Jilid 072 Halaman 3


Tetapi ia tidak ingin bertempur benar-benar seperti seorang prajurit yang pantang meninggalkan arena.
“Jika aku mundur kali ini, bukan berarti bahwa aku kalah,” berkata Daksina di dalam hati. Meskipun ia sendiri berhasil selalu mendesak Raden Sutawijaya, tetapi anak buahnya semakin lama menjadi semakin susut. Dan Daksina pun sadar, bahwa pada suatu saat orang-orang yang bercambuk itu setelah mengalahkan lawan-lawan mereka, maka mereka pasti akan membantu Raden Sutawijaya.
“Gila,” Daksina mengumpat. Ialah yang justru terjebak oleh kekhilafannya. Ia dengan tidak berhati-hati telah mengatakan beberapa rahasia yang seharusnya hanya boleh diketahui oleh lingkungannya.
Sekali lagi ia menggeram di dalam dadanya,
“Untunglah aku belum menyebut nama-nama lain.”
Maka tidak ada pilihan lain bagi Daksina untuk menyingkir dari arena, sehingga dengan demikian, maka ia pun segera meneriakkan sebuah aba bagi anak buahnya untuk menghindar dari pertempuran itu. Ketika anak buahnya mendengar perintah yang meloncat dari mulut Daksina itu pun, mereka segera berloncatan mundur dari arena. Ternyata mereka adalah orang-orang yang cukup terlatih. Meskipun mereka bukan semuanya prajurit-prajurit Pajang seperti Daksina, namun mereka mampu menempatkan diri mereka dalam ikatan seperti sekelompok prajurit. Mereka ternyata tidak berlari bercerai-berai. Tetapi mereka sempat mengatur pasukan sambil menarik diri. Sudah barang tentu bahwa Sutawijaya tidak melepaskan mereka, terutama Daksina. Namun usaha untuk menangkapnya bukan usaha yang mudah, apalagi anak buahnya dengan sengaja telah melindunginya. Meskipun di dalam gerakan surut itu beberapa orang di antara mereka telah jatuh, namun mereka sempat mencapai daerah hutan yang agak lebat. Demikian mereka mencapai daerah yang berpohon-pohon besar dan bergerumbul lebat, barulah mereka seakan-akan terpecah. Beberapa langkah Sutawijaya masih berusaha mengejar Daksina. Tetapi ternyata medan menjadi sangat berbahaya, sehingga ia pun kemudian terpaksa menghentikan pengejaran itu dan memberikan isyarat kepada anak buahnya untuk berkumpul. Di dalam hutan perdu yang semakin dalam menjadi semakin lebat, bahkan kemudian berhubungan dengan hutan yang masih liar, akan sangat berbahaya bagi anak-buah Sutawijaya. Mereka masih belum mengenal medan, dan mereka tidak tahu, di manakah sebenarnya sarang lawan mereka.
“Jika sarang itu tidak begitu jauh lagi dari tempat ini, kitalah yang kemudian benar-benar terjebak,” berkata Raden Sutawijaya.
“Tentu,” desis Agung Sedayu,
“orang itu tidak akan tinggal diam. Jika yang disebut Panembahan Agung itu adalah orang yang menyebut dirinya panembahan tidak bernama, maka kita benar-benar menghadapi bahaya.
“Atau bahkan orang lain yang lebih tinggi kedudukannya di dalam susunan mereka,” sahut Swandaru.
“Itu perlu kita pertimbangkan,” desis Raden Sutawijaya.
Untuk beberapa saat, anak-anak muda itu termangu-mangu. Juga Pandan Wangi tidak segera menyatakan pendapatnya. Ternyata mereka tidak sekedar menghadapi orang-orang yang tidak dikenal, tetapi di daerah yang terpencil itu justru menjadi jalur yang meskipun belum mereka ketahui dengan pasti. Tetapi agakmya mempunyai hubungan yang erat dengan sarang orang-orang yang tidak dikenal itu.
“Ada beberapa yang dapat kita tangkap dari perburuan ini,” berkata Sutawijaya.
“Kita tahu pasti, bahwa memang ada orang di Istana Pajang yang dengan sengaja telah mengaburkan hubungan antara Pajang dan Mataram.”
“Ya,” sahut Agung Sedayu,
“kita sudah lama menduga. Tetapi kini kita sudah menemukan beberapa orang dari antara mereka. Bukankah yang bernama Daksina itu seorang perwira prajurit Pajang seperti juga kakang Untara dan mertuanya?”
“Ya,” jawab Raden Sutawijaya,
“bahkan orang ini memiliki kelebihan dari Untara. Umurnya lebih tua dan kemampuannya pun agaknya tidak kalah dari Untara, karena pengalamannya. Tetapi ia mempunyai sifat yang kurang baik. Dan kini ternyata, bahwa ia telah berkhianat, karena tindakannya sama sekali sekedar untuk kepentingan sendiri. Berbeda dengan Untara. Seandainya pada suatu saat ia datang ke Mataram dengan prajurit segelar sepapan, itu tentu karena ia seorang senapati yang sedang menjalankan tugas.”

Yang mendengarkan keterangan Sutawijaya itu saling berpandangan sejenak. Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya tanpa disadarinya. Jika terjadi demikian, maka ia akan menghadapi persoalan yang rumit. Untara adalah kakak kandungnya. Sedang ia tidak dapat ingkar, bahwa hatinya lebih condong untuk melihat Mataram yang berkembang daripada mempertahankan kehadiran Pajang.
“Baiklah,” berkata Sutawijaya kemudian,
“kita masih mempunyai waktu untuk berbicara. Marilah kita kembali ke perkemahan itu. Kita beristirahat sejenak, dan pada saat itu mungkin kita dapat menemukan langkah-langkah yang sebaiknya kita lakukan.”
“Baiklah,” sahut Pandan Wangi,
“kita memang memerlukan banyak pertimbangan bagi tindakan selanjutnya, yang mungkin tidak akan dapat kita lakukan sendiri. Aku harus melaporkan hal ini kepada ayah.”
“Ada baiknya. Tetapi jika aku masih dapat mengatasi persoalannya, aku akan melakukannya,” berkata Raden Sutawijaya.
“Tetapi daerah ini adalah daerah Tanah Perdikan Menoreh,” jawab Pandan Wangi.
“Kita tidak tahu, di manakah sarang mereka. Namun yang terjadi ini adalah di tlatah Menoreh. Dan ayah adalah Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Kamilah yang lebih berhak dan lebih dari itu, lebih berkewajiban untuk menyelesaikannya, kecuali jika mereka telah melarikan diri ke seberang Timur Kali Praga.”
Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
“Ya. Kau benar. Memang daerah ini adalah daerah Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi bagi Pajang maka perburuan semacam ini sama sekali bukan suatu pelanggaran, selama dipandang perlu bagi pengamanan Pajang di dalam keseluruhan.”
“Jika Raden bertindak atas nama putera Sultan Pajang. Tetapi ternyata bahwa apa yang kita hadapi adalah berbeda. Mungkin Daksina itu dapat juga menyebut dirinya bertindak atas kepentingan Pajang di dalam keseluruhan, seandainya ia tidak terlanjur menyebut usaha perlawanannya dan bahkan permusuhan terhadap Pajang dan sekaligus Mataram,” sahut Pandan Wangi.
Terasa sesuatu bergejolak di dada Raden Sutawijaya. Ia merasakan sindiran yang tajam itu. Bahkan Agung Sedayu dan Swandaru pun menjadi berdebar-debar. Tetapi Raden Sutawijaya tidak ingin membuat persoalan yang tidak dikehendakinya dengan tlatah Menoreh, yang akan bersentuhan batas dengan Mataram. Apalagi Mataram memang belum memiliki bentuknya yang pasti. Karena itu, maka katanya kemudian,
“Baiklah. Memang seharusnya Ki Argapati mengetahuinya apa yang sudah terjadi dan apa yang berada di atas Tanah Perdikannya. Mudah-mudahan Tanah Perdikan Menoreh tidak selalu diganggu oleh pihak-pihak yang bersengketa seperti sekarang ini.”
“Tetapi usaha bersama seperti yang sedang kita lakukan adalah menguntungkan sekali,” potong Agung Sedayu.
“Mungkin aku tidak berhak untuk berbicara tentang Tanah Perdikan Menoreh dan tentang Tanah Mataram yang baru tumbuh. Tetapi demikianlah agaknya.”

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Ia pun tidak menghendaki pembicaraan itu menjadi semakin mendalam, dan yang bahkan mungkin dapat menumbuhkan salah paham. Karena itu maka katanya kemudian,
“Baiklah, kita akan berbicara kemudian. Kita akan kembali ke perkemahan.
Demikianlah, kelompok-kelompok itu kembali sambil membawa kawan-kawan mereka yang terluka. Bahkan dengan wajah yang tunduk Raden Sutawijaya merenungi dua orang kawannya yang gugur, sedang beberapa orang terluka.
“Kita bawa mereka kembali ke Mataram. Sedang mayat orang-orang yang tidak dikenal itu, biarlah diurus oleh kawan-kawan mereka sendiri, yang tentu akan kembali lagi kemari.”
Maka dengan demikian, mereka pun segera meninggalkan tempat itu kembali ke perkemahan. Namun sesuatu telah menggetarkan hati mereka. Rudita yang bersembunyi, ternyata tidak ada di tempatnya lagi.
“Rudita, Rudita,” Pandan Wangi memanggilnya dengan cemas.
“Rudita,” Prastawa mengulang lebih keras. Tetapi mereka tidak mendengar seseorang menyahut suaranya itu.
Sejenak orang-orang yang menjadi kebingungan itu berdiri termangu-mangu. Mereka mencoba untuk melihat, barangkali mereka menemukan jejak atau semacam petunjuk yang dapat dipergunakannya untuk mengetahui, setidak-tidaknya untuk menduga, ke manakah kiranya Rudita itu pergi.
Tetapi mereka tidak melihat sesuatu.
“Bagaimana dengan Rudita?” Pandan Wangi menjadi sangat cemas.
“Akulah yang menyuruhnya bersembunyi di sini. Tetapi tiba-tiba anak itu hilang.”
“Apakah ia pergi ke perkemahan?” desis Swandaru
“Ia tidak akan berani pergi ke tempat itu sendiri.”
“Mungkin karena ia tidak tahan lagi disiksa oleh ketakutannya yang lain, ketika ia melihat perkelahian di tempat terbuka itu, apalagi ketika dilihatnya beberapa orang sudah terluka dan bahkan terbunuh.”
“Suatu kemungkinan,” sahut Prastawa. Namun dalam pada itu Agung Sedayu dan Raden Sutawijaya masih berusaha untuk menemukan jejak seseorang. Mereka berdua ternyata mempunyai dugaan yang kuat bahwa Rudita telah mengalami bencana sehingga mau tidak mau mereka harus ikut memikul tanggung jawab atas hilangnya anak itu. Apalagi mereka telah dipengaruhi pula oleh perasaan iba dan kasihan. Terlebih-lebih lagi Agung Sedayu yang pernah mengalami, betapa tersiksanya dicengkam oleh perasaan takut.
Keduanya tertegun ketika mereka melihat sesuatu. Mereka melihat beberapa helai daun yang bertebaran. Bukan helai-helai daun kuning, tetapi helai-helai daun yang masih hijau. Bahkan tangkai-tangkainya tampak betapa daun-daun itu telah direnggut dari batangnya.
“Kau mempunyai pendapat tentang daun-daun itu?” bertanya Sutawijaya.
“Tentu direnggut dengan paksa. Dan ini adalah satu-satunya jejak yang dapat kita lihat.”
“Maksudmu Rudita telah pergi karena ketakutan?”
“Bukan begitu. Tentu seseorang telah memaksanya, dan ia berpegangan apa saja yang dapat digenggam.”
“Satu kemungkinan. Tetapi tentu ada jejak yang lain.”
“Itulah yang membuat aku berdebar-debar. Tentu seseorang yang memiliki ilmu yang tinggi yang dapat melakukannya seandainya begitu. Ia berhasil menghilangkan jejak, kecuali daun-daun yang bertebaran itu, yang barangkali tidak sempat diperhatikannya.”
“Ya, Rudita tentu meronta-ronta.”
“Tetapi kenapa tidak berteriak?”
“Mulutnya mungkin disumbat. Atau dengan cara-cara yang lain.”

Dalam keasyikan itu, mereka ternyata telah mengikuti jejak beberapa langkah masuk ke dalam gerumbul-gerumbul. Meskipun pendek, tetapi mereka dapat menduga ke arah mana Rudita itu dibawa. Agaknya untuk memudahkan orang itu, Rudita telah dibuatnya diam.
Pandan Wangi, Swandaru, dan Prastawa pun ternyata kemudian mulai memperhatikan kedua orang itu. Perlahan-lahan mereka mendekatinya dan mengamati apakah yang sedang mereka kerjakan.
“Rudita agaknya telah dibawa orang dengan paksa,” berkata Agung Sedayu kemudian.
“Kau menemukan jejaknya?” bertanya Pandan Wangi.
Agung Sedayu dan Sutawijaya pun kemudian menunjukkan beberapa helai daun yang masih hijau dan nampaknya direnggut begitu saja dari tangkainya dan jatuh bertebaran.
“O,” desis Pandan Wangi, “apakah daun-daun itu dapat dijadikan petunjuk?”
“Agaknya demikian, meskipun sekedar kemungkinan. Dan orang yang membawa anak itu tentu bukan orang kebanyakan.”
Pandan Wangi menjadi pucat. Bukan karena ketakutan mendengar orang yang memiliki kelebihan itu, tetapi ia menjadi sangat cemas akan nasib Rudita. Apalagi apabila Rudita jatuh ke tangan orang-orang yang tidak dikenal itu.
“Kita memang berhadapan dengan sekelompok orang yang tangguh, tetapi licik. Itulah yang menyulitkan,” berkata Sutawijaya.
“Tetapi Rudita adalah anak yang tidak tahu apa-apa. Ia justru seorang anak muda yang sama sekali tidak menyukai kekerasan meskipun sikapnya agak sombong dan tinggi hati.”
“Aku tahu. Tetapi ia tidak dapat ingkar menghadapi kenyataan yang keras dan kasar.”
Pandan Wangi menganggukkan kepalanya. Tetapi hatinya kian menjadi berdebar-debar.
“Kita harus segera kembali ke perkemahan. Kita baru menduga-duga. Masih ada kemungkinan lain, yaitu Rudita dengan ketakutan lari ke perkemahan itu,” berkata Agung Sedayu.
“Marilah,” desis Pandan Wangi,
“jika ia tidak ada di sana kita harus memperhitungkan langkah-langkah berikutnya.”
Mereka pun segera kembali ke perkemahan sambil membawa korban yang jatuh. Yang terluka dan yang gugur. Dengan demikian, mereka tidak dapat berjalan terlalu cepat. Mereka harus mengingat kemampuan orang-orang yang sudah hampir kehabisan darah yang mengalir dari luka. Namun akhirnya mereka sampai juga ke perkemahan. Mereka melihat para pengiring Pandan Wangi sudah duduk melepaskan lelahnya bersandar pada sebatang pohon. Ketika mereka melihat orang-orang yang datang itu, mereka terkejut bukan buatan. Segera mereka meloncat berdiri dan berlari-lari menyongsongnya.
“Apa yang terjadi?” hampir berbareng mereka bertanya.
Dan pertanyaan itu telah menggetarkan dada Panaan Wangi dan kawan-kawannya. Dengan demikian maka seakan-akan mereka telah memberitahukan, bahwa Rudita tidak datang kepada mereka. Meskipun demikian, dengan nafas yang seakan-akan mengalir semakin lambat Prastawa bertanya,
“Apakah Rudita datang ke mari seorang diri?”
Para pengiring yang tinggal di perkemahan itu menjadi termangu-magu. Mereka pun menjadi heran mendengar pertanyaan itu. Salah seorang dari mereka bertanya,
“Maksudmu Rudita yang pergi bersamamu?”
“Ya.”
Pengiring itu menggelengkan kepalanya. Katanya,
“Tidak. Ia tidak datang ke mari.”
Prastawa menjadi semakin cemas. Dan Pandan Wangi pun bertambah pucat. Katanya,
“Jadi, anak itu tidak datang ke mari?”
“Tidak,” jawab salah seorang pengiring yang kemudian justru bertanya,
“Tetapi, apakah yang sudah terjadi?”
“Kita bertemu dengan yang kita cari. Kita telah bertempur.”
“O,” Para pengiring itu mengerutkan keningnya. Di pandanginya beberapa orang yang terluka, bahkan yang terbunuh di pertempuran. Tetapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang datang dari seberang Kali Praga. Sedang orang-orang Menoreh sendiri tidak begitu parah keadaannya, meskipun ada dua orang yang terluka. Tetapi tidak berat.
“Pandan Wangi,” berkata Raden Sutawijaya,
“ternyata kita tidak sedang bermain-main dan sekedar berburu kelinci. Kita di hadapkan pada lawan yang perlu mendapat perhatian yang sungguh-sungguh.”
“Ya,” jawab Pandan Wangi,
“hilangnya Rudita membuat keadaanku menjadi sulit. Jika kemudian timbul persoalan antara ayah Rudita dan ayahku, maka akulah yang menjadi sebab. Apalagi Rudita adalah sanak dari saluran darah ibuku. Bukan ayahku.”
“Mudah-mudahan kita dapat menemukan,” jawab Sutawijaya,
“aku tidak akan tinggal diam. Aku pun ikut bertanggung jawab atas hilangnya anak itu, karena akulah yang menyebabkan kalian berburu orang-orang bersenjata yang semula tidak kita kenal itu, tetapi yang ternyata adalah orang-orang yang dikendalikan oleh para perwira Pajang sendiri yang ingin berkhianat di samping ada orang-orang lain yang sengaja memancing di air keruh.”
“Jadi, apakah yang akan Raden lakukan?”
“Aku akan menghadap Ki Argapati. Biarlah para pengawalku membawa kawan-kawannya yang gugur dan terluka kembali ke Mataram dan menyampaikan persoalan ini kepada Ayahanda Ki Gede Pemanahan. Aku memerlukan sepasukan pengawal pilihan. Kita bersama-sama mencari Rudita. Bukan sekedar Rudita, tetapi aku juga mempunyai pamrih yang lain. Aku harus masuk ke dalam sarang Panembahan Agung itu, agar aku dapat memadamkan apinya, bukan sekedar asapnya. Kemudian aku tinggal memperhitungkan lawan yang ada di Istana Pajang.”
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Baiklah, Raden. Kita dapat segera berangkat. Kita tidak boleh kehilangan waktu.”
“Ya, kita harus segera berangkat, sebelum kita justru yang akan terjebak di sini.”
“Ya. Aku kira Daksina tidak akan tinggal diam. Apalagi menurut pendengaranku, ia sudah mengatakan beberapa hal mengenai rencananya.”
“Ia yakin dapat membunuh aku. Dan itu tentu terjadi jika kalian tidak datang membantuku.”
“Ah, hanya suatu kebetulan.”

Mereka pun segera mengatur diri. Para pengawal dari Mataram diperintahkan untuk segera kembali ke Mataram saat itu juga, sedang yang lain berserta Raden Sutawijaya akan pergi ke Menoreh. Persoalannya tidak dapat dihentikan sampai sekian, apalagi agaknya Rudita benar-benar telah dibawa oleh salah seorang dari mereka.
“Kita tidak boleh terjebak di sini oleh kekuatan yang lebih besar lagi dari Daksina dan yang barangkali akan datang bersama-sama dengan orang yang disebutnya Panembahan Agung itu. Daksina tentu masih berusaha untuk membungkam mulutku untuk selama-lamanya,” berkata Sutawijaya kepada para pengawalnya.
“Dan lebih dari itu, jika ia berhasil menangkap aku hidup-hidup, maka aku akan dapat dijadikannya alat untuk memeras Ayahanda Ki Gede Pemanahan untuk memenuhi tuntutan-tuntutan mereka.”
“Baiklah, Raden,” sahut pengawal yang tertua, yang diserahi untuk memimpin kawan-kawannya,
“kami akan segera berangkat.”
“Kalian tidak perlu menerobos hutan liar itu. Lebih baik kalian melingkar sedikit, tetapi perjalanan kalian akan lebih lancar dan cepat.”
“Baiklah, Raden.”
“Sebentar lagi matahari akan terbenam. Mudah-mudahan kalian tidak mengalami kesulitan. Jika Daksina berusaha mencari kalian dengan menelusuri jejak kalian, maka malam yang akan segera turun akan membantu kalian.”
“Ya, Raden.”
“Meskipun demikian, kita akan berusaha menyesatkan jejak itu. Kita yang akan pergi ke Menoreh, akan memberikan kesan agar jejak kita lebih jelas dari jejak kalian yang akan pergi ke Mataram. Kita berharap, bahwa perhatian mereka akan tertarik pada jejak yang lebih jelas itu. Untuk beberapa puluh langkah, kalian harus berusaha menyamarkan jejak kalian sejauh dapat kalian lakukan.”
“Baiklah, Raden.”
“Nah, kita harus melakukannya sekarang,” dan sambil berpaling kepada Pandan Wangi Sutawijaya berkata,
“kita harus cepat berkemas.”
Pandan Wangi menganggukkan kepalanya. Ketika ia memandang berkeliling dilihatnya Agung Sedayu, Swandaru, Prastawa, dan para pengiringnya memperhatikan pembicaraan itu dengan saksama. Bahkan kemudian Prastawa berkata,
“Kita harus secepatnya meninggalkan tempat ini.”

Meskipun tidak ada yang menyahut, namun setiap hati telah sependapat dengan kata-kata Prastawa itu. Mereka mempunyai perhitungan yang sama, bahwa Daksina akan membawa pasukan yang lebih kuat untuk membinasakan Sutawijaya yang sudah mendengar beberapa dari rahasia Daksina, yang dengan sombong dikatakannya. Selain daripada itu, Daksina dan kawan-kawannya memang memerlukan Sutawijaya yang akan dapat dipakainya untuk memeras Ki Gede Pemanahan. Dengan mempergunakan nama Ki Gede Pemanahan, maka kedudukan seseorang akan menjadi kuat di mata para adipati pesisir dan Bang Wetan.
“Marilah,” berkata Sutawijaya sambil menunggu mereka yang dengan tergesa-gesa mengemasi peralatan yang mereka bawa, terutama orang-orang Menoreh.
“Para pengawal dari Mataram sebaiknya segera berangkat. Mungkin Daksina akan mencegat perjalanan kalian. Karena itu, kalian harus mencari jalan lain. Sedang apabila mereka menempuh cara mengikuti jejak kalian, kami akan mencoba menyesatkannya. Di ujung hutan itu, kalian harus mencoba menyamarkan jejak kalian sejauh-jauhnya.”
Para pengawal dari Mataram itu pun berangkat mendahului orang-orang Menoreh. Mereka membawa kawan-kawan mereka yang terbunuh dan yang terluka. Seperti pesan Raden Sutawijaya mereka menempuh jalan yang lain, yang tidak usah menerobos hutan liar itu, seperti jalan yang akan dilalui oleh Sutawijaya dan orang-orang Menoreh kemudian. Setelah para pengiring Pandan Wangi selesai mengemasi peralatannya, maka mereka pun segera berangkat meninggalkan perkemahan itu. Karena Raden Sutawijaya tidak membawa kuda sendiri, maka salah seorang pengawal Pandan Wangi telah meminjamkan kudanya. Sampai di ujung hutan, ternyata bahwa para pengawal dari Mataram itu berusaha menyamarkan jejaknya. Dengan hati-hati mereka maju dan menghindari tempat yang gembur dan sentuhan pada ranting-ranting perdu, sementara seseorang menyapu jejak mereka dan menaburkan daun-daun kering untuk menyesatkan perhatian. Dalam pada itu, para pengiring Pandan Wangi justru menegaskan jejak mereka yang berbelok kejurusan lain. Bekas kaki-kaki kuda dan beberapa macam benda yang sengaja mereka jatuhkan, menunjukkan arah perjalanan mereka, ke pusat pemerintahan Tanah Perdikan Menoreh.
Ketika matahari kemudian terbenam, Sutawijaya menjadi berdebar-debar. Ada dua kemungkinan yang sama besar bagi para pengawalnya. Jika orang-orang Daksina benar-benar mencarinya, dan menyelusuri jejak perjalanan para pengawalnya, mereka akan menemui kesulitan karena gelap yang pekat. Tetapi jika mereka menempuh jalan lain dan berhasil mencegat para pengawal itu di tempat yang tepat, maka para pengawalnya tidak akan banyak memberikan perlawanan. Tetapi para pengawal dari Mataram itu pun ternyata adalah orang yang cukup berpengalaman. Mereka tidak menyeberangi Kali Praga melalui jalan yang biasa, tetapi mereka menempuh jalan-jalan memintas yang jarang dilalui orang. Meskipun mereka agak kesulitan mencari getek-getek penyeberangan, tetapi karena ada di antara mereka yang sudah mengenal orang-orang yang memiliki getek-getek semacam itu, maka dengan sedikit penjelasan, mereka pun berhasil meminjam dari mereka dan membawa getek itu dari tempat penyeberangan yang biasa, ke tempat yang lain untuk menghindari orang-orang Daksina yang mungkin mengejar mereka atau mencegat di tempat penyeberangan yang mereka perhitungkan. Sementara itu, Sutawijaya dan kawan-kawannya beserta para pengiring dari Tanah Perdikan Menoreh pun berpacu secepat-cepatnya untuk segera dapat mencapai induk Tanah Perdikan. Bukan karena mereka ketakutan dikejar oleh Daksina, tetapi karena mereka dicemaskan oleh nasib Rudita. Mereka harus segera dapat berhubungan dengan orang-orang tua seperti Ki Argapati, Kiai Gringsing, dan Sumangkar. Tanpa mereka, maka usaha untuk menemukan Rudita adalah sulit sekali. Dan selain daripada itu, tusukan langsung ke sarang orang yang menyebut dirinya Panembahan Agung itu tentu akan sangat berguna bagi Mataram dan juga Menoreh. Dalam pada itu, sebenarnyalah Daksina yang melarikan diri dari arena, berusaha untuk mendapatkan bantuan secukupnya. Dengan orang-orangnya yang baru dan seorang yang menyebut dirinya Putut Nantang Pati, dari padepokan yang tersembunyi, Daksina berusaha menyusul Raden Sutawijaya.
“Apakah kita tidak menghadap Panembahan Agung lebih dahulu ke Padepokan Medang?” bertanya Putut Nantang Pati.
“Kita akan kehilangan mereka, terutama Raden Sutawijaya. Perjalanan ke Padepokan Medang akan memerlukan waktu, jarak antara padepokanmu ini sampai ke padepokan Panembahan Agung sama jauhnya dengan menyelusuri jejak Sutawijaya sampai ke tepi Kali Praga.”
“Apakah kita akan menyelusuri jejaknya, atau kita akan langsung menunggunya di Kali Praga.”
“Ada beberapa tempat penyeberangan. Kita tidak dapat menentukan, penyeberangan yang mana yang dipilihnya.”
“Kita akan menemui kesulitan untuk menyelusuri jejak di malam hari.”
“Kita akan berusaha. Mereka tentu berjalan lambat, karena mereka membawa kawan-kawan mereka yang terluka.”

Dengan membawa beberapa obor mereka pun dengan tergesa-gesa berusaha menyusul Sutawijaya. Tetapi mereka memerlukan waktu, selama mereka menyiapkan diri dan mengumpulkan orang-orangnya. Meskipun demikian, mereka pun tidak mengurungkan niatnya. Menurut perhitungan Daksina, mereka akan dapat menyusul orang-orang Mataram itu. Dengan cahaya obor mereka berusaha menyelusuri jejak orang-orang Mataram dan orang-orang Menoreh. Sejak dari arena perkelahian sehingga bekas tempat perkemahan mereka tidak menemukan kesulitan apa pun.
“Mereka belum lama meninggalkan tempat ini,” berkata Daksina.
“Ya,” jawab Putut Nantang Pati,
“perapian ini masih hangat.”
“Tentu setelah mereka kembali dari arena itu.”
“Mereka sempat mengemasi barang-barang mereka.”
“Karena itu, tentu mereka belum terlalu jauh.”
“Bagaimana kalau kita menempuh jalan yang kau pasang kemarin? Jejak yang berhasil menyeret Sutawijaya sampai ke jebakan yang kau pasang?”
“Mereka tentu tidak akan menempuh jalan itu.”
“Sayang, jebakanmu tidak mengena.”
“Tentu bukan sekedar menyesali diri. Kita harus menyusulnya. Jalan yang paling baik adalah menyelusuri jejak mereka.”
Putut Nantang Pati tidak menyahut lagi. Ia pun kemudian memandang ke dalam gelap. Cahaya obor yang kemerah-merahan seakan-akan membuat bayangan yang bergerak-gerak di pepohonan.
“Marilah,” berkata Daksina.
Mereka pun berjalan menyusuri jejak yang dapat mereka lihat di dalam cahaya obor. Beberapa orang-orang berpengalaman mengenai jejak berjalan di paling depan. Dengan ketajaman mata mereka, maka mereka dapat mengikuti jejak yang sengaja tidak disembunyikan.
“Apakah mereka akan menjebak kita seperti kita menjebak mereka? Apakah mereka dengan sengaja meninggalkan bekas agar kita terjerumus ke dalam jerat seperti kita lakukan?” gumam Daksina.
“Tentu tidak,” sahut Putut Nantang Pati,
“bukankah mereka dengan tergesa-gesa meninggalkan perkemahan? Tentu mereka memperhitungkan juga, bahwa kau akan menyusul Raden Sutawijaya, karena bagimu Sutawijaya adalah orang yang sangat penting dan sekaligus orang yang sudah mendengar beberapa hal tentang rencana yang sebenarnya masih merupakan rahasia.”
“Ya.”
“Nah, marilah. Yakinlah, bahwa kita tidak akan terjebak. Mereka tidak akan sempat mengumpulkan orang-orang lebih banyak lagi seperti yang dapat kita lakukan. Seandainya ada satu dua orang yang semula menunggui perkemahan ini, itu tidak akan berarti apa-apa.”
Daksina tidak menjawab. Mereka maju dengan hati-hati menyusup hutan perdu.
“Orang-orang Menoreh agaknya membawa kuda. Jumlahnya tidak begitu banyak,” berkata seorang yang berpengalaman mengenali jejak.
“Ya. Di antara jejak kuda masih ada jejak kaki.”
Daksina mengangguk-anggukkan kepalanya. Tentu para pengiringnya mempergunakan kuda, sedang para pengawalnya berjalan kaki, atau yang sekelompok berkuda, sedang kelompok yang lain berjalan kaki.
Untuk beberapa saat lamanya mereka mengikuti jejak itu. Namun pada suatu saat orang yang ada di paling depan berhenti sejenak. Sambil merendahkan obornya ia berkata,
“Aku melihat sesuatu yang aneh di sini.”
“Ya, mereka berbelok ke Menoreh. Semuanya. Tidak ada bekas yang lain.”
“Belum tentu jika mereka pergi ke Menoreh.”
“Jurusan itu adalah jurusan ke Menoreh. Apalagi di antara mereka terdapat orang-orang Menoreh. Agaknya mereka akan merawat orang-orang mereka yang terluka, atau mungkin menguburkan yang terbunuh.”
Namun tiba-tiba salah seorang dari mereka yang mengerti jejak itu berkata,
“Tidak. Tidak semuanya pergi ke Menoreh.”
“Maksudmu?” bertanya Nantang Pati.
“Tidak ada jejak yang lain kecuali jejak yang berbelok menuju ke induk Tanah Perdikan Menoreh.”
“Tetapi hanya jejak mereka yang berkuda sajalah yang menuju ke Menoreh. Tidak ada jejak kaki. Mereka yang berjalan kaki tentu tidak akan pergi ke Menoreh.”
“Lalu, ke manakah jejak kaki yang mengikuti jejak kuda itu?”
“Jejak itu hilang.”
Daksina mengerutkan keningnya. Katanya,
“Mereka akan membalas menjebak kita seperti yang sudah aku lakukan. Apakah mereka juga melangkah surut seperti kita di tempat terbuka itu?”

Sejenak mereka yang mengamati jejak itu ragu-ragu. Namun tiba-tiba salah seorang berkata,
“Tidak. Inilah jejak mereka. Mereka menaburkan dahan-dahan kering atau dedaunan yang hijau di atas bekas kaki mereka, agar jejak itu tidak menarik perhatian. Agaknya mereka berusaha agar jejak mereka tidak kita ketahui.”
“Jika demikian, inilah jalan yang dilalui Raden Sutawijaya. Marilah kita ikuti. Mereka tidak akan dapat menyamarkan jejaknya untuk perjalanan yang panjang. Pada suatu saat, jejak mereka akan menjadi jelas.”
“Marilah, kita percepat perjalanan ini.”
“Tetapi ternyata sulit untuk menemukan jejak yang kita ikuti. Kita benar-benar harus meneliti, seakan-akan sehelai daun demi sehelai.”
“Baiklah, tetapi kita maju terus.”
Orang-orang yang sedang mengamati jejak itu tidak menjawab. Setapak demi setapak mereka maju juga. Namun akhirnya mereka berhasil melampaui daerah penyamaran jejak. Setelah itu, maka jejak itu pun dapat dikenal dengan mudah. Daksina dan Putut Nantang Pati menjadi semakin bernafsu. Mereka yakin bahwa jalan yang mereka temukan adalah jalan yang benar, sehingga mereka akan segera dapat menyusul dan menangkap Raden Sutawijaya.
“Apalagi agaknya orang-orang Menoreh itu sudah memisahkan diri, termasuk orang-orang bercambuk itu,” berkata Daksina kemudian.
“Darimana kau tahu?” bertanya Putut Nanntang Pati.
“Mereka datang bersama orang-orang Menoreh. Agaknya mereka memang menjadi tamu Ki Argapati.”
Putut itu tidak menyahut lagi. Dengan obor di tangan orang yang berjalan di paling depan menjadi semakin lama semakin cepat, karena ia pun mengharap untuk dapat menyusul Raden Sutawijaya.
“Ternyata mereka memilih jalan yang tidak terduga-duga sebelumnya. Jika kita tidak mengerti jejaknva, kita tidak akan menyangka, bahwa mereka memilih jalan yang agak sulit ini, sedangkan di bagian lain terdapat jalan yang lebih lapang,” berkata Daksina.
“Mereka adalah orang-orang yang cukup berpengalaman,” sahut Putut Nantang Pati.
Daksina hanya menganguk-anggukkan kepalanya saja. Namun harapan di dadanya menjadi semakin berkembang ketika mereka sudah melalui jalan yang berbatu-batu padas dan agak sulit dilalui iring-iringan yang membawa orang-orang yang terluka dan apalagi beberapa sosok mayat, tidak akan dapat berjalan terlalu cepat.
“Mereka akan menunggu di pinggir Kali Praga,” desis salah seorang pengikut Daksina.
“Kenapa?”
“Tidak ada getek di daerah ini. Aku tahu pasti.”
“Tetapi mereka dapat mencari getek itu di tempat penyeberangan yang lain.”
“Belum tentu di malam hari seperti ini. Kebanyakan mereka yang memiliki getek tidak ada di atas geteknya. Mereka biasanya pulang dan tidur di rumah, karena tidak banyak orang menyeberang di malam hari.”
Daksina tidak menyahut. Kemungkinan-kemungkinan yang bermacam-macam memang dapat saja ditemuinya di dalam perjalanan ini. Dan dalam kegelisahan itulah, maka ia pun kemudian memerintahkan orang-orangnya berjalan lebih cepat lagi.

Dalam pada itu orang-orang yang akan menyeberang ke Mataram itu pun ternyata dapat bekerja dengan cepat. Kawan-kawan mereka, para pemilik getek itu pun dengan senang hati berusaha membantu, sehingga mereka tidak memerlukan waktu terlalu lama untuk menunggu. Namun demikian getek-getek itu lepas dari tepi sebelah Barat, orang-orang yang ada di atasnya menjadi terkejut karenanya. Mereka melihat beberapa buah obor menyusur jalan sempit yang baru saja mereka lalui.
“Sapakah mereka?” desis salah seorang pengawal dari Mataram yang sudah mulai mengarungi derasnya arus Kali Praga.
Kawan-kawannya pun memperhatikan obor yang mendekati dengan cepat itu. Namun mereka tidak segera dapat mengetahui siapakah mereka.
“Tentu bukan Raden Sutawijaya dan orang-orang Menoreh itu,” berkata pemimpin pengawal itu kemudian,
“mereka datang dengan tergesa-gesa dan tidak berada di punggung kuda.”
“Apakah orang-orang itulah yang dimaksud oleh Raden Sutawijaya akan segera menyusul kita?” desis yang lain.
“Mungkin. Mungkin sekali,” lalu katanya kepada para pendayung,
“percepat sedikit.”
Salah seorang pendayung itu tersenyum sambil menjawab,
“Mereka tidak akan dapat mencapai kalian setelah kalian terpisah dari tepian.”
“Tetapi mereka dapat mencari getek-getek semacam ini.”
“Mereka memerlukan waktu. Mereka harus pergi ke penyeberangan yang lain dan kemudian menyeberang dengan getek-getek itu jika ada orang yang mendayungnya.”
“Mereka dapat membangunkan para pendayung itu seperti kami membangunkan kalian.”
“Dan itu memerlukan waktu lebih banyak lagi. Sementara itu kalian sudah sampai di tepian,” tetapi pendayung itu kemudian bertanya.
“Tetapi apakah masih ada kemungkinana mereka menyusul kalian di daratan seberang Kali Praga?”
Ternyata pertanyaan itu menimbulkan persoalan bagi para pengawal. Meskipun mereka berhasil mencapai seberang, dan mendahului orang-orang yang membawa obor itu, namun memang masih ada kemungkinan orang-orang itu dapat menyusul mereka di atas tlatah Tanah Mataram itu sendiri, di daerah yang masih belum berpenghuni.
“Jika demikian,” tiba-tiba pemimpin pengawal itu berkata,
“Kita tidak langsung menyeberang di sini. Kita akan mengikuti arus air dan menepi di daerah penyeberangan yang sudah memiliki gardu-gardu pengawas. Setidak-tidaknya jumlah kita akan bertambah dengan para pengawas itu. Sementara itu, satu dua orang penghubung berkuda, dapat memanggil bantuan pada gardu-gardu terdekat.”
“Tepat sekali,” sahut seorang pengawal.
“Beri isyarat kepada getek yang lain.”
Getek itu tidak langsung memotong arus sungai dan mencapai tepian di seberang. Mereka mengikuti arus Kali Praga, dan berusaha untuk menepi di daerah terdekat dengan gardu pengawas. Dalam pada itu, Daksina dan orangnya yang sudah mencapai tepian mengumpat-umpat tidak habis-habisnya. Mereka hanya dapat melihat di dalam keremangan malam, tiga getek yang menyeberangi Kali Praga yang deras arusnya itu.
“Kita mencari getek serupa,” desis Daksina.
“Di mana?” bertanya seorang pengikutnya.
“Di jalan penyeberangan. Jika para pemiliknya tidak ada, kita dapat mendayungnya sendiri menyusul mereka.”

Beberapa orang pengiringnya menjadi termangu-mangu. Sementara itu Putut Nantang Pati justru tertawa sambil berkata,
“Kita hanya akan membuang waktu tanpa arti. Selama kita mencari getek di tempat penambatan, mereka sudah menjadi semakin jauh, dan bahkan mereka sudah akan meloncat ke darat.”
“Kita masih mempunyai kesempatan. Kita kejar mereka di atas tanah mereka sendiri. Mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa. Sekarang aku membawa orang lebih banyak lagi dari yang telah menjebak Raden Sutawijaya tetapi gagal itu, karena kehadiran orang-orang Menoreh dan orang-orang bercambuk. Tetapi tanpa mereka, orang Mataram itu tidak akan dapat melawan kita.”
Tetapi Putut Nantang Pati menggelengkan kepalanya. Katanya,
“Tidak ada gunanya. Tentu ada gardu-gardu peronda di seberang sungai. Mereka akan naik ke tepian di tempat yang mereka anggap paling aman. Lihat, mereka tidak langsung melintas sungai ini. Tetapi mereka mengkuti arus untuk beberapa saat. Tentu hal itu dilakukan dengan maksud tertentu.”
Daksina mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebagai seorang prajurit ia pun dapat mengerti pertimbangan Putut Nantang Pati. Namun sebenarnya ia masih mempunyai harapan. Menurut perhitungannya, seandainya ada juga gardu pengawas, namun tentu di dalam gardu itu tidak akan ada sepasukan prajurit yang siap untuk bertempur. Seandainya para pengawas itu sempat membunyikan isyarat, namun agaknya Daksina akan mempunyai waktu yang cukup untuk menangkap Sutawijaya. Namun ternyata bahwa Putut Nantang Pati tidak sependapat. Karena itu, maka Daksina pun tidak meneruskan niatnya.
“Kita akan segera kembali,” berkata Putut Nantang Pati kemudian,
“adalah berbahaya sekali kita mencoba untuk menangkap Sutawijaya di atas tanah yang selama ini dipertahankannya mati-matian.”
“Baiklah,” berkata Daksina,
“tetapi kali ini aku benar-benar mengalami kegagalan. Aku tidak dapat menangkap Raden Sutawijaya. Aku tidak dapat meneruskan rencanaku untuk menguasai Ki Gede Pemanahan, seperti jika Sutawijaya ada di tanganku. Dan sudah barang tentu, jalan ke Pajang bagiku akan menjadi sangat berbahaya. Mungkin sekali Raden Sutawijaya akan mengirimkan utusan untuk menghadap Sultan, seandainya Sutawijaya masih segan datang sendiri. Sutawijaya dapat melaporkan semua perbuatanku dan ceriteraku kepadanya.”
“Kau memang kurang berhati-hati,” berkata Putut Nantang Pati,
“kau seharusnya belajar dari kegagalan-kegagalan yang pernah terjadi. Orang-orang bercambuk itu seakan-akan ada di seluruh pelosok Mataram dan sekitarnya di setiap waktu. Seakan-akan setiap ada usaha yang kita lakukan orang-orang bercambuk itulah yang menggagalkannya. Usaha mengusili para pendatang dan membuka Tanah Mataram dengan hantu-hantuan itu pun gagal. Kemudian usaha menghancurkan Mataram lewat tangan Untara di Jati Anom, itu pun gagal karena orang-orang bercambuk itu pun ternyata ada di dalam rumah yang biasanya dipergunakan oleh para perwira. Kemudian usaha menutup Mataram dengan menyumbat semua jalur jalan ke Mataram itu telah dipecah pula oleh orang-orang bercambuk itu di mulut Alas Tambak Baya, padahal usaha itu nampaknya perlahan-lahan akan berhasil.”

Daksina mengangguk-anggukkan kepalanya. Kegagalan-kegagalan itu memang terasa sangat pahit. Namun ia masih tetap berharap untuk dapat menghancurkan Mataram. Ia masih mengharap, bahwa pertentangan antara Pajang dan Mataram tidak akan dapat dihindarkan lagi.
“Baiklah,” berkata Daksina kemudian,
“aku memang kurang berhati-hati kali ini. Aku menganggap bahwa, usahaku akan berhasil, sehingga aku mengatakan sebagian dari rahasia yang seharusnya tetap tersimpan. Namun aku masih mengharap, bahwa gadis Kalinyamat itu akan dapat membakar hubungan antara ayah angkat dan anaknya yang memang sudah mulai retak.”
“Kau dapat membuktikan hubungan itu? Sekedar ceritera tentang hubungan Raden Sutawijaya dengan gadis sengkeran Sultan Pajang itu tidak akan berarti apa-apa.”
“Sebentar lagi Sultan akan dapat mengetahuinya tanpa ada orang lain yang mengatakannya.”
“Maksudmu?”
“Menurut penyelidikan terakhir, gadis itu ternyata sudah mengandung.”
“He?” Putut Nantang Pati mengerutkan keningnya. Namun ia pun tertawa berkepanjangan. Katanya kemudian,
“Ternyata Sultan Pajang dan anak angkatnya itu tidak ada bedanya. Sutawijaya sudah terpengaruh oleh cara hidup ayah angkatnya, bukan oleh ayahnya sendiri. Jika benar gadis itu sudah mengandung, maka persoalannya akan menjadi semakin cepat. Tetapi apakah Panembahan Agung sudah mengetahuinya?”
“Aku sudah mengatakannya.”
Putut Nantang Pati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Jika demikian kita tidak usah cemas. Marilah kita kembali ke padepokanku.”
“Tetapi, apakah kau tidak mempertimbangkan, bahwa mungkin sekali Raden Sutawijaya akan kembali dengan membawa pasukan segelar sepapan?”
“Mereka belum melihat padepokanku. Dalam pada itu, aku akan menempatkan beberapa orang pengawas. Yang sudah ada dapat diperbanyak untuk beberapa waktu lamanya. Tetapi aku kira Raden Sutawijaya tidak akan berbuat dengan tergesa-gesa, sehingga aku masih akan mempunyai waktu untuk memikirkan. Setidak-tidaknya kita mempunyai jalan untuk melarikan diri dengan aman seandainya yang datang menurut perhitungan kami tidak terlawan.”
Daksina mengangguk-angguk. Katanya kemudian,
“Aku akan menjadi penghuni padepokanmu, karena aku tidak dapat kembali ke Pajang.”
Putut Nantang Pati memandang Daksina sejenak. Sambil mengerutkan keningnya ia bertanya,
“Kau tidak berani kembali ke Pajang, karena menurut dugaanmu Sutawijaya melaporkan kelakuanmu?”
“Ya.”
“Tentu tidak. Sultan Pajang tidak akan mempercayainya, karena bagi Pajang, Sutawijaya sudah tidak mendapat kepercayaan lagi. Namun kau harus berhati-hati. Kau dapat kembali ke Pajang, tetapi untuk sementara kau tinggal di rumah kawan-kawanmu yang terpercaya, apabila sudah sampai waktunya kau harus kembali.”
“Masih ada waktu beberapa pekan. Aku mendapat ijin meninggalkan tugasku untuk waktu yang cukup panjang.” Daksina menarik nafas, kemudian,
“Tetapi jika orang-orang Pajang tahu, bahwa ternyata aku mempergunakan waktuku untuk kepentingan ini?”
“Jangan pikirkan sekarang. Mari kita kembali.”
“Ke padepokanmu atau langsung ke padepokan Panembahan Agung itu?”
“Ke padepokanku.”
Daksina mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia masih berpaling memandang arus Kali Praga. Namun getek-getek yang membawa orang Mataram itu sudah menjadi semakin jauh.

Pada saat Daksina, Putut Nantang Pati, dan kawan-kawannya meninggalkan tanggul Kali Praga, maka pada saat itu, beberapa ekor kuda berpacu menuju ke padukuhan induk dari Tanah Terdikan Menoreh. Bersama mereka adalah Raden Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar. Namun yang kemudian lebih senang bekerja keras membuka Alas Mentaok yang liar dan ganas untuk membangun sebuah negeri yang besar. Derap kaki-kaki kuda itu mengejutkan orang-orang yang sedang tidur nyenyak. Beberapa orang tergagap bangun. Namun, derap kaki-kaki kuda itu pun sudah menjadi semakin jauh. Para peronda yang ada di gardu-gardu dengan tergesa-gesa berloncatan bangun dengan menggenggam senjata masing-masing. Apalagi sebagian dari mereka pernah mendengar, bahwa kadang ada orang-orang bersenjata yang tidak dikenal berkeliaran di sisi sebelah Timur dari Tanah Perdikan Menoreh.


Halaman 1 2 3


<<< Jilid 071                                                                                                       Jilid 073 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar