RADEN
SUTAWIJAYA mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia telah mencoba menerobos hutan
itu, tetapi memang terlampau sulit, sehingga lebih cepat baginya untuk
melingkar di sebelah hutan liar ini. Namun dengan demikian ia telah kehilangan
buruannya dan justru menemukan perkemahan Pandan Wangi di pinggir hutan itu.
“Memang sulit
sekali,” berkata Sutawijaya,
“tetapi jika
aku menunggu sampai besok, maka aku akan kehilangan lagi.”
“Sama saja bagi
Raden,” berkata Pandan Wangi,
“Raden tidak
akan menemukannya, meskipun Raden berusaha mencarinya malam ini.”
Sekali lagi
Sutawijaya mengangguk sambil berkata,
“Tetapi sama
saja artinya. Dan arti itu adalah, aku kehilangan lagi buruanku.”
Pandan Wangi
melihat kekecewaan yang dalam di wajah Raden Sutawijaya. Tetapi tentu tidak ada
yang dapat menolongnya. Hutan yang liar itu menyimpan seribu kemungkinan yang
tidak dapat diperhitungkan. Apalagi di malam hari.
Sejenak mereka
saling berdiam diri. Rudita yang duduk mendengarkan percakapan itu menjadi
ngeri. Seandainya mereka benar-benar akan memasuki hutan itu di malam hari,
maka ia akan menjadi beku karenanya. Rudita itu terkejut ketika ia mendengar
aum harimau di tengah-tengah hutan. Sejengkal ia bergeser mendekati Pandan
Wangi. Sedang Prastawa yang mendengar suara itu juga justru mengangkat
wajahnya. Tetapi ia tidak pergi dari tempat duduknya. Ia lebih senang duduk di
antara para pengiringnya daripada duduk bersama-sama dengan Rudita, meskipun ia
sudah tidak curiga lagi terhadap para pengawal Raden Sutawijaya.
Dalam pada
itu, maka mereka pun sempat juga menghirup minuman panas yang dihidangkan oleh
para pengiring dan bahkan makanan yang sudah dihangatkan. Nikmat sekali.
“Baiklah,” berkata
Raden Sutawijaya kemudian,
“aku akan ikut
beristirahat di sini. Besok pagi-pagi benar, aku akan menyerahkan arah
perjalananku kepada kalian. Apakah aku akan kembali atau aku akan mencari terus
orang-orang yang selalu membuat kerusuhan di Mataram itu.”
Dan hampir di luar
sadarnya Swandaru berkata,
“Bagaimana
jika kita pergi bersama mencarinya di seluruh hutan ini. Mungkin mereka memang
bersarang di dalam hutan ini.”
“Tergantung
kepada Pandan Wangi. Jika aku diizinkan, aku masih akan mencarinya di dalam
hutan ini. Alangkah berterima kasihnya Mataram jika kalian pergi bersamaku.”
Sejenak tidak
ada yang menyahut. Rudita yang duduk di sebelah Pandan Wangi menjadi
termangu-mangu. Lalu katanya,
“Raden, tetapi
bukankah orang-orang itu sudah tidak berada di Mataram lagi?”
“Siapa?”
bertanya Sutawijaya pula.
“Orang-orang
yang Raden cari.”
“Sudah aku
katakan, mereka telah menyeberang sungai itu, dan berada di atas Tanah Perdikan
Menoreh.”
“Jika demikian
sebenarnya Raden sudah tidak perlu bersusah payah lagi. Biar sajalah mereka
pergi ke mana mereka kehendaki. Tetapi bukankah dengan demikian berarti mereka
sudah tidak mengganggu daerah Mataram lagi?”
“Ya, sekarang
mereka memang tidak mengganggu daerah Mataram lagi. Tetapi entahlah besok pagi.
Atau bahkan mungkin, sekarang ini mereka telah menyeberang ke Timur dan mulai
lagi mengganggu orang-orang yang tinggal di daerah yang masih agak sepi.”
Rudita mengerutkan
keningnya. Katanya,
“Tentu tidak,
Raden. Mereka tentu sudah lari ketakutan, jika mereka mengetahui Raden sedang
mengejarnya.”
Sutawijaya
memandang Rudita sejenak. Jawabnya kemudian,
“Ya. Mereka
tentu akan lari ketakutan.”
Rudita tidak
mengerti tanggapan Raden Sutawijaya yang sebenarnya. Kenapa tiba-tiba saja ia
mengiakan kata-katanya. Namun dengan demikian ia menjadi terdiam.
Dalam pada
itu, Agung Sedayu-lah yang berkata,
“Jika Pandan
Wangi menyetujui, aku bersedia besok pagi memasuki hutan ini untuk mencari
jejak. Sekaligus berburu binatang buas. Bukankah tidak banyak bedanya? Namun
jika kita kurang hati-hati, kitalah yang justru akan diburu oleh orang-orang
itu, seperti kita hampir saja menjadi mangsa seekor ular naga.”
Swandaru
memandang Pandan Wangi pula seolah-olah sedang menunggu. Ialah yang paling
berwenang menentukan, apakah ia sependapat atau tidak. Setelah merenung
sejenak, maka Pandan Wangi pun mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata,
“Baiklah. Kita
besok pergi bersama-sama.”
“Jangan pergi,”
Rudita mencoba mencegahnya,
“biarlah
mereka pergi, Pandan Wangi. Tetapi sebaiknya kita menunggu di sini bersama para
pengiring.”
Pandan Wangi
menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya seperti kepada adiknya yang kecil
ketika merengek minta mainan,
“Kau sajalah
yang tinggal di sini bersama beberapa orang pengiring yang akan menunggui kuda kita
dan menyediakan makan kita seperti sekarang ini.”
“Tetapi
sebaiknya kau tidak pergi.”
“Aku ingin
pergi, Rudita. Akulah tuan rumah di sini. Akulah yang paling pantas
mengantarkan tamu-tamu yang menjelajahi daerah Tanah Perdikan Menoreh.”
“Tetapi mereka
bukan tamu. Mereka adalah orang-orang yang ingin berperang.”
“Dan kita
adalah orang-orang yang sedang berburu. Kita sudah sepakat untuk berburu di
hutan liar itu,” jawab Pandan Wangi,
“dan kita
sekarang mendapat kawan yang cukup banyak. Bukankah semakin banyak kawan kita,
perjalanan kita akan menjadi semakin aman?”
Rudita
memandang wajah Pandan Wangi dengan gelisah. Agaknya Pandan Wangi pun sudah
tidak mau mendengarkan kata-katanya lagi. Ia menyesal, bahwa ia sudah ikut di
dalam rombongan, bukan saja berburu di daerah yang liar, tetapi orang-orang itu
rasa-rasanya seperti orang-orang liar juga, yang sedang berkelahi melawan alam
di jaman-jaman manusia hidup di daerah hutan-hutan yang lebat. Hidup di dalam
jaman perburuan tiada henti-hentinya. Membunuh dan dibunuh binatang buas dan
sesama manusia.
“Kini mereka
pun sedang berburu manusia,” berkata Rudita di dalam hatinya.
Namun Rudita
tidak akan dapat mencegah orang-orang yang masih saja suka berburu itu. Sedang
untuk tinggal di perkemahan itu pun rasa-rasanya terlalu ngeri. Beberapa orang
pengiring yang tinggal tentu tidak setangkas Pandan Wangi. Dan tentu tidak akan
dapat membidik mata ular dengan lemparan tombak.
“Di daerah
yang buas memang sebaiknya berada di antara orang-orang yang garang seperti
mereka itu untuk menyelamatkan diri,”
berkata Rudita
di dalam hatinya.
“Pandan Wangi,”
berkata Rudita kemudian,
“baiklah jika
demikian. Jika kau pergi, aku pun akan pergi. Apalagi jika menurut penilaianmu
semakin banyak orangnya, akan menjadi semakin aman.” Ia berhenti sejenak, lalu,
“Tetapi jalan
terlalu sulit di tengah-tengah hutan itu.”
“Itulah yang
menyenangkan, Rudita. Kita sudah terlalu lama hidup dalam kesenangan. Hampir
tidak pernah berbuat apa-apa, sehingga sekali-sekali kita harus melatih diri
kita sendiri mengatasi kesulitan jasmaniah. Berburu di hutan liar ini adalah
cara yang baik untuk itu.”
“Kalian memang
mencari kesulitan. Jika kalian ingin, kalian tentu dapat menyediakan uang untuk
mengupah beberapa orang untuk mendapatkan binatang buruan yang kalian
kehendaki. Kijang, rusa atau kancil. Bahkan harimau loreng sekalipun asal uang
itu cukup banyak.”
“Juga dapat
untuk berburu orang-orang bersenjata sekalipun. Tetapi kita tidak yakin bahwa
usaha itu akan dapat hasil baik seperti yang kita harapkan,” potong Sutawijaya.
“Tentu itu
bukan persoalan kita, Raden. Jika kita sudah mengadakan pembicaraan, maka itu
harus berhasil. Jika tidak, kita tidak usah membayarnya.”
“Mungkin hal
semacam itu dapat dilakukan di dalam perburuan binatang. Sebelum kita mendapat
macan loreng, kita tidak akan memberikan upahnya,” sahut Sutawijaya.
“Tetapi tidak
bagi perburuan orang-orang bersenjata.”
“Apa bedanya,
Raden?” bertanya Rudita.
“Tentu kita
juga tidak akan membayar upahnya, jika mereka tidak berhasil menangkap orang
yang kita cari.”
“Memang kita
tidak usah membayar upahnya. Tetapi kehilangan buruan, nilainya belipat dari
upah yang harus kita bayarkan,” jawab Raden Sutawijaya.
“Bukan sekedar
seperti binatang buruan yang banyak jumlahnya.”
Rudita tidak
menyahut lagi. Dipandanginya saja Raden Sutawijaya sejenak, lalu kepalanya pun
tertunduk, namun agaknya Rudita itu masih belum mengerti maksud Sutawijaya.
“Rudita,”
berkata Sutawijaya seperti seorang guru yang sabar mengajari muridnya yang
terlampau bebal,
“setiap
binatang yang sama nilainya dapat dikatakan sama bagi kita. Macan loreng yang
satu akan sama saja nilainya dengan macan loreng yang lain. Seekor rusa tidak
banyak berbeda dengan rusa yang lain pula. Tetapi tentu tidak orang-orang
bersenjata itu. Sekelompok orang bersenjata yang aku cari akan sangat berbeda
nilainya dengan sekelompok yang bersenjata di sekitar perapian ini, meskipun
aku hampir saja keliru. Dan tentu berbeda pula dengan sekelompok yang lain lagi
yang mungkin akan kita jumpai di sepanjang perjalanan kita. Karena itu, sulit
bagi kita untuk mengupah orang-orang yang sanggup berburu manusia bersenjata
seperti pemburu-pemburunya itu sendiri, meskipun hal itu dapat juga
sekali-sekali terjadi. Tetapi sudah tentu tidak dalam kedudukan seperti kita
sekarang ini.”
Rudita tidak
menjawab lagi. Bagaimanapun juga, ia tidak akan dapat mencegah perburuan yang
menegangkan itu. Meskipun demikian, ia pun tidak berani tinggal di perkemahan
itu tanpa Pandan Wangi.
“Bagaimana
jika justru orang-orang yang diburu itu yang akan memburu aku dan para
pengiring yang tugas di sini,” berkata Rudita di dalam hati. Namun demikian
sama sekali tidak berkata apa pun juga.
Ketika Rudita
kemudian terdiam, maka yang lain mulai berbicara. Swandaru yang sudah menahan
hati terlampau lama itu berkata,
“Baiklah kita
mempergunakan sisa malam ini untuk beristirahat sebelum kita besok menyelusuri
hutan belukar yang lebat itu. Dengan orang-orang bersenjata yang tidak kita
kenal, maka hutan lebat di pinggir Praga ini tentu tidak akan kalah
berbahayanya dari Mentaok, meskipun hutan ini tidak terlalu luas.”
“Aku sependapat,”
berkata Raden Sutawija.
“Kita dapat
tidur sejenak. Mudah-mudahan bukan kita yang kemudian dikepung oleh sepasukan
orang-orang bersenjata itu. Dan baru akan kita cari besok pagi.”
“Kuda-kuda
kami adalah penjaga yang paling baik. Mereka akan segera membangunkan kami jika
ada seseorang yang datang.”
“Orang-orangku
akan berjaga-jaga,” berkata Sutawijaya.
“Bagus sekali.
Giliranku adalah berjaga-jaga menjelang pagi. Jika demikian, maka aku tidak
perlu lagi melakukannya. Aku akan menitipkannya saja kepada para pengikut Raden
Sutawijaya dan kuda-kuda kami itu,” gumam Swandaru.
“Sst,” Agung
Sedayu berdesis.
Swandaru
berpaling. Dipandanginya Agung Sedayu sejenak tanpa mengerti maksudnya, kenapa
ia berdesis.
“Kau samakan
saja mereka dengan kuda-kuda kita,” bisik Agung Sedayu.
“O,” Swandaru
menutup mulutnya, seakan-akan ingin menahan kata-katanya yang tersisa.
Mereka pun
segera mencari tempat untuk beristirahat. Sebagaimana orang-orang yang biasa
bertualang, maka Sutawijaya pun segera mendapatkan tempat di atas rerumputan
yang kering.
“Raden,”
berkata Rudita,
“kenapa Raden
berbaring di tempat yang kotor itu. Marilah, silahkan Raden berbaring di atas
tikar ini bersama aku, dan biarlah Pandan Wangi mempergunakan yang selembar
lainnya. Biarlah anak-anak itu mencari tempat mereka masing-masing.”
Swandaru hanya
memandang Rudita sejenak. Tetapi ia tidak menghiraukannya lagi, karena ia pun
sama sekali tidak mempergunakan sehelai tikar pun. Demikian juga Agung Sedayu,
dan apa lagi Prastawa. Tetapi ternyata bahwa Sutawijaya menolak, katanya,
“Aku biasa
tidur di mana pun juga tanpa lambaran, rumput kering adalah alas yang lebih
hangat dari sehelai tikar pandan. Karena itu, biarlah aku tidur di sini saja bersama-sama
dengan yang lain.”
“Ah,” desah
Rudita,
“tetapi tidak
enak bagiku. Seakan-akan aku berderajat lebih tinggi dari Raden. Karena itu
silahkan Raden tidur di sini.”
Sutawijaya
tertawa. Katanya,
“Kau terlalu
baik hati. Kau mencoba untuk menghormati orang lain yang menurut pendapatmu
pantas dihormati. Tetapi biarlah aku di sini. Itu bukan salahmu. Aku sendirilah
yang menentukan.”
Rudita tidak
menyahut lagi. Tetapi untuk beberapa lamanya ia mengawasi saja Raden Sutawijaya
yang berbaring di rerumputan kering dekat perapian. Demikian juga para
pengiringnya yang segera bertebaran mencari tempat masing-masing. Namun
demikian beberapa orang masih tetap duduk di tempatnya untuk berjaga-jaga,
karena bahaya dapat datang setiap saat, selagi mereka tidur dengan nyenyak. Malam
itu ternyata tidak ada sesuatu yang menarik perhatian. Agung Sedayu dan
Swandaru tidak perlu lagi bertugas di akhir malam. Bahkan keduanya sempat tidur
dengan pulasnya, karena di perkemahan itu rasa-rasanya menjadi semakin aman
dengan kehadiran Raden Sutawijaya bersama para pengiringnya.
Namun dalam
pada itu Rudita-lah yang ternyata tidak dapat memejamkan matanya sama sekali.
Bukan saja karena ia merasa segan kepada Raden Sutawijaya, yang menurut
gambarannya adalah seorang putera sultan yang berkuasa di seluruh Pajang, namun
hatinya juga digelisahkan karena besok mereka harus melanjutkan perburuan
mereka. Bukan saja berburu binatang buas, tetapi juga berburu manusia. Manusia
yang bersenjata lebih tajam dari taring harimau yang paling ganas. Ketika
kemudian fajar menyingsing, maka mereka pun segera bangkit dan membenahi diri.
Beberapa orang dari mereka pun segera memperbesar nyala perapian dan menjerang
air untuk minum. Sementara itu. Pandan Wangi pun mendahului orang-orang lain
pergi ke belik di bawah pohon yang besar itu. Kemudian baru yang lain
berturut-turut membersihkan diri mereka.
“Apakah kau
tidak akan mandi?” bertanya Pandan Wangi kepada Rudita.
“Aku tidak
dapat pergi sendiri. Aku belum mengetahui letaknya.”
“He, kenapa
sendiri? Bukankah semua juga pergi ke belik itu?”
“Aku tidak mau
bersama dengan mereka.”
“Kenapa?”
Rudita
menggelengkan kepalanya. Lalu tiba-tiba ia bertanya, katanya,
“Pandan Wangi,
apakah setelah semuanya selesai, kau mau mengantarkan aku?”
“Ah,” Pandan
Wangi tidak dapat menahan senyumnya, katanya,
“apakah kau
tidak malu ditertawakan oleh orang-orang lain?”
“Mereka tidak
akan mentertawakan. Aku tidak dapat berbuat lain daripada itu.”
Pandan Wangi
menjadi iba juga kepada anak manja itu. Karena itu maka katanya,
“Baiklah. Marilah,
agaknya semuanya sudah hampir selesai. Jika kita sampai di tempat itu, maka
semuanya tentu sudah kembali ke perkemahan ini. Tetapi sudah barang tentu aku
tidak dapat mendekati belik itu apabila yang lain baru mandi.”
“Ah, jika
begitu, nanti saja setelah mereka selesai sama sekali.”
“Itu akan
membuang waktu.”
Rudita
memandang wajah Pandan Wangi dengan tatapan mata yang sayu, sehingga akhirnya
Pandan Wangi berkata,
“Baiklah. Kita
menunggu sejenak.”
Demikianlah,
setelah langit semakin terang barulah semuanya selesai mandi. Dan barulah
Pandan Wangi mengantarkan Rudita pergi ke belik itu. Seperti seorang ibu
mengantar anaknya ke pakiwan di malam hari.
Ternyata
Rudita hanya mencuci mukanya. Namun demikian badannya merasa segar dan
rasa-rasanya kekuatannya menjadi bertambah-tambah.
Tetapi ia
menjadi heran melihat Pandan Wangi yang sama sekali tidak memperhatikannya.
Yang diperhatikan justru rerumputan dan gerumbul-gerumbul perdu di sekitar
belik itu.
“Apa yang
menarik perhatianmu, Pandan Wangi?” bertanya Rudita.
Pandan Wangi
tidak menyabut. Tetapi sesuatu memang sangat menarik perhatiannya. Sejenak
Rudita menjadi termangu-mangu. Dipandanginya saja Pandan Wangi yang
kadang-kadang berjongkok, kadang-kadang menyibakkan dedaunan perdu.
Akhirnya
Rudita justru menjadi khawatir, sehingga sekali lagi ia bertanya,
“Pandan Wangi,
apa yang kau lihat?”
Pandan Wangi
hanya berpaling sejenak, namun kemudian ia kembali merenungi gerumbul-gerumbul
di sekitarnya.
Rudita meniadi
semakin cemas. Bahkan ia bertanya kepada diri sendiri,
“Apakah Pandan
Wangi telah kesurupan demit belik itu?”
Tetapi sejenak
kemudian, Pandan Wangi itu memanggilnya,
“Rudita,
kemarilah.”
Dengan
tergesa-gesa Rudita mendekat, meskipun beberapa langkah dari Pandan Wangi ia
berhenti sambil memperhatikan gadis itu. Tetapi agaknya gadis itu tidak sedang
kemasukan hantu.
“Apa yang kau
perhatikan?”
“Kemarilah,
lihatlah.”
“Apa?”
“Rerumputan
ini.”
“He, kemana
kau?” bertanya Rudita ketika ia melihat Pandan Wangi menyelusuri sesuatu.
“Telapak kaki
di atas rerumputan. Ranting-ranting perdu yang berpatahan.”
“Ah, tentu
orang-orang yang pergi ke belik ini lebih dahulu dari kita.”
“Mereka tidak
akan sampai sejauh ini. Semula aku menduga demikian. Tetapi ketika aku
perhatikan, maka ada sebuah jalur yang panjang. Tentu segerombolan orang telah
lewat melalui tempat ini. Dari dalam hutan dan berbelok menyelusuri hutan perdu
ini.”
“Ah, darimana
kau tahu.”
“Lihat.
Bekas-bekas kaki dan ranting yang patah ini datangnya dari arah itu dan
kemudian menuju ke arah ini. Lihat, jalur ini adalah jalur yang panjang. Memang
mungkin satu dua orang di antara mereka singgah ke belik itu, karena ada jalur
yang pergi ke sana dan meninggalkan belik itu. Tetapi aku yakin, tentu bukan
telapak kaki orang-orang kita sendiri, yang datang kemari setelah gelap semalam
dan pagi tadi mereka pergi ke belik ini selagi masih gelap. Mereka tidak akan
menyelusuri tempat ini dalam jalur yang panjang. Tetapi mereka juga tidak
sempat melihat bekas-bekas ini karena gelap.”
“Ah, sudahlah,
Pandan Wangi. Kau telah mencari persoalan. Jika kau yakin demikian, kau tidak
perlu mengatakan kepada siapa pun.”
“Kenapa?”
“Tentu hal-hal
yang sebenarnya bukan persoalan kita, akan dikupas, diurai dan dibicarakan
panjang lebar, kemudian mereka akan segera memburunya.”
Pandan Wangi
tidak segera menyahut. Dan karena Pandan Wangi masih terdiam, Rudita bertanya,
“Pandan Wangi,
kenapa manusia harus saling memburu, tidak ubahnya seperti binatang buas di
hutan? Siapa yang paling kuat, ialah yang berhak menentukan kehendaknya. Apakah
itu masih harus berlaku di dalam jaman ini?”
Pandan Wangi
menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
“Seharusnya
memang tidak, Rudita. Kita tidak boleh saling bertengkar dan apalagi saling
memburu. Tetapi bahwa manusia mempunyai sifat mempertahankan dirinya itu adalah
wajar sekali. Seperti halnya dengan kita sekarang. Tentu kita tidak akan
mencampuri persoalan orang-orang bersenjata itu, jika mereka tidak melanggar
hak kita. Kita tidak tahu, akibat apa yang dapat timbul karena pelanggaran yang
mereka lakukan di atas Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi sudah tentu akibat yang
tidak kita inginkan. Nah, kita sekarang sedang mempertahankan diri.”
“Mungkin
keteranganmu dapat dimengerti Pandan Wangi. Tetapi bagaimana dengan Raden
Sutawijaya? Orang-orang yang mungkin dianggapnya melanggar haknya telah
meninggalkan daerah Malaram. Kenapa ia masih juga mengejarnya, dan karena itu
kau pun merasa hakmu dilanggar?”
“Rudita,”
jawab Pandan Wangi,
“apa yang
dilakukan itu pun sebenarnya salah satu bentuk pula dari pembelaan diri.
Menurut Raden Sutawijaya, jika ia tidak berhasil menangkap orang-orang itu,
maka pelanggaran-pelanggaran masih akan terus terjadi. Orang-orang itu masih
saja akan menusuk Mataram dengan caranya setiap saat yang tidak terduga-duga.
Itulah sebabnya, maka Raden Sutawijaya mencari mereka sebagai satu cara untuk
membela dirinya, membela daerah yang sedang dibukanya itu.”
“Dan kau tidak
berbuat apa-apa atas pelanggaran yang dilakukan olehnya pula?”
Pandan Wangi
mengerutkan keningnya. Lalu ia pun bertanya,
“Jadi,
bagaimana menurut pendapatmu? Apakah aku harus bertindak atas Raden
Sutawijaya?”
“Tentu tidak,
Pandan Wangi. Jangan. Ia adalah putera Sultan Pajang, meskipun putera angkat.”
“Jadi
bagaimana?”
“Kau dapat
berbuat serupa terhadap orang-orang lain itu. Mereka tidak mengganggu Tanah
Perdikan Menoreh. Persoalannya adalah persoalan Mataram dengan orang-orang itu.
Kita tidak usah mencampurinya.”
Pandan Wangi memandang
Rudita sejenak, lalu,
“Sayang
Rudita, aku berpendapat, mereka dapat mengganggu kita di sini. Itulah sebabnya,
aku bersedia ikut mencari mereka dan jika mungkin menyelesaikan semua
persoalannya, sehingga tidak berkepanjangan.”
Rudita
memandang wajah Pandan Wangi dengan tatapan mata yang suram. Namun ia tidak
dapat memaksa Pandan Wangi untuk mengurungkan niatnya.
Pandan Wangi
sebenarnya merasa kasian juga melihat tingkah laku Rudita. Tetapi ia tidak
dapat berbuat apa pun untuk menolongnya. Apalagi ia yakin, bahwa ia sedang
melakukan sesuatu yang dianggapnya bermanfaat bagi Tanah Perdikan Menoreh.
Karena itu, agar Rudita tidak mempersoalkannya berkepanjangan, maka Pandan Wangi
pun kemudian berkata,
“Rudita,
mungkin kita tidak usah pergi ke mana pun.”
Rudita
memandang Pandan Wangi sambil bertanya, “Maksudmu?”
“Aku mengharap
orang-orang itu hanya sekedar bermalam di tempat yang tersembunyi. Pagi ini
mereka akan segera kembali lewat jalan ini pula.”
“He,”
tiba-tiba saja wajah Rudita menjadi tegang,
“apakah mereka
akan lewat jalan ini pula?”
“Mungkin
sekali.”
Rudita menjadi
gelisah. Tiba-tiba saja ia berkata,
“Marilah kita
kembali ke perkemahan kita, Pandan Wangi.”
“Kita menunggu
sebentar. Jika mereka lewat, kita tidak perlu mencarinya lagi.”
“Kita berdua?”
“Bukankah kita
mempunyai banyak kawan?”
“Tetapi mereka
tidak berada di sini.”
“Aku akan
memanggil kawan-kawan kita, sementara kau bertempur melawan mereka, agar mereka
tidak meninggalkan tempat ini.”
“Tidak. Aku
tidak ingin berkelahi. Aku tidak sampai hati melukai apalagi membunuh sesama.”
“Jadi, kau
sajalah yang memanggil mereka. Aku yang berkelahi.”
“Jangan,
jangan. Sebaiknya kita kembali saja ke perkemahan.”
Pandan Wangi
menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
“Baiklah. Jika
kau menghendaki demikian, apa boleh buat.”
Keduanya pun
kemudian segera kembali ke perkemahan. Rudita yang cemas, bahwa orang-orang
yang lewat itu akan kembali lagi, berjalan dengan tergesa-gesa. Setiap kali ia
berpaling dan berkata,
“Cepatlah
sedikit, Pandan Wangi.”
Pandan Wangi
harus menahan senyumnya melihat tingkah laku Rudita. Tetapi ia tidak mau
membuat anak muda itu menjadi semakin sakit hati. Akhirnya mereka pun sampai ke
perkemahan ketika orang-orang yang ada diperapian yang masih menyala itu sudah
menghirup air minum mereka yang hangat. Pandan Wangi dan Rudita pun kemudian
duduk pula di antara mereka. Setiap kali Rudita memandang sikap Swandaru dan
Agung Sedayu yang dianggapnya tidak pantas di hadapan seorang putera Sultan
Pajang. Bahkan Pandan Wangi pun agaknya menganggap Raden Sutawijaya itu kawan
bermain saja. Namun ia masih menahan hatinya dan karena itu, ia masih berdiam
diri saja. Seperti yang diduga oleh Rudita, bahwa Pandan Wangi memang senang
mencari persoalan, maka gadis itu pun kemudian menceriterakan apa yang
dilihatnya itu kepada orang-orang yang ada di sekitar perapian itu.
“Kau memang
ingin mencari perkara,” desis Rudita,
“seharusnya
kau diam saja.”
“Ah, aku harus
mengatakannya. Bukankah sudah menjadi keputusan kita untuk mencarinya. Jika aku
tidak mengatakan, bahwa aku melihat jejak itu, kita nanti akan pergi ke arah
yang salah.”
“Itu lebih
baik. Jika kita tidak menemukannya, maka kita tidak akan berselisih dengan
mereka.”
Pandan Wangi
yang mengetahui perasaan Rudita itu, hanya tersenyum saja. Namun diteruskannya
ceriteranya tentang jejak yang dilihatnya itu.
“Aku ingin
melihatnya,” tiba-tiba saja Raden Sutawijaya berkata.
“Nanti
sajalah,” cegah Swandaru,
“kita
menghangatkan badan kita dengan makanan dan minuman panas ini. Kemudian kita
tidak hanya sekedar melihat jejak itu. Tetapi kita sudah siap untuk berangkat
mencarinya.”
Raden Sutawijaya
mengangguk-angguk. Katanya,
“Baiklah. Kita
mempersiapkan diri. Kita akan berangkat dan langsung memburu orang-orang itu.”
Orang-orang
yang ada di perkemahan itu pun segera mempersiapkan diri. Mereka makan minum
secukupnya karena mereka sadar, bahwa mereka akan melakukan sebuah perburuan
yang gawat.
“Makanlah,
Rudita,” berkata Pandan Wangi,
“jika kau
ingin ikut bersama kami. Mungkin malam hari kita baru kembali ke perkemahan
ini, atau bahkan besok atau lusa.”
“Ah,” desah
Rudita,
“ayah dan ibu
tentu menanti kedatanganku dengan cemas.”
“Apakah kau
ingin pulang lebih dahulu? Biarlah seorang pengiring mengantarkanmu.”
“Kau sajalah,
Pandan Wangi. Antarkan aku pulang dahulu.”
Pandan Wangi
menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
“Tidak
mungkin, Rudita, aku sudah siap berangkat bersama sekelompok kecil ini.
Mudah-mudahan aku segera dapat kembali.”
Rudita termangu-mangu.
Katanya kemudian,
“Jika kau
pergi, aku pun ikut bersamamu.”
Swandaru
mengangkat bahunya. Tetapi ia tidak berkata apa pun juga. Prastawa yang menjadi
semakin jemu melihat sikap anak muda itu hanya dapat berdesis perlahan-lahan.
“Jika
demikian, bersiaplah. Kita akan segera berangkat.”
Sementara itu,
para pengiring Pandan Wangi dan pengawal dari Mataram pun segera bersiap. Hanya
tiga orang saja yang tinggal di perkemahan menunggui kuda-kuda yang tertambat
dan menyiapkan makan dan minum apabila setiap saat kelompok kecil itu datang.
Sejenak
kemudian, maka sekelompok pengawal dari Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh itu
pun segera berangkat meninggalkan perkemahan kecil di pinggir hutan yang lebat.
Kini bagi mereka yang penting tidak lagi ingin berburu binatang, tetapi mereka
akan berburu manusia. Namun tentu saja bukan sekedar untuk melepaskan hasrat
untuk membunuh, atau perbuatan kejahatan yang serupa. Yang penting bagi mereka
adalah memelihara kedamaian di daerah masing-masing. Tetapi bahwa yang damai
itu masih harus diperjuangkan dengan cara yang keras adalah suatu keadaan yang
masih harus di tempuh. Yang mula-mula mereka datangi adalah belik kecil tempat
mereka mengambil air dan membersihkan diri. Mereka ingin melihat jejak yang
telah dilihat oleh Pandan Wangi.
Ternyata
seperti Pandan Wangi, mereka mengambil kesimpulan, bahwa jejak itu benar-benar
jejak sekelompok orang-orang yang berjalan menyusup di antara hutan perdu.
Tentu merekalah orang yang sedang dicari oleh Sutawijaya. Jika orang-orang itu
bukan orang-orang yang dengan sengaja melalui jalan yang tidak diketahui orang
lain, maka mereka tidak akan mengambil jalan itu.
“Kita sudah
menemukan jejaknya,” berkata Raden Sutawijaya, kemudian,
“jagalah agar
kita tidak kehilangan.
“Tetapi mereka
tentu sudah jauh sekali,” sahut Swandaru.
“Kita akan
mencobanya. Tetapi jika kita kehilangan jejak ini, kita benar-benar tidak akan
dapat menduga sama sekali, ke mana mereka akan pergi.” Sutawijaya berhenti sejenak,
lalu,
“Seandainya
kita tidak menemukan orang-orangnya, asal kita dapat menggambarkan jalur jalan
yang mereka tempuh, sehingga mereka dapat menimbulkan kekacauan di
pinggir-pinggir tanah yang sedang kami garap itu, maka kami akan dapat
mengambil sikap.”
Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Sutawijaya itu berkata seterusnya,
“Nah, mumpung
masih pagi. Kita sebaiknya berangkat sekarang. Aku mempunyai beberapa orang
yang ahli di dalam menyelusuri jejak.”
Maka dua orang
pengawal Sutawijaya yang dianggap cukup berpengalaman di dalam hal menyelusuri
jejak telah berjalan di depan. Mereka mengikuti bekas-bekas kaki di rerumputan
yang berpatahan. Kemudian ranting-ranting perdu yang disibakkan, dan
bekas-bekas yang lain yang dapat diketemukan. Di belakang kedua orang
penyelusur jejak itu berjalan Sutawijaya bersama Agung Sedayu, sedang di
belakangnya Swandaru bersama Prastawa. Di belakang Swandaru, Rudita berjalan
dekat di sebelah Pandan Wangi. Seakan-akan ia tidak dapat berpisah lagi dengan
gadis itu. Tetapi pada saat itu, perasaan Rudita sama sekali tidak sedang
menilai kecantikan gadis itu, namun ia merasa paling aman berada di dekat
Pandan Wangi. Di belakang mereka berjalanlah para pengawal Raden Sutawijaya dan
beberapa orang pengiring dari Tanah Perdikan Menoreh. Ternyata bahwa mereka
tidak terlalu sulit untuk mengikuti jejak itu. Agaknya orang-orang yang
menyingkir dari Mataram karena tekanan yang berat dari para pengawal tanah yang
baru tumbuh itu, sama sekali tidak menyangka, bahwa mereka akan diikuti
jejaknya, ternyata mereka sama sekali tidak berusaha melakukan penyamaran atas
jejak mereka. Bahkan ada di antara mereka yang dengan senjata tajam, menyentuh
pohon-pohon perdu, sehingga bekasnya tampak jelas sekali. Luka-luka baru pada
pohon perdu itu masih mengembun getah. Mereka berjalan terus. Karena mereka
tidak menerobos hutan yang lebat, maka perjalanan mereka agak lebih cepat
daripada apabila mereka berjalan, di dalam hutan yang masih liar itu.
“Mereka
berjalan sepanjang pinggiran hutan ini,” berkata salah seorang dari kedua orang
yang mengenal jejak gerombolan itu.
“Ya. Itulah
yang aneh,” sahut Pandan Wangi yang mendengar kata-kata itu.
“Kenapa aneh?”
bertanya Sutawijaya.
“Jika kita
berjalan terus dengan arah ini, kita akan sampai ke bukit padas yang
keputih-putihan itu. Tidak ada sebuah desa pun yang terletak di kaki bukit
itu.”
“Jika kita
berbelok ke Timur?”
“Kita akan
menerobos ujung hutan ini dan kita akan sampai ke tepi Kali Praga.”
“Apakah hutan
itu memotong bukit yang membujur ke Timur itu?”
“Bukit itu
tidak sampai ke pinggir Kali Praga.”
“Apakah yang
ada di antaranya?”
“Tidak pernah
disentuh oleh kaki manusia. Tetapi itu adalah kelanjutan hutan yang liar ini.”
“Itulah yang
sangat menarik. Di tempat yang jarang disentuh kaki manusia. Aku justru ingin
melihatnya. Mungkin di tempat itu terdapat sarang dari gerombolan yang sedang
kita cari.”
“Aku kira
tidak,” sahut Pandan Wangi,
“daerah itu
sulit sekali didapatkan air bersih. Jika kita menggali tanah, maka akan keluar
airnya juga. Tetapi air itu berwarna kemerah-merahan dan berbau tanah kapur.”
Sutawijaya
mengerutkan keningnya. Air adalah kebutuhan pokok bagi kehidupan. Mungkin air
berbau tanah kapur itu dapat menyegarkan pepohonan yang sesuai, tetapi tentu
tidak bagi manusia. Ia tidak akan dapat hidup dengan air yang kotor, apabila di
daerah lain masih dapat diketemukan air yang jernih dengan mudah. Namun
demikian, iring-iringan itu masih berjalan terus. Jejak yang mereka ikuti
justru menjadi semakin jelas. Agaknya orang-orang itu menjadi semakin yakin,
bahwa tidak akan ada orang lain yang akan lewat jalan itu. Karena itulah, maka
jalan mereka pun menjadi semakin cepat menuju ke daerah yang belum mereka kenal
sama sekali. Namun tiba-tiba Agung Sedayu yang memperhatikan kaadaan tempat itu
dengan saksama mulai berpikir. Semakin lama justru dilihatnya jalur yang
seakan-akan sebuah jalan setapak. Rerumputan bagaikan menyibak
sebelah-menyebelah dan kadang-kadang didapatkannya seakan-akan sebuah tangga
batu cadas. Tetapi belum lagi ia mengatakan sesuatu, Raden Sutawijaya telah
menggamitnya sambil berkata,
“Kau melihat
sesuatu yang kurang wajar di daerah ini.”
Belum lagi
Agung Sedayu menjawab, hampir berbareng Swandaru dan Pandan Wangi berdesis,
“Ya. Ada
sesuatu yang perlu mendapat perhatian.”
“Jalur ini,”
sambung Agung Sedayu.
Ternyata
anak-anak muda itu hampir berbareng merasakan sesuatu yang mereka anggap tidak
pada tempatnya. Seharusnya semakin jauh mereka berjalan, maka daerah itu
menjadi semakin sulit dilalui dan jejak pun menjadi semakin sukar ditelusuri.
Tetapi ternyata yang mereka temui adalah sebaliknya. Karena itulah, maka mereka
pun segera berhenti. Raden Sutawijaya memberi isyarat kepada dua orang
kepercayaannya untuk mendekat bersama dua orangnya vang berjalan di depan.
Selain mereka, maka Agung Sedayu, Swandaru, Pandan Wangi, dan Prastawa pun
berkerumun pula mengelilinginya.
“Kita
bersama-sama telah melihat sesuatu yang mencurigakan,” berkata Raden
Sutawijaya.
“Sudah barang
tentu, bahwa kita tidak boleh terjebak dalam perangkap mereka.”
Orang-orang
yang mengerumuninya mengangguk-anggukkan kepala.
“Apakah salah
seorang dari kalian mengetahui makna dari keadaan ini?” bertanya Sutawijaya
lebih lanjut.
Sejenak
orang-orang yang mengerumuninya berdiam diri. Orang-orang yang mengawal
Sutawijaya itu tampaknya ragu-ragu meskipun agaknya ada juga yang akan mereka
katakan.
“Raden
Sutawijaya,” berkata Agung Sedayu kemudian,
“agaknya kita
memang sedang berjalan ke suatu tempat yang meskipun jarang sekali, tetapi
sekali-sekali pernah juga dilalui orang.”
Raden
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun di luar sadarnya, ia memandang
kepada Pandan Wangi yang sedang merenungi jejak yang sedang diikutinya.
“Agaknya
memang demikian,” katanya kemudian,
“tetapi aku
belum pernah mendengar laporan tentang daerah ini, tentang orang-orang yang
sering melalui jalan ini menuju ke tempat yang agaknya belum aku kenal.
Pegunungan itu merupakan batas dari jarak jelajah para pengawal Tanah Perdikan
Menoreh. Daerah seberang pegunungan itu, dan hutan yang liar yang menyilang
pegunungan itu adalah daerah tidak bertuan. Maksudku, daerah itu bukan lagi
termasuk daerah Tanah Perdikan Menoreh, meskipun sudah tentu masih termasuk di
dalam kekuasaan Pajang. Sedangkan hutan yang liar itu pun demikian juga
kedudukannya. Itulah sebabnya, kami tidak dapat mengatakan sesuatu yang mungkin
ada di balik pegunungan itu dan di dalam hutan yang masih sangat liar dan buas.
Yang mungkin tidak kalah liarnya dengan Alas Mentaok.”
Raden
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Ya. Hutan itu
tentu masih selebat dan seliar, dan barangkali melampaui Alas Mentaok, karena
Alas Mentaok sekarang sudah mulai digarap. Dan agaknya hutan itu bukannya hutan
yang sempit menjelujur sepanjang Kali Praga. Menurut pengamatanku, kita
sekarang sudah menjadi semakin jauh dari Kali Praga. Karena jalan yang kita
tempuh bukannya sejajar dengan arus Kali Praga itu.”
“Raden benar,”
sahut seorang pengawal Pandan Wangi,
“kita memang
menjadi semakin jauh dari Kali Praga. Dan pegunungan itu pun terletak semakin
jauh pula.”
Raden
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Dipandanginya beberapa ujung pegunungan yang
mencuat melebihi puncak-puncak yang lain. Agaknya pegunungan itu pun
benar-benar masih liar, meskipun merupakan jalur pegunungan yang tidak terlalu
tinggi.
“Kita tidak
akan sampai ke pegunungan itu,” berkata Raden Sutawijaya,
“tetapi kita
juga tidak akan segera kembali. Kita masih akan maju mengikuti jejak ini.
Tetapi kita harus lebih berhati-hati.”
“Maksud
Raden?” bertanya Swandaru.
“Kita tidak
boleh terjebak. Karena itu, kita harus memecah iring-iringan ini menjadi dua
atau tiga kelompok kecil. Jika salah satu dari kelompok ini masuk dalam
jebakan, yang lain masih sempat berusaha menolongnya.”
Agung Sedayu
yang mengerutkan keningnya menyahut,
“Bagus sekali.
Kita memang sedang memasuki daerah yang aku kira cukup berbahaya.”
“Nah, marilah
kita membagi seluruh pasukan kecil kita,” berkata Raden Sutawijaya,
“menjadi dua
atau tiga?”
“Dua
kelompok,” sahut Swandaru.
“Baiklah,”
berkata Raden Sutawijaya,
“yang sekelompok
akan aku pimpin sendiri. Aku akan berjalan di depan. Sedang kelompok yang
kedua?”
“Biarlah
dipimpin oleh Pandan Wangi,” sahut Agung Sedayu.
“Kenapa aku?”
“Kaulah yang
membawa beberapa orang pengiring bersamamu.”
Pandan Wangi
mengerutkan keningnya. Ia sadar, bahwa ia adalah puteri Kepala Tanah Perdikan
Menoreh yang juga berkepentingan seperti Raden Sutawijaya. Karena itu, maka ia
pun kemudian menyahut,
“Baiklah. Aku
akan berada di kelompok kedua.”
Namun
tiba-tiba saja Rudita berkata,
“Kau tidak
usah turut campur Pandan Wangi. Bawalah pengiringmu kembali ke perkemahan.
Bukankah kita sekedar akan pergi berburu?”
Semua orang
memandang wajah Rudita yang pucat karena ketakutan. Anak muda itu tentu sudah
membayangkan berbagai macam bahaya yang akan mereka hadapi. Sebenarnya setiap
orang di dalam pasukan kecil itu pun membayangkannya. Mereka sependapat, bahwa
mereka akan masuk ke dalam suatu jebakan. Tetapi mereka pun akan berusaha untuk
memecahkan jebakan itu dan mengetahui isinya.
“Pandan
Wangi,” desis Rudita, “kenapa kau diam saja?”
Pandan Wangi
menjadi termangu-mangu. Sebenarnyalah, bahwa Rudita baginya hanya akan menjadi
beban saja. Di dalam perkelaian yang seru, tentu hampir tidak ada waktunya
untuk mengurusi anak cengeng itu. Tetapi untuk menyuruhnya kembali, ia harus
menyediakan dua atau tiga orang pengiring. Bahkan di jalan kembali itu pun
Rudita dapat setiap saat diterkam oleh bahaya. Mungkin binatang buas, mungkin
orang-orang yang justru melampaui binatang buas.
“Pandan
Wangi,” Rudita mengulang. Bahkan ia pun melangkah mendekati Pandan Wangi dengan
lutut gemetar dan merengek seperti kanak-kanak.
“Rudita,”
berkata Pandan Wangi,
“kau tidak
mempunyai pilihan lagi. Kita akan pergi terus. Kau pun akan pergi terus bersama
dengan kami. Jika sesuatu terjadi di perjalanan ini, sebaiknya kau tidak usah
ikut campur. Kau tidak usah ikut berkelahi jika kita harus berkelahi. Tetapi
kau juga jangan mengganggu kami jika kami sedang berkelahi.
“Apakah kau
akan berkelahi?”
“Hanya satu
kemungkinan. Lebih baik lagi jika kita tidak bertemu dengan siapa pun, meskipun
dengan demikian berarti perjalanan ini sia-sia.”
Rudita tidak
menyahut. Seperti kata Pandan Wangi, ia memang tidak mempunyai pilihan lagi. Ia
harus berjalan terus, apa pun yang akan terjadi. Karena itu, maka hatinya pun
menjadi semakin kecut. Bahkan kemudian setitik air matanya mengambang di
pelupuknya. Perlahan-lahan terdengar ia berkata,
“Aku sudah
tersesat di antara orang-orang yang tidak saja berburu binatang, tetapi
ternyata juga berburu manusia.”
“Nasibmu
memang jelek, Rudita,” Prastawa yang tidak tahan lagi menjawab.
“Diam kau!”
Rudita masih juga membentak.
“Kenapa kau
tidak minta mayat lawan kita yang pertama sebagai hadiah buat Pandan Wangi,”
sahut Prastawa kemudian.
Mendengar
pertanyaan itu, terasa segenap bulu-bulu Rudita berdiri, sehingga ia tidak
dapat menjawabnya. Namun Pandan Wangi lah yang menyahut,
“Sudahlah,
Prastawa. Jika demikian, maka kau pun menjadi seorang yang dikuasai oleh
perasaanmu saja tanpa pertimbangan nalar. Anak ini benar-benar sedang dicengkam
ketakutan yang luar biasa.”
Prastawa tidak
menjawab, meskipun ia berkata di dalam hatinya,
“Kenapa ia
masih juga dapat menyombongkan dirinya, seolah-olah ia adalah orang yang paling
berkuasa di sini.” Namun ketika ia melihat wajah anak itu semakin pucat, ia pun
berkata pula di dalam hatinya,
“Sebenarnya
kasihan juga Rudita itu.”
Demikianlah,
maka kemudian mereka benar-benar telah membagi seluruh pasukan kecil itu
menjadi dua kelompok.
Sekelompok
dipimpin oleh Raden Sutawijaya sendiri dengan seluruh anak buahnya, sedang
kelompok yang lain dipimpin oleh Pandan Wangi, dan terdiri atas Agung Sedayu,
Swandaru, Prastawa, dan para pengiring yang dibawanya dari Menoreh. Sedangkan
Rudita justru menjadi beban kelompok kedua, apabila mereka benar-benar terlibat
di dalam pertempuran. Yang sekelompok, yang dipimpin oleh Raden Sutawijaya itu
pun kemudian berjalan mendahului dengan meninggalkan ciri-ciri baru agar
kelompok berikutnya tidak kehilangan jejak. Di samping jejak yang agaknya
sengaja ditinggalkan oleh orang-orang yang sedang mereka ikuti, maka Raden
Sutawijaya pun memberikan tanda yang sudah saling mereka setujui. Selain
tanda-tanda itu, maka beberapa orang di dalam kelompok pertama akan memberikan
tanda-tanda khusus, apabila mereka telah terlibat di dalam kesulitan.
“Kami membawa
panah sendaren,” berkata Pandan Wangi ketika mereka berpisah,
“adalah
kebiasaan kami di dalam perburuan. Jika kami saling berpisah maka kami saling
memberikan tanda dengan panah sendaren.”
“Baiklah,”
jawab Sutawijaya,
“kami akan
membawa panahmu yang dapat bersiul itu. Mungkin kami memerlukannya.”
Maka kedua
kelompok itu pun maju perlahan-lahan dalam jarak yang agak jauh, sehingga bagi
orang lain tidak segera diketahui, bahwa di belakang kelompok yang dipimpin
oleh Sutawijaya itu terdapat kelompok yang lain lagi. Di sepanjang jalan sempit
yang ditelusuri, Sutawijaja melihat tanda yang memang semakin jelas, sehingga
ia pun yakin, bahwa ada kesengajaan dari orang-orang yang sedang dicarinya itu
untuk memancing mereka. Dengan demikian, maka Sutawijaya pun menjadi semakin
berhati-hati. Apalagi ketika mereka sampai ke tempat yang terbuka.
“Kelompok di
belakang kita itu pun tidak akan dapat menyembunyikan diri, apabila mereka
melintasi tempat terbuka ini,” berkata Sutawijaya kepada pengiringnya,
“sehingga
dengan demikian, orang-orang yang akan menjebak kita itu pun segera akan
melihat, bahwa kita terdiri dari dua kelompok.”
Pengiringnya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun salah seorang daripada mereka pun
berkata,
“Kita dapat memberikan
tanda, agar mereka berhenti di sini.”
“O,” Raden
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kita pun akan
berhenti pula di tempat yang terbuka itu. Jika benar mereka menjebak kita,
mereka tidak akan telaten menunggu. Merekalah yang akan memasuki daerah terbuka
ini menyerang kita, sedang kelompok orang-orang Menoreh itu tetap terlindung di
sini.”
Sutawijaya
mengangguk-angguk sambil memandangi medan di hadapannya. Sebuah tempat yang
terbuka, meskipun tidak terlalu luas. Sedangkan tanda-tanda yang dapat
dilihatnya adalah tapak-tapak kaki di atas rerumputan dan batang-batang ilalang
yang berpatahan.
“Baiklah,” berkata
Sutawiiaya,
“berilah tanda
agar kelompok orang-orang Menoreh dan Sangkal Putung itu berhenti di sini. Kita
akan berjalan terus dan kita akan berusaha memancing mereka keluar dan
menyerang kita di tempat yang terbuka. Sementara itu orang-orang Menoreh dapat
memperhatikan pertempuran itu langsung dari tempat ini, jika kehadiran mereka
tidak segera diketahui.”
Salah seorang
dari pengiring Raden Sutawijaya itu pun segera memberikan tanda. Di jalur
sempit itu diletakkannya sebuah ranting yang menyilang. Seperti yang sudah
mereka setujui, tanda itu adalah suatu isyarat agar Pandan Wangi berhenti
sejenak. Jika tidak ada isyarat lain, maka beberapa saat kemudian mereka dapat
melanjutkan perjalanan. Setelah tanda itu siap, maka Sutawijaya pun kemudian
membawa orang-orangnya maju beberapa langkah lagi dengan hati-hati, sehingga
mereka benar-benar sampai ke mulut lorong yang bermuara di tempat terbuka itu. Namun
sebelum mereka melanjutkan perjalanan yang dengan sengaja memasuki daerah
terbuka itu, salah seorang yang memiliki ketajaman pengamatan terhadap
jejak-jejak berbisik,
“Raden. Tidak
semua orang di dalam kelompok yang sedang kita ikuti itu pergi melalui tempat
terbuka ini.”
“Darimana kau
tahu?”
“Sebagian dari
mereka telah memisahkan diri. Aku dapat melihat jejak mereka, meskipun mereka
berusaha menyamarkannya. Sedang jejak di tempat terbuka itu sengaja mereka buat
agar menjadi jelas.”
“Dugaan kita
benar. Mereka telah menjebak kita.”
“Ya. Dan kita
pun harus berusaha menjebak mereka.”
“Bersiaplah.
Kita agaknya benar-benar harus bertempur. Orang itu memancing kita sampai ke
tempat yang jauh. Tentu mereka mempunyai alas kekuatan di daerah ini.”
“Tetapi kenapa
justru di daerah Menoreh?”
“Di sini, di
daerah sulit yang terpencil. Tetapi mungkin juga dengan maksud, agar kita
terjerumus ke dalam benturan senjata dengan para pengawal Menoreh. Jika itu
tidak terjadi, mereka sudah menyiapkan jebakan buat kita.”
Para
pengiringnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun mereka pun menyadari, bahwa
mereka akan segera sampai ke medan yang cukup berat. Sedang beberapa orang di
antara mereka, masih belum mengetahui kemampuan orang-orang Menoreh dan
anak-anak muda dari Sangkal Putung itu, sehingga sebagian dari mereka sama
sekali tidak memperhitungkan kehadiran orang-orang Menoreh yang mereka anggap
sebagai pengawal-pengawal Tanah Perdikan, yang dilakukan sekedar selingan dari
kerja mereka di sawah dan ladang. Sejenak kemudian, maka Raden Sutawijaya pun
membawa para pengiringnya memasuki tempat terbuka itu. Namun mereka memusatkan
perhatian mereka ke arah jejak yang lain, yang menyimpang dari jejak yang
sengaja mereka tinggalkan. Jika benar orang-orang itu akan menjebak mereka,
maka mereka tentu akan datang dari arah itu. Dengan hati-hati pasukan kecil itu
merayap maju. Dua orang yang berjalan di paling depan masih saja berpura-pura
mencari jejak, meskipun sebenarnya jejak itu terlampau jelas untuk dilihat.
Namun tiba-tiba
kedua, orang itu berhenti hampir di tengah-tengah tempat terbuka itu. Dengan
kerut-merut dikeningnya salah seorang dari mereka berkata,
“Kita
benar-benar telah dijebak. Kini tentu bukan lagi sekedar dugaan. Karena itu,
kita harus bersiap. Sebentar lagi kita akan terlibat di dalam perkelahian.”
Raden
Sutawijaya mendekati orang itu sambil bertanya,
“Apakah kau
melihat suatu pertanda yang lebih pasti?”
“Jejak itu
hilang di sini.”
Raden
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Katanya,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar