KI DEMANG mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu lagi. Dalam pada itu, Putut Nantang Pati duduk di atas sebuah batu sambil menyilangkan tangannya di dadanya. Tubuhnya menjadi gemetar oleh getaran yang serasa menyesakkan dadanya. Di sekitarnya beberapa orang pengawalnya berjaga-jaga dengan senjata telanjang untuk melindunginya selama ia mengerahkan kemampuannya, permukaan dari ilmu yang didapatkannya dan Panembahan Agung. Ternyata bahwa ia sudah memberanikan diri untuk melepaskan ilmu yang baru permulaannya saja didapatkannya itu dengan akibat yang cukup melelahkan baginya. Daksina yang berada di belakannya memandangnya dengan cemas, ketika kemudian Putut Nantang Pati menarik nafas dalam-dalam dan mengurai tangannya yang menyilang di dadanya, maka Daksina pun ikut menarik nafas dalam-dalam pula.
“Ternyata kau
juga sudah mempelajari ilmu itu.”
“Baru mulai.
Sebenarnya belum waktunya aku mencoba kemampuanku.”
“Tetapi tentu
telah membingungkan orang-orang Mataram itu. Jika kau memang memiliki kemampuan
itu, sebenarnya kau akan dapat menumpas orang-orang Mataram di lembah itu
dengan membuat bentuk-bentuk semu.”
“Apakah kau
sekarang percaya, bahwa hal yang lebih dahsyat dapat dilakukan oleh Panembahan
Agung.”
“Aku percaya.
Tetapi aku tidak tahu, apakah orang Mataram tidak memiliki kemampuan pemunah
dari ilmu itu?”
“Ternyata
tidak. Ilmu yang belum dapat disebut, atau bahkan sebenarnya aku belum pantas
menyebut diriku menerima ilmu itu meskipun baru permulaannya, telah dapat
membuat mereka menjadi bingung. Kau dengar, bahwa mereka dengan mantap telah
menyambut api yang semu itu.”
”Tetapi apakah
akhirnya mereka mengetahui bahwa api itu sebenarnya hanya semu?”
“Aku tidak
tahu. Tetapi barangkali mereka menganggap itu sebagai suatu keajaiban. Aku
mengharap bahwa mereka menyangka, bahwa di daerah ini memang terdapat keajaiban
itu. Hantu, misalnya. Di Mentaok, hantu-hantu yang kami ciptakan ternyata telah
gagal.”
“Kenapa kau
tidak membantu hantu-hantuanmu dengan caramu ini?”
“Seperti aku
katakan, aku sedang mencoba. Untuk mencoba satu kali seperti ini, aku
memerlukan waktu pemusatan pikiran yang lama. Dan sudah barang tentu aku tidak
akan berani mengulanginya malam ini. Jika sekali lagi aku mencoba, maka aku
tidak akan mampu menahan diri. Aku tentu akan pingsan, dan jika ada kesalahan
pemulihan syaraf, aku dapat menjadi gila. Gila adalah akibat buruk yang mungkin
terjadi atas mereka yang mempelajari ilmu serupa ini.”
Daksina
menarik nafas dalam-dalam. Lalu, ”Jika demikian, kenapa bukan Panembahan Agung
sendiri yang datang ke Mataram, dan dengan ilmunya, ia mengacaukan tata
pemerintahan dan hubungan yang ada di antara mereka.”
“Panembahan
Agung hampir tidak pernah meninggalkan padepokannya,” sahut Putut Nantang Pati,
“kecuali jika
ada sesuatu yang luar biasa. Bukankah kau mengetahui, bahwa Panembahan Agung
tidak pernah keluar pagar batu padepokannya? Selama aku menjadi pengikutnya, baru
satu kali Panembahan Agung meninggalkan padepokannya.”
“Kapan dan
untuk apa?”
“Pada saat
Demak runtuh.”
“Demak tidak
pernah runtuh. Sepeninggal Sultan Demak, maka pemerintahan hanya berpindah ke
Pajang.”
“Tetapi
kebesaran Demak telah runtuh, kekuasaan Sultan Pajang jauh berada di bawah
kekuasaan yang sebenarnya dari Sultan Demak. Apalagi perang di antara mereka
yang merasa berhak mewarisi kerajaan, membuat Pajang hanya sekedar abu dari
kekuasaan yang pernah menyala sebelumnya. Apalagi dibandingkan dengan kebesaran
Majapahit.”
Daksina
menarik nafas dalam-dalam.
“Pada saat
itulah maka Panembahan Agung yang waktu itu masih lebih muda, pergi ke puncak
gunung Merapi untuk melihat kemungkinan yang bakal terjadi di pulau ini. Dari
puncak gunung itulah ia melihat bahwa Alas Mentaok seakan-akan menyala di malam
hari. Tiga hari tiga malam Panembahan Agung menyaksikan Alas Mentaok itu
bagaikan bara. Dan pada malam berikutnya, Panembahan Agung melihat segumpal
cahaya yang berwarna putih kebiru-biruan meluncur dan jatuh di atas Alas
Mentaok. Itulah sebabnya, maka Panembahan Agung menganggap bahwa Mataram pada
suatu saat akan menjadi pusat pemerintahan.”
Daksina
mengerutkan keningnya. Jika demikian, maka Panembahan Agung sudah mempunyai
rencana tersendiri bagi Mataram. Dengan demikian, maka bagi Panembahan Agung,
kekuatan Pajang yang ada di padepokannya dan di padepokan Putut Nantang Pati
itu hanya sekedar pemanfaatan yang tidak akan diperhitungkan kelak.
Tetapi Daksina
itu berkata di dalam hatinya,
”Memang
dahsyat sekali. Tetapi Kakang Tumenggung dan Kakang Panji bukannya anak-anak
kemarin sore. Terlebih-lebih lagi jika Paman Ajar di Kleca ikut campur di dalam
persoalan ini. Agaknya Panembahan Agung masih harus membuat pertimbangan khusus
jika ia sendirilah yang ingin berkuasa.”
Namun yang
kemudian dikatakan adalah,
”Jika
demikian, jika menurut pandangan Panembahan Agung, berdasarkan atas isyarat
yang pernah diterimanya, bahwa Mataram akan menjadi pusat pemerintahan, kenapa
ia tidak mengerahkan semua kemampuan, tenaga dan apa pun juga untuk merebut
Mataram?”
“Itu tidak
bijaksana. Selain Panembahan Agung harus memperhitungkan kemampuan yang ada di
Mataram sekarang, juga pengaruh dan kewibawaan nama Ki Gede Pemanahan. Meskipun
hubungan Mataram dan Pajang agak renggang, namun jika Panembahan Agung
menghancurkan Mataram dengan kekuatan senjata, apabila berhasil, maka
Panembahan akan berhadapan dengan Pajang. Dan seperti yang kita ketahui, Pajang
memiliki kemampuan dan kekuatan yang tidak dapat dijajagi. Antara lain adalah Sultan
Pajang sendiri, yang menyimpan seribu macam ilmu di dalam dirinya. Ilmu yang
dipelajari, disadap dari guru-gurunya yang sakti, dan ilmu yang tiba-tiba saja
ada pada dirinya tanpa diketahuinya sendiri.”
Daksina
menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah yang katakan oleh Putut Nantang Pati
itu benar. Bagi Pajang, maka Sultan Hadiwijaya adalah seorang yang diliputi
oleh rahasia. Tidak seorang pun dapat menjajagi kemampuan yang sebenarnya ada
pada dirinya. Namun bahwa Pajang tiba-tiba menjadi buram, karena Sultan Pajang
itu tidak lagi memiliki api perjuangan bagi perkembangan negerinya. Bahkan ia
pun kemudian tenggelam di dalam hidup yang di buatnya sendiri bagaikan sorga,
meskipun hanya sekedar bagi wadagnya.
Tetapi sikap
Sutawijaya, telah sangat mempengaruhinya. Sutawijaya adalah anak angkatnya yang
sangat kasihinya. Dan yang tiba-tiba saja telah meninggalkannya dalam tahtanya
yang terasa menjadi sepi.
Sejenak mereka
yang ada di atas tebing itu saling berdiam diri. Mereka tidak mendapat isyarat
gerakan apa pun dari para pengawal yang mengawasi pasukan Mataram dan Menoreh
yang ada di tebing.
“Ternyata aku
memerlukan waktu yang lama untuk memulihkan tenagaku,” berkata Putut Nantang
Pati.
“Kenapa?”
“Sebenarnya
belum waktunya aku memaksa diri dengan ilmu itu. Tetapi aku ingin melakukannya.
Dan kini terasa badanku menjadi lemah.”
“Bagaimana
dengan besok?”
“O, tentu
sudah pulih kembali. Sebelum fajar, tentu sudah mendapatkan tenagaku
sepenuhnya. Dan sebelum fajar kita sudah akan berada di pertahanan terakhir.”
“Tetapi apakah
Panembahan Agung juga mengalami keadaan seperti kau, jika ia melontarkan
ilmunya itu ?”
“Tentu tidak.
Meskipun ia memerlukan pemusatan pikiran, tetapi ilmu itu sudah bekerja
seolah-olah dengan sendirinya jika ia menghendakinya.”
Daksina mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu. Bahkan di dalam hatinya ia
merasa beruntung, bahwa ia akan dapat melihat dan mencoba mengetahui serba
sedikit rahasia dari ilmu yang aneh itu.
“Jika datang
saatnya, Kakang Tumenggung akan berterima kasih kepadaku, jika aku dapat
mengatakan bagaimana harus melawan ilmu itu,” namun kemudian,
”tetapi Paman
Ajar di Kleca tentu sudah tahu.”
Maka Daksina
dan beberapa orang pengawal padepokan serta beberapa orang bekas prajurit
Pajang masih tetap berada di tempatnya. Mereka menunggu Putut Nantang Pati
mendapatkan kekuatannya kembali setelah ia memaksa diri dengan melontarkan ilmu
yang sebenarnya masih belum dikuasainya itu. Baru ketika Putut Nantang Pati
merasa dirinya lebih baik, ia berdiri tertatih-tatih sambil berkata,
”Marilah, kita
mendahului para pengawal. Kita langsung pergi ke padepokan Panembahan Agung.
Biarlah anak-anak itu mengganggu orang-orang Mataram dengan anak panah, atau
biarlah mereka membuat beberapa buah obor yang sebenarnya. Jika obor-oborku
tadi berhasil menumbuhkan gambaran tentang keajaiban, maka obor-obor yang akan
dinyalakan oleh para pengawal dan ditancapkan di tebing, akan menimbulkan
tanggapan serupa.”
“Tetapi obor
itu akan menyala sampai pagi. Dan mereka akan menemukan bekas-bekasnya,
sehingga tanggapan yang semula akan larut karenanya, jika mereka menyangka
bahwa yang dilihatnya semalam juga hanya sekedar obor-obor biasa.”
“Obor-obor itu
hanya akan dibasahi dengan minyak sedikit saja, sehingga akan segera padam.
Orang-orang yang tinggal di sini akan mengambil obor itu dan
menyembunyikannya.”
Daksina
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tanpa bertanya lagi, maka ia pun kemudian
mengikuti Putut Nantang Pati meninggalkan tebing. Ternyata mereka tidak singgah
lagi di padepokan Putut Nantang Pati yang memang sudah dikosongkan. Mereka
langsung pergi ke padepokan Panembahan Agung diiringi oleh beberapa orang
pengawal. Meskipun malam masih disaput oleh gelap yang pekat, namun agaknya
mereka sudah terlalu biasa berjalan di tebing padas yang curam itu.
Para pengawal
yang ditinggalkan oleh Daksina mulai berusaha mengganggu pasukan Mataram dan
Tanah Perdikan Menoreh yang ingin mempergunakan sisa malam itu untuk
beristirahat. Jika besok mereka akan menghadapi perang yang sebenarnya, maka
mereka perlu mengumpulkan tenaga untuk melayani lawannya. Mungkin sehari penuh
mereka harus bertempur. Mungkin bahkan masih akan berlanjut di hari kemudian. Seperti
yang dikatakan oleh Putut Nantang Pati, maka satu dua orang mulai menyalakan
obor dan pergi ke atas tebing yang agak jauh. Nyala api obor itu memang dapat
mengejutkan sesaat. Namun indera wadag orang-orang Mataram dan Menoreh yang
tajam, segera dapat membedakan obor itu dengan obor yang semu. Apalagi Ki
Argapati dan Kiai Gringsing.
“Agung
Sedayu,” bertanya Kiai Gringsing, ”kau melihat obor itu.”
“Ya, Guru,”
jawab Agung Sedayu.
“Kau melihat
sesuatu selain obor?”
“Aku melihat
bayangan seseorang, meskipun ia berusaha bersembunyi di balik pepohonan.”
“Nah, itulah
bedanya dengan obor yang tadi. Orang itu tentu akan mengganggu kita,
seakan-akan obor yang semu itu menyala lagi. Nah, kau tahu apa yang harus kau
lakukan?”
“Maksud Guru?”
“Ambillah
busurmu.”
“O,” Agung
Sedayu pun kemudian mengambil busur dan anak panah.
“Cepat,
sebelum orang itu pergi dan meninggalkan obor di tebing.”
Sejenak Agung
Sedayu termangu-mangu. Tetapi segera ia sadar, bahwa ia berada di medan
peperangan. Itulah sebabnya, maka ia pun segera menarik busurnya meskipun
dengan hati yang berdebar-debar.
Agung Sedayu
adalah seorang anak muda yang memiliki kemampuan bidik yang luar biasa,
seakan-akan mewarisi kemampuan ayahnya. Karena itu, maka ketika anak panahnya
meluncur dengan cepat, segera terdengar sebuah keluhan di atas tebing. Orang
yang sedang berusaha menancapkan obor, yang meskipun sebagian tubuhnya
terlindung oleh gerumbul dan pepohonan perdu, namun ternyata Agung Sedaya telah
berhasil mengenai lengannya yang memegang obor itu. Sengatan anak panah itu
sama sekali tidak diduganya, sehingga karena itu, maka obor ditangannya itu pun
bagaikan dilemparkannya ke dalam lembah berbatu padas. Kawan-kawannya yang
mendengar keluhan itu pun segera mendekatinya. Beberapa buah obor yang
seharusnya ditancapkan di tempat yang agak memencar, seakan-akan telah
berkumpul menjadi satu.
“Kau dapat
membidik mereka Agung Sedayu,” berkata gurunya.
Sekali lagi
Agung Sedayu disentuh oleh keragu-raguan. Namun sekali lagi ia mencoba memaksa
dirinya untuk menyadari, bahwa di dalam peperangan, tidak ada pilihan lain
daripada berusaha melemahkan lawan dengan segala cara. Karena itu, selagi
orang-orang di atas tebing itu sedang sibuk menolong kawannya yang terluka, dan
tanpa mereka sadari, mereka telah mempergunakan obor-obor mereka justru untuk
menerangi luka di lengan itu, Agung Sedayu telah menarik busurnya sekali lagi.
Bahkan bukan saja Agung Sedayu, tetapi juga Pandan Wangi, Swandaru dan
Prastawa, hampir bersamaan telah menyerang orang-orang yang sedang mengerumuni
kawannya yang terluka di atas tebing itu. Sekali lagi terdengar sebuah keluhan.
Bukan dari satu orang. Agaknya anak panah yang meluncur itu telah berhasil
melukai lebih dari seorang sekaligus. Sejenak kemudian terjadi kebingungan di
antara mereka, Namun sejenak kemudian maka mereka pun segera menghilang di
balik gerumbul dan pepohonan sambil membawa kawan-kawan mereka yang terluka. Raden
Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Mau tidak mau ia mengakui kemampuan Agung
Sedayu. Bidikannya hampir tidak pernah salah.
“Mereka
mencoba untuk membuat kita semakin bingung,” berkata Kiai Gringsing kemudian,
”Mereka berusaha
agar kita menyangka, bahwa obor-obor itu pun tentu bukan obor yang sebenarnya.”
“Bagaimana
Kiai mengetahuinya?” bertanya Raden Sutawijaya.
“Orang-orang
yang membawa obor itu berusaha meletakkan obor mereka di bibir tebing. Sudah
barang tentu mereka mengharapkan kesan, seakan-akan obor itu pun tidak ada
bedanya dengan obor yang sebenarnya hanya semu itu. Dengan demikian akan
menimbulkan dugaan, bahwa ada di antara mereka memiliki ilmu itu dengan baik.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Kiai Gringsing pun berkata selanjutnya,
”Tetapi
sebenarnyalah bahwa untuk menimbulkan kesan yang pertama, orang itu telah
kehabisan tenaga, sehingga ia sudah tidak mampu lagi melakukannya.”
Dalam pada itu
Agung Sedayu dan Swandaru pun kemudian duduk di antara para Pengawal Tanah
Perdikan Menoreh. Namun mereka sama sekali tidak lagi merasa kantuk, karena
hampir setiap orang telah dicengkam oleh persoalan yang hampir serupa.
“Apakah
kira-kira yang akan dijumpainya besok di dalam perang yang tentu akan lebih
besar dari yang pernah terjadi?” mereka bertanya kepada diri sendiri.
Meskipun lawan
tidak lagi mengganggu di sisa malam itu, namun para pengawal dari Mataram dan
dari Tanah Perdikan Menoreh itu tidak dapat lengah. Setiap saat mereka akan
dapat menerkam dengan segala cara. Karena itulah, maka bukan saja yang lagi
bertugas yang merasa wajib berjaga-jaga. Tetapi semuanya. Jika ada di antara
mereka yang diserang oleh perasaan kantuk pula, maka mereka pun hanya dapat
terlena beberapa kejap saja sambil duduk memeluk lutut atau bersandar
pepohonan.
Orang-orang
yang mencoba memasang obor di atas tebing, dengan tergesa-gesa meninggalkan
daerah yang terkutuk itu. Beberapa orang dari mereka telah terluka. Bahkan
salah seorang dari mereka terluka agak parah, karena sebuah anak panah telah
menancap di punggung. Tetapi mereka tidak akan dapat menghubungi dan menunggu
perintah yang lain dari Putut Nantang Pati dan Daksina karena keduanya telah
mundur bersama pasukannya menempatkan diri pada pertahanan terakhir di muka
padepokan Panembahan Agung. Sedang yang ada di padepokan Putut Nantang Pati
sendiri tentu hanya sekedar pengawal yang bertugas mengganggu perjalanan
pasukan pengawal Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh. Karena itu, yang dapat
mereka lakukan adalah sekedar menyingkir dan menyerahkan tugas mereka kepada
orang-orang lain. Namun yang lain pun menganggap bahwa permainan obor tentu
tidak akan berguna lagi. Karena itu, mereka memusatkan diri pada tebing yang
tinggi untuk menghujani pasukan yang bakal lewat dengan anak panah dan
tombak-tombak pendek. Tetapi hal yang serupa itu telah diperhitungkan oleh
Raden Sutawijaya dan Ki Argapati, sehingga pasukan mereka telah siap menghadapi
setiap kemungkinan. Ketika matahari mulai membayangkan warna-warna merah, maka
pasukan di lembah itu pun telah bersiap. Tetapi agaknya Sutawijaya menyadari
sepenuhnya, bahwa di hadapannya terbentang medan yang berat sekali.
Karena itu,
maka Sutawijaya pun berpendapat, bahwa pasukannya tidak akan dengan mudah dapat
menyelesaikan tugasnya. Mungkin mereka memerlukan waktu lebih dari sehari.
Sehingga karena itu, maka Sutawijaya pun harus mempersiapkan semua segi dari
pasukannya. Kemampuan, kekuatan jasmaniah dan ketahanannya, perbekalan dan
persoalan yang lain lagi. Ternyata bahwa mereka tidak dapat membiarkan
kuda-kuda mereka terikat beberapa hari tanpa minum meskipun diseputarnya
terdapat rumput-rumput segar. Sehingga karena itu, maka dua orang dari pasukan
Pengawal Mataram dan dari Menoreh mendapat tugas untuk kembali memelihara
kuda-kuda mereka, sedang apabila perlu, Sutawijaya dan Ki Argapati harus telah
bersetuju untuk menyiapkan beberapa orang yang harus mengambil perbekalan
kembali ke Menoreh, dan bahkan jika perlu memanggil beberapa orang pasukan
Pengawal untuk memperkuat kedudukan mereka.
“Kita akan
menjajagi,” berkata Raden Sutawijaya,
”mudah-mudahan
kita tidak memerlukan lagi. Baik pasukan maupun perbekalan.”
Ki Argapati mengangguk-anggukkan
kepalanya,
“Raden benar.
Tetapi jika perlu, pasukan Pengawal Menoreh dapat mempersiapkan diri dalam waktu
setengah hari, sedang pasukan cadangan dapat dipersiapkan dalam waktu satu hari
satu malam.”
Sutawijaya
mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berdesis,
”Ternyata
pasukan Pengawal Tanah Perdikan Menoreh mempunyai susunan yang hampir sempurna,
sehingga dalam waktu yang singkat, sudah dapat digerakkan seluruhnya.”
“Bukan
sempurna, Raden. Tetapi karena pengalaman pahit di masa lampau, maka pasukan
kami masih tetap di dalam susunan yang mapan.”
Kiai Gringsing
menarik nafas dalam-dalam. Ia percaya sepenuhnya bahwa pasukan Pengawal Tanah
Perdikan Menoreh susunannya tidak jauh berbeda dengan anak-anak muda yang
menjadi Pengawal Kademangan Sangkal Putung. Kedua daerah ini pernah mengalami
masa yang hampir saja mengguncangkan kelestarian daerah mereka, sehingga karena
itu, maka mereka justru mempunyai ketahanan diri yang mapan. Dan tidak berbeda
pula dan bahkan memiliki susunan yang lebih tertib adalah pasukan Pengawal
Mataram yang sebagian disusun seperti dan oleh bekas prajurit-prajurit Pajang. Ketika
matahari kemudian mulai melontarkan sinarnya di atas punggung pegunungan, maka
mulailah pasukan yang berada di lembah itu bergerak. Mereka menyadari bahwa
pada suatu saat mereka akan mendapat serangan kecil dari tebing. Namun
serangan-serangan itu bukannya lawan yang sebenarnya sehingga karena itu, maka
mereka tidak boleh terpancang pada serangan-serangan itu. Meskipun demikian
bukan berarti bahwa mereka tidak harus berhati-hati, karena betapa pun juga
anak panah yang dilontarkan dari tebing itu akan mampu membunuh dalam arti yang
sebenarnya. Maka pasukan pengawal Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh itu mulai
bergerak maju. Untuk mengurangi kemungkinan yang tidak diharapkan, serta
jebakan-jebakan yang akan dapat mengganggu pasukan itu, maka atas persetujuan Raden
Sutawijaya dan Ki Argapati, maka pasukan itu pun berjalan dalam urutan yang
panjang. Yang berjalan di sisi kiri luar lembah yang agak luas itu adalah
pasukan Pengawal Mataram. Kemudian di sisi kanan adalah Pengawal Tanah Perdikan
Menoreh. Berurutan dan bahkan kelompok demi kelompok saling membatasi diri
beberapa langkah. Tetapi ternyata bahwa jalan yang mereka lalui adalah daerah
yang liar, sehingga mereka tidak dapat maju dengan pesat. Namun beberapa puluh
langkah kemudian, ternyata lembah itu menjadi semakin mudah dilalui. Bahkan
pepohonan pun menjadi semakin jarang, sehingga akhirnya Raden Sutawijaya tertegun
sejenak sambil berdesis,
”Kita sampai
ke daerah yang sering disentuh oleh tangan manusia.”
“Tentu kita
sudah dekat dengan perkemahan atau padepokan atau semacam itu,” sahut Ki Lurah
Branjangan.”
“Ya. Di
hadapan kita itu tentu daerah yang dapat ditanami. Lihat hijaunya lain dengan
daerah yang liar. Di sini pepohonan tumbuh tanpa diatur, sehingga jenis pohon
apa pun tumbuh bersama-sama. Tetapi menilik hijaunya daun, maka di depan kita
tentu pategalan yang sudah mengalami pemeliharaan.”
Ki Lurah
Branjangan mengangguk-angguk. Namun ia pun kemudian menunjuk sebuah tebing yang
menjorok sambil berdesis,
”Jika masih
ada orang yang ingin mengganggu perjalanan kita, maka tebing itu merupakan
tempat yang paling baik untuk melakukannya.”
Raden
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun menganggukkan
kepalanya. Pada saat yang bersamaan di sisi lain, Ki Argapati pun menunjuk
tebing yang menjorok itu. Katanya,
”Kita harus
berhati-hati.”
“Kenapa,
Ayah?” bertanya Pandan Wangi.
“Tebing itu.”
Pandan Wangi
menganggukkan kepalanya. Ia mengerti maksud ayahnya, sehingga ia pun segera
mempersiapkan dirinya sambil berdesis kepada Prastawa,
”Beritahukan
seluruh pasukan. Kita harus berhati-hati.”
Prastawa pun
kemudian surut beberapa langkah. Diberitahukannya pemimpin kelompok terdepan
dari pasukan Pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang kemudian menjalar ke setiap
telinga. Ketika Prastawa melihat Kiai Gringsing dan kedua muridnya yang
berjalan agak di belakang, maka ia pun mendekatinya sambil berkata,
”Tebing itu.”
Kiai Gringsing
mengangguk. Katanya,
”Sebaiknya
kita mempersiapkan anak panah dan busur.”
“Ya. Paman
sudah memerintahkan kepada seluruh pasukan.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Dipalingkannya wajahnya kepada kedua muridnya yang ternyata
juga menyandang busur dan anak panah, yang didapatkannya dari para pengawal. Ki
Demang Sangkal Putung yang berada beberapa langkah di belakang mereka, berjalan
sambil menundukkan kepalanya. Kadang-kadang ia merasa aneh, bahwa kedatangannya
ke Menoreh adalah untuk melamar seorang gadis bagi anaknya. Namun tiba-tiba ia
telah terlempar ke dalam lembah yang liar di antara bukit-bukit padas ini.
Bahkan, bersama anaknya ia sudah berada di depan bahaya yang mungkin dapat
merampas nyawanya.
“Bukan main,”
katanya kepada diri sendiri di dalam hatinya,
”kadang-kadang
kita memang harus menjalani liku-liku kehidupan yang tidak pernah kita
bayangkan sebelumnya. Jika karena sesuatu hal, apakah Swandaru apakah Pandan
Wangi yang tersentuh oleh tajamnya senjata, maka kedatangan kami di Menoreh
adalah sia-sia. Bahkan adalah suatu kegagalan.”
Tetapi Ki
Demang tidak dapat menyalahkan siapa pun juga. Keadaan yang memang di luar
kekuasaannya, bahkan di luar kekuasaan Ki Argapati, dan telah menyeret pasukan
pengawal Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh itu menyusur lembah ini.
Ki Demang
terkejut ketika Swandaru yang berhenti menunggunya menggamit lengannya.
“Ayah,”
berkata Swandaru,
”marilah
berjalan bersama kami.”
“Kenapa?
Apakah kita sudah dekat?”
“Tidak, Ayah.
Tetapi tebing yang menjorok itu mememerlukan perhatian yang khusus.”
Ki Demang
mengangkat wajahnya. Dilihatnya tebing yang menjorok itu. Dan ia pun mengerti,
bahwa di atas tebing itu mungkin tersembunyi beberapa orang lawan. Mereka dapat
menggulingkan batu dan batang-batang kayu seperti yang pernah mereka lakukan.
Tetapi lembah di sebelah tebing yang menjorok itu tidak menguntungkan untuk
mengulangi cara itu.
”Tentu
serangan dengan anak panah,” desis Ki Demang.
“Kita sedang
menduga,” sahut Swandaru,
”mungkin
memang demikian, tetapi mungkin tidak. Tetapi jika benar, kita harus bersiap
menghadapinya.”
“Baiklah,”
berkata Ki Demang,
”tetapi aku
dapat meminjam sebuah perisai dari seorang pengawal.”
“Dan pengawal
itu?”
“Bersama-sama
berlindung di bawah dua orang kawannya yang berperisai juga.”
Swandaru
tersenyum. Tetapi Swandaru sendiri tidak memerlukan perisai. Jika perlu,
cambuknya dapat melindungnya. Dengan putaran secepat baling-baling, maka setiap
anak panah akan terlempar menjauhinya. Pasukan itu merayap semakin dekat. Dan
Ki Demang telah berada bersama dengan Kiai Gringsing dan kedua muridnya yang
kemudian berjalan di belakang Ki Argapati, Pandan Wangi dan Prastawa.
Kini di
hadapan mereka telah berjalan lebih dahulu beberapa orang pengawal yang membawa
perisai, agar mereka dapat melindungi diri mereka dari serangan anak panah
lawan. Semakin dekat kedua pasukan yang berjalan sebelah-menyebelah itu dari
tebing yang menjorok, maka kedua pasukan itu menjadi semakin berhati-hati.
Beberapa orang telah mempersiapkan perisai mereka, sedang yang lain
mempersiapkan busur dan anak panah. Hampir setiap mata memandang ke arah tebing
yang menjorok itu. Setiap pepohonan dan setiap gerumbul tidak terlepas dari pengawasan,
seakan-akan di balik setiap batang pohon dan setiap gerumbul perdu, bersembunyi
orang-orang siap melemparkan anak panah. Tetapi tiba-tiba saja mereka terkejut
ketika mereka mendengar teriakan nyaring disusul dengan sorak sorai yang riuh.
Selagi pasukan itu tertegun heran, maka anak panah pun meluncur seperti hujan
yang dicurahkan dari langit. Sekejap kedua pasukan itu menjadi bingung. Namun
hampir bersamaan, maka Raden Sutawijaya, Ki Lurah Branjangan, Ki Argapati dan
Swandaru berteriak,
”Berlindung.
Cepat.”
Setiap orang
di dalam pasukan itu segera mencari perlindungan. Batang-batang pohon,
gerumbul-gerumbul dan mereka yang membawa perisai, langsung melindungi diri
mereka dengan perisai.
“Gila,”
Prastawa mengumpat,
”ternyata
mereka tidak menunggu sampai kita sampai di bawah tebing itu.”
Tidak seorang
pun yang menyahut. Beberapa orang menggeretakkan giginya, sedang yang lain
mengumpat-umpat, karena mereka hanya dapat menyembunyikan diri tanpa dapat
berbuat apa-apa. Tetapi Agung Sedayu, Swandaru, dan mereka yang membawa busur
dan panah, segera mencari tempat. Mereka bergeser dari satu pohon ke balik
pohon yang lain, sehingga mereka dapat menemukan tempat yang paling baik untuk
melawan anak panah itu.
Sejenak
kemudian beberapa buah anak panah meluncur pula dari lembah. Dengan demikian,
maka deras anak panah yang menghujan itu pun segera berkurang, karena
orang-orang yang berada di atas tebing pun harus mencari perlindungan. Tetapi
ada pula di antara mereka yang dengan beraninya berdiri saja di bibir tebing
sambil melontarkan anak panah mereka dan sekedar berlindung pada sebatang pohon
perdu yang tidak begitu rapat. Sejenak Agung Sedayu mengamati medan. Namun
sejenak kemudian ia serasa disentuh oleh perasaan wajib. Karena itu, maka
perlahan-lahan tangannya mulai memasang anak panah pada busurnya, sementara
Swandaru telah melepaskan beberapa anak panahnya. Di bagian lain, Sutawijaya
pun telah membalas serangan-serangan itu. Tetapi mereka harus bersembunyi
sebaik-baiknya karena ternyata bukan saja anak panah yang ringan dan kecil,
tetapi mereka telah melemparkan pula tombak-tombak pendek dan lembing-lembing
bambu cendani sebesar ibu jari kaki, yang mereka beri semacam bedor besi
diujungnya. Sejenak maka kedua pasukan yang ada di lembah itu harus melayani
lawan-lawannya meskipun mereka tahu, bahwa yang mereka hadapi adalah sekedar
usaha untuk memperlambat laju mereka. Meskipun demikian, pasukan pengawal
Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh itu memerlukan waktu yang cukup lama untuk
melayani orang-orang yang berada di atas tebing itu. Untuk menghindari
korban-korban yang tidak perlu, maka para pengawal itu pun masih saja
berlindung di balik pepohonan, sementara mereka yang bersenjata panah,
mengurangi derasnya serangan lawan dengan anak panah-panah pula.
“Jika kita
masih tetap ada di sini, maka mereka tidak akan segera pergi,” desis Ki Lurah
Branjangan.
“Maksudmu?”
bertanya Sutawijaya.
“Aku akan
membawa beberapa orang pengawal, merayap naik tebing dan menyerang mereka dari
jarak dekat.”
“Bagaimana kau
akan naik?”
”Kami
memerlukan perlindungan dari mereka yang bersenjata panah.”
Sutawijaya menganggukkan
kepalanya. Katanya,
”Baiklah.
Pergilah dengan beberapa orang pengawal. Beritahukan Ki Argapati dan para
pemimpin dari Menoreh, agar pasukanmu tidak justru menjadi sasaran serangan
panah mereka.”
Ki Lurah
Branjangan pun kemudian membawa beberapa orang untuk menghalau orang-orang yang
menyerang mereka dari atas tebing itu. Dengan sedikit melingkar, mereka merayap
naik setelah mereka memberitahukan rencananya kepada pasukan pengawal Tanah
Perdikan Menoreh. Beberapa orang pengawal Mataram yang bersenjata panah
melindunginya dari serangan orang-orang di atas tebing dengan melontarkan panah
sebanyak-banyaknya, dibantu oleh para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh. Maka
anak panah pun meluncur dengan derasnya dari kedua belah pihak. Sekali-sekali
jika dua batang anak panah kebetulan beradu, maka sepercik bunga api telah
meletik di udara.
Ternyata
pasukan yang merayap itu telah menarik perhatian orang-orang yang berada di atas
tebing. Dengan demikian, maka serangan-serangan mereka pun segera dipusatkan ke
arah mereka, karena pengawal yang naik ke atas tebing akan langsung dapat
menyerang mereka dari jarak dekat. Tetapi dengan demikian, maka pasukan
pengawal yang ada di lembah mendapat kesempatan lebih banyak. Mereka segera
menghujani orang-orang di atas tebing itu sebanyak-banyaknya yang dapat mereka
lemparkan.
“Apakah anak
panah kalian akan kalian habiskan di sini?” bertanya Swandaru kepada salah
seorang pengawal.
“Mereka harus
dihalau.”
“Jika panahmu
habis dan kita masih menjumpai gangguan yang sama, apa yang dapat kita
lakukan?”
Orang itu
mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia masih mendapat jawaban,
”Kita akan
memungut anak panah yang bertebaran di sekitar kita dan kita masukkan ke dalam
endong kita.”
Swandaru
tersenyum sambil mengumpat,
”Ada saja
jawabanmu itu.”
Orang itu pun
tersenyum. Tetapi keduanya terkejut ketika mereka mendengar teriakan nyaring.
Mereka masih sempat berpaling dan melihat seseorang di atas tebing itu menggeliat
dan tanpa dapat menguasai dirinya, ia terjatuh ke dalam jurang yang terjal.
Sebuah anak panah menancap di dadanya, dan darah yang merah seakan-akan
memancar dari luka itu. Semua mata tertambat kepada orang yang berguling itu,
kecuali Swandaru. Ia mencoba memandang wajah Agung Sedayu yang berdiri beberapa
langkah daripadanya. Dilihatnya Agung Sedayu tiba-tiba saja menundukkan
kepalanya. Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Katanya di dalam hati,
”Tentu Kakang
Agung sedayu yang mengenainya dengan tepat. Ia benar-benar seorang yang
memiliki kemampuan bidik yang luar biasa. Orang yang sudah berlindung di
belakang ilalang itu tepat dikenai dadanya,” Swandaru menarik nafas
dalam-dalam, lalu,
“Tetapi ia
memang bukan seorang prajurit yang baik. Ia bukan Untara, dan ia bukan Raden
Sutawijaya. Bukan pula seperti aku.”
Agung Sedayu
masih berdiri sambil menunduk di balik sebatang pohon. Namun hiruk-pikuk di
sekelilingnya seakan-akan telah membangunkannya, sehingga sejenak kemudian ia
mulai mengangkat wajannya dan memandang ke atas tebing. Swandaru mengerutkan
keningnya. Tetapi ia tidak berbuat sesuatu. Justru ia sengaja agar Agung Sedayu
tidak mengetahui bahwa ia sedang memperhatikannya. Ketika Swandaru pun kemudian
menengadahkan wajahnya pula, dilihatnya pasukan Ki Lurah Branjangan yang dengan
susah payah merayap naik itu telah hampir mencapai bibir tebing di bawah
perlindungan anak panah dari para pengawal di bawah, dan perisai-perisai yang
mereka bawa.
Beberapa orang
lawan yang melihat usaha itu hampir berhasil segera berlari-lari mendekat
dengan pedang terhunus. Namun satu dua di antara mereka terpaksa jatuh
terkapar, ketika anak panah yang dilontarkan dari lembah mengenai mereka. Tetapi
mereka bukan orang-orang yang dungu. Mereka pun segera menjauhi bibir tebing,
dan mencoba menyerang Lurah Branjangan dengan anak panah dari tempat yang tidak
terlihat dari lembah. Namun pasukan Ki Lurah pun sudah mulai menebar. Satu dua
orang sudah mencapai bibir tebing, dan yang satu dua itu langsung terlibat di
dalam perkelahian. Sementara yang lain segera menyusulnya. Meskipun pertempuran
yang terjadi itu sekedar merupakan bagian kecil dari keseluruhan, namun para
pemimpin Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh mengikutinya dengan dada yang
berdebar-debar. Bahkan beberapa orang menjadi cemas, jika sekiranya mereka
salah hitung, dan ternyata orang-orang yang berada di atas tebing itu berjumlah
jauh lebih banyak dari anak buah Ki Lurah Branjangan, maka keadaannya akan
menyulitkannya. Apalagi ketika pertempuran sudah berkobar, maka para pengawal
dilembah tidak berani lagi melontarkan anak panah mereka. Sehingga dengan
demikian, mereka hanya dapat sekedar memperhatikan pertempuran yang sedang
berlangsung.
Namun
pertempuran itu tidak berlangsung lama. Ketika Sutawijaya memerintahkan beberapa
orang pengawalnya untuk menyusul naik ke atas tebing pegunungan itu, maka
orang-orang yang sedang mengganggu perjalanan itu pun harus memperhitungkannya.
Karena itu, maka sejenak kemudian mereka pun segera berusaha menarik diri.
Dengan sebuah isyarat, maka perlahan-lahan mereka surut, dan kemudian
berhamburan masuk ke dalam semak-semak dan belukar di atas tebing. Ki Lurah
Branjangan mencoba mengejar mereka beberapa puluh langkah. Namun ia pun
kemudian memerintahkan anak buahnya berhenti. Mereka tidak mengetahui apa yang
ada di balik gerumbul-gerumbul dan belukar yang cukup lebat itu, sehingga
karena itu, maka ia pun segera menghentikan pasukannya. Beberapa orang yang
sedang memanjat naik itu pun mengurungkan usahanya untuk mencapai bibir tebing,
karena tidak ada lagi lawan yang harus dihadapinya. Dan sebenarnyalah menurut
perhitungan Sutawijaya, orang-orangnya itu bukannya benar-benar harus
bertempur. Dengan memerintahkan beberapa orang naik, pasukan lawan itu tentu
akan menghindar. Sejenak kemudian Ki Lurah Branjangan pun telah sampai ke induk
pasukannya. Segera mereka melanjutkan perjalanan. Meskipun mereka baru saja
bertempur, namun di bawah tebing yang menjorok itu, mereka tetap berhati-hati.
Ternyata mereka lewat tanpa gangguan apa pun. Meskipun demikian, ternyata ada
juga di antara anak buah Ki Lurah yang terluka. Meskipun lukanya tidak parah,
tetapi sambil berjalan, kawan-kawannya berusaha untuk menahan arus darah yang
mengalir dari luka itu. Dan dari Kiai Gringsing mereka mendapat serbuk obat yang
dapat mengurangi titik-titik darah yang keluar dari luka-luka itu. Beberapa
saat kemudian mereka sudah sampai ke daerah pategalan yang seperti telah diduga
oleh para pengawal Mataram dan Menoreh, merupakan tanah yang sudah digarap.
Ternyata bahwa lembah itu memang menjadi semakin luas dan merupakan sebuah
dataran yang tersembunyi di antara pegunungan.
”Ada mata
air,” tiba-tiba salah seorang dari para pengawal itu berteriak.
Pasukan itu
terhenti. Di lereng sebelah kiri, di bawah sebatang pohon ketapang yang besar,
terdapat sebuah mata air yang cukup besar sehingga airnya mengalir ke dalam
sebuah parit. Sutawijaya memperhatikan mata air itu sejenak. Kiai Gringsing,
kedua muridnya, Ki Demang Sangkal Putung, dan para pemimpin dari Tanah Perdikan
Menoreh pun kemudian berkerumun di sekitar mata air itu.
“Suatu sumber
penghidupan di lembah ini,” desis Sutawijaya.
“Ya,” sahut
Kiai Gringsing,
”air itu tentu
mengalir ke tempat yang lebih rendah. Dengan demikian, jika kita menyusuri air
yang mengalir ini, kita akan sampai kepada dua kemungkinan. Keluar dari lembah
ini, mungkin memang ada jalan keluar tanpa melalui puncak-puncak bukit kecil
itu, atau menerobos di bawah tanah. Sedang kemungkinan yang lain, bahwa kita
akan sampai ke daerah yang berawa-rawa.”
“Kemungkinan
yang pertama itulah yang paling dekat dengan keadaan daerah ini,” berkata Ki
Argapati.
”Jika kita
akan sampai ke daerah yang berawa-rawa, selain tanah akan menjadi semakin
lembab, kita akan dapat melihat rawa-rawa itu dari tebing pegunungan ini.”
Yang lain
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun mereka mendapatkan satu kesimpulan, bahwa
tanah dataran di antara bukit-bukit kecil ini merupakan tanah yang baik untuk
digarap. Dengan demikian maka mereka berpendapat, bahwa mereka tentu akan
sampai kepada sebuah padukuhan. Dan padukuhan itulah yang mungkin telah
dipergunakan sebagai pusat gerakan dari seorang yang menyebut dirinya
Panembahan Agung. Dengan demikian, maka mereka pun menduga, bahwa mereka
benar-benar telah berada di ambang pintu padepokan yang mereka cari. Karena
itulah maka sejenak kemudian, para pemimpin dari Mataram dan Tanah Perdikan
Menoreh itu pun segera mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Dengan
kesiagaan sepenuhnya maka pasukan itu pun merayap maju. Di sela-sela pategalan
mereka menemukan jejak dari sebuah pasukan yang cukup besar. Karena itulah maka
para pengawal itu telah menggenggam senjata di tangan masing-masing. Mereka
menyangka bahwa sebentar lagi mereka tentu akan disergap oleh sepasukan yang
kuat dari sela-sela pepohonan di pategalan itu. Tetapi sampai beberapa puluh
langkah kemudian mereka tidak mengalami sesuatu. Apalagi pategalan itu menjadi
semakin jarang dan sekedar ditanami dengan pohon buah-buahan dan agaknya baru
saja orang-orang di padukuhan itu mengambil hasil tanaman mereka. Menilik
bekasnya, maka tanah di antara pohon buah-buahan yang jarang itu baru saja
ditanami dengan ketela pohon dan sebagian dengan sejenis kacang. Namun yang
mereka yakini, bahwa mereka telah menjadi semakin dekat dengan sebuah
padukuhan.
Pasukan itu
pun kemudian menjadi semakin berhati-hati. Sebelum mereka maju lagi, maka
mereka telah mengirimkan tiga orang yang akan mengawasi keadaan di hadapan
mereka, apakah mereka akan masuk ke dalam perangkap atau tidak. Para pengawas
itu dengan hati-hati merayap maju mendahului pasukannya. Mereka membawa
beberapa macam alat untuk mengirimkan isyarat. Panah sendaren, bahkan kentongan
kecil. Tetapi mereka sama sekali tidak menjumpai apa pun yang mencurigakan.
Mereka tidak melihat sebuah pertahanan yang kuat, dan ujung-ujung senjata yang
mencuat. Namun mereka tidak tergesa-gesa maju terus, karena mereka masih selalu
dibayangi oleh kecurigaan, bahwa lawan tereka dapat memasang jebakan yang tidak
mereka duga lebih dahulu. Dengan sangat hati-hati mereka maju beberapa puluh
langkah lagi, bergeser di antara pepohonan. Tetapi mereka pun tidak menemukan
apa-apa. Di antara pepohonan yang jarang itu, mereka sama sekali tidak melihat
pasukan pengawal segelar sepapan.
“Kenapa begitu
sepi?” bertanya salah seorang di antara para pengawas itu sambil berbisik.
“Ya. Aku
justru menjadi curiga. Mungkin mereka berada di balik dinding batu di belakang
pategalan itu.”
“Itu pun
sepi.”
“Mereka
sengaja berlindung.”
“Tetapi itu
tidak menguntungkan. Jika kita datang dengan seluruh pasukan, mereka akan
terkepung di dalam halaman yang sempit. Dan karena itu, maka mereka tidak akan
dapat memberikan perlawanan yang sempurna.”
“Itulah yang
aneh. Dan yang tidak lazim itulah yang harus kita perhatikan.”
“Aku akan maju
lagi,” berkata yang lain dengan tiba-tiba,
”aku tidak
telaten untuk sekedar menduga-duga saja.”
Kawan-kawannya
tidak membantah, sehingga karena itu maka mereka pun mulai bergerak maju dengan
hati-hati. Mereka selalu berusaha berlindung di antara pepohonan dan
pohon-pohon perdu yang bertebaran di pategalan di hadapan padukuhan yang sudah
nampak.
“Padukuhan itu
kecil,” desis salah seorang.
“Ya. Tetapi
rumah-rumah yang nampak itu adalah barak-barak yang dihuni bersama-sama oleh
beberapa orang.”
“Memang
menarik sekali. Mungkin mereka mempertahankan setiap rumah yang mereka huni itu
dengan cara yang asing bagi kita.”
“Mungkin,
memang mungkin,” potong yang lain,
”tetapi yang
paling baik adalah mendekat.“
Mereka bertiga
menjadi semakin gelisah. Tetapi justru karena itu, mereka ingin mengetahui
dengan pasti, apakah yang mereka hadapi. Meskipun demikian salah seorang dari
mereka harus mempersiapkan isyarat. Jika tiba-tiba saja mereka disergap, maka
mereka sempat membunyikan tanda bahaya itu. Setidak-tidaknya kentongan dengan
nada yang sudah mereka sepakati. Tetapi mereka sama sekali tidak menjumpai apa
pun juga di dalam padepokan itu. Ketika mereka dengan hati-hati menjenguk ke
balik dinding batu yang mengelilingi padepokan itu, maka mereka sama sekali
tidak melihat apa pun. Padepokan itu agaknya memang benar-benar telah kosong.
“Gila,
perangkap apa lagi yang akan mereka pasang buat kita?” berkata salah seorang
dari ketiganya.
“Aku akan
masuk. Biarlah apa yang akan terjadi. Tetapi semuanya ini membuat aku justru
menjadi semakin ingin tahu.”
Orang itu pun
kemudian meloncat masuk ke dalam lingkungan dinding batu. Kedua kawannya pun
segera mengikutinya. Disamping alat-alat yang dapat memberikan isyarat, mereka
menggenggam senjata telanjang pula di tangannya. Dengan dada yang
berdebar-debar mereka melangkah maju melintasi sela-sela pepohonan di kebun
padepokan itu. Perasaan ingin tahu yang semakin besar telah mendorong mereka
untuk melihat-lihat, apakah yang sebenarnya sedang mereka hadapi. Sejenak
mereka saling berpandangan ketika mereka melihat sebuah pintu barak yang
tertutup. Mereka menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi salah seorang berbisik,
“Aku akan
melihat apakah yang ada di dalam barak itu.”
“Baiklah,”
berkata yang lain, lalu katanya kepada kawannya yang satu lagi,
”kau tetap di
sini. Jika terjadi sesuatu, kau sempat memberikan isyarat. Aku kira induk
pasukan itu tidak begitu jauh di belakang kita, karena mereka pun maju terus.”
“Baiklah.
Tetapi berusahalah untuk memberikan tanda apa pun.”
“Maksudmu jika
tiba-tiba kami disergap?”
“Ya. Memang mungkin
kalian kehilangan kesempatan.”
”Kami akan
masuk seorang demi seorang.”
“Baik.
Lakukan. Tetapi berhati-hatilah. Kita berhadapan dengan lawan yang dibayangi
oleh semacam rahasia.”
Kedua pengawas
itu pun kemudian dengan perlahan-lahan mendekati pintu yang tertutup itu,
sedang yang seorang lagi menempatkan dirinya di tempat yang agak terlindung
sehingga tidak mungkin mendapat serangan dari jarak jauh. Namun demikian, orang
yang tinggal itu selalu digelisahkan oleh kemungkinan-kemungkinan yang dapat
terjadi. Kadang-kadang ia harus mengawasi cabang-cabang pepohonan jika ada satu
dua orang yang mengintainya. Tetapi sepi. Benar-benar sepi. Dalam pada itu,
kedua orang yang mendekati pintu barak tertutup itu pun menjadi semakin
berdebar-debar. Tetapi mereka maju terus. Perlahan-lahan mereka meraba pintu
lereg itu. Dan ketika dengan isyarat keduanya bersepakat untuk membuka, maka
perlahan-lahan mereka mendorong pintu itu ke samping. Mereka terkejut ketika
terdengar gerit pintu itu sendiri. Namun kemudian mereka mendorongnya lebih
lebar lagi, sehingga mereka dapat menjengukkan kepala ke dalam barak yang
tampak kegelapan karena tidak ada lubang sama sekali selain pintu yang sedikit
terbuka itu. Sejenak mereka termangu-mangu. Namun kemudian mereka pun yakin
bahwa barak itu ternyata kosong. Tidak ada seorang pun yang ada di dalamnya. Perlahan-lahan
pintu itu pun kemudian terbuka semakin lebar, dan cahaya matahari pun semakin
banyak memercik kedalamnya. Namun mereka benar-benar tidak menemukan seorang
pun meskipun mereka mendapatkan bekas-bekasnya. Di dalam barak itu masih
terdapat beberapa jenis mangkuk dan bumbung. Bahkan masih ada beberapa macam
alat yang dipergunakan di sawah atau pategalan. Sejenak mereka termangu-mangu.
Namun kemudian salah seorang dari keduanya berkata,
”Aku yakin,
padepokan ini memang dikosongkan.”
“Lalu, di
manakah penghuninya?”
“Itulah yang
merupakan teka-teki.”
“Biarlah bukan
kita yang menjawabnya. Marilah kita meyakinkan kekosongan padepokan ini,
kemudian melaporkannya kepada induk pasukan.”
Mereka
kemudian mengelilingi sebagian dari padepokan itu. Dan seperti yang mereka duga
padepokan itu memang sudah kosong. Dengan tergesa-gesa mereka bertiga pun
kemudian kembali kepada Induk pasukan yang menunggu beberapa puluh langkah dari
dinding padepokan itu,
“Jadi mereka
sudah meninggalkan padepokan itu?” bertanya Pandan Wangi.
“Ya. Padepokan
itu sudah sepi,” jawab salah seorang dari pengawas itu.
“Ke mana
mereka pergi?”
“Kami belum
tahu.”
Pandan Wangi
menjadi tegang. Bukan karena pasukan itu tidak dapat menguasai lawan yang tentu
masih akan tetap berbahaya bagi Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh, tetapi
dengan demikian mereka tentu tidak akan menemukan Rudita pula. Ayahnya, Ki
Argapati agaknya dapat menangkap kegelisahan hati anaknya, sehingga karena itu
ia bertanya kepada ketiga pengawas itu,
”Apakah kau
tidak dapat melihat bekas-bekas kepergian mereka?”
“Kami belum
menyelidikinya dengan teliti.”
Pandan Wangi
yang menjadi sangat gelisah itu pun kemudian serasa tidak sabar lagi. Katanya,
”Kita memasuki
padepokan itu, barangkali kita menemukan sesuatu.”
Raden
Sutawijaya pun menjadi gelisah pula. Orang-orang yang meninggalkan padepokan
itu tentu akan menjadi seperti semut yang disentuh sarangnya. Buyar bertebaran
ke segenap arah. Jika demikian, maka mereka akan dapat menimbulkan banyak
kesulitan. Baik bagi Mataram maupun bagi Tanah Perdikan Menoreh. Apalagi jika
Raden Sutawijaya itu pun memikirkan nasib anak muda yang namanya Rudita. Dengan
demikian, maka pasukan itu pun kemudian dengan tidak meninggalkan kewaspadaan
memasuki padepokan yang sudah kosong itu. Tetapi agar mereka tidak terjebak
dalam sebuah kepungan, maka baik Raden Sutawijaya maupun Ki Argapati
memerintahkan agar pasukannya sebagian besar tetap berada di luar dan mengawasi
setiap kemungkinan. Mengawasi tebing dan daerah di seberang padepokan itu.
“Kita tidak
boleh ditepuk dengan sebelah tangan di dalam padepokan sempit ini,” berkata
Raden Sutawijaya.
Ki Lurah
Branjangan pun membawa sepasukan pengawal di depan padepokan itu, sedang
pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh bersama Prastawa berada di antara
pategalan di sisi padepokan. Tetapi padepokan itu benar-benar kosong. Mereka
tidak menemukan seorang pun di dalam padepokan itu. Namun demikian, menurut
penyelidikan yang kemudian mereka lakukan, mereka menemukan jejak sepasukan
yang cukup besar meninggalkan padepokan itu.
“Mereka
menarik pasukannya,” berkata Raden Sutawijaya.
Kiai Gingsing
yang melihat bekas-bekas pasukan yang meninggalkan padepokan itu pun
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia pun memikirkan nasib Rudita. Apakah anak itu
masih selamat atau karena orang-orang di padepokan ini merasa tidak memerlukan
lagi, maka ia pun mengalami nasib yang buruk. Orang tua itu menarik nafas
dalam-dalam.
“Kiai,”
bertanya Sutawijaya,
”apakah yang
menurut pertimbangan Kiai sebaiknya kita lakukan kemudian?”
Kiai Gringsing
tidak segera menjawab. Dilayangkannya pandangan matanya berkeliling. Dilihatnya
puncak pegunungan yang seakan-akan memagari lembah yang cukup luas itu.
Halaman 1 2 3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar