Jilid 069 Halaman 3


Ki Gede Menoreh termangu-mangu sejenak. Menurut pengertiannya seberang Kali Praga kini lahir sebuah daerah baru yang mulai ramai, dan disebut Mataram. Karena itu, ia pun menjadi berdebar-debar, justru dalam keadaan terakhir yang meragukan itu.
“Silahkan mereka duduk di pendapa,” berkata Ki Gede,
“sebentar lagi aku akan menemuinya.”
Pelayan itu pun kemudian dengan tergesa-gesa mempersilahkan Kiai Gringsing dan kedua muridnya, Ki Sumangkar dan Ki Demang Sangkal Putung duduk di pendapa, sementara Ki Gede Menoreh sedang membenahi pakaiannya, memperbaiki lipatan ikat kepalanya dan membetulkan kamusnya yang agak miring. Dengan hati yang berdebar-debar ia melangkah ke pintu depan. Ia tidak banyak berhubungan dengan Mataram yang baru tumbuh selama ini. Perlahan-lahan Ki Gede Menoreh membuka pintu pendapa. Dari sela-sela daun pintu ia melihat beberapa orang duduk di atas sehelai tikar pandan. Dada Ki Gede Menoreh berdesir. Ketika seorang tua yang duduk di antara mereka berpaling oleh derit pintu, maka Ki Gede Menoreh yang berdiri bertelekan sebuah tongkat itu berkata lantang di luar sadarnya,
“Kiai, kaukah itu Kiai?”
Kiai Gringsing pun berlonjak berdiri. Bergegas-gegas ia mendapatkan Ki Gede Menoreh dengan wajah yang cerah. Seakan-akan dua orang sahabat yang sudah bertahun-tahun tidak pernah bertemu. Dengan senyum yang lebar Kiai Gringsing mengguncang-guncang tangan Ki Gede Menoreh sambil berkata,
“Ki Argapati, kau tampak semakin sehat dan muda.”
Ki Gede Menoreh tertawa. Jawabnya,
“Aku menjadi semakin tua dan lemah. Tetapi aku gembira sekali Kiai datang ke Tanah Perdikan ini. Tanah Perdikan yang semakin lama semakin tidak terurus.”
Keduanya pun kemudian melangkah ke pendapa kembali. Kiai Gringsing membimbing Ki Gede Menoreh yang berjalan bertelekan tongkatnya, sedang yang lain-lain pun telah berdiri pula. Sejenak Ki Gede Menoreh memandang Swandaru dan Agung Sedayu sejenak sambil masih saja tersenyum. Kemudian Ki Sumangkar pun menganggukkan kepalanya sambil berkata,
“Akhirnya kami datang juga Ki Gede.”
“Tentu, tentu. Aku yakin bahwa kalian tentu akan datang,” Ki Gede Menoreh mengangguk-angguk. Ketika tatapan matanya bertemu dengan pandangan Ki Demang, ia mengerutkan keningnya. Seakan-akan ia bertanya, siapakah orang yang masih belum dikenalnya ini.
Kiai Gringsing yang menyadarinya segera berkata,
“Ki Argapati, inilah Ki Demang di Sangkal Putung.”
“O,” kening Ki Gede Menoreh berkerut. Namun kemudian ia pun mengulurkan tangannya sambil berkata,
“Aku senang sekali Ki Demang datang berkunjung ke Tanah Perdikan ini. Aku mengucapkan selamat datang.”
“Terima kasih, Ki Gede,” jawab Ki Demang,
“kami memang memerlukan datang mengunjungi Ki Gede. Aku sudah banyak mendengar tentang Ki Gede, tetapi aku belum pernah bertemu muka. Itulah sebabnya, maka pada suatu kesempatan aku ingin sekali dapat menghadap Ki Gede Menoreh.”
“Ah,” Ki Gede berdesah,
“kini, setelah Ki Demang melihat orangnya, tentu Ki Demang menjadi kecewa. Orangnya tidak lebih dari orang cacat seperti ini.”
“Ah, tentu tidak Ki Gede. Aku bangga dapat bertemu dengan Ki Gede Menoreh, dan aku pun kagum melihat Tanah Perdikan ini. Tanah Perdikan yang luas dan subur, dipagari oleh pegunungan. Sawah yang luas dihiasi dengan hutan-hutan yang masih membuka kesempatan perkembangan baru di atas Tanah Perdikan ini.”
Ki Gede Menoreh tertawa. Katanya kemudian,
“Terima kasih. Dan sekarang kami persilahkan kalian duduk.”

Mereka pun duduk kembali di atas tikar pandan yang putih. Sambil memandang Agung Sedayu dan Swandaru berganti-ganti, maka Ki Gede Menoreh pun bertanya,
“Bagaimana aku harus memanggil kalian? Gupala dan Gupita atau nama yang lain itu?”
Kedua anak-anak muda itu tersenyum. Katanya,
“Terserahlah kepada Ki Gede.”
Ki Gede Menoreh tertawa. Katanya,
“Nama mana yang kau pilih? Atau kau sudah membuat nama lain lagi?”
Keduanya tertawa. Tetapi keduanya tidak menjawab. Mereka duduk kembali dalam satu lingkaran. Mereka membicarakan tentang keselamatan mereka masing-masing. Kemudian mulailah Ki Gede Menoreh menceriterakan perkembangan Tanah Perdikannya.
“Atas pertolongan Kiai dan murid-murid Kiai itu, kini Tanah ini menjadi semakin baik.”
“Kenapa pertolonganku?” bertanya Kiai Gringsing.
“Ki Argapati lah yang memiliki kemampuan yang luar biasa. Dalam waktu yang terhitung singkat, Tanah ini telah menjadi pulih kembali.”
“Bukan pekerjaan yang sulit. Jika saat itu, Tanah ini benar-benar hangus dibakar oleh api pertentangan yang memalukan di antara keluarga sendiri itu, maka tidak ada orang yang akan mampu membangun Menoreh. Siapa pun. Dan sekarang, ternyata kami di sini masih mendapat kesempatan itu. Meskipun demikian, aku yang menjadi semakin tua dan lemah, hampir tidak dapat berbuat apa-apa.”
Kiai Gringsing tertawa. Katanya,
“Jika seperti ini, Ki Argapati masih menyebut tidak dapat berbuat apa-apa, tentu Ki Argapati mempunyai cita-cita yang jauh lebih tinggi dari yang kita lihat ini. Mudah-mudahan di masa mendatang, angkatan yang bakal menggantikan para pemimpin di Tanah Perdikan ini mampu membangun Menoreh lebih baik lagi.”
Ki Argapati tertawa. Katanya,
“Tentu, Kiai. Cita-cita pada umumnya mendahului ujud pencapaian kita. Dan kami memang bercita-cita. Tentu bukan kami, juga Kiai dan setiap orang bercita-cita.”
“Aku sudah tua.”
“Ah,” Ki Gede Menoreh tertawa,
“aku pun sudah tua. Tetapi apakah cita-cita kita dapat dibatasi oleh ketuaan kita?” lalu sambil berpaling kepada Ki Demang, “Bukankah begitu, Ki Demang?”
Ki Demang tertawa pula. Katanya,
“Ya. Cita-cita kita mengatasi umur kita sendiri karena angkatan yang bakal datang akan melanjutkan dan mewujudkan cita-cita itu. Cita-cita kita ternyata akan berkembang terus. Apalagi mengenai suatu daerah seperti Tanah Perdikan Menoreh. Dari angkatan yang satu kepada angkatan yang kemudian.”
Kiai Gringsing tertawa. Dipandanginya kedua muridnya sejenak. Lalu katanya,
“Ki Demang benar. Cita-cita kita adalah cita-cita buat masa depan angkatan sesudah kita. Tentu kita tidak sekedar hidup untuk kita sendiri. Jika kita memanjakan kamukten buat diri kita sendiri, memanjakan segala macam nafsu badani, kita memang akan kehilangan masa depan anak-anak kita.”
Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Sedang Argapati pun tersenyum pula, katanya,
“Demikianlah aku berusaha membuat Menoreh menjadi harapan bagi masa mendatang.”

Hampir di luar sadarnya Agung Sedayu berpaling pada Swandaru. Sedang ketika Swandaru pun memandanginya, maka cepat-cepat ia memalingkan wajahnya sambil mencibirkan bibirnya. Namun dalam pada itu, Swandaru masih saja digelut oleh pertanyaan, di mana Pandan Wangi? Apalagi ketika beberapa saat kemudian, setelah mereka berbicara kian kemari, seorang pelayan perempuan menghidangkan minum dan makanan buat tamu-tamu Ki Gede Menoreh itu. Yang menghidangkan minum dan makanan itu sama sekali bukan Pandan Wangi. Di luar kebiasaan yang pernah dilihat oleh Swandaru. Apabila ada tamu yang dihormati, maka biasanya adalah Pandan Wangi sendiri yang menghidangkan suguhan bagi mereka. Namun yang menghidangkan adalah seorang pelayan saja. Dengan wajah yang berkerut, Swandaru mencoba memandang ke halaman di sekitar pendapa itu. Tetapi ia tidak melihat seorang pun kecuali beberapa orang pekerja yang lewat melintasi halaman itu. Ternyata orang-orang tua yang sedang bercakap-cakap tentang berbagai masalah itu seakan-akan tidak teringat lagi kepada anak-anak muda itu. Mereka mempunyai keasyikan sendiri, hingga seolah-olah Swandaru yang gelisah dan Agung Sedayu itu tidak ada di antara mereka. Agung Sedayu dan Swandaru terkejut ketika mereka melihat seorang anak yang masih sangat muda melintas di atas punggung kuda di halaman. Ketika ia melihat beberapa orang tamu di pendapa, maka ia pun dengan tergesa-gesa menarik kekang kudanya dan meloncat turun. Kemudian dengan tergesa-gesa pula dituntunnya kudanya ke belakang.
Swandaru mengerutkan keningnya melihat anak muda yang tampan itu. Namun ia menarik nafas dalam-dalam ketika Agung Sedayu berbisik di telinganya,
“Bukankah itu anak Ki Argajaya.”
Swandaru menarik nafas dalam-dalam,
“Ya, ia adalah putera Ki Argajaya.”
Swandaru itu tiba-tiba bergeser setapak maju. Agung Sedayu tersenyum melihat wajahnya yang tegang. Sekilas Swandaru yang kebetulan tidak mendengarkan percakapan orang-orang tua itu karena kuda yang melintas di halaman, mendengar Ki Argapati menyebut nama anak gadisnya, Pandan Wangi.
“Apa yang dikatakannya?” bisik Swandaru kepada agung Sedayu.
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dan ia bertanya kembali,
“Tentang apa?”
“Tadi, baru saja.”
“O, tentang kuda itu.”
“Bukan tentang kuda.”
“Tentang apa?”
“Sesudah membicarakan masalah kuda.”
“Ah, aku tidak mendengarnya. Aku baru memperhatikan kuda yang melintas di halaman itu.”
“Ah kau,” Swandaru menggeram. Namun sekali lagi ia mendengar Ki Argapati menyebut nama Pandan Wangi.
“Ia sedang berburu,” berkata Ki Argapati,
“ia mengantarkan seorang tamu pula.”
Swandaru tertarik sekali kepada pembicaraan itu. Dan apalagi ketika Argapati mengatakan,
“Sebenarnya masih ada sangkut pautnya juga. Anak muda itu masih kadang sendiri. Tetapi sudah agak jauh. Ia adalah salah seorang pada garis keluarga ibu Pandan Wangi.”
Kiai Gringsing ternyata menaruh perhatian juga kepada ceritera itu. Maka ia pun bertanya,
“Jadi, Ki Gede sekarang sedang menerima tamu juga di rumah ini?”
“Ya. Kadang sendiri. Dan bukan dari jauh.”
“Dari mana?”
“Dari daerah Tempuran.”
“Tempuran?”
“Ya, sebuah daerah kecil di sebelah Utara Tanah Perdikan ini.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi Ki Sumangkar-lah yang kemudian bertanya,
“Apakah tamu Ki Gede itu juga baru saja datang?”
“Tidak. Sudah dua malam mereka bermalam di tempat ini. Ayah, ibu, dan seorang anak laki-laki yang sekarang sedang pergi berburu bersama Pandan Wangi.”

Ki Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya seperti juga Kiai Gringsing. Tanpa dikehendakinya sendiri ia memalingkan wajahnya memandang Swandaru. Ternyata wajah Swandaru menegang. Ada sesuatu yang bergetar di dalam hatinya. Jika yang pergi berburu bersama Pandan Wangi itu meskipun masih keluarga tetapi sudah jauh, maka dapat tumbuh persoalan yang dapat mengganggu perasaannya. Tetapi Swandaru tidak dapat mengatakannya kepada siapa pun bahkan ia berusaha sejauh-jauhnya menyimpan perasaan itu di dalam sudut hatinya yang paling dalam. Bahkan apabila mungkin menghilangkan sama sekali kesan yang dapat timbul di wajahnya. Selain Swandaru, sebenarnya Agung Sedayu pun menjadi tegang pula. Meskipun ia tidak langsung tersangkut, tetapi rasa-rasanya adalah juga keberatannya mendengar keterangan Ki Gede Menoreh.
“Siapakah sebenarnya anak muda itu,” Agung Sedayu bertanya kepada diri sendiri.
Ada berbagai dugaan yang melintas di benaknya, bahkan ia sudah membayangkan peristiwa-peristiwa yang akan terjadi.
“Mungkin kami terlalu lama membiarkan Ki Argapati menunggu,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya pula.
Selagi gambaran yang beraneka ragam mengganggu orang-orang yang sedang dijamu oleh Ki Argapati itu, terutama Swandaru, Ki Demang dan Kiai Gringsing, di hutan perburuan, Pandan Wangi berpacu di atas punggung kudanya mengikuti jejak seekor rusa. Dengan susah payah ia menunggu tidak begitu jauh dari sebuah sumber air yang menurut dugaannya menjadi tempat minum binatang-binatang buruannya. Tetapi agaknya arus angin tidak menguntungkan ketika tiba-tiba saja angin berubah arah. Ketika seekor rusa sedang berjalan perlahan-lahan mendekati sumber air itu, maka oleh angin yang berganti arah itu, dihanyutkannya bau manusia, sehingga rusa itu pun segera lari terbirit-birit. Betapa kuda Pandan Wangi berlari kencang, namun kuda itu sudah tidak akan mungkin lagi dapat menyusul rusa itu, karena rusa itu segera pula menghilang di antara gerumbul-gerumbul perdu. Alangkah kecewanya Pandan Wangi. Buruannya ternyata sama sekali tidak dapat ditangkapnya. Dalam pada itu, kawannya berburu, selain beberapa orang pengiring, adalah masih ada sangkut paut kekeluargaan meskipun agak jauh. Tetapi ternyata anak muda itu tidak dapat membantu sama sekali. Justru kadang-kadang ia telah mengganggu Pandan Wangi. Setiap kali ia berteriak-teriak memanggil kawan-kawannya dan Pandan Wangi.
“Sayang sekali,” desis Pandan Wangi. Ia masih maju beberapa puluh langkah lagi dengan kudanya. Namun ketika ia kemudian berpaling, ia sudah tidak melihat saudaranya itu.
“Kemana ia pergi?” bertanya Pandan Wangi di dalam hatinya.
Dan sejenak kemudian Pandan Wangi pun mendengar suaranya bergema,
“Pandan Wangi, Pandan Wangi, di mana kau?”
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Dengan kesal ia berbalik untuk mengambil anak muda yang berteriak-teriak di dalam hutan, meskipun sekedar hutan buruan. Namun di dalam hutan buruan itu benar-benar masih terdapat beberapa ekor harimau.
Ketika Pandan Wangi mendekat, ia masih sempat mendengar seorang pengawal berkata,
“Marilah, kita menyusulnya.”
“Jangan terlampau cepat.”
“Pandan Wangi memburu seekor rusa. Jika kita tidak cepat, kita akan kehilangan jejak.”

Anak muda itu mengerutkan keningnya. Namun sebelum ia menjawab, ia melihat Pandan Wangi datang menyongsongnya.
“Pandan Wangi, kenapa kau selalu meninggalkan aku?”
“Kita berburu di hutan,” jawab Pandan Wangi.
“Aku belum pernah berburu seperti caramu.”
“O, kau pernah juga berburu?”
“Tidak, maksudku aku tidak pernah berburu di hutan begini. Kadang-kadang aku memang pergi menyumpit. Tetapi hanya sekedar mencari burung-burung kecil. Burung tilang, podang, dan sebagainya.”
Pandan Wangi tersenyum. Tetapi ia pun berkata,
“Tidak ada bedanya. Kau dengan sumpit, aku memakai panah. Sedang yang aku kejar berlari kencang sekali, yang kau kejar tidak.”
“O, kau sangka kecepatan terbang burung podang kalah cepat dengan lari seekor rusa.”
“Tidak, memang tidak. Tetapi kau tidak pernah menyumpit burung yang sedang terbang. Sedang pemburu di hutan, kadang-kadang ia harus memanah buruannya yang sedang berlari.”
“Memanah sambil naik kuda?” bertanya anak muda itu.
“Ya, berkuda sambil melepaskan anak panah.”
“Bagaimana mungkin. Dengan tangan kirimu kau memegang busur, sedang tangan kananmu menarik anak panahnya.”
“Maksudmu kendali?”
“Ya.”
“Aku sering melepaskan kendali sama sekali karena kudaku ini sudah terlampau jinak dan penurut. Tetapi kadang-kadang aku menjepitnya dengan lutut.”
“Berbahaya sekali.”
“Tidak. Mungkin apabila kita naik seekor kuda yang nakal. Tetapi kudaku sangat baik kepadaku.”
Anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia pun bertanya,
“Kau dapatkan rusa itu?”
“Tidak,” sahut Pandan Wangi.
“Kita membuang-buang waktu.”
“O, kau tidak senang berburu di hutan yang sejuk ini?”
Anak muda itu ragu-ragu sejenak, lalu, “Senang, senang sekali.”

Pandan Wangi menjadi heran. Anak muda itulah yang mengajaknya berburu. Tetapi ternyata ia tidak begitu tertarik pada perburuan lagi ketika mereka sudah berada di hutan.
“Rusa itu terkejut mendengar suaramu berteriak-teriak itu,” berkata Pandan Wangi kemudian.
“Kita harus diam, supaya seekor binatang tidak segera melarikan diri sebelum kita sempat membidiknya.”
Anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi nafasnya menjadi terengah-engah. Agaknya berburu di hutan dengan naik di punggung kuda kurang menyenangkan. Meskipun demikian ia tidak mau mengatakan berterus terang. Pandan Wangi agaknya dapat membaca isi hatinya. Karena itu maka ia pun berkata,
“Apakah perburuan ini kita akhiri sekian saja?”
“Jangan. Berburulah sehingga kita mendapatkan seekor binatang buruan.”
“Dan kau akan tetap berteriak-teriak mengusir binatang yang sedang aku bidik?”
“Tidak. Aku akan diam saja.”
Pandan Wangi termenung sejenak Tetapi kegairahannya untuk berburu terus telah turun sama sekali.
“Teruskanlah Pandan Wangi,” berkata anak muda itu selanjutnya.
“Kenapa kau termenung.”
“Aku tidak bernafsu lagi. Marilah kita kembali ke rumahku. Ayah sudah menunggu.”
“Bukankah ayahmu sudah mengetahui bahwa kau berburu bersama aku? Ia tidak akan mencarimu. Agaknya ia percaya kepadaku.”
“Maksudmu?” bertanya Pandan Wangi.
“Maksudku, ayahmu tidak akan mencemaskan kau selama kau pergi bersamaku. Aku akan melindungimu dan membawamu pulang dengan selamat.”
“O,” suara Pandan Wangi bernada tinggi, namun kemudian merendah,
“ya. Tentu Ayah akan percaya bahwa aku akan selamat sampai di rumah.”
“Karena itu jangan tergesa-gesa pulang. Kita teruskan perburuan ini, aku tidak akan memanggilmu lagi.” Tetapi kemudian,
“Meskipun demikian, aku harus selalu mengawasimu karena aku harus melindungimu.”
“Aku sudah lelah sekali,” berkata Pandan Wangi,
“aku ingin keluar dari hutan ini.”
“Tidak. Kita akan berburu bersama-sama.”
Pandan Wangi menjadi agak bingung menanggapi sikap anak muda itu, tetapi sambil tersenyum ia berkata,
“Marilah kita keluar dahulu dari hutan ini. Jika kita akan berburu lagi, kita akan melakukannya.”
Pandan Wangi tidak menunggu jawabannya. Ia pun kemudian menggerakkan kudanya mendahului menuju ke luar hutan.

Anak muda itu tidak dapat berbuat lain daripada mengikutinya bersama beberapa orang pengiring Pandan Wangi. Meskipun ia agak kecewa, karena Pandan Wangi nampaknya tidak lagi berminat meneruskan perburuan ini karena sikapnya. Sejenak kemudian mereka pun telah sampai ke pinggir hutan. Rasa-rasanya seperti seseorang yang baru saja muncul dari dalam goa yang lembab, terasa betapa sejuknya udara terbuka di luar hutan perburuan itu, meskipun juga terasa panas matahari yang bagaikan menyengat wajah dedaunan yang hijau segar. Tetapi angin yang lemah membuat udara di pinggir hutan itu tetap sejuk. Suara gemerisik yang menyentuh telinga, membuat hati bagaikan dibelai oleh bisikan-bisikan yang lembut. Belum lagi Pandan Wangi turun dari kudanya, dilihatnya debu yang mengepul di kejauhan, dilemparkan oleh kaki beberapa ekor kuda yang berlari di sepanjang jalan berdebu. Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Ia pun segera mengerti bahwa mereka adalah beberapa orang peronda yang sedang nganglang di sepanjang jalan Tanah Perdikan Menoreh yang terutama di bagian Selatan dan Timur, mulai tersentuh oleh persoalan-persoalan yang dapat menimbulkan kegelisahan rakyatnya. Para peronda berkuda yang berlari di sepanjang jalan itu pun agaknya dapat melihat Pandan Wangi. Sejenak mereka berbicara di antara mereka. Namun kemudian salah seorang dari mereka mengacu-acukan tangannya. Pandan Wangi memandangi mereka dengan heran. Ia tidak segera mengerti maksudnya. Namun ia pun tidak segera berbuat sesuatu. Ternyata beberapa ekor kuda itu pun berhenti sejenak. Kemudian mereka berbelok ke arah Pandan Wangi yang memandangi mereka dengan hati yang berdebar-debar.
“Pandan Wangi,” salah seorang dari para peronda itu berkata meskipun ia belum dekat benar,
“apakah kau tidak ingin segera pulang?”
Pandan Wangi tidak segera menjawab. Ditunggunya orang itu menjadi semakin dekat dan baru kemudian ia bertanya,
“Kenapa tergesa-gesa pulang?”
Para peronda itu pun kemudian berhenti beberapa langkah dari Pandan Wangi. Wajahnya tampak aneh dan tanpa sebab orang itu tersenyum-senyum sendiri.
“Ada apa?” Pandan Wangi bertanya pula.
“Seharusnya kau pulang.”
“Ya, ada apa?” gadis itu menjadi jengkel.
“Ada tamu di rumahmu.”
“Ah, apa salahnya ada tamu. Ayah terlalu sering menerima tamu dari mana saja.”
“Tetapi sekali ini tamu ayahmu agak lain. Tamu yang tentu tidak kau duga akan datang hari ini.”
Pandan Wangi memandang orang itu dengan heran. Dan sekali lagi ia mendesak,
“Siapakah tamu Ayah kali ini?”
“Tamu Ki Gede datang dari seberang Kali Opak. Bahkan dari seberang Alas Mentaok, dari seberang Alas Tambak Baya.”
“Siapa, siapa?”
“Dari seberang Candi Prambanan. He, kau pernah lihat candi itu? Candi yang sangat indah?”

Pandan Wangi tidak segera menangkap maksud para pengawal itu. Karena itu ia masih saja berdiri termangu-mangu. Sedang para pengawal itu masih saja tersenyum-senyum.
“Apakah kalian mendapat perintah dari Ayah untuk menyusul aku?”
“Tidak. Tidak,” jawab para pengawal itu,
“aku hanya melihat tamu-tamu itu, dan kebetulan aku melihat kau di sini.”
“Siapakah sebenarnya tamu itu?” Pandan Wangi menjadi jengkel.
Tetapi para pengawal itu masih saja tersenyum-senyum. Sedangkan Pandan Wangi menjadi semakin jengkel karenanya, sehingga ia berkata,
“Jika kalian tidak segera mengatakan siapa tamu itu, aku akan mengejutkan kuda kalian dan kalian akan dibawanya berlari sambil melonjak-lonjak. Jika ada di antara kalian yang terlempar karenanya, itu bukan salahku.”
“Jangan. Jangan,” para pengawal itu hampir berbareng menyahut.
“Jika demikian, sebut tamu itu.”
“Tamu itu datang dari Sangkal Putung. Ki Demang Sangkal Putung bersama puteranya yang gemuk itu. Kau sudah mengenalnya bukan?”
“He,” sekilas terpancar kegembiraan dimata Pandan Wangi. Namun kemudian ia berusaha menghapus kesan itu dan berkata,
“Aku tidak kenal mereka.”
“He,” salah seorang pengawal itu pun menyahut,
“kau tidak kenal mereka? Dua anak muda yang pernah berada di Tanah Perdikan ini pada saat tanah ini dibakar oleh api kedengkian dan iri hati?”
“Cukup.”
“Maaf, Pandan Wangi. Bukan maksudku mengingatkan pertentangan yang pernah terjadi. Tetapi aku ingin mengingatkan kau pada kedua anak-anak muda itu. Yang seorang gemuk namun tampan. Dengan wajah yang agak ke kanak-kanakan. Sedang yang lain sedang dan agak lebih bersungguh-sungguh.”
“Aku tidak ingat mereka lagi. Dan aku tidak sempat mengingatnya,” lalu ia pun berpaling kepada anak muda yang diajaknya berburu.
“Marilah apakah kau masih ingin berburu?”
Anak muda itu menjadi heran. Ia tidak mengerti perubahan sikap yang tiba-tiba saja. Karena itu ia tidak segera menjawab.
“Katakan, apa keinginanmu sekarang?” bertanya Pandan Wangi.
Anak muda itu tidak mengerti maksud Pandan Wangi yang sebenarnya. Sekenanya saja ia menjawab,
“Apakah kita sebaiknya pulang saja?”
“Ah,” Pandan Wangi berdesah,
“jika kita harus pulang, sama sekali bukan karena ada tamu itu. Tetapi karena kaulah yang ingin pulang.”

Anak muda itu menjadi semakin bingung, sedang para pengawal itu pun masih saja tersenyum-senyum.
“Pergilah. Jika kalian mempunyai kewajiban, lakukanlah. Jangan mengganggu aku lagi. Aku masih ingin berburu dan masih ingin berbuat apa saja sebelum aku pulang, dan kapan aku akan pulang tergantung kepadaku. Ada atau tidak ada tamu.”
“Baiklah,” jawab peronda itu sambil menganggukkan kepalanya. Lalu katanya,
“Kami memang akan melanjutkan tugas kami mengelilingi daerah Selatan ini sampai ke Kali Praga. Dan aku pun tidak mendapat perintah dari Ki Gede agar menjemputmu. Aku tidak tahu, pembicaraan apakah yang sedang berlangsung, tetapi aku melihat wajah-wajah yang buram. Mula-mula Ki Gede akan memerintahkan adikmu sepupu untuk menjemputmu, tetapi tiba-tiba niat itu dibatalkan. Adikmu sepupu telah ada di regol ketika Ki Gede berteriak dengan nada yang tinggi.”
Wajah Pandan Wangi menegang. Lalu dengan cemas ia bertanya,
“Apa yang dikatakan Ayah ?”
“Aku tidak tahu. Mungkin adikmu itu berbuat kesalahan, atau apa pun. Tetapi Ki Gede agaknya marah sekali.”
Wajah Pandan Wangi menjadi semakin tegang. Dan tiba-tiba saja ia berkata,
“Aku akan pulang.”
“Ki Gede tidak menunggu kau. Justru sebaiknya kau menunggu perintahnya.”
“Sudah aku katakan. Terserah kepadaku. Apakah aku akan pulang atau tidak.”
“Baik, baik.”
“Pergi. Cepat pergi.”
Para peronda itu pun kemudian meninggalkan Pandan Wangi. Tetapi mereka masih saja tersenyum-senyum. Namun salah seorang dari mereka berkata,
“Kau sudah keterlaluan. Bagaimana jika Pandan Wangi tergesa-gesa pulang dan bertanya tentang ceriteramu itu kepada Prastawa.”
“Tidak apa-apa. Prastawa akan menjadi kebingungan. Tetapi Pandan Wangi akan segera tahu, bahwa kita berbohong.”
“Dan besok jika kita bertemu dengan gadis itu, kita akan dilabraknya.”
“Besok ia pasti sudah lupa. Anak yang gemuk itu akan sangat menarik perhatiannya.”
“Tetapi jika ia masih ingat akan kelakarmu ini, terserahlah kepadamu. Mungkin kepalamu akan dikerawunya dengan ampas kelapa.”
Kawannya justru tertawa. Tetapi suara tertawanya terputus ketika ia mendengar derap kuda berlari kencang. Ketika ia berpaling dilihatnya Pandan Wangi dan tamunya itu berpacu pulang diikuti oleh beberapa orang pengiring.
“Tentu ia menyangka sesuatu telah terjadi. Ia pasti mengira bahwa terjadi perselisihan antara tamunya dan ayahnya tentang dirinya.”
Kawannya tersenyum. Lalu,
“Kita memang harus berhati-hati besok, jika ia masih mengingatnya.”
Para pengawal itu melanjutkan perjalanan mereka. Namun mulailah mereka merasa cemas. Jika tiba-tiba saja Pandan Wangi berbuat sesuatu di rumahnya, siapakah yang harus bertanggung jawab? Dan hampir di luar sadarnya pengawal yang mencoba mengganggu Pandan Wangi itu berkata hampir kepada diri sendiri,
“Tetapi, jika Pandan Wangi langsung marah-marah di rumahnya dan berbuat di luar dugaan karena sifatnya yang keras, dan agak seperti seorang laki-laki itu, siapakah yang dapat dipersalahkan?”
“Kau, kau,” kawannya menudingnya,
“kau memang kurang berhati-hati. Kau kurang menempatkan diri apabila kau berhasrat bergurau. Persoalan ini bagi Pandan Wangi bukan persoalan kecil. Sekian lamanya ia menunggu, tiba-tiba saja ia dihadapkan pada suatu persoalan yang tidak diinginkannya.”
“Aku tidak mengatakan apa-apa tentang anak muda Sangkal Putung itu.”
“Tetapi kau sengaja memberikan gambaran yang salah pada Pandan Wangi.”
“Dan kau tidak mencegahnya. Sekarang kau menyalahkan aku pula.”

Kawannya tidak menjawab. Ia menjadi kasihan juga melihat wajah pengawal yang merasa terdorong terlampau jauh itu.
“Aku akan kembali. Mungkin sesuatu akan terjadi.”
Tetapi kawannya menggeleng,
“Kami sedang menjalankan tugas. Jika selama kita di perjalanan kembali terjadi sesuatu di sini, dosa kita akan bertambah-tambah. Bukankah kadang-kadang di daerah ini timbul sesuatu yang tidak dapat kita mengerti, yang sampai saat ini masih merupakan teka-teki? Meskipun kita mengetahuinya bahwa persoalan yang sebenarnya tidak terjadi di Menoreh, tetapi di daerah di seberang Kali Praga, namun sentuhan peristiwa itu di daerah Menoreh tidak dikehendaki oleh Ki Gede. Dan jika kita tidak bertindak tegas sejak permulaan, maka semakin lama persoalannya akan menjadi semakin sulit dipecahkan dan semakin sulit diatasi.”
Pengawal yang merasa menyesal atas kelakarnya yang berbahaya itu mengangguk-angguk. Tetapi ia masih berkata, “Aku menjadi gelisah sekarang.”
“Salahmu.”
“Bagaimana jika aku kembali seorang diri, dan kalian meneruskan tugas kita.”
“Terserah kepadamu.”
Orang itu merenung sejenak, lalu,
“Biarlah aku terus bersama kalian. Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa. Tolong bantulah aku berdoa.”
Kawan-kawannyalah yang kemudian tersenyum. Tetapi karena mereka tidak sampai hati melihat kegelisahan dan kecemasan yang mencengkam jantung kawannya itu, hampir berbareng kawan-kawannya menjawab,
“Baiklah. Kami akan berdoa, mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa.”
Pengawal yang sedang menyesal itu memandangi wajah kawan-kawannya berganti-ganti. Tetapi ia tidak mengatakan apa-apa lagi. Sementara itu, Pandan Wangi berpacu kembali ke induk Tanah Perdikan Menoreh. Tiba-tiba saja hatinya menjadi gelisah. Ia memang dicemaskan oleh ceritera pengawal itu, seakan-akan telah terjadi sesuatu di rumahnya. Seolah-olah kedatangan tamu-tamu ayahnya dari Sangkal Putung itu membawa persoalan yang kurang menyenangkan. Karena itu, ia hampir tidak menghiraukan lagi anak muda yang berburu bersamanya, yang masih ada hubungan darah dengan keluarganya meskipun sudah agak jauh.
“Pandan Wangi,” anak muda itu memanggilnya,
“jangan terlalu cepat.”
Pandan Wangi tidak menghiraukannya. Ia masih saja berpacu lewat jalan berdebu. Beberapa orang petani yang melihat Pandan Wangi bergegas pulang itu mengerutkan keningnya. Namun seorang anak muda yang lewat di pematang berkata kepada petani itu,
“Pandan Wangi tergesa-gesa pulang karena ada tamu di rumahnya. He, apakah Paman tidak melihat iring-iringan orang berkuda lewat jalan di sebelah Utara itu? Mereka datang dari Sangkal Putung.”
Petani itu menggeleng.
“O, jika Paman melihatnya, Paman tidak akan heran lagi. Tamu itu adalah anak muda yang beberapa saat yang lalu ada di Tanah ini, ketika Tanah ini dibakar oleh pertentangan antara Ki Argapati dan Ki Argajaya bersama Sidanti.”
“O,” petani itu mengangguk-angguk.
“Bukankah Paman ikut dalam pertempuran-pertempuran yang terjadi saat itu?”
“Ya. Pertentangan itu kini sudah kita lupakan.”
“Tentu. Tetapi bahwa anak muda itu pernah di sini itulah yang aku ingat. Dan anak muda itu memang mempunyai persoalan tersendiri dengan Pandan Wangi.”
Petani itu tersenyum. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata,
“Pantas Pandan Wangi tidak sabar lagi.”

Dan ketika petani itu mengangkat wajahnya, dilihatnya debu yang meloncat ke udara dilemparkan oleh kaki-kaki kuda yang berlari kencang. Di regol padukuhan induk, Pandan Wangi mengurangi kecepatan derap kudanya. Bahkan sejenak ia menjadi ragu-ragu. Apakah ia akan langsung pulang ke rumahnya atau akan singgah dahulu di mana pun juga untuk mengetahui keadaan di rumahnya. Apakah benar tamu-tamunya itu datang dari Sangkal Putung, atau pengawal itu keliru menjawabnya. Pandan Wangi mengerutkan keningnya ketika seorang anak muda di regol padukuhannya tertawa tanpa alasan sambil memandanginya.
“He, kenapa kau tertawa?” bertanya Pandan Wangi.
“Tidak apa-apa. Tetapi pulanglah. Ada tamu yang membawa oleh-oleh yang sangat menarik.”
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Ia sadar bahwa anak muda itu sengaja mengganggunya. Karena itu maka ia pun berpura-pura tidak mengetahuinya dan bertanya lebih lanjut,
“Siapa tamu itu?”
“Aku kurang tahu. Tetapi yang aku ketahui mereka datang dari jauh dan membawa oleh-oleh buatmu. Khusus buatmu.”
“Terima kasih. Aku akan melihat tamu yang membawa oleh-oleh itu.”
Anak muda di regol pedukuhan itu tidak menyahut lagi. Dipandanginya saja Pandan Wangi yang maju perlahan oleh keragu-raguan.
“He, siapakah sebenarnya orang yang selalu disebut-sebut itu Pandan Wangi?” bertanya anak muda yang berburu bersama Pandan Wangi itu.
“Aku tidak tahu,” jawab Pandan Wangi.
“Mustahil. Aku menangkap kesan yang aneh pada setiap orang yang memberitahukan tentang tamu itu. Mereka tertawa-tawa seperti orang kesurupan, dan bahkan ada yang mirip-mirip dengan orang gila.” Anak muda itu berhenti sejenak, lalu,
“Dan sikapmu sendiri menjadi aneh. Tentu kau sudah tahu siapakah tamumu itu.”
“Aku tidak tahu.”
“Setidak-tidaknya kau dapat menduga, siapakah tamumu, yang oleh anak muda di regol ini disebut membawa oleh-oleh yang sangat menarik buatmu.”
Pandan Wangi tidak menyahut.
“Tentu kau tidak berkeberatan mengatakan kepadaku, siapakah tamumu itu. Apakah yang mereka maksudkan adalah keluargaku?”
Pandan Wangi menggelengkan kepalanya. Jawabnya,
“Tentu tidak. Kau tidak datang hari ini. Kau sudah ada dirumahku. Dan mereka tidak mengatakan apa-apa tentang kedatanganmu, karena tetangga-tetanggaku belum mengenalmu dengan baik.”
“Aku pernah datang ke rumahmu sebelumnya.”
“Tetapi sudah lama sekali.”

Anak muda itu tidak menyahut lagi. Tampaklah keningnya berkerut-merut. Ia mencoba untuk mengetahui siapakah tamu Ki Gede Menoreh kali ini, yang agaknya lebih penting dari dirinya sendiri. Tetapi tidak seorang pun yang dapat memberitahukan kepadanya. Karena Pandan Wangi sendiri tidak mau menyebut tamunya, maka para pengiringnya pun tentu tidak akan mau mengatakannya.
“Aku akan langsung pulang,” tiba-tiba saja Pandan Wangi berdesis.
Anak muda yang bersamanya itu tidak mengerti maksudnya. Kenapa Pandan Wangi harus berkata demikian. Jika ia tidak pulang ke rumah, maka ke mana saja ia akan pergi. Demikianlah maka mereka pun langsung menyelusur jalan induk Tanah Perdikan Menoreh. Meskipun masih juga ragu-ragu, namun Pandan Wangi langsung menuju ke regol rumahnya. Ketika ia akan memasuki regol itu, tiba-tiba saja berkata,
“Kemarilah.”
Anak muda yang berburu bersamanya itu menjadi heran. Tetapi Pandan Wangi berkata sekali lagi,
“Marilah kita bersama memasuki regol itu. Jangan terlalu lambat. Kita langsung masuk ke longkangan samping dan berhenti di belakang.”
“Kenapa?”
“Ikut kataku.”
Anak muda itu tidak sempat bertanya lagi. Pandan Wangi sudah mempercepat lagi derap kudanya dan memberi isyarat agar anak muda itu berkuda di sampingnya. Sambil menengadahkan wajahnya Pandan Wangi memasuki halaman rumahnya bersama anak muda itu. Sama sekali tidak berpaling ke pendapa dan langsung menuju ke longkangan samping.
“Itulah Pandan Wangi,” berkata Ki Argapati.
“Ya,” jawab Kiai Gringsing.
Tetapi orang-orang yang berada di pendapa itu menjadi heran. Pandan Wangi berpaling pun tidak.
“Tentu ia belum tahu bahwa ada tamu di pendapa ini.”

Kiai Grlngsing, Ki Sumangkar, dan Ki Demang Sangkal Putung mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun dalam pada itu, terasa sesuatu berdesir di dada Swandaru. Ia belum mengenal anak muda itu. Meskipun ia sudah mendengar bahwa anak muda itu masih ada sangkutan darah pada garis keturunan ibu Pandan Wangi. Namun sikapnya agak memanaskan hatinya. Apalagi Pandan Wangi sendiri sama sekali tidak berpaling dan tidak menghiraukan kehadirannya. Tetapi ia pun mencoba menghibur dirinya sendiri dengan kalimat yang dikatakan oleh Ki Argapati,
“Tentu ia belum tahu bahwa ada tamu di pendapa ini.”
“Tetapi anak muda yang lebih dahulu berpacu melintasi halaman ini melihat bahwa kami duduk di sini dan dengan tergesa-gesa turun,” berkata Swandaru di dalam hatinya pula.
Tidak ada yang dapat dimintainya pertimbangan. Agung Sedayu tentu hanya akan mengganggunya saja. Namun dalam pada itu, Agung Sedayu pun menjadi heran melihat sikap Pandan Wangi. Apakah mungkin Pandan Wangi tidak melihat tamu-tamu yang ada di pendapa, ini atau ia memang mengalami perubahan selama ini? Namun sikap itu memang menimbulkan berbagai pertanyaan di hati anak-anak muda yang sedang duduk di pendapa itu bersama Ki Gede Menoreh. Dalam pada itu Pandan Wangi yang terus saja membawa kudanya ke longkangan langsung pergi ke belakang rumahnya. Dengan tenangnya ia meloncat turun dan menambatkan kudanya pada sebatang pohon. Tanpa menghiraukan apa pun juga, maka Pandan Wangi pun langsung masuk ke bagian belakang rumahnya itu. Anak muda yang pergi berburu bersamanya itu pun mengikutinya saja. Ia sama sekali tidak mengerti maksud Pandan Wangi. Sedang ia masih belum mendapat kesempatan untuk bertanya lebih lanjut. Di bagian belakang dari rumahnya itu Pandan Wangi bertemu dengan adik sepupunya, dan langsung saja ia bertanya,
“Kenapa ayah marah?”
Prastawa memandang Pandan Wangi dengan heran. Tetapi sebelum ia menjawab Pandan Wangi mendesaknya,
“Kenapa? Apakah tamu-tamu di pendapa itu membawa berita buruk atau penghinaan terhadap kita di sini?”
“Aku tidak mengerti,” Prastawa terheran-heran.
“Kenapa ayah marah? Kenapa?”
“Paman Argapati sama sekali tidak marah.”
“He?” Pandan Wangi mengerutkan keningnya, lalu,
“Tetapi kenapa kau dipanggilnya setelah kau sampai di regol halaman pada saat kau akan memanggil aku pulang?”
“Aku tidak mengerti. Aku tidak akan memanggil kau pulang. Kami di sini mengetahui bahwa kau tidak akan berburu terlalu lama. Karena itu, kami sama sekali tidak bermaksud memanggil kau pulang.”
Pandan Wangi menjadi agak bingung. Tetapi ia masih mendesaknya,
“Aku tidak peduli, tetapi kenapa ayah marah dan pembicaraan antara ayah dan tamu-tamu di pendapa itu tidak berlangsung dengan baik?”
“Tidak ada yang marah. Mereka berbicara dengan baik. Ketika kami menghidangkan makanan dan minuman, semuanya tertawa-tawa dengan cerah. Tidak ada apa-apa. Sungguh, tidak ada apa-apa dengan tamu-tamu itu.”
“Jadi, kau tidak dipanggil ayah ketika kau akan memanggil aku pulang?”
“Aku tidak akan memanggil kau pulang.”

Pandan Wangi termangu-mangu sejenak. Dicobanya mengingat wajah para pengawal itu. Dan tiba-tiba ia menggeram,
“Gila, Mereka pasti membohongi aku. Mereka sengaja menggangguku. Awas, jika besok aku bertemu lagi, aku pilin telinganya sampai putus. Jika tidak ada orang gila itu, aku tentu masih belum pulang saat ini.”
Prastawa memandang Pandan Wangi dengan heran. Lalu ia pun bertanya,
“Apakah sebenarnya yang telah terjadi?”
“Tidak apa-apa. Tidak apa-apa.”
Pandan Wangi pun kemudian membanting dirinya duduk di atas sebuah amben bambu. Dipandanginya adik sepupunya itu sejenak namun kemudian ia menarik nafas dalam-dalam, menyesali ketergesa-gesaannya. Bahkan kemudian ia berkata di dalam hati,
“Tentu orang-orang menyangka, bahwa aku tergesa-gesa pulang karena tamu-tamu itu.”
Dalam pada itu, anak muda yang pergi berburu bersamanya menjadi sangat heran akan tingkah laku Pandan Wangi. Karena itu, setelah Pandan Wangi agak tenang dan duduk di amben bambu ia mencoba bertanya,
“Pandan Wangi, apakah yang sebenarnya telah terjadi?”
Pandan Wangi memandanginya sejenak, lalu,
“Tidak ada apa-apa yang terjadi.”
“Tetapi tampaknya kau menjadi bingung.”
Pandan Wangi mengangguk kecil, lalu,
“Ya, aku menjadi bingung karena para pengawal itu telah memperolok-olokkan aku. Awas, jika aku bertemu mereka besok.”
Anak muda itu masih tetap tidak mengerti. Dan tanpa disadarinya ia telah bertanya,
“Siapakah tamu-tamu itu, Pandan Wangi?”
Pandan Wangi memandang anak muda itu sejenak, lalu,
“Bertanyalah kepada Prastawa.”
Anak muda itu mengerutkan keningnya. Sambil menganggukkan kepalanya ia meninggalkan Pandan Wangi dan mendekati Prastawa yang masih juga heran melihat sikap Pandan Wangi.
“Siapakah tamu-tamu itu?”
Prastawa ragu-ragu sejenak. Kemudian jawabnya,
“Bertanyalah kepada Pandan Wangi.”
“He?” anak muda itu menjadi termangu-mangu pula. Katanya,
“Apakah sebenarnya yang telah terjadi? Dan siapakah sebenarnya orang di pendapa itu? Aku bertanya kepada Pandan Wangi, disuruhnya aku bertanya kepadamu. Sekarang aku bertanya kepadamu, kau suruh aku bertanya kepada Pandan Wangi.”
“O, apakah Pandan Wangi menyuruhmu bertanya kepadaku?”
“Ya.”
Prastawa masih ragu-ragu. Namun kemudian ia menjawab,
“Mereka datang dari seberang Alas Tambak Baya, bahkan dari seberang candi Prambanan.”
“Jauh?”
“Ya. Cukup jauh. Salah seorang dari mereka adalah Demang di Sangkal Putung.”
“Demang di Sangkal Putung,” anak muda itu mengulangi.
“Ya, Demang di Sangkal Putung. Sedang anak-anak muda yang ada di antara mereka adalah anak-anak muda yang pernah tinggal di rumah ini.”
“Tinggal di rumah ini? Kenapa?”

Prastawa menjadi berdebar-debar mendengar pertanyaan itu. Peristiwa yang pernah terjadi di atas Tanah Perdikan Menoreh merupakan goresan yang tajam di hatinya. Ia ingin melupakannya sama sekali. Karena itu, maka ia tidak dapat menjawab sebenarnya. Katanya,
“Mereka berada di sini untuk beberapa lamanya. Mereka adalah perantau yg berkeliling dari satu daerah ke daerah lain tanpa tujuan.”
“Perantau? Apakah mereka tidak mempunyai tempat tinggal untuk menetap.”
Prastawa tidak segera menyahut. Dipandanginya anak muda itu sejenak, seakan-akan ingin mengetahui alasan pertanyaan-pertanyaannya itu. Dan anak muda itu mendesaknya,
“Jadi mereka tidak mempunyai rumah?”
Prastawa menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
“Tentu. Sudah aku katakan, mereka berasal dari Sangkal Putung. Mereka merantau karena panggilan hatinya, bukan karena mereka tidak mempunyai tempat tinggal. Yang seorang dari mereka itu adalah Demang Sangkal Putung Dan sudah barang tentu Ki Demang itu bukan perantau seperti yang lain, karena ia mempunyai tugas tertentu di rumahnya.”
Anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih bertanya lagi,
“Kenapa mereka datang kemari?”
“Mereka adalah sahabat-sahabat Ki Gede. Dan anak-anak muda yang ada di antara mereka adalah sahabat anak-anak muda Menoreh.”
“Sahabat anak-anak muda Menoreh. Bagaimana mungkin?”
“Ceritera panjang sekali. Tetapi yang penting kau ketahui adalah bahwa anak muda yang gemuk itu adalah putera Ki Demang di Sangka; Putung. Tentu mereka mempunyai kepentingan khusus karena mereka datang dari jarak yang jauh.”
“Apakah kepentingan khusus itu?”
“Bertanyalah kepada Pandan Wangi.”
“Tentu ia tidak akan menjawab. Tentu ia akan menyuruhku bertanya kepadamu lagi. Ternyata kalian memperolok-olokkan aku sehingga aku menjadi bingung.”
“Semua orang merasa dirinya diperolok-olokkan. Aku tidak tahu bagaimana aku harus melayani kalian. Sudahlah. Nanti kalian akan tahu juga apa kepentingan mereka datang kemari.”
Anak muda itu tidak bertanya lagi. Sebenarnya ia memang ingin bertanya kepada Pandan Wangi. Tetapi ketika ia berpaling, dilihatnya Pandan Wangi sudah berdiri dan melangkah masuk ke ruang dalam, dan langsung ke dalam biliknya.

Setelah menutup pintu rapat-rapat, maka Pandan Wangi pun merebahkan dirinya di pembaringan. Bagaimana pun juga ia tidak dapat mengingkari perasaan yang sebenarnya bergejolak di dalam hatinya. Sudah terlalu lama ia menunggu. Bahkan hampir saja ia menjadi berputus asa. Seakan-akan ia sedang menunggu terbitnya bulan di musim hujan. Setiap kali ia menengadahkan wajahnya, maka langit selalu gelap disaput olen hawa yang kelabu. Namun tiba-tiba saja kini yang ditunggunya itu datang,
“Apakah mereka datang untuk memenuhi upacara seperti yang lazim, melamar dengan resmi atau justru sebaliknya?” pertanyaan itu masih juga mengganggunya. Untuk menenangkan dirinya sendiri. Pandan Wangi berkata di dalam hati,
“Jika tidak demikian, aku kira mereka tidak akan datang. Sejauh-jauhnya mereka akan menyuruh seseorang untuk menyampaikannya kepada Ayah.”
Terasa sesuatu bergejolak di dalam hati Pandan Wangi. Ia tidak tahu pasti, apakah yang sebenarnya sedang dihadapi. Tetapi harapan yang selama ini rasa-rasanya menjadi semakin pudar itu pun tumbuh kembali. Di luar sadarnya Pandan Wangi pun kemudian bangkit perlahan-lahan. Diamat-amatinya jari-jari tangannya yang lentik tetapi tidak sehalus tangan gadis pingitan, karena tangannya itu sering tersentuh tangkai pedang atau menggenggam busur dan anak panah, kadang-kadang memegangi kendali kuda.


Halaman 1 2 3


<<< Jilid 068                                                                                                       Jilid 070 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar