Kedua pimpinan pengawal yang menjadi penjawat kanan dan kiri dari pasukan Mataram segera meneriakkan aba-aba. Sejenak kemudian pasukannya maju sejauh-jauh dapat dijangkau sebelum lawannya menyongsong mereka dengan garis pertahanan yang rapat, karena mereka memang berkeinginan untuk menarik garis medan yang tegas. Kedua pasukan itu mulai terlibat dalam pertempuran. Daksina, seorang perwira yang berpengalaman itu berhasil membendung pasukan lawannya, sehingga kedua sayap itu tidak dapat bergerak maju sama sekali. Bahkan mereka tidak dapat menghindarkan tekanan pasukan Daksina yang berat, sehingga pasukan yang berjajar surut itu mulai menebar.
Ki Lurah
Branjangan yang ada di sayap kanan mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sadar
bahwa yang dihadapi adalah seorang perwira yang mumpuni. Karena itu, ketika ia
melihat Daksina mengayun-ayunkan pedangnya ia berbisik kepada dua orang
kepercayaannya,
“Kawani aku
mengikat perwira itu dalam pertempuran agar anak buahnya kehilangan bimbingan.”
“Tetapi ia
bukan satu-satunya senapati.”
“Kau benar,
tetapi tidak ada orang lain yang meliki kemampuan seperti Daksina.”
Ki Lurah
Branjangan dengan dua orang pengawal kepercayaannya, menerobos riuhnya
pertempuran, mendekati senapati lawan.
“Daksina,”
panggil Ki Lurah Branjangan,
“aku tidak
mengira bahwa kita akan bertemu lagi.”
Daksina mengerutkan
keningnya, lalu katanya,
“He, kaukah
itu pengkhianat. Ternyata kau berada di Mataram tanpa meninggalkan pesan apa
pun bagi pasukanmu.”
Ki Lurah
Branjangan tertawa. Katanya,
“Jangan
membual. Aku meninggalkan lingkungan keprajuritan Pajang setelah aku minta
diri. Aku tidak lari seperti kau. He, apakah kau mendapat perintah dari Kanjeng
Sultan Pajang untuk mengacaukan Mataram?”
Daksina
berpikir sejenak, lalu,
“Ya. Kau
pandai menebak.”
Tetapi Ki Lurah
Branjangan justru tertawa,
“Jangan
seperti kanak-kanak. Bukankah kau pernah berceritera kepada Raden Sutawijaya
tentang rencanamu untuk mengadu dombakan Mataram dan Pajang.”
“Aku menjawab
pertanyaan kanak-kanak dengan istilah kanak-kanak pula. Jika kau sudah tahu,
apa gunanya kau bertanya?”
Ki Lurah
Branjangan mengerutkan keningnya. Agaknya tidak ada kesempatan untuk banyak berbicara.
Karena itu, maka ia pun segera melangkah maju dan mengulurkan pedangnya lurus
ke depan. Dua orang pengawal kepercayaannya pun maju pula dan bersiap
menghadapi segala kemungkinan.
“O, inikah
cara orang Mataram bertempur? Sejak kapan kau kehilangan sifat jantanmu,
Branjangan. Aku kira kau masih tetap seperti ketika kau berada di Pajang,
pernyata kau tidak ubahnya Sutawijaya yang bertempur bersama beberapa orang
sekaligus. He, di mana Sutawijaya? Apakah ia memimpin kelompok prajurit yang
berjalan di atas tebing itu?”
“Daksina,”
sahut Branjangan,
“kita tidak
sedang berperang tanding. Di dalam perang brubuh semacam ini, tidak akan sempat
menghitung berapa jumlah prajurit kita masing-masing. Apakah jika kita harus
bertempur seorang melawan seorang, jika ada kelebihan di satu pihak, prajurit
itu harus duduk saja menonton? Jika seorang lawan mati maka seorang dari pihak
yang lain harus keluar gelanggang.”
“Ah, kau sudah
pandai membela diri. Baik. Jika kau akan berkelahi dengan kelompokmu. Aku
berterima kasih karena dengan demikian kau mengakui, bahwa Daksina memang bukan
lawanmu.”
“Di dalam
peperangan semua orang adalah lawan semua orang.”
“Bagus.
Bersiaplah untuk mati.”
Ki Lurah
Branjangan tidak menyahut. Tetapi ia mempersiapkan dirinya dengan penuh kewaspadaan,
karena sebenarnyalah ia mengerti, bahwa Daksina memiliki beberapa kelebihan
dari prajurit-prajurit Pajang yang lain, sehingga karena itulah maka ia merayap
dari pangkat yang satu ke pangkat di atasnya. Sejenak kemudian mereka pun mulai
terlibat di dalam pertempuran. Daksina harus berhadapan dengan Ki Lurah
Branjangan dibantu oleh dua orang pengawalnya.
Namun ternyata
bahwa Daksina benar-benar seorang yang tangguh. Ia mampu menghadapi ketiga
lawannya dengan gigih. Sekali-sekali seorang dua orang pasukannya berusaha
membantunya. Namun setiap kali pengawal Mataram yang lain telah memisahkan
mereka dari lingkaran pertempuran itu. Meskipun demikian, orang-orang Daksina
adalah orang-orang yang terlatih baik. Di antara mereka terdapat bekas
prajurit-prajurit Pajang seperti juga pasukan dari Mataram. Sehingga karena
itu, maka amat sulitlah bagi Ki Lurah Branjangan untuk sepenuhnya bertempur
bersama kedua pengawalnya yang terpercaya itu. Setiap kali mereka bertiga gagal
melakukan tekanan serentak, karena orang-orang Daksina pun cukup cekatan
menanggapi keadaan. Ki Lurah Branjangan mengumpat di dalam hati. Daksina masih
tetap seorang perwira yang cerdik di medan. Sayang, ia telah melakukan
kesalahan menurut penilaiannya, karena ia terlibat dalam perbuatan yang bagi
Lurah Branjangan, semata-mata memanjakan kepentingan dan pamrih sendiri. Perkelahian
di medan itu pun menjadi semakin riuh. Tetapi ternyata bahwa pasukan Daksina
berhasil menahan arus pasukan Mataram. Di kedua sisi lembah itu telah terjadi
pertempuran yang seru, sehingga selain terdengar gemerincing senjata, gemeretak
gigi dan hentakan kaki, juga terdengar derak ranting-ranting patah dan dedaunan
yang runtuh sebelum saatnya. Di sayap yang lain pasukan Mataram pun sama sekali
tidak dapat mendesak lawannya yang bertahan pada satu garis pertahanan yang
tegas. Dengan demikian maka usaha Daksina untuk menahan pasukan penyerang itu
berhasil. Ia masih harus bertempur untuk beberapa saat. Ia ingin menjajagi
kekuatan lawannya, yang menurut penilaiannya tidak sekuat yang disangkanya.
“Jika aku
berhasil menghancurkannya di sini, apa salahnya,” berkata Daksina.
“Pertempuran
ini tidak perlu menyentuh padepokan Panembahan Agung.”
Namun Daksina
itu masih juga dibayangi oleh keragu-raguan. Yang dihadapinya adalah Lurah Branjangan.
Sehingga karena itu, maka ia pun masih menunggu seseorang yang tentu ada di
antara lawan-lawannya, yaitu Sutawijaya. Bahkan selagi bertempur melawan Ki
Lurah Branjangan, Daksina yang curiga dan apalagi dilambari oleh firasatnya
sebagai seorang prajurit, ia masih sempat memerintahkan dua orang anak buahnya
untuk mencari Sutawijaya.
“Jika ia
berpakaian seperti pengawal biasa, kalian pun tentu akan mengenalnya.”
Tetapi selagi
kedua orang anak buah Daksina itu bergeser dari tempatnya, mereka terkejut
bukan kepalang. Sekelompok pengawal ternyata telah menusuk daerah pertempuran
itu langsung dipimpin oleh Sutawijaya sendiri. Kedatangan pasukan itu memang
mengejutkan Daksina yang segera mendapat laporan. Karena itu, maka ia pun
kemudian memerintahkan beberapa orang untuk mengambil alih perlawanannya
terhadap Ki Lurah Branjangan. Daksina sendiri kemudian bersama beberapa orang
pengawal langsung menyongsong Sutawijaya. Ternyata kedatangan Sutawijaya telah
menggoncangkan pertempuran itu. Kekuatan pasukan Mataram telah bertambah besar,
sehingga tidak ada harapan sama sekali bagi Daksina untuk menunjukkan
kebesarannya dengan menghancurkan pasukan Mataram sebelum mereka mendekati
padepokan Panembahahan Agung.
“Gila,” desis
Daksina,
“agaknya
Mataram benar-benar ingin menyelesaikan pertikaiannya dengan Panembahan Agung.”
Namun dalam
pada itu, Daksina masih dapat tersenyum sambil berkata di dalam hati,
“Jika kalian
tidak binasa di sini, kalian akan binasa dikubur di leher lembah itu. Dan jika
masih ada juga yang lolos, maka kalian menjadi sasaran yang paling menyenangkan
dalam pertahanan terakhir dari susunan pengawal padepokan Panembahan Agung.”
Ternyata bahwa
yang terjadi kemudian benar-benar tidak tertahankan lagi oleh Daksina. Itulah
sebabnya, maka ia mulai dengan susunan perlawanan seperti yang direncanakan.
Sekedar bertahan menurut batas lurus sepanjang lebar lembah daerah pertempuran
itu. Kemudian, mereka akan segera mengundurkan diri, yang ternyata harus
dilakukan lebih cepat dari yang diperkirakan karena tekanan lawan yang cukup
berat, dengan korban yang lebih banyak pula dari perhitungannya. Sekali-sekali
Daksina masih sempat mencoba melihat pertempuran diatas tebing. Sekilas ia
masih melihat senjata berkilat. Kadang-kadang ia mendengar sorak yang gemuruh
di atas tebing itu meskipun pertempuran tidak seriuh di dalam lembah. Tetapi
agaknya anak buah Putut Nantang Pati berusaha menghalau lawannya seperti sedang
mengejar tupai. Mengayunkan senjata sambil berteriak-teriak. Tetapi Ki Argapati
yang sudah menduga sebelumnya, sama sekali tidak terkejut menghadapi cara
lawannya. Untuk meneguhkan hati anak buahnya, maka Ki Argapati pun
kadang-kadang meneriakkan aba-aba yang keras. Di sebelah-menyebelahnya, Pandan
Wangi dan Prastawa mendesak lawannya yang bertempur dengan kasar. Dalam pada
itu, ternyata bahwa Putut Nantang Pati benar-benar seorang yang pilih tanding.
Dengan tangkasnya ia menghadapi Ki Argapati yang bersenjata tombak pendek.
Kakinya yang kokoh itu berloncatan di atas tanah, berbatu padas. Sedang senjatanya
berputar seperti baling-baling. Sebilah pedang besar yang bermata rangkap
sebelah-menyebelah. Namun Ki Argapati adalah seorang yang matang di dalam
ilmunya, apalagi ia memiliki pengalaman yang cukup banyak di sepanjang
hidupnya. Sehingga dengan demikian, ia dapat dengan tenang menghadapi Putut
Nantang pati, murid terpercaya dari Panembahan Agung. Tetapi ketika pertempuran
itu berlangsung beberapa saat lamanya, terasa sesuatu agak mengganggu. Meskipun
Ki Argapati semula berhasil sedikit demi sedikit mendesak lawannya, namun
semakin lama terasa sesuatu yang tidak wajar pada kakinya yang cacat.
Rasa-rasanya di dalam daging dipaha dan dilututnya terdapat duri yang tajam,
yang mulai menusuk dagingnya.
“Ah,” Ki Argapati
mengeluh di dalam hati,
“apakah kakiku
tiba-tiba saja akan kambuh lagi?”
Tetapi Ki
Argapati berusaha untuk menahan rasa sakit yang semakin mengganggunya. Untuk
beberapa saat ia masih mampu bertempur tanpa menunjukkan tanda-tanda kelemahan
pada kakinya. Yang dilihat lawannya sejak mereka mulai terlibat di dalam
pertempuran adalah, bahwa kaki Ki Argapati itu cacat dan timpang. Tetapi
ternyata bahwa ketika mereka terlibat langsung, kemampuan Ki Argapati telah
mengejutkan Putut Nantang Pati, sehingga perlahan-lahan Putut itu harus
mengakui, bahwa lawannya memiliki kemampuan yang tidak akan dapat diatasinya. Namun,
Putut Nantang Pati juga tidak yakin bahwa ia akan dapat dikalahkan. Meskipun Ki
Argapati memiliki ilmu yang dahsyat, namun kakinya itu telah menahannya untuk
berbuat terlampau banyak. Dan kelemahan kaki ini merupakan peluang yang mungkin
dapat dipergunakan oleh Putut Nantang Pati. Ki Argapati menyadari perhitungan
itu. Dan apalagi ketika kakinya merasa semakin lama semakin sakit. Gerakannya
mulai terganggu oleh perasaan pedih yang menyengat-nyengat, sehingga Ki
Argapati terpaksa memusatkan perlawanannya pada kecepatan ujung tombaknya saja.
Betapa pun Ki Argapati berusaha, namun lawannya yang memiliki kemampuan yang
hampir mengimbanginya itu pun merasa, bahwa ada perubahan padanya. Beberapa kali
Putut Nantang Pati meyakinkan, bahwa Ki Argapati tidak lagi mampu mempergunakan
kakinya dengan wajar. Sekali-sekali Putut itu menyerang dengan garangnya,
kemudian berkisar dengan cepat. Selangkah ia surut dengan menyilangkan senjata.
Tetapi Ki Argapati tidak meloncat menyerangnya. Kepala Tanah Perdikan Menoreh
itu hanya mencoba menjulurkan tombak pendeknya di sela-sela ayunan pedang Putut
yang besar. Tetapi dengan mencondongkan tubuhnya, Putut Nantang Pati dengan
mudah menghindarkan dirinya. Beberapa saat kemudian, setelah Putut Nantang Pati
itu yakin bahwa ada sesuatu yang tidak pada tempatnya tiba-tiba saja ia tertawa
berkepanjangan.
“Sayang,”
katanya,
“kedatanganmu
kali ini hanya sekedar mengantarkan nyawamu. Aku tahu bahwa yang bersenjata
tombak pendek dalam lambaran ilmu yang mapan ini adalah Kepala Tanah Perdikan
Menoreh yang tidak terkalahkan. Seseorang yang tidak saja mampu bertempur di
darat tetapi juga di lautan. Tetapi aku pun tahu, bahwa agaknya Kepala Tanah
Perdikan yang perkasa ini mengidap penyakit yang parah di kakinya.”
Mendengar
kata-kata itu, Ki Argapati menjadi tegang. Ia sadar, bahwa Putut Nantang Pati
telah mengetahui kelemahannya.
“Nah, Ki Gede
Menoreh,” berkata Putut Nantang Pati,
“jangan
menyesal bahwa kau sudah melibatkan diri dengan persoalan yang sebenarnya tidak
menjadi urusanmu.”
Ki Argapati
sama sekali tidak menjawab. Bahkan selagi Putut Nantang Pati berteriak sambil
tertawa berkepanjangan, Ki Argapati berdiri saja di tempatnya. Ia merasa
mendapat kesempatan untuk beristirahat sejenak. Sekali-sekali ia sempat memijit
kakinya yang terasa sakit.
“Ki Gede,”
berkata Putut Nantang Pati kemudian,
“cobalah
menyadari kesalahanmu sebelum kau mati. Kenapa kau bersedia membantu
orang-orang Mataram? Jika Mataram menjadi besar di bawah pimpinan Sutawijaya
itu, maka Menoreh akan tertutup sama sekali oleh kekuasaannya, sehingga Menoreh
tidak akan lebih besar dari sebuah pedukuhan yang tidak berarti. Jika Mataram
tidak sempat berdiri dan pemerintahan masih tetap berada di Pajang, Menoreh mendapat
kesempatan untuk mengembangkan dirinya menjadi sebuah Tanah Perdikan yang besar
dan luas.”
Ki Argapati
masih tetap berdiam diri. Ia merasa bahwa kakinya yang sempat beristirahat itu
menjadi agak baik. Karena itu ia mengharap agar Putut Nantang Pati itu
berbicara saja berkepanjangan. Tetapi ternyata bahwa Pandan Wangi yang
bertempur dengan tangkasnya itu pun mendengar kata-kata Putut Nantang Pati
tentang kaki ayahnya. Karena itu, maka ia pun menjadi berdebar-debar. Beberapa
saat ia terdesak oleh dua orang lawannya sekaligus. Namun kemudian ia menjadi
mapan kembali. Apalagi tiba-tiba saja Prastawa bagaikan seekor burung elang
menyambar dengan pedangnya, sehingga kedua orang lawan Pandan Wangi itu
terdesak surut.
“Prastawa,”
desis Pandan Wangi,
“jaga mereka
agar tidak mengganggu aku. Kau dengar bahwa ayah mulai disengat oleh rasa sakit
di kakinya?”
“Lepaskan
mereka,” berkata Prastawa yang kemudian bertempur dengan garangnya. Pedangnya
menyambar-nyambar seperti kuku-kuku yang tajam dari seekor burung elang raksasa
yang marah.
Di bagian lain
dari pertempuran itu, pasukan pengawal Menoreh mulai mendesak lawannya dengan
perlahan-lahan, berapa orang yang benar-benar terlatih berhasil bertahan dan
bahkan kemudian menunjukkan bahwa mereka pun memiliki pengalaman bertempur yang
dapat mengimbangi anak buah Putut Nantang Pati. Betapa pun kasarnya lawan
mereka, tetapi karena sebelumnya mereka telah mempersiapkan diri
sebaik-baiknya, maka para pengawal itu tidak terkejut dan menjadi bingung. Namun
dalam pada itu, Ki Argapati sendirilah yang tidak berhasil mempertahankan
desakan Putut Nantang Pati. Ketika Putut Nantang Pati selesai berbicara dan
tertawa, maka mulailah ia memusatkan serangan-serangannya.
“Sekarang
memang sudah waktunya kau menjalani hukuman atas kelancanganmu. Sebelum kau
mencapai batas pertahanan Panembahan Agung, kau akan mati lebih dahulu. Sayang,
kau tidak akan pernah melihat kesaktiannya yang tidak ada taranya. Jika kau
tidak mempercayainya, maka sepanjang hidupmu, kau tidak akan pernah melihat
buktinya.”
Ki Argapati
masih tetap berdiam diri. Tetapi tangannya rasa-rasanya menjadi semakin mantap
menggenggam tombaknya. Sejenak kemudian serangan Putut Nantang Pati itu pun
menjadi semakin dahsyat. Ia menyadari sepenuhnya, bahwa kelemahan Ki Argapati
ada pada kakinya. Itulah sebabnya maka ia berloncatan dengan lincahnya,
menyerang lawannya dari segala arah. Ternyata bahwa waktu yang hanya sejenak,
yang seakan-akan memberi kesempatan kepada kakinya yang sakit untuk
beristirahat, tidak berarti apa-apa sama sekali. Ketika ia mulai terlibat lagi
dalam pertempuran melawan Putut Nantang Pati, maka perlahan-lahan perasaan
sakitnya itu pun kambuh kembali. Pandan Wangi yang berhasil mendekati ayahnya
melihat kelemahan itu pula. Karena itu, maka ia pun segera menyerang Putut
Nantang Pati dengan pedang rangkapnya.
Putut Nantang
Pati terkejut sehingga ia melangkah surut. Namun ia pun tertawa sambil berkata,
“He, agaknya
kaulah yang bernama Pandan Wangi.”
“Wangi,” desis
Ki Argapati kemudian, “menyingkirlah.”
“Aku akan menyingkirkan
orang ini, Ayah.”
“Serahkan ia
kepadaku, Wangi.”
Pandan Wangi
yang menyadari keadaan ayahnya tidak segera meninggalkan Putut Nantang Pati. Ia
justru menyerangnya semakin garang sehingga untuk beberapa saat lamanya Putut
Nantang Pati harus berusaha menghindarkan serangan-serangan itu. Betapa pun
kemampuan Pandan Wangi yang berkembang dengan pesat, namun ia masih belum dapat
mengimbangi Putut yang garang itu. Karena itulah, maka dalam waktu yang singkat
Nantang Pati segera dapat menguasai keadaan. Namun dalam pada itu, Ki Argapati
telah menempatkan diri di dalam pertempuran melawan Putut itu pula, meskipun ia
hanya dapat mempergunakan tangannya, sehingga dengan demikian Putut Nantang
Pati harus bertempur melawan dua orang sekaligus. Tetapi karena kaki Ki
Argapati benar-benar tidak mampu lagi mengimbangi kemampuan ilmunya, maka
geraknya pun menjadi sangat terbatas. Dalam keadaan yang demikian itulah Ki
Argapati sempat menyebut kebesaran nama Tuhan. Ia memang yakin bahwa kemampuan
manusia sangat terbatas. Meskipun ia memiliki ilmu yang sempurna sekali pun,
namun dibatasi oleh kemampuan jasmaniahnya, maka ilmu itu seakan-akan tidak
banyak berguna lagi. Dan tidak seorang manusia pun yang dapat melawan susutnya
kemampuan jasmaniah apabila umurnya sudah mencapai batas. Semakin tua seseorang
memang akan menjadi semakin matang. Tetapi apabila kemampuan jasmaniah sudah
mulai susut, maka setiap orang harus mengakui pertanda ini. Dan terpujilah nama
Tuhan yang Adil dan Maha Kuasa, yang dengan pertanda alam menunjukkan Kuasa-Nya
yang tanpa batas.
Dan pertanda
itu kini terasa oleh Ki Argapati. Betapa pun ilmu yang selama ini disempurnakan
di dalam dirinya, namun ia tidak akan dapat melawan sakit di kakinya sendiri.
Dan Ki Argapati menerima keadaannya meskipun bukan berarti bahwa ia harus
berputus asa. Sementara itu Pandan Wangi lah yang mengambil alih
serangan-serangan beruntun. Namun serangan-serangannya tidak merupakan bahaya
yang sebenarnya bagi Putut Nantang Pati. Sekali-sekali ia menghindar, namun
kemudian dengan ragu-ragu ia mendesak gadis Menoreh itu.
“Pandan
Wangi,” berkata Putut Nantang Pati,
“sebenarnya
kau tidak pantas melawan aku. Aku ingin perang tanding di dalam arena ini
melawan Ki Argapati. Sebaiknya kau tidak usah mengganggu. Setelah aku selesai
dengan Ki Argapati, maka akan datang giliranmu. Tetapi aku tidak ingin membunuh
seorang gadis yang cantik seperti kau.”
Pandan Wangi
tidak menyahut, tetapi ia menyerang semakin garang.
Putut Nantang
Pati akhirnya menjadi marah juga kepada Pandan Wangi. Bahkan ia pun kemudian
ingin menyingkirkan gadis itu, atau menghentikan perlawanannya, meskipun ia
tidak ingin membunuhnya agar gadis itu tidak mengganggu perkelahiannya dengan
Ki Argapati. Karena itulah, maka Putut Nantang Pati ingin memisahkan Pandan
Wangi dari ayahnya. Selagi mereka masih tetap bertempur berpasangan, maka
Pandan Wangi yang masih belum memiliki ilmu setinggi ayahnya itu, seakan-akan
mampu mengisi kekurangan pada kaki Ki Argapati. Tetapi jika keduanya terpisah,
maka Putut Nantang Pati akan dapat mengalahkannya. Tetapi Pandan Wangi pun
mampu berpikir dengan baik. Setiap kali Putut Nantang Pati memancingnya, maka
Pandan Wangi sama sekali tidak menghiraukannya. Ia tetap berdiri saja di sisi
ayahnya dengan pedang rangkapnya. Dibiarkannya Putut Nantang Pati yang meloncat
menjauh yang seakan-akan membiarkan dirinya diserang oleh Pandan Wangi. Akhirnya
Putut Nantang Pati benar-benar menjadi marah. Karena itu ia tidak lagi
mengekang diri. Karena ia merasa tidak akan dapat lagi memisahkan gadis itu
dari ayahnya, tiba-tiba saja ia memberikan isyarat kepada anak buahnya, dan
berteriak,
“Pisahkan
gadis itu dari ayahnya.”
Beberapa orang
anak buahnya yang mendengar aba-aba itu pun segera mempersiapkan diri. Mereka
mencoba melepaskan lawan-lawannya dan beberapa orang berusaha mendekati Pandan
Wangi. Tetapi ternyata bahwa aba-aba itu merupakan aba-aba juga bagi para
pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan terutama bagi Prastawa. Itulah sebabnya,
maka mereka pun memusatkan perlawanan mereka agar anak buah Putut Nantang Pati
tidak sempat menyerang Pandan Wangi yang bertempur berpasangan dengan ayahnya
Ki Argapati yang tidak lagi memiliki kemampuannya yang utuh. Dengan demikian
pertempuran itu pun berkisar di seputar Ki Argapati, sehingga dengan demikian
maka ruang dari para pengawal di kedua belah pihak itu pun menjadi sangat
sempit. Namun demikian keadaan itu justru menjadi berbahaya bagi para pengawal
Tanah Perdikan Menoreh.
Dalam pada
itu, beberapa orang anak buah Putut Nantang Pati yang berada di belakang garis
pertempuran itu telah mempersiapkan diri mereka dengan kapak dan beberapa orang
yang lain dengan anak panah. Jika pertempuran di lembah itu bergeser karena
Daksina menarik diri, maka mereka harus menahan orang-orang Mataram dengan anak
panah mereka. Kemudian, membiarkan mereka lewat apabila kedua pasukan itu telah
terpisah, sementara itu orang-orang lain harus memotong tali-tali pengikat
batang-batang kayu dengan kapak. Sebenarnyalah banwa Daksina tidak berhasrat
untuk bertempur lebih lama lagi. Korban telah berjatuhan, dan tidak ada
kemungkinan sama sekali untuk bertahan. Karena itu, maka ia harus segera
menarik diri melalui lembah yang sempit. Jika sebagian pasukan Mataram itu
telah dibinasakan di lembah itu, maka sebagian yang lain akan dengan mudah
dikalahkan.
“Mudah-mudahan
Sutawijaya tetap hidup dan dapat kita tangkap hidup-hidup,” berkata Daksina di
dalam hatinya.
Daksina pun
akhirnya mengambil keputusan untuk dengan perlahan-lahan mundur. Pasukan
Mataram itu harus mengikutinya sampai mereka masuk ke dalam lembah yang sempit.
“Sutawijaya
tentu ada di ujung pasukannya,” berkata Daksina di dalam hatinya.
“Jika
pokok-pokok kayu dan batu-batu itu menimpa bagian tengah dan ekor pasukan
Mataram, maka yang tersisa adalah bagian ujungnya bersama Sutawijaya.”
Seperti yang
sudah dijanjikan, jika Daksina mulai menarik diri, maka ia akan memberikan
isyarat kepada Putut Nantang Pati, karena Putut itu pun harus menarik diri pula
setelah orang-orangnya selesai dengan tugasnya, meruntuhkan tebing dengan
pokok-pokok kayu dan batu-batu padas. Orang-orang yang semula menunggui
tali-temali dan mereka yang menyandang anak panah akan dapat membantunya
menahan pasukan Ki Argapati. Apabila Ki Argapati mengejarnya terus, selewat
lembah yang sempit, maka pasukan Daksina yang sudah kehilangan lawan itu akan
membantunya menghancurkan pasukan Menoreh itu. Sejenak kemudian maka terdengar
suara tanda di lembah. Seseorang yang membawa kentongan kecil telah memukulnya
dengan irama titir. Selain isyarat kepada Putut Nantang Pati, maka suara titir
dari sebuah kentongan kecil itu pun merupakan perintah bagi setiap orang untuk
bersiap di tugasnya masing-masing. Mereka yang berada di sebelah-menyebelah
tebing harus siap dengan kapak-kapak dan busur mereka. Sedang pasukan yang ada
di lembah itu harus menarik diri dengan hati-hati melalui jalan yang sudah
ditentukan. Dan Putut Nantang Pati pun harus menyesuaikan dirinya. Ketika
isyarat itu berbunyi, maka pasukan Daksina pun mulai mengatur diri. Sambil
melakukan perlawanan sejauh dapat mereka berikan, mereka pun mulai menarik
dari. Ternyata Sutawijaya dan orang-orang terpenting di dalam pasukannya tidak
dapat menerobos garis pertahanan yang sengaja dibuat oleh pasukan yang sedang
menarik diri itu, karena Daksina adalah seorang yang memiliki ilmu melampaui
siapa saja di dalam pasukan Mataram. Kelompok-kelompok di dalam pasukan
pengawal Mataram tidak banyak berarti, karena Daksina pun telah menyusun
kekuatan serupa. Karena itu yang dapat dilakukan oleh Sutawijaya adalah
mendesak lawannya dan menjatuhkan korban sebanyak-banyaknya, meskipun hal itu
pun terlampau sulit dilakukan. Apalagi ketika lembah semakin lama rasa-rasanya
menjadi semakin sempit. Sejenak Sutawijaya memandang tebing dihadapannya.
Rasa-rasanya tebing itu akan bertemu diujung lembah. Namun sebenarnyalah bahwa
di antara kedua tebing itu terdapat sebuah lembah yang sempit. Dan di
sebelah-menyebelah itulah beberapa orang lawan telah siap menunggu untuk
menjebaknya.
Dalam pada
itu, Putut Nantang Pati pun terpengaruh pula oleh suara isyarat itu. Meskipun
pasukannya tidak akan dengan mudah didesak oleh pasukan Menoreh, apalagi
setelah kelemahan kaki Ki Argapati menjadi semakin parah, namun ia harus
menyesuaikan diri dengan seluruh gerakan dari pasukannya. Karena itulah, maka
pasukan Putut Nantang Pati itu pum kemudian mulai mengundurkan diri
perlahan-lahan. Mereka tidak boleh melampaui anak buahnya yang akan menimbuni
lembah dengan pokok-pokok kayu dan batu-batu, karena pasukannya harus
melindungi mereka agar mereka dapat melakukan tugasnya dengan baik. Ketika
pasukan lawan itu menarik diri, maka Ki Argapati yang merasa dirinya terhimpit
oleh kesulitan di kakinya itu menarik nafas dalam-dalam. Namun ia sadar bahwa
yang terjadi itu sebenarnya baru permulaan saja dari pekerjaan mereka yang
sulit. Meskipun demikian, bahwa pasukannya berhasil melampaui babak pertama
dari keseluruhan perjuangan ini, membuatnya cukup berbesar hati.
“Ayah, isyarat
itu meragukan,” desis Pandan Wangi kepada ayahnya ketika ia menolongnya maju
mendekati pasukan lawan yang menarik diri.
“Ya, memang
menimbulkan kecurigaan. Tetapi berhati-hatilah. Tahan agar Prastawa tidak
mendesak pasukan lawan terlampau maju. Bahwa mereka mengundurkan itu perlu
diperhitungkan.”
“Mungkin
pasukan Raden Sutawijaya berhasil mendesak lawannya.”
“Mungkin. Dan
kemungkinan yang lain pun dapat terjadi.”
Pandan Wangi
menyadarinya. Karena itu, maka ia pun kemudian minta agar Prastawa
mengendalikan pasukannya untuk tidak mendesak lawan terlampau rapat. Selain
isyarat yang didengarnya itu dianggap meragukan, juga karena di antara mereka
masih ada Putut Nantang Pati.
“Apakah kita
biarkan mereka terlepas dari tangan kita?”
“Apa boleh
buat. Kekuatan kita tidak cukup untuk menahan mereka. Jika kita memaksa diri,
korban akan semakin banyak berjatuhan. Apalagi Ayah agaknya telah terganggu
oleh perasaan sakit di kakinya.”
Putut Nantang
Pati pun menyadari, bahwa lawannya yang terbatas itu tidak mendesaknya. Karena
itulah maka ia merasa mempunyai peluang yang cukup untuk mengatur
orang-orangnya yang akan memotong tali dan mengubur pasukan Mataram yang sedang
ada di lembah. Karena itu, maka Putut Nantang Pati pun tidak jadi terlampau
tergesa-gesa. Ia sendiri kemudian meninggalkan pasukannya yang baru mundur
setelah ia yakin bahwa Ki Argapati dan anaknya tidak mengejarnya terus.
“Kalian
bertahan di sini,” perintahnya kepada anak buahnya,
“jika pasukan
Menoreh itu mendesakmu, kalian mundur saja perlahan-lahan. Sementara itu kita
akan selesai dengan tugas yang harus diperhitungkan dengan tepat itu, jika kita
terlalu cepat memotong tali, maka justru pasukan kitalah yang akan terkubur di
lembah.”
Anak buah
Putut itu pun mengerti, bahwa sebenarnyalah yang dikerjakan oleh orang-orang
yang memegang kapak itu harus tepat. Karena itulah maka mereka pun menyadari,
bahwa mereka harus melindunginya baik-baik. Tetapi karena pasukan Menoreh yang
seakan-akan kehilangan senopatinya itu tidak mengejarnya, maka mereka pun tidak
harus berjuang mati-matian. Namun di dalam kesempatan itu mereka sempat
menghitung kawan-kawannya yang menjadi korban dan terluka.
Dalam pada
itu, Putut Nantang Pati sendiri sudah berada di antara mereka yang berada di
lereng tebing di atas lembah yang sempit itu. Sambil berlindung di balik
pepohonan Putut Nantang Pati memperhatikan setiap gerakan yang ada di lembah.
“Itulah mereka,”
desisnya,
“pasukan
Daksina sudah mendekati lembah.”
Anak buahnya
menjadi tegang.
“Biarlah
mereka lewat. Mereka harus mundur sambil mempertahankan diri. Jika ujung
pasukan Mataram sudah masuk, maka kalian harus melemparkan anak-anak panah
sehingga pasukan yang mendesak itu tertahan sejenak di lembah. Biar sajalah
jika sebagian ujung pasukan Mataram itu lolos termasuk Sutawijaya. Kekuatan
mereka tidak akan berarti apa-apa, meskipun ditambah dengan orang-orang Menoreh
yang dipimpin oleh Argapati sendiri itu.”
Anak buahnya
tidak menjawab. Tetapi ketegangan telah mulai merayapi dadanya.
“Jika kalian
mulai melepaskan anak panah, kalian harus memperhitungkan, apakah orang-orang
kita di tebing sebelah juga melakukannya. Jika tidak, maka kita harus memberikan
isyarat. Mungkin mereka tidak memperhatikan yang tepat atau barangkali mereka
sedang lengah.”
Demikianlah
setiap saat rasa-rasanya dada mereka semakin bergetar. Sebentar lagi mereka
akan membuat sebuah kuburan raksasa di lembah ini. Mereka tidak akan sempat
lari kemana pun, karena pokok kayu dan bebatuan itu yang pertama-tama akan
runtuh adalah bagian ujung dan pangkal dari lembah yang sempit itu dari kedua
belah pihak tebing di sebelah-menyebelah.
Dalam pada itu
Daksina berhasil menarik pasukannya seperti yang direncanakan. Ia sendiri
bertahan pada bagian terakhir dari pasukannya yang bergerak mundur bersama
beberapa orang yang memang sudah ditentukan. Orang-yang memiliki kemampuan
melampaui orang-orang lain sehingga mereka berhasil melawan Raden Sutawijaya
dan para pemimpin dari Mataram yang lain.
Ketika pasukan
mereka mendekati mulut lembah yang sempit, Sutawijaya sudah mulai diragukan
oleh gerakan lawannya. Tetapi ia tidak mengetahui, apakah yang akan terjadi di
lembah yang sempit itu.
Namun
Sutawijaya tidak mempunyai banyak kesempatan untuk memperhitungkan keadaannya.
Ia merasa bahwa pasukannya akan mampu menghancurkan lawannya apabila ada
kesempatan. Kemungkinan yang terkilas di dalam hatinya adalah bahwa Daksina
ingin bertahan di mulut lembah yang sempit agar pasukannya tidak terjebak dalam
kepungan.
“Kita akan
memanjat tebing meskipun agak curam,” desis Sutawijaya di dalam hatinya, karena
menurut perhitungannya, tebing itu masih dapat dipanjat.
Daksina yang
membawa pasukannya mundur itu pun menjadi berdebar-debar. Jika orang-orang di
atas tebing itu salah membuat perhitungan, maka rencana itu akan gagal.
Beberapa potong kayu yang membujur tidak akan dapat berguling dengan cepat.
Mungkin beberapa bongkah batu yang sudah dipersiapkan, dengan satu dorongan
akan dapat berguling dengan cepat dan meruntuhkan batu-batu padas dan mendorong
pokok-pokok kayu untuk meluncur semakin cepat di atas batu-batu di tebing.
Pohon-pohon perdu yang tumbuh di lereng itu tentu tidak akan dapat menahan
meluncurnya kayu dan batu. Perlahan-lahan Daksina pun kemudian memasuki lembah
yang sempit. Sebagian dari pasukannya sudah mendahuluinya. Sedang Daksina
sendiri bersama orang terpilih masih bertahan beberapa saat di mulut lembah
itu. Pada saat itulah, maka Putut Nantang Pati yang memperhatikan perkelahian
itu dari atas tebing sambil berlindung di balik pepohonan mulai memperhatikan
keadaan. Dengan tegang ia mengikuti setiap gerakan yang dilakukan oleh Daksina.
Selangkah demi selangkah Daksina dan beberapa orang terpilih itu mundur masuk
ke dalam lembah sempit itu.
“Pisahkan
pasukan Mataram itu dengan Daksina.”
“Perkelahian
itu masih terjadi.”
“Jangan pada
garis pertempuran. Biar saja Sutawijaya dan orang pentingnya mendesak. Tetapi
pasukannya harus kalian hentikan agar ada sedikit jarak. Apabila mereka maju
lagi dan pangkal pasukannya itu sudah berada di ujung lembah, maka tali yang
pertama harus dipotong. Kayu yang besar dan melintang itu akan menggelinding,
disusul oleh tali-tali yang lain dan batu-batu yang harus didorong.”
Pembantu Putut
Nantang Pati itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Siapkan
orang-orangmu yang membawa panah,” desis Putut Nantang Pati.
Ketika
Sutawijaya mendesak lebih jauh, sehingga sebagian besar dari pasukannya sudah
berada di lembah yang sempit, Putut Nantang Pati pun menjatuhkan perintah, dan
meluncurlah anak panah dari tebing itu. Serangan itu mengejutkan anak buah
Sutawijaya. Tetapi segera mereka menyesuaikan diri. Yang berperisai segera
melindungi bukan saja dirinya sendiri, tetapi para pengawal di sebelah-menyebelahnya.
Sedang yang tidak berperisai berusaha menangkis anak panah itu dengan senjata
yang ada pada mereka. Dengan demikian maka kemajuan pasukan Mataram itu mulai
terhambat. Beberapa orang yang lengah, tersentuh oleh ujung anak panah sehingga
kulit mereka pun terluka.
Namun agaknya
orang-orang yang berdiri di atas tebing itu tidak berani meluncurkan anak
panahnya pada pasukan pengawal Mataram yang justru sedang bertempur. Karena
dengan demikian anak panah itu akan dapat mengenai kawan mereka sendiri.
Para pengawal
Mataram itu pun kemudian menjadi marah kepada orang-orang di tebing. Beberapa
orang dari mereka yang membawa busur dan anak panah, segera mendapat
perlindungan dari kawan-kawannya yang berperisai, dan melontarkan serangan
balasan dengan anak panah pula. Serangan balasan itu berhasil mengurangi deras
anak panah lawannya, karena orang-orang yang berdiri di tebing itu pun harus
menyerang sambil berlindung pula. Tetapi yang penting bagi Putut Nantang Pati
adalah, bahwa orang-orangnya berhasil mengurangi laju desakan para pengawal
Mataram. Bahkan dengan serangan itu mereka telah berhasil memisahkan bagian
dari pasukan Mataram itu dengan pemimpin-pemimpinnya yang masih saja mendesak
sambil bertempur.
“Apakah kita
meluncurkan pokok-pokok kayu dan batu sekarang?” bertanya salah seorang anak
buah Putut Nantang Pati.
“Biarlah
mereka masuk ke dalam lembah seluruhnya,” jawab Putut Nantang Pati.
Namun
demikian, agaknya ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Ternyata anak buahnya
yang ada di tebing seberang tidak melemparkan anak panah mereka ke dalam lembah
itu seperti yang diharapkan.
“Kenapa hanya
satu dua orang saja yang meluncurkan anak panah dari tebing seberang?” bertanya
Putut Nantang Pati.
Orang yang
ditanya itu menggelengkan kepalanya. Katanya,
“Aku tidak
tahu. Seharusnya mereka dapat meluncurkan anak panah lebih banyak lagi.”
Putut Nantang
Pati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Mungkin
mereka merasa bahwa kita sudah cukup banyak melemparkan anak panah dan berhasil
memisahkan ujung dan tubuh pasukan pengawal yang harus menyusuri jalan sempit
dan agak sulit itu, sehingga sebagian dari mereka menyiapkan diri untuk
memotong kayu melemparkan batu-batu padas itu.”
“Mungkin,
memang mungkin sekali,” jawab yang diajak berbicara.
Putut Nantang
Pati pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia bahkan kemudian yakin bahwa memang
demikianlah yang terjadi. Tali temali dan batu-batu itu sebaiknya memang harus
diluncurkan serentak. Yang lebih cepat akan menimpa orang-orang Mataram itu
adalah bebatuan. Baru kemudian pokok-pokok kayu yang malang melintang sehingga
mereka tidak akan sempat melarikan diri kemana pun juga.
Sementara itu,
pasukan pengawal Menoreh yang ada di atas tebing, terkejut pula melihat anak
panah yang meluncur ke lembah memotong pasukan pengawal dari Mataram. Karena
itu, maka Ki Argapati yang terganggu oleh kakinya itu pun menjadi tegang.
“Ayah,”
berkata Pandan Wangi, “bagaimana dengan penyerang-penyerang itu?”
Ki Argapati
termenung sejenak. Ia sadar, bahwa orang-orang yang bersenjata panah itu ada di
belakang pasukan Putut Nantang Pati yang mengundurkan diri. Pasukan kecil itu
tentu akan menutup jalan apabila pengawal Menoreh berusaha menghentikan
serangan anak panah itu.
“Ayah, kita
tidak akan dapat tinggal diam.”
“Ya. Kita
tidak akan dapat tinggal diam,” sahut Prastawa.
“Benar. Tetapi
kita harus menemukan jalan untuk menghentikannya. Adalah terlalu sulit untuk
menembus orang-orang yang menahan kita di sini. Pimpinannya adalah orang yang
cukup tangguh. Jika kita tidak berhati-hati, kita akan dapat terjerat pula
karenanya.”
Prastawa
termangu-mangu sejenak. Tatapan matanya merayap memanjat tebing. Tetapi tebing
itu semakin tinggi menjadi semakin curam. Bahkan seakan-akan batu-batu padas di
atas mereka merupakan sebuah dinding yang tegak.
“Kita tidak
dapat menyerang dari tempat yang lebih tinggi,” berkata Prastawa.
“Ya,” desis
Pandan Wangi, lalu,
“bagaimana
kalau kita maju terus, Ayah? Setidak-tidaknya kita dapat memecah perhatian
mereka jika terjadi pertempuran.”
“Tetapi orang
yang memimpin perlawanan itu berbahaya bagimu, Pandan Wangi.”
Pandan Wangi
menjadi termangu-mangu. Tetapi ia tidak dapat membiarkan hal itu terjadi. Tiba-tiba
saja Prastawa yang melihat anak panah meluncur ke lembah itu berkata mengejut,
“Aku tahu.
Kita menyerang mereka dari tempat ini.”
“Maksudmu?”
“Kita mendekat
sedikit. Kita menyerang mereka dengan anak panah pula. Yang ada pada kita saja,
sekedar untuk mengurangi tekanan atas para pengawal Mataram itu.”
Pandan Wangi
berpikir sejenak, lalu,
“Tidak banyak
gunanya. Tetapi ada baiknya juga.”
“Cobalah,”
berkata Ki Argapati.
Prastawa pun
segera menyiapkan beberapa orang yang membawa busur dan anak panah. Kemudian
mereka melontarkan anak panah mereka melampaui para pengawal Padepokan Putut
Nantang Pati yang melindungi orang-orangnya yang sudah siap dengan kapak.
Namun
sementara itu, pasukan Sutawijaya sudah semakin dalam masuk kelembah yang
sempit itu. Ternyata pengaruh anak panah yang dilontarkan oleh pengawal Menoreh
tidak begitu terasa pengaruhnya oleh Putut Nantang Pati yang sudah siap
menjatuhkan perintah memotong tali-tali pengikat kayu dan bebatuan. Dalam pada
itu, Sutawijaya yang tidak menduga sama sekali bahwa di atas tebing
sebelah-menyebelah telah disiapkan batang-batang kayu dan bebatuan untuk
mengubur pasukannya, masih selalu mendesak. Sutawijaya pun tahu bahwa sebagian
pasukannya di bagian belakang telah tertahan. Tetapi ia tidak mau melepaskan
Daksina, sehingga ia berusaha untuk mendesak terus. Menurut perhitungannya,
jika mereka sudah lewat leher lembah yang sempit itu, maka ia akan mendapat
kesempatan untuk bertempur bersama anak buahnya lagi seperti yang sudah
terjadi. Selagi Sutawijaya dan para pemimpin pasukan pengawal Mataram berhasil
mendesak lawannya terus, maka bagian dari pasukannya yang ada di belakang benar-benar
tertahan oleh anak panah yang meluncur dari tebing sebelah-menyebelah. Tetapi
yang dari arah pasukan yang di pimpin oleh Argapati lah serangan itu datang
jauh lebih banyak. Dari tebing sebelah hanya ada beberapa anak panah sajalah
yang meluncur, dan itu pun hampir tidak menyentuh sasaran sama sekali. Namun
pasukan pengawal dari Mataram itu pun sama sekali tidak menduga bahwa ditebing
itu pun pokok-pokok kayu dan bebatuan siap untuk meluncur menimpa tubuh mereka
sampai hancur. Ketika pasukan Mataram itu seluruhnya sudah masuk ke dalam
lembah yang sempit itu, maka Putut Nantang Pati mulai mengangkat tangannya
tanpa menghiraukan serangan anak panah dari anak buah Argapati. Meskipun anak
panah itu akhirnya terasa mengganggu juga. Berbareng dengan itu, orang-orangnya
pun mulai mengangkat kapaknya pula, siap untuk memotong tali-temali.
“Bunyikan
tanda itu, kita akan memotong tali. Mereka seluruhnya sudah masuk,” teriak
Putut Nantang Pati.
Sejenak
kemudian maka terdengar suara kentongan yang berteriak lima ganda. Suatu
pertanda bahwa mereka, harus mulai memotong tali-tali. Sesaat kemudian tangan
Putut Nantang Pati itu pun terayun turun, sehingga beberapa orang yang
memperhatikan tangan itu pun mengayunkan kapak mereka pula memotong tali-temali
yang mengikat batang-batang kayu yang siap meluncur. Yang lain mendorong
batu-batu padas sehingga batu-batu itu mulai bergeser setapak demi setapak dan
ketika batu itu sudah sampai di bibir tebing, maka dengan suara gemuruh
batu-batu itu berguling turun.
Namun pada
saat yang bersamaan, terdengar suara cambuk meledak. Sesaat kemudian terdengar
beberapa orang berteriak berbareng seperti diatur,
“Naik ke
tebing kiri. Cepat sebelum kalian terkubur di lembah.”
Sekali dua
kali suara itu tidak segera dimengerti. Tetapi kemudian mereka pun mendengar
suara gemuruh di tebing sebelah kanan. Beberapa pohon perdu di atas tebing itu
tampak terguncang, dan debu berhamburan. Dalam waktu yang singkat mereka
menyadari apa yang sedang mereka hadapi. Tebing yang tinggi itu bagaikan runtuh
menimpa mereka dan mengubur mereka di lembah yang sempit itu. Tetapi dalam
kecemasan itu mereka mendengar suara itu lagi,
“Cepat naik ke
tebing kiri.”
Suara cambuk
itu agaknya menjadi jaminan, bahwa yang berteriak itu bukannya sekedar
orang-orang yang dengan sengaja menjebak mereka, tetapi suara itu pasti datang
dari Kiai Gringsing atau murid-muridnya. Karena itu, maka mereka pun tidak
berpikir panjang lagi. Selagi batu dan batang-batang kayu itu belum menimpa
kepala mereka, maka mereka pun segera berloncatan memanjat tebing sebelah kiri
secepat dapat mereka lakukan. Bukan saja orang-orang yang terpisah di belakang,
tetapi juga orang-orang yang sedang bertempur di bagian depan, sehingga dengan
demikian, maka seakan-akan Daksina telah ditinggalkan begitu saja oleh
lawan-lawannya. Bagi pengawal Mataram, memang lebih baik bertempur melawan
Daksina dan Panembahan Agung sekali pun daripada harus bertempur melawan
tebing-tebing yang runtuh. Daksina sejenak tercenung mendengar suara yang
bergemuruh itu. Tetapi ia pun segera terkejut ketika mendengar teriakan dari
tebing sebelah dengan pertanda ledakan cambuk, bahwa orang-orang Mataram itu
supaya memanjat saja ke tebing kiri.
“Apakah
sebenarnya yang sudah terjadi?” ia bertanya kepada diri sendiri.
Tetapi yang
terjadi adalah sedemikian cepatnya. Begitu orang-orang Mataram itu mulai naik,
maka batu-batu pun runtuh bersama batang-batang kayu. Bukan saja yang memang
sudah dipersiapkan, tetapi batu-batu tebing yang tertimpa pun ikut runtuh pula.
Satu dua orang yang tidak sempat meloncat naik, hampir saja ditimpa oleh
reruntuhan itu jika kawan-kawannya tidak cepat menyambar tangannya dan
menyeretnya naik meskipun hanya selangkah dua langkah. Namun reruntuhan itu
bukannya tidak menelan korban. Dan itulah yang membakar hati Sutawijaya dan
para pemimpin pasukan dari Mataram. Sutawijaya yang pula memanjat tebing, dapat
menyaksikan dengan mata kepalanya bahwa ada di antara anak buahnya yang dengan
teriakan nyaring ditelan oleh gumpalan batu padas. Tetapi bahwa reruntuhan itu
hanya datang dari tebing yang sebelah, telah mengejutkan Daksina dan anak
buahnya. Juga Putut Nantang Pati yang berdiri di tebing. Ia tidak segera
mengerti, apakah yang sebenarnya telah terjadi. Usaha yang sudah dipersiapkan
dengan sebaik-baiknya itu, ternyata tidak berhasil memusnakan sebagian besar
prajurit Mataram. Bahwa ada juga korban di antara mereka, namun sama sekali
tidak berarti. Kekuatan pasukan pengawal Mataram hampir tidak berkurang sama
sekali. Kekuatan mereka ternyata masih tetap utuh. Tetapi meskipun Daksina
dicengkam oleh keheranan atas anak buahnya di tebing sebelah, bahkan dari
tebing itu terdengar suara cambuk dan isyarat agar orang-orang Mataram naik ke
tebing sebelah kiri, namun ia tetap melaksanakan rencananya. Mundur ke belakang
leher lembah yang sempit. Pasukan Mataram yang kemudian bertengger di lereng
tebing tidak banyak dapat berbuat. Lembah itu masih di saput oleh debu yang
tebal, dan sekali-sekali masih terdengar batu dan pokok-pokok kayu yang runtuh.
Ketika suara yang gemuruh di lembah itu sudah tenang, maka debu pun semakin
lama menjadi semakin tipis. Orang-orang Mataram mulai dapat melihat, apa yang
kini ada di lembah itu.
“Mengerikan
sekali,” desis Ki Lurah Branjangan.
Sutawijaya
memandang pokok-pokok kayu yang malang melintang dan batu-batu padas yang
menimbuni lembah sempit itu dengan sorot mata yang memancarkan kemarahan tiada
terhingga. Dengan suara gemetar ia berkata,
“Hampir saja
kalian berkubur di lembah itu. Mungkin aku yang berada di garis pertempuran
tidak akan tertimbun karena mereka tidak ingin menimbun orang-orang mereka
sendiri. Tetapi sebagian besar dari kita tidak akan sempat dapat keluar dari
lembah ini.”
Ki Lurah
Branjangan mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika ia mengedarkan tatapan
matanya memandang para pengawal Mataram yang masih di tebing, tampaklah wajah
mereka yang pucat dan perasaan yang bergejolak, betapa pun keberanian mendasari
perjuangan mereka, tetapi yang disaksikannya adalah peristiwa yang mengerikan
sekali. Dan mereka pun menyadari bahwa mereka tidak akan mungkin berperang
melawan pokok-pokok kayu dan bebatuan yang runtuh itu. Sehingga dengan demikian
maka sebagian dari mereka akan musnah di bawah reruntuhan itu.
Di atas
tebing, Ki Argapati dan anak buahnya menjadi termenung pula beberapa lamanya.
Mereka melihat tebing yang bagaikan disapu oleh arus banjir bandang. Pohon
perdu dan gerumbul-gerumbul di tebing telah larut oleh arus pokok-pokok kayu
dan batu-batu padas yang sengaja digulingkan oleh orang-orang Putut Nantang
Pati. Demikian dahsyatnya reruntuhan di tebing itu, sehingga segenap perhatian
seluruh pasukan Ki Argapati tertumpah pada debu putih dan suara gemuruh. Dengan
demikian mereka tidak sempat memperhatikan, bahwa Putut Nantang Pati dan anak
buahnya pun telah menarik diri pula.
“Apakah kita akan
turun?” bertanya Pandan Wangi.
“Ya,” jawab
ayahnya,
“kita mencari
jalan. Kita harus menemui Raden Sutawijaya.”
“Kita
melingkari daerah yang runtuh itu,” berkata Prastawa.
“Tetapi
bagaimana dengan kaki Ayah?”
“Kita turun
perlahan-lahan,” jawab ayahnya.
Dengan dibantu
oleh Pandan Wangi dan Prastawa maka Ki Argapati pun kemudian melingkari daerah
yang runtuh itu turun ke lembah. Meskipun agak sulit, tetapi akhirnya ia sampai
juga ke lembah yang sempit yang sudah ditimbuni oleh pokok-pokok kayu dan batu.
Sutawijaya yang melihat Ki Argapati itu pun turun pula. Dengan wajah yang
tegang ia memandang reruntuhan itu sambil berdesis,
“Lembah ini
ternyata telah menjadi kuburan beberapa orang anak buahku.”
“O,” Ki
Argapati mengangguk perlahan,
“rasa-rasanya
bukit ini akan runtuh. Aku tidak menyangka sama sekali bahwa mereka telah
menyiapkan jebakan. Aku kira mereka hanya akan menyerang dengan anak panah dari
atas tebing, sehingga yang kami lakukan pun tidak berhasil mencegah tebing ini
runtuh.”
Raden
Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
“Kita memang
tidak menyangka. Tetapi kita masih dilindungi oleh Maha Pencipta. Agaknya Kiai
Gringsing menemukan cara untuk menyelamatkan kita.”
Ki Argapati
mengangguk-angguk pula. Ketika ia memandang ke atas tebing, maka dilihatnya
Kiai Gringsing dan beberapa orang anak buahnya bersama Agung Sedayu dan
Swandaru menuruni tebing.
“Terima kasih
atas peringatan yang Kiai berikan kepada kami sehingga kami sempat
menghindarkan diri,” berkata Sutawijaya kepada Kiai Gringsing ketika orang tua
itu telah berada di lembah itu pula.
“Tetapi lembah
ini masih tetap berbahaya. Beberapa orang pengawal dari Menoreh tetap berada di
atas tebing untuk mengawal daerah ini dan beberapa orang tawanan.”
“Maksud Kiai?”
“Bukankah
Daksina menyiapkan orang-orangnya di sebelah-menyebelah tebing?”
“Ya. Kami
mendapat serangan anak panah dari kedua tebing”
“Kamilah yang
melemparkan anak panah itu agar Daksina dan orang-orangnya, apalagi yang
ditebing seberang tidak curiga bahwa kami telah berhasil menguasai orang-orangnya.
Meskipun anak panah kami tidak mengenai sasaran, tetapi mereka menganggap bahwa
anak buah mereka masih tetap ada di tempatnya.”
Sutawijaya dan
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka mulai mengerti, apa yang
sudah dikerjakan oleh Kiai Gringsing. Namun mereka menjadi tegang karena Kiai
Gringsing berkata kemudian,
“Sebaiknya
kita meninggalkan lembah ini. Aku ingin meruntuhkan batu-batu padas dan
batang-batang kayu yang ada di tebing kiri.”
Halaman 1 2 3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar