Rudita menarik nafas dalam-dalam. Lalu,
“Tetapi
bagaimanakah sebenarnya tanggapanmu terhadap Swandaru? Bukankah Swandaru itu
melamarmu?”
Meskipun bagi
Pandan Wangi, Rudita tidak lebih dari seorang anak kecil meskipun ujudnya
besar, namun sepercik warna merah telah membayang di pipinya. Hanya karena
keremangan malam yang baru saja menyelubungi Tanah Perdikan Menoreh, maka warna
itu tidak tampak oleh Rudita.
Apalagi ketika
Rudita itu kemudian mendesak,
“Bagaimana,
Pandan Wangi?”
Karena gadis
itu mendapatkan kesulitan untuk menjawab maka katanya kemudian,
“Terserah
kepada ayah. Bukankah aku seorang gadis? Ayahlah yang wajar menentukan siapakah
jodohku kelak.”
“Benar
begitu?” bertanya Rudita dengan serta merta.
“Kenapa?”
Pandan Wangi ganti bertanya.
“Bagaimana
jika ayahku menjumpai ayahmu, dan ayahmu lebih setuju dengan pendapat ayahku
daripada Ki Demang di Sangkal Putung itu.”
“Ah, itu tidak
mungkin,” jawab Pandan Wangi yang sama sekali tidak menyangka bahwa Rudita akan
berkata demikian.
“Tetapi
bukankah Paman Argapati yang akan menentukan hari depanmu.”
“Sudahlah,
kita berbicara tentang yang lain. Kita harus berhati-hati selama kita berada di
sini. Mungkin binatang buas itu sedang merunduk kita. Jika kita diterkamnya
maka kita tidak akan dapat berbicara lagi tentang ayah kita masing-masing.”
“Apakah ada
seekor harimau di sini?”
“Aku tidak
tahu,” jawab Pandan Wangi tegas, agar tidak menimbulkan persoalan yang
berkepanjangan.
Rudita menarik
nafas dalam-dalam. Bahkan kemudian ia berdesah,
“Aku akan
berbaring. Apakah api perapian itu akan dipadamkan sesudah nasi masak?”
“Tidak, api
itu akan diperbesar,” jawab Pandan Wangi begitu saja terloncat dari bibirnya.
Ternyata bahwa pertanyaan Rudita yang seolah-olah seperti pertanyaan
kanak-kanak itu menjadi persoalan di hati Pandan Wangi, karena mungkin sekali
Rudita akan menyampaikannya kepada orang tuanya.
Karena itu
untuk beberapa lamanya. Pandan Wangi merenungi pertanyaan-pertanyaan Rudita
itu. Ia sudah terlanjur mengatakan bahwa segala sesuatunya tergantung kepada
ayahnya. Jika kemudian ayah dan ibu Rudita salah menafsirkan keterangan Rudita,
akibatnya akan dapat berkepanjangan. Seandainya ayahnya tetap pada
pendiriannya, karena pembicaraan dengan Ki Demang Sangkal Putung sudah
dilakukan, maka tentu ada sesuatu yang akan tetap terasa mengganggu hubungan
antara ayahnya dan ayah Rudita, apalagi Rudita adalah, saudaranya dari saluran
darah ibunya yang sudah agak jauh.
“Tentu ayah
Rudita cukup bijaksana,” berkata Pandan Wangi di dalam hatinya.
Dalam pada itu
nasi pun segera masak. Aum harimau justru terdengar semakin jauh di
tengah-tengah hutan yang liar itu sehingga orang-orang yang mendengarnya
menarik nafas dalam-dalam. Mereka tidak perlu memperhatikannya lagi, meskipun
mereka tidak boleh lengah, karena dapat saja terjadi seekor harimau yang lain
tiba-tiba saja menerkam kuda mereka yang terikat.
“Tetapi
biasanya kuda mempunyai naluri yang tajam jika ada bahaya yang mendekat. Mereka
akan berteriak dengan ribut,” berkata salah seorang pengiring itu kepada
kawannya.
Sejenak
kemudian maka Agung Sedayu, Swandaru, dan Prastawa pun telah kembali ke
perkemahan. Badan mereka terasa menjadi segar. Karena itulah, maka terasa
betapa mereka menjadi lapar ketika tercium bau nasi yang hangat. Tetapi mereka
tidak segera makan. Para pengiring itulah yang kemudian pergi ke belik untuk
mandi, sedang anak-anak muda itu dengan penuh kewaspadaan mengawasi keadaan di
sekitar mereka. Dengan beberapa potong kayu Prastawa membuat perapian yang
sudah tidak dipergunakan lagi untuk memasak itu semakin besar. Nyala api yang
merah melonjak semakin lama semakin tinggi, sedang dedaunan yang merunduk di atasnya
bagaikan menggeliat kepanasan. Cahaya merah itu membuat pepohonan dan batang
perdu menjadi sewarna bara. Angin yang semilir telah mengguncang lidah api itu,
sehingga bayangan dedaunan bagaikan bergerak-gerak.
Sejenak Rudita
memandangi bayangan yang ikut berguncang perlahan-lahan. Semakin lama
rasa-rasanya bagaikan raksasa yang sedang menari-nari mengelilinginya diiring
oleh irama suara cengkerik dan bilalang. Bahkan kemudian suara anjing hutan
yang menyalak di kejauhan, namun yang segera terbungkam oleh aum seekor
harimau.
“O,” Rudita
tiba-tiba menelungkup sambil menyembunyikan wajahnya di balik kedua telapak
tangannya.
Pandan Wangi
hanya dapat menarik nafas dalam-dalam, sedang Prastawa bergeser setapak
mendekatinya. Tetapi Swandaru menggamitnya sambil berkata perlahan-lahan
sekali,
“Biarkan saja.
Aku menjadi semakin kasihan kepadanya. Mudah-mudahan ia dapat segera
menenangkan hatinya.”
“Sebaiknya ia
segera tidur,” sahut Agung Sedayu berbisik,
“dengan
demikian ia akan dapat melepaskan dirinya dari siksaan ketakutan.”
Prastawa
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dipandanginya Rudita yang masih saja
menelungkup. Sambil bergeser kembali ia berkata,
“Aku pun
kasihan sekali kepadanya.”
Pandan Wangi
tidak begitu mendengar kata-kata mereka yang sedang berbisik-bisik. Tetapi
seakan-akan ia dapat mengerti maksud mereka itu. Tidak seorang pun yang
mengganggu Rudita yang sedang menelungkup. Mereka bahkan berharap anak muda itu
segera dapat tertidur nyenyak. Ketika mereka sudah berkumpul lagi dengan para
pengiring yang bergantian mandi, maka mereka pun kemudian mulai makan dengan
lahapnya. Rudita ternyata tidak mau bangun lagi. Ia menggelengkan kepalanya
ketika Pandan Wangi mengajaknya makan.
“Biarlah ia
tidur,” desis Agung Sedayu sekali lagi.
Setelah mereka
makan sekenyang-kenyangnya, barulah mereka menempatkan diri masing-masing di
tempat yang mereka pilih sebagai pembaringan. Ternyata mereka tidak cukup
banyak membawa tikar, sehingga sebagian dari mereka harus menimbun rerumputan
kering di pinggir perapian itu.
Beberapa orang
bertugas untuk berjaga-jaga sampai menjelang tengah malam. Kemudian kelompok
yang lain akan berganti bertugas. Sedang kelompok terakhir adalah Agung Sedayu,
Swandaru dan Prastawa. Kelompok pertama yang terdiri dari separo daripada para
pengiring itu pun kemudian duduk di pinggir perapian. Sambil memanasi telapak
tangan mereka di udara malam yang dingin mereka masih saja membicarakan tentang
ular naga yang berhasil mereka bunuh. Ternyata sejenak kemudian, perkemahan itu
menjadi sepi. Mereka yang akan berganti bertugas, segera berusaha untuk tidur.
Sedang Pandan Wangi yang tidak termasuk dalam kelompok-kelompok yang akan
berjaga-jaga, merasa dirinya menjadi pemomong Rudita secara khusus, sehingga
justru karena itu ia tidak dapat meninggalkannya, meskipun anak itu pernah
berbicara kepadanya tentang lamaran seorang anak muda. Setiap kali Pandan Wangi
yang berbaring tidak jauh dari Rudita itu hanya dapat menarik nafas
dalam-dalam. Setiap kali ia harus melihat apakah Rudita masih tetap dalam
keadaannya. Namun akhirnya, karena Pandan Wangi sendiri pun merasa letih, maka
akhirnya ia pun tertidur juga.
Ketika malam
menjadi semakin malam, maka para penjaga yang bertugas pun mulai mengisi
waktunya untuk melawan kantuk. Mereka tidak lagi berkumpul duduk di sekitar
perapian. Tetapi dua di antara mereka berjalan mengelilingi perkemahan itu dan
melihat-lihat keadaan kuda mereka. Ternyata bahwa di bagian pertama dari malam
itu tidak terjadi sesuatu. Tanpa membangunkan orang-orang lain, maka kelompok
petugas pertama telah membangunkan kelompok kedua dan menyerahkan tugas mereka
kepada kelompok berikutnya. Seperti kelompok pertama, maka setiap kali dua
orang dari para petugas itu berjalan-jalan berkeliling perkemahan. Selain untuk
mengawasi keadaan, sebenarnya mereka memang berusaha untuk melawan kantuk yang hampir
tidak tertahankan, justru karena terasa udara sangat segar di malam hari. Namun
agaknya para peronda itu tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan. Kuda-kuda
mereka sama sekali tidak terganggu, dan yang sedang tidur pun masih tetap tidur
dengan nyenyaknya.
Dalam pada itu
sebenarnyalah bahwa para petugas, tidak mengetahui bahwa beberapa pasang mata
sedang mengawasi mereka. Bukan mata harimau yang garang, bukan pula sepasang
mata ular naga yang liar. Tetapi beberapa pasang mata manusia.
Ketika para
petugas itu sedang bercakap-cakap setelah dua orang di antara mereka baru saja
berkeliling, ternyata beberapa orang telah merayap mendekati perkemahan itu.
“Tentu mereka
yang sedang kita cari,” desis salah seorang dari mereka.
“Mudah-mudahan,”
sahut yang lain, seorang anak muda. Tetapi agaknya ialah yang memimpin kelompok
yang sedang merunduk mendekati perkemahan itu.
Mereka merayap
semakin lama menjadi semakin dekat. Dengan isyarat anak muda yang memimpin
kelompok itu pun kemudian memberikan perintah, agar anak buahnya segera
memencar. Dengan diam-diam, maka beberapa orang itu pun memencar mengepung
perkemahan itu. Semakin lama kepungan itu pun rasa-rasanya menjadi semakin
sempit.
Dalam pada
itu, para petugas yang sedang meronda malam itu sama sekali tidak menduga,
bahwa di sekitar perkemahan itu ternyata telah bertebaran beberapa orang yang
tidak mereka kenal. Setelah mereka tidak merasa kantuk, maka mereka justru
duduk saja mengitari perapian yang masih menyala karena setiap kali para
petugas telah melemparkan potongan-potongan kayu bakar ke dalamnya.
“Rasa-rasanya
malam terlampau sepi,” desis salah seorang peronda.
“Ya, malam
memang terlalu sepi. Rasa-rasanya kita tidak sedang berada di pinggir hutan
liar.”
“Harimau itu
tentu sudah mendapatkan mangsanya sehingga karena itu tidak lagi
berteriak-teriak.”
“Apakah hanya
ada seekor harimau di hutan yang lebat itu?”
“Tentu tidak.
Tetapi semuanya sudah kenyang, dan semuanya tidak mengaum.”
Kawan-kawannya
tertawa. Sebenarnya mereka pun masih mendengar auman harimau. Tetapi jauh
sekali sehingga mereka tidak perlu menghiraukannya. Namun demikian, ternyata
bahwa para penjaga itu, selain menyandang pedang di lambung, mereka
mempersiapkan busur dan anak panah, jika pada suatu saat mereka perlukan.
Tetapi bukan saja untuk melawan harimau, karena dimalam hari pun kadang-kadang
mereka melihat seekor kijang berlari-lari apabila seekor harimau lewat dekat
persembunyiannya. Tetapi malam itu, tidak ada seekor binatang pun yang
mendekati perkemahan mereka. Sedang orang-orang yang berusaha mendekat itu,
ternyata cukup berhati-hati, sehingga langkah mereka tidak segera didengar oleh
para penjaga itu. Apalagi mereka yang sedang tidur dengan nyenyaknya. Sejenak
para peronda itu masih saja duduk di sekitar perapian. Baru ketika kantuk mulai
meraba mata mereka lagi, dua orang di antara mereka berdiri dan berjalan
mengelilingi perkemahan itu. Namun mereka masih belum menyadari bahwa ada
beberapa orang yang sedang mengepung mereka. Karena itu, maka kedua orang itu
pun kemudian kembali lagi ke tepi perapian dan duduk pula di antara mereka.
Dalam pada
itu, orang-orang yang sedang mengepung itu pun merayap semakin maju. Beberapa
orang terpenting berada di tempat yang terpencar. Semakin lama semakin dekat,
sehingga anak muda yang memimpin mereka itu pun sempat memperhatikan kuda yang
tertambat.
“Hitung,
berapa ekor kuda yang ada,” desisnya perlahan-lahan sehingga kawannya berbicara
pun hampir tidak mendengarnya.
“Banyak,”
sahut kawannya, “kira-kira sepuluh ekor.”
Anak muda itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Setiap kali ia mengerutkan keningnya
memperhatikan para peronda. Jika dua orang di antara para peronda itu berdiri
dan berjalan melingkar, maka orang-orang yang mengepung itu pun seakan-akan
membeku di tempatnya, bahkan menarik nafas pun rasa-rasanya tidak mereka
lakukan. Karena itulah maka para peronda itu tidak segera dapat mengetahui
kehadiran mereka yang masih bersembunyi di balik gerumbul-gerumbul liar itu.
Namun
ternyata, bahwa kuda-kuda yang tertambat itulah yang lebih dahulu mengetahui
kehadiran orang-orang itu. Salah seekor dari kuda-kuda itu pun tiba-tiba
meringkik keras-keras dengan gelisahnya disusul oleh beberapa ekor yang lain. Dan
ringkik kuda itu telah mengejutkan orang-orang yang sedang bertugas maupun yang
sedang tidur nyenyak. Karena itulah maka mereka pun segera terbangun pula. Dengan
tangkasnya para peronda itu pun segera mempersiapkan senjata sambil berpencar
menatap ke segala arah membelakangi api. Demikian juga mereka yang sedang
tertidur pun bangkit dan duduk sambil meraba senjata masing-masing sambil
menunggu apakah yang terjadi sebenarnya.
Namun secepat
itu pula pemimpin kelompok yang mengepung itu pun memberikan isyarat kepada
anak buahnya dengan suatu suitan nyaring. Secepat para pengiring itu bersiap
dan orang-orang yang tertidur itu bangun, maka perkemahan itu sudah terkepung
rapat. Di dalam keremangan cahaya api yang kemerah-merahan, mereka melihat
bayangan-bayangan hitam di sela-sela dedaunan dengan senjata telanjang di
tangan.
“Jangan
berbuat sesuatu yang dapat mempercepat kematian kalian,” desis anak muda yang
memimpin kelompok itu.
Para peronda
menjadi termangu-mangu. Ternyata jumlah orang-orang yang mengepung perkemahan
itu cukup banyak.
“Lepaskan
senjata kalian,” berkata suara itu pula.
Dalam pada
itu, Agung Sedayu, Swandaru, Pandan Wangi, dan Prastawa pun telah terbangun
pula. Tetapi mereka masih tetap berada di tempat masing-masing. Meskipun
demikian tangan mereka sudah menggenggam tangkai senjata masing-masing.
“Kalian harus
menyerah sebelum kami mengambil sikap yang lebih kasar,” berkata anak muda yang
memimpin orang-orang yang telah mengepung perkemahan.
Para peronda
menjadi ragu-ragu. Mereka sadar bahwa Pandan Wangi yang mereka anggap sebagai
pemimpin mereka telah terbangun, sehingga mereka hanya menunggu perintah
daripadanya. Jika Pandan Wangi memerintahkan untuk bertempur, maka apa pun yang
terjadi mereka akan bertahan mati-matian.
“Cepat,
lakukan perintah kami. Letakkan senjata kalian.”
Tetapi para
peronda masih ragu-ragu karena Pandan Wangi masih belum mengucapkan perintah
apa pun. Dalam pada itu Rudita yang sudah terbangun pula segera menyadari apa
yang terjadi. Ia lah yang mula-mula bangkit berdiri memandang keadaan di
sekelilingnya.
“Jangan
berbuat sesuatu yang dapat memaksa kami melepaskan senjata,” terdengar lagi
suara anak muda yang memimpin orang-orang yang telah mengepung perkemahan itu.
Rudita pun
kemudian melihat bayangan kehitaman di antara dedaunan. Bahkan samar-samar ia
melihat beberapa buah senjata yang berkilat-kilat. Tiba-tiba ketakutan yang
sangat telah menerkam jantungnya, seperti ketika ia melihat ular naga yang
hampir saja menelannya. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia berkata,
“Aku tidak
apa-apa. Aku tidak berbuat apa-apa. Aku tidak bersenjata dan aku menyerah.”
“Tidak,”
Prastawa lah yang tidak dapat menahan hatinya setelah ia meyakini keadaan,
bahwa sebenarnyalah sekelompok orang-orang yang tidak dikenalnya telah
mengepung perkemahan itu.
“Kami bukan
cucurut yang dapat ditakut-takuti dengan senjata.”
Suasana yang
tegang itu menjadi bertambah tegang.
“Kau tidak
akan berdaya,” jawab suara pemimpin kelompok itu dengan tenang,
“kami bukan
sekedar menakut-nakuti. Tetapi jika perlu kami pun dapat bertindak keras dan
kasar.”
“Kami adalah
laki-laki seperti kalian,” sahut Prastawa.
“Tidak,” tidak
tiba-tiba Rudita berteriak,
“kau memang
bodoh sekali. Kita memang harus menyerah. Bukankah itu lebih baik.” Lalu dengan
suara yang gemetar,
“Aku menyerah.
Jangan kalian sakiti aku. Aku tidak tahu apa-apa.”
“Pengecut,”
bentak Prastawa,
“menyerahlah
jika kau ingin menyerah.”
Sebelum Rudita
menyahut, maka yang terdengar adalah suara Agung Sedayu,
“Siapakah
sebenarnya kalian, dan apakah kepentingan kalian dengan kami?”
Tidak segera
terdengar jawaban, Sedang Agung Sedayu pun kemudian telah berdiri pula membelakangi
api menghadap kepada orang-orang yang mengepungnya, disusul oleh Swandaru yang
berdiri pula di sampingnya. Pemimpin kelompok orang-orang yang mengepung
perkemahan itu melihat dua bayangan hitam di depan perapian. Tetapi mereka
tidak melihat wajah kedua orang itu justru karena mereka menjadi silau oleh
nyala api yang kemerah-merahan itu.
“Lepaskan
senjata kalian,” suara itu terdengar lagi.
Agung Sedayu
mencoba memperhatikan beberapa bayangan di sela-sela dedaunan, tetapi ia pun
tidak dapat melihat mereka dengan jelas, karena mereka tidak berdiri cukup
dekat.
“Sebaiknya
berterus teranglah,” berkata Agung Sedayu,
“dengan
demikian kita menjadi pasti, apakah yang akan kita lakukan.”
“Kami akan
berbicara setelah kalian melemparkan senjata kalian.”
“Cepat!”
Rudita pun ikut membentak.
“Jangan
terlalu sombong. Apakah sulitnya melemparkan senjata dari tangan, tetapi
kemudian kita selamat? Bukankah kita memang tidak berhasrat untuk pergi
berperang?”
Agung Sedayu
menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia sama sekali tidak menanggapi kata-kata
Rudita. Sekali lagi ia berkata lantang,
“Sebut namamu
atau gelarmu atau apa pun yang dapat memberikan ciri atau sebutan bagimu.”
“Sekali lagi
aku mengulangi, lemparkan senjata kalian. Baru kita berbicara. Dan kalian akan
segera mengenal aku.”
Tiba-tiba
Swandaru menggeram,
“Kami tidak
akan melemparkan senjata kami. Itu adalah keputusan kami. Terserah, apa yang
akan kalian lakukan. Kalian tidak bersedia untuk berbicara dalam kedudukan yang
sama. Itu suatu penghinaan. Karena itu, kami akan mempertahankan harga diri
kami.”
Sejenak tidak
terdengar jawaban. Bayangan di antara semak-semak itu masih berdiri
ditempatnya, sedang senjata mereka seakan-akan telah siap untuk menerkam.
Orang-orang yang mengepung perkemahan itu tinggal menunggu perintah dari
pimpinan mereka untuk meloncat maju menyerang orang-orang yang tidak bersedia
melemparkan senjata mereka.
Dalam pada
itu, Rudita yang semakin ketakutan berteriak dengan suara serak,
“Gila! Gila!
Lemparkan senjata-senjata itu. Cepat! Jika tidak, kita semua akan binasa
sekedar karena kesombonganmu.”
Swandaru yang
berusaha untuk menyabarkan dirinya, menggeretakkan giginya. Tetapi ia mencoba
tidak menghiraukan lagi anak yang menggigil ketakutan itu. Ketika kemudian ia
menebarkan tatapan matanya, maka dilihatnya para pengiring Pandan Wangi pun
telah siap menghadapi segala kemungkinan. Bahkan Pandan Wangi pun kemudian
bangkit berdiri dan berkata dengan nada tinggi,
“Jangan
mencoba menundukkan hati kami. Kami berada di daerah kami sendiri. Kalianlah yang
harus menyerah dan kalian terpaksa kami bawa menghadap ayah, Kepala Tanah
Perdikan Menoreh karena kalian telah melanggar hak atas daerah kami.”
Masih belum
ada jawaban.
“He, siapakah
kalian?” Prastawalah yang berteriak kemudian.
“Gila, kalian
semua sudah gila,” potong Rudita,
“kenapa kalian
berniat untuk berkelahi. Bukankah kita hanya akan sekedar berburu.”
Tetapi hati
Rudita yang dicengkam oleh ketakutan yang menjadi semakin kuncup karena tidak
seorang pun yang menghiraukannya. Bahkan Pandan Wangi yang kemudian maju
beberapa langkah sambil menggenggam hulu pedangnya yang masih ada di dalam
sarungnya berkata,
“Kalian jangan
mencoba bukan saja menghinakan kami, tetapi kalian telah mencoba pula
menghinakan kekuasaan yang ada di atas Tanah Perdikan ini. Apa pun juga yang
akan terjadi, kamilah yang akan memaksa kalian menyerah, bukan sebaliknya.”
Masih tidak
ada jawaban, sehingga dengan demikian Pandan Wangi dan orang-orang yang ada di
dalam kepungan itu menjadi ragu-ragu. Yang terdengar kemudian adalah suara
Agung Sedayu,
“Kenapa kalian
diam saja? Jika kalian ingin bertindak kasar, lakukanlah. Tetapi jika kalian
ingin berbicara, kami akan berbicara dengan senjata di tangan seperti kalian.”
Tiba-tiba
pemimpin dari orang-orang yang mengepung perkemahan itu melangkah maju. Di
dalam kegelapan tampaklah seorang yang berperawakan sedang sambil membawa
sebatang tombak pendek. Tetapi tombak itu kini berdiri tegak di bahu kanannya.
“Maafkan
kami,” itulah yang pertama-tama diucapkannya setelah beberapa saat ia berdiam
diri.
Semua orang
yang menyaksikannya menjadi termangu-mangu. Bukan saja di pihak Pandan Wangi
dan kawan-kawannya, tetapi orang-orang yang sedang mengepung perkemahan itu pun
menjadi heran.
“Bukan maksud
kami mengejutkan kalian,” berkata orang yang membawa tombak pendek itu.
Agung Sedayu
yang membelakangi api mengerutkan keningnya. Kemudian dilihatnya orang yang
melangkah itu semakin dekat, sehingga cahaya api yang kemerah-merahan mulai
menjangkaunya.
“Apakah kalian
mengenal aku?” bertanya orang itu.
Sejenak tidak
terdengar jawaban. Namun kemudian hampir berbareng terdengar suara Agung Sedayu
dan Swandaru,
“Raden
Sutawijaya.”
Orang itu
tertawa. Ia melangkah semakin dekat lagi. Katanya,
“Aku pun tidak
segera mengenal kalian, karena kalian membelakangi api, sehingga yang tampak
hanyalah wajah-wajah yang hitam. Tetapi suara seorang gadis dan apalagi ketika
ia menyebut dirinya dan menghubungkan dengan kekuasaan Tanah Perdikan Menoreh,
maka aku pun yakin bahwa tubuh yang gemuk di dalam bayangan api itu adalah Swandaru
Geni. Meskipun yang tampak hanyalah bayang-bayang yang hitam, tetapi tidak ada
bayang-bayang yang bulat dan begitu gagahnya selain putera dari Sangkal
Putung.”
“Ah,” Swandaru
berdesah,
“aku tidak
menyangka bahwa Raden ada di sini.”
“Aku ingin
minta maaf kepada Pandan Wangi, bahwa aku sudah berada di daerah Tanah Perdikan
Menoreh.”
Pandan Wangi
mengerutkan keningnya. Kini Raden Sutawijaya berada hanya beberapa langkah saja
di hadapan dirinya.
“Tetapi apakah
yang Raden kehendaki di Tanah Perdikan ini?”
“Kami sedang
mencari sekelompok orang-orang yang tidak kami kenal. Mereka telah menyeberangi
sungai Praga dan hilang di dalam hutan ini.”
“Apakah Raden
menduga bahwa mereka orang-orang Menoreh?”
“Tidak. Bukan
maksudku. Aku sama sekali tidak menduga demikian.”
Pandan Wangi
adalah putera Kepala Tanah Perdikan Menoreh, sehingga ia pun menyadari hak dan
wewenangnya. Karena itu, maka ia pun kemudian bertanya,
“Apakah Raden
tidak dapat menempuh cara lain daripada memasuki daerah ini tanpa setahu ayah
atau orang-orang yang berwenang di atas Tanah Perdikan ini.”
Pertanyaan itu
ternyata telah mengejutkan Raden Sutawijaya. Karena untuk sesaat ia berdiam
diri. Ia mengerti, bahwa orang yang berkuasa di atas Tanah ini tentu
tersinggung karena kehadirannya tanpa memberitahukan atau minta ijin lebih
dahulu. Apalagi ketika Pandan Wangi berkata,
“Raden,
sebenarnyalah bahwa kami pun sedang berusaha menangkap orang-orang bersenjata
yang tidak kami kehendaki berkeliaran di daerah kami.”
Raden
Sutawijaya tidak segera menjawab. Dipandanginya Pandan Wangi yang berdiri tegak
di dalam cahaya api yang kemerah-merahan. Namun Raden Sutawijaya tidak dapat
ingkar. Katanya kemudian,
“Pandan Wangi.
Baiklah aku minta maaf atas hal ini. Tetapi baiklah kau mendengar alasanku. Aku
sedang mencari sekelompok orang-orang bersenjata. Mereka baru saja membuat
sesuatu yang merugikan Mataram. Ketika mereka menyeberang Kali Praga, kami
masih mengejar mereka. Tetapi malam segera turun sehingga kami tidak berhasil
menangkapnya. Meskipun demikian kami tidak berhenti. Kami maju terus menembus
hutan liar ini. Adalah kebetulan sekali kami melihat perapian di sini, sehingga
kami menyangka bahwa kalian adalah orang yang sedang kami cari.”
“Seharusnya
Tuan berhenti di seberang Kali Praga,” sahut Pandan Wangi,
“jika Tuan
tidak menduga bahwa mereka orang-orang Menoreh, maka Raden tidak akan
mengejarnya sampai ke seberang. Raden harus mempercayakannya kepada kami,
kepada orang-orang Menoreh.”
“Kami tidak
mempunyai waktu lagi,” jawab Sutawijaya.
“Tentu waktu
masih cukup panjang. Raden harus menyerahkan kepada kami untuk menangkapnya.
Raden dengan sepasukan pengawal tidak dapat dibenarkan berada di daerah Tanah
Perdikan Menoreh tanpa ijin kami. Bukan karena Raden sudah mengejutkan kami
sehingga kami menjadi jengkel karenanya. Tetapi seharusnyalah bahwa Raden
mengetahui hal itu.”
“Ya, ya,”
jawab Sutawijaya,
“sudah aku
akui. Dan aku sudah minta maaf.”
“Tidak
kepadaku, karena bukan akulah Kepala Tanah Perdikan Menoreh.”
Sepercik
ketegangan tampak di wajah Raden Sutawijaya. Karena itu ia tidak segera
menjawab. Ditatapnya saja Pandan Wangi berganti-ganti dengan Agung Sedayu dan
Swandaru. Kedua anak muda murid Kiai Gringsing itu menjadi bingung. Ia
sebenarnya tidak ingin terjadi ketegangan itu. Tetapi mereka pun dapat mengerti
bahwa Pandan Wangi merasa tersinggung karena orang lain telah memasuki
wilayahnya tanpa ijin. Sutawijaya termangu-mangu sejenak. Sambil menarik nafas
dalam-dalam ia berkata,
“Baiklah aku
minta maaf kepada Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi bukankah aku dapat
minta kepadamu untuk mewakilinya?”
Pandan Wangi lah
yang kemudian termangu-mangu. Sejenak ia berpaling kepada Swandaru, seakan-akan
minta pertimbangannya. Tetapi anak muda yang gemuk itu tidak sedang memandang
ke arah Pandan Wangi. Raden Sutawijaya menunggu dengan hati yang
berdebar-debar. Ia sedang berdiri di antara dua kepentingan. Yang sebelah,
adalah harga dirinya, sedang yang lain adalah hubungan antara Tanah Mataram
yang sedang tumbuh dengan Tanah Perdikan Menoreh. Ternyata bahwa kepentingan
Mataram lah yang paling utama bagi Sutawijaya. Ia tidak mau merusak hubungan
antara daerah yang sedang dibuka dengan daerah di sekitarnya. Bahwa ia sudah
menyeberang Kali Praga di malam hari, adalah karena terdorong oleh keinginannya
menangkap orang-orang yang tidak dikenal yang setiap kali selalu mengganggu
pertumbuhan Mataram. Sejenak mereka dikuasai oleh ketegangan. Semua orang
memandang kepada Pandan Wangi untuk menunggui jawabannya. Pandan Wangi menarik
nafas dalam-dalam. Katanya kemudian,
“Baiklah,
Raden. Aku akan menyampaikannya. Terserahlah tanggapan ayah terhadap hal ini.”
Raden
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Dan ia pun bertanya,
“Apakah
maksudmu, Pandan Wangi.”
“Jika ayah
menghendaki Raden datang sendiri kepadanya, terserahlah kepada ayah. Mungkin
Raden segera akan kembali ke Mataram. Namun jika ayah menghendaki, kami dapat
mengirimkan utusan untuk menyampaikan keputusan ayah kepada Raden.”
Raden
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya, Katanya,
“Baiklah. Aku
mengerti bahwa kalian benar-benar merasa tersinggung. Tetapi jika kau
menyampaikan persoalan ini kepada Ki Gede Menoreh, aku berharap agar dapat kau
sampaikan dengan lengkap. Salam permintaan maaf, juga alasanku kenapa aku
dengan terpaksa sekali menyeberangi sungai itu di malam hari. Aku sama sekali
tidak ingin melanggar hak atas Tanah Perdikan ini, tetapi semata-mata karena
terdorong oleh keinginan untuk menangkap mereka. Kami sudah dibakar oleh
kemarahan yang tidak terkendali lagi, sehingga kami telah melanggar batas Tanah
Perdikan Menoreh.”
“Baiklah,
Raden. Aku akan menyampaikannya kepada ayah dengan lengkap.”
“Mudah-mudahan
Ki Gede Menoreh dapat mengerti, dan tidak usah mengirimkan utusan mencari aku
ke Mataram dan memanggil aku. Karena mungkin sekali aku tidak sedang berada di
Mataram. Sebagai Putera Sultan Pajang aku kadang-kadang mendapat tugas khusus
juga, tugas untuk melihat-lihat daerah Pajang yang tersebar luas di atas Tanah
ini. Dari pasisir Utara sampai pasisir Selatan. Dari ujung Timur sampai ke
ujung Barat. Dan untuk itu kadang-kadang aku memerlukan waktu yang panjang.”
Pandan Wangi
tercenung sejenak. Sedang Agung Sedayu dan Swandaru menarik nafas dalam-dalam.
Mereka sadar, bahwa Sutawijaya masih ingin juga menunjukkan kekuasaannya,
kekuasaan yang memang ada padanya sebagai putera angkat Sultan Pajang yang
sebelum meninggalkan istana, bagaikan puteranya sendiri. Dan kekuasaan Pajang
itu sampai saat terakhir masih diakui meliputi daerah yang luas, termasuk Tanah
Perdikan Menoreh. Karena itulah maka Pandan Wangi tidak segera menjawabnya.
Pengakuan atas Pajang, dan pengakuan atas kekuasaan para pemimpin di Pajang
masih dihormatinya, seperti ayahnya juga masih tetap menghormatinya. Agung
Sedayu yang menyadari bahwa Pandan Wangi berada di dalam kesulitan perasaan
berusaha menolongnya. Katanya mengalihkan pembicaraan,
“Jika
demikian, silahkanlah, Raden. Marilah kita berbicara seenaknya sambil duduk
mengelilingi perapian ini. Mungkin pembantu kami dapat merebus air dan memanasi
jadah ketan dengan memanggangnya di atas bara. Kita akan dapat berbicara
tentang orang-orang bersenjata yang tidak dikenal itu. Dan tentu pembicaraan
akan menjadi sangat menarik.”
“Terima
kasih,” jawab Sutawijaya
Pandan Wangi
pun kemudian sambil mencoba menenangkan hatinya berkata,
“Baiklah,
silahkan Raden duduk.”
Raden
Sutawijaya pun kemudian memberikan isyarat kepada orang-orangnya. Mereka pun
kemudian bermunculan dari balik gerumbul. Dan ternyata bahwa mereka pun tidak
begitu banyak. Tidak lebih dari lima belas orang. Namun ternyata bahwa anak
buah Raden Sutawijaya itu cukup berhati-hati. Meskipun mereka kemudian duduk
pula di perkemahan itu, namun mereka tetap terpencar. Masing-masing berkelompok
antara empat atau lima orang. Tetapi Agung Sedayu dan Swandaru menaruh
kepercayaan sepenuhnya bahwa Raden Sutawijaya tentu tidak akan berbuat sesuatu
dengan cara yang tidak terpuji. Karena itulah maka mereka sama sekali tidak
mencurigainya. Mereka sama sekali tidak menaruh banyak perhatian terhadap anak
buahnya yang duduk di dalam gerombol-gerombol yang terpisah. Tetapi ternyata
bahwa Prastawa yang kurang mengenal Raden Sutawijaya berpendirian lain. Karena
itulah maka ia duduk memisahkan diri dari mereka yang kemudian mengelilingi
perapian. Ternyata Prastawa lebih senang duduk bersama para pengiring yang
tidak sedang sibuk menyiapkan minuman dan makanan yang dapat menghangatkan
mereka di malam hari.
Dalam pada itu
Rudita menjadi kebingungan. Ia kurang mengerti, kenapa suasana tiba-tiba saja
berubah. Ia menjadi heran kenapa orang-orang yang mengepung mereka itu segera
menjadi lunak.
“Agaknya
mereka sudah berkenalan sebelumnya,” katanya di dalam hati.
Dan ternyata
bahwa pembicaraan mereka yang duduk di perapian itu pun menjadi lancar. Dalam
pada itu, Rudita yang masih termangu-mangu itu dan yang kemudian duduk di atas tikar
di arah belakang Pandan Wangi mencoba memperhatikan pembicaraan mereka. Setiap
kali ia mendengar nama anak muda yang bersenjata tombak pendek itu
disebut-sebut sebagai Raden Sutawijaya. Dan nama itu memang pernah didengarnya.
Hanya didengarnya.
“Ia menyebut
dirinya sebagai putera Sultan Pajang. Apakah Raden Sutawijaya itulah yang
dimaksud sebagai putera angkat Sultan Pajang seperti yang sering aku dengar?”
ia bertanya kepada diri sendiri.
Akhirnya
Rudita itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dari pembicaraan yang didengarnya
tentang orang-orang bersenjata yang membuat Mataram menjadi kisruh, ia yakin
bahwa orang itulah yang dimaksudkannya.
Karena itu
maka tiba-tiba saja ia bergeser maju. Ketika ia sudah duduk di sebelah Pandan
Wangi, maka ia pun berkata,
“Raden
Sutawijaya. Ternyata Raden Sutawijaya adalah orang yang selama ini baru aku
dengar namanya lewat ceritera-ceritera. Kedatangan Raden sangat mengejutkan
kami dan agaknya perbawa Raden telah membuat aku ketakutan. Tetapi
sebenarnyalah bahwa kami tidak akan berani berbuat apa pun terhadap Raden,
Putera Sultan Pajang.”
Sutawijaya
berpaling. Dilihatnya Rudita dengan herannya. Apalagi ketika dilihatnya anak
muda itu tertawa-tawa sambil meremas-remas tangannya sendiri.
“Raden,”
berkata Rudita kemudian,
“aku minta
maaf akan kelancangan kawan-kawanku, juga Pandan Wangi. Meskipun agaknya mereka
sudah mengenal Raden, dan barangkali bahkan sudah mengetahui kedudukan Raden,
namun mereka tentu belum tahu, betapa tinggi sebenarnya kedudukan Raden itu.
Sebenarnya kami sama sekali tidak pantas duduk bersama-sama dengan Raden
seakan-akan kami mempunyai kedudukan yang sama dengan Raden.”
Sutawijaya
mengerutkan keningnya. Sejenak dipandanginya Agung Sedayu yang menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian Swandaru yang justru termangu-mangu. Ketika Rudita masih
akan berbicara lagi, Pandan Wangi telah menggamitnya, sehingga niat itu
diurungkannya. Namun wajah Pandan Wangi menjadi kemerah-merahan ketika Rudita
justru bertanya kepada Pandan Wangi,
“Kenapa?”
“Sst,” Pandan
Wangi berdesis.
“Bukankah kau
menggamit aku? Kenapa?”
Sutawijaya
terpaksa menahan senyumnya. Dalam sekilas ia dapat mengenal sifat anak muda
itu. Anak muda itu pulalah yang menjadi ketakutan ketika ia mengepung
perkemahan itu. Dan anak muda ini pula yang justru ingin agar kawan-kawannya
melepaskan senjatanya. Namun dengan demikian, maka Rudita tidak menjadi
persoalan lagi bagi Raden Sutawijaya. Ia tahu ada sedikit kekurangan pada anak
muda itu. Mungkin pengalaman atau mungkin tuntunan di dalam keluarganya yang
tidak banyak memperkenalkan anak muda itu dengan sifat dunia yang keras. Dalam
pada itu Pandan Wangi masih dikejar oleh kebingungan karena Rudita masih saja
bertanya kepadanya,
“Kenapa kau
menggamit aku he? Apakah ada sesuatu yang akan kau katakan?”
Pandan Wangi menggelengkan
kepalanya. Katanya,
“Tidak. Tidak
ada yang akan aku katakan.”
“Tetapi kau
menggamit aku.”
“Tidak
sengaja. Aku hanya menyentuhmu karena aku bergeser sedikit.”
“O,” Rudita
mengangguk-angguk,
“kau membuat
aku kehilangan kata-kataku. Aku masih ingin berbicara dengan Raden Sutawijaya,
tetapi aku lupa kata-kata yang sudah ada di ujung lidah.”
Pandan Wangi
menarik nafas dalam-dalam.
Dan tiba-tiba
saja Rudita berkata pula,
“Ha, sekarang
aku ingat. Aku ingin berkata tentang diri kita kepada Raden Sutawijaya.” Lalu
sambil menghadap kepada Raden Sutawijaya ia berkata,
“Raden, tentu
kami tidak akan dapat menghalang-halangi apa yang akan Raden katakan. Sama
sekali tidak dapat. Pandan Wangi terlampau berbangga diri karena jabatan
ayahnya. Tetapi dibandingkan dengan Raden, maka jabatan ayahnya sama sekali
tidak berarti. Apalagi anak-anak Sangkal Putung itu. Mereka tidak lebih dari
anak seorang Demang kecil.”
Raden
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Kami sudah
lama berkenalan. Di antara kami tidak ada lagi persoalan jabatan atau pangkat.
Kami berkenalan seperti anak-anak muda berkawan satu sama lain.”
“O. Tentu
karena Raden berjiwa besar. Tetapi kamilah yang harus menyadari keadaan kami.
Kekecilan diri kami. Adalah sikap deksura yang tidak dapat dimaafkan, jika kami
tidak menyadari keadaan kami masing-masing.”
“Terima
kasih,” lalu kepada Rudita ia bertanya,
“siapa
namamu?”
“Rudita.”
“Terima kasih,
Rudita. Kau adalah anak muda yang tahu diri. Tetapi biarlah kami bersikap
seperti yang kami lakukan. Aku lebih senang berbicara dengan bebas dalam sikap
yang bebas.”
“O, betapa
besar jiwa Raden. Dan karena itulah kami merasa lebih kecil lagi. Seharusnya
anak-anak Sangkal Putung itu bergeser mundur dan duduk bersila di atas tanah
sambil menundukkan kepalanya.”
Raden
Sutawijaya akhirnya menjadi jemu juga melayani. Karena itu katanya,
“Terima kasih.
Sebaiknya kau tidur, Anak Manis. Hari sudah terlampau malam.”
Swandaru lah
yang kemudian hampir tidak dapat menahan tertawanya. Tetapi dengan susah payah
dan sambil memalingkan kepalanya, ia berhasil menyembunyikan perasaannya. Rudita
pun kemudian terdiam. Tetapi ia tidak mengerti sikap Raden Sutawijaya. Apakah
kata-katanya itu sebenarnya dimaksudkan seperti yang diucapkan, atau ia
mempunyai maksud lain. Karena itu maka Rudita itu pun menjadi termangu-mangu.
Namun demikian, maka ia pun terdiam karenanya.
Dalam pada
itu, Prastawa yang duduk di antara para pengiringnya lamat-lamat mendengar juga
percakapan antara Rudita dan Raden Sutawijaya. Rasa-rasanya ia ingin meloncat
membungkam mulut Rudita. Tetapi dengan menahan diri ia terpaksa tetap duduk di
tempatnya. Meskipun demikian, ia masih saja tetap mengawasi kelompok-kelompok
orang-orang Mataram yang duduk terpencar. Namun semakin lama kecurigaannya itu
pun menjadi semakin tipis. Sementara itu, Sutawijaya sudah terlibat lagi dalam
pembicaraan yang lancar dengan Agung Sedayu, Swandaru, dan Pandan Wangi. Mereka
masih saja membicarakan orang-orang bersenjata yang tidak mereka kenal.
“Raden,”
berkata Agung Sedayu,
“jika
demikian, maka sebenarnya Mataram telah terkepung.”
“Ya. Mataram
memang sudah dikepung oleh orang-orang yang tidak kita kenal itu. Sejak
hantu-hantuan itu dapat kita ketahui rahasianya, maka mereka telah mengambil
cara yang lebih kasar. Aku sudah mendengar laporan yang terperinci dari Ki
Lurah Branjangan tentang kekacauan yang timbul di Jati Anom. Sebenarnyalah
bahwa kami harus mengucapkan terima kasih kepada Kiai Gringsing dan
murid-muridnya beserta Ki Sumangkar.”
“Ah. Itu sudah
menjadi kewajiban kami.”
“Juga kepada
Ki Ranadana dan para prajurit Pajang di Jati Anom. Tetapi kami belum sempat
melakukannya.”
“Kita semuanya
berkepentingan.”
“Juga semua
bantuan yang telah kalian berikan kepada kami selama ini.”
“Ah, kami
tidak berbuat apa-apa,” jawab Agung Sedayu.
Namun Swandaru
berkata,
“Raden, bukan
maksud kami untuk menunjukkan jasa kami kepada Raden dan Mataram. Tetapi
agaknya perlu Raden ketahui, bahwa jalan masuk ke Mataram dari arah Timur
seakan-akan benar-benar telah tertutup.”
“Ya, kami
sudah mengetahui bahwa gangguan meningkat di bagian Timur Alas Mentaok, bahkan
di Alas Tambak Baya.”
“Ya. Kami
menemukan seseorang yang menyebut dirinya panembahan tidak bernama.”
Raden
Sutawijaya mengerutkan keningnya.
“Kami terpaksa
bertempur melawan orang itu bersama anak buahnya.”
“Ya, ya. Aku
juga sudah mendengar laporan tentang mereka. Aku juga sudah mendengar, siapakah
yang telah berhasil menyingkirkan orang yang menyebut dirinya panembahan tidak
bernama itu.”
“Bukan maksud
kami untuk menyatakan diri kami.”
“Aku mengerti.
Kau tentu sekedar memberikan peringatan bahwa hal itu telah terjadi.”
Swandaru
menarik nafas dalam-dalam. Tentu pengawal-pengawal dari Mataram itulah yang
menyampaikan laporan mengenai panembahan tidak bernama itu.
“Semuanya itu
membuat aku yakin, bahwa ada kekuatan yang sebenarnya berbahaya bagi Mataram,
sehingga kami tidak dapat menunggu saja,” berkata Sutawijaya kemudian.
“Dan itu
pulalah sebabnya yang mendorong aku memberanikan diri menyeberangi Kali Praga.
Dan untuk itu aku sudah minta maaf.”
“Raden tidak
perlu minta maaf,” tiba-tiba saja Rudita, telah menyela,
“Menoreh
adalah bagian dari Pajang. Dan Raden adalah Putera Sultan Pajang. Apa pun yang
akan Raden lakukan, tidak ada seorang pun yang dapat mencegahnya.”
Raden
Sutawijaya berpaling. Dipandanginya Rudita sejenak, lalu kepalanya pun terangguk-angguk,
“Ya, ya. Aku,
memang dapat berbuat begitu meskipun itu tidak bijaksana.”
“Kebijaksanaan
Raden yang melimpah-limpah itulah yang membuat Raden benar-benar seorang besar
yang berjiwa besar.”
“Terima
kasih,” sahut Raden Sutawijaya. Lalu katanya kepada Swandaru,
“Sebenarnyalah
bahwa kami di Mataram, sedang diprihatinkan oleh persoalan-persoalan yang
seakan-akan tidak henti-hentinya itu.”
Swandaru mengangguk-angguk
pula. Katanya,
“Mudah-mudahan
Raden segera menemukan jalan yang paling baik untuk menyelesaikannya.”
Sutawijaya
tidak segera menyahut. Dipandanginya api yang menyala semakin besar karena
beberapa potong kayu yang dilemparkan ke dalamnya. Sepercik bunga api meloncat
ke udara dan hilang dibawa angin yang bertiup ke Utara.
“Raden dapat
menemui Ki Gede Menoreh,” berkata Agung Sedayu tiba-tiba.
Sutawijaya
mengerutkan keningnya. Bahkan Pandan Wangi pun memandang anak muda itu dengan
dahi yang berkerut-merut.
“Maksudmu?”
bertanya Raden Sutawijaya.
Namun sebelum
Agung Sedayu menjawab, Rudita sudah mendahului,
“Kau jangan
mencampuri persoalan Tanah Perdikan Menoreh. Pandan Wangi sudah menyadari
kekeliruannya. Raden Sutawijaya adalah Putera Sultan Pajang. Buat apa ia
menemui Ki Gede Menoreh? Jika Raden Sutawijaya memerlukan, ialah yang akan
memanggil Ki Gede menghadap. Baik di Mataram maupun di Pajang. Bukan
sebaliknya.”
Agung Sedayu
hanya memandangnya sekilas. Namun ia berbicara terus, seakan-akan tidak ada
seorang pun yang berbicara,
“Raden. Jika
Raden berhasil mengadakan semacam persetujuan dan semayan untuk bersama-sama
menjaga perbatasan masing-masing, maka gerak orang-orang itu akan menjadi
sangat terbatas. Apalagi apabila dapat disusun semacam pasukan pengawal
gabungan. Baik dengan Tanah Perdikan Menoreh, maupun dengan Kademangan Mangir.”
Raden
Sutawijaya merenung sejenak. Pendapat itu memang sangat menarik. Agaknya memang
tidak akan terdapat kesulitan dengan Tanah Perdikan Menoreh jika ia benar-benar
menemui Ki Argapati. Tetapi yang masih menjadi pertanyaan bagi Raden Sutawijaya
adalah Mangir dan bagian Timur Alas Tambak Baya. Daerah Cupu Watu adalah daerah
yang kurang dikenalnya. Kemudian Kademangan Prambanan yang kadang-kadang
mempunyai sikap yang kurang dimengertinya justru karena daerah itu jarang
sekali dijamahnya. Kemudian jika Swandaru mempunyai pengaruh yang cukup
terhadap ayahnya dan kademangannya, maka Sangkal Putung dapat diharapkannya.
Namun di bawah bayangan kaki Gunung Merapi terletak daerah Jati Anom, daerah
yang menjadi pusat kekuasaan senapati di daerah Selatan ini, Untara.
“Tetapi untuk
membinasakan orang-orang yang sengaja mengeruhkan suasana itu, Jati Anom dapat
dibawa bekerja bersama,” berkata Sutawijaya di dalam hatinya. Meskipun demikian
ia tidak ingkar bahwa sebenarnya ada beberapa orang perwira Pajang yang
langsung atau tidak langsung, berjalan sejajar dengan orang-orang yang
menghalangi pertumbuhan Mataram.
“Tidak
mustahil bahwa otak dari gerakan yang gila itu sebenarnya justru ada di
Pajang,” desis Sutawijaya di dalam hatinya pula.
Dalam pada
itu, Agung Sedayu masih menunggu jawaban anak muda yang memiliki kelebihan dari
orang-orang kebanyakan itu. Sejenak Sutawijaya masih merenung. Lalu jawabnya
kemudian,
“Pendapatmu
baik sekali. Tetapi apakah orang-orang yang berkuasa di sekitar Mataram dapat
mengerti maksud itu. Aku yakin, tidak ada persoalan lagi bagi Menoreh. Tetapi
aku tidak tahu, apakah Ki Demang di Mangir tidak justru menjadi marah-marah
kepadaku seakan-akan aku sudah memerintahnya.”
“Tetapi hal
itu dapat dicoba.”
“Ya. Memang
dapat dicoba. Dan aku akan menyampaikannya kepada Ayahanda Ki Gede Pemanahan.”
Raden Sutawijaya berhenti sejenak, lalu,
“Tetapi
sebelum dengan resmi aku menemui Ki Gede Menoreh, aku minta agar Pandan Wangi
menyampaikan persoalan ini, dan terlebih lagi untuk waktu yang terlampau pendek
ini. Bagaimana jika kita mulai saja dengan kerja sama itu sekarang?”
“Maksud
Raden?”
“Aku sedang
mengejar orang-orang yang tidak aku ketahui dari mana asalnya itu. Mereka
menyeberangi sungai dan hilang di dalam hutan ini.”
“Kapan?”
bertanya Swandaru.
“Belum lama.”
“Sesudah
malam?
“Ya, sesudah
malam.”
Tetapi Pandan
Wangi menggelengkan kepalanya sambil menjawab,
“Sulit sekali
untuk menemukan mereka. Bukannya kami tidak bersedia. Tetapi untuk mencari
mereka di tengah-tengah hutan liar itu di malam hari, adalah pekerjaan yang
sangat sulit.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar