Jilid 067 Halaman 2


Widura pun segera mempersiapkan penyambutan sebaik-baik dapat dilakukan. Beberapa orang tamu sudah siap di pendapa sejak tengah hari. Bahkan Ki Demang Jati Anom pun telah berada di rumah Widura sejak pagi. Agung Sedayu dan Swandaru yang menunggu kedatangan pengantin itu pun menjadi tegang pula. Masih terbayang orang-orang yang dengan tiba-tiba saja menyerbu rumah kediaman para perwira. Jika hal itu belum diketahui sebelumnya, maka akibatnya pasti akan mengerikan. Barangkali, demikian Untara datang, maka ia akan segera memimpin pasukan ke Mataram.
“Untunglah, hal itu tidak terjadi,” desis Agung Sedayu.
“Apa?”
“Orang-orang yang malam itu datang menyerbu.”
“O,” Swandaru pun mengerti apa yang dipikirkan oleh Agung Sedayu, karena ia sendiri setiap kali juga memikirkannya.
“Tetapi penjagaan kali ini cukup, bahkan terlalu kuat. Kapan dan dari mana pun datangnya pengacauan, pasti akan diketahui dan dapat dihentikan jauh dari Banyu Asri dan kademangan induk.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang Jati Anom saat itu sudah berpagar prajurit. Dalam pakaian keprajuritan mau pun yang dalam pakaian sandi. Namun bagi Agung Sedayu, bahaya yang dapat timbul bukan sekedar di Jati Anom. Jalan yang ditempuh oleh Untara cukup panjang sehingga banyak kemungkinan yang dapat terjadi di sepanjang perjalanan itu.
“Apa yang kau pikirkan?” bertanya Swandaru karena Agung Sedayu justru merenung.
“Perjalanan Kakang Untara.”
“Tetapi bagaimana pun juga, tidak ada lagi orang yang dapat melemparkan kesalahan kepada Mataram. Kakang Untara sendiri sudah mengetahuinya, bahwa yang datang mengacau itu sama sekali bukan orang Mataram.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Memang bukan orang Mataram. Tetapi persoalan Mataram sendiri akan semakin berkembang.”
“Ya,” sahut Swandaru,
“Mataram akan berkembang sejalan dengan persoalan-persoalannya.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Agaknya daerah yang sedang tumbuh itu akan banyak mengalami tantangan yang harus dijawab. Tidak dengan ledakan perasaan, tetapi dengan hati yang dingin dan sikap yang dewasa. Namun dalam pada itu, orang-orang Jati Anom sendiri hampir tidak menghiraukan lagi persoalan-persoalan yang tumbuh di antara dua pusat kepemimpinan Pajang yang seakan-akan terpecah. Jika yang terjadi itu seperti berkembangnya daerah Pati, maka tidak akan banyak menimbulkan persoalan-persoalan yang rumit. Tetapi Mataram lahir dalam suasana yang tegang. Lewat tengah hari, telah banyak anak-anak yang berkumpul di pinggir padukahan, di tepi-tepi jalan yang akan dilewati oleh Untara. Bahkan beberapa orang anak-anak muda duduk-duduk di gardu sambil bergurau dan menunggu kedatangan pengantin yang agak lain dari pengantin yang sering mereda saksikan di Jati Anom. Pengantin yang akan datang adalah seorang senapati yang memiliki pengaruh yang besar di dalam dan di luar istana. Tetapi seperti yang sudah diperkirakan, Untara akan datang ke rumah pamannya menjelang sore hari. Ketika matahari ada di puncak langit iring-iringan itu masih berada di perjalanan. Seperti kesiagaan para prajurit Pajang di Jati Anom, demikian pula kesiagaan iring-iringan itu. Apalagi Untara yang sedang kawin itu mengerti, bahwa di Jati Anom telah terjadi kerusuhan, meskipun ia belum mengetahui secara terperinci apakah yang sudah terjadi. Jika orang-orang yang gagal itu kehilangan akal, dapat saja mereka mencegat iring-iringan yang sedang berada di perjalanan. Karena itulah, maka di antara iring-iringan itu terdapat sepasukan kecil prajurit. Namun di antara para pengiring yang memakai pakaian lengkap, untuk mengunjungi perhelatan itu pun terdapat beberapa orang perwira kawan-kawan Untara. Sedang sebagian lagi adalah juga prajurit-prajurit sandi yang bertugas mengawal pengantin.
Namun sebenarnya Untara sendiri tidak mencemaskan perjalanan itu. Setiap orang, juga orang-orang yang ingin mengacau, tentu sudah mempunyai perhitungan, bahwa iring-iringan ini pasti merupakan iring-iringan bukan saja orang tua yang mengantar pengantin, tetapi juga sepasukan prajurit yang siap untuk bertempur di setiap saat. Hanya apa bila mereka mempunyai kekuatan yang besar sekali, mereka akan berani mengganggunya. Demikianlah iring-iringan pengantin itu berjalan lewat padukuhan-padukuhan yang penuh dengan orang-orang yang ingin menyaksikannya di sebelah-menyebelah jalan. Bahkan anak-anak sudah mulai bersorak-sorak sejak mereka melihat debu mengepul di kejauhan. Di dalam terik sinar matahari, tampaklah warna-warna yang cerah seakan-akan berkeredipan di antara debu yang terlempar dari kaki-kaki kuda. Bagi mereka yang menunggu, rasa-rasanya perjalanan itu terlampau lambat. Namun bukan saja bagi yang menunggu, baik di sepanjang jalan mau pun di Jati Anom, tetapi bagi Untara dan isterinya yang duduk di dalam tandu itu pun terasa, perjalanan ini terlampau lambat. Meskipun demikian, mereka pun menjadi semakin dekat pula dengan tujuan. Semakin lama semakin dekat, dan hati Untara pun menjadi semakin berdebar-debar. Bukan hanya karena ia akan disambut oleh orang-orang tua di Jati Anom sebagai mempelai yang dihormati, tetapi ia ingin segera mendengar dengan pasti apa yang sudah terjadi sepeninggalnya.

Untara tersenyum di dalam hati, ketika ia memasuki daerah Jati Anom. Di antara mereka yang menunggunya di pinggir-pinggir jalan, dilihatnya beberapa orang prajuritnya. Bahkan ketika ia menebarkan pandangan matanya ke tanah persawahan, dilihatnya beberapa orang yang kotor oleh lumpur berdiri di pematang, Untara menarik nafas dalam-dalam.
“Tentu sesuatu telah benar-benar terjadi di sini,” katanya di dalam hati.
“Penjagaan tampaknya diperkuat. Petugas-petugas sandi bertebaran di segala tempat, bahkan di bulak-bulak yang masih agak jauh dari Jati Anom.”
Dengan demikian hati Untara menjadi kian berdebar-debar. Perjalanan itu terasa seakan-akan menjadi semakin lambat. Tetapi terhadap para pengiring, ia tidak dapat membentak seperti kepada para prajurit, agar perjalanan ini dipercepat. Ternyata meskipun Untara sedang diiringi oleh orang-orang tua dalam pakaian pengantin, namun ia tidak dapat melepaskan tanggung jawabnya. Justru yang paling menggelisahkan adalah keadaan Jati Anom daripada tentang dirinya sendiri.
“Tetapi di sana ada Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar,” Untara mencoba menenangkan dirinya sendiri.
Bagaimana pun lambatnya, namun akhirnya iring-iringan pengantin itu pun memasuki dan berjalan menyelusur jalan padukuhan menuju ke rumah Ki Widura. Seorang utusan dengan tergesa-gesa mendahului dan mengabarkan kepada mereka yang sudah menunggu, bahwa rombongan pengantin telah datang. Maka anak-anak yang sudah berkerumun di muka regol pun segera berteriak-teriak. Mereka berdesak-desakan untuk melihat, alangkah gagahnya Untara yang mengendarai seekor kuda yang tegar di samping sebuah tandu yang bertabir kain yang mengkilap. Ketika iring-iringan itu memasuki regol, maka mereka pun segera berhenti. Untara meloncat turun dari kudanya, sementara tandunya pun diturunkan pula dari pundak para pengusungnya. Demikianlah maka Widura segera menerima sepasang mempelai itu, dan mengiringkannya masuk ke dalam. Tetapi kedua pengantin itu tidak naik lewat pendapa. Mereka berjalan di sisi pendapa, lewat longkangan naik di pintu samping. Mereka masih belum memasuki pendapa, karena upacara itu masih akan dilakukan malam nanti. Dengan demikian maka kedua mempelai itu langsung dibawa ke dalam bilik yang sudah disediakan untuk beristirahat. Namun demikian, setelah berganti pakaian dan minum seteguk Untara pun segera keluar dari biliknya menemui para tamu yang menunggunya di pendapa. Tetapi pertemuan itu masih belum merupakan pertemuan yang resmi.
Ki Demang dan beberapa orang tua pun kemudian menyapanya dan menanyakan keselamatannya. Kemudian mereka menanyakan apakah selama ini keadaannya dan isterinya baik-baik saja. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya Untara menjawab sambil tersenyum. Seperti kebiasaan pula, maka jawabnya,
“Baik. Keadaan kami selalu baik.”

Setelah mereka berbicara sejenak, maka hati Untara rasa-rasanya sudah tidak sabar lagi. Setiap kali dipandanginya Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, pamannya Widura, dan Ki Ranadana. Seakan-akan ia tidak sabar lagi menunggu datangnya suatu saat untuk bertanya kepada mereka, apakah yang sudah terjadi di Jati Anom. Agaknya Kiai Gringsing dapat menebak isi hati Untara, sehingga katanya,
“Untuk berapa hari Anakmas Untara akan beristirahat tanpa memikirkan tugas keprajuritan. Agaknya perlu juga bagi Anakmas untuk melupakan semua persoalan yang setiap hari membebani badan dan pikiran. Agaknya untuk beberapa lamanya, tidak akan terjadi apa-apa di Jati Anom. Sampai saat ini Jati Anom aman dan tenteram.”
Untara mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun menarik nafas dalam-dalam. Meskipun demikian terloncat juga pertanyaannya,
“Apakah tidak terjadi sesuatu selama ini?”
“Ada peristiwa-peristiwa kecil yang tidak berarti. Yang sama sekali tidak mengganggu sendi-sendi kehidupan di Jati Anom,” jawab Kiai Gringsing.
“Bagaimana dengan para perwira?”
Kiai Gringsing tidak menjawab. Dipandanginya saja Ki Ranadana yang mengangguk-anggukkan kepalanya, dan katanya kemudian,
“Para perwira tetap menjalankan tugas mereka dengan baik. Tidak terjadi sesuatu atas mereka. Dan mereka saat ini lengkap menyambut kedatangan Ki Untara berdua, selain yang sedang bertugas.”
Sekali lagi Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mengerti, bahwa para perwira yang menjadi sasaran para penyerang itu ternyata selamat. Agaknya Ki Ranadana bersama Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar berhasil menyergap mereka sebelum jatuh korban.
“Lalu bagaimana dengan para prajurit?” ia bertanya pula.
“Tidak ada apa-apa dengan mereka. Ki Untara memang dapat melupakan mereka sejenak di hari-hari perkawinan itu. Mereka tetap dalam keadaan yang baik.”
Hati Untara menjadi agak lega. Tidak langsung Ki Ranadana sudah memberikan laporan kepadanya. Meskipun belum terperinci, tetapi pada pokoknya para perwira dan prajurit yang ada di Jati Añom selamat semuanya. Maka Untara pun dapat melepaskan ketegangan di hatinya. Ia pun kemudian dapat menanggapi pembicaraan tamu-tamunya yang lain. Orang tua-tua dan sanak kadang.
Tetapi sebentar kemudian ia pun sudah harus masuk lagi ke dalam biliknya, untuk segera ditempatkan di gandok, karena dalam upacara nanti, ia akan datang ke pendapa dari gandok, sedang isterinya akan menyongsongnya dari pringgitan. Sementara itu, tamu-tamunya masih saja berdatangan. Semakin lama semakin banyak sehingga pendapa rumah Ki Widura itu hampir menjadi penuh karenanya. Juga tamu-tamu dari Sangkal Putung.

Selama itu Untara memang dapat melupakan tugasnya sehari-hari. Apalagi ketika ia sedang sibuk mengenakan pakaian kebesaran seorang pengantin. Bukan saja pengantin seorang anak muda padukuhan. Tetapi pengantin seorang yang terpandang. Namun dalam pada itu di antara orang-orang yang berdesak-desakan di halaman, yang ingin melihat upacara yang akan berlangsung di depan pendapa, terdapat orang-orang yang tidak dikenal di Jati Anom. Orang-orang yang tidak hanya sekedar ingin menyaksikan pengantin itu, tetapi juga ingin menyaksikan suasana yang meliputi padukuhan dan seluruh Kademangan Jati Anom. Tetapi di antara mereka yang asing, maka ada pula anak-anak muda Jati Anom yang ikut berdesak-desakan di antara para penonton. Meskipun sebenarnya mereka telah menjadi seorang prajurit, tetapi kali ini ia sama sekali tidak dalam pakaian seorang prajurit. Sebagai anak Jati Anom mereka dapat mengenal orang-orang Jati Anom sendiri. Dengan demikian maka anak-anak muda itu mengenal pula orang yang sama sekali asing baginya. Sedangkan orang-orang dari padukuhan di sekitarnya pada umumnya pernah juga dilihatnya selagi mereka pergi ke sawah, ke pasar dan kadang-kadang mereka saling kunjung-mengunjungi. Karena itu wajah-wajah yang asing itu pun segera mendapat perhatian. Mungkin mereka benar-benar datang dari tempat yang jauh sekedar melihat pengantin yang agak lain dari pengantin yang biasa mereka saksikan. Tetapi bagi petugas-petugas sandi dari Pajang itu, setiap yang asing harus mendapat pengawasan. Apalagi setelah terjadi serangan atas rumah Untara yang dihuni oleh para perwira. Agaknya kedua belah pihak sudah saling mengetahui bahwa mereka saling mengawasi. Tetapi selagi mereka yang asing bagi anak-anak muda Jati Anom yang mendapat tugas sandi itu tidak berbuat apa-apa, maka tidak akan ada alasan untuk bertindak atas mereka.
“Penjagaan benar-benar ketat sekali,” desis seseorang di telinga kawannya yang berdiri di sisinya.
“Sst, aku curiga pada anak muda di belakang kita. Meskipun ia berpakaian bukan seperti seorang prajurit dan tampaknya ia memang anak Jati Anom karena ia mengenal hampir setiap orang, namun agaknya ia mendapat tugas khusus untuk mengawasi orang-orang yang bertebaran di halaman ini, termasuk kita.”
Kawannya tidak berpaling, tetapi kepalanya terangguk kecil.
“Dimana Bubut dan Kandar?”
“Di ujung Barat. Tetapi tentu ada pula yang mengawasi mereka.”
“Kita tidak peduli. Kita tidak akan berbuat apa-apa di sini. Kita hanya sekedar nonton pengantin dan melihat suasana.”
Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya.

Sejenak kemudian, ketika di depan gandok terjadi desak-mendesak, maka tahulah orang-orang di halaman bahwa pengantin sudah siap untuk dipertemukan dalam upacara. Karena itu, maka orang-orang yang lain pun mulai berdesak-desakan pula, terutama anak-anak. Mereka berebut dahulu berdiri di depan. Apabila pengantin nanti telah lewat setelah selesai dengan berbagai macam upacara di halaman, membasuh kaki, lempar-melempar sadak, berdiri di atas pasangan dan kemudian bersama-sama memasuki pendapa, maka semua kelengkapan di tiang depan dapat diperebutkan oleh anak-anak. Dua tandan pisang raja, dua jenjang kelapa, padi, dan masih ada beberapa macam buah-buahan yang lain. Orang-orang yang berwajah asing itu pun dengan sendirinya terdesak pula ke depan. Tetapi anak-anak muda Jati Anom dalam tugas sandinya sebagai seorang prajurit, mendesak maju pula di belakang mereka. Demikianlah, maka upacara pun segera berlangsung. Seperangkat gamelan mengiringi dengan gending-gending yang agung. Beberapa orang-orang tua duduk di paling depan memberikan restunya dengan nasehat-nasehat dan petunjuk-petunjuk. Karena Untara sudah tidak mempunyai orang tua, maka upacara pangkon dilakukan oleh pamannya Widura, yang duduk bersila di tengah-tengah ruang dalam, di muka sentong tengah. Pengantin laki-laki duduk di ujung lutut kanannya dan pengantin perempuan duduk di ujung lutut kirinya.
“Bagaimana?” seorang laki-laki tua bertanya.
“Seimbang,” jawab Widura sambil menyeringai. Lututnya terasa agak sakit juga menahan berat tubuh Untara dan isterinya.
“Turunlah,” berkata laki-laki tua itu.
Kedua pengantin itu pun kemudian turun dari lutut Widura dan Widura pun menarik nafas.
Upacara itu pun kemudian disusul dengan upacara-upacara lain, asok kaya, menyuapi isterinya dengan nasi kepelan dan upacara-upacara yang lain sesuai dengan kedudukannya sebagai seorang senapati yang besar. Namun perhelatan itu sendiri sama sekali bukan suatu perhelatan yang berlebih-lebihan. Bahkan terlalu sederhana bagi seorang senapati yang namanya sudah dikenal oleh setiap prajurit di belahan Selatan Kerajaan Pajang.

Dalam pada itu, selagi di Jati Anom berlangsung upacara ngunduh pengantin, maka di Mataram Raden Sutawijaya duduk menghadap ayahandanya Ki Gede Pemanahan. Pada wajahnya nampak bahwa keduanya sedang memperbincangkan suatu masalah dengan bersungguh-sungguh.
“Kali ini mereka gagal mengumpankan nama Mataram, Ayah, tetapi lain kali?”
Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Kita harus memperhatikan masalah ini dengan sungguh-sungguh. Aku puji kegigihan sekelompok orang yang berusaha mengusir kita dari tanah yang sudah kita buka ini. Mereka gagal bermain hantu-hantuan. Kini mereka mempergunakan cara lain yang tidak kalah berbahayanya. Bahkan mungkin akan berakibat sangat jauh apabila orang-orang Pajang tidak selalu berusaha mengendalikan diri. Aku tahu, beberapa orang yang tidak dapat mengendalikan diri berusaha menggagalkan usaha kita. Tampaknya usaha mereka berhasil sebagian, karena sampai saat ini, Sultan Pajang tidak juga memberikan ketetapan yang tegas atas tanah yang sudah terbuka ini. Berbeda dengan Pati, kita masih harus menunggu apakah daerah ini akan diakui sebagai suatu daerah yang dapat berdiri sendiri dalam bentuk yang mana pun.”
Raden Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan ragu-ragu ia berkata,
“Ki Lurah Branjangan menyarankan agar ada hubungan langsung antara kita dengan Ayahanda Sultan di Pajang. Tetapi aku berkeberatan sebelum ada pengakuan yang tegas atas tanah ini.”
Ki Gede Pemanahan menarik nafas dalam-dalam. Meskipun tidak terlampau dalam, namun ada juga kecemasan yang merayapi hatinya. Ternyata bahwa Raden Sutawijaya adalah seorang anak muda yang keras hati. Ia sadar, bahwa ada ketimpangan pada sikap Sultan Pajang, sehingga dengan demikian hubungan batin antara Sutawiiaya dan Sultan Pajang itu pun agaknya semakin lama menjadi semakin jauh dan bahkan seolah-olah tidak akan dapat dipertautkan kembali. Tetapi selain kecemasan, ada juga sedikit penyesalan di hati Ki Gede Pemanahan. Ialah yang mula-mula meninggalkan istana Pajang dan kembali ke Sela. Ia tidak mau menerima sikap Sultan Pajang yang menunda-nunda hadiah yang sudah dijanjikan, sedang kawannya, seorang senapati yang lain telah menerima bagiannya. Apalagi Ki Gede Pemanahan merasa bahwa tanah yang diperuntukkan baginya adalah sebuah hutan belantara yang masih memerlukan penggarapan yang lama dan tekun.
“Jika aku tidak bersikap keras, maka daerah ini pasti masih belum diserahkan dengan resmi,” berkata Pemanahan di dalam hati, namun,
“tetapi sikap itu agaknya mempengaruhi pendirian Sutawijaya yang tidak kalah kerasnya dari sikapku sendiri.”
Ki Gede Pemanahan mengangkat wajahnya ketika ia mendengar anaknya berkata,
“Ayah, kenapa Ayahanda Sultan Pajang tidak segera mengakui kedudukan kita?”

Ki Gede Pemanahan menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak mau membakar hati anaknya lagi. Bagaimana pun juga, pertentangan yang berkepanjangan tidak akan menguntungkan bagi kedua belah pihak. Tetapi ia pun tidak ingin menganjurkan agar anaknya merendahkan dirinya, memohon dan memohon kemurahan hati Sultan Pajang atas kedudukannya di Mataram. Kedudukan itu adalah haknya sebagaimana hak Ki Penjawi atas Pati, Dan sikapnya itu sama sekali bukan meloncat dari perasaan iri dan dengki. Ki Gede Pemanahan merasa senang bahwa sahabatnya telah berada dalam kedudukan yang wajar, sesuai dengan pengabdiannya kepada Pajang. Namun ia mengharap bahwa haknya pun akan segera diakui.
“Kenapa Ayah?” desak Sutawijaya.
“Apakah Ayah mengerti alasan yang sebenarnya? Jika keadaan kita masih saja tetap seperti sekarang, maka kemungkinan-kemungkinan yang buruk itu memang dapat terjadi. Usaha orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan berusaha untuk mendapat keuntungan bagi dirinya sendiri akan menjadi semakin berbahaya bagi kita dan bagi Pajang sendiri.”
Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Aku tidak mengerti, Sutawijaya. Aku pun selalu menunggu, kapan kita mempunyai kedudukan yang pasti. Bahkan aku pun menjadi hampir tidak sabar.” Ki Gede Pemanahan berhenti sejenak,
“Tetapi jangan terlampau banyak dipengaruhi oleh pengakuan dari Pajang. Kita bekerja terus membuka daerah ini dan menjadikannya suatu daerah yang ramai. Jika kita sudah membuktikan bahwa kita mampu berbuat banyak atas daerah ini, maka pengakuan itu akan segera menyusul. Kita akan mendapat batasan yang tegas atas daerah ini.”
“Tetapi selama itu terjadi, banyak sekali kemungkinan. Mungkin orang-orang yang dengki dan barangkali lebih dari itu, karena mereka sendiri ingin memiliki tanah ini, atau barangkali kecurigaan dan kecemasan orang-orang Pajang atau apa pun yang menyebabkannya sehingga Ayahanda Sultan Pajang justru mengambil sikap lain.”
“Kita memang dapat berprasangka, Sutawijaya. Tetapi kita jangan terlampau dihantui oleh prasangka itu. Sekarang berbuatlah sesuatu. Jadikanlah tanah ini menjadi tanah yang ramai dan kuat. Maka tidak akan ada kemungkinan lain daripada pengakuan, bahwa Mataram sebagai suatu kenyataan telah ada dan mampu mengurus dirinya sendiri, meskipun kita masih ada di dalam lingkungan kesatuan dengan Pajang dan daerah-daerah yang lain.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sependapat dengan ayahnya Tetapi yang menjadi pusat perhatiannya adalah membuat Mataram suatu daerah yang kuat. Dengan demikian maka tidak akan ada orang lain yang dapat memaksakan kehendaknya atasnya dan atas Mataram, meskipun ia sadar akan bahayanya. Jika Mataram merasa kuat, mungkin bukan Sultan Pajang-lah yang berubah pendirian dan sikap, tetapi Mataram sendiri.
“Aku akan menjaga diriku sendiri,” berkata Sutawijaya di dalam hatinya,
“aku akan tetap menganggap bahwa Mataram adalah bagian dari Pajang yang satu dan mudah-mudahan akan tumbuh menjadi besar seperti kerajaan-kerajaan yang terdahulu.”

Ki Gede Pemanahan yang seakan-akan dapat membaca kata-kata hati anaknya menarik nafas dalam-dalam. Ia pun mengharap Pajang menjadi besar. Tetapi ia kadang-kadang tidak dapat lari dari kenyataan bahwa Sultan Pajang yang bernama Mas Karebet dan bergelar Sultan Adiwijaya itu ternyata telah banyak berubah. Dan Pajang yang baru tumbuh itu seakan-akan justru menjadi pudar.
“Baiklah, Ayah,” berkata Sutawijaya,
“aku akan membuat Mataram mampu mengurus dirinya sendiri dalam segala bidang. Mataram memang harus menjadi kuat. Bukan untuk menakut-nakuti orang lain, tetapi Mataram harus dapat melindungi dirinya sendiri. Di Jati Anom telah terjadi suatu usaha untuk mencemarkan nama Mataram. Untunglah orang tua bercambuk itu ada di sana, sehingga tugas Ki Lurah Branjangan banyak dipengaruhi justru oleh kerja Kiai Gringsing. Jika tidak, maka kita akan menjadi lontaran caci-maki, dan barangkali Untara telah membawa pasukan segelar sepapan memasuki daerah ini bersama mertuanya itu.”
Ki Gede Pemanahan hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak dapat menyalahkan anaknya, karena agaknya Mataram memang harus menyiapkan diri menghadapi setiap kemungkinan. Jika terjadi fitnah seperti yang baru saja dilakukan di Jati Anom, dan fitnah itu benar-benar berhasil, maka Mataram memang harus melindungi dirinya sendiri.
“Mudah-mudahan hal semacam itu tidak terjadi,” berkata Ki Gede Pemanahan di dalam hatinya.
“Ngabehi Loring Pasar adalah seorang anak muda yang paling dikasihi oleh Sultan Pajang di samping anak laki-lakinya sendiri, Pangeran Benawa. Segala sesuatu pasti akan dipikirnya masak-masak sebelum bertindak.”
Tetapi selain kemungkinan-kemungkinan yang pahit itu, Mataram pasti harus bersiap pula menghadapi gerombolan-gerombolan itu sendiri. Dalam keadaan yang penuh kebimbangan dan ketiadaan harapan, mereka mungkin akan berbuat di luar dugaan karena di antara mereka pasti terdapat orang-orang kuat seperti Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak. Bahkan mungkin di belakang kedua orang itu masih terdapat seseorang yang melampaui kemampuan keduanya di dalam nalar dan olah kanuragan, sehingga ia mampu mengendalikan kedua orang yang cukup mumpuni itu. Karena itulah, maka Ki Gede Pemanahan membiarkan puteranya untuk melakukan rencananya. Bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan dengan membuat daerah yang sedang tumbuh ini menjadi daerah yang kuat.

Dalam pada itu di Jati Anom, Untara yang masih ada di dalam suasana yang lain dari hidupnya sehari-hari, kadang-kadang masih juga malas untuk berbicara tentang tugas-tugasnya. Hanya karena ia adalah seorang yang penuh dengan tanggung jawab sajalah, ia memerlukan juga bertemu dengan Ki Ranadana dan perwira-perwira yang lain, meskipun hanya sekali di dalam satu hari, sedang Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar masih tetap menjadi tamu Ki Widura bersama Agung Sedayu dan Swandaru. Agaknya Ki Ranadana yang sudah menginjak usia pertengahan, cukup mengerti tentang keadaan Untara, sehingga ia pun selalu membatasi persoalan-persoalan yang dibicarakan. Bahkan ia masih belum menyinggung-nyinggung tentang tawanan-tawanan yang ada di dalam pengamatannya. Tetapi Untara tidak memerlukan banyak waktu untuk beristirahat. Ia pun segera mulai lagi dengan tugas-tugasnya yang berat. Namun kemudian ia tidak lagi tinggal bersama para perwira di rumahnya. Namun untuk sementara ia tinggal bersama pamannya. Karena itulah, maka Kiai Gringsing bersama kedua muridnya dan Ki Sumangkar pun merasa bahwa kehadirannya hanya akan mengganggu saja. Tetapi ketika mereka minta diri untuk pergi ke Sangkal Putung, ternyata bahwa Untara dan Widura menahannya.
“Tinggallah di sini untuk beberapa lama Kiai,” berkata Untara.
“Di saat-saat ini aku masih terlampau malas untuk berbuat sesuatu. Kehadiran Kiai berdua di sini rasa-rasanya membuat aku tenteram.”
“Tetapi di sini ada sepasukan prajurit yang kuat dengan beberapa orang perwira yang cakap,” sahut Kiai Gringsing.
Untara tertawa. Jawabnya,
“Sepasukan prajurit yang kuat, beberapa orang perwira yang cakap akan lebih meyakinkan lagi jika ditambah dengan dua orang tua yang pilih tanding bersama dua orang muridnya. Ingat, bahwa Agung Sedayu itu nilainya tidak kalah dengan seorang perwira muda prajurit Pajang. Ketika ia berkelahi di dalam lumpur, ternyata bahwa aku menganggap, Agung Sedayu mempunyai banyak kelebihan. Bukan karena ia adikku. Dan aku pun yakin bahwa Swandaru pun memiliki kemampuan serupa.”
“Ah, Kakang Untara terlampau memuji,” jawab Swandaru.
“Tetapi jika aku dinilai dengan seorang perwira, pasti aku akan melampauinya. Tetapi dalam bidang yang khusus.”
Untara tertawa semakin keras. Swandaru memang pandai menanggapi gurau siapa pun juga.
“Terutama menanggapi isi jodang,” Swandaru menyambung.
Widura pun tertawa pula. Katanya,
“Itulah agaknya yang membuat Angger Swandaru menjadi gemuk.”
“Ya, Paman. Aku tidak pernah menolak rejeki.”
“Maksudku bukan itu,” berkata Widura,
“hatimu terbuka. Itulah soalnya. Bukan karena kau terlampau banyak makan, meskipun agaknya hal itu benar.”

Suara tertawa Swandaru meledak. Ternyata Widura pandai bergurau juga. Namun dengan demikian Kiai Gringsing, kedua muridnya dan Ki Sumangkar terpaksa tinggal untuk sementara di rumah itu.
“Kakang Untara pandai juga memanfaatkan kita di sini,” berkata Swandaru kepada Agung Sedayu ketika mereka berada di gandok.
“Kenapa?”
“Penjagaan kita tentu akan lebih rapat dari para prajurit yang hanya berada di regol dan halaman. Kita berada di dalam rumah. Bersama Paman Widura kita merupakan pengawal yang baik selama malam-malam yang suram bagi Kakang Untara.”
“Ah kau.”
“Besok, jika datang saatnya aku kawin, aku akan menahan Kakang Untara barang tiga sampai lima hari untuk mengawal aku.”
Agung Sedayu tidak mendengarkannya lagi. Bahkan ia pun kemudian membaringkan dirinya di pembaringan yang besar. Swandaru tertawa sendiri. Katanya,
“Aku sudah rindukan Sangkal Putung. Dan sudah barang tentu ayah dan ibu menunggu aku pula. Apalagi Sekar Mirah.”
Agung Sedayu berpaling menatap wajah Swandaru sejenak. Namun kemudian ia kembali acuh tidak acuh. Bahkan ia pun kemudian memejamkan matanya. Swandaru pun tidak menghiraukannya. Ia masih berbicara terus,
“Sekar Mirah tentu hampir kehilangan kesabaran. Ia mengira bahwa kami tidak akan berada di Jati Anom lebih dari sepekan. Ternyata sudah hampir sepuluh hari kami berada di sini.”
“Kita berada di Menoreh berbulan-bulan,” sahut Agung Sedayu tanpa berpaling.
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
“Ya. Kita berada di Menoreh berbulan-bulan. Dan dengan demikian Sekar Mirah menyusul dan mencari kita.”
Agung Sedayu tidak menyahut lagi. Matanya justru menjadi semakin rapat. Namun tiba-tiba Swandaru bertanya,
“Kau sudah mendengar laporan prajurit sandi yang berada di halaman rumah Paman Widura ini ketika upacara ngunduh pengantin berlangsung?”
Agung Sedayu menggeleng lemah.
“Ada beberapa orang yang tidak dikenal menyaksikan upacara itu. Mereka adalah orang-orang yang mencurigakan.”
Kini Agung Sedayu membuka matanya. Dengan kerut-merut di dahinya ia bertanya,
“Dari siapa kau dengar hal itu?”
“Dari prajurit Pajang.” Ia berhenti sejenak, lalu,
“Bukan, bukan dari prajurit itu, tetapi dari Paman Widura.”
“Benar dari Paman Widura?”
“Juga bukan,” Swandaru mengingat-ingat.
“Aku yang memberi tahukan hal itu kepadamu. Kakang Untara telah menerima laporan itu.”
“He,” Swandaru membelalakkan matanya, lalu,
“o, ya. Kaulah yang memberitahukan kepadaku. Kakang Untara mengatakan hal itu kepadamu. Ya, aku ingat sekarang.”

Kembali Agung Sedayu memejamkan matanya. Sedang Swandaru masih saja duduk di pembaringan yang besar itu sambil tersenyum-senyum sendiri.
“Sampai kapan kita akan tetap di sini?” ia bertanya.
Tetapi Agung Sedayu sama sekali tidak menjawab.
“Keluarga di Sangkal Putung pasti sudah menunggu. Juga keluarga Ki Argapati di Menoreh. Kita di sini merasakan bahwa waktu berjalan terlampau cepat. Tetapi bagi orang yang menunggu, rasa-rasanya matahari tidak bergeser dari tempatnya.”
“Siapa yang menunggu?” desis Agung Sedayu masih sambil memejamkan matanya.
“Paman Argapati.”
“Kenapa Paman Argapati menunggu kita?”
Swandaru tidak menyahut. Ia hanya menarik nafas saja dalam-dalam. Keduanya pun kemudian terdiam sejenak. Swandaru yang duduk di pembaringan itu pun kemudian menguap. Setelah menarik nafas dalam-dalam ia pun segera merebahkan dirinya di sisi Agung Sedayu. Namun ternyata yang mendekur lebih dahulu adalah Swandaru. Agung Sedayu justru tidak segera dapat tertidur. Kata-kata Swandaru ternyata telah menyentuh hatinya. Orang-orang yang menunggu itu pasti jauh lebih gelisah dari yang ditunggunya. Bagi orang yang sedang menunggu, waktu seakan-akan sama sekali tidak bergerak.
“Apakah setelah Kakang Untara aku akan segera menyusul?” bertanya Agung Sedayu kepada diri sendiri.
Namun setiap kali pertanyaan itu tumbuh, Agung Sedayu menjadi berkerut. Katanya di dalam hati,
“Apakah isteriku kelak akan aku beri makan batu? Aku masih belum mempunyai pegangan apa pun sekarang.”
Lalu terngiang kata-kata kakaknya dan pamannya,
“Kenapa kau tidak menjadi seorang prajurit? Kau mempunyai beberapa kelebihan dari perwira-perwira yang masih muda.”
Tetapi untuk menjadi prajurit Pajang Agung Sedayu sama sekali tidak menginginkannya. Pendengarannya tentang Pajang yang kurang lengkap itu sempat menimbulkan perasaan yang kurang mapan baginya untuk bekerja bagi Pajang. Ia mendengar bahwa Sultan Pajang kini hampir tidak sempat lagi menghiraukan daerah dan rakyatnya. Ia adalah seorang raja yang mudah sekali dipengaruhi oleh kecantikan seorang perempuan, sehingga waktunya benar-benar terampas habis oleh perempuan-perempuan itu. Semakin lama penghuni keputrennya menjadi semakin banyak, sedang di daerah-daerah, kesulitan pun menjadi semakin bertimbun pula. Sultan Pajang yang bernama Mas Karebet dan yang disebut Jaka Tingkir itu sudah kehilangan gairah petualangannya untuk menyaksikan Pajang seisinya dari dekat. Para Adipati di pesisir sudah hampir kehilangan ikatan dan berbuat sendiri-sendiri sesuai dengan keinginan masing-masing. Sesudah Pajang berhasil mengalahkan Jipang, maka seakan-akan Pajang sudah waktunya mengenyam hasil jerih payahnya tanpa ada yang mengganggu gugat.

Meskipun demikian, Agung Sedayu harus berhati-hati mengambil kesimpulan bahwa sebenarnyalah yang terjadi demikian. Ia belum mengenal sultan dari dekat. Namun jika hal itu benar terjadi, maka seluruh rakyat Pajang seharusnya menjadi berprihatin.
“Apakah pantas jika seseorang menaiki jenjang perkawinan tetapi masih belum mempunyai pegangan apa pun seperti aku ini? Jika aku ingin menjadi petani, aku tidak tahu lagi, apakah sawah dan ladang ayah masih ada. Apakah Kakang Untara pernah memikirkannya dan menyatakan menjadi hak kami berdua.”
Tetapi Agung Sedayu menggeleng. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia berdesah,
“Sekar Mirah tidak akan bersedia menjadi isteri seorang petani biasa. Kini ia adalah putera seorang Demang yang cukup kaya.”
Namun dengan demikian Agung Sedayu menjadi semakin gelisah karenanya. Ia sadar, bahwa ia masih belum memiliki masa depan yang mantap meskipun ia memiliki bekal yang cukup. Selama ia berada di dalam asuhan Kiai Gringsing, ia tidak hanya sekedar belajar oleh kanuragan, tetapi ia masih juga mempelajari beberapa macam ilmu yang lain. Dari Kiai Gringsing Agung Sedayu mengenal ilmu kesusasteraan, ilmu bintang-bintang dan sedikit tentang tata hubungan masyarakat. Bahkan Ki Sumangkar pun memberinya beberapa macam ilmu pengetahuan tentang hubungan dan sangkut pautnya penjabat-penjabat yang ada di dalam susunan pemerintahan dan ilmu tata pemerintahan itu sendiri. Hukum-hukum yang terdapat di dalam kitab-kitab yang ada dan hukum-hukum yang tidak tertulis tetapi berlaku dan dipatuhi oleh segala pihak di dalam masyarakat. Tetapi sampai saat ia menjelang hari-hari yang penting itu, ia masih belum menempatkan dirinya pada suatu kedudukan yang dapat memberinya jaminan hidup di hari-hari mendatang.
“Selama ini aku hanyalah seorang petualang. Guru agaknya seorang petualang juga yang tidak berpikir tentang keluarga dan peri kehidupan ini sebagai manusia biasa. Justru karena Guru sendiri tidak berkeluarga,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.
“Tetapi meskipun bertualang bersama, namun Swandaru mempunyai kedudukan lain. Ia sudah pasti akan memasuki hari depan yang jauh lebih baik dari hari depanku, karena ia seorang yang akan menerima warisan kedudukan ayahnya. Seorang Demang di daerah yang sesubur Sangkal Putung.”

Agung Sedayu yang gelisah itu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Dicobanya untuk mengusir kegelisahan itu dengan mengenang peristiwa dan persoalan yang memberinya kegembiraan dan kebanggaan. Tetapi setiap kali ia selalu gagal, sehingga karena itu, ia masih saja tidak dapat tidur senyenyak Swandaru. Maka setiap kali keduanya berbincang tentang diri mereka sendiri dan tentang masa depan mereka, Agung Sedayu selalu dipacu oleh kegelisahan yang mencengkam. Namun ia selalu berusaha menyembunyikan perasaan itu, dan menanggapi persoalan-persoalan yang dilontarkan oleh Swandaru.
Di hari-hari berikutnya, maka Untara pun mulai menjalankan tugasnya seperti biasa. Tetapi ia tidak lagi tinggal di rumahnya yang dihuni oleh para perwira. Meskipun setiap hari ia datang juga ke rumah itu, tetapi di sore hari ia kembali ke rumah Widura yang untuk sementara dipergunakannya sebagai tempat tinggal.
Dalam pada itu, selagi Untara sudah mulai menjalankan tugasnya seperti biasa, maka Kiai Gringsing dan kedua muridnya beserta Sumangkar merasa bahwa tidak ada lagi masalah yang harus dihadapinya di Jati Anom, sehingga mereka pun minta diri kepada Untara dan Widura untuk kembali ke Sangkal Putung.
“Kenapa di Sangkal Putung?” Tetapi Untara masih saja bertanya, “Bukankah bagi Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar, Sangkal Putung dan Jati Anom tidak ada bedanya, dan bahkan bagi Agung Sedayu, Jati Anom adalah kampung kelahirannya sedang Swandaru pun tidak akan berkeberatan untuk hilir-mudik karena gurunya berada di sini, dan jaraknya pun tidak begitu jauh?”
Kiai Gringsing tersenyum. Katanya,
“Sebenarnyalah bahwa bagiku tidak ada bedanya. Apakah aku berada di Sangkal Putung, Jati Anom, atau kembali kepondokku yang barangkali sekarang sudah hampir roboh di Dukuh Pakuwon. Tetapi sebaiknya aku pergi ke Sangkal Putung lebih dahulu. Seterusnya, Dukuh Pakuwon adalah tempat yang paling baik bagiku. Ada sebidang tanah, sebuah gubug kecil dan tetangga-tetangga yang baik. Mereka mengenal aku sebagai seorang dukun bernama Tanu Metir.”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Tetapi pada suatu saat, Agung Sedayu tentu akan memerlukan Anakmas Untara dan Widura. Ia pun sudah menjadi dewasa sekarang.”
“Tentu kami tidak akan berkeberatan. Adalah kewajibanku untuk melayani kepentingan Agung Sedayu, apalagi setelah aku berpengalaman. Paman Widura pun pasti akan dengan senang hati melakukannya, karena Agung Sedayu dan aku tidak ada bedanya bagi Paman Widura dalam hubungan keluarga.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu,
“Tetapi di samping Agung Sedayu, masih ada lagi yang harus kami selesaikan dalam hal yang serupa.”
“Siapa?”
“Swandaru.”
“He, kau juga?”
“Kami harus pergi ke Menoreh.”
“Jauh sekali. Itulah sebabnya kalian berada di sana dalam waktu yang lama. Aku memang pernah mendengar, tetapi sekedar desas-desus. Kini Adi Swandaru tidak membantah.”
Swandaru hanya menarik nafas dalam-dalam.
“Selain hal itu,” berkata Kiai Gringsing,
“jika aku pergi ke Menoreh, maka aku akan dapat singgah menemui Ki Lurah Branjangan. Tetapi mungkin sebelum aku menemuinya ia sudah datang kembali ke Jati Anom. Seperti yang dipesankannya, ia ingin membawa satu atau dua orang tawanan itu. Ia harus meyakinkan kepada Raden Sutawijaya bahwa hal itu telah benar-benar terjadi.”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu ia pun bertanya,
“Jadi menurut Kiai, ada gunanya jika satu dua orang dari mereka dibawa ke Mataram?”
“Ada. Kedua belah pihak menyadari bahwa ada pihak ketiga yang sengaja menjauhkan jarak antara Pajang dan Mataram. Dan hal itu sangat berbahaya, baik bagi Mataram mau pun bagi Pajang.”

Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia pun mengakui bahwa yang terjadi itu berbahaya sekali seandainya tidak seorang pun yang dapat menjelaskan apa yang sebenarnya mereka hadapi. Karena itu maka katanya,
“Baiklah Kiai. Jika demikian, apabila Ki Lurah Branjangan segera kembali, aku akan menyerahkan satu dua orang kepadanya, agar ia dapat membawanya kepada Raden Sutawijaya.”
“Ya. Mudah-mudahan Sutawijaya pun menyadari, sehingga ia ikut menjaga agar antara Pajang dan Mataram pada suatu saat akan terjalin pengertian yang mendalam.”
“Ya,” sahut Untara.
“Dengan demikian maka Mataram dan Pajang akan menghormati kedudukan mereka masing-masing.”
Untara mengerutkan keningnya. Lalu katanya,
“Ya. Mataram dan Pajang harus menghormati kedudukan mereka masing-masing. Mataram harus merasa bahwa Mataram berada di bawah lingkungan kesatuan Pajang yang besar, dan Pajang pun merasa wajib melindungi kesatuan itu. Itulah yang disebut saling menghormati dalam kedudukan masing-masing. Sikap yang lain daripada itu, tidak akan dapat diterima.”
Sesuatu berdesir di dada Kiai Gringsing. Namun ia pun mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata,
“Ya begitulah.”
“Tidak ada kemungkinan lain, Kiai. Demikian juga jika orang-orang itu dibawa menghadap Raden Sutawijaya. Orang-orang itu akan meyakinkan bahwa sebenarnya ada pihak yang ingin mendorong Mataram untuk menjauh dari Pajang. Dengan tidak langsung mereka membuat kesan bahwa Mataram sudah memberontak. Karena itu Mataram harus dapat menunjukkan kesetiaannya kepada Pajang, agar usaha pihak ketiga untuk menumbuhkan kesan pemberontakan itu dapat dilenyapkan.”
Kiai Gringsing mengangguk-angguk pula. Ia tidak dapat bersikap lain di hadapan Untara. Untara adalah seorang Senapati yang berdiri di atas segala macam sikap. Ia adalah seorang prajurit yang utuh. Karena itu, maka Kiai Gringsing tidak akan dapat berbicara dengan Untara selain mendengarkan pendapatnya sebagai seorang Senapati.
“Kiai,” berkata Untara kemudian,
“alangkah besar jasa Kiai Gringsing, jika Kiai dapat mempergunakan pengaruh Kiai untuk memberikan kesadaran kepada Raden Sutawijaya bahwa sikapnya selama ini memang dapat menimbulkan kesan yang kurang baik bagi Pajang. Menurut keterangan yang aku dengar, karena ia terlampau sibuk maka Raden Sutawijaya itu belum sempat menghadap Sultan di Pajang yang kebetulan adalah ayah angkatnya sendiri. Ayah angkat yang sangat mengasihinya. Selain hal itu kurang baik bagi seorang pejabat tinggi di Pajang yang mendapat wewenang atas Mataram, juga kurang baik bagi seorang anak yang setia dan mengenal terima kasih kepada ayahnya.”

Kiai Gringsing masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun terasa dadanya menjadi berdebar-debar. Ketika ia memandang kedua muridnya dengan sudut matanya, maka dilihatnya wajah Swandaru yang agak berkerut, sedang Agung Sedayu berusaha untuk tidak memberikan kesan apa pun mendengar kata-kata Untara itu. Kiai Gringsing tidak mengetahui, perasaan apakah yang bergejolak di dada Sumangkar. Seorang tua yang pernah berada di pihak Jipang ketika perang antara Jipang dan Pajang pecah. Namun yang kemudian mendapat pengampunan dan bahkan seluruh kebebasannya kembali, karena ternyata ia tidak begitu banyak terlibat dalam perlawanan atas Pajang. Apalagi setelah pasukan Jipang tercerai berai.
“Baiklah, Anakmas Untara,” berkata Kiai Gringsing,
“aku akan menyampaikan semua pesan itu jika kelak aku pergi ke Menoreh. Atau jika aku diminta ikut pergi ke Menoreh. Yang penting harus pergi ke Menoreh adalah ayah Swandaru. Mungkin ia tidak dapat pergi berdua dengan Nyai Demang karena perjalanan yang jauh dan sulit. Sehingga Ki Demang agaknya akan mengajak kawan lain selama perjalanan.”
“Terima kasih, Kiai. Aku kira Raden Sutawijaya adalah seorang yang berjiwa besar. Demikian juga Ki Gede Pemanahan. Kelambatan saat menyerahkan Alas Mentaok yang dijanjikan tentu tidak akan menimbulkan kegusaran di dalam hati. Sedang sebenarnya kelambatan itu pun didasari pada perasaan kasih Sultan Pajang kepada putera angkatnya itu. Sultan Pajang akan menyerahkan bumi Mentaok kepada Raden Sutawijaya setelah bumi Mentaok menjadi ramai. Tetapi Ki Gede Pemanahan agaknya salah paham dan memaksa Sultan untuk segera menyerahkannya.”
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya Kiai Gringsing berkata,
“Aku akan berusaha mengatakan hal ini langsung kepada Raden Sutawijaya kelak.”
“Terima kasih, Kiai. Hormatku kepada Ki Gede Pemanahan dan Raden Sutawijaya disertai ucapan terima kasih yang tidak terhingga atas pemberiannya. Mudah-mudahan Mataram tidak menyulitkan kedudukanku sebagai seorang senapati yang langsung beradu hidung dengan daerah baru yang dibuka itu. Pada saat yang tepat tentu kami akan datang ke Mataram memberikan perlindungan jika Mataram benar-benar ada di dalam bahaya. Selama ini Mataram masih mampu mengatasinya sendiri, dan membinasakan Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak dengan bantuan Kiai. Jika perlu kami akan ikut menyingkirkan bahaya yang lebih besar dan berada di luar kemampuan Mataram untuk mengatasinya.”
Kiai Gringsing masih juga mengangguk,
“Baiklah, Anakmas. Aku akan menyampaikan semua pesan itu. Dan aku pun mengharap agar semua persoalan dapat teratasi dengan baik. Soal yang menyangkut kepentingan bagi kedua belah pihak dalam kedudukannya masing-masing.”

Akhirnya Kiai Gringsing dan kedua muridnya dan Sumangkar pun mohon diri. Mereka minta diri pula untuk pergi ke Menoreh pada suatu saat yang baik. Jika mereka tidak ada waktu, maka mereka tidak akan singgah dahulu ke Jati Anom.
“Kau harus segera kembali, Agung Sedayu,” berkata Untara.
“Jika kau memang akan segera kawin, kau jangan terus-menerus bertualang. Isterimu tentu tidak akan cukup kau tinggal menjelajahi tanah ini. Kau harus mapan dan mempunyai kedudukan yang baik. Bukan berarti kau harus menjadi seorang perwira tinggi sekaligus, tetapi kedudukan yang bagaimana pun rendahnya, asal kau mempunyai kemungkinan yang terang di hari mendatang.”
“Baik, Kakang,” sahut Agung Sedayu, setuju atau tidak setuju.
“Dan Adi Swandaru pun aku harapkan agar segera berada di kademangannya kembali. Sangkal Putung akan tetap merupakan daerah yang penting dipandang dari segala segi sesuai dengan letaknya dan daerahnya yang subur.”
“Ya, ya,” sahut Swandaru pula, “aku akan segera kembali.”
“Apakah Ki Sumangkar akan ikut pergi Ke Menoreh?” bertanya Untara kemudian.
“Aku tidak tahu, Anakmas. Tergantung Ki Demang di Sangkal Putung. Apakah aku akan dibawanya atau tidak.”
“Apakah Ki Sumangkar sudah menjadi bebahu Kademangan Sangkal Putung?”
Ki Sumangkar mengerutkan keningnya. Namun sambil mengangkat wajahnya ia berkata,
“Bukan, Anakmas, tetapi aku sekarang sudah dianggap keluarga sendiri oleh Ki Demang, apalagi aku memang sudah lama berada di rumahnya.”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu,
“Baiklah. Selamat jalan. Jangan lupa, apabila kalian singgah di Mataram, hormatku bagi Ki Gede Pemanahan dan Raden Sutawijaya serta ucapan terima kasih yang tidak terhingga. Dan sebagai seorang senapati aku akan selalu bersedia melindungi daerah itu dari kesulitan apabila diperlukan.”
“Baiklah, Anakmas,” berkata Kiai Gringsing,
“mudah-mudahan Jati Anom pun selalu aman dan tenteram. Mudah-mudahan peristiwa yang mengejutkan itu tidak terulang kembali.”
“Kami akan selalu bersiap menghadapi segala kemungkinan. Tetapi kami mengucapkan terima kasih atas segala bantuan Kiai, dan terutama bahwa Kiai seolah-olah telah menyelamatkan Jati Anom dalam suasana yang tetap tenang, karena di Jati Anom sedang berlangsung perhelatan. Tanpa perhelatan itu, Jati Anom tidak akan gentar dilanda oleh huru-hara yang bagaimana pun ricuh dan ributnya. Namun demikian, mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu apa pun lagi di daerah ini. Tidak terganggu oleh orang yang mengaku berasal dari Mataram dan oleh orang-orang Mataram yang sebenarnya.”

Orang-orang yang mendengarkan kata-kata Untara itu hanya menarik nafas dalam-dalam. Mereka sadar bahwa mereka berbicara dengan seorang prajurit. Setelah beberapa hari Untara melampaui hari-hari perkawinannya, ia telah berdiri di atas landasannya semula. Seorang senapati yang bertugas di daerah Selatan dari Kerajaan Pajang. Kiai Gringsing bersama kedua muridnya dan Ki Sumangkar pun meninggalkan Jati Anom. Meskipun Untara sudah menjadi semakin banyak tertawa dan bergurau, tetapi ia masih tetap seorang perwira. Kedatangan Kiai Gringsing dan rombongan kecilnya di Sangkal Putung telah disambut dengan gembira oleh Ki Demang. Dengan serta-merta mereka pun segera dipersilahkan naik ke pendapa.
“Aku kira Kiai berdua serta kedua anak-anak muda itu akan segera kembali,” berkata Ki Demang.
“Kami terpaksa memenuhi permintaan Anakmas Untara untuk tinggal di Jati Anom beberapa hari Ki Demang.”


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar