Sejenak sekelompok orang-orang yang ingin melihat ular raksasa itu berdiri membeku. Mereka masih belum tahu pasti berapa jauh jarak jangkau kepala ular raksasa itu.
“Tinggallah
kalian di sini,” berkata pengiring yang sudah banyak mengetahui seluk-beluk
hutan itu,
“aku akan
mencoba melihat, sampai di mana jauh jangkau kepala ular itu.”
“Hati-hatilah,”
desis Pandan Wangi.
“Aku akan
pergi bersamanya,” berkata Agung Sedayu.
“Aku juga,”
berkata Swandaru.
“Tinggallah di
sini,” sahut Agung Sedayu,
“jika terlalu
banyak orang yang pergi, ular itu akan segera mengetahui kehadiran kita.”
Swandaru
mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun mengangguk-anggukkan kepalanya.
Pengiring itu
pun kemudian bergeser maju diikuti oleh Agung Sedayu. Mereka dengan hati-hati
menyusup sebuah gerumbul kecil yang tidak begitu rimbun. Namun karena mereka
masih belum dapat melihat kepala ular itu, maka mereka pun bergeser beberapa
langkah lagi, dan berlindung di balik sebatang pohon.
“Firasatku
mengatakan bahwa ular itu sudah mencium bau manusia.”
“Kita,
maksudmu?”
“Ya, lihatlah
gerak tubuhnya.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Kita mendekat
lagi.”
Orang itu
menganggukkan kepalanya. Namun ketika ia melangkah maju, maka Agung Sedayu pun
segera menyambarnya. Untunglah bahwa Agung Sedayu sempat melakukannya. Ketika
orang itu berguling karena tarikan tangan Agung Sedayu, ia masih sempat melihat
sesuatu bergerak digerumbul beberapa langkah di hadapannya. Dengan tubuh yang
gemetar orang itu meloncat berdiri dan bersama dengan Agung Sedayu melangkah
surut ke belakang.
“Aku tidak
mengira, bahwa kepala ular itu sudah begitu dekat,” berkata orang itu.
Agung Sedayu
tidak menjawab. Ia melihat kepala itu mulai bergerak-gerak. Agaknya ular itu
tidak saja ingin menunggu, tetapi ia berusaha untuk dapat mencapai mangsanya
yang belum dapat ditangkapnya itu.
Sejenak
keduanya berdiri termangu-mangu di balik sebatang pohon yang besar, meskipun
mereka sadar, bahwa mereka tidak akan dapat bersembunyi apabila ular itu
berusaha untuk maju. Tetapi agaknya kepala ular raksasa itu masih, saja
terayun-ayun, meskipun kini agaknya lebih tertuju kepada kedua orang yang
berusaha bersembunyi itu.
Agung Sedayu
dan pengiring itu masih saja berdiri diam di tempatnya. Mereka sedang terpukau
oleh kekaguman atas ular yang besar itu. Kepalanya yang sebesar kepala kerbau
itu tampak kehitam-hitaman mengkilap seperti dilumuri minyak. Seperti ceritera
yang pernah mereka dengar, bahwa sebenarnyalah pada telinga ular itu
seakan-akan terlukis sebuah jamang berwarna kemerah-merahan. Matanya yang tajam
bagaikan memancarkan cahaya yang kekuning-kuningan.
“Mengerikan
sekali,” desis pengiring itu.
“Ya, mengerikan
sekali,” sahut Agung Sedayu,
“ular itu
tentu sangat berbahaya. Bukan saja bagi binatang-binatang hutan tetapi juga
bagi seseorang yang kebetulan masuk ke dalam hutan ini. Tentu ular itu tidak
selamanya bergayutan di pohon itu. Apabila ia sudah kenyang, ia akan pergi
sehingga datang saatnya ia kelaparan lagi dan melakukan perbuatan yang serupa.
Mungkin di tengah hutan ini, tetapi mungkin di tempat lain yang sering
dikunjungi orang.”
“Jika kepalaku
disambarnya,” berkata pengiring itu,
“maka aku
tidak akan sempat berteriak. Tubuhku akan segera dilumatkan dengan belitan yang
kuat, sehingga dengan tulang-tulang yang remuk dengan mudahnya aku akan
ditelan.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia terpaksa melangkah surut sambil
berkata,
“Ular itu
agaknya akan menyerang kita.”
“Ya. Ular itu
akan menyerang. Marilah kita pergi.”
Agung Sedayu
menjadi ragu-ragu. Apakah ular yang berbahaya itu akan ditinggalkan begitu
saja. Dalam keragu-raguan itu tiba-tiba Agung Sedayu terkejut karena ia
mendengar suara Rudita,
“Jangan maju
lagi. Jangan.”
“Gila,” geram
Agung Sedayu,
“kenapa anak
itu dibawa ke mari?”
Sebenarnyalah
bahwa beberapa orang yang ditinggalkan oleh Agung Sedayu itu tidak sabar lagi
menunggu. Apalagi Swandaru dan Pandan Wangi disentuh pula oleh perasaan cemas
apabila sesuatu telah terjadi atas Agung Sedayu dan seorang pengiringnya.
“Jangan maju
lagi,” desis Agung Sedayu.
Pandan Wangi
menjadi termangu-mangu, sedang Rudita yang kemudian melihat juga kepala yang
terayun-ayun itu menjadi gemetar seperti orang yang sedang kedinginan.
“Hati-hatilah,
Kakang,” Swandaru tiba-tiba berteriak.
Agung Sedayu
dan pengiring itu meloncat menjauh. Agaknya ular raksasa itu telah berusaha
menjangkau kedua mangsanya itu. Namun karena ekornya masih harus berpegangan
pada dahan kayu yang besar, maka ia masih belum berhasil mencapai mahluk yang
masih agak asing baginya. Ternyata percakapan itu membuat ular raksasa itu
semakin marah. Kepala yang mengerikan itu terayun-ayun semakin keras, sehingga
batang pohon tempat ekornya berpegangan menjadi semakin keras bergetar. Tetapi
bukan itu saja, ternyata ular itu pun berusaha semakin menjulur ke bawah.
Ternyata ia berusaha mengendorkan belitan ekornya, agar kepalanya menjadi
semakin panjang menjangkau mangsanya. Tetapi kemarahan ular raksasa itu telah
mengguncang dahan pohon tempatnya bergantung semakin keras. Semakin lama
semakin keras, sehingga pada suatu saat, dahan itu tidak mampu lagi menahan
ayunan tubuh yang seakan-akan menjadi semakin berat. Yang terdengar kemudian
adalah dahan itu mulai retak. Sejalan dengan itu, maka kepala ular itu pun
menjadi semakin rendah, dan semakin dekat menjangkau Agung Sedayu dan
pengiringnya.
“Kakang, dahan
itu patah,” teriak Swandaru.
Dengan gerak
naluriah, maka Agung Sedayu pun menjauh. Tetapi dengan gerak naluriah pula,
Agung Sedayu, Swandaru, Pandan Wangi dan para pengiringnya telah menarik anak
panah pada busurnya. Hampir berbareng dengan derak dahan yang patah itu,
beberapa anak panah telah meluncur ke arah kepala ular raksasa itu. Namun
ternyata bahwa kepala ular yang bergerak itu tidak terlalu mudah dikenainya.
Anak panah yang meluncur dari busurnya itu tidak sempat mengenai sasarannya,
kecuali anak panah Agung Sedayu, meskipun tidak tepat, karena anak panah itu
menembus leher. Luka di leher ular itu, membuat ular raksasa itu menjadi
seakan-akan gila. Tiba-tiba saja ular itu melonjak dan dahan yang patah itu pun
berderak jatuh di tanah. Kesakitan yang amat samgat pada lehernya, dan tubuhnya
yang justru tertindih dahan yang besar itu, membuatnya semakin gila. Ular itu
bergulung-gulung seperti pusaran air. Dengan berdesis mengerikan ular itu
berusaha melemparkan dahan yang besar yang menindih tubuhnya. Namun kesakitan
pada lehernya bagaikan tersentuh bara besi baja. Untuk beberapa saat lamanya
ular raksasa itu seakan-akan bergulat dengan dirinya sendiri. Namun dengan
kemarahan yang luar biasa tiba-tiba kepalanya yang mengkilap itu tegak, dengan
mulut ternganga. Ular itu bagaikan menyemburkan api dari dalam mulutnya. Rudita
benar-benar sudah kehilangan keberaniannya sama sekali. Tubuhnya menggigil
seperti terbenam di dalam air embun. Bahkan ketika kawan-kawannya bergeser
surut, ia sudah tidak mampu lagi mengangkat kakinya.
“Rudita,”
teriak Pandan Wangi.
“O,” Rudita
mencoba melangkah. Tetapi kakinya terantuk sepotong akar yang menyilang di
depannya. Tiba-tiba saja ia justru terjatuh tertelungkup.
Pada saat
itulah ular raksasa yang bagaikan gila itu menjulurkan kepalanya. Tiba-tiba
saja ia melihat sesuatu yang bergerak-gerak. Dan itu adalah Rudita yang sedang
berusaha bangun.
“Rudita,”
sekali lagi Pandan Wangi berteriak.
Tetapi kepala
ular itu mulai bergerak, lidahnya mencuat seperti ujung api yang akan membakar
tubuh Rudita yang lemah. Sekejap semua orang yang menyaksikannya dicengkam oleh
perasaan tegang. Mata ular yang membara dan taringnya yang tajam, membuat
setiap jantung bagaikan berhenti berdenyut. Namun tidak seorang pun yang
menghendaki Rudita akan ditelan oleh ular yang sedang kesakitan itu. Karena
itu, maka sekali lagi beberapa orang telah melepaskah anak panah. Tetapi anak
panah itu tidak tepat mengenai sasarannya. Satu dua daripadanya berhasil
mengenai leher ular itu dan menyusup di antara sisiknya yang bagaikan perisai
besi.
“Rudita,”
Pandan Wangi benar-benar menjadi cemas.
Pada saat yang
paling berbahaya itu, tidak ada jalan lain kecuali mencoba mengusir ular itu
dengan anak panah yang dilontarkan bagaikan hujan. Tetapi ular itu benar-benar
sudah gila. Ia sama sekali tidak menjadi surut meskipun ada beberapa anak panah
yang bergayutan pada sisiknya.
Tidak ada lagi
harapan yang masih tersisa di hati Rudita. Ia sempat melihat kepala ular itu
merunduk menghampirinya dengan mulut menganga, lidah yang belah dan taring yang
tajam. Namun pada saat itu, Agung Sedayu masih melakukan usaha terakhir. Dengan
cepatnya ia menyambar tombak pendek seorang pengiring yang sedang
termangu-mangu. Dengan kemampuan bidiknya, ia melontarkan tombak itu selagi
ular itu tidak sedang bergejolak seperti wajah air yang sedang mendidih. Ternyata
usaha Agung Sedayu yang terakhir itu berhasil. Pada saatnya, tombak pendek itu
meluncur tepat mengenai sebelah mata ular yang marah itu. Sekali terdengar ular
itu berdesis keras sekali sambil menarik kepalanya cepat-cepat. Kemudian,
sekali lagi ular itu bergumul dengan dirinya sendiri. Dengan tenaga raksasanya
ia berusaha melepaskan diri dari cengkaman kesakitan. Tetapi ia tidak berhasil
melepaskan diri dari ujung tombak dan beberapa anak panah yang mengenainya. Dalam
keadaan itulah, maka sekali lagi Agung Sedayu menyerang dengan anak panahnya.
Tetapi ia tidak berhasil mengenainya. Anak panahnya justru meloncat mengenai
tubuh ular yang sedang mengamuk itu. Ketika ular itu sekali lagi menengadahkan
kepalanya yang sudah mulai dilumuri darah dari luka-lukanya dan terutama dari
sebelah matanya, Swandaru sudah sempat menarik Rudita dan menyeretnya menjauhi
ular itu. Tetapi betapa garangnya ular raksasa itu, namun akhirnya lambat laun
ia kehilangan tenaganya. Darahnya yang mencucur dari lukanya, dan ujung tombak yang
justru semakin dalam menancap di kepalanya, mulai menyentuh otaknya. Akhirnya,
badai yang berkecamuk itu menjadi semakin lama semakin reda. Perlahan-lahan
namun pasti, maka akhirnya ular raksasa itu kehilangan segenap tenaganya dan
bahkan kemudian kehilangan hidupnya. Tombak Agung Sedayu yang justru menjadi
semakin dalam menghunjam di kepalanya, telah menghabisi nyawanya. Ular raksasa
itu pun akhirnya telah mati dengan meninggalkan bekas yang sangat mengerikan.
Dahan-dahan yang berpatahan. Bahkan pepohonan yang tidak begitu besar pun telah
roboh karenanya. Sejenak Agung Sedayu, Swandaru, Pandan Wangi, dan Prastawa dan
para pengiringnya berdiri termangu-mangu, sementara Rudita masih saja menggigil
ketakutan. Tetapi ternyata bau darah yang khusus dari darah ular raksasa itu
telah mengundang penghuni rimba itu yang lain. Dari kejauhan terdengar seekor
harimau mengaum dengan dahsyatnya.
“Itulah dia,”
tiba-tiba saja Prastawa berdesis.
“O,” suara
Rudita gemetar hampir tidak terdengar,
“apa lagi yang
akan datang?”
“Tentu seekor
harimau yang mencium bau darah ini,” jawab Prastawa,
“bahkan
mungkin tidak hanya seekor.”
“O,” Rudita
menjadi semakin pucat.
Agung Sedayu
menarik nafas dalam-dalam. Ternyata hutan di tepi Kali Praga ini isinya tidak
kalah dahsyatnya dari Alas Mentaok, karena di Alas Mentaok yang paling
berbahaya bukan saja binatangnya, tetapi perampok dan penyamunnya. Sejenak
Agung Sedayu dan kawan-kawannya menjadi termangu-mangu. Di hadapan mereka
adalah hutan yang menjadi porak poranda karena amukan ular yang menjadi gila
itu. Sedang lamat-lamat mereka telah mendengar seekor harimau mengaum di
kejauhan.
Karena itulah
maka mereka masih tetap berdiri di tempatnya. Mereka telah siap menghadapi
setiap kemungkinan. Meskipun ada dua ekor harimau yang berdatangan sekaligus,
mereka tidak akan gentar. Tetapi suara harimau itu tidak terdengar lagi.
Mungkin harimau yang mencium bau darah seekor ular, sama sekali tidak tertarik
untuk mendekatinya. Sejenak mereka masih menunggu. Tetapi karena mereka tidak
mendengar apa pun lagi, maka Agung Sedayu pun berkata,
“Harimau itu
tidak datang ke mari.”
“Benar
begitu?” bertanya Rudita dengan serta-merta.
“Aku kira
begitu.”
“Jawablah yang
baik. Jangan sekedar mengira. Aku memerlukan kepastian,” suaranya masih
bergetar.
Agung Sedayu
menarik nafas dalam-dalam. Namun agar anak itu tidak selalu ribut, maka ia pun
menjawab,
“Aku pasti.
Harimau itu tidak akan datang ke mari.”
Rudita
memandang Agung Sedayu sejenak. Namun katanya,
“Tentu kau
hanya ingin menenteramkan hatiku. Jawablah yang sebenarnya. Jawablah.”
Agung Sedayu
menjadi bingung. Sejenak ia termangu-mangu memandang Pandan Wangi, seolah-olah
ia ingin mendapat pertolongannya untuk menjawab pertanyaan Rudita yang kacau
itu.
“Rudita,”
ternyata Pandan Wangi dapat menanggapi tatapan mata Agung Sedayu itu sehingga didekatinya
Rudita,
“memang
harimau itu tidak akan datang ke mari.”
“Aku tahu,
kalian hanya sekedar menenteramkan hatiku. Tetapi bagaimana sebenarnya? Apakah
harimau itu datang ke mari nanti?”
“Tidak. Aku
yakin tidak.”
“Jangan
membohongi aku.”
“Baiklah,”
berkata Pandan Wangi,
“menurut
perhitungan kami, harimau itu tidak akan datang. Tetapi seandainya ia datang
juga, kami sudah siap menghadapinya.”
“Katakan
dengan pasti. Kalian selalu mempermainkan aku.”
“Rudita,”
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam,
“sudahlah.
Jangan kau pikirkan harimau itu. Ia mempunyai kaki. Terserah ke mana ia akan
pergi.”
Rudita memandang
Pandan Wangi sejenak, lalu,
“Kau tidak
menjawab sebaik-baiknya. Kenapa kalian bersikap demikian terhadapku?”
Ternyata
Prastawa tidak dapat menahan hatinya sehingga ia menyahut,
“Biarlah
harimau itu datang. Aku akan menunggunya. Dan memang kedatangannya itu sangat
aku harapkan.”
“Kau gila,”
teriak Rudita,
“kau ingin
harimau itu datang kemari dan menerkam aku seperti yang hampir saja terjadi
dengan ular raksasa itu?”
“Tentu tidak,”
jawab Prastawa,
“aku akan
membunuhnya. Atau kau sendiri harus membunuhnya.”
Rudita
memandang Prastawa dengan wajah yang tegang. Tetapi sebelum ia berkata sesuatu,
maka terdengar suara Swandaru melengking,
“He, ikut aku.
Cepat.”
Semua orang
memandang kepadanya. Dan sekali lagi Swandaru berkata,
“Cepat, ikut
aku.”
Tanpa menunggu
lagi ia berjalan tergesa-gesa mendekati kepala ular raksasa yang telah mati
itu. Orang-orang lain yang tidak begitu mengerti maksudnya itu pun
mengikutinya. Rudita yang ketakutan terpaksa melangkah juga dengan kaki gemetar
mendekati ular raksasa itu. Ketika Swandaru sudah berada beberapa langkah dari
ular itu, maka ia pun berhenti. Dilihatnya darah yang berceceran, sedang tombak
pendek yang mengenai mata ular itu masih menancap di tempatnya.
“Mengerikan,”
katanya,
“jika ular ini
harus bergumul dengan seekor harimau, maka harimau itu tentu akan dapat
diremukkan tulang-belulangnya.”
“Aku belum
pernah mendengar ceritera, bahwa di dalam hutan ini ada seekor ular raksasa
sebesar ini,” berkata pengiring Pandan Wangi,
“karena itu,
sebenarnya aku agak takut juga menghadapinya. Untunglah Anakmas Agung Sedayu
memiliki kemampuan bidik yang luar biasa, sehingga anak panahnya yang pertama
yang mengenai leher ular itu, membuatnya kehilangan ketenangannya. Dan lontaran
tombak yang tepat itu ternyata telah memaksa ular itu menyerah untuk
selama-lamanya.”
“Suatu
kebetulan,” jawab Agung Sedayu.
“Bukan suatu
kebetulan,” sahut Swandaru,
“Kakang Agung
Sedayu dapat membidik dan mengenai seekor burung yang sedang terbang. Aku
pernah melihatnya, meskipun tidak setiap saat ia mau memamerkannya.”
“Mana
mungkin,” tiba-tiba saja Rudita menyahut,
“tidak ada
seorang pun yang mampu mengenai seekor burung yang sedang terbang.”
Prastawa
berpaling kepadanya. Tetapi ia hanya menarik nafas dalam-dalam. Tidak ada
seorang pun yang menjawab. Tetapi Swandaru lah yang berkata kemudian,
“Rudita.
Ternyata keinginanmu terkabul.”
“Apa?” jawab
Rudita.
“Hasil buruan
kita yang pertama akan kau jadikan hadiah yang akan kau berikan kepada Pandan
Wangi. Nah ternyata hasil buruan kita yang pertama adalah seekor ular naga
raksasa. Tentu kau masih tetap pada pendirianmu, bahwa setiap hasil kita
bersama adalah hakmu dan akan kau berikan sebagai hadiah kepadanya.”
Rudita tidak
segera menyahut. Dipandanginya wajah Swandaru yang bulat itu dengan tatapan
mata yang mengandung kebimbangan. Namun kemudian katanya,
“Apakah ular
ini baik juga aku berikan sebagai hadiah?”
Swandaru lah
yang justru terkejut mendengar pertanyaan itu. Namun ia menganggukkan kepalanya
sambil menjawab,
“Ya. tentu.
Kau tahu bahwa kulit ular raksasa ini mempunyai nilai yang besar.”
Rudita
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian,
“Baiklah.
Kulit ular ini akan aku hadiahkan kepadamu Pandan Wangi.”
“Ah,” wajah
Pandan Wangi menegang sejenak. Sikap Rudita benar-benar merupakan sebuah
lelucon yang menjemukan. Namun demikian Pandan Wangi menjawab,
“Terima kasih
Rudita. Aku akan membawanya pulang. Kulit ular itu tentu menjadi bahan
tontonan. Jarang sekali kita melihat ular sebesar itu.”
“Jadi kau mau
juga menerimanya?”
“Tentu, aku
sangat berterima kasih. Aku lebih senang menerima kulit ular itu dari pada
seekor kijang atau menjangan.”
“Aku senang
sekali, bahwa kau mau menerimanya. Mudah-mudahan dapat menjadi kenang-kenangan
sepanjang hidupmu.”
Pandan Wangi
menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia memandang Swandaru dengan sudut matanya,
dilihatnya anak muda itu berpaling memandang kekejauhan, sedang Agung Sedayu
sudah membelakanginya. Prastawa menarik nafas dalam-dalam sambi1
terbatuk-batuk.
“Anak ini
benar-benar cengeng,” berkata Pandan Wangi di dalam hatinya,
“bukan saja di
dalam sikap, tetapi ia benar-benar cengeng di dalam segala hal.”
Hampir saja
Pandan Wangi tertawa tanpa dapat ditahan lagi ketika tiba-tiba saja ia
mendengar Rudita bertanya,
“Tetapi
bagaimana kita mendapatkan kulit ular itu?”
“Serahkan
kepada para pengiring,” jawab Pandan Wangi,
“mereka akan
dapat mengulitinya. Mereka sudah sering menguliti seekor ular yang besar
sekalipun. Tetapi tidak sebesar ular yang terbunuh ini.”
Rudita
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara Pandan Wangi bertanya kepada ketiga
pengiringnya,
“Kalian dapat
menguliti ular itu?”
Mereka
mengangguk sambil menjawab,
“Tentu.”
“Kulitilah.
Kita bawa kulitnya pulang.”
Salah seorang
dari mereka menjawab,
“Bagaimana
dengan dagingnya?”
“Kita tidak
memerlukannya. Biarlah dagingnya menjadi mangsa binatang hutan.”
Ketiga
pengiringnya mengangguk-anggukkan kepala. Salah seorang berkata,
“Baiklah kita
mengulitinya sekarang.”
“Lakukanlah,”
berkata Pandan Wangi, “kami akan beristirahat.”
“Jadi kita
akan keluar dari hutan ini?” bertanya Rudita dengan serta merta.
“Tidak, kami
akan beristirahat di sini.”
“O, di sini?”
Rudita menjadi kecewa.
Pandan Wangi
tidak menjawab. Tetapi ia kemudian berkata kepada anak-anak muda yang lain,
“Kita
beristirahat di sini untuk menunggu mereka menguliti ular ini.”
“Tentu
memerlukan waktu yang lama,” jawab Prastawa, lalu ia pun bertanya,
“apakah tidak
sebaiknya kita berbuat sesuatu yang lain?”
“Tidak,” jawab
Pandan Wangi,
“kita menunggu
mereka agar jika ada sejenis binatang yang lain datang ke tempat ini, mereka
tidak menemui kesulitan.”
Prastawa
mengangguk-anggukkan kepalanya Tetapi sebenarnya ia lebih senang menerobos
masuk ke dalam jantung hutan yang liar itu daripada duduk beristirahat tanpa
berbuat sesuatu. Namun seperti yang dikatakan oleh Pandan Wangi, orang-orang
yang sedang sibuk menguliti ular itu memang tidak dapat ditinggalkannya. Dengan
demikian maka mereka pun hanya sekedar beringsut dari tempatnya melihat-lihat
bekas belukar yang rusak karana amukan ular raksasa itu. Dahan yang patah dan
justru telah menimpa tubuh ular itu sendiri. Meskipun akhirnya ular itu dapat
melepaskan diri dari himpitan dahan itu, namun luka-lukanya, apalagi sebatang
tombak yang menancap tepat di matanya, dan bekas tindihan kayu itulah yang
membuatnya kemudian tidak berhasil melepaskan diri dari maut. Namun demikian,
ternyata Prastawa, Agung Sedayu, dan Swandaru bergeser beberapa langkah
menjauhi tempat itu tanpa mereka sadari. Mereka melangkah satu-satu sambil
melihat-lihat semak-semak yang hancur, pepohonan yang roboh dan dahan-dahan
yang patah.
“Apa yang
terdapat di dalam lebatnya hutan itu?” tiba-tiba saja Prastawa bertanya.
“Bermacam-macam,”
jawab Swandaru,
“di antaranya
seperti sudah kita lihat, ular raksasa ini, dan yang sudah kita dengar
suaranya, beberapa ekor harimau.”
“Itu kurang
menarik bagi kita,” Agung Sedayu-lah yang menyahut.
“Mungkin ada
penghuni yang belum pernah kita lihat. Itulah yang penting, seperti yang
dikatakan oleh orang-orang Menoreh.”
“Orang-orang
bersenjata?” bertanya Prastawa.
Agung Sedayu
menganggukkan kepalanya.
“Jika
demikian, kita harus menembus hutan ini sampai ke tepian Kali Praga. Mungkin di
bagian itulah kita akan dapat menemukan, setidak-tidaknya bekasnya sebagai
bahan untuk melihat keseluruhan yang pernah terjadi di daerah ini.”
Sekali lagi
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang ia ingin benar melihat
kemungkinan yang ada dari orang-orang yang tidak dikenal itu. Pengalamannya
mengatakan, bahwa sebenarnya Mataram yang sedang tumbuh itu pasti sudah
dikepung. Tentu orang-orang yang tidak senang melihat perkembangan Mataram itu
mempunyai perhitungan yang luas, karena perkembangan Mataram tidak hanya datang
dari satu arah. Dari segala penjuru orang berdatangan dan membuat Mataram
menjadi semakin besar.
“Tetapi,”
berkata Agung Sedayu di dalam hatinya,
“karena daerah
di sekitar Mataram mempunyai kemungkinan yang berbeda dipandang dari bermacam-macam
segi, maka orang-orang yang tidak senang melihat perkembangan Mataram itu pun
tentu memperhitungkannya. Perhatian mereka yang terutama tentu terarah pada
perbatasan yang tidak nyata di antara pusat pemerintahan Pajang dan Mataram.
Sedang di perbatasan dengan daerah-daerah lain yang juga termasuk daerah
Pajang, tentu tidak akan banyak mendapat perhatian mereka.”
Namun itu
bukan berarti bahwa Mataram dapat mengabaikan daerah di sekitarnya. Karena
orang-orang itu dapat menimbulkan kesan tersendiri di perbatasan Mataram yang
sedang tumbuh ini. Seperti kesan yang mereka usahakan, bahwa orang-orang
Mataram telah mengacaukan Jati Anom maka mereka pun tentu akan dapat membuat
kesan yang lain di perbatasan antara Mataram yang sedang tumbuh itu dengan
daerah di sekitarnya. Dan tiba-tiba saja Agung Sedayu menjadi berdebar-debar.
Orang-orang yang tidak dikenal itu akan dapat menumbuhkan kesan, bahwa mereka
adalah orang-orang Menoreh yang tidak senang melihat Mataram tumbuh, sehingga
dengan demikian akan timbul permusuhan antara Mataram yang sedang tumbuh itu
dengan Menoreh yang sebenarnya tidak tahu menahu persoalannya.
“Mungkin Ki
Argapati sudah memperhitungkannya, sehingga ia merasa perlu untuk mengirimkan
peronda-peronda khusus di sepanjang Kali Praga. Peronda-peronda khusus itu
tentu bertugas untuk mencegah kesan yang ditimbulkan oleh orang-orang yang
tidak dikenal itu, bahwa seolah-olah mereka adalah orang-orang Menoreh,”
berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.
Dalam pada
itu, maka Prastawa yang kemudian menjadi termangu-mangu itu pun bertanya,
“Jadi apakah
kita akan pergi menembus hutan ini sekarang?”
“Kita menunggu
mereka yang sedang menguliti ular itu. Kita akan pergi bersama-sama,” jawab
Agung Sedayu.
“Tetapi,”
Prastawa menjadi ragu-ragu.
“Tetapi apa?”
bertanya Swandaru.
“Anak cengeng
itu semakin lama terasa semakin mengganggu saja,” sahut Prastawa.
Swandaru
tersenyum. Katanya,
“Semula aku
menjadi muak melihatnya, bahkan rasa-rasanya ada sesuatu yang membuat aku
membencinya. Terus terang, aku tidak senang pada sikapnya yang seakan-akan
terlampau cemburu meskipun hubungannya dengan Pandan Wangi tidak jelas. Namun
akhirnya aku tidak lagi merasa demikian. Aku justru menjadi kasihan kepadanya.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Aku pun
merasa kasihan. Aku tahu betapa tersiksanya dikejar oleh perasaan takut.
Apalagi mereka yang tidak mau menyadari bahwa dirinya telah dicengkam oleh
ketakutan.”
Prastawa
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Memang ada
juga perasaan itu di dalam hatiku. Tetapi bahwa ia sama sekali tidak mau
menyadari keadaan dirinya itulah yang kadang-kadang hampir membuat aku
kehilangan kekang atas diri sendiri. Sikapnya yang memerintah dan berkuasa
itulah yang sangat menjemukan.”
“Ia adalah
anak yang terlalu manja. Ia merasa bahwa dunia ini berkisar di seputarnya, dan
ia adalah pusat dari segala-galanya,” berkata Agung Sedayu.
“Aku juga anak
manja waktu itu,” berkata Prastawa kemudian,
“aku juga
menganggap dunia ini berputar untuk kepentinganku. Tetapi aku tidak menjadi
begitu dungu seperti Rudita.”
“Itulah
kelebihanmu,” jawab Swandaru.
“Ah,” Prastawa
pun berdesah. Sekilas teringat di kepalanya, bagaimana ia berhadapan dengan
Agung Sedayu sebagai lawan. Agung Sedayu pun masih seorang anak muda. Namun
sikapnya telah menunjukkan kemasakan jiwa meskipun belum seutuhnya.
Prastawa
menarik nafas dalam-dalam. Di luar kehendaknya bahwa tiba-tiba ia pun teringat
kepada seorang gadis yang waktu itu datang juga ke Menoreh. Gadis yang memiliki
pedang di lambung seperti Pandan Wangi. Dan gadis yang demikian memang sangat
menarik perhatian.
“Tetapi gadis
itu adalah bakal isteri Agung Sedayu,” berkata Prastawa di dalam hatinya.
Prastawa
menarik nafas dalam-dalam. Tidak seorang pun yang mengetahui, apakah yang
terbersit di dalam hatinya. Tidak seorang pun yang melihat, seperti apa yang
tampak oleh mata hati anak yang masih sangat muda itu. Sebenarnyalah bahwa
wajah dan sikap Sekar Mirah yang pernah dilihatnya mempunyai sesuatu yang
sangat menarik hatinya. Tetapi karena ia mengetahuinya bahwa Sekar Mirah itu
adalah bakal isteri Agung Sedayu dan adik Swandaru, maka ia tidak dapat
menyebut namanya, apalagi memujinya di hadapan anak-anak muda itu.
“Aku tidak
dapat berbuat begitu bodoh seperti Rudita. Meskipun ia tahu, bahwa Pandan Wangi
sudah dilamar oleh Swandaru namun ia masih saja bersikap demikian dungunya.
Untunglah, bahwa Swandaru yang biasanya berbuat apa saja tanpa dipikirkan
masak-masak, kali ini dapat mengerti sifat dan watak Rudita,” berkata Prastawa
di dalam hatinya.
Dalam pada
itu, para pengiring Pandan Wangi masih saja sibuk menguliti ular raksasa yang
sudah terbunuh itu. Ternyata bahwa pekerjaan itu tidak dapat diselesaikan dalam
waktu yang singkat, sedang Pandan Wangi tidak sampai hati meninggalkan mereka
di dalam kesibukan itu. Apabila tiba-tiba saja datang binatang buas yang
berbahaya, maka mereka tidak akan mempunyai banyak kesempatan untuk membela
diri.
“Apakah kita
akan menunggui mereka sampai selesai?” bertanya Rudita yang masih saja selalu
berada dekat Pandan Wangi.
“Ya. Kita akan
menunggui mereka sampai selesai.”
“Jika sampai
malam hari mereka masih belum selesai, apakah kita juga akan berada di sini
sampai malam hari?”
“Tentu, kita
akan menunggui mereka sampai kapan pun.”
“Ah,” desah
Rudita,
“kita harus
keluar dan hutan ini. Aku tidak mau berada di tempat ini sampai malam hari.
Nyamuknya terlampau banyak. Semutnya amat buas dan barangkali ada ular-ular
kecil yang justru berbisa. Tidak seperti ular raksasa itu. Meskipun ujudnya
begitu besar, tetapi ular semacam itu, sejenis ular sawah tentu tidak berbisa.
Aku tidak begitu takut kepada ular sawah betapa pun besarnya, tetapi terhadap
ular yang kecil aku justru menjadi cemas, karena kita tidak dapat berhadapan
langsung. Tahu-tahu kaki kita digigitnya dan kita tidak mendapat kesempatan
untuk melawan.”
Pandan Wangi
menarik nafas dalam-dalam. Ia dapat mengerti bahwa Prastawa pada suatu saat
hampir saja tidak dapat menahan diri. Kini ketika ular raksasa itu sudah
dikuliti, maka dapat saja ia mengatakan bahwa ia lebih takut kepada ular-ular
kecil yang berbisa daripada ular raksasa itu. Tetapi Pandan Wangi harus menahan
perasaannya. Rudita adalah tamu keluarganya. Ia adalah saudara dari saluran
darah ibunya yang sudah tidak ada lagi, sehingga karena itu, ia adalah orang
yang paling berkepentingan. Untunglah bahwa ayahnya cukup berjiwa besar.
Meskipun ibunya pernah mengecewakan ayahnya, namun ayahnya dapat menerima
setiap orang yang masih ada sangkut pautnya dengan ibunya seperti tidak pernah
terjadi sesuatu. Ayahnya menerima mereka dengan baik, karena ayahnya mengerti,
bahwa mereka tidak tahu-menahu tentang dosa yang ditanggungkan oleh ibunya
justru sebelum dirinya dilahirkan.
“Pandan Wangi,”
berkata Rudita kemudian,
“apakah
sebabnya justru kita harus menunggui orang ini?”
“Tentu kita
tidak akan sampai hati meninggalkan mereka bekerja di sini,” sahut Pandan
Wangi.
“Biarlah Agung
Sedayu dan Swandaru menunggui mereka bersama Prastawa. Kita dapat keluar dari
hutan ini dan beristirahat di perkemahan yang sudah disiapkan itu. Di sana ada
juga beberapa orang pengiring dan barang kali mereka sudah menyiapkan bekal
kita dan memasaknya.”
“Apakah kita
berdua akan keluar dari hutan ini tanpa menunggu yang lain?”
“Aku tidak memerlukan
mereka,” jawab Rudita,
“sebaiknya
kita keluar.”
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih bertanya,
“Jadi
bagaimana dengan Prastawa dan kedua anak-anak muda Sangkal Putung itu?”
“Biar saja
mereka berbuat sekehendak hati mereka. Aku ingin keluar.”
Pandan Wangi
termangu-mangu sejenak. Dipandanginya lebatnya hutan di sekitamya. Lalu
katanya,
“Kau masih
tetap menggenggam anak panahmu. Baiklah. Kita keluar berdua. Tetapi siapkan
senjata.”
“Kenapa?”
“Kau mendengar
aum harimau itu? Ia tentu mencium bau darah, sehingga mungkin sekali satu atau
dua ekor di antara mereka telah berada di sekitar kita saat ini.”
Wajah Rudita
tiba-tiba berubah. Dengan ragu-ragu ia bertanya,
“Apakah benar
begitu?”
“Mungkin
sekali.”
“Jangan
sekedar mungkin. Apakah benar ada harimau di sekitar kita.”
Pandan Wangi
menarik nafas dalam-dalam. Sekali lagi ia terlibat dalam pembicaraan yang sulit
dengan Rudita. Seperti yang pernah terjadi, maka ia tidak akan dapat lagi
menjawab dengan baik. Jika ia menjawab ya, maka ia tentu disangka sekedar
menakut-nakuti. Tetapi kalau ia menjawab tidak, maka anak itu tentu tidak
percaya karena hatinya sudah dicengkam oleh ketakutan. Karena itu, maka akhirnya
Pandan Wangi menjawab,
“Aku tidak
tahu. Hutan ini terlampau lebat, sehingga aku tidak dapat melihat, apa yang
tersembunyi di balik dedaunan dan pepohonan. Mungkin harimau itu ada, mungkin
pula tidak. Tanpa dapat menyebutkan kepastian apa pun.”
Rudita
memandang Pandan Wangi dengan tatapan mata yang aneh. Tetapi bagaimana pun juga
ia merasa, bahwa Pandan Wangi tidak mau menjawab pertanyaannya dengan baik.
Itulah sebabnya hatinya menjadi semakin kecut. Hampir saja ia menangis dan
bahkan berteriak. Tetapi ia masih tetap berusaha untuk bertahan. Seandainya di
dalam keadaan serupa itu ia ada di antara ayah dan ibunya, maka ia pasti sudah
memekik dan berteriak keras-keras tanpa menghiraukan perasaan ayah dan ibunya. Pandan
Wangi akhirnya menjadi iba juga melihat keadaan Rudita. Sebenarnyalah anak itu
memang pantas untuk dikasihani. Hidupnya dan hari depannya adalah suatu masa
yang sangat suram jika tidak terjadi perubahan yang mantap pada anak itu.
Umurnya yang sudah menginjak dewasa tidak berkembang sejalan dengan sifat,
watak, dan kematangan jiwanya. Sejenak Pandan Wangi masih berdiam diri, sedang
Rudita berusaha untuk menahan perasaannya yang bergejolak. Kini ia harus
melihat kenyataan bahwa di luar rumahnya, orang lain tidak dapat
diperlakukannya seperti ibunya, ayahnya, dan pelayan-pelayan di rumahnya. Di
luar rumah setiap orang mempunyai sikap sendiri, kepentingan sendiri, dan
tindakannya didasarkan kepada suatu keyakinan mereka masing-masing. Karena
itulah maka hati Rudita menjadi kuncup. Kini ia merasa terlampau kecil di
antara anak-anak muda yang lain. Yang ternyata memiliki kemampuan untuk berbuat
sesuatu, setidak-tidaknya untuk diri mereka masing-masing.
Dalam pada
itu, Pandan Wangi yang menjadi semakin iba itu pun berkata,
“Rudita,
bagaimana dengan kita sekarang?”
Rudita memandang
Pandan Wangi sejenak. Lalu,
“Terserah
kepadamu, Pandan Wangi.”
Pandan Wangi
mendekatinya. Katanya seperti kepada anak-anak yamg sedang merajuk,
“Kita tetap di
sini Rudita. Kita menunggu Kakang Agung Sedayu, Swandaru, dan Prastawa.”
Rudita
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Baiklah.
Tetapi bagaimana jika sampai malam hari?”
“Kita tetap di
sini. Kita membuat perapian di malam hari agar kita tidak diganggu oleh
binatang buas.”
“Apakah
binatang buas takut perapian?”
“Mereka tidak
mau mendekati api di malam hari.”
Rudita
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ditatapnya wajah Pandan Wangi sejenak seperti
anak-anak yang memelas menatap wajah ibunya yang marah.
“Sudahlah.
Jangan takut. Sebentar lagi kita akan mempunyai banyak kawan berbincang. Kakang
Agung Sedayu dan yang lain tidak akan pergi terlalu jauh.”
Sekali lagi
Rudita mengangguk. Pandan Wangi pun kemudian duduk di atas akar sebatang kayu
yang besar sambil memperhatikan pengiringnya yang sedang sibuk menguliti ular
raksasa itu. Salah seorang dari mereka sudah cukup berpengalaman. Tetapi yang
pernah dilakukan adalah menguliti ular yang belum sebesar ular yang terbunuh itu.
Dalam pada itu, sejenak kemudian seperti yang dikatakan oleh Pandan Wangi, maka
Agung Sedayu, Swandaru, dan Prastawa pun telah kembali ke tempat itu. Mereka
pun segera duduk beristirahat sambil melihat bagaimana ular raksasa itu sedang
dikupas.
Ternyata bahwa
ketiga orang pengiring Pandan Wangi itu dapat menyelesaikan pekerjaannya tidak
sampai malam hari. Dengan demikian maka mereka masih sempat keluar dari hutan
itu, dan pergi ke perkemahan mereka. Rudita hampir tidak dapat lagi berjalan
menembus gerumbul liar di hutan itu, karena badannya yang sangat lelah dan
lapar. Tetapi ia mencoba untuk menahannya tanpa mengatakan kepada orang lain,
meskipun Pandan Wangi sudah menduganya. Ketika mereka kemudian sampai ke
perkemahan mereka di luar hutan itu, maka Rudita pun langsung merebahkan
dirinya pada sebuah tikar yang memang sudah dibentangkan. Rasa-rasanya nafasnya
sudah hampir putus di perjalanan ketika mereka harus meloncati batang-batang
kayu yang rebah dan merunduk di bawah sulur-sulur kayu. Bagaimana pun juga
namun Rudita tetap bertahan untuk tidak menangis, meskipun matanya terasa
menjadi sangat panas. Dan ia sama sekali tidak mengerti, kenapa di dalam
keadaan seperti itu, Agung Sedayu, Swandaru, Prastawa, dan bahkan Pandan Wangi
yang seorang gadis, masih juga dapat sekali-sekali tertawa berkepanjangan.
“Kita
memerlukan air,” berkata Pandan Wangi tiba-tiba.
“Ada sebuah
mata air kecil di dekat tempat ini,” berkata seorang pengiringnya yang tinggal
di kemah mereka.
“Aku sudah
menemukannya ketika aku sedang mencari kayu bakar dan juga mencari air. Bahkan
ada sebuah saluran yang membuang luapan air dari sebuah sendang kecil pada mata
air itu.”
“Di mana?”
bertanya Pandan Wangi.
“Mumpung belum
gelap.”
“Pergilah ke
pohon besar yang tampak dari sini itu. Di bawah pohon itu terdapat sebuah mata
air.”
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil membenahi pedangnya ia menyandang busur
dan endong anak panahnya.
“Aku akan
pergi ke mata air itu sebentar.”
Tiba-tiba
Rudita yang sedang berbaring itu bangkit sambil berkata,
“Aku ikut
bersamamu Pandan Wangi.”
“Ah,” desis
Pandan Wangi, “kau nanti pergi bersama-sama dengan anak-anak muda yang lain.
Aku akan pergi sendiri lebih dahulu.”
“Tidak. Aku
pergi bersamamu.”
“Itu tidak
mungkin. Jika kau seorang bayi dan aku ibumu, maka kau dapat aku bawa. Tetapi
sekarang ini dalam keadaan ini tentu tidak.”
Rudita menjadi
kecewa, tetapi ia tidak dapat memaksanya, karena ia pun kemudian menyadari
keberatan Pandan Wangi. Sehingga karena itu dengan lemahnya ia berbaring
kembali di atas tikar itu. Namun hatinya justru menjadi semakin pahit. Tentu
tidak akan ada yang menghiraukannya selama Pandan Wangi tidak ada. Dan tentu
orang-orang yang ada itu justru akan menyakiti hatinya dengan sikap mereka yang
sengaja dibuat-buat. Tetapi ketika ia melihat Pandan Wangi berjalan sendiri sekali
lagi bangkit dan bertanya,
“Pandan Wangi.
Apakah kau akan pergi sendiri dalam keadaan yang berbahaya ini?”
Langkah Pandan
Wangi tertegun. Ia berpaling sejenak. Dipandanginya wajah Rudita yang cemas.
Kemudian sambil tersenyum ia berkata,
“Bukankah
belik itu hanya beberapa puluh langkah saja dari tempat ini? Hanya di bawah
pohon yang besar itu?”
“Tetapi
sebentar lagi hari akan menjadi gelap,” sahut Rudita,
“Itu lebih
baik.”
Rudita tidak
menyahut lagi. Dengan hati yang kecut ia pun berbaring kembali. Sekilas
dilihatnya anak-anak muda yang lain berdiri dalam satu lingkaran memandanginya.
“Mereka tentu
membicarakan aku,” berkata Rudita di dalam hatinya,
“mereka
menjadi iri melihat Pandan Wangi selalu bersamaku. Terutama anak yang gemuk
itu. Tetapi aku tidak peduli.”
Dan Rudita pun
kemudian benar-benar mencoba untuk tidak mempedulikan Agung Sedayu, Swandaru,
dan Prastawa yang memang sedang bercakap-cakap. Tetapi mereka sama sekali tidak
mempercakapkan Rudita. Mereka bahkan sedang memperhatikan Pandan Wangi yang
pergi sendiri.
“Jangan kalian
susul aku sebelum aku kembali,” berkata Pandan Wangi kepada ketiga anak-anak
muda itu.
Swandaru hanya
tertawa saja. Prastawa lah yang menyahut,
“Tetapi jangan
tidur di belik itu. Kami pun ingin segera membersihkan diri.”
Pandan Wangi
tidak menjawab. Ia berjalan terus melewati beberapa gerumbul perdu, dan hilang
di balik rimbunnya dedaunan. Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu, Swandaru, dan
Prastawa pun duduk pula di antara beberapa orang pengiring yang ingin juga
beristirahat, sementara mereka yang tidak ikut berburu ular raksasa, dengan
asyiknya mengamat-amati kulit ular yang dibawa oleh kawan-kawan mereka sambil
bertanya tidak henti-hentinya tentang perburuan yang mendebarkan itu.
Namun
tiba-tiba mereka yang sedang beristirahat itu pun terkejut ketika di kejauhan
terdengar aum seekor harimau. Hampir di luar sadarnya mereka berloncatan
berdiri, sementara Rudita pun bangkit pula dengan tergesa-gesa. Dengan cemas ia
berlari mendekati Agung Sedayu sambil bergumam dengan suara gemetar,
“Harimau,
apakah itu suara harimau?”
Agung Sedayu
mengangguk sambil menjawab,
“Ya. Itu suara
harimau.”
“Apakah
harimau itu akan datang kemari?”
Agung Sedayu
yang sudah mengenal serba sedikit tabiat dan sifat Rudita menjawab dengan
tegas,
“Tidak.
Harimau itu tidak menghadap kemari.”
“Darimana kau
tahu?”
“Dari getaran
suaranya. Harimau itu mengaum sambil membelakangi kita. Aku tahu pasti. Jika
harimau itu menghadap kita dan mencium bau kita, suaranya akan berbeda.”
Jawaban yang
seakan-akan pasti dan yakin itu telah berhasil membuat Rudita diam, meskipun
masih ada keragu-raguan di dalam hatinya. Namun Rudita sudah tidak bertanya
lagi, meskipun ia masih saja tetap berdiri di dekat Agung Sedayu. Swandaru dan Prastawa
yang mendengar jawaban Agung Sedayu itu terpaksa menahan senyum mereka sambil
membelakangi Rudita. Namun mereka menjadi heran juga bahwa Agung Sedayu sendiri
sama sekali tidak tertawa karena jawabannya itu. Tetapi sebenarnyalah, bahwa
ketiga anak-anak muda itu juga menjadi cemas. Mereka sama sekali tidak dapat
memperhitungkan, ke mana harimau itu akan pergi. Meskipun Agung Sedayu
seolah-olah menjawab dengan yakin, tetapi sebenarnya ia pun menjadi cemas
karena aum harimau itu.
“Pandan Wangi
tentu mendengarnya juga,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya,
“dan tentu ia
akan menyiapkan dirinya menghadapi setiap kemungkinan.”
Lebih dari
Agung Sedayu, adalah Swandaru. Tetapi ia tidak dapat melanggar pesan Pandan
Wangi, agar tidak seorang pun yang mendekatinya. Dan sudah barang tentu
Swandaru pun tidak akan mendekatinya selagi Pandan Wangi berada di belik itu.
Tetapi bagaimana jika seekor harimau sedang merunduk di belakang gadis yang
sedang membersihkan diri itu dan meletakkan senjatanya di tepi belik?
Beberapa
lamanya mereka berdiri termangu-mangu. Mereka tidak mendengar suara apa pun
lagi, sehingga langit menjadi samar-samar. Ketika mereka mulai menjadi cemas
karena Pandan Wangi masih belum tampak, maka Rudita pun mulai kebingungan.
Tetapi ia ragu-ragu untuk bertanya kepada anak-anak muda yang lain.
Namun akhirnya
ia tidak dapat menekan perasaannya lagi dan berkata,
“Kenapa kalian
tidak menengok Pandan Wangi?”
“O,” Prastawa
berpaling kepadanya,
“kami tidak
boleh mendekati belik itu sebelum ia datang.”
“Tetapi
bagaimana jika terjadi sesuatu atasnya?”
Sebelum
Prastawa menjawab, Agung Sedayu mendahuluinya,
“Kami juga
sedang berpikir, apakah yang dapat kami lakukan.”
“Pergilah.
Lihatlah Pandan Wangi.”
Swandaru
menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab agar ia tidak mengucapkan
kata-kata yang menyakitkan hati di luar sadarnya. Tetapi mereka tidak perlu
cemas terlalu lama. Sejenak kemudian mereka melihat Pandan Wangi berjalan di
sela-sela gerumbul liar di pinggir hutan itu.
“Kau terlalu
lama, Pandan Wangi,” Rudita lah yang mula-mula berteriak sebelum Pandan Wangi
mendekat.
Pandan Wangi
tidak segera menjawab. Baru setelah ia dekat ia berkata,
“Aku tidak
segera dapat membersihkan diri. Aum harimau itu agaknya tidak begitu jauh dari
belik itu.”
Rudita
mengerutkan keningnya. Dipandanginya Pandan Wangi sejenak, kemudian Agung
Sedayu, Swandaru, dan Prastawa berganti-ganti.
“Pandan Wangi,”
berkata Rudita kemudian,
“harimau itu
tidak akan datang ke mari.”
“Dari mana kau
tahu?” bertanya Pandan Wangi.
“Ia tidak
menghadap ke arah kita. Ia membelakangi kita.”
“Ya, darimana
kau tahu?”
“Dari getaran
suaranya. Jika ia menghadap kemari, getar suaranya tentu akan berbeda.”
Pandan Wangi
termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian mengangguk-angguk sambil berkata,
“Mungkin.
Mungkin kau dapat menangkap perbedaan itu. Tetapi aku tidak. Mudah-mudahan
harimau itu benar-benar tidak akan datang kemari. Maksudku, jika ia tidak
menghadap kemari, mudah-mudahan ia berjalan langsung maju sehingga justru akan
menjadi semakin jauh dari tempat ini.”
Prastawa
hampir tidak dapat menahan tertawanya. Karena itu maka tiba-tiba saja ia
berkata,
“Marilah, kita
pergi ke belik itu bersama-sama.”
Ternyata,
Swandaru yang sudah lebih dahulu melangkah menjauh menyahut,
“Marilah.
Mumpung belum terlampau malam.”
“Malam masih
belum mulai,” berkata Agung Sedayu.
“Sudah. Lihat,
dilangit sudah ada bintang.”
“O ya. Malam
memang sudah mulai. Marilah kita pergi ke belik.”
“Nah,” sahut
Pandan Wangi kemudian,
“bawalah
Rudita serta.”
“Tidak. Aku
tidak akan mandi,” jawab Rudita.
“O, kenapa?”
“Sudah
terlampau malam. Aku biasa mandi dengan air panas di rumah.”
Anak-anak muda
itu saling berpandangan sejenak. Sambil menarik nafas dalam-dalam Prastawa
berkata,
“Baiklah, jika
demikian kami akan pergi bertiga. Kemudian para pengiring pun akan bergantian
pergi ke belik itu sesudah kami.”
Pandan Wangi
hanya dapat menggigit bibirnya. Katanya kemudian,
“Jika kau
tidak akan pergi bersama mereka, baiklah, duduk sajalah di tikar itu.”
“Apakah kau
akan pergi lagi Pandan Wangi?” bertanya Rudita.
“Tidak, aku
tidak akan pergi.”
Demikianlah
maka Rudita dan Pandan Wangi itu pun kemudian duduk di atas tikar sambil
menghirup minuman hangat yang sudah disediakan oleh para pengiringnya. Bahkan
kemudian bekal makanan yang mereka bawa. Jadah yang dipanasi di atas bara dan
jenang alot yang manis.
“Pandan Wangi,”
bertanya Rudita tiba-tiba,
“kenapa kau
bersikap terlampau baik terhadap ketiga anak-anak bengal itu?”
Pandan Wangi
memandang anak muda itu sejenak, lalu jawabnya,
“Kita harus
baik terhadap siapa pun juga. Apalagi kepada tamu-tamu kita. Kita harus
menghormatinya apa pun yang sebenarnya ada di dalam hati.”
“Jadi apakah
sebenarnya kau membenci mereka, sehingga sikapmu itu hanya berpura-pura?”
“Ah,
pertanyaanmu aneh. Marilah kita berbicara tentang hal lain. Lihat, hutan itu
seperti hilang ditelan gelap.”
“Mengerikan
sekali. Tetapi bukankah di sini ada banyak orang?”
“Ya. Para
pengiring lengkap ada di sini.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar