Ki Gede Menoreh termangu-mangu sejenak. Menurut pengertiannya seberang Kali Praga kini lahir sebuah daerah baru yang mulai ramai, dan disebut Mataram. Karena itu, ia pun menjadi berdebar-debar, justru dalam keadaan terakhir yang meragukan itu.
“Silahkan
mereka duduk di pendapa,” berkata Ki Gede,
“sebentar lagi
aku akan menemuinya.”
Pelayan itu
pun kemudian dengan tergesa-gesa mempersilahkan Kiai Gringsing dan kedua
muridnya, Ki Sumangkar dan Ki Demang Sangkal Putung duduk di pendapa, sementara
Ki Gede Menoreh sedang membenahi pakaiannya, memperbaiki lipatan ikat kepalanya
dan membetulkan kamusnya yang agak miring. Dengan hati yang berdebar-debar ia
melangkah ke pintu depan. Ia tidak banyak berhubungan dengan Mataram yang baru
tumbuh selama ini. Perlahan-lahan Ki Gede Menoreh membuka pintu pendapa. Dari
sela-sela daun pintu ia melihat beberapa orang duduk di atas sehelai tikar
pandan. Dada Ki Gede Menoreh berdesir. Ketika seorang tua yang duduk di antara
mereka berpaling oleh derit pintu, maka Ki Gede Menoreh yang berdiri bertelekan
sebuah tongkat itu berkata lantang di luar sadarnya,
“Kiai, kaukah
itu Kiai?”
Kiai Gringsing
pun berlonjak berdiri. Bergegas-gegas ia mendapatkan Ki Gede Menoreh dengan
wajah yang cerah. Seakan-akan dua orang sahabat yang sudah bertahun-tahun tidak
pernah bertemu. Dengan senyum yang lebar Kiai Gringsing mengguncang-guncang
tangan Ki Gede Menoreh sambil berkata,
“Ki Argapati,
kau tampak semakin sehat dan muda.”
Ki Gede
Menoreh tertawa. Jawabnya,
“Aku menjadi
semakin tua dan lemah. Tetapi aku gembira sekali Kiai datang ke Tanah Perdikan
ini. Tanah Perdikan yang semakin lama semakin tidak terurus.”
Keduanya pun
kemudian melangkah ke pendapa kembali. Kiai Gringsing membimbing Ki Gede
Menoreh yang berjalan bertelekan tongkatnya, sedang yang lain-lain pun telah
berdiri pula. Sejenak Ki Gede Menoreh memandang Swandaru dan Agung Sedayu
sejenak sambil masih saja tersenyum. Kemudian Ki Sumangkar pun menganggukkan
kepalanya sambil berkata,
“Akhirnya kami
datang juga Ki Gede.”
“Tentu, tentu.
Aku yakin bahwa kalian tentu akan datang,” Ki Gede Menoreh mengangguk-angguk.
Ketika tatapan matanya bertemu dengan pandangan Ki Demang, ia mengerutkan
keningnya. Seakan-akan ia bertanya, siapakah orang yang masih belum dikenalnya
ini.
Kiai Gringsing
yang menyadarinya segera berkata,
“Ki Argapati,
inilah Ki Demang di Sangkal Putung.”
“O,” kening Ki
Gede Menoreh berkerut. Namun kemudian ia pun mengulurkan tangannya sambil
berkata,
“Aku senang
sekali Ki Demang datang berkunjung ke Tanah Perdikan ini. Aku mengucapkan
selamat datang.”
“Terima kasih,
Ki Gede,” jawab Ki Demang,
“kami memang
memerlukan datang mengunjungi Ki Gede. Aku sudah banyak mendengar tentang Ki
Gede, tetapi aku belum pernah bertemu muka. Itulah sebabnya, maka pada suatu
kesempatan aku ingin sekali dapat menghadap Ki Gede Menoreh.”
“Ah,” Ki Gede
berdesah,
“kini, setelah
Ki Demang melihat orangnya, tentu Ki Demang menjadi kecewa. Orangnya tidak
lebih dari orang cacat seperti ini.”
“Ah, tentu
tidak Ki Gede. Aku bangga dapat bertemu dengan Ki Gede Menoreh, dan aku pun
kagum melihat Tanah Perdikan ini. Tanah Perdikan yang luas dan subur, dipagari
oleh pegunungan. Sawah yang luas dihiasi dengan hutan-hutan yang masih membuka
kesempatan perkembangan baru di atas Tanah Perdikan ini.”
Ki Gede Menoreh
tertawa. Katanya kemudian,
“Terima kasih.
Dan sekarang kami persilahkan kalian duduk.”
Mereka pun
duduk kembali di atas tikar pandan yang putih. Sambil memandang Agung Sedayu
dan Swandaru berganti-ganti, maka Ki Gede Menoreh pun bertanya,
“Bagaimana aku
harus memanggil kalian? Gupala dan Gupita atau nama yang lain itu?”
Kedua anak-anak
muda itu tersenyum. Katanya,
“Terserahlah
kepada Ki Gede.”
Ki Gede
Menoreh tertawa. Katanya,
“Nama mana
yang kau pilih? Atau kau sudah membuat nama lain lagi?”
Keduanya
tertawa. Tetapi keduanya tidak menjawab. Mereka duduk kembali dalam satu lingkaran.
Mereka membicarakan tentang keselamatan mereka masing-masing. Kemudian mulailah
Ki Gede Menoreh menceriterakan perkembangan Tanah Perdikannya.
“Atas
pertolongan Kiai dan murid-murid Kiai itu, kini Tanah ini menjadi semakin
baik.”
“Kenapa
pertolonganku?” bertanya Kiai Gringsing.
“Ki Argapati lah
yang memiliki kemampuan yang luar biasa. Dalam waktu yang terhitung singkat,
Tanah ini telah menjadi pulih kembali.”
“Bukan
pekerjaan yang sulit. Jika saat itu, Tanah ini benar-benar hangus dibakar oleh
api pertentangan yang memalukan di antara keluarga sendiri itu, maka tidak ada
orang yang akan mampu membangun Menoreh. Siapa pun. Dan sekarang, ternyata kami
di sini masih mendapat kesempatan itu. Meskipun demikian, aku yang menjadi
semakin tua dan lemah, hampir tidak dapat berbuat apa-apa.”
Kiai Gringsing
tertawa. Katanya,
“Jika seperti
ini, Ki Argapati masih menyebut tidak dapat berbuat apa-apa, tentu Ki Argapati
mempunyai cita-cita yang jauh lebih tinggi dari yang kita lihat ini.
Mudah-mudahan di masa mendatang, angkatan yang bakal menggantikan para pemimpin
di Tanah Perdikan ini mampu membangun Menoreh lebih baik lagi.”
Ki Argapati
tertawa. Katanya,
“Tentu, Kiai.
Cita-cita pada umumnya mendahului ujud pencapaian kita. Dan kami memang
bercita-cita. Tentu bukan kami, juga Kiai dan setiap orang bercita-cita.”
“Aku sudah
tua.”
“Ah,” Ki Gede
Menoreh tertawa,
“aku pun sudah
tua. Tetapi apakah cita-cita kita dapat dibatasi oleh ketuaan kita?” lalu
sambil berpaling kepada Ki Demang, “Bukankah begitu, Ki Demang?”
Ki Demang
tertawa pula. Katanya,
“Ya. Cita-cita
kita mengatasi umur kita sendiri karena angkatan yang bakal datang akan
melanjutkan dan mewujudkan cita-cita itu. Cita-cita kita ternyata akan
berkembang terus. Apalagi mengenai suatu daerah seperti Tanah Perdikan Menoreh.
Dari angkatan yang satu kepada angkatan yang kemudian.”
Kiai Gringsing
tertawa. Dipandanginya kedua muridnya sejenak. Lalu katanya,
“Ki Demang
benar. Cita-cita kita adalah cita-cita buat masa depan angkatan sesudah kita.
Tentu kita tidak sekedar hidup untuk kita sendiri. Jika kita memanjakan
kamukten buat diri kita sendiri, memanjakan segala macam nafsu badani, kita
memang akan kehilangan masa depan anak-anak kita.”
Ki Demang
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sedang Argapati pun tersenyum pula, katanya,
“Demikianlah
aku berusaha membuat Menoreh menjadi harapan bagi masa mendatang.”
Hampir di luar
sadarnya Agung Sedayu berpaling pada Swandaru. Sedang ketika Swandaru pun
memandanginya, maka cepat-cepat ia memalingkan wajahnya sambil mencibirkan
bibirnya. Namun dalam pada itu, Swandaru masih saja digelut oleh pertanyaan, di
mana Pandan Wangi? Apalagi ketika beberapa saat kemudian, setelah mereka
berbicara kian kemari, seorang pelayan perempuan menghidangkan minum dan
makanan buat tamu-tamu Ki Gede Menoreh itu. Yang menghidangkan minum dan
makanan itu sama sekali bukan Pandan Wangi. Di luar kebiasaan yang pernah
dilihat oleh Swandaru. Apabila ada tamu yang dihormati, maka biasanya adalah
Pandan Wangi sendiri yang menghidangkan suguhan bagi mereka. Namun yang
menghidangkan adalah seorang pelayan saja. Dengan wajah yang berkerut, Swandaru
mencoba memandang ke halaman di sekitar pendapa itu. Tetapi ia tidak melihat
seorang pun kecuali beberapa orang pekerja yang lewat melintasi halaman itu. Ternyata
orang-orang tua yang sedang bercakap-cakap tentang berbagai masalah itu
seakan-akan tidak teringat lagi kepada anak-anak muda itu. Mereka mempunyai
keasyikan sendiri, hingga seolah-olah Swandaru yang gelisah dan Agung Sedayu
itu tidak ada di antara mereka. Agung Sedayu dan Swandaru terkejut ketika
mereka melihat seorang anak yang masih sangat muda melintas di atas punggung
kuda di halaman. Ketika ia melihat beberapa orang tamu di pendapa, maka ia pun
dengan tergesa-gesa menarik kekang kudanya dan meloncat turun. Kemudian dengan
tergesa-gesa pula dituntunnya kudanya ke belakang.
Swandaru
mengerutkan keningnya melihat anak muda yang tampan itu. Namun ia menarik nafas
dalam-dalam ketika Agung Sedayu berbisik di telinganya,
“Bukankah itu
anak Ki Argajaya.”
Swandaru
menarik nafas dalam-dalam,
“Ya, ia adalah
putera Ki Argajaya.”
Swandaru itu
tiba-tiba bergeser setapak maju. Agung Sedayu tersenyum melihat wajahnya yang
tegang. Sekilas Swandaru yang kebetulan tidak mendengarkan percakapan
orang-orang tua itu karena kuda yang melintas di halaman, mendengar Ki Argapati
menyebut nama anak gadisnya, Pandan Wangi.
“Apa yang
dikatakannya?” bisik Swandaru kepada agung Sedayu.
Agung Sedayu
mengerutkan keningnya. Dan ia bertanya kembali,
“Tentang apa?”
“Tadi, baru
saja.”
“O, tentang
kuda itu.”
“Bukan tentang
kuda.”
“Tentang apa?”
“Sesudah
membicarakan masalah kuda.”
“Ah, aku tidak
mendengarnya. Aku baru memperhatikan kuda yang melintas di halaman itu.”
“Ah kau,”
Swandaru menggeram. Namun sekali lagi ia mendengar Ki Argapati menyebut nama
Pandan Wangi.
“Ia sedang
berburu,” berkata Ki Argapati,
“ia
mengantarkan seorang tamu pula.”
Swandaru
tertarik sekali kepada pembicaraan itu. Dan apalagi ketika Argapati mengatakan,
“Sebenarnya
masih ada sangkut pautnya juga. Anak muda itu masih kadang sendiri. Tetapi
sudah agak jauh. Ia adalah salah seorang pada garis keluarga ibu Pandan Wangi.”
Kiai Gringsing
ternyata menaruh perhatian juga kepada ceritera itu. Maka ia pun bertanya,
“Jadi, Ki Gede
sekarang sedang menerima tamu juga di rumah ini?”
“Ya. Kadang
sendiri. Dan bukan dari jauh.”
“Dari mana?”
“Dari daerah
Tempuran.”
“Tempuran?”
“Ya, sebuah
daerah kecil di sebelah Utara Tanah Perdikan ini.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi Ki Sumangkar-lah yang kemudian bertanya,
“Apakah tamu
Ki Gede itu juga baru saja datang?”
“Tidak. Sudah
dua malam mereka bermalam di tempat ini. Ayah, ibu, dan seorang anak laki-laki
yang sekarang sedang pergi berburu bersama Pandan Wangi.”
Ki Sumangkar
mengangguk-anggukkan kepalanya seperti juga Kiai Gringsing. Tanpa
dikehendakinya sendiri ia memalingkan wajahnya memandang Swandaru. Ternyata
wajah Swandaru menegang. Ada sesuatu yang bergetar di dalam hatinya. Jika yang
pergi berburu bersama Pandan Wangi itu meskipun masih keluarga tetapi sudah jauh,
maka dapat tumbuh persoalan yang dapat mengganggu perasaannya. Tetapi Swandaru
tidak dapat mengatakannya kepada siapa pun bahkan ia berusaha sejauh-jauhnya
menyimpan perasaan itu di dalam sudut hatinya yang paling dalam. Bahkan apabila
mungkin menghilangkan sama sekali kesan yang dapat timbul di wajahnya. Selain
Swandaru, sebenarnya Agung Sedayu pun menjadi tegang pula. Meskipun ia tidak
langsung tersangkut, tetapi rasa-rasanya adalah juga keberatannya mendengar
keterangan Ki Gede Menoreh.
“Siapakah sebenarnya
anak muda itu,” Agung Sedayu bertanya kepada diri sendiri.
Ada berbagai
dugaan yang melintas di benaknya, bahkan ia sudah membayangkan
peristiwa-peristiwa yang akan terjadi.
“Mungkin kami
terlalu lama membiarkan Ki Argapati menunggu,” berkata Agung Sedayu di dalam
hatinya pula.
Selagi
gambaran yang beraneka ragam mengganggu orang-orang yang sedang dijamu oleh Ki
Argapati itu, terutama Swandaru, Ki Demang dan Kiai Gringsing, di hutan
perburuan, Pandan Wangi berpacu di atas punggung kudanya mengikuti jejak seekor
rusa. Dengan susah payah ia menunggu tidak begitu jauh dari sebuah sumber air
yang menurut dugaannya menjadi tempat minum binatang-binatang buruannya. Tetapi
agaknya arus angin tidak menguntungkan ketika tiba-tiba saja angin berubah
arah. Ketika seekor rusa sedang berjalan perlahan-lahan mendekati sumber air
itu, maka oleh angin yang berganti arah itu, dihanyutkannya bau manusia,
sehingga rusa itu pun segera lari terbirit-birit. Betapa kuda Pandan Wangi
berlari kencang, namun kuda itu sudah tidak akan mungkin lagi dapat menyusul
rusa itu, karena rusa itu segera pula menghilang di antara gerumbul-gerumbul
perdu. Alangkah kecewanya Pandan Wangi. Buruannya ternyata sama sekali tidak
dapat ditangkapnya. Dalam pada itu, kawannya berburu, selain beberapa orang
pengiring, adalah masih ada sangkut paut kekeluargaan meskipun agak jauh.
Tetapi ternyata anak muda itu tidak dapat membantu sama sekali. Justru
kadang-kadang ia telah mengganggu Pandan Wangi. Setiap kali ia berteriak-teriak
memanggil kawan-kawannya dan Pandan Wangi.
“Sayang
sekali,” desis Pandan Wangi. Ia masih maju beberapa puluh langkah lagi dengan
kudanya. Namun ketika ia kemudian berpaling, ia sudah tidak melihat saudaranya
itu.
“Kemana ia
pergi?” bertanya Pandan Wangi di dalam hatinya.
Dan sejenak
kemudian Pandan Wangi pun mendengar suaranya bergema,
“Pandan Wangi,
Pandan Wangi, di mana kau?”
Pandan Wangi
menarik nafas dalam-dalam. Dengan kesal ia berbalik untuk mengambil anak muda
yang berteriak-teriak di dalam hutan, meskipun sekedar hutan buruan. Namun di
dalam hutan buruan itu benar-benar masih terdapat beberapa ekor harimau.
Ketika Pandan
Wangi mendekat, ia masih sempat mendengar seorang pengawal berkata,
“Marilah, kita
menyusulnya.”
“Jangan
terlampau cepat.”
“Pandan Wangi
memburu seekor rusa. Jika kita tidak cepat, kita akan kehilangan jejak.”
Anak muda itu
mengerutkan keningnya. Namun sebelum ia menjawab, ia melihat Pandan Wangi
datang menyongsongnya.
“Pandan Wangi,
kenapa kau selalu meninggalkan aku?”
“Kita berburu
di hutan,” jawab Pandan Wangi.
“Aku belum
pernah berburu seperti caramu.”
“O, kau pernah
juga berburu?”
“Tidak,
maksudku aku tidak pernah berburu di hutan begini. Kadang-kadang aku memang
pergi menyumpit. Tetapi hanya sekedar mencari burung-burung kecil. Burung
tilang, podang, dan sebagainya.”
Pandan Wangi
tersenyum. Tetapi ia pun berkata,
“Tidak ada
bedanya. Kau dengan sumpit, aku memakai panah. Sedang yang aku kejar berlari
kencang sekali, yang kau kejar tidak.”
“O, kau sangka
kecepatan terbang burung podang kalah cepat dengan lari seekor rusa.”
“Tidak, memang
tidak. Tetapi kau tidak pernah menyumpit burung yang sedang terbang. Sedang
pemburu di hutan, kadang-kadang ia harus memanah buruannya yang sedang
berlari.”
“Memanah
sambil naik kuda?” bertanya anak muda itu.
“Ya, berkuda
sambil melepaskan anak panah.”
“Bagaimana
mungkin. Dengan tangan kirimu kau memegang busur, sedang tangan kananmu menarik
anak panahnya.”
“Maksudmu
kendali?”
“Ya.”
“Aku sering
melepaskan kendali sama sekali karena kudaku ini sudah terlampau jinak dan
penurut. Tetapi kadang-kadang aku menjepitnya dengan lutut.”
“Berbahaya
sekali.”
“Tidak.
Mungkin apabila kita naik seekor kuda yang nakal. Tetapi kudaku sangat baik
kepadaku.”
Anak muda itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia pun bertanya,
“Kau dapatkan
rusa itu?”
“Tidak,” sahut
Pandan Wangi.
“Kita
membuang-buang waktu.”
“O, kau tidak
senang berburu di hutan yang sejuk ini?”
Anak muda itu
ragu-ragu sejenak, lalu, “Senang, senang sekali.”
Pandan Wangi
menjadi heran. Anak muda itulah yang mengajaknya berburu. Tetapi ternyata ia
tidak begitu tertarik pada perburuan lagi ketika mereka sudah berada di hutan.
“Rusa itu
terkejut mendengar suaramu berteriak-teriak itu,” berkata Pandan Wangi
kemudian.
“Kita harus
diam, supaya seekor binatang tidak segera melarikan diri sebelum kita sempat
membidiknya.”
Anak muda itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi nafasnya menjadi terengah-engah. Agaknya
berburu di hutan dengan naik di punggung kuda kurang menyenangkan. Meskipun
demikian ia tidak mau mengatakan berterus terang. Pandan Wangi agaknya dapat
membaca isi hatinya. Karena itu maka ia pun berkata,
“Apakah
perburuan ini kita akhiri sekian saja?”
“Jangan.
Berburulah sehingga kita mendapatkan seekor binatang buruan.”
“Dan kau akan
tetap berteriak-teriak mengusir binatang yang sedang aku bidik?”
“Tidak. Aku
akan diam saja.”
Pandan Wangi
termenung sejenak Tetapi kegairahannya untuk berburu terus telah turun sama
sekali.
“Teruskanlah
Pandan Wangi,” berkata anak muda itu selanjutnya.
“Kenapa kau
termenung.”
“Aku tidak
bernafsu lagi. Marilah kita kembali ke rumahku. Ayah sudah menunggu.”
“Bukankah
ayahmu sudah mengetahui bahwa kau berburu bersama aku? Ia tidak akan mencarimu.
Agaknya ia percaya kepadaku.”
“Maksudmu?”
bertanya Pandan Wangi.
“Maksudku,
ayahmu tidak akan mencemaskan kau selama kau pergi bersamaku. Aku akan
melindungimu dan membawamu pulang dengan selamat.”
“O,” suara
Pandan Wangi bernada tinggi, namun kemudian merendah,
“ya. Tentu
Ayah akan percaya bahwa aku akan selamat sampai di rumah.”
“Karena itu jangan
tergesa-gesa pulang. Kita teruskan perburuan ini, aku tidak akan memanggilmu
lagi.” Tetapi kemudian,
“Meskipun
demikian, aku harus selalu mengawasimu karena aku harus melindungimu.”
“Aku sudah
lelah sekali,” berkata Pandan Wangi,
“aku ingin
keluar dari hutan ini.”
“Tidak. Kita
akan berburu bersama-sama.”
Pandan Wangi
menjadi agak bingung menanggapi sikap anak muda itu, tetapi sambil tersenyum ia
berkata,
“Marilah kita
keluar dahulu dari hutan ini. Jika kita akan berburu lagi, kita akan
melakukannya.”
Pandan Wangi
tidak menunggu jawabannya. Ia pun kemudian menggerakkan kudanya mendahului
menuju ke luar hutan.
Anak muda itu
tidak dapat berbuat lain daripada mengikutinya bersama beberapa orang pengiring
Pandan Wangi. Meskipun ia agak kecewa, karena Pandan Wangi nampaknya tidak lagi
berminat meneruskan perburuan ini karena sikapnya. Sejenak kemudian mereka pun
telah sampai ke pinggir hutan. Rasa-rasanya seperti seseorang yang baru saja
muncul dari dalam goa yang lembab, terasa betapa sejuknya udara terbuka di luar
hutan perburuan itu, meskipun juga terasa panas matahari yang bagaikan
menyengat wajah dedaunan yang hijau segar. Tetapi angin yang lemah membuat
udara di pinggir hutan itu tetap sejuk. Suara gemerisik yang menyentuh telinga,
membuat hati bagaikan dibelai oleh bisikan-bisikan yang lembut. Belum lagi
Pandan Wangi turun dari kudanya, dilihatnya debu yang mengepul di kejauhan,
dilemparkan oleh kaki beberapa ekor kuda yang berlari di sepanjang jalan
berdebu. Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Ia pun segera mengerti bahwa
mereka adalah beberapa orang peronda yang sedang nganglang di sepanjang jalan
Tanah Perdikan Menoreh yang terutama di bagian Selatan dan Timur, mulai
tersentuh oleh persoalan-persoalan yang dapat menimbulkan kegelisahan
rakyatnya. Para peronda berkuda yang berlari di sepanjang jalan itu pun agaknya
dapat melihat Pandan Wangi. Sejenak mereka berbicara di antara mereka. Namun
kemudian salah seorang dari mereka mengacu-acukan tangannya. Pandan Wangi
memandangi mereka dengan heran. Ia tidak segera mengerti maksudnya. Namun ia
pun tidak segera berbuat sesuatu. Ternyata beberapa ekor kuda itu pun berhenti
sejenak. Kemudian mereka berbelok ke arah Pandan Wangi yang memandangi mereka
dengan hati yang berdebar-debar.
“Pandan
Wangi,” salah seorang dari para peronda itu berkata meskipun ia belum dekat
benar,
“apakah kau
tidak ingin segera pulang?”
Pandan Wangi
tidak segera menjawab. Ditunggunya orang itu menjadi semakin dekat dan baru
kemudian ia bertanya,
“Kenapa
tergesa-gesa pulang?”
Para peronda itu
pun kemudian berhenti beberapa langkah dari Pandan Wangi. Wajahnya tampak aneh
dan tanpa sebab orang itu tersenyum-senyum sendiri.
“Ada apa?”
Pandan Wangi bertanya pula.
“Seharusnya
kau pulang.”
“Ya, ada apa?”
gadis itu menjadi jengkel.
“Ada tamu di
rumahmu.”
“Ah, apa
salahnya ada tamu. Ayah terlalu sering menerima tamu dari mana saja.”
“Tetapi sekali
ini tamu ayahmu agak lain. Tamu yang tentu tidak kau duga akan datang hari
ini.”
Pandan Wangi
memandang orang itu dengan heran. Dan sekali lagi ia mendesak,
“Siapakah tamu
Ayah kali ini?”
“Tamu Ki Gede
datang dari seberang Kali Opak. Bahkan dari seberang Alas Mentaok, dari
seberang Alas Tambak Baya.”
“Siapa,
siapa?”
“Dari seberang
Candi Prambanan. He, kau pernah lihat candi itu? Candi yang sangat indah?”
Pandan Wangi
tidak segera menangkap maksud para pengawal itu. Karena itu ia masih saja
berdiri termangu-mangu. Sedang para pengawal itu masih saja tersenyum-senyum.
“Apakah kalian
mendapat perintah dari Ayah untuk menyusul aku?”
“Tidak. Tidak,”
jawab para pengawal itu,
“aku hanya
melihat tamu-tamu itu, dan kebetulan aku melihat kau di sini.”
“Siapakah
sebenarnya tamu itu?” Pandan Wangi menjadi jengkel.
Tetapi para
pengawal itu masih saja tersenyum-senyum. Sedangkan Pandan Wangi menjadi
semakin jengkel karenanya, sehingga ia berkata,
“Jika kalian
tidak segera mengatakan siapa tamu itu, aku akan mengejutkan kuda kalian dan
kalian akan dibawanya berlari sambil melonjak-lonjak. Jika ada di antara kalian
yang terlempar karenanya, itu bukan salahku.”
“Jangan.
Jangan,” para pengawal itu hampir berbareng menyahut.
“Jika
demikian, sebut tamu itu.”
“Tamu itu
datang dari Sangkal Putung. Ki Demang Sangkal Putung bersama puteranya yang
gemuk itu. Kau sudah mengenalnya bukan?”
“He,” sekilas
terpancar kegembiraan dimata Pandan Wangi. Namun kemudian ia berusaha menghapus
kesan itu dan berkata,
“Aku tidak
kenal mereka.”
“He,” salah
seorang pengawal itu pun menyahut,
“kau tidak
kenal mereka? Dua anak muda yang pernah berada di Tanah Perdikan ini pada saat
tanah ini dibakar oleh api kedengkian dan iri hati?”
“Cukup.”
“Maaf, Pandan
Wangi. Bukan maksudku mengingatkan pertentangan yang pernah terjadi. Tetapi aku
ingin mengingatkan kau pada kedua anak-anak muda itu. Yang seorang gemuk namun
tampan. Dengan wajah yang agak ke kanak-kanakan. Sedang yang lain sedang dan
agak lebih bersungguh-sungguh.”
“Aku tidak
ingat mereka lagi. Dan aku tidak sempat mengingatnya,” lalu ia pun berpaling
kepada anak muda yang diajaknya berburu.
“Marilah
apakah kau masih ingin berburu?”
Anak muda itu
menjadi heran. Ia tidak mengerti perubahan sikap yang tiba-tiba saja. Karena
itu ia tidak segera menjawab.
“Katakan, apa
keinginanmu sekarang?” bertanya Pandan Wangi.
Anak muda itu
tidak mengerti maksud Pandan Wangi yang sebenarnya. Sekenanya saja ia menjawab,
“Apakah kita
sebaiknya pulang saja?”
“Ah,” Pandan
Wangi berdesah,
“jika kita
harus pulang, sama sekali bukan karena ada tamu itu. Tetapi karena kaulah yang
ingin pulang.”
Anak muda itu
menjadi semakin bingung, sedang para pengawal itu pun masih saja
tersenyum-senyum.
“Pergilah.
Jika kalian mempunyai kewajiban, lakukanlah. Jangan mengganggu aku lagi. Aku
masih ingin berburu dan masih ingin berbuat apa saja sebelum aku pulang, dan
kapan aku akan pulang tergantung kepadaku. Ada atau tidak ada tamu.”
“Baiklah,”
jawab peronda itu sambil menganggukkan kepalanya. Lalu katanya,
“Kami memang
akan melanjutkan tugas kami mengelilingi daerah Selatan ini sampai ke Kali
Praga. Dan aku pun tidak mendapat perintah dari Ki Gede agar menjemputmu. Aku
tidak tahu, pembicaraan apakah yang sedang berlangsung, tetapi aku melihat
wajah-wajah yang buram. Mula-mula Ki Gede akan memerintahkan adikmu sepupu
untuk menjemputmu, tetapi tiba-tiba niat itu dibatalkan. Adikmu sepupu telah
ada di regol ketika Ki Gede berteriak dengan nada yang tinggi.”
Wajah Pandan
Wangi menegang. Lalu dengan cemas ia bertanya,
“Apa yang
dikatakan Ayah ?”
“Aku tidak
tahu. Mungkin adikmu itu berbuat kesalahan, atau apa pun. Tetapi Ki Gede
agaknya marah sekali.”
Wajah Pandan
Wangi menjadi semakin tegang. Dan tiba-tiba saja ia berkata,
“Aku akan
pulang.”
“Ki Gede tidak
menunggu kau. Justru sebaiknya kau menunggu perintahnya.”
“Sudah aku
katakan. Terserah kepadaku. Apakah aku akan pulang atau tidak.”
“Baik, baik.”
“Pergi. Cepat
pergi.”
Para peronda
itu pun kemudian meninggalkan Pandan Wangi. Tetapi mereka masih saja
tersenyum-senyum. Namun salah seorang dari mereka berkata,
“Kau sudah
keterlaluan. Bagaimana jika Pandan Wangi tergesa-gesa pulang dan bertanya
tentang ceriteramu itu kepada Prastawa.”
“Tidak
apa-apa. Prastawa akan menjadi kebingungan. Tetapi Pandan Wangi akan segera
tahu, bahwa kita berbohong.”
“Dan besok
jika kita bertemu dengan gadis itu, kita akan dilabraknya.”
“Besok ia
pasti sudah lupa. Anak yang gemuk itu akan sangat menarik perhatiannya.”
“Tetapi jika
ia masih ingat akan kelakarmu ini, terserahlah kepadamu. Mungkin kepalamu akan
dikerawunya dengan ampas kelapa.”
Kawannya
justru tertawa. Tetapi suara tertawanya terputus ketika ia mendengar derap kuda
berlari kencang. Ketika ia berpaling dilihatnya Pandan Wangi dan tamunya itu
berpacu pulang diikuti oleh beberapa orang pengiring.
“Tentu ia
menyangka sesuatu telah terjadi. Ia pasti mengira bahwa terjadi perselisihan
antara tamunya dan ayahnya tentang dirinya.”
Kawannya
tersenyum. Lalu,
“Kita memang
harus berhati-hati besok, jika ia masih mengingatnya.”
Para pengawal
itu melanjutkan perjalanan mereka. Namun mulailah mereka merasa cemas. Jika
tiba-tiba saja Pandan Wangi berbuat sesuatu di rumahnya, siapakah yang harus
bertanggung jawab? Dan hampir di luar sadarnya pengawal yang mencoba mengganggu
Pandan Wangi itu berkata hampir kepada diri sendiri,
“Tetapi, jika
Pandan Wangi langsung marah-marah di rumahnya dan berbuat di luar dugaan karena
sifatnya yang keras, dan agak seperti seorang laki-laki itu, siapakah yang
dapat dipersalahkan?”
“Kau, kau,”
kawannya menudingnya,
“kau memang
kurang berhati-hati. Kau kurang menempatkan diri apabila kau berhasrat
bergurau. Persoalan ini bagi Pandan Wangi bukan persoalan kecil. Sekian lamanya
ia menunggu, tiba-tiba saja ia dihadapkan pada suatu persoalan yang tidak
diinginkannya.”
“Aku tidak
mengatakan apa-apa tentang anak muda Sangkal Putung itu.”
“Tetapi kau
sengaja memberikan gambaran yang salah pada Pandan Wangi.”
“Dan kau tidak
mencegahnya. Sekarang kau menyalahkan aku pula.”
Kawannya tidak
menjawab. Ia menjadi kasihan juga melihat wajah pengawal yang merasa terdorong
terlampau jauh itu.
“Aku akan
kembali. Mungkin sesuatu akan terjadi.”
Tetapi
kawannya menggeleng,
“Kami sedang
menjalankan tugas. Jika selama kita di perjalanan kembali terjadi sesuatu di
sini, dosa kita akan bertambah-tambah. Bukankah kadang-kadang di daerah ini
timbul sesuatu yang tidak dapat kita mengerti, yang sampai saat ini masih
merupakan teka-teki? Meskipun kita mengetahuinya bahwa persoalan yang
sebenarnya tidak terjadi di Menoreh, tetapi di daerah di seberang Kali Praga,
namun sentuhan peristiwa itu di daerah Menoreh tidak dikehendaki oleh Ki Gede.
Dan jika kita tidak bertindak tegas sejak permulaan, maka semakin lama
persoalannya akan menjadi semakin sulit dipecahkan dan semakin sulit diatasi.”
Pengawal yang
merasa menyesal atas kelakarnya yang berbahaya itu mengangguk-angguk. Tetapi ia
masih berkata, “Aku menjadi gelisah sekarang.”
“Salahmu.”
“Bagaimana
jika aku kembali seorang diri, dan kalian meneruskan tugas kita.”
“Terserah
kepadamu.”
Orang itu
merenung sejenak, lalu,
“Biarlah aku
terus bersama kalian. Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa. Tolong bantulah aku
berdoa.”
Kawan-kawannyalah
yang kemudian tersenyum. Tetapi karena mereka tidak sampai hati melihat
kegelisahan dan kecemasan yang mencengkam jantung kawannya itu, hampir berbareng
kawan-kawannya menjawab,
“Baiklah. Kami
akan berdoa, mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa.”
Pengawal yang
sedang menyesal itu memandangi wajah kawan-kawannya berganti-ganti. Tetapi ia
tidak mengatakan apa-apa lagi. Sementara itu, Pandan Wangi berpacu kembali ke
induk Tanah Perdikan Menoreh. Tiba-tiba saja hatinya menjadi gelisah. Ia memang
dicemaskan oleh ceritera pengawal itu, seakan-akan telah terjadi sesuatu di
rumahnya. Seolah-olah kedatangan tamu-tamu ayahnya dari Sangkal Putung itu
membawa persoalan yang kurang menyenangkan. Karena itu, ia hampir tidak
menghiraukan lagi anak muda yang berburu bersamanya, yang masih ada hubungan
darah dengan keluarganya meskipun sudah agak jauh.
“Pandan Wangi,”
anak muda itu memanggilnya,
“jangan
terlalu cepat.”
Pandan Wangi
tidak menghiraukannya. Ia masih saja berpacu lewat jalan berdebu. Beberapa
orang petani yang melihat Pandan Wangi bergegas pulang itu mengerutkan
keningnya. Namun seorang anak muda yang lewat di pematang berkata kepada petani
itu,
“Pandan Wangi
tergesa-gesa pulang karena ada tamu di rumahnya. He, apakah Paman tidak melihat
iring-iringan orang berkuda lewat jalan di sebelah Utara itu? Mereka datang
dari Sangkal Putung.”
Petani itu
menggeleng.
“O, jika Paman
melihatnya, Paman tidak akan heran lagi. Tamu itu adalah anak muda yang
beberapa saat yang lalu ada di Tanah ini, ketika Tanah ini dibakar oleh
pertentangan antara Ki Argapati dan Ki Argajaya bersama Sidanti.”
“O,” petani
itu mengangguk-angguk.
“Bukankah
Paman ikut dalam pertempuran-pertempuran yang terjadi saat itu?”
“Ya.
Pertentangan itu kini sudah kita lupakan.”
“Tentu. Tetapi
bahwa anak muda itu pernah di sini itulah yang aku ingat. Dan anak muda itu
memang mempunyai persoalan tersendiri dengan Pandan Wangi.”
Petani itu
tersenyum. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata,
“Pantas Pandan
Wangi tidak sabar lagi.”
Dan ketika
petani itu mengangkat wajahnya, dilihatnya debu yang meloncat ke udara
dilemparkan oleh kaki-kaki kuda yang berlari kencang. Di regol padukuhan induk,
Pandan Wangi mengurangi kecepatan derap kudanya. Bahkan sejenak ia menjadi
ragu-ragu. Apakah ia akan langsung pulang ke rumahnya atau akan singgah dahulu
di mana pun juga untuk mengetahui keadaan di rumahnya. Apakah benar
tamu-tamunya itu datang dari Sangkal Putung, atau pengawal itu keliru
menjawabnya. Pandan Wangi mengerutkan keningnya ketika seorang anak muda di
regol padukuhannya tertawa tanpa alasan sambil memandanginya.
“He, kenapa
kau tertawa?” bertanya Pandan Wangi.
“Tidak
apa-apa. Tetapi pulanglah. Ada tamu yang membawa oleh-oleh yang sangat
menarik.”
Pandan Wangi
mengerutkan keningnya. Ia sadar bahwa anak muda itu sengaja mengganggunya.
Karena itu maka ia pun berpura-pura tidak mengetahuinya dan bertanya lebih
lanjut,
“Siapa tamu
itu?”
“Aku kurang
tahu. Tetapi yang aku ketahui mereka datang dari jauh dan membawa oleh-oleh
buatmu. Khusus buatmu.”
“Terima kasih.
Aku akan melihat tamu yang membawa oleh-oleh itu.”
Anak muda di
regol pedukuhan itu tidak menyahut lagi. Dipandanginya saja Pandan Wangi yang
maju perlahan oleh keragu-raguan.
“He, siapakah
sebenarnya orang yang selalu disebut-sebut itu Pandan Wangi?” bertanya anak
muda yang berburu bersama Pandan Wangi itu.
“Aku tidak
tahu,” jawab Pandan Wangi.
“Mustahil. Aku
menangkap kesan yang aneh pada setiap orang yang memberitahukan tentang tamu
itu. Mereka tertawa-tawa seperti orang kesurupan, dan bahkan ada yang
mirip-mirip dengan orang gila.” Anak muda itu berhenti sejenak, lalu,
“Dan sikapmu
sendiri menjadi aneh. Tentu kau sudah tahu siapakah tamumu itu.”
“Aku tidak
tahu.”
“Setidak-tidaknya
kau dapat menduga, siapakah tamumu, yang oleh anak muda di regol ini disebut
membawa oleh-oleh yang sangat menarik buatmu.”
Pandan Wangi
tidak menyahut.
“Tentu kau
tidak berkeberatan mengatakan kepadaku, siapakah tamumu itu. Apakah yang mereka
maksudkan adalah keluargaku?”
Pandan Wangi
menggelengkan kepalanya. Jawabnya,
“Tentu tidak.
Kau tidak datang hari ini. Kau sudah ada dirumahku. Dan mereka tidak mengatakan
apa-apa tentang kedatanganmu, karena tetangga-tetanggaku belum mengenalmu
dengan baik.”
“Aku pernah
datang ke rumahmu sebelumnya.”
“Tetapi sudah
lama sekali.”
Anak muda itu
tidak menyahut lagi. Tampaklah keningnya berkerut-merut. Ia mencoba untuk
mengetahui siapakah tamu Ki Gede Menoreh kali ini, yang agaknya lebih penting
dari dirinya sendiri. Tetapi tidak seorang pun yang dapat memberitahukan
kepadanya. Karena Pandan Wangi sendiri tidak mau menyebut tamunya, maka para
pengiringnya pun tentu tidak akan mau mengatakannya.
“Aku akan
langsung pulang,” tiba-tiba saja Pandan Wangi berdesis.
Anak muda yang
bersamanya itu tidak mengerti maksudnya. Kenapa Pandan Wangi harus berkata
demikian. Jika ia tidak pulang ke rumah, maka ke mana saja ia akan pergi. Demikianlah
maka mereka pun langsung menyelusur jalan induk Tanah Perdikan Menoreh. Meskipun
masih juga ragu-ragu, namun Pandan Wangi langsung menuju ke regol rumahnya.
Ketika ia akan memasuki regol itu, tiba-tiba saja berkata,
“Kemarilah.”
Anak muda yang
berburu bersamanya itu menjadi heran. Tetapi Pandan Wangi berkata sekali lagi,
“Marilah kita
bersama memasuki regol itu. Jangan terlalu lambat. Kita langsung masuk ke
longkangan samping dan berhenti di belakang.”
“Kenapa?”
“Ikut kataku.”
Anak muda itu
tidak sempat bertanya lagi. Pandan Wangi sudah mempercepat lagi derap kudanya
dan memberi isyarat agar anak muda itu berkuda di sampingnya. Sambil
menengadahkan wajahnya Pandan Wangi memasuki halaman rumahnya bersama anak muda
itu. Sama sekali tidak berpaling ke pendapa dan langsung menuju ke longkangan
samping.
“Itulah Pandan
Wangi,” berkata Ki Argapati.
“Ya,” jawab
Kiai Gringsing.
Tetapi
orang-orang yang berada di pendapa itu menjadi heran. Pandan Wangi berpaling
pun tidak.
“Tentu ia
belum tahu bahwa ada tamu di pendapa ini.”
Kiai
Grlngsing, Ki Sumangkar, dan Ki Demang Sangkal Putung mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun dalam pada itu, terasa sesuatu berdesir di dada Swandaru. Ia
belum mengenal anak muda itu. Meskipun ia sudah mendengar bahwa anak muda itu
masih ada sangkutan darah pada garis keturunan ibu Pandan Wangi. Namun sikapnya
agak memanaskan hatinya. Apalagi Pandan Wangi sendiri sama sekali tidak
berpaling dan tidak menghiraukan kehadirannya. Tetapi ia pun mencoba menghibur
dirinya sendiri dengan kalimat yang dikatakan oleh Ki Argapati,
“Tentu ia
belum tahu bahwa ada tamu di pendapa ini.”
“Tetapi anak
muda yang lebih dahulu berpacu melintasi halaman ini melihat bahwa kami duduk
di sini dan dengan tergesa-gesa turun,” berkata Swandaru di dalam hatinya pula.
Tidak ada yang
dapat dimintainya pertimbangan. Agung Sedayu tentu hanya akan mengganggunya
saja. Namun dalam pada itu, Agung Sedayu pun menjadi heran melihat sikap Pandan
Wangi. Apakah mungkin Pandan Wangi tidak melihat tamu-tamu yang ada di pendapa,
ini atau ia memang mengalami perubahan selama ini? Namun sikap itu memang
menimbulkan berbagai pertanyaan di hati anak-anak muda yang sedang duduk di
pendapa itu bersama Ki Gede Menoreh. Dalam pada itu Pandan Wangi yang terus
saja membawa kudanya ke longkangan langsung pergi ke belakang rumahnya. Dengan
tenangnya ia meloncat turun dan menambatkan kudanya pada sebatang pohon. Tanpa
menghiraukan apa pun juga, maka Pandan Wangi pun langsung masuk ke bagian
belakang rumahnya itu. Anak muda yang pergi berburu bersamanya itu pun
mengikutinya saja. Ia sama sekali tidak mengerti maksud Pandan Wangi. Sedang ia
masih belum mendapat kesempatan untuk bertanya lebih lanjut. Di bagian belakang
dari rumahnya itu Pandan Wangi bertemu dengan adik sepupunya, dan langsung saja
ia bertanya,
“Kenapa ayah
marah?”
Prastawa
memandang Pandan Wangi dengan heran. Tetapi sebelum ia menjawab Pandan Wangi
mendesaknya,
“Kenapa?
Apakah tamu-tamu di pendapa itu membawa berita buruk atau penghinaan terhadap
kita di sini?”
“Aku tidak
mengerti,” Prastawa terheran-heran.
“Kenapa ayah
marah? Kenapa?”
“Paman
Argapati sama sekali tidak marah.”
“He?” Pandan
Wangi mengerutkan keningnya, lalu,
“Tetapi kenapa
kau dipanggilnya setelah kau sampai di regol halaman pada saat kau akan
memanggil aku pulang?”
“Aku tidak
mengerti. Aku tidak akan memanggil kau pulang. Kami di sini mengetahui bahwa
kau tidak akan berburu terlalu lama. Karena itu, kami sama sekali tidak
bermaksud memanggil kau pulang.”
Pandan Wangi
menjadi agak bingung. Tetapi ia masih mendesaknya,
“Aku tidak
peduli, tetapi kenapa ayah marah dan pembicaraan antara ayah dan tamu-tamu di
pendapa itu tidak berlangsung dengan baik?”
“Tidak ada
yang marah. Mereka berbicara dengan baik. Ketika kami menghidangkan makanan dan
minuman, semuanya tertawa-tawa dengan cerah. Tidak ada apa-apa. Sungguh, tidak
ada apa-apa dengan tamu-tamu itu.”
“Jadi, kau
tidak dipanggil ayah ketika kau akan memanggil aku pulang?”
“Aku tidak
akan memanggil kau pulang.”
Pandan Wangi
termangu-mangu sejenak. Dicobanya mengingat wajah para pengawal itu. Dan
tiba-tiba ia menggeram,
“Gila, Mereka
pasti membohongi aku. Mereka sengaja menggangguku. Awas, jika besok aku bertemu
lagi, aku pilin telinganya sampai putus. Jika tidak ada orang gila itu, aku
tentu masih belum pulang saat ini.”
Prastawa
memandang Pandan Wangi dengan heran. Lalu ia pun bertanya,
“Apakah
sebenarnya yang telah terjadi?”
“Tidak
apa-apa. Tidak apa-apa.”
Pandan Wangi
pun kemudian membanting dirinya duduk di atas sebuah amben bambu. Dipandanginya
adik sepupunya itu sejenak namun kemudian ia menarik nafas dalam-dalam,
menyesali ketergesa-gesaannya. Bahkan kemudian ia berkata di dalam hati,
“Tentu
orang-orang menyangka, bahwa aku tergesa-gesa pulang karena tamu-tamu itu.”
Dalam pada
itu, anak muda yang pergi berburu bersamanya menjadi sangat heran akan tingkah
laku Pandan Wangi. Karena itu, setelah Pandan Wangi agak tenang dan duduk di amben
bambu ia mencoba bertanya,
“Pandan Wangi,
apakah yang sebenarnya telah terjadi?”
Pandan Wangi
memandanginya sejenak, lalu,
“Tidak ada
apa-apa yang terjadi.”
“Tetapi
tampaknya kau menjadi bingung.”
Pandan Wangi
mengangguk kecil, lalu,
“Ya, aku
menjadi bingung karena para pengawal itu telah memperolok-olokkan aku. Awas,
jika aku bertemu mereka besok.”
Anak muda itu
masih tetap tidak mengerti. Dan tanpa disadarinya ia telah bertanya,
“Siapakah
tamu-tamu itu, Pandan Wangi?”
Pandan Wangi
memandang anak muda itu sejenak, lalu,
“Bertanyalah
kepada Prastawa.”
Anak muda itu
mengerutkan keningnya. Sambil menganggukkan kepalanya ia meninggalkan Pandan
Wangi dan mendekati Prastawa yang masih juga heran melihat sikap Pandan Wangi.
“Siapakah
tamu-tamu itu?”
Prastawa ragu-ragu
sejenak. Kemudian jawabnya,
“Bertanyalah
kepada Pandan Wangi.”
“He?” anak
muda itu menjadi termangu-mangu pula. Katanya,
“Apakah
sebenarnya yang telah terjadi? Dan siapakah sebenarnya orang di pendapa itu?
Aku bertanya kepada Pandan Wangi, disuruhnya aku bertanya kepadamu. Sekarang
aku bertanya kepadamu, kau suruh aku bertanya kepada Pandan Wangi.”
“O, apakah
Pandan Wangi menyuruhmu bertanya kepadaku?”
“Ya.”
Prastawa masih
ragu-ragu. Namun kemudian ia menjawab,
“Mereka datang
dari seberang Alas Tambak Baya, bahkan dari seberang candi Prambanan.”
“Jauh?”
“Ya. Cukup
jauh. Salah seorang dari mereka adalah Demang di Sangkal Putung.”
“Demang di
Sangkal Putung,” anak muda itu mengulangi.
“Ya, Demang di
Sangkal Putung. Sedang anak-anak muda yang ada di antara mereka adalah
anak-anak muda yang pernah tinggal di rumah ini.”
“Tinggal di
rumah ini? Kenapa?”
Prastawa
menjadi berdebar-debar mendengar pertanyaan itu. Peristiwa yang pernah terjadi
di atas Tanah Perdikan Menoreh merupakan goresan yang tajam di hatinya. Ia
ingin melupakannya sama sekali. Karena itu, maka ia tidak dapat menjawab
sebenarnya. Katanya,
“Mereka berada
di sini untuk beberapa lamanya. Mereka adalah perantau yg berkeliling dari satu
daerah ke daerah lain tanpa tujuan.”
“Perantau?
Apakah mereka tidak mempunyai tempat tinggal untuk menetap.”
Prastawa tidak
segera menyahut. Dipandanginya anak muda itu sejenak, seakan-akan ingin
mengetahui alasan pertanyaan-pertanyaannya itu. Dan anak muda itu mendesaknya,
“Jadi mereka
tidak mempunyai rumah?”
Prastawa menarik
nafas dalam-dalam. Katanya,
“Tentu. Sudah
aku katakan, mereka berasal dari Sangkal Putung. Mereka merantau karena
panggilan hatinya, bukan karena mereka tidak mempunyai tempat tinggal. Yang
seorang dari mereka itu adalah Demang Sangkal Putung Dan sudah barang tentu Ki
Demang itu bukan perantau seperti yang lain, karena ia mempunyai tugas tertentu
di rumahnya.”
Anak muda itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih bertanya lagi,
“Kenapa mereka
datang kemari?”
“Mereka adalah
sahabat-sahabat Ki Gede. Dan anak-anak muda yang ada di antara mereka adalah
sahabat anak-anak muda Menoreh.”
“Sahabat
anak-anak muda Menoreh. Bagaimana mungkin?”
“Ceritera
panjang sekali. Tetapi yang penting kau ketahui adalah bahwa anak muda yang
gemuk itu adalah putera Ki Demang di Sangka; Putung. Tentu mereka mempunyai
kepentingan khusus karena mereka datang dari jarak yang jauh.”
“Apakah
kepentingan khusus itu?”
“Bertanyalah
kepada Pandan Wangi.”
“Tentu ia
tidak akan menjawab. Tentu ia akan menyuruhku bertanya kepadamu lagi. Ternyata
kalian memperolok-olokkan aku sehingga aku menjadi bingung.”
“Semua orang
merasa dirinya diperolok-olokkan. Aku tidak tahu bagaimana aku harus melayani
kalian. Sudahlah. Nanti kalian akan tahu juga apa kepentingan mereka datang
kemari.”
Anak muda itu
tidak bertanya lagi. Sebenarnya ia memang ingin bertanya kepada Pandan Wangi.
Tetapi ketika ia berpaling, dilihatnya Pandan Wangi sudah berdiri dan melangkah
masuk ke ruang dalam, dan langsung ke dalam biliknya.
Setelah
menutup pintu rapat-rapat, maka Pandan Wangi pun merebahkan dirinya di
pembaringan. Bagaimana pun juga ia tidak dapat mengingkari perasaan yang
sebenarnya bergejolak di dalam hatinya. Sudah terlalu lama ia menunggu. Bahkan
hampir saja ia menjadi berputus asa. Seakan-akan ia sedang menunggu terbitnya
bulan di musim hujan. Setiap kali ia menengadahkan wajahnya, maka langit selalu
gelap disaput olen hawa yang kelabu. Namun tiba-tiba saja kini yang ditunggunya
itu datang,
“Apakah mereka
datang untuk memenuhi upacara seperti yang lazim, melamar dengan resmi atau
justru sebaliknya?” pertanyaan itu masih juga mengganggunya. Untuk menenangkan
dirinya sendiri. Pandan Wangi berkata di dalam hati,
“Jika tidak
demikian, aku kira mereka tidak akan datang. Sejauh-jauhnya mereka akan menyuruh
seseorang untuk menyampaikannya kepada Ayah.”
Terasa sesuatu
bergejolak di dalam hati Pandan Wangi. Ia tidak tahu pasti, apakah yang
sebenarnya sedang dihadapi. Tetapi harapan yang selama ini rasa-rasanya menjadi
semakin pudar itu pun tumbuh kembali. Di luar sadarnya Pandan Wangi pun
kemudian bangkit perlahan-lahan. Diamat-amatinya jari-jari tangannya yang
lentik tetapi tidak sehalus tangan gadis pingitan, karena tangannya itu sering
tersentuh tangkai pedang atau menggenggam busur dan anak panah, kadang-kadang
memegangi kendali kuda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar