NAMUN ketika
para peronda itu berusaha menghentikan iring-iringan kuda itu, maka mereka pun
berloncatan minggir, karena mereka mendengar suara Pandan Wangi yang berkuda di
paling depan,
“Aku. Akulah
yang akan lewat. Pandan Wangi.”
Seseorang
sempat bertanya keras-keras,
“Malam-malam
begini?”
“Aku dari
hutan perburuan,” sahut Pandan Wangi sambil berderap menjauh.
Para peronda
itu menarik nafas dalam-dalam. Bahkan salah seorang dari mereka berdesis,
“He, kau yakin
bahwa suara itu suara Pandan Wangi.”
“He, apakah
kau mengigau. Bukankah kita bersama melihat ia berada di punggung kudanya.”
“Aku tidak
melihatnya begitu jelas. Obor itu tidak begitu terang.”
“Dan di
belakangnya adalah Prastawa.”
“Ya, ya. Di
belakangnya Prastawa. Di antara mereka terdapat kedua anak-anak muda itu, yang
dahulu pernah berada di Tanah ini, ketika berkecamuk pertengkaran di antara
kita.”
“Ya. Tetapi
siapakah yang seorang lagi?”
“Tamu Pandan
Wangi yang manja itu.”
“Rudita?”
orang itu ragu-ragu. Lalu, “Bukan, tentu bukan Rudita.”
“Tetapi Rudita
ikut di dalam perburuan itu.”
“Ya, tetapi
anak muda itu bukan Rudita. Rudita tidak membawa sebatang tombak pendek.”
“Kau lihat
kuda tanpa penunggang, sedangkan yang lain dibebani oleh dua orang?”
“Tetapi
dimuati dengan beban yang cukup banyak. Meskipun agaknya tidak terlalu berat,
tetapi cukup memenuhi seluruh punggungnya.”
Kawannya tidak
menyahut. Tetapi hal itu ternyata telah menarik perhatiannya.
Namun agaknya
orang-orang di gardu peronda itu tidak mengetahui, bahwa di punggung kuda yang
tidak berpenumpang itu tersangkut sehelai kulit seekor ular naga yang besar,
selain beberapa perlengkapan berburu yang lain. Karena itulah, maka kuda itu
sengaja tidak dibebani oleh seorang pun, meskipun bebannya sebenarnya lebih
berat dari seseorang. Mereka pun kemudian memasuki padukuhan induk Tanah
Perdikan Menoreh. Seperti setiap padukuhan yang lain, yang mereka lalui, maka
derap kaki-kaki kuda itu pun telah mengejutkan mereka yang tinggal di
sebelah-menyebelah jalan dan terutama para peronda di gardu-gardu. Namun para
peronda itu pun kemudian menarik nafas dalam-dalam ketika mereka melihat Pandan
Wangi dan kawan-kawannya lewat. Mereka mengerti, bahwa Pandan Wangi baru
kembali dari hutan perburuan. Demikian juga, ketika derap kaki-kaki kuda itu
memasuki halaman rumah Ki Argapati. Para peronda di regol halaman itu pun
terkejut, meskipun memang kadang-kadang terjadi Pandan Wangi pulang dari hutan
perburuan di malam hari. Derap kaki kuda yang memasuki halaman itu pun telah
membangunkan Ki Argapati dan tamu-tamunya dari Sangkal Putung. Mereka hampir
berbareng telah turun ke halaman, menyambut mereka yang baru datang dari daerah
perburuan. Namun kuda yang tidak berpenumpang itu memang menarik perhatian.
Sehingga Ki Argapati pun segera bertanya,
“Siapakah yang
tidak ada di antara kalian?”
Pandan Wangi
menjadi berdebar-debar. Sejenak ia memandang berkeliling. Tetapi karena ayah
dan ibu Rudita belum nampak di antara mereka, maka ia pun segera berbisik
kepada ayahnya,
“Ada yang
kosong Ayah, tetapi ada yang terpaksa membawa dua orang di satu punggung kuda.”
Ki Argapati
mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berkata sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya,
“Jadi sengaja
kuda yang seekor itu kalian muati dengan barang-barang dan alat-alat berburu?”
“Sebagian
benar,” sahut Pandan Wangi.
Ki Argapati
tidak segera menangkap maksud anaknya. Ketika ia kemudian memandang
berkeliling, semua penunggang kuda telah berloncatan turun.
“Kuda itu juga
membawa sehelai kulit seekor naga raksasa.”
“He, naga
raksasa. Di mana kau mendapatkannya?” Pandan Wangi tidak menjawab pertanyaan
ayahnya, tetapi ia berkata,
“Ada yang
lebih menarik dari sehelai kulit naga raksasa itu.”
“Apa?”
“Rudita
hilang, Ayah.”
“He,”
kata-kata itu benar-benar telah mengejutkan Ki Argapati dan tamu-tamunya dari
Sangkal Putung, sehingga dengan serta-merta Ki Gede Menoreh berkata,
“Berkatalah
yang benar.”
“Benar, Ayah.
Dan di antara kami sekarang adalah Raden Sutawijaya.”
“He, apakah
yang kau katakan itu. Kau belum memberi penjelasan tentang Rudita, sekarang kau
menyebut nama Raden Sutawijaya.”
“Ia ada di
antara kami.”
“Apakah kau
mengigau?”
Pandan Wangi
tidak menjawab. Ia memberi kesempatan seorang anak muda yang bersenjata tombak
pendek melangkah maju mendekati Ki Gede Menoreh,
“Ya, Paman.
Aku datang bersama dengan Pandan Wangi dan pengiringnya.”
“Raden
Sutawijaya?”
Beberapa orang
melihat anak muda itu menyibak para pengiring Pandan Wangi dan seleret sinar
obor jatuh di atas wajahnya. Sambil tersenyum, Sutawijaya berkata selanjutnya,
“Ternyata
bahwa selama berburu di hutan liar itu, Pandan Wangi dan orang-orangnya banyak
menjumpai ujian yang berat.”
Ki Argapati
mengangguk-angguk. Katanya kemudian,
“Tetapi marilah,
Raden, kita naik ke pendapa. Aku belum mengucapkan selamat datang kepada
Raden.”
“Baiklah,
Paman. Tetapi sebaiknya Paman mendengarkan dahulu ceritera tentang anak muda
yang disebut bernama Rudita itu.”
“O, bagaimana
dengan Rudita? Apakah benar hilang?”
“Biarlah
Pandan Wangi menceriterakannya.”
Ki Argapati
memandang Pandan Wangi sejenak, ia pun bertanya,
“Bagaimanakah
sebenarnya yang terjadi?”
Maka Pandan
Wangi pun segera menceriterakan tentang Rudita yang ditinggalkannya sendiri,
karena semula ia mengkhawatirkan keselamatannya. Namun justru kemudian Rudita
itu hilang tanpa jejak, selain hanya beberapa ciri yang memberikan sekedar
tanda-tanda yang kurang jelas.”
“Hilang, jadi
Rudita benar-benar hilang?” desis Ki Argapati.
“Ya, Ayah.”
Wajah Ki Gede
Menoreh menjadi tegang. Namun kemudian ia pun menarik nafas dalam-dalam sambil
berkata,
“Suatu cobaan
yang berat bagi kita, Pandan Wangi.”
“Aku mengerti,
Ayah,” Pandan Wangi menunduk wajahnya,
“tetapi yang
terjadi adalah di luar kemampuanku. Ia sangat manja dan apalagi penakut. Aku
mengalami kesulitan membawanya serta di dalam perburuan.”
Ki Argapati
pun kemudian berpaling memandang Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Demang
yang berdiri di antara mereka. Mereka tidak sempat mengucapkan selamat datang
kepada Raden Sutawijaya, karena Pandan Wangi tidak memberinya kesempatan. Namun
Pandan Wangi tidak dapat lagi mengingat adat sopan-santun itu lagi, karena
kegelisahan yang meluap di dalam hatinya.
“Kiai, kita
kehilangan seorang tamu,” desis Argapati.
“Memang menyulitkan
sekali,” sahut Kiai Gringsing. Lalu,
“Apakah kau
juga menyaksikan peristiwa itu Raden?” bertanya Kiai Gringsing kepada Raden
Sutawijaya.
Barulah Raden
Sutawijaya sadar, bahwa ia berhadapan dengan Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan
Ki Demang Sangkal Putung.
“O, maaf,
Kiai. Aku belum sempat mengucapkan selamat bertemu lagi.”
“Selamat,
Ngger. Tetapi kedatangan Angger kali ini ternyata membawa berita yang sangat
mengejutkan.”
“Nanti aku
akan menceriterakan semua yang telah teriadi, Kiai, sehingga Kiai akan mendapat
gambaran tentang peristiwa itu.”
Kiai
Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Demang Sangkal Putung hanya
mengangguk-anggukkan kepala saja. Namun Ki Argapati lah yang kemudian
mempersilahkan tamunya,
“Marilah,
duduklah dahulu.”
Raden
Sutawijaya itu pun kemudian duduk di pendapa bersama orang-orang Menoreh dan
Sangkal Putung. Mereka memperbincangkan setiap kemungkinan yang dapat terjadi
atas Rudita.
“Benar-benar
kita dihadapkan pada suatu kesulitan.”
“Ayah,” pinta
Pandan Wangi,
“aku tidak
sampai hati mengatakan hal ini kepada Paman dan Bibi. Rudita adalah anak
satu-satunya bagi orang tuanya. Jika ia tidak dapat diketemukan dalam keadaan
selamat, maka ayah dan ibunya akan mengalami kejutan yang sepanjang hidupnya
tidak akan dapat dilupakan. Dan mereka pun akan menjadi sangat marah pula
kepadaku.”
Ki Argapati
tidak segera dapat menyahut.
“Ayah. Biarlah
Ayah saja yang menyampaikan kepada ayah dan ibu Rudita, diikuti dengan
permohonan maaf.”
Ki Argapati
menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia memandang pintu gandok di seberang
longkangan yang masih tertutup. Di gandok itulah, ayah dan ibu Rudita bermalam
selama ia berada di Tanah Perdikan Menoreh.
“Baiklah,”
berkata Ki Argapati kemudian,
“aku akan
mengatakannya, meskipun aku menyadari, bahwa hal ini akan sangat mengejutkan
mereka, terutama ibunya. Rudita adalah satu-satunya anak mereka yang sangat
mereka manjakan. Jika Rudita itu benar-benar hilang, maka aku dapat
menggambarkan, betapa pedihnya hati mereka.”
“Tetapi Ayah
dapat menjelaskan, bahwa kami akan mencarinya. Kami akan membawa pengawal lebih
banyak lagi, karena ternyata di daerah ujung dari Tanah Perdikan kita, terdapat
sebuah padepokan yang agaknya dipergunakan oleh seseorang yang menamakan
dirinya Panembahan Agung itu.”
“Mungkin masih
di batas telatah Menoreh, tetapi mungkin pula di seberang,” desis Sutawijaya
menyela,
“aku masih
belum tahu pasti letak padepokan itu. Bahkan mungkin bukan sebuah padepokan,
tetapi hanya sekedar sarang yang mereka pergunakan untuk sementara.”
“Mungkin,
memang mungkin. Mencari Rudita bukannya pekerjaan yang mudah,” desis Ki
Argapati,
“namun
bagaimanapun juga kita bertanggung jawab atas hilangnya anak itu. Anak yang
sama sekali tidak pernah menyiapkan dirinya menghadapi kekerasan, meskipun
ayahnya seorang yang memiliki banyak kelebihan. Bukan saja kanuragan, tetapi
menurut pendengaranku, ia memiliki ilmu yang jarang dimiliki oleh seseorang.
Selain pandangannya yang tajam dan jauh, yang mampu menembus batas waktu kini,
yang sudah lampau dan yang akan datang, namun ia juga memiliki
kemampuan-kemampuan lain yang bukan sekedar kasat mata.”
Raden
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Teringat olehnya pemomongnya di masa
kanak-kanak yang kini seakan-akan telah hilang dari lingkungan Istana Pajang,
Ki Gilingwesi, yang menurut pendengarannya terakhir bertapa di atas Gunung
Merapi. Orang itu pun menurut pendengarannya memiliki ilmu yang gaib. Dalam
pada itu, Kiai Gringsing pun menarik nafas dalam-dalam. Sejenak dipandanginya
Ki Argapati yang ikut berprihatin atas hilangnya Rudita. Tetapi pembicaraan
mengenai ilmu yang gaib itu telah menyentuh perasaannya. Sebenarnyalah balwa
Kiai Gringsing pernah mempelajarinya. Tetapi ilmu itu disimpannya rapat-rapat
di dalam dirinya. Ilmu yang seakan-akan memiliki kemampuan jauh di luar
jangkauan akal itu sebenarnya tidak banyak berpengaruh. Namun di dalam
saat-saat tertentu, ilmu semacam itu memang dapat dipergunakannya. Meskipun
Kiai Gringsing sadar, bahwa ilmu yang gaib semacam itu, tidak hanya ada satu
atau dua jenis, tetapi ada bermacam-macam, sehingga yang satu tidak sama dengan
yang lain. Demikian juga ilmu yang pernah dipelajari oleh Kiai Gringsing itu
jauh berbeda dengan ilmu yang dimiliki oleh ayah Rudita. Kiai Gringsing tidak
sanggup untuk melihat menembus batas waktu, apalagi yang cukup jauh. Ia hanya
dapat memperhitungkan berdasarkan pengalaman, kenyataan-kenyataan yang pernah
terjadi dan kemungkinan-kemungkinan yang akan dihadapinya. Perhitungan demikian
memang tidak selamanya tepat, tetapi apabila ia yakin, maka dapat juga agaknya
dijadikan pegangan. Keyakinan itulah yang menjadi dasar ilmu Kiai Gringsing. Ia
tidak dapat membakar hutan dengan tatapan matanya. Ia tidak dapat menjadikan
dirinya kebal tanpa dapat dilukai senjata. Dan ia tidak dapat menciptakan
bentuk-bentuk bayangan yang seakan-akan menjadi suatu kenyataan.
Namun Kiai
Gringsing memiliki ilmu yang disebutnya sekedar sebuah perisai. Itulah yang
memberikan kemantapan pada pribadinya. Selain perisai dalam bentuk olah
kanuragan, namun ia memiliki kemampuan menyadari kediriannya, kepribadiannya.
Dengan demikian, maka Kiai Gringsing tidak mudah ditembus oleh ilmu yang gaib
dari orang lain. Ia tidak mudah dapat dipengaruhi dengan cara yang betapapun
juga. Panca inderanyalah yang seakan-akan menjadi kebal dari pengaruh ilmu gaib
itu. Dan ilmu itulah ilmu gaib yang dimiliki oleh Kiai Gringsing. Ilmu yang
karena keyakinannya atas dirinya di dalam hubungannya dengan Penciptanya,
dengan kemurnian indera dan angan-angan, sehingga ia dapat membebaskan dirinya
dari pengaruh gaib yang lain.
“Tetapi
agaknya ayah Rudita memiliki ilmu yang lain,” berkata Kiai Gringsing di dalam
hatinya,
“selain
kemampuannya menembus waktu, agaknya ia mampu berbuat sesuatu. Tetapi ia orang
baik. Dan itulah kelebihannya yang paling berharga.”
Pertemuan yang
tiba-tiba itu agaknya telah menegangkan hati. Apalagi Ki Argapati, yang kakinya
masih belum dapat pulih sama sekali, meskipun ia masih tetap seorang yang
memiliki kelebihan dari orang lain.
“Besok aku
akan mengatakannya,” desis Ki Argapati tiba-tiba.
“Tetapi apakah
mereka tidak akan terbangun mendengar kita berbicara di pendapa ini?” bertanya
Pandan Wangi.
“Ternyata
mereka tidak juga keluar.”
“Terserah
kepada Ayah. Sebentar lagi fajar akan segera menyingsing.”
“Sekarang,
beristirahatlah. Aku akan berbicara dengan orang-orang tua.”
Pandan Wangi
dan anak-anak muda yang lain pun segera meninggalkan pendapa itu. Yang tinggal
hanyalah orang-orang tua yang masih tetap mencari jalan, bagaimana mereka akan
berbuat untuk menyelamatkan Rudita. Namun dalam pada itu, sebenarnyalah ayah
Rudita sudah terbangun. Sebuah getaran yang dahsyat telah menggetarkan dadanya.
Karena itulah, maka justru ia sedang mencoba mengetahui apakah maknanya. Dengan
daya penglihatan batinnya, ayah Rudita ingin mengetahui getaran apakah sebenarnya
yang telah mengguncang jantungnya itu. Perlahan-lahan ayah Rudita itu berhasil
melihat di dalam isyarat yang gaib, peristiwa yang menimpa anaknya. Meskipun ia
tidak melihat pasti, apakah yang sudah terjadi, tetapi ia melihat, bahwa
anaknya sedang dicengkam oleh bahaya yang mengancam nyawanya. Ayah Rudita itu
pun menarik nafas dalam-dalam. Sebagai seorang ayah, ia menjadi sangat cemas.
Namun di dalam penglihatannya, ia masih mempunyai harapan untuk menemukan
anaknya, karena sampai saat itu, anaknya masih dianggapnya selamat.
“Tetapi apakah
yang dapat aku lakukan?” berkata laki-laki itu di dalam hatinya.
“Jika ibunya
mengetahui, maka aku akan lebih banyak dicengkam oleh kebingungan, sehingga
penglihatanku akan menjadi kabur. Namun bagaimanapun juga, adalah kewajibanku
untuk menemukannya.”
Tanpa
membangunkan isterinya, laki-laki itu pun bangkit dari pembaringan dan
melangkah keluar. Derit pintu gandok agaknya terdengar dari pendapa, sehingga
orang-orang yang ada di pendapa itu pun berpaling kepadanya. Terasa dada Ki
Argapati menjadi berdebar-debar. Ia sadar, bahwa orang tua Rudita dapat
menuntut pertanggungan jawab Pandan Wangi. Namun agaknya yang terjadi itu
adalah di luar kemampuan anak gadisnya dan kawan-kawannya. Perlahan-lahan ayah
Rudita mendekati Ki Argapati. Sekilas ia tersenyum. Kemudian ia pun menyapanya,
“Ki Gede masih
juga berjaga-jaga di pendapa menjelang fajar?”
Ki Argapati
pun masih mencoba tersenyum dan mempersilahkan laki-laki itu duduk. Sejenak ia
menjadi termangu-mangu. Namun kemudian ia berkata dengan suara yang
tertahan-tahan,
“Pandan Wangi
telah datang dari daerah perburuannya.”
“O,” laki-laki
itu mengangguk-angguk. Dan ia pun mulai merasakan kebenaran getaran isyarat di
dalam dirinya. Jika Pandan Wangi telah datang, dan Rudita tidak besertanya,
maka ia benar-benar telah dicengkam oleh bahaya.
“Tetapi,”
suara Ki Argapati menjadi bertambah dalam,
“Rudita tidak
datang bersamanya.”
Laki-laki itu
menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali. Perlahan ia bertanya,
“Di manakah
anak itu?”
Ki Argapati
pun kemudian menceriterakan apa yang sudah terjadi atas Rudita, betapapun
beratnya.
“Tetapi Pandan
Wangi bersedia untuk mencarinya. Ia akan segera menyiapkan pengawal yang lebih
banyak. Dan sudah barang tentu, kami tidak akan membiarkan anak-anak itu berkeliaran
tanpa pengawasan kami setelah peristiwa ini terjadi.”
Ayah Rudita
itu termenung sejenak. Terbayang di rongga matanya, bagaimanakah terkejut
isterinya jika ia mendengarnya. Namun ia pun sadar, bahwa ia tidak dapat
mempersalahkan siapa pun juga. Yang terjadi adalah seolah-olah sebuah
kecelakaan bagi Rudita, dan dalam persoalan itu, tidak akan dapat menyalahkan
orang lain.
“Besok, jika
pasukan pengawal terpilih sudah siap, ia akan segera berangkat. Tetapi kami pun
harus berhati-hati, agar kami tidak terjebak, dan tidak sebagai serangga
menjelang api. Karena sebenarnyalah kami tidak mengetahui, betapa besar pasukan
orang-orang yang tidak kita kenali itu. Kita masih harus memperhitungkan,
apakah Daksina, seorang perwira dari Pajang itu hanya seorang diri di daerah
yang masih buas itu atau ia membawa sepasukan prajurit bawahannya dari Pajang.”
Ayah Rudita
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Memang
semuanya harus diperhitungkan. Dan aku mengucapkan terima kasih atas kesediaan
Pandan Wangi mencari anak itu. Dan apalagi dengan orang-orang yang mendapat
kepercayaan Ki Gede.”
“Aku sendiri
akan pergi,” berkata Ki Gede.
“Tetapi……”
sahut ayah Rudita.
“Kakiku sudah
berangsur menjadi semakin baik. Meskipun perlahan-lahan sekali, namun semakin
lama terasa kemajuannya, karena aku membiasakan mempergunakannya. Mungkin
kakiku tidak bertambah baik. Tetapi akulah yang menjadi biasa dengan kaki yang
cacat ini.”
“Tetapi
sebaiknya Ki Argapati tetap di rumah. Biarlah aku mengikuti anak-anak itu
mencari Rudita.”
“Tidak ada
salahnya aku ikut. Aku ingin melihat padepokan orang yang menyebut dirinya
Panembahan Agung.”
“Panembahan
Agung,” ayah Rudita mengerutkan keningnya. Lalu sambil mengangguk-angguk ia
berdesis,
“Aku pernah
mendengar nama itu. Atau nama yang mirip dengan itu. Seorang yang menyebut
dirinya Panembahan Panjer Bumi. Tetapi mungkin juga orangnya lain. Panembahan
Panjer Bumi adalah seorang yang diliputi rahasia dan berkeliaran di sebelah
Utara pegunungan kapur itu.”
“Memang ada
banyak orang yang menyebut dirinya panembahan,” sahut Kiai Gringsing.
“Aku juga
pernah bertemu dengan seseorang yang menyebut dirinya panembahan tanpa nama.”
Ayah Rudita
menarik nafas dalam-dalam. Namun ia masih diterangi oleh sebuah harapan
meskipun samar-samar. Tetapi sampai kapan harapan itu dapat dipegangnya. Jika
saatnya terjadi atas Rudita, maka harapan itu pun akan segera padam.
“Memang tidak
ada jalan lain kecuali segera mencarinya. Aku tidak kuasa untuk mencegah
sesuatu yang mungkin terjadi atasnya dengan kemampuanku dari rumah ini,”
katanya di dalam hati.
“Ki Argapati,”
berkata ayah Rudita kemudian,
“aku pun akan
mempersiapkan diri. Barangkali sudah sepantasnya aku, ayahnya, ikut mencarinya.
Mungkin ada sesuatu yang dapat aku lakukan untuk menyelamatkannya.”
Ki Argapati
tidak akan dapat menolak. Tentu orang tua Rudita itu pun dicengkam oleh
kegelisahan. Meskipun ia memiliki ilmu untuk menembus batas waktu dan tempat,
namun ia tidak akan dapat berbuat sesuatu atas yang terjadi selain menangkap
isyaratnya. Dan isyarat yang gelap akan membuat hatinya menjadi semakin gelap.
“Kadang-kadang
beruntung juga rasanya, bahwa aku tidak mengetahui apa yang terjadi, meskipun
hanya sekedar isyarat yang samar-samar. Dengan demikian usaha, dan ikhtiar
tidak akan dilemahkan oleh isyarat-isyarat itu, apalagi apabila kita salah
mengurai arti dari isyarat itu,” berkata Ki Argapati di dalam hatinya, karena
ia sadar bahwa yang terjadi itu akan tetap terjadi, ada atau tidak ada isyarat.
“Tetapi,” ia melanjutkan,
“kadang-kadang
isyarat memang menjadi pendorong untuk berbuat sesuatu.”
Dalam pada
itu, maka malam pun menjadi semakin lama semakin tipis. Cahaya kemerah-merahan
mulai membayang di langit. Dan cahaya kemerah-merahan itu adalah isyarat akan
datangnya fajar, disambut oleh kokok ayam jantan yang bersahut-sahutan.
“Baiklah aku berkemas,”
berkata ayah Rudita,
“bukankah kita
akan segera berangkat mencari Rudita?”
“Memang
semakin cepat semakin baik. Jejaknya mungkin masih membekas, dan
kemungkinan-kemungkinan yang tidak kita harapkan barangkali masih dapat dihindarkan,”
sahut Ki Argapati.
“Jika fajar
menjadi semakin terang, aku akan memerintahkan para pengawal bersiap. Para
pengawal pilihan, karena kita akan menjelang suatu daerah yang belum pernah
kita jajagi.”
Ayah Rudita
itu pun kemudian meninggalkan pendapa itu. Ia pun sebenarnya bukan saja
dibingungkan oleh hilangnya Rudita, tetapi juga untuk menemukan cara mengatakan
hal itu kepada isterinya. Dalam pada itu, selagi Ki Argapati masih duduk di
pendapa bersama Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Demang Sangkal Putung,
maka Pandan Wangi pun telah berada di dalam biliknya. Beberapa saat lamanya ia
duduk merenung. Kadang-kadang hatinya menjadi kelam. Bagaimanapun juga ia
sangat terpengaruh oleh hilangnya Rudita, seolah-olah segenap pertanggungan
jawab ada di atas pundaknya. Sementara itu, di gandok yang lain, Agung Sedayu
dan Swandaru duduk bersama Raden Sutawijaya dan Prastawa. Mereka pun masih juga
dibayangi oleh peristiwa yang baru saja terjadi.
“Jika kalian
tidak bertemu dengan kami, maka anak itu tidak akan hilang,” desis Raden
Sutawijaya.
“Kita tidak
dapat mencari kesalahan pada diri kita masing-masing, Raden,” sahut Agung
Sedayu.
“Kita semuanya
bersalah. Yang penting, bagaimana kita akan dapat menemukannya kembali.”
“Aku
mengharap, hari ini pasukan yang lebih kuat akan datang langsung kemari.
Orang-orangku yang membawa korban kawan-kawannya itu pasti sudah sampai di
tlatah Mataram jika mereka tidak terjebak oleh Daksina. Dan mereka akan
mengatakan semuanya kepada Ayahanda Ki Gede Pemanahan. Dan ayahanda akan
mengetahui, apakah yang sebaiknya dilakukan buat aku dan terlebih-lebih buat
Mataram.”
Agung Sedayu,
Swandaru, dan Prastawa mengangguk-angguk. Sejenak mereka berdiam diri, namun
tiba-tiba saja di luar dugaan Swandaru bertanya,
“Tetapi Raden,
barangkali pertanyaanku tidak menyenangkan. Namun karena aku sendiri sedang
dipengaruhi oleh suasana yang serupa, maka agaknya aku ingin bertanya, apakah
mungkin ancaman Daksina itu dapat dilakukannya, karena ia menyebut seorang
gadis yang tersangkut di dalam persoalan antara Mataram dan Pajang?”
“Ah,” desis
Raden Sutawijaya yang tiba-tiba menjadi tersipu-sipu.
Agung Sedayu
menarik nafas dalam-dalam. Tetapi agaknya ia tertarik juga pada pertanyaan
Swandaru itu. Meskipun demikian ia tidak mengatakan sesuatu. Bahkan Prastawa lah
yang seakan-akan tanpa disadari pula mendesak,
“Ah, agaknya
Raden memang sudah saatnya untuk kawin.”
Wajah
Sutawijaya menjadi semakin merah. Meskipun demikian ia menjawab,
“Tidak ada
persoalan apa-apa. Agaknya aku memang sudah terlibat dalam hubungan dengan
seorang gadis. Tetapi bukankah itu wajar? Jika Daksina mencoba memeras dengan
ceriteranya yang bukan-bukan, itu sama sekali bukan kebenaran.”
“Tetapi apakah
salahnya jika Raden Sutawijaya memang sebenarnya berhubungan dengan seorang
gadis seperti juga Swandaru sekarang?” sahut Prastawa.
“Ia datang
untuk melamar Pandan Wangi. Bukankah itu wajar?”
Raden
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi menilik sikapnya ada sesuatu
yang sengaja dirahasiakannya. Karena itu maka katanya kemudian,
“Sudahlah,
kita berbicara tentang persoalan lain.”
Prastawa
tersenyum. Katanya,
“Baiklah, kita
berbicara tentang soal lain. Tetapi jika pada saatnya Raden benar-benar
menemukan seorang gadis, maka kami mengharap agar Raden bersedia menerima
kedatangan kami, diundang atau tidak diundang.”
Raden
Sutawijaya hanya tersenyum saja. Tetapi ia kemudian berkata,
“Sebaiknya
kita berbicara tentang Rudita. Begitu pasukanku tiba, kita akan berangkat.
Pasukan yang aku minta adalah pasukan pengawal yang terpilih. Tidak hanya
sepuluh sampai duapuluh orang. Tetapi paling sedikit aku harus membawa
tigapuluh orang. Kita akan mengepung sarang gerombolan orang-orang yang telah
mengambil Rudita itu. Dan barangkali di antara mereka terdapat
prajurit-prajurit Pajang selain Daksina.”
“Tetapi
Raden,” Agung Sedayu bertanya,
“apakah Raden
pasti bahwa yang mengambil Rudita itu termasuk golongan Daksina dan
kawan-kawannya. Apakah tidak mungkin ada pihak lain yang melakukannya dengan
tujuan yang tidak ada hubungannya dengan Daksina?”
“Itu memang
mungkin terjadi,” berkata Sutawijaya,
“tetapi di
dalam keadaan itu, agaknya tentu orang-orang Daksina yang melakukannya dengan
maksud-maksud tertentu.”
Yang
mendengarkan keterangan Sutawijaya itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka
pun berpendapat, bahwa yang mengambil Rudita tentu orang-orang di pihak
Daksina, meskipun mereka kadang-kadang juga disentuh oleh pertanyaan, bahwa ada
pihak lain yang mengambil keuntungan.
“Tetapi
siapa?” pertanyaan lain menyusul, dan di susul pula oleh sebuah dugaan,
“Barangkali
ayah Rudita mempunyai lawan atau saling bersaing.”
Dalam pada
itu, ternyata perintah Ki Gede Menoreh untuk mengumpulkan para pengawal
terpilih telah berpencar ke segenap padukuhan yang termasuk tlatah Tanah
Perdikan Menoreh. Setiap padukuhan wajib mengirimkan dua atau tiga orang yang
paling baik di antara para pengawal yang ada di padukuhan itu. Ternyata, bahwa
para pengawal yang membawa perintah itu harus menjelaskan, bahwa yang
diperlukan hanya dua atau tiga orang. Bukan sepuluh orang.
Beberapa orang
pengawal menjadi kecewa, bahwa mereka tidak mendapat kesempatan kali itu. Namun
mereka harus tunduk kepada setiap pemimpin kelompok yang menunjuk orang-orang
terbaik di lingkungan mereka.
“Ada persoalan
yang cukup gawat,” berkata utusan Ki Gede Menoreh itu kepada para pengawal.
“Seorang tamu
Ki Gede ternyata telah hilang. Kita bersama-sama wajib mencarinya.”
Para pengawal
mengangguk-angguk.
“Selain yang
pergi bersama kami, maka yang tinggal pun harus bersiaga di padukuhan
masing-masing. Jika kalian melihat orang-orang yang mencurigakan, apalagi
membawa tamu Ki Gede itu, kalian harus cepat bertindak. Mungkin orang yang
membawa tamu itu seorang yang sakti. Tetapi jika kalian sempat membunyikan
isyarat, maka pengawal dari padukuhan di sekitar kalian akan datang. Betapa
saktinya seseorang, tetapi kemampuannya pasti terbatas. Jika jumlah kita cukup
banyak, maka mereka pun tentu akan dapat kita kuasai.”
Demikianlah,
maka para pengawal itu pun mulai berkumpul di halaman rumah Kepala Tanah
Perdikan Menoreh.
Pada saat di
halaman mulai berdatangan beberapa orang pengawal, maka ibu Rudita menangis di
dalam biliknya. Anaknya yang sangat dikasihinya itu tiba-tiba telah hilang.
“Apakah
sengaja, Pandan Wangi dan anak-anak muda dari Sangkal Putung itu meninggalkan Rudita
di hutan?” desis ibu Rudita di antara isaknya.
“Tentu tidak.
Yang datang malam tadi bukan saja Pandan Wangi dan anak-anak muda Sangkal
Putung itu, tetapi juga Raden Sutawijaya, putera angkat Sultan Pajang, yang
sebenarnya adalah anak laki-laki Ki Gede Pemanahan.”
“Tetapi
nampaknya anak-anak Sangkal Putung itu iri melihat kehadiran Rudita di sini.
Apalagi anak yang datang untuk melamar Pandan Wangi. Mungkin anak itu sudah
dibakar oleh perasaan cemburu.”
Tetapi suaminya
menggelengkan kepalanya,
“Tentu tidak.
Yang terjadi adalah sebuah kecelakaan.”
“Kau yakin?”
Laki-laki itu
menganggukkan kepalanya. Meskipun ia tidak dapat melihat sampai ke soal yang
sekecil-kecilnya di dalam pandangan indera gaibnya, namun untuk meyakinkan
isterinya ia berkata,
“Ya. Aku dapat
membedakan getar di dalam diriku. Sebenarnyalah aku sudah merasa, bahwa sesuatu
terjadi atas Rudita. Dan aku merasa, bahwa yang terjadi adalah suatu
kecelakaan.”
Isterinya
tidak membantah lagi. Ia percaya kepada suaminya, bahwa ia memiliki kemampuan
melihat. Namun demikian, sebenarnya ada kecurigaan juga padanya, bahwa suaminya
tidak berkata sebenarnya seperti yang dilihatnya. Tetapi ibu Rudita itu tidak
mendesaknya lagi. Sementara itu, halaman rumah Ki Gede Menoreh semakin lama
menjadi semakin sibuk. Para pengawal terpilih dari beberapa padukuhan telah
datang dengan perlengkapan perang menurut kebiasaan masing-masing. Ada yang
membawa tombak pendek, pedang, perisai dan ada pula yang membawa bindi
bergerigi.
Sutawijaya dan
anak-anak muda dari Sangkal Putung menyaksikan kesibukan itu dari serambi
gandok. Sementara itu Prastawa telah sibuk menyiapkan semua kelengkapan yang
diperlukan untuk melakukan perburuan yang lebih besar itu.
“Ki Demang,”
berkata Ki Argapati kepada Ki Demang Sangkal Putung,
“aku minta
maaf, bahwa pembicaraan kita terpaksa diselingi dengan persiapan perang seperti
ini. Aku terpaksa minta diri beberapa saat untuk menemukan tamu yang hilang
itu. Jika tidak, maka akan dapat terjadi salah paham antara aku dan orang tua
Rudita, terutama ibunya yang sangat mengasihinya. Biarlah Ki Demang tinggal di
sini beberapa saat lamanya. Aku mengharap, bahwa kami tidak memerlukan waktu
terlampau lama.”
“Tetapi
menurut pendengaranku, Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar akan ikut serta dengan
pasukan pengawal ini.”
“Ya. Mereka
akan pergi bersama kami, juga ayah Rudita akan pergi.”
“Anakku pun
akan pergi. Karena itu, biarlah aku pergi juga.”
“Sebaiknya Ki
Demang tetap tinggal di sini.”
“Biarlah aku
pergi. Aku ingin melihat apa yang akan terjadi. Apalagi Swandaru pun akan ikut
pula bersama Angger Pandan Wangi.”
“Ya. Pandan
Wangi merasa bertanggung jawab.”
“Raden
Sutawijaya merasa bertanggung jawab pula.”
“Ya. Kami akan
pergi bersama-sama,” Ki Gede berhenti sejenak, lalu,
“aku masih
mengharap Ki Demang tinggal di rumah ini.”
“Terima kasih
Ki Gede. Tetapi aku mohon diijinkan ikut serta.”
Gede menarik
nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak mencegahnya lagi.
Persiapan itu
menjadi semakin lengkap. Karena itu, maka Ki Gede pun kemudian memanggil Raden
Sutawijaya ke pendapa bersama tamu-tamunya. Termasuk ayah Rudita.
“Kita sudah bersiaga,”
berkata Ki Argapati,
“kita akan
segera berangkat mencari Rudita. Ternyata semuanya kita akan berangkat. Memang
sebenarnya kita mengharap, bahwa ada yang tinggal. Ada yang mengharap aku tinggal,
tetapi aku sendiri mengharap Ki Demang yang tinggal, yang lain mengharap orang
lain lagi. Namun agaknya kita bersama-sama ingin mencari Rudita. Bagi Raden
Sutawijaya dan bagi Menoreh, tentu ada juga alasan-alasan lain. Bukan saja
mencari Rudita, tetapi ada sangkut pautnya juga dengan keamanan bagi Mataram
dan Menoreh untuk selanjutnya.”
“Apakah kita
akan segera berangkat?” bertanya Raden Sutawijaya.
“Ya. Kita
sudah siap. Aku akan memberikan beberapa petunjuk. Dan aku akan minta seseorang
yang aku anggap sudah mengenal daerah di sekitar tempat kejadian itu untuk
memberikan beberapa keterangan mengenai daerah yang masih dapat kita anggap
asing itu.”
“Tetapi aku
berharap agar keberangkatan ini dapat ditunda beberapa saat saja.”
“Kenapa?”
tiba-tiba ayah Rudita memotong.
“Aku sudah
mengirimkan orang-orangku kembali ke Mataram dengan pesan, agar Ayahanda Ki
Gede Pemanahan memerintahkan beberapa puluh pengawal terpilih untuk mengikuti
aku pergi ke sarang Daksina dan orang-orangnya. Kita tidak tahu, apakah di sana
ada sepasukan prajurit Pajang yang berpihak kepada Daksina. Karena itu, maka
kita harus berhati-hati. Pasukan kita harus pasukan yang kuat. Jika kita
terpaksa menghadapi kekuatan yang besar. Kecuali jika kita sempat mengirimkan
seseorang atau dua untuk menyelidiki daerah itu terlebih dahulu.”
“Tetapi itu
akan memakan waktu Raden,” berkata ayah Rudita.
“Maksudmu,
apakah kita tidak dapat menunggu pasukan pengawal dari Mataram?”
Ayah Rudita
menjadi termangu-mangu, demikian juga Ki Gede Menoreh. Karena itu, maka untuk
beberapa saat mereka tidak segera dapat mengambil keputusan.
“Ki Gede,”
berkata Sutawijaya,
“menilik
kelengkapan orang-orang yang di bawa oleh Daksina, ada suatu kelompok yang
teratur di bawah satu perintah. Menurut dugaanku, Daksina bukan orang
tertinggi. Baik di dalam lingkungan orang-orang bersenjata itu, maupun perwira
Pajang yang sengaja ingin melihat Pajang menjadi semakin lemah dan apabila
mungkin hancur bersama Mataram. Karena itu, kita harus memperhitungkan kekuatan
mereka baik-baik, agar bukan kitalah yang bagaikan serangga masuk ke dalam api.”
Ki Gede
Menoreh menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti apa yang dikatakan oleh
Sutawijaya. Dan ia pun sudah berpikir seperti itu, Namun Ki Gede Menoreh
dipengaruhi oleh tanggung jawabnya atas hilangnya Rudita, sehingga karena itu,
maka ia menjawab,
“Kami tidak
berkeberatan menunggu pasukan pengawal dari Mataram. Semakin kuat kita, itu
semakin baik. Tetapi kita tidak boleh terlambat, sebab yang ingin kita
selamatkan adalah nyawa seseorang.”
Raden
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia berpikir, lalu katanya,
“Ki Gede,
bagaimana jika kita membagi pasukan. Bagaimana jika Ki Gede berangkat dahulu.
Dengan demikian, maka apabila ada kesempatan Ki Gede dapat segera bertindak,
Tetapi jika keadaan tidak memungkinkan Ki Gede dapat menunggu kedatanganku
bersama pasukanku. Aku berharap, bahwa hari ini mereka akan sampai. Mereka akan
menuju ke induk tanah perdikan ini dengan tanda-tanda damai dari Mataram, agar
tidak menimbulkan salah paham dengan para pengawal Menoreh, apabila mereka
belum sempat mendengar berita tentang kedatangan pasukan pengawal dari Mataram
itu, yang sebenarnya aku harap pagi ini dapat diberitahukan kepada pengawal di
sepanjang Kali Praga.”
Pendapat
Sutawijaya itu agaknya merupakan jalan tengah yang baik. Sejenak Ki Gede
Menoreh memandang ayah Rudita yang kecemasan.
“Ki Gede,”
berkata ayah Rudita,
“pendapat
Raden Sutawijaya itu adalah pendapat yang baik. Kita berangkat lebih dahulu.
Sementara itu kita berjanji untuk bertemu di tempat yang kita tentukan.”
Ki Argapati
ternyata sependapat. Katanya,
“Baiklah. Kami
akan berangkat lebih dahulu Raden. Kami akan mencoba mendekati tempat yang
pernah Raden kunjungi bersama Pandan Wangi itu. Namun kami pun tidak akan dapat
sampai sebelum kami mengirimkan satu dua orang untuk mengamati keadaan. Tetapi
sementara itu, kami sudah berada di dekat tempat itu.”
“Baiklah.
Biarlah kami segera menyusul,” Raden Sutawijaya berhenti sejenak, lalu,
“tetapi jika
diperkenankan, biarlah Agung Sedayu dan Swandaru pergi bersamaku, sementara
Pandan Wangi dan Prastawa akan dapat menjadi penunjuk jalan bagi Ki Gede.”
Ki Gede
Menoreh memandang kedua anak-anak muda Sangkal Putung itu sejenak, kemudian
dipandanginya Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Demang Sangkal Putung.
“Biarlah ia
pergi bersama Raden Sutawijaya,” berkata Kiai Gringsing,
“tetapi untuk
melepaskan anak-anak itu pergi tanpa pengawasan agaknya meragukan juga. Karena
itu, kita yang tua-tua pun sebaiknya membagi tugas. Biarlah Adi Sumangkar pergi
bersama Ki Gede, sedang aku dan Ki Demang akan menyusul bersama Raden
Sutawijaya.”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia pun sadar, bahwa yang akan mereka amati
bukannya sekedar orang kebanyakan.
Mereka pun
bersepakat untuk membagi pasukan mereka menjadi dua kelompok. Pasukan Mataram
di bawah pimpinan Sutawijaya akan berangkat kemudian, bersama dengan Agung
Sedayu dan Swandaru disertai oleh Kiai Gringsing dan Ki Demang Sangkal Putung
yang tidak sampai hati melepaskan Swandaru pergi, meskipun sebenarnya bahaya
yang akan dihadapi akan menjadi lebih besar bagi Ki Demang daripada Swandaru
sendiri apabila mereka benar-benar berhasil, menemukan sarang orang yang
menyebut dirinya Panembahan Agung itu. Dalam pada itu kelompok yang lain, yang
terdiri dari pengawal terpilih Tanah Perdikan Menoreh mendahului di bawah
pimpinan Ki Argapati sendiri yang kakinya masih belum pulih sama sekali. Dalam
kelompok itu akan berangkat pula ayah Rudita, Ki Sumangkar dan Pandan Wangi
serta Prastawa.
“Nah,” berkata
Ki Argapati,
“kita membagi
kerja. Kita akan bertemu di kaki bukit padas itu. Kita sudah menentukan isyarat
yang harus kita ketahui jika kita terlibat dalam pertentangan di malam hari.”
“Ya, Ki Gede.
Kami akan segera menyusul demikian pasukan Raden Sutawijaya datang,” sahut Kiai
Gringsing.
“Sebenarnyalah
bahwa kita harus berhati-hati. Selama ini aku sudah menjumpai beberapa orang
yang pilih tanding. Pada masa Mataram dibayangi oleh hantu-hantuan, maka kami
mengenal orang-orang yang bernama Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak. Kemudian
kami mengenal orang-orang yang luar biasa menyerang para perwira Pajang di Jati
Anom. Dan di perjalanan ke Menoreh kami bertemu dengan seseorang yang menyebut
dirinya panembahan tidak bernama. Bahkan mungkin masih ada nama-nama lain yang berada
di sudut yang lain dari Mataram dan Pajang, itulah sebabnya, maka tidak
mustahil bahwa di dalam sarang mereka terdapat orang-orang semacam itu,
ditambah dengan perwira-perwira Pajang yang mungkin terlibat.”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Ternyata
persiapan mereka cukup lama. Tetapi sayang, bahwa mereka tidak dapat
menyalurkan kemampuan sekian banyak orang untuk tujuan yang lebih baik dari
pamrih pribadi.”
“Ya. Dan
untunglah, bahwa mereka tidak dapat mengerahkan kemampuan mereka dalam saat
yang tepat, atau barangkali mereka salah menilai lawan-lawannya, sehingga
seorang demi seorang pemimpin-pemimpin mereka yang mumpuni itu terbunuh,” jawab
Kiai Graigsing.
“Namun mungkin
juga ada pertentangan yang terpendam di antara mereka sendiri, sehingga
kadang-kadang yang segolongan sengaja membiarkan golongan yang lain menjadi
semakin lemah.”
“Kita masih
diliputi oleh teka-teki. Baiklah, kita sekarang berpisah. Agaknya pasukan
Menoreh telah benar-benar siap untuk berangkat.”
“Ki Gede,”
potong Raden Sutawijaya,
“aku berharap
agar Ki Gede memberitahukan para pengawas, bahwa pasukan Mataram akan datang.”
“Baiklah,
Raden. Pada saat kita berangkat, maka akan aku memerintahkan dua orang pengawal
untuk menghubungi para pengawas.”
“Terima kasih,
Ki Gede,” sahut Sutawijaya,
“dengan
demikian, maka agaknya kita sudah dapat melakukan tugas kita masing-masing
sesuai dengan perjanjian.”
Maka Ki Gede
memeriksa para pengawal itu untuk terakhir kalinya. Kemudian dipesankannya
kepada para pengawal yang tinggal untuk mengawasi keadaan sebaik-baiknya.
Mereka mendapat gambaran ke mana Ki Argapati akan pergi. Jika terjadi sesuatu
di Tanah Perdikan itu, maka mereka akan dapat segera menghubungi Ki Argapati.
Di beberapa tempat, Ki Gede akan memberikan isyarat dan tanda-tanda bagi
orang-orang yang akan mencarinya. Sebaliknya, jika Ki Gede Menoreh memerlukan,
maka pasukan cadangan harus sudah siap. Dalam keadaan mendesak, Ki Argapati
akan mengirimkan penghubung berkuda, dan pasukan cadangan itu harus menyusul.
Sebagian dari mereka adalah pasukan berkuda yang harus mencapai sasaran lebih
cepat, sementara yang lain menyusul. Ketika semuanya sudah siap, maka pasukan
pengawal Menoreh itu mulai berangkat. Sesaat Ki Gede berpaling ke gandok.
Dilihatnya ibu Rudita menangis tersedu-sedu berdiri di muka pintu memandang
suaminya dengan sepenuh harap.
“Aku akan
membawanya kembali,” berkata ayah Rudita yang sudah siap untuk berangkat.
Isterinya
hanya menganggukkan kepalanya saja.
“Berdoalah.
Semua peristiwa yang terjadi tergatung kepada keputusan Yang Maha Kuasa. Kini
aku sedang berusaha sebagai suatu kenyataan permohonanku dan permohonanmu.
Mudah-mudahan dikabulkan.”
Sekali lagi
isterinya mengangguk. Ki Gege Menoreh menarik nafas dalam-dalam, sedang Pandan
Wangi menundukkan kepalanya. Ia mengerti, betapa sedihnya hati perempuan itu. Setelah
semua perjanjian dan pesan dianggapnya sudah cukup, berangkatlah pasukan
pengawal terpilih dari Tanah Perdikan Menoreh. Mereka mendapat keterangan dari
orang-orang yang dianggap mengerti tentang daerah yang akan mereka datangi,
ditambah dengan keterangan Prastawa dan Pandan Wangi.
Bersamaan
dengan itu, maka dua orang pengawal berkuda telah pergi ke perbatasan di
pinggir Kali Praga untuk memberitahukan, bahwa pasukan Mataram akan datang.
Tetapi sama sekali tidak akan mengganggu Tanah Perdikan Menoreh, sebab mereka
berniat untuk menemukan sarang orang-orang bersenjata yang sering mengganggu
perkembangan Mataram dengan segala macam cara. Sementara itu, Kiai Gringsing,
kedua muridnya, Ki Demang Sangkal Putung, dan Raden Sutawijaya masih berada di
induk Tanah Perdikan Menoreh. Ketika matahari memanjat semakin tinggi mereka
menjadi gelisah, karena pasukan Mataram masih belum datang. Tetapi mereka pun
sadar, bahwa perjalanan dari Mataram ke Tanah Perdikan Menoreh memang
memerlukan waktu. Seandainya orang-orang yang mengikuti Raden Sutawijaya itu
selamat sampai ke Mataram dan menghadap Ayahanda Ki Gede Pemanahan, maka tentu
diperlukan waktu untuk menyiapkan sepasukan pengawal pilihan. Pasukan yang
terlatih baik untuk menghadapi segala macam medan. Menghadapi perang, dan
menghadapi keragu-raguan rakyat di sepanjang daerah yang sedang dibuka.
Sementara itu,
maka kedatangan para pengawal Mataram tanpa Raden Sutawujaya memang mengejutkan
sekali. Apalagi mereka membawa beberapa sosok mayat dan orang-orang yang
terluka. Keterangan yang diberikan oleh para pengawal yang kembali ke Mataram
telah menimbulkan kecemasan di hati Ki Gede Pemanahan. Ia sadar, bahwa yang
dihadapi Sutawijaya tentu sekelompok orang-orang yang pilih tanding, sehingga
dengan demikian maka wajarlah, apabila Sutawijaya memerlukan sepasukan pengawal
yang kuat. Sementara Ki Gede Pemanahan memerintahkan menyiapkan sepasukan
pengawal yang kuat, maka ia sendiri telah dicengkam oleh kebimbangan yang tajam.
Sebagai seorang ayah dan sebagai seorang pemimpin ia tidak akan dapat
membiarkan Sutawijaya pergi sendiri. Tetapi untuk meninggalkan Mataram yang
sedang berkembang dan sedang digoncang oleh berbagai macam keadaan itu. Ki Gede
pun tidak sampai hati pula. Ada banyak persoalan yang dapat tumbuh dengan
tiba-tiba di Mataram. Sikap Pajang yang meragukan dan mungkin justru goncangan
dari dalam. Jika orang yang dengan sengaja ingin mengurungkan berdirinya
Mataram, melihat bahwa Mataram sedang kosong, maka ada saja yang dapat terjadi.
Apalagi pasukan-pasukan terpercaya juga sedang berada di luar. Dalam
kebimbangan itulah Ki Gede Pemanahan memerlukan berbicara dengan seorang tua
yang selalu dekat dengan dirinya. Orang tua yang sangat bijaksana dan mempunyai
berbagai macam ilmu yang mapan di dalam olah kajiwan dan kanuragan, yang
kebetulan berada di Mataram.
“Ki Juru
Martani, persoalan ini sangat meragukan. Aku ingin pergi, tetapi aku juga ingin
tetap menunggui Mataram,” berkata Ki Gede Pemanahan.
“Siapa saja
yang telah pergi?”
“Aku tidak
tahu. Tetapi Sutawijaya memerlukan sepasukan prajurit terkuat. Di daerah Tanah
Perdikan Menoreh ia bertemu dengan Daksina, yang ternyata telah berkhianat
terhadap Pajang dan menghendaki Pajang dan Mataram hancur bersama-sama.”
“Daksina,”
ulang Ki Juru Martani,
“sikapnya
memang tidak meyakinkan. Tetapi siapa saja yang ada di pihak Sutawijaya selain
para pengawal Mataram? Apakah ia bekerja bersama dengan orang-orang Menoreh?”
“Hampir secara
kebetulan. Bahkan hampir saja terjadi salah paham. Untunglah, bahwa akhirnya
mereka bekerja bersama dengan baik. Namun ternyata bahwa menurut perhitungan
Sutawijava, ia tidak akan mampu memasuki daerah orang-orang bersenjata itu
tanpa kekuatan yang lebih besar. Ia masih menyangsikan, apakah Daksina itu
tidak dibayangi oleh kekuatan yang jauh lebih besar lagi.”
“Apakah ia
bertemu dengan Ki Gede Menoreh?”
“Waktu itu
belum. Tetapi ia akan menemuinya. Yang ikut bersama Sutawijaya waktu itu adalah
anak gadisnya. Pandan Wangi. Anak gadis yang aneh, yang mempunyai kemampuan
seperti seorang anak muda yang terlatih baik. Di samping itu di antara mereka
terdapat anak-anak muda bercambuk.”
“Siapakah
mereka?”
“Murid dari
seseorang yang menyebutnya Kiai Gringsing.”
“Nama itu
memang pernah aku dengar. Apakah kau pernah bertemu dengan orang itu?”
“Ia selalu
menghindar. Sejak kekalahan Tohpati ia sudah berada di antara pasukan Pajang
pada waktu itu. Aku sendiri datang mengambil sisa-sisa pasukan Jipang yang
menyerah. Tetapi orang itu tidak aku jumpai. Mungkin kita bertemu selintas,
tetapi tidak dalam waktu yang cukup untuk mengenalnya.”
“Apakah ada
sesuatu yang dirahasiakannya?”
“Aku tidak
tahu. Tetapi Sutawijaya juga tidak percaya bahwa, Kiai Gringsing yang juga
disebut Ki Tanu Metir itu benar-benar hanya seorang dukun padesan. Ia memiliki
ilmu yang hampir sempurna.”
“Itu bukan
pertanda.”
“Ya. Memang
ada juga orang-orang yang hidup terpencil tetapi memiliki kemampuan
keprajuritan yang tinggi. Tetapi ada alasan Sutawijaya untuk menganggapnya
bahwa ia bukan orang kebanyakan.”
“Apakah orang
itu ada di Menoreh?”
“Ya. Dan
murid-muridnya sudah terlibat.”
“Jika
demikian, kau dapat percaya kepadanya untuk sementara. Biarlah ia ikut pergi.
Setidak-tidaknya ia akan mengamat-amati muridnya.”
“Sudah
berulang kali ia berbuat sesuatu untuk kepentingan Mataram,” berkata Ki Gede
Pemanahan. Kemudian diceriterakannya apa yang didengarnya dari laporan-laporan
yang diterimanya tentang orang bercambuk itu.
“Jika
demikian, kau tidak usah cemas lagi. Menurut perhitunganku, Ki Argapati dan
Kiai Gringsing itu tentu akan melibatkan dirinya jika lawan anak-anak itu
terlampau kuat. Bukan berarti kau dapat melepaskan tanggung jawabmu atas
anakmu, tetapi Mataram memang tidak dapat kau tinggalkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar