Namun ternyata, menghadapi perkawinannya, Swandaru dapat berbicara seperti seorang kakek di depan sepasang mempelai yang sedang dipersandingkan.
“Mudah-mudahan
semuanya itu bukan sekedar petuah-petuah yang didengarnya di dalam
perhelatan-perhelatan saja,” berkata Pandan Wangi di dalam hatinya,
“tetapi
benar-benar tumbuh dari dasar hatinya.”
Namun dalam
pada itu, selagi keduanya masih sedang mencernakan pembicaraan mereka, maka
mereka telah dikejutkan oleh desir langkah seseorang di kegelapan. Keduanya
adalah orang-orang yang berilmu tinggi, sehingga pendengaran mereka pun cukup
terlatih. Karena itulah, maka keduanya pun segera memperhatikan suara yang
mereka dengar itu dengan lebih saksama. Langkah itu terdengar semakin jelas.
Dan tiba-tiba saja dari kegelapan mereka mendengar seseorang berkata,
“Pandan Wangi,
apakah pantas hal itu kau lakukan?”
Kedua anak
muda yang duduk di amben bambu itu segera melihat bayangan di dalam kegelapan.
Namun mereka pun segera mengenalnya, bahwa orang itu adalah Rudita. Perlahan-lahan
Rudita mendekati keduanya sambil berkata,
“Pandan Wangi.
Aku adalah saudaramu. Aku berkeberatan melihat caramu bergaul dengan laki-laki.
Laki-laki itu kini bukan sanakmu, bukan kadangmu. Karena itu kau tidak boleh
duduk berdua saja di dalam gelap. Sentuhan kulit kalian, membuat kalian menjadi
kotor, dan harus disucikan.”
Wajah Pandan
Wangi menjadi merah padam. Hampir saja ia meloncat menerkam Rudita dan meremas
mulutnya. Namun untunglah bahwa ia masih sempat menguasai perasaannya. Rudita
yang sudah berdiri di hadapan mereka sambil bertolak pinggang berkata,
“Pandan Wangi.
Kau adalah contoh dari setiap gadis di Tanah Perdikan ini. Jika anak gadis
kepala Tanah Perdikannya saja berbuat seperti itu, apakah yang akan dilakukan
oleh gadis-gadis yang lain?”
“Rudita,”
jawab Pandan Wangi yang berusaha menahan hati itu,
“berbicaralah
yang agak baik. Apakah yang salah padaku sekarang? Apakah salahnya aku duduk di
sini bersama Kakang Swandaru?”
“Kau sudah
melanggar pantangan bagi seorang gadis.”
“Rudita,”
berkata Pandan Wangi kemudian,
“barangkali
aku sudah terlampau sering melanggar pantangan serupa ini jika hal serupa ini
merupakan sebuah pantangan. Aku dibentuk oleh ayah menjadi seorang gadis yang
memang agak lain dari gadis yang lain. Aku oleh ayah diperkenankan pergi
berburu dan bermalam di perburuan. Aku adalah satu-satunya perempuan di
perburuan itu. Tentu di hutan perburuan aku selalu duduk bersama dengan lebih
dari tiga empat orang laki-laki pengiringku.”
“Soalnya
berbeda,” sahut Rudita,
“kau
benar-benar tidak mempunyai sentuhan apa pun dengan laki-laki itu. Lahir dan
batin. Tetapi dengan Swandaru, kau telah bersentuhan jasmaniah dan rohaniah.
Itu adalah perbuatan terlarang sebelum kalian menjadi pasangan suami isteri
yang sah.”
“Ah,” Pandan
Wangi berdesah,
“kau jangan
membuat keributan Rudita. Aku berterima kasih jika kau memperingatkan
kesalahanku. Tetapi jangan berbicara terlalu tajam. Kata-kata bagi seseorang
dapat berpengaruh baik tetapi juga dapat berpengaruh buruk bagi diri sendiri.”
“Apa yang aku
katakan?” bertanya Rudita.
“Memang
mungkin tidak menyenangkan bagimu. Sudah barang tentu seseorang tidak akan
dengan senang hati melihat cacat di tubuh sendiri. Tetapi aku merasa wajib. Dan
kau harus menjaga bahwa hal yang serupa ini tidak berkelanjutan.”
Wajah Pandan
Wangi terasa menjadi panas. Namun ia masih tetap bertahan untuk tidak berbuat
sesuatu yang dapat menimbulkan persoalan lebih jauh karena orang tua Rudita itu
pun sedang menjadi tamu ayahnya pula. Namun yang mencemaskannya adalah Swandaru
yang masih berdiam diri. Pandan Wangi sedikit banyak mengenal watak Swandaru.
Karena itu, jika anak muda yang gemuk itu menjadi jengkel, maka ia akan dapat
berbuat sesuatu yang dapat menumbuhkan keributan dan bahkan mungkin akan
berkepanjangan. Karena itu, maka Pandan Wangi itu pun berkata,
“Rudita. Aku
berterima kasih. Sekarang, barangkali ibumu mencarimu. Aku pun akan segera
pergi ke dapur untuk menyiapkan makan kita.”
“Kau harus
pergi lebih dahulu,” berkata Rudita,
“jika tidak,
maka sepeninggalku kau dapat berbuat apa saja di dalam gelap.”
“Rudita,
apakah kau dengar suara para pelayan mencuci alat dapur di balik dinding ini?
Mereka tentu mendengar percakapan kita, juga jika aku berbicara dengan Kakang
Swandaru. Di sebelah kiri dari tempat duduk ini adalah sumur dan pakiwan.
Setiap saat orang akan pergi hilir-mudik ke sumur. Karena itu kami tidak
melanggar pantangan. Terutama pantangan ayahku sendiri, karena yang berkuasa di
dalam rumah ini adalah ayah. Selama aku belum melanggar perintah dan
pantangannya, maka aku merasa bahwa aku masih dapat melakukannya.”
Wajah Rudita
menjadi tegang, dan Pandan Wangi berkata selanjutnya,
“Ingat,
ayahlah yang paling berkuasa di sini. Tidak hanya di rumah ini, tetapi di
seluruh Tanah Perdikan Menoreh. Karena itu, untuk mengukur apakah aku telah
berbuat kesalahan di rumah ini dan di atas Tanah Perdikan ini, bertanyalah
kepada ayahku. Katakan apa yang kau lihat, dan mintalah pendapatnya.”
Rudita menjadi
semakin tegang. Dipandanginya wajah Pandan Wangi sejenak, kemudian wajah
Swandaru yang hampir bulat itu. Bagi Rudita, kata-kata Pandan Wangi itu
seolah-olah merupakan tantangan, bahwa gadis itu tidak akan mendengarkan semua
pendapatnya. Pandan Wangi merasa bahwa apa yang dilakukannya itu masih belum
melanggar pantangan. Karena itu, maka dirasa dadanya semakin lama menjadi
semakin pepat. Kemanjaannya membuatnya menjadi sakit hati. Kebiasaannya adalah,
bahwa semua keinginan dan kata-katanya terpenuhi atau setidak-tidaknya orang
lain berusaha untuk memenuhinya. Namun kini Pandan Wangi justru bersandar
kepada kekuasaan ayahnya di atas Tanah Perdikan ini. Sejenak Rudita berdiri
termangu-mangu. Namun sejenak kemudian ia pun meninggalkan kedua anak muda itu
tanpa berkata sepatah kata pun. Pandan Wangi menarik nafas dalam. Sebenarnya ia
sama sekali tidak ingin menyakiti hati tamunya itu. Tetapi ia tidak mempunyai
cara lain, apalagi Rudita sudah melanggar haknya sebagai seorang tamu.
Seandainya ia tidak senang melihatnya berbicara berdua dengan Swandaru,
sebaiknya ia tidak dengan langsung menegurnya.
Pandan Wangi
berpaling ketika ia mendengar Swandaru berkata,
“Maafkan
Pandan Wangi, jika kehadiranku di sini menimbulkan persoalan di antara kalian,
di antara sanak dan kadangmu, karena bukankah Rudita itu masih bersangkut paut
keluarga denganmu?”
“Ia tidak
berhak mempersoalkannya, Kakang Swandaru,” jawab Pandan Wangi.
“Mungkin
maksudnya baik. Tetapi sifatnya yang terlalu memandang setiap persoalan
berkisar pada dirinya dan kemanjaannyalah yang membuatnya berbuat sesuatu yang
nampaknya kurang menghiraukan perasaan orang lain.”
Pandan Wangi
menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya,
“Mungkin
begitu, Kakang. Dan aku pun berterima kasih karena Kakang menanggapi persoalan
ini dengan hati yang lapang. Sebenarnya aku sudah cemas, jika tiba-tiba saja
Kakang Swandaru merasa tersinggung dan bertindak langsung terhadapnya.”
Swandaru tersenyum.
Katanya,
“Aku pun tamu
di sini. Karena itu, sejauh mungkin aku harus menyesuaikan diriku dengan
keadaan apa pun di sini.”
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu katanya,
“Sudahlah,
Kakang Swandaru, aku akan pergi ke dapur. Jika tamu-tamu di pendapa itu sudah
selesai, maka kita akan makan bersama-sama.”
Swandaru
memandang Pandan Wangi sejenak, namun kemudian ia menganggukkan kepalanya
meskipun sebenarnya ia masih ingin duduk bersamanya agak lebih lama lagi,
“Baiklah,
Wangi.”
Pandan Wangi
pun kemudian berdiri dan melangkah perlahan-lahan meninggalkan Swandaru yang
masih duduk di atas amben bambu. Baru beberapa langkah Pandan Wangi berhenti
sejenak. Ketika ia berpaling, Swandaru pun sedang memandanginya sehingga
tatapan mata keduanya pun beradu. Dengan tergesa-gesa Pandan Wangi menundukkan
kepalanya. Tetapi ia masih tetap saja berdiri di tempatnya. Swandaru menarik
nafas dalam-dalam. Namun ia pun tidak tahu apa yang sebaiknya dilakukan. Sejenak
kemudian, Pandan Wangi menyadari keadaannya. Sekali lagi ia memandang Swandaru
sambil tersenyum. Kemudian ia pun meneruskan langkahnya ke pintu dapur. Swandaru
termangu-mangu sejenak di tempatnya. Bahkan kemudian ia bersandar tiang di
belakang amben bambunya. Dipandanginya kegelapan malam yang semakin pekat
menyelubungi Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan kemudian di balik kegelapan itu
seakan-akan dilihatnya Rudita sedang berdiri tegang di balik dedaunan mengawasi
setiap gerak-geriknya. Ketika ia mendengar suara Pandan Wangi yang sedang
berbicara dengan pembantunya di dapur, barulah Swandaru menyadari dirinya. Ia
pun kemudian berdiri pula dan berjalan perlahan-lahan meninggalkan tempat itu,
kembali ke gandok. Tetapi ia tidak menjumpai Agung Sedayu di gandok itu.
Meskipun
demikian, ia tidak segera mencarinya. Ketika dilihatnya mereka yang sedang
berbincang masih berada di pendapa, bahkan bekas makan malam mereka pun masih
belum disingkirkan, maka Swandaru pun justru masuk ke dalam gandok dan
membaringkan dirinya di amben yang besar sambil menarik nafas dalam-dalam.
Dibiarkannya angan-angannya terbang ke dalam dunia yang asing baginya, namun
memberikan harapan yang cerah bagi hari depannya. Dalam pada itu, Pandan Wangi
mulai menyibukkan dirinya di dapur. Beberapa orang pelayannya pun kemudian
pergi ke pendapa untuk menyingkirkan mangkuk dan tempat nasi yang masih ada di
pendapa itu. Sementara ayahnya berpesan, agar bagi anak-anak muda yang ada
disediakan makan di pringgitan saja, karena orang-orang tua itu masih ingin
berbicara panjang, meskipun persoalannya sudah berkisar dari persoalan pokok
yang sebenarnya sudah selesai.
Sambil
mengatur makan malam bagi Swandaru dan anak-anak muda yang lain, perasaan
Pandan Wangi pun selalu disentuh oleh hubungannya dengan anak muda yang gemuk
itu. Bahkan ia pun kemudian bertanya kepada diri sendiri,
“Apakah benar
aku sudah melanggar pantangan bagi seorang gadis?”
Tanpa
disadarinya dikenangnya jalan hidup ibunya yang telah diperciki noda yang tidak
akan dapat terhapus sepanjang umurnya. Tanpa dikehendakinya sendiri, ia membayangkan
apa saja yang dilakukan ibunya. Pergaulan yang melanggar batas dan bahkan
kehilangan kekang atas diri sendiri, sehingga lahirlah kakaknya Sidanti, bukan
karena ayahnya Ki Argapati. Kelahiran yang sebenarnya tidak dikehendaki oleh
Sidanti sendiri, sehingga karena itu, maka Sidanti tidak akan dapat dianggap
bersalah oleh keadaannya itu. Diam-diam Pandan Wangi memperbandingkan
hubungannya dengan Swandaru dengan apa yang pernah terjadi dengan ibunya,
sehingga ia berkata di dalam hatinya,
“Aku tidak
boleh mengulangi yang pernah terjadi dengan ibuku, agar aku tidak termasuk di
dalam kata orang, bahwa kacang tidak dapat ingkar dari lanjaran. Tetapi aku
juga tidak dapat membelenggu diriku di dalam bilik yang gelap, karena pada
dasarnya ayah telah memberikan kebebasan kepadaku. Tetapi sudah barang tentu
bahwa ia tidak ingin terluka sampai dua kali oleh tusukan keadaan yang sama.
Jika ibu pernah melukai hatinya, maka aku harus membuktikan, bahwa aku dapat
menjaga diriku sendiri.”
Meskipun
demikian, kenangannya atas peristiwa yang pernah terjadi atas ibunya, telah
membuatnya menjadi muram. Bahkan kadang-kadang ia terpaksa menghapus setitik
air yang mengembang di pelupuknya, meskipun tidak seorang pun yang melihatnya. Pandan
Wangi pun kemudian semakin menyibukkan diri dengan kerja di dapur menyiapkan
makan malam tamu-tamunya dan dirinya sendiri di pringgitan. Pandan Wangi
berusaha melupakan kepedihan hatinya itu. Sejenak kemudian, maka semuanya pun
telah bersiap, Prastawa lah yang kemudian mencari Swandaru di gandok, dan
diketemukannya anak muda yang gemuk itu sedang berbaring.
“He, bukankah
kau belum makan?” ia bertanya.
Swandaru
terkejut. Perlahan-lahan ia bangkit dan dilihatnya Prastawa telah berdiri di
pintu.
“Ah, agaknya
kau sedang melamun, sehingga kau tidak mendengar kedatanganku. Di medan kau
dapat mendengar langkah seseorang pada jarak yang jauh. Ternyata di sini kau
tidak mendengar langkahku sampai ke ambang pintu.”
“Aku
tertidur,” jawab Swandaru.
“Hanya
nampaknya kau tertidur. Tetapi angan-anganmu pasti sedang terbang sampai ke
bintang.”
Swandaru
tersenyum. Dibenahinya pakaiannya yang menjadi agak kusut. Prastawa pun
kemudian mempersilahkannya pergi ke pringgitan. Kemudian dipanggilnya pula
Agung Sedayu yang diketemukannya di gardu depan, dan ia masih harus mencari
Rudita di gandok yang lain.
“Makanlah
sendiri,” berkata Rudita.
“Ah,” Prastawa
menyahut,
“sebaiknya kau
pergi ke pringgitan. Kita makan bersama-sama.”
“Biarlah
Pandan Wangi makan bersama anak yang gemuk itu.”
Prastawa
menarik nafas dalam-dalam.
“Aku malu
mempunyai seorang saudara perempuan seperti Pandan Wangi. Ia duduk berdua di
dalam kegelapan. Itu melanggar kesusilaan.”
Prastawa mengerutkan
keningnya. Katanya,
“Tetapi mereka
tidak berbuat apa-apa. Mereka hanya duduk di amben yang kebetulan terlindung
dari sinar lampu di serambi belakang.”
“Itulah salah
mereka. Tentu bukan sekedar kebetulan.”
Prastawa
termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya,
“Sudahlah,
jangan hiraukan mereka. Marilah kita makan.”
“Aku memang
tidak berkepentingan. Tetapi sebagai seorang yang tahu akan kesopanan dan
kesusilaan, aku tidak dapat melihat hal serupa itu terjadi”
“Biarlah hal
itu diselesaikan oleh orang-orang tua, oleh ayah mereka atau oleh siapa pun
juga.”
“O, ternyata
kau juga tidak bertanggung jawab. Ternyata kau bukan seorang pembina kesusilaan
yang baik.”
Prastawa
menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia menemukan jawab,
“Aku mengerti.
Memang sebaiknya mereka tidak melakukannya. Aku akan mencoba mencegahnya,
justru karena aku adalah saudara sepupu Pandan Wangi. Mungkin karena aku tidak
melihat sendiri, aku kurang menaruh perhatian. Namun pada suatu saat jika aku
melihatnya, aku akan menegur mereka.”
Rudita
memandang Prastawa sejenak. Kemudian sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia
berkata,
“Berbuatlah
sesuatu sebagai seorang yang beradab. Yang mengerti baik dan buruk.”
“Aku akan
mencobanya,” sahut Prastawa, lalu, “sekarang, marilah kita makan.”
Rudita
termenung sejenak. Lalu katanya sambil menganggukkan kepalanya,
“Baiklah.”
Akhirnya
anak-anak muda itu pun makan bersama di pringgitan. Namun suasananya jadi agak
tegang. Rudita seakan-akan tidak mau berbicara apa pun juga selain
sepatah-sepatah saja, sehingga dengan demikian Pandan Wangi pun menjadi semakin
diam pula.
“Besok kita
pergi berburu,” Prastawa lah yang mencoba membuka pembicaraan agar suasananya
tidak menjadi beku.
“Ya,” Agung
Sedayu lah yang pertama-tama menyahut,
“kita akan
pergi berburu besok. Bukankah begitu?”
Dengan sudut
matanya Pandan Wangi memandang wajah Rudita yang tegang. Namun kemudian anak
muda itu menganggukkan kepalanya sambil menyahut,
“Baiklah. Kita
besok pergi berburu.”
Pandan Wangi
tidak menyahut. Hampir saja ia menyebut hutan yang liar itu. Namun untunglah
bahwa ia tidak mengucapkannya.
“Kita pergi
bersama beberapa orang pengiring,” berkata Rudita.
“Bukankah kita
sudah berlima?” bertanya Agung Sedayu.
“Belum cukup,”
jawab Rudita.
Sebelum Agung
Sedayu menyahut, Prastawa lah yang menengahi,
“Ya, kita
membawa beberapa orang pengawal. Seperti yang sudah kita bicarakan, di pinggir
Kali Praga itu sekarang tidak saja dihuni oleh binatang-binatang buas, tetapi
juga orang-orang bersenjata yang tidak diketahui kedudukan dan asal usulnya.
Namun demikian, senjata-senjata mereka itu tetap berbahaya.”
“Jika kita
tidak berbuat apa-apa?” bertanya Rudita.
“Mereka pun
tidak berbuat apa-apa,” sahut Prastawa sebelum Agung Sedayu membuat Rudita
menjadi ketakutan.
Agung Sedayu
mengerutkan keningnya. Ketika terpandang olehnya wajah Prastawa, maka anak muda
itu mengedipkan matanya. Isyarat itu dapat dimengerti oleh Agung Sedayu,
sehingga karena itu ia hanya menarik nafas saja panjang.
“Besok kita
membawa tiga orang pengawal pilihan,” berkata Prastawa, lalu,
“ditambah
dengan dua orang yang akan melayani kebutuhan kita selama berburu. Makan,
minum, dan membawa busur dan anak panah.”
“Kenapa hanya
tiga?” bertanya Rudita.
“Masih
ditambah dua orang lagi.”
“Tetapi mereka
hanya sekedar pesuruh atau pelayan atau juru masak.”
“Tetapi
sekaligus pengawal yang berpengalaman mempergunakan senjata.”
Rudita mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian dipandanginya Agung Sedayu sejenak. Dengan ragu-ragu ia pun
bertanya,
“Bagaimana
dengan kau? Apakah kau berani juga pergi berburu hanya dengan lima orang
pengawal?”
Agung Sedayu
menjadi bingung. Kenapa justru Rudita itu bertanya kepadanya. Karena itu, maka
ia pun kemudian menjawab dengan ragu-ragu pula,
“Terserahlah
kepadamu.”
Rudita mengangkat
wajahnya sambil berkata,
“Kau belum
mengerti bahaya yang dapat ditimbulkan oleh hutan-hutan liar. Baru saja aku
berburu dengan Pandan Wangi di hutan perburuan. Di hutan perburuan itu pun kita
dapat menemukan bahaya yang tidak tersangka-sangka. Dan kau dengan tanpa
berpikir berkata “Kita sudah berlima.” Nah. Apakah kau dapat membayangkan
bahaya yang dapat kita jumpai di perjalanan? Jika kau sudah dapat
membayangkannya, maka kau tentu akan minta pengawal lebih dari sepuluh orang.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya dengan suara yang tertahan,
“Terserahlah
kepadamu. Jika Prastawa berani bertanggung jawab hanya dengan lima orang
pengawal, aku juga berani, karena aku percaya bahwa ia sudah mengenal medan
dengan sebaik-baiknya.”
Tetapi
ternyata bahwa Swandaru mulai digelitik oleh perasaan sendiri, sehingga ia
tidak dapat menahan dirinya dan berkata,
“Untunglah
bahwa selama perjalanan kami berlima tidak ditelan oleh ganasnya Alas Mentaok.
Padahal Alas Mentaok jauh lebih ganas dari hutan yang mana pun juga di sebelah
Selatan sepanjang tanah ini.”
“Ah,” desis
Agung Sedayu.
Namun
untunglah bahwa Prastawa tidak mengetahui maksud Swandaru yang sebenarnya
sehingga ia justru menyahut,
“Ya,
beruntunglah kalian, bahwa kalian masih tetap hidup. Memang bagi orang yang
tidak mengetahui bahaya yang terdapat di perjalanannya, mereka justru tidak
akan mengenal takut. Meskipun sebenarnya bukan karena keberanian dan percaya
kepada diri sendiri, tetapi justru karena kalian tidak mengerti apakah yang
kalian hadapi.”
Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika Agung Sedayu menggamitnya Swandaru
tersenyum.
“Demikian juga
agaknya sikap kalian tentang perburuan yang akan kita lakukan. Kalian
menganggap bahwa perburuan itu seperti sebuah tamasya saja.”
Swandaru masih
mengangguk-angguk. Tetapi sebenarnya ia sudah jemu mendengar sesorah itu.
Meskipun demikian ia masih tetap menghormati anak muda yang manja itu. Ternyata
kemudian Prastawa lah yang berhasil menutup persoalan seperti ia membukanya,
“Baiklah. Kita
sekarang beristirahat. Kita akan tidur nyenyak malam ini. Besok kita akan
berangkat pagi-pagi benar. Nanti sesudah pembicaraan di pendapa selesai, kita
masing-masing akan minta ijin. Tentu Pandan Wangi akan minta ijin kepada Ki
Gede dan minta beberapa orang untuk mengawalnya.”
Pembicaraan itu
seakan-akan telah selesai. Demikian juga acara makan malam pun selesai pula.
Namun di pendapa ternyata masih terdengar gelak tertawa yang berkepanjangan.
Hampir tengah
malam, barulah pembicaraan di pendapa itu diakhiri. Seperti yang sudah
direncanakan oleh anak-anak muda yang berkumpul di pringgitan untuk makan
malam, masing-masing minta ijin kepada orang tuanya untuk pergi berburu besok
pagi-pagi benar dan kembali di hari berikutnya.
“Berhati-hatilah,”
berkata Ki Gede Menoreh,
“bawalah obat
penawar racun karena di hutan liar itu masih banyak terdapat binatang berbisa.
Tetapi juga bersiaplah menghadapi kemungkinan yang lain, karena kadang-kadang
beberapa orang bersenjata telah menyeberangi Kali Praga jika mereka berbenturan
dengan pasukan pengawal Tanah Mataram yang sedang tumbuh itu. Mereka adalah
orang-orang yang tidak diketahui sikap dan pendiriannya dengan pasti, sehingga
siapa pun dapat dianggapnya sebagai lawannya.”
“Baik, Ayah,”
jawab Pandan Wangi,
“kami akan
membawa beberapa orang pengawal dan orang-orang yang akan membawa perlengkapan
berburu kami.”
“Baiklah.
Nanti aku akan mempersiapkannya.”
“Kami akan
berangkat besok pagi-pagi benar.”
“Ya. Aku akan
memanggil orang yang bertugas di gardu malam ini dan menyuruhnya menghubungi
orang itu.”
“Terima kasih,
Ayah.”
“Tetapi,
apakah Rudita akan ikut serta?”
“Ya, Ayah.”
“Suruhlah ia
minta ijin kepada ayahnya.”
“Kami
masing-masing akan minta ijin lebih dahulu,” sahut Pandan Wangi,
“dan karena
bersama Rudita itulah, kami memerlukan beberapa orang pengawal yang sebenarnya
tidak kami perlukan.”
“Tentu kalian
perlukan. Bukan sekedar untuk menangkap kijang.”
Pandan Wangi
memandang ayahnya sejenak. Namun kemudian kepalanya pun terangguk-angguk. Ia
mengerti maksud ayahnya, bahwa ayahnya pun menganggap perlu untuk berhati-hati
menghadapi orang-orang yang tidak dikenal itu.
“Sekarang, beristirahatlah,”
berkata Ki Gede,
“aku akan
memanggil peronda itu untuk menghubungi orang-orang yang akan aku tunjuk ikut
di dalam perburuan itu. Agaknya perburuan memang menjadi suguhan yang
menyenangkan, bagi Agung Sedayu dan Swandaru. Mungkin juga Rudita.”
Pandan Wangi
menggelengkan kepalanya, katanya,
“Rudita bukan
seorang pemburu yang baik.”
“Mungkin,”
desis ayahnya,
“namun ayahnya
adalah seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Meskipun demikian, jika Rudita
ikut serta, hati-hatilah. Jagalah anak muda yang manja itu, agar kulitnya tidak
terluka. Jika ia tergores duri betapa pun kecilnya, ibunya akan menjadi sangat
cemas dan ketakutan.”
“Baiklah,
Ayah,” Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya,
“sekarang aku
akan tidur saja. Besok pagi-pagi aku akan berangkat.”
Demikianlah
maka Pandan Wangi pun pergi ke dalam biliknya. Namun ia tidak segera dapat
tertidur. Sebagai seorang gadis, maka ia pun berangan-angan tentang hari
depannya. Apalagi setelah ayah Swandaru benar-benar datang ke Tanah Perdikan
Menoreh setelah sekian lama bagaikan hilang tidak ada kabar beritanya. Untunglah
bahwa ayahnya termasuk seorang yang tabah, yang tidak segera goyah. Meskipun
cukup lama Swandaru tidak ada kabar beritanya, namun ayahnya tetap percaya
bahwa pada suatu saat anak muda itu akan kembali. Orang seperti Kiai Gringsing
tentu dapat dipercaya kata-katanya. Dan sebenarnyalah bahwa akhirnya ayah
Swandaru itu pun datang untuk melamarnya dengan resmi.
Dalam pada
itu, Agung Sedayu dan Swandaru pun telah minta ijin kepada gurunya dan kepada
Ki Demang untuk pergi berburu besok pagi-pagi bersama Pandan Wangi. Seperti
yang didengarnya, maka dikatakannya pula, bahwa daerah di sebelah-menyebelah
Kali Praga memang sering dilalui oleh orang-orang yang tidak dikenal. Karena
itulah maka mereka selain pergi berlima, akan pergi juga beberapa orang
pengawal.
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Hati-hatilah.
Jangan menyia-nyiakan waktu yang sebenarnya sangat berharga bagimu Swandaru.”
“Aku mengerti,
Guru.”
“Tetapi ingat,
jangan menyeberangi Kali Praga. Jika kebetulan kau bertemu dengan orang-orang
bersenjata dan ternyata mereka adalah orang-orang Mataram yang belum kau kenal
sehingga terjadi bentrokan senjata, maka kau akan membuat persoalan baru.
Menurut dugaanku, orang-orang Mataram tidak akan menyeberang Kali Praga,
sehingga jika ada sepasukan orang-orang bersenjata di sebelah Barat Kali Praga,
maka sudah tentu bukan orang-orang Mataram.”
“Baik, Guru,”
jawab Agung Sedayu,
“kami akan
selalu menjaga diri. Kami tidak akan menyeberang ke Timur kali ini.”
“Baiklah.
Jagalah dirimu baik-baik,” pesan gurunya.
“Jangan
membuat persoalan, dengan siapa pun juga di atas Tanah Perdikan ini Swandaru,”
pesan ayahnya.
“Tentu, Ayah.
Aku akan menjaga diriku baik-baik.”
Demikianlah
maka kedua anak-anak muda itu pun pergi ke pembaringan. Berbeda dengan Pandan
Wangi, maka keduanya tidak sekedar merenung. Swandaru mempunyai kawan
berbincang untuk mengisi waktu sebelum matanya terpejam.
Di bilik yang
lain, Rudita ternyata tidak juga dapat tidur. Bermacam-macam persoalan
mengganggu perasaannya. Betapa pun ia mencoba mengusirnya, namun setiap kali
bayangan-bayangan yang muram pun datang lagi hinggap di hatinya.
“Persetan,”
geramnya, lalu,
“aku tidak
peduli.” Namun ternyata ia memerlukan waktu yang lama pula untuk dapat
tertidur. Bahkan di dalam tidur pun Rudita masih juga diganggu oleh mimpi yang
menyeramkan, seakan-akan seekor harimau sedang merunduk untuk menerkamnya.
Untunglah ia segera
terbangun sebelum mulutnya berteriak-teriak. Namun rasa-rasanya seluruh
bulu-bulunya tegak berdiri. Ketika terlihat olehnya ayahnya tidur di
pembaringan yang besar itu juga, maka hatinya pun menjadi tentram.
Ketika
kemudian ayam jantan berkokok, maka anak-anak muda di rumah Ki Gede itu pun
sudah terbangun. Prastawa sudah sibuk mengisi jambangan pakiwan. Tanpa
dimintanya Agung Sedayu pun ikut pula membantunya, menimba air untuk mengisi
gentong di dapur. Sejenak kemudian anak-anak muda itu pun segera bersiap.
Rudita pun segera mandi dan mempersiapkan diri. Demikian juga Agung Sedayu
setelah selesai mengambil air. Sebelum matahari terbit, semuanya sudah siap di
pendapa. Bahkan para pengawal pun telah siap pula. Semalam-malaman para peronda
berkeliling ke rumah mereka memberitahukan bahwa pagi-pagi benar mereka harus
sudah siap di halaman rumah Ki Gede Menoreh untuk mengawal Panduan Wangi dan
tamu-tamunya berburu. Meskipun hari masih pagi, namun mereka pun sempat juga
makan pagi sekedarnya. Baru kemudian mereka turun ke halaman menuju ke kuda
masing-masing.
Sekali lagi
anak-anak muda itu minta ijin. Rudita mendapat beberapa pesan dari ibunya yang
agaknya sangat berat melepaskannya.
“Biarlah,
Nyai,” berkata ayahnya,
“di sini ia
mendapat kawan anak-anak muda. Biarlah Rudita menjadi seorang anak muda.”
Isterinya
tidak menyahut. Dipandanginya saja anaknya yang kemudian meloncat ke punggung
kudanya.
“Lihatlah,
betapa gagahnya,” desis ayah Rudita itu. Istrinya hanya menganggukkan kepalanya
saja. Tetapi ia tidak menyahut.
Sejenak
kemudian beberapa ekor kuda itu pun berderap meninggalkan halaman. Debu yang
putih mengepul di keremangan pagi. Di langit cahaya merah mulai memancar
membayang di wajah yang kebiru-biruan. Orang-orang tua yang melepas anak-anak
muda itu pun kemudian kembali masuk ke tempat mereka masing-masing. Ki Gede
naik ke pendapa sedang Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Demang kembali ke
gandok peristirahatannya, sedang ayah dan ibu Rudita di gandok yang lain. Sementara
itu pengawal yang sedang meronda di halaman rumah Ki Argapati, memandang
iring-iringan itu dengan perasaan yang aneh. Meskipun Agung Sedayu dan Swandaru
bukan anak-anak Tanah Perdikan, namun anak-anak Menoreh mempunyai perhatian
terhadap mereka. Apalagi mereka yang pernah bersama-sama berjuang mengatasi
perpecahan yang pernah membakar Tanah Perdikan itu. Dalam pada itu,
iring-iringan kuda itu pun telah keluar dari padukuhan induk, tepat pada saat
matahari merayap naik ke atas punggung bukit.
Pandan Wangi
yang sedang dibelit oleh perasaan gairah seorang gadis yang menjelang hari-hari
perkawinannya, tampak begitu cerah di dalam cahaya matahari pagi. Pandan Wangi
itu pulalah yang berkuda di paling depan. Dengan dada tengadah ia memegang
kendali kudanya yang tegar, memandang tanah persawahan yang hijau terbentang di
hadapannya. Cahaya matahari yang kekuning-kuningan terpantul di wajah daun yang
hijau menumbuhkan sinar yang menyentuh hati. Di belakangnya Rudita memandangnya
tanpa berkedip. Rambutnya yang disanggul tinggi-tinggi, lehernya yang jenjang,
kemudian pakaiannya yang tidak lazim dipergunakan oleh seorang gadis, dengan
endong panah di lambung kuda dan busur menyilang punggung, membuat Pandan Wangi
bagaikan seorang tokoh yang hanya terdapat dalam dongeng dan mimpi. Di belakang
Rudita, Prastawa berkuda berjajar tiga dengan Agung Sedayu dan Swandaru.
Sekali-sekali mereka mengedarkan pandangan mata mereka menyapu langit yang
jernih dan ujung pegunungan di kejauhan. Namun sekali-sekali Swandaru sempat
memandang Rudita dan memperhatikan sikapnya. Namun ia selalu mencoba untuk
tidak berprasangka, karena Rudita adalah masih ada hubungan darah dengan Pandan
Wangi. Perjalanan ke hutan di pinggir Kali Praga itu merupakan perjalanan yang
segar bagi Agung Sedayu dan Swandaru yang sudah lama tidak menjelajahi Tanah
Perdikan ini. Sawah dan ladang yang luas, yang kadang-kadang masih diseling
dengan hutan-hutan sempit yang sengaja dibiarkan untuk kepentingan masa depan
Tanah Perdikan Menoreh, jalan yang lebar dan dipagari oleh parit yang
mengalirkan air yang jernih, pematang yang panjang dan lurus, ditumbuhi
rerumputan yang hijau di sela-sela batang padi yang tumbuh dengan suburnya. Tanpa
disadarinya Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Ada, sesuatu yang menyentuh
hatinya. Tiba-tiba saja ia teringat kepada Sangkal Patung yang subur. Betapa
suburnya Menoreh, namun daerah di sebelah Barat merupakan daerah pegunungan
padas yang keras. Sedangkan Sangkal Putung adalah daerah perbekalan yang
terbesar di bagian Selatan, di sebelah Timur Alas Tambak Baya. Bahkan Prambanan
tidak sesubur Sangkal Putung.
“Pada suatu
saat aku harus memilih,” tiba-tiba saja Swandaru berangan-angan,
“apakah aku
harus menangani Tanah Perdikan Menoreh ini atau aku harus berada di kampung
halaman kelahiranku. Sudah barang tentu aku tidak akan dapat berada di kedua
tempat ini bersama-sama. Jika aku berdiri sebagai menantu Ki Argapati, maka aku
adalah orang yang melakukan tugas Pandan Wangi, sebagai Kepala Tanah Perdikan
Menoreh. Tetapi dengan demikian aku harus meninggalkan Sangkal Putung. Daerah
yang selama ini merupakan tanah yang memberiku segala macam kebutuhan hidupku,
dan yang selama ini telah dibina oleh ayah serta seluruh rakyatnya yang baik.
Yang sudah dipertahankan dengan segala pengorbanan dari bahaya kehancuran pada
saat Tohpati berada di daerah Selatan ini. Jika aku berada di sini, maka
tugasku di Sangkal Putung akan melimpah kepada Sekar Mirah, dan itu berarti
akan jatuh di pundak Kakang Agung Sedayu.”
Swandaru
menarik nafas dalam-dalam. Ternyata ia akan menghadapi persoalan, di mana ia
harus menjatuhkan pilihan.
“Tetapi itu
masih cukup lama. Selama Ki Gede Menoreh masih dapat menjalankan tugasnya, maka
hal itu belum akan menjadi persoalan yang penting bagiku. Juga selama Ayah
masih tetap berada di tempatnya, maka semuanya masih akan berjalan seperti
biasa. Namun memang akan datang saatnya aku harus memikirkannya.”
Tanpa
disadarinya Swandaru memandang kepada Agung Sedayu yang berkuda di sebelah
Prastawa. Namun jantung Swandaru bergetar ketika ia melihat Prastawa yang
berkuda sambil memandang lurus ke depan. Ia adalah kemanakan Ki Gede Menoreh.
Jika ia tidak mau menerima jabatan Ki Gede Menoreh, karena ia memberatkan
kampung halamannya, maka itu berarti bahwa kekuasaan Menoreh akan jatuh ke
tangan Ki Argajaya, ayah Prastawa. Dan itu akan berarti pula bahwa arus
kekuasaan itu akan sampai kepada Prastawa. Tidak kepada orang lain.
Swandaru
menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia ingin mengusir persoalan itu. Persoalan yang
belum waktunya dipikirkannya sekarang. Namun bagaimana pun juga persoalan itu
masih saja membayanginya.
“Aku tidak
peduli,” geramnya di dalam hati. Dan Swandaru itu pun kemudian melemparkan
pandangan matanya jauh-jauh. Dengan sepenuh niat ia ingin melupakan persoalan
itu dan memandang ujung-ujung pepohonan yang hijau berkilat ditempa cahaya
matahari pagi.
“Apakah
perjalanan ini masih jauh,” tiba-tiba saja Swandaru bertanya untuk melepaskan
kepepatan di dadanya.
Yang mendengar
pertanyaan itu menjadi heran. Swandaru pernah berada di Tanah Perdikan ini,
sehingga seharusnya sudah mengetahui, bahwa perjalanan mereka itu baru saja
mulai.
“Pertanyaanmu
aneh,” desis Agung Sedayu.
“O,” Swandaru
tidak dapat menahan tertawanya Tetapi kali ini ia mentertawakan dirinya
sendiri. Karena itu dengan tergesa-gesa ia berkata,
“Maksudku,
apakah kita akan langsung pergi ke hutan liar itu, atau kita akan beristirahat
dahulu sambil melihat-lihat hutan-hutan kecil yang bertebaran itu.”
“Hutan-hutan
itu sudah kosong,” Pandan Wangi-lah yang menyahut,
“yang ada
hanyalah tikus-tikus tanah. Namun dengan demikian, kadang-kadang dapat
menimbulkan bencana bagi tanaman.”
“O,” Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya,
“apakah tidak
ada usaha untuk mengatasinya?”
“Tentu. Dan
usaha itu nampaknya akan berhasil.”
Rudita yang
berkuda di belakang Pandan Wangi tiba-tiba saja memotong,
“Kenapa kita
berbicara tentang tikus tanah? Kenapa kita tidak berbicara tentang harimau
loreng atau harimau kumbang yang licik. Atau tentang ular sebesar paha.”
Swandaru
mengerutkan keningnya. Namun ternyata bahwa ia tidak dapat melepaskan sama
sekali kebiasaannya, sehingga hampir tanpa disadarinya ia bertanya,
“Paha siapa?”
Rudita
berpaling mendergar pertanyaan itu. Wajahnya menegang. Ia merasa bahwa Swandaru
sedang mempermainkannya. Tetapi Swandaru menundukkan kepalanya, sedang Prastawa
mencoba menyembunyikan tertawanya yang ditahan-tahannya sekuat tenaga. Bahkan
Pandan Wangi yang berkuda di paling depan pun tersenyum. Demikian juga para
pengawal yang mendengar pertanyaan itu. Bahkan salah seorang dari mereka
berbisik,
“Paha
anak-anak. Bahkan bayi.”
Kawannya tidak
menjawab. Mereka mengerti bahwa Rudita sama sekali bukan seorang pemburu yang
baik. Bahkan ia masih harus berteriak-teriak memanggil ketika Pandan Wangi
memburu kijang di hutan perburuan kemarin. Ketika Swandaru itu kemudian
berpaling memandang Agung Sedayu, dilihatnya anak muda itu menggeleng-gelengkan
kepalanya. Dan Swandaru pun mendekatinya sambil berbisik,
“Aku
benar-benar tidak sengaja, Kakang.”
“Itulah. Kau
biasa melepaskan setiap kata yang kau pikirkan. Anak itu tentu tersinggung.”
“Begitu saja
kata-kata itu terlontar dari bibirku,” Swandaru berhenti sejenak lalu,
“sebenarnya
aku agak bosan mendengar kata-katanya.”
“Kau tidak mau
melihat alasan, kenapa ia berkata begitu.”
Swandaru
mengerutkan keningnya. Lalu ia pun bertanya,
“Apakah
alasannya? Untuk menyombongkan diri?”
“Ya, tetapi
bukan semata-mata karena ia sombong,” jawab Agung Sedayu.
“Ternyata ia
merasa betapa dirinya terlampau kecil sehingga ia perlu membusungkan dadanya,
agar ia dapat seimbang dengan kebesaran pribadi Pandan Wangi.”
“Kenapa Pandan
Wangi?”
“Bukankah ia
merasa bahwa masih ada hubungan keluarga dengan gadis itu betapa pun jauh
jaraknya? Karena itulah, maka ia harus seimbang dengan pribadi Pandan Wangi.
Apalagi ia seorang laki-laki, sedang Pandan Wangi seorang gadis. Selain dari
itu, ayahnya pun termasuk orang terpandang, sehingga ia perlu menyesuaikan
dirinya.”
Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Hatinya yang
kecil jangan kau injak sama sekali,” berkata Agung Sedayu pula.
“Cobalah kendalikan
kebiasaanmu itu.”
Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Baik. Baik.
Aku akan mengendalikan kebiasaanku ini.”
Namun Agung
Sedayu pun kemudian menarik nafas dalam-dalam. Gurunya pun kadang-kadang
berbuat sesuatu yang aneh menurut tanggapan kebanyakan orang, meskipun
maksudnya jauh lebih jelas dan bermanfaat dari sekedar letupan hati Swandaru. Samar-samar
teringat oleh Agung Sedayu, bagaimana gurunya itu mengenakan topeng dan
menegurnya sebagai seorang pertapa ketika ia terjun ke dalam parit, karena ia
dicengkam oleh ketakutan tiada taranya selagi dikejar oleh Alap-alap Jalatunda
selagi ia meneruskan tugas kakaknya Untara. Begitu juga permainan gurunya di
hutan Tambak Baya selagi ia bertiga pergi ke Alas Mentaok bersama Swandaru dan
Raden Sutawijaya.
Swandaru
memang merupakan tanah yang subur bagi benih yang ditaburkan oleh gurunya itu,
dengan sikap yang kadang-kadang aneh. Namun keterbukaan sifat Swandaru membuat
sikap yang aneh itu kadang-kadang terlampau langsung dan menyinggung orang
lain. Sejenak kemudian mereka saling berdiam diri. Pandan Wangi masih tetap
berkuda di paling depan. Rudita yang di belakangnya kadang-kadang masih saja
berpaling memandang Swandaru. Tetapi Swandaru selalu menghindari tatapan mata
itu.
“Jangan
hiraukan,” tiba-tiba saja Prastawa berdesis.
Swandaru
menganggukkan kepalanya. Jawabnya,
“Ya. Aku
justru sedang menghiraukan daerah ini. Aku tidak tahu, kenapa hutan-hutan kecil
itu tidak dibuka sama sekali.”
“Sebuah
persediaan di masa mendatang. Pada saatnya kita akan kekurangan tanah garapan.
Padahal sementara ini kita sudah cukup.”
Swandaru mengerutkan
keningnya, katanya,
“Apakah jika
kita sudah cukup, kita harus berhenti.”
“Bukan
berhenti. Tetapi kami justru menyediakan tanah itu buat perkembangan di masa
datang.”
Ternyata
Swandaru, anak laki-laki seorang Demang yang kelak akan menggantikan
kedudukannya itu mempunyai sikap tersendiri. Karena itu, maka katanya,
“Sebenarnya
Tanah Perdikan ini dapat berbuat lain. Hutan itu sebagian dapat dibuka. Hanya
sebagian kecil sajalah yang dapat dibiarkan untuk kepentingan khusus. Meskipun
saat ini lahan pertanian bagi Tanah Perdikan ini sudah cukup, namun alangkah
baiknya jika hutan-hutan itu dapat digarap sebagai tanah pertanian. Jika ada
kelebihan hasil sawah, maka hasil sawah itu dapat dijual atau ditukar dengan
kebutuhan-kebutuhan lain yang akan menjadi kebutuhan Tanah Perdikan ini
meskipun tidak sekarang, tetapi masa depan. Dengan demikian maka Tanah Perdikan
ini sudah mempunyai tabungan yang bermanfaat bagi masa mendatang.”
Prastawa
mengerutkan keningnya. Dan Swandaru berkata seterusnya,
“Ada baiknya
kita bekerja keras sekarang. Jika kita sudah mendapat sesuap nasi, bukan
berarti kita sudah harus puas. Tetapi tidak ada salahnya jika masih ada waktu
kita mengumpulkan dua suap nasi. Yang sesuap untuk kepentingan-kepentingan lain
bagi kesejahteraan hidup kita.”
Prastawa masih
mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya,
“Bagus sekali.
Mungkin kelak Tanah Perdikan ini akan berbuat demikian. Sisa tenaga yang ada
sekarang, daripada sekedar untuk termenung di pojok padukuhan atau berbincang
tentang hal yang tidak bermanfaat, ada baiknya dipergunakan untuk membuat
hutan-hutan yang berserakan itu menjadi tanah garapan, setelah diperhitungkan,
berapa banyaknya yang harus disisakan, sehingga tanah itu dapat merupakan
jaminan bagi masa datang. Bukan sekedar persediaan.”
“Begitulah.
Kecuali jika tenaga kita sekarang memang sudah tidak mampu lagi, sehingga kita
harus menunggu perkembangan.”
Prastawa hanya
mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Ketika ia menengadahkan wajahnya, maka
dilihatnya matahari menjadi semakin tinggi. Sedang dalam pada itu Agung Sedayu
sudah berada agak di depan mereka, tepat di belakang Rudita. Demikianlah
perjalanan itu pun semakin lama menjadi semakin jauh dari induk Tanah Perdikan.
Matahari pun menjadi semakin tinggi memanjat langit, sehingga dedaunan yang
hijau bagaikan menyala di kejauhan memantulkan cahaya matahari, yang mulai
terasa panas di wajah kulit. Ketika Agung Sedayu melihat gerumbul-gerumbul
perdu yang semakin lebat, maka ia pun memperlambat kudanya dan kemudian kepada
Prastawa itu berkata,
“Bukankah kita
sudah mendekati tujuan?”
“Ya. Di
seberang hutan perdu inilah kita mendapatkan sebuah lapangan pasir yang agak
luas, sampai ke tepian Kali Praga.”
“Jika begitu,
bukankah hutan yang tampak itulah yang akan kita tuju?”
“Hutan
perburuan.”
“Ya, bukankah
kita akan berburu?”
“Tetapi
bukankah kita ingin berburu di hutan yang masih liar? Tidak di hutan perburuan
itu.”
“O, jika
demikian, ke mana kita akan pergi?”
“Kita tidak
langsung sampai ke tepian. Kita berbelok di pinggir hutan perdu itu dan kita
akan sampai di hutan perburuan. Jika kita ingin beristirahat, kita beristirahat
sebentar. Tetapi jika kita ingin langsung berburu di hutan yang liar itu, kita
berjalan terus dan kita akan memasuki daerah yang semakin lama menjadi semakin
lebat dengan jenis-jenis binatang hutan yang ganas.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun rasa-rasanya ia akan mendapatkan
permainan yang mengasyikkan. Sudah lama ia tidak bermain-main dengan alat
bidik. Kini ia membawa busur dan anak panah.
“Bagaimana
rencana kita selanjutnya?” justru Agung Sedayu-lah yang kemudian bertanya.
“Apakah kita
akan berhenti atau terus?”
“Terserah
kepada kita,” jawab Prastawa.
“Kalau begitu,
bertanyalah kepada Pandan Wangi.”
Prastawa pun
kemudian mempercepat kudanya dan melampaui Rudita. Ketika ia berada di samping
Pandan Wangi, maka ia pun bertanya,
“Bagaimana
rencanamu, Pandan Wangi?”
“Rencana yang
mana?”
“Apakah kita
akan langsung pergi ke hutan yang buas?”
Sebelum Pandan
Wangi menyahut, Rudita telah menyahut,
“Tentu ke
hutan perburuan. Kita akan menangkap seekor kijang. Aku akan menghadiahkannya
kepada Pandan Wangi.”
Semua orang
berpaling kepadanya. Pandan Wangi memandanginya dengan heran. Namun Swandaru-lah
yang kemudian bertanya,
“Bagaimana
jika Pandan Wangi yang mendapat lebih dahulu dari kita?”
Rudita mengerutkan
keningnya. Lalu jawabnya,
“Tentu tidak.
Ia tidak akan berbuat apa-apa. Ia akan menunggu kita mendapatkan seekor
buatnya.”
“Bagaimana
jika Agung Sedayu yang mendapatkannya?” bertanya Prastawa.
“Semua yang
kita dapatkan, akulah yang akan menyerahkannya kepada Pandan Wangi. Itu sudah
menjadi keputusanku. Tidak ada orang lain yang berhak atas hasil buruan ini,
selain aku yang akan menyerahkannya kepada Pandan Wangi.”
Swandaru dan
Agung Sedayu berpandangan sejenak. Namun mereka pun tidak menghiraukannya lagi.
Sikap itu bagaikan sikap anak yang sedang dalam pertumbuhannya, yang menganggap
dirinya adalah pusat berkisarnya dunia. Karena itulah, maka justru mereka tidak
memberi tanggapan apa pun juga. Swandaru yang mempunyai sifat yang aneh itu pun
kemudian berdiam diri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar