, Adi Sumangkar dan barangkali aku.”
Ki Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu,
“Apa boleh buat. Kita sudah terlanjur berdiri berseberangan di dalam persoalan Mataram. Tentu kita masing-masing akan bertanggung jawab seandainya dugaan kami ini benar.”
“Ya, jika hal itu benar,” desis Kiai Gringsing.
Keduanya pun kemudian melangkah kembali ke arena perkelahian yang sudah menjadi sepi. Yang masih ada adalah orang-orang yang menyerah dan yang sudah dilumpuhkan. Ketika Kiai Gringsing dan Sumangkar datang kembali, maka Ki Demang pun segera bertanya,
“Bagaimana dengan orang itu?”
“Kami tidak dapat menemukannya,” desis Kiai Gringsing,
“ia memiliki kemampuan yang tinggi. Dan karena itu, berhasil melarikan darinya pula.”
Ki Demang mengerutkan keningnya. Desisnya,
“Jika demikian, orang itu tentu berbahaya sekali.”
“Ya,” Ki Sumangkar-lah yang menyahut,
“orang itu memang berbahaya sekali.”
Ki Demang tidak segera berkata sesuatu. Demikian pula Swandaru dan Agung Sedayu. Mereka menundukkan kepala seakan-akan sesuatu sedang mereka pikirkan. Namun dalam pada itu, terdengar Kiai Gringsing berkata,
“Adi Sumangkar, baiklah lukamu itu diobati lebih dahulu. Meskipun luka itu tidak berbahaya, tetapi jika terlambat, maka luka itu dapat menjadi luka yang sulit disembuhkan. Apalagi luka bekas goresan senjata.”
“Luka ini tidak terlalu dalam. Menilik darah yang mengalir, senjata itu tentu tidak beracun,” sahut Ki Sumangkar.
“Atau beracun lemah sekali. Tetapi racun yang lemah dapat berkerja perlahan-lahan sekali. Karena itu, lebih baik aku mengobatinya.”
Sumangkar menganggukkan kepalanya. Namun ia masih juga memandang berkeliling, kepada orang-orang yang ada di sekitarnya dan kepada beberapa orang penyamun yang masih hidup dan sudah mereka kuasai sepenuhnya itu.
Hampir di luar sadarnya Ki Sumangkar pun berkata,
“Lalu, kita apakan mereka itu? Apakah kita akan melepaskannya atau membawanya ke Menoreh?”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Orang-orang itu memang merupakan persoalan bagi mereka. Sudah barang tentu mereka tidak akan dapat melepaskannya, karena ternyata orang-orang itu adalah orang-orang yang berbahaya. Jika mereka dilepaskan dan dapat dijumpai kembali oleh pemimpinnya yang berhasil melarikan diri itu, maka mereka akan menjadi orang yang lebih berbahaya lagi bagi rakyat di sekitar daerah itu dan bagi lalu lintas pada umumnya.
“Guru,” tiba-tiba Agung Sedayu berkata,
“bukankah kadang-kadang ada peronda dari Mataram yang lewat di jalur jalan ke Mataram itu?”
“Menurut pemimpin penyamun ini memang demikian.”
“Apakah kita dapat mempercayainya? Jika hal itu tidak benar, maka aku kira pemimpin penyamun itu tidak akan menjerumuskan kita ke jalan ini.”
“Memang masuk akal,” desis Sumangkar, “tetapi jarak kedatangan mereka tidak kita ketahui dan tidak dapat ditentukan.”


Halaman 1 2 3


<<< Jilid 067                                                                                                       Jilid 069 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar