“AKU kira, jika ada prajurit-prajurit peronda sampai ke daerah ini, maka tentu ada gardu-gardu dan tempat-tempat pengawas yang menjadi tempat peristirahatan dan pusat-pusat perondaan.”
“Mungkin
demikian,” Kiai Gringsing pun mengangguk-angguk.
“Jika
demikian, kita dapat menempuh jalan yang semula akan kita lalui. Bukan jalan
ini,” berkata Agung Sedayu kemudian.
Tiba-tiba
Swandaru mengerutkan keningnya. Sambil berpaling kepada seorang penyamun yang
menyerah ia bertanya,
“Apakah benar
bahwa kadang-kadang ada peronda dari Mataram yang nganglang sampai ke mulut
lorong itu?”
“Aku tidak
tahu.”
“Aku bertanya,
menurut pengetahuanmu. Apakah selama kau menyamun kau pernah melihat,
mendengar, atau bahkan menjumpai peronda-peronda dari Mataram yang sampai ke
lorong itu.”
Penyamun itu
merenung sejenak. Namun kemudian ia menggeleng,
“Tidak. Tidak
pernah ada.”
“Benar? Tidak
pernah ada?”
“Ya, memang
tidak pernah ada.”
Swandaru pun
kemudian mendekatinya. Katanya seakan-akan bergumam kepada diri sendiri,
“Lebih baik
mereka disembelih, atau digantung di batang pohon dengan kepala di bawah supaya
seekor harimau meraihnya dan melobangi wajahnya dengan kukunya.”
“Swandaru?”
ayahnya memanggil.
Tetapi
Swandaru melangkah terus. Bahkan gurunya berkata,
“Baiklah
Swandaru. Ikat saja mereka di pepohonan. Kami tidak memerlukan mereka lagi.”
“Jangan,
jangan,” orang itu memohon seperti yang merengek melihat ayahnya membawa sehelai
cambuk.
Ki Demang
menjadi bingung. Namun Agung Sedayu menggamitnya sambil berbisik,
“Biarkan saja,
Ki Demang. Swandaru tidak akan berbuat apa-apa.”
Semakin dekat
juntai ujung cambuk Swandaru, semakin takutlah orang yang sudah menyerah itu.
Sekali lagi ia memohon,
“Jangan diikat
aku pada sebatang pohon.”
“Kenapa tidak?
Tentu kami tidak akan dapat membawa kalian ke Menoreh, karena kami akan
mengunjungi Ki Gede Menoreh sebagai tamu yang terhormat.”
“Kami tidak
perlu dibawa ke Menoreh?”
“Dan kami
tidak dapat melepaskan kau di hutan. Kau akan sangat berbahaya.”
“Jangan
dilepaskan kami, asal kami jangan dibunuh dan jangan diikat pada sebatang
pohon, karena hutan ini memang banyak dihuni harimau loreng.”
“Lalu kami
harus menunggui kalian di sini?”
Penyamun itu
tertunduk.
“Jika kalian
membuat kami bingung, maka jalan satu-satunya memang membunuh kalian.”
“Tidak,
tidak,” tiba-tiba yang lain berteriak,
“ada prajurit
yang sering meronda di jalan itu. Ada pusat-pusat perondaan di tengah-tengah
hutan. Pengawal-pengawal dari Mataram yang kuat berada di gardu-gardu. Bahkan
bersama beberapa orang pemimpinnya.”
Kiai Gringsing
mengerutkan keningnya, sementara Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Namun
dengan demikian mereka mengerti, bahwa Mataram tidak tinggal diam menghadapi
persoalan ini. Mereka agaknya menyadari bahwa orang-orang yang telah mengganggu
ketenteraman daerah yang sedang tumbuh ini adalah orang-orang yang kuat,
sehingga mereka terpaksa menempatkan beberapa buah gardu di tengah-tengah
hutan. Ki Demang yang kemudian menangkap maksud anaknya itu pun mengumpat di
dalam hati. Bahkan sambil tersenyum ia berbisik kepada Agung Sedayu,
“Aku memang
terlalu bodoh.”
Agung Sedayu
pun tersenyum. Katanya,
“Bukan, tetapi
Ki Demang kurang terbiasa bersikap seperti kami. Apalagi Swandaru, ia segera
dapat menyesuaikan diri dengan sikap guru.”
Ki Demang
menarik nafas dalam-dalam, sementara ia mendengar Kiai Gringsing berkata,
“Kita kembali
lewat jalan yang biasa dilalui orang. Kita bawa semua orang yang tertawan.”
Lalu kepada orang-orang yang semula menjadi ketakutan Kiai Gringsing itu pun
bertanya,
“Lalu
bagaimana dengan kalian?”
“Kami memang
akan pergi ke Mataram.”
“Ikutlah
kami.”
Mereka pun
segera berkemas. Tawanan-tawanan yang tidak dapat berjalan tegak lagi mereka
taruh di atas punggung kuda. Sementara Agung Sedayu dan Swandaru berjalan
mengiringinya bersama dengan orang-orang yang semula menjadi putus asa. Di
antara mereka yang terluka pun mendapat kesempatan pula mempergunakan kuda Kiai
Gringsing dan Sumangkar. Iring-iringan itu pun kemudian mengambil jalan yang
sudah mereka lalui. Mereka berputar lagi menuju lorong yang biasa dilalui
orang, karena jalan yang sedang terbentang di bawah kaki mereka itu adalah
jalan jebakan. Sebelum mereka sampai ke tanah pategalan, ternyata mereka masih
menemukan seorang kawan dari orang-orang yang berjalan lebih dahulu dan hampir
saja dibinasakan oleh para perampok itu. Tetapi demikian hatinya dicengkam oleh
ketakutan, maka untuk beberapa lama ia tidak mau keluar dari gerumbul tempatnya
bersembunyi. Namun demikian desah nafasnya serta kadang keluhan-keluhan yang
tertahan telah menunjukkan di mana ia berada. Tetapi akhirnya, atas bujukan
kawan-kawannya ia mau keluar juga dari persembunyiannya yang tidak tersembunyi
itu. Perlahan-lahan kepercayaannya atas tanggapan inderanya mulai timbul
kembali. Akhirnya iring-iringan itu pun sampai ke warung yang kini sudah
kosong. Gardu yang kosong dan mulut lorong yang sepi. Meskipun demikian di
warung itu masih terdapat beberapa jenis makanan yang dijajakan. Namun Kiai
Gringsing tetap mencurigai jenis makanan itu, meskipun ia pun berpendapat bahwa
tidak semua makanan berisi jebakan racun yang lemah, karena ternyata tidak
semua orang telah diberinya racun itu. Hanya mereka yang menurut dugaannya
orang-orang yang berbahaya sajalah yang telah dicobanya untuk diracun, seperti
Kiai Gringsing, Sumangkar, Ki Demang, beserta kedua anak-anak muda itu.
Sejenak
kemudian maka mereka pun telah melintasi hutan Tambak Baya yang lebat. Tetapi
karena jalur jalan yang mereka lalui adalah jalan yang sering disentuh kaki
manusia, maka jalan itu agaknya memang tidak begitu sulit. Di dalam perjalanan
itu Kiai Gringsing masih juga sempat bertanya kepada para penyamun yang
ditawannya. Katanya,
“Apakah jalan
ini masih sering dilalui orang, maksudku, orang yang dengan sengaja kalian
lepaskan?”
Para penyamun
itu ragu-ragu sejenak. Namun kemudian salah seorang dari mereka berkata,
“Hanya
kadang-kadang. Jika kebetulan para prajurit Mataram meronda sampai ke ujung
lorong, kami tidak dapat berbuat apa-apa. Orang-orang yang akan lewat jalan ini
pun lewatlah bersama para prajurit itu.”
“Apakah
pemimpinmu itu tidak dapat membinasakan hanya sekelompok prajurit?”
“Tentu. Tetapi
dengan demikian kami akan mengundang kesiagaan yang lebih tinggi lagi dari para
prajurit Mataram, sehingga barangkali justru di mulut lorong itu berdirinya
gardu penjaga.”
“Di mana gardu
penjaga yang pertama?”
“Tidak begitu
jauh lagi.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia percaya pada keterangan itu. Gardu itu tentu
tidak begitu jauh. Jika tidak demikian, maka para penyamun itu tidak perlu
menyesatkan calon-calon korbannya ke jalur jalan jebakan itu.
Namun dalam
pada itu tiba-tiba saja Kiai Gringsing bertanya,
“Siapakah
pemimpinmu itu?”
Penyamun itu
mengerutkan keningnya.
“Siapa?”
“Kami tidak
mengenalnya lebih jauh selain yang kami lihat sehari-hari.”
“Siapa? Siapa
namanya?”
Penyamun itu
menjadi ragu-ragu. Namun katanya kemudian,
“Kami
memanggilnya Kiai Wedung. Hanya itulah yang kami ketahui tentang dirinya.”
“Kenapa kau
ikut orang yang kau sebut Kiai Wedung itu?”
“Kami tidak
mempunyai pilihan lain.”
“Aku tidak
tahu maksudmu. Kenapa kau tidak mempunyai pilihan lain? Apakah yang kau
kerjakan sebelum kau menjadi penyamun?”
Orang itu
masih ragu-ragu.
“Apakah kau
memang ditugaskan untuk menyamun sebagai tabir saja dari usaha Kiai Wedung
membatasi orang-orang yang masuk ke Mataram?”
“Tidak. Kami
memang penyamun sejak lama. Tetapi kami dikalahkan oleh Kiai Wedung dan
orang-orangnya. Akhirnya mereka memaksakan suatu kerja sama. Kami diperkenankan
merampas semua milik orang-orang yang lewat, dan membunuhnya. Hanya sebagian
kecil saja yang harus kami serahkan kepadanya, sementara semua tanggung jawab
diambil alih oleh Kiai Wedung.”
Kiai Gringsing
memandang Sumangkar sejenak. Tetapi Sumangkar tidak memberikan tanggapan apa
pun. Sehingga Kiai Gringsing pun bertanya pula,
“Apakah kau
pernah mendengar tentang seorang panembahan di daerah hutan ini?”
“Panembahan?
Maksudmu panembahan siapa?”
“Bukan siapa
pun. Tetapi apakah kau pernah mendengar seorang panembahan di sebuah padepokan
di sekitar Alas Tambak Baya ini atau di sekitar Alas Mentaok?”
Orang itu menggelengkan
kepalanya. Katanya,
“Aku mengenal
seorang demang yang mempunyai pengaruh yang besar di kalangan demang-demang
yang lain. Agaknya ia menaruh perhatian juga terhadap Alas Mentaok.”
“Siapa?”
“Demang di
tlatah Mangir.”
Kiai Gringsing
menarik nafas dalam-dalam, sedang Sumangkar memandanginya dengan sorot mata
yang aneh. Tetapi menurut dugaan Kiai Gringsing, demang tlatah Mangir itu tentu
tidak ada hubungannya sama sekali dengan panembahan yang tidak bernama itu. Namun
demikian, bahwa seorang demang dari tlatah Mangir telah tertarik pada
perkembangan Alas Mentaok itu pun bukan suatu hal yang mustahil. Bahkan mungkin
bukan hanya demang di tlatah Mangir itu saja, selain panembahan yang mengaku
tidak bernama itu. Tetapi mungkin masih ada juga beberapa orang yang
berkepentingan dengan Alas Mentaok. Bahkan mungkin juga Kepala Tanah Perdikan
Menoreh.
Dan tiba-tiba
saja Kiai Gringsing bertanya pula ke penyamun itu,
“Kenapa kau
sebut demang di tlatah Mangir itu, he? Apakah kebetulan saja kau mengetahuinya
bahwa demang itu dengan penuh minat mengikuti perkembangan Mataram atau kau
mendengar bahwa ia pernah berkata, bahwa ia tertarik sekali kepada Mataram atau
dengan cara yang lain lagi?”
Orang itu
menjadi termangu-mangu.
“Bagaimana kau
dapat mengatakan hal itu?”
“Aku tidak
mendengar sendiri atau melihat sikap itu.”
“Lalu kenapa
kau dapat mengatakannya?”
“Menurut Kiai
Wedung. Kiai Wedung-lah yang mengetahui hal itu.”
Kiai Gringsing
memandanginya dengan tajamnya, mudian ia menggeram,
“Itukah ajaran
pemimpinmu yang licik itu? Dengan demikian mulutmu akan menjadi racun yang
paling berbisa, yang dapat menumbuhkah pertentangan tanpa sebab. Pemimpinmu
yang gila itu tentu mengajarimu untuk menumbuhkan pertentangan antara tlatah
Mangir dengan Mataram. Jika kau menyebutnya hal itu di hadapan orang-orang
Mataram, yang ternyata mereka bukan orang-orang yang bodoh, maka mulutmu pasti
akan disumbat. Mungkin dengan sabut kelapa, tetapi mungkin juga dengan tangkai
pedang.”
Orang itu
tidak menyahut lagi. Tetapi dadanya menjadi berdebar-debar. Memang menurut
gambarannya orang-orang Mataram yang sedang berjuang membuka tanah dan berjuang
melawan alam yang keras, apalagi gangguan-gangguan yang tidak ada
habis-habisnya itu, bukannya orang-orang yang lembut dan ramah-tamah. Mereka
pasti orang-orang yang berwajah keras dan berhati keras.
Iring-iringan
itu pun semakin lama semakin dalam menusuk ke dalam Alas Tambak Baya. Meskipun
hutan ini sudah menjadi kian sempit, tetapi jantungnya masih merupakan hutan
yang lebat sekali. Jalur jalan yang mereka lalui itu meskipun merupakan jalur
yang sering dilewati, namun kadang-kadang mereka masih menjumpai gerumbul yang
liar dan sulur-sulur berduri. Sejenak kemudian, maka jalan yang mereka lewati
itu pun menjadi semakin baik. Bagi mereka yang lewat, hal ini merupakan
pertanda bahwa daerah ini adalah daerah yang lebih sering dijamah kaki. Dan
mereka pun menduga bahwa mereka telah berada dekat dengan gardu penjaga.
“Apakah kita
sudah dekat?” bertanya Kiai Gringsing kepada penyamun itu.
Penyamun itu
menjadi termangu-mangu. Namun ia pun kemudian menganggukkan kepalanya sambil
menyahut,
“Ya. Kita
sudah dekat dengan gardu penjaga.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak berbicara lagi. Kini
angan-angannya justru sedang membayangkan, siapakah prajurit-prajurit yang ada
di gardu itu. Apakah mereka akan mempercayainya atau tidak, karena para
penyamun itu pun akan dapat berkata lain.
“Tetapi ke
delapan orang ini pun akan dapat mengiakan keteranganku,” berkata Kiai
Gringsing di dalam hatinya.
Demikianlah
maka sejenak kemudian, mereka pun sudah dapat melihat sebuah barak kecil di
tengah-tengah hutan itu. Namun agaknya para prajurit yang bertugas di dalam
barak itu cukup berhati-hati, karena ternyata pepohonan di sekitar barak itu
sudah dibersihkan.
“Itulah,”
desis Agung Sedayu.
Swandaru
mengerutkan keningnya. Namun kesan yang didapatnya adalah bahwa di daerah
sekitar tempat ini memang dianggap daerah yang gawat, ternyata bahwa yang
disebut gardu penjaga itu adalah sebuah barak yang tentu berisi lebih dari
sepuluh orang.
Ternyata
prajurit yang sedang bertugas mengawasi barak itu pun segera melihat kehadiran
iring-iringan itu, dan segera ia memberikan isyarat kepada kawan-kawannya. Dalam
waktu yang singkat, maka di sekitar barak itu telah siap menyambut kedatangan
mereka lebih dari sepuluh orang prajurit. Mereka telah bersiaga dengan senjata
telanjang, karena iring-iringan itu adalah iring-iringan yang mencurigakan.
“Siapakah kalian?”
bertanya prajurit yang sedang bertugas.
“Berhenti di
situ.”
Kiai Gringsing
pun kemudian memberikan isyarat agar iring-iringan itu berhenti.
“Kemarilah
satu atau dua orang yang dapat memberikan keterangan tentang kalian,” perintah
pengawal itu pula.
Kiai Gringsing
termangu-mangu sejenak. Kemudian katanya,
“Siapakah yang
akan pergi bersamaku? Ki Demang atau Adi Sumangkar.”
“Silahkan, Ki
Demang,” berkata Sumangkar.
Ki Demang
termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya,
“Ki Sumangkar
sajalah. Aku tinggal di sini.”
Ki Sumangkar lah
yang kemudian pergi bersama Kiai Gringsing ke barak itu menemui para pengawal
yang sedang bertugas di tengah-tengah hutan.
“Siapakah
kau?” bertanya prajurit yang bertugas.
“Kami datang
dari Sangkal Putung, Ki Sanak,” jawab Kiai Gringsing.
Prajurit itu
memandang Kiai Gringsing sejenak, lalu dipandanginya pula Ki Sumangkar. Bahkan
kemudian ditebarkannya tatapan matanya kepada orang-orang yang berdiri agak
jauh dari mereka.
“Apakah kalian
semuanya datang dari Sangkal Putung?”
“Tidak, tidak
semua.”
Prajurit-prajurit
yang ada di sekitar barak itu pun tertarik kepada beberapa orang yang ternyata
telah terluka, sehingga salah seorang dari mereka melangkah mendekat sampai
beberapa depa.
“Kenapa
kawan-kawanmu terluka,” bertanya pengawal yang sedang berbicara dengan Kiai
Gringsing itu.
“Kami membawa
ceritera yang panjang,” berkata Kiai Gringsing, lalu,
“sedang
iring-iringan ini terdiri dari tiga rombongan.”
“Tiga
rombongan?”
“Ya. Yang
pertama adalah rombongan kami dari Sangkal Putung. Yang kedua adalah rombongan
yang datang, lebih dahulu dari kami, dan yang ketiga adalah penyamun-penyamun.”
“Penyamun?”
para pengawal yang mendengar keterangan itu menjadi heran.
Kiai Gringsing
pun kemudian menceriterakan apa yang diketahuinya tentang penyamun-penyamun itu
kepada para pengawal, dan maksudnya untuk menyerahkan mereka kepada para
pengawal. Pengawal itu mengerutkan keningnya. Sejenak kemudian ia melangkah
mendekat sambil bertanya,
“Apakah kau
berkata sebenarnya?”
“Ya, silahkan
bertanya kepada orang-orang yang datang sebelum kami dan yang hampir saja
binasa oleh para penyamun itu.”
“Kenapa kalian
tidak dibinasakan sama sekali, maksudku siapakah sebenarnya kalian sehingga
kalian dapat membebaskan diri dari para penyamun itu dan bahkan menawannya?”
Kiai Gringsing
tidak segera menyahut. Dipandanginya Ki Sumangkar dan kemudian ia pun berpaling
pula kepada Ki Demang di Sangkal Putung.
“Kami
memerlukan keterangan yang selengkap-lengkapnya,” berkata pengawal itu.
“Kami tidak
mengenalmu dan tidak mengenal orang-orang yang kau sebut penyamun itu. Juga
kami tidak mengenal orang-orang yang datang lebih dahulu daripadamu dan hampir
saja dibinasakan oleh penyamun-penyamun itu.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat mengerti kecurigaan para pengawal itu.
“Kau dapat
memutar-balikkan ceritera yang sebenarnya,” berkata prajurit itu kemudian.
“Yang hitam
kau katakan putih dan yang putih kau katakan hitam karena kebetulan kau dapat
menguasai mereka dengan kekerasan.”
Kiai Gringsing
menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia berpikir, lalu katanya,
“Salah seorang
saksi yang dapat dibuktikan adalah Ki Demang di Sangkal Putung. Jika diperlukan
maka dapat dibuktikan bahwa ia benar-benar Demang di Sangkal Putung. Ia dapat
memberikan kesaksian apa yang telah terjadi.”
“Apakah
bedanya Demang Sangkal Putung dan orang-orang yang lain? Jika kau mengancamnya
bahwa ia harus berkata seperti yang kau kehendaki, maka ia akan berkata seperti
itu.”
Meskipun
Swandaru berdiri agak jauh, tetapi ia dapat mendengar kata-kata itu sehingga
tiba-tiba saja ia menyahut.
“Aku adalah
anak Ki Demang Sangkal Putung. Aku pun sanggup memberikan kesaksian tanpa
dipaksa dan bahkan dengan mengucapkan sumpah.”
Pengawal itu
mengerutkan keningnya. Lalu,
“Apakah aku
dapat mempercayaimu bahwa kau adalah anak Ki Demang Sangkal Putung.”
“Kalian dapat
datang ke Sangkal Putung dan bertanya kepada setiap orang. Terlebih-lebih
kepada isteri Ki Demang Sangkal Putung itu.”
“Kau sangat
yakin bahwa kami tidak akan melakukan pembuktian itu, sehingga kau dapat
mengucapkannya dengan sangat lancar.”
Swandaru
mendengarkan jawaban itu dengan dada yang berdebaran, sehingga hampir di luar
sadarnya ia berkata,
“Jadi
bagaimana kami harus membuktikan bahwa kami benar-benar telah melakukan seperti
apa yang dikatakan oleh Kiai Gringsing itu?”
“Kiai Gringsing?”
ulang pengawal itu.
“Yang mana
yang kau sebut dengan Kiai Gringsing itu?”
Swandaru
tiba-tiba menjadi ragu-ragu. Gurunya sendiri belum mengucapkan namanya, dan
kini ia telah menyebutkannya. Namun karena hal itu sudah terlanjur maka ia
tidak akan dapat menariknya kembali.
“Itulah,”
katanya, “yang berbicara dengan Ki Sanak.”
Pengawal itu
memandang Kiai Gringsing dengan saksama. Namun sekali lagi ia berkata,
“Aku belum
pernah mengenalnya.”
Swandaru
menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali. Bahkan ia sudah menjadi agak jengkel
karenanya, sehingga dengan suara datar ia bergumam,
“Lalu apa yang
harus kami kerjakan? Apa?”
Dalam pada
itu, selagi Swandaru dan rombongannya menjadi bingung untuk membuktikan
kebenaran keterangannya, maka tiba-tiba penyamun yang duduk di punggung kuda
karena lukanya itu pun berkata dengan suara parau dan terputus-putus,
“Tuan,
bukankah Tuan pengawal Tanah Mataram? Tolonglah kami. Kami adalah petani-petani
dari Cupu Watu. Kami tidak tahu apakah maksud orang-orang ini membawa kami dan
menyiksanya di sepanjang jalan ini.”
Kata-kata itu
telah mengejutkan semua orang yang mendengarnya. Para prajurit, Kiai Gringsing
dan kawan-kawannya, orang-orang yang telah diselamatkannya dan bahkan
penyamun-penyamun yang lain pun terkejut pula. Namun mereka pun segera mengerti
maksud keterangan itu, sehingga seorang penyamun yang lain pun segera
menyambung,
“Ya, Tuan.
Kami mohon perlindungan. Kami sama sekali tidak mengerti apa kesalahan kami.
Apakah karena kami tidak mau pergi dari Cupu Watu seperti yang mereka
kehendaki, atau ada sebab-sebab lain.”
Prajurit yang
sedang bertugas itu menjadi tegang. Dan tiba-tiba saja ia berkata lantang,
“Nah, kau
dengar kata-kata itu? Jika aku tergesa-gesa mempercayai keteranganmu, maka aku
pasti akan terjerumus ke dalam kesulitan. Nah, ternyata dengan kekuatan kau
ingin menentukan sesuatu yang pasti akan mengganggu ketenangan tanah yang baru
dibuka ini. Kau tentu telah mengancam orang-orang itu untuk mengatakan seperti
yang kau kehendaki, termasuk Ki Demang Sangkal Putung.”
“Tidak, Ki
Sanak,” sahut Ki Demang Sangkal Putung sambil melangkah maju.
“Aku bebas
menentukan sikap dan kata-kataku. Aku masih bersenjata dan senjataku bernoda
darah. Jika seseorang dan siapa pun juga ingin memaksakan kehendaknya dengan
menakut-nakuti aku, maka aku akan menentangnya sampai ujung umurku.” Ki Demang
berhenti sejenak, lalu,
“Aku menjadi
saksi apa yang telah terjadi. Dan aku telah membunuh seorang dari para penyamun
yang menyerang aku.”
Para prajurit
itu mengerutkan keningnya. Namun sebelum salah seorang dari mereka memberikan
tanggapannya, Swandaru tiba-tiba saja tertawa. Katanya di sela-sela derai
tertawanya,
“Ki Sanak
memang aneh.”
“Kenapa kau
tertawa,” para pengawal Tanah Mataram itu menjadi heran.
“Mungkin
kalian adalah pengawal baru yang terbentuk di Mataram. Jika kalian
pengawal-pengawal yang dibentuk dari bekas prajurit-prajurit Pajang, mungkin
kalian akan berpikir lain.”
“Gila kau,”
bentak seorang pengawal,
“aku bekas
prajurit Pajang. Aku datang kemari karena sebuah cita-cita. Aku bukan orang
yang pantas kau tertawakan.”
“Hampir kami
semuanya pernah menjadi prajurit di Pajang,” berkata yang lain.
“Jangan
menghina kami.”
Dan pengawal
yang berdiri dengan tegangnya di tengah-tengah mereka itu pun membentak
keras-keras,
“Kenapa kau
tertawa, he?”
Swandaru
berusaha menghentikan suara tertawanya. Ia melihat sekilas Kiai Gringsing pun
ikut menjadi tegang. Namun ia berkata,
“Jika demikian
aku keliru. Tetapi tentu bukan semuanya bekas prajurit. Aku bahkan menyangka
hanya ada seorang dua saja. Tetapi sekali lagi, aku keliru.”
“Apakah
sebenarnya maksudmu?” bentak prajurit yang sedang memeriksa Kiai Gringsing.
Swandaru
melangkah maju. Tetapi seorang pengawal membentaknya,
“Kau tetap di
situ.”
“Baik, baik.
Aku akan tetap di sini.” Swandaru berdiri di tempatnya sambil berpaling.
Dipandanginya orang-orang yang ada di dalam rombongannya termasuk para
penyamun. Katanya kemudian,
“Jika kami
membawa orang-orang ini dengan paksa tanpa salah, apakah kira-kira kami akan
datang kemari dan menyerahkan orang-orang ini kepada para pengawal di sini?
Kami menganggap bahwa orang-orang ini semula tidak akan pernah mempunyai niat
untuk memutar balikkan keadaan. Tetapi kecurigaan Ki Sanak yang berterus-terang
itu memang menimbulkan suatu ilham kepada mereka, untuk memutar-balikkan
keadaan seperti yang dikatakannya.”
Para prajurit
itu mengerutkan keningnya.
“Nah, apakah
keuntungan kami dengan membawa orang-orang Cupu Watu ini kemari dalam keadaan
luka dan payah, dan kemudian menyerahkannya kepada kalian? Jika kami ingin
membinasakan mereka, kami pasti sudah melakukannya.”
Keterangan
Swandaru itu memang masuk akal. Satu dua orang dari mereka mulai
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi prajurit yang sudah terlanjur membentak-bentak
itu masih juga berkata,
“Itu pun omong
kosong. Kalian tentu dapat mengambil keuntungan dengan melakukan hal yang gila
itu. Kalian dapat melepaskan tanggung jawab kalian. Dan kalian mengharap bahwa
kami akan dengan begitu saja memberikan hukuman kepada orang-orang yang kau
sebut penyamun itu tanpa memeriksanya dengan teliti.”
Tetapi Swandaru
masih tersenyum. Katanya,
“Semula aku
memang bingung, bagaimana mengatakan yang sebenarnya kepada kalian. Kalian
tidak percaya kepada Kiai Gringsing, tidak pula percaya kepada ayahku, Ki
Demang di SangKal Putung. Namun tentu aku mempunyai suatu bukti yang dapat
kalian lihat. Tidak begitu jauh dari tempat ini. Kami baru saja bertempur. Di
sana masih ada beberapa sosok mayat yang tergolek yang sebenarnya akan kami
serahkan pula kepada kalian di sini untuk mendapat perawatan yang sewajarnya.”
“Mayat siapa?”
bertanya prajurit itu.
“Para penyamun
dan seorang lagi adalah seorang dari antara orang yang akan melintasi Alas
Tambak Baya ini. Jika benar kami membawa orang-orang ini dari Cupu Watu, maka
bekas pertempuran itu pasti tidak ada. Jika kalian melihat tempat itu, maka
kalian akan dapat mengambil kesimpulan. Bukan saja perkelahian itu sendiri
tetapi lebih dalam daripada itu adalah latar belakang dari pertempuran yang
terjadi itu, dan kenapa para penyamun berusaha untuk menutup jalan menuju ke
Mataram. Bukan saja jalan perdagangan, tetapi juga arus orang yang ingin
menetap di tlatah yang kini sedang tumbuh itu.”
Para prajurit
itu mendengarkan keterangan Swandaru dengan dahi yang berkerut-merut. Mereka
mulai mempercayai keterangan orang-orang yang mereka curigai itu. Bahkan
prajurit yang mula-mula menyangkal keterangan Kiai Gringsing itu pun mulai
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dalam pada itu, selagi persoalan yang timbul
pada mereka itu masih belum terpecahkan sepenuhnya, mereka mendengar derap
kaki-kaki kuda di dalam lebatnya Alas Mentaok. Gemanya seakan-akan
bergulung-gulung datang dari segala arah. Namun bagi mereka yang memiliki
pendengaran yang tajam segera mengerti, dari manakah kuda-kuda itu datang. Sejenak
kemudian sebuah iring-iringan prajurit memasuki halaman barak itu. Agaknya yang
berkuda paling depan adalah pemimpin dari prajurit-prajurit itu.
“Nah, ia
datang,” berkata prajurit yang langsung minta keterangan kepada Kiai Gringsing,
“ialah yang
akan menentukan apakah kita dapat mempercayai kalian.”
Kiai Gringsing
pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia pun kemudian tersenyum ketika
orang yang berkuda di paling depan itu terkejut melihatnya. Kemudian dengan
bergegas-gegas ia meloncat turun dan berkata,
“Kiai, kaukah
itu Kiai Truna Podang, eh, Kiai Gringsing.”
“Ki Wanakerti,”
desis Kiai Gringsing,
“aku dan
murid-muridku bersama Ki Sumangkar dan Ki Demang Sangkal Putung sedang
mengalami pemeriksaan yang teliti. Aku senang melihat ketelitian para prajurit
Mataram.”
Ki Wanakerti
pun kemudian menyambut tangan Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar. Dengan wajah
yang cerah ia memandang kepada Agung Sedayu dan Swandaru,
“Kalian
benar-benar memenuhi undanganku.”
Agung Sedayu
dan Swandaru pun menganggukkan kepala mereka. Sambil tersenyum Agung Sedayu
yang selama itu hanya mendengarkan perdebatan adik seperguruannya itu berkata,
“Kami datang
ke barak ini tidak dengan kami sengaja.”
“Kenapa?” Ki
Wanakerti mengerutkan keningnya.
Sambil
menunjuk orang-orang yang ada di sekitarnya ia berkata,
“Kami
mengantarkan mereka ini.”
Ki Wanakerti
memandangi mereka dan kemudian para prajurit. Dilihatnya wajah para prajurit
yang ada di sekitarnya menjadi berkerut-merut.
“Apa yang
sudah terjadi?” ia bertanya.
Para prajurit
itu tidak segera menyahut, sehingga Kiai Gringsing-lah yang berkata,
“Tidak terjadi
apa-apa di sini. Aku baru saja datang.”
Ki Wanakerti
memandang Kiai Gringsing sejenak, kemudian kembali kepada wajah para prajurit
yang tunduk.
“Apakah telah
terjadi salah paham?” Ki Wanakerti bertanya.
“Tidak. Tidak
terjadi apa-apa. Aku baru akan mulai menceriterakan apa yang terjadi.”
Para prajurit
itu terdiam bagaikan patung yang membeku, sedang penyamun yang telah berusaha
memutar-balikkan keadaan itu menjadi semakin gemetar. Ia merasa bersalah dua
kali lipat, sehingga karena itu, tubuhnya yang lemah menjadi semakin lemah.
“Marilah, aku
persilahkan kalian masuk ke dalam gardu yang jelek ini,” berkata Wanakerti
kemudian.
“Tetapi gardu
ini jauh lebih baik dari gardumu di Alas Mentaok, di daerah yang berhantu itu.”
Ki Wanakerti
tertawa.
“Marilah,”
sekali lagi mempersilahkan.
“Maaf Ki Wanakerti,”
berkata Kiai Gringsing,
“aku datang
bersama beberapa orang dalam kedudukan yang berbeda-beda.”
“O, siapa?”
Kiai Gringsing
memandang orang-orang yang ada di sebelah-menyebelah Agung Sedayu dan Ki Demang
Sangkal Putung. Kemudian katanya,
“Aku mempunyai
ceritera yang menarik tentang mereka.”
“Tetapi
marilah, kami persilahkan kalian duduk. Marilah aku persilahkan Ki Demang di
Sangkal Putung.”
Mereka pun
saling berpandangan. Dan Kiai Gringsing pun kemudian berkata,
“Marilah.
Marilah, Ki Demang,” namun kemudian ia berkata kepada Ki Wanakerti,
“Ki Wanakerti,
kami akan memenuhinya, tetapi bagaimana dengan tawanan kami ini?”
“Tawanan?”
“Mereka adalah
para penyamun yang telah mencoba menghentikan perjalanan kami.”
Para penyamun
itu menjadi semakin gemetar. Kini mereka tidak berani lagi membuat ceritera
palsu itu, karena agaknya Ki Wanakerti sudah mengenal orang bercambuk itu
dengan baik.
“Jadi kalian
menawan penyamun sekian banyaknya?” bertanya Wanakerti kemudian.
“Bukan
semuanya. Yang lain adalah korban-korban mereka yang belum sempat mereka
binasakan.”
Ki Wanakerti
memandang penyamun-penyamun itu dengan tajamnya. Lalu katanya kepada
prajurit-prajuritnya,
“Awasi mereka.
Bawa mereka ke serambi dan biarlah yang lain beristirahat.”
Para prajurit
itu mengangguk. Katanya,
“Baiklah. Kami
akan mengurusnya.”
Demikianlah
maka Kiai Gringsing dan rombongannya kemudian dipersilahkan masuk ke dalam
gubug itu. Setelah saling bertanya tentang keadaan masing-masing sejenak, maka
Kiai Gringsing pun kemudian menceriterakan tentang orang orang yang telah
ditawannya itu.
Ki Wanakerti
mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata,
“Baiklah, aku
memang mendapat tanggung jawab di daerah ini. Kami akan mengurusnya
sebaik-baiknya.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Demikian pula di luar sadarnya yang lain pun
mengangguk-angguk pula.
“Ada beberapa
orang terpaksa terbunuh di dalam perkelahian. Tetapi sayang, bahwa kami tidak
dapat menangkap puncak dari kekuatan mereka,” berkata Kiai Gringsing kemudian.
“Siapakah
orang itu?” bertanya Wanakerti.
“Akulah yang
ingin bertanya, apakah di daerah ini ada seseorang yang menyebut dirinya
seorang panembahan.”
“Panembahan
siapa?”
“Ia menyebut
dirinya panembahan tidak bernama.”
Ki Wanakerti
mengerutkan keningnya. Namun sejenak kemudian ia pun menggeleng-gelengkan
kepalanya. Katanya,
“Aku belum
pernah mendengar.”
“Tentu namanya
yang sebenarnya tidak disebutkannya,” berkata Kiai Gringsing kemudian.
“Tetapi,
apakah orang itu dapat lolos dari tangan Kiai dan kawan-kawan Kiai ini?”
“Ya.”
Ki Wanakerti
menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
“Tentu bukan
orang kebanyakan jika ia dapat melepaskan diri dari tangan Kiai.”
Kiai Gringsing
mengangguk. Katanya,
“Orang itu
memang perlu mendapat perhatian. Aku sudah mencoba mendengarkan keterangan
tawanan-tawanan itu. Tetapi tidak seorang pun yang dapat mengatakan sesuatu
tentang panembahan tidak bernama itu.”
“Baiklah. Kami
akan mencoba mendapat keterangan dari mereka, meskipun sudah tentu keterangan
itu tidak akan memuaskan.”
“Tetapi hal
itu dapat kau pergunakan sebagai bahan yang cukup penting di daerah tugasmu
sekarang ini.”
“Ya. Jika
orang itu dapat lolos dari tangan Kiai, maka kami di sini, para prajurit, perlu
mempertimbangkan. Mungkin pada suatu saat ia akan datang dan melepaskan
dendamnya terhadap para prajurit. Karena itu, kami harus bersiap menghadapinya,
meskipun akan terlampau berat.”
“Ada suatu hal
yang dapat kau jadikan dasar perhitungan menurut pengamatanku, Ki Wanakerti,” berkata
Kiai Gringsing kemudian.
“Meskipun ada
satu dua orang yang menonjol di antara mereka, namun kekuatan mereka sama
sekali tidak seimbang yang seorang dengan yang lain. Ada di antara mereka yang
mampu meloloskan diri dari tangan kami, tetapi ada yang hampir tidak berarti.
Justru kebanyakan dari mereka adalah orang-orang kasar yang tidak mempunyai
dasar ilmu apa pun selain kekasarannya itu. Sedangkan para prajurit, meskipun
di antaranya tidak ada yang mampu mengimbangi Ki Gede Pemanahan, namun hampir
semuanya memiliki kemampuan dan ilmu yang sejajar, sehingga apabila terpaksa
kalian harus berhadapan dengan mereka, maka kalian dapat membentuk
kelompok-kelompok yang kuat.”
Ki Wanakerti
mengangguk-angguk. Katanya,
“Aku harus
sudah menyusunnya. Dan kelompok-kelompok itu harus meyakinkan. Jika kita
meronda di sekitar tempat ini dan di jalan menuju ke luar, kami harus
melepaskan kelompok-kelompok itu.”
“Ya,” sahut
Kiai Gringsing, lalu ia pun bertanya,
“sampai ke
mana saja para pengawal tanah Mataram ini meronda?”
“Kami tidak
keluar terlalu jauh dari Alas Tambak Baya. Sebenarnya kami tidak ingin memasuki
hutan ini karena hutan ini dapat menimbulkan persoalan. Hutan ini bukan bagian
tersendiri dari Alas Mentaok. Tetapi hutan ini adalah hutan yang terpisah dan
berdiri sendiri. Orang-orang Pajang akan dapat mempersoalkannya jika mereka
menyadari akan hal ini. Tetapi kami terpaksa memasuki hutan ini karena para
penyamun dan orang-orang yang tidak senang melihat Mataram berkembang berusaha
untuk menghentikan arus manusia yang dapat membuat Mataram menjadi semakin
ramai. Bahkan jalur-jalur perdagangan hampir berhenti sama sekali. Karena itu,
kami mengirimkan beberapa orang untuk mengawasi hutan ini, dan saat ini
kebetulan akulah yang sedang bertugas di sini.” Ki Wanakerti berhenti sejenak,
lalu, “Tetapi tugas kami belum memenuhi keinginan kami. Ternyata arus manusia
dan arus perdagangan masih belum dapat pulih kembali. Setiap kali masih saja
ada orang yang hilang dan pedagang yang mengalami perampokan.”
“Dan sekarang
Ki Wanakerti mengetahui, bahwa orang-orang yang berada di mulut lorong ini
sebenarnya adalah mereka itu. Orang-orang yang berjualan dan beberapa orang
yang tampaknya sebagai petani-petani yang sedang beristirahat itu.”
“Itulah
kebodohan kami. Kami sama sekali tidak memperhitungkan mereka. Apalagi penjual
makanan itu.”
“Ialah
pemimpin dari setiap perampokan itu. Dan orang itu pulalah yang menyebut
dirinya panembahan tidak bernama itu.”
Ki Wanakerti
mengangguk-anggukkan kepalanya ketika Kiai Gringsing menceriterakan para
penyamun itu lebih jauh lagi.
“Syukurlah.
Aku baru saja datang dari meronda di daerah Barat sambil mengantarkan tiga
orang pedagang sampai ke daerah peronda gardu berikutnya di pintu Alas Tambak
Baya. Jika saat itu akulah yang berjumpa dengan panembahan tidak bernama itu,
maka aku dan sekelompok pasukanku akan binasa. Tetapi kini aku akan membentuk
kelompok-kelompok yang Kiai maksudkan itu.”
“Ya,
hati-hatilah. Mungkin kekalahannya kali ini akan merangsang orang itu untuk
melakukan perbuatan yang lebih jauh lagi.”
“Tetapi kami
dapat tidur nyenyak selama Kiai ada di sini.”
“Aku tidak
akan berhenti di sini. Aku sedang mengantar Ki Demang Sangkal Putung ke
Menoreh.”
Ki Wanakerti
mengerutkan keningnya. Dipandanginya Kiai Gringsing dan kawan-kawannya dengan
heran.
“Jadi Kiai
tidak sedang pergi ke Mataram?” bertanya Ki Wanakerti.
Kiai Gringsing
menggelengkan kepalanya. Jawabnya,
“Tidak. Kali
ini kami akan pergi ke Menoreh.”
“Kenapa Kiai tidak
singgah sebentar dan menemui Raden Sutawijaya. Ia tentu senang sekali menerima
kunjungan Kiai di saat seperti ini. Sebenarnyalah bahwa Kiai dan kedua murid
Kiai itu sudah ditunggu.”
Kiai Gringsing
tersenyum. Katanya,
“Pada suatu
saat kami akan singgah. Mungkin setelah kami kembali dengan selamat dari
Menoreh. Apabila kami dapat menyelesaikan tugas kami dengan baik, maka kami
akan mendapat kesempatan barang sehari dua hari untuk singgah.”
Ki Wanakerti
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia bertanya pula,
“Berapa hari
Kiai berada di Menoreh?”
“Kami tidak
dapat mengatakannya. Tetapi kami harus secepatnya kembali ke Sangkal Putung. Ki
Demang tidak dapat meninggalkan tugasnya terlampau lama bersama-sama dengan
anak laki-lakinya sekaligus.”
Wanakerti
masih mengangguk-angguk.
“Nah, salamku
kepada Raden Sutawijaya dan kepada Ki Lurah Branjangan.”
“Ki Lurah
Branjangan?”
“Ya. Aku
bertemu dengan Ki Lurah pada perhelatan perkawinan Untara.”
“O. Ia memang
mendapat tugas untuk datang saat itu.”
“Dan ia pun
mengalami sesuatu yang dapat dijadikan bahan pembicaraan dengan Raden
Sutawijaya dan Ki Gede Pemanahan. Sedang kini, kau di sini menghadapi hal yang
hampir serupa.”
Ki Wanakerti
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Aku sudah
mendengar ceritera Ki Lurah Branjangan.”
“Dan kini Ki
Lurah Branjangan harus mendengar pula ceriteramu.”
“Ya,” sahut Ki
Wanakerti,
“semua
pemimpin dari tanah Mataram harus mendengarnya. Tetapi ada satu yang sama dari
ceriteraku dan ceritera Ki Lurah Branjangan.”
“Apa?”
“Bahwa baik
peristiwa di Jati Anom dan Banyu Asri itu, mau pun peristiwa di Alas Tambak
Baya, bahkan di Alas Mentaok ketika Kiai Damar dan Kiai Tapak Jalak masih
merajalela, selalu muncul beberapa orang bercambuk dan seorang yang bersenjata
Trisula yang aneh. Kini orang itu muncul pula di sini. Malahan bersama Ki
Demang Sangkal Putung.”
“Ah,” desah
Kiai Gringsing,
“itu hanya
suatu kebetulan. Tentu ada berpuluh-puluh peristiwa yang telah terjadi dan
ditangani sendiri oleh Ki Gede Pemanahan dan Raden Sutawijaya.”
“Tentu. Tetapi
justru peristiwa yang tidak kalah besar telah dengan kebetulan kalian
selesaikan. Dan sudah barang tentu Ki Gede Pemanahan akan mengucapkan terima
kasih kepada kalian.”
“Lain kali
kami akan singgah. Tetapi kali ini kami terpaksa sekali meneruskan perjalanan,
karena perjalanan kami kali ini adalah perjalanan yang sangat penting bagi kami
dan terutama bagi Swandaru.”
Ki Wanakerti
tidak dapat menahan lebih lama lagi. Kiai Gringsing dan kawan-kawannya tidak
mau tinggal lebih lama lagi di gardu itu. Tetapi alasan mereka dapat dimengerti
oleh Ki Wanakerti, sehingga Ki Wanakerti tidak menahan lebih lama lagi.
“Kami
mengucapkan selamat jalan. Tetapi yang telah terjadi merupakan peringatan bagi
kami. Ternyata bahwa di hutan ini ada kekuatan yang tidak dapat kami anggap ringan.
Bahkan yang sebenarnya adalah jauh lebih besar dari kekuatan kami seorang demi
seorang.”
“Ingat, Ki
Wanakerti. Berapa orang yang mempunyai kekuatan yang tidak terduga itu. Kiai
Damar, Kiai Telapak Jalak, orang-orang yang menyerang Jati Anom dan sekarang
dua orang lagi. Meskipun dari yang dua itu seorang telah terbunuh, namun masih
ada seorang lagi yang mungkin dapat mencari kawan baru yang memiliki kekuatan
serupa. Tetapi mungkin juga orang yang menyebut dirinya panembahan tidak
bernama itu justru termasuk orang terpenting dari lingkungan yang masih
merupakan rahasia bagi Mataram.”
“Ya. Aku
segera menyampaikannya kepada Ki Gede Pemanahan. Segera setelah kami menyadari,
kami akan membentuk beberapa kelompok pengawal untuk menghadapi setiap
kemungkinan.”
“Baiklah. Kami
akan segera mohon diri. Terserahlah orang-orang yang datang bersama kami. Baik
para penyamun mau pun orang-orang yang sebenarnya ingin pergi ke Mataram itu.
Selebihnya kami serahkan juga mayat-mayat yang masih berserakan di hutan itu.
Kami harap mayat-mayat itu dapat diselenggarakan seperlunya.”
“Baik, Kiai.
Kami mengucapkan terima kasih, tentu Raden Sutawijaya menunggu kedatangan
kalian di Mataram.”
Kiai Gringsing
menganggukkan kepalanya. Tetapi ia pun segera minta diri bersama Ki Sumangkar,
kedua murid-muridnya, dan Ki Demang Sangkal Putung. Mereka ingin segera sampai
ke tempat tujuan, setelah perjalanan mereka terganggu beberapa lamanya. Dan
mereka pun menyadadari bahwa mereka akan bermalam di perjalanan. Tetapi bagi
mereka, bermalam di mana pun juga bukan merupakan persoalan lagi, karena mereka
sudah membiasakan diri bertualang, selain Ki Demang Sangkal Putung. Kiai
Gringsing bersama rombongan kecilnya itu pun segera meninggalkan gardu yang
ternyata dipimpin oleh Ki Wanakerti itu. Beberapa orang pengawal memandang
mereka dengan hati yang berdebar-debar. Hampir saja timbul salah paham di
antara mereka. Jika terjadi sesuatu, maka Ki Wanakerti tentu akan sangat marah
kepada mereka. Tetapi ketika Ki Wanakerti sempat berceritera tentang Kiai Gringsing
dan rombongan kecilnya, maka para pengawal itu hanya dapat mengusap dadanya.
Nama Kiai Gringsing memang pernah mereka dengar. Tetapi mereka tidak berpikir
jauh. Seandainya terjadi sesuatu, bukan Ki Wanakerti marah kepada mereka,
tetapi Ki Wanakerti akan merenungi mayat-mayat mereka yang berserakan seperti
mayat penyamun itu.
“Jadi mereka
itulah yang disebut orang-orang bercambuk itu, Ki Wanakerti?” bertanya seorang
pengawal.
“Ya. Bukankah
kalian melihat senjata orang-orang itu adalah hanya sehelai cambuk.”
“Tetapi cambuk
itu mampu membunuh. Mampu membelah lambung.”
“Itulah
keahlian mereka. Cambuk itu berkarah besi baja yang tipis, hampir tidak
terlihat. Jika mereka menghendaki, maka tarikan yang khusus dari permainan
cambuknya akan menyobek daging. Tetapi jika mereka tidak menghendaki, maka
dengan cara yang hanya dapat dipelajari dalam waktu yang lama, maka bekas
lukanya pun seakan-akan tidak lebih parah dari lecutan cambuk gembala kambing.”
Para prajurit
Mataram itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Itulah agaknya yang membuat
luka-luka yang berbeda-beda pada para penyamun itu pada tubuh mereka. Ternyata
bahwa Kiai Gringsing dan kedua muridnya benar-benar menguasai permainan cambuk
mereka dengan baik. Dalam pada itu, maka Ki Wanakerti pun segera memerintahkan
pengawal-pengawal itu untuk menyelenggarakan mayat para penyamun yang terbunuh.
Tetapi sehubungan dengan keterangan Kiai Gringsing bahwa masih ada seorang yang
perlu mendapat perhatian, orang yang menyebut dirinya panembahan tidak bernama
itu, maka Ki Wanakerti pun telah membagi anak buahnya menjadi dua kelompok.
Yang separo tinggal di gardu dan yang lain pergi ke bekas arena perkelahian itu
untuk mengubur mayat-mayat yang masih berhamburan.
Sementara itu,
Kiai Gringsing bersama kedua muridnya, Ki Demang Sangkal Putung, dan Ki
Sumangkar, telah menjadi semakin jauh terbenam ke dalam hutan yang lebat
meskipun tidak begitu luas. Namun mereka masih harus melintasi hutan yang lebih
besar lagi, yaitu Alas Mentaok yang sedang dibuka untuk menjadi suatu daerah
yang ramai dan dinamai Mataram di bawah pimpinan Raden Sutawijaya. Tetapi
pembukaan hutan itu tidak dapat berlangsung secepat dikehendaki oleh
orang-orang Mataram. Banyak rintangan yang harus dihadapi. Namun satu demi satu
rintangan-rintangan itu dapat di atasinya. Ketika malam tiba, Kiai Gringsing
dan rombongan kecilnya masih belum menyeberangi Kali Praga. Mereka sengaja
bermalam di sebelah Timur sungai di sebuah padang perdu tidak begitu jauh lagi
dari tepian. Setelah mengikat kuda-kuda mereka, maka mereka pun mencari tempat
yang baik dan tidak berbahaya, karena kadang-kadang ular banyak berkeliaran di
padang perdu. Tetapi karena di dekat Kali Praga, tanahnya berpasir, maka
agaknya ular tidak begitu senang tinggal di daerah itu.
“Bagaimana
kita besok menyeberang?” bertanya Swandaru kepada Kiai Gringsing.
“Kita bergeser
sedikit ke Selatan. Di jalur jalan perdagangan antara sebelah Barat dan sebelah
Timur sungai itu pasti terdapat tempat penyeberangan.”
“Jalur jalan
yang mana yang Guru maksud?” bertanya Swandaru pula.
“Sudah sejak
beberapa waktu yang lalu, hubungan antara daerah di sebelah Barat dan di
sebelah Timur berlangsung dengan ramainya. Meskipun pada waktu-waktu yang
lampau, pusat perdagangan di sebelah Timur Kali Praga berpusat di ujung
Selatan, di daerah Kademangan Mangir dan sekitarnya. Kemudian daerah Pliridan
yang lewat jalur yang agak sulit menghubungkan daerah itu dengan daerah
Prambanan lewat jalan Selatan, dan yang akhir-akhir ini mulai ramai pula jalan
tembus di Hutan Tambak Baya dan Hutan Mentaok. Namun yang kemudian terhenti
karena para penyamun itu.”
Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Agung Sedayu pun bertanya,
“Apakah hanya
ada sebuah tempat penyeberangan?”
“Tentu tidak.
Di musim kering, kita dapat menyeberang tanpa perahu meskipun agak berbahaya di
daerah yang agak ke Utara. Tetapi lebih baik kita menyeberang di daerah
penyeberangan itu dengan getek. Apalagi kini kita membawa beberapa ekor kuda.”
Kedua
anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Bagi Sumangkar, jalan ke
Menoreh itu sama sekali tidak menjadi persoalan. Ia sudah sering menyeberangi
sungai-sungai yang besar di sebelah Timur, dan ia pun pernah juga menyeberangi
Sungai Praga bersama Sekar Mirah seperti juga Agung Sedayu dan Swandaru. Namun
pada saat itu mereka memang tidak membawa kuda.
Namun bagi Ki
Demang, menyeberangi Kali Praga itu masih juga menjadi pikirannya. Tetapi
untunglah bahwa bukan musimnya Kali Praga menjadi besar dan apalagi banjir. Malam
itu mereka bermalam di sebelah Kali Praga. Ternyata tempat itu merupakan tempat
yang tenang dan tidak berbahaya sama sekali. Meskipun demikian, mereka tidak
kehilangan kewaspadaan. Berganti-ganti mereka berjaga-jaga. Meskipun tampaknya
tempat itu tidak berbahaya, tetapi tidak seorang pun yang mengetahui apa yang
tersembunyi di balik dedaunan dan pepohonan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar