Untuk mengimbanginya, kau harus mengirimkan sepasukan prajurit yang benar-benar kuat. Jika orang-orang itu tidak ada di antara pasukan pengawal Mataram nanti, maka pasukan itu sendiri dapat dipercaya untuk menyelesaikan masalahnya, setidak-tidaknya melindungi diri sendiri.
Ki Gede
Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Apa yang dikatakan oleh Ki Juru
Martani itu sebenarnya memang sudah dipikirkannya. Namun dengan demikian, ia
menjadi semakin yakin, bahwa ia memang harus tetap berada di Mataram. Bahayanya
sangat besar bagi daerah yang sedang tumbuh ini apabila ia pergi
meninggalkannya dalam keadaan yang belum mantap itu. Maka Ki Gede Pemanahan pun
segera mengirimkan sepasukan pengawal yang paling kuat. Agar mereka segera
sampai ke tujuan, maka Ki Gede Pemanahan memerintahkan agar mereka pergi
berkuda. Ki Gede juga mendengar laporan, bahwa di antara anak-anak muda dari
Tanah Perdikan Menoreh ada yang telah hilang. Dan hilangnya Rudita itu
memberikan gambaran kepada Ki Gede Pemanahan, bahwa lawan yang dihadapi memang
bukan lawan yang ringan. Di antara perwira yang pergi di dalam pasukan itu
adalah Ki Lurah Branjangan. Ia adalah perwira yang berpengalaman. Dan Ki Lurah
Branjangan telah mengenal dengan baik perwira Pajang yang berada di tlatah
Tanah Perdikan Menoreh dan bernama Daksina itu. Di samping Ki Lurah Branjangan,
Ki Gede Pemanahan juga mengirimkan pengawal-pengawal kepercayaannya.
“Jagalah anak
itu baik-baik,” pesan Ki Gede Pemanahan kepada Ki Lurah Branjangan dan
kawan-kawannya,
“kalian akan
masuk ke dalam sarang harimau. Dan kalian tidak tahu, ada berapa ekor harimau
yang ada di dalam sarang itu. Aku berharap bahwa orang bercambuk itu dapat di
bawa bekerja bersama. Setidak-tidaknya tidak menghalangi kalian.”
“Aku percaya
kepadanya, Ki Gede,” berkata Ki Lurah Branjangan.
“Aku pernah
melihat pengabdiannya di Jati Anom. Benar-benar tanpa pamrih.”
Ki Gede
Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Hati-hatilah.
Kalian merupakan pasukan berkuda terkuat yang pernah disusun oleh Mataram yang
muda ini.”
“Mudah-mudahan
Mataram tetap tidak goyah sepeninggal pasukan terkuat ini jika terjadi sesuatu,
Ki Gede.”
“Tentu tidak.
Aku sudah mengatur keseimbangan kekuatan yang kita miliki.”
Maka pasukan
berkuda itu pun segera berangkat meninggalkan Mataram. Mereka menyusur jalan
yang langsung menuju ke induk Tanah Perdikan Menoreh. Beberapa orang tukang
perahu terkejut melihat pasukan itu. Bahkan ada yang menduga, bahwa terjadi
perselisihan antara Mataram dan Menoreh.
“Tentu tidak.
Pasukan itu terlalu kecil untuk mengatasi perselisihan dengan Menoreh,” berkata
salah seorang tukang perahu itu.
“Pasukan ini
hanya terdiri oleh kira-kira tigapuluh atau tigapuluh lima orang.”
Kawan-kawannya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka mengerti, bahwa pasukan itu memang
terlalu kecil jika benar-benar terjadi perselisihan dengan Menoreh yang lebih
tua dan cukup kuat itu. Dengan beberapa buah perahu, maka pasukan pengawal itu
menyeberangi sungai beserta kuda-kuda mereka. Di sebelah Barat Kali Praga, maka
pasukan itu pun segera menyusun diri dan meneruskan perjalanan. Namun, mereka
terhenti ketika mereka bertemu dengan empat orang pengawal berkuda dari Tanah
Perdikan Menoreh. Ki Lurah Branjangan yang memimpin pasukan kecil itu pun
segera menemui para pengawal dari Menoreh itu.
Tetapi sebelum
Ki Lurah Branjangan bertanya sesuatu, salah seorang pengawal itu berkata,
“Kami sudah
menerima perintah untuk menerima pasukan pengawal dari Mataram. Kami
persilahkan pasukan ini lewat. Raden Sutawijaya sudah terlalu lama menunggu.
“Terima kasih,
Ki Sanak.” jawab Ki Lurah Branjangan.
Maka pasukan
berkuda itu pun segera berpacu menuju ke induk Tanah Perdikan. Di sepanjang
jalan, derap kaki kuda itu menghambur-hamburkan debu di atas jalan
berbatu-batu. Namun demikian, orang-orang Menoreh sudah banyak yang mendengar
akan kedatangan pasukan pengawal dari Mataram dalam usahanya untuk
menenteramkan Tanah yang sedang tumbuh itu dan bekerja bersama dengan Ki
Argapati.
“Selain usaha
itu tidak merugikan Menoreh, dan bahkan menguntungkan, Ki Argapati sudah
dipaksa oleh hilangnya Rudita,” berkata seorang pengawal Tanah Perdikan Menoreh
kepada kawan-kawannya.
Kawan-kawannya
hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Tetapi ia sependapat, bahwa
orang-orang bersenjata yang berkeliaran itu memang harus dipagari. Jika mereka
gagal mengganggu Mataram, maka mereka akan menjadi segerombol orang-orang
bersenjata yang berbuat tanpa tujuan. Dan itu akan menjadi sangat berbahaya
bagi Tanah Perdikan Menoreh. Selama ini gerakan gerombolan itu lebih di arahkan
untuk menghancurkan Mataram. Tetapi arah itu dapat berkembang, bahkan juga
dapat berkisar dari arah semula. Dalam pada itu, pasukan pengawal berkuda itu
pun menjadi semakin lama semakin dekat dengan induk Tanah Perdikan Menoreh. Dan
mereka pun sadar, bahwa Raden Sutawijaya sedang menunggu dengan gelisah.
Sebenarnyalah,
bahwa Sutawijaya sudah menjadi sangat gelisah. Bukan saja karena matahari sudah
sampai ke puncak langit, tetapi ia juga menjadi cemas, bahwa orang-orangnya
yang kembali ke Mataram itu tidak akan pernah mencapai tujuannya. Karena itu
maka dalam kegelisahannya ia berkata kepada Agung Sedayu dan Swandaru,
“Jika perlu
aku akan menjemput pasukan itu ke Mataram. Aku akan pergi dari Mataram langsung
ke tempat itu, ke tempat yang sudah kita janjikan dengan Ki Gede Menoreh. Aku
harus bertindak lebih cepat daripada menunggu saja.”
“Tetapi
bagaimana jika kita berselisih jalan.”
Sutawijaya
menarik nafas. Memang kemungkinan itu dapat saja terjadi. Dengan demikian, maka
waktunya akan menjadi semakin panjang. Tetapi jika ia menunggu saja, dan
pasukan itu tidak kunjung datang, maka ia pun akan banyak sekali kehilangan
waktu. Namun demikian, menurut perhitungan Kiai Gringsing, pasukan pengawal
yang dipimpin oleh Ki Argapati sendiri cukup kuat untuk mempertahankan diri
apabila mereka bertemu dengan pasukan lawan di perjalanan. Tetapi untuk
menembus masuk ke daerah yang kurang dikenal itu, mereka pasti memerlukan
pasukan Mataram yang kuat sekali. Karena daerah itu hampir masih belum dikenal
sama sekali.
Tetapi
ternyata bahwa Raden Sutawijaya tidak usah menjadi semakin gelisah, karena
sejenak kemudian dua orang Pengawal Tanah Perdikan Menoreh melaporkan, bahwa mereka
sudah melihat pasukan Mataram datang.
“Bagus,” desis
Raden Sutawijaya,
“kita akan
segera berangkat.”
“Biarlah
mereka beristirahat dahulu,” berkata Kiai Gringsing.
“Mereka baru
saja menempuh perjalanan yang jauh.”
“Mereka
berkuda,” sahut pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang melihat kehadiran para
pengawal dari Mataram itu.
“Tetapi mereka
tentu lelah dan haus. Biarlah mereka beristirahat sebentar untuk makan dan
minum. Kita akan segera menyusul pasukan pengawal Tanah Perdikan ini.”
Maka pasukan
Pengawal Tanah Perdikan itu pun kemudian menyongsong pasukan berkuda yang baru
datang. Mereka dibawa langsung ke rumah Ki Gede Menoreh yang ditunggui oleh
beberapa orang kepercayaan Ki Gede, karena Ki Gede sendiri justru sudah
berangkat mendahului. Seperti yang dikatakan Kiai Gringsing, maka mereka masih
sempat untuk minum seteguk air dan makan sepotong makanan. Kemudian mereka
sudah harus berkemas lagi.
“Sesudah
kuda-kuda itu beristirahat sejenak, minum dan makan pula, kita akan berangkat,”
berkata Sutawijaya.
“Kita harus
menyusul pasukan Ki Argapati yang sudah lebih dahulu berangkat. Secepat
mungkin.”
Ki Lurah
Branjangan mengangguk-anggukkan kepalanya. Dipandanginya Kiai Gringsing sambil
tersenyum. Katanya kemudian,
“Baiklah,
Raden. Kita akan berangkat. Apakah Kiai Gringsing itu juga akan ikut serta?”
“Ya. Kiai
Gringsing dan kedua muridnya. Bahkan dengan Ki Demang Sangkal Putung pula.”
Ki Lurah
Branjangan masih saja mengangguk-angguk. Katanya pula,
“Setiap kali
Kiai Gringsing tentu ada di antara kami. Wanakerti pernah berceritera tentang
Kiai, dan di Jati Anom aku menyaksikan sendiri. Kemudian laporan dari para
petugas tentang orang yang menyebut dirinya panembahan tanpa nama. Dan sekarang
Kiai berada di antara kami pula.”
“Dan yang
telah mendahului kita adalah Ki Gede Menoreh, puterinya Pandan Wangi, ayah dari
anak yang hilang itu dan Ki Sumangkar.”
“O,” desis Ki
Lurah Branjangan,
“jadi Ki
Sumangkar pergi juga?”
“Ya.”
“Sebenarnya
kita sudah cukup lengkap. Mudah-mudahan Daksina tidak menyimpan sederetan nama orang-orang
yang memiliki kemampuan seperti pemimpin-pemimpin di golongan mereka yang
pernah dikalahkan oleh Kiai Gringsing.”
“Mudah-mudahan,”
berkata Raden Sutawijaya,
“meskipun
seandainya demikian, kita akan berusaha melakukan tugas kita sebaik-baiknya.”
Beberapa orang
yang memberikan, makan dan air kepada kuda-kuda itu pun telah selesai pula.
Sejenak mereka masih menunggu. Kemudian Raden Sutawijaya pun berkata,
“Aku kira kita
tidak akan dapat berbuat banyak hari ini. Jika kita sampai di tempat tujuan, maka
hari tentu sudah gelap. Apalagi kita masih mencari hubungan dan beberapa
keterangan tentang daerah yang masih belum kita kenal itu.”
“Seakan-akan
kita akan meloncat ke dalam gelap,” berkata Ki Lurah Branjangan.
“Tepat. Dan
kita tidak tahu, apakah yang ada di balik kegelapan itu. Kengerian atau
kegelapan yang pekat tanpa batas.”
“Atau kita
akan mendapatkan apa yang kita cari.”
“Ada seribu
kemungkinan. Tetapi kita harus menempuhnya.”
Setelah
semuanya siap, maka Raden Sutawijaya pun minta diri kepada orang-orang yang
diserahi pimpinan atas Tanah Perdikan Menoreh selama Ki Argapati tidak ada di
tempat. Demikian juga Kiai Gringsing dan murid-muridnya serta Ki Demang Sangkal
Putung. Kiai Gringsing masih sempat memperingatkan pesan-pesan yang diberikan
oleh Ki Argapati. Pasukan pengawal cadangan harus selalu siap. Lebih-lebih
pasukan berkuda yang meskipun jumlahnya tidak banyak, namun akan dapat membantu
dengan cepat. Sedangkan apabila ada kesulitan, sebaiknya segera mencari
hubungan dengan Ki Argapati di tempat-tempat yang sudah ditentukan atau
tanda-tanda yang diketemukan.
Meskipun
mereka sadar, bahwa hari itu mereka tidak akan dapat segera bertindak langsung,
namun mereka pun berangkat juga, karena mereka mengerti bahwa Ki Gede Menoreh
dan ayah Rudita tentu sudah menunggu. Apalagi apabila mereka sudah diketahui
oleh beberapa orang pengawas yang dipasang oleh Daksina, karena Daksina pun
pasti mempunyai perhitungan, bahwa akan datang beberapa orang yang akan
mencarinya. Dan pasukan yang akan datang itu tentu lebih kuat dari pasukan
Sutawijaya. Sutawijaya yang ada di paling depan dari pasukan pegawalnya,
sekali-sekali memandang langit yang menjadi kemerah-merahan. Awan yang putih
keabu-abuan bergumpal di ujung cakrawala. Hampir tidak ada seorang pun yang
saling berbicara di dalam iring-iringan itu. Seakan-akan semuanya sedang
dicengkam oleh angan-angan, tentang apakah kira-kira yang akan mereka jumpai di
perjalanan. Kiai Gringsing pun agaknya segan untuk mulai berbicara. Ia duduk
sambil menunduk di atas punggung kudanya, sedang Agung Sedayu dan Swandaru
hanya kadang-kadang saling berpandangan. Berbeda dengan mereka, maka agaknya di
dalam kegelisahannya, Ki Demang sempat memperhatikan air yang mengalir di
parit-parit yang membujur lurus membelah tanah persawahan. Sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata di dalam hatinya,
“Menoreh
memang maju di bidang pertanian. Parit-parit mengalir deras dan tersalur ke
segenap bagian bulak yang luas itu. Tidak terlalu banyak pematang yang silang
menyilang, dan cara bertanam padi yang cermat.”
Tetapi Ki
Demang tidak dapat memperhatikan sawah itu terlampau lama. Setiap kali dadanya
berdesir jika teringat olehnya, bahwa perjalanan itu akan menuju ke tempat yang
tidak menentu untuk menyelamatkan Rudita.
“Ada seribu
kemungkinan dapat terjadi,” katanya di dalam hati,
“dan ada
seribu kemungkinan pula yang dapat terjadi atas Swandaru dan Pandan Wangi.”
Tetapi Ki
Demang berusaha untuk menyembunyikan kesan itu, sehingga karena itu, ia pun
duduk saja sambil berdiam diri di atas kudanya. Iring-iringan itu pun semakin
lama menjadi semakin dekat. Tetapi langit pun menjadi semakin suram.
“Kita akan
bermalam di tempat yang sudah ditentukan. Kemudian kita mencari hubungan dengan
pasukan Ki Argapati,” berkata Sutawijaya.
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menyahut sepatah kata pun. Dalam
pada itu, pasukan Ki Argapati yang mendahului pasukan dari Mataram itu pun
menjadi semakin dekat dari sebuah tempat terbuka yang menjadi arena pertempuran
antara Raden Sutawijaya dengan Daksina.
“Kita sudah
hampir sampai,” berkata Pandan Wangi.
“Sampai di
mana?”
“Arena
pertempuran itu. Di pinggir arena itulah Rudita semula bersembunyi. Tetapi ia
tidak dapat aku ketemukan kembali.”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak kemudian mereka melihat sebuah tempat
yang terbuka, yang dikatakan oleh Pandan Wangi, daerah yang menjadi ajang
perkelahian antara pasukan pengawal Mataram dan Menoreh melawan Daksina dan
anak buahnya.
“Kita berhenti
di pinggir daerah terbuka itu,” Desis Ki Argapati.
“Ya. Kita
sudah berjanji bertemu di tempat Rudita hilang.”
“Di tempat
Rudita hilang, atau di ujung pegunungan itu.”
Pandan Wangi
memandang pegunungan di hadapannya. Masih beberapa ratus patok lagi.
“Kita berhenti
di tempat Rudita itu hilang. Kita sempat berbicara untuk menentukan sikap,
sementara kita dapat melihat tempat itu, barangkali kita menemukan sesuatu.”
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dilecutnya kudanya, sehingga ia berada di
paling depan. Sejenak ia berpaling memandang hutan liar di sebelah jalan yang
dilaluinya. Hutan tempat mereka berburu seekor ular raksasa. Tetapi kini mereka
tidak memasuki hutan liar itu, tetapi menyelusur di sebelahnya dan langsung
pergi ke tempat pertempuran itu terjadi.
Beberapa saat
kemudian, mereka pun segera sampai di tempat yang mereka tentukan sebagai titik
pertama pertemuan dengan pasukan pengawal Mataram. Ketika Pandan Wangi meloncat
dari punggung kudanya disusul oleh Prastawa, maka yang lain pun segera turun
pula. Mereka mengikat kuda masing-masing pada pohon-pohon perdu di sekitarnya.
“Jangan di
tempat Rudita itu terakhir kali kau lihat,” berkata Ki Argapati.
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Maka dibawanya kudanya agak menjauh. Agaknya
ayahnya masih akan mencoba menemukan jejak yang barangkali dapat
dipergunakannya untuk menjadi petunjuk.
Sejenak
kemudian Ki Argapati, Ki Sumangkar, dan ayah Rudita itu pun segera menyelidiki
tempat Rudita yang terakhir kali diketahui oleh Pandan Wangi.
Tetapi seperti
Pandan Wangi dan anak-anak muda sebelumnya, mereka tidak menemukan jejak apapun
juga selain dugaan yang sama, bahwa Rudita sempat meronta dan tangannya
menggapai dedaunan di sekitarnya. Setelah itu maka ia pun tidak dapat berbuat
apa-apa lagi.
“Kita hanya
dapat mengetahui beberapa langkah dari jejak ini,” berkata Ki Argapati.
“Ya. Kita
hanya mengetahui arah. Dan kita pun mengetahui, bahwa yang membawa Rudita
adalah orang yang memiliki kemampuan yang tinggi.”
Ki Argapati
mengangguk-angguk. Dipandanginya saja tempat itu seakan-akan ia masih mencoba
mencarinya.
Dalam pada
itu, ayah Rudita pun segera maju ke depan. Dengan suara gemetar ia berkata,
“Ki Gede,
biarlah aku mencoba mengetahui, ke manakah Rudita itu dibawa. Kita memang
mengetahui arahnya, tetapi hanya beberapa langkah. Dan mudah-mudahan aku
menemukan arah yang sebenarnya.”
Ki Argapati
mengerutkan keningnya. Namun kemudian dibiarkannya ayah anak yang hilang itu
memusatkan inderanya. Sejenak orang-orang yang ada di sekitar ayah Rudita itu
pun terdiam. Seakan-akan mereka ikut terhempas ke dalam suatu suasana yang
asing. Mereka melihat ayah Rudita itu berdiri tegak sambil menyilangkan
tangannya di dadanya. Kepalanya tertunduk, sedang matanya menjadi redup
setengah terpejam.
Ki Argapati
dan Ki Sumangkar, yang memiliki pengalaman lahir dan batin yang luas, merasakan
getar di dalam diri masing-masing, sehingga dengan demikian mereka mengerti
sepenuhnya, bahwa ayah Rudita itu sedang mencari hubungan dengan anaknya dengan
caranya. Tetapi menilik keadaan Rudita, maka sentuhan dengan getaran ayahnya
itu tentu agak sulit. Anak itu terlampau ringan untuk ditemukan oleh getar
indera karena justru keadaannya. Dan itulah anehnya kehidupan. Seorang anak
tidak selalu berhasil dibentuk seperti kehendak orang tuanya karena berbagai
sebab. Justru bagi Rudita adalah sebab yang ada di dalam keluarganya sendiri.
Ibunya hampir tidak pernah mau mengerti, bahwa Rudita pun memerlukan perjuangan
bagi hari depannya. Ia tidak akan dapat selalu bersandar kepada orang tuanya.
Tetapi ayahnya
masih tetap berusaha. Dengan memusatkan segenap tenaga lahir dan batinnya, ia
berusaha untuk mendapat sedikit petunjuk tentang anaknya yang hilang itu,
meskipun pangkal bertolaknya pun terlampau kecil, sekedar arah dan kemungkinan
saat-saat Rudita hilang. Ki Argapati dan Ki Sumangkar pun menjadi semakin
tegang. Apalagi Pandan Wangi, Prastawa, dan para pengiringnya ketika mereka
melihat wajah ayah Rudita itu meniadi merah padam. Tetapi ia masih tetap
berdiri tegak sambil menyilangkan tangan di dadanya, serta kepalanya masih saja
tertunduk dan matanya redup setengah terpejam. Orang-orang yang ada di
sekitarnya menjadi semakin berdebar-debar ketika mereka melihat tubuh itu
menjadi gemetar, sesaat wajahnya menjadi seakan-akan kelam. Pekat, dan mata itu
benar-benar telah terpejam. Ayah Rudita sudah sampai pada puncak pencapaian
dengan ilmunya. Seakan-akan tubuhnya itu telah dihisap oleh suasana yang tidak
dapat diraba dari luar kediriannya. Dan itulah yang terjadi padanya. Ayah
Rudita seakan-akan telah terpisah dari wadagnya dan mencapai suatu keadaan
tanpa bentuk, selain isyarat-isyarat yang lembut yang hanya dapat dikenal oleh
ilmu yang khusus.
Namun itulah
sebenarnya hakekat dari ilmunya. Pengenalan pada isyarat-isyarat yang dapat
disentuh dengan perasaannya, yang sebenarnya ada pada diri setiap orang. Namun
kebanyakan orang tidak menyediakan diri sampai ke pusat penangkapan inderanya
serta tidak mempelajari bentuk, jenis dan makna isyarat-isyarat itu. Sejenak
kemudian, setiap gerak di dalam tubuh ayah Rudita itu pun berhenti selain,
urat-urat yang tiada terkuasai oleh kehendak. Nafasnya pun seolah-olah
terputus, dan matanya seakan-akan terpejam semakin rapat. Namun dalam pada itu,
Ki Argapati dan Ki Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Mereka mengerti, bahwa
ayah Rudita itu sudah selesai dengan usahanya. Dan sebenarnyalah, bahwa sejenak
kemudian ayah Rudita itu membuka matanya. Wajahnya sudah menjadi seperti biasa,
meskipun masih tampak keletihan membayang disorot mata itu.
Ayah Rudita
itu pun menarik nafas dalam-dalam. Tidak hanya sekali, tetapi tiga kali. Ki
Gede Menoreh pun kemudian mendekatinya sambil bertanya,
“Apakah kau
menemukan isyarat.”
Laki-laki itu
mengangguk lemah. Katanya,
“Isyarat itu
lemah sekali, Ki Gede. Tetapi aku mengharap bahwa Rudita masih selamat. Rasanya
aku memang dapat menyentuhnya.”
“Apakah kau
dapat mengatakan, bagaimana dengan arah yang kita tempuh dan keadaan Rudita
sekarang?”
“Samar-samar
aku dapat menemukan arah itu. Dan kita sudah berjalan di jalan yang benar. Aku
akan mencoba merabanya lagi setelah kita ada di ujung pegunungan itu.
Rasa-rasanya ia ada di sana.” Ayah Rudita itu berhenti sejenak, lalu,
“Tetapi aku
pun menemukan sesuatu yang mendebarkan jantung.”
“Apakah itu?”
“Isyarat
seperti yang pernah aku sentuh beberapa tahun yang lalu. Bahkan di sekitar
sepuluh tahun yang lalu? Saat Rudita masih kanak-kanak.”
“Apakah
isyarat itu?”
“Sentuhan
pertama saat aku mendengar nama Panembahan Agung, aku tergetar oleh nama yang
pernah aku dengar, yaitu Panembahan yang menamakan dirinya Panjer Bumi. Kini
tiba-tiba terasa, bahwa sentuhan itu seakan-akan memperkuat dugaan kita, bahwa
di belakang semua persoalan yang tumbuh di Mataram ini berdiri Panembahan yang
menyebut dirinya Panjer Bumi itu, meskipun ia dapat menyebut dirinya dengan
seribu nama.”
“Bagaimana kau
sampai pada dugaan itu?”
“Getaran dan
isyarat yang tersentuh selagi aku mencari Rudita. Bahkan aku menduga, bahwa
yang membawa Rudita itu adalah Panembahan Panjer Bumi atau orang-orangnya yang
terpercaya. Namun agaknya Panembahan Panjer Bumi tidak mengetahui, bahwa Rudita
itu adalah anakku. Jika ia mengetahui, maka ia akan memagarinya sehingga aku
sama sekali tidak akan dapat menyentuhnya. Dengan demikian aku akan kehilangan
segala arah untuk menemukannya dengan ilmuku. Tetapi ternyata bahwa Tuhan masih
berkenan memberikan sedikit petunjuk, di manakah anak itu berada.”
Ki Argapati
menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia berpaling kepada Sumangkar, dilihatnya
orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kita akan
selalu berdoa,” berkata Ki Sumangkar,
“mudah-mudahan
kita berhasil menemukannya.”
“Mudah-mudahan,”
berkata ayah Rudita,
“namun jika
rabaanku benar, dan orang itu benar-benar Panembahan yang pernah menyebut
dirinya bernama Panjer Bumi, kita memang harus berhati-hati. Ia mempelajari
semacam ilmu dari daerah asing, sehingga ia memiliki kemampuan menciptakan
barang-barang semu yang dapat membingungkan bagi mereka yang menjumpainya.”
Orang-orang
yang mendengar keterangan ayah Rudita itu mengerutkan keningnya. Bahkan Pandan
Wangi pun bertanya,
“Apakah maksud
dengan barang-barang semu itu?”
“Benda-benda
yang sebenarnya tidak ada, tetapi ada pada mata kita. Ia mempengaruhi langsung
pusat syaraf kita di seberang indera penglihatan kita dengan ilmunya, sehingga
kadang-kadang indera penglihatan kita terganggu karenanya di dalam tangkapan
pusat kedirian kita yang wadag.”
Prastawa pun
mendesak maju sambil bertanya,
“Jadi kita
seakan-akan dapat melihat sesuatu bentuk yang sebenarnya tidak ada?”
“Ya.”
“Dan bagaimana
dengan indera pendengar dan peraba?”
“Semuanya
dapat terpengaruh seperti juga indera penglihatan kita. Getaran ilmunya akan
langsung mempengaruhi kita di seberang rangsang pada indera kita, sehingga
seakan-akan kita dapat melihat, mendengar dan meraba. Bahkan mencium bau dari
benda-benda yang sebenarnya tidak ada. Tetapi tentu hal itu karena pengenalan
kita. Seandainya yang terbentuk itu benda semu yang di dalam bentuknya yang
benar kita belum pernah melihatnya, dan belum pernah mengenal dan mendengar
tentang benda itu, maka yang langsung dapat dipengaruhi adalah sekedar indera
penglihatan menurut rekaan khayali kita sendiri, yang barangkali tidak sama
bagi setiap orang. Kemudian barulah berkembang pada indera kita yang lain yang
seperti juga indera penglihatan maka tangkapan pusat syaraf dan kedirian kita
akan berbeda.”
Prastawa
mengerutkan keningnya. Ia masih belum dapat menangkap seutuhnya kata-kata ayah
Rudita itu, sehingga ayah Rudita itu perlu menjelaskannya,
“Misalnya. Aku
ingin mempengaruhi kau untuk menciptakan bentuk sebuah binatang yang di sebut
gajah. Sedangkan seandainya orang-orang yang ingin kita pengaruhi dengan ilmu
kita itu belum pernah melihat gajah. Maka yang akan tercipta sebagai bentuk
semu, yang satu dengan yang lain akan berbeda. Hanya bentuk dalam keseluruhan
tentu saja mirip seperti yang dilontarkan oleh orang yang memiliki ilmu itu.
Tetapi di dalam bagian-bagian kecilnya akan terdapat perbedaan. Jika kita
bersama-sama meraba, maka yang seorang tidak mendapat kesan yang sama dengan
orang yang lain. Yang seorang menganggap kulitnya licin seperti belut, yang
lain agak kasar seperti seekor kerbau. Bahkan mungkin yang menganggap
bulu-bulunya kasar seperti bulu landak.”
Mereka yang
mendengarkannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka menyadari bahwa mereka
akan berhadapan dengan orang yang aneh di dalam pandangan mereka.
“Karena itu,”
berkata ayah Rudita,
“kita harus
bersiap menghadapi kemampuan yang dahsyat itu.”
“Mengagumkan.
Jika benar demikian, kita akan menghadapi rintangan yang berat sekali. Apalagi
aku. Tentu aku tidak akan dapat mengenal, manakah benda-benda yang asli dan
manakah yang semu.”
“Memang
sulit,” sahut ayah Rudita,
“jika kau
melihat sebuah rakit di tepi sungai yang sedang banjir. Sedang sebenarnya rakit
itu adalah benda semu karena pengaruh seseorang pada pusat syarafmu, maka
mungkin sekali kau akan tertipu. Kau akan turun ke dalam rakit itu. Untuk
sekejap kau memang merasa berada di atas sebuah rakit. Tetapi kemudian kau akan
menyadari bahwa kau telah hanyut di bawa banjir. Biasanya kesadaran yang
demikian datang terlambat setelah kau tidak mampu berbuat sesuatu.”
“O,” beberapa
orang menjadi berdebar-debar.
“Karena itu,
pengamanan yang paling mudah bagi kalian adalah, tidak berbuat apa-apa. Jika
kau dicengkam oleh suasana semu jangan berbuat apa-apa, meskipun dapat
berakibat buruk bagi kalian, karena kediaman kalian itu akan memberi kesempatan
bagi musuh-musuhmu untuk berbuat sesuatu.”
“Jadi
bagaimana mengatasinya.”
“Sulit sekali.
Yang paling mungkin adalah, memusatkan kehendak kita untuk tetap melihat bentuk
yang sebenarnya dari yang kau hadapi. Jika di pinggir kali itu tidak ada rakit,
maka meskipun rakit itu tampak padamu namun kau dapat membedakan tangkapan semu
itu dan tangkapan indera penglihatanmu. Jika keduanya menjadi baur dan
seakan-akan bertumpuk, kau memang harus memilih. Dan manakah yang paling
mungkin ada disesuaikan dengan keadaan dan kemungkinan di sekitarmu.”
Yang
mendengarkan penjelasan itu menjadi termangu-mangu. Namun ayah Rudita itu
kemudian berkata,
“Jangan
menjadi ragu-ragu. Keragu-raguan adalah tanda-tanda kekalahan di dalam
persoalan ini. Kalian harus cepat mengambil keputusan tanpa ragu-ragu. Namun
itu sulit sekali, dan akibatnya dapat sangat berbahaya. Mudah-mudahan kalian
berhasil di dalam taraf yang paling dangkal.”
“Baiklah,”
tiba-tiba Prastawa menyahut,
“aku akan
mencoba. Aku akan mencoba melihat kebenaran indera penglihatanku. Mudah-mudaan
aku berhasil.”
Dalam pada
itu, maka ayah Rudita pun berkata,
“Jika demikian
apakah kita akan berangkat terus?”
Ki Argapati
menjadi ragu-ragu sejenak. Ia harus memikirkan setiap kemungkinan yang akan
terjadi. Jika Panembahan Agung dan yang disebut oleh ayah Rudita itu bernama
Panembahan Panjer Bumi itu benar-benar memiliki ilmu yang dahsyat itu, maka
kedudukan pasukannya tentu akan menjadi sulit. Panembahan itu dapat mempengaruhi
penglihatan dalam pengertian khayali pada pengawal-pengawalnya. Dan bahkan
dapat membuat mereka saling tidak mengenal dan bahkan bertentangan satu sama
lain, karena sebagian dari mereka akan berubah menjadi lawan-lawannya.
Panembahan itu sama sekali tidak perlu mempunyai pasukan. Pasukan lawannyalah
yang akan menjadi pasukannya, karena pengaruh ilmunya yang membuat orang lain
menjadi bingung.
Ayah Rudita
mengetahui keragu-raguan itu. Karena itu, maka ia pun berkata,
“Ki Gede. Kita
masih agak jauh dari padepokan itu. Menurut dugaanku, kita masih dapat maju
lagi seperti yang kita rencanakan. Kita memberi tanda di tempat ini kepada
Raden Sutawijaya agar jika mereka datang, mereka pun akan menyusul kita sampai
ke ujung pegunungan itu.”
Ki Argapati
mengerti, betapa kegelisahan mencengkam hati ayah dari anak yang hilang itu.
Karena itu, maka ia pun kemudian menganggukkan kepalanya sambil berkata,
“Baiklah. Kita
akan maju sampai tempat terakhir dari persetujuan kita dengan pasukan yang akan
menyusul.”
Setelah
memberikan tanda-tanda yang diperlukan seperti yang sudah mereka bicarakan
dengan Raden Sutawijaya, maka mereka pun kemudian bergerak maju. Mereka
melintasi lapangan terbuka yang menjadi ajang pertempuran antara para pengawal
Mataram dengan anak buah Daksina. Dan ternyata, bahwa mayat orang-orang Daksina
yang berserakan telah tidak ada lagi di tempatnya. Tidak ada bekasnya bahwa
mayat itu menjadi mangsa binatang. Karena itu maka mereka pun menduga, bahwa
mayat-mayat itu telah disingkirkan oleh kawan-kawan mereka.
Perlahan-lahan
pasukan itu maju. Semakin lama semakin dekat dengan ujung pegunungan yang tidak
begitu tinggi. Namun dalam pada itu, maka langit pun menjadi kemerah-merahan
oleh matahari yang semakin rendah. Tetapi mereka berusaha untuk sampai ke tujuan
sebelum daerah itu menjadi gelap pekat. Dalam pada itu, Raden Sutawijaya pun
telah mendekati daerah hutan liar. Mereka dengan segera dapat mengenal bekas
kaki-kaki kuda dari pasukan yang mendahului mereka. Tetapi ternyata kuda
pasukan Mataram adalah kuda yang jauh lebih baik dari kuda yang dipergunakan
oleh para pengawal Menoreh. Sebagian dari para pengawal itu mempergunakan kuda
yang sebenarnya kurang tegar. Tetapi bagi perjalanan mereka agaknya sudah cukup
memadai. Dan sudah barang tentu, bahwa para pemimpin Menoreh yang mempergunakan
kuda yang lebih baik, menyesuaikan diri dengan para pengawalnya. Dengan
demikian maka jarak antara kedua pasukan itu menjadi semakin dekat. Meskipun
perjalanan berikutnya adalah perjalanan yang agak sulit, tetapi kuda-kuda
mereka dapat maju terus mengikuti jejak pasukan sebelumnya, melewati pinggiran
hutan yang liar.
Tetapi ketika
mereka sampai di sebelah arena perkelahian di tempat terbuka itu, matahari
telah menjadi merah. Mereka masih sempat melihat tanda-tanda yang dibuat oleh
pasukan sebelumnya, namun sejenak kemudian maka senja menjadi gelap.
“Kita terpaksa
berhenti di sini,” berkata Sutawijaya perjalanan di malam hari tidak
menguntungkan bagi kita. Selain kita membawa kuda dan perbekalan yang lain,
maka kita harus memperhitungkan juga pasukan tersembunyi yang setiap saat dapat
menyergap dan menghilang. Dalam perjalanan di malam hari kita akan menjadi
sasaran yang menguntungkan mereka.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sependapat dengan Raden Sutawijaya. Dan
menurut dugaannya, maka pasukan yang dibawa oleh Ki Argapati tentu sudah tidak
terlalu jauh lagi di hadanan mereka. Apalagi agaknya pasukan itu cukup lama
berhenti di tempat itu untuk menyelidiki keadaan yang akan mereka hadapi.
Malam itu
kedua pasukan dari Menoreh dan Mataram itu berhenti di tempat yang berbeda.
Pasukan Mataram mengetahui, bahwa pasukan Menoreh berada tidak begitu jauh lagi
dari mereka, tetapi sebaliknya pasukan Menoreh menjadi agak gelisah, bahwa
mereka belum mendapat hubungan dengan Raden Sutawijaya.
“Apakah
Mataram benar akan mengirimkan pasukannya?” bertanya Prastawa kepada Pandan
Wangi.
“Aku kira
demikian. Tetapi mereka memang memerlukan waktu.”
“Seandainya
tidak, maka Kiai Gringsing, Ki Demang Sangkal Putung dan kedua anak-anak muda
itu akan menyusul kita,” desis seorang pengawalnya.
Pandan Wangi
hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Namun di dalam hatinya ia berkata,
“Seandainya
mereka tidak datang sama sekali, kita harus tetap maju mencari anak itu.
Mungkin kita akan menghadapi seorang panembahan yang sakti, tetapi betapa pun
saktinya, ia tentu mempunyai kelemahan di dalam kesalahan yang pernah
dilakukannya. Jika ia orang yang sempurna lahir dan batinnya, tentu ia tidak
akan mempergunakan kesaktian yang ada padanya untuk tujuan-tujuan yang sekedar
memanjakan nafsu diri dan ketamakan saja. Sedang perbuatan yang demikian
bertentangan dengan kebenaran. Dan apalagi dengan pancaran kasih Penciptanya.
Karena itu, seakan-akan ada suatu keyakinan di dalam hati, bahwa akan datang saatnya
orang itu harus menyerah kepada hukum keadilan. Hukum yang tertinggi yang tidak
dibuat oleh tangan manusia.”
Malam itu
dilampaui dengan selamat. Tidak ada perapian, tidak ada pembicaraan. Mereka
makan sekedar bekal yang mereka bawa. Dan di malam yang sepi itu ayah Rudita
sempat mencoba menangkap keadaan anaknya. Seperti yang pernah dilakukan, maka
ternyata bahwa ternyata isyarat yang ditangkapnya, Rudita masih tetap selamat.
Dan ia masih berharap, bahwa orang yang mengambil Rudita itu bukan orang yang
pernah menyebut diri Panembahan Panjer Bumi. Seandainya Panembahan Agung juga
Panembahan Panjer Bumi, maka ia mengharap agar orang itu tidak mengetahui,
bahwa Rudita adalah anaknya. Sebab dengan demikian, ia akan dapat menutup
setiap usahanya untuk mengadakan sentuhan dengan anaknya itu di dalam getaran
pribadinya. Dalam pada itu, ketika fajar mulai mewarnai langit, Sutawijaya
sudah mulai bersiap dengan seluruh pasukannya. Menjelang matahari terbit, maka
pasukan berkuda itu pun mulai maju dan menyusuri daerah terbuka seperti yang
dilalui oleh pasukan pengawal dari Menoreh.
Apalagi ketika
kemudian matahari mulai terbit dan warna merah di langit pun seakan-akan mulai
menyibak. Maka jejak kaki kuda yang mendahului pasukan pengawal dari Mataram
itu menjadi tampak semakin jelas.
“Kita harus
segera menyusul mereka, sebelum terjadi sesuatu,” desis Sutawilaya,
“supaya kita
sempat mengadakan pembicaraan lebih jauh.”
Ternyata bahwa
Ki Argapati memang menunggunya. Karena itu, maka seperti yang direncanakan,
kedua pasukan itu pun dapat bertemu. Dengan singkat Ki Argapati mengatakan
kepada Kiai Gringsing, bahwa usaha ayah Rudita untuk mengetahui serba sedikit
tentang anaknya sudah berhasil. Tetapi sudah barang tentu apa yang berada di
rentangan jarak antara ayah Rudita itu dengan anaknya tidak diketahuinya.
Mungkin pasukan segelar sepapan. Mungkin tebing yang curam dan tinggi. Mungkin
padang rumput yang penuh dengan ular berbisa, dan masih banyak lagi kemungkinan
yang dapat terjadi.
“Apakah Rudita
ada di sarang Daksina?” bertanya Raden Sutawijaya
“Masih belum
aku ketahui, Raden,” jawab ayah Rudita,
“aku hanya
berhasil mengetahui bahwa Rudita masih hidup. Hanya itu. Dan sedikit petunjuk
tentang arahnya. Selain itu gelap.”
Raden
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu,
“Tetapi
menurut perhitungan nalarku, bukan ilmu peraba seperti ilmu yang kau miliki
itu. Daksina tentu tidak berada jauh dari tempat ini. Ia berani menjebak
pasukanku di daerah terbuka itu. Tentu ia mempunyai suatu keyakinan tentang
medan, selain pasukannya. Karena itu maka aku yakin, bahwa Daksina telah
mengenal tempat ini dengan baik, dan itu berarti ia berada tidak jauh dari
tempat ini. Kecuali jika ia sedang berada di Pajang.
“Perhitungan
itu sesuai,” sahut Pandan Wangi, “aku juga berpendapat demikian.”
“Perhitungan
nalarku pun dapat mengerti, bahwa kita sudah dekat dengan sarang orang-orang
bersenjata itu,” sahut ayah Rudita, “bahkan kurang sesuai dengan sentuhan
ilmuku. Menurut penglihatanku, Rudita masih berada di tempat yang agak jauh.
Jika Rudita berada di sarang orang yang bernama Daksina itu, maka ia pun pasti
berada di tempat yang tidak terlampau jauh. Sehingga dengan demikian maka ada
dua kemungkinan. Kita salah hitung tentang sarang Daksina, atau Rudita memang
tidak ada di sarang itu, tetapi di tempat yang lain.”
“Masih ada
satu kemungkinan lagi,” berkata Sutawijaya.
“Apa Raden?”
“Dugaanmu
tentang Rudita menurut sentuhan ilmumu itu keliru.”
Ayah Rudita
mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia mengangguk-angguk. Katanya,
“Itu pun
mungkin sekali, Raden. Mungkin aku salah mengurai isyarat yang aku terima dari
Rudita tanpa sesadarnya itu.”
“Nah, jika
demikian, marilah kita segera menentukan sikap. Apakah yang sebaiknya kita
lakukan?”
“Untuk
sementara kita belum dapat berbuat apa-apa. Kita maju beberapa patok lagi.
Kemudian kita akan menilai keadaan dan jika perlu mengirimkan pengawas untuk
melihat-lihat suasana,” jawab Ki Gede Menoreh.
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya,
“Sebaiknya
sejak kini dua orang pengawas akan mendahului kita. Kemudian dua lagi
mengiringinya. Jika mereka melihat sesuatu yang mencurigakan maka mereka harus
memberikan isyarat.”
Maka kedua
pasukan nengawal itu menunjuk empat orang yang akan mendahului perjalanan
mereka. Dua orang yang terdepan adalah seorang dari Mataram dan seorang dari
Menoreh yang dianggap sedikit banyak mengetahui daerah yang terasing itu.
Sedang kedua orang berikutnya pun terdiri dari pengawas Mataram dan Menoreh. Keempat
orang itu berjalan kaki mendahului pasukan mereka. Sedang kuda-kuda mereka
berada di dalam iring-iringan pasukan pengawal di belakang mereka. Setelah
beberapa patok mereka maju, mereka tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan.
Daerah itu tampaknya sebagai suatu daerah yang tidak pernah disentuh kaki.
“Tetapi
rasa-rasanya ada penghuni di daerah sekitar tempat ini,” desis pengawal dari
Menoreh yang berjalan di paling depan.
“Kenapa?”
bertanya yang lain.
“Sekedar
firasat. Tetapi aku melihat jalur jalan di lereng bukit itu.”
“Ya. Tetapi
tidak ke jurusan ini.”
“Memang sulit
untuk sampai ke jalur jalan kecil itu. Tetapi kita harus mencapainya.”
“Tentu tidak
mungkin bagi mereka yang berkuda.”
“Kita akan
melihatnya.”
Kedua orang
itu pun kemudian maju lebih jauh lagi diikuti oleh kedua yang lain. Ternyata
bahwa jalan memang semakin lama semakin sulit, sehingga setiap kali mereka
harus berhenti dan menilai, apakah jalan itu masih dapat dilalui kuda.
“Kuda-kuda itu
memang harus ditinggalkan di sini,” berkata yang seorang.
“Tidak,” jawab
yang lain,
“biarlah
pasukan itu berhenti di sini. Kita akan menyelidiki lebih jauh.”
Kawannya
berpikir sejenak, lalu,
“Baik. Itu
pikiran yang baik. Biarlah kedua pengawas di belakang kita itu berhenti
memberitahukan kepada Ki Argapati dan Raden Sutawijaya.”
“Biarlah
keduanya pergi di belakang kita. Jika terjadi sesuatu atas kita, mereka dapat
menyampaikan laporan. Sementara kita dapat memberikan tanda dan isyarat agar
pasukan itu berhenti.”
Kedua orang
pengawas di paling depan itu pun kemudian memberikan isyarat agar pasukan di
belakang mereka itu pun berhenti. Tetapi kedua pengawas itu masih memerlukan
kedua pengawas yang mengikuti mereka, sehingga sejenak mereka masih harus
menunggu dan berbicara di antara mereka berempat.
“Kami membawa
panah sendaren,” berkata pengawas dari Mataram.
“Kita mungkin
memerlukannya jika perlu. Tetapi suara panah sendaren segera menarik perhatian.
Dan isyarat dengan panah sendaren kadang-kadang langsung memberikan isyarat
kepada lawan sekaligus.”
“Apa salahnya
jika mereka memang sudah melihat kita. Kita dapat melontarkan panah sendaren ke
arah yang tidak tepat, sehingga meskipun suaranya dapat ditangkap oleh
kawan-kawan kita, tetapi arah panah itu tidak memberikan petunjuk kepada lawan
di mana pasukan kita yang sebenarnya.”
“Ya. Kita akan
mempergunakannya,” sahut yang lain,
“yang penting,
kita harus dapat mencapai jalur jalan yang menuju ke Utara di lereng sebelah
itu. Aku menduga bahwa ada padukuhan yang berpenghuni.”
Kawan-kawannya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Daerah ini benar-benar daerah terpisah dari
Tanah Perdikan Menoreh, karena hubungan yang dilakukan oleh orang-orang di
lereng pegunungan itu adalah dengan daerah di seberang pebukitan.
“Daerah itu
dilingkari oleh hutan yang lebat, dibatasi oleh pegunungan dan sangat
terpencil,” berkata salah seorang pengawas dari Mataram.
“Aku tidak
tahu kenapa seseorang membangun padukuhan atau padepokan di tempat yang sangat
terasing ini.”
Yang lain
hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja. Namun ternyata yang seorang
berdesis,
“Memang sulit
diduga. Tetapi aku kira, mereka sengaja mengasingkan diri untuk mematangkan
ilmu mereka. Baru kemudian mereka akan turun dari padepokan ini untuk melakukan
rencananya. Tentu sebuah rencana yang besar.”
“Memang
mungkin. Tetapi sebaiknya kita melihatnya. Apakah padepokan itu sudah cukup lama
berada di tempat itu, atau sekedar sebagai tempat persembunyian, atau katakan
sebagai alas perjuangan mereka.”
Para pengawas
itu pun mulai maju lagi melalui jalan yang sulit. Tebing yang curam dan
kadang-kadang rumpil.
“Kita tentu
salah jalan,” berkata salah seorang pengawas itu,
“jika Daksina
dapat membawa pasukan lewat jalan ini, kita tentu akan dapat menemukan bekas
kaki mereka.”
“O, alangkah
bodohnya kita. Kenapa kita tidak mencari jejak mereka saja?”
“Dan kembali
lagi sampai ke tempat terbuka itu?”
Kawannya
terdiam. Namun kini mereka mulai tertarik kepada setiap kemungkinan untuk
menemukan jejak kaki seseorang atau sekelompok orang. Tetapi usaha itu tidak
segera berhasil. Mereka tidak segera menemukan jejak kaki seseorang. Namun
tiba-tiba salah seorang dari kedua pengawas yang berada di paling depan itu
tertegun sejenak. Diamatinya tebing yang ada di sampingnya. Lalu katanya,
“Kau lihat
batu-batu kerikil bercampur padas itu?”
“Ya, kenapa?”
“Seakan-akan
meluncur dari atas tebing itu.”
“Ya.”
“Mungkin ada
sentuhan kaki di atas batu-batu padas itu, sehingga batu-batu kerikil dan
batu-batu padas itu meluncur turun meskipun tidak begitu banyak.”
“Mungkin
angin, mungkin binatang liar. Tetapi kita dapat mencoba. Kita memanjat tebing
itu dan melihat apakah ada jejak di atas.”
Keduanya pun
kemudian memanjat tebing yang agak terjal, sehingga untuk beberapa saat mereka
seolah-olah berada di tempat terbuka melekat pada lereng pegunungan. Kedua
pengawas yang berada di belakang mereka dapat melihat keduanya dengan jelas.
“Kita tunggu
sehingga keduanya hilang,” desis salah seorang pengawas yang berada di belakang
mereka.
“Barulah
kemudian kita memanjat.”
Namun di luar
pengetahuan mereka, sepasang mata tengah memandang kedua pengawas yang sedang
memanjat itu. Ketika keduanya sudah berada hampir di bibir lereng itu, maka
orang itu pun bergeser beberapa langkah. Kemudian ia meloncat berdiri sambil
meraih anak panah dari endongnya dan melekatkannya pada tali busurnya. Perlahan-lahan
ia menarik tali busur itu. Pengawas yang sedang memanjat itu merupakan sasaran
yang baik, meskipun keduanya selalu bergerak-gerak tidak menentu. Sejenak orang
itu masih membidik. Tetapi rasa-rasanya masih saja terganggu oleh dedaunan yang
bergerak disentuh angin. Karena itu maka ia bergeser maju lagi. Ia tidak perlu
lagi bersembunyi karena sasarannya sedang memanjat tebing, sehingga mereka
tidak akan dapat memberikan perlawanan. Tetapi sekali-sekali ia masih saja
mengumpat, karena kedua orang itu seakan-akan tidak mau juga diam. Mereka
merayap dan kadang-kadang bergeser ke samping. Namun kemudian busur itu pun
semakin merenggang. Dan sesaat kemudian sebuah anak panah telah meluncur dengan
derasnya. Yang terdengar kemudian adalah, sebuah keluh tertahan. Anak panah itu
ternyata telah mengenai sasarannya, meskipun tidak tepat di punggung, karena
justru ketika anak panah itu meluncur maka sasarannya telah bergerak ke
samping. Meskipun demikian, anak panah itu ternyata telah menancap pada lengan
tangan kanannya. Pengawas itu kehilangan keseimbangan. Sejenak ia masih
bertahan. Namun kemudian perlahan-lahan ia meluncur turun. Bahwa anak panah itu
tidak tepat mengenai punggung dan langsung membunuhnya, orang yang
melepaskannya itu pun menggeram. Tangannya sekali lagi mencabut anak panah dari
endongnya dan sejenak kemudian anak panah itu pun sudah melekat di tali
busurnya. Yang kemudian akan menjadi sasarannya adalah justru pengawas yang
seorang lagi, yang karena kawannya telah meluncur turun, ia pun berusaha untuk
meluncur pula, karena ia pun mengira bahwa orang yang melontarkan anak panah
itu tentu sedang membidiknya pula. Tetapi sementara itu, selagi kedua pengawas
yang terdahulu dicengkam oleh kecemasan, maka kedua pengawas yang berada di
belakang mereka, dan yang sedang mengamati bagaimana keduanya memanjat, tebing
itu pun terkejut bukan buatan. Mereka juga melihat anak panah itu menancap di
lengan kawannya. Dan mereka melihat kawannya itu kesakitan dan meluncur turun
disusul oleh yang seorang lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar