Jilid 070 Halaman 3


Namun ternyata, menghadapi perkawinannya, Swandaru dapat berbicara seperti seorang kakek di depan sepasang mempelai yang sedang dipersandingkan.
“Mudah-mudahan semuanya itu bukan sekedar petuah-petuah yang didengarnya di dalam perhelatan-perhelatan saja,” berkata Pandan Wangi di dalam hatinya,
“tetapi benar-benar tumbuh dari dasar hatinya.”
Namun dalam pada itu, selagi keduanya masih sedang mencernakan pembicaraan mereka, maka mereka telah dikejutkan oleh desir langkah seseorang di kegelapan. Keduanya adalah orang-orang yang berilmu tinggi, sehingga pendengaran mereka pun cukup terlatih. Karena itulah, maka keduanya pun segera memperhatikan suara yang mereka dengar itu dengan lebih saksama. Langkah itu terdengar semakin jelas. Dan tiba-tiba saja dari kegelapan mereka mendengar seseorang berkata,
“Pandan Wangi, apakah pantas hal itu kau lakukan?”
Kedua anak muda yang duduk di amben bambu itu segera melihat bayangan di dalam kegelapan. Namun mereka pun segera mengenalnya, bahwa orang itu adalah Rudita. Perlahan-lahan Rudita mendekati keduanya sambil berkata,
“Pandan Wangi. Aku adalah saudaramu. Aku berkeberatan melihat caramu bergaul dengan laki-laki. Laki-laki itu kini bukan sanakmu, bukan kadangmu. Karena itu kau tidak boleh duduk berdua saja di dalam gelap. Sentuhan kulit kalian, membuat kalian menjadi kotor, dan harus disucikan.”
Wajah Pandan Wangi menjadi merah padam. Hampir saja ia meloncat menerkam Rudita dan meremas mulutnya. Namun untunglah bahwa ia masih sempat menguasai perasaannya. Rudita yang sudah berdiri di hadapan mereka sambil bertolak pinggang berkata,
“Pandan Wangi. Kau adalah contoh dari setiap gadis di Tanah Perdikan ini. Jika anak gadis kepala Tanah Perdikannya saja berbuat seperti itu, apakah yang akan dilakukan oleh gadis-gadis yang lain?”
“Rudita,” jawab Pandan Wangi yang berusaha menahan hati itu,
“berbicaralah yang agak baik. Apakah yang salah padaku sekarang? Apakah salahnya aku duduk di sini bersama Kakang Swandaru?”
“Kau sudah melanggar pantangan bagi seorang gadis.”
“Rudita,” berkata Pandan Wangi kemudian,
“barangkali aku sudah terlampau sering melanggar pantangan serupa ini jika hal serupa ini merupakan sebuah pantangan. Aku dibentuk oleh ayah menjadi seorang gadis yang memang agak lain dari gadis yang lain. Aku oleh ayah diperkenankan pergi berburu dan bermalam di perburuan. Aku adalah satu-satunya perempuan di perburuan itu. Tentu di hutan perburuan aku selalu duduk bersama dengan lebih dari tiga empat orang laki-laki pengiringku.”
“Soalnya berbeda,” sahut Rudita,
“kau benar-benar tidak mempunyai sentuhan apa pun dengan laki-laki itu. Lahir dan batin. Tetapi dengan Swandaru, kau telah bersentuhan jasmaniah dan rohaniah. Itu adalah perbuatan terlarang sebelum kalian menjadi pasangan suami isteri yang sah.”
“Ah,” Pandan Wangi berdesah,
“kau jangan membuat keributan Rudita. Aku berterima kasih jika kau memperingatkan kesalahanku. Tetapi jangan berbicara terlalu tajam. Kata-kata bagi seseorang dapat berpengaruh baik tetapi juga dapat berpengaruh buruk bagi diri sendiri.”
“Apa yang aku katakan?” bertanya Rudita.
“Memang mungkin tidak menyenangkan bagimu. Sudah barang tentu seseorang tidak akan dengan senang hati melihat cacat di tubuh sendiri. Tetapi aku merasa wajib. Dan kau harus menjaga bahwa hal yang serupa ini tidak berkelanjutan.”

Wajah Pandan Wangi terasa menjadi panas. Namun ia masih tetap bertahan untuk tidak berbuat sesuatu yang dapat menimbulkan persoalan lebih jauh karena orang tua Rudita itu pun sedang menjadi tamu ayahnya pula. Namun yang mencemaskannya adalah Swandaru yang masih berdiam diri. Pandan Wangi sedikit banyak mengenal watak Swandaru. Karena itu, jika anak muda yang gemuk itu menjadi jengkel, maka ia akan dapat berbuat sesuatu yang dapat menumbuhkan keributan dan bahkan mungkin akan berkepanjangan. Karena itu, maka Pandan Wangi itu pun berkata,
“Rudita. Aku berterima kasih. Sekarang, barangkali ibumu mencarimu. Aku pun akan segera pergi ke dapur untuk menyiapkan makan kita.”
“Kau harus pergi lebih dahulu,” berkata Rudita,
“jika tidak, maka sepeninggalku kau dapat berbuat apa saja di dalam gelap.”
“Rudita, apakah kau dengar suara para pelayan mencuci alat dapur di balik dinding ini? Mereka tentu mendengar percakapan kita, juga jika aku berbicara dengan Kakang Swandaru. Di sebelah kiri dari tempat duduk ini adalah sumur dan pakiwan. Setiap saat orang akan pergi hilir-mudik ke sumur. Karena itu kami tidak melanggar pantangan. Terutama pantangan ayahku sendiri, karena yang berkuasa di dalam rumah ini adalah ayah. Selama aku belum melanggar perintah dan pantangannya, maka aku merasa bahwa aku masih dapat melakukannya.”
Wajah Rudita menjadi tegang, dan Pandan Wangi berkata selanjutnya,
“Ingat, ayahlah yang paling berkuasa di sini. Tidak hanya di rumah ini, tetapi di seluruh Tanah Perdikan Menoreh. Karena itu, untuk mengukur apakah aku telah berbuat kesalahan di rumah ini dan di atas Tanah Perdikan ini, bertanyalah kepada ayahku. Katakan apa yang kau lihat, dan mintalah pendapatnya.”
Rudita menjadi semakin tegang. Dipandanginya wajah Pandan Wangi sejenak, kemudian wajah Swandaru yang hampir bulat itu. Bagi Rudita, kata-kata Pandan Wangi itu seolah-olah merupakan tantangan, bahwa gadis itu tidak akan mendengarkan semua pendapatnya. Pandan Wangi merasa bahwa apa yang dilakukannya itu masih belum melanggar pantangan. Karena itu, maka dirasa dadanya semakin lama menjadi semakin pepat. Kemanjaannya membuatnya menjadi sakit hati. Kebiasaannya adalah, bahwa semua keinginan dan kata-katanya terpenuhi atau setidak-tidaknya orang lain berusaha untuk memenuhinya. Namun kini Pandan Wangi justru bersandar kepada kekuasaan ayahnya di atas Tanah Perdikan ini. Sejenak Rudita berdiri termangu-mangu. Namun sejenak kemudian ia pun meninggalkan kedua anak muda itu tanpa berkata sepatah kata pun. Pandan Wangi menarik nafas dalam. Sebenarnya ia sama sekali tidak ingin menyakiti hati tamunya itu. Tetapi ia tidak mempunyai cara lain, apalagi Rudita sudah melanggar haknya sebagai seorang tamu. Seandainya ia tidak senang melihatnya berbicara berdua dengan Swandaru, sebaiknya ia tidak dengan langsung menegurnya.
Pandan Wangi berpaling ketika ia mendengar Swandaru berkata,
“Maafkan Pandan Wangi, jika kehadiranku di sini menimbulkan persoalan di antara kalian, di antara sanak dan kadangmu, karena bukankah Rudita itu masih bersangkut paut keluarga denganmu?”
“Ia tidak berhak mempersoalkannya, Kakang Swandaru,” jawab Pandan Wangi.
“Mungkin maksudnya baik. Tetapi sifatnya yang terlalu memandang setiap persoalan berkisar pada dirinya dan kemanjaannyalah yang membuatnya berbuat sesuatu yang nampaknya kurang menghiraukan perasaan orang lain.”
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya,
“Mungkin begitu, Kakang. Dan aku pun berterima kasih karena Kakang menanggapi persoalan ini dengan hati yang lapang. Sebenarnya aku sudah cemas, jika tiba-tiba saja Kakang Swandaru merasa tersinggung dan bertindak langsung terhadapnya.”
Swandaru tersenyum. Katanya,
“Aku pun tamu di sini. Karena itu, sejauh mungkin aku harus menyesuaikan diriku dengan keadaan apa pun di sini.”
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu katanya,
“Sudahlah, Kakang Swandaru, aku akan pergi ke dapur. Jika tamu-tamu di pendapa itu sudah selesai, maka kita akan makan bersama-sama.”
Swandaru memandang Pandan Wangi sejenak, namun kemudian ia menganggukkan kepalanya meskipun sebenarnya ia masih ingin duduk bersamanya agak lebih lama lagi,
“Baiklah, Wangi.”

Pandan Wangi pun kemudian berdiri dan melangkah perlahan-lahan meninggalkan Swandaru yang masih duduk di atas amben bambu. Baru beberapa langkah Pandan Wangi berhenti sejenak. Ketika ia berpaling, Swandaru pun sedang memandanginya sehingga tatapan mata keduanya pun beradu. Dengan tergesa-gesa Pandan Wangi menundukkan kepalanya. Tetapi ia masih tetap saja berdiri di tempatnya. Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun tidak tahu apa yang sebaiknya dilakukan. Sejenak kemudian, Pandan Wangi menyadari keadaannya. Sekali lagi ia memandang Swandaru sambil tersenyum. Kemudian ia pun meneruskan langkahnya ke pintu dapur. Swandaru termangu-mangu sejenak di tempatnya. Bahkan kemudian ia bersandar tiang di belakang amben bambunya. Dipandanginya kegelapan malam yang semakin pekat menyelubungi Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan kemudian di balik kegelapan itu seakan-akan dilihatnya Rudita sedang berdiri tegang di balik dedaunan mengawasi setiap gerak-geriknya. Ketika ia mendengar suara Pandan Wangi yang sedang berbicara dengan pembantunya di dapur, barulah Swandaru menyadari dirinya. Ia pun kemudian berdiri pula dan berjalan perlahan-lahan meninggalkan tempat itu, kembali ke gandok. Tetapi ia tidak menjumpai Agung Sedayu di gandok itu.
Meskipun demikian, ia tidak segera mencarinya. Ketika dilihatnya mereka yang sedang berbincang masih berada di pendapa, bahkan bekas makan malam mereka pun masih belum disingkirkan, maka Swandaru pun justru masuk ke dalam gandok dan membaringkan dirinya di amben yang besar sambil menarik nafas dalam-dalam. Dibiarkannya angan-angannya terbang ke dalam dunia yang asing baginya, namun memberikan harapan yang cerah bagi hari depannya. Dalam pada itu, Pandan Wangi mulai menyibukkan dirinya di dapur. Beberapa orang pelayannya pun kemudian pergi ke pendapa untuk menyingkirkan mangkuk dan tempat nasi yang masih ada di pendapa itu. Sementara ayahnya berpesan, agar bagi anak-anak muda yang ada disediakan makan di pringgitan saja, karena orang-orang tua itu masih ingin berbicara panjang, meskipun persoalannya sudah berkisar dari persoalan pokok yang sebenarnya sudah selesai.
Sambil mengatur makan malam bagi Swandaru dan anak-anak muda yang lain, perasaan Pandan Wangi pun selalu disentuh oleh hubungannya dengan anak muda yang gemuk itu. Bahkan ia pun kemudian bertanya kepada diri sendiri,
“Apakah benar aku sudah melanggar pantangan bagi seorang gadis?”
Tanpa disadarinya dikenangnya jalan hidup ibunya yang telah diperciki noda yang tidak akan dapat terhapus sepanjang umurnya. Tanpa dikehendakinya sendiri, ia membayangkan apa saja yang dilakukan ibunya. Pergaulan yang melanggar batas dan bahkan kehilangan kekang atas diri sendiri, sehingga lahirlah kakaknya Sidanti, bukan karena ayahnya Ki Argapati. Kelahiran yang sebenarnya tidak dikehendaki oleh Sidanti sendiri, sehingga karena itu, maka Sidanti tidak akan dapat dianggap bersalah oleh keadaannya itu. Diam-diam Pandan Wangi memperbandingkan hubungannya dengan Swandaru dengan apa yang pernah terjadi dengan ibunya, sehingga ia berkata di dalam hatinya,
“Aku tidak boleh mengulangi yang pernah terjadi dengan ibuku, agar aku tidak termasuk di dalam kata orang, bahwa kacang tidak dapat ingkar dari lanjaran. Tetapi aku juga tidak dapat membelenggu diriku di dalam bilik yang gelap, karena pada dasarnya ayah telah memberikan kebebasan kepadaku. Tetapi sudah barang tentu bahwa ia tidak ingin terluka sampai dua kali oleh tusukan keadaan yang sama. Jika ibu pernah melukai hatinya, maka aku harus membuktikan, bahwa aku dapat menjaga diriku sendiri.”
Meskipun demikian, kenangannya atas peristiwa yang pernah terjadi atas ibunya, telah membuatnya menjadi muram. Bahkan kadang-kadang ia terpaksa menghapus setitik air yang mengembang di pelupuknya, meskipun tidak seorang pun yang melihatnya. Pandan Wangi pun kemudian semakin menyibukkan diri dengan kerja di dapur menyiapkan makan malam tamu-tamunya dan dirinya sendiri di pringgitan. Pandan Wangi berusaha melupakan kepedihan hatinya itu. Sejenak kemudian, maka semuanya pun telah bersiap, Prastawa lah yang kemudian mencari Swandaru di gandok, dan diketemukannya anak muda yang gemuk itu sedang berbaring.
“He, bukankah kau belum makan?” ia bertanya.
Swandaru terkejut. Perlahan-lahan ia bangkit dan dilihatnya Prastawa telah berdiri di pintu.
“Ah, agaknya kau sedang melamun, sehingga kau tidak mendengar kedatanganku. Di medan kau dapat mendengar langkah seseorang pada jarak yang jauh. Ternyata di sini kau tidak mendengar langkahku sampai ke ambang pintu.”
“Aku tertidur,” jawab Swandaru.
“Hanya nampaknya kau tertidur. Tetapi angan-anganmu pasti sedang terbang sampai ke bintang.”
Swandaru tersenyum. Dibenahinya pakaiannya yang menjadi agak kusut. Prastawa pun kemudian mempersilahkannya pergi ke pringgitan. Kemudian dipanggilnya pula Agung Sedayu yang diketemukannya di gardu depan, dan ia masih harus mencari Rudita di gandok yang lain.
“Makanlah sendiri,” berkata Rudita.
“Ah,” Prastawa menyahut,
“sebaiknya kau pergi ke pringgitan. Kita makan bersama-sama.”
“Biarlah Pandan Wangi makan bersama anak yang gemuk itu.”
Prastawa menarik nafas dalam-dalam.
“Aku malu mempunyai seorang saudara perempuan seperti Pandan Wangi. Ia duduk berdua di dalam kegelapan. Itu melanggar kesusilaan.”
Prastawa mengerutkan keningnya. Katanya,
“Tetapi mereka tidak berbuat apa-apa. Mereka hanya duduk di amben yang kebetulan terlindung dari sinar lampu di serambi belakang.”
“Itulah salah mereka. Tentu bukan sekedar kebetulan.”
Prastawa termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya,
“Sudahlah, jangan hiraukan mereka. Marilah kita makan.”
“Aku memang tidak berkepentingan. Tetapi sebagai seorang yang tahu akan kesopanan dan kesusilaan, aku tidak dapat melihat hal serupa itu terjadi”
“Biarlah hal itu diselesaikan oleh orang-orang tua, oleh ayah mereka atau oleh siapa pun juga.”
“O, ternyata kau juga tidak bertanggung jawab. Ternyata kau bukan seorang pembina kesusilaan yang baik.”
Prastawa menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia menemukan jawab,
“Aku mengerti. Memang sebaiknya mereka tidak melakukannya. Aku akan mencoba mencegahnya, justru karena aku adalah saudara sepupu Pandan Wangi. Mungkin karena aku tidak melihat sendiri, aku kurang menaruh perhatian. Namun pada suatu saat jika aku melihatnya, aku akan menegur mereka.”
Rudita memandang Prastawa sejenak. Kemudian sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata,
“Berbuatlah sesuatu sebagai seorang yang beradab. Yang mengerti baik dan buruk.”
“Aku akan mencobanya,” sahut Prastawa, lalu, “sekarang, marilah kita makan.”
Rudita termenung sejenak. Lalu katanya sambil menganggukkan kepalanya,
“Baiklah.”

Akhirnya anak-anak muda itu pun makan bersama di pringgitan. Namun suasananya jadi agak tegang. Rudita seakan-akan tidak mau berbicara apa pun juga selain sepatah-sepatah saja, sehingga dengan demikian Pandan Wangi pun menjadi semakin diam pula.
“Besok kita pergi berburu,” Prastawa lah yang mencoba membuka pembicaraan agar suasananya tidak menjadi beku.
“Ya,” Agung Sedayu lah yang pertama-tama menyahut,
“kita akan pergi berburu besok. Bukankah begitu?”
Dengan sudut matanya Pandan Wangi memandang wajah Rudita yang tegang. Namun kemudian anak muda itu menganggukkan kepalanya sambil menyahut,
“Baiklah. Kita besok pergi berburu.”
Pandan Wangi tidak menyahut. Hampir saja ia menyebut hutan yang liar itu. Namun untunglah bahwa ia tidak mengucapkannya.
“Kita pergi bersama beberapa orang pengiring,” berkata Rudita.
“Bukankah kita sudah berlima?” bertanya Agung Sedayu.
“Belum cukup,” jawab Rudita.
Sebelum Agung Sedayu menyahut, Prastawa lah yang menengahi,
“Ya, kita membawa beberapa orang pengawal. Seperti yang sudah kita bicarakan, di pinggir Kali Praga itu sekarang tidak saja dihuni oleh binatang-binatang buas, tetapi juga orang-orang bersenjata yang tidak diketahui kedudukan dan asal usulnya. Namun demikian, senjata-senjata mereka itu tetap berbahaya.”
“Jika kita tidak berbuat apa-apa?” bertanya Rudita.
“Mereka pun tidak berbuat apa-apa,” sahut Prastawa sebelum Agung Sedayu membuat Rudita menjadi ketakutan.
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Ketika terpandang olehnya wajah Prastawa, maka anak muda itu mengedipkan matanya. Isyarat itu dapat dimengerti oleh Agung Sedayu, sehingga karena itu ia hanya menarik nafas saja panjang.
“Besok kita membawa tiga orang pengawal pilihan,” berkata Prastawa, lalu,
“ditambah dengan dua orang yang akan melayani kebutuhan kita selama berburu. Makan, minum, dan membawa busur dan anak panah.”
“Kenapa hanya tiga?” bertanya Rudita.
“Masih ditambah dua orang lagi.”
“Tetapi mereka hanya sekedar pesuruh atau pelayan atau juru masak.”
“Tetapi sekaligus pengawal yang berpengalaman mempergunakan senjata.”
Rudita mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian dipandanginya Agung Sedayu sejenak. Dengan ragu-ragu ia pun bertanya,
“Bagaimana dengan kau? Apakah kau berani juga pergi berburu hanya dengan lima orang pengawal?”
Agung Sedayu menjadi bingung. Kenapa justru Rudita itu bertanya kepadanya. Karena itu, maka ia pun kemudian menjawab dengan ragu-ragu pula,
“Terserahlah kepadamu.”
Rudita mengangkat wajahnya sambil berkata,
“Kau belum mengerti bahaya yang dapat ditimbulkan oleh hutan-hutan liar. Baru saja aku berburu dengan Pandan Wangi di hutan perburuan. Di hutan perburuan itu pun kita dapat menemukan bahaya yang tidak tersangka-sangka. Dan kau dengan tanpa berpikir berkata “Kita sudah berlima.” Nah. Apakah kau dapat membayangkan bahaya yang dapat kita jumpai di perjalanan? Jika kau sudah dapat membayangkannya, maka kau tentu akan minta pengawal lebih dari sepuluh orang.”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya dengan suara yang tertahan,
“Terserahlah kepadamu. Jika Prastawa berani bertanggung jawab hanya dengan lima orang pengawal, aku juga berani, karena aku percaya bahwa ia sudah mengenal medan dengan sebaik-baiknya.”
Tetapi ternyata bahwa Swandaru mulai digelitik oleh perasaan sendiri, sehingga ia tidak dapat menahan dirinya dan berkata,
“Untunglah bahwa selama perjalanan kami berlima tidak ditelan oleh ganasnya Alas Mentaok. Padahal Alas Mentaok jauh lebih ganas dari hutan yang mana pun juga di sebelah Selatan sepanjang tanah ini.”
“Ah,” desis Agung Sedayu.
Namun untunglah bahwa Prastawa tidak mengetahui maksud Swandaru yang sebenarnya sehingga ia justru menyahut,
“Ya, beruntunglah kalian, bahwa kalian masih tetap hidup. Memang bagi orang yang tidak mengetahui bahaya yang terdapat di perjalanannya, mereka justru tidak akan mengenal takut. Meskipun sebenarnya bukan karena keberanian dan percaya kepada diri sendiri, tetapi justru karena kalian tidak mengerti apakah yang kalian hadapi.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika Agung Sedayu menggamitnya Swandaru tersenyum.
“Demikian juga agaknya sikap kalian tentang perburuan yang akan kita lakukan. Kalian menganggap bahwa perburuan itu seperti sebuah tamasya saja.”
Swandaru masih mengangguk-angguk. Tetapi sebenarnya ia sudah jemu mendengar sesorah itu. Meskipun demikian ia masih tetap menghormati anak muda yang manja itu. Ternyata kemudian Prastawa lah yang berhasil menutup persoalan seperti ia membukanya,
“Baiklah. Kita sekarang beristirahat. Kita akan tidur nyenyak malam ini. Besok kita akan berangkat pagi-pagi benar. Nanti sesudah pembicaraan di pendapa selesai, kita masing-masing akan minta ijin. Tentu Pandan Wangi akan minta ijin kepada Ki Gede dan minta beberapa orang untuk mengawalnya.”
Pembicaraan itu seakan-akan telah selesai. Demikian juga acara makan malam pun selesai pula. Namun di pendapa ternyata masih terdengar gelak tertawa yang berkepanjangan.
Hampir tengah malam, barulah pembicaraan di pendapa itu diakhiri. Seperti yang sudah direncanakan oleh anak-anak muda yang berkumpul di pringgitan untuk makan malam, masing-masing minta ijin kepada orang tuanya untuk pergi berburu besok pagi-pagi benar dan kembali di hari berikutnya.
“Berhati-hatilah,” berkata Ki Gede Menoreh,
“bawalah obat penawar racun karena di hutan liar itu masih banyak terdapat binatang berbisa. Tetapi juga bersiaplah menghadapi kemungkinan yang lain, karena kadang-kadang beberapa orang bersenjata telah menyeberangi Kali Praga jika mereka berbenturan dengan pasukan pengawal Tanah Mataram yang sedang tumbuh itu. Mereka adalah orang-orang yang tidak diketahui sikap dan pendiriannya dengan pasti, sehingga siapa pun dapat dianggapnya sebagai lawannya.”
“Baik, Ayah,” jawab Pandan Wangi,
“kami akan membawa beberapa orang pengawal dan orang-orang yang akan membawa perlengkapan berburu kami.”
“Baiklah. Nanti aku akan mempersiapkannya.”
“Kami akan berangkat besok pagi-pagi benar.”
“Ya. Aku akan memanggil orang yang bertugas di gardu malam ini dan menyuruhnya menghubungi orang itu.”
“Terima kasih, Ayah.”
“Tetapi, apakah Rudita akan ikut serta?”
“Ya, Ayah.”
“Suruhlah ia minta ijin kepada ayahnya.”
“Kami masing-masing akan minta ijin lebih dahulu,” sahut Pandan Wangi,
“dan karena bersama Rudita itulah, kami memerlukan beberapa orang pengawal yang sebenarnya tidak kami perlukan.”
“Tentu kalian perlukan. Bukan sekedar untuk menangkap kijang.”

Pandan Wangi memandang ayahnya sejenak. Namun kemudian kepalanya pun terangguk-angguk. Ia mengerti maksud ayahnya, bahwa ayahnya pun menganggap perlu untuk berhati-hati menghadapi orang-orang yang tidak dikenal itu.
“Sekarang, beristirahatlah,” berkata Ki Gede,
“aku akan memanggil peronda itu untuk menghubungi orang-orang yang akan aku tunjuk ikut di dalam perburuan itu. Agaknya perburuan memang menjadi suguhan yang menyenangkan, bagi Agung Sedayu dan Swandaru. Mungkin juga Rudita.”
Pandan Wangi menggelengkan kepalanya, katanya,
“Rudita bukan seorang pemburu yang baik.”
“Mungkin,” desis ayahnya,
“namun ayahnya adalah seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Meskipun demikian, jika Rudita ikut serta, hati-hatilah. Jagalah anak muda yang manja itu, agar kulitnya tidak terluka. Jika ia tergores duri betapa pun kecilnya, ibunya akan menjadi sangat cemas dan ketakutan.”
“Baiklah, Ayah,” Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya,
“sekarang aku akan tidur saja. Besok pagi-pagi aku akan berangkat.”
Demikianlah maka Pandan Wangi pun pergi ke dalam biliknya. Namun ia tidak segera dapat tertidur. Sebagai seorang gadis, maka ia pun berangan-angan tentang hari depannya. Apalagi setelah ayah Swandaru benar-benar datang ke Tanah Perdikan Menoreh setelah sekian lama bagaikan hilang tidak ada kabar beritanya. Untunglah bahwa ayahnya termasuk seorang yang tabah, yang tidak segera goyah. Meskipun cukup lama Swandaru tidak ada kabar beritanya, namun ayahnya tetap percaya bahwa pada suatu saat anak muda itu akan kembali. Orang seperti Kiai Gringsing tentu dapat dipercaya kata-katanya. Dan sebenarnyalah bahwa akhirnya ayah Swandaru itu pun datang untuk melamarnya dengan resmi.
Dalam pada itu, Agung Sedayu dan Swandaru pun telah minta ijin kepada gurunya dan kepada Ki Demang untuk pergi berburu besok pagi-pagi bersama Pandan Wangi. Seperti yang didengarnya, maka dikatakannya pula, bahwa daerah di sebelah-menyebelah Kali Praga memang sering dilalui oleh orang-orang yang tidak dikenal. Karena itulah maka mereka selain pergi berlima, akan pergi juga beberapa orang pengawal.
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Hati-hatilah. Jangan menyia-nyiakan waktu yang sebenarnya sangat berharga bagimu Swandaru.”
“Aku mengerti, Guru.”
“Tetapi ingat, jangan menyeberangi Kali Praga. Jika kebetulan kau bertemu dengan orang-orang bersenjata dan ternyata mereka adalah orang-orang Mataram yang belum kau kenal sehingga terjadi bentrokan senjata, maka kau akan membuat persoalan baru. Menurut dugaanku, orang-orang Mataram tidak akan menyeberang Kali Praga, sehingga jika ada sepasukan orang-orang bersenjata di sebelah Barat Kali Praga, maka sudah tentu bukan orang-orang Mataram.”
“Baik, Guru,” jawab Agung Sedayu,
“kami akan selalu menjaga diri. Kami tidak akan menyeberang ke Timur kali ini.”
“Baiklah. Jagalah dirimu baik-baik,” pesan gurunya.
“Jangan membuat persoalan, dengan siapa pun juga di atas Tanah Perdikan ini Swandaru,” pesan ayahnya.
“Tentu, Ayah. Aku akan menjaga diriku baik-baik.”
Demikianlah maka kedua anak-anak muda itu pun pergi ke pembaringan. Berbeda dengan Pandan Wangi, maka keduanya tidak sekedar merenung. Swandaru mempunyai kawan berbincang untuk mengisi waktu sebelum matanya terpejam.
Di bilik yang lain, Rudita ternyata tidak juga dapat tidur. Bermacam-macam persoalan mengganggu perasaannya. Betapa pun ia mencoba mengusirnya, namun setiap kali bayangan-bayangan yang muram pun datang lagi hinggap di hatinya.
“Persetan,” geramnya, lalu,
“aku tidak peduli.” Namun ternyata ia memerlukan waktu yang lama pula untuk dapat tertidur. Bahkan di dalam tidur pun Rudita masih juga diganggu oleh mimpi yang menyeramkan, seakan-akan seekor harimau sedang merunduk untuk menerkamnya.
Untunglah ia segera terbangun sebelum mulutnya berteriak-teriak. Namun rasa-rasanya seluruh bulu-bulunya tegak berdiri. Ketika terlihat olehnya ayahnya tidur di pembaringan yang besar itu juga, maka hatinya pun menjadi tentram.

Ketika kemudian ayam jantan berkokok, maka anak-anak muda di rumah Ki Gede itu pun sudah terbangun. Prastawa sudah sibuk mengisi jambangan pakiwan. Tanpa dimintanya Agung Sedayu pun ikut pula membantunya, menimba air untuk mengisi gentong di dapur. Sejenak kemudian anak-anak muda itu pun segera bersiap. Rudita pun segera mandi dan mempersiapkan diri. Demikian juga Agung Sedayu setelah selesai mengambil air. Sebelum matahari terbit, semuanya sudah siap di pendapa. Bahkan para pengawal pun telah siap pula. Semalam-malaman para peronda berkeliling ke rumah mereka memberitahukan bahwa pagi-pagi benar mereka harus sudah siap di halaman rumah Ki Gede Menoreh untuk mengawal Panduan Wangi dan tamu-tamunya berburu. Meskipun hari masih pagi, namun mereka pun sempat juga makan pagi sekedarnya. Baru kemudian mereka turun ke halaman menuju ke kuda masing-masing.
Sekali lagi anak-anak muda itu minta ijin. Rudita mendapat beberapa pesan dari ibunya yang agaknya sangat berat melepaskannya.
“Biarlah, Nyai,” berkata ayahnya,
“di sini ia mendapat kawan anak-anak muda. Biarlah Rudita menjadi seorang anak muda.”
Isterinya tidak menyahut. Dipandanginya saja anaknya yang kemudian meloncat ke punggung kudanya.
“Lihatlah, betapa gagahnya,” desis ayah Rudita itu. Istrinya hanya menganggukkan kepalanya saja. Tetapi ia tidak menyahut.
Sejenak kemudian beberapa ekor kuda itu pun berderap meninggalkan halaman. Debu yang putih mengepul di keremangan pagi. Di langit cahaya merah mulai memancar membayang di wajah yang kebiru-biruan. Orang-orang tua yang melepas anak-anak muda itu pun kemudian kembali masuk ke tempat mereka masing-masing. Ki Gede naik ke pendapa sedang Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Demang kembali ke gandok peristirahatannya, sedang ayah dan ibu Rudita di gandok yang lain. Sementara itu pengawal yang sedang meronda di halaman rumah Ki Argapati, memandang iring-iringan itu dengan perasaan yang aneh. Meskipun Agung Sedayu dan Swandaru bukan anak-anak Tanah Perdikan, namun anak-anak Menoreh mempunyai perhatian terhadap mereka. Apalagi mereka yang pernah bersama-sama berjuang mengatasi perpecahan yang pernah membakar Tanah Perdikan itu. Dalam pada itu, iring-iringan kuda itu pun telah keluar dari padukuhan induk, tepat pada saat matahari merayap naik ke atas punggung bukit.

Pandan Wangi yang sedang dibelit oleh perasaan gairah seorang gadis yang menjelang hari-hari perkawinannya, tampak begitu cerah di dalam cahaya matahari pagi. Pandan Wangi itu pulalah yang berkuda di paling depan. Dengan dada tengadah ia memegang kendali kudanya yang tegar, memandang tanah persawahan yang hijau terbentang di hadapannya. Cahaya matahari yang kekuning-kuningan terpantul di wajah daun yang hijau menumbuhkan sinar yang menyentuh hati. Di belakangnya Rudita memandangnya tanpa berkedip. Rambutnya yang disanggul tinggi-tinggi, lehernya yang jenjang, kemudian pakaiannya yang tidak lazim dipergunakan oleh seorang gadis, dengan endong panah di lambung kuda dan busur menyilang punggung, membuat Pandan Wangi bagaikan seorang tokoh yang hanya terdapat dalam dongeng dan mimpi. Di belakang Rudita, Prastawa berkuda berjajar tiga dengan Agung Sedayu dan Swandaru. Sekali-sekali mereka mengedarkan pandangan mata mereka menyapu langit yang jernih dan ujung pegunungan di kejauhan. Namun sekali-sekali Swandaru sempat memandang Rudita dan memperhatikan sikapnya. Namun ia selalu mencoba untuk tidak berprasangka, karena Rudita adalah masih ada hubungan darah dengan Pandan Wangi. Perjalanan ke hutan di pinggir Kali Praga itu merupakan perjalanan yang segar bagi Agung Sedayu dan Swandaru yang sudah lama tidak menjelajahi Tanah Perdikan ini. Sawah dan ladang yang luas, yang kadang-kadang masih diseling dengan hutan-hutan sempit yang sengaja dibiarkan untuk kepentingan masa depan Tanah Perdikan Menoreh, jalan yang lebar dan dipagari oleh parit yang mengalirkan air yang jernih, pematang yang panjang dan lurus, ditumbuhi rerumputan yang hijau di sela-sela batang padi yang tumbuh dengan suburnya. Tanpa disadarinya Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Ada, sesuatu yang menyentuh hatinya. Tiba-tiba saja ia teringat kepada Sangkal Patung yang subur. Betapa suburnya Menoreh, namun daerah di sebelah Barat merupakan daerah pegunungan padas yang keras. Sedangkan Sangkal Putung adalah daerah perbekalan yang terbesar di bagian Selatan, di sebelah Timur Alas Tambak Baya. Bahkan Prambanan tidak sesubur Sangkal Putung.
“Pada suatu saat aku harus memilih,” tiba-tiba saja Swandaru berangan-angan,
“apakah aku harus menangani Tanah Perdikan Menoreh ini atau aku harus berada di kampung halaman kelahiranku. Sudah barang tentu aku tidak akan dapat berada di kedua tempat ini bersama-sama. Jika aku berdiri sebagai menantu Ki Argapati, maka aku adalah orang yang melakukan tugas Pandan Wangi, sebagai Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi dengan demikian aku harus meninggalkan Sangkal Putung. Daerah yang selama ini merupakan tanah yang memberiku segala macam kebutuhan hidupku, dan yang selama ini telah dibina oleh ayah serta seluruh rakyatnya yang baik. Yang sudah dipertahankan dengan segala pengorbanan dari bahaya kehancuran pada saat Tohpati berada di daerah Selatan ini. Jika aku berada di sini, maka tugasku di Sangkal Putung akan melimpah kepada Sekar Mirah, dan itu berarti akan jatuh di pundak Kakang Agung Sedayu.”
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Ternyata ia akan menghadapi persoalan, di mana ia harus menjatuhkan pilihan.
“Tetapi itu masih cukup lama. Selama Ki Gede Menoreh masih dapat menjalankan tugasnya, maka hal itu belum akan menjadi persoalan yang penting bagiku. Juga selama Ayah masih tetap berada di tempatnya, maka semuanya masih akan berjalan seperti biasa. Namun memang akan datang saatnya aku harus memikirkannya.”
Tanpa disadarinya Swandaru memandang kepada Agung Sedayu yang berkuda di sebelah Prastawa. Namun jantung Swandaru bergetar ketika ia melihat Prastawa yang berkuda sambil memandang lurus ke depan. Ia adalah kemanakan Ki Gede Menoreh. Jika ia tidak mau menerima jabatan Ki Gede Menoreh, karena ia memberatkan kampung halamannya, maka itu berarti bahwa kekuasaan Menoreh akan jatuh ke tangan Ki Argajaya, ayah Prastawa. Dan itu akan berarti pula bahwa arus kekuasaan itu akan sampai kepada Prastawa. Tidak kepada orang lain.
Swandaru menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia ingin mengusir persoalan itu. Persoalan yang belum waktunya dipikirkannya sekarang. Namun bagaimana pun juga persoalan itu masih saja membayanginya.
“Aku tidak peduli,” geramnya di dalam hati. Dan Swandaru itu pun kemudian melemparkan pandangan matanya jauh-jauh. Dengan sepenuh niat ia ingin melupakan persoalan itu dan memandang ujung-ujung pepohonan yang hijau berkilat ditempa cahaya matahari pagi.
“Apakah perjalanan ini masih jauh,” tiba-tiba saja Swandaru bertanya untuk melepaskan kepepatan di dadanya.

Yang mendengar pertanyaan itu menjadi heran. Swandaru pernah berada di Tanah Perdikan ini, sehingga seharusnya sudah mengetahui, bahwa perjalanan mereka itu baru saja mulai.
“Pertanyaanmu aneh,” desis Agung Sedayu.
“O,” Swandaru tidak dapat menahan tertawanya Tetapi kali ini ia mentertawakan dirinya sendiri. Karena itu dengan tergesa-gesa ia berkata,
“Maksudku, apakah kita akan langsung pergi ke hutan liar itu, atau kita akan beristirahat dahulu sambil melihat-lihat hutan-hutan kecil yang bertebaran itu.”
“Hutan-hutan itu sudah kosong,” Pandan Wangi-lah yang menyahut,
“yang ada hanyalah tikus-tikus tanah. Namun dengan demikian, kadang-kadang dapat menimbulkan bencana bagi tanaman.”
“O,” Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya,
“apakah tidak ada usaha untuk mengatasinya?”
“Tentu. Dan usaha itu nampaknya akan berhasil.”
Rudita yang berkuda di belakang Pandan Wangi tiba-tiba saja memotong,
“Kenapa kita berbicara tentang tikus tanah? Kenapa kita tidak berbicara tentang harimau loreng atau harimau kumbang yang licik. Atau tentang ular sebesar paha.”
Swandaru mengerutkan keningnya. Namun ternyata bahwa ia tidak dapat melepaskan sama sekali kebiasaannya, sehingga hampir tanpa disadarinya ia bertanya,
“Paha siapa?”
Rudita berpaling mendergar pertanyaan itu. Wajahnya menegang. Ia merasa bahwa Swandaru sedang mempermainkannya. Tetapi Swandaru menundukkan kepalanya, sedang Prastawa mencoba menyembunyikan tertawanya yang ditahan-tahannya sekuat tenaga. Bahkan Pandan Wangi yang berkuda di paling depan pun tersenyum. Demikian juga para pengawal yang mendengar pertanyaan itu. Bahkan salah seorang dari mereka berbisik,
“Paha anak-anak. Bahkan bayi.”
Kawannya tidak menjawab. Mereka mengerti bahwa Rudita sama sekali bukan seorang pemburu yang baik. Bahkan ia masih harus berteriak-teriak memanggil ketika Pandan Wangi memburu kijang di hutan perburuan kemarin. Ketika Swandaru itu kemudian berpaling memandang Agung Sedayu, dilihatnya anak muda itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Dan Swandaru pun mendekatinya sambil berbisik,
“Aku benar-benar tidak sengaja, Kakang.”
“Itulah. Kau biasa melepaskan setiap kata yang kau pikirkan. Anak itu tentu tersinggung.”
“Begitu saja kata-kata itu terlontar dari bibirku,” Swandaru berhenti sejenak lalu,
“sebenarnya aku agak bosan mendengar kata-katanya.”
“Kau tidak mau melihat alasan, kenapa ia berkata begitu.”
Swandaru mengerutkan keningnya. Lalu ia pun bertanya,
“Apakah alasannya? Untuk menyombongkan diri?”
“Ya, tetapi bukan semata-mata karena ia sombong,” jawab Agung Sedayu.
“Ternyata ia merasa betapa dirinya terlampau kecil sehingga ia perlu membusungkan dadanya, agar ia dapat seimbang dengan kebesaran pribadi Pandan Wangi.”
“Kenapa Pandan Wangi?”
“Bukankah ia merasa bahwa masih ada hubungan keluarga dengan gadis itu betapa pun jauh jaraknya? Karena itulah, maka ia harus seimbang dengan pribadi Pandan Wangi. Apalagi ia seorang laki-laki, sedang Pandan Wangi seorang gadis. Selain dari itu, ayahnya pun termasuk orang terpandang, sehingga ia perlu menyesuaikan dirinya.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Hatinya yang kecil jangan kau injak sama sekali,” berkata Agung Sedayu pula.
“Cobalah kendalikan kebiasaanmu itu.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Baik. Baik. Aku akan mengendalikan kebiasaanku ini.”

Namun Agung Sedayu pun kemudian menarik nafas dalam-dalam. Gurunya pun kadang-kadang berbuat sesuatu yang aneh menurut tanggapan kebanyakan orang, meskipun maksudnya jauh lebih jelas dan bermanfaat dari sekedar letupan hati Swandaru. Samar-samar teringat oleh Agung Sedayu, bagaimana gurunya itu mengenakan topeng dan menegurnya sebagai seorang pertapa ketika ia terjun ke dalam parit, karena ia dicengkam oleh ketakutan tiada taranya selagi dikejar oleh Alap-alap Jalatunda selagi ia meneruskan tugas kakaknya Untara. Begitu juga permainan gurunya di hutan Tambak Baya selagi ia bertiga pergi ke Alas Mentaok bersama Swandaru dan Raden Sutawijaya.
Swandaru memang merupakan tanah yang subur bagi benih yang ditaburkan oleh gurunya itu, dengan sikap yang kadang-kadang aneh. Namun keterbukaan sifat Swandaru membuat sikap yang aneh itu kadang-kadang terlampau langsung dan menyinggung orang lain. Sejenak kemudian mereka saling berdiam diri. Pandan Wangi masih tetap berkuda di paling depan. Rudita yang di belakangnya kadang-kadang masih saja berpaling memandang Swandaru. Tetapi Swandaru selalu menghindari tatapan mata itu.
“Jangan hiraukan,” tiba-tiba saja Prastawa berdesis.
Swandaru menganggukkan kepalanya. Jawabnya,
“Ya. Aku justru sedang menghiraukan daerah ini. Aku tidak tahu, kenapa hutan-hutan kecil itu tidak dibuka sama sekali.”
“Sebuah persediaan di masa mendatang. Pada saatnya kita akan kekurangan tanah garapan. Padahal sementara ini kita sudah cukup.”
Swandaru mengerutkan keningnya, katanya,
“Apakah jika kita sudah cukup, kita harus berhenti.”
“Bukan berhenti. Tetapi kami justru menyediakan tanah itu buat perkembangan di masa datang.”
Ternyata Swandaru, anak laki-laki seorang Demang yang kelak akan menggantikan kedudukannya itu mempunyai sikap tersendiri. Karena itu, maka katanya,
“Sebenarnya Tanah Perdikan ini dapat berbuat lain. Hutan itu sebagian dapat dibuka. Hanya sebagian kecil sajalah yang dapat dibiarkan untuk kepentingan khusus. Meskipun saat ini lahan pertanian bagi Tanah Perdikan ini sudah cukup, namun alangkah baiknya jika hutan-hutan itu dapat digarap sebagai tanah pertanian. Jika ada kelebihan hasil sawah, maka hasil sawah itu dapat dijual atau ditukar dengan kebutuhan-kebutuhan lain yang akan menjadi kebutuhan Tanah Perdikan ini meskipun tidak sekarang, tetapi masa depan. Dengan demikian maka Tanah Perdikan ini sudah mempunyai tabungan yang bermanfaat bagi masa mendatang.”
Prastawa mengerutkan keningnya. Dan Swandaru berkata seterusnya,
“Ada baiknya kita bekerja keras sekarang. Jika kita sudah mendapat sesuap nasi, bukan berarti kita sudah harus puas. Tetapi tidak ada salahnya jika masih ada waktu kita mengumpulkan dua suap nasi. Yang sesuap untuk kepentingan-kepentingan lain bagi kesejahteraan hidup kita.”
Prastawa masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya,
“Bagus sekali. Mungkin kelak Tanah Perdikan ini akan berbuat demikian. Sisa tenaga yang ada sekarang, daripada sekedar untuk termenung di pojok padukuhan atau berbincang tentang hal yang tidak bermanfaat, ada baiknya dipergunakan untuk membuat hutan-hutan yang berserakan itu menjadi tanah garapan, setelah diperhitungkan, berapa banyaknya yang harus disisakan, sehingga tanah itu dapat merupakan jaminan bagi masa datang. Bukan sekedar persediaan.”
“Begitulah. Kecuali jika tenaga kita sekarang memang sudah tidak mampu lagi, sehingga kita harus menunggu perkembangan.”

Prastawa hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Ketika ia menengadahkan wajahnya, maka dilihatnya matahari menjadi semakin tinggi. Sedang dalam pada itu Agung Sedayu sudah berada agak di depan mereka, tepat di belakang Rudita. Demikianlah perjalanan itu pun semakin lama menjadi semakin jauh dari induk Tanah Perdikan. Matahari pun menjadi semakin tinggi memanjat langit, sehingga dedaunan yang hijau bagaikan menyala di kejauhan memantulkan cahaya matahari, yang mulai terasa panas di wajah kulit. Ketika Agung Sedayu melihat gerumbul-gerumbul perdu yang semakin lebat, maka ia pun memperlambat kudanya dan kemudian kepada Prastawa itu berkata,
“Bukankah kita sudah mendekati tujuan?”
“Ya. Di seberang hutan perdu inilah kita mendapatkan sebuah lapangan pasir yang agak luas, sampai ke tepian Kali Praga.”
“Jika begitu, bukankah hutan yang tampak itulah yang akan kita tuju?”
“Hutan perburuan.”
“Ya, bukankah kita akan berburu?”
“Tetapi bukankah kita ingin berburu di hutan yang masih liar? Tidak di hutan perburuan itu.”
“O, jika demikian, ke mana kita akan pergi?”
“Kita tidak langsung sampai ke tepian. Kita berbelok di pinggir hutan perdu itu dan kita akan sampai di hutan perburuan. Jika kita ingin beristirahat, kita beristirahat sebentar. Tetapi jika kita ingin langsung berburu di hutan yang liar itu, kita berjalan terus dan kita akan memasuki daerah yang semakin lama menjadi semakin lebat dengan jenis-jenis binatang hutan yang ganas.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun rasa-rasanya ia akan mendapatkan permainan yang mengasyikkan. Sudah lama ia tidak bermain-main dengan alat bidik. Kini ia membawa busur dan anak panah.
“Bagaimana rencana kita selanjutnya?” justru Agung Sedayu-lah yang kemudian bertanya.
“Apakah kita akan berhenti atau terus?”
“Terserah kepada kita,” jawab Prastawa.
“Kalau begitu, bertanyalah kepada Pandan Wangi.”
Prastawa pun kemudian mempercepat kudanya dan melampaui Rudita. Ketika ia berada di samping Pandan Wangi, maka ia pun bertanya,
“Bagaimana rencanamu, Pandan Wangi?”
“Rencana yang mana?”
“Apakah kita akan langsung pergi ke hutan yang buas?”
Sebelum Pandan Wangi menyahut, Rudita telah menyahut,
“Tentu ke hutan perburuan. Kita akan menangkap seekor kijang. Aku akan menghadiahkannya kepada Pandan Wangi.”
Semua orang berpaling kepadanya. Pandan Wangi memandanginya dengan heran. Namun Swandaru-lah yang kemudian bertanya,
“Bagaimana jika Pandan Wangi yang mendapat lebih dahulu dari kita?”
Rudita mengerutkan keningnya. Lalu jawabnya,
“Tentu tidak. Ia tidak akan berbuat apa-apa. Ia akan menunggu kita mendapatkan seekor buatnya.”
“Bagaimana jika Agung Sedayu yang mendapatkannya?” bertanya Prastawa.
“Semua yang kita dapatkan, akulah yang akan menyerahkannya kepada Pandan Wangi. Itu sudah menjadi keputusanku. Tidak ada orang lain yang berhak atas hasil buruan ini, selain aku yang akan menyerahkannya kepada Pandan Wangi.”
Swandaru dan Agung Sedayu berpandangan sejenak. Namun mereka pun tidak menghiraukannya lagi. Sikap itu bagaikan sikap anak yang sedang dalam pertumbuhannya, yang menganggap dirinya adalah pusat berkisarnya dunia. Karena itulah, maka justru mereka tidak memberi tanggapan apa pun juga. Swandaru yang mempunyai sifat yang aneh itu pun kemudian berdiam diri.


Halaman 1 2 3


<<< Jilid 069                                                                                                       Jilid 071 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar