Naluri keprajuritan mereka segera menggerakkan mereka. Yang seorang memang membawa busur dan anak panah meskipun terutama akan dipergunakan untuk memberikan isyarat. Tetapi agaknya kini busur itu harus dipergunakan untuk kepentingan yang lain. Dengan cepatnya tangannya meraih sebatang anak panah dan sejenak kemudian anak panah itu telah siap diluncurkan.
Mereka tidak
terlampau sulit mencari sasarannya. Ternyata orang yang melepaskan anak panah
itu kini berdiri tegak dengan tali busur yang renggang. Ia masih berusaha
membidik kedua pengawas yang berusaha bersembunyi di balik dedaunan yang hanya
beberapa lembar di lereng pegunungan.
“Tidak ada
tempat untuk bersembunyi,” orang itu masih sempat menggeram. Kini tangannya
menarik tali busurnya semakin renggang.
Kedua pengawas
yang menjadi sasaran itu pun telah melihat lawannya yang berdiri di atas tebing
di sebelah pepohonan. Tetapi mereka tidak mendapat tempat yang baik untuk
bersembunyi. Yang ada hanya batang-batang perdu yang tipis. Apalagi mereka
sudah tidak dapat meluncur lebih jauh lagi. Jika mereka berusaha untuk turun
lagi, maka mereka akan berada di tempat yang terbuka sama sekali meskipun di
bawah tebing itu mereka akan menemukan gerumbul-gerumbul yang agak rimbun.
Tiba-tiba
terdengar suara tertawa. Orang yang menarik busur itu membidik sambil berkata,
“Kali ini aku
akan mengenai lehermu. Bukan sekedar tanganmu. Aku terlalu tergesa-gesa,
sehingga bidikanku yang pertama meleset. Dan itu tidak pernah terjadi.”
Pengawas yang
seorang, yang tidak terluka oleh anak panah itu pun segera menarik pedangnya.
Tidak ada cara lain daripada berusaha menangkis anak panah itu apabila mungkin.
“Jangan gila.
Jangan mencoba menangkis anak panahku. Seandainya yang pertama kau berhasil,
namun anak panahku kemudian akan datang beruntun seperti hujan. Dan kalian
berdua tentu segera mati terbunuh.”
Kedua pengawas
itu tidak menjawab. Yang seorang masih saja menyeringai menahan sakit, sedang
yang lain bersiap untuk mencoba melakukan perlawanan.
Namun dalam
pada itu, karena perhatian orang yang memegang busur itu tertuju kepada kedua
pengawas yang seakan-akan sudah tidak akan dapat lari lagi dari maut itu, maka
ia sama sekali tidak menduga, bahwa sebuah anak panah yang lain sedang
dibidikkan ke arahnya. Maka sejenak kemudian suasana dicengkam oleh ketegangan.
Ketika orang yang berada di atas tebing di sebelah itu benar-benar ingin
melepaskan anak panahnya, tiba-tiba saja terdengar ia memekik keras-keras.
Tubuhnya menjadi gemetar, dan anak panah di tangannya pun lepas tanpa menyentuh
sasarannya. Bahkan kemudian para pengawas yang merasa sudah tidak akan dapat
melepaskan diri dari maut itu melihat sebuah anak panah menancap di dada orang
itu.
“Curang,
curang,” orang itu masih berteriak, “ada orang lain yang ikut campur.”
Sama sekali
tidak ada jawaban. Tetapi keempat pengawas itu melihat orang itu
terhuyung-huyung dan kemudian jatuh terjerembab tepat di pinggir tebing
pegunungan, sehingga tubuhnya itu pun kemudian meluncur turun beberapa langkah
dan terhenti karena menyangkut pohon-pohon perdu di lereng pegunungan itu. Barulah
kemudian kedua pengawas yang hampir saja disentuh oleh maut itu menyadari,
bahwa seorang kawannya tidak saja membawa busur dan anak panah sendaren. Tetapi
di dalam endongnya terdapat juga anak panah yang lain, yang kemudian ternyata
telah menyelamatkannya. Sejenak mereka termangu-mangu. Namun sejenak kemudian
mereka pun menyadari, bahwa agaknya mereka telah masuk ke dalam daerah
pengawasan lawan.
Karena itu,
maka yang pertama-tama mereka lakukan, bukannya melepaskan anak panah yang
menancap di lengan. Tetapi orang yang kesakitan itu ternyata masih mampu
berpikir bening, sehingga sambil menyeringai ia berkata,
“Kita turun.
Mungkin ada orang lain yang akan membidik kita di sini.”
Keduanya pun
kemudian meluncur turun. Untunglah bahwa mereka sempat mencapai tempat yang
ditumbuhi oleh pepohonan yang rimbun, karena pada saat yang bersamaan, seorang
yang mendengar orang yang memanah pengawas dari Mataram itu mengaduh, segera
berlari mendekatinya. Dari tempat yang tersembunyi, keempat orang yang
mendahului pasukan dari Mataram dan Menoreh itu melihat seseorang yang agaknya
sedang mencari kawannya. Sejenak ia termangu-mangu, namun sejenak kemudian ia
mendengar kawannya itu menggeram di tebing pegunungan dan tersangkut pada
pohon-pohon perdu.
“He, kenapa
kau?” ia bertanya.
Tetapi tidak
ada jawaban selain erang kesakitan.
“Apakah kau
terjerumus?”
Masih tidak ada
jawaban.
Namun agaknya
orang itu pun kemudian melihat darah. Ketika orang yang terluka itu menggeliat,
tampaklah di dadanya masih terbenam sebuah anak panah. Orang itu terkejut bukan
kepalang. Dengan wajah yang tegang ia berdiri memandang berkeliling. Namun
dengan demikian ia menjadi sasaran yang pasti bagi pengawas dari Mataram itu. Sesaat
kemudian ketika orang itu mulai menyadari bahwa ia berada dalam bahaya dan
bergerak surut, maka sekali lagi terdengar sebuah pekik kesakitan. Namun kini
orang itu dengan sadar telah memberikan isyarat kepada kawannya. Bahkan ketika
ia mulai terhuyung-huyung dan menghilang di pepohonan, masih terdengar ia
bersuit nyaring meskipun anak panah telah menembus dadanya.
“Sekarang,
kitalah yang harus melarikan diri,” desis pengawal dari Mataram itu,
“mereka akan
segera berdatangan dan mengepung kita.”
“Marilah. Kita
harus segera memberikan laporan.”
“Tetapi anak
panah ini?”
Kawan-kawannya
termangu-mangu sejenak. Namun kemudian mereka pun berusaha mencabut anak panah
itu.
Pengawal yang
terluka itu mengatupkan giginya rapat-rapat untuk menahan sakit. Namun ia masih
juga mengaduh tertahan. Rasa-rasanya sakit di lengannya itu menjalar sampai ke ubun-ubunnya.
Dengan dibalut ikat kepala, maka mereka pun kemudian berusaha menahan darah
yang mengalir dari luka itu. Sementara itu maka mereka pun berusaha untuk
menarik diri dan kembali kepada induk pasukan mereka. Sambil menyeringai
kesakitan, ditolong oleh kawan-kawannya, maka pengawas yang terluka itu
menyingkir dari daerah yang berbahaya. Dalam pada itu, ternyata isyarat yang
dipekikkan oleh pengawas yang dadanya tertembus anak panah itu pun telah
didengar oleh beberapa orang. Dengan tergesa-gesa mereka pun segera
berlari-larian mendapatkannya. Dengan nafas yang terengah-engah pengawas yang
terluka itu masih sempat mengatakan apa yang terjadi dan apa yang dilihatnya di
tebing, bahwa seorang kawannya terbaring dan terluka tersangkut pada pepohonan
perdu.
“Siapakah yang
telah melukaimu?” bertanya salah seorang dari mereka.
Pengawas yang
terluka itu menggeleng. Suaranya menjadi semakin lambat, “Aku tidak tahu.”
Kawan-kawannya
menjadi termangu-mangu sejenak. Lalu,
“Cepat, bawa
orang ini menghadap ke padepokan. Mudah-mudahan ia masih sempat diobati.”
“Tentu orang
Mataram yang kita temui di tempat terbuka dan yang telah gagal kita jebak itu.
Mereka tentu datang kembali dengan pasukan yang lebih besar seperti yang kita
duga.”
“Kita sudah
menyiapkan jebakan yang lebih baik. Cepat bawa orang ini ke padepokan sekaligus
melaporkan apa yang terjadi. Kita akan mengambil kawan kita yang tersangkut di
lereng itu.”
Dua orang di
antara mereka telah membawa kawan mereka yang terluka itu, sedang yang lain pun
kemudian pergi ke tebing sebelah.
“Lindungi
kami,” desis salah seorang dari mereka,
“kami akan
mencoba mengambilnya.”
Beberapa orang
berdiri berderet di atas tebing dengan anak panah yang siap pada tali busur,
sementara dua orang yang lain dengan hati-hati menuruni tebing untuk mengambil
kawannya yang tersangkut di pohon perdu. Namun ketika mereka meraba orang itu,
ternyata orang itu sudah tidak bernyawa lagi.
“Ia sudah
mati,” desis salah seorang dari keduanya.
“Gila,” geram
yang lain,
“pembunuhan
yang tidak dapat dimaafkan. Marilah kita bawa naik dan kita bawa kembali ke
padepokan. Kita memang harus sudah siap menghadapi segala kemungkinan.”
Maka mayat itu
pun segera dibawa kembali ke padepokan. Sementara itu, penjagaan di lereng
pebukitan itu justru diperketat.
“Sudah kita
duga, mereka akan menempuh jalan ini. Kita sudah siap menyambut mereka. Dan
kita akan menghancurkan mereka sebelum mereka sampai di pintu padepokan.”
“Tetapi yang
datang tentu bukan sekedar lima belas orang.”
“Mungkin tiga
puluh. Bahkan lima puluh orang pun akan kami persilahkan.”
Kawannya
mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya.
Yang dikatakan itu agaknya memang tidak berlebih-lebihan. Beberapa orang yang
tersebar di beberapa tempat untuk kepentingan yang sama, menahan perkembangan
Mataram, telah ditarik. Apalagi di antara mereka terdapat beberapa orang yang
datang dari Pajang. Orang-orang yang sependapat dengan Daksina. Bahkan ada di
antara mereka adalah prajurit-prajurit seperti Daksina sendiri.
“Kita memang sudah
siap,” desisnya kemudian,
“prajurit-prajurit
yang lepas dari kesatuannya itu pun merupakan kekuatan yang harus
diperhitungkan oleh orang-orang Mataram.”
Tetapi seorang
yang bertubuh kecil kekurus-kurusan mencibirkan bibirnya sambil berkata,
“Kita tidak
memerlukan mereka sekarang. Bahkan mereka akan mendatangkan kesulitan saja pada
kita. Lihat, apakah rencananya menjebak Sutawijaya itu berhasil? Kita telah
kehilangan beberapa orang kawan kita.” Ia berhenti sejenak, lalu,
“Apalagi
apabila prajurit-prajurit yang meninggalkan kesatuannya itu sempat menimbulkan
kecurigaan di antara mereka sendiri. Maka Pajang pun tentu tidak hanya akan
tinggal diam. Ia sudah kehilangan seorang perwira. Beberapa orang prajurit.
Maka kecurigaan itu akan memaksa Pajang meneliti seorang demi seorang. Nah, kau
tahu, bahwa hal itu sangat merugikan.”
Kawannya
mengerutkan keningnya. Lalu,
“Tetapi tanpa
mereka kita tidak cukup kuat. Apalagi jika benar-benar terjadi usaha yang besar
itu.”
“Sst,” desis
yang lain,
“jangan
didengar oleh anak-anak liar itu. Mereka tidak akan dapat menahan rahasia jika
mereka terbentur pada kesulitan.”
Kawannya
mangangguk-anggukkan kepalanya. Dipandanginya beberapa orang pengawas yang ada
di sekitarnya. Mereka adalah orang-orang yang tidak banyak mengerti tentang
dirinya. Kenapa mereka berada di dalam lingkungan yang tersembunyi itu. Mereka
tidak menyadari, apakah sebenarnya yang sedang mereka lakukan. Yang mereka
inginkan hanyalah kemungkinan yang jauh lebih baik bagi hari-hari depan mereka
tanpa mengetahui alasan dan tindakan yang sekarang ini mereka perbuat.
“Tetapi,” berkata
salah seorang dari mereka,
“usaha untuk
menyingkirkan kekuasaan Pajang sekarang ini memerlukan mereka. Memerlukan
prajurit-prajurit dan perwira-perwira Pajang itu sendiri.”
“Tetapi tidak
sekarang. Tidak dalam keadaan seperti ini. Dan bagi kita, mereka hanya kita
perlukan untuk sementara.”
Kawannya
tertawa kecil. Sambil memandang orang yang berkeliaran di sekitarnya ia
berkata,
“Bukan hanya
kita berpendapat demikian. Orang terpenting di Pajang yang tentu ada, meskipun
kita sendiri belum mengetahuinya, tentu berpendapat, bahwa kita pun hanya
mereka perlukan untuk sementara. Dengan demikian, kita saling menyadari, bahwa
pada saatnya kita akan menentukan, siapakah yang lebih besar pengaruhnya.”
Beberapa orang
yang termasuk orang-orang penting di dalam lingkungan sebuah gerombolan yang
besar, yang selalu membayangi perkembangan Mataram itu pun terdiam, ketika
mereka melihat sekelompok orang mendekati mereka.
“Daksina,”
desis salah seorang dari mereka.
Yang datang
itu adalah Daksina. Seorang perwira Pajang yang tidak dapat kembali lagi kepada
pasukannya, karena ia menyangka bahwa Sutawijaya tentu akan membuat laporan
tentang dirinya kepada para Panglima di Pajang. Karena itu, maka ia pun harus
tetap menetap di tempat itu, meskipun ia masih akan selalu berhubungan dengan
perwira-perwira Pajang yang lain, yang telah menyiapkan suatu rencana yang
besar bagi perkembangan pemerintahan di atas Pulau yang manis ini. Ketika
Daksina mendekati mereka, maka mereka pun mengangguk hormat. Salah seorang
berkata,
“Pengawasan
cukup baik. Mereka tidak akan berhasil melewati daerah ini tanpa sepengetahuan
kita.”
Daksina
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Terima kasih.
Tetapi kita sudah menyusun pertahanan. Daerah ini bukan garis terakhir yang
harus kita pertahankan. Salah seorang telah menghadap Panembahan Agung
menyampaikan laporan tentang perkembangan keadaan.”
“Apakah
laporan semacam itu diperlukan,” bertanya salah seorang.
“Kenapa
tidak?” bertanya Daksina.
“Aku telah
mengirimkan laporan kepada pimpinanku di Pajang pula seperti yang kami
sampaikan kepada Panembahan Agung.”
“Mungkin
laporan ke Pajang itu perlu. Tetapi bukankah Panembahan Agung mempunyai
kemampuan untuk melihat apa yang tidak dilihat oleh indera wadagnya?”
“O,” Daksina mengangguk-anggukkan
kepalanya,
“memang
begitu. Tetapi tidak setiap persoalan dapat diketahuinya dengan pasti sampai
kepada bagian-bagiannya. Mungkin Panembahan Agung kini sudah mengetahui, bahwa
ada semacam bahaya yang sedang merayap mendekati padepokannya. Tetapi
selebihnya masih harus didengar laporan-laporan. Panembahan Agung tidak dapat
melihat seolah-olah ia berdiri di bibir bumi dan mengetahui segala isinya,
seperti kita melihat segerombolan cengkerik di dalam kotak aduan.”
“Begitu?”
salah seorang dari orang-orang yang mendengarkan itu mengerutkan keningnya.
Lalu,
“Mungkin kau
benar. Tetapi mau tidak mau kita harus mengakui, bahwa Panembahan Agung
mempunyai kelebihan bukan saja secara wadag, misalnya olah kanuragan. Tetapi
juga secara halus.”
“Aku percaya,”
sahut Daksina,
“tetapi
kemampuan itu pun terbatas.
“Dan kelebihan
apakah yang dimiliki oleh panglimamu di Pajang?” tiba-tiba seseorang bertanya
dengan nada tinggi.
Daksina
mengerutkan keningnya. Dipandanginya orang itu dengan tajamnya sambil menahan
nafasnya.
Sejenak
suasana justru menjadi tegang. Daksina dan beberapa orang prajurit Pajang yang
mengiringinya memandang orang-orang yang berada di sekitarnya itu dengan
tatapan mata yang tajam. Namun demikian, Daksina masih berusaha untuk menahan
diri. Karena itu, maka sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata,
“Apakah kita
akan membuat perhitungan untung rugi dari ikatan yang kita adakan ini?”
Para pengikut
Panembahan Agung itu tidak segera menjawab. Terasa bahwa Daksina masih berusaha
menahan perasaannya. Karena itu, maka sebagian dari mereka pun berusaha untuk
menahan diri pula agar mereka tidak saling menyinggung. Namun dalam pada itu,
seseorang yang bertanya tentang pemimpin prajurit di Pajang itu agaknya masih
belum puas, sehingga ia masih juga mengulanginya,
“Kau belum
menjawab. Apakah kelebihan panglimamu itu? Seandainya datang saatnya kita harus
memilih, siapakah yang akan memegang perintah tertinggi di antara kita,
siapakah yang paling pantas?”
Daksina
memandang orang itu dengan tajamnya. Namun agaknya ia tidak ingin menjawab.
Bahkan ia berpaling memandang ke arah yang lain. Tetapi salah seorang
pengiringnya yang tidak dapat menahan hati menyahut,
“Kau belum
mengenal panglima kami di Pajang. Tetapi kau pun tidak akan dapat membanggakan
Panembahan Agung itu dengan berlebih-lebihan. Jika ia mengetahui segala sesuatu
yang terjadi, maka kita tidak akan pernah mengalami kekalahan yang berat. Kiai
Damar dan Kiai Telapak Jalak tidak akan mati. Kita tidak akan gagal menguasai
para perwira di Jati Anom. Tetapi baiklah, jika kesalahan itu dibebankan kepada
perhitungan kami yang saat itu berada di Pajang. Tetapi bagaimana dengan
kegagalan orang-orangmu di perbatasan Alas Tambak Baya? Apakah Panembahan Agung
membiarkan saja apabila hal itu sudah diketahui sebelumnya.”
“Cukup,”
potong lawannya,
“kau akan
dikutuk menjadi batu jika kau berani menghinakannya. Kau kira ia tidak
mengetahui apa yang kau katakan.”
“Memang sudah
cukup,” berkata Daksina kemudian,
“perselisihan
yang demikian tidak ada gunanya. Bukan karena aku sekarang menumpang di
padepokanmu. Tetapi kita menghadapi persoalan yang jauh lebih besar. Baiklah
kita menguasai diri kita masing-masing, dan biarlah kita mempergunakan
kemampuan kita masing-masing. Jika Panembahan Agung itu memiliki penglihatan tanpa
batas, baiklah. Tetapi jika kami dan Panglima kami di Pajang memiliki kemampuan
memperhitungkan keadaan, baiklah.”
“Aku setuju,”
berkata pengikut Panembahan Agung yang sudah agak lebih tua dari
kawan-kawannya,
“kita
menghadapi pasukan Mataram yang bergerak maju mendekati padepokan ini. Dua
orang telah menjadi korban. Karena itu, kita harus selalu bersiap-siap
menghadapi mereka. Perselisihan di antara kita tidak akan ada gunanya.”
Daksina
menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya orang-orangnya yang masih tegang dan
demikian pula pengikut-pengikut Panembahan Agung itu. Namun mereka sudah
terdiam. Sejenak Daksina masih berdiri di tempat itu memandang tebing
pegunungan yang terbentang di hadapannya.
Tidak ada
jalur jalan yang baik yang menghubungkan tempat itu dengan daerah luar. Yang
ada hanyalah lereng-lereng yang berkelok-kelok, yang memang mungkin
dipergunakan untuk merayap naik, seperti yang selalu dilakukan oleh orang-orang
yang tinggal di daerah itu. Mereka sengaja tidak membuat jalur jalan tertentu, agar
tempat itu tetap terpisah. Terutama dengan daerah Menoreh, sehingga jika ada
jalur jalan setapak, jalan itu menuju ke arah yang lain di seberang pebukitan.
“Apakah sudah
ada pengawas yang berada di depan tempat ini?” bertanya Daksina kemudian.
“Ya. Pengawasan
sudah kami susun sebaik-baiknya. Apalagi setelah kami kehilangan dua orang
pengawas di tempat ini.”
“Dan orang
yang melepaskan anak panah itu tidak dapat kalian ketemukan?”
“Tidak. Sulit
untuk mencari. Apalagi mungkin mereka berjumlah besar, meskipun aku yakin,
bahwa mereka pun tentu sekedar merintis jalan. Karena itu, kita sedang menunggu
pasukan yang kuat itu datang dari arah yang sama dengan arah kedatangan mereka.
Menurut perhitungan kami, mereka akan melalui jalur lereng ini. Meskipun demikian,
di tempat lain pun telah diletakkan pengawasan yang baik.”
Daksina
mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya,
“Baiklah. Aku
akan menemui Putut Nantang Pati. Mungkin ada persoalan yang perlu kita
siapkan.”
Orang-orang
itu tidak menjawab. Mereka hanya memandang Daksina melangkah menjauh dan
kemudian hilang di balik pepohonan.
“He,” salah
seorang pengikut Panembahan Agung itu berdesis,
“seakan-akan
ia sedang memeriksa pengawasan yang kita susun. Apakah ia berhak berbuat
demikian?”
“Sudahlah,”
sahut yang lebih tua,
“jangan
hiraukan. Ia seorang perwira. Adalah kebiasaannya untuk memeriksa pasukan.”
“Tetapi kita
bukan prajurit Pajang.”
“Meskipun
bukan, tetapi kita kini berada dalam satu ikatan dengan mereka.”
“Meskipun
demikian, yang berwenang memerintah kita di sini adalah Putut Nantang Pati.
Bukan Daksina.”
“Sudah ada
persetujuan di antara keduanya. Putut Nantang Pati dan Daksina, bahwa keduanya
dianggap memiliki kekuasaan dan wewenang yang sama.”
“Ah, itu hanya
dugaanmu. Aku belum pernah mendengarnya.”
“Kenapa hal
itu kau ributkan? Lihat, daerah pengawasan kita itu. Mungkin pasukan Mataram
kini sudah menyusup di bawah rimbunnya pepohonan itu. Bahkan mungkin
perintisnya sudah sampai di bawah kaki kita dengan anak panah siap pada
busurnya.”
Para pengawas
yang sedang berbincang itu pun kemudian terdiam. Perhatian mereka segera
tertuju ke lembah di hadapan mereka. Lembah yang ditumbuhi pepohonan yang
rimbun, yang cukup rapat untuk menyembunyikan diri. Tetapi jika yang lewat itu
sebuah pasukan, maka tentu tidak akan mungkin lepas dari pengawasan orang-orang
itu. Apalagi di hadapan mereka masih ada tiga orang pengawas terdepan.
Sementara itu,
para pengawas dari Mataram dan Menoreh yang kembali kepada induk pasukannya
segera melaporkan apa yang telah terjadi atas mereka. Bahkan di antara mereka
terdapat seorang yang terluka. Meskipun luka itu tidak terlalu parah, namun
karena darah yang mengalir dari luka, maka orang itu menjadi sangat lemah. Untunglah,
bahwa di antara mereka terdapat Kiai Gringsing, sehingga dengan cekatan dukun
tua itu pun segera mencoba untuk menolongnya.
“Namun dengan
demikian, maka mereka pun segera mendapat gambaran, bahwa lawan mereka memang
telah dekat di hadapan mereka, sehingga karena itu, mereka harus sudah
mempersiapkan diri menghadapi pertempuran.
“Kita tidak
dapat maju lagi sambil berkuda,” berkata para pengawas itu,
“jalan sangat
sulit.”
Sutawijaya
mengerutkan keningnya. Dipandanginya Ki Argapati sejenak, seolah-olah ingin
bertanya, apakah ia dapat terus mengikuti perjalanan pasukan ini. Meskipun
pertanyaan itu tidak diucapkan, namun agaknya Ki Gede Menoreh dapat
menangkapnya. Karena itu sambil tersenyum ia berkata,
“Jangan cemas
Raden. Aku dapat berjalan dengan baik meskipun barangkali tidak seimbang lagi.
Tetapi kakiku cukup kuat, setelah sekian lamanya mengalami pengobatan
terus-menerus. Obat yang sejak kaki itu terluka, telah diberikan oleh Kiai
Gringsing.”
“Aku hanya
memberikan petunjuk dedaunan yang dapat dipergunakan,” sahut Kiai Gringsing.
Dan Ki
Argapati masih juga tersenyum,
“Sama saja
artinya bagiku. Dan sekarang, aku merasa hampir pulih kembali, meskipun
tampaknya tubuhku seperti berat sebelah.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian tumbuh pula pertanyaan yang
seolah-olah diucapkannya kepada diri sendiri,
“Bagaimana
dengan kuda-kuda kita?”
“Biarlah
kuda-kuda itu kita tinggalkan di sini. Aku rasa di sekitar tempat ini cukup
banyak rerumputan yang hijau. Biarlah kuda-kuda itu kita ikat dengan tali yang
agak panjang, agar mereka sempat makan rerumputan sehari suntuk. Bahkan dua
tiga hari jika kita tidak segera kembali.
“Baiklah,” berkata
Sutawijaya,
“tetapi jika
kita kelak tidak sempat kembali, maka biarlah jika ada salah seorang dari kita
yang tetap hidup, akan melepaskan kuda-kuda ini. Biarlah mereka menjadi kuda
liar yang menghuni hutan itu.”
“Ah,” desis Ki
Argapati, lalu,
“sebaiknya
kita berdoa, agar perjalanan kita dilindungi oleh Tuhan, karena kita sama
sekali tidak bermaksud jahat. Kita sedang berusaha untuk berbuat kebaikan di
antara sesama sesuai dengan kewajiban kewadagan kita.”
Sutawijaya
tersenyum. Katanya,
“Baiklah Ki
Gede. Kita percayakan perjalanan ini kepada kekuasaan Yang Maha Tinggi.”
“Yang kita
lakukan adalah sebuah usaha.”
Orang-orang
yang mendengar pembicaraan itu mengangguk-anggukkan kepalanya, seolah-olah
mereka pun ikut serta mengucapkan kata-kata itu.
Dalam pada
itu, maka pasukan itu pun segera bersiap. Mereka telah menggenggam senjata
masing-masing meskipun jaraknya masih ada beberapa ratus langkah, lewat jalan
yang sulit, sehingga masih memerlukan waktu yang cukup panjang. Namun dalam
pada itu, Ki Waskita, ayah Rudita tampaknya menjadi selalu bimbang. Bahkan kemudian
terdengar ia berdesis,
“Aku menjadi
bingung. Apakah aku sekarang sudah tidak mampu lagi menangkap isyarat yang aku
terima?”
“Kenapa?”
bertanya Kiai Gringsing.
“Menurut
tangkapanku, Rudita masih berada di tempat yang agak jauh, meskipun kita memang
berjalan ke arah yang benar. Tetapi aku tidak dapat mengingkari kenyataan,
bahwa kita memang sudah di ambang pintu sarang lawan Apakah jika demikian
Rudita tidak berada di sarang yang sedang kita dekati.”
“Jangan
mengambil kesimpulan dahulu. Mungkin ada sesuatu yang kurang wajar terjadi pada
dirimu,” sahut Kiai Gringsing.
“Apa maksud
Kiai?”
“Mungkin kau
dapat melihat dan mengungkap isyarat bagi orang lain. Tetapi kali ini adalah
anakmu sendiri, sehingga di dalam memusatan pikiran kau dipengaruhi oleh
kecemasan dan kegelisahan. Atau justru persoalannya menyangkut anakmu sendiri,
kau menjadi kurang yakin pada tanggapanmu. Dengan demikian akan dapat
menimbulkan kekeruhan di dalam tangkapan isyarat itu, sehingga uraiannya pun
menjadi kusut pula.”
Ki Waskita
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Memang
mungkin. Tetapi rasa-rasanya aku sudah menerima isyarat, dan sudah aku
terjemahkan dengan baik.” Ia berhenti seienak, lalu,
“Atau mungkin
Rudita memang tidak ada di dalam sarang itu. Mungkin ia disembunyikan di tempat
yang jauh, atau yang mengambilnya memang tidak mempunyai sangkut paut sama
sekali dengan orang yang akan kita temui sebentar lagi.”
“Sudah aku katakan,”
potong Raden Sutawijaya,
“ada
kemungkinan kau keliru. Tetapi ada kemungkinan kita tertipu oleh pengawas yang
sedang berkeliaran jauh dari sarangnya. Atau kemungkinan-kemungkinan yang lain.
Tetapi marilah kita berbuat sesuatu agar ada usaha kita untuk melakukan
penyelamatan bagi sesama. Keselamatan Rudita, dan umumnya keselamatan Tanah
Perdikan ini dan Tanah Mataram.”
Ayah Rudita
tidak menjawab lagi. Namun ia pun sudah siap untuk berangkat. Sejenak kemudian,
maka para pengawal itu pun segera mengikat kuda-kuda masing-masing pada
sebatang pohon di sekitar rerumputan yang hijau dengan tali yang agak panjang,
sehingga jarak jangkau kuda-kuda itu menjadi agak jauh. Agaknya Sutawijaya
menganggap bahwa tidak akan ada gunanya, seandainya satu dua orang harus
tinggal menunggui kuda-kuda itu, karena apabila beberapa orang lawan merunduk
mereka, maka mereka pun akan mati terbunuh. Sehingga karena itu mereka
membiarkan saja kuda-kuda itu tidak di tunggu. Apalagi menurut perhitungannya
jarak yang akan ditempuh sudah tidak begitu jauh lagi. Ketika para pengawal
Tanah Perdikan Menoreh dan Tanah Mataram itu sudah siap, maka mereka pun segera
bergerak maju ke arah sarang lawan disela-sela pebukitan itu.
Namun demikian
salah seorang dari mereka masih juga bergumam,
“Bagaimana
jika seekor harimau datang ke tempat kuda-kuda itu tertambat?”
“Harimau itu
tidak akan sampai ke tempat itu. Mereka tidak mau menyeberangi daerah terbuka
yang agak luas, kemudian menyusup ke hutan perdu. Di hutan itu sendiri terdapat
cukup makanan bagi mereka,” jawab yang lain.
Tetapi
kawannya masih juga berpaling, seakan-akan ia merasa berat hati meninggalkan
kudanya, karena kuda itu sudah bertahun-tahun dipeliharanya dengan baik. Kuda
yang merupakan kawan yang paling akrab di setiap keadaan. Meskipun demikian, ia
harus berjalan terus bersama dengan seluruh pasukannya. Mereka telah mendapat
gambaran dari medan yang harus mereka tempuh.
Ketika mereka
sampai di ujung lembah, maka pengawas yang telah mendahului mereka sebelumnya berpendapat,
bahwa sebaiknya mereka menempuh beberapa jalan. Yang pertama adalah jalur jalan
di sela-sela pepohonan di dalam lembah. Yang lain naik melalui tebing. Mereka
telah mencoba memanjat tebing itu di tengah-tengah perjalanan untuk mengetahui
apakah ada jejak kaki di atasnya, tetapi selagi mereka memanjat, mereka telah
mendapat serangan. Menurut perhitungan mereka, jalan tebing itu akan sampai
kepada tempat yang akan mereka capai. Sedang sekelompok lagi akan melalui
lereng sebelah untuk mencapai tempat para pengawas di lereng itu. Sejenak para
pemimpin pasukan dari kedua belah pihak membicarakan pendapat para pengawas
itu. Sutawijaya yang dialiri darah muda itu segera menjawab,
“Baik. Kita
akan datang dari tiga arah. Kita masing-masing akan selalu berhubungan dengan
isyarat-isyarat.”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia pun sependapat dengan rencana itu, meskipun
ia sadar, bahwa jalur isyarat harus terpelihara sebaik-baiknya, karena meskipun
jarak dari ketiga pasukan itu tidak akan jauh, tetapi jika diperlukan, pasukan
yang sekelompok tentu agak sulit untuk mencapai kelompok yang lain, sehingga
diperlukan waktu yang agak panjang.
Ketika hal itu
dikemukakannya kepada Raden Sutawijaya, maka anak muda itu pun berkata,
“Peringatan Ki
Gede itu akan bermanfaat sekali. Ingat, daerah yang akan kita lalui adalah
daerah yang sulit. Jika salah sebuah kelompok disergap, maka isyarat itu harus
secepatnya di berikan, agar kelompok yang lain akan segera dapat mengambil
sikap. Apabila kelompok itu sendiri berhadapan juga dengan lawan, maka kelompok
itu pun harus segera memberikan isyarat.”
Para pengawal
itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Melihat medan yang terbentang di
hadapan mereka, maka mereka sadar, bahwa mereka akan menghadapi tugas yang
berat. Namun dalam pada itu, selagi mereka mempersiapkan diri dan membagi di
dalam kelompok-kelompok yang lebih kecil, ayah Rudita tiba-tiba saja berkata,
“Aku mendapat
petunjuk, bahwa kita berjalan ke arah yang salah. Baru saja aku menyadari. Jika
kalian tidak berkeberatan, aku akan mengulangi perjalanan ini sehingga aku
dapat menemukan titik perubahan arah dari perjalanan yang seharusnya kita
tempuh.”
Semua orang
memandanginya dengan bimbang. Apalagi Sutawijaya, sehingga katanya,
“Ki Waskita,
sebaiknya kita membuktikan lebih dahulu apa yang sedang kita hadapi.”
“Aku yakin,
bahwa Rudita tidak ada di tempat yang sedang kita tuju, atau kita sudah
tersesat oleh jebakan lawan.”
Sutawijaya
menjadi tidak sabar. Namun ketika ia akan berbicara. Kiai Gringsing telah menggamitnya.
Ia lah yang kemudian melangkah mendekati ayah Rudita itu sambil berkata,
“Ki Waskita.
Memang, mungkin sekali petunjuk itu benar. Tetapi jika kita berhasil menemukan
tempat mereka, meskipun bukan tempat persembunyian Rudita, kita akan dapat bertanya
kepada mereka, di manakah Rudita itu di sembunyikan.”
“Kiai,” jawab
ayah Rudita itu,
”jika orang
yang menyembunyikan Rudita itu mengetahui, bahwa pertahanan mereka pecah, maka
mereka tentu akan menyingkirkan Rudita, atau mungkin mengambil tindakan lain,
karena kita tidak tahu, apakah sebenarnya keinginan mereka dengan Rudita.”
“Jadi
bagaimana sebaiknya menurut pertimbanganmu?”
“Kiai. Aku
menyadari, bahwa usaha kalian bukan saja untuk kepentingan Rudita, meskipun aku
berterima kasih bahwa Rudita merupakan cambuk utama dari keberangkatan pasukan
ini. Karena itu, aku sama sekali tidak dapat mengganggu atau merubah sikap dan
keputusan kepemimpinan pasukan ini. Tetapi karena aku selalu dibarengi oleh
penglihatan yang lain dari perhitungan keprajuritan, maka aku minta ijin,
perkenankanlah aku menelusuri jalanku sendiri. Dengan demikian usaha kita akan
berjalan beriringan. Aku tidak tahu siapakah yang akan berhasil lebih dahulu.
Namun aku sebelumnya mengucap beribu terima kasih atas jerih payah kalian.”
Mereka yang
mendengar kata-kata ayah Rudita itu terkejut. Ternyata bahwa Ki Waskita
benar-benar yakin akan isyarat-isyarat yang ditangkapnya, sehingga karena itu
maka ia lebih senang menempuh jalan lain dari jalan yang bersama-sama telah
mereka pilih. Untuk beberapa saat. Kiai Gringsing termenung. Bahkan kemudian
dipandanginya Ki Argapati, Ki Sumangkar, Ki Demang Sangkal Putung, dan kemudian
Sutawijaya, seolah-olah ia ingin mengetahui bagaimana pendapat mereka
masing-masing. Ki Argapati, selain merasa bertanggung jawab atas Tanah Perdikan
Menoreh, juga menganggap bahwa ayah Rudita adalah tamunya, sehingga karena itu
ia bertanya,
“Apakah hal
itu sudah kau pertimbangkan masak-masak?”
“Aku kira aku
tidak mempunyai pilihan lain. Rasa-rasanya aku yakin, bahwa aku mengetahui
dengan tepat, di manakah Rudita kini berada. Tetapi aku juga menganggap
berdasarkan perhitungan nalar, bahwa arah yang kita tempuh untuk mencapai
padepokan itu pun benar. Karena itu, jalan yang paling baik bagi kita adalah
berpisah di sini. Kita kelak akan bertemu lagi apabila kita masing-masing
berhasil dengan usaha ini.”
Ki Argapati
menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya,
“Jalan yang
kau pilih adalah jalan yang sangat berbahaya.”
“Aku tahu.
Tetapi aku kira, jalan itu adalah yang paling dekat untuk mencapai Rudita.”
“Apalagi jika
benar-benar Panembahan Agung itu adalah panembahan yang pernah kau sebut
mempunyai kemampuan yang luar biasa, sehingga ia mampu menciptakan bentuk semu
dengan mempengaruhi syaraf kita di seberang indera penglihatan dan bahkan
indera kita yang lain.”
“Aku akan
berusaha mengatasinya. Mudah-mudahan aku masih dapat berbuat seperti yang
dilakukan oleh panembahan itu.”
Ki Argapati
mengerutkan keningnya, sedang beberapa orang lain yang mendengarnya menjadi
berdebar-debar. Agaknya Ki Waskita itu selain memiliki penglihatan yang dapat
menembus batas tempat dan waktu, juga memiliki ilmu yang dapat mengimbangi ilmu
panembahan yang disebutkannya.
“KI Gede,” berkata
ayah Rudita itu kemudian,
“biarlah aku
mencobanya. Aku harap Ki Gede memberi aku kesempatan.”
Orang-orang
tua itu saling berpandangan sejenak. Mereka menjadi ragu-ragu untuk mengambil
keputusan. Apalagi anak-anak-muda yang saling berpandangan yang satu dengan
yang lain.
“Ki Waskita,”
berkata Sumangkar kemudian,
“baiklah, jika
Ki Waskita memilih jalan itu. Tetapi sebaiknya kau tidak pergi seorang diri
agar ada kawan berbincang di sepanjang jalan. Biarlah aku pergi bersamamu.
Mudah-mudahan aku tidak mengganggu di perjalanan karena yang akan kita hadapi
adalah orang yang memiliki ilmu yang seakan-akan tanpa dapat dibatasi.”
“Sebenarnya
bukan ilmu yang dahsyat,” berkata Ki Waskita,
“yang
dilakukan hanya sekedar mengelabuhi indera kita. Jika kita sadar, dan dengan
sepenuh hati menguasai indera kita sendiri, tanpa menyentuh ilmu orang itu pun
kita dapat menyelamatkan diri kita.”
“Jika
demikian, semuanya masih terserah kepada Ki Gede Menoreh dan Raden Sutawijaya.
Jika perjalanan kita tidak dirasa mengganggu, maka aku kira mereka tidak akan
berkeberatan.”
Ki Argapati
menarik nafas dalam-dalam. Akhirnya ia berkata kepada Ki Waskita,
“Sebenarnya
kami ingin kau tetap bersama dengan kami. Tetapi jika kau yakin akan
penglihatan mata hatimu atas anakmu, aku tidak dapat mencegahnya. Sebab jika
kelak terjadi sesuatu atas anak itu karena kelambatan kami, maka kami akan
dibebani oleh pertanggungan jawab yang sangat berat, justru karena kau pernah
menyatakan sikap yang lain. Karena itu, marilah kita bersama-sama berusaha. Kau
dengan caramu, kami dengan cara kami. Mudah-mudahan Tuhan bersama kita semuanya,
sehingga kita dapat menyelesaikan tugas kita kali ini. Bukan saja bagi
keselamatan Rudita, tetapi juga bagi ketenteraman di daerah Menoreh dan
Mataram. Dan yang lebih luas lagi adalah bagi Pajang keseluruhan.”
“Terima kasih
Ki Gede. Dan aku pun mengucapkan terima kasih kepada Ki Sumangkar yang sudah
bersedia mengawani aku di perjalanan. Tentu bukan sekedar kawan berbincang.
Tetapi juga kawan di segala keadaan.
Kiai Gringsing
memandang Ki Sumangkar sejenak, lalu katanya,
“Baiklah.
Hati-hatilah. Mudah-mudahan kita semua selamat dan berhasil.”
Ayah Rudita
dan Ki Sumangkar pun kemudian minta diri kepada para pemimpin kelompok kedua
pasukan itu. Kepada Ki Demang Sangkal Putung, kepada kedua murid Kiai
Gringsing, Pandan Wangi, Prastawa, para pemimpin pasukan pengawal Mataram dan
kemudian melambaikan tangannya kepada seluruh pasukan. Dengan diiringi oleh
tatapan mata dan jantung yang berdebar-debar, keduanya pun kemudian melangkah
menyusuri jalan kembali. Ki Waskita ingin mengulang perjalanan itu dan ingin
menangkap isyarat, di mana ia harus berbelok ke arah yang benar. Tanpa disadari
Ki Sumangkar pun meraba senjatanya. Ia merasa perlu mempersiapkan diri
selengkap-lengkapnya untuk menghadapi keadaan yang kurang dimengertinya itu. Namun
ia adalah seseorang yang berpengalaman. Ia adalah adik seperguruan Patih
Mantahun yang pernah disebut bernyawa rangkap. Karena itu, maka ia pun segera
berusaha menyesuaikan diri dengan medan yang dihadapinya. Dalam pada itu, Ki
Waskita yang memiliki penglihatan yang dapat menembus batas waktu dan tempat
itu pun dengan ketajaman ilmunya berusaha mengetahui, ke mana ia harus pergi.
Ketika ia merasa bahwa ia sudah menemukan titik yang dicarinya, maka ia pun
berkata,
“Ki Sumangkar,
kita harus berbelok ke arah Barat.”
“Justru ke
arah Barat?” bertanya Sumangkar.
Ki Waskita
menganggukkan kepalanya. Sejenak ia masih mencoba meyakinkan dirinya. Dan
katanya kemudian,
“Aku yakin, Ki
Sumangkar. Aku harus menuju ke arah Barat. Aku tidak tahu, daerah apakah yang
akan kita temui. Tetapi di sanalah anakku itu di sembunyikan.”
Ki Sumangkar
hanya rnengangguk-anggukkan kepalanya saja. Ia mengikuti saja di belakang ayah
Rudita yang dituntun oleh sentuhan hubungan getaran yang terjalin antara
dirinya dengan Rudita. Apalagi Rudita adalah anaknya, sehingga jalinan itu
terasa semakin mantap. Mereka menyusuri lereng pegunungan. Menyusup
gerumbul-gerumbul perdu dan padang ilalang. Mereka sama sekali tidak
menghiraukan apa saja yang mungkin mereka jumpai di perjalanan.
“Bukan
perjalanan yang amat dekat” berkata ayah Rudita kepada Sumangkar,
“karena itu
aku agak cemas. Ketika perhitungan nalarku sependapat dengan Raden Sutawijaya,
bahwa kita sudah dekat dengan persembunyian orang-orang yang mungkin melarikan
Rudita.”
“Memang mungkin
demikian,” sahut Sumangkar,
“persembunyian
mereka sudah dekat. Tetapi Rudita di tempatkan di tempat lain dan terasing.”
“Itu pun
mencemaskan. Seperti sudah aku katakan, jika orang-orang yang menyembunyikan
Rudita mencemaskan keselamatan mereka sendiri, atau gerombolannya, maka Rudita
akan mengalami nasib yang sangat jelek.”
Ki Sumangkar
tidak menyahut. Ia hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Sementara itu
mereka pun berjalan semakin cepat menembus gerumbul-gerumbul liar di lereng
pebukitan.
Dalam pada
itu, pasukan pengawal dari Mataram dan Menoreh itu pun sudah bergerak kembali.
Mereka benar-benar membagi diri menjadi tiga kelompok. Yang berjalan di tengah
adalah kelompok Raden Sutawijaya dengan sepasukan pengawal dari Mataram yang
kuat, bersama para pemimpinnya yang dapat dipercaya. Yang kemudian memanjat
tebing yang diduga dilalui oleh orang-orang Daksina, dipimpin oleh Kiai
Gringsing dan kedua muridnya bersama Ki Demang Sangkal Putung dengan sebagian
pengawal dari Menoreh. Sedang sebagian lagi pengawal dari Menoreh mengitari
lereng sebelah, dan akan sampai di tebing sebelah. Mereka akan merunduk para
penjaga di pihak lawan yang mengawasi pintu gerbang memasuki daerah mereka yang
terpencil itu. Dengan pengalaman yang pernah terjadi atas para pengawas yang
mendahului perjalanan mereka, maka setiap kelompok pasukan telah mempersiapkan
beberapa orangnya untuk menghadapi pertempuran jarak jauh. Karena lawan-lawan
mereka mempergunakan anak panah, maka untuk melindungi gerakan pasukan
seluruhnya, merekapun mempersiapkan beberapa orang yang dipersenjatai dengan
panah, meskipun sebagian dari kepentingan mereka adalah untuk memberikan
isyarat-isyarat. Pasukan yang di tengah, yang dipimpin oleh Sutawijaya adalah
kelompok yang terkuat. Mereka terdiri dari pasukan pengawal berkuda dari
Mataram, meskipun saat itu mereka tidak dapat mempergunakan kuda-kuda mereka.
Namun mereka adalah orang-orang yang berpengalaman. Yang memiliki ilmu bukan
saja yang mereka terima selama mereka menjadi seorang pengawal. Tetapi mereka
pada umumnya telah memiliki ilmu sebagai bekal pendadaran mereka memasuki
pasukan pengawal Mataram. Bahkan sebagian dari mereka adalah bekas
prajurit-prajurit Pajang yang berpengaruh. Di antara mereka adalah Ki Lurah
Branjangan. Menurut perhitungan, maka pertahanan terkuat dari pihak lawan
adalah yang di tempatkan di lembah itu. Mereka tentu berpendapat, bahwa pasukan
Sutawijaya akan melalui jalan itu. Sementara itu Kiai Gringsing pun maju terus
meskipun perlahan. Mereka berjalan di sepanjang tebing yang agak miring. Sebuah
jalur yang dapat mereka lalui menyelusur di sisi tebing itu. Beberapa batang
pohon tumbuh di lereng dan di pinggir jalan setapak itu.
“Tunggu,”
berkata Kiai Gringsing,
“ternyata
bahwa dugaan para pengawas itu benar. Kita menemukan jejak kaki yang
menyelusuri lereng ini.”
Agung Sedayu
dan Swandaru mengerutkan keningnya. Mereka pun mengamati tempat di sekitar
mereka dengan saksama. Dan mereka memang menemukan sesuatu yan mencurigakan,
yang mungkin adalah jejak kaki seseorang yang sudah diusahakan untuk
dihapuskan.
“Kita berjalan
lewat jalur yang benar,” desis Kiai Gringsing.
“Apakah kita
akan memberikan isyarat?” bertanya Ki Demang Sangkal Putung.
“Belum
sekarang,” sahut Kiai Gringsing.
Sementara itu
pasukan di lereng seberang pun maju terus lewat di bawah rimbunnya dedaunan.
Kelompok itu di pimpin langsung oleh Ki Argapati. Meskipun kaki Ki Argapati
masih belum pulih sama sekali, namun ia tidak mengalami kesulitan apa pun
berjalan di lereng yang terjal bertelekan pada tangkai tombak pendeknya. Di
belakangnya berjalan Pandan Wangi dan Prastawa. Sedang mengikuti mereka itu
adalah sekelompok yang bagi Menoreh adalah pengawal yang paling baik, seperti
juga pengawal terpilih dari Mataram. Para pengawal dari Menoreh itu pun
sebagian besar telah memiliki pengalaman, bukan saja disadap dari
ceritera-ceritera dan kitab-kitab, tetapi mereka pun pernah mengalami berbagai
macam suasana medan yang berbeda-beda.
Dalam pada
itu, selagi para pengawal dari Mataram dan Menoreh merayap maju mendekati
sarang orang-orang yang tidak banyak mereka kenal, termasuk Daksina, maka di
padepokan yang terpencil, seseorang sedang berbicara dengan dua orang yang
agaknya siap untuk menempuh perjalanan yang agak jauh dan sulit.
“Kau harus
singgah di padesan itu untuk mengambil kuda. Kau harus segera sampai di
Mataram,” berkata seseorang yang menyebut dirinya Putut Nantang Pati.
“Ya. Kami akan
berpacu secepat dapat kami lakukan,” jawab salah seorang dari keduanya.
“Aku yakin,
bahwa pasukan yang kuat akan datang. Tetapi kami tidak akan mempertahankan
padepokan ini dengan sepenuh kekuatan. Kami sudah mengatur, bahwa kami akan
segera menarik diri jika pertempuran telah berkobar, kecuali jika kami yakin
bahwa kami dapat menumpas lawan yang datang itu. Pertahanan kami yang
sebenarnya adalah di depan padepokan Panembahan Agung. Kami akan melihat suatu
permainan yang sangat menarik. Orang-orang Mataram akan menjadi kebingungan
melawan ilmu Panembahan Agung.”
“Ya.
Sebenarnya aku pun ingin melihatnya.”
“Tidak. Kalian
harus pergi seperti yang sudah kita sepakati dengan Daksina. Kemampuan
Panembahan Agung itu pun terbatas. Jika ia menghadapi pasukan segelar sepapan,
maka pada suatu saat, jika lawannya itu tidak juga segera dapat disingkirkan,
maka kemampuan ilmu itu berkurang, karena Panembahan akan menjadi lelah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar