Jilid 072 Halaman 2


“Bagaimana mungkin, jejak itu dapat hilang di tengah-tengah tempat terbuka ini? Jika mereka menepi, maka tentu ada jejak yang bagaimanapun juga mereka usahakan untuk dihilangkan.”
“Tidak ada jejak ke jurusan lain. Benar-benar tidak ada. Penyamaran tidak akan dapat dilakukan demikian sempurnanya.”
“Jadi bagaimana mungkin. Apakah mereka dapat terbang atau melenting sampai ke tepi tempat terbuka ini?”
“Tentu tidak, Raden.”
“Jadi?”
“Jalan satu-satunya adalah melangkah mundur.”
Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Namun kemudian kepalanya itu pun terangguk-angguk. Bahkan sekilas senyum membayang di bibirnya. Katanya perlahan-lahan,
“Aku memang bodoh sekali. Aku harus lebih banyak memperhatikan jejak-jejak yang kadang-kadang tampaknya mengandung rahasia, tetapi sebenarnya persoalannya terlalu sederhana.”
Para pengiringnya pun ikut tersenyum pula, meskipun mereka tidak kehilangan kewaspadaan.
“Baiklah,” berkata Sutawijaya kemudian,
“kita harus menjadi bingung di sini beberapa lama. Sementara itu kita berharap agar orang-orang Menoreh yang dipimpin oleh Pandan Wangi itu telah berada di tempatnya dan dapat melihat kita di sini dari sela-sela dedaunan. Mudah-mudahan mereka mengerti, bahwa mereka harus berlindung dan tidak berdiri berderet-deret melihat kebingungan kita di pinggir tempat terbuka ini.”
“Mudah-mudahan mereka cukup cerdas,” berkata salah seorang pengiringnya,
“tetapi karena mereka adalah pemburu-pemburu yang biasa berburu binatang, mungkin mereka mempunyai sikap yang lain.”
Sutawijaya memandang pengiringnya sejenak. Tetapi pendapat itu adalah wajar, karena pengiringnya itu sama sekali belum mengenal siapakah Pandan Wangi. Namun demikian, ia berusaha untuk memberikan sedikit gambaran tentang orang-orang yang berada di dalam kelompok kedua itu. Katanya,
“Mereka memang pemburu-pemburu di hutan liar. Tetapi mereka pun pemburu-pemburu orang-orang bersenjata yang tidak kita kenal, karena sudah beberapa lama Menoreh mengadakan pengawasan di sepanjang Kali Praga.”
“Tetapi mereka belum pernah menghasilkan apa-apa. Mereka belum pernah berhasil menangkap seorang pun.”
“Orang-orang bersenjata itu selalu berhasil melarikan diri. Tetapi pernah juga terjadi dua orang yang berusaha melarikan diri dengan menyeberang kembali ke Timur berhasil mereka kenai dengan anak panah dan keduanya tidak pernah berhasil mencapai tepi Kali Praga. Mayat mereka hanyut dalam arus sungai yang kebetulan sedang deras waktu itu.”
“Darimana Raden tahu?”
“Seorang tukang perahu melihat peristiwa itu, dan kemudian menceriterakan kepada para peronda dari Mataram.”
Para pengiringnya, mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan demikian, maka mereka mendapat sedikit gambaran, bahwa orang-orang Menoreh pun jika keadaan memaksa, dapat juga bertempur dengan caranya.

Sejenak kemudian kelompok kecil itu masih melingkar-lingkar di tempat terbuka itu. Meskipun nampaknya mereka sedang kebingungan, namun sebenarnya mereka sedang menunggui serangan yang setiap saat dapat datang. Dalam pada itu, kelompok yang dipimpin oleh Pandan Wangi pun menjadi semakin dekat pula dengan tempat yang terbuka itu. Namun sebelum mereka mencapai tepi dari tempat yang terbuka, mereka menemukan suatu tanda, bahwa mereka harus berhenti.
“Sepotong ranting yang menyilang ini,” berkata Pandan Wangi,
“memaksa kita untuk bersiaga.”
“Kita harus berhenti di sini,” gumam Prastawa.
“Tentu ada sesuatu yang penting. Jika tidak, kita tidak usah berhenti di sini.”
Prastawa tidak menyahut. Yang kemudian berbicara adalah Swandaru,
“Di hadapan kita adalah suatu daerah yang terbuka.”
Agung Sedayu yang juga melihat tanda itu, merayap beberapa langkah maju. Namun tiba-tiba ia berdesis,
“Mereka berada di sana. Di tempat yang terbuka itu.”
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Namun ia pun menyusup beberapa langkah maju bersama beberapa orang yang lain. Dan mereka pun melihat, bahwa Raden Sutawijaya masih berada di tengah-tengah tempat terbuka itu.
“Mereka tampaknya sedang kebingungan mencari sesuatu,” berkata Prastawa.
“Ya,” sahut Agung Sedayu, “tampaknya mereka kehilangan jejak.”
“Mustahil,” sahut Swandaru,
“lihat, jejak itu jelas sekali. Kita dapat mengikutinya tanpa kesulitan apa pun di tempat terbuka itu. Batang ilalang yang patah-patah dan bekas-bekas kaki yang jelas.”
“Tetapi jejak itu agaknya hilang di tengah-tengah.”
Swandaru mengerutkan keningnya. Tetapi menilik sikap beberapa orang pengiring Sutawijaya dan Sutawijaya sendiri, mereka memang sedang mencari sesuatu. Dan agaknya mereka memang telah kehilangan jejak itu. Ternyata bahwa anak-anak muda yang berada di dalam kelompok kedua itu cukup cerdas. Hampir berbareng Agung Sedayu dan Swandaru berkata,
“Ternyata kita benar-benar berada di dalam jebakan.”
Dan Swandaru meneruskan,
“Apa pun yang terjadi dengan jejak itu, kita benar-benar harus berhati-hati.”
“Ya,” sahut Pandan Wangi,
“jejak itu dengan sengaja memancing Raden Sutawijaya ke tempat terbuka itu. Dengan demikian, maka jika benar tempat itu merupakan jebakan, akan datang serangan dari sekeliling tempat terbuka itu, termasuk dari tempat ini.”
“Kau benar,” berkata Agung Sedayu,
“setidak-tidaknya dari beberapa arah. Dan kita harus berhati-hati menghadapi mereka. Bahkan mungkin kita akan bertempur lebih dahulu dari kelompok yang terjebak di tengah-tengah tempat terbuka itu.”
“Jika mereka mengambil arah ini, agaknya memang demikian. Tetapi mungkin mereka mengambil arah yang lain.”
Agung Sedayu tidak menyahut. Tetapi dari sela-sela dedaunan, ia memperhatikan apa yang dilakukan oleh Sutawijaya dan para pengiringnya.

Namun bagi Agung Sedayu dan kawan-kawannya, sikap Sutawijaya cukup mengherankan. Seharusnya mereka tidak menjadi kebingungan, karena sejak semula mereka menyadari, bahwa mereka sedang menelusuri jejak yang mereka duga sebagai suatu jehakan. Seharusnya mereka bersiaga menghadapi setiap kemungkinan yang bakal datang dari segala arah. Bahkan mereka sempat memberikan tanda kepada kelompok kedua ini, agar mereka berhenti sebelum sampai ke tempat terbuka itu.
Namun Agung Sedayu pun kemudian berkata,
“Tentu mereka pun sedang berusaha memancing lawannya dengan sikap yang pura-pura itu. Meskipun mungkin mereka benar-benar menjadi bingung karena kehilangan jejak, tetapi mereka tentu tidak akan bingung menghadapi jebakan itu.”
Swandaru, Pandan Wangi, dan Prastawa pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka sadar, bahwa jika benar Raden Sutawijaya sudah terada di tengah-tengah jebakan, sebentar lagi tentu akan terjadi perkelahian. Di luar sadarnya, Agung Sedayu pun berpaling ke arah Rudita yang menjadi semakin pucat seperti kapas. Sebenarnyalah, bahwa Radita telah benar-benar menjadi ketakutan. Ia pun menyadari, bahwa pembicaraan Agung Sedayu dengan kawan-kawannya itu membayangkan bahaya yang dapat menerkam mereka. Jika jebakan itu benar-benar telah di persiapkan, maka apakah mereka dapat keluar dari jebakan itu?
Karena itu, sejenak kemudian dengan lutut gemetar ia mendekati Pandan Wangi sambil berkata,
“Pandan Wangi. Bukankah kau yang akan memimpin kelompok ini? Sebaiknya kau mengambil keputusan untuk kembali saja.”
Pandan Wangi memandang Rudita sesaat. Ia memang merasa terganggu dengan kehadiran anak muda itu, karena Rudita itu adalah tamunya. Jika terjadi sesuatu, maka ialah yang pertama-tama akan dibebani dengan tanggung jawab. Tetapi di dalam keadaan serupa itu, sudah barang tentu bahwa mereka tidak akan dapat kembali, selagi kelompok yang dipimpin oleh Sutawijaya itu berada di dalam kesulitan.
“Pikirkan baik-baik, Pandan Wangi,” desak Rudita,
“apakah gunanya kita ikut bersusah payah memburu orang yang tidak kita kenal itu?”
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
“Rudita. Sudah tentu kita pun berkepentingan. Daerah ini adalah daerah Tanah Perdikan Menoreh. Kita pun wajib membersihkan daerah ini dari orang-orang yang tidak kita kehendaki.”
“Tetapi sasaran mereka adalah Mataram. Sama sekali bukan Menoreh.”
“Dan Menoreh dijadikannya landasan mereka untuk mengganggu Mataram. Bukankah dengan demikian akan dapat timbul salah paham antara Menoreh dan Mataram. Apalagi jika saat ini kita lepaskan Raden Sutawijaya itu terjebak.”
“Tetapi kenapa kita harus mengorbankan diri sendiri?”
“Siapa yang mengorbankan diri sendiri?”
“Kita. Jika kita mati, tumpas, maka semua akan menyesal. Kau adalah anak satu-satunya. Jika kau mati, tidak ada lagi garis keturunan paman Argapati. Dan jika aku mati, maka ayah bundaku akan meratap sepanjang sisa umurnya.”
Tetapi Pandan Wangi menyahut,
“Marilah kita tidak menyerah untuk mati. Meskipun hidup dan mati seseorang tidak tergantung pada diri kita masing-masing, tetapi kita wajib berusaha. Dan jika kita berusaha dengan bersungguh-sungguh, maka Yang Menciptakan kita pun akan menolong kita, selama kita berbuat dengan niat yang baik.”
“Apakah kau dapat mengatakan, yang baik bagimu apakah tentu baik bagi orang lain?”
“Ah,” jawab Pandan Wangi,
“dalam keadaan ini, kita jangan berbantah tentang sikap dan pandangan hidup. Aku tahu, bahwa yang baik itu mempunyai artinya masing-masing.”
“Dan kau akan mencoba memilih sekedar baik bagimu.”
“Rudita,” Pandan Wangi menjadi jengkel,
“sudahlah. Besok kita mempersoalkan batasan antara yang baik dan yang buruk. Kita sekarang menghadapi kenyataan ini. Jika kau takut, baiklah kau tetap bersembunyi di sini. Kita harus berbuat sesuatu. Kita semuanya sekarang harus bersembunyi di sini. Jika orang-orang yang menjebak itu datang menyerang, kita akan tetap menunggu. Sampai saatnya mereka memerlukan bantuan kita, kita akan meloncat ke luar dari tempat ini dan melibatkan diri di dalam pertempuran itu.”

Rudita mengerutkan keningnya. Namun kemudian matanya menjadi berkaca-kaca.
“Kenapa kita bersembunyi?” tiba-tiba ia bertanya.
Pandan Wangi tidak mengerti maksud pertanyaan itu. Sejenak ia memandang Rudita yang pucat. Kemudian jawabnya,
“Kita merupakan tenaga cadangan. Setiap saat kita akan menyerang mereka tanpa diduga-duga.”
“Bagaimana jika orang-orang yang kita sangka menjebak Raden Sutawijaya itu mengetahui kehadiran kita di sini?”
“Usaha kita akan gagal. Mereka akan bersiap menghadapi kita juga. Mereka tidak akan dapat kita sergap.”
“Jika kita menyatakan kepada mereka, bahwa kita tidak ikut campur?”
“Ah, tentu tidak mungkin. Kita sudah melibatkan diri.”
Rudita merenung sejenak. Dan tiba-tiba saja ia berkata,
“Aku sudah mengambil keputusan. Kita tidak usah turut campur. Akulah yang akan meneriakkan kepada orang-orang yang barangkali masih bersembunyi, bahwa kita tidak ikut campur. Karena itu, mereka jangan memusuhi kita.”
“Rudita,” kening Pandan Wangi Jadi berkerut-merut.
“Itu keputusanku.”
“Jangan berbuat bodoh sekali,” terdengar suara Agung Sedayu,
“jika kau berteriak, maka rencana Raden Sutawijaya akan kacau.”
“Aku tidak peduli.”
“Dan kita akan berganti lawan,” desis Swandaru,
“kita akan dianggap memusuhi Mataram, karena Raden Sutawijaya adalah pimpinan tertinggi Mataram.”
“Aku tidak peduli, tetapi aku tidak mau dibantai oleh orang yang tidak aku kenal di sini. Dan kalian sebaiknya mendengar keputusanku ini.”
“Gila,” Prastawa menggeram.
Namun di luar dugaan mereka, agaknya Rudita benar-benar ingin berteriak. Ia benar-benar tidak ingin terlibat di dalam perkelahian yang mungkin akan terjadi. Ia Ingin meneriakkan suatu pernyataan, bahwa ia tidak akan ikut campur di dalam persoalan antara Mataram dan orang-orang yang tidak di ketahui itu. Sambil melingkarkan kedua telapak tangannya di mulutnya, Rudita berdiri tegak sambil menengadahkan kepalanya.
“Rudita, jangan gila,” cegah Pandan Wangi yang berdiri di sampingnya.
Meskipun suara Pandan Wangi tidak begitu keras, namun Rudita berpaling juga sejenak. Tetapi tidak ada tanda-tanda, bahwa ia akan mengurungkan niatnya. Ternyata sekali lagi ia menengadahkan kepalanya dan siap untuk berteriak. Tetapi ketika suaranya hampir saja meloncat dari mulutnya, sekali lagi tertahan karena Pandan Wangi mengguncangnya sambil berdesis,
“Jangan kau lakukan.”
“Jangan mencegah semua yang sudah aku putuskan untuk aku lakukan. Seperti kau sama sekali tidak mendengarkan pendapatku, aku pun berhak berbuat serupa.”
“Ada perbedaannya. Aku tidak bergantung kepadamu. Tetapi kau bergantung kepadaku di dalam keadaan ini. Bukan maksudku menyombongkan diri. Tetapi aku ingin kau menyadari kedudukan kita masing-masing di saat ini. Akulah pimpinan kelompok ini.”
“Aku sedang berusaha untuk tidak bergantung lagi kepadamu. Tetapi jika suaraku didengar oleh mereka, dan kita tidak akan mendapat kesulitan apa-apa, maka kaulah yang bergantung kepadaku nanti.”
“Jangan kau lakukan. Aku tidak mengijinkan kau berbuat gila itu.”
Rudita memandang Pandan Wangi sejenak. Tetapi tiba-tiba saja sekali lagi ia melingkarkan kedua telapak tangannya sambil menengadahkan kepalanya.
Ketika sekali lagi Pandan Wangi menggamitnya, maka ia pun mengibaskan tangan Pandan Wangi.

Tetapi ketika suaranya hampir saja meloncat dari mulutnya, Rudita itu terkejut bukan kepalang. Bahkan kemudian ia terdorong surut sambil menyeringai kesakitan. Ternyata di dalam keadaan yang gawat itu, Pandan Wangi tidak dapat berbuat lain daripada memaksa Rudita untuk diam. Sebuah tamparan yang cukup keras telah terayun menyentuh pipi Rudita. Dengan wajah yang tegang, Rudita kemudian memandangi Pandan Wangi dengan sorot mata yang aneh. Dari sela-sela bibirnya terdengar ia berdesis,
“Kau memukul aku, Pandan Wangi.”
“Maaf, Rudita. Aku terpaksa melakukannya.”
Mata Rudita itu pun kemudian menjadi basah dan suaranya seakan-akan tersangkut di kerongkongan,
“Kenapa kau melakukannya, Pandan Wangi?”
“Aku tidak ingin kita bersama-sama binasa di sini. Aku tahu, bahwa hatimu bersih dan damai. Kau menganggap orang lain bersikap seperti kau. Jika seseorang tidak memusuhinya, maka tidak akan timbul permusuhan. Tetapi kita tidak dapat bersikap seperti itu terhadap orang-orang yang sedang kita cari sekarang ini. Apa pun yang akan kita lakukan, maka sikap mereka akan cukup tegas. Membinasakan kita yang terperosok ke dalam perangkapnya. Termasuk kita.”
Setitik air mengambang di pelupuk mata anak muda itu. Katanya di sela-sela sedu-sedannva yang tidak dapat ditahankannya,
“Ternyata hatimu tidak ada bedanya dengan orang-orang lain, Pandan Wangi. Berbeda dengan namamu, maka kau sama sekali bukan sehelai daun pandan yang wangi. Kau terlampau berprasangka dan bersikap bermusuhan, justru dengan orang-orang yang sama sekali tidak kau kenal. Kau sudah kehilangan kepercayaan kepada sesama, sehingga kau selalu menaruh curiga. Dengan demikian, maka hidupmu akan selalu dikotori dengan sikap bermusuhan dan tanpa kedamaian. Prasangka, curiga, dan kehilangan kepercayaan.”
Pandan Wangi memandang wajah Rudita yang merah. Air mata yang kemudian mengalir di pipinya. Dan wajah yang basah itu sama sekali tidak membayangkan wajah seorang laki-laki. Tetapi Pandan Wangi tidak menyahut lagi karena tiba-tiba saja Prastawa menggamitnya. Katanya,
“Pandan Wangi, lihat. Raden Sutawijaya sudah bersiaga sepenuhnya. Tentu ia sudah melihat sesuatu di sekitarnya.”
“Untunglah, bahwa orang-orang itu tidak menyerang dari jurusan ini. Jika demikian, maka kita akan berkelahi lebih dahulu daripada Raden Sutawijaya.” Pandan Wangi terdiam sejenak, lalu sambil berpaling kepada Rudita ia berkata,
“Rudita. Kau tetap bersembunvi di sini. Jika kau muncul juga di arena jika kita nanti terlibat di dalam perkelahian, maka kau akan mengalami kesulitan. Ingat, jika kau masih ingin tetap hidup, bersembunyilah dan diamlah. Jika kau ribut, maka kau akan mati. Sebuah pedang akan menembus dadamu, dan kau akan menggeliat tanpa dapat berbuat sesuatu. Mayatmu kemudian akan terkapar dengan ujung pedang masih tetap menembus sampai ke jantung. Kau mengerti?”
Mengerikan sekali. Air mata Rudita semakin deras mengalir. Tetapi ia mengangguk ketakutan yang sangat telah memaksanya untuk tidak membantah lagi. Ternyata seperti yang dikatakan oleh Prastawa, di tengah-tengah tempat yang terbuka itu. Raden Sutawijaya sudah menyiapkan diri. Tombak pendeknya sudah merunduk dan orang-orangnya sudah menghadap ke beberapa arah. Dengan demikian, maka kelompok Pandan Wangi pun segera mengetahui, dari arah manakah kira-kira lawan itu akan datang.

Sebenarnyalah Raden Sutawijaya telah melihat sesuatu yang bergerak-gerak di sekitar tempat yang terbuka itu. Penglihatannya yang tajam, dilengkapi dengan firasat yang menyentuh perasaannya, maka Raden Sutawijaya pun mengetahui dari arah manakah lawan-lawannya akan datang. Agung Sedayu dan Swandaru pun menjadi tegang pula karenanya. Di dalam hati mereka berharap, agar orang-orang yang berusaha menjebak kelompok-kelompok itu tidak mengetahui bahwa sekelompok kecil masih tersembunyi di balik rimbunnya dedaunan. Sejenak kemudian perhitungan Raden Sutawijaya itu pun ternyata benar. Beberapa orang bersenjata telah muncul dari balik gerumbul-gerumbul perdu yang rimbun. Dengan demikian, maka orang-orang yang berada di tengah-tengah tempat terbuka itu pun menempatkan diri mereka masing-masing untuk menyongsong orang-orang yang bermunculan dari balik dedaunan, semakin lama menjadi semakin banyak. Raden Sutawijaya menjadi berdebar-debar melihat kehadiran orang-orang itu. Karena itu, maka ia pun telah bersiaga sepenuhnya menghadapi setiap kemungkinan.
“Nah,” tiba-tiba salah seorang dari orang-orang yang mengepung para pengawal dari Mataram itu berkata,
“baru sekarang kita berhasil bertemu muka.”
Raden Sutawijaya mencari di antara orang-orang yang mengepungnya itu. Namun tiba-tiba dadanya berdesir, ketika ia melihat seseorang yang pernah dikenalnya. Sambil tertawa orang itu melangkah maju mendekatinya.
“Raden,” berkata orang itu,
“di tempat ini terpaksa aku menunjukkan diri.”
“Paman Daksina?”
“Ya, Raden. Tentu Raden tidak lupa kepadaku.”
“Apa artinya ini, Paman?”
“Apakah Raden heran melihat kehadiran kami di sini?”
“Aku tidak mengerti.”
Terdengar suara tertawa orang yang disebut Daksina itu. Katanya,
“Aku memang berada di antara orang-orang yang barangkali tidak kau senangi, Raden. Orang-orang yang kau anggap selama ini mengganggu Mataram.”
Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya.
“Barangkali Raden memang tidak menyangka, bahwa aku ada di antara mereka. Tetapi inilah kenyataan itu. Aku adalah salah seorang dari mereka yang tidak senang melihat Mataram berkembang. Aku akui, bahwa di antara kami masih terdapat kepentingan yang berbeda. Namun kami telah berusaha menemukan sikap dan menyesuaikan diri kami masing-masing menghadapi Mataram. Tetapi satu hal yang bersama-sama kami sepakati tanpa ragu-ragu, yaitu menangkap Raden Sutawijaya hidup atau mati.”
Raden Sutawijaya menggeram. Katanya,
“Pihak-pihak yang manakah yang kau sebut berbeda kepentingan di antara kalian?”
Orang itu mengerutkan keningnya. Kemudian katanya,
“Apakah ada gunanya kau mengerti?”
“Mungkin ada.”
“Menjelang kematianmu?”
“Jika benar demikian, maka setidak-tidaknya sebelumi aku mati, aku sudah mengerti persoalan yang sebenarnya aku hadapi. Dan jika ada satu dua orang anak buahku yang hidup dan berhasil keluar dari tempat ini, maka akan datang saatnya Ayahanda Pemanahan yang mendengar laporannya, akan bertindak tepat.”
Orang yang disebut bernama Daksina itu tertawa berkepanjangan. Katanya,
“Coba perhatikan di sekelilingmu, Raden. Aku mempunyai jumlah orang yang lebih banyak. Dan aku yakin, bahwa Raden tidak akan dapat menang melawan aku seorang lawan seorang meskipun aku belum sesakti ayahanda Raden, Ki Gede Pemanahan dan Ayahanda Sultan Pajang. Tetapi untuk kepentinganku kali ini mencukupilah kiranya.”
“Paman akan membunuh aku?”
“Jika mungkin, aku ingin menangkapmu hidup-hidup.”
“Buat apa sebenarnya Paman menangkap aku?”
“Pertanyaanmu aneh, Raden. Yang penting bukan untuk apa, tetapi yang penting bagi kami adalah Mataram tidak boleh berdiri seperti bentuknya sekarang.”
“Siapakah sebenarnya yang berkeberatan? Paman belum menyebut pihak-pihak yang kau katakan.”
“Baiklah, Raden. Sebelum Raden terbunuh di tempat yang memang sudah kami pilih ini, biarlah aku menyebutnya. Yang pertama adalah pihakku dan beberapa orang perwira prajurit Pajang. Sultan Pajang terlampau berbaik hati menyerahkan Mataram kepada Ki Gede Pemanahan yang sebenarnya dapat disebut meninggalkan tugasnya tanpa ijin sultan sendiri.”
“Hanya itu?”
“Tidak. Tetapi masih ada kelanjutan dari cita-cita kami yang besar. Bukan sekedar persoalan Alas Mentaok.”
“Katakan jika kau memang ingin digantung oleh Ayahanda Sultan atau Ayahanda Pemanahan.”
”Jangan sombong. Tidak akan ada orangmu yang akan tetap hidup. Nah, dengarlah. Bagi kami, baik Mataram maupun Pajang, sekarang tidak ada gunanya lagi. Kami harus membentuk suatu pemerintahan baru yang lebih baik dari sekarang. Kami mencoba mengirimkan beberapa orang utusan kepada para adipati di pasisir Utara untuk mengetahui keinginan mereka yang sebenarnya.”
Raden Sutawijaya mengangguk-anggukan kepalanya. Katanya,
“Jadi inilah usaha kalian di Istana Pajang. Sebagian aku sependapat, bahwa Pajang harus dibersihkan. Dibersihkan dari orang-orang seperti Paman dan beberapa orang perwira yang Paman katakan, meskipun Paman belum menyebut namanya.”
“He?” Daksina mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian tertawa. Katanya,
“Kau akan kecewa. Untara yang ragu-ragu itu, justru ia memiliki kekuasaan tertinggi di daerah Selatan, sebentar lagi tidak akan menentang kehendak kami. Sampai saat ini ia masih tetap seorang prajurit. Prajurit yang bodoh, karena otaknya terpancang di ujung senjatanya. Tetapi sebentar lagi pasukannya akan menaikkan panji-panji, rontek, dan umbul-umbul di dalam gelar-gelar perang yang besar melanda Mataram yang sudah kehilangan Sutawijaya. Maka Mataram akan segera tenggelam dan hancur sama sekali sampai tumbuhnya Mataram yang lain dalam kesatuan negara baru yang lain. Karena itu, baik Pajang maupun Mataram tidak akan berarti apa-apa lagi bagi kami.”
“Begitu mudahnya?”

Daksina mengerutkan keningnya. Ternyata Sutawijaya masih tetap tenang meskipun ia sudah mengatakan beberapa persoalan tentang rencana dan angan-angannya. Sebenarnyalah, bahwa setelah terkejut sejenak, maka Sutawijaya berhasil menguasai perasaannya kembali. Ia memang tidak menyangka, bahwa di tempat yang sepi itu ia akan bertemu dengan Daksina, salah seorang senapati di Pajang. Seorang yang pernah ikut membina Pajang bersama Ki Gede Pemanahan, Ki Penjawi, dan beberapa orang lainnya. Ia adalah orang yang dekat dengan Ki Manca yang juga berkedudukan penting di Pajang. Namun nama Daksina tidak sebesar Ki Gede Pemanahan, Ki Penjawi, atau Ki Juru Martani. Meskipun demikian, kehadiran Daksina di tempat yang sepi itu benar-benar telah menggetarkan dada Sutawijaya. Namun dalam kesulitan itu ia berhasil menguasai dirinya, sehingga nampaknya ia masih saja tetap tenang. Tetapi Sutawijaya sadar, bahwa Daksina yakin akan dapat menjebak dan menangkapnya, hidup atau mati, sehingga ia tidak segan-segan menampilkan dirinya tanpa aling-aling. Dan apalagi dengan berterus terang mengatakan gambaran yang diinginkannya atas Pajang dan Mataram.
“Raden,” berkata Daksina kemudian,
“kau memang berjiwa besar dan tabah menghadapi kesulitan. Tetapi bagaimanapun juga, kebesaran jiwa dan ketabahan tidak akan dapat menolong kesulitan yang memang melampaui batas kemampuan seseorang. Yang dapat kau lakukan hanyalah sekedar memberikan kekaguman kepada kami, bahwa sampai saat matinya Sutawijaya tidak mengenal takut dan menyerah. Hanya itu. Tetapi kau tetap akan berada di dalam kekuasaan kami, hidup atau mati.”
“Begitulah. Aku memang berharap, seandainya aku mati, maka orang yang terakhir mengagumiku hendaknya adalah musuh-musuhku. Tetapi katakan sama sekali, siapakah golongan kedua yang menghendaki Pajang dan Mataram hancur bersama-sama.”
Ki Daksina memandang anak buahnya sejenak. Kemudian katanya,
“Aku kali ini yakin, bahwa kau tidak akan dapat lepas dari tangan kami. Sejauh-jauh dapat kau jangkau, tetapi ilmuku pasti masih berada di atas kemampuanmu membela diri, sedang anak buahku lebih banyak dari anak buahmu. Karena itu, baiklah, agar matimu agak lebih mudah karena tidak dibebani oleh teka-teki itu.” Daksina terhenti sejenak, lalu,
“Golongan yang satu lagi adalah sekelompok orang di bawah pimpinan panembahan yang menyebut dirinya Panembahan Agung Cahyakusuma. Ingat, namanya memang agak berlebih-lebihan. Panembahan yang Agung.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Kenapa kau tidak senang kepada nama itu?”
“Siapa yang mengatakan bahwa aku tidak senang pada nama itu? Nama itu bagus sekali. Dan Panembahan Agung itu adalah pasangan yang setia di dalam rencana ini. Kami bersama-sama ingin menghancurkan Mataram dan Pajang.”
Namun tiba-tiba saja Raden Sutawijaya tertawa. Katanya,
“Sekarang kau dapat berkata begitu. Tetapi tentu kalian kedua belah pihak sama-sama menyakini, bahwa apabila kalian telah berhasil, maka akan timbul pertengkaran baru di antara kalian. Baik kau, atau barangkali di belakangmu masih ada orang lain yang lebih tinggi kedudukannya, maupun Panembahan Agung itu, tentu ingin duduk di atas kedudukan yang paling tinggi. Kalian terpaksa saling bertempur dan saling membunuh.”
“Kau salah, Raden,” berkata Daksina,
“kita sudah saling bersetuju, bahwa kami akan mendapat kedudukan kami masing-masing. Di antara kami tentu tidak akan ada pertengkaran sama sekali.”
“Jangan membohongi diri sendiri,” jawab Sutawijaya, lalu,
“tetapi seandainya demikian, maka para adipati di pesisir tentu akan merupakan persoalan yang rumit bagi kalian. Siapakah yang sudi menyerahkan kepercayaan kepadamu atau kepada panembahan yang tidak dikenal itu? Padahal para adipati di pesisir memiliki kekuatan yang jauh melampaui pengaruh kalian. Kau sangka adipati-adipati itu sama sekali tidak mempunyai sikap terhadap pimpinan pemerintahan? Apakah kau sangka mereka akan menundukkan kepalanya dengan memejamkan matanya? Tentu tidak. Aku telah mengenal mereka seorang demi seorang. Dan mereka adalah prajurit-prajurit yang berpendirian.”

Daksina mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian katanya,
“Baiklah, itu akan kami pikirkan kemudian. Mungkin aku memang harus menyerahkan persoalannya kepada orang yang memiliki pengaruh lebih besar daripadaku. Mungkin memang orang-orang yang namanya dikenal seperti Ki Juru Martani. Tetapi yang penting bagiku sekarang adalah membunuhmu?”
“Apakah tidak ada lagi yang akan kau katakan tentang dirimu, atau tentang nama-nama lain yang ada sangkut pautnya?”
“Tidak perlu.” Daksina berhenti sejenak, lalu,
“Tetapi apakah kau ingin juga berpesan sesuatu kepada kami. Mungkin dapat kami sampaikan kepada keluargamu atau bahkan kepada ayahandamu, Sultan Pajang?”
“Tidak. Aku tidak ingin berpesan apa pun. Kecuali jika kau memang ingin digantung.”
Daksina tertawa. Lalu katanya,
“Apakah kau tidak memberikan pesan terakhir kepada gadis itu?”
Wajah Sutawijaya menjadi semburat merah.
“Jangan kau sangka, bahwa tidak ada orang yang mengerti, bahwa kau sudah berhubungan dengan gadis itu? Dan ini akan menjadi salah satu alasan, bahwa Sultan Pajang tidak akan mencarimu, apalagi menuntut kematianmu, jika kau hilang dari Mataram.”
“Jangan mengigau, Paman,” suara Sutawijaya menjadi berat.
“Ha,” desis Daksina,
“kau mulai menjadi pucat. Jangan menyesal.”
Terdengar Raden Sutawijaya menggeram. Lalu,
“Persetan dengan igauanmu itu. Aku tidak peduli.”
Tetapi Daksina tertawa. Bahkan untuk beberapa lamanya ia melepaskan suara tertawanya, sehingga berkumandang memenuhi seluruh tempat yang terbuka itu. Dalam pada itu, Agung Sedayu dan kawan-kawannya sampat mendengarkan pembicaraan yang tidak begitu jelas. Namun sepatah dua patah kata mereka dapat menangkap pembicaraan Sutawijaya dengan orang yang disebutnya Ki Daksina itu. Bahkan Agung Sedayu dan kawan-kawannya mendengar, bahwa Daksina telah menyebut tentang seorang gadis.
Sementara itu, di sela-sela suara tertawanya Daksina berkata,
“Raden Sutawijaya, memang seorang gadis tentu akan memilih Raden daripada Sultan Pajang yang sudah menjelang saat-saat senja hari itu. Tetapi pada suatu saat, persoalan itu akan sangat menguntungkan bagi kami. Seandainya Sultan masih ingin memaafkan Raden di dalam persoalan Mataram, namun persoalan gadis dari Kalinyamat itu tentu akan membuka persoalan baru yang menentukan, yang meskipun mula-mula tidak mempunyai hubungan sama sekali dengan usaha Ki Gede Pemanahan membuka Alas Mentaok, tetapi justru persoalan itulah yang akan menggagalkan semua impian bagi berdirinya suatu negeri yang di sebut Mataram.”
Wajah Raden Sutawijaya menjadi semakin tegang. Dan dengan suara yang bergetar oleh kemarahan yang menyesak di dadanya ia berkata,
“Jangan banyak berbicara. Jika kau akan menangkap Sutawijaya hidup atau mati, lakukanlah. Kau tidak usah menyinggung persoalan-persoalan yang kau sendiri tidak mengetahuinya.”
“Baiklah. Jika Raden memang tidak ingin berpesan apa pun terhadap gadis itu. Tetapi Raden harus menyadari, sepeninggal Raden, Mataram akan segera terhapus. Sebuah benturan bersenjata akan segera terjadi antara Mataram dan Pajang. Kami menyadari, bahwa Ki Gede Pemanahan adalah seorang prajurit. Sepeninggal Raden, Ki Gede Pemanahan tentu akan berbuat sesuatu. Kesaktiannya yang hampir sempurna seperti juga Sultan Pajang sendiri, akan membuat kedua kekuasaan itu hancur.”
“Cukup! Sekarang, marilah kita mulai. Jangan terburu-buru mimpi. Pada saatnya kau akan dicincang oleh para adipati dari daerah Pesisir dan Bang Wetan.”

Tetapi Daksina masih saja tertawa berkepanjangan. Namun suara tertawanya itu tiba-tiba terputus ketika ujung tombak Raden Sutawijaya hampir saja menyentuh mulutnya, sehingga Daksina itu terkejut. Ternyata ia telah lengah, sehingga hampir saja ujung tombak pendek anak muda itu tergores di wajahnya. Ternyata Sutawijaya tidak ingin menunda-nunda lagi. Ia pun segera memberikan perintah kepada orang-orangnya untuk segera menyerang. Sejenak kemudian, di tengah-tengah tempat yang terbuka itu, telah terjadi pertempuran yang seru. Untuk beberapa saat pertempuran itu masih belum mapan. Beberapa orang masih berusaha mencari lawan masing-masing. Namun dalam pada itu, ternyata bahwa anak buah Daksina memang lebih banyak dari anak buah Sutawijaya, sehingga dengan demikian, maka beberapa orang daripadanya harus melawan lebih dari seorang. Hal itu agaknya disadari sepenuhnya oleh para pengawal dari Mataram. Karena itu, pada loncatan yang pertama mereka telah berusaha dengan tiba-tiba saja untuk mengurangi jumlah lawannya. Begitu mereka mulai, mereka telah langsung menusukkan senjata mereka ke dada lawan. Satu dua orang dari mereka ternyata telah berhasil. Tetapi sebagian terbesar mengalami kegagalan, karena lawan-lawan mereka pun sudah bersiap pula menghadapi setiap kemungkinan. Sejenak kemudian, barulah pertempuran itu menjadi lebih mapan pada pihak masing-masing. Di antara mereka adalah Sutawijaya yang bertempur melawan Daksina.
Ternyata pada benturan yang pertama, Daksina telah dikejutkan oleh kemampuan Raden Sutawijaya yang tidak terduga-duga. Daksina tahu sepenuhnya, bahwa Raden Sutawijaya lah yang telah berhasil membunuh Arya Penangsang, Adipati Jipang. Sultan Pajang sendiri akan memerlukan waktu yang panjang untuk berperang tanding dan membinasakan Arya Penangsang. Kekalahan Arya Penangsang dari Sutawijaya juga disebabkan karena kudanya yang tiba-tiba saja menjadi binal dan tidak dapat dikuasainya, sehingga Sutawijaya mendapat kesempatan untuk menusukkan tombak pusaka Pajang ke lambung Arya Penangsang itu.
Tetapi menurut perhitungannya waktu itu, kemampuan Sutawijaya sendiri adalah jauh di bawah kesaktian Arya Penangsang yang memiliki keris pusaka yang dinamakannya Kiai Setan Kober. Kini, ketika senjatanya membentur tombak Radan Sutawijaya, bahkan bukan tombak pusaka yang dipergunakannya untuk melukai lambung Arya Penangsang itu, ternyata terasa tangannya bergetar.
“Setan manakah yang telah manjing pada diri anak muda ini sehingga ia memiliki kekuatan yang begitu besar?” bertanya Daksina di dalam hatinya.
Meskipun demikian, ketika pertempuran itu sudah berjalan beberapa lamanya, ternyata bahwa kemampuan Raden Sutawijaya yang sudah meningkat dengan cepatnya itu, masih belum dapat mengimbangi kemampuan Daksina, seorang Senapati Pajang yang berpengalaman, meskipun belum sedahsyat Ki Gede Pemanahan.
“Raden,” berkata Daksina setelah mereka berkelahi beberapa lamanya,
“apakah Raden tidak mempertimbangkan, bahwa sebaiknya Raden menyerah saja?”
“Paman adalah seorang prajurit,” jawab Sutawijaya,
“Paman tentu tahu pendirian seorang prajurit di peperangan.”
Daksina mengerutkan keningnya. Ternyata jawaban Raden Sutawijaya itu adalah benar-benar jawaban seorang keturunan prajurit dan dibesarkan di dalam lingkungan keprajuritan.
Karena itu, maka katanya,
“Baiklah, Raden. Jika demikian, maka kitalah yang akan berusaha. Menangkapmu hidup atau mati.”
“Kalian hanya dapat menyentuhku, apabila nyawaku telah terpisah dari badanku.”
“Jawaban jantan. Tetapi agaknya kami memerlukan kau hidup.”
“Dan kau akan mempergunakan aku untuk memeras Ayahanda Pemanahan agar langsung memusuhi Pajang. Dalam pertentangan antara Pajang dam Mataran itulah kalian akan mengail keuntungannya.”
“Kau memang cerdas,” desis Daksina yang tiba-tiba saja telah meneriakkan aba-aba,
“bunuh semua anak buahnya dan tangkap Raden Sutawijaya hidup-hidup.”

Tetapi anak buah Sutawijaya pun bukan sekedar anak-anak cengeng. Meskipun mereka menyangka, bahwa jumlah mereka telah cukup banyak, dan ternyata perwira Pajang yang durhaka itu memiliki anak buah yang lebih banyak, namum mereka sama sekali tidak gentar. Mereka telah berjuang dengan sekuat tenaga untuk mempertahankan dirinya. Apalagi mereka tidak dapat mengharap bantuan dari siapa pun. Bagi mereka, anak-anak Menoreh dan Sangkal Putung yang belum begitu mereka kenal itu tidak akan banyak memberikan bantuan. Meskipun demikian, seandainya mereka berani hadir, tentu akan dapat setidak-tidaknya memecah perhatian anak buah Daksina. Dalam pada itu, Raden Sutawijaya masih juga, mencoba bertahan dengan kemampuan sendiri, meskipun semakin lama semakin disadarinya kenyataan, bahwa ia dan anak buahnya telah terdesak ke dalam lingkaran yang lebih sempit. Sementara itu, di pinggir tempat terbuka itu, Agung Sedayu dan kawan-kawannya menjadi semakin tegang. Mereka melihat keadaan Raden Sutawijaya dan anak buahnya menjadi semakin gawat. Namun demikian mereka tidak dapat mendahului isyarat yang akan diberikan oleh Sutawijaya itu. Jika mereka memberanikan diri mendahului isyarat itu, maka Sutawijaya yang berjiwa prajurit dan mempunyai harga diri yang besar itu akan merasa tersinggung karenanya. Selagi dengan tegang mereka menyaksikan pertempuran yang semakin menyempit itu. Swandaru sempat bertanya,
“He, kau tahu gadis manakah yang telah disebut-sebut oleh orang yang bernama Daksina, yang ternyata salah seorang perwira dari Pajang itu sendiri?”
“Aku tidak tahu. Tetapi rasa-rasanya aku mendengar seseorang menyebut Kalinyamat.”
“Gadis itu dari Kalinyamat?”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menjawab,
“Aku tidak tahu. Apakah ada hubungannya antara Kalinyamat dan gadis itu.”
“Aku juga tidak begitu mendengarnya. Tetapi yang jelas, agaknya ada seorang gadis di dalam istana.
Agung Sedayu tidak menjawab lagi. Dipandanginya perkelahian itu dengan tegangnya, dan Sutawijaya menjadi semakin terdesak karenanya.

Dalam kesulitan itu, Sutawijaya tidak dapat berbuat lain. Seperti yang memang sudah direncanakan, bahwa pasukan kecilnya telah dipecah dua untuk menjawab jebakan yang mungkin dijumpai di perjalanannya. Dan kini ia benar-benar telah terjebak, sehingga kelompok kecil yang ditinggalkan di pinggir tempat terbuka ini harus diberi isyarat agar mereka segera dapat ikut terjun di dalam perkelahian ini. Dengan sebuah suitan nyaring, Raden Sutawijaya berusaha memanggil kelompok kecil yang menurut perhitungannya pasti sudah berada di sekitar tempat terbuka itu. Karena itu, maka ia berharap bahwa Agung Sedayu atau salah seorang dari mereka akan dapat mendengar isyaratnya itu, tanpa panah sendaren.
“Raden Sutawijaya memanggil kita,” desis Prastawa.
“Ya. Aku sudah mendengar isyaratnya,” sahut Swandaru.
“Aku menunggu pemimpin kelompok,” berkata Agung Sedayu.
Pandan Wangi memandang pertempuran itu sejenak. Agaknya isyarat Raden Sutawijaya telah menumbuhkan pertanyaan pada setiap dada lawannya. Karena itu, mereka menjadi berdebar-debar sejenak. Namun firasat mereka telah mengatakan, bahwa mereka akan mendapatkan lawan-lawan yang baru.
Tetapi bagi beberapa orang pengawal Raden Sutawijaya, isyarat itu tidak banyak menumbuhkan harapan. Mereka tidak dapat mengharapkan banyak dari orang-orang Menoreh itu. Namun biarlah mereka ikut menambah jumlah mereka di medan yang semakin sesak itu.
Sejenak kemudian maka terdengar Pandan Wangi berkata,
“Marilah. Mereka sudah menunggu kita.”
“Aku ikut bersamamu Pandan Wangi,” desis Rudita yang ketakutan.
“Bersembunyilah di sini,” sahut Pandan Wangi.
“Aku ikut bersamamu. Aku tidak berani kau tinggalkan sendiri di sini.”
“Jangan ganggu aku. Kau dapat terbunuh di peperangan itu.”
“Jangan tinggalkan aku.”
Pandan Wangi menjadi jengkel. Tiba-tiba saja pedangnya telah teracu di dada Rudita. Terdengar ia menggeram,
“Jika kau ikuti aku selangkah saja, maka aku akan membunuhmu sendiri daripada kau dibunuh oleh orang-orang yang menjebak Raden Sutawijaya itu.”
Wajah Rudita yang pucat menjadi semakin pucat. Tubuhnya menjadi gemetar dan matanya yang berkaca-kaca bagaikan bendungan yang mulai retak. Titik air mata mengalir dari pelupuknya membasahi pipinya.
Sepercik perasaan iba mencengkam hati Pandan Wangi. Tetapi menurut perhitungan gadis itu, yang paling baik bagi Rudita di dalam saat yang gawat itu adalah bersembunyi saja di dalam semak-semak. Karena itu betapa pun hatinya bergejolak, namun ia masih tetap mengacukan pedang nya sambil berkata,
“Kau tetap di sini, kau dengar?”
Rudita tidak tidak dapat menjawab. Hanya kepalanya sajalah yang terangguk-angguk lemah.
Dalam pada itu, Pandan Wangi pun kemudian berkata kepada kawan-kawannya,
“Marilah. Pertempuran itu menjadi semakin gawat.”
Dan Swandaru menyahut,
“Beberapa orang telah terluka. Bahkan ada yang menjadi parah.”
“Bersiaplah. Kita segera memasuki arena.”
Maka sejenak kemudian Pandan Wangi telah meloncat keluar dari gerumbul-gerumbul perdu dengan pedang di tangan, diikuti oleh Swandaru, Agung Sedayu, Prastawa, dan para pengiring yang menyertainya.

Kehadiran mereka telah mengejutkan Daksina dan kawannya. Sejenak mereka memandang beberapa orang yang berlari-lari ke tengah-tengah tempat yang terbuka itu. Namun sejenak kemudian Daksina pun tertawa,
“Ha, kau ternyata cakap juga bersiasat. Kau tinggalkan beberapa orang kawan-kawanmu di dalam gerumbul-gerumbul itu. Tetapi agaknya kau terlambat memberikan isyarat. Beberapa pengawalmu telah terluka, dan baru sekarang mereka muncul.”
Sutawijaya tidak menyahut. Tetapi ia berharap bahwa kehadiran kawan-kawannya itu akan dapat menyelesaikan pertempuran itu.
“Marilah,” berkata Daksina,
“kalian tidak usah segan-segan lagi. Beberapa orang kawan-kawanmu telah menitikkan darah.”
Pandan Wangi tidak menyia-nyiakan waktu. Ia pun segera terjun ke dalam arena perkelahian yang bergeser karena hadirnya orang-orang baru.
“He,” berkata Daksina kemudian, yang masih saja bertempur seorang melawan seorang dengan Raden Sutawijaya,
“ternyata ada seorang gadis yang luar biasa.” Daksina berhenti sejenak, lalu,
“tidak ada duanya di daerah ini. Tentu kaulah yang disebut bernama Pandan Wangi, anak satu-satunya dari Ki Gede Menoreh. Yang pada beberapa saat yang lampau telah berhasil membunuh kakak kandungnya sendiri karena memberontak terhadap ayahnya.”
Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi ia segera melibatkan diri semakin sengit di dalam perkelahian itu. Yang menjawab justru Prastawa yang sudah mulai bertempur pula,
“Ya. Ia adalah Pandan Wangi. Atas nama Kepala Tanah Perdikan Menoreh, seharusnya kalian menyerah kepada kami.”
Daksina memandang Prastawa sejenak. Kemudian ia justru tertawa,
“Kau menyenangkan sekali anak muda. Siapakah kau?”
“Tidak ada artinya bagimu.”
Daksina mengerutkan keningnya. Bahkan kemudian ia meloncat surut karena serangan Raden Sutawijaya tiba-tiba saja menjadi semakin dahsyat.
Karena itu, untuk beberapa saat kemudian, Daksina tidak sempat memperhatikan lawan-lawannya yang baru. Namun tiba-tiba saja ia telah dikejutkan oleh sebuah ledakan di dalam arena itu. Dan ketika ia menghindari lawannya sejenak dan mencoba melihat salah seorang lawan yang baru saja memasuki arena, ia terkejut karenanya. Ternyata di antara mereka terdapat dua orang yang bersenjata cambuk.
“Orang-orang bercambuk itu,” desisnya.
Dalam pada itu Agung Sedayu dan Swandaru telah terlibat di dalam perkelahian pula. Dengan cambuknya mereka mempertahankan diri dari serangan para pengikut Daksina.
Sejenak Daksina sempat merenungi cambuk yang meledak-ledak itu. Bahkan kemudian terbersit kata-katanya,
“Jadi kalian ada di Menoreh?”
“Siapa?” bertanya Sutawijaya.
“Orang-orang bercambuk itu.”
“Apa salahnya. Apakah kau sudah mengenal mereka?”

Daksina tidak menjawab. Tetapi ia mendengar, bahwa orang-orang bercambuk itu memang sedang menuju ke Menoreh beberapa hari yang lampau, ketika orang-orang yang berada di bagian Timur dari Tanah Mataram itu menjumpainya. Bahkan orang yang paling dipercaya di dalam lingkungannya tidak berhasil mengalahkan orang-orang bercambuk itu.
“Tetapi tentu bukan anak-anak muda ini,” berkata Daksina di dalam hatinya.
“Menurut pendengaranku, di antara mereka ada seorang yang sudah tua. Agaknya anak-anak muda ini adalah muridnya.” Namun kemudian tumbuh pertanyaan,
“Tetapi kenapa mereka dapat bertemu dengan Sutawijaya yang sedang mengikuti jejak kami?”
Dalam kebimbangan itu, Daksina mulai melihat perubahan yang terjadi di dalam pertempuran itu. Orang-orangnya mulai mengerahkan segenap kemampuannya. Pedang Pandan Wangi, Prastawa, dan para pengiringnya ternyata merupakan tekanan yang berat bagi mereka. Apalagi di sela-sela dentang senjata itu, masih juga terdengar cambuk meledak-ledak.
“Gila,” berkata Daksina di dalam hatinya. Ia kini menyadari bahwa perhitungannya ternyata keliru. Selama ini dengan tekun orang-orangnya selalu mengamat-amati Sutawijaya di dalam tugasnya. Orang-orangnya sempat menghitung berapa orang pengawal Sutawijaya yang selalu dibawanya di dalam tugas-tugas pencahariannya terhadap orang-orang bersenjata yang telah mengganggu Tanah Mataram yang sedang tumbuh itu. Menurut perhitungannya, orang-orangnya kali ini sudah lebih dari cukup untuk menjebak Sutawijaya. Tetapi ternyata ada sesuatu di luar perhitungannya itu. Sebuah penyesalan telah membersit di hati Daksina. Ia telah sedemikian yakinnya, bahwa ia akan dapat membinasakan Sutawijaya, sehingga ia sudah menyebut beberapa buah rencana yang sedang dipersiapkannya.
Namun Daksina itu mencoba untuk menenteramkan hatinya sendiri.
“Keterangan-keterangan itu hanyalah sekedar keterangan-keterangan yang tidak penting. Tentu Sutawijaya sudah menduganya. Dan aku tidak menyebut nama-nama lain yang terlibat selain Panembahan Agung itu. Sedangkan Sutawijaya tentu tidak mengetahui siapakah sebenarnya orang yang menyebut dirinya Panembahan Agung itu.”
Dalam pada itu, perkelahian itu pun menjadi semakin seru. Para pengawal Raden Sutawijaya ternyata menjadi heran melihat orang-orang Menoreh itu berkelahi. Ternyata gadis puteri Ki Ageng Menoreh itu pun memiliki kemampuan yang luar biasa. Bahkan melampaui kemampuan para pengawal itu sendiri.
Semakin lama, maka semakin jelas bagi Daksina, bahwa ia telah gagal menjebak Raden Sutawijaya. Bahkan ialah yang agaknya telah terjebak. Dengan meninggalkan bekas jejak dari tempat penyeberangan terus sampai ke tempat ini, ia berharap dapat menangkap anak muda yang berani itu dan mempergunakannya untuk memeras Ki Gede Pemanahan. Tetapi ternyata, bahwa usahanya itu tidak akan dapat berhasil di dalam keadaan yang demikian. Daksina tidak dapat ingkar, bahwa orang-orang bercambuk itu memang memiliki banyak kelebihan.
“Apalagi gurunya,” berkata Daksina di dalam hatinya.
Dan memang ternyata kemudian, bahwa anak buah Daksina tidak lagi mampu untuk bertahan lebih lama lagi. Setiap kali terdengar keluhan tertahan jika ujung cambuk Agung Sedayu dan Swandaru mengenai lawannya. Apalagi apabila ujung-ujung pedanglah yang menusuk ke dalam tubuh seseorang. Prastawa, anak yang masih terlalu muda itu bertempur dengan garangnya. Sebagai seorang kemanakan Ki Argapati, maka Prastawa berhasil menunjukkan kemampuannya. Meskipun belum terlampau tinggi, tetapi ia memiliki bekal yang cukup di dalam pertempuran itu.

Kedatangan Pandan Wangi beserta kelompoknya, ternyata telah berhasil menentukan akhir dari pertempuran itu. Meskipun jumlah anak buah Daksina masih lebih banyak, namun mereka tidak berdaya menghadapi senjata anak-anak Menoreh dan ujung cambuk Agung Sedayu dan Swandaru. Maka Daksina pun harus mengambil keputusan. Ia tidak akan dapat menyelesaikan rencananya.


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar