“Kalian membohongi aku. Kalian jangan berbicara tentang persoalan-persoalan yang aku tidak mengerti. Di dalam pembicaraan dengan banyak pihak, kalian harus mengambil persoalan yang tidak dapat menimbulkan salah paham.”
Prastawa menganggukkan
kepalanya. Katanya,
“Baiklah. Kita
akan berbicara saja tentang binatang buruan di hutan lebat itu. Jika kita
berburu ke hutan buruan di sebelah Kali Praga kita akan dapat menyusur ke Utara
dan kita akan sampai ke hutan yang masih liar. Tentu di daerah itu banyak
sekali binatang buruan. Apalagi tidak terlalu jauh dari aliran Kali Praga
sebagai tempat untuk mendapatkan air bagi binatang-binatang yang kehausan,
karena tebingnya yang landai.”
“Aku tidak
mau,” berkata Rudita,
“aku hanya
akan berburu di hutan buruan.”
Namun di luar
dugaannya, Pandan Wangi yang selama itu berdiam diri sambil menunduk, tiba-tiba
menyahut,
“Aku ingin
berburu di hutan itu. Jika kau tidak berani, kau dapat menunggu kami di luar
hutan.”
“Pandan
Wangi,” desis Rudita dengan sorot mata yang aneh. Apalagi saat itu Pandan Wangi
mengenakan pakaian seorang gadis yang hampir sempurna. Tidak pantaslah
nampaknya jika ia berbicara tentang perburuan.
Namun sebelum
ia melanjutkan, Pandan Wangi yang mengenakan kain panjang yang singset dan baju
yang rapat itu tersenyum kepadanya sambil berkata,
“Ya Rudita.
Kami akan berburu di hutan yang paling liar di Menoreh. Tentu menyenangkan
sekali. Tidak ada orang yang pernah melakukannya selain aku dan ayah. Sekarang
ayah sudah tidak pernah lagi melakukannya sejak kakinya tidak mau pulih seperti
sediakala. Dan kini aku mempunyai beberapa orang kawan untuk melakukannya.”
Prastawa
memandang Pandan Wangi dengan tegangnya. Dari sela-sela bibirnya terdengar
suaranya,
“Gila. Tentu
di hutan liar banyak binatang buas, ular-ular berbisa dan bahkan serangga yang
dapat menghentikan jalan darah.”
“Masih banyak
lagi. Kumbang biru, semut sabuk putih, kera yang buas berambut merah, harimau
dahan yang licik, anjing hutan.”
“Cukup,”
Rudita memotong. Wajahnya menjadi kemerah-merahan seperti wajah Pandan Wangi
ketika ia baru saja keluar dari pintu depan.
“Apakah kau
tidak ingin ikut?” bertanya Pandan Wangi.
Wajah Rudita
yang merah menjadi tegang. Namun katanya kemudian,
“Aku akan
ikut. Akulah yang ingin berburu.”
“Baiklah. Kita
akan berangkat besok pagi-pagi. Mungkin kita akan bermalam di hutan itu.”
“Bermalam?”
Rudita menjadi heran.
“Apakah Paman
Argapati mengijinkan kau bermalam? Bukankah kau seorang gadis? Dan apakah kau
sering melakukannya seperti yang dikatakan oleh Prastawa, bermalam di hutan dua
tiga malam bersama banyak pengiring laki-laki.”
“Kenapa?”
bertanya Pandan Wangi.
Rudita menarik
nafas dalam-dalam. Dipeganginya keningnya. Lalu katanya,
“Baik, baik.
Aku akan pergi berburu besok. Sekarang aku akan berkemas.”
Dengan
tergesa-gesa Rudita pun kemudian meninggalkan pendapa itu. Pandan Wangi dan
Prastawa memandanginya sambil tersenyum. Namun mereka tidak berkata apa pun
juga, sedang Swandaru dan Agung Sedayu pun segan juga bertanya tentang anak
muda itu, karena mereka mengetahuinya, bahwa Rudita adalah masih mempunyai
hubungan keluarga dengan Pandan Wangi lewat jalur ibunya. Sejenak kemudian,
ketika Rudita telah hilang di longkangan, maka Pandan Wangi pun berkata pula,
“Kita
benar-benar akan berburu besok. Tetapi yang kita hadapi dan yang mungkin kita
temui bukan sekedar binatang buas atau binatang-binatang berbisa. Tetapi
mungkin juga bahaya yang lain.”
“Apa yang kau
maksud?” bertanya Agung Sedayu.
“Kita harus
bersenjata selengkapnya, bukan sekedar senjata untuk berburu, karena di
sepanjang tepian Kali Praga kadang-kadang kita jumpai orang-orang yang tidak
kita kehendaki.”
Ternyata
kata-kata Pandan Wangi itu telah menarik perhatian Agung Sedayu dan Swandaru
sehingga tanpa mereka sadari, hampir bersamaan mereka bertanya,
“Siapakah
mereka itu?”
Pandan Wangi
sadar bahwa kata-katanya pasti akan menarik perhatian. Karena itu maka ia pun
segera menjawab,
“Kami di sini
tidak tahu dengan pasti. Tetapi mereka adalah orang-orang yang menyeberang dari
sebelah Kali Praga. Kami mengetahui bahwa telah terjadi pertentangan bersenjata
di seberang. Dan kami tidak ingin Menoreh menjadi tempat pelarian atau landasan
di dalam pertentangan bersenjata itu.”
Kedua
anak-anak muda dari Sangkal Putung itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ternyata
bahwa ceritera pemilik getek yang membawa mereka menyeberang itu pasti bukan
sekedar ceritera atau desas-desus. Namun dalam pada itu, ternyata Swandaru menjadi
sangat tertarik, sehingga katanya kemudian,
“Jika
demikian, besok kita benar-benar pergi ke Kali Praga, berburu atau tidak
berburu.”
“Ah, kau,”
desis Agung Sedayu,
“tujuan kita
adalah berburu. Jika kita menjumpai persoalan lain kecuali binatang buruan,
kita tidak dapat lari lagi dari padanya.”
Swandaru
tersenyum. Dipandanginya Agung Sedayu sejenak, lalu,
“Baiklah, jika
itu istilah yang paling baik dipergunakan.”
Prastawa pun
tersenyum pula, sedang Pandan Wangi menundukkan kepalanya. Mereka masih berbicara
beberapa lama tentang hutan liar di sebelah Kali Praga itu. Juga tentang
orang-orang bersenjata yang kadang-kadang menyeberang ke Barat setelah terjadi
benturan senjata di sebelah Timur Kali Praga.
“Ah,” berkata
Prastawa,
“kenapa kita
berbicara tentang hal-hal yang dapat menegangkan syaraf. Marilah kita berbicara
tentang diri kita.” Ia berhenti sejenak, lalu,
“Aku akan
pergi sebentar ke belakang. Aku ingin melihat, apakah kuda-kuda sudah
dibersihkan.”
Prastawa tidak
menunggu jawaban siapa pun. Ia pun segera bergeser. Namun sebelum ia pergi,
Agung Sedayu menyela,
“Apakah aku
dapat melihat bagian belakang dari halaman ini. Aku tidak tahu lagi, di manakah
letak pakiwan.”
“Baiklah, aku
akan menunjukkannya,” sahut Prastawa.
Tetapi tiba-tiba
Pandan Wangi berkata,
“Prastawa
tunggulah di sini. Biarlah aku yang menunjukkannya.”
“Ah.”
Pandan Wangi
pun kemudian berdiri. Ia tahu maksud kedua anak-anak muda ini. Namun
rasa-rasanya masih asing bagi Pandan Wangi untuk duduk berdua saja dengan
Swandaru di pendapa itu. Karena itu dengan tergesa-gesa ia melangkah sambil
berkata,
“Marilah,
Kakang Agung Sedayu.”
Tetapi Agung
Sedayu lah yang kemudian tersenyum sambil berkata,
“Ah, tentu
tidak pantas jika kau mengantarkan aku ke pakiwan.”
“Apa salahnya.
Aku pantas pergi berburu dan bermalam di hutan.”
Agung Sedayu
tertawa. Tetapi ia justru memperbaiki letak duduknya dan bergeser mendekati
Swandaru.
“Terserahlah,”
berkata Pandan Wangi,
“tetapi jika
perlu, biarlah Prastawa mengantarkanmu.”
Prastawa tidak
menyahut. Tetapi tatapan matanya sajalah yang membuat Pandan Wangi menjadi
tersipu-sipu. Ketiga anak-anak muda itu masih berbincang sejenak mengenai
orang-orang yang tidak dikehendaki di hutan di sepanjang Kali Praga. Kemudian
Agung Sedayu dan Swandaru pun segera kembali ke gandok.
Dalam pada itu
maka orang tua di kedua belah pihak, Swandaru dan Pandan Wangi, ternyata telah
mempersiapkan diri masing-masing untuk pada saatnya memasuki pembicaraan yang
resmi. Agar mereka tidak terlalu lama berada di Menoreh, maka Ki Demang Sangkal
Pulung telah sependapat dengan Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar bahwa pada malam
harinya mereka akan menyampaikan maksud kedatangan mereka di Tanah Perdikan
Menoreh. Karena itulah, maka ketika Tanah Perdikan Menoreh, dibayangi oleh
cahaya senja, Kiai Gringsing lah yang pertama-tama menemui Ki Gede Menoreh, dan
mengatakan bahwa malam nanti Ki Demang di Sangkal Putung, ingin menyampaikan
suatu kepentingan kepada Ki Argapati.
Ki Argapati
tersenyum. Katanya kepada Kiai Gringsing,
“Aku menjadi
berdebar-debar. Tetapi aku mendapat firasat bahwa kedatangan Kiai adalah
kelanjutan dari apa yang pernah Kiai katakan sebelumnya.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Demikianlah
adanya, Ki Gede. Sekarang Ki Demang sudah berada di Menoreh. Biarlah nanti
malam Ki Demang menyampaikannya sendiri.”
“Baiklah, Kiai
Gringsing. Aku akan menerimanya. Dan karena kebetulan di rumah ini ada juga
seorang tamu yang sudah agak lama tidak saling mengunjungi, maka kami akan
membawanya menerima Ki Demang, Kiai sendiri, dan Ki Sumangkar.”
“Terima kasih,
Ki Gede,” desis Kiai Gringsing,
“sebenarnya
persoalannya sudah jelas jika tidak ada persoalan lain yang selama ini telah
terjadi. Tetapi semuanya harus dilakukan sesuai dengan jalur jalan yang
sewajarnya.”
“Ya, ya Kiai.
Aku mengerti dan berterima kasih.”
Demikianlah,
maka segala sesuatunya pun telah dipersiapkan. Ki Gede Menoreh telah menemui
ayah Rudita. Dimintanya ayah Rudita untuk ikut menerima Ki Demang Sangkal
Putung yang akan membicarakan Pandan Wangi secara resmi.
“Ayah,” berkata
Rudita sepeninggal Ki Gede,
“apakah maksud
Ki Argapati sebenarnya.”
Ayahnya
memandang Rudita sejenak. Lalu sambil tertawa ia pun berkata,
“Rudita,
Pandan Wangi sudah cukup dewasa. Bahkan umurnya justru sudah agak lampau bagi
seorang gadis. Namun sebenarnyalah pembicaraan tentang hubungannya dengan anak
Sangkal Putung itu sudah agak lama. Tetapi berhubung dengan banyak persoalan,
baru sekarang mereka datang dengan resmi untuk membicarakannya.”
Rudita
memandang ayahnya dengan wajah yang tegang. Lalu tiba-tiba saja ia berkata,
“Jadi, maksud
Ayah, Pandan Wangi akan kawin?”
Ayahnya
menganggukkan kepalanya. Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak
mengerti, kenapa tiba-tiba saja ia menjadi kecewa mendengar kata-kata ayahnya
itu. Bahkan Ia pun kemudian berkata,
“Sayang
sekali.”
“Kenapa?”
bertanya ayahnya.
“Ia cantik
sekali.”
Ayahnya
tertawa. Katanya,
“Apakah
seseorang yang cantik sekali itu tidak seharusnya mengakhiri masa remajanya dan
kemudian kawin?”
Rudita
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kau pun
sebenarnya sudah dewasa Rudita. Dan sekarang ternyata kau sudah mengenal
kecantikan seorang gadis. Memang sudah waktunya bagimu untuk berbicara tentang
gadis.”
“Tetapi Pandan
Wangi sudah akan kawin.”
“Ya, tentu.
Dan kau pun pada saatnya akan kawin juga. Pada suatu kali kau tentu akan
menjumpai seorang gadis yang pantas untuk kau jadikan seorang isteri.”
Anak muda itu
tidak menjawab.
“Nah, kau
harus mengucapkan selamat kepada Pandan Wangi. Meskipun sudah tidak terlampau
dekat, kau adalah sanak kadangnya.”
Rudita tidak
menyahut. Tetapi kepalanya ditundukkannya. Tanpa disadarinya ia mulai memandang
dirinya sendiri. Bahkan kemudian ia mencoba memperbandingkan dirinya sendiri
dengan anak muda Sangkal Putung itu. Namun tiba-tiba ia bertanya,
“Ayah, yang
manakah yang kelak akan menjadi suami Pandan Wangi.”
Ayahnya
memandanginya sejenak, lalu,
“Yang gemuk
dan berwajah cerah seperti wajah kanak-anak yang tidak berlapis.”
“Yang tidak
berlapis?”
“Ya. Yang di
luar dan di dalamnya sama sekali tidak berbeda. Mudah-mudahan dugaanku benar,
karena aku hanya menangkap kulit luarnya saja. Memang mungkin sifat yang
terbaca pada bentuk dan cahaya matanya itu tidak tepat.”
Rudita
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Tetapi sayang,
bahwa betapa pun bersihnya hati seseorang, ada juga nodanya meskipun hanya
setitik. Anak yang gemuk itu agak terlampau bernafsu untuk memenuhi semua
keinginannya tanpa kendali. Mudah-mudahan aku salah.”
“Tidak, Ayah
tidak pernah salah.”
Ayahnya
tersenyum, katanya,
“Mana mungkin
seseorang tidak pernah salah.”
“Pada umumnya.
Jika seseorang bertanya kepada Ayah tentang sesuatu, biasanya Ayah benar.
Bukankah karena itu Ayah menjadi terkenal dan disegani. Juga bukankah karena
itu Ayah menjadi kaya?”
“Ah,” potong
ayahnya,
“tidak seorang
pun yang mengerti tepat seperti yang kemudian terjadi. Yang aku lihat adalah
semacam isyarat dari setiap peristiwa. Karena itu ada dua kemungkinan yang
dapat membuat aku keliru. Isyarat itu tidak tepat, atau uraianku tentang isyarat
itulah yang tidak tepat.”
Anaknya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Mungkin
demikian. Tetapi sampai sekarang, kesalahan semacam itu jarang sekali terjadi.
Dan Ayah semakin lama menjadi semakin dikenal orang.”
Ayahnya
tersenyum. Katanya,
“Berterima
kasihlah kepada Yang Maha Murah, bahwa aku mendapat anugerah ketajaman
pengamatan atas peristiwa yang bakal terjadi. Tetapi ingat, bahwa yang dapat
aku katakan, hanyalah yang aku lihat isyaratnya. Karena banyak sekali persoalan
yang tidak dapat aku jawab. Aku juga tidak tahu, apa yang akan terjadi dengan
diri kita, dengan Ki Gede Menoreh dan tentang banyak orang. Namun kadang-kadang
seseorang yang datang kepadaku membawa persoalan-persoalan yang sudah disertai
dengan isyarat itu sendiri.”
Rudita
mengangguk-anggukkan kepalanya. Selama ini ia tidak pernah tertarik dengan
ketajaman indera ayahnya. Yang ia tahu ayahnya adalah seorang yang kaya dan
disegani. Yang banyak dikunjungi orang dan setiap kali dapat meramalkan apa
yang akan terjadi atas suatu persoalan.
“Atas sesuatu
persoalan,” berkata Rudita di dalam hatinya,
“jadi tidak
pada setiap persoalan. Menurut Ayah, banyak sekali pertanyaan yang tidak dapat
dijawabnya.”
Dan tiba-tiba
saja Rudita bertanya,
“Ayah,
siapakah bakal suami Pandan Wangi.”
Ayahnya
menjadi heran. Jawabnya,
“Kau aneh.
Bukankah Ki Gede sedang menerima lamaran seseorang? Tentu anak muda Sangkal
Putung itulah bakal suaminya. Dalam hal ini, kita tentu tidak perlu menunggu
bentuk isyarat yang mana pun dan kemudian mengurainya.”
“Maksudku,
apakah benar-benar akan terjadi, bahwa Pandan Wangi akan kawin dengan anak muda
Sangkal Putung itu.”
Ayahnya
tersenyum. Katanya,
“Aku tidak
berusaha melihat isyarat lain. Kita menganggap bahwa perkawinan itu akan
terjadi.”
“Cobalah,
Ayah. Buatlah suatu isyarat bahwa perkawinan itu tidak akan berlangsung.”
Ayahnya
mengerutkan keningnya. Dipandanginya wajah anaknya sejenak tanpa mengucapkan
kata-kata.
“Ayah,” ulang
anaknya,
“buatkan suatu
isyarat. Agar kelak perkawinan itu gagal.”
Ayahnya menarik
nafas dalam-dalam. Katanya,
“Yang aku
lihat itu adalah suatu isyarat. Bukan syarat-syarat untuk melakukan sesuatu.”
“Apakah
bedanya?”
“Ah kau. Kelak
kau akan mengetahui dengan sendirinya. Tetapi dengan mudah dapat aku katakan
bahwa syarat-syarat diperlukan untuk melakukan sesuatu, atau untuk mengharap
sesuatu terjadi. Tetapi isyarat adalah sekedar petunjuk, tanda-tanda atau
semacam itu bahwa sesuatu akan terjadi. Jika aku melihat suatu isyarat bahwa
seseorang akan mengalami bencana, bukan akulah yang menyebabkan bencana itu
terjadi, atau bukan isyarat itulah yang menyebabkan sesuatu itu terjadi. Tetapi
yang akan terjadi itu tetap terjadi dengan atau tidak dengan isyarat.”
Rudita
mengerutkan keningnya. Ia selama ini hampir tidak pernah berbicara dengan
ayahnya tentang kerja ayahnya itu. Dan tiba-tiba saja ia menjadi tertarik
karenanya.
“Jika kau
masih juga tidak mengerti Rudita, cobalah perhatikan. Jika malam menjelang
fajar, maka kau akan mendengar ayam jantan berkokok. Nah, bagaimana seandainya
semua ayam di dunia ini dibungkam? Tentu matahari akan tetap terbit, karena
bukannya matahari itu terbit karena ayam berkokok, tetapi kokok ayam adalah
suatu isyarat akan datangnya fajar.”
Rudita
mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun ia tidak begitu mengerti, tetapi sudah
mulai terbayang maksud ayahnya.
Karena itu
maka katanya,
“Jika
demikian, apakah Ayah tidak dapat berbuat sesuatu agar yang akan terjadi itu
urung atau batal sama sekali.”
Ayahnya
menggelengkan kepalanya.
“Tidak Rudita.
Aku sebenarnya tidak dapat berbuat apa-apa. Untuk mengetahui isyarat itu pun
tidak setiap kali dapat aku lakukan. Kadang aku gagal dan sama sekali tidak
melihat apa-apa, tetapi kadang-kadang aku salah mengartikan isyarat itu dengan
bahasa sehari-hari.”
Rudita mengerutkan
keningnya. Lalu katanya,
“Baiklah,
Ayah.”
“Kenapa?”
bertanya ayahnya dengan curiga.
“Tidak
apa-apa. Bukankah Ayah mengatakan bahwa Ayah tidak dapat berbuat apa-apa.”
Ayahnya
menarik nafas dalam-dalam. Terasa sesuatu menyentuh hatinya. Sudah lama ia
mengharap anaknya itu menyebut sesuatu tentang perempuan, karena umurnya memang
sudah cukup dewasa meskipun sifatnya yang kadang masih kekanak-kanakan. Dan
yang membuatnya prihatin, ayah Rudita itu masih saja gagal melihat kemungkinan
yang bakal terjadi dengan anaknya, seperti yang kadang-kadang memang terjadi.
Tetapi bagi masa depan anaknya, bukan saja karena ia tidak berhasil tetapi
sebagian karena pemusatan pikirannya terganggu oleh perasaan takut dan cemas.
Ayah Rudita itu tidak berani melihat kenyataan tentang anaknya karena sikap dan
sifat anaknya itu sendiri. Jika ia melihat sesuatu yang gelap di masa depan
itu, tentu ia akan bersedih. Apalagi jika isterinya mengetahuinya pula. Karena
itulah kemudian ayah Rudita itu hanya pasrah saja kepada Yang Maha Kuasa. Apa
pun yang terjadi pasti akan terjadi. Diketahui atau tidak diketahui lebih
dahulu. Dan tentu demikian pula atas anaknya itu. Namun pertanyaan ayahnya
tentang kemungkinan yang akan terjadi atas Pandan Wangi itu telah membuatnya
berprihatin. Ia mengerti, bahwa anaknya yang jarang sekali bergaul dengan
perempuan itu telah tertarik oleh Pandan Wangi meskipun mungkin sekali umur
Pandan Wangi agak lebih tua daripadanya, dan keduanya masih mempunyai hubungan
darah. Ternyata bukan saja ayahnya. Ibunya yang sama sekali tidak mencampuri
pembicaraan itu pun menjadi berprihatin pula. Ketika anaknya kemudian pergi
dengan kepala tunduk, maka ibunya mendekati suaminya sambil berkata,
“Apakah yang
Kakang pikirkan tentang Rudita?”
“Aku justru
menjadi semakin prihatin, Nyai,” jawabnya.
“Agaknya ia
mulai tertarik kepada perempuan.”
“Ya. Tetapi
sayang sekali, bahwa perempuan itu adalah Pandan Wangi.”
“Ya sayang
sekali. Tetapi cobalah Kakang, apakah sama sekali tidak ada kemungkinan untuk
menuruti keinginan anak itu?”
“Ah, kau.
Bagaimana mungkin. Anak muda Sangkal Putung itu sudah datang untuk melamarnya.
Sebentar lagi mereka tentu akan kawin. Apa yang dapat aku lakukan?”
“Batalkan
perkawinan itu.”
“Ah,” suaminya
bergeser sejenak, lalu,
“mana mungkin,
Nyai. Mana mungkin seseorang dapat merubah keharusan yang bakal terjadi. Jika
hal itu akan terjadi, terjadilah. Tetapi jika batal, itu sama sekali bukan
karena seseorang.”
“Kakang,”
berkata isterinya,
“selama ini
kau sudah melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain. Selama
ini kau dapat melihat apa yang tidak dapat dilihat oleh orang lain. Jika
demikian, maka kau pun tentu dapat berbuat sesuatu yang tidak dapat diperbuat
oleh orang lain pula. Selama ini kau hanya berusaha melihat apa yang bakal
terjadi. Tetapi kekuatan batiniah yang sudah ada itu, tentu akan dapat kau
pergunakan untuk mem-pengaruhi sesuatu yang bakal terjadi itu, karena hubungan
sebab dan akibat. Jika yang bakal terjadi itu adalah satu saja rangkaian
peristiwa dari kejadian-kejadian, maka pengaruh kekuatan batinmu akan berlaku.”
Ayah Rudita
itu mengerutkan keningnya. Ia memang memiliki kelebihan dari orang-orang lain.
Ia dapat melihat isyarat yang ada pada seseorang, sehingga kadang-kadang ia
dapat mengatakan sesuatu yang akan terjadi pada seseorang, meskipun ia tidak
ingkar bahwa kadang-kadang ia keliru. Keliru melihat isyarat itu atau keliru
mengurai.
“Nyai,” berkata
ayah Rudita itu kemudian,
“aku pun
senang sekali jika aku dapat menuruti keinginan anak itu seperti yang selalu
kita lakukan sampai sekarang. Tetapi yang satu ini menyangkut beberapa macam
persoalan. Selain aku belum dengan sungguh-sungguh berusaha melihat isyarat apa
yang ada pada Pandan Wangi, pada anak muda Sangkal Putung itu dan pada diri
anak kita sendiri, sebenarnya aku pun mempunyai beberapa keberatan. Pandan
Wangi adalah sanak kita sendiri, sehingga pada kedua anak itu terdapat tetesan
darah yang sama. Selain daripada itu, agaknya Pandan Wangi lebih tua dari
Rudita.”
“Ah,
keberatanmu bukan persoalan yang pokok di dalam kehidupan rumah tangga. Banyak
sekali perkawinan antara sanak yang sudah jauh dan sangat berbahagia. Juga umur
dua orang suami isteri tidak menentukan.”
“Kau benar.
Memang kedua masalah itu tidak menentukan. Tetapi bagiku lebih baik jika Rudita
itu kita carikan jodoh yang lain. Bukan Pandan Wangi yang sudah mengikat
pembicaraan dengan Demang Sangkal Putung itu.”
“Ah, kau aneh,
Kakang. Yang diingini anak kita adalah Pandan Wangi. Ia adalah anak seorang
Kepala Tanah Perdikan. Meskipun umurnya lebih tua, tetapi di dalamnya banyak
mengandung kemungkinan yang baik bagi Rudita. Kelak Rudita tentu akan dapat
menggantikan kedudukan Ki Gede Menoreh. Dibekali dengan kekayaan kita, maka
kedudukan Rudita tentu akan menjadi sangat kuat di bagian Barat Kali Praga ini.
Apalagi menghadapi perkembangan daerah baru di seberang Timur Kali Praga yang
dipimpin oleh Ki Gede Pemanahan itu.”
Ayah Rudita
menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
“Itu adalah
pamrih yang berlebih-lebihan. Soalnya adalah Rudita dan Pandan Wangi itu lebih
dahulu. Jika Rudita karena kemanjaannya saja dengan tiba-tiba menganggapnya
Pandan Wangi seorang perempuan yang paling cantik, itu adalah sangat berbahaya.
Setiap saat anggapan itu dapat berubah. Jika demikian maka perkawinannya akan
goyah.”
“Kau dapat
melihatnya. Seandainya demikian, kau pun dapat mencoba memberikan pengaruh atas
rangkaian sebab dan akibat dari kehidupan keduanya sehingga kesulitan itu tidak
akan terjadi.”
“Itulah
kesalahan orang lain menilai diriku. Bahkan isteriku sendiri. Pengaruh batiniah
dari seseorang atas orang lain, hanya dapat terjadi sepanjang tidak menyilang
garis keharusannya yang sudah tersusun dalam rangkaian kehidupan seseorang. Dan
itu pun hanya dapat dilakukan oleh orang tertentu. Bukan aku yang mempunyai
kerunia penglihatan saja. Jika seseorang mencoba memaksakan pengaruhnya atas
orang lain dan bahkan kemudian dengan sifat kekerasan, maka ia sudah melawan
kehendak Maha Penciptanya. Dan itu berarti bahwa ia mencoba melawan Maha
Kekuatan di atas langit dan bumi. Mungkin di dalam bentuk lahiriahnya, orang itu
akan berhasil. Tetapi sudah tentu bahwa ia tidak akan berhasil berusaha
menyelamatkan dirinya sendiri dari tuntutan Yang Maha Adil.”
Isterinya
mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya,
“Jika Yang
Maha Adil itu tidak berkenan di hati, maka kenapa sesuatu itu dapat terjadi?
Bukankah kuasanya dapat mencegah peristiwa yang akan berlaku. Jika yang berlaku
itu sudah berlaku, itu tandanya bahwa tidak ada persoalan lagi di hadapan Yang
Maha Penciptanya.”
“Itulah justru
sifat Yang Maha Besar. Bahwa manusia mendapat kebebasan atas dirinya sendiri
untuk menentukan sikapnya. Di sinilah letak ujian bagi manusia itu sendiri. Di
dalam dirinya ia mendapatkan wewenang untuk memilih sikap dan perbuatan
jasmaniah dan rohaniah. Hasil pilihan itulah sebenarnya yang menentukan jalan
baginya untuk sampai kepada Yang Maha Pencipta. Itu pun bukan karena kemampuan
diri sendiri, tetapi dengan cahaya kasih Yang Maha Kasih itu juga adanya.”
“Di sini aku
melihat kecemasan seseorang yang menggenggam senjata atas senjatanya. Memang
tidak bijaksana untuk menusuk jantung sendiri. Tetapi jika hati berpandangan
terang, yakinilah bahwa senjata itu dapat dipergunakan bagi suatu perjuangan.
Kebebasan memilih adalah suatu kurnia pula sehingga tidak akan ada aibnya
mempergunakan kurnia atas kita. Kakang seharusnya tidak mengingkari kekuatan
alam yang ada di sekitar kita untuk dimanfaatkan seperlunya. Sedangkan aku
tahu, bahwa kekuatan Kakang jauh berada di atas kekuatan yang Kakang
perlihatkan kepadaku. Dan jika itu melanggar Kuasa-Nya karena Kuasa-Nya tidak
terbatas, maka senjata itu akan direnggutnya dari tanganmu.”
“Memang tidak
bijaksana menusuk jantung sendiri. Tetapi juga tidak bijaksana menusuk jantung
orang lain tanpa sentuhan sebab yang wajar. Dan bahwa Yang Kuasa tidak merampas
yang melanggar Kuasa-Nya, itulah sifatnya yang Maha Agung. Tetapi bahwa di
dalam alam ini ada kekuatan yang menentang Kuasa-Nya kita harus meyakini,
mereka yang sejak semula menyediakan diri dan kekuatannya untuk menentang Kasih
dari Yang Maha Kasih dengan pemanjaan nafsu lahiriah dan kekuasaan yang semu.
Disinilah manusia berdiri.” Ayah Rudita itu berhenti sejenak, lalu, “Berdoalah
Nyai. Barangkali doamu dapat mendekatkan kau kepada kemurnian kurnianya
kepadaku. Dan apakah aku dibenarkan untuk melakukan perbuatan seperti yang kau
kehendaki, karena pada dasarnya itu pun sekedar pemanjaan nafsu lahiriah.
Justru karena Pandan Wangi seorang gadis yang cantik menurut pengamatan
Rudita.”
Isterinya
tidak segera menjawab. Tetapi seperti biasanya apabila mereka berselisih
pendapat tentang Rudita, maka perempuan itu pun menundukkan kepalanya sambil
menitikkan air matanya.
“Hem,” ayah.
Rudita itu menarik nafas dalam-dalam. Sudah berpuluh kali ia mengalami
persoalan yang serupa. Isterinya menangis karena ia tidak dapat memenuhi
permintaan anak laki-laki satu-satunya yang menjadi sangat manja itu. Tetapi
tidak seperti biasanya, laki-laki itu berkata,
“Nyai.
Biasanya aku tidak dapat menolak jika kau sudah mulai menitikkan air mata.
Sebenarnya kali ini pun aku ingin memenuhinya. Tetapi apa boleh buat.
Persoalannya ada di luar kemampuanku. Aku tidak dapat merobah jalan hidup
seseorang jika itu memang harus berlaku.”
“Bukan tidak
dapat, tetapi kau tidak mau melakukannya,” jawab isterinya di sela-sela sedu
sedannya.
Sekali lagi
ayah Rudita menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
“Aku tidak
tahu, bagaimana aku harus mengatakan. Tetapi aku benar-benar tidak mempunyai
kemampuan untuk mempengaruhi jalan hidup seseorang dengan kekuatan batinku.”
Isterinya
tidak menyahut lagi. Tetapi kediamannya terasa bukan kediaman yang ikhlas.
Agaknya isterinya kali ini merasa bahwa suaminya tidak lagi mau menuruti
permintaannya dan permintaan anaknya. Meskipun perasaan itu direndamnya, namun
suaminya yang mempunyai pengamatan tajam sekali atas peristiwa manusiawi dan
alami di sekitarnya merasakan kekecewaan yang dalam itu. Namun demikian ia pun
tidak dapat berbuat apa-apa.
“Nyai,” berkata
ayah Rudita itu kemudian,
“aku tahu
bahwa kau kecewa, Nyai. Tetapi aku harap bahwa kau dapat mengerti keadaanku pula.”
Ia berhenti sejenak, lalu,
“Aku tidak
dapat menolak, bahwa malam nanti aku akan ikut membicarakan persoalan Pandan
Wangi itu secara resmi dengan Ki Demang di Sangkal Putung.”
Tetapi
isterinya sama sekali tidak menjawab. Bahkan titik air matanya sajalah yang
menjadi semakin deras. Sambil terisak ia berkata,
“Rudita adalah
satu-satunya anak kita. Alangkah malang nasibnya. Dan alangkah kecil arti
orang-orang tua yang tidak dapat memenuhi keinginan anaknya. Kelahiran yang
tanpa dimintanya itu adalah sepenuhnya tanggung jawab kita, sehingga kelanjutan
dari kelahirannya itu pun akan tetap menjadi tanggung jawab kita.”
Suaminya
menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab. Di dalam keadaan yang
demikian, isterinya terlampau sulit untuk dapat mengerti kata-katanya. Tetapi
kali ini ia sama sekali tidak akan berniat untuk mencoba memenuhi permintaan
isterinya itu. Selain ia merasa bahwa ia akan memaksakan dirinya menjelajahi
daerah kemampuan yang tersembunyi baginya, juga karena ia merasa terlampau
berat untuk mengiakannya. Dengan demikian maka untuk beberapa lamanya keduanya
berdiam diri. Masing-masing dihanyutkan oleh angan-angan yang berselisih jalan.
Dalam pada itu
Rudita sendiri sedang berjalan-jalan di kebun belakang. Ada sesuatu yang belum
pernah hinggap di perasaannya. Tiba-tiba saja ia merasa tertarik sekali kepada
Pandan Wangi. Gadis itu serasa gadis yang paling cantik yang pernah dilihatnya.
Selama ini ia tidak pernah menghiraukan gadis yang mana pun juga. Namun
tiba-tiba ia merasa tertarik kepada gadis yang masih mempunyai saluran darah
dari sumber yang sama. Langkahnya terhenti ketika kemudian ia melihat Prastawa
sedang sibuk di kandang kudanya. Sejenak ia memandang dari kejauhan. Tetapi ia
tidak mendekatinya. Sambil menundukkan kepalanya, ia melanjutkan langkahnya
menyelusuri pepohonan yang rimbun.
“Besok aku
akan berburu,” berkata Rudita di dalam hati,
“tetapi anak
yang gemuk itu tentu akan lebih menarik bagi Pandan Wangi. Apalagi apabila
pembicaraan tentang mereka sudah selesai.”
Rudita
mengerutkan keningnya. Lalu,
“Ayah kali ini
tidak mau membantuku.”
Kekecewaan
yang sangat telah mencengkam hati anak muda itu. Namun ia tidak mempunyai jalan
untuk memecahkannya. Ketika waktu yang dibicarakan tiba, secara resmi Ki Demang
Sangkal Putung, diiringi oleh Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar naik ke pendapa
diterima oleh Ki Gede Menoreh bersama ayah Rudita. Mula-mula mereka
memperkenalkan diri masing-masing sebelum mereka terlibat di dalam pembicaraan
pendahuluan yang riuh di seling dengan gelak tertawa.
“Namanya
Waskita,” berkata Ki Gede Menoreh. Lalu,
“Bukan saja
karena ia kemudian dapat melihat peristiwa yang bakal terjadi atas seseorang,
tetapi nama itu dimilikinya sejak kecil. Adalah kebetulan saja, maksudku adalah
terpenuhi keinginan orang tuanya dengan memberinya nama Waskita.”
“Tidak melihat
peristiwa yang bakal terjadi atas seseorang. Tetapi aku sekedar mencoba
menguraikan isyarat yang dapat aku lihat. Hanya yang dapat aku lihat. Dan yang
dapat aku lihat jumlahnya terlampau sedikit dibandingkan dengan kejadian alam
yang tidak terhitung jumlahnya.”
“Yang sedikit
itu pun sudah merupakan kelebihan, karena pada umumnya kami tidak dapat
melihatnya sama sekali.”
“Bukan tidak
melihat. Tetapi perhatian kalian tidak tertuju pada penggunaan mata hati untuk
melihat isyarat-isyarat yang ada. Kalian tertarik pada persoalan yang lain yang
aku tidak dapat melakukannya.”
“Tentu tidak.
Kau pun memiliki ilmu yang hampir sempurna di bidang kanuragan. Itulah
kelebihanmu.”
Orang yang
bernama Waskita itu tersenyum. Dipandanginya Ki Gede Menoreh sesaat, lalu
katanya,
“Jangan
menyebut ilmu di dalam olah kanuragan. Aku menjadi malu karenanya. Benar-benar
tidak berarti dibandingkan dengan Ki Gede. Apalagi sebelum Ki Gede kena
cidera.”
Ki Gede Menoreh
tersenyum. Katanya kemudian,
“Kau memang
seorang yang rendah hati.” Lalu katanya kepada Ki Demang di Sangkal Putung dan
kawan-kawannya,
“Inilah orang
yang sekarang ada di rumah ini. Sudah lama sekali ia tidak berkunjung kemari.
Tiba-tiba saja tanpa mimpi apa pun, aku mendapat kunjungannya.”
“Tentu Ki Gede
tidak mengetahuinya bahwa akan ada tamu berkunjung kemari,” bertanya Kiai
Gringsing.
“Tidak.”
“Dan kunjungan
kami?”
“Juga tidak.”
“Tetapi bagi
Ki Waskita, barangkali kunjungan kami tidak mengejutkannya.”
“Ah, tentu
mengejutkan. Aku sama sekali tidak mengetahuinya bahwa sesudah kami akan datang
tamu dari Sangkal Putung. Sudah aku katakan, hanya jika ada isyarat aku
mengetahuinya. Itu pun kadang-kadang harus dengan tekun dan sengaja mencari
pada seseorang atau keadaan.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebagai seorang yang mempunyai pengalaman yang
luas dan dalam, ia segera mengerti apa yang dimaksudkan oleh Waskita. Demikian
juga Ki Sumangkar dan Ki Demang di Sangkal Putung, seperti juga Ki Gede
Menoreh. Dalam pada itu, pembicaraan mereka pun segera berkembang dari satu
persoalan ke persoalan yang lain, sehingga akhirnya Ki Demang Sangkal Putung
sampai juga pada pokok persoalannya membicarakan hubungan yang sudah lama
terjalin antara Swandaru yang gemuk itu dengan Pandan Wangi. Tidak ada
kesulitan di dalam pembicaraan itu. Ki Gede Menoreh yang sebenarnya memang
sudah lama menunggu kedatangan mereka, dengan senang hati menerimanya, meskipun
sebagai kelaziman seorang ayah Ki Gede berkata,
“Baiklah Ki
Demang, lamaran Ki Demang bagi putera Ki Demang yang bernama Swandaru itu aku
terima. Meskipun demikian, karena bukan aku orangnya yang akan menjalaninya,
maka aku akan menanyakannya kepada anakku. Karena itu, kami persilahkan Ki
Demang tinggal dua tiga hari di sini. Pada saatnya kami akan memberikan jawaban
atas lamaran Ki Demang bagi putera Ki Demang itu.”
Ki Demang pun
mengetahui, bahwa akan demikian jawaban Ki Gede Menoreh. Itulah sebabnya ia
sudah bersedia jawaban pula.
“Baiklah, Ki
Gede. Kami akan menunggu sampai pintu yang kami ketuk itu terbuka.”
Pembicaraan
itu tidak mengalami persoalan apa pun. Semuanya berlangsung seperti yang
diharapkan. Meskipun kadang-kadang terasa perasaan Ki Waskita tersentuh. Setiap
kali ia teringat kepada anak laki-lakinya. Namun demikian sama sekali tidak
terlintas di dalam angan-angannya untuk berbuat sesuatu atas pembicaraan itu.
Ia tidak ingin mempergunakan sesuatu yang dimilikinya untuk mempengaruhinya.
“Jika terjadi
sesuatu, biarlah itu terjadi karena seharusnya terjadi. Bukan karena aku dan
apalagi karena usahaku untuk mempengaruhi peristiwa-peristiwa yang bakal
terjadi itu.”
Tetapi
kegelisahan di hati Ki Waskita seakan-akan selalu mengganggunya. Ketika ia
mendapat kesempatan, maka dicobanya untuk menilik di dalam dirinya, apakah ia
menemukan sesuatu yang kurang wajar di dalam persoalan yang sedang dihadapinya.
Tiba-tiba keringat dingin mengembun di keningnya. Ia melihat sesuatu yang
seakan-akan disaput oleh mendung yang kelabu.
“Tidak,
tidak,” desisnya di dalam hati.
Tetapi itu di
luar kuasanya. Ia hanya melihat. Ia tidak dapat berbuat apa pun atas
penglihatannya. Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak mengerti, di
manakah letak kesalahan dari persoalan yang dihadapinya karena ia tidak sempat
merenunginya ketika pembicaraan itu kemudian berlangsung dengan riuhnya,
diselingi oleh gelak tertawa. Ki Waskita mencoba juga untuk tertawa. Namun
setiap kali terbayang di rongga mata hatinya, bahwa perkawinan yang dibicarakan
ini bagai bayang-bayang di dalam gelapnya kabut yang buram.
“Kenapa?” timbul
pertanyaan yang membelit hatinya. Tetapi Ki Waskita tidak sempat mencari jawab.
Bahkan menurut tanggapannya di dalam kesempatan yang sempit itu, seakan-akan
perkawinan yang akan terjadi antara Swandaru dan Pandan Wangi, akan diliputi
oleh kegelapan hati, meskipun perkawinan itu sendiri akan berlangsung.
“Mudah-mudahan
aku salah,” ia berkata kepada diri sendiri di dalam hatinya,
“aku tidak
mendapat waktu yang luas untuk meyakini isyarat yang tidak aku kehendaki
terselip di dalam hati ini.”
Namun yang terjadi
kemudian adalah pembicaraan-pembicaraan yang berkepanjangan, yang kadang-kadang
sudah menyimpang dari persoalan yang sebenarnya. Sesaat kemudian maka Pandan
Wangi pun menghidangkan makanan dan minuman bagi mereka, bahkan makan malam
sama sekali.
“Biarlah
anak-anak muda makan kemudian,” berkata Ki Gede Menoreh. Lalu,
“Biarlah nanti
Swandaru, Agung Sedayu dan Rudita berbujana sendiri dengan Prastawa dan Pandan
Wangi.” Ki Gede berhenti sejenak, kemudian,
“Di mana
mereka sekarang?”
“Mereka ada di
gandok. Atau mungkin di gardu peronda. Agaknya mereka ingin menemui
kawan-kawannya ketika mereka berada di Tanah Perdikan ini.”
Ki Gede
Menoreh mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum. Bagi Swandaru dan
Agung Sedayu, maka sudah banyak sekali anak-anak muda di Tanah Perdikan ini
yang dikenalnya. Karena itu, maka mereka tentu ingin juga bertemu dan sedikit
membicarakan kenangan masa lampau itu meskipun bagi orang-orang di Tanah
Perdikan Menoreh, masalah-masalah di masa lampau itu sudah tidak ingin dikenangnya
lagi. Tetapi dalam pada itu, ternyata hanya Agung Sedayu sendirilah yang pergi
ke gardu di regol halaman. Ketika udara di gandok terasa terlampau panas, maka
kedua anak muda itu pun duduk di serambi. Mereka tidak ikut Ki Demang menghadap
Ki Gede Menoreh, karena persoalan yang akan dibicarakan adalah persoalan
Swandaru.
“Kakang Agung
Sedayu,” berkata Swandaru yang gemuk itu,
“udara
panasnya bukan main. Aku akan ke pakiwan sebentar.”
“Kenapa?”
“Aku akan
membasahi wajahku sejenak. Mencuci muka, agar badanku terasa agak segar.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan ia pun kemudian duduk sendiri di serambi.
Tetapi
ternyata Swandaru lama sekali tidak kembali ke serambi gandok. Karena itulah
maka Agung Sedayu yang kesepian itu pun berdiri dan melangkah pergi ke gardu di
regol untuk menemui beberapa orang yang sedang bertugas meronda. Ternyata ada
di antara mereka yang sudah dikenalnya ketika ia berada di Tanah Perdikan itu,
sehingga dengan demikian maka Agung Sedayu pun segera terlibat dalam pembicaraan
yang mengasyikkan. Dalam pada itu, Swandaru yang pergi ke pakiwan, dan mencuci
mukanya, tidak segera kembali ke serambi gandok karena kebetulan saja ia
berpapasan dengan Prastawa. Sejenak mereka bercakap-cakap di dalam keremangan
malam di serambi belakang. Tetapi sejenak kemudian, seseorang telah mendekati
mereka sambil bertanya,
“Apa kerjamu
di situ, Prastawa?”
Prastawa
berpaling. Lalu jawabnya,
“Aku kurang
mengerti apa yang dikehendaki orang ini.”
“Siapa?”
bertanya orang itu.
“Seorang
pekatik. Ia bertanya tentang kudamu yang hitam itu.”
“Kenapa kuda
itu?”
Prastawa tidak
menjawab. Tetapi dengan sengaja ia bergeser membayangi Swandaru, sehingga tidak
dapat terlihat dengan jelas. Swandaru menjadi berdebar-debar. Apalagi ketika ia
melihat orang yang mendekatinya itu.
“Apa katanya?”
orang itu masih bertanya.
“Bertanyalah
sendiri kepadanya.”
Ketika orang
itu berdiri di hadapan Prastawa, maka tiba-tiba Prastawa berkata,
“Uruslah
kudamu. Aku akan menyiapkan keperluan tamu-tamu di pendapa itu.”
“Prastawa,”
orang itu mencoba mencegah, tetapi Prastawa sudah meninggalkannya.
“Anak Bengal,”
orang itu mengumpat. Wajahnya menjadi merah ketika ia melihat bahwa yang
disebutnya pekatik itu adalah Swandaru.
Tetapi ia
masih berdiri saja sambil menundukkan kepalanya. Ada sesuatu yang seakan-akan
mengikatnya untuk tetap di situ. Swandaru pun menjadi bingung, karena orang itu
adalah Pandan Wangi. Sejak Prastawa memanggil gadis itu, maka hampir saja
mulutnya terbuka untuk menyatakan dirinya. Tetapi ternyata kata-katanya tidak
meloncat dari sela-sela bibirnya. Kini keduanya berdiri berhadapan di dalam
keremangan malam di serambi belakang dalam suasana yang beku. Tetapi Swandaru
pun akhirnya dapat menguasai perasaannya dan berkata,
“Bukan
maksudku memanggilmu. Tetapi apakah pekerjaanmu sudah selesai? Bukankah kau
sedang mempersiapkan hidangan buat para tamu?”
Dengan
keringat yang membasahi punggungnya, Pandan Wangi menjawab seperti di luar sadarnya,
“Aku sudah
selesai. Aku sudah menghidangkan suguhan itu.”
“O,” Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun dalam pada itu ada sepercik kegembiraan
bahwa Pandan Wangi tidak perlu lagi meninggalkannya. Namun suaranya masih
terasa sendat ketika ia bertanya,
“Apakah mereka
sudah selesai berbincang?”
Pandan Wangi
menganggukkan kepalanya,
“Rupa-rupanya
pembicaraan mereka sudah selesai.”
“Jadi, jadi,”
suara Swandaru bahkan menjadi gemetar,
“apakah ayahmu
tidak berkeberatan?”
Pandan Wangi
menundukkan kepalanya. Dengan suara yang hampir tidak terdengar ia berkata,
“Ayah
menyerahkan persoalannya kepadaku. Aku mendengar ayah berkata, bahwa ayah akan
bertanya kepadaku lebih dahulu.”
Dada Swandaru
menjadi semakin berdebar-debar. Ketika terlihat olehnya sebuah dingklik bambu
di serambi belakang, maka katanya,
“Apakah kita
akan duduk saja di dingklik itu?”
Pandan Wangi
tidak mengerti, pesona apakah yang telah menggerakkan kepalanya, sehingga
kepalanya itu terangguk-angguk. Keduanya pun kemudian duduk di atas dingklik
bambu di serambi belakang di dalam keremangan malam. Ketika amben bambu itu bergoncang
dan keduanya tanpa sengaja bersentuhan, terasa sesuatu bagaikan mengalir di
sepanjang jalur darah kedua anak muda itu dan merayap sampai ke pusat
jantungnya. Namun dengan demikian mulut mereka justru seakan-akan menjadi
terbungkam. Sejenak mereka saling berdiam diri. Dalam kesenyapan malam yang
menjadi semakin dalam, terdengar jantung mereka berdegup terlampau keras. Namun
perlahan-lahan keduanya berhasil menguasai kegelisahannya. Pandan Wangi
mengangkat wajahnya ketika ia mendengar pembantu-pembantunya sibuk mencuci
alat-alat dapur di sebelah serambi itu.
“Aku mempunyai
pekerjaan di dapur,” berkata Pandan Wangi.
Swandaru
.menganggukkan kepalanya sambil menjawab singkat,
“Ya.”
Tetapi Pandan
Wangi tidak beringsut dari tempatnya. Ia masih saja duduk di samping Swandaru.
Tatapan matanya bahkan jauh menembus ke dalam gelapnya malam.
“Pandan
Wangi,” sejenak kemudian terdengar suara Swandaru perlahan-lahan,
“tentu ayah
dan Ki Gede membicarakan persoalan kita sampai sejauh-jauhnya. Meskipun Ki Gede
masih akan bertanya kepadamu, namun sebenarnya mereka telah mengetahui
jawabnya, karena Kiai Gringsing sudah mengatakannya kepada ayah bahwa pernah
dibicarakannya masalah ini sebagai pendahuluan.”
Pandan Wangi
menganggukkan kepalanya.
“Meskipun
demikian Pandan Wangi, sebaiknya kau mengenal aku lebih jauh lagi. Tentu aku
tidak akan dapat mengatakan tentang diriku sendiri. Selama kami masih akan
tinggal di sini beberapa hari lagi untuk menunggu jawabmu, selama itu kau dapat
bertanya kepada guru tentang diriku atau kepada Kakang Agung Sedayu. Kau
mengenal aku selama ini sebagai tamu di rumah ini. Karena itu, tentu tingkah
lakuku, tutur kataku, aku jaga sebaik-baiknya. Tetapi tidak demikian halnya
jika aku berada di rumahku sendiri.”
Pandan Wangi
berpaling sejenak. Tetapi hanya sejenak. Kata-kata Swandaru itu mempunyai kesan
yang aneh di dalam hatinya. Justru karena keterbukaannya itulah, maka Pandan
Wangi merasa semakin tertarik kepada anak yang gemuk ini. Hampir di luar
sadarnya ia menjawab,
“Betapa pun
sifatmu, Kakang, tetapi aku melihat kejujuran di dalam sikap, kata, dan kalau
aku tidak salah tangkap juga angan-anganmu. Itu adalah bekal yang sangat
berharga bagi kita kelak, karena aku tidak ingin ada rahasia di antara
keluarga, apalagi pada suami dan isterinya. Pengalaman yang pahit di dalam
keluargaku sendiri menyatakan, bahwa ketidak-jujuran hanya akan menimbulkan
malapetaka saja.”
Swandaru
mengerutkan keningnya. Dipandanginya wajah Pandan Wangi yang tiba-tiba menjadi
sayu. Karena itu ia tidak bertanya lebih lanjut. Karena persoalannya pasti akan
menyangkut kakaknya, Sidanti, yang pernah menggemparkan Tanah Perdikan ini dan
bahkan tanpa dikehendakinya, Sidanti terbunuh oleh adiknya itu sendiri.
“Pandan Wangi,”
berkata Swandaru kemudian,
“terima kasih
atas pengertianmu. Tetapi keterbukaan hati kadang-kadang ujudnya adalah sikap
yang barangkali tampak kasar dan tidak sopan. Aku merasakan betapa
kadang-kadang orang tuaku, atau guruku, atau orang lain tidak senang melihat
sikapku. Aku memang berusaha untuk sedikit melunakkan keterbukaan hatiku dengan
bentuk yang lebih baik. Tetapi tidak selalu berhasil. Setiap kali tiba-tiba
saja meloncat sikapku yang kadang-kadang menyinggung perasaan orang lain.
Apalagi di hadapan Kakang Agung Sedayu yang mempunyai sifat-sifat yang
kadang-kadang tidak dimengerti oleh orang lain.”
Pandan Wangi
sekali lagi mengangkat wajahnya dan memandang wajah Swandaru yang bulat. Tetapi
juga hanya sesaat.
“Kakang
Swandaru,” berkata Pandan Wangi kemudian,
“kekasaran
bukan sifat yang kurang baik apabila itu disadari dan dilandasi dengan
niat-niat yang baik. Namun kejujuran itu sendiri mempunyai nilai yang sangat
tinggi bagiku.” Pandan Wangi menundukkan kepalanya semakin dalam, lalu,
“Dan aku
bukannya orang yang terbuka, meskipun aku berusaha untuk berbuat
sejujur-jujurnya. Tetapi Kakang, aku adalah seorang gadis yang murung sejak
kanak-kanak.”
“Aku mengerti,
Pandan Wangi,” jawab Swandaru,
“kau pernah
kehilangan sesuatu yang paling mahal harganya, yaitu kasih ibumu. Tetapi ayahmu
adalah seorang yang sangat baik bagimu sehingga kau dapat berkembang seperti
sekarang ini.”
“Aku hanya
ingin kau juga mengetahui, Kakang. Jika aku setiap kali berwajah murung, sama
sekali bukan selalu karena persoalan yang aku hadapi pada suatu saat. Tetapi
itu adalah sifatku yang mungkin sangat menjemukan bagi orang lain.”
“Aku pernah
mendengar guruku menasehati aku, Pandan Wangi. bahwa di dalam hidup berkeluarga
itu, masing-masing tidak memasang harga diri yang mati. Kadang kita
masing-masing harus berbuat sesuatu yang bertentangan dengan keinginan sendiri.
Itulah agaknya salah satu bentuk pengorbanan yang kecil, dan tentu kau pun
pernah mendengar uraian yang panjang lebar di dalam setiap upacara perkawinan.
Jika kita memperhatikan setiap nasehat meskipun tidak ditujukan kepada kita,
tetapi kepada nganten yang dirayakan saat itu, kita akan dapat mengambil
manfaat sebanyak-banyaknya. Tetapi pokok dari persoalannya adalah bahwa kita
masing-masing harus menerima sisihan kita itu seutuhnya. Bukan hanya yang baik
saja yang ada padanya, tetapi dengan segada kekurangan-kekurangannya.”
“Aku mengerti,
Kakang,” berkata Pandan Wangi.
“Dan kita
bukan anak-anak yang baru menginjak usia remaja yang membayangkan malam terang
bulan di sepanjang tahun, namun yang dengan segera menjadi kecewa ketika
melihat bulan tidak bulat lagi.”
Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya,
“Ya. Kita
memang bukan remaja kecil lagi. Mudah-mudahan aku dapat menyesuaikan diriku
dalam kehidupan yang lebih dewasa. Dengan segala kekurangan dan kelebihan, aku
berharap bahwa kita dapat mempertahankan segala yang baik dan mengurangi sejauh
mungkin kekurangan-kekurangan di hati kita masing-masing.”
Pandan Wangi
tidak segera menyahut. Tetapi kata-kata Swandaru itu membuatnya berbangga. Sehari-hari
ia melihat Swandaru itu seakan-akan tidak pernah bersungguh-sungguh dalam
setiap persoalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar