Jilid 069 Halaman 2


Di setengah malam pertama, Kiai Gringsing mendapat giliran bersama Swandaru, sedang di setengah malam kedua Ki Sumangkar berjaga-jaga bersama Agung Sedayu dan Ki Demang Sangkal Putung. Ketika fajar menyingsing di Timur, mereka pun segera berkemas. Mereka membersihkan diri di Kali Praga dan kemudian menyusur ke Selatan.

Semakin dekat dengan laut Selatan, maka Kali Praga itu tampaknya menjadi semakin lebar dan dalam. Airnya tidak mengalir deras lagi. Tetapi rasa-rasanya sungai itu menjadi bertambah garang. Karena masih terlampau pagi, maka belum banyak orang yang menyeberang di seberangan Kali Praga itu. Tetapi sudah ada satu dua getek yang menyusur tepian sebelah-menyebelah.
Kiai Gringsing dan kawan-kawannya pun kemudian memanggil sebuah getek untuk menyeberang. Mereka berlima dan kuda-kuda mereka. Mula-mula pemilik getek itu dan seorang kawannya tampak ragu-ragu. Bahkan kawannya itu hampir saja tidak bersedia. Namun Kiai Gringsing dengan hati-hati mencoba memberikan kesan, bahwa mereka adalah orang-orang yang sedang dalam perjalanan yang jauh.
“Apakah tidak pernah ada orang berkuda menyeberang sungai ini?” bertanya Kiai Gringsing.
“Ada juga, Ki Sanak. Tetapi akhir-akhir ini kami melihat kesibukan yang meningkat di Mataram. Para pengawal menjadi terlampau sibuk. Beberapa orang kadang-kadang tampak mengawasi tempat ini. Bahkan kadang-kadang mereka duduk hampir sehari penuh di tepian.”
“Apakah salahnya?”
“Tidak apa-apa, Ki Sanak. Tetapi jika kami menyusur sungai ini lebih ke Selatan. Maka kami melihat kesibukan yang serupa. Tetapi bukan pengawal dari Mataram. Mereka adalah pengawal dari kademangan di tlatah Mangir.”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Apakah terjadi sedikit ketegangan antara Mataram yang sedang tumbuh ini dengan Mangir?
Tetapi Kiai Gringsing tidak bertanya lebih lanjut. Ia pura-pura tidak memperhatikan persoalan pengawal dari Mataram dan pengawal-peengawal Kademangan Mangir.
“Ki Sanak,” berkata pemilik getek itu,
“ternyata bukan saja di sebelah Timur sungai. Tetapi di sebelah Barat sungai ini pun tampak kegiatan para pengawal yang meningkat. Sebelumnya kami hampir tidak pernah melihat seorang pengawal pun dari Tanah Perdikan Menoreh yang sampai ke tepian Kali Praga. Tetapi kini sekali dua kali kami melihat pengawal-pengawal berkuda seakan-akan mengawasi daerah penyeberangan ini.
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Betapa hatinya berdebaran, namun sama sekali tidak berkesan apa pun di wajahnya. Bahkan ia masih juga bertanya,
“Jadi di sebelah Barat sungai ini, sudah termasuk daerah kekuasaan Tanah Menoreh.”
“Ya. Tanah Perdikan Menoreh terbentang dari ujung Selatan sampai ke Utara. Agak panjang, meskipun tidak terlampau melebar ke Barat. Namun Tanah Perdikan Menoreh, termasuk daerah yang luas. Tetapi di dalam daerah yang luas itu, beberapa bagian terdiri dari bukit-bukit yang tandus, meskipun bagian yang lain adalah dataran yang subur.”
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ia sebenarnya sudah memahami daerah Tanah Perdikan Menoreh itu. Bukit-bukit yang keras membentang ke Utara. Namun di sebelah Timur dari bukit-bukit padas itu adalah tanah yang subur.
“Ki Sanak,” bertanya Kiai Gringsing kemudian,
“apakah dengan demikian berarti kegiatan perdagangan lewat daerah penyeberangan ini menjadi susut?”
“Tidak,” pemilik getek itu menggeleng,
“tetapi aku kenal hampir semua pedagang yang sering lewat daerah ini. Aku mengenal mereka seorang demi seorang dengan baik. Dan kami memang agak ragu-ragu melihat Ki Sanak serombongan kecil ini, karena Ki Sanak bukan pedagang-pedagang yang kami kenal itu. Apalagi ujud dan sikap kalian memang bukan sikap yang sering kami jumpai di dalam penyeberangan ini.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ternyata para pemilik getek di daerah penyeberangan ini mempunyai pandangan yang tajam terhadap orang-orang yang lewat.
“Mereka setiap hari melihat orang-orang yang kemudian mereka kenal itu menyeberang. Bahkan sikap dan kebiasaan mereka. Mungkin barang-barang yang mereka bawa,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya.
“Ki Sanak,” katanya kemudian,
“sebaiknya Ki Sanak tidak ragu-ragu. Kami memang orang-orang yang jarang sekali lewat daerah ini. Tetapi bukan berarti bahwa kami tidak pernah sama sekali lewat. Mungkin kecurigaan Ki Sanak atas kami beralasan. Namun sebenarnyalah kami adalah orang-orang yang ingin berkunjung kepada sanak saudara kami yang kebetulan tinggal di Menoreh. Di Tanah Perdikan Menoreh.”
Pemilik getek itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak mereka merenung. Namun kemudian pemilik getek itu mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Baiklah. Marilah Ki Sanak naik.”
Kiai Gringsing dan kedua muridnya, Ki Sumangkar dan Ki Demang Sangkal Putung pun kemudian naik ke atas getek bersama dengan kuda-kuda mereka. Sejenak kemudian maka getek itu pun mulai bergerak dan melintas arus Kali Praga yang tidak begitu deras.
Di tengah-tengah sungai, Kiai Gringsing masih sempat juga bertanya,
“Apakah Ki Sanak pernah mendapat kesulitan dari orang-orang yang menyeberang?”
Tukang getek itu tidak segera menyahut. Dipandanginya wajah kawan-kawannya sejenak. Tampaklah keragu-raguan membayang di tatapan mata mereka. Namun pemilik getek itu akhirnya menjawab,
“Pada umumnya tidak, Ki Sanak.”
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Kemudian katanya pula,
“Aku dapat menangkap keteranganmu. Pada umumnya memang tidak. Tetapi dengan demikian kadang-kadang kau pernah juga mendapat kesulitan itu.”
Dengan ragu-ragu orang itu mengangguk.
“Apakah yang pernah terjadi?” bertanya Kiai Gringsing pula.
“Jika Ki Sanak tidak berkeberatan, aku ingin mendengar ceritera dan pengalaman Ki Sanak selama menjadi tukang getek ini.”
Orang itu mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak segera menjawab.
“Ki Sanak,” berkata Kiai Gringsing,
“aku memang orang yang jarang sekali menyeberang. Karena itu aku dan kawan-kawanku ingin berhati-hati, barangkali tiba-tiba saja kami dihadapkan pada suatu persoalan yang tidak kami duga-duga sebelumnya.”
Tukang satang itu menelan ludahnya. Namun kemudian katanya,
“Tidak banyak kesulitan yang pernah aku alami di sini. Hanya memang pernah terjadi, seorang penumpang getek ini berbuat kasar terhadap penumpang yang lain. Bahkan merampas segala barang-barang yang mereka bawa.”
“O, mereka adalah penyamun.”
“Ya. Mereka telah menyamun semua barang-barang milik para penumpang. Bahkan salah seorang telah mereka lukainya.”
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Dan Ki Sumangkar yang selama itu mendengarkan ceritera itu pun bertanya,
“Ki Sanak saat itu menyeberangkan para penumpang itu dari sisi Timur ke Barat atau sebaliknya.”
“Aku membawa mereka dari sisi Barat ke Timur. Begitu getek kami merapat di tepian, orang itu pun segera meloncat dan lari menghilang di dalam semak-semak. Kami sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa. Apalagi orang itu bersenjata.”
Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi Agung Sedayu masih bertanya,
“Apakah penyamun itu hanya seorang? Dan berapa orangkah yang telah dirampas barangnya?”
“Ya. Penyamun itu hanya seorang. Waktu itu semua penumpang getek ini adalah enam orang.”
“Semuanya laki-laki?”
“Ya, Semuanya laki-laki. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Seorang yang lambat memberikan barang-barangnya telah dilukainya dengan senjatanya itu.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi menurut dugaannya orang itu adalah penyamun biasa. Bukan golongan orang-orang yang mendapat tugas untuk memagari Mataram. Meskipun demikian kemungkinan itu pun dapat juga terjadi, betapa pun kecilnya. Sejenak kemudian mereka pun tidak lagi berbicara untuk beberapa saat. Swandaru duduk dibibir getek sambil memandangi air yang berwarna coklat keputih-putihan. Sekali-sekali tanpa disadarinya tangannya menyentuh air yang agak keruh itu. Namun tiba-tiba saja terasa bulu-bulunya meremang ketika ia melihat sesuatu yang hanyut di dalam air yang keruh itu. Tidak terlalu cepat, karena arus air Kali Praga semakin dekat dengan muaranya menjadi semakin lamban, sekali-sekali tampak sesuatu itu mengambang di atas air, namun sekali-sekali hilang di bawah permukaan.
“Guru,” terdengar suaranya bergetar, “Lihat.”
Semua orang berpaling ke arahnya.
“Lihat,” ia mengulangi sambil menunjuk kepada benda yang terapung itu.
“Uh,” Ki Demang berdesah, sementara Agung Sedayu mengerutkan keningnya.
“Apakah hal itu sering terjadi?” bertanya Kiai Gringsing kepada tukang getek itu.
Tetapi wajah tukang getek itu pun menjadi tegang. Jawabnya,
“Akhir-akhir ini kadang-kadang memang terdapat mayat yang hanyut di Kali Praga. Dua hari yang lalu, kami melihatnya pula.”
“Sebelum dua hari yang lalu, apakah hal yang serupa pernah terjadi?”
Tukang getek itu menggelengkan kepalanya. Tetapi ia berkata,
“Hampir sebulan yang lalu. Tetapi aku tidak melihatnya sendiri.”
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Tetapi berbagai pertanyaan menyentuh dasar hatinya.
“Apakah mungkin pula penyamun seperti yang pernah terjadi di sini?” desis Agung Sedayu. Tetapi tiba-tiba saja ia bertanya,
“Apakah di sebelah Utara terdapat pula tempat penyeberangan?”
“Ya, tetapi agak jauh.”
“Apakah mungkin mayat-mayat itu hanyut dari tempat itu?”
Pemilik getek itu tidak menyahut. Tetapi dilayangkannya tatapan matanya menyusur sungai yang panjang dan luas itu.
“Jika pada suatu ketika hal itu menjalar kemari,” tukang getek yang lain bergumam,
“kami akan kehilangan mata pencaharian, karena tidak ada lagi orang yang mau menyeberang.”
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun kemudian ia bertanya,
“Apakah mayat itu dibiarkannya saja hanyut?”
“Apakah yang dapat kita lakukan?”
“Apakah tidak ada yang mengambilnya dan menguburkannya baik-baik.”
Pemilik getek itu merenung sejenak, lalu,
“Ada juga niat kami melakukannya. Tetapi kami tidak tahu sebab kematian orang itu. Bagaimana jika ada penyakit yang menular?”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Bahkan Swandaru pun ikut mengangguk-angguk pula. Ternyata para tukang getek di Kali Praga itu pun sudah mempunyai pertimbangan yang jauh. Sambil memandangi mayat yang terapung-apung itu, Agung Sedayu berkata pula,
“Memang ada juga bahayanya jika terjadi ada penyakit menular di padukuhan-padukuhan sebelah-menyebelah sungai ini. Tetapi apakah mungkin seseorang yang meninggal karena penyakit menular dilemparkan begitu saja ke dalam sungai?”
“Tentu kami tidak mengetahui dengan pasti. Tetapi kemungkinan itu memang ada. Orang-orang yang terkena penyakit menular kadang-kadang diasingkan sehingga tidak ada orang yang mengurusinya. Mungkin ia mati selagi ia berada di tepi sungai ini, atau sebab-sebab yang lain, sehingga ia terjerumus masuk ke dalamnya.”
Agung Sedayu masih mengangguk-angguk meskipun rasa-rasanya masih saja ia ingin mendengar penjelasan orang itu. Namun demikian ia tidak bertanya lagi. Tetapi dalam pada itu Kiai Gringsinglah yang bertanya,
“Ki Sanak. Memang mungkin penyakit menular itu menghantui kalian di sini. Tetapi apakah ada alasan lain daripada penyakit menular itu?”
Pemilik getek itu menggelengkan kepalanya. Katanya,
“Tidak. Tidak ada alasan apa pun.”
Kiai Gringsing memandanginya dengan tajamnya, lalu,
“Ki Sanak. Aku minta maaf kalau kali ini aku salah menebak. Tetapi menurut dugaanku, memang ada persoalan lain yang membuat kalian di sini ragu-ragu untuk mengambil mayat-mayat itu.” Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu,
“Menurut dugaanku, kalian selain takut akan kemungkinan penyakit menular itu kalian juga takut terlibat pada suatu tindakan kejahatan apabila kalian mengambil mayat itu, karena kalian menduga bahwa di bagian atas dari padukuhan di pinggir sungai ini telah terjadi kerusuhan. Agar kalian tidak terseret dalam suatu persoalan yang kalian tidak tahu-menahu, maka kalian lebih baik sama sekali tidak campur tangan. Bukankah begitu?”
Pemilik getek itu mengerutkan keningnya. Sejenak ia diam mematung. Namun sejenak kemudian ia berkata dengan suara gemetar,
“Tidak. Tidak. Aku tidak mengatakan begitu.”
“Tetapi apakah kau menganggap bahwa tidak ada perasaan itu di dalam hatimu?”
Pemilik getek itu tidak segera menyahut. Namun kemudian ia berkata, “Kita sudah sampai.”
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Mereka memang sudah sampai di seberang.
“Terima kasih,” berkata Kiai Gringsing,
“kami akan melakukan perjalanan di daerah Menoreh. Tetapi beritahukan kepada kami, apakah pernah kau lihat sesuatu terjadi di daerah ini? Misalnya kekerasan dan semacamnya yang dapat kau lihat dari getekmu?”
Orang itu menggelengkan kepalanya. Katanya, “Tidak.”
“Benar?”
Orang itu memandang ke sekitarnya. Rasa-rasanya ada sesuatu yang membayangi perasaannya. Namun kemudian ia berkata,
“Tidak. Tidak ada sesuatu yang pernah terjadi. Daerah itu diawasi dengan saksama oleh para pengawal Tanah Perankan Menoreh. Seperti yang aku katakan, setiap kali ada peronda yang lewat di daerah ini.”
“Terima kasih,” sahut Kiai Gringsing.

Setelah memberikan upah penyeberangannya, maka mereka berlima pun naik ke tepian sebelah Barat sambil menuntun kuda mereka. Kemudian setelah mereka berada di tempat yang datar, mereka pun segera melanjutkan perjalanan mereka di atas punggung kuda. Jalan yang mereka lalui adalah jalan yang rata. Berbeda dengan perjalanan mereka selama di hutan Tambak Baya dan Mentaok, mereka pun tidak menemui hambatan-hambatan. Kuda-kuda mereka dapat berlari meskipun tidak terlalu kencang karena berbagai macam pertimbangan. Agar tidak menumbuhkan kecurigaan mereka berusaha untuk tidak menarik perhatian dan berbuat sesuatu yang asing.
“Daerah ini masih tetap subur dan tenang,” berkata Swandaru.
“Ya. Seperti ketika kita meninggalkannya,” sahut Agung Sedayu.
“Tetapi ada juga bedanya,” berkata Kiai Gringsing,
“ternyata Menoreh menganggap perlu meningkatkan pengawasannya di sepanjang Kali Praga. Tentu hal itu dilakukannya bukan tanpa alasan.”
Ki Sumangkar lah yang menyahut,
“Ya. Tentu ada alasannya. Tetapi menurut pendapatku, hal itu bukan timbul karena persoalan yang terjadi di Menoreh sendiri.”
“Ya. Aku sesuai. Menoreh tidak mau menjadi tempat pelarian, atau alas dan sarang dari orang-orang yang menjadi buruan di Mataram dengan berbagai alasan,” sahut Kiai Gringsing.
“Itulah alasan yang tepat,” Ki Demang yang selama itu berdiam diri itu menyahut,
“aku pun sama sekali tidak akan membiarkan daerahku menjadi tempat persembunyian orang-orang buruan dari tlatah di sekitar Sangkal Putung.”
“Yang menjadi persoalan kemudian,” berkata Kiai Gringsing,
“apakah Menoreh sudah mencium persoalan orang-orang yang berusaha memagari Mataram, atau Menoreh sendiri tidak senang melihat Mataram berkembang.”
“Tentu bukan,” Swandaru lah yang menyahut.
“Menoreh tidak akan mengambil sikap demikian.”
Kiai Gringsing memandang Swandaru sejenak. Namun ia pun kemudian tersenyum. Katanya,
“Tentu. Ki Gede Menoreh tidak akan mengambil sikap demikian. Ki Gede Menoreh adalah orang yang berjiwa besar. Apalagi ia yakin akan perkembangan daerahnya sendiri. Tetapi Ki Gede Menoreh tidak berdiri sendiri.”
“Maksud Guru orang-orang yang ada di sekitarnya? Pembantunya atau pelaksana di padukuhan-padukuhan apalagi yang jauh dari padukuhan induk?”
Kiai Gringsing memandang Swandaru sejenak. Kemudian kepalanya terangguk kecil sambil menjawab,
“Semuanya baru merupakan dugaan. Mungkin benar dan mungkin sama sekali tidak benar. Seperti di Pajang, ada perwira-perwira yang dengan keras menentang perkembangan Mataram, sedang yang lain masih dapat menilai keadaan dengan tenang.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Desisnya,
“Memang mungkin.”
“Orang-orang di sebelah sungai ini mempunyai kepentingan langsung dengan perkembangan Mataram,” berkata Ki Sumangkar kemudian.
“Ada yang merasa beruntung apabila di seberang Timur sungai menjadi ramai. Tetapi ada yang merasa disaingi. Semula orang-orang di sebelah Selatan Alas Mentaok mengambil bahan-bahan keperluan sehari-hari di sebelah Barat Kali Praga. Tetapi jika Alas Mentaok sudah menjadi ramai dan menjadi sumber bahan-bahan yang serupa, maka hal itu akan menjadi persaingan yang berat bagi daerah seberang sungai. Orang-orang di sekitar Alas Mentaok tidak perlu lagi menyeberangi Kali Praga untuk mendapat bahan keperluannya yang sebelumnya harus dibelinya dari daerah Menoreh.”
“Tetapi tentu bukan atas persetujuan Ki Gede Menoreh,” sahut Swandaru.
“Tentu tidak,” berkata Sumangkar selanjutnya,
“dan sikap itu adalah sikap yang mencerminkan kekerdilan pikiran. Tetapi ada saja orang yang berpikiran kerdil serupa itu.”
Swandaru merenung sejenak. Tetapi ia tidak segera menjawab.
“Tetapi,” Kiai Gringsing-lah yang berbicara kemudian,
“orang-orang yang mempunyai pandangan jauh justru akan menyambut perkembangan Mataram dengan senang hati, karena perkembangan Mataram tentu akan menumbuhkan kemungkinan-kemungkinan baru meskipun ada juga persaing-an yang akan timbul. Tetapi Mataram pasti memerlukan banyak hal yang tidak dapat dihidupinya sendiri, sehingga harus ada hubungan timbal-balik yang saling menguntungkan dengan daerah di sekitarnya. Jika Mataram akan membuka tanah pertanian yang luas, sehingga mereka tidak memerlukan padi dari Menoreh, namun Mataram harus mengambil ternak dan barangkali barang pecah belah, jembangan, kendi, mangkuk, dan gerabah lainnya.”

Swandaru mengangguk-angguk. Bahkan Agung Sedayu dan Ki Demang pun mengangguk-angguk pula. Mereka dapat mengerti, bahwa goncangan yang dapat timbul karena lahirnya daerah baru itu, apabila tidak dilandasi dengan prasangka, akan tidak menumbuhkan pengaruh buruk. Bahkan apabila kedua belah pihak berbuat dengan jujur, maka akan dapat menimbulkan hubungan yang menguntungkan.
“Tetapi apakah hubungan yang demikian dapat dijalin antara Mataram dengan Menoreh,” pertanyaan itu masih juga sering timbul. Apalagi pertanyaan yang serupa,
“Bagaimana dengan Pajang?”
Sejenak kelima orang berkuda itu saling berdiam diri. Matahari yang menjadi semakin tinggi memancarkan cahayanya yang cerah di langit yang bersih. Di hadapan mereka terbentang tanah persawahan yang subur dan luas. Tetapi sebentar lagi, di seberang Kali Praga itu pun akan terdapat tanah persawahan yang serupa. Dalam pada itu, ternyata perjalanan mereka telah menarik perhatian beberapa orang petani yang sedang bekerja di sawah. Meskipun mereka sering juga melihat orang-orang berkuda yang lewat jalan itu, tetapi kelima orang berkuda yang lewat itu pasti bukan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Meskipun demikian, para petani itu segera tidak menghiraukannya lagi. Bukan hal yang aneh jika orang-orang itu adalah orang-orang yang sekedar melintas, atau seandainya mereka ingin berkunjung kepada sanak kadangnya yang tinggal di Menoreh pun, bukannya suatu hal yang mengherankan. Namun demikian, rasa-rasanya ada juga pertanyaan yang tumbuh di hati mereka sehubungan dengan perkembangan keadaan terakhir. Terutama di seberang Kali Praga yang sedang tumbuh menjadi suatu negeri yang ramai. Kiai Gringsing bersama rombongan kecilnya berkuda di sepanjang bulak yang panjang. Meskipun tidak terlalu cepat tetapi kuda mereka itu pun berlari, sehingga mereka tidak memerlukan waktu yang terlalu lama untuk mencapai kademangan induk Tanah Perdikan Menoreh.
“Apakah perjalanan ini masih panjang?” bertanya Ki Demang.
“Kita mengharap sebelum tengah hari kita sudah akan sampai,” jawab Kiai Gringsing,
“asal tidak ada gangguan apa pun di perjalanan.”
Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Dalam pada itu, ia pun memperhatikan daerah yang masih agak asing baginya, meskipun ia pernah lewat sepintas ketika ia masih muda. Hanya lewat daerah ini ketika ia sedang menempuh perjalanan yang jauh bersama ayahnya dahulu, ketika ayahnya mengunjungi orang yang sangat dihormati di sebelah Barat pegunungan Menoreh. Orang itu adalah kakek ayahnya yang tinggal di lingkungan keluarga neneknya. Karena itulah ia hampir tidak dapat mengenali lagi tlatah Menoreh yang berkembang dengan pesatnya itu. Hutan-hutan menjadi semakin sempit dan jarang. Sedang sawah dan pategalan menjadi semakin luas. Tetapi Menoreh sekarang rasa-rasanya menjadi semakin cantik dengan tanamannya yang hijau terbentang sampai ke kaki pebukitan. Dalam pada itu, Kiai Gringsing dan rombongan kecilnya maju terus. Semakin lama semakin dekat dengan padukuhan induk. Di sepanjang jalan, mereka tidak banyak berbicara tentang apa pun juga. Bahkan tentang perjalanan itu sendiri. Semakin dekat dengan padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh, Swandaru lah yang menjadi semakin berdebar-debar. Bahkan kadang-kadang terlontar pertanyaan di dalam hatinya,
“Apakah Pandan Wangi masih ingat kepadanya?”
“Tentu,” pertanyaan itu dijawabnya sendiri,
“sebagai seorang yang setia, ia tidak boleh mengingkari janji yang pernah diucapkannya.” Ia merenung sejenak, lalu,
“Kecuali jika Ki Gede Menoreh tidak telaten lagi menunggu karena justru Ki Gede lah yang menganggap aku telah ingkar.”

Swandaru mengerutkan keningnya. Dan dipersalahkannya dirinya sendiri. Bahkan gurunya. Ia terlalu lama berada di Alas Mentaok, melayani hantu-hantu yang berkeliaran. Kemudian perkawinan Untara dan segala macam persoalan yang menghambat perjalalannya. Meskipun ia hanya terhambat beberapa saat saja, rasa-rasanya ia benar-benar terganggu. Bukan hanya Swandaru sajalah yang menjadi cemas. Bahkan Kiai Gringsing pun mulai berpikir juga. Pandan Wangi adalah seorang gadis yang mekar. Jika ia menganggap Swandaru terlalu lama melupakannya, dan bahkan ia menganggap bahwa Swandaru tidak akan datang kembali ke Tanah Perdikan Menoreh, maka ia pun tidak terikat lagi.
“Apakah yang akan terjadi jika kini Pandan Wangi telah bersuami?” pertanyaan itu pun tumbuh pula di dalam hati Kiai Gringsing.
Namun demikian mereka berjalan terus. Mereka harus membuktikannya lebih dahulu, apakah memang demikian, atau hal itu hanyalah semata-mata angan-angan mereka saja. Kelima orang itu menjadi termangu-mangu ketika mereka melihat debu yang mengepul di jalan berbatu-batu di hadapan mereka. Beberapa ekor kuda berlari-lari berlawanan arah dengan rombongan kecil itu.
“Para pengawal,” desis Kiai Gringsing.
“Apakah mereka dapat menghalangi perjalanan kita?” bertanya Ki Demang.
“Mungkin tidak. Kita akan berkata berterus terang.”
Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu lagi. Meskipun demikian keningnya berkerut juga ketika para pengawal Tanah Perdikan itu menjadi semakin dekat. Dugaan mereka tentang orang-orang berkuda itu ternyata tepat. Yang datang itu adalah beberapa orang pengawal berkuda. Empat orang. Mereka adalah anak muda yang belum pernah dikenal oleh Kiai Gringsing dan kedua muridnya. Ketika kuda-kuda itu menjadi semakin dekat, seorang pengawal yang ada di paling depan mengangkat tangannya dan sekaligus menarik kekang kudanya, sehingga keempat pengawal itu pun segera berhenti. Demikian pula Kiai Gringsing dan iring-iringan kecilnya pun telah berhenti pula. Anak muda yang agaknya memimpin keempat pengawal itu maju beberapa langkah. Kemudian dengan nada datar ia bertanya,
“Siapakah kalian?”
Kiai Gringsing lah yang menjawab,
“Kami adalah orang-orang Sangkal Putung.”
“Sangkal Putung?” pemimpin pengawal itu mengulang. Agaknya ia belum pernah mendengar nama Sangkal Putung.
“Ya. Sangkal Putung,” sahut Ki Demang,
“apakah Ki Sanak belum pernah mendengarnya?”
Pengawal itu menggelengkan kepalanya. Katanya,
“Aku belum pernah mendengar.”
“Sangkal Putung adalah sebuah kademangan di sebelah Timur Alas Tambak Baya. Masih agak jauh. Masih melintasi daerah Prambanan dan menyeberangi Kali Wedi.”
Anak muda itu menggelengkan kepalanya. Namun kemudian ia berdesis,
“Di seberang Alas Tambak Baya. Bukankah Alas Tambak Baya itu terletak di sebelah Timur Alas Mentaok.”
“Ya,” sahut Swandaru.
“Jadi kalian datang dari jauh?”
“Ya. Kami datang dari jauh.”
“Apakah keperluan kalian.”
Kiai Gringsing lah yang kemudian menyahut,
“Kami akan menghadap Ki Gede Menoreh.”
“Menghadap Ki Gede?” bertanya pemimpin pengawal itu hampir di luar sadarnya.
“Ya, kami adalah sahabat-sahabat Ki Gede Menoreh. Sudah lama kami tidak bertemu. Itulah sebabnya dari jauh kami perlukan datang kepadanya.”

Pemimpin pengawal itu menjadi ragu-ragu. Sejenak ia berpikir. Lalu dengan nada yang masih tetap ragu-ragu ia bertanya,
“Siapakah nama Ki Sanak?”
“Namaku Kiai Gringsing,” jawabnya. Kemudian sambil menunjuk Ki Sumangkar ia pun memperkenalkannya,
“Ini Ki Sumangkar. Kami berdua pernah tinggal di Tanah Perdikan Menoreh beberapa lama bersama kedua anak-anak kami ini. Sedang yang seorang ini adalah Ki Demang di Sangkal Putung.”
“O,” pengawal itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun sebelum ia berkata sesuatu, salah seorang dari pengawal yang masih muda itu mendesak maju sambil berkata,
“Jadi Ki Sanak ini Agung Sedayu dan Swandaru? Dan Kiai ini adalah Kiai Gringsing?”
Kiai Gringsing memandang anak muda itu sejenak. Tetapi ia belum mengenalnya. Ketika ia berpaling kepada Agung Sedayu dan Swandaru, kedua muridnya itu pun menggelengkan kepalanya.
“Tentu kalian tidak mengenal aku,” berkata pengawal yang masih muda itu.
“Aku hanya seorang dari antara sekian banyaknya anak-anak muda Menoreh yang waktu itu ikut bertempur melawan pasukan Sidanti dan guru-nya.”
“O,” Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya,
“saat itu kau sudah ikut?” bertanya Kiai Gringsing kemudian.
“Ya. Aku sudah ikut berlari-lari sambil membawa senjata meskipun di paling belakang. Aku ikut bersama pasukan Ki Gede Menoreh menyingkir dari induk Tanah Perdikan ini. Tentu aku dan orang-orang yang waktu itu ikut di dalam pasukan pengawal Ki Gede Menoreh mengenal Kiai.”
“Tidak semua,” sahut pemimpin pengawal itu,
“aku belum begitu mengenalnya.”
“Kau tidak berada di induk pasukan waktu itu. Kau berjuang di tempat lain dalam kelompok-kelompok kecil.”
Pemimpin pengawal itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Ya. Kami agak terpisah dari induk pasukan dan kami waktu itu harus mengambil sikap sendiri menghadapi Sidanti. Tetapi karena Ki Gede Menoreh tetap bertempur, kami pun tetap berjuang.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya pula sambil berkata,
“Dan kita sekarang bertemu lagi. Sudah cukup lama kami tidak menginjakkan kaki kami di atas Tanah Perdikan ini. Itulah sebabnya kami memerlukan datang untuk sekedar menengok Ki Gede Menoreh.”
Para pengawal itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Pemimpin pengawal itu pun kemudian berkata,
“Jika benar kalian adalah orang-orang yang pernah membantu perjuangan Ki Gede, maka kedatangan kalian pasti akan sangat menyenangkah hatinya di saat-saat seperti ini.”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Dan sebelum ia bertanya Swandaru telah mendahului,
“Kenapa dengan saat seperti ini?”
Pemimpin pengawal itu memandang Swandaru. Sejenak. Lalu jawabnya,
“Sejak pertempuran yang menentukan itu, dan sejak Ki Gede menjadi cacat, kesehatannya berangsur-angsur turun. Meskipun hasrat Ki Gede untuk tetap melaksanakan tugasnya terlampau besar, namun agaknya pertempuran yang terjadi di saat terakhir itu mempunyai akibat yang parah di bagian dalam tubuhnya, sehingga lambat laun, kesehatannya menjadi semakin buruk.”
“O,” Kiai Gringsing mengerutkan keningnya,
“jadi bagaimana dengan Ki Gede sekarang?”
“Ki Gede masih tetap melakukan tugasnya. Tetapi sebenarnyalah ia sudah harus beristirahat,” pengawal itu berkata selanjutnya.
“Selain keadaan kesehatannya, sebenarnyalah usia Ki Gede memang sudah menjadi semakin tua.”
“Belum terlalu tua,” sahut Kiai Gringsing,
“umurnya kira-kira sebaya dengan umurku. Tetapi benturan kekuatan yang terjadi di saat terakhir melawan Ki Tambak Wedi memang sangat berpengaruh. Ternyata Ki Gede tidak dapat sembuh sepenuhnya.”
Pengawal itu mengangguk-angguk. Suaranya menjadi dalam,
“Ya. Dan kedatangan kalian akan membuatnya gembira.”
“Tetapi,” tiba-tiba saja Swandaru menyela,
“apakah tidak ada orang lain yang dapat membantunya?”
“Setiap orang dengan sepenuh hati membantunya. Tetapi, tidak semua orang harus bertanggung jawab atas Tanah Perdikan ini.”
“Maksudku apakah tidak ada anggota keluarganya yang ikut memikul beban tanggung jawab itu. Ki Argajaya misalnya.”

Pengawal itu mengerutkan keningnya. Justru mereka menjadi semakin percaya kepada Kiai Gringsing dan rombongan kecilnya karena ternyata Swandaru mengenal Ki Argajaya pula.
“Tentu Ki Argajaya membantunya,” jawab pengawal itu kemudian,
“tetapi Ki Gede lah yang harus mempertanggung jawabkannya. Dan ia masih tetap melakukannya.”
“Apakah Ki Argajaya benar-benar sudah baik?”
Pengawal itu memandang Swandaru sejenak. Lalu,
“Ya. Ki Argajaya benar-benar sudah menjadi baik. Ia benar-benar menyadari kesalahannya di waktu lampau. Dan kini ia menebus kesalahannya itu dengan kerja, ia telah membuat bendungan dan memperbaiki saluran air hampir di seluruh daerah Tanah Perdikan ini.”
“Sokurlah,” Kiai Gringsing pun berdesis.
“Nah,” tiba-tiba suara pengawal itu meninggi,
“marilah. Kita tidak akan berbicara di tengah jalan begini sampai sehari penuh. Marilah, kami antar kalian menghadap Ki Gede. Akhir-akhir ini Ki Gede jarang keluar.”
“Marilah,” jawab Kiai Gringsing,
“aku pun ingin segera bertemu dengan Ki Gede.”
Kuda-kuda mereka pun segera bergerak. Tetapi sebenarnya masih ada satu soal yang tersangkut di hati Swandaru. Pengawal-pengawal itu sama sekali tidak menyebut anak gadis Ki Gede Menoreh.
“Kenapa?” bertanya Swandaru kepada diri sendiri.
“Mungkin pengawal itu lupa saja menyebut bahwa gadis itu mampu juga membantu ayahnya di dalam menjalankan tugasnya. Karena ia memiliki kelebihan dari gadis-gadis kebanyakan. Atau barangkali gadis itu sudah tidak ada di Tanah Perdikan ini dan pergi mengikuti seseorang di tempat yang lain?”
Dada Swandaru menjadi berdebar-debar. Tetapi ia agak malu untuk menanyakannya. Dan ia mengumpat-umpat di dalam hatinya, kenapa Agung Sedayu juga tidak bertanya sesuatu, apalagi tentang Pandan Wangi. Tetapi Agung Sedayu benar-benar tidak menanyakan tentang sesuatu. Sekali ia memandang wajah Swandaru yang tegang. Namun kemudian ia pun memandang ke kejauhan, memandang pepohonan yang hijau dan burung yang beterbangan di langit. Swandaru pun kemudian mendekatinya sambil menggamit Agung Sedayu ia bertanya,
“He, apakah kau tidak ingin mengetahui tentang sesuatu di Menoreh ini?”
Agung Sedayu memandang Swandaru sesaat. Namun ia pun kemudian mengerti apa yang dimaksudkan oleh anak yang gemuk itu. Sorot matanya yang bagaikan menyala dan wajahnya yang tegang penuh keragu-raguan, namun agak kemerah-merahan. Karena itu justru ia ingin mengganggunya. Sambil menggeleng Agung Sedayu menyahut acuh tidak acuh,
“Tidak. Aku tidak ingin mengetahui apa pun tentang Tanah perdikan Menoreh.”
Swandaru menggeram. Sementara itu kuda-kuda mereka berjalan terus mendekati induk Tanah Perdikan Menoreh.
“Kau tidak ingin bertanya tentang keadaan Ki Gede Menoreh, atau Ki Argajaya atau anak laki-lakinya itu, atau apa pun lainnya?”
Sekali lagi Agung Sedayu menggeleng. Jawabnya masih dengan acuh tidak acuh,
“Tidak ada yang menarik perhatianku di Menoreh. Aku sudah mendengar ceritera tentang Ki Gede, tentang adiknya dan tentang orang-orang di sekitarnya. Apalagi yang ingin aku tanyakan.”
“O, kau memang pemimpi. Ternyata kau tertidur di perjalanan. Kau tidak tahu apa yang sedang terjadi sekarang. Dan kau masih saja terkantuk-kantuk di atas punggung kuda.” Swandaru berhenti sejenak, lalu,
“Bangun, bangunlah Kakang Sedayu. Lihat, kita berada di atas Tanah Perdikan Menoreh.”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Katanya,
“Ya. Aku tahu bahwa kita berada di atas Tanah Perdikan Menoreh. Aku mendengar seluruh percakapan Guru dengan anak-anak muda pengawal Tanah Perdikan itu, aku mendengar semuanya. Justru karena itu aku tidak perlu bertanya lagi. Kaulah yang agaknya tertidur di perjalanan. Dan jika ada yang ingin kau tanyakan kenapa kau tidak bertanya sendiri?”
“Persetan,” Swandaru masih saja menggeram. Tetapi ia tidak menyahut. Namun ketika ia melihat Agung Sedayu tersenyum maka ia pun mendekat semakin rapat dan berbisik,
“Awas jika kelak kita kembali ke Sangkal Putung. Kau akan mengalami nasib yang jelek.”

Agung Sedayu tidak dapat menahan hati lagi. Betapa pun juga ia menahan, namun ia pun tertawa pula. Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Demang berpaling mendengar suara tertawa Agung Sedayu yang tertahan-tahan. Sekilas mereka melihat wajah Swandaru yang buram, namun mereka tidak bertanya sesuatu karena mereka tahu bahwa Agung Sedayu sedang mengganggu Swandaru. Mereka semakin lama menjadi semakin dekat dengan induk Tanah Perdikan Menoreh. Sedang hati Swandaru pun menjadi semakin berdebar-debar karenanya. Ketika mereka lewat di jalan berdebu tidak jauh dari sebuah hutan sempit yang menjadi salah satu daerah perburuan, hati Swandaru bergetar. Bahkan di luar sadarnya ia berkata kepada diri sendiri,
“Apakah Pandan Wangi masih sering berburu. Di hutan itulah ia kadang-kadang berburu. Tetapi kadang-kadang di hutan yang membujur di ujung Selatan dari Tanah Perdikan ini. Jika ia berburu di hutan itu, dan kebetulan melihat iring-iringan ini, ia pasti akan mendekat.”
Tetapi ternyata tidak ada seorang pun yang tampak keluar dari hutan itu. Pepohonan yang hijau bagaikan membeku. Bahkan angin pun seolah-olah telah berhenti bertiup.
“Sepi,” desah Swandaru di dalam hatinya. Namun, katanya kemudian,
“Hutan itu tidak hanya seluas sepatok sawah. Jika ia berada di tengah-tengah atau bahkan di sisi seberang, ia tentu tidak akan melihat iring-iringan ini.”
Tetapi Swandaru tidak mengatakannya kepada siapa pun. Ketika ia melihat Agung Sedayu memandang ke kejauhan tanpa berkedip, ia pun mengumpat di dalam hatinya. Tetapi Agung Sedayu tidak menghiraukannya. Ia mengagumi perkembangan Tanah Perdikan Menoreh. Yang dilihatnya kini jalur-jalur air yang lebih baik dari yang pernah dilihatnya dahulu. Sawah pun rasa-rasanya menjadi semakin subur dan luas. Ia tidak melihat lagi padang perdu yang kering di pinggir hutan. Namun padang perdu itu telah menjadi tanah pategalan dan padang-padang alang-alang pun sudah menjadi sawah. Hutan rasanya menjadi sempit, dan lereng pegunungan menjadi hijau. Ternyata Tanah Perdikan ini menyimpan banyak sekali kemungkinan. Jika Mataram kelak berkembang, daerah ini pun akan berkembang juga. Mataram dan Menoreh akan dapat saling mencukupi kebutuhan. Betapa pun juga, Mataram akan menjadi negeri yeng ramai, yang memerlukan banyak sekali kebutuhan-kebutuhan yang tidak dapat dicukupinya sendiri. Tanah perluasan dari Alas Mentaok yang ditebanginya tentu tidak akan dapat menjadi tanah persawahan yang cukup luas untuk menampung kebutuhan orang-orang yang mengalir membanjiri negeri itu. Kebutuhan akan ternak, kain tenun, dan alat-alat kebutuhan sehari-hari pasti harus didatangkan dari daerah di sekitarnya. Dan Menoreh akan dapat menampung kebutuhan-kebutuhan itu, di samping daerah-daerah yang lain. Kademangan Mangir, Prambanan, dan bahkan mungkin sampai juga ke daerah Jati Anom dan Sangkal Putung.
Agung Sedayu terkejut ketika terasa pundaknya digamit oleh Swandaru. Ketika ia berpaling, Swandaru berkata,
“Apakah kau masih ingat bahwa hutan itu merupakan hutan perburuan?”
“Ya,” sahut Agung Sedayu.
Swandaru mengerutkan keningnya. Jawab Agung Sedayu ternyata terlampau pendek. Karena itu maka Swandaru lah yang kemudian berkata pula,
“Orang-orang Menoreh senang sekali berburu.”
“Ya. Orang-orang Menoreh suka sekali berburu,” jawab Agung Sedayu pendek.

Swandaru menggeram. Tetapi ia tidak berkata apa pun juga. Ia tahu Agung Sedayu sengaja mengganggunya. Meskipun Agung Sedayu tahu bahwa Swandaru ingin mempercakapkan seorang gadis Menoreh yang suka berburu, tetapi Agung Sedayu dengan sengaja tidak menanggapinya. Swandaru pun kemudian terdiam. Tetapi sekali-sekali ia masih memandang wajah Agung Sedayu. Wajah yang sangat menjengkelkan sekali, karena terbayang senyum kecil di bibirnya. Tetapi Swandaru pun pura-pura tidak menghiraukannya lagi. Dipercepatnya kudanya meninggalkan Agung Sedayu, melampaui gurunya dan Ki Sumangkar serta Ki Demang Sangkal Putung. Katanya,
“Aku ingin berbicara dengan para pengawal yang di depan itu.”
Kiai Gringsing menganggukkan kepalanya sambil menyahut,
“Berbicaralah. Kau tentu akan banyak bertanya tentang tanah ini.”
Swandaru tersenyum. Tetapi ketika ia berpaling dan dilihatnya Agung Sedayu tertawa, maka senyumnya pun segera lenyap dari bibirnya. Sejenak kemudian Swandaru telah berkuda di antara para pengawal yang masih sangat muda itu. Mereka asyik berbicara tentang Tanah Perdikan Menoreh. Tentang Ki Gede dan keluarganya. Tetapi seperti ketika ia bercakap-cakap dengan Agung Sedayu, maka para pengawal itu pun sama sekali tidak menyinggung Pandan Wangi.
“Kenapa sebenarnya dengan Pandan Wangi?” bertanya Swandaru di dalam hatinya.
“Tidak seorang pun yang menyebutkan namanya. Apakah ia sudah tidak berada di Tanah Perdikan ini lagi?”
Tetapi ia masih tetap malu untuk bertanya tentang gadis itu. Mereka menjadi semakin dekat, dan dada Swandaru pun menjadi semakin berdebar-debar. Bahkan kemudian timbul kecemasan di dalam hatinya bahwa kunjungannya bersama ayahnya kali ini justru akan menumbuhkan kekecewaan yang amat sangat. Ketika mereka memasuki daerah induk Tanah Perdikan, maka Swandaru telah berada di samping Agung Sedayu. Sekali-sekali dilihatnya orang-orang Menoreh yang bekerja di sawah dan ladang, berhenti bekerja sejenak untuk memperhatikan iring-iringan itu. Tetapi karena tampaknya bahwa para pengawal tidak bersiaga, mereka pun tidak mencurigai orang-orang berkuda yang memasuki induk tanah mereka. Sebenarnya bukan saja Swandaru yang menjadi berdebar-debar ketika mereka memasuki induk Tanah Perdikan. Kiai Gringsing dan Sumangkar pun menjadi berdebar-debar pula. Sudah cukup lama mereka tidak bertemu dengan Ki Gede Menoreh yang ketika ditinggalkan dalam keadaan yang masih belum pulih kembali. Ki Demang pun menjadi berdebar-debar justru karena ia belum pernah bertemu dengan Ki Gede Menoreh dan ketika sekali ia datang, ia telah membawa suatu keperluan yang penting.
Sebagai seorang pemimpin di daerahnya, Ki Demang merasa kagum juga melihat tata susunan Tanah Perdikan Menoreh. Meskipun Sangkal Putung tidak kalah subur dan hijau, namun Menoreh memiliki ragam yang lebih banyak dari Sangkal Putung. Menoreh masih mempunyai daerah hutan yang lebat di lereng-lereng bukit, tetapi juga hutan-hutan perburuan yang lebih kecil. Pegunungan yang seakan-akan memagari Tanah Perdikan yang besar ini. Lebih besar dari Sangkal Putung, meskipun sebagian merupakan daerah yang tandus dan berbatu-batu padas.
Ki Demang mengerutkan keningnya ketika ia melintasi regol induk kademangan. Dilihatnya beberapa orang Menoreh yang berada di dalam halaman rumah masing-masing berdiri memandangi iring-iringan itu. Mereka menjadi bertanya-tanya pula, siapakah orang-orang yang datang diantar oleh para pengawal itu. Seorang anak muda yang berdiri di simpang tiga memandang iring-iringan itu dengan saksama. Bahkan kemudian ia menggamit seorang yang sudah setengah umur yang berdiri di sampingnya sambil memanggul cangkul,
“He Paman. Apakah Paman masih mengenal orang itu?”
“Siapa?” bertanya orang setengah umur itu.
“Ketika daerah ini dikacaukan oleh Ki Tambak Wedi dan Sidanti. Bukankah orang-orang itu pada saat itu ada di Tanah Perdikan ini pula. Bukankah gembala itulah yang telah membantu Ki Gede membinasakan Ki Tambak Wedi dan pasukannya.”
Orang setengah umur itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Ya. Aku ingat sekarang. Orang itu dengan kedua anak-anaknya. O, mereka datang kembali. Ki Gede tentu senang sekali menyambut kedatangan mereka.”
Anak muda itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Lalu katanya,
“Aku akan memberitahukan kepada kawan-kawanku yang dahulu ikut bersama pasukan Ki Gede Menoreh. Mereka tentu senang mendengar kedatangan anak-anak muda itu. He, siapakah nama anak-anak muda itu?”
Orang setengah umur itu menggelengkan kepalanya. Lalu katanya,
“Kedatangannya memang menyenangkan sekali. Mereka sempat melihat Menoreh bangkit kembali, setelah dilanda oleh badai yang hampir saja menghanguskan Tanah Perdikan ini.”

Anak muda kawannya berbicara itu masih mengangguk-angguk. Ditatapnya iring-iringan itu sampai hilang di kelokan jalan. Kemudian ia pun berdesis,
“Ya. Ia ikut memadamkan api yang membakar Tanah Perdikan Menoreh. Dan kini ia melihat Menoreh menjadi hijau kembali.”
Anak muda itu tidak menunggu jawaban, ia pun segera meloncat berlari-lari mencari kawan-kawannya. Ia ingin mengabarkan bahwa anak-anak muda yang dahulu ikut bertempur di pihak mereka melawan Sidanti dan Ki Tambak Wedi, kini datang lagi ke Menoreh bersama beberapa orang. Dalam pada itu, iring-iringan itu telah menyusuri jalan padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Ketika mereka lewat di depan banjar kademagan, Kiai Gringsing dan kedua murid-muridnya tersentuh juga hatinya. Sejenak kemudian maka regol halaman rumah Ki Gede Menoreh pun sudah tampak di hadapan mereka. Mereka tidak lagi melihat orang-orang bersenjata berkeliaran. Yang mereka lihat adalah orang-orang yang berjalan tergesa-gesa memanggul cangkul atau alat-alat pertanian yang lain. Seorang anak muda memanggul bajak di pundaknya dan memegangi tali pengikat dua ekor lembu yang berjalan berlawanan arah. Anak muda itn hanya memandangi iring-iringan itu sejenak. Namun ia pun tidak memperhatikannya lagi. Kiai Gringsing memandang pagar-pagar batu di sebelah-menyebelah jalan. Pagar batu itu sudah ada sejak ia berada di Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi pagar-pagar itu agaknya baru saja diperbaharui.
“Tanah ini tampaknya tenang sekali,” berkata Kiai Gringsing kepada para pengawal.
“Ya. Tanah ini memang tenang,” jawab pengawal itu.
“Di induk Tanah Perdikan ini tidak terasa adanya gejolak yang menyentuh daerah di pinggir Kali Praga, meskipun satu dua orang mempercakapkan juga.”
“O,” sahut Kiai Gringsing,
“sebenarnya aku ingin mendengar ceritera tentang Kali Praga itu.”
Pengawal itu mengerutkan keningnya. Jawabnya,
“Biarlah Ki Gede sajalah yang menceriterakan.”
Kiai Gringsing tidak bertanya lagi. Kini mereka benar-benar telah berada di regol halaman rumah Ki Gede Menoreh. Yang ada di regol itu hanyalah seorang penjaga yang duduk di gardu sambil terkantuk-kantuk. Seorang pengawal Tanah Perdikan yang juga masih muda.
“Baru sejak beberapa hari regol ini ditunggui oleh seorang pengawal,” berkata pengawal berkuda itu,
“sebelumnya tidak seorang pun yang menjaga halaman ini, karena memang tidak pernah terjadi sesuatu.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab.
“Siapa?” bertanya penjaga regol itu.
Seorang pengawal berkuda menyahut,
“Apakah kalian tidak mengenal mereka lagi?”
Penjaga itu mengerutkan keningnya. Tetapi ia memang tidak segera ingat, siapakah orang-orang yang disebut itu.
“Kau sudah ikut di dalam pergolakan beberapa waktu yang lampau melawan Sidanti?”
“O, aku ingat sekarang. Ya, aku ingat. Marilah, silahkan. Kebetulan sekali, Ki Gede ada di rumah sekarang. Baru saja Ki Gede pulang dari daerah sebelah Utara yang baru saja longsor.”
“He?” Kiai Gringsing mengerutkan keningnya.
“Tidak apa-apa. Hanya sebuah guguran padas yang tidak seberapa. Yang agak mengganggu adalah karena longsoran batu-batu padas itu telah menutup sebuah jalur air yang agak besar, sehingga beberapa kotak sawah diancam oleh bahaya kekurangan air. Tetapi untunglah bahwa kesulitan itu segera dapat diatasi.”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak bertanya lebih lanjut.
“Apakah Ki Gede Menoreh pergi bersama anak gadisnya?” bertanya Swandaru, tetapi hanya di dalam hatinya. Para pengawal dan iring-iringan kecil itu pun segera turun dari kuda mereka ketika mereka telah memasuki halaman.
“Sampaikan kepada Ki Gede, bahwa ada serombongan tamu dari seberang Kali Praga,” berkata salah seorang pengawal berkuda itu kepada penjaga regol.
Penjaga itu pun segera bergegas pergi ke belakang lewat longkangan gandok. Disampaikannya kabar kedatangan Kiai Gringsing itu kepada seorang pelayan yang melangsungkannya kepada Ki Gede Menoreh.
“Siapa?” bertanya Ki Gede Menoreh.
“Tamu dari seberang Kali Praga.”


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar