PANDAN WANGI menarik nafas dalam-dalam. Sekali dua kali ayahnya sudah harus menolak lamaran yang datang dari orang-orang penting di Menoreh, bahkan dari daerah tetangga. Agaknya ayahnya pun masih juga menunggu karena ia sudah pernah membicarakannya dengan Kiai Gringsing, apalagi Ki Argapati mengetahui bahwa agaknya anaknya telah bersetuju di dalam hati. Perlahan-lahan Pandan Wangi itu pun kemudian mengambil pakaiannya yang disimpannya di geledeg bambu. Seperti di luar kehendaknya sendiri, maka dilepaskannya pakaian berburunya. Dikenakannya pakaiannya yang lain, pakaian seorang gadis. Bahkan dibenahinya rambutnya yang kusut dan disaputnya wajahnya dengan kain yang dibasahinya dengan air kendi.
Pandan Wangi
menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba ia menyembunyikan wajahnya di balik
ke dua telapak tangannya. Ia menjadi malu kepada diri sendiri. Seakan-akan
berpuluh-puluh pasang mata sedang memandanginya. Memandang seorang gadis yang
sedang dibayangi oleh angan-angannya sendiri. Dengan tergesa-gesa, Pandan Wangi
duduk di pembaringannya. Kepalanya masih saja menunduk dalam-dalam. Gadis itu
mengangkat wajahnya ketika ia mendengar suara gelak di pendapa. Agaknya ayahnya
dan tamu-tamunya sedang membicarakan kenangan yang menggelikan pada saat
tamu-tamunya itu berada di Tanah Perdikan ini. Pandan Wangi pun tanpa
disadarinya telah tersenyum pula meskipun ia tidak tahu apa yang sedang mereka
bicarakan.
“Ternyata ayah
sama sekali tidak marah,” ia berkata kepada diri sendiri.
Pandan Wangi
terkejut ketika ia mendengar pintunya diketuk dari luar. Dengan tergesa-gesa ia
berdiri dan melangkah membukanya.
“Ada apa,
Prastawa,” ia bertanya kepada saudara sepupunya itu.
“Sudah
waktunya menghidangkan makan, Pandan Wangi.”
“Bukankah
sudah dihidangkan?”
“Belum. Baru
minum dan makanan. Belum makan. Baru saja nasi masak.”
Pandan Wangi
menganggukkan kepalanya. Namun tiba-tiba saja memberengut. Katanya,
“Bukankah ada
pelayan yang dapat menghidangkan suguhan itu? Biarlah mereka membawanya ke
pendapa.”
Prastawa
termangu-mangu sejenak. Itu sama sekali bukan kebiasaan Pandan Wangi. Jika ada
tamu yang khusus, biasanya Pandan Wangi sendirilah yang mengantarkan suguhan
itu ke pendapa. Seperti saat-saat yang lewat, untuk tamu-tamu yang masih ada
hubungan keluarga, atau tamu-tamu ayahnya yang terdekat, Pandan Wangi tidak
membiarkan orang lain membawakannya. Tetapi kini justru tamu yang datang dari
jauh, dan seperti yang sudah didengar oleh Prastawa, hubungan yang pernah
terjalin antara Swandaru dan Pandan Wangi, Pandan Wangi menolak membawakannya
kepada mereka.
“He. Kenapa
kau diam saja dan seperti membeku di situ?” bertanya Pandan Wangi kepada anak
muda yang kebingungan itu.
“Jadi,
bagaimanakah maksudmu sebenarnya?” bertanya Prastawa.
“Aku sedang
lelah sekali. Biar orang lain saja yang menghidangkannya. Apakah ayah
menyuruhmu memanggil aku dan menghidangkan makan itu?”
“Tidak. Tetapi
bukankah itu kebiasaanmu? Jika kau tidak membawanya ke pendapa saat ini, tentu
Ki Gede akan bertanya-tanya, meskipun hanya di dalam hati.”
“Aku lelah
sekali,” Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam.
Prastawa tidak
menyahut. Tetapi dipandanginya saja Pandan Wangi yang sudah berpakaian rapi.
Bukan lagi pakaian berburunya. Tetapi pakaian seorang gadis.
“He, kenapa
kau memandang aku seperti itu?” bertanya Pandan Wangi kepada adik sepupunya.
“O,” Prastawa
tergagap. Namun ia masih sempat menjawab sambil tersenyum,
“Kau jarang
sekali berhias diri seperti sekarang.”
“Ah.”
“Aku tidak
pernah melihat kau secantik itu.”
“Prastawa,”
potong Pandan Wangi,
“pantaskah kau
berkata begitu buat kakakmu sendiri.”
“Tentu tidak
pantas jika aku berkata buat aku sendiri. Tetapi aku berkata buat tamuku yang
gemuk itu.”
“Ah, kau,”
Pandan Wangi melangkah maju. Tangannya sudah terjulur untuk mencubit lengan
adiknya. Tetapi Prastawa dengan tergesa-gesa meninggalkannya sambil berkata,
“Aku berani
berkejar-kejaran sekarang jika kau memakai pakaian seperti itu.”
Pandan Wangi
tidak menyahut. Ia mengacukan tangannya ketika ia melihat adik sepupunya itu
berpaling. Tetapi sejenak kemudian Prastawa itu sudah hilang di balik pintu. Prastawa
terkejut ketika hampir saja ia melanggar anak muda yang mengikuti Pandan Wangi
berburu. Sambil mengerutkan keningnya ia berkata,
“Ah kau.
Hampir saja aku terantuk.”
“Kenapa dengan
Pandan Wangi?” anak muda itu bertanya.
“Ia sedang
bersembunyi.”
“Ya, kenapa?”
“Aku tidak
tahu. Bertanyalah kepadanya.”
Anak muda itu
termangu-mangu sejenak. Lalu katanya,
“Dimana Pandan
Wangi sekarang?”
“Di dalam
biliknya. Ia sedang merias diri.”
“Merias diri?
Kenapa?”
“Aku tidak
tahu, bertanyalah. Ia menjadi cantik sekali. Tidak lagi seperti laki-laki di
atas punggung kuda.”
Anak muda itu
ragu-ragu sejenak. Tetapi wajahnya yang berkerut-merut itu membuat kesan yang
aneh di hati Prastawa. Karena itu ia justru mengganggunya,
“Lihatlah
sendiri. Apa yang sedang dikerjakannya.”
Anak muda itu
ragu-ragu sejenak. Tetapi ia melangkah masuk ke ruang dalam. Prastawa
memandanginya dari kejauhan. Tetapi ketika ia melihat anak muda itu mengayunkan
tangannya mengetuk pintu bilik Pandan Wangi yang tertutup, hatinya berdesir.
Dengan serta-merta ia berdesis sambil memberikan isyarat agar niat itu
diurungkan. Tetapi ia terlambat. Tangan itu sudah mengetuk pintu.
“Bodoh
sekali,” desis Prastawa.
Perlahan-lahan
pintu bilik itu terbuka. Pandan Wangi terkejut ketika dilihatnya anak muda itu
berdiri di muka pintu.
“He, kenapa
kau mengetuk pintu?”
Anak muda itu
menggelengkan kepalanya. Katanya,
“Tidak
apa-apa. Aku hanya ingin mengetahui apa yang sedang kau kerjakan. Menurut
Prastawa, kau sedang berhias. Dan kau menjadi sangat cantik, tidak seperti
seorang laki-laki di atas punggung kuda. Tetapi kau benar-benar menjadi seorang
gadis.”
“Ah,” Pandan
Wangi mengerutkan keningnya. Wajahnya menjadi kemerah-merahan. Ketika ia
melihat Prastawa menjengukkan kepalanya di pintu belakang, sekali lagi ia
mengacukan tangannya. Tetapi Prastawa itu pun segera menghilang.
“Aku tidak
berhias,” berkata Pandan Wangi kemudian,
“aku sekedar
berganti pakaian. Jika ayah memanggilku dan menyuruh aku membawa hidangan ke
pendapa, aku sudah berpakaian rapi.”
Anak muda itu
mengangguk-anggukan kepalanya. Tetapi matanya kemudian hinggap di wajah Pandan
Wangi. Matanya seakan-akan tidak berkedip sehingga Pandan Wangi menjadi bingung
karenanya.
“Kau memang
menjadi cantik sekali seperti yang dikatakan oleh Prastawa.”
“Ah, sudahlah.
Jangan hiraukan anak bengal itu.”
“Tidak. Bukan
karena Prastawa. Aku benar-benar menganggap kau seorang gadis yang sangat
cantik. Sejak aku datang, aku tidak pernah melihat kau berhias seperti ini.
Kenapa sekarang kau tiba-tiba saja berhias? Ketika kau menghidangkan suguhan
bagi ayah dan ibu di pendapa, kau juga berpakaian seorang gadis. Tetapi kau
tidak secantik sekarang.”
“Ah, sudahlah.
Jangan memuji. Aku akan beristirahat sebentar di dalam bilik.”
Pandan Wangi
pun kemudian melangkah surut. Tetapi ia menjadi heran karena anak muda itu
tidak segera pergi. Bahkan ia melangkah maju pula sambil berkata,
“Aku juga akan
beristirahat Pandan Wangi. Aku juga lelah sekali.”
“Di mana kau
akan beristirahat?”
“Apakah
salahnya jika aku beristirahat di bilikmu juga.”
“He,” wajah
Pandan Wangi menjadi merah padam, “apakah maksudmu?”
“Beristirahat,”
katanya dengan jujur.
“Kenapa di
sini? Apa tidak ada tempat lain.”
“Apakah aku
tidak boleh masuk.”
“Sudah
disediakan tempat sendiri buatmu dan ayah ibumu.”
Anak muda itu
menjadi kecewa. Katanya,
“Kau terlampau
tinggi hati, Pandan Wangi. Baiklah, memang tempatku tidak di ruang dalam. Aku
hanya seorang tamu dari daerah terpencil. Tetapi kau harus ingat bahwa ayahku
seorang yang kaya.”
“O,” Pandan
Wangi justru menjadi termangu-mangu,
“bukan
maksudku. Tetapi sebaiknya kau tidak berada di dalam bilikku. Aku akan tidur
sejenak.”
Anak muda itu pun
kemudian melangkah pergi. Di luar pintu ruang dalam ia melihat Prastawa sedang
menunggui para pelayan yang mengatur hidangan yang akan disuguhkan ke pendapa.
Sejenak Prastawa memandangi anak muda itu. Kemudian ia mendengar anak muda itu
mengeluh.
“Pandan Wangi
terlampau tinggi hati. Aku tidak boleh masuk ke dalam biliknya.”
Prastawa
menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia bertanya,
“Kenapa kau
akan masuk ke dalam biliknya? Itu tidak pantas. Ia adalah seorang gadis.”
“Kenapa? Aku
hanya ingin memandanginya. Ia memang cantik sekali dalam pakaian yang belum
pernah aku lihat sebelumnya. Kenapa ia berpakaian begitu bagusnya sekarang?
Kenapa tidak ketika ia akan menghidangkan suguhan bagi ayah dan ibuku pada saat
kami datang?”
“Ah, tentu ia
tidak akan memakai pakaian yang sama saja. Itu hanyalah suatu kebetulan bahwa
yang dipakainya sekarang agak lebih baik dari yang dipakainya dahulu.”
“Ayahku
seorang yang paling kaya di daerahku yang kecil itu. Mungkin juga karena ayah
datang dari daerah kecil, sedang tamu-tamu itu datang dari sebuah kademangan
yang besar. Begitu?”
Prastawa mengerutkan
keningnya. Katanya,
“Kau senang
merangkai perasaan. Ada baiknya. Tetapi jika berlebih-lebihan kau akan menjadi
seorang anak muda perasa yang agak cengeng.”
“He,” mata
anak muda itu menyala sesaat. Namun kemudian katanya,
“Kalian tidak
menghormati tamu kalian. Pandan Wangi tidak, dan kau juga tidak. Ayahku adalah
keluarga Ki Gede Menoreh. Kami adalah tamu dari orang yang berkedudukan paling
tinggi di Menoreh. Kalian harus menghormati aku.”
Prastawa
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab. Ia sadar, bahwa anak
muda itu sedang merajuk.
“Agaknya ia
adalah anak yang terlalu manja. Manja sekali,” berkata Prastawa di dalam hati.
“Jika Pandan
Wangi menjadi jengkel akan kelakuannya itu, salah-salah ia dapat dibantingnya
sampai pingsan.”
Prastawa hanya
memandanginya berjalan ke pintu samping. Namun supaya tidak menimbulkan kesan
yang dapat membuat anak muda itu semakin merajuk, dan mengatakannya kepada ayah
ibunya agak berlebih-lebihan, maka Prastawa pun berkata,
“Kami minta
maaf. Kami tidak tahu maksudmu yang sebenarnya.”
Anak muda itu
berpaling. Dilihatnya Prastawa sejenak. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya
ia berkata,
“Aku akan
melupakannya. Kau anak yang baik.”
Prastawa menahan
senyumnya. Memang anak muda itu agaknya lebih tua daripadanya. Tetapi karena
tempaan keadaan, Prastawa menjadi lebih dewasa. Pengalamannya di saat-saat
kemelutnya pertentangan di atas Tanah Perdikan ini, membuatnya cepat menjadi
dewasa. Kematian Sidanti dan bahkan dirinya sendiri yang hampir saja tenggelam
di dalam keputus-asaan, membuatnya lebih matang menghadapi persoalan-persoalan
hidup.
Prastawa itu
terkejut ketika di belakangnya terdengar suara kakak sepupunya,
“Apa yang
dikatakannya?”
Prastawa
berpaling. Sambil tertawa ia berkata,
“Anak itu
merajuk. Ayo, kau apakan saja tamumu itu?”
“Aku pilin
telingamu. Aku tidak berbuat apa-apa.”
“Katanya kau
terlampau tinggi hati karena ia tidak kau perkenankan ikut beristirahat di
dalam bilikmu.”
“Ah, anak gila.”
“Tetapi ia
tidak bermaksud apa-apa. Ia berkata dengan sorot mata yang jujur. Kau sadari
itu?”
Pandan Wangi
mengangguk. Katanya,
“Anak itu
tentu merupakan sebuah golek kencana yang hidup di rumahnya. Ia anak orang yang
kaya. Anak satu-satunya.”
“Seperti kau.
Anak satu-satunya. Tetapi kau tidak cengeng seperti anak itu.”
“Kau memuji
lagi. Tentu kaulah yang menyebabkannya seperti orang mabuk tuak. Ia memuji
seperti memuji bakal isterinya.”
“Sedang kau
adalah bakal isteri orang lain.”
“Hus.”
Prastawa bergeser.
Pandan Wangi benar-benar akan memilin telinganya.
“Jangan,”
berkata adik sepupunya itu,
“tetapi lihat,
hidangan sudah tersedia. Siapakah yang akan menghidangkannya ke pendapa?
Pelayan atau aku atau kau?”
Pandan Wangi
termangu-mangu sejenak, lalu,
“Marilah, kita
bersama-sama menghidangkannya. Kau membawa nasi dan lauk pauknya.”
“Lalu kau
membawa apa?”
Pandan Wangi
tersenyum. Dipandanginya hidangan yang sudah tersedia itu sejenak, lalu
katanya,
“Aku membawa
nampannya.”
“Ah,” Prastawa
berdesah, lalu katanya,
“cepatlah.
Nanti Paman Argapati menunggu.”
Pandan Wangi
termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya,
“Baiklah.
Marilah kita hidangkan bersama. Kaulah dahulu. Aku di belakang. Bawa apa saja,
sisanya aku yang akan membawanya.”
Maka hidangan
itu tidak jadi disuguhkan oleh para pelayan yang sudah siap, tetapi Prastawa
dan Pandan Wangi sendiri akan membawanya ke pendapa.
Beberapa orang
pelayan yang berdiri di ruang belakang itu kemudian saling menggamit. Mereka
tahu siapakah tamu yang ada di pendapa itu, sehingga seorang di antaranya tidak
dapat menahan senyumnya. Karena itu, maka kepalanya pun segera ditundukkannya
dalam-dalam. Apalagi ketika ia merasa bahwa Pandan Wangi sedang memandanginya
dengan tajamnya. Ketika pintu pendapa berderit, maka semuanya pun segera
berpaling. Yang mula-mula mereka lihat adalah Prastawa. Namun kemudian Pandan
Wangi pun melangkah ke luar dengan kepala tunduk. Berbeda dengan kebiasaannya,
bahwa ia dapat dengan cekatan menghidangkan suguhan bagi tamu-tamu ayahnya,
maka kali ini Pandan Wangi menjadi gemetar. Ia sama sekali tidak berani
mengangkat wajahnya sama sekali.
“Ha, inilah
anak itu,” berkata Ki Gede Menoreh,
“ia baru
pulang dari berburu bersama tamu kami.”
Kiai Gringsing
tertawa. Di luar sadarnya ia bertanya,
“Siapakah nama
anak muda itu?”
“Rudita,”
jawab Ki Gede.
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian,
“Nah, tentu
hidangan ini hasil buruan Angger Pandan Wangi.”
Pandan Wangi
mendengar namanya disebut. Tetapi ia tidak dapat menangkap kata-kata Kiai
Gringsing dengan jelas. Terasa tubuhnya benar-benar telah menggigil seperti
kedinginan. Namun demikian ia masih juga mencoba tersenyum. Orang-orang tua
yang ada di pendapa itu sama sekali tidak heran melihat keadaan Pandan Wangi.
Agak gemetar dan kepalanya selalu menunduk. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun,
Pandan Wangi pun kemudian melangkah surut setelah meletakkan hidangan yang
dibawanya. Begitu ia melangkahi pintu, maka ia pun segera berlari-lari ke
belakang. Dilemparkannya nampan yang dibawanya dan dengan serta-merta ia pun
membanting dirinya duduk di atas sebuah amben yang besar di belakang. Nafasnya
menjadi terengah-engah seperti ketika ia sedang memburu kijang di hutan
perburuan. Prastawa pun kemudian menyusulnya. Sambil tersenyum ia berkata,
“Kenapa kau
menjadi begitu gelisah? Kau sudah terbiasa membawa hidangan bagi para tamu.
Apakah bedanya tamu yang sekarang dengan tamu-tamu yang lain?”
Pandan Wangi
tidak menjawab. Dicobanya menenangkan hatinya sambil duduk bersandar kedua
tangannya.
“Sudahlah.
Biarlah aku saja yang menyelesaikannya. Duduk sajalah. Jika kau sekali lagi
membawa hidangan itu, maka hidangan itu tentu akan tumpah.”
Pandan Wangi
masih tetap diam saja. Dipandanginya bayangan dedaunan di longkangan lewat
pintu samping yang terbuka.
Ketika
Prastawa kemudian menyelesaikan membawa hidangan itu ke pendapa, maka anak muda
yang berburu bersama Pandan Wangi dan bernama Rudita itu sudah berada di gandok
Kulon menemui kedua orang tuanya.
“Tamu yang
datang itu agaknya lebih dihormati oleh Pandan Wangi dari kita, Ayah,” berkata
anak muda itu.
“Kenapa?”
“Aku tidak
tahu. Tetapi ia adalah seorang Demang.”
“O,” ayahnya mengangguk-anggukkan
kepalanya,
“tentu kawan
baik Ki Gede Menoreh.”
“Ya,” jawab
anaknya.
“Pandan Wangi
mengenakan pakaiannya yang sangat bagus. Lebih bagus dari yang dipakainya saat
membawa suguhan buat kita.”
“Ah, kau.”
“Dan ternyata
Pandan Wangi sangat cantik.”
“Cantik? Jadi
menurut penilaianmu anak itu sangat cantik?”
“Ya, Ayah.
Cantik sekali. Aku belum pernah melihat gadis secantik Pandan Wangi.”
“Berbanggalah
bahwa kau mempunyai seorang saudara yang sangat cantik.”
“Ya, Ayah. Aku
berbangga,” jawab anak muda itu,
“tetapi apakah
Pandan Wangi termasuk sanak kita yang dekat?”
Ayahnya
menggelengkan kepalanya,
“Ia bukan
sanak kita yang dekat. Sudah agak jauh, lewat garis keturunan ibunya.”
Anak muda itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak berkata apa-apa lagi. Ayahnya
memandanginya sejenak. Ketika anak itu agak membelakanginya, ibunya menggamit
ayah Rudita yang duduk di sebelahnya. Keduanya saling berpandangan sejenak, dan
ayah Rudita itu pun tersenyum. Isterinya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi
mereka tidak berbicara apa pun juga. Mereka hanya duduk saja berdiam diri
sambil memandangi anak laki-lakinya yang kemudian berdiri dan melangkah ke
luar.
“Ia sudah
dapat menyebut tentang seorang gadis yang cantik. Sayang yang disebut itu
adalah Pandan Wangi, sanak sendiri,” berkata ibu anak muda itu.
Ayah Rudita
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dipandanginya isterinya sejenak, kemudian sambil
menarik nafas ia berkata,
“Sekarang ia
menyebut Pandan Wangi. Tetapi dengan demikian perhatiannya kepada perempuan
mulai bangkit. Aku berharap bahwa selain Pandan Wangi ada pula perempuan cantik
menurut anggapannya nanti.”
“Bagaimana
jika tidak?” bertanya isterinya.
“Maksudmu?”
“Jika tidak
ada perempuan lain yang menarik selain Pandan Wangi?”
“Ah tentu
tidak. Ia tahu bahwa Pandan Wangi adalah sanak sendiri.”
Isterinya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun demikian ia bergumam seperti kepada
diri sendiri,
“Mereka bukan
sanak yang dekat.”
Ayah Rudita
mengangguk-anggukkan kepalanya pula tanpa disadarinya. Namun sesaat kemudian
ayahnya itu mengerutkan keningnya dan berkata,
“Tetapi
siapakah tamu Ki Gede dipendapa itu?”
Isterinya
menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Orang itu
tentu sangat dihormati oleh Ki Gede. Jika tidak, meskipun ia seorang Demang,
maka ia tidak akan mendapat pelayanan yang begitu baik dan sambutan yang sangat
hangat.”
Isterinya
masih berdiam diri.
“Aku ingin
memperkenalkan diri,” berkata ayah Rudita.
“Sekarang?”
“Tentu tidak.
Tetapi agaknya mereka akan bermalam di sini pula, kesempatan masih panjang.”
Tetapi belum
lagi ia selesai berbicara, dilihatnya Prastawa datang kepadanya sambil berkata,
“Paman, Ki
Gede mempersilahkan Paman makan bersama tamu-tamu yang datang dari Sangkal
Putung itu.”
“O,” ayah
Rudita itu mengerutkan keningnya.
“Dan Paman
sekarang dipersilahkan ke pendapa bersama Bibi.”
Keduanya saling
berpandangan sejenak, lalu,
“Baiklah. Kami
akan datang. Kami akan membenahi pakaian kami sebentar.”
Demikianlah
maka kedua suami isteri itu pun kemudian diperkenalkan dengan tamu-tamu Ki Gede
yang datang dari Sangkal Putung itu. Namun mereka masih belum tahu maksud
tamu-tamu yang datang dari Sangkal Putung itu. Mereka hanya mendapat keterangan
dari Ki Gede, bahwa tamu-tamunya adalah sahabat-sahabatnya yang sudah lama
tidak datang. Apalagi tamu-tamu itu sendiri memang belum mengatakan sesuatu
tentang Swandaru, karena dirasa waktunya belum tepat.
Setelah makan,
maka tamu-tamu itu pun dipersilahkannya untuk beristirahat. Ayah dan ibu Rudita
berada di gandok Kulon, sedang tamu-tamu dari Sangkal Putung itu dipersilahkan
beristirahat di gandok Wetan. Dalam pada itu, selagi orang-orang tua
beristirahat dan berbicara di antara mereka, maka Swandaru dari Agung Sedayu
duduk di serambi gandok. Sejenak mereka saling berdiam diri memandang halaman
rumah yang sudah berubah itu. Suasananya benar-benar telah jauh berbeda.
Halaman rumah itu kini ditanami dengan pohon bunga-bunga di pinggir-pinggir
pagar batu. Sebatang bunga soka putih, seolah-olah tidak berdaun lagi karena
bunganya yang sedang berkembang. Sedang di sudut halaman itu kini tumbuh
sebatang bunga kemuning. Keduanya berpaling ketika mereka mendengar langkah
mendekatinya. Ternyata yang datang itu adalah Prastawa. Agung Sedayu dan
Swandaru bergeser sedikit untuk memberikan tempat kepada anak muda itu, yang
sambil tersenyum kemudian Prastawa pun duduk pula di antara mereka. Sama sekali
tidak ada lagi kesan permusuhan di antara mereka seperti juga pada Pandan Wangi
dan adik sepupunya itu. Prastawa mencoba memperbaiki keadaannya dengan berbuat
sebaik-baiknya, meskipun kadang-kadang hatinya masih juga merasa pedih. Sejenak
mereka berbicara tentang keadaan masing-masing. Meskipun mereka masih juga
tetap berhati-hati agar pembicaraan mereka sama sekali tidak menyentuh
persoalan yang dapat mengungkat hubungan di masa lalu itu.
Selagi mereka
dengan asyiknya berbicara, di halaman melintas seorang anak muda yang pergi
berburu bersama Pandan Wangi. Sejenak anak muda itu berpaling memandang
Prastawa, namun ia pun kemudian melangkah terus meninggalkan halaman, masuk ke
longkangan gandok Kulon.
“Siapakah anak
muda itu?” bertanya Swandaru.
“Rudita,”
jawab Prastawa,
“ia adalah
kadang yang sudah agak jauh dari Kakak Pandan Wangi dari garis ibunya.”
“O,” Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu,
“Apakah ia
sudah lama berada di sini?”
“Tidak. Ia
datang bersama ayah dan ibunya, dua hari yang lalu. Sudah lama mereka tidak
berkunjung kemari. Agar hubungan persaudaraan itu tidak terputus, mereka
memerlukan mengunjungi Ki Gede di sini.”
Swandaru masih
saja mengangguk-anggukkan kepalanya, dan kemudian ia masih bertanya lagi,
“Apakah ia
pandai berburu?”
Prastawa
tersenyum. Tetapi ia menjawab, “Ya. Ia senang berburu.”
Swandaru
menarik nafas dalam-dalam. Namun sebelum ia menyahut maka seseorang datang
mendekatinya sambil berkata kepada Prastawa,
“Rudita
memanggilmu.”
Prastawa
mengerutkan keningnya. “Ada apa?”
“Aku tidak
tahu.”
Prastawa
mengangkat pundaknya. Namun ia pun kemudian berdiri dan berkata kepada Agung
Sedayu dan Swandaru.
“Ia memerlukan
pelayanan melampaui seorang gadis kecil yang paling manja.”
Swandaru dan
Agung Sedayu berpandangan sejenak. Namun keduanya tidak mengatakan apa pun.
Mereka hanya memandangi saja langkah Prastawa yang pergi ke gandok Kulon.
Di longkangan,
Rudita telah menunggu kedatangan Prastawa. Dengan wajah yang tegang Rudita itu
bertanya,
“Siapakah
mereka itu?”
“Yang mana?”
Prastawa ganti bertanya.
“Dua orang
anak muda di serambi gandok Wetan itu.”
“O, tamu Ki
Gede yang baru datang hari ini. Bukankah keduanya ikut duduk di pendapa pada
saat kami menghidangkan makanan?”
“Aku sudah
tahu. Siapa nama mereka?”
“O,” Prastawa
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Yang gemuk
itu namanya Swandaru. Ia adalah putra Ki Demang Sangkal Putung. Sedang yang
sedang itu bernama Agung Sedayu.”
Rudita
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia masih bertanya,
“Kenapa mereka
datang kemari? Apakah mereka masih kadang Ki Gede?”
Prastawa
menggeleng.
“Bukan. Bukan
sanak, bukan kadang. Tetapi jika mati, kami akan kehilangan.”
Rudita
mengerutkan keningnya,
“Apa
maksudmu?”
“Tidak
apa-apa,” jawab Prastawa, lalu katanya,
“marilah.
Sebaiknya kau memperkenalkan dirimu.”
“Bukan aku.
Merekalah yang harus datang memperkenalkan diri kepadaku. Aku adalah kadang Ki
Gede Menoreh. Ayahku meskipun bukan Demang, tetapi ia adalah orang yang
terpandang, karena ayahku lebih kaya dari Demang di Tempuran.”
Prastawa
mengerutkan dahinya. Jawabnya kemudian,
“Mereka tentu
tidak akan berani berbuat demikian, karena mereka merasa diri mereka kecil.”
Rudita merenung
sejenak, lalu katanya,
“Jadi
bagaimana sebaiknya?”
“Kaulah yang
datang kepadanya. Mereka akan menyambut dengan senang hati.”
Sekali lagi
Rudita merenung. Namun kemudian katanya,
“Baik, aku
akan datang kepadanya. Tetapi jika mereka ternyata menyombongkan diri, aku
pilin lehernya sampai patah. Kau dan kedua anak-anak muda itu harus mengerti,
bahwa aku adalah murid Kiai Kuda Prakosa.”
Prastawa
menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia menjadi berdebar-debar juga. Agaknya anak
muda yang manja ini mempunyai bekal dalam olah kanuragan pula. Bahkan ia telah
menyebut pula nama gurunya. Tetapi nama itu belum pernah dikenalnya.
“He, kenapa
kau diam saja? Kau tidak usah takut mendengar nama guruku. Aku tidak akan
berbuat apa-apa kepadamu. Juga kepada kedua anak-anak muda itu pun aku tidak
akan berbuat apa-apa jika mereka menghormati aku seperti seharusnya.”
“Aku akan
mengatakannya. Dan mereka tentu akan menghormatimu.”
“Baiklah jika
demikian. Tetapi sekali lagi aku peringatkan, jangan mempermainkan aku. Kau pun
jangan mempermainkan aku.”
“Tidak, tentu
aku tidak berani mempermainkan kau,” berkata Prastawa.
“Marilah,”
ajak Rudita.
“Tunggulah di
sini. Aku akan mempersiapkan kedua anak-anak muda itu agar mereka mengetahui
siapakah kau sebenarnya sebelum kau memperkenalkan diri.”
Rudita
mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu katanya,
“Baik.
Pergilah.”
Prastawa pun
kemudian berlalu. Hampir saja ia yang masih sangat muda itu tidak dapat menahan
tawanya. Di dalam kemelutnya api peperangan, ia sudah berani memegang pedang di
medan pertempuran yang paling ganas sekali pun. Namun menghadapi anak muda yang
terlalu cengeng, ia masih juga dapat menahan diri, untuk tidak menyakiti
hatinya. Apalagi Prastawa tahu bahwa anak itu adalah kadang Pandan Wangi dari
saluran darah ibunya, sedang ia bersumber dari saluran darah ayahnya. Anak muda
yang cepat menjadi dewasa berpikir karena tempaan keadaan itu tidak mau
memberikan kesan yang kurang baik kepada tamunya itu.
“Tetapi
bagaimanakah jika sikapnya kemudian menjadi berlebih-lebihan?” ia bertanya
kepada diri sendiri di dalam hatinya. Namun kemudian dijawabnya sendiri,
“Biarlah
Pandan Wangi sendiri mengurusnya.”
Agar tidak
menimbulkan persoalan, maka Prastawa pun kemudian berkata berterus terang
kepada Agung Sedayu dan Swandaru tentang anak muda yang bernama Rudita itu.
“Sekali-sekali
anak semacam itu perlu diperkenalkan dengan kehidupan yang sewajarnya,” berkata
Swandaru.
“Ah, kau,”
potong Agung Sedayu,
“itu bukan
urusanmu. Biarlah ayahnya membenturkannya kepada kenyataan hidup yang pahit dan
keras. Biarlah kita menghindarkan diri dari persoalan-persoalan yang dapat
timbul. Apakah ruginya jika kita berbuat demikian dan karena itu dapat
menyenangkan hati orang lain?”
“Kau tidak
pernah berusaha menyenangkan hatiku,” sahut Swandaru.
“Apa? Kau
sangka aku tidak sedang menyenangkan hatimu sekarang, sehingga aku
terlunta-lunta sampai ke tempat ini.”
Prastawa lah
yang tersenyum. Katanya,
“Tentu. Kita
semua sedang menyenangkan hati Swandaru. Semakin senang ia akan menjadi semakin
gemuk.”
Swandaru menarik
nafas dalam-dalam. Katanya,
“Terima kasih
Ki Sanak, terima kasih.”
Prastawa
justru menjadi tertawa karenanya. Dipandanginya wajah Swandaru yang bulat itu.
Lalu katanya,
“Ingat, kita
akan bermain-main dengan sebatang ranting yang kering. Jika kita salah raba,
ranting itu akan patah.”
Agung Sedayu
dan Swandaru tidak menyahut. Mereka hanya memandangi Prastawa yang kemudian
pergi menemui Rudita, dan mengajaknya ke serambi gandok Wetan. Agung Sedayu dan
Swandaru yg melihat Prastawa dan Rudita berjalan ke arahnya, tergopoh-gopoh
berdiri dan menyongsongnya. Namun Swandaru masih juga sempat bergumam
perlahan-lahan,
“Jika ada
orang yang melihat sikap kita seperti kucing melihat tulang ini, mereka tentu
akan mentertawakan.”
Agung Sedayu
tidak menghiraukan. Ia bergegas mendapatkan Rudita sambil ngapurancang dan
membungkuk dalam-dalam.
“Siapa
namamu?” bertanya Rudita.
“Namaku Agung
Sedayu, Ki Sanak.”
“Rudita,
panggil aku Rudita.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Yang kemudian menganggukkan kepala adalah
Swandaru. Dan ketika Rudita bertanya namanya, maka dijawabnya,
“Namaku
Swandaru. Semula Swandaru Geni.”
“Kenapa
semula?”
“Sekarang api
itu sudah menjadi suram.”
Rudita
mengerutkan keningnya dan Agung Sedayu menarik, nafas dalam-dalam.
“Apa keperluan
kalian kemari?” bertanya Rudita kemudian.
“Tidak
apa-apa,” Agung Sedayu lah yang menjawab,
“kami hanya
ingin melihat tanah yang sudah sangat lama kami tinggalkan. Beberapa waktu yang
lampau, aku dan adikku pernah tinggal di padukuhan ini untuk beberapa lamanya.”
“Kenapa kalian
pergi.”
“Kami pulang
ke Sangkal Putung.”
“Kenapa saat
itu kau tinggal di sini? Di rumah ini maksudmu?”
“Tidak, tidak
dirumah ini. Kami tinggal di gubug di padukuhan sebelah. Kami adalah
penggembala kambing.”
“Kenapa
sekarang kau mengunjungi Tanah Perdikan Menoreh langsung menemui Ki Gede?
Kenapa kau tidak pergi ke rumah gubugmu itu?”
“Anak ini
memang ingin dipilin lehernya,” berkata Swandaru di dalam hatinya,
“dan Kakang Agung
Sedayu agaknya menjadi kambuh pula.”
“Rudita,”
berkata Agung Sedayu kemudian,
“tidak ada
tempat yang lebih baik dari rumah ini bagi kami. Itulah sebabnya, ayah kami
yang tua itu pun ikut pula untuk mengucapkan terima kasih kepada Ki Gede
Menoreh.”
Rudita
mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya,
“Kalian harus
mencoba menyesuaikan diri di sini. Aku dengar ayah kalian seorang Demang di
Sangkal Putung. Jangan kalian menyangka bahwa pangkat Demang adalah pangkat
yang sangat tinggi.”
“Tentu tidak,”
Swandaru lah yang tiba-tiba saja menyahut.
Tetapi sebelum
ia melanjutkan, Agung Sedayu telah mendahului,
“Kami memang
merasa, bahwa ayah kami adalah seorang Demang dari sebuah kademangan yang
kecil.”
Rudita
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia merasa bahwa kedua anak-anak muda itu cukup
menghormatinya. Karena itu, maka ia pun bersikap semakin tinggi, seakan-akan ia
memang benar-benar seorang yang pantas dihormati. Dalam pada itu dari
celah-celah dinding pendapa, seseorang sedang mengintip peristiwa yang terjadi
di halaman dekat dengan longkangan di muka serambi gandok Wetan. Selain orang
itu dapat melihat semua yang terjadi, maka meskipun lamat-lamat, ia mendengar
pembicaraan mereka, sehingga hampir saja ia tidak dapat menahan hatinya.
Kadang-kadang ia menjadi geli sehingga tertawanya harus ditahankannya di dada.
Namun kadang-kadang terasa betapa jengkelnya mendengar kata-kata Rudita itu. Orang
itu adalah Pandan Wangi. Bahkan Pandan Wangi itu mengumpat di dalam hati,
“Kakang Agung
Sedayu selalu bersikap begitu. Tetapi sebenarnya kini sudah bukan masanya lagi
untuk berpura-pura. Apalagi berpura-pura menjadi seorang yang sangat rendah
martabatnya. Sekali-sekali Rudita memang harus melihat kehidupan ini dengan
sewajarnya.”
Tetapi Pandan
Wangi tidak dapat berbuat apa-apa. Ia hanya dapat menyaksikan sambil
mengumpat-umpat di dalam hati.
“Marilah kita
duduk di pendapa,” ajak Rudita.
“Terima
kasih,” jawab Agung Sedayu,
“udaranya
sangat panas. Lebih baik aku duduk di serambi. Udaranya terasa agak segar oleh
angin yang lembab.”
“Duduklah di
pendapa. Aku mengajak kalian duduk di pendapa. Jangan membuat rencana sendiri.
Jika aku mempersilahkan kalian ke pendapa, maka kalian akan ke pendapa, bukan
pergi ke tempat yang kalian sukai masing-masing. Aku adalah keluarga Ki Gede Menoreh,
dan kalian adalah tamu-tamu kami.”
Swandaru
berpaling kepada Prastawa. Ia pun kadang langsung dari Ki Gede. Tetapi ia tidak
pernah bersikap seangkuh itu. Namun demikian, ketika sekali lagi Rudita
menyuruh mereka naik, maka mereka pun segera naik pula ke pendapa, dan duduk
saling berhadapan.
“Ada juga
untungnya berkenalan dengan kalian,” berkata anak muda itu,
“mungkin
kalian lebih banyak mengenal hutan daripadaku. Benar?”
“Maksudmu?”
bertanya Agung Sedayu.
“Apakah kau
sering berburu?”
“Kadang-kadang.”
“Kau dapat
mempergunakan anak panah dan busur?”
“Serba
sedikit, Rudita. Tetapi aku memang pernah mencoba.”
Rudita menarik
nafas dalam-dalam. Lalu katanya,
“Aku ingin
memberikan sebuah hadiah yang menarik buat Pandan Wangi. Seekor rusa hasil
buruan. Apakah kau mau pergi bersamaku ke hutan perburuan itu?”
Agung Sedayu
dan Swandaru saling berpandangan sejenak. Ketika mereka berpaling kepada
Prastawa dilihatnya anak muda itu menganggukkan kepalanya, sehingga Agung
Sedayu pun kemudian berkata,
“Baiklah. Aku senang
sekali mendapat kesempatan mengantarkan kau berburu. Tetapi sebenarnya aku
sendiri tidak begitu mengerti cara-cara yang harus dilakukan untuk mendapatkan
seekor binatang buruan.”
“Katamu, kau
pernah berburu.”
“Hanya
kadang-kadang. Kadang-kadang sekali. Itu pun di hutan yang kecil di sekitar
Kademangan Sangkal Putung. Memang kami pernah mendapat seekor rusa di hutan
itu.”
“Kau panah?”
“Tidak.”
“Bagaimana kau
mendapatkannya?”
“Kami
beramai-ramai mengejarnya. Tiga puluh orang anak muda.”
“Bodoh
sekali,” berkata Rudita. Namun katanya kemudian,
“Baiklah, kita
coba. Kita akan berburu.”
“Kapan?”
“Sekarang.”
“O, kita akan
kemalaman di hutan perburuan itu. Kenapa tidak besok pagi?”
“Aku ingin
memberikan hadiah seekor rusa malam nanti.”
“Tetapi, waktunya
tinggal sedikit. Sebentar lagi matahari akan mulai turun di Barat.”
“Aku tidak
peduli. Aku ingin sekarang. Akulah yang ingin sekarang. Bukan kalian.” Lalu
Rudita itu berpaling kepada Prastawa,
“Di manakah
hutan perburuan yang paling banyak mempunyai rusa atau kijang?”
Prastawa
mengerutkan keningnya. Kemudian ia pun menjawab,
“Di ujung
Timur dari Tanah Perdikan ini. Dekat Kali Praga.”
“Yang baru
saja kami kunjungi, bersama Pandan Wangi?”
“Terlalu jauh.
Hutan itu sedikit lebih dekat.”
“Berapa lama
kita sampai ke tempat itu?”
“Menjelang
senja kita sampai ke tempat itu.”
“Bodoh sekali
kau. Apa yang dapat kita kerjakan di dalam gelapnya malam?”
“Tidak ada
hutan yang lebih dekat lagi yang memiliki binatang buruan sebanyak hutan itu.
Di hutan rindang di sebelah Barat ada juga satu dua ekor kijang. Tetapi terlalu
sedikit untuk diburu dengan tergesa-gesa.”
“Baiklah,”
berkata Rudita,
“besok pagi
saja kita berangkat. Pagi-pagi benar. Kita mengharap bahwa di sore hari kita
sudah pulang membawa seekor rusa.”
“Pandan Wangi
sering berburu di malam hari. Bahkan pernah ia bermalam dua malam
berturut-turut di hutan buruan.”
Rudita
mengerutkan keningnya. Dipandanginya Prastawa sejenak, lalu,
“Kau berkata
sebenarnya?”
“Ya, aku
berkata sebenarnya.”
“Dan Pandan
Wangi mendapatkan binatang buruan?”
“Ya.
Kadang-kadang mendapatkannya. Tetapi kadang-kadang bukan Pandan Wangi sendiri
yang berhasil, tetapi para pengiringnya.”
Rudita
memandang Prastawa dengan tajamnya. Lalu katanya,“Itulah sebabnya aku ingin
memberikan hadiah kepadanya seekor rusa buruan.”
Pandan Wangi
yang mengikuti pembicaraan itu dari dalam rumahnya hampir tidak dapat menahan
hati lagi. Suara tertawanya hampir saja meledak. Tetapi ia bertahan
sekuat-kuatnya. Bahkan kemudian ia pun segera berlalu, agar pada suatu saat ia
tidak kehilangan mengendalikan diri. Anak-anak muda itu masih saja duduk di
pendapa. Sebenarnya Pandan Wangi tidak sabar lagi menunggu Rudita itu
meninggalkan anak-anak muda dari Sangkal Putung itu. Ada sesuatu yang
mendesaknya untuk menemui mereka. Namun kadang-kadang ia mencoba menekan
perasaan itu sedalam-dalamnya, justru karena ia adalah seorang gadis. Namun
Pandan Wangi yang duduk sendiri di ruang dalam itu terkejut ketika ayahnya
berkata dari balik pintu,
“Pandan
Wangi.”
“O,” Pandan
Wangi menjadi tersipu-sipu. Agaknya ayahnya mengetahui bahwa ia mengintip
anak-anak muda yang sedang di pendapa itu. Tetapi sebenarnya ia tidak sedang
mengintip Swandaru. Justru ia sedang mengintip Rudita yang berbuat aneh-aneh
menurut penilaiannya. Tetapi Pandan Wangi tidak dapat mengatakannya. Ketika ia
kemudian berpaling dan memandang wajah ayahnya, pipinya sendiri menjadi semakin
merah, karena ayahnya tersenyum dengan pandangan yang menggelitik hatinya.
“Pandan
Wangi,” berkata ayahnya,
“mumpung
mereka duduk di pendapa, kau dapat menyuguhkan minuman panas bagi mereka.”
Pandan Wangi
tidak menjawab. Tetapi kepalanya menunduk dalam-dalam.
“Aku kira
tidak ada salahnya jika kau menghidangkan minuman bagi mereka. Mereka bukan
orang lain bagi kita. Meskipun mereka tamu dari jauh, tetapi mereka sengaja
datang untuk memperpendek jarak antara Sangkal Putung dan Tanah Perdikan
Menoreh.” Ayahnya pun kemudian mendekatinya sambil berkata lirih,
“Pandan Wangi.
Marilah kita melihat ke dalam diri kita. Aku memang termasuk orang tua yang
ketinggalan batasan hidup seperti yang dikehendaki oleh anak-anak muda. Tetapi
aku mengerti bahwa kedatangan Ki Demang Sangkal Putung mempunyai maksud yang
khusus. Meskipun belum dikatakan, tetapi sudah membayang di dalam pembicaraan
kami. Karena itu aku tidak berkeberatan kau menemui anak Ki Demang itu bersama
dengan saudara seperguruannya.”
Wajah Pandan
Wangi menjadi panas, tetapi hatinya memang terlonjak untuk melakukannya. Ayahnya
masih memandanginya sejenak. Senyumnya masih saja membayang di bibirnya. Bahkan
kemudian ia berkata,
“Kau memang
seorang gadis yang lain dari gadis sebayamu. Kadang-kadang kau bersikap dan
bertindak sebagai seorang laki-laki. Namun dalam pakaian seorang gadis yang
baik, kau adalah seorang gadis yang utuh. Meskipun demikian lebih baik bagimu
keluar sama sekali ke pendapa daripada kau duduk di dalam seorang diri.”
Wajah Pandan
Wangi yang merah menjadi semakin tunduk. Ayahnya tidak menyebut saja bahwa ia
mengintip. Jika demikian justru ia dapat membantah bahwa sebenarnya ia sekedar
tertarik pada sikap Rudita. Tetapi justru karena ayahnya tidak menyebutkannya,
ia menjadi bingung.
“Sudahlah,
Pandan Wangi. Yang paling baik buat mereka, sediakan minuman hangat. Agaknya
Rudita tertarik pula untuk menemui mereka.”
Pandan Wangi tidak
menjawab. Ia pun kemudian pergi ke dapur, menyediakan minuman hangat bagi
anak-anak muda yang duduk di pendapa.
Ketika pintu
pendapa itu terbuka dari dalam, anak-anak muda itu pun berpaling. Sejenak
mereka memandang seorang gadis yang berdiri di muka pintu sambil membawa nampan
berisi beberapa mangkuk minuman. Perlahan-lahan Pandan Wangi melangkah
mendekati mereka. Ditundukkannya saja kepalanya, agar ia tidak menjadi gemetar
jika pandangannya beradu dengan tatapan mata Swandaru.
Tetapi yang
mula-mula berbicara adalah Rudita,
“Ha, duduklah
di sini, Pandan Wangi.” Lalu sambil berpaling ia berkata,
“Prastawa, kau
dapat menerima nampan itu.”
Prastawa
mengumpat di dalam hatinya. Tetapi ia beringsut juga menerima nampan yang
dibawa oleh Pandan Wangi yang mulai gemetar itu.
“Duduklah di
sini. Apakah kau sudah mengenal anak-anak yang baru datang dari Sangkal Putung
ini?”
Prastawa
hampir tidak dapat menahan gelaknya mendengar pertanyaan itu.
“Apa salahnya
kau duduk di sini bersamaku menemui tamu-tamu ayahmu ini. Mereka adalah
anak-anak yang datang dari Sangkal Putung.”
“Kakak Pandan
Wangi pernah mengenal mereka,” berkata Prastawa.
“Bukankah
sudah aku katakan, bahwa mereka pernah tinggal di sini? Eh, apakah aku belum
mengatakannya?”
Rudita
mengerutkan keningnya. Tetapi ia pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu
mulutnya pun bergerak,
“Jadi kalian
memang pernah berkenalan?”
Yang menjawab
adalah Prastawa,
“Mereka sudah
saling mengenal.”
“O,” Rudita
masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu,
“Kalau begitu,
duduklah, Pandan Wangi. Kita temui tamu-tamu kita ini.”
Pandan Wangi
menjadi semakin segan duduk di antara mereka justru karena ada Rudita. Tetapi
ia tidak dapat pergi lagi karena Prastawa pun mempersilahkannya pula.
“Kita sedang
merencanakan untuk pergi berburu,” berkata Rudita.
“Aku ingin
memberikan hadiah seekor rusa buruan kepadamu.”
Kata-kata itu
tidak disangka-sangka akan dikatakannya kepadanya, sehingga karena itu Pandan
Wangi justru menjadi tersipu-sipu. Kepalanya menjadi semakin tunduk dan
sikapnya yang gelisah menjadi semakin gelisah. Dalam pada itu, ternyata bahwa
Swandaru pun menjadi bingung menghadapi Pandan Wangi. Setelah sekian lamanya
mereka tidak bertemu, dan kini Pandan Wangi menemuinya dengan pakaian seorang
gadis yang menurut penilaiannya cukup sempurna, maka hatinya pun menjadi
berdebar-debar. Karena itu, meskipun ada juga debar di jantungnya, namun tidak
sekeras debar jantung Swandaru, maka Agung Sedayu lah yang mulai bertanya
kepada gadis itu,
“Apakah sejak
saat kami meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh, kau masih saja senang berburu,
Pandan Wangi.”
Pertanyaan
yang tidak langsung menyentuh dirinya itu membuat gadis itu seakan-akan
terlepas dari belenggu yang menyesakkan. Karena itu maka jawabnya,
“Sekali-sekali
aku masih berburu, Kakang.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia pun kemudian bertanya tentang hutan
perburuan di daerah Menoreh dan bahkan hutan-hutan yang kadang-kadang masih
belum banyak dijamah oleh seseorang.
“Kita akan
berburu ke hutan yang lebat itu,” berkata Agung Sedayu,
“tentu
binatang buruannya masih jauh lebih banyak dari hutan-hutan perburuan.”
“Maksudmu?”
bertanya Rudita yang menjadi heran, bukan saja hubungan Agung Sedayu dan Pandan
Wangi yang tampaknya sudah begitu erat, juga karena Agung Sedayu menyebut-nyebut
hutan yang lebat dan jarang disentuh tangan manusia.
“Kita berburu
di hutan itu. Tentu akan lebih menarik dari sekedar berburu di hutan
perburuan.”
Belum lagi
Rudita mengerti sepenuhnya, Pandan Wangi justru menyahut,
“Kita akan
mencobanya.”
Sambil menyentuh
Swandaru, Agung Sedayu bertanya,
“He, bagaimana
dengan kau, Swandaru Geni.”
Swandaru
tergagap. Tetapi ia menyahut,
“Tentu
menyenangkan sekali. Aku sependapat.”
Tetapi
tiba-tiba saja Prastawa menyahut sambil tersenyum,
“Kau tidak
usah berburu kemana-mana Swandaru. Kau berburu saja di sini.”
Sejenak
Swandaru justru terbungkam. Sepercik warna merah menjalar di wajahnya. Bahkan
bukan saja Swandaru, tetapi Pandan Wangi yang mengerti maksud itu pun menjadi
semakin tertunduk dalam-dalam. Tetapi Swandaru cepat dapat mengatasi kesulitannya,
bahkan ia sempat menyahut,
“Bagaimana aku
akan berburu, kalau yang diburu tidak ada di sini di saat perburuan besok,
karena justru akan pergi ke hutan.”
Prastawa tidak
dapat menahan gelaknya. Agung Sedayu pun tertawa pula. Meskipun wajah Pandan
Wangi terasa panas, namun ia tersenyum pula. Yang terheran-heran adalah Rudita.
Ia tidak mengerti kenapa hal itu dapat menimbulkan tertawa. Karena itu ia pun
dengan serta-merta bertanya,
“He, siapakah
yang kalian maksud? Siapakah yang harus diburu di sini? Aku? Atau siapa?”
Prastawa menahan
suara tertawanya. Katanya,
“Jangan
terlampau perasa. Kami berbicara tentang diri kami. Bukan kau. Kami memang
saling memburu pada saat lampau pada saat Menoreh masih belum setenteram sekarang.
Akulah yang selalu diburu oleh Kakak Pandan Wangi dan kedua anak-anak muda ini.
Tetapi sekarang aku sudah menyadari keadaanku, dosa-dosaku, dan
kesalahan-kesalahanku.”
Rudita
mengerutkan keningnya. Persoalan yang dikatakan Prastawa adalah persoalan yang
berat bagi Menoreh. Bukan persoalan yang dapat disebut sambil lalu saja. Tetapi
Prastawa mengucapkannya sambil tertawa-tawa, meskipun ia menyebut dirinya
sendiri sebagai buruan. Sejenak Rudita termenung. Namun kemudian ia berkata,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar