PANDAN WANGI
yang juga mendengar rencana Rudita itu menjadi gelisah. Tetapi ia berterima
kasih di dalam hati, bahwa anak-anak muda yang lain seakan-akan tidak
berkeberatan atas keputusan yang telah diambil oleh Rudita itu, sehingga dengan
demikian tidak timbul persoalan yang tegang di antara mereka. Dalam pada itu
Prastawa pun bertanya pula kepada Pandan Wangi karena Pandan Wangi belum sempat
menjawab,
“Jadi kemana
kita, Pandan Wangi?”
“Jangan
bertanya lagi,” bentak Rudita, “aku sudah menjawab.”
Pandan Wangi
menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun berkata,
“Rudita. Aku
ingin pergi ke hutan yang liar itu. Bukankah kita kemarin malam sudah membicarakannya.”
“Aku tidak
sependapat. Kita berburu di hutan perburuan.”
“Memang ada
dua macam daerah perburuan. Mereka yang berjiwa jantan akan memilih hutan yang
liar itu, tetapi bagi yang berjiwa betina akan memilih hutan perburuan itu.
Anehnya bahwa aku memilih hutan yang liar itu, bukan karena aku seorang gadis
yang berjiwa jantan, tetapi hutan itu menyimpan binatang jauh lebih banyak dari
hutan perburuan.”
“Tidak Aku
tidak mau pergi ke hutan yang liar itu, yang dikatakan masih dihuni oleh
berbagai jenis harimau, ular, dan serangga-serangga berbisa.”
“Sayang, bahwa
kami akan pergi ke hutan itu. Ayah sudah membekali aku dengan obat pemunah
racun. Dengan demikian berarti bahwa aku diperkenankannya memasuki hutan liar
itu.”
“Aku juga,”
tiba-tiba saja Swandaru menyahut,
“Guru telah
memberikan sejenis obat pemunah racun. Jika salah seorang dari kita kena racun,
maka obat itu dapat ditaburkan di luka yang terkena racun itu. Namun ada pula
sejenis obat yang dapat kita minum.”
Rudita
memandang Swandaru sejenak. Anak yang gemuk itu semakin lama semakin menjemukan
baginya. Karena itu maka jawabnya,
“Jika kau
sudah membawa obat itu dan akan pergi berburu ke hutan liar itu, pergilah.
Ajaklah siapa saja yang ingin pergi. Tetapi rombongan ini akan berhenti di hutan
perburuan itu. Keputusan ini tidak dapat diganggu gugat.”
Swandaru yang
gemuk itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan seperti acuh tidak acuh saja ia
berkata,
“Baiklah. Jika
demikian, siapakah yang akan ikut aku pergi berburu ke hutan liar itu? Menurut
Rudita, rombongan kecil ini akan berhenti di hutan perburuan, sedang yang ingin
ikut bersama aku, diberinya kesempatan.”
Sejenak mereka
saling berpandangan. Tiba-tiba saja Agung Sedayu berdesis,
“Aku pergi
bersama Swandaru.”
“Itu urusanmu.
Memang sebaiknya kalian berdua tidak pergi bersama kami.”
Tetapi tiba-tiba
Prastawa pun berkata,
“Aku pergi
bersama Swandaru. Hutan perburuan tidak memberi kepuasan lagi bagi kita yang
sudah terlalu sering berburu di dalamnya. Karena itu, mumpung kita berada di
dalam suatu rombongan yang kuat, kita pergi berburu di hutan liar.”
Belum lagi
Prastawa selesai berbicara, maka Pandan Wangi telah berkata pula,
“Aku pun ikut
bersama mereka yang pergi ke hutan liar itu.”
Keringat
dingin membasahi tubuh Rudita seperti disiram dengan air. Wajahnya menjadi
tegang dan dadanya bagaikan bergetar. Dipandanginya Pandan Wangi dan Prastawa
berganti-ganti. Dengan suara yang bergetar ia bertanya,
“Jadi kalian
tidak lagi menuruti keputusan yang aku ambil?”
Pandan Wangi
menahan kudanya sehingga Rudita berada di sisinya.
“Bukan begitu
Rudita,” katanya,
“tetapi
kadang-kadang kita ingin sesuatu yang lain dari kebiasaan kita. Dengan demikian
kita akan mendapatkan kesegaran baru di dalam perburuan ini. Jika setiap kali
kita berburu di hutan perburuan, baik yang ada di tepi Kali Praga maupun yang
berada di daerah Selatan dari Tanah Perdikan ini, maupun yang di ujung Utara di
lereng pegunungan itu, kita tidak akan mendapatkan apa-apa lagi selain jenis
binatang yang selalu kita buru. Tetapi di hutan yang liar itu kita akan bertemu
dengan jenis-jenis binatang yang lain. Kita tidak saja berburu kijang atau
menjangan, tetapi kita akan bertemu dengan seekor harimau. Mungkin seekor
kijang dari jenis yang lain, yang berbintik-bintik di punggungnya, atau seekor menjangan
yang berleher agak panjang. Tetapi mungkin juga kita bertemu dengan
binatang-binatang yang berbahaya yang dapat menambah pengalaman hidup kita.
Anjing liar, babi hutan, atau sejenis ular pohon berwarna coklat.”
Terasa
bulu-bulu tengkuk Rudita meremang.
“Nah,
bagaimana dengan kau?” bertanya Prastawa.
“Ternyata kami
semuanya ikut dengan Swandaru ke hutan liar itu. Apakah kau akan memasuki hutan
perburuan itu sendiri?”
Rudita tidak
segera menjawab. Tampaklah matanya menjadi redup dan bahkan basah.
“Jika kau
tidak berkeberatan,” berkata Pandan Wangi kemudian,
“ikutlah
dengan kami.”
Rudita memang
tidak mempunyai pilihan lain. Karena itu maka dengan suara parau ia berkata,
“Kalian telah
berbuat kesalahan karena kalian tidak menurut aku. Tetapi apa boleh buat, jika
aku memang harus pergi bersama kalian. Tetapi jangan merasa bahwa kalian dapat
merubah keputusanku. Keputusanku tetap seperti yang aku katakan. Meskipun kita
berburu di hutan liar, tetapi hasil yang kita peroleh akan aku berikan sebagai
hadiah buat Pandan Wangi.”
“Terima
kasih,” sahut Pandan Wangi, “aku akan berusaha membantumu.”
“He,” Rudita
membelalakkan matanya.
Sambil tersenyum
Pandan Wangi berkata,
“Sudahlah.
Keputusan kita sudah pasti, kita pergi ke hutan liar itu.”
Rudita
memandang Pandan Wangi dengan heran, namun kemudian ia menarik nafas
dalam-dalam. Ia tidak mengerti sifat dan sikap orang-orang yang pergi
bersamanya berburu. Seakan-akan mereka tidak dapat ditertibkan. Mereka
seakan-akan berbicara menurut kehendak dan keinginan mereka masing-masing,
bahkan kadang-kadang dengan tajam memotong keputusannya.
“Kenapa aku
tidak membawa pengawal dari rumahku,” berkata Rudita di dalam hati.
“Orang-orang
di Tanah Perdikan Menoreh bukannya orang yang baik seperti orang-orangku di
rumah. Mereka mengerti apa yang harus mereka lakukan. Mereka tidak selalu
membantah dan bahkan kadang-kadang menentukan sikap menurut kehendak sendiri.”
Tetapi Rudita
yang sudah berada di antara orang-orang yang menurut pendapatnya bersikap aneh
itu, tidak dapat berbuat lain. Bahkan menurut pendapatnya, Pandan Wangi sendiri
pun ternyata bersikap aneh. Ia sama sekali tidak bersikap sebagai seorang
gadis, karena ia sama sekali tidak melonjak kegirangan dan berterima kasih
ketika ia berkata bahwa ia akan, memberikan hadiah dari hasil perburuan itu.
“Gila sekali,”
katanya di dalam hati,
“ia justru
berkata bahwa ia akan berusaha membantu.”
Tetapi Rudita
tidak berkata lebih banyak lagi. Iring-iringan itu sudah berbelok di sebelah
hutan perdu. Sebentar lagi mereka akan melintas di sebelah hutan perburuan dan
langsung pergi ke hutan yang masih liar dan pepat. Namun sebenarnya yang
disebut hutan yang masih liar itu tidak seliar Alas Mentaok. Isinya pun tidak
seberbahaya Alas Mentaok, karena selain binatang buas Alas Mentaok juga menyimpan
jenis-jenis serangga yang beracun, bahkan jenis semut pemakan daging. Di
samping bahaya-bahaya yang terdapat di hutan-hutan yang liar itu, Mentaok juga
menyimpan bahaya yang khusus, yaitu perampok dan yang terakhir orang-orang yang
berusaha untuk memisahkan Mataram dari dunia peradaban yang lain. Dan bagi
Agung Sedayu dan Swandaru yang sudah beberapa kali menyeberangi Alas Mentaok
itu, bahaya-bahaya serupa itu sudah terlalu sering dihadapinya. Meskipun
demikian, mereka tidak boleh lengah. Meskipun mereka sudah beberapa kali
berhasil dengan selamat melintas hutan yang lebih dahsyat dari hutan yang
dihadapi itu, namun memang mungkin sekali di hutan yang tidak selebat Mentaok
itu, mereka akan bertemu dengan bahaya yang sebenarnya. Sejenak kemudian mereka
telah sampai di daerah hutan perburuan. Hutan yang tampaknya menjadi bersih dan
terpelihara. Namun di dalam hutan perburuan itu memang masih juga terdapat
beberapa jenis binatang. Bahkan satu dua masih ada juga harimau yang
berkeliaran. Tetapi binatang buas itu lebih senang hidup di hutan yang masih
liar, karena di hutan itu yang diburu pun masih cukup banyak.
Rudita yang
masih saja berada di belakang Pandan Wangi menjadi berdebar-debar. Sedang di
hutan perburuan pun ia kadang-kadang menjadi cemas dan ketakutan. Apalagi
apabila mereka harus memasuki hutan yang liar itu. Berbeda dengan Rudita,
tampak wajah Pandan Wangi menjadi cerah, seperti juga Prastawa. Kesempatan
semacam itu jarang sekali mereka dapatkan. Jika mereka tidak bersama Agung
Sedayu dan Swandaru, maka mungkin mereka tidak akan diperkenankan oleh Ki Gede
Menoreh. Namun karena Ki Gede percaya, kepada kedua anak-anak muda itu, maka
bersama Pandan Wangi dan Prastawa, mereka dianggap cukup memiliki kemampuan
untuk menghadapi liarnya hutan itu, karena Ki Gede pun mengetahui dengan pasti,
bahwa Agung Sedayu dan Swandaru sering kali melewati daerah Alas Mentaok yang
buas.
Daerah hutan
perburuan dan hutan yang liar itu dipisahkan oleh sebuah lapangan rumput dan
perdu yang tidak begitu luas. Karena itu, memang kadang-kadang binatang dari
kedua daerah itu saling menyeberang. Namun hutan perburuan yang bersih memang
bukan merupakan lapangan hidup yang menarik bagi berbagai jenis binatang.
“Itulah hutan
itu,” Pandan Wangi hampir berteriak ketika mereka berada di sebelah hutan
perburuan.
Agung Sedayu
dan Swandaru memandang hutan itu dengan saksama. Pepohonan yang liar berserakan
di sela-sela gerumbul-gerumbul yang cepat. Sulur-sulur kayu dan dedaunan
merambat tumbuh berbelitan di antara pepohonan yang roboh melintang, bersandar
pada pohon-pohon raksasa.
Dada Rudita
bergetar melihat liarnya hutan itu. Sama sekali tidak ada lorong yang licin dan
bersih melintas masuk ke dalamnya, selain sebuah lubang yang mirip dengan goa
yang gelap. Kadang-kadang memang ada satu dua orang memasuki hutan itu untuk
mencari kayu bakar dan barangkali lebah tawon gula. Tetapi mereka hanya
memasuki hutan itu beberapa langkah saja dan tidak berani menusuk langsung ke
jantung hutan itu. Itulah bedanya dengan Alas Mentaok. Betapa lebatnya Alas
Mentaok, namun di dalamnya terdapat semacam jalur yang meskipun jarang sekali
dilalui orang, namun di jalur itu seakan-akan hutan menjadi agak mudah
dikuasai. Tetapi di hutan yang liar ini sama sekali tidak ada jalur jalan.
“Apakah kita
dapat masuk sambil membawa kuda-kuda kita?” bertanya Prastawa.
Agung Sedayu
mengerutkan keningnya. Di lebatnya Alas Mentaok, mereka masih dapat melintas
dengan mengendarai seekor kuda. Tetapi di hutan itu, kuda hanya akan menambah
kesulitan saja.
“Kita
tinggalkan kuda kita di luar,” berkata Swandaru.
“Jadi
bagaimana dengan kita?” bertanya Rudita.
Swandaru
memandang anak muda yang menjadi cemas itu. Kemudian dipandanginya Pandan Wangi
yang diharapkannya memberikan jawaban, agar tidak menumbuhkan salah paham.
“Tentu kita akan
meninggalkan kuda dan perlengkapan kita di luar. Kita pun akan berkemah di
luar. Setiap kali kita memasuki hutan ini dengan busur dan anak panah.
Nyanggong di pepohonan atau mengikuti jejak binatang buruan. Jika kita lelah,
kita akan kembali ke luar dan beristirahat. Memang lebih baik kita berkemah di
tengah-tengah. Tetapi terlalu sulit untuk masuk ke dalamnya sambil membawa kuda
dan perbekalan.”
“Aku tidak
mengerti. Jadi apakah kita tidak berburu sekarang dan kemudian kembali?”
bertanya Rudita.
“Kita akan
berada di sini tiga hari tiga malam.”
“Tiga hari
tiga malam?” wajah Rudita menjadi tegang. “Tidak mungkin.”
“Kenapa?”
“Aku harus
kembali kepada ayah dan ibu.”
Pandan Wangi
mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak segera menyahut.
“Aku tidak
pernah bepergian sampai sekian lamanya,” Rudita melanjutkan.
“Rudita,”
berkata Pandan Wangi,
“kita
sebenarnya tidak berada di tempat yang jauh. Kita masih tetap berada di atas
Tanah Perdikan Menoreh. Sebagaimana kau lihat, sebelum tengah hari kita sudah
sampai di sini. Jika kita ingin kembali di dalam sekejap saja seakan-akan kita
sudah berada di rumah. Seandainya dalam waktu tiga hari ini kau tidak kerasan
tinggal di hutan, kau dapat pulang balik setiap saat kau kehendaki.”
Rudita
mengerutkan keningnya, lalu,
“Kalian tidak
mengatakan bahwa kalian akan tinggal di sini tiga hari tiga malam.”
“Kami memang
tidak merencanakan berapa lama kami akan tinggal di sini. Jika besok kami sudah
ingin pulang, kami akan pulang. Jika kau ingin mendahului, kami persilahkan kau
mendahului dan jika kau masih akan kembali lagi ke mari, kembalilah ke mari.
Kenapa kita harus memikirkannya dengan kening yang berkerut-merut. Mungkin
besok justru ayah datang pula ke tempat ini. Ayah dahulu juga sering berburu.
Tetapi sejak kakinya menjadi agak cacat, ia seakan-akan menghentikan
kegemarannya itu.”
Rudita
mengangguk-anggukkan kepalanya. Penjelasan Pandan Wangi itu agak menenteramkan
kegelisahannya. Sebenarnyalah tempat ini tidak begitu jauh dari padukuhan yang
berserakan di Tanah Perdikan Menoreh.
“Sekarang,”
berkata Pandan Wangi kemudian,
“kita akan
beristirahat dahulu sambil mencari tempat yang paling baik untuk berkemah.
Tempat yang paling aman dari gangguan binatang berbisa.”
Mereka pun
segera meloncat turun dari kuda masing-masing. Para pengiring dan orang-orang
yang membawa perlengkapan rombongan kecil itu pun segera mempersiapkan tempat
yang kemudian mereka pilih untuk meletakkan semua perbekalan dan alat-alat
berburu mereka.
“Kita
beristirahat di sini,” berkata Pandan Wangi sambil mengikat kudanya pada
sebatang pohon.
Yang lain pun
mengikat kuda masing-masing pula. Sambil bertolak pinggang Prastawa memandang
hutan yang terbentang di hadapannya. Hutan yang lebat dan liar. Namun tampak
kegembiraan membayang di wajahnya. Seperti Pandan Wangi, ia pun sebenarnya
sudah jemu berburu di hutan perburuan yang tidak begitu banyak lagi menyimpan
binatang buruan.
“Tetapi belum
pasti, bahwa di hutan ini kau akan mendapatkan seekor binatang pun,” Agung
Sedayu tiba-tiba berdesis.
Prastawa
berpaling. Sambil tersenyum ia berkata,
“Ya. Memang
mungkin. Tentu lebih sulit berburu di daerah yang lebat ini.
“Tidak selebat
yang kita duga,” sahut Apung Sedayu.
“Jika kita
sudah berada di dalam, maka kita akan mendapatkan jalan untuk mengejar binatang
buruan. Alas Mentaok yang lebat itu pun dapat disusupi. Bukan lewat jalur jalan
yang sudah ada. Tetapi lewat di antara pepohonan yang padat. Bahkan di Alas
Mentaok, ada sekelompok orang yang sempat bermain hantu-hantuan.”
Prastawa
mengerutkan keningnya,
“Hantu-hantuan?”
Agung Sedayu
tersenyum. Katanya,
“Ya. Tetapi
baiklah kita melupakannya. Meskipun demikian kita harus selalu ingat pesan Ki
Gede, bahwa di daerah yang berdekatan dengan Kali Praga, kita tidak hanya harus
berhati-hati terhadap binatang buas dan serangga-serangga berbisa, tetapi juga
terhadap orang-orang yang tidak kita kenal.”
Prastawa
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Kadang-kadang
para peronda memang menjumpai beberapa orang bersenjata. Dan kadang-kadang
mereka memang menghilang di pinggir Kali Praga, menyusup ke dalam hutan
perburuan itu atau hutan yang liar ini. Mungkin mereka sadar, bahwa tidak
banyak tempat untuk bersembunyi di hutan perburuan itu.”
Agung sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya, dan Prastawa pun melanjutkan,
“Kadang-kadang
di lapangan pasir sampai ke tepian itu memang terdapat jejak beberapa ekor kuda
memasuki hutan perdu. Tentu mereka telah berada di daerah Tanah Perdikan
Menoreh dan menghilang tidak tentu kemana.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan tiba-tiba saja ia berkata,
“Aku ingin
menerobos hutan ini sampai ke pinggir Kali Praga.”
“Itu menarik
sekali,” sahut Prastawa,
“kita bukan
saja berburu binatang. Tetapi kita sama sekali melihat apa yang bersembunyi di
balik hutan ini.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak dipandanginya wajah Swandaru yang
sedang memandanginya pula. Dan tampaklah anak muda yang gemuk itu tersenyum.
Perlahan-lahan ia mendekatinya sambil berkata,
“Jika kita
ingin melihat di balik hutan ini, kita tidak perlu menyusup lewat belukar yang
lebat, dan barangkali berduri. Kita dapat melingkar lewat sepanjang tepian, dan
kita akan sampai ke pinggir Kali Praga.”
“Ah,” desah
Prastawa,
“itu namanya
bukan berburu binatang. Dengan demikian kita tidak akan mendapat seekor pun.”
“Seekor bulus barangkali?”
sahut Swandaru.
Suara tertawa
Prastawa tidak dapat ditahankannya, sehingga Pandan Wangi dan orang-orang yang
lain terkejut dan berpaling kepadanya.
“Hus,” desis
Swandaru,
“suaramu
mengganggu harimau yang sedang tidur nyenyak di hutan itu.”
Prastawa
menutup mulutnya dengan telapak tangannya. Namun ia tidak dapat segera
berhenti. Rudita yang mendengar Prastawa tertawa menyentak itu pun segera
mendekatinya dan bertanya,
“Ada apa?”
Prastawa
menggelengkan kepalanya sambil menjawab,
“Tidak ada
apa-apa.”
“Apa yang kau
tertawakan?”
“Bukan
apa-apa,” jawab Prastawa pula.
“Tentu tidak.
Tentu ada yang kau tertawakan.”
“Aku hanya
tertawa. Tetapi tidak mentertawakan siapa pun juga.”
“Bohong!”
tiba-tiba Rudita membentak sehingga Prastawa benar-benar terkejut. Sambil
mengerutkan keningnya di pandanginya Rudita dengan tajamnya. Katanya,
“Kau membentak
aku?”
“Kau tidak
mengatakan, siapa atau apa yang kau tertawakan. Kau sudah menghina aku.
Seandainya kau mentertawakan seseorang, kau dapat menyebut namanya. Jika kau
mentertawakan apa pun, kau dapat mengatakannya. Tetapi kau ingkar. Itu
menyakitkan hati.”
Prastawa masih
berdiri dengan tegangnya. Kini ia sudah tidak tertawa lagi. Tetapi justru
keningnya menjadi berkerut-merut. Pandan Wangi yang melihatnya segera mendekatinya.
Hatinya menjadi berdebar-debar. Ia sadar, bahwa Prastawa masih terlalu muda
untuk setiap kali mengalah dan bahkan kadang-kadang selalu berusaha
menyenangkan hati Rudita. Sejak semula Pandan Wangi sudah menduga, bahwa pada
suatu saat ia akan menjadi jemu. Tetapi perselisihan tidak boleh terjadi.
Keduanya adalah saudaranya. Prastawa adalah saudara dekatnya, saudara sepupu
dari aliran darah ayahnya, sedang Rudita adalah saudaranya meskipun sudah agak
jauh, dari aliran darah ibunya. Karena itu, maka sambil mendekati Rudita ia
berkata,
“Jangan
hiraukan Prastawa. Ia masih seperti kanak-kanak saja. Ia tertawa tanpa sebab,
dan bahkan kadang-kadang ia masih juga menangis tanpa diketahui alasannya.”
Rudita
memandang Prastawa dengan tajamnya. Kemudian Swandaru dan Agung Sedayu. Tetapi
kedua anak muda ini mencoba menghindari tatapan matanya. Agung Sedayu tidak
ingin melihat mata yang baginya mempunyai sorot yang aneh, sedang Swandaru
bahkan hampir tidak dapat menahan tertawanya melihat wajah Rudita yang mempunyai
kesan tersendiri itu.
“Marilah kita
menyiapkan perkemahan kita,” berkata Pandan Wangi kepada Rudita,
“kita akan
beristirahat sejenak, kemudian kita akan melihat-melihat ke dalam hutan itu,
sekaligus membawa senjata kita.”
Rudita
termangu-mangu sejenak. Namun ia pun segera mengikuti Pandan Wangi, pergi ke
tempat para pengiringnya mengatur perkemahan mereka.
“Nah, di sini
kita akan beristirahat,” berkata Pandan Wangi kemudian,
“jika kita
lelah berburu, kita akan kembali ke tempat ini. Berbaring sejenak, dan
barangkali makan atau minum. Kedua orang pengawal akan berada di sini,
menyediakan keperluan kita seluruhnya.”
“Jadi berapa
orang yang akan ikut berburu?”
“Selain kita,
mereka ada lima orang.”
Rudita
termangu-mangu. Dipandanginya tempat yang sedang dibersihkan itu sejenak. Lalu,
“Kita akan
tidur di sini di malam hari?”
“Kita akan
berburu. Jika kita lelah, baru kita akan tidur di sini.”
“Tentu tidak
di malam hari,”
“Ya, di malam
hari. Tetapi tidak di tengah-tengah hutan itu. Kita mencoba mengintai buruan kita.
Hanya di pinggirnya saja.”
Rudita
termangu-mangu sejenak. Tanpa disadarinya bulu-bulu tengkuknya telah meremang.
Namun ia mencoba menahan kecemasan dan ketakutan itu di dalam hati. Ia tidak
mau mengeluh justru orang lain tampaknya bergembira. Dan lebih-lebih lagi, ia
tidak mau disebut sebagai seorang penakut di antara anak-anak muda yang hampir
sebayanya. Namun ia tidak dapat mengingkari dirinya sendiri. Bagaimana pun
juga, terasa jantungnya berdebaran.
Dalam pada
itu, Swandaru, Agung Sedayu, dan Prastawa telah bertekad untuk melintasi hutan
ini sampai ke seberang, sampai ke tepian Kali Praga. Tetapi mereka memilih
jalan menerobos hutan itu daripada menyusur pasir tepian, karena mereka memang
ingin melihat isi hutan yang lebat itu.
“Apakah kau
akan ikut?” bertanya Prastawa kepada Pandan Wangi setelah ia mengatakan
rencananya.
“Tidak,”
Rudita lah yang menjawab.
Prastawa
memandang Rudita sejenak. Namun ia hanya menarik nafas dalam-dalam. Ditahannya
semua perasaan yang menyesak dadanya. Sebenarnyalah Rudita semakin lama semakin
menjemukan baginya.
“Rudita,”
berkata Pandan Wangi kemudian,
“bukankah kita
memang sengaja pergi berburu? Karena itu, sebaiknya kita memasuki hutan. Jika
ketiga anak-anak muda itu ingin menyeberangi hutan ini sampai ke pinggir Kali Praga,
aku kira memang tidak ada salahnya. Sebagian besar binatang buruan tentu berada
di tepi seberang yang dekat dengan air. Karena itu, mau tidak mau kita harus
pergi ke sana.”
“Tentu tidak.
Itu hanya suatu cara untuk memaksaku pergi. Aku tidak mau.”
“Baiklah. Jika
kau tidak mau, tinggallah di sini bersama kedua pengawal yang akan menunggui
kuda-kuda kita dan menyediakan keperluan kita.”
“Jadi aku
harus menyediakan keperluan kalian?”
“Bukan kau,
kedua pengawal itu.”
Rudita
memandang Pandan Wangi dengan mata yang murung. Dengan nada yang dalam ia
berkata,
“Jadi kalian
tidak mau mengurungkan niat kalian meskipun aku tidak pergi?”
“Tentu saja
bahwa kami akan pergi, dengan atau tidak dengan kau.”
“O, seharusnya
kalian mengurungkan niat itu karena aku tidak pergi. Tetapi kalian sama sekali
tidak menghiraukan aku. Bahkan kalian akan membiarkan aku berada di antara
pengawal-pengawal yang akan menyediakan keperluan kalian.”
“Jadi
bagaimana? Kalau kau tidak akan pergi baiklah kau tinggal di sini. Jika kau
akan pergi, marilah kita pergi bersama-sama.”
Rudita memandang
Pandan Wangi sejenak, lalu,
“Kalian
benar-benar tidak mengerti. Jika aku berkata tidak ikut, seharusnya rencana itu
dibatalkan. Tetapi ternyata kalian masih juga akan pergi.”
“Kami akan
tetap pergi. Kau memang boleh memilih. Pergi bersama kami menyeberangi hutan
ini bersama lima orang pengiring, atau tinggal di sini dengan dua orang yang
lain. Kami tidak akan memaksamu.”
“Kenapa aku
harus memilih.”
“Aku tidak
mengerti maksudmu.”
“Biasanya aku
tidak memilih. Tetapi menentukan. Dan kalian sama sekali tidak mendengarkan
aku.”
Pandan Wangi
menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia memandang wajah Prastawa, Swandaru, dan
Agung Sedayu tampak betapa kesalnya mereka. Swandaru yang hampir tidak dapat
menahan diri justru melangkahkan kakinya perlahan-lahan menjauh. Dipandanginya
ujung pepohonan yang menjulang tinggi ke langit.
Ia terkejut
ketika ia mendengar kudanya meringkik. Kemudian beberapa ekor kuda yang lain.
Agung Sedayu, Pandan Wangi, dan Prastawa pun segera tertarik kepada kuda-kuda
yang menjadi gelisah itu.
“Marilah kita
masuk,” tiba-tiba saja Prastawa mengajak,
“tentu
kuda-kuda itu mencium bau binatang buas.”
“Ya,” desis
Swandaru, “mungkin ada seekor harimau.”
“Mungkin
seekor harimau. Angin bertiup dari Utara. Harimau itu ada di arah Utara.
Mungkin harimau itu sama sekali belum mengetahui bahwa ada seekor kuda atau
lebih di luar hutan ini. Namun ringkik kuda itu agaknya telah memanggilnya,”
berkata Agung Sedayu.
“Jadi
bagaimana dengan kita?” bertanya Prastawa.
“Aku
sependapat. Kita mencarinya.”
“Atau harimau
itulah yang akan keluar dari hutan ini mencari kuda.”
Agung Sedayu
menjadi ragu-ragu sejenak. Jika mereka meninggalkan kuda-kuda mereka, sedang
kedua pengawal itu sedang sibuk menyiapkan keperluan rombongan kecil itu
mungkin sekali mereka akan lengah.
Karena itu,
maka katanya kemudian,
“Marilah kita
memasuki hutan ini. Seandainya harimau itu sedang tidur, biarlah kita
membangunkannya. Tetapi sudah tentu bahwa tidak hanya dua orang saja yang akan
kita tinggalkan di sini menunggui kuda dan menyiapkan keperluan kita semuanya.”
“Jadi
bagaimana?”
“Sebaiknya
empat orang tinggal di sini, dan tiga orang yang lain bersama kita. Jika
harimau itu tidak kita jumpai dan tiba-tiba saja berusaha menerkam kuda-kuda
itu, biarlah ada beberapa orang yang melawannya. Kita tidak dapat mengorbankan
seekor kuda pun bagi mereka.”
“Ya,” sahut
Pandan Wangi,
“kita akan
pergi bertiga. Kalian berempat tinggal di sini. Jika nanti malam kita pergi
memasuki hutan ini pula, kalian akan pergi bergantian.”
Pandan Wangi
pun kemudian menunjuk empat orang yang tetap tinggal di luar. Menyiapkan
keperluan rombongan kecil itu dan melindungi kuda-kuda mereka dari sergapan
harimau.
“Ikatlah
kuda-kuda itu di tempat yang agak jauh dari pepohonan hutan, agar kalian dapat
melihat seandainya seekor harimau sedang merunduknya, atau bahkan sedang
merunduk untuk menyergap kalian,” berkata Pandan Wangi.
“Aku akan
segera masuk.”
Maka mereka
pun menyingkirkan kuda-kuda itu dan mengikatnya pada pepohonan agak jauh dari
hutan. Keempat orang yang ditinggalkan oleh Pandan Wangi dan kawan-kawannya pun
kemudian mempersiapkan diri mereka. Selain busur dan anak panah, mereka juga
menyediakan tombak-tombak pendek.
“Anak muda
yang seorang itu agaknya tidak seberani yang lain,” desis salah seorang dari
mereka.
“Ya, memang
Rudita mempunyai sifat yang berbeda, Sebenarnyalah Rudita masih tetap
ragu-ragu. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain daripada ikut bersama Pandan
Wangi memasuki hutan yang liar itu, karena ternyata Pandan Wangi dan anak-anak
muda yang lain bersama tiga orang pengiringnya benar-benar akan berburu di
dalam hutan itu.”
Namun
rasa-rasanya Rudita hampir menangis karena sikap dan tingkah laku mereka.
Sebenarnya ia ingin Pandan Wangi berbuat sesuatu seperti yang diinginkannya.
Tetapi ternyata ia sama sekali tidak menghiraukannya lagi.
“Sebenarnya ia
harus mengerti dengan sendirinya, bahwa aku ingin kami semuanya tinggal di luar
hutan ini. Seharusnya ia mengerti bahwa ia harus mengurungkan niatnya dan
mencegah anak-anak itu pergi ke dalam hutan. Tetapi ia tidak berbuat demikian,”
keluh Rudita di dalam hatinya.
Karena itu,
maka ia pun dengan hati yang berat dan dibayangi oleh kecemasan berjalan di
belakang Pandan Wangi. Sedang di belakangnya lagi masih ada dua orang yang
lain, Agung Sedayu dan Swandaru selain para pengiring. Dan di paling depan
Prastawa berjalan dengan dada tengadah. Dengan susah payah mereka menembus
gerumbul-gerumbul liar dan kadang-kadang gerumbul-gerumbul berduri, menyusup di
bawah batang-batang pohon yang roboh, silang melintang di bawah sulur-sulur
kayu yang lebat dan ranting-ranting yang berpatahan.
Swandaru dan
Agung Sedayu yang berjalan di belakang Rudita memandangi lebatnya hutan itu
sambil mengerutkan keningnya. Ternyata hutan yang liar di daerah Menoreh ini
juga lebat pepat, meskipun tidak seluas dan segarang Alas Mentaok. Namun daerah
yang banyak mengandung air, tetumbuhan hutan ini rasa-rasanya menjadi sangat
subur. Gemeresak dedaunan dan ranting yang perpatahan oleh kaki-kaki
serombongan kecil itu telah mengejutkan burung-burung yang bertengger di atas
dahan kayu. Beberapa ekor burung berterbangan sambil mencicit menyusup dedaunan
dan hilang di balik lebatnya hutan. Sedang yang lain meloncat ke dahan yang
lebih tinggi lagi untuk menghindarkan diri dari bahaya yang mungkin sedang
mengintai.
Rudita
terkejut bukan buatan ketika ia mendengar seekor kera yang berteriak
keras-keras karena ia melihat kehadiran mahluk yang jarang sekali dilihatnya,
disahut oleh beberapa ekor kera yang lain yang sedang bergayutan di pepohonan.
“Itu dia,”
teriak Rudita, “banyak sekali, dan alangkah besarnya. Hampir sebesar kita.”
Pandan Wangi
berpaling. Dianggukkannya kepalanya sambil berkata,
“Diam sajalah.
Mereka tidak akan berbuat apa-apa, jika kita juga tidak berbuat apa-apa.”
Rudita
mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian berdiam diri saja meskipun hatinya
menjadi berdebar-debar. Beberapa ekor kera rasa-rasanya telah mengikuti mereka
yang sedang berjalan di dalam lebatnya hutan itu.
Dalam pada itu
selagi mareka berjalan perlahan-lahan maju, tiba-tiba saja Agung Sedayu
berdesis,
“Sayang
sekali.”
“Kenapa?”
Prastawa yang ada dipaling depanlah yang bertanya.
“Harimau itu
tidak ada di sekitar tempat ini.”
“Kenapa?”
“Jika ada
seekor harimau di tempat ini, tentu tidak akan ada kera yang berani
bergayutan.”
“Ya,” Pandan
Wangi lah yang menyahut,
“tentu tidak
ada seekor harimau di tempat ini.”
“Tetapi kenapa
kuda-kuda itu meringkik dan agaknya menjadi ketakutan?” bertanya Prastawa.
“Mungkin
kuda-kuda itu memang mencium bau seekor harimau, tetapi harimau itu sendiri
masih berada di tempat yang agak jauh, yang justru tidak tercium dari tempat
ini.”
Prastawa
mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun demikian, ia masih berharap untuk
dapat bertemu dengan seekor binatang buruan. Bukan sekedar seekor binatang
buruan yang kecil, tetapi ia mengharap dapat bertemu dengan seekor harimau. Untuk
beberapa lamanya mereka sama sekali tidak berbicara. Mereka berjalan dengan
hati-hati menyusup dedaunan. Sedang Rudita yang semakin lama menjadi semakin
ketakutan, hampir tidak mengucapkan sepatah kata pun juga. Namun sejenak
kemudian, perhatian mereka yang sedang berburu itu tertarik oleh arus beberapa
ekor burung yang berterbangan ke satu arah. Burung-burung kecil dan
burung-burung yang lebih besar. Dan sejenak kemudian disusul oleh. beberapa
ekor kera yang berloncatan seperti sedang berkejar-kejaran. Sejenak anak-anak
muda yang sedang berburu itu memperhatikan keadaan itu. Beberapa ekor kera yang
seolah-olah sedang mengikuti mereka pun sudah tidak kelihatan lagi. Prastawa
yang ada di paling depan itu pun berhenti. Anak muda itu adalah anak muda yang
berani. Tetapi ia belum menguasai kemampuan berburu sebaik-baiknya. Itulah
sebabnya ia ragu-ragu, meskipun firasatnya mengatakan sesuatu kepadanya.
Agung Sedayu-lah
yang kemudian berkata,
“Siapkan
senjata kalian.”
“Ya, kita
harus berpencar,” desis Swandaru.
Rudita yang
ketakutan tiba-tiba bergeser mendekati Pandan Wangi sambil berkata,
“Kenapa kita
harus berpencar? Dan kenapa kita harus menyiapkan senjata?”
Ternyata
Pandan Wangi dapat menanggapi suasana seperti anak-anak muda yang lain. Maka
katanya,
“Tentu ada
binatang buas yang sedang bergerak. Jika tidak, binatang-binatang kecil itu
tidak akan berlarian.”
“Harimau
maksudmu?”
“Mungkin.”
“Suara ringkik
kuda yang keras itu agaknya telah menarik perhatiannya,” desis Agung Sedayu.
“Bagus
sekali,” sahut Prastawa dengan serta-merta.
Anak-anak muda
itu pun mulai menebar. Agung Sedayu bergeser menjauh diikuti oleh Swandaru yang
pergi ke arah yang sama tetapi dengan jarak beberapa langkah, sementara
Prastawa telah maju pula beberapa langkah.
“Tunggu,”
desis Rudita, ketika Pandan Wangi mulai bergerak pula.
“Sst, kita
berpencar,” desis Pandan Wangi.
“Aku
bersamamu,” sahut Rudita.
“Bergeraklah
sedikit dengan jarak yang tidak terlampau dekat. Kita maju bersama-sama.”
“Tidak, aku
pergi bersamamu.”
Pandan Wangi
menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Prastawa dan kedua murid Kiai
Gringsing yang termangu-mangu.
“Mereka
menunggu kami,” berkata Pandan Wangi kemudian.
“Aku
bersamamu.”
Pandan Wangi
menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian,
“Apa boleh
buat. Berjalanlah perlahan-lahan dan hati-hati. Tetapi di belakangku.”
Rudita
bergeser beberapa beberapa langkah. Ketika Pandan Wangi maju masuk hutan itu
lebih dalam lagi bersama anak-anak muda yang lain dalam garis lurus yang
berjarak beberapa langkah, Rudita mengikutinya di belakang. Ketika ia melihat
senjata yang siap di tangan masing-masing, maka hatinya menjadi gemetar. Ia
membawa juga busur dan anak panah seperti yang lain. Tetapi tangannya yang
memegang busur itu pun gemetar. Sekali-sekali Agung Sedayu memandanginya.
Sempat juga ia mengenang masa kecilnya. Ketika oleh kemanjaannya ia
dijerumuskan ke dalam ikatan ketakutan yang membuat dunianya menjadi gelap.
“Tetapi sejak
aku masih diikat oleh ketakutan, aku sudah belajar tata bela diri dan
mempergunakan senjata,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya. Namun
rasa-rasanya ayah Rudita pun seorang yang memiliki ilmu sehingga mungkin Rudita
pun sudah mulai diajarinya pula.
“Ia harus
mengalami benturan perasaan yang dahsyat untuk dapat merubahnya menjadi seorang
yang lain,” berkata Agung Sedaya. Namun meskipun kadang-kadang ia malu kepada
dirinya sendiri. Agung Sedayu masih juga dapat melihat perbedaan yang besar
antara dirinya sendiri pada saat itu dengan Rudita. Ia sama sekali bukan
seorang anak muda yang sombong, dan bukan pula anak muda yang seakan-akan
merasa berkuasa atas orang lain, karena saat itu ia sudah menjadi seorang
piatu. Ia hidup di dalam suasana yang berbeda dengan cara hidup Rudita kini,
sehingga sikap anak muda yang manja ini kadang-kadang memang menjengkelkan,
bukan sebaliknya.
Dan kini ia
terpaksa menahan senyumnya melihat Rudita yang dengan wajah pucat merunduk di
belakang Pandan Wangi. Mereka bergerak semakin lama semakin dalam. Para
pengiring mereka pun ikut menebar di antara keempat anak-anak muda itu beserta
Rudita di belakang Pandan Wangi. Tetapi mereka lambat sekali maju karena
pepohonan perdu yang lebat di bawah pepohonan yang besar di hutan itu. Apalagi
mereka memang harus berhati-hati, karena bukan saja harimau yang buas yang
harus mereka hadapi, tetapi juga binatang-binatang kecil yang berbisa. Dalam
pada itu, beberapa ekor burung masih berterbangan di antara dahan-dahan kayu,
dan masih pula ada beberapa ekor kera yang sambil berteriak-teriak berloncatan
di pepohonan.
Agung Sedayu
yang berada di ujung dari kelompok yang sedang maju di dalam garis lurus itu
sudah menyiapkan anak panah pada busurnya. Ia mengharap bahwa kemampuan
bidiknya masih tetap utuh. Beberapa langkah daripadanya adalah Swandaru yang
sudah siap pula. Kemudian agak di belakangnya seorang pengiring. Kemudian
Pandan Wangi dan Rudita. Di sebelahnya adalah Prastawa, dan di ujung yang lain
adalah kedua pengiring pula yang seperti yang lain juga sudah siap dengan
senjata mereka.
Sejenak Agung
Sedayu yang berpandangan tajam itu melihat sebuah gerumbul yang bergerak.
Dengan sigapnya ia meloncat maju. Ketika sesuatu tersembul dari gerumbul itu,
anak panahnya telah siap untuk meluncur. Tetapi anak panah itu masih tetap pada
busurnya. Dibiarkannya seekor binatang berlari kebingungan. Binatang itu tidak
berani berani kembali ke tengah hutan, namun tidak pula dapat terus. Sejenak
binatang itu meloncat masuk ke dalam gerumbul yang lain, kemudian berlari
menghindar. Agung Sedayu menarik nafas. Ia sadar, bahwa ia memang bukan seorang
pemburu yang baik. Kadang-kadang ia masih juga diganggu oleh keragu-raguan
untuk membunuh meskipun hanya seekor anak kijang.
“Kau biarkan
kijang itu lari?” desis Swandaru.
Agung Sedayu
tidak menjawab. Katanya di dalam hati,
“Seandainya
bukan seekor kijang yang masih muda. Ia dengan ketakutan ingin melepaskan diri
dari kejaran binatang buas, alangkah malang nasibnya jika ia berpapasan dengan
manusia yang ternyata tidak kalah buasnya dari binatang yang paling buas itu.
Karena justru manusialah yang telah membunuhnya.”
Swandaru
melihat keragu-raguan di mata Agung Sedayu, sehingga ia berkata,
“Penyakitmu
sudah kambuh lagi, Kakang. Bukan saatnya untuk ragu-ragu di saat kita sedang
berburu.”
Agung Sedayu
tidak menjawab. Kijang yang masih sangat muda itu sudah hilang. Namun di balik
belukar yang lebat itu, mungkin sekali akan mereka temukan seekor harimau yang
buas. Mereka melangkah maju lagi. Setapak demi setapak. Sedang angin bertiup ke
arah yang berlawanan. Sehingga mereka berharap bahwa hidung harimau itu tidak
lebih dahulu mencium bau orang-orang yang mencoba memburunya. Sejenak kemudian,
maka terasa hutan itu menjadi sepi. Sepi sekali. Tidak terdengar teriakan kera
di pepohonan, dan tidak terdengar pula kicau burung di udara. Orang-orang yang
sedang berburu itu menjadi semakin tegang. Ternyata bahwa mereka akan segera
berhadapan dengan binatang buas di hutan liar itu. Karena itu, maka anak panah
mereka telah siap dipasang pada busurnya, siap untuk dilepaskan. Tetapi
beberapa saat lamanya mereka tidak melihat sesuatu yang bergerak di dalam
gerumbul. Setiap kali mereka hanya melihat seekor kupu yang tidak menyadari
bahaya yang ada di hutan itu.
Namun
tiba-tiba Agung Sedayu tertegun sejenak. Hampir berbareng dengan Swandaru ia
berkata,
“Aku mencium
bau yang lain.”
Pandan Wangi
pun menganggukkan kepalanya sambil berdesis,
“Ya. Bau ini
tentu bukan bau seekor harimau.”
“Aku tidak
mencium bau apa pun,” berkata Prastawa.
“Cobalah
perhatikan. Ada yang lain.”
Orang-orang
yang sedang berburu itu pun kemudian berhenti sejenak. Seorang pengiring yang
sudah berpengalaman berkata,
“Berhati-hatilah.
Bau ini sudah memberi peringatan kepada kita.”
“Ya, ya. Aku
mencium bau itu.”
“Bau apakah
yang sudah kalian cium?” bertanya Rudita. Wajahnya menjadi semakin pucat.
“Aku tidak
mencium bau apa pun juga.”
“Bau yang
wengur ini,” berkata pengiring itu.
“Ya, tetapi
bau apa?”
Sebelum orang
itu menjawab, Agung Sedayu berkata sambil menunjuk kekejauhan,
“Kau lihat
ujung pohon itu?”
“Nah,” berkata
pengiring itu,
“kini sudah
pasti. Bukan seekor harimau yang kita hadapi.”
Pandan Wangi
pun menjadi tegang. Jarang sekali terjadi, bahwa di dalam hutan mereka akan
berpapasan dengan kejadian itu.
“Apa, kenapa
dengan ujung pepohonan itu,” Rudita bergeser semakin mendekati Pandan Wangi.
“Bagaimana
dengan kita?” bertanya Pandan Wangi kemudian kepada pengiring itu, tanpa
menghiraukan Rudita.
“Terserahlah
kepada kita. Apakah kita akan memburunya juga, atau kita akan mengambil jalan
lain dan menjauh seperti binatang-binatang buruan yang lain.”
“Marilah, kita
lihat,” berkata Prastawa.
“Jangan
terburu-buru,” berkata pengiring itu,
“lebih baik
bertemu dengan seekor harimau daripada kita mendekatinya.”
“Apa yang kalian
lihat, apa?” desak Rudita.
Pandan Wangi
menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
“Ujung
pepohonan itu bagaikan ditiup angin pusaran. Apakah kau benar-benar tidak
mengerti, apakah yang ada di sana.”
Rudita memandang
ujung pohon itu. Katanya,
“Maksudmu
pohon yang besar itu?”
“Ya.”
“Bukan setiap
pepohonan.”
“Ya, maksudku
pohon yang besar itu.”
Rudita menggelengkan
kepalanya. Katanya,
“Aku tidak
mengerti.”
Pandan Wangi
memandang Agung Sedayu dan Swandaru berganti-ganti. Kemudian pengiring yang
menyertainya itu.
“Katakan,”
desak Rudita.
Sekali lagi
Pandan Wangi memandang pengiringnya, seakan-akan menyuruhnya mengatakan tentang
ujung pohon yang bergerak-gerak itu.
“Itu adalah
bahaya yang paling besar di dalam hutan ini bagi binatang-binatang yang ada di
dalamnya. Lebih berbahaya dari seekor harimau yang sedang lapar.”
“Aku sudah
mendengar kalian mengatakannya. Tetapi apa?”
“Seekor ular
naga.”
“Ular naga,”
dada Rudita bagaikan berhenti bergetar,
“ular naga.
Jadi apakah benar ada seekor ular naga?”
“Maksudku
seekor ular yang besar sekali. Orang-orang yang pernah menyaksikannya
menyebutnya ular naga. Di telinganya terdapat semacam sumping kebesaran, dan
bagi sejenis ular, terdapat taji di bagian ekornya.”
“O, apakah
ular naga itu berkaki juga?”
Pengiring itu
menggelengkan kepalanya. Jawabnya,
“Tidak. Ular
naga biasanya tidak berkaki.”
“Tetapi kenapa
ujung pohon itu seperti ditiup angin pusaran?”
“Ular itu
sedang lapar.”
“Ya, tetapi
kenapa ujung pohon itu?”
“Ular yang
lapar membelitkan ujung ekornya pada sebatang dahan yang besar di pohon itu,
kemudian kepalanya sajalah yang terayun-ayun di sekitar pohon itu. Setiap
mahluk yang lewat di jarak jangkaunya, tentu akan disambarnya dan langsung
ditelannya. Juga seekor kijang dan bahkan seekor harimau. Tetapi sudah barang
tentu, jika yang disambarnya seekor harimau maka tentu akan terjadi pergulatan
yang sengit, karena seekor harimau tidak akan menyerah begitu saja. Bahkan
dapat terjadi, jika pohon itu berada di tepi Kali Praga, ular itu akan
menyambar seekor buaya yang sedang berjemur. Namun yang terjadi adalah
pergulatan yang sengit antara ular itu dengan seekor buaya yang kuat.”
Terasa
bulu-bulu tengkuk Rudita meremang, terbayang di matanya seekor naga raksasa
yang buas sedang terayun-ayun di pohon itu sambil membelitkan ekornya.
Kepalanya merupakan alat yang sangat berbahaya untuk menyambar mangsanya. Jika
seekor harimau dapat disambarnya meskipun kemudian harus bergulat dengan
sengit, apa yang dapat dilakukan oleh seseorang? Karena itu, maka Rudita
menjadi semakin ketakutan. Setiap kali ia memandang ujung pohon yang
bergerak-gerak itu. Namun kemudian ia tidak dapat menahan perasaannya lagi
sehingga katanya kepada Pandan Wangi,
“Apakah kita
tidak sebaiknya kembali saja?”
“Kita maju
beberapa langkah lagi. Mungkin kita tidak akan mendapat kesempatan melihat
seekor ular raksasa yang lapar mencari makan di tengah-tengah hutan yang lebat
seperti ini.”
“Tetapi kenapa
ular itu tiba-tiba saja menjadi lapar ketika kita mendekatinya?”
“Tentu tidak.
Ular menjadi lapar untuk waktu yang panjang. Adalah kebetulan bahwa pada saat
kita memasuki hutan ini, ular itu mulai mencari mangsanya. Tetapi tentu ular
itu sudah cukup lama menahan lapar. Memang mungkin ringkik kuda yang keras itu
menambah seleranya sehingga tiba-tiba saja ia berniat untuk menyambarnya.
Tetapi kuda itu tidak akan melalui daerah berbahaya itu. Binatang-binatang yang
lain pun biasanya menjauhinya.”
“Kenapa justru
kita mendekat?”
“Kita bukan
binatang yang tersesat ke daerah jangkau kepala ular yang lapar itu. Tetapi
kita dengan sadar mendekatinya, sehingga kita dapat memperhitungkan jarak
sebaik-baiknya.”
“Tetapi apakah
gunanya kita mendekat?”
“Aku ingin
melihat,” lalu Pandan Wangi memandang anak-anak muda yang lain sambil bertanya,
“Bagaimana
dengan kalian?”
“Aku juga
belum pernah melihat, bagaimana seekor ular yang lapar mencari mangsanya,”
sahut Prastawa.
“Tetapi itu
berbahaya sekali,” gumam Rudita.
“Asal kita
berhati-hati, kita tidak akan terjebak ke dalam mulutnya,” berkata Swandaru
kemudian,
“karena itu,
kita harus mampu memperhitungkan setiap kemungkinan. Memang mungkin ular itu
menyelusur turun sedikit, sehingga jarak jangkaunya bertambah lebar, tetapi
tentu terbatas, karena panjang tubuhnya juga terbatas.”
Rudita tidak
dapat memaksa kawan-kawannya berburu untuk kembali. Betapa pun ia dibelit oleh
perasaan takut, namun ia terpaksa ikut maju juga mendekati sebatang pohon yang
sedang diguncang oleh ular yang kelaparan itu.
“Jangan
mendekat lagi,” desis Rudita.
“Sst, ular itu
mempunyai telinga. Jika ia mendengar suaramu, maka perhatiannya akan tertuju
sepenuhnya ke mari.”
“Dan mempunyai
hidung,” desis Swandaru,
“ia akan dapat
mencium bau manusia.”
Rudita sama
sekali tidak berani membuka mulutnya. Ia menjadi semakin lama semakin
ketakutan, sehingga karena itu ia bahkan sekali-sekali berpegangan pada baju
Pandan Wangi.
“Sst,” Pandan
Wangi kadang-kadang merasa geli juga, sehingga sekali-sekali tangan Rudita itu
pun dikibaskannya.
Agung Sedayu
yang melihat, betapa Rudita dicengkam oleh ketakutan menjadi kasihan karenanya.
Ia sendiri pernah merasakan betapa sakitnya perasaan takut itu menyiksa
dirinya. Namun ia tidak dapat menolongnya. Ketakutan yang demikian tidak dapat
ditolong dengan mengawaninya. Dalam pada itu, mereka menjadi semakin lama
semakin dekat dengan pohon yang diguncang oleh ular raksasa itu. Bau yang
wengur semakin lama semakin terasa menusuk hidung, sedang daerah di sekitar
tempat itu menjadi semakin sepi. Tidak ada sehelai daun pun yang bergerak oleh
sentuhan binatang hutan selain di sekitar pohon yang bagaikan dipermainkan oleh
angin pusaran itu.
“O,” Rudita
menjadi gemetar ketika ia melihat sesuatu yang bergerak-gerak pada pohon itu.
Ternyata seperti yang lain, ia mulai dapat melihat tubuh ular yang tersangkut
pada dahan pohon itu. Ular yang ternyata benar-benar ular raksasa. Prastawa
yang juga melihat ular itu, hampir saja meloncat maju didorong oleh
keinginannya yang meluap melihat seluruh tubuh ular itu. Untunglah pengiring
yang berpengalaman itu sempat menggamitnya dan memberikan isyarat agar ia
menjadi berhati-hati.
“Kita belum
melihat kepalanya,” bisik orang itu,
“kita belum
tahu pasti panjang ular itu.”
Prastawa
mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar