“Apakah Kiai sedang memikirkan aliran air dari mata air itu?” bertanya Ki Argapati.
Kiai Gringsing
memandanginya sejenak, lalu menganggukkan kepalanya,
”Ya, Ki Gede.
Jalan keluar dari parit itu merupakan jalur yang dapat kita ikuti, kecuali
apabila air itu kemudian menembus di bawah tanah.”
“Kenapa jalur
parit itu?” tiba-tiba saja Agung Sedayu bertanya.
”Kita sudah
menemukan jejak mereka.”
“Ya. Jejak itu
memang dapat kita ikuti. Tetapi jika kita kehilangan jejak itu, maka kita
mempunyai pegangan lain.”
“Tetapi apakah
mereka akan selalu mengikuti air itu? Mungkin mereka mempunyai jalan lain,”
potong Swandaru.
“Memang
mungkin. Kita memang dihadapkan pada banyak kemungkinan. Tetapi semuanya
memerlukan perhatian dan perhitungan yang cermat.”
Ki Argapati
dan para pemimpin yang lain mengangguk-anggukkan kepala. Tetapi tidak seorang
pun dari mereka yang menduga, bahwa di hadapan mereka masih terdapat sebuah
padepokan lagi dan justru merupakan pusat pertahanan yang sangat kuat. Karena
itulah, yang mereka putuskan kemudian adalah sekedar mengikuti jejak pasukan
yang telah meninggalkan padepokan itu.
“Kita berusaha
untuk menemukan mereka di mana pun,” berkata Raden Sutawijaya.
”Tetapi jika
mereka keluar dari lembah ini,” sahut Ki Argapati,
”kita akan
mendapatkan kesulitan. Mereka akan menenggelamkan diri dalam kehidupan biasa di
antara orang-orang padesan. Kita tidak akan dapat membedakan lagi, yang manakah
orang-orang yang ikut di dalam pasukan di lembah ini dan yang manakah
orang-orang padesan yang sewajarnya.”
“Orang-orang
padesan itu, atau para bebahu akan dapat menunjukkan kepada kita, siapakah di
antara mereka yang harus kita ambil.”
“Berbahaya
sekali. Berbahaya bagi orang-orang padesan itu. Sebab mereka akan diancam dan
pada saat lain akan mengalami nasib yang sangat buruk.” Ki Argapati berhenti
sejenak, lalu,
”Tetapi kita
dapat mencoba. Marilah kita ikuti jejak itu, agar kita mendapatkan kepastian,
apakah yang harus kita lakukan.”
Para pemimpin
kedua pasukan itu bersama-sama sependapat, bahwa mereka akan melanjutkan
perjalanan, mengikuti jejak pasukan yang meninggalkan padepokan itu.
Setelah mereka
berhenti sejenak untuk meneliti padepokan itu, maka mereka pun segera mengatur
pasukankan berjalan menyusuri bekas pasukan yang telah pergi menghindar itu. Namun
mereka sama-sama berpendapat, bahwa padepokan itu bukan sebenarnya padepokan.
Mereka tidak mendapatkan tanda-tanda bahwa di padepokan itu tinggal pula
perempuan dan anak-anak, seperti kewajaran keluarga.
“Padepokan itu
tidak lebih dari sarang segerombolan perampok yang sangat besar jumlahnya,”
desis Kiai Gringsing yang samar-samar teringat pada sarang pasukan Jipang yang
dipimpin oleh Tohpati di hutan rindang di hadapan Kademangan Sangkal Putung.
Padepokan ini tidak ubahnya seperti sarang pasukan Jipang yang sudah kehilangan
bentuknya itu. Namun agaknya sarang yang besar ini memiliki susunan yang lebih
baik dari sebuah masyarakat yang tidak wajar.
“Agaknya
memang demikian,” berkata Raden Sutawijaya kemudian.
”Dengan
demikian kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa padepokan ini adalah sebuah
pusat pemerintahan yang tersendiri. Penghuni-penghuninya adalah orang-orang
yang meninggalkan keluarga mereka dan berhimpun di sini. Tentu di dalam keadaan
yang sulit mereka akan memencar dan kembali kepada keluarga masing-masing.”
“Tetapi itu
bukan berarti bahwa usaha mereka sudah berakhir. Hadirnya prajurit-prajurit
Pajang di daerah ini tentu menimbulkan pertimbangan-pertimbangan tersendiri di
dalam penilaian ini,” sahut Ki Argapati.
Yang
mendengarkan kata-kata Ki Argapati itu menganggu-anggukkan kepalanya. Memang
mereka tidak dapat melupakan begitu saja peranan yang dipegang oleh beberapa
orang Senapati dari Pajang, yang tentu bukannya sekedar seperti daun kuning
yang berguguran dari ranting-rantingnya. Kehadiran pasukan Pajang di daerah ini
tentu masih mempunyai jalur hubungan dengan para senapati yang ada di istana. Pasukan
itu berjalan maju perlahan-lahan. Mereka menyusuri bekas yang dapat mereka
ketemukan dengan jelas. Seakan-akan orang-orang yang meninggalkan padepokannya
itu sama sekali tidak menjadi cemas atas jejak yang mereka tinggalkan.
Dalam pada
itu, masih agak jauh dari pasukan yang bergerak maju itu, Putut Nantang Pati
dan Daksina sedang mengatur sebuah pertahanan yang kuat untuk menghentikan
pasukan Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh yang tentu akan segera datang.
“Kita akan
menghadapinya dengan perlawanan terbuka,” berkata Putut Nantang Pati,
”kita tidak
usah membuat jebakan-jebakan seperti yang pernah kita lakukan. Di sini kita
akan menghancurkan mereka. Hancur lumat.”
Daksina menarik
nafas dalam-dalam. Katanya,
”Kau terlampau
percaya kepada kemampuan diri sendiri tanpa memperhitungkan kemampuan lawan.”
Putut Nantang
Pati tersenyum. Katanya,
”Kau harus
menyadari kemampuan kita di sini. Kau melihat sendiri, bahwa dengan permainan
api yang kecil itu, pasukan Mataram dan Menoreh sudah menjadi bingung. Apalagi
apabila Panembahan Agung sendiri yang melepaskan ilmu itu. Pasukan Mataram dan
Menoreh akan kehilangan keseimbangan.”
“Ya.
Menghadapi pasukan yang besar itu, apakah kira-kira yang akan dilakukan oleh
Panembahan Agung?”
”O, tentu ada
seribu cara dapat dilakukannya. Panembahan Agung dapat membuat seakan-akan
hutan di sekitar tempat ini terbakar. Atau seakan-akan langit dipenuhi burung
garuda yang menyambar-nyambar.”
“Tetapi
bukankah bentuk-bentuk semu itu tidak dapat berbuat apa-apa? Maksudku,
seandainya di langit ada beratus-ratus atau bahkan beribu-ribu burung garuda
sebesar kerbau sekalipun, namun burung-burung semu itu tentu tidak akan dapat
menyentuh pasukan Menoreh dan Mataram.”
“Tidak. Tetapi
sementara mereka kebingungan karena bentuk semu itu, kita akan dapat
menghancurkan sebagian dari mereka. Jika kemudian bentuk-bentuk itu hilang,
maka pasukan mereka tinggal tidak lebih dari separo. Apalagi jika hadir
bentuk-bentuk yang lain, seekor Naga bertanduk dan bertaring, atau berkepala
lima dan menyemburkan api dari mulutnya.”
Daksina
menarik nafas dalam-dalam. Bentuk-bentuk itu memang mengerikan. Tetapi apakah
pasukan Mataram dan Menoreh dapat dikelabuhinya dengan mudah? Tetapi agaknya
Putut Nantang Pati memang yakin, bahwa pasukannya akan dapat menghancurkan
pasukan Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh betapapun kuatnya. Dengan
bentuk-bentuk semu kedua pasukan itu akan kehilangan pemusatan arah perlawanan
sehingga dengan mudah pasukan Putut Nantang Pati akan dapat membinasakan
sebagian besar dari mereka. Tetapi agaknya Daksina lebih mementingkan kepada
pertahanannya. Pasukan yang berada di dalam garis pertahanan itu mendapatkan
petunjuk-petunjuk bagaimana mereka harus menghentikan gerak pasukan Mataram dan
Tanah Perdikan Menoreh yang kuat.
“Mereka adalah
pengawal-pengawal yang memiliki nilai tempur seperti prajurit-prajurit Pajang,”
berkata Daksina,
”karena itu,
jangan lengah. Kita bukannya tidak percaya, bahwa Panembahan Agung akan mampu
menciptakan bentuk-bentuk semu, tetapi kita pun harus memperhitungkan
kemungkinan yang ada pada pasukan lawan. Aku kira tidak ada di antara mereka
yang mampu melawan ilmu Panembahan Agung. Tetapi mungkin ada di antara mereka
yang menyadari, bahwa mereka tidak boleh dibingungkan oleh bentuk-bentuk semu
itu sehingga mereka sama sekali mengabaikan penglihatan mereka yang tidak wajar
itu.”
Anak buahnya
mengangguk-anggukkan kepala. Mereka, terutama prajurit-prajurit Pajang memang
tidak meletakkan kekuatan mereka kepada ilmu yang belum pernah mereka lihat
sebelumnya. Tetapi mereka harus menyandarkan perlawanan mereka kepada kemampuan
diri sendiri. Meskipun demikian, ada juga semacam harapan, bahwa mereka tidak
perlu memeras segenap tenaga dan kemampuan mereka, jika benar ilmu Panembahan
Agung dapat mempengaruhi lawan.
“Daksina,”
berkata Putut Nantang Pati yang mengetahui bahwa Daksina masih meragukan kelebihan
ilmu Panembahan Agung,
”mungkin
orang-orang Mataram dan Menoreh tidak menghiraukan sama sekali burung-burung
garuda di langit, ular naga sebesar pohon nyamplung di sebelah itu, atau
bentuk-bentuk yang lain karena mereka sadar, bahwa bentuk-bentuk itu adalah
bentuk-bentuk semu, tetapi mereka tidak akan dapat membedakan bentuk semu yang
berupa lembah dan pegunungan. Kayu-kayu besar yang roboh dan angin pusaran di
lereng pegunungan. Mereka tentu akan bingung melihat pasukan kita terbang di
atas jurang yang dalam, karena jurang itu sebenarnya tidak pernah ada.”
Daksina
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia memang berdiri di persimpangan. Ia sudah
melihat sendiri, bentuk semu yang dibuat oleh Putut Nantang Pati meskipun
menurut pengakuannya sama sekali belum sempurna. Namun demikian, ia adalah
senapati prajurit, yang memperhitungkan kekuatan di peperangan dengan jumlah
ujung senjata dan kemampuan setiap pribadi di dalam pasukannya. Namun
sebenarnyalah dengan demikian pertahanan yang disusun oleh Putut Nantang Pati
dan Daksina adalah pertahanan yang sangat kuat, justru karena Daksina tidak
menumpukan kekuatannya kepada ilmu ajaib yang dimiliki oleh Panembahan Agung.
Jika ternyata kemudian Penembahan Agung juga berhasil membingungkan pasukan
Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh, maka kedua pasukan itu benar-benar akan
diancam kepunahan. Dalam pada itu, di hadapan garis pertahanan itu pasukan
Mataram yang tidak sempat mengetahui kekuatan lawan, bersama pasukan Tanah
Perdikan Menoreh bergerak maju. Mereka sama sekali tidak menduga, bahwa di
hadapan mereka terbentang sebuah pertahanan yang kuat dari tebing sampai ke
tebing. Bukan saja pertahanan yang dilambari dengan kemampuan tempur pasukan
yang telah menggemparkan Mataram itu, tetapi juga dibayangi oleh ilmu yang
belum pernah ditemui di medan yang mana pun. Yang berjalan di paling depan,
adalah para pengawas yang perhatiannya lebih banyak ditujukan kepada jejak
orang-orang yang mereka cari daripada sebuah pertahanan yang bagaikan benteng
baja. Mereka sibuk menundukkan kepalanya, mengungkit ranting-ranting patah dan
dedaunan yang tumelung di atas jalur jalan yang mereka tempuh, sehingga dengan
demikian mereka tidak mengetahui, bahwa jarak pertahanan di hadapan mereka
semakin lama menjadi semakin pendek. Sementara pasukan Mataram dan Tanah
Perdikan Menoreh merayap semakin dekat, maka Daksina dan Putut Nantang Pati
menjadi berdebar-debar ketika ia dipanggil menghadap di padepokan di belakang
pertahanan mereka.
“Apakah yang penting?
Jika tiba-tiba saja pasukan Mataram dan Menoreh melanda pasukan kita, maka
pertahanan ini akan menjadi hancur. Aku di sini justru sedang menunggu
kehadiran Panembahan Agung, jika setiap saat lawan kita itu datang,” jawab
Daksina.
“Kenapa kau bertanya?”
bertanya utusan itu.
”Panembahan
Agung memiliki perhitungan yang sempurna. Apakah kau merasa bahwa perhitunganmu
lebih matang?”
“O,” Daksina
menjadi tergagap karenanya,
”bukan
maksudku. Tetapi aku mendasarkan pada perhitungan keprajuritan.”
“Jangan membantah
lagi,” berkata Putut Nantang Pati pula,
”marilah, kita
menghadap.”
Keduanya pun
kemudian dengan tergesa-gesa pergi ke padepokan. Daksina tampak menjadi sangat
gelisah. Ia tidak biasa meninggalkan pasukannya di saat yang paling genting
meskipun sudah diserahkannya kepada orang yang dipercayainya.
Daksina hampir
tidak sabar ketika ia harus duduk di serambi depan menunggu kehadiran
Panembahan Agung. Keringatnya mengalir membasahi kening dan punggung. Ketika
pintu terbuka, maka yang hadir sama sekali bukan Panembahan Agung, tetapi
Panembahan Alit, yang juga menyebut dirinya Panembahan Tidak Bernama.
“O,” desis
Daksina yang mulai menjadi jengkel,
”apakah kami
sudah diperbolehkan menghadap Panembahan Agung yang memanggil kami?”
Panembahan
Alit memandanginya sejenak. Kemudian ia pun duduk pula di antara mereka sambil
berkata,
”Aku tidak
tahu, kapan kalian diperbolehkan menghadap. Tetapi justru aku mendapat perintah
untuk berada bersama kalian di sini.”
“Tetapi
pasukan lawan tentu sudah menjadi semakin dekat. Naluri keprajuritanku sudah
memperingatkan agar aku siap menunggu mereka di dalam pasukan yang harus
bersiaga sepenuhnya.”
“Ah kau,”
Putut Nantang Pati tersenyum,
”percayalah.
Panembahan Agung mengetahui apa yang sedang kita hadapi. Pasukan itu tentu terhalang
oleh orang-orang kita yang bertugas memperlambat dan mengganggu pasukan mereka.
Bukan saja agar mereka tidak dapat maju dengan pesat. Tetapi mereka akan
menjadi marah sehingga mereka lebih banyak mempergunakan perasaannya daripada
perhitungan nalarnya. Karena itu, mereka tentu masih berada di jarak yang
jauh.”
Daksina
menarik nafas dalam-dalam. Dan Panembahan Alit itu pun berkata,
”Jangan
gelisah. Percayalah.”
Daksina tidak
menyahut lagi. Tetapi rasa-rasanya hatinya selalu melonjak-lonjak di dalam dadanya.
Sebagai seorang senapati, ia merasa wajib berada di gelanggang di saat
pertempuran mulai berkobar. Tetapi agaknya Putut Nantang Pati sama sekali tidak
merasa gelisah. Ia menyandarkan semua pertimbangan di saat itu kepada
Panembahan Agung, meskipun biasanya ia adalah seorang pemimpin yang baik di
peperangan. Baru sejenak kemudian maka seseorang telah keluar lagi dari ruang
dalam dan berkata,
”Panembahan
Alit diharap menghadap lebih dahulu.”
“Hanya
Panembahan Alit?” desak Daksina.
“Ya.”
Panembahan Alit
itu pun berdiri sambil menepuk bahu Daksina,
”Sabarlah.
Tidak akan ada apa-apa yang terjadi.”
Daksina
menarik nafas dalam-dalam. Sejenak kemudian, maka Panembahan Alit itu pun
hilang di balik pintu.
“Kita masih
harus menunggu?” bertanya Daksina yang kehilangan kesabaran.
“Semakin kau
mendesak, maka kau akan merasa semakin lama menunggu di sini. Jangan hiraukan,
agar kau tidak terlampau gelisah.”
Daksina hanya
menarik nafas saja dalam-dalam. Sesaat kemudian pintu itu pun terbuka lagi.
Yang tampak keluar lewat pintu itu adalah Panembahan Alit. Sambil membawa
sebatang tongkat ia berkata,
”Daksina dan
Putut Nantang Pati. Ternyata aku menerima tongkat kekuasaan tertinggi di
padepokan ini. Karena itu. maka akulah yang akan menjadi senapati besar di
dalam pertempuran yang akan segera terjadi. Menurut pengamatan Panembahan
Agung, pasukan Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh yang datang ke padepokan ini
cukup besar, sehingga kita di sini harus berjuang sebaik-baiknya melawan
mereka. Panembahan Agung sendiri akan hadir di medan dan dengan kuasanya akan
berusaha untuk memperlemah daya tempur pasukan Mataram dan Tanah Perdikan
Menoreh.”
Putut Nantang
Pati mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata,
”Jika memang
itu yang diperintahkan. Aku percaya bahwa Panembahan Alit akan dapat melakukan
tugas itu sebaik-baiknya.”
Tetapi Daksina
berkata,
”Jadi, apakah
kami sudah dapat menghadap Panembahan Agung?”
“Kalian tidak
perlu menghadap. Perintahnya sudah jelas. Dan tongkat kekuasaan ini merupakan
bukti perintah yang sudah diucapkan itu.”
“Jadi buat apa
aku harus datang kemari?” bertanya Daksina.
“Itu adalah
kehendak Panembahan Agung. Kenapa kau tampak kecewa?”
“Tentu.
Sebaiknya aku berada di antara pasukanku jika aku di sini hanya sekedar duduk
menunggu dan tidak ada kepentingan apa pun juga.”
“Kau tidak
dapat membantah perintahnya.”
“Aku bukan
anak buahnya. Tetapi aku adalah seorang senapati yang dikirim oleh Kakang
Tumenggung untuk memimpin pasukan Pajang yang ada di sini.”
“Di sini kau
berada di bawah perintah Panembahan Agung yang kali ini dilimpahkan kepadaku,”
berkata Panembahan Alit,
”jangan
membuat keributan di saat pasukan lawan sudah berada di depan hidung.”
Daksina menggeretakkan
giginya. Katanya,
”Hanya karena
kesadaran itu aku melalaikannya. Tetapi jika kau mengecilkan arti Daksina di
sini, berarti kau mengecilkan arti Kakang Tumenggung dan Kakang Panji di
Pajang. Jangan kau sangka bahwa keduanya dapat kalian perintah seperti
memerintah anak-anak yang paling dungu seperti ini. Namun sekali lagi aku
katakan, bahwa aku hanya sekedar mengingat bahwa musuh kini sudah berada di
hadapan hidungku.”
“Jangan
bersikap begitu kasar. Agaknya sikapmu tidak akan menguntungkan sama sekali.”
“Tetapi bukan
berarti bahwa kalian dapat menghinakan dan memerintah aku seperti seorang
budak.”
Panembahan
Alit mengerutkan keningnya. Tetapi ia masih tetap menyadari, bahwa untuk
menghadapi Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh, mereka memerlukan paduan
kekuatan yang ada, dan karena itulah maka ia masih tetap menahan diri. Namun
dalam pada itu, mereka bertiga terkejut ketika tiba-tiba saja mereka mendengar
seekor kuda meringkik. Kemudian dari pintu itu pun muncul seekor kuda yang
tegar meloncat ke halaman. Sekali kuda itu melonjak, namun kemudian berlari
kencang sekali seperti angin, sedang di atasnya duduk seorang anak kecil
berambut putih. Tetapi ketika kuda itu kemudian hilang di balik pepohonan,
Panembahan Alit dan Putut Nantang Pati justru tersenyum karenanya, sedang
Daksina masih saja termangu-mangu.
“Siapa anak
itu?” bertanya Daksina.
”Aku belum
pernah melihatnya. Bahkan bentuknya agak aneh. Wujudnya kecil, tetapi rambutnya
sudah memutih,”
Panembahan
Alit tertawa. Katanya,
”Itu adalah
salah seorang prajurit Panembahan Agung. Kau tentu belum pernah melihatnya. Aku
juga belum.”
Daksina
menjadi semakin tidak mengerti. Apalagi ketika Panembahan Alit bertanya,
”Apakah
menurut pengenalanmu, rambutnya memang sudah putih?”
“Ya.”
“Matanya
lebar?”
Daksina
mengingat-ingat sejenak, lalu, ”Ya.”
“Hidungnya?”
Daksina agak
bingung. Dan Panembahan itu berkata,
”Mungkin kita
menangkap suatu perbedaan kecil pada bagian-bagiannya. Tetapi tentu tidak pada
keseluruhannya.”
“Aku tidak
mengerti.”
“Itulah yang
dimaksud dengan ilmu Panembahan Agung. Semula aku juga terkejut karena
tiba-tiba saja aku mendengar derap kuda itu. Tetapi lihatlah, pintu itu hanya
terbuka sedikit. Apakah menurut dugaanmu, kuda yang setegar itu benar-benar
dapat meloncat keluar dari pintu yang tidak terbuka seluruhnya itu? Dan apalagi
pintu itu adalah pintu yang rendah.”
Daksina
memandang pintu itu sesaat. Kemudaan dipandanginya arah kuda itu hilang di
balik gerumbul-gerumbul.
Sambil menarik
nafas dalam-dalam ia berkata,
”Inikah yang
dimaksud dengan bentuk-bentuk semu itu?”
Putut Nantang
Pati pun tertawa sambil berkata,
”Ya itulah.
Jangan bingung. Kau harus meyakinkan pasukanmu, bahwa mereka tidak usah
menghiraukan jika di dalam peperangan nanti ada bentuk-bentuk semu yang
kadang-kadang mengerikan, karena sebenarnya mereka tidak berpengaruh secara
langsung. Di dalam keadaan yang memungkinkan itulah, kita menghancurkan lawan,
selagi orang-orang Mataram dan Menoreh kebingungan. Tetapi jika kita sendiri
bingung, maka kita tidak akan dapat berbuat apa-apa.”
Daksina
termangu-mangu sejenak. Dadanya menjadi berdebar-debar. Apa yang dikatakan
dengan bentuk semu itu memang aneh sekali baginya. Kuda itu adalah kuda yang
sangat bagus. Dan anak yang ada di punggungnya itu adalah anak yang aneh
sekali.
“Nah, marilah,”
berkata Panembahan Alit,
”kita harus
segera berada di garis pertahanan. Pasukan Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh
itu memang sudah mendekati daerah ini. Mereka telah melampaui gangguan-gangguan
kecil di perjalanan mereka menuju ke pertahanan ini. Tetapi sudah pasti, bahwa
mereka tidak tahu, bahwa kita sudah menunggu mereka dan siap menghancurkan mereka
dengan cara yang paling menarik.”
Daksina
mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba saja ia bertanya,
”Jadi, pasukan
Mataram dan Tanah Perdikan penoreh itu akan dicengkam oleh bentuk-bentuk semu
seperti itu? Dan kita akan menyerang mereka selagi mereka kebingungan?”
“Ya. Jika
datang saatnya mereka menyadari bahwa yang mereka hadapi sekedar bentuk-bentuk
semu, maka jumlah mereka sudah jauh berkurang.”
“Mengerikan,”
desis Daksina tiba-tiba.
“Kenapa?”
“Aku tidak
biasa berbuat seperti itu di peperangan. Ada semacam ketidak-adilan dengan cara
itu. Kita akan membunuh orang-orang yang sedang kebingungan dan tidak tahu apa
yang dikerjakan. Itu bukan sikap jantan.”
Tetapi
Panembahan Alit dan Putut Nantang Pati tertawa bersama-sama. Di sela-sela suara
tertawanya Panembahan Alit berkata,
”Jangan
menyalahkan diri sendiri. Di dalam perang semua ilmu dapat dipergunakan. Itulah
kelebihan kita dari mereka. Dan bukannya suatu kecurangan bahwa kita memiliki
kelebihan. Baik yang berupa senjata, jumlah orang dan juga ilmu yang dapat
mereka anggap ajaib.”
“Aku mengerti.
Tetapi perasaanku agak kurang mapan.”
“He, Daksina,”
berkata Panembahan Alit,
”barangkali
kau pernah mendengar ceritera tentang usaha penyerbuan Adipati Unus ke seberang
lautan melawan orang-orang berkulit putih. Nah, apakah juga dapat disebut tidak
adil, bahwa orang-orang berkulit putih itu bersenjatakan petir?
“Petir?”
“Tentu bukan
petir di langit. Tetapi mereka mempunyai senjata yang dapat meledak dan
menghancurkan lawan dari jarak yang jauh. Apakah itu juga tidak adil jika lawan
mereka hanya sekedar bersenjata tombak dan pedang seperti kita sekarang ini?”
Daksina tidak
menyahut. Pertanyaan itu memang tidak dapat dijawabnya. Tetapi di dalam relung
hatinya yang paling dalam ia merasakan perbedaan dari kedua persoalan itu.
”Sudahlah,”
berkata Panembahan Alit,
”mumpung masih
ada waktu. Marilah kita pergi. Pada saatnya Panembahan Agung akan menyusul kita
dan akan menyusun pertahanan yang sempurna. Tetapi sekali lagi aku ingatkan
bahwa pasukanmu harus kau beritahu dengan segera, bahwa jangan terpengaruh oleh
bentuk-bentuk semu yang akan dijumpainya di peperangan. Kau sudah melihat
sendiri contoh dari bentuk itu.”
Seperti tanpa
disadari, Daksina pun melangkah sambil menganggukkan kepalanya di sisi
Panembahan Alit dan Putut Nantang Pati. Tetapi tiba-tiba langkah mereka
tertegun. Tiba-tiba saja Daksina merasa sebuah gempa telah mengguncang daerah
itu dan tanah di hadapannya bagaikan runtuh ke dalam jurang yang dalam. Namun
ia segera menguasai diri dan mengerti, bahwa yang terjadi hanyalah sekedar
guncangan pada inderanya sendiri. Karena itu, maka sambil menarik nafas Daksina
berpaling. Tetapi ia tidak melihat Panembahan Agung, yang dilihatnya hanyalah
beberapa orang pengawal yang berdiri di sebelah rumah yang baru saja ditinggalkannya.
“Marilah,”
ajak Panembahan Alit.
Daksina
termangu-mangu. Ia melihat sebuah jurang yang menganga di hadapannya. Meskipun
tidak begitu lebar, tetapi jurang itu sangat dalam.
“Marilah,”
desak Putut Nantang Pati pula. Daksina masih berdiri di tempatnya. Ia menjadi
ragu-ragu untuk melangkah, karena seakan-akan ia melihat sebuah jurang yang
terbentang di hadapannya. Tetapi agaknya Panembahan Alit tidak menghiraukannya
sama sekali. Meskipun jurang itu sangat dalam, namun Panembahan Alit berjalan
terus tanpa menghiraukannya. Hampir saja Daksina berteriak memanggilnya ketika
Panembahan Alit yang sudah berdiri di bibir jurang itu masih melangkahkan
kakinya, justru ke atas jurang itu. Tetapi ternyata Panembahan Alit sama sekali
tidak terlempar turun ke dalam jurang itu. Bahkan seakan-akan Panembahan Alit
itu berjalan di udara di atas jurang yang menganga mengerikan.
“Panembahan,”
Daksina berdesis.
“Marilah. Kau
pun dapat melakukannya.”
Di sinilah
Daksina berdiri di simpang jalan antara nalar dan penglihatannya.
Penglihatannya yang terganggu di jalur syarafnya, seakan-akan melihat sebuah
jurang yang terbuka. Sedang nalarnya tahu pasti, bahwa tidak ada apa-apa di
hadapan kakinya saat itu, sehingga jika ia melangkah terus, maka ia akan dapat
seakan-akan berjalan di udara seperti Panembahan Alit.
“Kau ternyata
ragu-ragu,” berkata Panembahan Alit,
”agaknya akan
demikian pula orang-orang Mataram itu. Mereka akan ragu-ragu seperti kau
meskipun seandainya mereka tahu bahwa yang dihadapi adalah sekedar bentuk-bentuk
semu.”
Daksina menganggukkan
kepalanya. Katanya,
”Ya. Agaknya
bentuk-bentuk semacam ini memang akan dapat mengganggu.”
“Nah,
yakinilah. Sehingga dengan demikian kita akan dapat menghancurkan orang-orang
Mataram dan Menoreh itu dengan mudah.”
Daksina tidak
menjawab. Dan ketika ia mendengar Putut Nantang Pati pun kemudian mengajaknya,
maka dengan ragu-ragu ia melangkahkan kakinya. Seperti orang buta ia meletakkan
kakinya di atas jurang itu ketika ia sudah berdiri tepat di bibirnya.
Tetapi
ternyata kakinya mendapat sentuhan pula, meskipun seakan-akan ia berjalan di
atas jurang.
Daksina
menarik nafas panjang. Dan tiba-tiba saja sekali lagi ia terkejut. Ketika ia
berdiri di atas jurang itu, maka tiba-tiba tanah bagaikan terkatub seperti
sediakala.
“Kau sudah melihat
dan merasakan sendiri, betapa kau dicengkam oleh keragu-raguan. Katakanlah
kepada prajurit-prajuritmu agar mereka, tidak usah ragu-ragu jika mereka
menghadapi persoalan semacam ini. Mereka harus yakin bahwa mereka akan dapat
mempergunakan kesempatan serupa ini justru untuk menghancurkan lawan yang
sedang dikuasai oleh kebimbangan dan keragu-raguan.”
Daksina
menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab.
“Nah, marilah.
Agaknya musuh yang datang itu sudah menjadi semakin dekat. Kita masih harus mempersiapkan
segala sesuatunya untuk melawan mereka.”
Daksina masih
tetap berdiam diri. Tetapi ia melangkah semakin cepat, agar ia segera sampai
kepada anak buahnya. Seperti pesan Panembahan Alit, maka Daksina pun segera
memberitahukan kepada para prajurit Pajang yang masih belum pernah mengalami
peristiwa-peristiwa yang aneh itu. Namun agaknya satu dua orang di antara
mereka sudah pernah mendengar bahwa ada semacam ilmu yang dapat menciptakan
bentuk-bentuk yang sebenarnya hanya semu.
Ternyata bahwa
kesempatan yang dapat dipergunakan hanya sedikit sekali. Namun demikian,
Daksina berhasil menyebarkan pengertian itu kepada setiap telinga orang-orang
yang ada di bawah perintahnya. Panembahan Alit yang mendapat kuwajiban untuk
memimpin seluruh pasukan itu pun segera mengatur pasukannya. Meskipun
Panembahan Agung akan datang dengan ilmunya yang ajaib, tetapi ternyata Daksina
harus mengakui, bahwa Panembahan Alit pun mengerti tentang olah keprajuritan. Dengan
teliti Panembahan Alit memberikan perintah kepada para senapati, termasuk
Daksina dan Putut Nantang Pati yang akan menjadi senapati pengapitnya.
“Jika
orang-orang Mataram dan Menoreh berhasil menyingkirkan keragu-raguan mereka
tentang bentuk-bentuk semu yang diciptakan oleh Panembahan Agung, maka kalian
harus bertempur dengan wajar. Namun demikian, kalian harus yakin, bahwa kalian
lebih menguasai medan dari mereka. Karena itu, sebagian di ujung kanan dan
kiri, sebaiknya naik memanjat tebing di sebelah-menyebelah. Mereka nanti akan
menyerang pasukan Mataram dan Menoreh dari lambung. Apalagi apabila mereka
sedang terpengaruh oleh bentuk-bentuk semu yang akan diciptakan pada saat
pasukan itu memasuki medan yang sudah kita tandai ini.”
Para senapati
bawahannya mengangguk-anggukkan kepala termasuk kedua Senapati pengapitnya,
Daksina dan Putut Nantang Pati.
“Sebentar lagi
Panembahan Agung akan datang. Ia tahu pasti, kapan ia harus mendekati garis
pertempuran, karena ia tahu pasti, sampai di mana pasukan Mataram dan Menoreh
itu mendekat,” berkata Panembahan Alit kemudian.
Dalam pada
itu, pasukan Mataram dan Menoreh benar-benar telah menjadi semakin dekat.
Tetapi mereka sama sekali tidak menduga bahwa mereka menjadi semakin dekat
dengan pertahanan lawan.
Meskipun
demikian pasukan Mataram dan Menoreh tidak kehilangan kewaspadaan. Mereka masih
tetap mengikuti jejak yang sengaja dibiarkan saja oleh orang-orang yang sedang
dicarinya. Namun justru jejak itu menuju ke pertahanan yang kuat yang telah
disusun oleh Panembahan Alit yang kadang-kadang juga menyebut dirinya Panembahan
Tidak Bernama.
Tiga orang
pengawas yang mendahului pasukan Mataram dan Menoreh itu pun berusaha untuk
mengenali daerah yang akan dilalui oleh pasukannya. Dengan teliti mereka
mengamati setiap batang pohon dan gerumbul-gerumbul. Namun mereka pun menjadi curiga,
bahwa daerah yang semakin jauh dari padepokan yang mereka sangka adalah
padepokan Panembahan Agung itu tidak justru menjadi semakin liar, tetapi
pategalan dan sawah-sawah menjadi semakin teratur dan subur.
“Aku tidak
mengerti, apakah daerah padepokan yang tersembunyi di antara pebukitan ini
memang membujur sampai ujung lembah,” desis salah seorang dari mereka.
Kawannya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia pun menjadi heran melihat daerah yang justru
menjadi semakin teratur. Jalur-jalur jalan yang semakin jelas dan bersih,
sehingga mereka menduga bahwa jalan itu adalah jalan yang masih selalu
dipergunakan.
“Agaknya jalur
jalan ini adalah salah satu jalur jalan keluar dari lembah terkurung ini.
Bukankah kita pernah melihat jalan di lereng bukit di seberang puncak itu.”
“Ya, Dan itu
wajar sekali. Mereka tentu mempunyai jalan untuk menghubungkan diri dengan
daerah di luar daerah ini. Mereka tentu memerlukan kebutuhan-kebutuhan yang
tidak mereka dapatkan di sini. Misalnya garam.”
“Ya,” tetapi
sambil mengangguk-anggukkan kepadanya ia berkata,
”aku menduga
bahwa di hadapan kita masih ada padepokan yang lain, yang mungkin lebih besar
dari yang baru saja kita temukan.”
”Ya. Dan
sebaiknya kita segera melaporkannya. Siapa tahu bahwa justru di hadapan kita
itulah padepokan yang sebenarnya.”
Para pengawas
itu termangu-mangu sejenak. Namun mereka merasa wajib untuk segera melaporkan
kepada pimpinan mereka.
“Pergilah,”
berkata yang tertua kepada salah seorang dari mereka bertiga,
”kami akan
tetap di sini. Kami akan mengawasi keadaan.”
Salah seorang
dari mereka pun segera merayap kembali ke induk pasukan untuk melaporkan apa
yang dilihatnya.
“Memang
menarik perhatian,” berkata Kiai Gringsing.
“Dua padepokan
yang terletak di lembah yang sama meskipun jaraknya agak jauh,” desis Raden
Sutawijaya.
“Mungkin
sekali,” sahut Ki Demang di Sangkal Putung,
”seperti
sebuah kademangan, kadang-kadang terdiri dari lima bahkan sampai sepuluh
padukuhan.”
Raden
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi yang kemudian menjadi
teka-teki, yang manakah padepokan induk dari seluruh padepokan di lembah ini.
Jika benar Panembahan Agung ada di padepokan ini atau panembahan yang mana pun
juga, maka ia tentu akan berada di induk padepokan.
“Apakah benar
Panembahan Tak Bernama yang pernah berada di Alas Tambak Baya itu ada di sini?
Dan apakah masih ada panembahan yang lain atau orang-orang sakti yang lain yang
berada di lembah ini?” bertanya Agung Sedayu di dalam hatinya karena baginya
padepokan ini benar-benar masih suatu teka-teki.
Ternyata bahwa
orang-orang yang lain pun menyimpan pertanyaan yang serupa. Swandaru, Ki Demang
Sangkal Putung, Ki Argapati, Pandan Wangi, Prastawa, dan yang lain lagi.
Namun dengan
demikian maka mereka merasa bahwa mereka harus lebih berhati-hati lagi
menghadapi lawan yang kurang mereka kenal.
“Kita harus
bergerak dalam gelar yang sesuai dengan keadaan lembah ini,” berkata
Sutawijaya.
“Ya. Kita akan
maju dalam kesiagaan,” desis Prastawa.
”Sebelum kita
berada di mulut lembah yang menghadap ke daerah yang terbuka, kita masih
mungkin diterkam oleh jebakan yang tidak kita ketahui.”
“Kita tidak
dapat memasang gelar Cakra Byuha yang sempurna. Tetapi kita dapat
mempergunakan,” berkata Ki Argapati.
Ternyata Raden
Sutawijaya sependapat, sehingga sejenak kemudian mereka pun segera membentuk
sebuah gelar Cakra Byuha yang kurang sempurna, karena mereka tidak dapat
berdiri dalam suatu lingkaran bergerigi.
“Cakra yang
terbentuk adalah cakra yang bulat panjang,” desis Agung Sedayu ditelinga
Swandaru.
Swandaru tidak
menjawab, karena ia pun harus segera memisahkan diri dan berada di ujung gerigi
di lambung pasukannya. Para pemimpin, baik dari Mataram maupun dari Tanah
Perdikan Menoreh telah terbagi dalam kelompok-kelompok kecil yang berada di
sebuah lingkaran, bagaikan gerigi-gerigi yang tajam yang akan memotong kekuatan
lawan. Yang berada di paling depan adalah Raden Sutawijaya. sedang di
sampingnya sebelah-menyebelah adalah Kiai Gringsing dan Ki Argapati yang
dibayangi oleh Pandan Wangi, karena di dalam keadaan yang gawat, apabila kaki ayahnya
itu kambuh, Pandan Wangi merasa bertanggung jawab untuk membantunya. Kemudian
di lambung kanan adalah Prastawa, Agung Sedayu, Swandaru dan di lambung kiri
adalah para pemimpin dari Mataram, termasuk Ki Lurah Branjangan. Di bagian
belakang dari gelar itu pun harus mendapat perhatian, jika terpaksa lingkaran
itu bergerak dalam putaran, maka bagian belakang akan mengalami perlawanan yang
berat, sehingga karena itu, maka Ki Demang-lah yang kemudian berada di gerigi
belakang itu.
Perlahan-lahan
gelar perang yang tidak sempurna itu berderap maju. Meskipun jumlahnya tidak
sebanyak pasukan Jipang yang menyeberangi Kali Sore, pada saat berkecamuknya
perang saudara yang mengerikan itu, namun pasukan dari Mataram dan Tanah
Perdikan Menoreh itu pun merupakan kekuatan yang cukup untuk menghadapi sebuah
pertahanan yang mempunyai kekuatan yang sebenarnya masih kabur bagi para
pemimpin pasukan yang bergerak maju itu.
Dengan
hati-hati pengawas yang melaporkan pengamatannya tentang daerah di hadapan
mereka itu membawa Sutawijaya dengan pasukannya yang sudah berjalan dalam
gelar, menuju ketempat kedua kawan-kawannya menunggu. Tetapi ketika mereka
sampai ke tempat itu, mereka tidak menemukan seorang pun dari keduanya.
“Keduanya ada
di sini,” berkata pengawas itu.
“Mungkin ada
yang menarik perhatiannya. Mereka tentu sudah bergerak maju.”
“Kita sudah
berada dekat di muka padepokan itu.”
“Ya,” sahut
Raden Sutawijaya,
”kita memang
sudah berada dekat dengan padepokan yang satu lagi. Kita tidak tahu, apakah
padepokan ini juga kosong seperti padepokan yang baru saja kita lewati.”
“Jadi, apakah
kita akan maju terus?”
“Kita tunggu
sejenak. Mungkin kedua pengawas itu dapat memberikan penjelasan.”
Sutawijaya pun
memberikan isyarat yang diteruskan oleh para pemimpin dari kedua pasukan yang
sedang bergerak itu, sehingga dengan demikian kedua pasukan itu berhenti
sejenak. Tetapi karena kedua pengawas itu tidak juga datang kembali ke induk
pasukan, maka mereka pun kemudian berangkat lagi. Meskipun demikian, Sutawijaya
telah mengirimkan dua orang dari Mataram dan dua orang dari Menoreh untuk
mendahului. Beberapa saat kemudian, maka keempat orang yang berada di depan
pasukan itu terkejut. Ternyata mereka menemukan kawan-kawan mereka yang dua
orang terkapar pingsan di antara gerumbul-gerumbul perdu.
“Jangan
sentuh,” yang tertua di antara mereka berempat itu pun memperingatkan
kawan-kawannya.
“Kita laporkan
kepada Raden Sutawijaya.”
“Sebentar lagi
mereka akan datang.”
Sebenarnyalah
maka pasukan itu pun segera sampai pula ke tempat itu. Seperti para pengawas
yang berjalan mendahului, maka para pemimpin dari pasukan itu pun menjadi heran
melihat kedua pengawas yang terdahulu itu. Kiai Gringsing lah yang kemudian
mendekatinya. Dengan ketajaman inderanya ia mengetahui, bahwa orang-orang itu
sama sekali tidak tersentuh racun. Karena itu, maka ia pun segera merabanya dan
mencoba mencari sebab, kenapa kedua orang itu menjadi pingsan.
“Tidak ada
tanda-tanda bahwa orang itu terluka baik di luar maupun di dalam,” berkata Kiai
Gringsing.
Beberapa orang
yang mengerumuninya menjadi heran. Memang tidak ada bekas apa pun pada tubuhnya
yang dapat dijadikan pertanda, sebab-sebab kenapa ia pingsan. Sutawijaya yang
berdiri termangu-mangu itu pun memandang berkeliling. Barangkali ia menemukan
sesuatu yang mencurigakan. Tetapi ia tidak melihat apa pun juga, apalagi
melihat seseorang.
“Apakah
orang-orang itu telah dicekik?” tiba-tiba saja Pandan Wangi bertanya.
Kiai Gringsing
menggelengkan kepalanya. Jawabnya,
”Tidak. Tidak
ada bekas-bekas jari di lehernya.”
Dalam pada
itu, Ki Argapati yang mengamati keadaan di sekelilingnya berkata,
”Agaknya ada
bekas perkelahian di tempat ini.”
Kiai Gringsing
yang melihat juga tanda-tanda itu mengangguk-anggukkan kepalanya sambil
berkata,
”Ya. Agaknya
memang ada bekas perkelahian. Tetapi setelah ada perkelahian, apakah yang
kemudian menyebabkan kedua orang ini pingsan.”
Tidak seorang
pun yang menjawab, sedang Kiai Gringsing pun kemudian berusaha untuk membuat
kedua orang itu sadar. Perlahan-lahan kedua orang itu mulai membuka matanya.
Namun dengan wajah yang pucat dan ketakutan meresa segera menutup matanya
kembali.
“Tidak,
tidak.”
“Sst,” desis
Kiai Gringsing,
”aku, Kiai
Gringsing dan di sini ada pula Raden Sutawijaya.”
Perlahan-lahan
orang itu sekali lagi membuka matanya meskipun mula-mula agak kabur, namun
mereka pun melihat bahwa yang ada di sekitarnya adalah kawan-kawannya sendiri. Sambil
menarik nafas dalam-dalam, salah seorang dari mereka berusaha bangkit. Setelah
duduk di rerumputan, maka ia pun mengusap matanya beberapa kali. Diedarkannya
pandangan matanya menyapu dedaunan di sekitarnya.
“Kenapa kau
berdua pingsan?” bertanya Kiai Gringsing.
“Tiba-tiba
saja kami diserang.”
“Siapa?”
“Seseorang
yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan.”
“Kau
berkelahi?”
“Ya. Kami
berdua berkelahi melawan orang itu. Tetapi ternyata orang itu sangat tangguh.
Kami berdua tidak berhasil mengalahkannya.”
“Tetapi kenapa
kau pingsan tanpa luka di tubuhmu?”
“Aku kira, aku
telah kehabisan nafas. Aku tidak dapat lagi menggerakkan tubuhku sama sekali.
Mataku menjadi berkunang-kunang dan akhirnya aku tidak sadarkan diri.”
Yang
mendengarkan ceritera itu mengerutkan keningnya. Dan dengan jantung yang
berdebar-debar Kiai Gringsing bertanya,
”Apakah kau
tahu namanya?”
“Orang itu
memang menyebutkan namanya.”
“Siapa?”
“Namanya Tak
Bernama.”
“He,” yang
mendengar itu menjadi heran. Tetapi Kiai Gringsing menyahut,
”Maksudmu.
Panembahan Tidak Bernama?”
“Ya. Ya. Ia
menyebut namanya Panembahan Tidak Bernama.”
Kiai Gringsing
menarik nafas dalam-dalam. Ternyata orang itu memang ada di sini. Orang yang
menyebut dirinya Panembahan Tidak Bernama. Namun kemudian tumbuh pertanyaan di
dalam dirinya, apakah Panembahan Tidak Bernama itu juga yang menyebut dirinya
Panembahan Agung?
Dalam pada itu
Raden Sutawijaya pun bertanya,
“Kenapa orang
itu tidak menangkapmu, atau berusaha membunuhmu?”
“Aku tidak
tahu, Raden. Tetapi ia memang berkata, bahwa ia tidak akan membunuhku. Yang
ditunggunya adalah para pemimpin dari Mataram dan Menoreh. Bahkan orang itu
menyebut-nyebut orang yang bersenjata cambuk.”
Kiai Gringsing
menganggukkan kepalanya. Katanya,
”Agaknya
mereka sudah mengetahui bahwa kami ada di tempat ini.”
“Tentu,” sahut
Sutawijaya,
”Agung Sedayu
dan Swandaru bersenjata cambuk pula ketika kami berkelahi melawan pasukan
Daksina di daerah terbuka di sebelah hutan itu.”
Kiai Gringsing
tidak menyahut. Dipandanginya orang yang baru sadar itu sejenak, lalu
perlahan-lahan ia menarik orang-orang itu untuk berdiri.
“Apakah kau
sudah dapat berdiri?”
“Ya. Tetapi
badanku masih terlalu lemah.”
“Baiklah.
Beradalah di dalam pasukan. Gelar yang tidak sempurna ini akan bergerak terus.
Dan sebelum badanmu pulih kembali, kau sebaiknya berada di dalam lingkaran
bersama para tawanan yang ada pada kami dan pengawal-pengawalnya. Kau dapat
membantu mereka jika diperlukan.”
Maka pasukan
itu pun mulai bergerak lagi. Sutawijaya pun kemudian berpesan kepada
pengawas-pengawas yang baru, agar mereka memberikan isyarat jika mereka
menjumpai kesulitan atau sesuatu yang mencurigakan. Para pengawas yang kemudian
berjalan mendahului pasukan itu pun menjadi semakin berhati-hati. Mereka tidak
mau mengalami nasib seperti kedua kawannya yang pingsan di dalam perkelahian
karena kehabisan nafas meskipun hal itu cukup menarik perhatian. Apalagi karena
lawannya sama sekali tidak melukainya dan apalagi membunuh.
“Mungkin orang
itu sekedar memberikan peringatan. Tetapi mungkin juga ia tergesa-gesa pergi
karena pasukan ini sudah menjadi semakin dekat,” berkata pengawas itu di dalam
hati.
Namun
demikian, mereka sadar bahwa orang itu tentu orang yang memiliki kelebihan. Dalam
pada itu, pasukan Mataram dan Menoreh itu pun sudah menjadi sangat dekat dengan
pertahanan lawan yang tersembunyi, sehingga tidak mudah bagi mereka untuk
melihatnya lebih dahulu. Mereka sama sekali tidak sadar, bahwa di balik
batu-batu padas di lereng bukit sebelah-menyebelah, di balik dinding-dinding
batu padepokan di hadapan mereka di belakang gerumbul-gerumbul di sebelah
padepokan itu, pasukan lawan sudah menunggu dengan pedang terhunus. Namun lebih
daripada itu, di antara mereka terdapat Panembahan Alit diapit oleh Daksina dan
Putut Nantang Pati, serta agak di belakang terdapat Panembahan Agung yang duduk
di serambi sebuah gardu kecil. Di sebelah-menyebelah gardu itu terdapat para
pengawal yang juga tersembunyi. Dari gardu itulah Panembahan Agung akan
mengawasi pertempuran yang sebentar lagi bakal terjadi.
Beberapa puluh
langkah di hadapan pertahanan itu Raden Sutawijaya memimpin pasukannya
mendekati dinding batu di ujung padepokan. Perlahan-lahan dan hati-hati. Namun
sama sekali tidak menduga bahwa di balik dinding batu, di balik pepohonan dan
batu-batu padas, lawannya sedang mengintai dan siap untuk menerkam. Dalam pada
itu, tiba-tiba saja para pengawas yang mendahului pasukan Mataram itu terkejut.
Tiba-tiba saja mereka melihat sebatang pohon raksasa di hadapan mereka yang
berguncang. Apalagi para pengawas yang datang dari Menoreh, yang kebetulan ikut
di dalam perburuan bersama Pandan Wangi dan kedua anak-anak muda Sangkal
Putung.
“Tentu ular
naga,” desis yang seorang,
”gerak pohon
itu tepat seperti yang kita lihat di hutan itu.”
“Ya. Dan bau
yang wengur ini?”
“Apa?”
bertanya pengawal yang datang dari Mataram.
”Ular raksasa
yang lapar. Kau lihat pepohonan yang berguncang itu. Tidak hanya satu, tetapi
tiga batang.”
“Ya. Tiga
batang. Jadi tentu ada tiga ekor ular raksasa lapar di hadapan kita.”
“Kita berhenti
di sini,” berkata salah seorang pengawas.
“Lebih baik
melawan Panembahan Tidak Bernama daripada melawan ular-ular raksasa itu. Adalah
kebetulan saja Agung Sedayu dapat mengenai mata naga itu dengan tombak. Jika
tidak, maka kita tentu akan disapu dengan ekornya. Demikian juga agaknya
pasukan ini Jika kita tidak berhenti di sini, maka kita akan kehilangan banyak
orang tanpa arti.”
“Tetapi kapan
ular itu akan pergi?”
“Tentu kita
tidak tahu. Biarlah Raden Sutawijaya mengambil keputusan.”
Seperti yang
mereka harapkan, maka sejenak kemudian induk pasukan pun datang ketempat itu.
Seperti pengawas, maka mereka pun segera melihat pepohonan besar yang bagaikan
ditiup angin pusaran. Raden Sutawijaya menjadi termangu-mangu sejenak, sedang
Pandan Wangi yang berada bersama ayahnya di sisi ujung tengah pasukan itu pun
hampir berteriak berkata,
Halaman 1 2 3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar