“Bagaimana mungkin, jejak itu dapat hilang di tengah-tengah tempat terbuka ini? Jika mereka menepi, maka tentu ada jejak yang bagaimanapun juga mereka usahakan untuk dihilangkan.”
“Tidak ada
jejak ke jurusan lain. Benar-benar tidak ada. Penyamaran tidak akan dapat
dilakukan demikian sempurnanya.”
“Jadi
bagaimana mungkin. Apakah mereka dapat terbang atau melenting sampai ke tepi tempat
terbuka ini?”
“Tentu tidak,
Raden.”
“Jadi?”
“Jalan
satu-satunya adalah melangkah mundur.”
Raden
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Namun kemudian kepalanya itu pun
terangguk-angguk. Bahkan sekilas senyum membayang di bibirnya. Katanya
perlahan-lahan,
“Aku memang
bodoh sekali. Aku harus lebih banyak memperhatikan jejak-jejak yang
kadang-kadang tampaknya mengandung rahasia, tetapi sebenarnya persoalannya
terlalu sederhana.”
Para
pengiringnya pun ikut tersenyum pula, meskipun mereka tidak kehilangan kewaspadaan.
“Baiklah,”
berkata Sutawijaya kemudian,
“kita harus
menjadi bingung di sini beberapa lama. Sementara itu kita berharap agar
orang-orang Menoreh yang dipimpin oleh Pandan Wangi itu telah berada di
tempatnya dan dapat melihat kita di sini dari sela-sela dedaunan. Mudah-mudahan
mereka mengerti, bahwa mereka harus berlindung dan tidak berdiri berderet-deret
melihat kebingungan kita di pinggir tempat terbuka ini.”
“Mudah-mudahan
mereka cukup cerdas,” berkata salah seorang pengiringnya,
“tetapi karena
mereka adalah pemburu-pemburu yang biasa berburu binatang, mungkin mereka
mempunyai sikap yang lain.”
Sutawijaya
memandang pengiringnya sejenak. Tetapi pendapat itu adalah wajar, karena
pengiringnya itu sama sekali belum mengenal siapakah Pandan Wangi. Namun demikian,
ia berusaha untuk memberikan sedikit gambaran tentang orang-orang yang berada
di dalam kelompok kedua itu. Katanya,
“Mereka memang
pemburu-pemburu di hutan liar. Tetapi mereka pun pemburu-pemburu orang-orang
bersenjata yang tidak kita kenal, karena sudah beberapa lama Menoreh mengadakan
pengawasan di sepanjang Kali Praga.”
“Tetapi mereka
belum pernah menghasilkan apa-apa. Mereka belum pernah berhasil menangkap
seorang pun.”
“Orang-orang
bersenjata itu selalu berhasil melarikan diri. Tetapi pernah juga terjadi dua
orang yang berusaha melarikan diri dengan menyeberang kembali ke Timur berhasil
mereka kenai dengan anak panah dan keduanya tidak pernah berhasil mencapai tepi
Kali Praga. Mayat mereka hanyut dalam arus sungai yang kebetulan sedang deras waktu
itu.”
“Darimana
Raden tahu?”
“Seorang
tukang perahu melihat peristiwa itu, dan kemudian menceriterakan kepada para
peronda dari Mataram.”
Para
pengiringnya, mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan demikian, maka mereka
mendapat sedikit gambaran, bahwa orang-orang Menoreh pun jika keadaan memaksa,
dapat juga bertempur dengan caranya.
Sejenak
kemudian kelompok kecil itu masih melingkar-lingkar di tempat terbuka itu.
Meskipun nampaknya mereka sedang kebingungan, namun sebenarnya mereka sedang
menunggui serangan yang setiap saat dapat datang. Dalam pada itu, kelompok yang
dipimpin oleh Pandan Wangi pun menjadi semakin dekat pula dengan tempat yang
terbuka itu. Namun sebelum mereka mencapai tepi dari tempat yang terbuka,
mereka menemukan suatu tanda, bahwa mereka harus berhenti.
“Sepotong
ranting yang menyilang ini,” berkata Pandan Wangi,
“memaksa kita
untuk bersiaga.”
“Kita harus
berhenti di sini,” gumam Prastawa.
“Tentu ada
sesuatu yang penting. Jika tidak, kita tidak usah berhenti di sini.”
Prastawa tidak
menyahut. Yang kemudian berbicara adalah Swandaru,
“Di hadapan
kita adalah suatu daerah yang terbuka.”
Agung Sedayu
yang juga melihat tanda itu, merayap beberapa langkah maju. Namun tiba-tiba ia
berdesis,
“Mereka berada
di sana. Di tempat yang terbuka itu.”
Pandan Wangi
mengerutkan keningnya. Namun ia pun menyusup beberapa langkah maju bersama
beberapa orang yang lain. Dan mereka pun melihat, bahwa Raden Sutawijaya masih
berada di tengah-tengah tempat terbuka itu.
“Mereka
tampaknya sedang kebingungan mencari sesuatu,” berkata Prastawa.
“Ya,” sahut
Agung Sedayu, “tampaknya mereka kehilangan jejak.”
“Mustahil,”
sahut Swandaru,
“lihat, jejak
itu jelas sekali. Kita dapat mengikutinya tanpa kesulitan apa pun di tempat
terbuka itu. Batang ilalang yang patah-patah dan bekas-bekas kaki yang jelas.”
“Tetapi jejak
itu agaknya hilang di tengah-tengah.”
Swandaru
mengerutkan keningnya. Tetapi menilik sikap beberapa orang pengiring Sutawijaya
dan Sutawijaya sendiri, mereka memang sedang mencari sesuatu. Dan agaknya
mereka memang telah kehilangan jejak itu. Ternyata bahwa anak-anak muda yang
berada di dalam kelompok kedua itu cukup cerdas. Hampir berbareng Agung Sedayu
dan Swandaru berkata,
“Ternyata kita
benar-benar berada di dalam jebakan.”
Dan Swandaru
meneruskan,
“Apa pun yang
terjadi dengan jejak itu, kita benar-benar harus berhati-hati.”
“Ya,” sahut
Pandan Wangi,
“jejak itu
dengan sengaja memancing Raden Sutawijaya ke tempat terbuka itu. Dengan
demikian, maka jika benar tempat itu merupakan jebakan, akan datang serangan
dari sekeliling tempat terbuka itu, termasuk dari tempat ini.”
“Kau benar,”
berkata Agung Sedayu,
“setidak-tidaknya
dari beberapa arah. Dan kita harus berhati-hati menghadapi mereka. Bahkan
mungkin kita akan bertempur lebih dahulu dari kelompok yang terjebak di
tengah-tengah tempat terbuka itu.”
“Jika mereka
mengambil arah ini, agaknya memang demikian. Tetapi mungkin mereka mengambil
arah yang lain.”
Agung Sedayu
tidak menyahut. Tetapi dari sela-sela dedaunan, ia memperhatikan apa yang
dilakukan oleh Sutawijaya dan para pengiringnya.
Namun bagi
Agung Sedayu dan kawan-kawannya, sikap Sutawijaya cukup mengherankan.
Seharusnya mereka tidak menjadi kebingungan, karena sejak semula mereka
menyadari, bahwa mereka sedang menelusuri jejak yang mereka duga sebagai suatu
jehakan. Seharusnya mereka bersiaga menghadapi setiap kemungkinan yang bakal
datang dari segala arah. Bahkan mereka sempat memberikan tanda kepada kelompok
kedua ini, agar mereka berhenti sebelum sampai ke tempat terbuka itu.
Namun Agung
Sedayu pun kemudian berkata,
“Tentu mereka
pun sedang berusaha memancing lawannya dengan sikap yang pura-pura itu.
Meskipun mungkin mereka benar-benar menjadi bingung karena kehilangan jejak,
tetapi mereka tentu tidak akan bingung menghadapi jebakan itu.”
Swandaru,
Pandan Wangi, dan Prastawa pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka sadar,
bahwa jika benar Raden Sutawijaya sudah terada di tengah-tengah jebakan,
sebentar lagi tentu akan terjadi perkelahian. Di luar sadarnya, Agung Sedayu
pun berpaling ke arah Rudita yang menjadi semakin pucat seperti kapas. Sebenarnyalah,
bahwa Radita telah benar-benar menjadi ketakutan. Ia pun menyadari, bahwa
pembicaraan Agung Sedayu dengan kawan-kawannya itu membayangkan bahaya yang
dapat menerkam mereka. Jika jebakan itu benar-benar telah di persiapkan, maka
apakah mereka dapat keluar dari jebakan itu?
Karena itu,
sejenak kemudian dengan lutut gemetar ia mendekati Pandan Wangi sambil berkata,
“Pandan Wangi.
Bukankah kau yang akan memimpin kelompok ini? Sebaiknya kau mengambil keputusan
untuk kembali saja.”
Pandan Wangi
memandang Rudita sesaat. Ia memang merasa terganggu dengan kehadiran anak muda
itu, karena Rudita itu adalah tamunya. Jika terjadi sesuatu, maka ialah yang
pertama-tama akan dibebani dengan tanggung jawab. Tetapi di dalam keadaan
serupa itu, sudah barang tentu bahwa mereka tidak akan dapat kembali, selagi
kelompok yang dipimpin oleh Sutawijaya itu berada di dalam kesulitan.
“Pikirkan
baik-baik, Pandan Wangi,” desak Rudita,
“apakah
gunanya kita ikut bersusah payah memburu orang yang tidak kita kenal itu?”
Pandan Wangi
menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
“Rudita. Sudah
tentu kita pun berkepentingan. Daerah ini adalah daerah Tanah Perdikan Menoreh.
Kita pun wajib membersihkan daerah ini dari orang-orang yang tidak kita
kehendaki.”
“Tetapi
sasaran mereka adalah Mataram. Sama sekali bukan Menoreh.”
“Dan Menoreh
dijadikannya landasan mereka untuk mengganggu Mataram. Bukankah dengan demikian
akan dapat timbul salah paham antara Menoreh dan Mataram. Apalagi jika saat ini
kita lepaskan Raden Sutawijaya itu terjebak.”
“Tetapi kenapa
kita harus mengorbankan diri sendiri?”
“Siapa yang
mengorbankan diri sendiri?”
“Kita. Jika
kita mati, tumpas, maka semua akan menyesal. Kau adalah anak satu-satunya. Jika
kau mati, tidak ada lagi garis keturunan paman Argapati. Dan jika aku mati,
maka ayah bundaku akan meratap sepanjang sisa umurnya.”
Tetapi Pandan
Wangi menyahut,
“Marilah kita
tidak menyerah untuk mati. Meskipun hidup dan mati seseorang tidak tergantung
pada diri kita masing-masing, tetapi kita wajib berusaha. Dan jika kita
berusaha dengan bersungguh-sungguh, maka Yang Menciptakan kita pun akan
menolong kita, selama kita berbuat dengan niat yang baik.”
“Apakah kau
dapat mengatakan, yang baik bagimu apakah tentu baik bagi orang lain?”
“Ah,” jawab
Pandan Wangi,
“dalam keadaan
ini, kita jangan berbantah tentang sikap dan pandangan hidup. Aku tahu, bahwa
yang baik itu mempunyai artinya masing-masing.”
“Dan kau akan
mencoba memilih sekedar baik bagimu.”
“Rudita,”
Pandan Wangi menjadi jengkel,
“sudahlah.
Besok kita mempersoalkan batasan antara yang baik dan yang buruk. Kita sekarang
menghadapi kenyataan ini. Jika kau takut, baiklah kau tetap bersembunyi di
sini. Kita harus berbuat sesuatu. Kita semuanya sekarang harus bersembunyi di
sini. Jika orang-orang yang menjebak itu datang menyerang, kita akan tetap
menunggu. Sampai saatnya mereka memerlukan bantuan kita, kita akan meloncat ke
luar dari tempat ini dan melibatkan diri di dalam pertempuran itu.”
Rudita
mengerutkan keningnya. Namun kemudian matanya menjadi berkaca-kaca.
“Kenapa kita
bersembunyi?” tiba-tiba ia bertanya.
Pandan Wangi
tidak mengerti maksud pertanyaan itu. Sejenak ia memandang Rudita yang pucat.
Kemudian jawabnya,
“Kita
merupakan tenaga cadangan. Setiap saat kita akan menyerang mereka tanpa
diduga-duga.”
“Bagaimana
jika orang-orang yang kita sangka menjebak Raden Sutawijaya itu mengetahui
kehadiran kita di sini?”
“Usaha kita
akan gagal. Mereka akan bersiap menghadapi kita juga. Mereka tidak akan dapat
kita sergap.”
“Jika kita
menyatakan kepada mereka, bahwa kita tidak ikut campur?”
“Ah, tentu
tidak mungkin. Kita sudah melibatkan diri.”
Rudita
merenung sejenak. Dan tiba-tiba saja ia berkata,
“Aku sudah
mengambil keputusan. Kita tidak usah turut campur. Akulah yang akan meneriakkan
kepada orang-orang yang barangkali masih bersembunyi, bahwa kita tidak ikut
campur. Karena itu, mereka jangan memusuhi kita.”
“Rudita,”
kening Pandan Wangi Jadi berkerut-merut.
“Itu
keputusanku.”
“Jangan
berbuat bodoh sekali,” terdengar suara Agung Sedayu,
“jika kau
berteriak, maka rencana Raden Sutawijaya akan kacau.”
“Aku tidak
peduli.”
“Dan kita akan
berganti lawan,” desis Swandaru,
“kita akan
dianggap memusuhi Mataram, karena Raden Sutawijaya adalah pimpinan tertinggi
Mataram.”
“Aku tidak
peduli, tetapi aku tidak mau dibantai oleh orang yang tidak aku kenal di sini.
Dan kalian sebaiknya mendengar keputusanku ini.”
“Gila,”
Prastawa menggeram.
Namun di luar
dugaan mereka, agaknya Rudita benar-benar ingin berteriak. Ia benar-benar tidak
ingin terlibat di dalam perkelahian yang mungkin akan terjadi. Ia Ingin
meneriakkan suatu pernyataan, bahwa ia tidak akan ikut campur di dalam
persoalan antara Mataram dan orang-orang yang tidak di ketahui itu. Sambil
melingkarkan kedua telapak tangannya di mulutnya, Rudita berdiri tegak sambil
menengadahkan kepalanya.
“Rudita,
jangan gila,” cegah Pandan Wangi yang berdiri di sampingnya.
Meskipun suara
Pandan Wangi tidak begitu keras, namun Rudita berpaling juga sejenak. Tetapi
tidak ada tanda-tanda, bahwa ia akan mengurungkan niatnya. Ternyata sekali lagi
ia menengadahkan kepalanya dan siap untuk berteriak. Tetapi ketika suaranya
hampir saja meloncat dari mulutnya, sekali lagi tertahan karena Pandan Wangi mengguncangnya
sambil berdesis,
“Jangan kau
lakukan.”
“Jangan mencegah
semua yang sudah aku putuskan untuk aku lakukan. Seperti kau sama sekali tidak
mendengarkan pendapatku, aku pun berhak berbuat serupa.”
“Ada
perbedaannya. Aku tidak bergantung kepadamu. Tetapi kau bergantung kepadaku di
dalam keadaan ini. Bukan maksudku menyombongkan diri. Tetapi aku ingin kau
menyadari kedudukan kita masing-masing di saat ini. Akulah pimpinan kelompok
ini.”
“Aku sedang
berusaha untuk tidak bergantung lagi kepadamu. Tetapi jika suaraku didengar
oleh mereka, dan kita tidak akan mendapat kesulitan apa-apa, maka kaulah yang
bergantung kepadaku nanti.”
“Jangan kau
lakukan. Aku tidak mengijinkan kau berbuat gila itu.”
Rudita
memandang Pandan Wangi sejenak. Tetapi tiba-tiba saja sekali lagi ia
melingkarkan kedua telapak tangannya sambil menengadahkan kepalanya.
Ketika sekali
lagi Pandan Wangi menggamitnya, maka ia pun mengibaskan tangan Pandan Wangi.
Tetapi ketika
suaranya hampir saja meloncat dari mulutnya, Rudita itu terkejut bukan
kepalang. Bahkan kemudian ia terdorong surut sambil menyeringai kesakitan.
Ternyata di dalam keadaan yang gawat itu, Pandan Wangi tidak dapat berbuat lain
daripada memaksa Rudita untuk diam. Sebuah tamparan yang cukup keras telah
terayun menyentuh pipi Rudita. Dengan wajah yang tegang, Rudita kemudian memandangi
Pandan Wangi dengan sorot mata yang aneh. Dari sela-sela bibirnya terdengar ia
berdesis,
“Kau memukul
aku, Pandan Wangi.”
“Maaf, Rudita.
Aku terpaksa melakukannya.”
Mata Rudita
itu pun kemudian menjadi basah dan suaranya seakan-akan tersangkut di kerongkongan,
“Kenapa kau
melakukannya, Pandan Wangi?”
“Aku tidak
ingin kita bersama-sama binasa di sini. Aku tahu, bahwa hatimu bersih dan
damai. Kau menganggap orang lain bersikap seperti kau. Jika seseorang tidak
memusuhinya, maka tidak akan timbul permusuhan. Tetapi kita tidak dapat
bersikap seperti itu terhadap orang-orang yang sedang kita cari sekarang ini.
Apa pun yang akan kita lakukan, maka sikap mereka akan cukup tegas.
Membinasakan kita yang terperosok ke dalam perangkapnya. Termasuk kita.”
Setitik air
mengambang di pelupuk mata anak muda itu. Katanya di sela-sela sedu-sedannva yang
tidak dapat ditahankannya,
“Ternyata
hatimu tidak ada bedanya dengan orang-orang lain, Pandan Wangi. Berbeda dengan
namamu, maka kau sama sekali bukan sehelai daun pandan yang wangi. Kau
terlampau berprasangka dan bersikap bermusuhan, justru dengan orang-orang yang
sama sekali tidak kau kenal. Kau sudah kehilangan kepercayaan kepada sesama,
sehingga kau selalu menaruh curiga. Dengan demikian, maka hidupmu akan selalu
dikotori dengan sikap bermusuhan dan tanpa kedamaian. Prasangka, curiga, dan
kehilangan kepercayaan.”
Pandan Wangi
memandang wajah Rudita yang merah. Air mata yang kemudian mengalir di pipinya.
Dan wajah yang basah itu sama sekali tidak membayangkan wajah seorang
laki-laki. Tetapi Pandan Wangi tidak menyahut lagi karena tiba-tiba saja Prastawa
menggamitnya. Katanya,
“Pandan Wangi,
lihat. Raden Sutawijaya sudah bersiaga sepenuhnya. Tentu ia sudah melihat
sesuatu di sekitarnya.”
“Untunglah,
bahwa orang-orang itu tidak menyerang dari jurusan ini. Jika demikian, maka
kita akan berkelahi lebih dahulu daripada Raden Sutawijaya.” Pandan Wangi
terdiam sejenak, lalu sambil berpaling kepada Rudita ia berkata,
“Rudita. Kau
tetap bersembunvi di sini. Jika kau muncul juga di arena jika kita nanti
terlibat di dalam perkelahian, maka kau akan mengalami kesulitan. Ingat, jika
kau masih ingin tetap hidup, bersembunyilah dan diamlah. Jika kau ribut, maka
kau akan mati. Sebuah pedang akan menembus dadamu, dan kau akan menggeliat tanpa
dapat berbuat sesuatu. Mayatmu kemudian akan terkapar dengan ujung pedang masih
tetap menembus sampai ke jantung. Kau mengerti?”
Mengerikan
sekali. Air mata Rudita semakin deras mengalir. Tetapi ia mengangguk ketakutan
yang sangat telah memaksanya untuk tidak membantah lagi. Ternyata seperti yang
dikatakan oleh Prastawa, di tengah-tengah tempat yang terbuka itu. Raden
Sutawijaya sudah menyiapkan diri. Tombak pendeknya sudah merunduk dan
orang-orangnya sudah menghadap ke beberapa arah. Dengan demikian, maka kelompok
Pandan Wangi pun segera mengetahui, dari arah manakah kira-kira lawan itu akan
datang.
Sebenarnyalah
Raden Sutawijaya telah melihat sesuatu yang bergerak-gerak di sekitar tempat
yang terbuka itu. Penglihatannya yang tajam, dilengkapi dengan firasat yang
menyentuh perasaannya, maka Raden Sutawijaya pun mengetahui dari arah manakah
lawan-lawannya akan datang. Agung Sedayu dan Swandaru pun menjadi tegang pula
karenanya. Di dalam hati mereka berharap, agar orang-orang yang berusaha
menjebak kelompok-kelompok itu tidak mengetahui bahwa sekelompok kecil masih
tersembunyi di balik rimbunnya dedaunan. Sejenak kemudian perhitungan Raden
Sutawijaya itu pun ternyata benar. Beberapa orang bersenjata telah muncul dari
balik gerumbul-gerumbul perdu yang rimbun. Dengan demikian, maka orang-orang
yang berada di tengah-tengah tempat terbuka itu pun menempatkan diri mereka
masing-masing untuk menyongsong orang-orang yang bermunculan dari balik
dedaunan, semakin lama menjadi semakin banyak. Raden Sutawijaya menjadi
berdebar-debar melihat kehadiran orang-orang itu. Karena itu, maka ia pun telah
bersiaga sepenuhnya menghadapi setiap kemungkinan.
“Nah,”
tiba-tiba salah seorang dari orang-orang yang mengepung para pengawal dari
Mataram itu berkata,
“baru sekarang
kita berhasil bertemu muka.”
Raden
Sutawijaya mencari di antara orang-orang yang mengepungnya itu. Namun tiba-tiba
dadanya berdesir, ketika ia melihat seseorang yang pernah dikenalnya. Sambil
tertawa orang itu melangkah maju mendekatinya.
“Raden,”
berkata orang itu,
“di tempat ini
terpaksa aku menunjukkan diri.”
“Paman
Daksina?”
“Ya, Raden.
Tentu Raden tidak lupa kepadaku.”
“Apa artinya
ini, Paman?”
“Apakah Raden
heran melihat kehadiran kami di sini?”
“Aku tidak
mengerti.”
Terdengar
suara tertawa orang yang disebut Daksina itu. Katanya,
“Aku memang
berada di antara orang-orang yang barangkali tidak kau senangi, Raden.
Orang-orang yang kau anggap selama ini mengganggu Mataram.”
Raden
Sutawijaya mengerutkan keningnya.
“Barangkali
Raden memang tidak menyangka, bahwa aku ada di antara mereka. Tetapi inilah
kenyataan itu. Aku adalah salah seorang dari mereka yang tidak senang melihat
Mataram berkembang. Aku akui, bahwa di antara kami masih terdapat kepentingan
yang berbeda. Namun kami telah berusaha menemukan sikap dan menyesuaikan diri
kami masing-masing menghadapi Mataram. Tetapi satu hal yang bersama-sama kami
sepakati tanpa ragu-ragu, yaitu menangkap Raden Sutawijaya hidup atau mati.”
Raden
Sutawijaya menggeram. Katanya,
“Pihak-pihak
yang manakah yang kau sebut berbeda kepentingan di antara kalian?”
Orang itu
mengerutkan keningnya. Kemudian katanya,
“Apakah ada
gunanya kau mengerti?”
“Mungkin ada.”
“Menjelang
kematianmu?”
“Jika benar
demikian, maka setidak-tidaknya sebelumi aku mati, aku sudah mengerti persoalan
yang sebenarnya aku hadapi. Dan jika ada satu dua orang anak buahku yang hidup
dan berhasil keluar dari tempat ini, maka akan datang saatnya Ayahanda
Pemanahan yang mendengar laporannya, akan bertindak tepat.”
Orang yang
disebut bernama Daksina itu tertawa berkepanjangan. Katanya,
“Coba
perhatikan di sekelilingmu, Raden. Aku mempunyai jumlah orang yang lebih
banyak. Dan aku yakin, bahwa Raden tidak akan dapat menang melawan aku seorang
lawan seorang meskipun aku belum sesakti ayahanda Raden, Ki Gede Pemanahan dan
Ayahanda Sultan Pajang. Tetapi untuk kepentinganku kali ini mencukupilah
kiranya.”
“Paman akan
membunuh aku?”
“Jika mungkin,
aku ingin menangkapmu hidup-hidup.”
“Buat apa
sebenarnya Paman menangkap aku?”
“Pertanyaanmu
aneh, Raden. Yang penting bukan untuk apa, tetapi yang penting bagi kami adalah
Mataram tidak boleh berdiri seperti bentuknya sekarang.”
“Siapakah
sebenarnya yang berkeberatan? Paman belum menyebut pihak-pihak yang kau
katakan.”
“Baiklah,
Raden. Sebelum Raden terbunuh di tempat yang memang sudah kami pilih ini,
biarlah aku menyebutnya. Yang pertama adalah pihakku dan beberapa orang perwira
prajurit Pajang. Sultan Pajang terlampau berbaik hati menyerahkan Mataram
kepada Ki Gede Pemanahan yang sebenarnya dapat disebut meninggalkan tugasnya tanpa
ijin sultan sendiri.”
“Hanya itu?”
“Tidak. Tetapi
masih ada kelanjutan dari cita-cita kami yang besar. Bukan sekedar persoalan
Alas Mentaok.”
“Katakan jika
kau memang ingin digantung oleh Ayahanda Sultan atau Ayahanda Pemanahan.”
”Jangan
sombong. Tidak akan ada orangmu yang akan tetap hidup. Nah, dengarlah. Bagi
kami, baik Mataram maupun Pajang, sekarang tidak ada gunanya lagi. Kami harus
membentuk suatu pemerintahan baru yang lebih baik dari sekarang. Kami mencoba
mengirimkan beberapa orang utusan kepada para adipati di pasisir Utara untuk
mengetahui keinginan mereka yang sebenarnya.”
Raden
Sutawijaya mengangguk-anggukan kepalanya. Katanya,
“Jadi inilah
usaha kalian di Istana Pajang. Sebagian aku sependapat, bahwa Pajang harus
dibersihkan. Dibersihkan dari orang-orang seperti Paman dan beberapa orang
perwira yang Paman katakan, meskipun Paman belum menyebut namanya.”
“He?” Daksina
mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian tertawa. Katanya,
“Kau akan
kecewa. Untara yang ragu-ragu itu, justru ia memiliki kekuasaan tertinggi di
daerah Selatan, sebentar lagi tidak akan menentang kehendak kami. Sampai saat
ini ia masih tetap seorang prajurit. Prajurit yang bodoh, karena otaknya
terpancang di ujung senjatanya. Tetapi sebentar lagi pasukannya akan menaikkan panji-panji,
rontek, dan umbul-umbul di dalam gelar-gelar perang yang besar melanda Mataram
yang sudah kehilangan Sutawijaya. Maka Mataram akan segera tenggelam dan hancur
sama sekali sampai tumbuhnya Mataram yang lain dalam kesatuan negara baru yang
lain. Karena itu, baik Pajang maupun Mataram tidak akan berarti apa-apa lagi
bagi kami.”
“Begitu
mudahnya?”
Daksina
mengerutkan keningnya. Ternyata Sutawijaya masih tetap tenang meskipun ia sudah
mengatakan beberapa persoalan tentang rencana dan angan-angannya. Sebenarnyalah,
bahwa setelah terkejut sejenak, maka Sutawijaya berhasil menguasai perasaannya
kembali. Ia memang tidak menyangka, bahwa di tempat yang sepi itu ia akan
bertemu dengan Daksina, salah seorang senapati di Pajang. Seorang yang pernah
ikut membina Pajang bersama Ki Gede Pemanahan, Ki Penjawi, dan beberapa orang
lainnya. Ia adalah orang yang dekat dengan Ki Manca yang juga berkedudukan
penting di Pajang. Namun nama Daksina tidak sebesar Ki Gede Pemanahan, Ki
Penjawi, atau Ki Juru Martani. Meskipun demikian, kehadiran Daksina di tempat
yang sepi itu benar-benar telah menggetarkan dada Sutawijaya. Namun dalam
kesulitan itu ia berhasil menguasai dirinya, sehingga nampaknya ia masih saja
tetap tenang. Tetapi Sutawijaya sadar, bahwa Daksina yakin akan dapat menjebak
dan menangkapnya, hidup atau mati, sehingga ia tidak segan-segan menampilkan
dirinya tanpa aling-aling. Dan apalagi dengan berterus terang mengatakan
gambaran yang diinginkannya atas Pajang dan Mataram.
“Raden,”
berkata Daksina kemudian,
“kau memang
berjiwa besar dan tabah menghadapi kesulitan. Tetapi bagaimanapun juga,
kebesaran jiwa dan ketabahan tidak akan dapat menolong kesulitan yang memang
melampaui batas kemampuan seseorang. Yang dapat kau lakukan hanyalah sekedar
memberikan kekaguman kepada kami, bahwa sampai saat matinya Sutawijaya tidak
mengenal takut dan menyerah. Hanya itu. Tetapi kau tetap akan berada di dalam
kekuasaan kami, hidup atau mati.”
“Begitulah.
Aku memang berharap, seandainya aku mati, maka orang yang terakhir mengagumiku
hendaknya adalah musuh-musuhku. Tetapi katakan sama sekali, siapakah golongan
kedua yang menghendaki Pajang dan Mataram hancur bersama-sama.”
Ki Daksina
memandang anak buahnya sejenak. Kemudian katanya,
“Aku kali ini
yakin, bahwa kau tidak akan dapat lepas dari tangan kami. Sejauh-jauh dapat kau
jangkau, tetapi ilmuku pasti masih berada di atas kemampuanmu membela diri,
sedang anak buahku lebih banyak dari anak buahmu. Karena itu, baiklah, agar
matimu agak lebih mudah karena tidak dibebani oleh teka-teki itu.” Daksina
terhenti sejenak, lalu,
“Golongan yang
satu lagi adalah sekelompok orang di bawah pimpinan panembahan yang menyebut
dirinya Panembahan Agung Cahyakusuma. Ingat, namanya memang agak
berlebih-lebihan. Panembahan yang Agung.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Kenapa kau
tidak senang kepada nama itu?”
“Siapa yang
mengatakan bahwa aku tidak senang pada nama itu? Nama itu bagus sekali. Dan
Panembahan Agung itu adalah pasangan yang setia di dalam rencana ini. Kami
bersama-sama ingin menghancurkan Mataram dan Pajang.”
Namun
tiba-tiba saja Raden Sutawijaya tertawa. Katanya,
“Sekarang kau
dapat berkata begitu. Tetapi tentu kalian kedua belah pihak sama-sama
menyakini, bahwa apabila kalian telah berhasil, maka akan timbul pertengkaran baru
di antara kalian. Baik kau, atau barangkali di belakangmu masih ada orang lain
yang lebih tinggi kedudukannya, maupun Panembahan Agung itu, tentu ingin duduk
di atas kedudukan yang paling tinggi. Kalian terpaksa saling bertempur dan
saling membunuh.”
“Kau salah,
Raden,” berkata Daksina,
“kita sudah
saling bersetuju, bahwa kami akan mendapat kedudukan kami masing-masing. Di
antara kami tentu tidak akan ada pertengkaran sama sekali.”
“Jangan
membohongi diri sendiri,” jawab Sutawijaya, lalu,
“tetapi seandainya
demikian, maka para adipati di pesisir tentu akan merupakan persoalan yang
rumit bagi kalian. Siapakah yang sudi menyerahkan kepercayaan kepadamu atau
kepada panembahan yang tidak dikenal itu? Padahal para adipati di pesisir
memiliki kekuatan yang jauh melampaui pengaruh kalian. Kau sangka
adipati-adipati itu sama sekali tidak mempunyai sikap terhadap pimpinan
pemerintahan? Apakah kau sangka mereka akan menundukkan kepalanya dengan
memejamkan matanya? Tentu tidak. Aku telah mengenal mereka seorang demi
seorang. Dan mereka adalah prajurit-prajurit yang berpendirian.”
Daksina
mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian katanya,
“Baiklah, itu
akan kami pikirkan kemudian. Mungkin aku memang harus menyerahkan persoalannya
kepada orang yang memiliki pengaruh lebih besar daripadaku. Mungkin memang
orang-orang yang namanya dikenal seperti Ki Juru Martani. Tetapi yang penting
bagiku sekarang adalah membunuhmu?”
“Apakah tidak
ada lagi yang akan kau katakan tentang dirimu, atau tentang nama-nama lain yang
ada sangkut pautnya?”
“Tidak perlu.”
Daksina berhenti sejenak, lalu,
“Tetapi apakah
kau ingin juga berpesan sesuatu kepada kami. Mungkin dapat kami sampaikan
kepada keluargamu atau bahkan kepada ayahandamu, Sultan Pajang?”
“Tidak. Aku
tidak ingin berpesan apa pun. Kecuali jika kau memang ingin digantung.”
Daksina
tertawa. Lalu katanya,
“Apakah kau
tidak memberikan pesan terakhir kepada gadis itu?”
Wajah
Sutawijaya menjadi semburat merah.
“Jangan kau
sangka, bahwa tidak ada orang yang mengerti, bahwa kau sudah berhubungan dengan
gadis itu? Dan ini akan menjadi salah satu alasan, bahwa Sultan Pajang tidak
akan mencarimu, apalagi menuntut kematianmu, jika kau hilang dari Mataram.”
“Jangan
mengigau, Paman,” suara Sutawijaya menjadi berat.
“Ha,” desis
Daksina,
“kau mulai menjadi
pucat. Jangan menyesal.”
Terdengar
Raden Sutawijaya menggeram. Lalu,
“Persetan
dengan igauanmu itu. Aku tidak peduli.”
Tetapi Daksina
tertawa. Bahkan untuk beberapa lamanya ia melepaskan suara tertawanya, sehingga
berkumandang memenuhi seluruh tempat yang terbuka itu. Dalam pada itu, Agung
Sedayu dan kawan-kawannya sampat mendengarkan pembicaraan yang tidak begitu
jelas. Namun sepatah dua patah kata mereka dapat menangkap pembicaraan
Sutawijaya dengan orang yang disebutnya Ki Daksina itu. Bahkan Agung Sedayu dan
kawan-kawannya mendengar, bahwa Daksina telah menyebut tentang seorang gadis.
Sementara itu,
di sela-sela suara tertawanya Daksina berkata,
“Raden
Sutawijaya, memang seorang gadis tentu akan memilih Raden daripada Sultan
Pajang yang sudah menjelang saat-saat senja hari itu. Tetapi pada suatu saat,
persoalan itu akan sangat menguntungkan bagi kami. Seandainya Sultan masih
ingin memaafkan Raden di dalam persoalan Mataram, namun persoalan gadis dari
Kalinyamat itu tentu akan membuka persoalan baru yang menentukan, yang meskipun
mula-mula tidak mempunyai hubungan sama sekali dengan usaha Ki Gede Pemanahan
membuka Alas Mentaok, tetapi justru persoalan itulah yang akan menggagalkan
semua impian bagi berdirinya suatu negeri yang di sebut Mataram.”
Wajah Raden
Sutawijaya menjadi semakin tegang. Dan dengan suara yang bergetar oleh
kemarahan yang menyesak di dadanya ia berkata,
“Jangan banyak
berbicara. Jika kau akan menangkap Sutawijaya hidup atau mati, lakukanlah. Kau
tidak usah menyinggung persoalan-persoalan yang kau sendiri tidak
mengetahuinya.”
“Baiklah. Jika
Raden memang tidak ingin berpesan apa pun terhadap gadis itu. Tetapi Raden
harus menyadari, sepeninggal Raden, Mataram akan segera terhapus. Sebuah
benturan bersenjata akan segera terjadi antara Mataram dan Pajang. Kami
menyadari, bahwa Ki Gede Pemanahan adalah seorang prajurit. Sepeninggal Raden,
Ki Gede Pemanahan tentu akan berbuat sesuatu. Kesaktiannya yang hampir sempurna
seperti juga Sultan Pajang sendiri, akan membuat kedua kekuasaan itu hancur.”
“Cukup!
Sekarang, marilah kita mulai. Jangan terburu-buru mimpi. Pada saatnya kau akan
dicincang oleh para adipati dari daerah Pesisir dan Bang Wetan.”
Tetapi Daksina
masih saja tertawa berkepanjangan. Namun suara tertawanya itu tiba-tiba terputus
ketika ujung tombak Raden Sutawijaya hampir saja menyentuh mulutnya, sehingga
Daksina itu terkejut. Ternyata ia telah lengah, sehingga hampir saja ujung
tombak pendek anak muda itu tergores di wajahnya. Ternyata Sutawijaya tidak
ingin menunda-nunda lagi. Ia pun segera memberikan perintah kepada
orang-orangnya untuk segera menyerang. Sejenak kemudian, di tengah-tengah
tempat yang terbuka itu, telah terjadi pertempuran yang seru. Untuk beberapa
saat pertempuran itu masih belum mapan. Beberapa orang masih berusaha mencari
lawan masing-masing. Namun dalam pada itu, ternyata bahwa anak buah Daksina
memang lebih banyak dari anak buah Sutawijaya, sehingga dengan demikian, maka
beberapa orang daripadanya harus melawan lebih dari seorang. Hal itu agaknya
disadari sepenuhnya oleh para pengawal dari Mataram. Karena itu, pada loncatan
yang pertama mereka telah berusaha dengan tiba-tiba saja untuk mengurangi
jumlah lawannya. Begitu mereka mulai, mereka telah langsung menusukkan senjata
mereka ke dada lawan. Satu dua orang dari mereka ternyata telah berhasil.
Tetapi sebagian terbesar mengalami kegagalan, karena lawan-lawan mereka pun
sudah bersiap pula menghadapi setiap kemungkinan. Sejenak kemudian, barulah
pertempuran itu menjadi lebih mapan pada pihak masing-masing. Di antara mereka
adalah Sutawijaya yang bertempur melawan Daksina.
Ternyata pada
benturan yang pertama, Daksina telah dikejutkan oleh kemampuan Raden Sutawijaya
yang tidak terduga-duga. Daksina tahu sepenuhnya, bahwa Raden Sutawijaya lah
yang telah berhasil membunuh Arya Penangsang, Adipati Jipang. Sultan Pajang
sendiri akan memerlukan waktu yang panjang untuk berperang tanding dan
membinasakan Arya Penangsang. Kekalahan Arya Penangsang dari Sutawijaya juga
disebabkan karena kudanya yang tiba-tiba saja menjadi binal dan tidak dapat
dikuasainya, sehingga Sutawijaya mendapat kesempatan untuk menusukkan tombak
pusaka Pajang ke lambung Arya Penangsang itu.
Tetapi menurut
perhitungannya waktu itu, kemampuan Sutawijaya sendiri adalah jauh di bawah
kesaktian Arya Penangsang yang memiliki keris pusaka yang dinamakannya Kiai
Setan Kober. Kini, ketika senjatanya membentur tombak Radan Sutawijaya, bahkan
bukan tombak pusaka yang dipergunakannya untuk melukai lambung Arya Penangsang
itu, ternyata terasa tangannya bergetar.
“Setan manakah
yang telah manjing pada diri anak muda ini sehingga ia memiliki kekuatan yang
begitu besar?” bertanya Daksina di dalam hatinya.
Meskipun
demikian, ketika pertempuran itu sudah berjalan beberapa lamanya, ternyata
bahwa kemampuan Raden Sutawijaya yang sudah meningkat dengan cepatnya itu,
masih belum dapat mengimbangi kemampuan Daksina, seorang Senapati Pajang yang
berpengalaman, meskipun belum sedahsyat Ki Gede Pemanahan.
“Raden,”
berkata Daksina setelah mereka berkelahi beberapa lamanya,
“apakah Raden
tidak mempertimbangkan, bahwa sebaiknya Raden menyerah saja?”
“Paman adalah
seorang prajurit,” jawab Sutawijaya,
“Paman tentu
tahu pendirian seorang prajurit di peperangan.”
Daksina
mengerutkan keningnya. Ternyata jawaban Raden Sutawijaya itu adalah benar-benar
jawaban seorang keturunan prajurit dan dibesarkan di dalam lingkungan
keprajuritan.
Karena itu,
maka katanya,
“Baiklah,
Raden. Jika demikian, maka kitalah yang akan berusaha. Menangkapmu hidup atau
mati.”
“Kalian hanya
dapat menyentuhku, apabila nyawaku telah terpisah dari badanku.”
“Jawaban
jantan. Tetapi agaknya kami memerlukan kau hidup.”
“Dan kau akan
mempergunakan aku untuk memeras Ayahanda Pemanahan agar langsung memusuhi
Pajang. Dalam pertentangan antara Pajang dam Mataran itulah kalian akan mengail
keuntungannya.”
“Kau memang
cerdas,” desis Daksina yang tiba-tiba saja telah meneriakkan aba-aba,
“bunuh semua
anak buahnya dan tangkap Raden Sutawijaya hidup-hidup.”
Tetapi anak
buah Sutawijaya pun bukan sekedar anak-anak cengeng. Meskipun mereka menyangka,
bahwa jumlah mereka telah cukup banyak, dan ternyata perwira Pajang yang
durhaka itu memiliki anak buah yang lebih banyak, namum mereka sama sekali
tidak gentar. Mereka telah berjuang dengan sekuat tenaga untuk mempertahankan
dirinya. Apalagi mereka tidak dapat mengharap bantuan dari siapa pun. Bagi
mereka, anak-anak Menoreh dan Sangkal Putung yang belum begitu mereka kenal itu
tidak akan banyak memberikan bantuan. Meskipun demikian, seandainya mereka
berani hadir, tentu akan dapat setidak-tidaknya memecah perhatian anak buah
Daksina. Dalam pada itu, Raden Sutawijaya masih juga, mencoba bertahan dengan
kemampuan sendiri, meskipun semakin lama semakin disadarinya kenyataan, bahwa
ia dan anak buahnya telah terdesak ke dalam lingkaran yang lebih sempit. Sementara
itu, di pinggir tempat terbuka itu, Agung Sedayu dan kawan-kawannya menjadi
semakin tegang. Mereka melihat keadaan Raden Sutawijaya dan anak buahnya
menjadi semakin gawat. Namun demikian mereka tidak dapat mendahului isyarat yang
akan diberikan oleh Sutawijaya itu. Jika mereka memberanikan diri mendahului
isyarat itu, maka Sutawijaya yang berjiwa prajurit dan mempunyai harga diri
yang besar itu akan merasa tersinggung karenanya. Selagi dengan tegang mereka
menyaksikan pertempuran yang semakin menyempit itu. Swandaru sempat bertanya,
“He, kau tahu
gadis manakah yang telah disebut-sebut oleh orang yang bernama Daksina, yang
ternyata salah seorang perwira dari Pajang itu sendiri?”
“Aku tidak
tahu. Tetapi rasa-rasanya aku mendengar seseorang menyebut Kalinyamat.”
“Gadis itu
dari Kalinyamat?”
Agung Sedayu
mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menjawab,
“Aku tidak
tahu. Apakah ada hubungannya antara Kalinyamat dan gadis itu.”
“Aku juga
tidak begitu mendengarnya. Tetapi yang jelas, agaknya ada seorang gadis di
dalam istana.
Agung Sedayu
tidak menjawab lagi. Dipandanginya perkelahian itu dengan tegangnya, dan
Sutawijaya menjadi semakin terdesak karenanya.
Dalam
kesulitan itu, Sutawijaya tidak dapat berbuat lain. Seperti yang memang sudah
direncanakan, bahwa pasukan kecilnya telah dipecah dua untuk menjawab jebakan
yang mungkin dijumpai di perjalanannya. Dan kini ia benar-benar telah terjebak,
sehingga kelompok kecil yang ditinggalkan di pinggir tempat terbuka ini harus
diberi isyarat agar mereka segera dapat ikut terjun di dalam perkelahian ini. Dengan
sebuah suitan nyaring, Raden Sutawijaya berusaha memanggil kelompok kecil yang
menurut perhitungannya pasti sudah berada di sekitar tempat terbuka itu. Karena
itu, maka ia berharap bahwa Agung Sedayu atau salah seorang dari mereka akan
dapat mendengar isyaratnya itu, tanpa panah sendaren.
“Raden
Sutawijaya memanggil kita,” desis Prastawa.
“Ya. Aku sudah
mendengar isyaratnya,” sahut Swandaru.
“Aku menunggu
pemimpin kelompok,” berkata Agung Sedayu.
Pandan Wangi
memandang pertempuran itu sejenak. Agaknya isyarat Raden Sutawijaya telah
menumbuhkan pertanyaan pada setiap dada lawannya. Karena itu, mereka menjadi
berdebar-debar sejenak. Namun firasat mereka telah mengatakan, bahwa mereka
akan mendapatkan lawan-lawan yang baru.
Tetapi bagi
beberapa orang pengawal Raden Sutawijaya, isyarat itu tidak banyak menumbuhkan
harapan. Mereka tidak dapat mengharapkan banyak dari orang-orang Menoreh itu.
Namun biarlah mereka ikut menambah jumlah mereka di medan yang semakin sesak
itu.
Sejenak
kemudian maka terdengar Pandan Wangi berkata,
“Marilah.
Mereka sudah menunggu kita.”
“Aku ikut
bersamamu Pandan Wangi,” desis Rudita yang ketakutan.
“Bersembunyilah
di sini,” sahut Pandan Wangi.
“Aku ikut
bersamamu. Aku tidak berani kau tinggalkan sendiri di sini.”
“Jangan ganggu
aku. Kau dapat terbunuh di peperangan itu.”
“Jangan
tinggalkan aku.”
Pandan Wangi
menjadi jengkel. Tiba-tiba saja pedangnya telah teracu di dada Rudita.
Terdengar ia menggeram,
“Jika kau
ikuti aku selangkah saja, maka aku akan membunuhmu sendiri daripada kau dibunuh
oleh orang-orang yang menjebak Raden Sutawijaya itu.”
Wajah Rudita
yang pucat menjadi semakin pucat. Tubuhnya menjadi gemetar dan matanya yang
berkaca-kaca bagaikan bendungan yang mulai retak. Titik air mata mengalir dari
pelupuknya membasahi pipinya.
Sepercik
perasaan iba mencengkam hati Pandan Wangi. Tetapi menurut perhitungan gadis
itu, yang paling baik bagi Rudita di dalam saat yang gawat itu adalah
bersembunyi saja di dalam semak-semak. Karena itu betapa pun hatinya
bergejolak, namun ia masih tetap mengacukan pedang nya sambil berkata,
“Kau tetap di
sini, kau dengar?”
Rudita tidak
tidak dapat menjawab. Hanya kepalanya sajalah yang terangguk-angguk lemah.
Dalam pada
itu, Pandan Wangi pun kemudian berkata kepada kawan-kawannya,
“Marilah.
Pertempuran itu menjadi semakin gawat.”
Dan Swandaru
menyahut,
“Beberapa
orang telah terluka. Bahkan ada yang menjadi parah.”
“Bersiaplah.
Kita segera memasuki arena.”
Maka sejenak
kemudian Pandan Wangi telah meloncat keluar dari gerumbul-gerumbul perdu dengan
pedang di tangan, diikuti oleh Swandaru, Agung Sedayu, Prastawa, dan para
pengiring yang menyertainya.
Kehadiran
mereka telah mengejutkan Daksina dan kawannya. Sejenak mereka memandang
beberapa orang yang berlari-lari ke tengah-tengah tempat yang terbuka itu.
Namun sejenak kemudian Daksina pun tertawa,
“Ha, kau
ternyata cakap juga bersiasat. Kau tinggalkan beberapa orang kawan-kawanmu di
dalam gerumbul-gerumbul itu. Tetapi agaknya kau terlambat memberikan isyarat.
Beberapa pengawalmu telah terluka, dan baru sekarang mereka muncul.”
Sutawijaya
tidak menyahut. Tetapi ia berharap bahwa kehadiran kawan-kawannya itu akan
dapat menyelesaikan pertempuran itu.
“Marilah,”
berkata Daksina,
“kalian tidak
usah segan-segan lagi. Beberapa orang kawan-kawanmu telah menitikkan darah.”
Pandan Wangi
tidak menyia-nyiakan waktu. Ia pun segera terjun ke dalam arena perkelahian
yang bergeser karena hadirnya orang-orang baru.
“He,” berkata
Daksina kemudian, yang masih saja bertempur seorang melawan seorang dengan
Raden Sutawijaya,
“ternyata ada
seorang gadis yang luar biasa.” Daksina berhenti sejenak, lalu,
“tidak ada
duanya di daerah ini. Tentu kaulah yang disebut bernama Pandan Wangi, anak
satu-satunya dari Ki Gede Menoreh. Yang pada beberapa saat yang lampau telah
berhasil membunuh kakak kandungnya sendiri karena memberontak terhadap
ayahnya.”
Pandan Wangi
tidak menjawab. Tetapi ia segera melibatkan diri semakin sengit di dalam
perkelahian itu. Yang menjawab justru Prastawa yang sudah mulai bertempur pula,
“Ya. Ia adalah
Pandan Wangi. Atas nama Kepala Tanah Perdikan Menoreh, seharusnya kalian
menyerah kepada kami.”
Daksina
memandang Prastawa sejenak. Kemudian ia justru tertawa,
“Kau
menyenangkan sekali anak muda. Siapakah kau?”
“Tidak ada
artinya bagimu.”
Daksina
mengerutkan keningnya. Bahkan kemudian ia meloncat surut karena serangan Raden
Sutawijaya tiba-tiba saja menjadi semakin dahsyat.
Karena itu,
untuk beberapa saat kemudian, Daksina tidak sempat memperhatikan lawan-lawannya
yang baru. Namun tiba-tiba saja ia telah dikejutkan oleh sebuah ledakan di
dalam arena itu. Dan ketika ia menghindari lawannya sejenak dan mencoba melihat
salah seorang lawan yang baru saja memasuki arena, ia terkejut karenanya.
Ternyata di antara mereka terdapat dua orang yang bersenjata cambuk.
“Orang-orang
bercambuk itu,” desisnya.
Dalam pada itu
Agung Sedayu dan Swandaru telah terlibat di dalam perkelahian pula. Dengan
cambuknya mereka mempertahankan diri dari serangan para pengikut Daksina.
Sejenak
Daksina sempat merenungi cambuk yang meledak-ledak itu. Bahkan kemudian
terbersit kata-katanya,
“Jadi kalian
ada di Menoreh?”
“Siapa?”
bertanya Sutawijaya.
“Orang-orang
bercambuk itu.”
“Apa salahnya.
Apakah kau sudah mengenal mereka?”
Daksina tidak menjawab.
Tetapi ia mendengar, bahwa orang-orang bercambuk itu memang sedang menuju ke
Menoreh beberapa hari yang lampau, ketika orang-orang yang berada di bagian
Timur dari Tanah Mataram itu menjumpainya. Bahkan orang yang paling dipercaya
di dalam lingkungannya tidak berhasil mengalahkan orang-orang bercambuk itu.
“Tetapi tentu
bukan anak-anak muda ini,” berkata Daksina di dalam hatinya.
“Menurut
pendengaranku, di antara mereka ada seorang yang sudah tua. Agaknya anak-anak
muda ini adalah muridnya.” Namun kemudian tumbuh pertanyaan,
“Tetapi kenapa
mereka dapat bertemu dengan Sutawijaya yang sedang mengikuti jejak kami?”
Dalam
kebimbangan itu, Daksina mulai melihat perubahan yang terjadi di dalam
pertempuran itu. Orang-orangnya mulai mengerahkan segenap kemampuannya. Pedang
Pandan Wangi, Prastawa, dan para pengiringnya ternyata merupakan tekanan yang
berat bagi mereka. Apalagi di sela-sela dentang senjata itu, masih juga
terdengar cambuk meledak-ledak.
“Gila,”
berkata Daksina di dalam hatinya. Ia kini menyadari bahwa perhitungannya
ternyata keliru. Selama ini dengan tekun orang-orangnya selalu mengamat-amati
Sutawijaya di dalam tugasnya. Orang-orangnya sempat menghitung berapa orang
pengawal Sutawijaya yang selalu dibawanya di dalam tugas-tugas pencahariannya
terhadap orang-orang bersenjata yang telah mengganggu Tanah Mataram yang sedang
tumbuh itu. Menurut perhitungannya, orang-orangnya kali ini sudah lebih dari
cukup untuk menjebak Sutawijaya. Tetapi ternyata ada sesuatu di luar
perhitungannya itu. Sebuah penyesalan telah membersit di hati Daksina. Ia telah
sedemikian yakinnya, bahwa ia akan dapat membinasakan Sutawijaya, sehingga ia
sudah menyebut beberapa buah rencana yang sedang dipersiapkannya.
Namun Daksina
itu mencoba untuk menenteramkan hatinya sendiri.
“Keterangan-keterangan
itu hanyalah sekedar keterangan-keterangan yang tidak penting. Tentu Sutawijaya
sudah menduganya. Dan aku tidak menyebut nama-nama lain yang terlibat selain
Panembahan Agung itu. Sedangkan Sutawijaya tentu tidak mengetahui siapakah
sebenarnya orang yang menyebut dirinya Panembahan Agung itu.”
Dalam pada
itu, perkelahian itu pun menjadi semakin seru. Para pengawal Raden Sutawijaya
ternyata menjadi heran melihat orang-orang Menoreh itu berkelahi. Ternyata
gadis puteri Ki Ageng Menoreh itu pun memiliki kemampuan yang luar biasa.
Bahkan melampaui kemampuan para pengawal itu sendiri.
Semakin lama,
maka semakin jelas bagi Daksina, bahwa ia telah gagal menjebak Raden
Sutawijaya. Bahkan ialah yang agaknya telah terjebak. Dengan meninggalkan bekas
jejak dari tempat penyeberangan terus sampai ke tempat ini, ia berharap dapat
menangkap anak muda yang berani itu dan mempergunakannya untuk memeras Ki Gede
Pemanahan. Tetapi ternyata, bahwa usahanya itu tidak akan dapat berhasil di
dalam keadaan yang demikian. Daksina tidak dapat ingkar, bahwa orang-orang
bercambuk itu memang memiliki banyak kelebihan.
“Apalagi
gurunya,” berkata Daksina di dalam hatinya.
Dan memang
ternyata kemudian, bahwa anak buah Daksina tidak lagi mampu untuk bertahan
lebih lama lagi. Setiap kali terdengar keluhan tertahan jika ujung cambuk Agung
Sedayu dan Swandaru mengenai lawannya. Apalagi apabila ujung-ujung pedanglah
yang menusuk ke dalam tubuh seseorang. Prastawa, anak yang masih terlalu muda
itu bertempur dengan garangnya. Sebagai seorang kemanakan Ki Argapati, maka
Prastawa berhasil menunjukkan kemampuannya. Meskipun belum terlampau tinggi,
tetapi ia memiliki bekal yang cukup di dalam pertempuran itu.
Kedatangan
Pandan Wangi beserta kelompoknya, ternyata telah berhasil menentukan akhir dari
pertempuran itu. Meskipun jumlah anak buah Daksina masih lebih banyak, namun
mereka tidak berdaya menghadapi senjata anak-anak Menoreh dan ujung cambuk
Agung Sedayu dan Swandaru. Maka Daksina pun harus mengambil keputusan. Ia tidak
akan dapat menyelesaikan rencananya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar