“TETAPI tentu lawan sudah sangat lemah, dan kita tinggal menghancurkan mereka seperti memijat buah ranti.”
“Kau benar.
Namun segala jalan akan kita tempuh. Kau harus berusaha dapat menghadap Ki Gede
Pemanahan atau orang yang dipercaya, yang dapat diyakini akan menyampaikan
kabar itu kepada Ki Gede.”
“Ya. Kami akan
berusaha.”
“Nah,
berangkatlah. Saat ini Sutawijaya tentu berada di perjalanan. Jika tidak,
sekiranya Sutawijaya ada di Mataram, kau dapat mengambil kebijaksanaan lain.”
“Baik.”
“Jangan lupa.
Kau harus menyebut, bahwa gadis yang telah terjerat oleh Raden Sutawijaya itu
adalah salah seorang gadis dari Kalinyamat, yang sedianya disimpan untuk Sultan
Pajang. Jika Ki Gede Pemanahan mendengar, ia tentu akan marah kepada puteranya,
karena akan dapat menumbuhkan persoalan baru di Mataram. Bukan persoalan Tanah
Mataram lagi, tetapi karena kelancangan Raden Sutawijaya. Kemarahan Ki Gede Pemanahan
akan mempengaruhi usaha Raden Sutawijaya kali ini. Jika ia berhasil memasuki
padepokan ini hari ini juga, maka besok akan datang utusan dari Mataram untuk
memanggilnya.”
Kedua orang
yang sudah bersiap untuk berangkat itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Mudah-mudahan
waktu yang sudah kita perhitungkan tidak meleset. Pada saat yang bersamaan,
maka akan tersebar desas-desus tentang persoalan yang sama di Pajang. Jika
kemudian Sultan Pajang mendengar dan mengambil tindakan, semuanya akan menjadi
lebih lancar.”
Kedua orang
itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Semula kita
sudah hampir kehabisan akal. Api apakah yang akan kita pergunakan untuk
membakar hubungan antara Pajang dan Mataram yang memang sudah agak buruk. Usaha
kita selalu gagal. Untunglah bahwa Raden Sutawijaya sendiri telah menyediakan
persoalan baru bagi kita, sehingga agaknya kali ini Sultan Pajang yang tidak
dapat mengendalikan diri terhadap perempuan itu akan marah dan mengambil
tindakan bukan saja secara pribadi terhadap Raden Sutawijaya karena telah
berani menyadap kegadisan simpanannya, puteri dari Kalinyamat itu.”
“Aku kira
persoalan ini merupakan persoalan yang sangat gawat bagi Mataram. Mudah-mudahan
Sultan Pajang akan segera menjatuhkan hukuman. Jika Raden Sutawijaya melawan,
maka benturan itu tidak akan dapat dihindarkan lagi. Justru bukan atas usaha
kita.”
“Baiklah,
segeralah berangkat. Hati-hati, jangan sampai menimbulkan kecurigaan. Kalian
memang bekas prajurit-prajurit Pajang yang akan dapat bersikap benar-benar
seperti orang Pajang.”
Selagi
padepokan itu sedang diancam oleh bahaya yang memang sudah disadari oleh Putut
Nantang Pati, namun mereka masih juga mengirimkan orangnya pergi ke Mataram
untuk mempengaruhi Ki Gede Pemanahan agar memanggil Raden Sutawijaya. Tentu
Raden Sutawijaya menjadi sangat kecewa dan perlawanannya pun tidak akan segigih
semula. Adalah menyenangkan sekali jika mereka berhasil menangkap Raden
Sutawijaya hidup-hidup, kemudian dipergunakan untuk memeras ayahandanya, Ki
Gede Pemanahan agar ia bersedia diperalat, dan menempatkan orang-orang dari
padepokan Panembahan Agung untuk memegang jabatan-jabatan penting di Mataram,
yang memungkinkan memancing pertentangan terbuka dengan Pajang atas nama
Mataram yang dipimpin oleh Ki Gede Pemanahan. Kedua orang utusan ke Mataram itu
pun kemudian menuruni perbukitan rendah itu melalui jalur yang berseberangan
dengan arah kedatangan para pengawal dari Mataram dan Menoreh. Di padukuhan
tidak terlampau jauh dari kaki pebukitan itu, mereka akan dapat mengambil kuda
mereka untuk menempuh perjalanan ke Mataram. Tetapi mereka tidak dapat
mengambil jalan yang menghubungkan Menoreh dan Mataram. Mereka harus melingkar
sedikit, meskipun jaraknya juga tidak akan bergeser terlalu jauh.
Putut Nantang
Pati yang kemudian menemui Daksina mengatakan bahwa dua orang sudah berangkat
ke Mataram. Mereka harus berusaha menyampaikan berita itu kepada Ki Gede
Pemanahan secepatnya.
“Tetapi apakah
berita itu dapat dipercaya?” bertanya Putut Nantang Pati kepada Daksina.
“Maksudmu
berita tentang Raden Sutawijaya itu?” Daksina ganti bertanya.
“Ya.”
“Yakinlah.
Jika seandainya saja kedua puteri yang dijanjikan Ratu Kalinyamat itu dipanggil
ke dalam istana dan ditanya seorang demi seorang, maka akan ternyata bahwa
berita itu bukan sekedar berita bohong. Bahkan menurut pendengaranku, salah
seorang dari kedua puteri itu sudah mengandung.”
“Ah.”
“Percayalah.”
“Jika demikian
kita tidak perlu memancing persoalan lagi. Pajang tentu akan datang ke Mataram,
menghukum Raden Sutawijaya.”
“Nah, bukankah
kita tidak perlu mengorbankan orang-orang seperti yang terjadi di Jati Anom.”
“Kita masih
belum mengetahui hal itu. Tetapi kini kita tinggal menunggu Mataram dahulu akan
hancur. Baru kemudian kita akan membangun Mataram yang kuat. Bersama Mangir
kita akan dapat menghancurkan Pajang. Apalagi jika kita berhasil memeras Ki
Gede Pemanahan.
“Bagaimana
jika Pemanahan ikut musnah bersama Mataram dan Sutawijaya sendiri.”
“Bukan soal
lagi bagi kita. Kita akan membangun sebuah negeri yang lebih baik dari Mataram
sekarang dan sudah barang tentu lebih kuat.”
Daksina
mengerutkan keningnya. Dipandanginya Putut Nantang Pati sejenak, lalu katanya,
“Tetapi
persoalan Mataram bukan sekedar persoalan Mataram itu sendiri, Pajang pun bukan
sekedar kota Pajang yang kita lihat itu. Tetapi jika kita berbicara tentang
Pajang, kita harus mengingat kekuatan para adipati di daerah Pesisir Utara dan
Bang Wetan.”
Putut Nantang
Pati tidak segera menyahut. Ia mencoba membayangkan kekuatan yang tersembunyi
di belakang Pajang. Kekuatan para Adipati itu. Tanpa sesadarnya ia berdesis,
“Jika saja
kita dapat memaksa Ki Gede Pemanahan. Ia mempunyai pengaruh yang kuat atas para
adipati.”
Daksina
mengangguk-angguk,
“Itu memang
harus dipikirkan masak-masak. Sutawijaya harus tertangkap hidup-hidup. Jika
perintah Ki Gede Pemanahan untuk memanggilnya sampai, ia akan kehilangan segala
gairah. Nah, kesempatan itu akan kita pergunakan.”
“Ada dua
kemungkinan. Ia kehilangan gairah untuk meneruskan pertempuran, atau justru
karena putus asa ia menjadi liar dan berkelahi dengan buasnya.”
“Kedua-duanya
baik bagi kita. Jika ia menjadi liar dan gelap hati, maka Panembahan Agung akan
segera menguasainya. Dengan kekuatan ilmunya ia dapat memaksa Sutawijaya untuk
diam. Jika tiba-tiba saja di sekeliling anak muda itu terdapat sebuah pagar
besi, maka ia tentu akan segera menyerah.”
Putut Nantang
Pati mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia pun kemudian mengerutkan
keningnya dan bertanya,
“Apakah kau
berkata sebenarnya?”
“Ya,
sebenarnya. Bukankah menurut ceriteramu dan anak buahmu, Panembahan Agung dapat
menciptakan yang tidak ada menjadi ada?”
“Bukan
menciptakan yang ada menjadi ada.”
“Jadi
bagaimana?”
“Membuat yang
tidak ada seolah-olah ada. Itulah kekuatan ilmunya.”
Daksina
tersenyum. Namun tiba-tiba saja ia berusaha untuk tidak menimbulkan kesan apa
pun di wajahnya. Namun yang sekilas itu dapat tertangkap oleh Putut Nantang
Pati, sehingga wajah Putut itu menjadi tegang sejenak. Putut Nantang Pati
menyadari bahwa Daksina tidak begitu membanggakan ilmu Panembahan Agung.
Mungkin Daksina masih belum pernah menyaksikannya sendiri dan apalagi
mengalami, yang diketahui oleh Daksina adalah bahwa Panembahan Agung mempunyai
beberapa orang pembantu yang dapat dibanggakan. Termasuk Putut Nantang Pati
sendiri selain mereka yang telah terbunuh seorang demi seorang di Alas Mentaok
sendiri dan di Jati Anom.
“Sekali-sekali
kau memang harus mengetahui, betapa besarnya kekuatan ilmu Panembahan Agung. Ia
mampu menyesatkan indera seseorang. Bahkan kau.”
“Ya,” jawab
Daksina yang tidak ingin menyakiti hati Putut Nantang Pati justru di saat
mereka menghadapi pasukan Mataram yang kuat.
Putut Nantang
Pati terdiam. Memang masih harus dibuktikan bahwa kekuatan yang demikian itu
dimiliki oleh Panembahan Agung. Namun selagi mereka terdiam untuk sejenak, tiba-tiba
telah datang dengan tergesa-gesa seorang cantrik dari padepokan Medang.
Padepokan Panembahan Agung.
“Aku mendapat
perintah untuk menyampaikan pesan,” berkata cantrik itu.
“Apakah pesan
itu?”
“Kalian di
sini harus menyiapkan diri untuk menghadapi lawan yang kuat sekali. Yang datang
bukan saja para pengawal dari Mataram, tetapi juga para pengawal dari Menoreh.
Di antara mereka terdapat orang-orang yang harus diperhitungkan.”
“He?” Putut
Nantang Pati terkejut. Demikian pula Daksina sehingga ia bergeser maju. Sejenak
mereka berdua memandangi cantrik itu dengan wajah yang tegang. Namun kemudian
Putut Nantang Pati menarik nafas dalam-dalam sambil berkata,
“Ya. Aku
percaya. Tapi bukankah pertahanan yang sebenarnya di hadapan padepokan
Panembahan Agung sudah dipersiapkan?”
“Ya. Semuanya
sudah siap. Jika Panembahan Agung itu menyampaikan pesan kepada padepokan ini,
agar mereka yang di sini tidak terjebak, dan berkesempatan untuk menghindari
korban yang akan berjatuhan.”
“Terima kasih.
Kami di sini akan berhati-hati menghadapi pasukan yang sangat kuat itu.”
Daksina yang
untuk beberapa saat berdiam diri kemudian berkata,
“Apakah
jaringan pengawas sandi Panembahan Agung jauh lebih ketat dari pengawasanmu
justru kau berada di sini sekedar merupakan bayangan padepokan Panembahan
Agung? Bukankah seharusnya kita yang berada di sinilah yang memberikan laporan
kepadanya tentang gerakan pasukan lawan seperti yang pernah kita laporkan itu?”
Putut Nantang
Pati tersenyum. Katanya,
“Kau mulai
melihat kelebihan Panembahan Agung. Jika ia ingin melihat sesuatu, maka ia
tidak perlu menembus batas tempat dan jarak. Ia dapat melihat dari kejauhan apa
yang akan terjadi meskipun sekedar berupa isyarat.”
“Apakah itu
yang disebut sebangsa aji Sapta Pangrasa, Sapta Pameling, dan Sapta Pengrungu,
yang dapat melihat, mendengar, dan bahkan berbicara dari jarak yang jauh?”
“Aku tidak
pernah mempersoalkan nama. Ketika aku mulai mempelajari ilmu itu, aku sama
sekali tidak peduli bahwa Panembahan Agung menyebutnya sebagai aji
Pangangen-angen.”
Daksina
mengerutkan keningnya. Dan Putut Nantang Pati tersenyum sambil berkata,
“Tetapi
sayang, bahwa aku baru dalam tahap permulaan ketika kami di sini harus sudah
mulai dengan segala macam usaha menggagalkah berdirinya Mataram sehingga aku
belum menguasai permulaannya saja dari ilmu itu.”
Daksina tidak
menjawab. Tetapi ia mulai berdebar-debar membayangkan jenis ilmu yang disebut
ilmu Pangangen-angen itu.
“Baiklah,”
berkata Putut Nantang Pati kemudian kepada cantrik yang mendengarkan
pembicaraan itu dengan heran,
“kembalilah
kepada Panembahan Agung. Beritahukan kepadanya bahwa aku akan menyesuaikan diri
dengan keadaan lawan dan rencana kita semula.”
Sepeninggal
cantrik itu, maka Putut Nantang Pati masih saja tersenyum-senyum dan berkata,
“Mungkin kau
tidak percaya. Tetapi baiklah. Aku tidak akan bercerita tentang Panembahan
Agung dengan cara yang berlebih-lebihan. Aku harap kau akan dapat melihatnya
sendiri. Meskipun demikian kami tidak dapat ingkar, bahwa ilmunya pun terbatas.
Maksudku, bahwa ia bukan orang yang dapat melihat seisi bumi ini.”
Daksina
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata,
“Aku memang
tidak pernah menolak kenyataan serupa itu. Tetapi di dalam perang yang cukup
besar, maka ilmu itu tidak akan dapat menyeluruh. Maksudku, kemampuan
pengaruhnya pun terbatas. Tidak semua pasukan lawan dapat dipengaruhi oleh ilmu
itu.”
“Kau benar.
Tetapi jika yang terpengaruh itu senapatinya, maka keadaan lawan itu akan
menjadi gawat.”
Daksina
menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab.
“Marilah,”
berkata Putut Nantang Pati,
“pasukan
Mataram dan Menoreh itu tentu sudah menjadi semakin dekat. Kita harus
menyesuaikan diri dengan kekuatan mereka. Jalur untuk menarik diri sudah kita
persiapkan baik-baik. Mudah-mudahan pasukan Mataram dan Menoreh itu akan
terpancing dan kita dapat menjebaknya di lembah di hadapan padepokan Panembahan
Agung. Seandainya lembah itu tidak dapat dipengaruhi oleh ilmu Panembahan Agung
yang disebutnya aji Pangangan-angen itu, namun keadaan Pasukan Mataram dan
Menoreh tentu akan berada di dalam kesulitan. Kami akan dapat menggulingkan
batu-batu padas dan akan menimpa mereka seperti menimbuni puluhan mayat di
dalam satu lubang yang besar.”
“Jangan
terlampau berbangga atas diri sendiri,” sahut Daksina,
“di dalam
lingkungan keprajuritan Pajang, maka setiap sikap yang terlampau berbangga atas
diri sendiri, merupakan suatu cela yang besar.”
“Aku tahu.
Meskipun aku belum pernah menjadi seorang prajurit, apalagi seorang perwira,
tetapi aku mempelajari ilmu keprajuritan. Namun jika aku mengatakan tentang
prajurit Mataram dan Menoreh, maka itu karena aku yakin akan berhasil.”
Daksina
mengangguk-angguk pula.
“Marilah ke
pengawasan yang terdepan,” berkata Putut Nantang Pati,
“kita akan
melihat kehadiran pasukan Mataram dan Menoreh. Panembahan Agung menyebut
beberapa orang yang memiliki ilmu yang perlu diperhitungkan. Mungkin mereka
adalah orang-orang bercambuk itu.”
“Tentu mereka
yang dimaksudkan.”
“Kita tidak
usah cemas. Meskipun barangkali aku sendiri tidak dapat mengalahkannya seperti
para pemimpin kepercayaan kami yang berada di perbatasan Alas Mentaok dan juga
Kiai Damar dan bahkan Kiai Telapak Jalak, tapi aku tidak akan cemas menghadapi
mereka. Sebentar lagi mereka akan berkubur di lembah yang curam itu.”
“Kau yakin?”
“Kenapa
tidak?”
“Kau yakin
dapat lolos dari tangannya ke dalam jalur yang sudah kau buat?”
“Aku yakin.
Beberapa orang prajurit sudah mapan untuk melindungi aku dengan senjata jarak
jauh. Dan bukankah kau akan ikut bersamaku?”
Daksina
menarik nafas dalam-dalam. Meskipun Putut Nantang Pati percaya sepenuhnya
kepada penglihatan Panembahan Agung, namun ia mempergunakan juga perhitungannya
untuk setiap rencana yang disusunnya. Dan ia tidak dapat mengingkari ketelitian
rencana Putut Nantang Pati untuk menghindari pertempuran jika agaknya mereka
tidak akan dapat menahan pasukan lawan yang bakal datang. Apalagi setelah
mereka mendapat keterangan, bahwa yang datang bukan saja para pengawal Mataram
di bawah pimpinan Sutawijaya, tetapi beserta mereka adalah pasukan pengawal
Menoreh.
“Tentu anak
gadis Ki Argapati itu,” berkata Daksina di dalam hatinya.
Sejenak
kemudian, maka mereka berdua pun pergi ke lereng di kaki pebukitan itu. Dari
balik pepohonan mereka melihat lembah dan lereng di hadapan mereka.
“Tidak ada
tanda-tanda bahwa mereka akan datang?” bertanya Putut Nantang Pati kepada para
pengawas yang bertebaran di antara gerumbul-gerumbul liar.
“Belum,” sahut
salah seorang dari mereka.
“Jangan
lengah. Gerumbul-gerumbul di lereng itu memang memungkinkan untuk berlindung.”
“Tetapi tidak
untuk berlindung sebuah pasukan.”
Putut Nantang
Pati mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya,
“Berhati-hatilah,
aku akan pergi ke depan.”
Putut Nantang
Pati, Daksina, dan beberapa orang pengawalnya pun maju lagi untuk menemui para
pengawas yang paling depan. Dengan hati-hati mereka merayap tebing di balik
gerumbul-gerumbul yang rimbun.
Dalam pada
itu, kelompok-kelompok pasukan Mataram dan Menoreh maju semakin dekat. Mereka
menyusup di antara pepohonan. Namun kadang-kadang mereka harus melalui tempat
yang terbuka beberapa langkah, sehingga memungkinkan para pengawas lawan dapat
melihat mereka. Dan ternyata demikianlah yang terjadi. Ketika pasukan pengawal
Menoreh yang dipimpin oleh Ki Argapati menjadi semakin dekat, dan sekilas
mereka terpaksa menyeberangi daerah terbuka, salah seorang dari para pengawas
terdepan dari padepokan Putut Nantang Pati dapat melihatnya. Sejenak orang itu
memperhatikan seseorang yang merunduk sambil berlari-lari. Kemudian orang-orang
berikutnya. Pengawas itu pun kemudian menggamit kawan-kawannya dan dengan ujung
jarinya menunjuk ke arah pasukan yang mendekat.
“Mereka justru
melalui jalan itu,” desis salah seorang dari mereka,
“agaknya
mereka akan langsung memotong pasukan kita, karena dari lereng itulah salah
seorang kawan kami telah melepaskan anak panah. Mereka tentu menduga bahwa di
tempat itu kini sudah disiapkan pengawasan yang ketat.”
“Tetapi
kehadiran mereka harus kita laporkan”
“Tentu. Nah,
siapakah yang akan pergi?”
Salah seorang
dari para pengawas itu pun kemudian merayap naik untuk melaporkan, bahwa mereka
telah melihat sebuah pasukan yang mendekati padepokan mereka. Tetapi orang itu
terhenti, justru karena mereka bertemu dengan Putut Nantang Pati dan Daksina,
sehingga dengan demikian maka Putut Nantang Pati dan Daksina sempat melihat
sendiri pasukan yang bergerak maju itu. Tetapi keduanya tidak sempat melihat,
siapakah yang telah memimpin pasukan mereka,
“Tidak terlalu
banyak,” desis Putut Nantang Pati.
“Adalah
kesombongan tiada taranya bahwa hanya dengan pasukan yang sangat kecil, bahkan
hanya sekelompok kecil pasukan pengawal mereka akan menembus padepokanku.”
“Jangan
menyangka demikian,” desis Daksina.
“Kenapa?”
“Aku yang
mencoba menjebak mereka justru pernah terjebak. Kau sangka bahwa yang kita
lihat itu sudah seluruh pasukan?”
“Kalau begitu,
siapakah mereka?”
“Mungkin
mereka hanyalah sekedar pengawas yang merintis perjalanan. Mungkin sepasukan
pengawal yang sudah pasrah akan nyawanya. Mungkin mereka sekedar menjajagi, dan
masih banyak kemungkinan-kemungkinan yang lain. Namun kita harus berhati-hati
menghadapi pasukan dari Mataram dan Menoreh.”
“Kau dasarkan
pertimbanganmu kepada peringatan yang telah diberikan oleh Panembahan Agung?”
Daksina mengerutkan
keningnya. Jawabnya,
“Bukan hanya
pesan itu, tetapi menurut perhitunganku, demikian akan jadinya. Aku pernah
mengalaminya.”
Putut Nantang
Pati mengangguk-angguk, lalu katanya kepada para pengawas,
“Kalian tetap
di sini. Jika kalian tergesa-gesa, kalian tidak usah datang kepada kami. Kalian
dapat melemparkan isyarat.”
Putut Nantang
Pati dan Daksina itu pun kemudian dengan tergesa-gesa kembali kepada induk
pasukannya. Sesuai dengan peringatan Daksina, maka Putut Nantang Pati pun harus
berhati-hati. Diperintahkannya sebagian dari pasukannya untuk bersiap
menghadapi jalur arah kelompok lawan yang mendekati mereka.
“Tahan mereka.
Tetapi ingat, jika tengara itu berbunyi, kalian harus menarik diri, lewat lekuk
yang ditentukan sebelumnya itu. Jika pasukan lawan mengejar kalian lewat jalur
jalan itu, maka akan dapat kita menghancurkannya selagi mereka menerobos lembah
yang sempit itu. Putuskan tali pengikat batang-batang kayu itu. Dan lembah yang
sempit itu akan menjadi kuburan yang besar. Tetapi jika mereka berhasil
menerobos masuk meskipun hanya sisa-sisanya saja, mereka akan kita hancurkan di
pertahanan terkuat, di hadapan padepokan Panembahan Agung,” berkata Putut
Nantang Pati kepada seorang pemimpin kelompok pengawalnya.
Putut Nantang
Pati dan Daksina pun kemudian kembali ke induk pasukannya. Mereka sudah
menempatkan diri mereka di medan yang mereka pilih. Jika keadaan memaksa mereka
akan dengan mudah menarik diri. Dengan sedikit arah tipuan, mereka akan dapat
menjebak pasukan lewat sebuah lembah yang sempit, yang memang dipersiapkan
untuk mengubur pasukan Mataram dan Menoreh dengan pokok-pokok kayu yang diikat
dengan tali yang kuat diatas tebing. Jika tali-tali itu diputuskan dengan
kapak, maka pokok-pokok kayu itu akan menggelinding melanda batu-batu padas
dilereng sebelah menyebelah lembah yang sempit itu dan bersama-sama menimbun
pasukan yang sedang lewat.
“Terlalu sulit
untuk melarikan diri. Apalagi tali yang pertama-tama diputuskan adalah di kedua
ujung lembah itu,” berkata Putut Nantang Pati.
“Tetapi
bagaimana jika pasukan Mataram dan Menoreh itu berjalan dalam jarak yang
panjang, sehingga seluruh pasukannya menjadi panjang sekali?” bertanya Daksina.
“Kita
mengambil pangkalnya sehingga ujungnya akan terjebak dan tidak akan mungkin
melarikan diri lagi.”
Daksina
mengangguk-anggukkan kepalanya. Cara yang sederhana itu memang memungkinkan
untuk mengurangi kekuatan pasukan Mataram dan Menoreh, dan terutama menimbulkan
kekacauan di antara mereka. Dalam kekacauan itulah maka pasukannya akan dapat
menyerang dan membinasakan lawan sebanyak-banyaknya. Namun dalam pada itu,
selagi Putut Nantang Pati dan Daksina mempersiapkan diri, maka para pengawas di
paling depan itu pun terkejut. Ternyata selain para pengawal yang mereka lihat
menyusur tebing dan agaknya berniat langsung memotong pasukan bersenjata panah
itu, mereka melihat pasukan yang lebih besar merayap maju di lembah pegunungan
itu, di sela-sela pepohonan yang rimbun.
“O,” desis
salah seorang dari mereka, “tentu induk pasukannya.”
Yang lain
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Mereka memang
pandai menyusun kekuatan. Kekuatan yang tidak terlampau besar akan dapat
dipergunakan dengan baik jika pimpinannya cakap mengatur laku dan gelar.”
“Gelar apakah
yang kita lihat sekarang?”
“Kita belum
melihatnya. Agaknya mereka pun masih belum membuka gelar. Mereka baru sekedar
merayap mendekat.”
“Tetapi mereka
menyusun diri dalam urut-urutan yang panjang. Seorang demi seorang dalam jarak
beberapa langkah.”
“Itulah
kelebihan mereka. Susunan barisan yang demikian memang sulit untuk dijebak
dalam kepungan.”
Kawannya
mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Lalu,
“Kita harus
memberikan isyarat secepatnya. Ternyata yang datang benar-benar sebuah pasukan
yang kuat.
“Kita tidak
perlu memberikan isyarat. Kita dapat menggabungkan diri saja langsung dengan
induk pasukan. Kita sudah melihat arah pasukan induk yang datang dari Mataram
dan Menoreh itu. Agaknya pasukan yang besar itulah pasukan Mataram, sedang
pasukan yang kecil yang menyusur lereng itu adalah pasukan pengawal Menoreh.”
Kawannya
merenung sejenak, lalu,
“Baiklah. Kita
pergi ke induk pasukan. Tetapi hati-hati, jangan sampai mereka melihat kita.”
Para pengawas
itu pun dengan hati-hati telah meninggalkan tempatnya menggabungkan diri ke
induk pasukan sekaligus melaporkan apa yang dilihatnya.
“Kami tidak
memberikan isyarat agar mereka tidak segera mengetahui bahwa kita akan
menyambut kedatangannya.”
“Baiklah.
Pasukan induk kita pun akan menyambut mereka sebelum mereka kita seret lewat
jebakan yang sudah dipersiapkan. Sementara itu, sebuah pasukan kecil akan
menahan pasukan yang menyelusuri lereng itu. Agaknya mereka menganggap bahwa
pasukan kita yang mempergunakan panah, masih tetap berada di lereng itu,” desis
Putut Nantang Pati.
“Apakah mereka
tidak kita pancing sama sekali turun ke lembah?” bertanya Daksina.
“Tetapi
pasukan kecil itu jika berjalan terus akan dapat mengganggu orang-orang kita
yang berada di tebing, yang siap memotong tali-temali itu.”
Daksina mengangguk-anggukkan
kepalanya. Lalu,
“Tetapi
meskipun pasukan itu kecil, namun aku kira pasukan itu cukup kuat. Apalagi jika
para pemimpin Menoreh dan orang-orang bercambuk itu ada di sana, maka kita akan
kehilangan banyak kesempatan.”
“Kita akan
menahan mereka dengan pasukan yang kuat. Aku sendiri akan memimpin pasukan itu,
sambil melindungi orang-orang yang akan memotong tali. Aku harap kau memimpin
induk pasukan yang sebagian juga terdiri dari prajurit-prajurit Pajang untuk
menahan Sutawijaya. Aku kira induk pasukan itu memang orang-orang Mataram. Jika
yang datang Ki Pemanahan sendiri dengan pasukan yang memang tidak akan dapat
kita hadapi, kau harus memberikan isyarat, agar aku dapat mempertimbangkan
keadaan dan jika perlu segera berusaha menjebak mereka.”
Daksina
menganggukkan kepalanya. Ia pun segera mempersiapkan diri dan membagi pasukan.
Sebuah pasukan kecil yang kuat akan menghadapi sekelompok pasukan pengawal yang
menyusuri tebing, sedang yang lain akan turun ke lembah dan menyambut induk
pasukan sebelum mereka akan menyeret pasukan Mataram itu ke dalam kuburan
raksasa yang sudah dipersiapkan. Sejenak kemudian maka pasukan itu pun segera
terbagi. Putut Nantang Pati sendiri memimpin pasukan kecil itu dan memisahkan
diri dari pasukan induk menyelusur tebing menyongsong lawan. Tetapi mereka
tidak terlalu jauh maju, karena sebagian dari mereka harus melindungi
orang-orangnya yang siap dengan kapak di tangan untuk memotong tali jebakan. Dalam
pada itu, Daksina pun mulai menuruni tebing dengan penunjuk jalan para pengawas
yang melihat pasukan Mataram mendatangi mereka, sedang Putut Nantang Pati yang
sudah melihat sendiri pasukan yang mendatangi menyelusur tebing, tidak
memerlukan penunjuk jalan sama sekali.
Tetapi Daksina
memang tidak ingin bertempur mati-matian. Tugasnya hanya sekedar menahan
pasukan itu dan kemudian memancing mereka karena ternyata pasukan itu terlampau
kuat untuk dihancurkan dengan kekuatan pasukannya. Sambil menggenggam
senjatanya, Daksina maju diikuti oleh pasukan yang sebenarnya juga cukup kuat.
Apalagi di antara mereka terdapat beberapa orang bekas prajurit Pajang yang
bertekad untuk ikut serta dengan Daksina, apa pun yang terjadi. Tetapi karena
nafsu perlawanan mereka tidak sekuat pengawal Mataram, maka sudah barang tentu
bahwa hal itu akan mempengaruhi jalannya peperangan. Setiap orang di dalam
pasukan itu sudah mengetahui dengan pasti, bahwa mereka akan segera menarik
diri, jika lawan cukup kuat. Karena itu, gairah untuk bertempur sebelum mereka
sampai di pertahanan yang terakhir, di hadapan padepokan Panembahan Agung,
agaknya memang sangat kecil selain sekedar mempertahankan hidup, karena mereka
tidak mau mati lebih dahulu sebelum mereka melihat, betapa para pengawal
Mataram dan Menoreh itu akan kebingungan menghadapi ilmu Panembahan Agung yang
sakti. Di bagian lain dari tebing pegunungan itu, beberapa orang sudah siap
dengan anak panah. Mereka harus melindungi pasukan yang sedang mundur lewat
sebuah lembah yang sempit dengan anak panah itu. Kemudian, jika pasukan lawan
mengejar terus, dan itulah yang memang diharapkan, maka mereka harus memberikan
isyarat kepada orang-orang yang memegang kapak di tangannya untuk memotong tali
temali yang mengikat beberapa batang pokok kayu yang panjang. Dengan demikian,
maka anak panah mereka tidak boleh menghentikan sama sekali laju lawan. Anak
panah itu tugasnya hanya sekedar menahan agar pasukan Panembahan Agung terpisah
dari pasukan yang mengejarnya beberapa puluh langkah.
Sementara itu,
di lembah yang ditumbuhi oleh pepohon yang pepat, seolah-olah sebuah hutan
kecil, pasukan Daksina berhenti. Mereka mempersiapkan diri untuk menyergap
pasukan Mataram yang pasti akan melalui daerah itu pula. Beberapa orang di
antara mereka memanjat dahan-dahan yang rendah dengan pedang di tangan. Jika
lawan mereka lewat dibawahnya, maka mereka yang memanjat itu sudah siap untuk
meloncat menerkam sambil menghunjamkan senjata mereka masing-masing di punggung
atau dada lawan.
Pasukan
Mataram yang dipimpin oleh Sutawijaya, maju terus selangkah demi selangkah.
Mereka menjadi berhati-hati karena seakan-akan mereka telah mendapat firasat
bahwa musuh memang sudah ada di depan hidung mereka. Apalagi para pengawas yang
mendahului dan yang salah seorang telah terluka itu berkata,
“Sebentar lagi
kita akan sampai ke tempat para pengawas yang bersenjatakan anak panah itu.
Mereka berada di tebing itu.”
“Sekelompok
dari para pengawal Tanah Perdikan Menoreh melalui tebing itu. Bukankah maksud
kelompok kecil itu juga untuk melindungi pasukan ini jika pengawal yang
bersenjatakan anak panah itu masih tetap berada di tempatnya, dan apalagi
ditambah jumlahnya,” sahut Sutawijaya.
Pengawas itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Ya.
Mudah-mudahan mereka menemukan tempat itu, dan justru tidak terjebak.”
Sementara
pasukan yang di lembah itu maju, maka Ki Argapati pun membawa pasukannya maju
pula. Menurut petunjuk, agaknya sekelompok pengawal dari Menoreh itu memang
sudah berada dekat dengan tempat yang disebut oleh para pengawal sebagai pusat
pertahanan pasukan bersenjata jarak jauh.
“Kita harus
menemukan mereka, sebelum mereka sempat menghujani pasukan Mataram itu dengan
anak panah,” berkata Ki Argapati kepada anak gadisnya.
“Ya, Ayah.
Tetapi agaknya mereka sudah berpindah tempat. Jika mereka merasa bahwa
kehadiran mereka sudah diketahui, maka mereka akan mencari tempat yang lebih
baik lagi.”
“Tidak ada
tempat yang agaknya lebih baik dari tempat itu. Namun demikian, agaknya kini
mereka merasa terganggu. Mudah-mudahan pasukan pengawal dari Mataram itu dapat
mempergunakan kesempatan. Mereka harus segera maju. Tetapi jika mereka tidak
mendapatkan serangan di tempat yang mereka duga, maka mereka akan menjadi
semakin berhati-hati dan akan berarti bahwa perjalanan mereka akan menjadi
semakin lambat, sebab menurut perhitungan mereka lawan telah berpindah di
tempat yang belum mereka ketahui.”
Pandan Wangi
tidak menyahut. Agaknya mereka telah berada beberapa langkah saja, seperti yang
ditunjukkan oleh para pengawas, dari tempat orang-orang Daksina melepaskan anak
panah kepada pengawas yang memanjat tebing. Ki Argapati menarik nafas
dalam-dalam. Ketegangan mulai menjalari dadanya. Ternyata bahwa lawan pun
membuat perhitungan yang cukup cermat.
Dari tempatnya
Ki Argapati melihat ke lembah di bawahnya. Sejenak ia memperhatikan setiap
gerakan. Dan tiba-tiba saja ia melihat bayangan memintas sekejap dari bawah
pohon yang satu ke pohon yang lain.
“Pandan Wangi,”
desisnya, “kemari.”
Pandan Wangi
pun bergeser maju diikuti oleh Prastawa.
“Aku melihat
seseorang meskipun hanya sepintas. Aku tidak dapat menyebutkan siapa orang itu.
Tetapi arahnya bukan arah yang ditempuh oleh pasukan Mataram.”
“Maksud Ayah?”
“Marilah kita
tunggu sejenak. Barangkali kita berkesempatan melihatnya lagi di sela-sela
pepohonan yang rimbun.”
Pandan Wangi
tidak menyahut, tetapi ia bergeser maju diikuti oleh Prastawa. Sejenak mereka
berjongkok sambil berdiam diri di balik dedaunan. Namun dari tempat mereka,
mereka dapat melihat lembah di bawah. Sejenak kemudian mereka pun melihat
seseorang bergerak di bawah pepohonan itu pula. Meskipun tidak jelas namun
mereka mendapat kesan, bahwa orang itu tentu bukan bagian dari pasukan Mataram
yang bergerak maju.
“Ya,” desis
Prastawa,
“seolah-olah
orang itu bukan bagian dari pasukan yang bergerak.”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Pandan Wangi menyahut dengan kata-kata yang
bernada gelisah,
“Apakah mereka
bukan bagian dari pasukan lawan yang sedang menunggu?”
“Itulah yang
akan aku katakan. Tetapi kita harus meyakinkan lebih dahulu.”
Pandan Wangi
tidak menyahut. Namun ketika mereka melihat orang-orang yang kurang cermat
bersembunyi itu melintas lagi, maka mereka pun segera mengambil kesimpulan.
“Pasukan lawan
telah menunggu pasukan Mataram itu,” berkata Ki Argapati,
“kita harus
memberitahukan kepada mereka, apa yang telah kita lihat.”
“Apakah kita
akan mengirimkan seseorang menuruni tebing dan menemui Raden Sutawijaya?”
“Terlambat.
Pasukan Raden Sutawijaya tentu sudah amat dekat dengan orang-orang yang
menunggu. Jika dengan tiba-tiba pasukan itu terlibat dalam perkelahian sebelum
mereka bersiap, maka akibatnya akan sangat merugikan.”
“Jadi
bagaimana menurut pertimbangan Ayah?”
“Kita
memberikan isyarat.”
“Bagaimana
kita akan memberikan isyarat, kita belum tahu pasti, di mana pasukan mereka
berada.”
“Kita lepaskan
senjata-senjata jarak jauh langsung kepada orang yang agaknya sedang
bersembunyi di hutan kecil itu.”
“Gunanya?”
“Jika mereka
melakukan perlawanan, maka pasukan Raden Sutawijaya tentu akan melibat, bahwa
di hadapannya ada sepasukan lawan yang sedang menunggu, sehingga isyarat itu
datang dari mereka sendiri.”
“Tetapi
akibatnya, kehadiran kita pun akan diketahui pula.”
“Biarlah, kita
sudah siap bertempur. Jika ternyata kekuatan kita tidak memadai pasukan lawan
yang barangkali juga sedang menunggu kita, kita akan memberikan isyarat lagi.
Tetapi jika kita bersama-sama mengalami tekanan yang berat, apa boleh buat.”
“Masih ada
sekelompok yang mungkin masih bebas.”
“Belum tentu.
Mungkin mereka pun menjumpai lawan yang bertebaran.”
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun ia tidak menjawab, namun agaknya ia
menyetujuinya.
Karena itu,
maka sejenak kemudian, setelah mereka menjadi semakin yakin akan keadaan yang
mereka hadapi, maka Ki Argapati pun kemudian memerintahkan beberapa orang yang
membawa busur dan anak panah untuk bersiap.
“Salah seorang
dari kalian yang membawa perisai, perlihatkan dirimu. Mereka akan berbuat
sesuatu, dan kita akan menjadi semakin yakin atas mereka,” perintah Ki
Argapati.
“Sedang yang
lain siap untuk melontarkan anak panah kalian.”
Beberapa orang
pun kemudian bergeser menepi. Seseorang yang membawa perisai pun kemudian
melangkah maju, justru menampakkan diri di atas tebing.
Ternyata usaha
Ki Argapati itu berhasil memancing perhatian lawan yang sedang bersembunyi.
Ketika seseorang melihat seorang pengawal Menoreh itu berdiri di tebing, maka
orang itu pun segera melaporkannya kepada Daksina.
“Siapakah
orang itu?” bertanya Daksina.
“Kita tidak
mengetahuinya, tetapi jelas bukan salah seorang dari kita.”
Daksina
menjadi ragu-ragu sejenak. Namun selagi ia belum mengambil keputusan,
dilihatnya sebatang anak panah yang meluncur jatuh di sela-sela dedaunan.
“He, anak
panah siapakah itu?”
Salah seorang
memungut anak panah itu. Dan dengan suara bergetar ia menyahut,
“Bukan anak
panah kita. Ujung bedornya pipih dan bulu keseimbangannya melingkar.”
“Anak panah
itu berputar selagi meluncur,” desis Daksina, “tentu anak panah orang Menoreh.”
Sebenarnyalah
bahwa Ki Argapati telah memerintahkan melepaskan anak panah. Meskipun mereka
tidak melihat seseorang namun mereka melepaskan juga anak panah ke arah yang
diperkirakan menjadi tempat persembunyian mereka.
Dalam pada itu
Daksina menjadi termangu-mangu. Apalagi ketika sebuah anak panah yang lain
meluncur pula jatuh di antara mereka.
“Tentu orang
yang berdiri di tebing itu melihat kita.”
“Apakah yang
dapat kita lakukan?”
“Apa boleh
buat. Kita tunggu sejenak, jika anak panah itu masih meluncur, kita akan
membalas meskipun dengan demikian kehadiran kita di sini akan diketahui oleh
pasukan di hadapan kita. Bukankah jika sebagian dari mereka sudah melihat kita,
maka tidak ada gunanya lagi kita bersembunyi? Tetapi selagi mungkin, kita akan
menghindari.”
Namun dalam
pada itu, bukan saja Daksina dan orang-orangnya yang melihat orang berperisai
itu. Ternyata Putut Nantang Pati pun telah melihatnya pula.
“Gila,” geram
Putut Nantang Pati,
“ternyata
pasukan yang menyelusur tebing inilah yang mengetahui lebih dahulu pasukan yang
dipimpin Daksina, yang berusaha menyergap pasukan yang datang dan lembah.
Jangan beri kesempatan. Kita harus menyerangnya lebih dahulu selagi perhatian
mereka tertuju kepada orang-orang di lembah itu.”
Anak buah
Putut Nantang Pati pun kemudian menyiapkan diri. Mereka tidak lagi menunggu.
Tetapi kini mereka merayap maju menyerang kedudukan Ki Argapati yang sedang
memancing perlawanan orang-orang yang ada di lembah.
Kedatangan
Putut Nantang Pati telah mengejutkan pengawas yang dengan penuh kewaspadaan
memperhatikan suasana di sekitarnya. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia pun
meneriakkan isyarat, bahwa sepasukan lawan telah mendekat.
Ki Argapati
mengerutkan keningnya. Sejenak ia berpikir, lalu,
“Kita hadapi
lawan yang datang. Tetapi biarlah dua tiga orang meneruskan pancingan mereka.
Lemparkan anak panah yang lebih banyak. Tetapi hati-hati bagi mereka yang tidak
menyandang perisai. Jangan menjadi arah bidikan yang mapan. Berusahalah tetap
bersembunyi di balik pepohonan.” Lalu katanya kepada Pandan Wangi dan Prastawa,
“Hati-hati1ah,
kita menghadapi lawan yang belum kita ketahui kekuatannya.”
Ki Argapati
telah mempersiapkan dirinya dengan tombak pendeknya. Dalam keadaan itu, terasa
kakinya memang agak mengganggu. Jika saja kakinya tidak menjadi cacat meskipun
berangsur pulih, maka ia akan dapat berbuat lebih banyak lagi, siapa pun yang
dihadapinya. Sejenak Pandan Wangi memandangi ayahnya, seolah-olah ia ingin
mendapat penjelasan tentang keadaan ayahnya itu.
“Kakiku sudah
baik Pandan Wangi,” tiba-tiba ayahnya berdesis seakan-akan ia mengetahui
kegelisahan yang memancar dari tatapan mata anak gadisnya.
Pandan Wangi
menarik nafas dalam-dalam.
“Hati-hatilah,”
desis ayahnya,
aku sudah
mendengar suara pasukan itu mendekat.”
Pandan Wangi
pun kemudian mempersiapkan dirinya. Kali ini ia membawa sepasang pedang.
Disampingnya Prastawa pun telah mempersiapkan dirinya pula. Ia pun bersenjata
pedang yang lebih besar dari pedang Pandan Wangi.
“Beberapa
orang di antara kalian, naiklah lebih tinggi,” perintah Ki Argapati,
“usahakan agar
kalian dapat bergerak lebih leluasa. Kita harus menyadari, bahwa lawan-lawan
kita akan mempergunakan cara yang sering mereka tempuh. Kasar dan sedikit liar.
Karena itu, kalian harus mempunyai ruang yang agak luas untuk melawan mereka.”
Dengan
demikian, maka sekelompok pengawal dari Menoreh yang terpilih itu pun segera
memencar. Mereka telah bersiap dengan senjata masing-masing. Beberapa orang di
dalam kelompok tersendiri bersenjatakan tombak pendek. Yang lain pedang dan
seorang yang berbadan tinggi kekar membawa sepasang bindi yang besar. Sedang
mereka yang memanjat tebing lebih tinggi lagi selain bersenjata pedang, mereka
pun memiliki beberapa buah pisau-pisau kecil diikat pinggangnya. Mereka adalah
pengawal yang telah terlatih mempergunakan lemparan-lemparan pisau belati
kecil.
Dalam pada
itu, beberapa orang di antara mereka masih saja melontarkan anak panah ke
lembah. Mereka semakin pasti bahwa yang ada di lembah itu bukan pasukan
Mataram. Tetapi Daksina ternyata tidak mudah terpancing. Diperintahkannya anak
buahnya untuk tetap berdiam diri.
“Jangan
memberikan perlawanan. Musuh yang kita tunggu adalah mereka yang akan datang
lewat lembah ini. Serahkan mereka yang di atas tebing kepada Putut Nantang Pati
dan kelompoknya. Kita tetap menunggu di sini.”
Anak buahnya
pun menyadari keadaan mereka, sehingga karena itu, mereka pun segera berusaha
berlindung di balik pepohonan dan dedaunan yang rimbun. Namun demikian, anak
panah yang diberi bulu-bulu keseimbangan membelit dan berbedor pipih itu,
kadang-kadang dapat menembus rimbunnya dedaunan karena putaran anak panah itu.
Sejenak Ki
Argapati menilai keadaan. Ia pun sadar, bahwa Daksina seorang perwira dari
Pajang itu bukannya anak kecil. Apalagi kehadiran Ki Argapati telah benar-benar
diketahui oleh lawannya, sehingga akhirnya ia berkata lantang,
“Berikan
isyarat panah sendaren. Pasukan di lembah agaknya sudah berada di hadapan
pasukan yang bersembunyi untuk menjebak.”
Begitu
perintah itu selesai, maka benturan sudah tidak dapat dihindarkan lagi. Pasukan
Putut Nantang Pati melanda para pengawal Menoreh bagaikan banjir. Tetapi
pasukan pengawal dari Menoreh itu sudah bersiaga, sehingga mereka pun sudah
siap menyambut kedatangan lawannya. Ternyata bahwa usaha Ki Argapati mengurangi
jumlah lawannya pada benturan pertama itu pun berhasil. Para pengawal yang
berada di tebing yang agak lebih tinggi, menyambut kedatangan lawan mereka
dengan lontaran pisau-pisau kecilnya, sehingga beberapa orang lawan pun terluka
karenanya. Bahkan lemparan yang tepat mengenai pundak kanan, seakan-akan
membuat lawan itu menjadi lumpuh dan tidak dapat menggerakkan senjatanya lagi.
Kecuali mereka tidak biasa mempergunakan senjata di tangan kiri, juga agaknya
darah yang mengalir telah merampas sebagian besar dari tenaganya. Apalagi
mereka yang langsung terpotong nadi pundaknya. Namun demikian, beberapa orang
yang berada di belakang pertempuran itu masih sempat melemparkan isyarat. Tiga
buah anak panah sendaren meluncur sambil bersiul.
Dalam pada itu,
pasukan Sutawijaya memang sudah berada semakin dekat pada jebakan yang dipasang
oleh Daksina. Dan agaknya suara panah sendaren itu memang menarik perhatian.
Namun yang mula-mula terlintas di angan-angan Sutawijaya adalah isyarat bahwa
pasukan Ki Argapati sudah terlibat di dalam pertempuran.
“Lihat,”
berkata Sutawijaya yang dapat melihat dari jarak yang jauh pertempuran di atas
tebing,
“mereka sudah
mulai. Tetapi kau lihat beberapa orang berdiri di tebing dengan busur dan anak
panah itu?”
Beberapa orang
pimpinan pengawalnya memandang ke arah tebing itu dengan hati yang
berdebar-debar. Mereka harus memperhitungkan apakah yang sebenarnya sudah
terjadi.
“Mereka
melemparkan anak panah ke lembah di depan kita,” desis Ki Lurah Branjangan.
“Dan itu
sangat menarik perhatian,” sahut Sutawijaya.
Tetapi
orang-orang yang melemparkan anak panah itu pun segera menghilang. Mereka
ternyata telah terlibat di dalam pertempuran. Sejenak Sutawijaya menilai
keadaan. Meskipun hanya sepintas, namun anak panah yang dilontarkan ke lembah
itu harus diperhitungkan.
“Isyarat dan
arah anak panah itu agaknya mempunyai maksud tertentu,” berkata Sutawijaya
kemudian.
“Apa salahnya
kita berhati-hati sekali. Agaknya mereka memberi peringatan kepada kita, bahwa
di lembah di hadapan kita ini pun, para pengawal padepokan ini telah menunggu.”
Ki Lurah
Branjangan mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian,
“Mungkin.
Memang mungkin sekali. Agaknya mereka pun telah memecah pasukannya.”
“Pengalaman
mereka atas kegagalan yang pernah terjadi membuat mereka semakin berhati-hati,”
desis Sutawijaya.
“Jika
demikian, marilah kita maju dengan waspada. Kita tidak dapat membuat gelar yang
wajar karena keadaan medan. Tetapi kita akan bergerak maju dalam tiga deret.
Yang tengah akan lewat dasar lembah. Yang dua melalui sisi sebelah-menyebelah.
Di dalam keadaan yang belum kita ketahui, kita dapat merubah kedudukan. Tetapi
ada baiknya jika pasukan yang menjadi sayap itu berjalan seiring meskipun
mereka harus berjalan di tebing yang miring.”
“Sayap itu
lebih baik sedikit maju,” sahut Ki Lurah Branjangan yang sudah memiliki
pengalaman yang cukup,
“justru induk
pasukan agak mundur beberapa langkah. Kita mungkin akan jatuh dalam keadaan
perang brubuh, atau sebelah-menyebelah dari sayap ini akan melanda lawan dalam
gelar glatik neba. Tetapi jika lawan berpencar maka perang brubuh itulah yang
paling mungkin terjadi.”
“Baiklah. Kita
mempersiapkan diri menghadapi keadaan itu. Kita harus mengenal diri kita
sebaik-baiknya. Di dalam perang brubuh kita masih harus tetap berada di dalam
satu kesatuan.”
Demikianlah
maka Lurah Branjangan segera mengatur pasukannya. Ia sendiri berada di sayap
kanan, dan seorang senapati yang dipercaya berada di sayap kiri.
“Kita akan
bertemu dengan Daksina,” desis Sutawijaya.
“Jangan
dilawan seorang diri. Raden harus melihat kenyataan bahwa Daksina memiliki
kelebihan. Jika aku yang menjumpainya, aku pun akan melawannya di dalam
lingkaran perang brubuh, bukan seorang diri. Aku sudah mempersiapkan beberapa
orang untuk menghadapinya. Sebaiknya sambil berjalan maju setiap barisan
mempersiapkan dirinya.”
“Baiklah,”
berkata Raden Sutawijaya,
“aku akan
bersiap menghadapinya. Sekelompok pengawal akan menyertaiku melawannya jika aku
menjumpainya. Demikian juga seharusnya yang dilakukan oleh penjawat kiri dari
gelar yang sederhana ini.”
Perlahan-lahan
pasukan itu maju. Kedua sayap pasukan berjalan mendahului beberapa langkah dan
mereka berjalan menyelusuri tebing yang miring. Sedang di tengah-tengah
Sutawijaya dan pengawal-pengawalnya berderap maju mendekati daerah yang
seolah-olah terasa menjadi semakin rimbun. Firasat keprajuritannya seakan-akan
memberitahukan kepadanya bahwa beberapa langkah lagi, ia harus memperhatikan
setiap lembar daun dan setiap batang ranting, karena seakan-akan Sutawijaya itu
melihat bayangan yang bersembunyi dan sedang mengintip pasukannya. Di hadapan
mereka, Daksina menunggu dengan tegang. Dua orang pengawas terdepan hampir
tidak sabar menunggu kedatangan lawan. Namun mereka pun terkejut ketika mereka
melihat pasukan lawan itu mendatangi dalam barisan yang panjang di tebing yang
miring. Bukan hanya di sebelah, tetapi sebelah-menyebelah.
“Gila,” desis
pengawas itu,
“kita menunggu
mereka di tengah lembah.”
“Cepat kita
laporkan, agar pasukan kita sempat merubah keadaan.”
Kedua pengawas
itu pun kemudian berlari-lari meninggalkan tempatnya, melaporkan apa yang
dilihatnya tentang pasukan lawannya itu.
“Gila,” geram
Daksina,
“cepat rubah
keadaan ini. Kita akan menghadapi lawan yang berada di sisi sebelah-menyebelah.
Tidak ada gunanya kalian menunggu di dahan-dahan dan belakang gerumbul. Mereka
akan menusuk lambung. Jika mungkin mereka akan menerobos ke dalam pasukan kita.
Dengan demikian, kita akan mengalami kesulitan menarik diri. Karena kita harus
bertempur dalam medan yang dibatasi oleh garis tegas, maka kita harus menahan
pasukan lawan.”
Maka pasukan
Daksina itu pun segera merubah garis pertahanan mereka. Sebagian dari mereka
justru berada di sisi tebing. Mereka harus menghentikan gerakan maju sehingga
pasukan lawan tidak akan dapat menerobos masuk ke dalam garis pertahanan
mereka. Maka sejenak kemudian kedua pasukan sayap itu pun mendekati letak
pasukan lawan. Pada jarak beberapa puluh langkah, mereka sudah saling
menyadari, bahwa mereka kini telah benar-benar berhadapan. Karena itulah, maka
setiap senjata sudah mulai merunduk dan setiap tangan mulai bergetar.
Halaman 1 2 3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar