Jilid 071 Halaman 2


Sejenak sekelompok orang-orang yang ingin melihat ular raksasa itu berdiri membeku. Mereka masih belum tahu pasti berapa jauh jarak jangkau kepala ular raksasa itu.
“Tinggallah kalian di sini,” berkata pengiring yang sudah banyak mengetahui seluk-beluk hutan itu,
“aku akan mencoba melihat, sampai di mana jauh jangkau kepala ular itu.”
“Hati-hatilah,” desis Pandan Wangi.
“Aku akan pergi bersamanya,” berkata Agung Sedayu.
“Aku juga,” berkata Swandaru.
“Tinggallah di sini,” sahut Agung Sedayu,
“jika terlalu banyak orang yang pergi, ular itu akan segera mengetahui kehadiran kita.”
Swandaru mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun mengangguk-anggukkan kepalanya.

Pengiring itu pun kemudian bergeser maju diikuti oleh Agung Sedayu. Mereka dengan hati-hati menyusup sebuah gerumbul kecil yang tidak begitu rimbun. Namun karena mereka masih belum dapat melihat kepala ular itu, maka mereka pun bergeser beberapa langkah lagi, dan berlindung di balik sebatang pohon.
“Firasatku mengatakan bahwa ular itu sudah mencium bau manusia.”
“Kita, maksudmu?”
“Ya, lihatlah gerak tubuhnya.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Kita mendekat lagi.”
Orang itu menganggukkan kepalanya. Namun ketika ia melangkah maju, maka Agung Sedayu pun segera menyambarnya. Untunglah bahwa Agung Sedayu sempat melakukannya. Ketika orang itu berguling karena tarikan tangan Agung Sedayu, ia masih sempat melihat sesuatu bergerak digerumbul beberapa langkah di hadapannya. Dengan tubuh yang gemetar orang itu meloncat berdiri dan bersama dengan Agung Sedayu melangkah surut ke belakang.
“Aku tidak mengira, bahwa kepala ular itu sudah begitu dekat,” berkata orang itu.
Agung Sedayu tidak menjawab. Ia melihat kepala itu mulai bergerak-gerak. Agaknya ular itu tidak saja ingin menunggu, tetapi ia berusaha untuk dapat mencapai mangsanya yang belum dapat ditangkapnya itu.
Sejenak keduanya berdiri termangu-mangu di balik sebatang pohon yang besar, meskipun mereka sadar, bahwa mereka tidak akan dapat bersembunyi apabila ular itu berusaha untuk maju. Tetapi agaknya kepala ular raksasa itu masih, saja terayun-ayun, meskipun kini agaknya lebih tertuju kepada kedua orang yang berusaha bersembunyi itu.
Agung Sedayu dan pengiring itu masih saja berdiri diam di tempatnya. Mereka sedang terpukau oleh kekaguman atas ular yang besar itu. Kepalanya yang sebesar kepala kerbau itu tampak kehitam-hitaman mengkilap seperti dilumuri minyak. Seperti ceritera yang pernah mereka dengar, bahwa sebenarnyalah pada telinga ular itu seakan-akan terlukis sebuah jamang berwarna kemerah-merahan. Matanya yang tajam bagaikan memancarkan cahaya yang kekuning-kuningan.
“Mengerikan sekali,” desis pengiring itu.
“Ya, mengerikan sekali,” sahut Agung Sedayu,
“ular itu tentu sangat berbahaya. Bukan saja bagi binatang-binatang hutan tetapi juga bagi seseorang yang kebetulan masuk ke dalam hutan ini. Tentu ular itu tidak selamanya bergayutan di pohon itu. Apabila ia sudah kenyang, ia akan pergi sehingga datang saatnya ia kelaparan lagi dan melakukan perbuatan yang serupa. Mungkin di tengah hutan ini, tetapi mungkin di tempat lain yang sering dikunjungi orang.”
“Jika kepalaku disambarnya,” berkata pengiring itu,
“maka aku tidak akan sempat berteriak. Tubuhku akan segera dilumatkan dengan belitan yang kuat, sehingga dengan tulang-tulang yang remuk dengan mudahnya aku akan ditelan.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia terpaksa melangkah surut sambil berkata,
“Ular itu agaknya akan menyerang kita.”
“Ya. Ular itu akan menyerang. Marilah kita pergi.”

Agung Sedayu menjadi ragu-ragu. Apakah ular yang berbahaya itu akan ditinggalkan begitu saja. Dalam keragu-raguan itu tiba-tiba Agung Sedayu terkejut karena ia mendengar suara Rudita,
“Jangan maju lagi. Jangan.”
“Gila,” geram Agung Sedayu,
“kenapa anak itu dibawa ke mari?”
Sebenarnyalah bahwa beberapa orang yang ditinggalkan oleh Agung Sedayu itu tidak sabar lagi menunggu. Apalagi Swandaru dan Pandan Wangi disentuh pula oleh perasaan cemas apabila sesuatu telah terjadi atas Agung Sedayu dan seorang pengiringnya.
“Jangan maju lagi,” desis Agung Sedayu.
Pandan Wangi menjadi termangu-mangu, sedang Rudita yang kemudian melihat juga kepala yang terayun-ayun itu menjadi gemetar seperti orang yang sedang kedinginan.
“Hati-hatilah, Kakang,” Swandaru tiba-tiba berteriak.
Agung Sedayu dan pengiring itu meloncat menjauh. Agaknya ular raksasa itu telah berusaha menjangkau kedua mangsanya itu. Namun karena ekornya masih harus berpegangan pada dahan kayu yang besar, maka ia masih belum berhasil mencapai mahluk yang masih agak asing baginya. Ternyata percakapan itu membuat ular raksasa itu semakin marah. Kepala yang mengerikan itu terayun-ayun semakin keras, sehingga batang pohon tempat ekornya berpegangan menjadi semakin keras bergetar. Tetapi bukan itu saja, ternyata ular itu pun berusaha semakin menjulur ke bawah. Ternyata ia berusaha mengendorkan belitan ekornya, agar kepalanya menjadi semakin panjang menjangkau mangsanya. Tetapi kemarahan ular raksasa itu telah mengguncang dahan pohon tempatnya bergantung semakin keras. Semakin lama semakin keras, sehingga pada suatu saat, dahan itu tidak mampu lagi menahan ayunan tubuh yang seakan-akan menjadi semakin berat. Yang terdengar kemudian adalah dahan itu mulai retak. Sejalan dengan itu, maka kepala ular itu pun menjadi semakin rendah, dan semakin dekat menjangkau Agung Sedayu dan pengiringnya.
“Kakang, dahan itu patah,” teriak Swandaru.
Dengan gerak naluriah, maka Agung Sedayu pun menjauh. Tetapi dengan gerak naluriah pula, Agung Sedayu, Swandaru, Pandan Wangi dan para pengiringnya telah menarik anak panah pada busurnya. Hampir berbareng dengan derak dahan yang patah itu, beberapa anak panah telah meluncur ke arah kepala ular raksasa itu. Namun ternyata bahwa kepala ular yang bergerak itu tidak terlalu mudah dikenainya. Anak panah yang meluncur dari busurnya itu tidak sempat mengenai sasarannya, kecuali anak panah Agung Sedayu, meskipun tidak tepat, karena anak panah itu menembus leher. Luka di leher ular itu, membuat ular raksasa itu menjadi seakan-akan gila. Tiba-tiba saja ular itu melonjak dan dahan yang patah itu pun berderak jatuh di tanah. Kesakitan yang amat samgat pada lehernya, dan tubuhnya yang justru tertindih dahan yang besar itu, membuatnya semakin gila. Ular itu bergulung-gulung seperti pusaran air. Dengan berdesis mengerikan ular itu berusaha melemparkan dahan yang besar yang menindih tubuhnya. Namun kesakitan pada lehernya bagaikan tersentuh bara besi baja. Untuk beberapa saat lamanya ular raksasa itu seakan-akan bergulat dengan dirinya sendiri. Namun dengan kemarahan yang luar biasa tiba-tiba kepalanya yang mengkilap itu tegak, dengan mulut ternganga. Ular itu bagaikan menyemburkan api dari dalam mulutnya. Rudita benar-benar sudah kehilangan keberaniannya sama sekali. Tubuhnya menggigil seperti terbenam di dalam air embun. Bahkan ketika kawan-kawannya bergeser surut, ia sudah tidak mampu lagi mengangkat kakinya.
“Rudita,” teriak Pandan Wangi.
“O,” Rudita mencoba melangkah. Tetapi kakinya terantuk sepotong akar yang menyilang di depannya. Tiba-tiba saja ia justru terjatuh tertelungkup.
Pada saat itulah ular raksasa yang bagaikan gila itu menjulurkan kepalanya. Tiba-tiba saja ia melihat sesuatu yang bergerak-gerak. Dan itu adalah Rudita yang sedang berusaha bangun.
“Rudita,” sekali lagi Pandan Wangi berteriak.
Tetapi kepala ular itu mulai bergerak, lidahnya mencuat seperti ujung api yang akan membakar tubuh Rudita yang lemah. Sekejap semua orang yang menyaksikannya dicengkam oleh perasaan tegang. Mata ular yang membara dan taringnya yang tajam, membuat setiap jantung bagaikan berhenti berdenyut. Namun tidak seorang pun yang menghendaki Rudita akan ditelan oleh ular yang sedang kesakitan itu. Karena itu, maka sekali lagi beberapa orang telah melepaskah anak panah. Tetapi anak panah itu tidak tepat mengenai sasarannya. Satu dua daripadanya berhasil mengenai leher ular itu dan menyusup di antara sisiknya yang bagaikan perisai besi.
“Rudita,” Pandan Wangi benar-benar menjadi cemas.
Pada saat yang paling berbahaya itu, tidak ada jalan lain kecuali mencoba mengusir ular itu dengan anak panah yang dilontarkan bagaikan hujan. Tetapi ular itu benar-benar sudah gila. Ia sama sekali tidak menjadi surut meskipun ada beberapa anak panah yang bergayutan pada sisiknya.

Tidak ada lagi harapan yang masih tersisa di hati Rudita. Ia sempat melihat kepala ular itu merunduk menghampirinya dengan mulut menganga, lidah yang belah dan taring yang tajam. Namun pada saat itu, Agung Sedayu masih melakukan usaha terakhir. Dengan cepatnya ia menyambar tombak pendek seorang pengiring yang sedang termangu-mangu. Dengan kemampuan bidiknya, ia melontarkan tombak itu selagi ular itu tidak sedang bergejolak seperti wajah air yang sedang mendidih. Ternyata usaha Agung Sedayu yang terakhir itu berhasil. Pada saatnya, tombak pendek itu meluncur tepat mengenai sebelah mata ular yang marah itu. Sekali terdengar ular itu berdesis keras sekali sambil menarik kepalanya cepat-cepat. Kemudian, sekali lagi ular itu bergumul dengan dirinya sendiri. Dengan tenaga raksasanya ia berusaha melepaskan diri dari cengkaman kesakitan. Tetapi ia tidak berhasil melepaskan diri dari ujung tombak dan beberapa anak panah yang mengenainya. Dalam keadaan itulah, maka sekali lagi Agung Sedayu menyerang dengan anak panahnya. Tetapi ia tidak berhasil mengenainya. Anak panahnya justru meloncat mengenai tubuh ular yang sedang mengamuk itu. Ketika ular itu sekali lagi menengadahkan kepalanya yang sudah mulai dilumuri darah dari luka-lukanya dan terutama dari sebelah matanya, Swandaru sudah sempat menarik Rudita dan menyeretnya menjauhi ular itu. Tetapi betapa garangnya ular raksasa itu, namun akhirnya lambat laun ia kehilangan tenaganya. Darahnya yang mencucur dari lukanya, dan ujung tombak yang justru semakin dalam menancap di kepalanya, mulai menyentuh otaknya. Akhirnya, badai yang berkecamuk itu menjadi semakin lama semakin reda. Perlahan-lahan namun pasti, maka akhirnya ular raksasa itu kehilangan segenap tenaganya dan bahkan kemudian kehilangan hidupnya. Tombak Agung Sedayu yang justru menjadi semakin dalam menghunjam di kepalanya, telah menghabisi nyawanya. Ular raksasa itu pun akhirnya telah mati dengan meninggalkan bekas yang sangat mengerikan. Dahan-dahan yang berpatahan. Bahkan pepohonan yang tidak begitu besar pun telah roboh karenanya. Sejenak Agung Sedayu, Swandaru, Pandan Wangi, dan Prastawa dan para pengiringnya berdiri termangu-mangu, sementara Rudita masih saja menggigil ketakutan. Tetapi ternyata bau darah yang khusus dari darah ular raksasa itu telah mengundang penghuni rimba itu yang lain. Dari kejauhan terdengar seekor harimau mengaum dengan dahsyatnya.
“Itulah dia,” tiba-tiba saja Prastawa berdesis.
“O,” suara Rudita gemetar hampir tidak terdengar,
“apa lagi yang akan datang?”
“Tentu seekor harimau yang mencium bau darah ini,” jawab Prastawa,
“bahkan mungkin tidak hanya seekor.”
“O,” Rudita menjadi semakin pucat.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata hutan di tepi Kali Praga ini isinya tidak kalah dahsyatnya dari Alas Mentaok, karena di Alas Mentaok yang paling berbahaya bukan saja binatangnya, tetapi perampok dan penyamunnya. Sejenak Agung Sedayu dan kawan-kawannya menjadi termangu-mangu. Di hadapan mereka adalah hutan yang menjadi porak poranda karena amukan ular yang menjadi gila itu. Sedang lamat-lamat mereka telah mendengar seekor harimau mengaum di kejauhan.

Karena itulah maka mereka masih tetap berdiri di tempatnya. Mereka telah siap menghadapi setiap kemungkinan. Meskipun ada dua ekor harimau yang berdatangan sekaligus, mereka tidak akan gentar. Tetapi suara harimau itu tidak terdengar lagi. Mungkin harimau yang mencium bau darah seekor ular, sama sekali tidak tertarik untuk mendekatinya. Sejenak mereka masih menunggu. Tetapi karena mereka tidak mendengar apa pun lagi, maka Agung Sedayu pun berkata,
“Harimau itu tidak datang ke mari.”
“Benar begitu?” bertanya Rudita dengan serta-merta.
“Aku kira begitu.”
“Jawablah yang baik. Jangan sekedar mengira. Aku memerlukan kepastian,” suaranya masih bergetar.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun agar anak itu tidak selalu ribut, maka ia pun menjawab,
“Aku pasti. Harimau itu tidak akan datang ke mari.”
Rudita memandang Agung Sedayu sejenak. Namun katanya,
“Tentu kau hanya ingin menenteramkan hatiku. Jawablah yang sebenarnya. Jawablah.”
Agung Sedayu menjadi bingung. Sejenak ia termangu-mangu memandang Pandan Wangi, seolah-olah ia ingin mendapat pertolongannya untuk menjawab pertanyaan Rudita yang kacau itu.
“Rudita,” ternyata Pandan Wangi dapat menanggapi tatapan mata Agung Sedayu itu sehingga didekatinya Rudita,
“memang harimau itu tidak akan datang ke mari.”
“Aku tahu, kalian hanya sekedar menenteramkan hatiku. Tetapi bagaimana sebenarnya? Apakah harimau itu datang ke mari nanti?”
“Tidak. Aku yakin tidak.”
“Jangan membohongi aku.”
“Baiklah,” berkata Pandan Wangi,
“menurut perhitungan kami, harimau itu tidak akan datang. Tetapi seandainya ia datang juga, kami sudah siap menghadapinya.”
“Katakan dengan pasti. Kalian selalu mempermainkan aku.”
“Rudita,” Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam,
“sudahlah. Jangan kau pikirkan harimau itu. Ia mempunyai kaki. Terserah ke mana ia akan pergi.”
Rudita memandang Pandan Wangi sejenak, lalu,
“Kau tidak menjawab sebaik-baiknya. Kenapa kalian bersikap demikian terhadapku?”
Ternyata Prastawa tidak dapat menahan hatinya sehingga ia menyahut,
“Biarlah harimau itu datang. Aku akan menunggunya. Dan memang kedatangannya itu sangat aku harapkan.”
“Kau gila,” teriak Rudita,
“kau ingin harimau itu datang kemari dan menerkam aku seperti yang hampir saja terjadi dengan ular raksasa itu?”
“Tentu tidak,” jawab Prastawa,
“aku akan membunuhnya. Atau kau sendiri harus membunuhnya.”

Rudita memandang Prastawa dengan wajah yang tegang. Tetapi sebelum ia berkata sesuatu, maka terdengar suara Swandaru melengking,
“He, ikut aku. Cepat.”
Semua orang memandang kepadanya. Dan sekali lagi Swandaru berkata,
“Cepat, ikut aku.”
Tanpa menunggu lagi ia berjalan tergesa-gesa mendekati kepala ular raksasa yang telah mati itu. Orang-orang lain yang tidak begitu mengerti maksudnya itu pun mengikutinya. Rudita yang ketakutan terpaksa melangkah juga dengan kaki gemetar mendekati ular raksasa itu. Ketika Swandaru sudah berada beberapa langkah dari ular itu, maka ia pun berhenti. Dilihatnya darah yang berceceran, sedang tombak pendek yang mengenai mata ular itu masih menancap di tempatnya.
“Mengerikan,” katanya,
“jika ular ini harus bergumul dengan seekor harimau, maka harimau itu tentu akan dapat diremukkan tulang-belulangnya.”
“Aku belum pernah mendengar ceritera, bahwa di dalam hutan ini ada seekor ular raksasa sebesar ini,” berkata pengiring Pandan Wangi,
“karena itu, sebenarnya aku agak takut juga menghadapinya. Untunglah Anakmas Agung Sedayu memiliki kemampuan bidik yang luar biasa, sehingga anak panahnya yang pertama yang mengenai leher ular itu, membuatnya kehilangan ketenangannya. Dan lontaran tombak yang tepat itu ternyata telah memaksa ular itu menyerah untuk selama-lamanya.”
“Suatu kebetulan,” jawab Agung Sedayu.
“Bukan suatu kebetulan,” sahut Swandaru,
“Kakang Agung Sedayu dapat membidik dan mengenai seekor burung yang sedang terbang. Aku pernah melihatnya, meskipun tidak setiap saat ia mau memamerkannya.”
“Mana mungkin,” tiba-tiba saja Rudita menyahut,
“tidak ada seorang pun yang mampu mengenai seekor burung yang sedang terbang.”
Prastawa berpaling kepadanya. Tetapi ia hanya menarik nafas dalam-dalam. Tidak ada seorang pun yang menjawab. Tetapi Swandaru lah yang berkata kemudian,
“Rudita. Ternyata keinginanmu terkabul.”
“Apa?” jawab Rudita.
“Hasil buruan kita yang pertama akan kau jadikan hadiah yang akan kau berikan kepada Pandan Wangi. Nah ternyata hasil buruan kita yang pertama adalah seekor ular naga raksasa. Tentu kau masih tetap pada pendirianmu, bahwa setiap hasil kita bersama adalah hakmu dan akan kau berikan sebagai hadiah kepadanya.”
Rudita tidak segera menyahut. Dipandanginya wajah Swandaru yang bulat itu dengan tatapan mata yang mengandung kebimbangan. Namun kemudian katanya,
“Apakah ular ini baik juga aku berikan sebagai hadiah?”
Swandaru lah yang justru terkejut mendengar pertanyaan itu. Namun ia menganggukkan kepalanya sambil menjawab,
“Ya. tentu. Kau tahu bahwa kulit ular raksasa ini mempunyai nilai yang besar.”
Rudita mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian,
“Baiklah. Kulit ular ini akan aku hadiahkan kepadamu Pandan Wangi.”
“Ah,” wajah Pandan Wangi menegang sejenak. Sikap Rudita benar-benar merupakan sebuah lelucon yang menjemukan. Namun demikian Pandan Wangi menjawab,
“Terima kasih Rudita. Aku akan membawanya pulang. Kulit ular itu tentu menjadi bahan tontonan. Jarang sekali kita melihat ular sebesar itu.”
“Jadi kau mau juga menerimanya?”
“Tentu, aku sangat berterima kasih. Aku lebih senang menerima kulit ular itu dari pada seekor kijang atau menjangan.”
“Aku senang sekali, bahwa kau mau menerimanya. Mudah-mudahan dapat menjadi kenang-kenangan sepanjang hidupmu.”

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia memandang Swandaru dengan sudut matanya, dilihatnya anak muda itu berpaling memandang kekejauhan, sedang Agung Sedayu sudah membelakanginya. Prastawa menarik nafas dalam-dalam sambi1 terbatuk-batuk.
“Anak ini benar-benar cengeng,” berkata Pandan Wangi di dalam hatinya,
“bukan saja di dalam sikap, tetapi ia benar-benar cengeng di dalam segala hal.”
Hampir saja Pandan Wangi tertawa tanpa dapat ditahan lagi ketika tiba-tiba saja ia mendengar Rudita bertanya,
“Tetapi bagaimana kita mendapatkan kulit ular itu?”
“Serahkan kepada para pengiring,” jawab Pandan Wangi,
“mereka akan dapat mengulitinya. Mereka sudah sering menguliti seekor ular yang besar sekalipun. Tetapi tidak sebesar ular yang terbunuh ini.”
Rudita mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara Pandan Wangi bertanya kepada ketiga pengiringnya,
“Kalian dapat menguliti ular itu?”
Mereka mengangguk sambil menjawab,
“Tentu.”
“Kulitilah. Kita bawa kulitnya pulang.”
Salah seorang dari mereka menjawab,
“Bagaimana dengan dagingnya?”
“Kita tidak memerlukannya. Biarlah dagingnya menjadi mangsa binatang hutan.”
Ketiga pengiringnya mengangguk-anggukkan kepala. Salah seorang berkata,
“Baiklah kita mengulitinya sekarang.”
“Lakukanlah,” berkata Pandan Wangi, “kami akan beristirahat.”
“Jadi kita akan keluar dari hutan ini?” bertanya Rudita dengan serta merta.
“Tidak, kami akan beristirahat di sini.”
“O, di sini?” Rudita menjadi kecewa.
Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi ia kemudian berkata kepada anak-anak muda yang lain,
“Kita beristirahat di sini untuk menunggu mereka menguliti ular ini.”
“Tentu memerlukan waktu yang lama,” jawab Prastawa, lalu ia pun bertanya,
“apakah tidak sebaiknya kita berbuat sesuatu yang lain?”
“Tidak,” jawab Pandan Wangi,
“kita menunggu mereka agar jika ada sejenis binatang yang lain datang ke tempat ini, mereka tidak menemui kesulitan.”

Prastawa mengangguk-anggukkan kepalanya Tetapi sebenarnya ia lebih senang menerobos masuk ke dalam jantung hutan yang liar itu daripada duduk beristirahat tanpa berbuat sesuatu. Namun seperti yang dikatakan oleh Pandan Wangi, orang-orang yang sedang sibuk menguliti ular itu memang tidak dapat ditinggalkannya. Dengan demikian maka mereka pun hanya sekedar beringsut dari tempatnya melihat-lihat bekas belukar yang rusak karana amukan ular raksasa itu. Dahan yang patah dan justru telah menimpa tubuh ular itu sendiri. Meskipun akhirnya ular itu dapat melepaskan diri dari himpitan dahan itu, namun luka-lukanya, apalagi sebatang tombak yang menancap tepat di matanya, dan bekas tindihan kayu itulah yang membuatnya kemudian tidak berhasil melepaskan diri dari maut. Namun demikian, ternyata Prastawa, Agung Sedayu, dan Swandaru bergeser beberapa langkah menjauhi tempat itu tanpa mereka sadari. Mereka melangkah satu-satu sambil melihat-lihat semak-semak yang hancur, pepohonan yang roboh dan dahan-dahan yang patah.
“Apa yang terdapat di dalam lebatnya hutan itu?” tiba-tiba saja Prastawa bertanya.
“Bermacam-macam,” jawab Swandaru,
“di antaranya seperti sudah kita lihat, ular raksasa ini, dan yang sudah kita dengar suaranya, beberapa ekor harimau.”
“Itu kurang menarik bagi kita,” Agung Sedayu-lah yang menyahut.
“Mungkin ada penghuni yang belum pernah kita lihat. Itulah yang penting, seperti yang dikatakan oleh orang-orang Menoreh.”
“Orang-orang bersenjata?” bertanya Prastawa.
Agung Sedayu menganggukkan kepalanya.
“Jika demikian, kita harus menembus hutan ini sampai ke tepian Kali Praga. Mungkin di bagian itulah kita akan dapat menemukan, setidak-tidaknya bekasnya sebagai bahan untuk melihat keseluruhan yang pernah terjadi di daerah ini.”
Sekali lagi Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang ia ingin benar melihat kemungkinan yang ada dari orang-orang yang tidak dikenal itu. Pengalamannya mengatakan, bahwa sebenarnya Mataram yang sedang tumbuh itu pasti sudah dikepung. Tentu orang-orang yang tidak senang melihat perkembangan Mataram itu mempunyai perhitungan yang luas, karena perkembangan Mataram tidak hanya datang dari satu arah. Dari segala penjuru orang berdatangan dan membuat Mataram menjadi semakin besar.
“Tetapi,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya,
“karena daerah di sekitar Mataram mempunyai kemungkinan yang berbeda dipandang dari bermacam-macam segi, maka orang-orang yang tidak senang melihat perkembangan Mataram itu pun tentu memperhitungkannya. Perhatian mereka yang terutama tentu terarah pada perbatasan yang tidak nyata di antara pusat pemerintahan Pajang dan Mataram. Sedang di perbatasan dengan daerah-daerah lain yang juga termasuk daerah Pajang, tentu tidak akan banyak mendapat perhatian mereka.”

Namun itu bukan berarti bahwa Mataram dapat mengabaikan daerah di sekitarnya. Karena orang-orang itu dapat menimbulkan kesan tersendiri di perbatasan Mataram yang sedang tumbuh ini. Seperti kesan yang mereka usahakan, bahwa orang-orang Mataram telah mengacaukan Jati Anom maka mereka pun tentu akan dapat membuat kesan yang lain di perbatasan antara Mataram yang sedang tumbuh itu dengan daerah di sekitarnya. Dan tiba-tiba saja Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Orang-orang yang tidak dikenal itu akan dapat menumbuhkan kesan, bahwa mereka adalah orang-orang Menoreh yang tidak senang melihat Mataram tumbuh, sehingga dengan demikian akan timbul permusuhan antara Mataram yang sedang tumbuh itu dengan Menoreh yang sebenarnya tidak tahu menahu persoalannya.
“Mungkin Ki Argapati sudah memperhitungkannya, sehingga ia merasa perlu untuk mengirimkan peronda-peronda khusus di sepanjang Kali Praga. Peronda-peronda khusus itu tentu bertugas untuk mencegah kesan yang ditimbulkan oleh orang-orang yang tidak dikenal itu, bahwa seolah-olah mereka adalah orang-orang Menoreh,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.
Dalam pada itu, maka Prastawa yang kemudian menjadi termangu-mangu itu pun bertanya,
“Jadi apakah kita akan pergi menembus hutan ini sekarang?”
“Kita menunggu mereka yang sedang menguliti ular itu. Kita akan pergi bersama-sama,” jawab Agung Sedayu.
“Tetapi,” Prastawa menjadi ragu-ragu.
“Tetapi apa?” bertanya Swandaru.
“Anak cengeng itu semakin lama terasa semakin mengganggu saja,” sahut Prastawa.
Swandaru tersenyum. Katanya,
“Semula aku menjadi muak melihatnya, bahkan rasa-rasanya ada sesuatu yang membuat aku membencinya. Terus terang, aku tidak senang pada sikapnya yang seakan-akan terlampau cemburu meskipun hubungannya dengan Pandan Wangi tidak jelas. Namun akhirnya aku tidak lagi merasa demikian. Aku justru menjadi kasihan kepadanya.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Aku pun merasa kasihan. Aku tahu betapa tersiksanya dikejar oleh perasaan takut. Apalagi mereka yang tidak mau menyadari bahwa dirinya telah dicengkam oleh ketakutan.”
Prastawa mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Memang ada juga perasaan itu di dalam hatiku. Tetapi bahwa ia sama sekali tidak mau menyadari keadaan dirinya itulah yang kadang-kadang hampir membuat aku kehilangan kekang atas diri sendiri. Sikapnya yang memerintah dan berkuasa itulah yang sangat menjemukan.”
“Ia adalah anak yang terlalu manja. Ia merasa bahwa dunia ini berkisar di seputarnya, dan ia adalah pusat dari segala-galanya,” berkata Agung Sedayu.
“Aku juga anak manja waktu itu,” berkata Prastawa kemudian,
“aku juga menganggap dunia ini berputar untuk kepentinganku. Tetapi aku tidak menjadi begitu dungu seperti Rudita.”
“Itulah kelebihanmu,” jawab Swandaru.
“Ah,” Prastawa pun berdesah. Sekilas teringat di kepalanya, bagaimana ia berhadapan dengan Agung Sedayu sebagai lawan. Agung Sedayu pun masih seorang anak muda. Namun sikapnya telah menunjukkan kemasakan jiwa meskipun belum seutuhnya.

Prastawa menarik nafas dalam-dalam. Di luar kehendaknya bahwa tiba-tiba ia pun teringat kepada seorang gadis yang waktu itu datang juga ke Menoreh. Gadis yang memiliki pedang di lambung seperti Pandan Wangi. Dan gadis yang demikian memang sangat menarik perhatian.
“Tetapi gadis itu adalah bakal isteri Agung Sedayu,” berkata Prastawa di dalam hatinya.
Prastawa menarik nafas dalam-dalam. Tidak seorang pun yang mengetahui, apakah yang terbersit di dalam hatinya. Tidak seorang pun yang melihat, seperti apa yang tampak oleh mata hati anak yang masih sangat muda itu. Sebenarnyalah bahwa wajah dan sikap Sekar Mirah yang pernah dilihatnya mempunyai sesuatu yang sangat menarik hatinya. Tetapi karena ia mengetahuinya bahwa Sekar Mirah itu adalah bakal isteri Agung Sedayu dan adik Swandaru, maka ia tidak dapat menyebut namanya, apalagi memujinya di hadapan anak-anak muda itu.
“Aku tidak dapat berbuat begitu bodoh seperti Rudita. Meskipun ia tahu, bahwa Pandan Wangi sudah dilamar oleh Swandaru namun ia masih saja bersikap demikian dungunya. Untunglah, bahwa Swandaru yang biasanya berbuat apa saja tanpa dipikirkan masak-masak, kali ini dapat mengerti sifat dan watak Rudita,” berkata Prastawa di dalam hatinya.
Dalam pada itu, para pengiring Pandan Wangi masih saja sibuk menguliti ular raksasa yang sudah terbunuh itu. Ternyata bahwa pekerjaan itu tidak dapat diselesaikan dalam waktu yang singkat, sedang Pandan Wangi tidak sampai hati meninggalkan mereka di dalam kesibukan itu. Apabila tiba-tiba saja datang binatang buas yang berbahaya, maka mereka tidak akan mempunyai banyak kesempatan untuk membela diri.
“Apakah kita akan menunggui mereka sampai selesai?” bertanya Rudita yang masih saja selalu berada dekat Pandan Wangi.
“Ya. Kita akan menunggui mereka sampai selesai.”
“Jika sampai malam hari mereka masih belum selesai, apakah kita juga akan berada di sini sampai malam hari?”
“Tentu, kita akan menunggui mereka sampai kapan pun.”
“Ah,” desah Rudita,
“kita harus keluar dan hutan ini. Aku tidak mau berada di tempat ini sampai malam hari. Nyamuknya terlampau banyak. Semutnya amat buas dan barangkali ada ular-ular kecil yang justru berbisa. Tidak seperti ular raksasa itu. Meskipun ujudnya begitu besar, tetapi ular semacam itu, sejenis ular sawah tentu tidak berbisa. Aku tidak begitu takut kepada ular sawah betapa pun besarnya, tetapi terhadap ular yang kecil aku justru menjadi cemas, karena kita tidak dapat berhadapan langsung. Tahu-tahu kaki kita digigitnya dan kita tidak mendapat kesempatan untuk melawan.”

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Ia dapat mengerti bahwa Prastawa pada suatu saat hampir saja tidak dapat menahan diri. Kini ketika ular raksasa itu sudah dikuliti, maka dapat saja ia mengatakan bahwa ia lebih takut kepada ular-ular kecil yang berbisa daripada ular raksasa itu. Tetapi Pandan Wangi harus menahan perasaannya. Rudita adalah tamu keluarganya. Ia adalah saudara dari saluran darah ibunya yang sudah tidak ada lagi, sehingga karena itu, ia adalah orang yang paling berkepentingan. Untunglah bahwa ayahnya cukup berjiwa besar. Meskipun ibunya pernah mengecewakan ayahnya, namun ayahnya dapat menerima setiap orang yang masih ada sangkut pautnya dengan ibunya seperti tidak pernah terjadi sesuatu. Ayahnya menerima mereka dengan baik, karena ayahnya mengerti, bahwa mereka tidak tahu-menahu tentang dosa yang ditanggungkan oleh ibunya justru sebelum dirinya dilahirkan.
“Pandan Wangi,” berkata Rudita kemudian,
“apakah sebabnya justru kita harus menunggui orang ini?”
“Tentu kita tidak akan sampai hati meninggalkan mereka bekerja di sini,” sahut Pandan Wangi.
“Biarlah Agung Sedayu dan Swandaru menunggui mereka bersama Prastawa. Kita dapat keluar dari hutan ini dan beristirahat di perkemahan yang sudah disiapkan itu. Di sana ada juga beberapa orang pengiring dan barang kali mereka sudah menyiapkan bekal kita dan memasaknya.”
“Apakah kita berdua akan keluar dari hutan ini tanpa menunggu yang lain?”
“Aku tidak memerlukan mereka,” jawab Rudita,
“sebaiknya kita keluar.”
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih bertanya,
“Jadi bagaimana dengan Prastawa dan kedua anak-anak muda Sangkal Putung itu?”
“Biar saja mereka berbuat sekehendak hati mereka. Aku ingin keluar.”
Pandan Wangi termangu-mangu sejenak. Dipandanginya lebatnya hutan di sekitamya. Lalu katanya,
“Kau masih tetap menggenggam anak panahmu. Baiklah. Kita keluar berdua. Tetapi siapkan senjata.”
“Kenapa?”
“Kau mendengar aum harimau itu? Ia tentu mencium bau darah, sehingga mungkin sekali satu atau dua ekor di antara mereka telah berada di sekitar kita saat ini.”
Wajah Rudita tiba-tiba berubah. Dengan ragu-ragu ia bertanya,
“Apakah benar begitu?”
“Mungkin sekali.”
“Jangan sekedar mungkin. Apakah benar ada harimau di sekitar kita.”
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Sekali lagi ia terlibat dalam pembicaraan yang sulit dengan Rudita. Seperti yang pernah terjadi, maka ia tidak akan dapat lagi menjawab dengan baik. Jika ia menjawab ya, maka ia tentu disangka sekedar menakut-nakuti. Tetapi kalau ia menjawab tidak, maka anak itu tentu tidak percaya karena hatinya sudah dicengkam oleh ketakutan. Karena itu, maka akhirnya Pandan Wangi menjawab,
“Aku tidak tahu. Hutan ini terlampau lebat, sehingga aku tidak dapat melihat, apa yang tersembunyi di balik dedaunan dan pepohonan. Mungkin harimau itu ada, mungkin pula tidak. Tanpa dapat menyebutkan kepastian apa pun.”

Rudita memandang Pandan Wangi dengan tatapan mata yang aneh. Tetapi bagaimana pun juga ia merasa, bahwa Pandan Wangi tidak mau menjawab pertanyaannya dengan baik. Itulah sebabnya hatinya menjadi semakin kecut. Hampir saja ia menangis dan bahkan berteriak. Tetapi ia masih tetap berusaha untuk bertahan. Seandainya di dalam keadaan serupa itu ia ada di antara ayah dan ibunya, maka ia pasti sudah memekik dan berteriak keras-keras tanpa menghiraukan perasaan ayah dan ibunya. Pandan Wangi akhirnya menjadi iba juga melihat keadaan Rudita. Sebenarnyalah anak itu memang pantas untuk dikasihani. Hidupnya dan hari depannya adalah suatu masa yang sangat suram jika tidak terjadi perubahan yang mantap pada anak itu. Umurnya yang sudah menginjak dewasa tidak berkembang sejalan dengan sifat, watak, dan kematangan jiwanya. Sejenak Pandan Wangi masih berdiam diri, sedang Rudita berusaha untuk menahan perasaannya yang bergejolak. Kini ia harus melihat kenyataan bahwa di luar rumahnya, orang lain tidak dapat diperlakukannya seperti ibunya, ayahnya, dan pelayan-pelayan di rumahnya. Di luar rumah setiap orang mempunyai sikap sendiri, kepentingan sendiri, dan tindakannya didasarkan kepada suatu keyakinan mereka masing-masing. Karena itulah maka hati Rudita menjadi kuncup. Kini ia merasa terlampau kecil di antara anak-anak muda yang lain. Yang ternyata memiliki kemampuan untuk berbuat sesuatu, setidak-tidaknya untuk diri mereka masing-masing.
Dalam pada itu, Pandan Wangi yang menjadi semakin iba itu pun berkata,
“Rudita, bagaimana dengan kita sekarang?”
Rudita memandang Pandan Wangi sejenak. Lalu,
“Terserah kepadamu, Pandan Wangi.”
Pandan Wangi mendekatinya. Katanya seperti kepada anak-anak yamg sedang merajuk,
“Kita tetap di sini Rudita. Kita menunggu Kakang Agung Sedayu, Swandaru, dan Prastawa.”
Rudita mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Baiklah. Tetapi bagaimana jika sampai malam hari?”
“Kita tetap di sini. Kita membuat perapian di malam hari agar kita tidak diganggu oleh binatang buas.”
“Apakah binatang buas takut perapian?”
“Mereka tidak mau mendekati api di malam hari.”
Rudita mengangguk-anggukkan kepalanya. Ditatapnya wajah Pandan Wangi sejenak seperti anak-anak yang memelas menatap wajah ibunya yang marah.
“Sudahlah. Jangan takut. Sebentar lagi kita akan mempunyai banyak kawan berbincang. Kakang Agung Sedayu dan yang lain tidak akan pergi terlalu jauh.”
Sekali lagi Rudita mengangguk. Pandan Wangi pun kemudian duduk di atas akar sebatang kayu yang besar sambil memperhatikan pengiringnya yang sedang sibuk menguliti ular raksasa itu. Salah seorang dari mereka sudah cukup berpengalaman. Tetapi yang pernah dilakukan adalah menguliti ular yang belum sebesar ular yang terbunuh itu. Dalam pada itu, sejenak kemudian seperti yang dikatakan oleh Pandan Wangi, maka Agung Sedayu, Swandaru, dan Prastawa pun telah kembali ke tempat itu. Mereka pun segera duduk beristirahat sambil melihat bagaimana ular raksasa itu sedang dikupas.

Ternyata bahwa ketiga orang pengiring Pandan Wangi itu dapat menyelesaikan pekerjaannya tidak sampai malam hari. Dengan demikian maka mereka masih sempat keluar dari hutan itu, dan pergi ke perkemahan mereka. Rudita hampir tidak dapat lagi berjalan menembus gerumbul liar di hutan itu, karena badannya yang sangat lelah dan lapar. Tetapi ia mencoba untuk menahannya tanpa mengatakan kepada orang lain, meskipun Pandan Wangi sudah menduganya. Ketika mereka kemudian sampai ke perkemahan mereka di luar hutan itu, maka Rudita pun langsung merebahkan dirinya pada sebuah tikar yang memang sudah dibentangkan. Rasa-rasanya nafasnya sudah hampir putus di perjalanan ketika mereka harus meloncati batang-batang kayu yang rebah dan merunduk di bawah sulur-sulur kayu. Bagaimana pun juga namun Rudita tetap bertahan untuk tidak menangis, meskipun matanya terasa menjadi sangat panas. Dan ia sama sekali tidak mengerti, kenapa di dalam keadaan seperti itu, Agung Sedayu, Swandaru, Prastawa, dan bahkan Pandan Wangi yang seorang gadis, masih juga dapat sekali-sekali tertawa berkepanjangan.
“Kita memerlukan air,” berkata Pandan Wangi tiba-tiba.
“Ada sebuah mata air kecil di dekat tempat ini,” berkata seorang pengiringnya yang tinggal di kemah mereka.
“Aku sudah menemukannya ketika aku sedang mencari kayu bakar dan juga mencari air. Bahkan ada sebuah saluran yang membuang luapan air dari sebuah sendang kecil pada mata air itu.”
“Di mana?” bertanya Pandan Wangi.
“Mumpung belum gelap.”
“Pergilah ke pohon besar yang tampak dari sini itu. Di bawah pohon itu terdapat sebuah mata air.”
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil membenahi pedangnya ia menyandang busur dan endong anak panahnya.
“Aku akan pergi ke mata air itu sebentar.”
Tiba-tiba Rudita yang sedang berbaring itu bangkit sambil berkata,
“Aku ikut bersamamu Pandan Wangi.”
“Ah,” desis Pandan Wangi, “kau nanti pergi bersama-sama dengan anak-anak muda yang lain. Aku akan pergi sendiri lebih dahulu.”
“Tidak. Aku pergi bersamamu.”
“Itu tidak mungkin. Jika kau seorang bayi dan aku ibumu, maka kau dapat aku bawa. Tetapi sekarang ini dalam keadaan ini tentu tidak.”

Rudita menjadi kecewa, tetapi ia tidak dapat memaksanya, karena ia pun kemudian menyadari keberatan Pandan Wangi. Sehingga karena itu dengan lemahnya ia berbaring kembali di atas tikar itu. Namun hatinya justru menjadi semakin pahit. Tentu tidak akan ada yang menghiraukannya selama Pandan Wangi tidak ada. Dan tentu orang-orang yang ada itu justru akan menyakiti hatinya dengan sikap mereka yang sengaja dibuat-buat. Tetapi ketika ia melihat Pandan Wangi berjalan sendiri sekali lagi bangkit dan bertanya,
“Pandan Wangi. Apakah kau akan pergi sendiri dalam keadaan yang berbahaya ini?”
Langkah Pandan Wangi tertegun. Ia berpaling sejenak. Dipandanginya wajah Rudita yang cemas. Kemudian sambil tersenyum ia berkata,
“Bukankah belik itu hanya beberapa puluh langkah saja dari tempat ini? Hanya di bawah pohon yang besar itu?”
“Tetapi sebentar lagi hari akan menjadi gelap,” sahut Rudita,
“Itu lebih baik.”
Rudita tidak menyahut lagi. Dengan hati yang kecut ia pun berbaring kembali. Sekilas dilihatnya anak-anak muda yang lain berdiri dalam satu lingkaran memandanginya.
“Mereka tentu membicarakan aku,” berkata Rudita di dalam hatinya,
“mereka menjadi iri melihat Pandan Wangi selalu bersamaku. Terutama anak yang gemuk itu. Tetapi aku tidak peduli.”
Dan Rudita pun kemudian benar-benar mencoba untuk tidak mempedulikan Agung Sedayu, Swandaru, dan Prastawa yang memang sedang bercakap-cakap. Tetapi mereka sama sekali tidak mempercakapkan Rudita. Mereka bahkan sedang memperhatikan Pandan Wangi yang pergi sendiri.
“Jangan kalian susul aku sebelum aku kembali,” berkata Pandan Wangi kepada ketiga anak-anak muda itu.
Swandaru hanya tertawa saja. Prastawa lah yang menyahut,
“Tetapi jangan tidur di belik itu. Kami pun ingin segera membersihkan diri.”
Pandan Wangi tidak menjawab. Ia berjalan terus melewati beberapa gerumbul perdu, dan hilang di balik rimbunnya dedaunan. Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu, Swandaru, dan Prastawa pun duduk pula di antara beberapa orang pengiring yang ingin juga beristirahat, sementara mereka yang tidak ikut berburu ular raksasa, dengan asyiknya mengamat-amati kulit ular yang dibawa oleh kawan-kawan mereka sambil bertanya tidak henti-hentinya tentang perburuan yang mendebarkan itu.

Namun tiba-tiba mereka yang sedang beristirahat itu pun terkejut ketika di kejauhan terdengar aum seekor harimau. Hampir di luar sadarnya mereka berloncatan berdiri, sementara Rudita pun bangkit pula dengan tergesa-gesa. Dengan cemas ia berlari mendekati Agung Sedayu sambil bergumam dengan suara gemetar,
“Harimau, apakah itu suara harimau?”
Agung Sedayu mengangguk sambil menjawab,
“Ya. Itu suara harimau.”
“Apakah harimau itu akan datang kemari?”
Agung Sedayu yang sudah mengenal serba sedikit tabiat dan sifat Rudita menjawab dengan tegas,
“Tidak. Harimau itu tidak menghadap kemari.”
“Darimana kau tahu?”
“Dari getaran suaranya. Harimau itu mengaum sambil membelakangi kita. Aku tahu pasti. Jika harimau itu menghadap kita dan mencium bau kita, suaranya akan berbeda.”
Jawaban yang seakan-akan pasti dan yakin itu telah berhasil membuat Rudita diam, meskipun masih ada keragu-raguan di dalam hatinya. Namun Rudita sudah tidak bertanya lagi, meskipun ia masih saja tetap berdiri di dekat Agung Sedayu. Swandaru dan Prastawa yang mendengar jawaban Agung Sedayu itu terpaksa menahan senyum mereka sambil membelakangi Rudita. Namun mereka menjadi heran juga bahwa Agung Sedayu sendiri sama sekali tidak tertawa karena jawabannya itu. Tetapi sebenarnyalah, bahwa ketiga anak-anak muda itu juga menjadi cemas. Mereka sama sekali tidak dapat memperhitungkan, ke mana harimau itu akan pergi. Meskipun Agung Sedayu seolah-olah menjawab dengan yakin, tetapi sebenarnya ia pun menjadi cemas karena aum harimau itu.
“Pandan Wangi tentu mendengarnya juga,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya,
“dan tentu ia akan menyiapkan dirinya menghadapi setiap kemungkinan.”
Lebih dari Agung Sedayu, adalah Swandaru. Tetapi ia tidak dapat melanggar pesan Pandan Wangi, agar tidak seorang pun yang mendekatinya. Dan sudah barang tentu Swandaru pun tidak akan mendekatinya selagi Pandan Wangi berada di belik itu. Tetapi bagaimana jika seekor harimau sedang merunduk di belakang gadis yang sedang membersihkan diri itu dan meletakkan senjatanya di tepi belik?

Beberapa lamanya mereka berdiri termangu-mangu. Mereka tidak mendengar suara apa pun lagi, sehingga langit menjadi samar-samar. Ketika mereka mulai menjadi cemas karena Pandan Wangi masih belum tampak, maka Rudita pun mulai kebingungan. Tetapi ia ragu-ragu untuk bertanya kepada anak-anak muda yang lain.
Namun akhirnya ia tidak dapat menekan perasaannya lagi dan berkata,
“Kenapa kalian tidak menengok Pandan Wangi?”
“O,” Prastawa berpaling kepadanya,
“kami tidak boleh mendekati belik itu sebelum ia datang.”
“Tetapi bagaimana jika terjadi sesuatu atasnya?”
Sebelum Prastawa menjawab, Agung Sedayu mendahuluinya,
“Kami juga sedang berpikir, apakah yang dapat kami lakukan.”
“Pergilah. Lihatlah Pandan Wangi.”
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab agar ia tidak mengucapkan kata-kata yang menyakitkan hati di luar sadarnya. Tetapi mereka tidak perlu cemas terlalu lama. Sejenak kemudian mereka melihat Pandan Wangi berjalan di sela-sela gerumbul liar di pinggir hutan itu.
“Kau terlalu lama, Pandan Wangi,” Rudita lah yang mula-mula berteriak sebelum Pandan Wangi mendekat.
Pandan Wangi tidak segera menjawab. Baru setelah ia dekat ia berkata,
“Aku tidak segera dapat membersihkan diri. Aum harimau itu agaknya tidak begitu jauh dari belik itu.”
Rudita mengerutkan keningnya. Dipandanginya Pandan Wangi sejenak, kemudian Agung Sedayu, Swandaru, dan Prastawa berganti-ganti.
“Pandan Wangi,” berkata Rudita kemudian,
“harimau itu tidak akan datang ke mari.”
“Dari mana kau tahu?” bertanya Pandan Wangi.
“Ia tidak menghadap ke arah kita. Ia membelakangi kita.”
“Ya, darimana kau tahu?”
“Dari getaran suaranya. Jika ia menghadap kemari, getar suaranya tentu akan berbeda.”
Pandan Wangi termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian mengangguk-angguk sambil berkata,
“Mungkin. Mungkin kau dapat menangkap perbedaan itu. Tetapi aku tidak. Mudah-mudahan harimau itu benar-benar tidak akan datang kemari. Maksudku, jika ia tidak menghadap kemari, mudah-mudahan ia berjalan langsung maju sehingga justru akan menjadi semakin jauh dari tempat ini.”

Prastawa hampir tidak dapat menahan tertawanya. Karena itu maka tiba-tiba saja ia berkata,
“Marilah, kita pergi ke belik itu bersama-sama.”
Ternyata, Swandaru yang sudah lebih dahulu melangkah menjauh menyahut,
“Marilah. Mumpung belum terlampau malam.”
“Malam masih belum mulai,” berkata Agung Sedayu.
“Sudah. Lihat, dilangit sudah ada bintang.”
“O ya. Malam memang sudah mulai. Marilah kita pergi ke belik.”
“Nah,” sahut Pandan Wangi kemudian,
“bawalah Rudita serta.”
“Tidak. Aku tidak akan mandi,” jawab Rudita.
“O, kenapa?”
“Sudah terlampau malam. Aku biasa mandi dengan air panas di rumah.”
Anak-anak muda itu saling berpandangan sejenak. Sambil menarik nafas dalam-dalam Prastawa berkata,
“Baiklah, jika demikian kami akan pergi bertiga. Kemudian para pengiring pun akan bergantian pergi ke belik itu sesudah kami.”
Pandan Wangi hanya dapat menggigit bibirnya. Katanya kemudian,
“Jika kau tidak akan pergi bersama mereka, baiklah, duduk sajalah di tikar itu.”
“Apakah kau akan pergi lagi Pandan Wangi?” bertanya Rudita.
“Tidak, aku tidak akan pergi.”
Demikianlah maka Rudita dan Pandan Wangi itu pun kemudian duduk di atas tikar sambil menghirup minuman hangat yang sudah disediakan oleh para pengiringnya. Bahkan kemudian bekal makanan yang mereka bawa. Jadah yang dipanasi di atas bara dan jenang alot yang manis.
“Pandan Wangi,” bertanya Rudita tiba-tiba,
“kenapa kau bersikap terlampau baik terhadap ketiga anak-anak bengal itu?”
Pandan Wangi memandang anak muda itu sejenak, lalu jawabnya,
“Kita harus baik terhadap siapa pun juga. Apalagi kepada tamu-tamu kita. Kita harus menghormatinya apa pun yang sebenarnya ada di dalam hati.”
“Jadi apakah sebenarnya kau membenci mereka, sehingga sikapmu itu hanya berpura-pura?”
“Ah, pertanyaanmu aneh. Marilah kita berbicara tentang hal lain. Lihat, hutan itu seperti hilang ditelan gelap.”
“Mengerikan sekali. Tetapi bukankah di sini ada banyak orang?”
“Ya. Para pengiring lengkap ada di sini.”


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar