“Jadi ditebing itu juga ada batang-batang kayu dan batu-batu yang siap mereka luncurkan?”
“Ya. Jika
rencana mereka berhasil, maka pasukan Mataram tidak akan dapat berbuat apa-apa.
Dari dua tebing sebelah-menyebelah, batang-batang kayu dan batu-batu meluncur
menimbuni lembah itu bersama seluruh pasukan pengawal dari Mataram. Dan
tamatlah usaha kita untuk membebaskan Rudita.”
Sutawijaya
menarik nafas dalam-dalam. Dengan dada yang berdebar-debar ia memandang ke
tebing di sebelah kiri. Tidak tampak sesuatu yang dapat memberikan kesan, bahwa
di tebing itu masih bergayutan nafas-nafas maut yang sudah siap menerkam
mereka.
“Marilah,”
berkata Sutawijaya kemudian,
“kita berjalan
maju. Meskipun dengan demikian kita sudah terpisah dari Daksina dan anak
buahnya, namun kita akan dapat menyelusur jejaknya. Kita akan menemukan
persembunyiannya, dan barangkali juga Rudita.”
“Baiklah,”
berkata Kiai Gringsing,
“tetapi kita
sekarang mempunyai beban beberapa orang tawanan. Beberapa orang yang lain
terpaksa dimusnahkan, karena mereka melawan dan berusaha memberikan isyarat.
Namun selain itu, aku berpendapat, bahwa batu dan batang-batang kayu itu
sebaiknya diruntuhkan saja sama sekali agar tidak berbahaya bagi siapa pun juga
kelak. Karena tali-tali itu semakin lama akan menjadi semakin rapuh, sehingga
pada suatu ketika akan putus dengan sendirinya. Apabila pada saat itu ada orang
di lembah ini, siapa pun juga, maka batu dan kayu itu akan berbahaya bagi
mereka.”
Sutawijaya
mengangguk-angguk. Katanya,
“Baiklah Kiai.
Marilah kita menyingkir. Biarlah batu dan kayu-kayu itu diruntuhkan sama
sekali.”
Maka mereka
pun segera menyingkir. Beberapa orang kemudian memotong tali temali yang
mengikat batang-batang kayu dan mendorong batu-batu yang memang sudah
dipersiapkan. Tebing pegunungan itu bagaikan diguncang oleh gempa. Sekali lagi
debu mengepul di udara. Dan batu-batu padas pun hanyut menimbuni lembah yang
sempit itu.
Sutawijaya
adalah seorang anak muda yang hampir tidak mengenal takut. Tetapi ketika ia
melihat batang-batang kayu dan batu-batu padas yang tertimbun itu, rasa-rasanya
ia menjadi terlampau kecil. Terasa betapa perkasanya alam, dan siapa yang
berhasil menjinakkannya dan mempergunakannya, maka ia akan mendapat kekuatan
yang tidak terlawan. Bukan saja pasukan berkuda dari Mataram yang terpilih,
tetapi pasukan yang mana pun juga dari permukaan bumi ini, tidak akan mampu
melawan batu-batu padas dan batang-batang kayu yang meluncur itu selain
keajaiban.
“Kita perlu
beristirahat,” berkata Sutawijaya setelah getar di dadanya,
“terutama
agaknya Ki Gede Menoreh mulai diganggu oleh perasaan sakit di kakinya.”
Ki Argapati
menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat ingkar lagi.
“Baiklah,”
katanya,
“kakiku memang
mulai mengganggu.”
Kiai Gringsing
pun kemudian mendekatinya. Perlahan-lahan dirabanya kakinya, dan katanya,
“Ya. Kita
memang perlu beristirahat.”
Untuk beberapa
lamanya pasukan yang kemudian telah bergabung kembali itu pun beristirahat.
Dalam kesempatan itu Kiai Gringsing mencoba mengurangi perasaan sakit pada kaki
Ki Argapati dengan memberikan sejenis serbuk yang harus dicairkannya lebih
dahulu. Dengan air persediaan untuk minum yang dibawa oleh para pengawal yang
bertugas untuk menyiapkan perbekalan, maka serbuk itu pun kemudian diaduk di
dalam air dari digosokkan pada kaki yang sakit itu. Terasa kaki itu menjadi
panas. Namun kemudian perasaan sakit itu pun menjadi semakin berkurang,
meskipun hanya untuk sementara.
“Kita masih
harus menempuh jalan yang panjang,” berkata Sutawijaya kemudian.
“Ya. Kita akan
menghadapi garis pertahanan yang tentu akan disusun oleh Daksina.”
“Ya, dan
tetindih pasukan kecil yang menghentikan pasukan kami,” sahut Ki Gede Menoreh,
“ternyata
adalah orang yang memiliki kemampuan yang cukup tinggi. Aku tidak dapat
mengalahkannya.”
Mereka yang
mendengar keterangan itu terkejut. Namun Pandan Wangi menjelaskan,
“Tetapi Ayah
tidak saja melawan orang itu, tetapi Ayah juga harus melawan perasaan sakit di
kakinya.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Tetapi
sebenarnyalah orang itu memiliki ilmu yang tinggi,” sahut Ki Argapati,
“agaknya ia
lebih baik atau setidak-tidaknya mempunyai ilmu yang setingkat dengan Daksina.”
“Ya,” sambung
Pandan Wangi.
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Yang dihadapi agaknya benar-benar suatu
gerombolan yang sudah dipersiapkan.
Dalam pada
itu, Ki Waskita dan Ki Sumangkar yang sedang menempuh perjalanan yang berat di
lereng tebing-tebing yang terjal, tiba-tiba terhenti. Agaknya ada sesuatu yang
mengganggu perasaan Ki Waskita sehingga untuk beberapa saat ia berdiri sambil
memejamkan matanya. Ki Sumangkar yang mengerti bahwa Ki Waskita sedang mencoba
menghubungkan getaran di dalam dirinya dengan alam luas di sekitarnya, sama
sekali tidak mengganggunya.
“Ki
Sumangkar,” tiba-tiba Ki Waskita berdesis,
“ada sesuatu
yang perlu diperhatikan.”
“Apakah itu?”
“Aku tidak
tahu. Tetapi pasukan Mataram memang perlu mendapat peringatan. Mungkin aku
menangkap isyarat, bahwa mereka akan menghadapi rintangan yang berat. Aku kira
aku hanya dicemaskan oleh kegelisahanku. Tetapi aku ternyata mendapatkan
isyarat itu. Bahaya yang besar yang berlapis-lapis.” Ia berhenti sejenak.
“O, isyarat
itu menjadi kabur. Aku akan berhenti di sini sejenak untuk menemukannya
kembali.”
Ki Sumangkar
menganggukkan kepalanya. Ia pun menjadi berdebar-debar. Meskipun pasukan itu
adalah pasukan yang cukup kuat, namun lawannya pun adalah lawan yang kuat pula.
Sejenak Ki Waskita berdiri diam. Kepalanya tunduk dan tangannya bersilang di
dada.
“Mereka telah
melepaskan diri dari bahaya yang besar, yang hampir saja memusnahkan seluruh
pasukan,” Ki Waskita seakan-akan bergumam untuk diri sendiri. Kepalanya masih
tertunduk dan matanya masih terpejam.
“Tetapi itu
bukannya rintangan yang terakhir.”
Ki Sumangkar
tidak menjawab. Tetapi wajahnya pun menjadi tegang pula. Sejenak kemudian ayah
Rudita itu menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia
berkata kepada Ki Sumangkar,
“Jalan memang
cukup berbahaya.”
Ki Sumangkar
menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
“Medan memang
berat. Tetapi agaknya Daksina benar-benar menyiapkan dirinya untuk menyongsong
pasukan pengawal dari Mataram itu.”
“Bukan saja
Daksina. Di belakang bukit ini telah tersusun kekuatan yang luar biasa.
Pertahanan yang berlapis-lapis. Senjata yang mencuat di segala sudut bagaikan
batang ilalang. Dan lebih dari itu adalah kemampuan yang aneh dari orang yang
disebut Panembahan Agung itu.”
Ki Sumangkar
mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu ia pun bertanya,
“Jadi menurut
pertimbanganmu, apakah yang sebaiknya kita lakukan?”
“Kita
mendekat. Aku masih tetap yakin, bahwa aku akan menemukan tempat anakku itu.
Dan tujuan yang dicapai oleh Raden Sutawijaya adalah tujuan yang semu. Bukan
pusat dari kekuatan lawan yang sebenarnya. Aku semakin yakin. Mungkin Raden
Sutawijaya akan segera menemukan tempat yang dicarinya. Tetapi ia masih harus
melanjutkan perjalanan.”
Ki Sumangkar
masih mengangguk-angguk.
“Baiklah kita
berjalan terus,” berkata Ki Waskita kemudian,
“mudah-mudahan
kita dapat melihat, apa yang ada di sekitar bukit sebelah.”
“Tetapi,”
bertanya Sumangkar ragu-ragu,
“jika benar
Panembahan Agung memiliki indera yang lain dari indera wadagnya, apakah ia
tidak akan mampu melihat kehadiran kita?”
“Kita dapat
berusaha mengaburkan penglihatan itu. Seperti juga Panembahan Agung. Jika ia
mengetahui bahwa aku akan mendekat, maka ia pun tentu akan mengaburkan
penglihatanku atas mereka. Tetapi Panembahan Agung itu tentu belum melihat
kehadiranku sampai di sini.”
“Apakah dalam
keadaan kita sekarang ini, Panembahan Agung akan melihat?”
“Tidak. Selain
agaknya Panembahan Agung memusatkan perhatiannya pada gerak yang besar dari
pasukan pengawal dari Mataram, maka aku pun akan selalu berusaha menyamarkan
diri ke dalam getar alam yang luas.”
Ki Sumangkar
mengerutkan keningnya. Ia mengerti bahwa Ki Waskita memiliki ketajaman
penglihatan batiniah. Tetapi agaknya terlalu sulit baginya untuk mengerti bahwa
Ki Waskita dapat menyamarkan diri ke dalam getar alam di sekitarnya.
“Mungkin ia
menyesuaikan diri dengan lingkungannya, sehingga penglihatan batin Panembahan
Agung menangkapnya sebagai getar alam benda di sekitarnya. Seperti kayu dan
batu atau bahkan seperti mendung yang lewat di langit.”
Tetapi Sumangkar
tidak bertanya.
“Marilah kita
maju lagi,” berkata Ki Waskita.
“Kita berusaha
untuk melihat padepokan itu. Jika mungkin aku akan masuk ke dalam dan melihat
dari dekat, apa yang sudah dilakukan. Jika tidak, kita akan melihat dari
kejauhan. Dan jika perlu kita harus memberitahukan kepada pasukan Pengawal
Mataram dan Menoreh, apa yang sebenarnya mereka hadapi.”
Ki Sumangkar
hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Dan ia pun kemudian mengikuti ayah
dari anak yang hilang itu, berjalan di sepanjang tebing yang sulit. Mereka
berusaha melintasi salah sebuah puncak bukit kecil yang berbatu padas untuk
melihat, apa yang ada di seberang. Dengan susah payah, akhirnya mereka pun
berhasil mencapai puncak bukit. Dengan keringat yang membasahi segenap tubuh,
mereka berdiri termangu-mangu memandang puncak yang hanya ditumbuhi oleh
gerumbul-gerumbul yang jarang.
“Kita akan
melintasi puncak itu,” berkata Ki Waskita,
“kemudian kita
akan menuruni lereng sebelah, dan kita sudah akan berada di dalam lingkaran
pengawasan Panembahan Agung.”
Ki Sumangkar
menarik nafas dalam-dalam. Ia adalah seseorang yang memiliki pengalaman yang
luas di medan yang betapa pun beratnya. Tetapi agaknya kali ini ia akan sampai
ke medan yang sangat berat. Selain melawan pasukan lawan yang sudah menunggu,
maka lereng pegunungan dan batu-batu padas di bawah kakinya, akan merupakan
lawan yang harus diperhitungkan pula.
Mereka pun
kemudian berjalan di atas batu padas di puncak bukit yang membujur di antara
beberapa bukit yang lain itu. Meskipun mereka masih belum terlalu dekat, tetapi
mereka harus berhati-hati. Mereka sejauh mungkin berjalan di antara semak-semak
yang tumbuh di antara batu-batu padas yang retak-retak oleh terik matahari. Setelah
melintasi puncak itu, maka mereka pun segera sampai di tebing seberang. Namun
rasa-rasanya nafas mereka mulai bekejaran oleh letih yang merayapi seluruh
tubuh.
“Kita
beristirahat dahulu di sini,” berkata Ki Waskita,
“perjalanan
kita masih jauh, meskipun kita sudah dekat dengan padepokan yang kita cari. Aku
tidak dapat membayangkan bentuk padepokan itu. Mungkin sebuah padesan kecil,
mungkin bentuk yang lain. Tetapi dugaanku kuat, Rudita ada di sini.”
Maka Ki
Waskita itu pun kemudian duduk di bawah gerumbul dan berlindung dari
kemungkinan dapat dilihat oleh lawan. Ki Sumangkar yang masih mengawasi medan
sejenak itu pun kemudian duduk pula di sebelah ayah Rudita yang mulai merenung
lagi. Sambil menyilangkan tangan di dadanya, kepalanya pun tunduk dalam-dalam. Seperti
yang selalu dilakukan, maka Ki Sumangkar pun sama sekali tidak mengganggunya.
Ia sadar, betapa gelisahnya hati Ki Waskita yang kehilangan satu-satunya anak
laki-laki.
Sejenak
kemudian Ki Waskita itu mengangkat kepalanya. Dan seakan-akan kepada dirinya
sendiri ia bergumam,
“Aku yakin,
anakku masih tetap sehat. Ia ada di sekitar tempat ini. Padukuhan yang akan
diketemukan oleh Raden Sutawijaya adalah padukuhan yang kurang berarti. Tetapi
ia sudah harus melalui pertempuran-pertempuran yang menelan korban.” Ia
berhenti sejenak, lalu,
“Kita masih
mempunyai waktu. Jika nafas kita sudah teratur kembali, kita akan mendekati
padukuhan itu. Tetapi kita harus membuat perhitungan sebaik-baiknya agar kita
tidak terjebak di dalam kesulitan yang tidak teratasi.”
Sumangkar
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia mengedarkan tatapan matanya, lalu,
“Apakah
pasukan Raden Sutawijaya itu masih akan memerlukan waktu yang panjang untuk
sampai ke tempat ini?”
“Ya. Kita
telah memintas meskipun ternyata jalan yang kita lalui sangat sulit. Selain
daripada itu, Raden Sutawijaya harus melalui pertahanan demi pertahanan. Dan
itu juga memerlukan waktu. Bahkan mungkin pasukan Mataram dan Menoreh akan
bermalam sebelum memasuki daerah pertahanan yang sebenarnya dari padepokan
Panembahan Agung. Dan agaknya itu akan lebih baik.”
Sumangkar masih
mengangguk-angguk.
“Dan kita pun
harus menyesuaikan diri dengan pasukan Mataram yang bakal datang itu.”
Sumangkar
tidak menyahut. Dipandanginya wajah langit yang jernih dan awan yang sedang
berarak. Puncak pebukitan yang berlapis-lapis dan lembah yang kehijau-hijauan. Sumangkar
mengerutkan keningnya. Hampir di luar sadarnya ia berdesis,
“Di lembah itu
tentu ada pategalan.”
Ki Waskita
mengangguk. Katanya,
“Aku juga
mengira demikian.”
Sumangkar
menjadi heran mendengar jawaban itu. Meskipun ia tidak bertanya sesuatu, tetapi
rasa-rasanya Ki Waskita dapat menebak pertanyaan yang tersimpan di hati
Sumangkar. Maka katanya,
“Yang hijau
lebat itu tentu tanaman yang diatur dengan tangan manusia. Tentu aku tidak
dapat melihat segala sesuatunya seperti aku melihat alam. Sudah berkali-kali
aku katakan, bahwa aku hanya menerima isyarat. Dan sudah barang tentu isyarat
itu kadang-kadang kabur, kadang-kadang agak lebih jelas. Dan aku tidak dapat
dengan mudah membedakan, belukar, hutan, perdu, dan tanah pategalan. Tetapi
indera wadagkulah yang dapat melihat dan kemudian menduga, bahwa di lembah itu
memang terdapat tanah pategalan yang agaknya ditanami buah-buahan dan
pohon-pohon perdu yang menghasilkan.”
Sumangkar
mengerutkan keningnya. Lalu katanya,
“Jika
demikian, kita benar-benar telah memasuki daerah Panembahan Agung. Agaknya
tanah pategalan itu merupakan cadangan persediaan makanan apabila mereka tidak
sempat mencari perbekalan keluar daerah pegunungan ini.”
“Agaknya
memang demikian. Kita akan mendekati daerah pategalan itu dan kemudian
menelusur mendekati pusat padepokannya.”
Sumangkar
tidak menyahut lagi. Tetapi seolah-olah ia mencoba memandang menembus lembah
dan tebing.
Dalam pada
itu, pasukan pengawal Mataram dan Menoreh masih beristirahat. Meskipun
demikian, mereka tidak kehilangan kewaspadaan. Beberapa orang maju beberapa
langkah dan mengawasi keadaan. Dengan pengalaman yang mendebarkan itu, mereka
harus memperhitungkan setiap kemungkinan yang dapat terjadi.
“Tentu tidak
di tebing itu,” desis seorang pengawal kepada kawannya yang berbaring di
sampingnya, di atas rerumputan sambil memandangi tebing di hadapannya.
“Ya, tentu
tidak dengan cara seperti yang sudah di lakukan. Selain tebing itu agak landai,
maka lembah ini bukannya tempat yang baik untuk mengubur sepasukan pengawal,
karena lembah ini terlampau luas untuk keperluan itu.”
Kawannya tidak
menyahut. Tetapi ia menjadi ngeri mengenang kawannya yang begitu saja ditelan
oleh batu dan batang-batang kayu tanpa dapat berbuat sesuatu.
“Tubuhnya
tentu hancur di bawah timbunan batu-batu itu,” desisnya dengan suara yang
datar.
“Apa?”
bertanya kawannya.
“Mereka yang
tertimbun batu di lembah itu.”
Kawannya
menarik nafas. Tetapi ia tidak menjawab. Dalam pada itu, Ki Argapati sudah
mulai merasa sehat kembali meskipun ia sadar, bahwa kakinya akan tetap menjadi
gangguan. Jika ia berbuat sesuatu yang memerlukan gerak dan kekuatan kakinya,
maka seperti yang sudah terjadi, ia akan kehilangan kemampuan mempergunakan
kakinya itu. Dengan obat yang digosokkan di kakinya, perasaan sakit yang
menyengat itu menjadi jauh berkurang. Tetapi tentu keadaan kakinya yang
sebenarnya masih belum berubah. Karena itu Ki Argapati harus memperhitungkan
setiap tindakannya dengan tepat menghadapi medan yang semakin berat.
Sementara itu,
pasukan Daksina yang mengundurkan diri dan bergabung kembali dengan Putut
Nantang Pati itu pun telah berada di padepokan. Tetapi padepokan itu memang
sudah dikosongkannya. Dengan para penjaga yang tersisa maka mereka pun menarik
pasukannya ke pertahanan di hadapan padepokan Panembahan Agung. Meskipun
demikian, Daksina yang memiliki pengalaman perang yang cukup dan Putut Nantang
Pati yang pengenal daerah pertahanannya dengan baik, tidak melepaskan pasukan
Mataram begitu saja berjalan dengan lancar menyusuri jejak mereka. Karena
itulah, maka mereka pun meninggalkan beberapa kelompok yang harus mengganggu
perjalanan pasukan pengawal dari Mataram dan dari Menoreh. Kelompok-kelompok
itu harus berada di tebing-tebing yang cukup tinggi. Mereka akan melontarkan
anak panah kepada pasukan Mataram dan Menoreh. Kemudian apabila pasukan-pasukan
itu mencoba membalas, mereka dapat menghilang di balik gerumbul-gerumbul di
atas tebing. Meskipun gerumbul-gerumbul itu tidak lebat, namun cukup baik untuk
melindungkan diri. Ketika pasukan Mataram dan pasukan Menoreh itu sudah cukup
beristirahat, maka mereka pun segera bersiap untuk melanjutkan perjalanan.
Namun menilik sinar matahari yang menjadi semakin kuning, mereka harus
memperhitungkan kemungkinan yang akan terjadi. Mereka tidak dapat mengesampingkan
perhitungan hari yang semakin mendekati ujungnya.
“Kita akan
maju beberapa ratus langkah lagi,” berkata Sutawijaya,
“jika
sekiranya kita perlu bermalam sebelum kita menemukan sarang mereka, kita pun
akan beristirahat.”
Orang-orang
yang ada di sekitarnya hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Mereka pun
menganggap bahwa hari sudah terlalu jauh untuk mulai dengan sebuah perjuangan
merebut padepokan yang kuat dan mencari Rudita di dalamnya, karena mereka masih
belum tahu pasti, di manakah anak itu disembunyikan.
“Kita terpaksa
mengikat kalian,” berkata Sutawijaya kepada beberapa orang tawanan yang dibawa
oleh pasukan Mataram dan pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu.
“Jika tidak,
kalian akan mempersulit keadaan kami.”
Tawanan-tawanan
itu hanya menundukkan kepalanya saja.
“Nah,
marilah,” berkata Sutawijaya kemudian, lalu ia berpaling kepada Ki Argapati,
“apakah Ki
Gede sudah siap untuk memulai lagi?”
Betapa pun
juga Ki Argapati itu menjawab,
“Sudah. Aku
sudah siap.”
Sejenak
kemudian pasukan itu pun mulai bergerak. Seorang prajurit yang baru saja
memejamkan matanya, terpaksa berjalan dengan malasnya di samping kawannya yang
mulai enggan melanjutkan perjalanan itu. Tetapi karena yang dilakukan itu
adalah sebuah kewajiban, maka ia pun berusaha untuk meyakinkan dirinya sendiri,
bahwa pasukan itu bukanlah segerombolan orang yang pergi bertamasya di lembah
dan ngarai. Dengan hati-hati dua orang pengawal dari Menoreh berjalan di paling
depan sambil berusaha mengenal arah lawannya. Mereka menyusur jejak kaki
pasukan Daksina dan Putut Nantang Pati yang mengundurkan diri. Meskipun
demikian, mereka tidak dapat dengan tergesa-gesa maju, karena mereka masih
harus memperhatikan setiap keadaan yang mungkin dipergunakan sebaik-baiknya
oleh lawan untuk menjebak mereka. Setiap gerumbul, setiap tebing padas yang
menjorok dan setiap tikungan di lembah yang semakin luas itu. Seluruh pasukan
itu menjadi berdebar-debar ketika mereka hampir bersamaan melihat sebuah jalan
setapak di tebing yang membelit meloncati sebuah ujung dari pebukitan itu ke
arah seberang dan seakan-akan hilang di balik gerumbul-gerumbul di puncak
bukit.
“Jalur jalan
itulah agaknya yang kita lihat sambungannya di balik pebukitan itu, dan menuju
ke padesan di sebelah,” desis pengawas yang pernah mendahului pasukan itu.
Kawannya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak sempat menyahut, karena mereka
mendengar Raden Sutawijaya berkata,
“kita tentu
sudah mendekati padepokan mereka.”
Kiai Gringsing
yang berjalan di sebelahnya menyahut,
“Ya. Agaknya
padepokan yang mereka pergunakan sebagai sarang itu, merupakan padesan yang
cukup luas dan terlindung. Jalur jalan itulah agaknya yang menghubungkan sarang
mereka dengan dunia luar, apa pun bentuknya. Memang mungkin sebuah padesan atau
padepokan, tetapi mungkin pula sebuah goa yang besar dan dalam.”
Raden
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Apa pun
bentuknya, kita harus menguasainya dan sekaligus mencari Rudita. Tetapi yang
tidak kalah pentingnya, adalah menghancurkan mereka, agar mereka tidak akan
dapat mengganggu Mataram dan juga Tanah Perdikan Menoreh.”
Kiai Gringsing
tidak menyahut. Tetapi terbayang padanya, sebuah padesan yang dijaga oleh
sepasukan pengawal yang kuat di setiap sudut dan di luar padesan itu berbaris
sepasukan pengawal dan prajurit-prajurit Pajang yang telah mencoba berkhianat.
Baik terhadap Pajang yang masih berdiri, maupun kepada Mataram yang sedang
tumbuh dan berkembang, sehingga dengan demikian, terbayang juga sebuah
kesulitan yang benar-benar memerlukan tenaga sepenuhnya. Belum lagi mereka
sempat meneruskan pembicaraan, maka mereka pun terkejut ketika dari atas
tebing, dari balik gerumbul-gerumbul yang lebat, meluncur beberapa buah anak
panah. Semakin lama semakin banyak. Dengan serta-merta, mereka yang berperisai di
dalam pasukan pengawal Mataram dan Menoreh itu pun berloncatan maju. Mereka
berusaha menahan anak panah itu dengan perisai agar tidak mengenai seorang pun
di antara mereka. Meskipun demikian, ada juga satu dua dari anak panah itu yang
berhasil melukai para pengawal. Tetapi luka-luka itu tidak begitu parah dan
tidak berbahaya, sehingga hampir tidak berarti bagi kekuatan kedua pasukan itu.
Namun demikian anak panah semacam itu tentu akan memperlambat gerak maju kedua
pasukan itu.
Seperti yang
dikehendaki oleh Daksina dengan orang-orangnya itu, maka sebenarnyalah bahwa
pasukan pengawal Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh memang harus berhenti.
Beberapa orang yang bersenjata panah pun segera berlindung di balik perisai
kawan-kawannya dan membalas melontarkan anak panah ke atas tebing. Tetapi
dengan demikian, yang lain tidak tinggal diam melihat pertempuran jarak jauh
itu. Beberapa orang segera menebar, dan merayap perlahan-lahan ke atas tebing,
melingkar agak jauh dari pertempuran itu. Seperti sapit urang mereka dengan
hati-hati mendekat, mencepit orang-orang yang sedang melemparkan anak panah. Tetapi
orang-orang itu pun cukup berwaspada, sehingga mereka pun segera menarik diri
ke dalam gerumbul-gerumbul liar. Namun ternyata bahwa kehadiran pasukan
pengawal Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh yang tiba-tiba saja di
sebelah-menyebelah itu memang tidak mereka perhitungkan lebih dahulu, maka di
dalam gerak mundur itu pun mereka harus meninggalkan korban.
“Orang-orang
Mataram dan Menoreh memang gila,” desis salah seorang pengawal padepokan Putut
Nantang Pati yang sedang melarikan diri itu.
“Ya. Kami
menyangka bahwa mereka akan sekedar mencari tempat bersembunyi. Sejauh-jauhnya
mereka akan membalas dengan panah dari lembah.”
“Ternyata
sebagian dari mereka memanjat tebing dan menjepit kita dari dua arah.”
Kawan-kawannya
terdiam. Mereka sama sekali tidak memperhitungkan bahwa akan ada korban yang
jatuh dalam serangan yang demikian. Namun ternyata bahwa tiga orang kawan
mereka tidak dapat kembali bersama mereka. Dalam pada itu, pasukan pengawal
Mataram dan Menoreh itu pun segera berkumpul. Namun Raden Sutawijaya cukup cerdas
menanggapi keadaan. Katanya,
“Mereka hanya
sekedar mengganggu perjalanan kami.”
“Meskipun
demikian, kami tidak dapat membiarkan mereka menghujani pasukan ini dengan anak
panah,” sahut Ki Lurah Branjangan.
“Ya, dan kita
sudah mengusir mereka.”
“Tetapi kita
akan menjumpainya lagi di beberapa tempat. Seperti yang Raden katakan, mereka
sengaja memperlambat perjalanan kita, dan terlebih-lebih lagi jika mereka
berhasil, mereka ingin mengganggu ketabahan hati kita,” berkata Kiai Gringsing.
“Ya, Kiai.”
“Jika demikian
menurut pertimbanganku, apakah kita tidak lebih baik bermalam sebelum kita
berada di muka padepokan itu. Kita tidak mengenal medan sebaik-baiknya, seperti
mereka mengenalnya. Karena itu, kita tidak berani mendekat lagi. Kita masih
belum tahu, apalagi yang akan dipergunakan oleh Daksina dan barangkali
Panembahan Agung itu untuk menjebak kita.”
“Maksud, Kiai,
bahwa di malam hari banyak peristiwa yang dapat terjadi?”
“Ya,” jawab
Kiai Gringsing,
“dan saat ini,
matahari sudah terlampau rendah.”
Raden
Sutawijaya tidak segera menyahut. Tetapi dipandanginya wajah Ki Argapati yang
berkerut-merut.
“Aku
sependapat, Raden,” berkata Ki Argapati kemudian,
“jika kita
bermalam di sini, di tempat yang masih belum terlampau dekat dengan padepokan,
kita masih mempunyai banyak kesempatan untuk melakukan tindakan yang perlu,
pengawasan yang agak longgar, dan barangkali jika ada jebakan-jebakan yang
mungkin telah dipasang di padepokan itu tanpa sepengetahuan kita.”
“Baiklah,”
berkata Raden Sutawijaya,
“kita bermalam
di sini. Kita akan membuat beberapa kelompok penjagaan beberapa puluh langkah
di hadapan kita, dan di sudut-sudut yang kita anggap perlu. Tidak mustahil mereka
akan menghujani anak panah di malam hari selagi sebagian besar dari kita sedang
tertidur nyenyak.”
“Ya. Kita
harus berada di sela-sela gerumbul sehingga kita sedikit terlindung dari anak
panah yang tiba-tiba saja datangnya. Kita harus menyiapkan perisai sebanyak
mungkin ada pada kita dan kulit kayu yang mungkin dapat dipergunakan untuk
melawan anak panah itu,” berkata Ki Argapati.
“Selain itu,
pengawasan yang ketat, yang seakan-akan melingkari tempat ini.”
“Beberapa
orang akan berada di lereng sebelah. Mungkin mereka dapat berbuat sesuatu jika
ada orang yang menyerang kita dari tempat yang tinggi itu.”
Mereka pun
segera mengatur diri, mencari tempat yang sebaik-baiknya untuk bermalam,
sebelum mereka berada di depan padukuhan yang mereka sangka langsung padukuhan
Panembahan Agung.
Namun dalam
pada itu, orang yang ditugaskan untuk melontarkan berita tentang Raden
Sutawijaya telah berhasil masuk ke pusat pemerintahan Mataram. Bahkan ia sempat
menyampaikannya kepada orang-orang di dalam lingkungan keluarga Ki Gede
Pemanahan, bahwa Raden Sutawijaya telah berhubungan dengan salah seorang gadis
dari Kalinyamat yang sebenarnya akan dipersembahkan kepada Sultan Pajang
sendiri, sehingga gadis itu mengandung.
Beberapa orang
yang mendengar itu mengerutkan keningnya dan berkata,
“Ah, tentu
tidak.”
“Tentu tidak,”
dan yang lain pun, “tentu tidak.”
Namun akhirnya
berita itu pun sampai juga kepada Ki Gede Pemanahan pada hari itu juga, karena
seorang abdinya yang menjadi sangat cemas mendengar berita itu, langsung
menghadap Ki Gede Pemanahan dan dengan tubuh gemetar menyampaikannya.
Ki Gede
Pemanahan menahan nafasnya. Hatinya melonjak, tetapi sebagai seorang yang telah
mengendap, maka ia tidak tergesa-gesa memberikan tanggapan betapa pun sesak
dadanya. Tetapi bagaimana pun juga, berita tentang Raden Sutawijaya itu tentu
sudah tersebar. Tidak usah menunggu sampai matahari terbenam. Para pengawal
tentu akan saling membicarakannya.
“Siapakah yang
mula-mula mengatakannya?” bertanya Ki Gede Pemanahan kepada abdinya.
“Kami tidak
mengetahui Ki Gede. Tetapi baru saja kami melihat seorang prajurit Pajang di
sini. Mungkin prajurit itu telah membawa berita tentang Raden Sutawijaya.
Bahkan aku mendengar bahwa prajurit itu berusaha menghadap Ki Gede Pemanahan.”
Tetapi Ki Gede
menggelengkan kepalanya. Katanya,
“Aku belum
dapat mempercayainya. Tetapi aku pun tidak dapat mengabaikan kabar ini.”
“Demikianlah
sebaiknya Ki Gede. Sebaiknya Ki Gede mendapatkan kepastian dari berita itu.” Abdi
itu berhenti sejenak, lalu,
“apakah Ki
Gede akan memanggil prajurit Pajang itu menghadap?”
Ki Gede
termangu-mangu sejenak. Tetapi ia bukan seorang yang sekedar mempergunakan
perasaannya. Ia mendengar bahwa beberapa orang prajurit Pajang telah
meninggalkan kesatuannya karena harapan-harapan yang diberikan oleh orang lain
yang merasa dirinya akan mampu menguasai telalah yang luas. Dari pesisir Utara
sampai ke pesisir Selatan. Dari ujung Kulon sampai ujung Timur. Apalagi
prajurit Pajang itu memang melihat sikap dan tingkah laku yang semakin lama
semakin jauh menyimpang dari Sultan Pajang sendiri. Pengendalian daerah yang
tidak lagi berpegang pada dasar-dasar yang sama-sama diletakkan seperti pada
saat ia berhasil mengangkat dirinya sebagai Sultan Pajang.
“Baiklah,”
berkata Ki Gede Pemanahan kepada abdinya,
“aku
memperhatikan laporanmu. Tetapi sebaiknya kau pergi ke Pajang dan mencari
kebenaran, apakah Sutawijaya benar-benar telah melakukan perbuatan itu atau
tidak.”
“Jadi aku
harus menyelusur berita ini, Ki Gede?”
“Tidak. Kau
tidak perlu mencari siapakah sumber berita itu. Tetapi kau harus berusaha
mendengar dari orang yang dapat kau percaya di Pajang, apakah benar salah orang
gadis dari Kalinyamat itu sudah berhubungan dengan Sutawijaya dan bahkan sudah
mengandung seperti berita yang kau dengar itu.”
“Baiklah, Ki
Gede. Dan apakah Raden Sutawijaya perlu diberitahukan akan hal ini, agar ia
dapat berbuat sesuatu? Jika tidak benar, biarlah ia membersihkan namanya.”
“Tetapi jika
benar?” potong Ki Gede Pemanahan.
Abdi itu
menundukkan kepalanya. Namun di luar kehendaknya sendiri ia berkata,
“Ia sudah
terlalu lama berada dibawah asuhan ayahanda angkatnya, Sultan Pajang.”
“Kenapa?”
“Apakah
tindakan dan tingkah laku Sultan Pajang telah berpengaruh pula atasnya?”
Ki Gede
Pemanahan menarik nafas dalam-dalam. Sekilas teringat olehnya sebutir kelapa
muda di Giring. Kelapa muda yang menurut Ki Ageng Giring akan mendatangkan
keluhuran bagi yang meneguk airnya. Ki Gede Pemanahan menarik nafas
dalam-dalam. Ketika abdinya bertanya kepadanya, maka Ki Gede itu pun
seakan-akan terbangun dari mimpinya yang menumbuhkan harapan itu.
“Ki Gede,”
bertanya abdinya itu,
“apakah
sebaiknya aku segera berangkat, atau menunggu kedatangan Raden Sutawijaya yang
sedang pergi ke seberang Kali Praga?”
“Berangkatlah,”
jawab Ki Gede Pemanahan,
“mungkin kau
memerlukan waktu yang tidak hanya satu dua hari. Bukankah kau masih mempunyai
sanak keluarga di Pajang.”
“Cukup banyak,
Ki Gede,” sahut abdi itu,
“mungkin aku
akan segera mendapatkan keterangan tentang berita itu.”
Abdi itu pun
segera pergi ke Pajang dikawal oleh beberapa orang pengawal, dan kemudian
dilepaskan pergi sendiri setelah melampaui hutan yang terakhir yang masih
meragukan pengamanannya. Namun agaknya, Panembahan Agung telah benar-benar
menarik orang-orangnya menghadapi kedatangan Raden Sutawijaya dan Ki Argapati.
“Jemput aku di
sini dua hari lagi. Jika aku belum datang, maka tunggu sampai hari ketiga dan
keempat.”
“Bagaimana
jika aku berada di sini sebulan lamanya?” bertanya pengawal yang
mengantarkannya.
“Barangkali
itu lebih baik. Tetapi jika aku mati di hutan itu, kau akan digantung oleh Ki
Gede Pemanahan.”
Pemimpin
pengawal itu tidak menyahut lagi. Dipandanginya saja abdi terdekat dari Ki Gede
Pemanahan itu memacu kudanya ke arah Timur.
“Perjalanan
yang cukup jauh,” berkata abdi itu di dalam hatinya.
Matahari yang
tenggelam membuat hatinya ragu-ragu, apakah ia akan meneruskan perjalanannya di
malam hari? Tetapi ia berpacu terus.
“Aku akan
bermalam di Candi Sari,” katanya di dalam hati, karena ia mempunyai seorang
saudara yang tinggal di dekat Candi Sari.
Kedatangannya
di Candi Sari memang mengejutkan. Namun ia berhasil memberikan keterangan
sehingga saudaranya yang menjadi berdebar-debar itu menepuk bahunya, sambil
berdesis,
“Kau
mengejutkan kami.”
Dalam pada
itu, Raden Sutawijaya yang bermalam di lembah di perbukitan sebelah Barat Kali
Praga, terkejut ketika seseorang membangunkannya.
“Ada apa?” ia
bertanya.
“Kami melihat
api obor di atas bukit itu,” berkata seorang pengawas.
“Awasi dengan
baik,” perintahnya, “aku tetap di sini.”
Pengawas itu
pun mengangguk. Perlahan-lahan ia meninggalkan Sutawijaya yang berbaring lagi
di atas rerumputan kering. Namun ia pun melihat sekilas sebuah obor yang
seakan-akan menusup pepohonan jauh di atas bukit, seperti seekor burung
kemamang yang terbang di sela-sela gerumbul-gerumbul.
“Tentu
orang-orang Daksina,” katanya di dalam hati,
“tetapi apa
maksudnya dengan sengaja menunjukkan kehadirannya di bukit itu?”
Raden
Sutawijaya termangu-mangu sejenak. Namun kesimpulannya adalah, bahwa obor itu
sekedar memancing perhatian, dan di sekitar obor itu justru, tidak akan ada
apa-apa sama sekali. Tetapi tiba-tiba saja Raden Sutawijaya bangkit.
Dipanggilnya pengawal yang terdekat. Katanya kemudian setengah berbisik,
“Hubungi Ki
Lurah Branjangan. Beritahukan agar para pengawas berhati-hati. Obor itu tentu
sekedar pancingan, agar perhatian kita terampas olehnya, tapi yang justru
berbahaya akan datang dari arah lain. Kemudian hubungi pula Ki Argapati dan
Kiai Gringsing atau kedua muridnya.”
Pengawal itu
pun kemudian pergi meninggalkan Sutawijaya yang duduk termenung. Yang mula-mula
dihubungi adalah Ki Lurah Branjangan yang perhatiannya memang tertarik kepada
obor yang bergerak itu.
“Baiklah,”
katanya setelah mendengar penjelasan pengawal itu atas perintah Raden
Sutawijaya,
“kami akan
mengawasi obor itu. Tetapi kami akan mengawasi bagian-bagian yang lain pula,
yang menjadi daerah pengawasanku dengan baik. Tetapi sebaiknya orang-orang
Tanah Perdikan Menoreh diberitahukan juga, agar mereka tidak menjadi lengah,
meskipun di sana ada Ki Argapati dan Kiai Gringsing.”
“Aku memang
akan menghubunginya.”
Ki Lurah
Branjangan mengangguk-anggukkan kepalanya, seperti Raden Sutawijaya ia pun
kemudian duduk di antara beberapa orang pengawal.
“Hati-hatilah,”
desis Ki Lurah Branjangan,
“awasi segala
arah.”
Dan perintah
itu pun kemudian menjalar dari seorang ke orang yang lain. Ketika pengawal yang
menghubungi Ki Argapati sampai ke tempatnya di ujung lain dari lembah itu,
dilihatnya Ki Argapati justru sedang duduk bersama Kiai Gringsing.
“O,” desis
pengawal itu,
“selamat malam
Ki Gede.”
“Selamat
malam,” jawab Ki Gede,
“apakah ada
kepentinganmu datang kemari?”
“Tidak apa-apa
Ki Gede. Hanya barangkali Ki Gede juga melihat obor di sela-sela pepohonan
itu?”
“Ya, kami
sedang memperhatikannya.”
Pengawal itu
pun mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu di sampaikannya pesan Sutawijaya.
“Terima
kasih,” sahut Ki Argapati,
“tetapi
sebenarnya kami punya rencana tersendiri. Kami ingin melihat apakah sebenarnya
obor itu.”
“Ya, Ki Gede,”
jawab pengawal itu,
“tetapi
barangkali benar juga kata Raden Sutawijaya, bahwa obor itu hanya sekedar
pancingan saja.”
“Kemungkinan
yang paling besar. Tetapi kita pun akan memancing mereka. Baiklah, aku akan
menemui Raden Sutawijaya.”
“Silahkan Ki Gede,”
jawab pengawal itu, lalu,
“obor itu
sampai sekarang masih ada. Seakan-akan sekedar melingkari tempat ini.”
Ki Argapati
dan Kiai Gringsing pun kemudian pergi menemui Raden Sutawijaya. Mereka ternyata
bersepakat untuk memancing lawannya yang barangkali sedang memancing mereka pula.
“Sebagian dari
pengawal ini akan terpancing oleh obor itu,” berkata Ki Argapati,
“tetapi dengan
diam-diam yang lain menunggu, apakah yang akan terjadi.”
“Ya,” sahut
Raden Sutawijaya, “obor itu berhenti,” tiba-tiba Raden Sutawijaya menunjuk.
“He, tidak
hanya ada satu obor, dua, eh, tiga.”
“Mereka akan
membuat kesan, bahwa mereka akan menyerang dari sana. Karena itu, kita akan
terpancing karenanya. Tetapi kita akan mengawasi setiap arah.”
Setelah
rencana itu kemudian disepakati, maka kedua pasukan itu pun menyebarkan
perintah untuk memanggil setiap pimpinan kelompok, dan perintah berikutnya pun
diberikan dengan singkat. Para pengawal yang sedang tidur itu pun segera
terbangun. Beberapa orang kemudian memencar menghubungi para pengawas yang
terpisah. Pada saat yang ditentukan maka pasukan yang sedang beristirahat itu
pun seakan-akan telah terbangun. Dengan riuhnya mereka menyongsong lawan yang
datang dengan membawa obor di atas tebing. Namun di bagian lain, pasukan
Mataram dan Menoreh telah siap untuk menghadapi kemungkinan. Tetapi beberapa
lamanya mereka merayap maju, mereka sama sekali tidak menjumpai siapa pun.
Sedang mereka yang berjaga-jaga di bagian lain pun sama sekali tidak menemukan
pasukan lawan yang merayap mendekat.
“Kita
benar-benar terpancing,” desis Ki Argapati,
“mereka
agaknya hanya meletakkan obor itu pada cabang batang pohon dan
meninggalkannya.”
Raden
Sutawijaya menganggukkan kepalanya. Namun mereka yang ada di lereng bukit itu
terbelalak ketika mereka melihat di bagian lain api obor itu seakan-akan
menjadi semakin lama semakin besar, semakin besar. Bahkan bukan hanya tiga,
tetapi lima, sembilan dan lebih dari dua belas. Dalam kebingungan itu,
tiba-tiba Kiai Gringsing berdesis perlahan-lahan,
“Kita sudah
berhadapan dengan ilmu Panembahan Agung. Tetapi tentu bukan orang itu sendiri
yang melontarkannya.”
Yang mendengar
kata-kata Kiai Gringsing itu terkejut. Sejenak mereka tertegun. Namun ketika
mereka memandang api yang berada di atas tebing itu, maka mereka pun mulai
dijalari oleh kecurigaan.
“Api itu bukan
tiruan api yang sempurna,” berkata Kiai Gringsing,
“karena itu,
menurut pendapatku, orang yang melontarkan ilmu itu adalah orang yang baru
mulai belajar pada Panembahan Agung. Mungkin ia muridnya yang terpercaya,
tetapi di dalam ilmunya yang satu ini, ia adalah murid yang baru sama sekali.”
Ki Argapati
menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata,
“Kiai benar.
Obor-obor itu seperti api yang terpisah dari alam sekelilingnya. Jika obor itu
adalah bayangan semu yang sempurna, maka obor itu akan melemparkan cahayanya
atas alam di sekitarnya. Tetapi obor itu tidak menumbuhkan bayangan dan
nyalanya seakan-akan tidak menerangi pepohonan di sekitarnya.”
Kiai Gringsing
mengusap keringatnya yang mengembun di kening. Ternyata bahwa medan kali ini
adalah medan yang benar-benar berat. Jika mereka benar-benar bertemu dengan
seseorang yang menyebut dirinya bernama Panembahan Agung, maka mereka tentu
akan mengalami kesulitan. Agung Sedayu, Swandaru, Pandan Wangi, dan Prastawa, serta
para pengawal pun mengangguk-anggukkan kepala pula. Mereka juga menyadari
keanehan dari api yang menyala semakin besar dan banyak. Namun yang sampai pada
suatu saat, api itu menjadi susut kembali.
“Itukah ilmu
yang dimiliki oleh Panembahan Agung?” bertanya Sutawijaya.
“Ya. Dan tentu
lebih sempurna,” sahut Kiai Gringsing.
Sutawijaya
menjadi termangu-mangu. Bahkan kemudian ia berkata,
“Pasukan kita
akan mengalami kesulitan. Mereka dapat membuat rintangan-rintangan semu yang
membingungkan.”
“Benar Raden. Apalagi
Panembahan Agung sendiri.”
“Apakah Kiai
tidak dapat mengatasi kesulitan ini?”
Kiai Gringsing
menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata,
“Raden. Aku
mempunyai cara untuk melawan pengaruh bayangan-bayangan semu itu di dalam
diriku. Aku dapat menguasai indera wadagku, dan menghapuskan bayangan semu. Aku
pernah mempelajari ilmu itu. Tetapi hanya untuk diriku sendiri. Aku tidak
mempunyai kemampuan untuk melawan ilmu semacam itu bagi orang lain.”
“Baiklah,”
Raden Sutawijaya yang masih dialiri darah mudanya itu menyahut,
“itu sudah
cukup. Kiai akan berdiri di paling depan dari pasukan ini. Kiai dapat
memberikan aba-aba kepada kami apa yang sebaiknya harus kami jakukan. Jika kita
melihat sesuatu, Kiai dapat mengatakan, apakah yang kita lihat itu sebenarnya
memang ada.”
Kiai Gringsing
menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Raden Sutawijaya sejenak, lalu
katanya,
“Memang
mungkin dapat dicoba. Tetapi jika pertempuran terjadi di antara kita dengan
mereka, maka kesempatan itu terlampau kecil.”
“Itu lebih,
baik daripada tidak sama sekali.”
“Tetapi Kiai,”
berkata Ki Argapati,
“jika
pertempuran sudah terjadi, apakah Panembahan Agung masih dapat melontarkan
ilmunya dengan bentuk-bentuk semu itu khusus bagi kita dan tidak mempengaruhi
anak buahnya sendiri?”
“Itulah yang
aku kurang mengerti,” berkata Kiai Gringsing,
“Panembahan
Agung dapat memilih sasaran bagi ilmunya. Tetapi di dalam campur baurnya
pertempuran, maka bentuk-bentuk semu agaknya akan mempengaruhi orang-orang
mereka juga.”
Ki Argapati
menganggukkan kepalanya. Desisnya,
“Jika demikian
kita harus berusaha untuk segera melibatkan diri di dalam pertempuran.”
Kiai Gringsing
tidak segera menjawab. Tetapi ketika ia menengadahkan wajahnya, obor-obor itu
sudah menjadi semakin kecil dan kemudian hilang di dalam kegelapan.
“Marilah kita
kembali ke tempat kita semula. Kita sedang disuguhi suatu permainan yang kurang
menarik,” berkata Kiai Gringsing.
Pasukan
pengawal Mataram dan Menoreh itu pun segera kembali ke tempat mereka semula.
Tetapi Kiai Gringsing, Ki Argapati, kedua muridnya, Pandan Wangi, dan Prastawa
berkumpul di ujung lembah. Bahkan Ki Demang Sangkal Putung yang tidak banyak
berbuat apa-apa itu berkata,
“Benar-benar
sebuah pertahanan yang kuat sekali.”
“Ya, Ki Demang,”
berkata Kiai Gringsing,
“jika ada dua
atau tiga orang yang memiliki dasar ilmu itu, meskipun belum berkembang sama
sekali, kita sudah akan terganggu semalam suntuk.”
“Kenapa harus
dua atau tiga orang?”
“Tentu tidak
akan dapat dilakukan oleh seorang. Mereka yang baru mulai dengan ilmu ini,
masih harus mengerahkan segenap daya pikir dan rasa untuk menimbulkan bayangan
semu seperti ini. Orang itu memerlukan waktu yang agak lama dan pengerahan
segenap kemampuan.”
Halaman 1 2 3
<<< Jilid 073 Jilid 075 >>>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar