Tetapi ia tidak ingin bertempur benar-benar seperti seorang prajurit yang pantang meninggalkan arena.
“Jika aku
mundur kali ini, bukan berarti bahwa aku kalah,” berkata Daksina di dalam hati.
Meskipun ia sendiri berhasil selalu mendesak Raden Sutawijaya, tetapi anak
buahnya semakin lama menjadi semakin susut. Dan Daksina pun sadar, bahwa pada
suatu saat orang-orang yang bercambuk itu setelah mengalahkan lawan-lawan
mereka, maka mereka pasti akan membantu Raden Sutawijaya.
“Gila,”
Daksina mengumpat. Ialah yang justru terjebak oleh kekhilafannya. Ia dengan
tidak berhati-hati telah mengatakan beberapa rahasia yang seharusnya hanya
boleh diketahui oleh lingkungannya.
Sekali lagi ia
menggeram di dalam dadanya,
“Untunglah aku
belum menyebut nama-nama lain.”
Maka tidak ada
pilihan lain bagi Daksina untuk menyingkir dari arena, sehingga dengan
demikian, maka ia pun segera meneriakkan sebuah aba bagi anak buahnya untuk
menghindar dari pertempuran itu. Ketika anak buahnya mendengar perintah yang
meloncat dari mulut Daksina itu pun, mereka segera berloncatan mundur dari
arena. Ternyata mereka adalah orang-orang yang cukup terlatih. Meskipun mereka
bukan semuanya prajurit-prajurit Pajang seperti Daksina, namun mereka mampu
menempatkan diri mereka dalam ikatan seperti sekelompok prajurit. Mereka
ternyata tidak berlari bercerai-berai. Tetapi mereka sempat mengatur pasukan
sambil menarik diri. Sudah barang tentu bahwa Sutawijaya tidak melepaskan
mereka, terutama Daksina. Namun usaha untuk menangkapnya bukan usaha yang
mudah, apalagi anak buahnya dengan sengaja telah melindunginya. Meskipun di
dalam gerakan surut itu beberapa orang di antara mereka telah jatuh, namun
mereka sempat mencapai daerah hutan yang agak lebat. Demikian mereka mencapai
daerah yang berpohon-pohon besar dan bergerumbul lebat, barulah mereka
seakan-akan terpecah. Beberapa langkah Sutawijaya masih berusaha mengejar
Daksina. Tetapi ternyata medan menjadi sangat berbahaya, sehingga ia pun
kemudian terpaksa menghentikan pengejaran itu dan memberikan isyarat kepada
anak buahnya untuk berkumpul. Di dalam hutan perdu yang semakin dalam menjadi
semakin lebat, bahkan kemudian berhubungan dengan hutan yang masih liar, akan
sangat berbahaya bagi anak-buah Sutawijaya. Mereka masih belum mengenal medan,
dan mereka tidak tahu, di manakah sebenarnya sarang lawan mereka.
“Jika sarang
itu tidak begitu jauh lagi dari tempat ini, kitalah yang kemudian benar-benar
terjebak,” berkata Raden Sutawijaya.
“Tentu,” desis
Agung Sedayu,
“orang itu
tidak akan tinggal diam. Jika yang disebut Panembahan Agung itu adalah orang
yang menyebut dirinya panembahan tidak bernama, maka kita benar-benar
menghadapi bahaya.
“Atau bahkan
orang lain yang lebih tinggi kedudukannya di dalam susunan mereka,” sahut
Swandaru.
“Itu perlu
kita pertimbangkan,” desis Raden Sutawijaya.
Untuk beberapa
saat, anak-anak muda itu termangu-mangu. Juga Pandan Wangi tidak segera
menyatakan pendapatnya. Ternyata mereka tidak sekedar menghadapi orang-orang
yang tidak dikenal, tetapi di daerah yang terpencil itu justru menjadi jalur
yang meskipun belum mereka ketahui dengan pasti. Tetapi agakmya mempunyai
hubungan yang erat dengan sarang orang-orang yang tidak dikenal itu.
“Ada beberapa
yang dapat kita tangkap dari perburuan ini,” berkata Sutawijaya.
“Kita tahu
pasti, bahwa memang ada orang di Istana Pajang yang dengan sengaja telah
mengaburkan hubungan antara Pajang dan Mataram.”
“Ya,” sahut
Agung Sedayu,
“kita sudah
lama menduga. Tetapi kini kita sudah menemukan beberapa orang dari antara
mereka. Bukankah yang bernama Daksina itu seorang perwira prajurit Pajang
seperti juga kakang Untara dan mertuanya?”
“Ya,” jawab
Raden Sutawijaya,
“bahkan orang
ini memiliki kelebihan dari Untara. Umurnya lebih tua dan kemampuannya pun
agaknya tidak kalah dari Untara, karena pengalamannya. Tetapi ia mempunyai
sifat yang kurang baik. Dan kini ternyata, bahwa ia telah berkhianat, karena
tindakannya sama sekali sekedar untuk kepentingan sendiri. Berbeda dengan
Untara. Seandainya pada suatu saat ia datang ke Mataram dengan prajurit segelar
sepapan, itu tentu karena ia seorang senapati yang sedang menjalankan tugas.”
Yang
mendengarkan keterangan Sutawijaya itu saling berpandangan sejenak. Agung
Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya tanpa disadarinya. Jika terjadi demikian,
maka ia akan menghadapi persoalan yang rumit. Untara adalah kakak kandungnya.
Sedang ia tidak dapat ingkar, bahwa hatinya lebih condong untuk melihat Mataram
yang berkembang daripada mempertahankan kehadiran Pajang.
“Baiklah,”
berkata Sutawijaya kemudian,
“kita masih
mempunyai waktu untuk berbicara. Marilah kita kembali ke perkemahan itu. Kita
beristirahat sejenak, dan pada saat itu mungkin kita dapat menemukan
langkah-langkah yang sebaiknya kita lakukan.”
“Baiklah,”
sahut Pandan Wangi,
“kita memang
memerlukan banyak pertimbangan bagi tindakan selanjutnya, yang mungkin tidak
akan dapat kita lakukan sendiri. Aku harus melaporkan hal ini kepada ayah.”
“Ada baiknya.
Tetapi jika aku masih dapat mengatasi persoalannya, aku akan melakukannya,”
berkata Raden Sutawijaya.
“Tetapi daerah
ini adalah daerah Tanah Perdikan Menoreh,” jawab Pandan Wangi.
“Kita tidak
tahu, di manakah sarang mereka. Namun yang terjadi ini adalah di tlatah
Menoreh. Dan ayah adalah Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Kamilah yang lebih
berhak dan lebih dari itu, lebih berkewajiban untuk menyelesaikannya, kecuali
jika mereka telah melarikan diri ke seberang Timur Kali Praga.”
Raden
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menarik nafas dalam-dalam.
Katanya,
“Ya. Kau
benar. Memang daerah ini adalah daerah Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi bagi
Pajang maka perburuan semacam ini sama sekali bukan suatu pelanggaran, selama
dipandang perlu bagi pengamanan Pajang di dalam keseluruhan.”
“Jika Raden
bertindak atas nama putera Sultan Pajang. Tetapi ternyata bahwa apa yang kita
hadapi adalah berbeda. Mungkin Daksina itu dapat juga menyebut dirinya
bertindak atas kepentingan Pajang di dalam keseluruhan, seandainya ia tidak
terlanjur menyebut usaha perlawanannya dan bahkan permusuhan terhadap Pajang
dan sekaligus Mataram,” sahut Pandan Wangi.
Terasa sesuatu
bergejolak di dada Raden Sutawijaya. Ia merasakan sindiran yang tajam itu.
Bahkan Agung Sedayu dan Swandaru pun menjadi berdebar-debar. Tetapi Raden
Sutawijaya tidak ingin membuat persoalan yang tidak dikehendakinya dengan
tlatah Menoreh, yang akan bersentuhan batas dengan Mataram. Apalagi Mataram
memang belum memiliki bentuknya yang pasti. Karena itu, maka katanya kemudian,
“Baiklah.
Memang seharusnya Ki Argapati mengetahuinya apa yang sudah terjadi dan apa yang
berada di atas Tanah Perdikannya. Mudah-mudahan Tanah Perdikan Menoreh tidak
selalu diganggu oleh pihak-pihak yang bersengketa seperti sekarang ini.”
“Tetapi usaha
bersama seperti yang sedang kita lakukan adalah menguntungkan sekali,” potong
Agung Sedayu.
“Mungkin aku
tidak berhak untuk berbicara tentang Tanah Perdikan Menoreh dan tentang Tanah
Mataram yang baru tumbuh. Tetapi demikianlah agaknya.”
Pandan Wangi
menarik nafas dalam-dalam. Ia pun tidak menghendaki pembicaraan itu menjadi
semakin mendalam, dan yang bahkan mungkin dapat menumbuhkan salah paham. Karena
itu maka katanya kemudian,
“Baiklah, kita
akan berbicara kemudian. Kita akan kembali ke perkemahan.
Demikianlah,
kelompok-kelompok itu kembali sambil membawa kawan-kawan mereka yang terluka.
Bahkan dengan wajah yang tunduk Raden Sutawijaya merenungi dua orang kawannya
yang gugur, sedang beberapa orang terluka.
“Kita bawa
mereka kembali ke Mataram. Sedang mayat orang-orang yang tidak dikenal itu,
biarlah diurus oleh kawan-kawan mereka sendiri, yang tentu akan kembali lagi
kemari.”
Maka dengan
demikian, mereka pun segera meninggalkan tempat itu kembali ke perkemahan. Namun
sesuatu telah menggetarkan hati mereka. Rudita yang bersembunyi, ternyata tidak
ada di tempatnya lagi.
“Rudita,
Rudita,” Pandan Wangi memanggilnya dengan cemas.
“Rudita,”
Prastawa mengulang lebih keras. Tetapi mereka tidak mendengar seseorang
menyahut suaranya itu.
Sejenak orang-orang
yang menjadi kebingungan itu berdiri termangu-mangu. Mereka mencoba untuk
melihat, barangkali mereka menemukan jejak atau semacam petunjuk yang dapat
dipergunakannya untuk mengetahui, setidak-tidaknya untuk menduga, ke manakah
kiranya Rudita itu pergi.
Tetapi mereka
tidak melihat sesuatu.
“Bagaimana
dengan Rudita?” Pandan Wangi menjadi sangat cemas.
“Akulah yang
menyuruhnya bersembunyi di sini. Tetapi tiba-tiba anak itu hilang.”
“Apakah ia
pergi ke perkemahan?” desis Swandaru
“Ia tidak akan
berani pergi ke tempat itu sendiri.”
“Mungkin
karena ia tidak tahan lagi disiksa oleh ketakutannya yang lain, ketika ia
melihat perkelahian di tempat terbuka itu, apalagi ketika dilihatnya beberapa
orang sudah terluka dan bahkan terbunuh.”
“Suatu
kemungkinan,” sahut Prastawa. Namun dalam pada itu Agung Sedayu dan Raden
Sutawijaya masih berusaha untuk menemukan jejak seseorang. Mereka berdua
ternyata mempunyai dugaan yang kuat bahwa Rudita telah mengalami bencana
sehingga mau tidak mau mereka harus ikut memikul tanggung jawab atas hilangnya
anak itu. Apalagi mereka telah dipengaruhi pula oleh perasaan iba dan kasihan.
Terlebih-lebih lagi Agung Sedayu yang pernah mengalami, betapa tersiksanya
dicengkam oleh perasaan takut.
Keduanya
tertegun ketika mereka melihat sesuatu. Mereka melihat beberapa helai daun yang
bertebaran. Bukan helai-helai daun kuning, tetapi helai-helai daun yang masih
hijau. Bahkan tangkai-tangkainya tampak betapa daun-daun itu telah direnggut
dari batangnya.
“Kau mempunyai
pendapat tentang daun-daun itu?” bertanya Sutawijaya.
“Tentu
direnggut dengan paksa. Dan ini adalah satu-satunya jejak yang dapat kita
lihat.”
“Maksudmu
Rudita telah pergi karena ketakutan?”
“Bukan begitu.
Tentu seseorang telah memaksanya, dan ia berpegangan apa saja yang dapat
digenggam.”
“Satu
kemungkinan. Tetapi tentu ada jejak yang lain.”
“Itulah yang
membuat aku berdebar-debar. Tentu seseorang yang memiliki ilmu yang tinggi yang
dapat melakukannya seandainya begitu. Ia berhasil menghilangkan jejak, kecuali
daun-daun yang bertebaran itu, yang barangkali tidak sempat diperhatikannya.”
“Ya, Rudita
tentu meronta-ronta.”
“Tetapi kenapa
tidak berteriak?”
“Mulutnya
mungkin disumbat. Atau dengan cara-cara yang lain.”
Dalam
keasyikan itu, mereka ternyata telah mengikuti jejak beberapa langkah masuk ke
dalam gerumbul-gerumbul. Meskipun pendek, tetapi mereka dapat menduga ke arah
mana Rudita itu dibawa. Agaknya untuk memudahkan orang itu, Rudita telah
dibuatnya diam.
Pandan Wangi,
Swandaru, dan Prastawa pun ternyata kemudian mulai memperhatikan kedua orang
itu. Perlahan-lahan mereka mendekatinya dan mengamati apakah yang sedang mereka
kerjakan.
“Rudita
agaknya telah dibawa orang dengan paksa,” berkata Agung Sedayu kemudian.
“Kau menemukan
jejaknya?” bertanya Pandan Wangi.
Agung Sedayu
dan Sutawijaya pun kemudian menunjukkan beberapa helai daun yang masih hijau
dan nampaknya direnggut begitu saja dari tangkainya dan jatuh bertebaran.
“O,” desis
Pandan Wangi, “apakah daun-daun itu dapat dijadikan petunjuk?”
“Agaknya
demikian, meskipun sekedar kemungkinan. Dan orang yang membawa anak itu tentu
bukan orang kebanyakan.”
Pandan Wangi
menjadi pucat. Bukan karena ketakutan mendengar orang yang memiliki kelebihan
itu, tetapi ia menjadi sangat cemas akan nasib Rudita. Apalagi apabila Rudita
jatuh ke tangan orang-orang yang tidak dikenal itu.
“Kita memang
berhadapan dengan sekelompok orang yang tangguh, tetapi licik. Itulah yang
menyulitkan,” berkata Sutawijaya.
“Tetapi Rudita
adalah anak yang tidak tahu apa-apa. Ia justru seorang anak muda yang sama
sekali tidak menyukai kekerasan meskipun sikapnya agak sombong dan tinggi
hati.”
“Aku tahu.
Tetapi ia tidak dapat ingkar menghadapi kenyataan yang keras dan kasar.”
Pandan Wangi
menganggukkan kepalanya. Tetapi hatinya kian menjadi berdebar-debar.
“Kita harus
segera kembali ke perkemahan. Kita baru menduga-duga. Masih ada kemungkinan
lain, yaitu Rudita dengan ketakutan lari ke perkemahan itu,” berkata Agung
Sedayu.
“Marilah,”
desis Pandan Wangi,
“jika ia tidak
ada di sana kita harus memperhitungkan langkah-langkah berikutnya.”
Mereka pun
segera kembali ke perkemahan sambil membawa korban yang jatuh. Yang terluka dan
yang gugur. Dengan demikian, mereka tidak dapat berjalan terlalu cepat. Mereka
harus mengingat kemampuan orang-orang yang sudah hampir kehabisan darah yang
mengalir dari luka. Namun akhirnya mereka sampai juga ke perkemahan. Mereka
melihat para pengiring Pandan Wangi sudah duduk melepaskan lelahnya bersandar
pada sebatang pohon. Ketika mereka melihat orang-orang yang datang itu, mereka
terkejut bukan buatan. Segera mereka meloncat berdiri dan berlari-lari
menyongsongnya.
“Apa yang
terjadi?” hampir berbareng mereka bertanya.
Dan pertanyaan
itu telah menggetarkan dada Panaan Wangi dan kawan-kawannya. Dengan demikian
maka seakan-akan mereka telah memberitahukan, bahwa Rudita tidak datang kepada
mereka. Meskipun demikian, dengan nafas yang seakan-akan mengalir semakin
lambat Prastawa bertanya,
“Apakah Rudita
datang ke mari seorang diri?”
Para pengiring
yang tinggal di perkemahan itu menjadi termangu-magu. Mereka pun menjadi heran
mendengar pertanyaan itu. Salah seorang dari mereka bertanya,
“Maksudmu
Rudita yang pergi bersamamu?”
“Ya.”
Pengiring itu
menggelengkan kepalanya. Katanya,
“Tidak. Ia
tidak datang ke mari.”
Prastawa
menjadi semakin cemas. Dan Pandan Wangi pun bertambah pucat. Katanya,
“Jadi, anak
itu tidak datang ke mari?”
“Tidak,” jawab
salah seorang pengiring yang kemudian justru bertanya,
“Tetapi,
apakah yang sudah terjadi?”
“Kita bertemu
dengan yang kita cari. Kita telah bertempur.”
“O,” Para
pengiring itu mengerutkan keningnya. Di pandanginya beberapa orang yang
terluka, bahkan yang terbunuh di pertempuran. Tetapi kebanyakan dari mereka
adalah orang-orang yang datang dari seberang Kali Praga. Sedang orang-orang
Menoreh sendiri tidak begitu parah keadaannya, meskipun ada dua orang yang
terluka. Tetapi tidak berat.
“Pandan Wangi,”
berkata Raden Sutawijaya,
“ternyata kita
tidak sedang bermain-main dan sekedar berburu kelinci. Kita di hadapkan pada
lawan yang perlu mendapat perhatian yang sungguh-sungguh.”
“Ya,” jawab
Pandan Wangi,
“hilangnya
Rudita membuat keadaanku menjadi sulit. Jika kemudian timbul persoalan antara
ayah Rudita dan ayahku, maka akulah yang menjadi sebab. Apalagi Rudita adalah
sanak dari saluran darah ibuku. Bukan ayahku.”
“Mudah-mudahan
kita dapat menemukan,” jawab Sutawijaya,
“aku tidak
akan tinggal diam. Aku pun ikut bertanggung jawab atas hilangnya anak itu,
karena akulah yang menyebabkan kalian berburu orang-orang bersenjata yang
semula tidak kita kenal itu, tetapi yang ternyata adalah orang-orang yang
dikendalikan oleh para perwira Pajang sendiri yang ingin berkhianat di samping
ada orang-orang lain yang sengaja memancing di air keruh.”
“Jadi, apakah
yang akan Raden lakukan?”
“Aku akan
menghadap Ki Argapati. Biarlah para pengawalku membawa kawan-kawannya yang
gugur dan terluka kembali ke Mataram dan menyampaikan persoalan ini kepada
Ayahanda Ki Gede Pemanahan. Aku memerlukan sepasukan pengawal pilihan. Kita
bersama-sama mencari Rudita. Bukan sekedar Rudita, tetapi aku juga mempunyai
pamrih yang lain. Aku harus masuk ke dalam sarang Panembahan Agung itu, agar
aku dapat memadamkan apinya, bukan sekedar asapnya. Kemudian aku tinggal
memperhitungkan lawan yang ada di Istana Pajang.”
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Baiklah,
Raden. Kita dapat segera berangkat. Kita tidak boleh kehilangan waktu.”
“Ya, kita
harus segera berangkat, sebelum kita justru yang akan terjebak di sini.”
“Ya. Aku kira
Daksina tidak akan tinggal diam. Apalagi menurut pendengaranku, ia sudah
mengatakan beberapa hal mengenai rencananya.”
“Ia yakin
dapat membunuh aku. Dan itu tentu terjadi jika kalian tidak datang membantuku.”
“Ah, hanya
suatu kebetulan.”
Mereka pun
segera mengatur diri. Para pengawal dari Mataram diperintahkan untuk segera
kembali ke Mataram saat itu juga, sedang yang lain berserta Raden Sutawijaya
akan pergi ke Menoreh. Persoalannya tidak dapat dihentikan sampai sekian,
apalagi agaknya Rudita benar-benar telah dibawa oleh salah seorang dari mereka.
“Kita tidak
boleh terjebak di sini oleh kekuatan yang lebih besar lagi dari Daksina dan
yang barangkali akan datang bersama-sama dengan orang yang disebutnya
Panembahan Agung itu. Daksina tentu masih berusaha untuk membungkam mulutku
untuk selama-lamanya,” berkata Sutawijaya kepada para pengawalnya.
“Dan lebih
dari itu, jika ia berhasil menangkap aku hidup-hidup, maka aku akan dapat
dijadikannya alat untuk memeras Ayahanda Ki Gede Pemanahan untuk memenuhi
tuntutan-tuntutan mereka.”
“Baiklah,
Raden,” sahut pengawal yang tertua, yang diserahi untuk memimpin
kawan-kawannya,
“kami akan
segera berangkat.”
“Kalian tidak
perlu menerobos hutan liar itu. Lebih baik kalian melingkar sedikit, tetapi
perjalanan kalian akan lebih lancar dan cepat.”
“Baiklah,
Raden.”
“Sebentar lagi
matahari akan terbenam. Mudah-mudahan kalian tidak mengalami kesulitan. Jika
Daksina berusaha mencari kalian dengan menelusuri jejak kalian, maka malam yang
akan segera turun akan membantu kalian.”
“Ya, Raden.”
“Meskipun
demikian, kita akan berusaha menyesatkan jejak itu. Kita yang akan pergi ke
Menoreh, akan memberikan kesan agar jejak kita lebih jelas dari jejak kalian
yang akan pergi ke Mataram. Kita berharap, bahwa perhatian mereka akan tertarik
pada jejak yang lebih jelas itu. Untuk beberapa puluh langkah, kalian harus
berusaha menyamarkan jejak kalian sejauh dapat kalian lakukan.”
“Baiklah,
Raden.”
“Nah, kita
harus melakukannya sekarang,” dan sambil berpaling kepada Pandan Wangi
Sutawijaya berkata,
“kita harus
cepat berkemas.”
Pandan Wangi
menganggukkan kepalanya. Ketika ia memandang berkeliling dilihatnya Agung
Sedayu, Swandaru, Prastawa, dan para pengiringnya memperhatikan pembicaraan itu
dengan saksama. Bahkan kemudian Prastawa berkata,
“Kita harus
secepatnya meninggalkan tempat ini.”
Meskipun tidak
ada yang menyahut, namun setiap hati telah sependapat dengan kata-kata Prastawa
itu. Mereka mempunyai perhitungan yang sama, bahwa Daksina akan membawa pasukan
yang lebih kuat untuk membinasakan Sutawijaya yang sudah mendengar beberapa
dari rahasia Daksina, yang dengan sombong dikatakannya. Selain daripada itu,
Daksina dan kawan-kawannya memang memerlukan Sutawijaya yang akan dapat
dipakainya untuk memeras Ki Gede Pemanahan. Dengan mempergunakan nama Ki Gede
Pemanahan, maka kedudukan seseorang akan menjadi kuat di mata para adipati
pesisir dan Bang Wetan.
“Marilah,”
berkata Sutawijaya sambil menunggu mereka yang dengan tergesa-gesa mengemasi
peralatan yang mereka bawa, terutama orang-orang Menoreh.
“Para pengawal
dari Mataram sebaiknya segera berangkat. Mungkin Daksina akan mencegat
perjalanan kalian. Karena itu, kalian harus mencari jalan lain. Sedang apabila
mereka menempuh cara mengikuti jejak kalian, kami akan mencoba menyesatkannya.
Di ujung hutan itu, kalian harus mencoba menyamarkan jejak kalian sejauh-jauhnya.”
Para pengawal
dari Mataram itu pun berangkat mendahului orang-orang Menoreh. Mereka membawa
kawan-kawan mereka yang terbunuh dan yang terluka. Seperti pesan Raden
Sutawijaya mereka menempuh jalan yang lain, yang tidak usah menerobos hutan
liar itu, seperti jalan yang akan dilalui oleh Sutawijaya dan orang-orang
Menoreh kemudian. Setelah para pengiring Pandan Wangi selesai mengemasi
peralatannya, maka mereka pun segera berangkat meninggalkan perkemahan itu.
Karena Raden Sutawijaya tidak membawa kuda sendiri, maka salah seorang pengawal
Pandan Wangi telah meminjamkan kudanya. Sampai di ujung hutan, ternyata bahwa
para pengawal dari Mataram itu berusaha menyamarkan jejaknya. Dengan hati-hati
mereka maju dan menghindari tempat yang gembur dan sentuhan pada
ranting-ranting perdu, sementara seseorang menyapu jejak mereka dan menaburkan
daun-daun kering untuk menyesatkan perhatian. Dalam pada itu, para pengiring
Pandan Wangi justru menegaskan jejak mereka yang berbelok kejurusan lain. Bekas
kaki-kaki kuda dan beberapa macam benda yang sengaja mereka jatuhkan,
menunjukkan arah perjalanan mereka, ke pusat pemerintahan Tanah Perdikan
Menoreh.
Ketika
matahari kemudian terbenam, Sutawijaya menjadi berdebar-debar. Ada dua
kemungkinan yang sama besar bagi para pengawalnya. Jika orang-orang Daksina
benar-benar mencarinya, dan menyelusuri jejak perjalanan para pengawalnya,
mereka akan menemui kesulitan karena gelap yang pekat. Tetapi jika mereka
menempuh jalan lain dan berhasil mencegat para pengawal itu di tempat yang
tepat, maka para pengawalnya tidak akan banyak memberikan perlawanan. Tetapi
para pengawal dari Mataram itu pun ternyata adalah orang yang cukup
berpengalaman. Mereka tidak menyeberangi Kali Praga melalui jalan yang biasa,
tetapi mereka menempuh jalan-jalan memintas yang jarang dilalui orang. Meskipun
mereka agak kesulitan mencari getek-getek penyeberangan, tetapi karena ada di
antara mereka yang sudah mengenal orang-orang yang memiliki getek-getek semacam
itu, maka dengan sedikit penjelasan, mereka pun berhasil meminjam dari mereka
dan membawa getek itu dari tempat penyeberangan yang biasa, ke tempat yang lain
untuk menghindari orang-orang Daksina yang mungkin mengejar mereka atau
mencegat di tempat penyeberangan yang mereka perhitungkan. Sementara itu, Sutawijaya
dan kawan-kawannya beserta para pengiring dari Tanah Perdikan Menoreh pun
berpacu secepat-cepatnya untuk segera dapat mencapai induk Tanah Perdikan.
Bukan karena mereka ketakutan dikejar oleh Daksina, tetapi karena mereka
dicemaskan oleh nasib Rudita. Mereka harus segera dapat berhubungan dengan
orang-orang tua seperti Ki Argapati, Kiai Gringsing, dan Sumangkar. Tanpa
mereka, maka usaha untuk menemukan Rudita adalah sulit sekali. Dan selain
daripada itu, tusukan langsung ke sarang orang yang menyebut dirinya Panembahan
Agung itu tentu akan sangat berguna bagi Mataram dan juga Menoreh. Dalam pada
itu, sebenarnyalah Daksina yang melarikan diri dari arena, berusaha untuk
mendapatkan bantuan secukupnya. Dengan orang-orangnya yang baru dan seorang
yang menyebut dirinya Putut Nantang Pati, dari padepokan yang tersembunyi,
Daksina berusaha menyusul Raden Sutawijaya.
“Apakah kita
tidak menghadap Panembahan Agung lebih dahulu ke Padepokan Medang?” bertanya
Putut Nantang Pati.
“Kita akan
kehilangan mereka, terutama Raden Sutawijaya. Perjalanan ke Padepokan Medang
akan memerlukan waktu, jarak antara padepokanmu ini sampai ke padepokan
Panembahan Agung sama jauhnya dengan menyelusuri jejak Sutawijaya sampai ke
tepi Kali Praga.”
“Apakah kita
akan menyelusuri jejaknya, atau kita akan langsung menunggunya di Kali Praga.”
“Ada beberapa
tempat penyeberangan. Kita tidak dapat menentukan, penyeberangan yang mana yang
dipilihnya.”
“Kita akan
menemui kesulitan untuk menyelusuri jejak di malam hari.”
“Kita akan
berusaha. Mereka tentu berjalan lambat, karena mereka membawa kawan-kawan
mereka yang terluka.”
Dengan membawa
beberapa obor mereka pun dengan tergesa-gesa berusaha menyusul Sutawijaya.
Tetapi mereka memerlukan waktu, selama mereka menyiapkan diri dan mengumpulkan
orang-orangnya. Meskipun demikian, mereka pun tidak mengurungkan niatnya.
Menurut perhitungan Daksina, mereka akan dapat menyusul orang-orang Mataram
itu. Dengan cahaya obor mereka berusaha menyelusuri jejak orang-orang Mataram
dan orang-orang Menoreh. Sejak dari arena perkelahian sehingga bekas tempat
perkemahan mereka tidak menemukan kesulitan apa pun.
“Mereka belum
lama meninggalkan tempat ini,” berkata Daksina.
“Ya,” jawab
Putut Nantang Pati,
“perapian ini
masih hangat.”
“Tentu setelah
mereka kembali dari arena itu.”
“Mereka sempat
mengemasi barang-barang mereka.”
“Karena itu,
tentu mereka belum terlalu jauh.”
“Bagaimana
kalau kita menempuh jalan yang kau pasang kemarin? Jejak yang berhasil menyeret
Sutawijaya sampai ke jebakan yang kau pasang?”
“Mereka tentu
tidak akan menempuh jalan itu.”
“Sayang,
jebakanmu tidak mengena.”
“Tentu bukan
sekedar menyesali diri. Kita harus menyusulnya. Jalan yang paling baik adalah
menyelusuri jejak mereka.”
Putut Nantang
Pati tidak menyahut lagi. Ia pun kemudian memandang ke dalam gelap. Cahaya obor
yang kemerah-merahan seakan-akan membuat bayangan yang bergerak-gerak di
pepohonan.
“Marilah,”
berkata Daksina.
Mereka pun
berjalan menyusuri jejak yang dapat mereka lihat di dalam cahaya obor. Beberapa
orang-orang berpengalaman mengenai jejak berjalan di paling depan. Dengan
ketajaman mata mereka, maka mereka dapat mengikuti jejak yang sengaja tidak
disembunyikan.
“Apakah mereka
akan menjebak kita seperti kita menjebak mereka? Apakah mereka dengan sengaja
meninggalkan bekas agar kita terjerumus ke dalam jerat seperti kita lakukan?”
gumam Daksina.
“Tentu tidak,”
sahut Putut Nantang Pati,
“bukankah
mereka dengan tergesa-gesa meninggalkan perkemahan? Tentu mereka
memperhitungkan juga, bahwa kau akan menyusul Raden Sutawijaya, karena bagimu
Sutawijaya adalah orang yang sangat penting dan sekaligus orang yang sudah
mendengar beberapa hal tentang rencana yang sebenarnya masih merupakan
rahasia.”
“Ya.”
“Nah, marilah.
Yakinlah, bahwa kita tidak akan terjebak. Mereka tidak akan sempat mengumpulkan
orang-orang lebih banyak lagi seperti yang dapat kita lakukan. Seandainya ada
satu dua orang yang semula menunggui perkemahan ini, itu tidak akan berarti
apa-apa.”
Daksina tidak
menjawab. Mereka maju dengan hati-hati menyusup hutan perdu.
“Orang-orang
Menoreh agaknya membawa kuda. Jumlahnya tidak begitu banyak,” berkata seorang
yang berpengalaman mengenali jejak.
“Ya. Di antara
jejak kuda masih ada jejak kaki.”
Daksina
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tentu para pengiringnya mempergunakan kuda, sedang
para pengawalnya berjalan kaki, atau yang sekelompok berkuda, sedang kelompok
yang lain berjalan kaki.
Untuk beberapa
saat lamanya mereka mengikuti jejak itu. Namun pada suatu saat orang yang ada
di paling depan berhenti sejenak. Sambil merendahkan obornya ia berkata,
“Aku melihat
sesuatu yang aneh di sini.”
“Ya, mereka
berbelok ke Menoreh. Semuanya. Tidak ada bekas yang lain.”
“Belum tentu
jika mereka pergi ke Menoreh.”
“Jurusan itu
adalah jurusan ke Menoreh. Apalagi di antara mereka terdapat orang-orang
Menoreh. Agaknya mereka akan merawat orang-orang mereka yang terluka, atau
mungkin menguburkan yang terbunuh.”
Namun
tiba-tiba salah seorang dari mereka yang mengerti jejak itu berkata,
“Tidak. Tidak
semuanya pergi ke Menoreh.”
“Maksudmu?”
bertanya Nantang Pati.
“Tidak ada
jejak yang lain kecuali jejak yang berbelok menuju ke induk Tanah Perdikan
Menoreh.”
“Tetapi hanya
jejak mereka yang berkuda sajalah yang menuju ke Menoreh. Tidak ada jejak kaki.
Mereka yang berjalan kaki tentu tidak akan pergi ke Menoreh.”
“Lalu, ke
manakah jejak kaki yang mengikuti jejak kuda itu?”
“Jejak itu
hilang.”
Daksina
mengerutkan keningnya. Katanya,
“Mereka akan
membalas menjebak kita seperti yang sudah aku lakukan. Apakah mereka juga
melangkah surut seperti kita di tempat terbuka itu?”
Sejenak mereka
yang mengamati jejak itu ragu-ragu. Namun tiba-tiba salah seorang berkata,
“Tidak. Inilah
jejak mereka. Mereka menaburkan dahan-dahan kering atau dedaunan yang hijau di
atas bekas kaki mereka, agar jejak itu tidak menarik perhatian. Agaknya mereka
berusaha agar jejak mereka tidak kita ketahui.”
“Jika
demikian, inilah jalan yang dilalui Raden Sutawijaya. Marilah kita ikuti.
Mereka tidak akan dapat menyamarkan jejaknya untuk perjalanan yang panjang.
Pada suatu saat, jejak mereka akan menjadi jelas.”
“Marilah, kita
percepat perjalanan ini.”
“Tetapi
ternyata sulit untuk menemukan jejak yang kita ikuti. Kita benar-benar harus
meneliti, seakan-akan sehelai daun demi sehelai.”
“Baiklah,
tetapi kita maju terus.”
Orang-orang
yang sedang mengamati jejak itu tidak menjawab. Setapak demi setapak mereka
maju juga. Namun akhirnya mereka berhasil melampaui daerah penyamaran jejak.
Setelah itu, maka jejak itu pun dapat dikenal dengan mudah. Daksina dan Putut
Nantang Pati menjadi semakin bernafsu. Mereka yakin bahwa jalan yang mereka
temukan adalah jalan yang benar, sehingga mereka akan segera dapat menyusul dan
menangkap Raden Sutawijaya.
“Apalagi
agaknya orang-orang Menoreh itu sudah memisahkan diri, termasuk orang-orang
bercambuk itu,” berkata Daksina kemudian.
“Darimana kau
tahu?” bertanya Putut Nanntang Pati.
“Mereka datang
bersama orang-orang Menoreh. Agaknya mereka memang menjadi tamu Ki Argapati.”
Putut itu
tidak menyahut lagi. Dengan obor di tangan orang yang berjalan di paling depan
menjadi semakin lama semakin cepat, karena ia pun mengharap untuk dapat
menyusul Raden Sutawijaya.
“Ternyata
mereka memilih jalan yang tidak terduga-duga sebelumnya. Jika kita tidak
mengerti jejaknva, kita tidak akan menyangka, bahwa mereka memilih jalan yang agak
sulit ini, sedangkan di bagian lain terdapat jalan yang lebih lapang,” berkata
Daksina.
“Mereka adalah
orang-orang yang cukup berpengalaman,” sahut Putut Nantang Pati.
Daksina hanya
menganguk-anggukkan kepalanya saja. Namun harapan di dadanya menjadi semakin
berkembang ketika mereka sudah melalui jalan yang berbatu-batu padas dan agak
sulit dilalui iring-iringan yang membawa orang-orang yang terluka dan apalagi
beberapa sosok mayat, tidak akan dapat berjalan terlalu cepat.
“Mereka akan
menunggu di pinggir Kali Praga,” desis salah seorang pengikut Daksina.
“Kenapa?”
“Tidak ada
getek di daerah ini. Aku tahu pasti.”
“Tetapi mereka
dapat mencari getek itu di tempat penyeberangan yang lain.”
“Belum tentu
di malam hari seperti ini. Kebanyakan mereka yang memiliki getek tidak ada di
atas geteknya. Mereka biasanya pulang dan tidur di rumah, karena tidak banyak
orang menyeberang di malam hari.”
Daksina tidak
menyahut. Kemungkinan-kemungkinan yang bermacam-macam memang dapat saja
ditemuinya di dalam perjalanan ini. Dan dalam kegelisahan itulah, maka ia pun
kemudian memerintahkan orang-orangnya berjalan lebih cepat lagi.
Dalam pada itu
orang-orang yang akan menyeberang ke Mataram itu pun ternyata dapat bekerja
dengan cepat. Kawan-kawan mereka, para pemilik getek itu pun dengan senang hati
berusaha membantu, sehingga mereka tidak memerlukan waktu terlalu lama untuk
menunggu. Namun demikian getek-getek itu lepas dari tepi sebelah Barat,
orang-orang yang ada di atasnya menjadi terkejut karenanya. Mereka melihat
beberapa buah obor menyusur jalan sempit yang baru saja mereka lalui.
“Sapakah
mereka?” desis salah seorang pengawal dari Mataram yang sudah mulai mengarungi
derasnya arus Kali Praga.
Kawan-kawannya
pun memperhatikan obor yang mendekati dengan cepat itu. Namun mereka tidak
segera dapat mengetahui siapakah mereka.
“Tentu bukan
Raden Sutawijaya dan orang-orang Menoreh itu,” berkata pemimpin pengawal itu
kemudian,
“mereka datang
dengan tergesa-gesa dan tidak berada di punggung kuda.”
“Apakah
orang-orang itulah yang dimaksud oleh Raden Sutawijaya akan segera menyusul
kita?” desis yang lain.
“Mungkin.
Mungkin sekali,” lalu katanya kepada para pendayung,
“percepat
sedikit.”
Salah seorang
pendayung itu tersenyum sambil menjawab,
“Mereka tidak
akan dapat mencapai kalian setelah kalian terpisah dari tepian.”
“Tetapi mereka
dapat mencari getek-getek semacam ini.”
“Mereka
memerlukan waktu. Mereka harus pergi ke penyeberangan yang lain dan kemudian
menyeberang dengan getek-getek itu jika ada orang yang mendayungnya.”
“Mereka dapat
membangunkan para pendayung itu seperti kami membangunkan kalian.”
“Dan itu
memerlukan waktu lebih banyak lagi. Sementara itu kalian sudah sampai di
tepian,” tetapi pendayung itu kemudian bertanya.
“Tetapi apakah
masih ada kemungkinana mereka menyusul kalian di daratan seberang Kali Praga?”
Ternyata
pertanyaan itu menimbulkan persoalan bagi para pengawal. Meskipun mereka
berhasil mencapai seberang, dan mendahului orang-orang yang membawa obor itu,
namun memang masih ada kemungkinan orang-orang itu dapat menyusul mereka di
atas tlatah Tanah Mataram itu sendiri, di daerah yang masih belum berpenghuni.
“Jika
demikian,” tiba-tiba pemimpin pengawal itu berkata,
“Kita tidak
langsung menyeberang di sini. Kita akan mengikuti arus air dan menepi di daerah
penyeberangan yang sudah memiliki gardu-gardu pengawas. Setidak-tidaknya jumlah
kita akan bertambah dengan para pengawas itu. Sementara itu, satu dua orang
penghubung berkuda, dapat memanggil bantuan pada gardu-gardu terdekat.”
“Tepat
sekali,” sahut seorang pengawal.
“Beri isyarat
kepada getek yang lain.”
Getek itu
tidak langsung memotong arus sungai dan mencapai tepian di seberang. Mereka
mengikuti arus Kali Praga, dan berusaha untuk menepi di daerah terdekat dengan
gardu pengawas. Dalam pada itu, Daksina dan orangnya yang sudah mencapai tepian
mengumpat-umpat tidak habis-habisnya. Mereka hanya dapat melihat di dalam
keremangan malam, tiga getek yang menyeberangi Kali Praga yang deras arusnya
itu.
“Kita mencari
getek serupa,” desis Daksina.
“Di mana?”
bertanya seorang pengikutnya.
“Di jalan
penyeberangan. Jika para pemiliknya tidak ada, kita dapat mendayungnya sendiri
menyusul mereka.”
Beberapa orang
pengiringnya menjadi termangu-mangu. Sementara itu Putut Nantang Pati justru
tertawa sambil berkata,
“Kita hanya
akan membuang waktu tanpa arti. Selama kita mencari getek di tempat penambatan,
mereka sudah menjadi semakin jauh, dan bahkan mereka sudah akan meloncat ke
darat.”
“Kita masih
mempunyai kesempatan. Kita kejar mereka di atas tanah mereka sendiri. Mereka
tidak akan dapat berbuat apa-apa. Sekarang aku membawa orang lebih banyak lagi
dari yang telah menjebak Raden Sutawijaya tetapi gagal itu, karena kehadiran
orang-orang Menoreh dan orang-orang bercambuk. Tetapi tanpa mereka, orang
Mataram itu tidak akan dapat melawan kita.”
Tetapi Putut
Nantang Pati menggelengkan kepalanya. Katanya,
“Tidak ada
gunanya. Tentu ada gardu-gardu peronda di seberang sungai. Mereka akan naik ke
tepian di tempat yang mereka anggap paling aman. Lihat, mereka tidak langsung
melintas sungai ini. Tetapi mereka mengkuti arus untuk beberapa saat. Tentu hal
itu dilakukan dengan maksud tertentu.”
Daksina
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebagai seorang prajurit ia pun dapat mengerti
pertimbangan Putut Nantang Pati. Namun sebenarnya ia masih mempunyai harapan.
Menurut perhitungannya, seandainya ada juga gardu pengawas, namun tentu di
dalam gardu itu tidak akan ada sepasukan prajurit yang siap untuk bertempur.
Seandainya para pengawas itu sempat membunyikan isyarat, namun agaknya Daksina
akan mempunyai waktu yang cukup untuk menangkap Sutawijaya. Namun ternyata
bahwa Putut Nantang Pati tidak sependapat. Karena itu, maka Daksina pun tidak
meneruskan niatnya.
“Kita akan
segera kembali,” berkata Putut Nantang Pati kemudian,
“adalah
berbahaya sekali kita mencoba untuk menangkap Sutawijaya di atas tanah yang
selama ini dipertahankannya mati-matian.”
“Baiklah,”
berkata Daksina,
“tetapi kali
ini aku benar-benar mengalami kegagalan. Aku tidak dapat menangkap Raden
Sutawijaya. Aku tidak dapat meneruskan rencanaku untuk menguasai Ki Gede
Pemanahan, seperti jika Sutawijaya ada di tanganku. Dan sudah barang tentu,
jalan ke Pajang bagiku akan menjadi sangat berbahaya. Mungkin sekali Raden
Sutawijaya akan mengirimkan utusan untuk menghadap Sultan, seandainya Sutawijaya
masih segan datang sendiri. Sutawijaya dapat melaporkan semua perbuatanku dan
ceriteraku kepadanya.”
“Kau memang
kurang berhati-hati,” berkata Putut Nantang Pati,
“kau
seharusnya belajar dari kegagalan-kegagalan yang pernah terjadi. Orang-orang bercambuk
itu seakan-akan ada di seluruh pelosok Mataram dan sekitarnya di setiap waktu.
Seakan-akan setiap ada usaha yang kita lakukan orang-orang bercambuk itulah
yang menggagalkannya. Usaha mengusili para pendatang dan membuka Tanah Mataram
dengan hantu-hantuan itu pun gagal. Kemudian usaha menghancurkan Mataram lewat
tangan Untara di Jati Anom, itu pun gagal karena orang-orang bercambuk itu pun
ternyata ada di dalam rumah yang biasanya dipergunakan oleh para perwira.
Kemudian usaha menutup Mataram dengan menyumbat semua jalur jalan ke Mataram
itu telah dipecah pula oleh orang-orang bercambuk itu di mulut Alas Tambak
Baya, padahal usaha itu nampaknya perlahan-lahan akan berhasil.”
Daksina
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kegagalan-kegagalan itu memang terasa sangat
pahit. Namun ia masih tetap berharap untuk dapat menghancurkan Mataram. Ia
masih mengharap, bahwa pertentangan antara Pajang dan Mataram tidak akan dapat
dihindarkan lagi.
“Baiklah,”
berkata Daksina kemudian,
“aku memang
kurang berhati-hati kali ini. Aku menganggap bahwa, usahaku akan berhasil,
sehingga aku mengatakan sebagian dari rahasia yang seharusnya tetap tersimpan.
Namun aku masih mengharap, bahwa gadis Kalinyamat itu akan dapat membakar
hubungan antara ayah angkat dan anaknya yang memang sudah mulai retak.”
“Kau dapat
membuktikan hubungan itu? Sekedar ceritera tentang hubungan Raden Sutawijaya
dengan gadis sengkeran Sultan Pajang itu tidak akan berarti apa-apa.”
“Sebentar lagi
Sultan akan dapat mengetahuinya tanpa ada orang lain yang mengatakannya.”
“Maksudmu?”
“Menurut
penyelidikan terakhir, gadis itu ternyata sudah mengandung.”
“He?” Putut
Nantang Pati mengerutkan keningnya. Namun ia pun tertawa berkepanjangan.
Katanya kemudian,
“Ternyata
Sultan Pajang dan anak angkatnya itu tidak ada bedanya. Sutawijaya sudah
terpengaruh oleh cara hidup ayah angkatnya, bukan oleh ayahnya sendiri. Jika
benar gadis itu sudah mengandung, maka persoalannya akan menjadi semakin cepat.
Tetapi apakah Panembahan Agung sudah mengetahuinya?”
“Aku sudah
mengatakannya.”
Putut Nantang
Pati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Jika demikian
kita tidak usah cemas. Marilah kita kembali ke padepokanku.”
“Tetapi,
apakah kau tidak mempertimbangkan, bahwa mungkin sekali Raden Sutawijaya akan
kembali dengan membawa pasukan segelar sepapan?”
“Mereka belum
melihat padepokanku. Dalam pada itu, aku akan menempatkan beberapa orang
pengawas. Yang sudah ada dapat diperbanyak untuk beberapa waktu lamanya. Tetapi
aku kira Raden Sutawijaya tidak akan berbuat dengan tergesa-gesa, sehingga aku
masih akan mempunyai waktu untuk memikirkan. Setidak-tidaknya kita mempunyai
jalan untuk melarikan diri dengan aman seandainya yang datang menurut
perhitungan kami tidak terlawan.”
Daksina mengangguk-angguk.
Katanya kemudian,
“Aku akan
menjadi penghuni padepokanmu, karena aku tidak dapat kembali ke Pajang.”
Putut Nantang
Pati memandang Daksina sejenak. Sambil mengerutkan keningnya ia bertanya,
“Kau tidak
berani kembali ke Pajang, karena menurut dugaanmu Sutawijaya melaporkan
kelakuanmu?”
“Ya.”
“Tentu tidak.
Sultan Pajang tidak akan mempercayainya, karena bagi Pajang, Sutawijaya sudah
tidak mendapat kepercayaan lagi. Namun kau harus berhati-hati. Kau dapat
kembali ke Pajang, tetapi untuk sementara kau tinggal di rumah kawan-kawanmu
yang terpercaya, apabila sudah sampai waktunya kau harus kembali.”
“Masih ada
waktu beberapa pekan. Aku mendapat ijin meninggalkan tugasku untuk waktu yang
cukup panjang.” Daksina menarik nafas, kemudian,
“Tetapi jika
orang-orang Pajang tahu, bahwa ternyata aku mempergunakan waktuku untuk
kepentingan ini?”
“Jangan
pikirkan sekarang. Mari kita kembali.”
“Ke
padepokanmu atau langsung ke padepokan Panembahan Agung itu?”
“Ke
padepokanku.”
Daksina
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia masih berpaling memandang arus Kali
Praga. Namun getek-getek yang membawa orang Mataram itu sudah menjadi semakin
jauh.
Pada saat
Daksina, Putut Nantang Pati, dan kawan-kawannya meninggalkan tanggul Kali
Praga, maka pada saat itu, beberapa ekor kuda berpacu menuju ke padukuhan induk
dari Tanah Terdikan Menoreh. Bersama mereka adalah Raden Sutawijaya yang
bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar. Namun yang kemudian lebih senang bekerja
keras membuka Alas Mentaok yang liar dan ganas untuk membangun sebuah negeri
yang besar. Derap kaki-kaki kuda itu mengejutkan orang-orang yang sedang tidur
nyenyak. Beberapa orang tergagap bangun. Namun, derap kaki-kaki kuda itu pun
sudah menjadi semakin jauh. Para peronda yang ada di gardu-gardu dengan
tergesa-gesa berloncatan bangun dengan menggenggam senjata masing-masing.
Apalagi sebagian dari mereka pernah mendengar, bahwa kadang ada orang-orang
bersenjata yang tidak dikenal berkeliaran di sisi sebelah Timur dari Tanah
Perdikan Menoreh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar