Orang itu menggeram. Lalu tiba-tiba saja ia berteriak,
“Beri aku
senjata. Cepat. Beri aku senjata. Agaknya untuk membunuh orang ini diperlukan
senjata.”
Sejenak para
penyamun itu saling berpandangan. Dan orang itu sekali lagi berteriak,
“Berikan
senjata itu kepadaku. Apakah kalian tuli? He, yang memegang sepasang bindi.
Berikan kepadaku sebuah. Dan kau yang memegang pedang dan pisau belati panjang.
Berikan pisau itu kepadaku. Aku akan membunuh orang ini dengan bindi dan pisau
belati.”
Orang yang
memegang sepasang bindi itu pun segera berlari-lari kepadanya, dan menyerahkan
sebuah dari sepasang bindinya, sedang yang membawa sebuah pedang dan pisau
belati panjang pun datang pula kepadanya menyerahkan pisau belatinya.
“Nah, aku kini
sudah bersenjata dan kalian masih juga bersenjata. Aku akan membunuh orang tua
ini, dan kalian harus membunuh anak-anak muda itu beserta Ki Demang. Kemudian
tikus-tikus yang lain itu pun harus kau bunuh pula.” lalu ia pun berpaling
kepada kawannya yang telah siap melawan Sumangkar, “Bunuh pulalah orang yang
membawa senjata aneh itu. Seakan-akan ia adalah seorang petualang yang biasa
membelah dada orang dengan trisulanya itu.”
Orang yang
diajak berbicara itu mengangguk dan menjawab,
“Senjatanya
memang sangat menarik. Tetapi orang itu sama sekali tidak menarik bagiku.
Apakah kau pernah mendengar tentang orang-orang bercambuk yang telah membunuh
Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak?”
Penjual yang
menjadi pemimpin para penyamun itu mengerutkan keningnya. Katanya,
“O, aku memang
pernah mendengar, tetapi aku tidak menghiraukannya. Apakah orang-orang itu
adalah orang yang sedang kita hadapi sekarang ini?”
“Aku kira.”
“Persetan!
Jika demikian, mereka benar-benar harus dibunuh,” lalu ia pun berteriak kepada
para penyamun yang lain,
“Cepat,
bunuhlah anak-anak muda itu dengan Ki Demang sekali. Mereka tidak berhak lagi
keluar dari hutan ini. Kemudian kalian harus menjaga agar kedua orang tua-tua
ini tidak dapat lari. Karena, merekalah agaknya yang telah membunuh Kiai Damar,
mengaku atau tidak mengaku.”
Para penyamun
itu pun segera bergeser maju. Kini mereka berdelapan hanya tinggal menghadapi
tiga orang lagi, karena yang dua, Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar sudah terikat
kepada kedua orang yang sudah bersiap pula menyerangnya. Swandaru menggeram
ketika ia melihat tiga orang mendekatinya. Ia harus berkelahi melawan tiga
orang itu. Sedangkan Agung Sedayu pun harus berhadapan dengan tiga orang pula,
dan Ki Demang dengan pedangnya berhadapan dengan dua orang penyamun. Ternyata
Swandaru tidak menunggu mereka menyerang. Sejenak kemudian terdengar cambuknya
meledak. Ia lah yang lebih dahulu mulai menyerang lawan-lawannya. Ledakan
cambuk Swandaru bagaikan aba-aba setiap orang yang ada di tempat itu. Semuanya
pun segera berloncatan dan menghadapi lawan masing-masing. Ki Demang tidak lagi
dapat berpikir lain daripada bertempur. Mau tidak mau, perkelahian memang harus
terjadi karena orang-orang yang berada di mulut hutan itu ternyata adalah
orang-orang yang sengaja menghalang-halangi, tetapi menakut-nakuti dengan
membunuh orang-orang lain, yang lebih dahulu melalui jalan itu. Sejenak
kemudian, maka Ki Demang pun telah bertempur mati-matian. Tetapi karena ia
memiliki pengalaman yang cukup, maka dua orang lawannya bukannya lawan yang
dapat membahayakan jiwanya, meskipun ia harus memeras tenaga. Namun demikian,
jika perkelahian itu berlangsung lama, maka nafasnyalah yang agaknya akan
mengalami kesulitan. Swandaru dan Agung Sedayu pun segera berloncatan dengan
lincahnya. Karena mereka mencemaskan nasib Ki Demang di Sangkal Putung, maka
mereka pun tidak lagi sekedar melayani lawannya seperti yang telah di
lakukannya. Kini mereka benar-benar harus segera membinasakan lawannya sebelum
dirinya sendiri. Karena itulah, maka tandang Swandaru dan Agung Sedayu tidak
lagi seperti saat mereka bertempur sebelumnya. Kini mereka memeras segenap
kemampuan yang ada. Selain lawannya memang menjadi lebih banyak, maka mereka
harus berpacu dengan waktu. Mereka tidak tahu, apakah Ki Demang mampu
mempertahankan dirinya melawan kedua orang itu, sedangkan apakah gurunya dan Ki
Sumangkar dapat mengimbangi lawannya itu pun, masih merupakan pertanyaan yang
besar bagi keduanya. Meskipun kedua anak-anak muda itu tidak berjanji, tetapi
mereka menganggap bahwa semakin cepat mereka menyelesaikan tugas mereka, itu
akan berarti semakin baik buat dirinya sendiri dan buat orang lain yang
memerlukan pertolongan. Dengan demikian, maka sejenak kemudian pertempuran itu
pun meningkat menjadi semakin seru. Untuk melawan Swandaru dan Agung Sedayu
yang bertempur seperti banteng yang terluka itu, lawan-lawannya pun telah
memeras kemampuan yang ada pada mereka. Dalam pada itu Ki Demang pun harus mengerahkan
segenap kemampuan yang ada padanya. Kedua lawannya ternyata memiliki pikiran
yang serupa dengan Swandaru dan Agung Sedayu. Jika Ki Demang itu segera dapat
dibinasakan, maka mereka berdua pun akan segera dapat membantu kawan-kawannya
yang lain. Namun ternyata, meskipun umurnya sudah menjadi semakin tua, Ki
Demang cukup tangkas untuk mempertahankan dirinya. Kadang-kadang ia memang
harus berloncatan surut. Tetapi kemudian, ia segera menemukan keseimbangan yang
mantap untuk bertahan.
Swandaru-lah
yang setiap kali menggeram jika ia melihat ayahnya harus bergeser surut. Namun
lawannya pun tidak dengan sukarela menyerahkan diri mereka. Meskipun di antara
mereka terdapat orang yang telah terluka, tetapi perlawanannya masih tetap
harus diperhitungkan.
Sementara itu,
Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar pun telah terlibat di dalam pertempuran yang
sengit. Ternyata penjual makanan itu bukan sekedar menakut-nakuti dengan sikap
dan kata-katanya. Dengan sebuah bindi dan sebuah pisau belati panjang ia
bertempur melawan Kiai Gringsing yang mempergunakan cambuknya. Setiap kali
cambuk itu meledak bagaikan memecahkan selaput telinga. Namun orang yang
memegang bindi dan pisau belati panjang itu setiap kali tertawa sambil berkata,
“Tenagamu
dahsyat sekali, Ki Sanak.”
Kiai Gringsing
mengerutkan keningnya. Ternyata ia benar-benar menemukan lawan yang cukup
tangguh, sehingga dengan demikian ia menjadi heran, bahwa orang-orang yang
berhimpun untuk menentang berdirinya Mataram itu terdiri dari orang-orang yang
pilih tanding. Jika mereka bergabung menjadi satu dan menyusun sebuah pasukan
yang besar, maka kekuatannya pasti akan menggetarkan Pajang maupun Mataram.
Yang pernah dikenalnya dari lingkungan mereka adalah Kiai Damar, Kiai Telapak
Jalak, seorang yang telah menyerang rumah Untara yang dihuni oleh para perwira
bersama pemimpin gerombolan penyerang itu, dan kini dua orang lagi yang belum
dikenal namanya.
“Delapan
orang,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya,
“adalah sulit
sekali bagi Mataram untuk mendapatkan delapan orang seperti orang-orang ini. Di
Mataram yang dapat aku ketahui hanyalah Ki Gede Pemanahan sendiri dan yang
masih sedang berkembang adalah Raden Sutawijaya. Meskipun barangkali Mataram
dapat menyusun kelompok-kelompok yang kuat untuk melawan mereka, tetapi Mataram
pasti akan mengalami kesulitan.”
Tetapi
untunglah bahwa mereka tidak bergerak dalam irama yang mantap, sehingga
kemampuan mereka pun agaknya terpecah-pecah. Dalam perkelahian yang sengit,
maka Kiai Gringsing kemudian benar-benar harus berhati-hati. Lawannya kali ini
adalah seorang yang dapat bergerak secepat tatit, sehingga kadang-kadang ujung
cambuknya tidak dapat mengejarnya, bahkan kadang-kadang, angin yang berdesir
karena ayunan bindi orang itu telah terasa di kening Kiai Gringsing. Sedikit
saja ia lengah, maka kepalanya pasti dipecahkan oleh lawannya itu.
“Benar-benar
di luar dugaanku,” berkata Kiai Gringsing di dalam hati,
“jika terjadi
sesuatu atas salah seorang dari kami, maka akulah yang bertanggung jawab.”
Namun, selagi
ia sempat melihat dengan sudut matanya Swandaru dan Agung Sedayu, hatinya
menjadi sedikit tenang, meskipun Ki Demang Sangkal Putung kadang-kadang
membuatnya tegang.
Lawan Ki
Sumangkar pun ternyata seorang yang tangguh. Tetapi Ki Sumangkar tidak
mengalami tekanan yang terlampau berat seperti Kiai Gringsing. Meskipun orang
itu mampu mengimbangi tata gerak Ki Sumangkar, namun keduanya masih juga harus
berjuang untuk menentukan siapakah yang akan menang, dengan kemungkinan yang
lebih baik pada Ki Sumangkar, jika Ki Sumangkar tidak berbuat kesalahan. Setiap
kali, Ki Sumangkar dengan senjatanya yang dahsyat itu, berhasil mendorong
lawannya surut. Tetapi kemudian lawannya itu pun segera memperbaiki keadaannya.
Dalam keadaan yang sulit, lawannya mencoba bertahan dengan senjatanya yang aneh
pula. Dua batang tongkat pendek yang tajam di kedua ujungnya, sehingga
seakan-akan ia mempergunakan empat buah mata tombak yang runcing.
“Ternyata kami
tidak dapat melampaui penyamun-penyamun ini dengan tanpa berjuang mati-matian,”
berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya. Apalagi ternyata lawannya memang
memiliki kemampuan yang mendebarkan. Senjatanya itu setiap kali rasa-rasanya
telah menyentuh kulit Kiai Gringsing. Bahkan Gringsing terkejut ketika terasa
sebuah sentuhan telah menyentuh lengan bajunya. Dengan gerak naluriah ia
melangkah surut. Jika bindi itu menyentuh tangannya, maka tulangnya pasti akan
remuk, dan seterusnya kepalanyalah yang akan dipecah oleh lawannya itu. Karena
itulah, maka Kiai Gringsing menjadi semakin berhati-hati dan sekaligus berjuang
semakin dahsyat. Sebagai seorang yang memiliki pengalaman yang cukup dan ilmu
yang tinggi ia pun segera berusaha menyesuaikan dirinya, tanpa melupakan
kemungkinan waktu yang lama dari pertempuran itu, sehingga ia pun harus
mengatur pernafasan sejak permulaan. Pertempuran antara Kiai Gringsing dengan
lawannya itu pun meningkat semakin dahsyat. Keduanya memiliki kelebihan dari
orang-orang kebanyakan, sehingga karena itu, maka arena perkelahian mereka pun
seakan-akan menjadi ajang angin pusaran yang sangat dahsyat. Pohon-pohon perdu
pun berserakan dan ranting-ranting berpatahan. Senjata Kiai Gringsing meledak
memekakkan telinga disela-sela desing bindi dan pisau belati panjang yang
bagaikan melontarkan arus angin yang tiada taranya. Dan perkelahian itu pun
kemudian bagaikan tidak dapat dinilai lagi. Gerak tangan dan kaki mereka tidak
lagi dapat diikuti dengan mata telanjang.
Ternyata Ki
Sumangkar menjadi cemas melihat perkelahian itu. Di Jati Anom Kiai Gringsing
telah dapat dilukai, sedang di saat-saat sebelumnya, Kiai Gringsing hampir
selalu dapat langsung menguasai lawannya. Dan sekarang ia menjumpai lawan yang
seakan-akan lebih tinggi lagi ilmunya dari lawan-lawan sebelumnya. Tetapi dalam
pada itu, Sumangkar sendiri masih terlibat dalam perkelahian yang dahsyat.
Ternyata lawannya pun segera mengerahkan segenap tenaganya untuk berusaha
secepatnya mengakhiri perkelahian. Tetapi ternyata bahwa Sumangkar bukan lawan
yang dapat ditentukan nasibnya. Di lingkaran yang lain, Agung Sedayu dan
Swandaru bertempur mati-matian pula untuk segera mengalahkan lawan-lawan
mereka, seperti juga Ki Demang yang sudah mengerahkan semua kemampuannya
melawan penyamun-penyamun itu. Dengan hati yang berdebar-debar, tetapi juga
dengan kemarahan yang mencengkam, Swandaru memutar cambuknya seperti
baling-baling, sedang cambuk Agung Sedayu menyambar-nyambar seperti puluhan
cambuk yang berterbangan di udara. Orang-orang lain yang bersenjatakan
potongan-potongan kayu, sama sekali tidak mampu lagi melibatkan diri di dalam
perkelahian itu. Hanya kadang-kadang saja mereka mengayun-ayunkan kayu di
tangan mereka apabila para penyamun itu terdesak. Tetapi mereka segera
melangkah surut apabila penyamun-penyamun itu memandang mereka dengan tatapan
mata yang marah.
“Kepung
mereka!” teriak Swandaru, “Jangan biarkan mereka lari.”
Orang-orang
itu termangu-mangu sejenak. Lalu terdengar suara Swandaru itu lagi,
“Mereka juga
mengepung kita dan berusaha agar kita tidak dapat keluar dari hutan ini. Jangan
takut. Aku ada di antara kalian. Jika mereka akan menyerang kalian, maka
punggungnya akan aku sobek dengan ujung cambukku.”
Orang-orang
yang sudah hampir kehilangan keberaniannya sama sekali itu saling berpandangan.
Tetapi mereka tidak segera berbuat apa-apa. Karena itu, maka Swandaru berteriak
lagi,
“Berbuatlah
sesuatu. Jika kita berhasil membunuh mereka, kita akan selamat. Tetapi jika
tidak, kita lah yang akan digantung di mulut lorong ini dengan kaki kita di
atas, dan dibiarkannya kita mati perlahan-lahan atau digapai oleh seekor
harimau yang akan melubangi kepala kita dengan taring-taringnya.”
Mereka masih
saja termangu-mangu. Namun kemudian Agung Sedayu pun berkata pula sambil
bertempur,
“Seorang
kawanmu telah mati di tangan mereka. Kawanmu itu telah menjadi banten
perjuangan kalian untuk melepaskan diri.”
Ternyata
kata-kata itu telah menyentuh hati mereka. Karena itu, mereka pun kemudian
berpencaran, meskipun mereka tidak berani berdiri sendiri. Mereka telah berdiri
terbagi menjadi tiga kelompok kecil yang masing-masing mencoba menjaga
lawan-lawan Agung Sedayu, Swandaru dan Ki Demang Sangkal Putung.
“Bagus!”
teriak Swandaru,
“Kalian dapat
memukul kepala mereka dengan tongkat-tongkat kayu kalian.”
Tetapi,
orang-orang itu masih saja berdiri termangu-mangu. Mereka tidak berani
menerjunkan diri di dalam arena perkelahian itu. Apalagi mereka yang telah
terluka. Namun tampak di wajah mereka, sepercik keberanian mulai tumbuh. Juga
karena seorang kawan mereka telah terbunuh, sehingga korban yang telah jatuh
itu mendorong mereka untuk menuntut balas. Yang kemudian segera menguasai
lawan-lawannya justru adalah Agung Sedayu. Sebuah serangan mendatar membuat
ketiga lawannya berloncatan mundur. Namun tiba-tiba seorang dari mereka segera
meloncat begitu ujung cambuk Agung Sedayu berdesing di depan wajahnya. Tombak pendeknya
berputar sekali, lalu mematuk leher anak muda itu. Tetapi Agung Sedayu pun
cepat mengelak, ia sempat meloncat ke samping dan kemudian berputar setengah
lingkaran. Tetapi pada saat itu, sebuah bindi melayang menyambar ubun-ubunnya.
Dengan demikian, Agung Sedayu terpaksa meloncat lagi. Namun seorang lawannya
yang lain mengayunkan pedangnya langsung menebas lehernya. Agung Sedayu tidak
sempat meloncat lagi. Tetapi ia merendahkan diri untuk mengelakkan pedang itu. Pada
saat yang gawat itulah, Agung Sedayu melihat ujung tombak lawannya melayang ke
lambungnya. Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Ia harus bertindak tepat. Dalam
waktu sekejap, ia harus menentukan suatu langkah untuk membebaskan dirinya dari
lawan-lawannya yang semakin garang. Agung Sedayu bergeser sedikit surut. Ia
masih tetap merendahkan dirinya. Namun tiba-tiba ia berputar di atas tumitnya,
dan sekali lagi cambuknya berputar pula mendatar. Lawan-lawannya segera
berloncatan surut. Tetapi orang yang sedang meloncat dengan ujung tombak terjulur
itu tidak dapat berbuat sesuatu, karena ia sedang melayang laju ke depan. Yang
dapat dilakukannya kemudian adalah berusaha menangkis ujung cambuk yang terayun
tepat kepadanya. Karena itulah, maka tombaknya pun segera dirundukkannya.
Dengan sebuah hentakan, ia ingin menghentikan ayunan cambuk Agung Sedayu. Namun
dengan demikian, maka terjadilah benturan antara dua senjata itu, sehingga
ujung cambuk Agung Sedayu pun langsung membelit tangkai tombak itu. Agung
Sedayu yang sudah memperhitungkannya itu pun segera menarik ujung cambuknya
sendal pancing. Dengan sepenuh kekuatannya, ia menghentakkan cambuknya demikian
tiba-tiba, sehingga lawannya tidak mampu lagi menguasai senjatanya. Senjata itu
pun kemudian terlepas dari tangannya dan terlempar beberapa langkah, lawannya
sama sekali tidak mampu bertahan untuk tetap menggenggam tangkai tombaknya itu.
Agung Sedayu melihat kesempatan terbuka baginya. Karena itu, ia tidak
menyia-nyiakannya. Sekejap kemudian, maka ia pun segera meloncat menyerang
lawannya yang sudah tidak bersenjata itu. Tetapi ternyata, bahwa kawan-kawan
penyamun itu tidak membiarkan kawannya itu menjadi sasaran serangan Agung
Sedayu tanpa melakukan perlawanan. Hampir berbareng mereka menyerang dengan
ujung senjata yang terjulur lurus ke depan.
Agung Sedayu
melihat serangan yang datang dengan dahsyatnya itu. Sekali lagi ia memutar
cambuknya untuk mempertahankan jaraknya dari penyamun-penyamun itu. Namun
tiba-tiba saja dengan cambuk yang masih berputar, Agung Sedayu meloncat
langsung dengan garangnya, menyerang lawannya yang sudah tidak bersenjata itu. Lawannya
masih berusaha mengelak. Dengan tangkas ia meloncat surut sambil merendahkan
dirinya dalam-dalam, di bawah putaran cambuk Agung Sedayu. Namun, ternyata yang
mengenainya sama sekali bukan ujung cambuk Agung Sedayu. Selagi cambuknya masih
berputar, dan orang itu telah terbebas dari sambaran ujung cambuk yang
berdesing di atas kepalanya, namun tiba-tiba saja terdengar keluhan yang
tertahan. Ternyata kaki Agung Sedayu lah yang menyambar orang yang sedang
merunduk itu, sehingga ia terlempar beberapa langkah surut dan kemudian jatuh
berguling di tanah. Demikian kerasnya tendangan kaki Agung Sedayu, sehingga
terasa tulang-tulang iganya menjadi remuk karenanya, dan karena itulah, maka ia
tidak lagi mampu untuk bangkit dan ikut memberikan perlawanan. Dengan demikian,
maka lawannya telah berkurang dengan seorang, yang justru merupakan penggerak
dari perlawanan mereka. Dengan demikian, maka perlawanan yang kemudia-pun
menjadi jauh lebih lemah. Dua orang yang masih tetap bertempur itu hampir tidak
mempunyai kesempatan lagi. Dan Agung Sedayu pun tidak menyia-nyiakan waktu
lagi. Keadaan masih cukup gawat. Ia melihat betapa Ki Demang bertahan
mati-matian sehingga keringatnya telah membasahi seluruh tubuh dan pakaiannya. Namun
dalam pada itu, selagi Agung Sedayu berusaha mengakhiri perlawanan kedua
penyamun yang lain, ia mendengar seseorang memekik kesakitan. Ia masih sempat
memalingkan wajahnya dan melihat seorang lawan Swandaru terlempar dari arena
dan jatuh di tanah dengan darah yang meleleh dari luka di lambungnya. Ternyata
Swandaru telah berhasil mengenai lambung lawannya dengan ujung cambuknya dan
dengan sebuah tarikan yang menghentak, maka karah-karah besi di ujung cambuk
itu telah melukai lambung lawannya. Sesaat kemudian, Agung Sedayu pun
mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya untuk segera menjatuhkan
lawan-lawannya yang lain. Dan usaha itu tidak terlampau sulit baginya. Seorang
demi seorang, maka lawannya itu pun berhasil di lumpuhkannya. Yang seorang
menjadi pingsan karena keningnya telah disambar oleh ujung cambuk Agung Sedayu,
sedang yang lain tidak mampu lagi melakukan perlawanan karena kakinya
rasa-rasanya patah karenanya. Berbeda dengan Agung Sedayu, Swandaru masih
bertempur melawan kedua lawannya, yang agaknya dengan gigih melakukan
perlawananan. Keduanya mulai berlari-lari mengelilingi pepohonan hutan, mereka
memanfaatkan rimbunnya dedaunan dan batang perdu yang tumbuh liar.
“Licik!” geram
Swandaru yang menjadi marah karenanya.
Tetapi lawan-lawannya
tidak menghiraukannya. Mereka masih menyerang, dan kemudian berlari-larian
menjauh. Agung Sedayu yang sudah selesai dengan lawan-lawannya, melihat cara
yang licik itu. Karena itu, maka ia pun segera meloncat memburu salah seorang
dari mereka sambil berkata,
“Selesaikanlah
yang seorang itu. Aku akan menyelesaikan yang seorang lagi.”
Swandaru
berpaling, dilihatnya Agung Sedayu telah bebas dari lawan-lawannya. Tetapi ia
menyahut,
“Bebaskan Ki
Demang dari kedua lawannya. Aku akan menyelesaikan cecurut-cecurut ini.”
Agung Sedayu
mengerutkan keningnya. Kemudian dipandanginya arena pertempuran antara Ki
Demang melawan kedua orang penyamun yang bertempur mati-matian. Ki Demang
memang tidak dapat segera dikalahkan. Bahkan serangan-serangan Ki Demang adalah
serangan-serangan yang berbahaya. Tetapi lawannya pun bertempur dengan
gigihnya, sehingga Ki Demang harus memeras segenap tenaga dan kemampuannya.
Karena itulah, maka nafasnya menjadi semakin cepat mengalir dan keringatnya
membasahi seluruh permukaan kulit tubuhnya. Agung Sedayu menarik nafas panjang.
Meskipun Ki Demang memiliki pengalaman dan ilmu yang dapat mengimbangi
lawannya, namun agaknya nafas Ki Demang lah yang pada suatu saat pasti akan
mengganggunya. Karena itu, maka Agung Sedayu pun kemudian selangkah demi
selangkah mendekati Ki Demang di Sangkal Putung. Dengan saksama ia memandang
kedua lawan Ki Demang itu berganti-ganti. Dan bagi Agung Sedayu keduanya tidak
memiliki kelebihan apa pun juga. Kedua lawan Ki Demang itu tidak lebih baik
dari ketiga lawannya yang telah dikalahkannya. Namun dalam pada itu, langkah
Agung Sedayu itu terasa bagaikan hentakan-hentakan di dalam dada kedua lawan Ki
Demang. Mereka sadar, bahwa ternyata Agung Sedayu bukan seorang anak muda
kebanyakan, yang menggigil melihat senjata berputar. Ternyata Agung Sedayu itu
memiliki kemampuan yang sangat mengejutkan para penyamun itu. Tetapi para
penyamun itu tidak dapat berbuat apa pun juga. Langkah Agung Sedayu sama sekali
tidak ada yang menghalanginya lagi. Selangkah demi selangkah ia mendekat dan
setiap langkahnya membuat nafas para penyamun itu menjadi semakin sesak. Ternyata
kegelisahan para penyamun itu telah mempengaruhi sikapnya. Perlawanannya pun
menjadi kacau, sehingga mereka tidak dapat lagi memusatkan perhatiannya pada
ujung-ujung senjatanya. Pada saat yang demikian itulah, Ki Demang menghentakkan
semua kemampuan yang ada padanya. Pedangnya berputar cepat sekali, dan kemudian
meliuk mematuk dengan dahsyatnya. Sesaat kemudian terdengar jerit terputus.
Ternyata pedang itu telah menembus dada seorang lawannya. Darah yang merah
memancar dari luka itu. Sesaat ia masih dapat berdiri, namun sesaat kemudian
tubuhnya itu pun roboh, seperti robohnya sebatang kayu yang mati. Kawannya
tercengang memandang tubuh yang terguling tanpa berdaya sama sekali itu. Bahkan
sejenak kemudian, setiap orang yang menyaksikan, dapat memastikan bahwa orang
yang terbaring itu sudah tidak bernafas lagi.
Penyamun yang
seorang itu berdiri termangu-mangu. Sejenak ia kebingungan. Dipandangnya Ki
Demang di Sangkal Putung berdiri dengan pedang telanjang di tangan. Pedang yang
sudah dilumuri dengan darah kawannya. Dan ketika ia sempat berpaling, beberapa
langkah di sampingnya, dilihatnya anak muda bercambuk itu berdiri
termangu-mangu.
Rasa-rasanya
nyawanya telah berada di ujung ubun-ubunnya. Ketika ia sempat memandang
perkelahian yang terjadi beberapa langkah dari mereka, hatinya menjadi semakin
berkeriput. Ternyata penjual makanan, yang selama ini menjadi kebanggaan para
penyamun itu, masih belum dapat mengalahkan Kiai Gringsing yang tua itu. Bahkan
agaknya perkelahian itu masih akan berlangsung lama. Sehingga dengan demikian,
ia tidak akan dapat mengharapkan perlindungan dari penjual di warung yang
sebenarnya adalah pemimpinnya itu.
“Kenapa ada
juga orang yang mampu bertempur melawannya?” berkata penyamun itu di dalam
hatinya.
Namun ia
kemudian tidak sempat berpikir lagi. Kini, Ki Demang dengan pedang di tangan
dan Agung Sedayu sudah menjadi semakin dekat. Di tempat lain, Sumangkar pun
bertempur mati-matian untuk mempertahankan dirinya dan sekali-sekali berusaha
menyerang lawannya langsung ke tempat yang berbahaya. Tetapi ia masih juga
belum berhasil, sehingga pertempuran itu masih juga berlangsung dengan
sengitnya.
Karena itulah,
maka penyamun itu menjadi putus asa. Ia merasa tidak akan dapat berbuat sesuatu
melawan Ki Demang dan anak muda yang bersenjata cambuk itu. Sehingga sejenak
kemudian, maka dilemparkannya senjatanya di tanah sambil berteriak,
“Aku menyerah.
Jangan bunuh aku dengan cara yang mengerikan itu.”
Agung Sedayu
memandang orang itu dengan tajamnya. Namun terhadap seseorang yang sudah
melemparkan senjatanya, ia tidak dapat berbuat apa-apa.
“Kau
menyerah?” ia bertanya dengan nada yang datar.
“Ya, aku
menyerah.”
Agung Sedayu
mendekatinya. Kemudian ditariknya orang itu sambil berkata kepada orang-orang
yang sudah kehilangan keberanian, meskipun mereka masih menggenggam potongan-potongan
kayu di tangannya.
“Ambillah
orang ini dan ikatlah. Ikatlah dengan lulup kayu atau dengan kain panjangnya
sendiri.”
Orang-orang
itu termangu-mangu sejenak. Dan Agung Sedayu berkata selanjutnya,
“Ia tidak akan
berbuat apa-apa. Aku akan menunggui kalian.”
Mereka masih
termangu-mangu sejenak. Agung Sedayu yang tidak sabar, kemudian mendorong orang
yang sudah tidak bersenjata itu, sehingga jatuh terjerembab di antara mereka
yang bersenjatakan kayu kering itu. Tiba-tiba saja salah seorang dari mereka
bangkit dengan garangnya sambil berkata,
“Bunuh. Bunuh
saja orang ini.”
“Ya. Bunuh
saja,” yang lain menyahut.
Ketika mereka
mulai mengangkat kayunya, Agung Sedayu berteriak,
“Jangan kau
bunuh! Aku menyuruh kalian mengikat tangannya.”
“Tetapi mereka
telah membunuh kawanku,” jawab salah seorang.
“Tetapi ia
sudah menyerah.”
“Aku tidak
peduli,” dan yang lain menyahut pula,
“Aku tidak
peduli. Ia sudah membunuh. Kami pun akan membunuhnya pula. Hutang harta
membayar harta, hutang nyawa membayar nyawa.”
Agung Sedayu
termangu-mangu sejenak. Ia mengerti bahwa ledakan perasaan orang-orang yang
selama ini ketakutan itu membuat mereka kehilangan pertimbangan. Sebelum Agung
Sedayu terbuat sesuatu, orang-orang itu pun telah berteriak-teriak pula,
“Biarlah aku
yang membunuhnya.” Dan yang lain,
“Pukul saja
kepalanya.”
Orang yang
sudah menyerah itu menjadi semakin ketakutan. Terbayang di wajahnya, betapa ia
kehilangan dirinya sendiri. Sama sekali tidak tampak kegarangan dan kekejaman
yang pernah dilakukannya.
“Jangan bunuh
aku, jangan bunuh aku.” orang itu surut ke belakang dan berjongkok dihadapan
Agung Sedayu sambil memohon,
“Jangan bunuh
aku, jangan bunuh aku.”
Agung Sedayu
memandanginya dengan keragu-raguan yang bergejolak di dalam hati. Jika ia
mencoba melindungi orang itu, apakah tidak akan timbul salah paham dan justru
persoalan baru dengan orang-orang yang akan membunuhnya? Sekilas Agung Sedayu
sempat melihat Swandaru yang masih bertempur melawan para penyamun yang
berlari-larian mengitari pepohonan dan rumpun-rumpun perdu yang liar. Kemudian
dipandanginya sejenak wajah Ki Demang yang masih tegang.
“Ampuni aku,
ampuni aku,” penyamun itu merengek seperti anak-anak yang memaksa ibunya untuk
membelikan baju yang baru.
“Tidak ada
kesempatan lagi bagimu!” teriak orang-yang marah itu.
Namun dalam
pada itu Agung Sedayu bertanya kepadanya,
“Apakah kau
masih tetap ingin hidup?”
“Ya. Aku masih
ingin hidup.”
“Kau ketakutan
melihat potongan-potongan kayu yang terayun-ayun itu?”
“Ya. Aku takut
sekali.”
“Apakah kau
tidak pernah membayangkan, begitulah perasaan takut itu mencengkam hati?”
“Aku takut
sekali.”
“Apakah kau
tidak pernah membayangkan, bahwa orang lain yang ketakutan, seperti juga yang
kau alami saat ini? Bahkan seandainya ada orang yang kau gantung, dengan
kakinya di atas dan kau biarkan kepalanya diraih oleh kuku-kuku harimau,
mempunyai perasaan takut melampaui perasaanmu sekarang.”
“Bukan aku,
bukan akulah yang mengikat.”
“Siapakah yang
mengikat, tetapi betapa tidak senangnya dihinggapi oleh perasaan takut.
Perasaan takut memang dapat menyiksa seseorang melampaui mati itu sendiri. Dan
kau sekarang pun sedang ketakutan. Aku tidak dapat berbuat apa-apa.”
“Jangan
biarkan aku dibunuh, jangan.”
“Aku ingin kau
mendalami perasaan takut. Hayatilah sebaik-baiknya agar kau tidak akan pernah
melupakan, bagaimana seseorang yang sedang ketakutan. Dengan demikian di
kesempatan yang mana pun juga, apabila kau masih akan tetap hidup, kau tidak
akan membuat orang lain menjadi takut.”
“Tidak, aku
tidak akan menakut-nakuti orang lagi.”
“Aku tidak
yakin kalau kau berkata dari dalam lubuk hatimu. Kau hanya sekedar mengucapkan
kata-kata tanpa memikirkan arti dari kata-katamu.”
Orang itu
memandang Agung Sedayu sejenak, dan ia masih mendengar orang-orang lain
berteriak-teriak,
“Serahkan
kepada kami.”
Orang itu
telah benar-benar menjadi ketakutan. Keringat dingin mengalir membasahi segenap
pakaiannya. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa bahwa orang itu
telah benar-benar merasakan betapa tersiksanya seseorang yang dicengkam oleh
ketakutan. Karena itu, maka katanya kepada orang-orang yang melingkarinya
dengan tongkat-tongkat kayu yang terayun-ayun,
“Sudahlah.
Kita akan mengikatnya. Biarlah ia tetap hidup dalam ketakutan. Kami akan
menyerahkannya kepada para peronda dari Mataram.”
“Tidak, kami
akan membunuhnya.”
“Aku tidak
sependapat.”
“Aku tidak
peduli. Aku ingin membunuhnya.”
Orang-orang
itu pun kemudian berdesakan maju. Wajah mereka menjadi tegang dan tatapan mata
mereka yang merah, memancarkan kemarahan yang tiada taranya.
“Jika
demikian,” berkata Agung Sedayu kemudian,
“aku tidak
akan ikut campur lagi. Terserahlah kepada kalian. Biarlah ia mengambil senjatanya.
Dan aku akan mengajak semua kawan-kawanku pergi,” ia berhenti sejenak. Lalu,
“Lihat,
saudaraku yang gemuk itu masih belum berhasil mengalahkan lawannya, yang
bertempur sambil berputar-putar dengan liciknya. Biarlah ia melepaskan kedua
orang itu dan menyerahkan kepada kalian.”
Orang-orang
itu pun tiba-tiba telah terdiam.
“Kemudian aku
akan memanggil orang-orang tua yang sedang bertempur itu pula. Biarlah kalian
menyelesaikannya.”
Orang-orang
itu pun menjadi semakin diam.
Namun dalam
pada itu, terdengar Swandaru berkata,
“Kakang.
Jangan biarkan orang-orang ini melarikan diri. Kenapa kau masih saja berdiri di
situ?”
Agung Sedayu
mengerutkan keningnya. Lalu katanya,
“Baiklah.”
Namun kemudian kepada orang-orang di sekitarnya ia bertanya,
“Nah, cepat
pilih. Mengikat orang ini atau kami semuanya akan meninggalkan gelanggang.”
Orang-orang
itu tidak segera menjawab.
“Cepat.
Katakan. Aku tidak mempunyai waktu lagi. Aku harus segera mengambil keputusan.
Jawab, ya atau tidak. Jika kau ingin mengikatnya, jawablah ya. Cepat.”
Orang-orang
itu masih termangu-mangu. Di wajah mereka masih tampak dendam yang tidak mudah
terhapuskan. Sementara Swandaru telah berteriak sekali lagi,
“Jangan
biarkan mereka lari.”
Agung Sedayu
menjadi termangu-mangu. Namun sebelum ia meninggalkan orang-orang itu, Ki
Demang lah yang telah lebih dahulu bergeser. Suara Swandaru bagaikan
membangunkannya dari sebuah mimpi melihat penyamun yang sedang ketakutan. Dan
ketakutan itu adalah bencana, yang paling dahsyat di dalam hidup seseorang. Dengan
tergesa-gesa Ki Demang pun kemudian berlari ke arena pertempuran yang luas,
karena lawan Swandaru masih saja selalu berputar-putar. Dengan loncatan panjang
ia mencoba memotong gerakan salah seorang penyamun yang sedang mengitari sebuah
gerumbul perdu, sedang yang lain sedang mencoba menyerang Swandaru dari
samping. Penyamun itu pun segera berhenti. Sekilas dipandanginya pedang Ki
Demang yang masih berlumuran darah yang mulai membeku.
Terasa sesuatu
meremang di tengkuknya. Namun sebelum ada perintah untuk menyingkir, penyamun
itu masih harus berjuang mati-matian. Adalah pengkhianat, penyamun yang
menyerah dengan ketakutan seperti lawan Ki Demang, yang kini berdiri berjongkok
di hadapan Agung Sedayu itu.
Karena betapa
dadanya dicengkam oleh kecemasan, namun kedua penyamun yang tidak ingin menjadi
pengkhianat itu masih juga berusaha untuk berjuang terus. Yang seorang melawan
Swandaru, sedang yang lain melawan Ki Demang. Dengan demikian maka Swandaru
tidak memerlukan waktu yang lama untuk menguasai lawannya. Ledakan cambuknya
segera membuat lawannya terbanting jatuh. Ketika ujung cambuk Swandaru kemudian
membelit pergelangan kaki lawannya itu dan menariknya, maka penyamun itu telah
terseret beberapa langkah mendekati Swandaru. Dengan susah payah, penyamun itu
berusaha meloncat bangkit. Tetapi ketika ia berdiri, ternyata tangan Swandaru
telah mendorongnya, dan sekali lagi ia terjatuh di tanah.
“Jangan
bangkit lagi!” bentak Swandaru sambil menginjak tangan penyamun yang masih
menggenggam senjatanya itu.
“Persetan!”
penyamun itu menggeram. Tetapi suaranya segera terputus, karena cambuk Swandaru
meledak tepat di depan wajahnya.
“Lepaskan
senjatamu, atau aku menyobek wajahmu dengan ujung cambukku.”
Orang itu
memandang Swandaru sejenak. Tetapi sudah tidak ada jalan lain baginya kecuali
melepaskan senjatanya. Pada saat itu, orang-orang yang bersenjata
potongan-potongan kayu itu pun telah melepaskan niatnya untuk membunuh. Mereka
pun kemudian mengikat tangan penyamun yang menyerah itu pada sebatang pohon,
sementara Agung Sedayu berjalan mendekati Ki Demang yang masih berkelahi.
Betapa kuatnya
ikatan yang ada di antara para penyamun itu, dan betapa dalam ketaatan mereka
terhadap pemimpin-pemimpinnya, namun penyamun yang sedang bertempur melawan Ki
Demang itu pun sama sekali tidak berdaya untuk bertahan terus. Apalagi ketika
Agung Sedayu telah berdiri di sebelah arena itu. Dalam pada itu, Sumangkar
masih berjuang mati-matian untuk dapat mengatasi lawannya. Bahkan kemudian
orang tua yang pernah berada di istana Kepatihan Jipang itu masih harus memeras
segenap kemampuannya. Namun dengan demikian, maka Sumangkar tidak mempunyai
cara lain untuk mengakhiri pertempuran itu, selain benar-benar melumpuhkan
lawannya, dan jika terpaksa, maka ia harus membunuhnya. Dengan demikian, maka senjatanya
yang dahsyat itu pun segera berputar semakin cepat. Sekali-sekali trisula
kecilnya di ujung rantai itu meliuk dan menyambar mendatar. Bahkan
sekali-sekali mematuk dengan dahsyatnya. Lawannya pun telah berjuang
mati-matian untuk mempertahankan diri. Seperti para penyamun yang lain, ia
tidak menyangka bahwa ia akan menjumpai lawan sekuat itu. Jika saja Sumangkar
mempergunakan senjatanya yang diterimanya dari gurunya, sebuah tongkat baja
putih berkepala tengkorak yang kekuning-kuningan, maka namanya akan segera
dikenal kembali sebagai saudara seperguruan Patih Mantahun. Tetapi Sumangkar
memang ingin melupakan semuanya itu, sehingga senjatanya itu pun telah
diserahkannya kepada muridnya. Dan kini ia justru mempergunakan senjata yang
mengerikan bagi lawan-lawannya, meskipun bagi Sumangkar sendiri, senjatanya ini
tidak sedahsyat senjatanya, yang diterima dari gurunya itu.
Ketika
serangan Sumangkar menjadi semakin dahsyat, maka semakin jelas, bahwa lawannya
kadang menjadi gugup, sehingga Sumangkar yang telah memeras segenap
kemampuannya itu, mempergunakan setiap kesempatan untuk mengakhiri perkelahian,
sebelum nafasnya sendiri terputus karenanya. Dan pengerahan segenap kemampuan
Sumangkar itu, telah melahirkan serangan-serangan yang sangat berbahaya bagi lawannya.
Hanya karena lawannya pun orang yang memiliki kelebihan di dalam olah
kanuragan, maka ia masih juga dapat mengelak dan menghindari serangan-serangan
itu. Tetapi Sumangkar yang benar-benar telah dikuasai oleh nafas pertempuran,
tidak lagi dapat berbuat lain daripada berjuang sejauh-jauh dapat dilakukan.
Segala ilmu dan kemampuan yang ada padanya telah dicurahkan dan bahkan telah
diperasnya habis-habisan,
“Aku tidak
boleh menunggu sampai nafasku putus,” katanya di dalam hati.
Dengan
serangan yang menghentak-hentak, Sumangkar pun kemudian mendesak lawannya
semakin dahsyat, sehingga lawannya pun menjadi semakin terdesak karenanya.
Ujung trisula Sumangkar semakin lama serasa menjadi semakin dekat mengitari
tubuhnya yang basah oleh keringat. Namun menghadapi serangan Sumangkar yang
semakin dahsyat itu, lawannya pun berjuang semakin keras pula. Bahkan untuk
sesaat, lawannya itu telah melakukan tindakan untung-untungan. Jika ia
berhasil, ia akan dapat mengatasi kemampuan Sumangkar. Jika tidak, maka
semuanya masih harus diperhitungkan lagi. Dengan demikian, maka serangan yang
dilakukannya adalah serangan yang dahsyat sekali. Sedahsyat angin prahara yang
melanda pepohonan. Sumangkar terkejut mengalami serangan itu. Sesaat ia
terdesak. Namun ia pun kemudian menyadari, bahwa lawannya telah mencurahkan
segenap kemampuannya untuk sesaat. Sesaat yang diharapkan dapat menentukan
akhir dari perkelahian itu.
Dengan
demikian, Sumangkar pun harus mengimbanginya pula. Dikerahkannya pula segenap
tenaga, kekuatan, kemampuan dan ilmu yang ada padanya. Ia pun melakukan
pertimbangan yang sama seperti lawannya. Jika ia berhasil, maka perkelahian ini
akan berakhir. Jika tidak, maka ia akan mungkin sekali terjerumus ke dalam
kesulitan. Karena itulah, maka sejenak kemudian telah terjadi benturan dua ilmu
yang sangat dahsyat. Benturan antara dua kekuatan puncak yang sukar dicari
bandingnya. Orang-orang yang ada di sekitarnya sempat menyaksikan benturan
kekuatan yang dahsyat itu. Bahkan Kiai Gringsing dan lawannya, yang mempunyai
kepentingan yang sama untuk menyaksikan akhir dari pertempuran itu, telah
dengan sendirinya mengendorkan pertempuran yang terjadi di antara mereka. Agung
Sedayu, Swandaru, Ki Demang di Sangkal Putung pun telah dicengkam pula oleh
kecemasan, sedang orang-orang lain memandang puncak pertempuran itu dengan
mulut ternganga. Sejenak kemudian, keduanya hampir tidak lagi dapat dilihat
dengan mata telanjang. Keduanya berputar seperti angin pusaran dalam selubung
bayangan senjata masing-masing. Namun sejenak kemudian, di balik selubung
putaran senjata itu terdengar suara tertahan. Sebuah keluhan. Tetapi tidak
terlontar seluruhnya. Yang menyaksikan pertempuran itu menjadi termangu-mangu.
Mereka menunggu sejenak dengan tegangnya. Dan yang sejenak itu rasa-rasanya
bagaikan tanpa akhir. Tetapi sejenak kemudian, mereka mulai dapat melihat apa
yang telah terjadi. Keduanya mulai tampak semakin jelas. Namun seorang dari
keduanya mulai terhuyung-huyung surut. Dan sejenak kemudian semuanya menjadi
jelas. Sumangkar berdiri tegak dengan pangkal rantainya di dalam genggaman.
Meskipun demikian, tampaklah segores luka di pundaknya, sehingga di lengannya
meleleh titik darah yang merah. Namun dalam pada itu, lawannya terbungkuk
sambil memegangi dadanya. Tangannya dan lengannya menjadi basah oleh darahnya
yang memancar dari luka di dada itu. Sejenak orang itu masih berdiri di atas
kedua kakinya. Dengan matanya yang redup dipandanginya wajah Sumangkar yang
tegang.
“Kau, kau menang,”
suaranya dalam dan datar,
“aku tidak
menyangka, bahwa aku akan bertemu dengan orang semacam kau. Dalam keadaan
seperti ini, seharusnya kau menentukan sikap dan berpihak Pajang atau Mataram.”
“Apakah kau
juga berpihak?” bertanya Sumangkar. Orang itu menggeleng. Katanya,
“Tidak. Aku
tidak berpihak. Tetapi aku menentukan pihakku sendiri.”
“Aku juga
menentukan sikapku sendiri. Aku pun heran bahwa di dalam keadaan seperti ini,
kau masih saja berkeliaran di hutan. Kenapa, kau tidak berada di Pajang atau
Mataram seperti yang kau katakan itu? Dan apakah pihak yang kau tentukan
sendiri itu akan berhasil mengatasi kekuasaan Mataram dan Pajang?”
“Tidak sebodoh
itu. Tetapi ceriteranya terlampau panjang, dan umurku terlampau pendek.”
“Sebut,
siapakah kau dan siapakah pemimpinmu tertinggi sebelum kau mati. Kau akan
menebus dosamu, dan jalanmu akan menjadi lapang.”
Tampak wajah
itu ragu-ragu sejenak, tetapi ia pun kemudian menyeringai menahan sakit.
“Kau menang,”
suaranya semakin sendat,
“tetapi sampai
akhir hayatku, aku tidak akan mengakui adanya Mataram, meskipun aku tidak
berdiri di pihak Pajang.”
“Jadi, jadi?”
Sumangkar meloncat mendekatinya dan mencoba menahan tubuh itu.
Tetapi, tubuh
itu sudah terlampau lemah. Trisula Sumangkar menusuk dadanya terlampau dalam.
Tiga bekas luka berderet di dada itu.
“Sebut nama
pemimpinmu,” bisik Sumangkar.
Tetapi orang
itu sudah tidak menyahut. Sejenak ia masih menggeliat. Tetapi kemudian,
Sumangkar mendengar tarikan nafasnya yang terakhir. Perlahan-lahan Sumangkar
meletakkan tubuh itu. Sejenak ia merenung. Namun sejenak kemudian ia berpaling,
terdengar suara gemerasak yang tiba-tiba saja mengejutkan dan mengejutkan
setiap orang yang sedang terpukau oleh peristiwa itu. Serentak mereka
berpaling, dan serentak mereka melihat lawan Kiai Gringsing meloncat
meninggalkan arena. Kiai Gringsing ternyata tidak mau melepaskan lawannya.
Secepat loncatan lawannya, ia pun segera memburunya, menyusup dedaunan perdu di
hutan yang liar itu. Mereka pun segera berkejar-kejaran. Kiai Gringsing
berusaha sejauh-jauh dapat dilakukan untuk mengejar lawannya dan apabila mungkin
menangkapnya. Tetapi ternyata bahwa kemampuan lawannya tidak berada di bawah
kemampuannya.
Bahkan
Sumangkar yang telah meletakkan lawannya itu pun berusaha untuk ikut
mengejarnya pula. Sumangkar adalah seorang yang memiliki kecepatan berlari yang
tinggi. Karena itu, ia ingin membantu Kiai Gringsing mengejar orang yang sedang
meninggalkan arena itu. Tetapi ternyata bahwa kedua-duanya tidak berhasil.
Bahkan selagi mereka berkejar-kejaran, Kiai Gringsing masih mendengar suara
tertawanya di sela-sela gemerisik dedaunan,
“Orang
bercambuk, kali ini kau menang. Tetapi bukan aku kalah perang tanding
melawanmu. Kawan-kawanku lah yang ternyata tidak mampu mengimbangi
orang-orangmu. Namun aku sendiri sama sekali tidak gentar melawan kau dan
kawanmu yang berhasil membunuh kepercayaanku itu. Tetapi jangan kau kira bahwa
usaha kami akan berhenti sampai di sini. Kami akan berusaha terus, sehingga
Mataram ini tenggelam dalam kesombongan Sutawijaya dan Pemanahan sendiri.”
“Siapakah kau
sebenarnya?” bertanya Kiai Gringsing sambil mengejar terus.
“Aku adalah
seorang Panembahan yang tidak bernama.”
“Apakah
kepentinganmu dengan Mataram?”
Yang didengar
oleh Kiai Gringsing hanyalah suara tertawanya saja yang berkepanjangan. Tetapi
ia tidak lagi dapat melihat orangnya. Bahkan Kiai Gringsing telah kehilangan
arah ketika suara tertawanya itu berhenti. Akhirnya, Kiai Gringsing pun
berhenti dengan nafas yang terengah-engah. Sebagai seorang yang mumpuni, maka
ia pun harus mengakui bahwa lawannya kali ini adalah orang yang mempunyai
kelebihan dari sesamanya. Sejenak kemudian, Sumangkar pun mendekatinya. Ia pun
masih juga terengah-engah. Setelah bertempur memeras tenaga, ia masih harus
berlari-larian di antara pepohonan.
“Luar biasa,”
ia berdesis di antara desah nafasnya.
“Ya, luar
biasa,” sahut Kiai Gringsing.
“Jika ia
tersusul, belum tentu kita dapat menangkapnya,” berkata Sumangkar kemudian.
“Adi Sumangkar,”
berkata Kiai Gringsing kemudian,
“aku tidak
begitu pasti. Tetapi dari sikap dan tandangnya, ia tentu orang yang yakin akan
dirinya. Yakin bahwa dirinya memiliki kemampuan yang tidak mudah terkalahkan
oleh siapa pun juga,” Kiai Gringsing berhenti sejenak. Lalu,
“Tetapi apakah
adi Sumangkar melihat sesuatu yang dapat dikenal pada orang itu?”
Sumangkar menggelengkan
kepalanya. Jawabnya,
“Aku tidak
melihatnya, Kiai. Tetapi samar-samar menilik tata geraknya, aku seolah-olah
pernah melihatnya, meskipun hampir berubah sama sekali.”
“Nah, itulah
yang ingin aku katakan,” sahut Kiai Gringsing,
“sesuatu yang
samar tampak pada tata gerak itu.”
Ki Sumangkar
tidak menyahut, tetapi tatapan matanya mengambang ke kejauhan, menembus
rimbunnya gerumbul-gerumbul liar di dalam hutan itu.
“Marilah,”
berkata Kiai Gringsing,
“kita kembali
kepada Ki Demang di Sangkal Putung.”
“Marilah,”
sahut Ki Sumangkar,
“Mataram
ternyata menghadapi tantangan yang sangat berat. Mudah-mudahan, Ki Gede
Pemanahan sanggup mengatasinya.”
Kiai Gringsing
menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba ia berkata,
“Mungkin ia
dapat mengenal pula tata gerak, Adi Sumangkar dan barangkali aku.”
Ki Sumangkar
mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu,
“Apa boleh
buat. Kita sudah terlanjur berdiri berseberangan di dalam persoalan Mataram.
Tentu kita masing-masing akan bertanggung jawab seandainya dugaan kami ini
benar.”
“Ya, jika hal
itu benar,” desis Kiai Gringsing.
Keduanya pun
kemudian melangkah kembali ke arena perkelahian yang sudah menjadi sepi. Yang
masih ada adalah orang-orang yang menyerah dan yang sudah dilumpuhkan. Ketika
Kiai Gringsing dan Sumangkar datang kembali, maka Ki Demang pun segera
bertanya,
“Bagaimana
dengan orang itu?”
“Kami tidak
dapat menemukannya,” desis Kiai Gringsing,
“ia memiliki
kemampuan yang tinggi. Dan karena itu, berhasil melarikan darinya pula.”
Ki Demang mengerutkan
keningnya. Desisnya,
“Jika
demikian, orang itu tentu berbahaya sekali.”
“Ya,” Ki
Sumangkar-lah yang menyahut,
“orang itu
memang berbahaya sekali.”
Ki Demang
tidak segera berkata sesuatu. Demikian pula Swandaru dan Agung Sedayu. Mereka
menundukkan kepala seakan-akan sesuatu sedang mereka pikirkan. Namun dalam pada
itu, terdengar Kiai Gringsing berkata,
“Adi
Sumangkar, baiklah lukamu itu diobati lebih dahulu. Meskipun luka itu tidak
berbahaya, tetapi jika terlambat, maka luka itu dapat menjadi luka yang sulit
disembuhkan. Apalagi luka bekas goresan senjata.”
“Luka ini
tidak terlalu dalam. Menilik darah yang mengalir, senjata itu tentu tidak
beracun,” sahut Ki Sumangkar.
“Atau beracun
lemah sekali. Tetapi racun yang lemah dapat berkerja perlahan-lahan sekali.
Karena itu, lebih baik aku mengobatinya.”
Sumangkar
menganggukkan kepalanya. Namun ia masih juga memandang berkeliling, kepada
orang-orang yang ada di sekitarnya dan kepada beberapa orang penyamun yang
masih hidup dan sudah mereka kuasai sepenuhnya itu.
Hampir di luar
sadarnya Ki Sumangkar pun berkata,
“Lalu, kita
apakan mereka itu? Apakah kita akan melepaskannya atau membawanya ke Menoreh?”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Orang-orang itu memang merupakan persoalan bagi
mereka. Sudah barang tentu mereka tidak akan dapat melepaskannya, karena
ternyata orang-orang itu adalah orang-orang yang berbahaya. Jika mereka
dilepaskan dan dapat dijumpai kembali oleh pemimpinnya yang berhasil melarikan
diri itu, maka mereka akan menjadi orang yang lebih berbahaya lagi bagi rakyat
di sekitar daerah itu dan bagi lalu lintas pada umumnya.
“Guru,” tiba-tiba
Agung Sedayu berkata,
“bukankah
kadang-kadang ada peronda dari Mataram yang lewat di jalur jalan ke Mataram
itu?”
“Menurut
pemimpin penyamun ini memang demikian.”
“Apakah kita
dapat mempercayainya? Jika hal itu tidak benar, maka aku kira pemimpin penyamun
itu tidak akan menjerumuskan kita ke jalan ini.”
“Memang masuk akal,”
desis Sumangkar, “tetapi jarak kedatangan mereka tidak kita ketahui dan tidak
dapat ditentukan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar