Satu di belakang, satu di sisi kanan dan yang satu di sisi kiri. Ternyata menurut pertimbanganku, tenaga kalian akan sangat diperlukan. Jika aku yang ada di dalam memerlukan, aku akan memberikan isyarat. Pemimpin kelompok itu sendiri akan berada di gardu sebagai salah satu sasaran utama sergapan para penyerang itu.”
Pemimpin
kelompok prajurit pilihan dan para perwira itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dengan demikian, maka yang akan ada di dalam rumah itu hanyalah Ki Ranadana
dengan beberapa orang yang sama sekali bukan prajurit, meskipun ada di antara
mereka adalah Agung Sedayu, adik Senapati Besar yang menguasai daerah Selatan
ini. Sejenak kemudian, maka pemimpin kelompok itu pun telah memberikan
penjelasan kepada prajurit-prajuritnya. Dengan cepat ia membagi kelompoknya
menjadi empat kelompok yang lebih kecil yang masing-masing akan dipimpin
langsung oleh seorang perwira, sedang pemimpin kelompok itu sendiri akan berada
di gardu depan, seperti penjagaan yang biasa dilakukan setiap hari atas rumah
Untara yang dipakai sebagai tempat tinggal para perwira itu. Tetapi pemimpin
kelompok itu tidak mau lengah. Sergapan itu dapat datang setiap saat dari arah
yang tidak terduga-duga. Tidak dapat dipastikan bahwa para penyerang itu akan
masuk lewat kebun belakang. Mungkin mereka justru masuk lewat gerbang depan dan
langsung menyerang para penjaga di gardu itu. Karena itu, maka selain mereka
yang ada di gardu, pemimpin kelompok itu telah menempatkan beberapa orang di
tempat yang terlindung, bahkan tiga orang terpencar di luar halaman, di
seberang jalan. Mereka duduk di atas sebatang dahan yang tidak terlalu tinggi,
tetapi cukup terlindung oleh segerumbul dedaunan di dalam gelapnya malam. Ketiga
orang yang terpencar itu harus mengawasi jalan dan halaman rumah di seberang
jalan. Mungkin para penyerang itu akan datang lewat halaman itu. Jika tidak,
maka mereka akan dapat menjadi tenaga cadangan apabila dengan tiba-tiba saja
para penyerang itu menyergap gardu. Selain tiga orang itu, maka ditempatkannya
juga dua orang setiap sudut depan, sehingga ada empat orang yang tidak berada
di gardu selain tiga orang yang berada di seberang jalan. Demikianlah, mereka
memasuki malam yang semakin dalam dengan dada yang tegang. Setiap kejap
rasa-rasanya terlampau lama berjalan. Dan karena itu, malam menjadi sangat
panjang.
Di dalam rumah
itu, Ki Ranadana masih duduk sejenak bersama Kiai Gringsing, kedua muridnya dan
Ki Sumangkar. Mereka masih berbincang tentang beberapa hal, sebelum mereka
membagi ruangan, di mana mereka akan tidur.
“Aku akan
berada di bilik sebelah bersama Ki Sumangkar,” berkata Ki Ranadana,
“sedang Kiai
Gringsing bersama kedua muridnya akan mempergunakan bilik yang satu.”
Tiba-tiba saja
Agung Sedayu menyahut,
“Di dalam
bilik itu pula aku tidur ketika aku masih kanak-kanak.”
Kiai Gringsing
tersenyum. Demikian pula Ki Ranadana dan Ki Sumangkar. Sedang Swandaru
menyahut,
“Bukankah kau
sekarang masih juga kanak-kanak.”
Agung Sedayu
mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menjawab. Dipandanginya saja Swandaru
yang masih tertawa kecil.
“Kau akan
diprimpeni nanti malam,” berkata Sedayu kemudian.
“Hati-hatilah
di rumah ini.”
Swandaru masih
saja tertawa. Tetapi ia tidak menjawab. Demikianlah mereka memasuki bilik
masing-masing. Kiai Gringsing dan kedua muridnya berada di satu bilik, sedang
Ki Ranadana dan Ki Sumangkar di bilik yang lain.
“Kita harus
seakan-akan tertidur nyenyak jika mereka datang,” berkata Ki Ranadana.
Ki Sumangkar
menganggukkan kepalanya. Katanya,
“Aku
benar-benar mengantuk. Beberapa malam terakhir aku kurang sekali tidur.”
“Tetapi orang
seperti Ki Sumangkar ini dapat tidak tidur terus menerus lima hari lima malam.”
“Jika memang
harus demikian. Tetapi kekuatan seseorang ada juga batasnya. Aku pernah tidur
sambil berjalan selagi aku masih mengikuti pasukan Tohpati. Tetapi aku dapat
bangun dan berbuat sesuatu setiap saat.”
“Itulah kelebihanmu,”
Ki Ranadana tersenyum.
“Jika demikian
silahkan tidur. Ki Sumangkar akan terbangun setiap saat dan akan segera dapat
berbuat sesuatu.”
Sumangkar
hanya tersenyum saja. Tetapi ia benar-benar ingin tidur sebelum orang-orang
yang ditunggunya itu datang. Menurut perhitungan Sumangkar, mereka baru akan
datang di sekitar tengah malam. Namun seandainya lebih awal, Ki Ranadana pasti
akan membangunkannya. Di bilik yang lain, Kiai Gringsing memang menyuruh kedua
muridnya untuk tidur. Mereka pun kurang tidur beberapa malam terakhir. Mereka
tidak dapat tidur nyenyak di rumah Widura yang sedang sibuk, tetapi juga selagi
mereka mengikuti orang-orang yang akan menyerang Jati Anom itu.
“Aku akan
membangunkan kalian jika terjadi sesuatu,” berkata gurunya.
Dalam pada
itu, di Pengging, sambutan atas kedatangan Untara ternyata dilakukan dengan
megah dan meriah. Beberapa orang sanak kadang pengantin perempuan telah siap
menunggunya di rumah yang sudah ditentukan. Tidak jauh dari rumah pengantin
perempuan. Hanya karena keadaan yang mendesak oleh kegawatan dan ketegangan
yang timbul di daerah sekitar Alas Tambak Baya dan Mentaok sajalah, yang
membuat pihak Untara tidak mematuhi kebiasaan. Ia tidak tinggal selama empat
puluh hari empat puluh malam di rumah bakal mertuanya untuk ngenger. Tetapi ia
datang sehari sebelum upacara perkawinan itu berlangsung. Di malam hari
menjelang hari perkawinan, Untara duduk dikelilingi oleh sanak keluarga
pengantin perempuan. Dan karena ayah pengantin perempuan adalah seorang Perwira
Pajang pula, maka baik yang mengantar maupun yang menyambut, selain keluarga mereka,
adalah perwira-perwira prajurit Pajang. Demikianlah mereka berbicara
seakan-akan tanpa ujung dan pangkal. Perwira yang masih muda dengan riuhnya
menggoda Untara yang besok akan mengenakan pakaian kebesaran seorang pengantin
laki-laki. Dengan tersipu-sipu Untara menanggapi kelakar kawannya. Meskipun
kadang-kadang angan-angannya terbang kembali ke Jati Anom, namun tampaknya ia
selalu tersenyum dan tertawa. Tetapi kadang-kadang saja ia termenung jika
tiba-tiba ia seolah-olah sadar, bahwa malam itulah Jati Anom akan mengalami
serangan yang sangat berbahaya. Bukan dari segi pengamanan daerah karena
kekuatan penyerang itu tidak cukup besar, tetapi justru dari segi lain. Dari
segi hubungan antara Pajang dan Mataram.
“Jika ada
seorang saja perwira yang terbunuh, maka hal itu sudah cukup alasan membakar
setiap hati prajurit di seluruh Pajang untuk menyerang Mataram,” berkata Untara
di dalam hatinya.
Tetapi setiap
kali ia seolah-olah terperanjat ketika tiba-tiba saja seorang perwira muda
mengganggunya dengan kelakarnya yang segar. Tetapi pertemuan itu tidak
berlangsung lama. Orang tua-tua segera memperingatkan, bahwa Untara pasti masih
sangat lelah. Karena itu, pertemuan itu tidak dilanjutkan. Meskipun masih juga
agak kecewa, kawan-kawan Untara pun segera meninggalkan rumah yang disiapkan
bagi Untara. Bagi kawan-kawannya yang mengiringkannya dari Jati Anom pun telah
disediakan pula tempat untuk beristirahat. Namun demikian masih juga ada satu
dua orang perwira yang mengawani Untara duduk sambil menghirup minuman hangat.
Bahkan bakal mertuanya pun memerlukan datang menyambutnya dan berbicara
beberapa lamanya.
Meskipun
demikian, kegelisahan Untara rasa-rasanya semakin dalam menghunjam di
jantungnya sejalan dengan malam yang semakin kelam, sehingga akhirnya ia tidak
dapat menahannya lagi, betapapun ia berusaha. Apalagi di ruangan itu sudah
tidak ada orang lain kecuali bakal mertuanya dan beberapa orang perwira Pajang
yang terpercaya.
“Sebenarnya
aku sangat gelisah malam ini,” berkata Untara,
“hampir saja
aku menunda keberangkatanku.”
“Ah,” bakal
mertuanya berdesis.
“Seisi
padukuhan ini akan kecewa. Keluargaku akan kecewa dan kawan-kawan kita para
prajurit pun akan kecewa.”
“Tetapi aku
mempunyai alasan yang kuat. Justru sebagai seorang senapati.”
“Kenapa?”
bakal mertuanya mengerutkan keningnya.
Untara
ragu-ragu sejenak. Namun menurut pertimbangannya, tidak akan terjadi sesuatu
jika orang-orang yang ada di sekitarnya itu mengetahui apa yang akan terjadi di
Jati Anom, karena jarak antara Jati Anom dan Pengging tidak terlalu dekat. Apalagi
yang tinggal duduk bersama hanya beberapa orang yang paling dekat dengan
mertuanya saja. Sehingga dengan demikian, menurut pertimbangan Untara, sama
sekali tidak akan menimbulkan gangguan apa pun bagi para perwira di Jati Anom.
Bahkan dengan demikian ia akan dapat memberikan gambaran kepada mertuanya yang
seolah-olah dengan mutlak menolak kehadiran Mataram.
Meskipun masih
juga ragu-ragu, namun Untara akhirnya berkata,
“Di Jati Anom,
ada beberapa orang yang berusaha meneguk di dalam kekeruhan yang terjadi
sekarang ini.”
“Kekeruhan
yang manakah yang kau maksud? Apakah sebelum kau berangkat ada sanak kadangmu
yang mencoba mencatatkan atau merubah rencana hari-hari perkawinan ini?”
“Tidak, sama
sekali tidak,” berkata Untara.
“Kekeruhan itu
bukan di dalam rencana keberangkatanku. Tetapi justru karena rencana itu
berjalan lancar.”
“Aku kurang
mengerti.”
“Justru aku
berangkat ke Pengging inilah, maka ada sekelompok orang-orang yang akan
mempergunakan kesempatan. Mengganggu ketenangan Jati Anom.”
“Gila,” desis
Rangga Parasta, “tentu orang Mataram.”
“Bukan. Tetapi
mereka memang ingin meninggalkan kesan seolah-olah mereka adalah orang-orang
Mataram. Dengan demikian maka hubungan antara Mataram dan Pajang akan menjadi
kian memburuk bahkan lebih dari itu, mereka mengharapkan benturan langsung
antara Mataram dan Pajang.”
“Omong
kosong,” tiba-tiba Rangga Parasta memotong,
“mereka pasti
benar-benar orang Mataram. Aku tidak tahu, kenapa Sultan Adiwijaya masih
terlampau sabar menghadapi anak angkatnya yang begitu bengal. Sekarang ia
mempergunakan kesempatan kepergianmu itu untuk mengacaukan keadaan.” Rangga
Parasta berhenti sejenak, dan Untara sengaja membiarkan berbicara. Ia mengerti
bahwa jika pembicaraan itu diputus di tengah, ia akan menjadi semakin bersitegang.
Dan Rangga Parasta itu meneruskan,
“Jika kau
sudah mengetahui akan hal itu, apakah yang kau lakukan?”
Untara menarik
napas dalam-dalam. Lalu katanya,
“Yang perlu
aku ulangi adalah, mereka bukan orang Mataram.”
“Tidak. Tentu
orang Mataram.”
Akhirnya
Untara menjadi jengkel juga. Meskipun Rangga Parasta adalah bakal mertuanya,
tetapi Untara adalah senapati besar di daerah Selatan sehingga karena itu maka
katanya,
“Aku tahu
pasti, bahwa mereka bukan orang-orang Mataram. Aku akan membuktikannya sebagai
seorang senapati yang mendapat kepercayaan langsung dari Sultan Pajang. Dan aku
akan menemukan jawab siapakah mereka sebenarnya.”
Rangga Parasta
mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba saja ia menyadari bahwa bakal menantunya
itu adalah seorang senapati, sehingga ia tidak akan dapat berkata lebih pasti
daripadanya meskipun hatinya meyakininya. Namun demikian, ia masih juga
bertanya,
“Apakah yang
sudah kau lakukan sebelum kau berangkat?”
“Menyiapkan
jebakan. Malam ini semuanya itu akan terjadi, dan malam ini para perwira yang
aku percaya di Jati Anom akan dapat menarik kesimpulan, siapakah mereka
sebenarnya.”
Rangga Parasta
tidak membantah lagi. Tetapi di dalam hati ia berkata,
“Jika Untara
berhasil menangkap satu atau dua orang di antara mereka dalam keadaan hidup,
maka barulah akan terbuka matanya, bahwa Mataram memang harus dihadapi dengan
kekerasan. Tidak dengan senyum manis seorang ayah yang terlalu baik hati
terhadap seorang anak yang berkhianat.”
Namun Rangga
Parasta tidak berkata apa pun lagi. Dalam pada itu, selagi Untara berbicara
dengan Rangga Parasta, seorang perwira yang duduk di antara mereka tiba-tiba
saja menjadi sangat gelisah. Tetapi ia tetap berusaha untuk menghapuskan kesan
dari wajahnya. Bahkan ia masih tetap duduk untuk sesaat, sampai saatnya ia
berkata,
“Aku akan ke
belakang sebentar, Kakang Rangga.”
“Kenapa?”
“Ke pakiwan.”
“O, silahkan.”
Perwira itu
dengan tergesa-gesa meninggalkan lingkaran pembicaraan itu. Apalagi ketika ia
sudah turun ke halaman, langsung ia menghilang di dalam kegelapan. Dengan hati
yang gelisah, ia berlari-lari kecil mencari seseorang yang berada tidak begitu
jauh dari rumah Rangga Parasta.
“Gila,” ia
berkata dengan suara gemetar ketika ia berhasil menemukan kawannya,
“orang-orang
Jati Anom telah mencium rencana itu.”
“He? Darimana
kau tahu?”
“Sebelum
berangkat, Untara telah menyusun jebakan.”
“Omong kosong.
Rahasia itu disimpan cukup rapat.”
“Tetapi aku
mendengar dari mulut Untara sendiri. Kau jangan merendahkan Untara. Ia
mempunyai kemampuan yang tidak terduga-duga. Petugas sandinya adalah
petugas-petugas sandi yang terbaik di seluruh Pajang.”
“Jadi?”
“Batalkan.”
“Bagaimana
mungkin aku harus membatalkan.”
“Pergi ke Jati
Anom.”
“Aku tidak
akan dapat mencapai mereka. Mungkin mereka sekarang sudah mulai bergerak.”
“Berusaha.
Berusahalah. Pergi ke Jati Anom dengan seekor kuda yang dapat berlari paling
cepat. Ajak seorang kawan, dan segera kembali.”
“Pengging ke
Jati Anom bukan jarak yang dekat sekali.”
“Pergi.
Berusahalah membatalkan rencana itu. Atau, jika mungkin, hilangkan jejak
mereka.”
Orang yang
diajak berbicara oleh perwira itu masih terdiri termangu-mangu. Adalah tidak
mungkin lagi untuk berusaha apa pun juga. Apalagi berusaha membatalkan rencana
itu, karena orang-orang yang mendapat tugas untuk melakukan pembunuhan terhadap
para perwira yang masih ada di jati Anom itu pasti sudah bergerak. Namun selagi
orang itu masih kebingungan perwira itu membentaknya,
“Berangkat
sekarang. Apa pun yang dapat kau lakukan. Cepat.”
Orang itu
tidak mau berpikir lagi. Meskipun ia sadar, bahwa tidak banyak yang dapat
dilakukan, maka ia pun segera berlari-lari pergi ke rumah seorang kawannya. Berkuda
keduanya berpacu ke Jati Anom. Mereka mengharap bahwa kawan-kawannya di Jati
Anom terlambat bergerak sehingga ia masih sempat menggagalkan mereka, karena
ternyata Untara telah memasang sebuah jebakan bagi mereka. Karena itu, maka
mereka pun telah memacu kuda mereka secepat-cepat dapat dilakukan, dan
kuda-kuda itu pun berlari seperti dikejar hantu. Malam yang gelap menjadi
semakin gelap. Di langit bintang-bintang bertaburan dari ujung sampai keujung.
Angin malam yang dingin bertiup dari Selatan menyapu hutan-hutan kecil yang
bertebaran. Namun kedua orang yang berkuda itu ternyata telah basah oleh
keringat yang mengembun dari wajah-wajah kulitnya. Bukan saja karena mereka
harus berpacu dengan waktu, tetapi juga karena kegelisahan yang mencengkam
hati.
“Apakah masih
ada harapan untuk melakukannya?” bertanya salah seorang dari mereka.
“Kita
berusaha. Apa pun yang akan terjadi atas kuda-kuda kita. Mungkin kuda-kuda ini
akan kehabisan napas.”
“Tetapi
sia-sia. Mereka pasti sudah mulai bergerak.”
Kawannya tidak
menyahut. Satu-satunya harapan adalah jika ada perubahan rencana, sehingga
gerakan mereka mundur sampai jauh lewat tengah malam. Jika tidak, maka
perjalanan yang melelahkan itu akan sia-sia.
Dalam pada itu
di Jati Anom, sekelompok orang-orang yang tidak dikenal justru telah mulai
bergerak. Mereka telah berada di Lemah Cengkar dan berjalan beriringan. Mereka
akan memasuki Jati Anom dari Utara. Namun tiba-tiba saja dua orang yang
mendapat tugas mengawasi jalan yang akan mereka lalui, memberikan isyarat
kepada kawan-kawannya untuk berhenti dan bersembunyi. Dengan memperdengarkan
suara burung bence, keduanya memberikan petunjuk kepada kawan-kawannya bahwa
ada bahaya di depan mereka.
Ternyata kedua
orang itu melihat sekelompok kecil peronda prajurit berkuda Pajang lewat.
“Gila,” desis
pemimpin kelompok para penyerang itu,
“kenapa mereka
meronda malam ini? Biasanya mereka tidak meronda sampai ke daerah ini.”
“Justru karena
Untara tidak ada. Kiranya Untara telah berpesan kepada pasukan yang
ditinggalkan agar mereka menjadi semakin berhati-hati dan meningkatkan
perondaan di seluruh Jati Anom. Kemarin ada juga beberapa peronda berkuda yang
sampai ke sebelan hutan di sisi jalan ke Selatan.”
“Apakah Untara
sudah mencium gerakan kita?”
“Sore tadi dua
orang petugas sandi kita lewat daerah Jati Anom. Tidak ada tanda-tanda
pemusatan pasukan yang berarti. Mereka memang meningkatkan penjagaan, tetapi
tidak lebih dari sikap hati-hati justru karena Untara tidak ada. Jika mereka
telah mencium rencana kita, maka di rumah Untara itu pasti sudah dipasang
pasukan yang kuat dan mungkin di luar padukuhan. Tetapi prajurit Pajang masih
saja berkeliaran di muka banjar, dan beberapa orang perwira masih berada di
rumah Untara itu.”
Pemimpin
kelompok itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Barangkali
sekarang Untara sedang menikmati makan bersama keluarga pengantin perempuan
itu. Di sini beberapa orang kawannya akan mati dibantai orang. Kita harus
berhasil. Beberapa orang kita yang berada lingkungan keprajuritan malam ini
akan selalu mendampingi Untara, setidak-tidaknya akan mengawasinya di Pengging.
Jika ada perubahan rencana yang mencurigakan, mereka akan mengirimkan beberapa
orang untuk memberitahukan kepada kita di sini.”
“Tidak ada
seorang pun yang datang. Tentu rencana perkawinan itu berlangsung seperti yang
telah disusun. Memang tidak mudah untuk merubah rencana perkawinan apa pun yang
terjadi. Apalagi pengaruh orang-orang kita atas Rangga Parasta akan
menentukan.”
“Ya. Kita
tidak boleh mengulangi kegagalan yang pernah terjadi di Alas Mentaok.”
“Tentu tidak.
Meskipun kita berada di lingkungan prajurit Pajang, tetapi sebenarnya tugas
kita tidak lebih berat dari tugas Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak.”
Pemimpin
kelompok penyerang itu mengangguk-angguk. Kemudian dipandanginya seorang yang
hampir tidak pernah berbicara apa pun. Wajahnya yang tegang dan kasar,
melontarkan kesan yang khusus pada orang itu.
“Jangan
seorang pun yang salah langkah. Ingat, setidaknya kau harus berhasil membunuh
seorang perwira.”
Orang itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Aku tidak
sebodoh Kiai Telapak Jalak dan Kiai Damar.”
“Tentu tidak
sia-sia Ki Lurah mengirimkan kau kemari.”
Orang itu
tidak menyahut.
“Tetapi jangan
meremehkan para perwira itu.”
“Aku dapat
membunuh empat orang sekaligus. Jika kalian dapat membendung bantuan
prajurit-prajurit Pajang yang bertugas menjaga rumah itu, maka para perwira itu
akan aku bunuh. Aku hanya memerlukan lima enam orang untuk mengikat mereka
dalam perkelahian sebelum aku sempat membunuh mereka seorang demi seorang.”
Pemimpin
kelompok penyerang itu mengerutkan keningnya. Dipandanginya orang berwajah kasar
itu. Namun kemudian katanya,
“Itulah kelemahanmu.
Kau menganggap dirimu dapat membunuh empat orang perwira sekaligus apabila kau
mendapat kesempatan. Kau hanya memerlukan orang lain menahan mereka agar tidak
lari, supaya kau dapat membunuhnya.”
“Kenapa?”
orang itu bertanya.
“Membunuh
empat orang perwira sekaligus, meskipun seorang demi seorang, bukan pekerjaan
yang mudah. Seorang perwira Pajang memiliki nilainya tersendiri.”
Orang itu
tidak segera menjawab.
“Dan aku
memang tidak hanya menyiapkan kau sendiri untuk menghadapi perwira-perwira itu.
Sudah aku katakan, setidak-tidaknya kau harus membunuh seorang. Aku akan
membunuh seorang di antara mereka. Tetapi kalau kau ingin menghadapi lebih dari
seorang perwira, maka kaulah yang akan terbunuh.”
Orang berwajah
kasar itu tidak menjawab. Tetapi di dalam hati ia berkata,
“Orang-orang
ini belum mengenal siapa aku. Perwira Pajang bukan orang-orang ajaib. Dan aku
akan membunuh mereka.”
Sesaat
kemudian, dua orang yang berjalan mendahului mereka pun segera memberikan
isyarat, bahwa orang-orang berkuda itu sudah menjauh. Dengan bunyi yang sama
tetapi dalam irama yang lain, pemimpin kelompok itu segera mengetahui, bahwa
mereka dapat meneruskan perjalanan. Dengan melewati semak-semak belukar dan
kadang-kadang semak-semak berduri mereka merayap mendekati Jati Anom justru dari
arah Utara. Menurut rencana, mereka akan memasuki padukuhan itu seorang demi
seorang, agar para peronda tidak dengan mudah melihat kehadiran mereka. Seperti
yang sudah mereka rencanakan, mereka akan berkumpul di kebun di belakang rumah
Untara. Selanjutnya mereka akan memanjat dinding batu yang tidak begitu tinggi
dan memasuki rumah yang dipergunakan oleh para perwira-perwira itu.
“Kami tidak
dapat mengetahui dengan pasti, ada berapa orang yang masih tinggal di rumah
itu,” desis pemimpin gerombolan penyerang itu.
“Lima atau
enam menurut dugaan terakhir,” berkata salah seorang dari pembantunya.
“Tidak. Tentu
kurang dari itu. Tentu di antara mereka ada yang bertugas menangani para
peronda di malam itu, yang lain bertugas mengawasi para prajurit di banjar dan
yang lain tentu ada yang mengawani Widura,” sahut yang lain.
“Tetapi jangan
menilai mereka menurut ukuran yang rendah. Kita anggap saja ada enam orang di
dalam rumah itu. Selain aku dan kepercayaan Ki Lurah itu, kalian yang bertugas
di dalam rumah harus benar-benar mempersiapkan diri. Meskipun kalian tidak
berhasil membunuh, namun kalian harus berhasil memberi kesempatan kepada kami
untuk membunuh. Kami mengharap semuanya dapat terbunuh, selain yang sengaja
kita hidupi agar ia dapat bercerita tentang orang-orang Mataram yang menyerang
mereka dengan tiba-tiba,” berkata pemimpin gerombolan itu.
Mereka terdiam
ketika mereka menjadi semakin dekat dengan padukuhan Jati Anom. Namun sekali,
lagi mereka mendengar isyarat agar mereka berhenti sejenak. Pemimpin gerombolan
itu tidak begitu sabar menunggu. Karena itu maka ia pun merayap maju mendekati
kedua orang yang ditugaskannya untuk mendahului perjalanan mereka.
“Kenapa?”
bertanya pemimpin rombongan itu.
“Api itu,”
desis salah seorang dari petugas yang mendahului gerombolannya.
Pemimpin
gerombolan itu mengerutkan keningnya. Kemudian mengumpat,
“Kenapa para
peronda itu menyalakan api besar-besar.”
Kedua
petugasnya tidak menjawab.
“Mendekatlah.
Lihat apa yang mereka lakukan. Dan kenapa mereka bercakap-cakap begitu keras
dan riuhnya?”
Kedua petugas
itu pun kemudian merayap dengan hati-hati mendekati sebuah gardu peronda. Dari
jarak yang tidak terlalu jauh keduanya melihat para prajurit Pajang yang
meronda bersama beberapa orang anak muda sedang berkelakar dengan ramainya.
Agaknya mereka mendapat kiriman makanan dari rumah Widura, sehingga mereka
menjadi sangat ribut. Apalagi ada di antara mereka yang dengan diam-diam
membawa sebumbung tuak.
“He,” pemimpin
peronda itu membentak,
“kau membawa
tuak?”
“Hanya
sedikit. Malam terlalu dingin. Marilah, minumlah lebih dahulu.”
“Tidak. Aku
tidak mau.”
“Malam ini
adalah malam yang sangat menyenangkan. Ki Untara menjelang hari-hari yang
bahagia di Pengging. Dan kita ikut merayakannya di sini.”
Ternyata para
prajurit dan anak-anak muda itu seakan-akan mendapat kesempatan untuk melupakan
ketegangan sehari-hari. Mereka bersuka-ria dan satu dua di antara mereka
meneguk tuak dari bumbung itu.
“Bukankah kita
sudah mendapat peringatan, agar kita berwaspada?” berkata pemimpin peronda itu.
“Kami tidak
apa-apa. Kami akan dapat menjalankan tugas kami dengan baik. Bukankah api itu
memberikan penerangan di sekitar gardu ini, sehingga kita akan dapat melihat
apabila ada orang yang mendekat.”
Pemimpin
peronda itu tidak menyahut lagi. Tetapi ia tetap sadar bahwa ia harus
berhati-hati. Ketika pemimpin gerombolan penyerang mendengar laporan itu, ia
pun mengumpat-umpat. Dengan demikian berarti rencananya harus tertunda, atau
mereka mencari jalan lain untuk memasuki padukuhan itu, justru karena api yang
menyala itu. Tetapi hampir di setiap lorong terdapat gardu-gardu peronda
semacam itu.
“Kita menunggu
sejenak sampai api itu redup. Kita akan tetap memasuki Jati Anom menurut
rencana. Seorang demi seorang akan meloncati dinding batu yang rendah itu,”
berkata pemimpin gerombolan itu.
Beberapa orang
di antara mereka justru menjadi gelisah. Mereka ingin segera memasuki Jati Anom
dan menjajagi kemampuan prajurit Pajang dan perwira-perwiranya. Dalam pada itu,
dua ekor kuda sedang berpacu seperti angin. Mereka berusaha untuk
secepat-cepatnya mencapai Jati Anom. Tetapi jarak yang mereka tempuh masih
jauh. Apalagi malam gelapnya bukan kepalang. Sehingga karena itu, kadang-kadang
kuda-kuda itu pun terpaksa memperlambat langkah kakinya jika jalan yang
dilaluinya menjadi sulit.
“Mudah-mudahan
mereka tertunda oleh sesuatu hal,” bergumam salah seorang dari keduanya.
“Hanya apabila
terjadi sebuah keajaiban,” sahut yang lain.
Keduanya tidak
berbicara lagi. Kuda mereka berpacu terus menembus gelapnya malam yang pekat.
Di Jati Anom
gerombolan orang-orang yang akan menyerang rumah Untara masih harus menunggu
sejenak. Meskipun mereka mulai menjadi jemu dan mengumpat-umpat, namun pemimpin
mereka berkata,
“Kita menunggu
sejenak. Kita tidak dapat mencari jalan lain.”
“Bukankah ada
dua jalan yang kemarin kita perbincangkan?” berkata salah seorang dari mereka.
“Kenapa dengan
dua jalan.”
“Yang lain,
kita langsung datang dari arah Timur.”
Tetapi pemimpinnya
menggeleng. Katanya,
“Kita sudah
mematangkan rencana kita. Kita tidak dapat merubah begitu saja. Karena itu,
kita harus bersabar sebentar. Justru yang mereka lakukan itu akan menguntungkan
kita. Mereka akan kelelahan dan langsung menjadi lengah. Mungkin di bagian
lain, penjaga-jaganya lebih berwaspada dari penjaga-jaga yang tidak menepati
perintah itu.”
Tidak ada lagi
yang membantah. Mereka sadar, bahwa mereka harus mentaati perintah itu tanpa
banyak persoalan. Karena itu mereka pun segera berpencar dan duduk bersandar
dahan-dahan kayu yang ada sambil menunggu api itu redup.
“Api sudah
redup,” berkata salah seorang dari kedua pengawas yang mendahului gerombolan
penyerang itu,
“kita akan
segera maju.”
Laporan itu
pun segera sampai kepada pemimpin mereka mengikuti perkembangan di gardu itu
dengan saksama.
“Sebentar lagi
perapian itu akan padam. Daerah ini akan menjadi gelap dan kita akan merayap
maju mendekati dinding padukuhan itu. Daerah itulah yang paling ringkih,
sehingga jalan inilah yang paling baik kita lalui. Kita akan langsung sampai ke
jalan kecil yang menuju ke bagian belakang rumah Untara. Kita akan berkumpul
sejenak di halaman rumah di belakang rumah Untara untuk mematangkan semua
rencana.”
Orang-orang
dari gerombolan itu pun mulai mempersiapkan diri. Api di dekat gardu itu telah
benar-benar menjadi redup dan hampir padam. Suara gelak tidak lagi terdengar.
Agaknya beberapa orang justru telah menjadi mabuk karenanya. Pemimpin
gerombolan itu masih menunggu sejenak. Diperintahkannya kedua pengawasnya
mendekat lagi dan melihat perkembangan terakhir di gardu itu.
Sejenak
kemudian kedua pengawas itu datang kepadanya dan berkata,
“Hanya
anak-anak muda sajalah yang menjadi mabuk. Para prajurit masih tetap
berjaga-jaga, meskipun dengan lesu. Satu dua di antara mereka masih berjalan
hilir-mudik. Tetapi dinding yang kita tandai sebagai tempat yang paling baik
itu agaknya memang paling aman. Gardu yang paling dekat dari gardu itu, agaknya
juga sepi.”
“Lihat pula
gardu itu untuk meyakinkan.”
Kedua orang
itu pun segera berangkat. Gardu itu pun tidak terlalu jauh dari tempat mereka.
Dan menurut rencana, mereka akan menyusup di antara kedua gardu itu. Gardu yang
baru saja ribut, dan gardu lain yang tidak begitu jauh.
“Kenapa kedua
orang itu harus melihat pula gardu yang lain?” desis salah seorang dari
gerombolan yang gelisah itu.
“Pemimpin kita
terlalu berhati-hati. Adakalanya baik, tetapi, ada kalanya, kita justru
terlambat karenanya,” sahut salah seorang kawannya.
Tidak seorang
pun lagi yang menyambung. Namun kegelisahan nampaknya menjadi semakin tajam.
Akhirnya kedua
pengawas itu pun datang kepada pemimpin gerombolan itu dan berkata,
“Mereka pun
mendapat makanan dari rumah Widura tampaknya. Tetapi mereka tidak terlalu ribut
seperti gardu yang satu itu.”
“Jika
demikian, kita dapat melangsungkan rencana kita.”
Namun belum lagi
mereka bergerak, terdengar suara kentongan di kejauhan. Meskipun kentongan itu
adalah sekedar isyarat agar para peronda tetap berhati-hati, namun pemimpin
gerombolan itu berkata,
“Bersiaplah.
Kita tunggu gema suara kentongan itu lenyap.”
Orang-orangnya
menarik napas dalam-dalam. Tetapi mereka tidak berkata apa pun juga. Di
perjalanan, kedua orang yang berpacu dari Pengging mencoba mempercepat laju
kudanya. Tetapi kemampuan kuda mereka terbatas dan jalan-jalan pun tidak serata
yang mereka harapkan. Meskipun demikian mereka masih mengharap, bahwa ada
keajaiban yang menahan orang-orang yang akan menyerang itu, sehingga ia
mendapat kesempatan untuk menggagalkan mereka.
“Tetapi
kemungkinan itu kecil sekali,” gumam yang seorang.
“Aku tidak
peduli. Tetapi kita harus sampai ke Jati Anom. Kita harus menyusur jalan sesuai
dengan rencana yang sudah mereka berikan itu.”
Kawannya tidak
menjawab. Ia hanya berdesis ketika angin yang kencang megusap wajahnya. Dingin
malam terasa semakin menggigit kulit. Dan mereka harus berpacu lebih cepat
lagi, agar mereka dapat mencapai Jati Anom sebelum terlambat.
Demikianlah,
maka akhirnya malam yang sepi itu menjadi semakin sepi. Gerombolan penyerang
yang sudah bersiap di sebelah Utara padukuhan Jati Anom itu menjadi semakin
tegang. Dan sejenak kemudian pemimpinnya berkata kepada pembantunya yang berada
di dekatnya,
“Apakah semua
sudah siap?”
“Sudah sejak
lama,” jawab pembantunya.
“Baik. Kita
akan berangkat sekarang.”
“Marilah. Kita
jangan membuang waktu.”
Tetapi
tampaknya pemimpin rombongan itu menjadi ragu-ragu. Ada sesuatu yang terasa
agak menghambat niatnya untuk segera menyerang. Namun ia tidak tahu, apakah
sebenarnya yang telah terjadi di dalam dirinya, sehingga ia menjadi ragu-ragu.
Ia tidak pernah mengalami hal serupa itu. Selama ini ia adalah seorang yang
tidak pernah gentar menghadapi apa pun juga. Meskipun ia harus melakukan tugas
yang sangat berat sekalipun, ia dapat menjalankan tugas itu sambil tertawa.
Tetapi rasa-rasanya kali ini ia telah dibebani oleh sesuatu yang tidak dimengertinya
sendiri.
“Persetan,” ia
menggeram untuk mendapatkan kemantapan di dalam hati,
“tidak ada
seorang perwira Pajang yang memiliki kemampuan seperti Ki Gede Pemanahan
sekarang ini. Untara sendiri masih belum mencapai tingkat itu. Karena itu, aku tidak
harus ragu-ragu. Aku baru boleh ragu-ragu jika Pemanahan sendiri ada di gardu
itu, atau orang-orang yang telah membunuh Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak.”
Namun
tiba-tiba timbul pertanyaan,
“Apakah
orang-orang yang membunuh Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak itu ada di sini?”
Tetapi ia
sendiri belum pernah melihat orang yang telah membunuh Kiai Damar dan Kiai
Telapak Jalak itu. Namun demikian ia harus berhati-hati. Sepeninggal Kiai Damar
dan Kiai Telapak Jalak, orang-orang semacam itu pasti tidak akan mengeram di
Alas Mentaok untuk seterusnya, ia meski akan bertualang. Dan mungkin sampai ke
Jati Anom ini. Dalam pada itu, orang-orang yang berpacu dari Pengging itu
menjadi semakin dekat juga dengan Jati Anom. Meskipun pengharapan mereka sangat
kecil, tetapi mereka masih juga mencoba dan berpacu sekencang-kencangnya.
“Kita langsung
ke Lemah Cengkar,” berkata salah seorang dari mereka.
“Menurut
laporan terakhir, rencana itu mengatakan bahwa mereka memasuki Jati Anom dari
sebelah Utara. Kita akan menyusul mereka. Kita tinggalkan kuda kita di Lemah
Cengkar.”
Kawannya tidak
menjawab. Tetapi mereka berpacu secepat dapat mereka lakukan. Akhirnya mereka
pun menjadi semakin dekat. Dengan napas terengah-engah mereka memasuki sebuah
hutan perdu lewat gerumbul-gerumbul dan semak-semak liar mereka menerobos
langsung memasuki daerah Lemah Cengkar.
“Kita sudah
sampai di Lemah Cengkar,” desis salah seorang dari mereka.
“Tetapi sudah
lewat tengah malam. Ternyata daerah ini sudah sepi. Mereka pasti sudah
berangkat.”
“Kita tinggalkan
kuda kita di sini. Kita mendekat.”
Mereka pun
segera mengikat kuda mereka di tempat yang tersembunyi. Kemudian dengan
tergesa-gesa mereka menyusup semak-semak pergi menyusul kawan-kawannya yang
sudah mendahului mereka mendekati Jati Anom. Seperti pesan yang mereka dengar,
pasukan kecil itu akan menyerang Jati Anom dari sebelah Utara.
“Cepat.
Mudah-mudahan mereka masih di sebelah Utara padukuhan Jati Anom.”
Pada saat
itulah pemimpin pasukan kecil yang akan menyerang Jati Anom itu baru mendapat
kepastian bahwa jalan telah aman di hadapan mereka. Karena itu, maka ia pun segera
berkata kepada pembantunya,
“Marilah kita
masuk.”
“Sekarang.
Jangan ditunda lagi. Orang kita menjadi gelisah dan jika terlampau lama kita
mendekam di sini, mereka akan kehilangan napsu dan gairah untuk menumpas
prajurit-prajurit Pajang itu.”
“Baiklah.
Ingat, hanya dengan kecepatan bergerak kita tidak akan gagal. Kita harus
menghancurkan penjaga rumah itu dengan tiba-tiba tanpa memberi kesempatan
mereka memukul tengara. Dan aku bersama orang-orang yang sudah ditentukan akan
membunuh para perwira di dalam rumah itu, juga tanpa memberi kesempatan mereka
berbuat sesuatu. Tetapi harus ada satu orang yang masih sempat hidup di antara
mereka.”
“Baik.”
“Nah, aku akan
masuk lebih dahulu. Kemudian biarlah orang-orang kita mengikuti aku. Sedang kau
akan masuk yang terakhir sekali sambil mengawasi keadaan bersama kedua pengawas
itu.”
“Baik.”
Pemimpin
gerombolan penyerang itu pun kemudian merayap di dalam gelapnya malam. Dengan
sangat hati-hati ia mendekati dinding batu. Di kedua gardu sebelah-menyebelah
yang tidak terlampau jauh jaraknya itu sudah tidak terdengar suara apa pun
lagi. Untunglah bahwa malam gelapnya bukan kepalang, sehingga pemimpin pasukan
penyerang itu dapat merayap tanpa dapat dilihat di antara rerumputan yang
tinggi. Kemudian ia harus menyeberang sawah yang tidak terlampau luas,
menyelusur pematang. Tetapi sawah itu agaknya tidak terlampau subur, sehingga
daerah itu kurang mendapat perhatian. Bahkan daerah yang bersemak-semak liar
itu pun masih juga tidak pernah disentuh tangan apalagi digarap. Daerah di
sebelah Utara Jati Anom itu memang masih diperlukan saluran air yang cukup
untuk membuatnya menjadi tanah pertanian. Dalam pada itu, seorang demi seorang
merayap mendekati dinding batu padukuhan Jati Anom, dan seorang demi seorang
telah meloncat masuk dengan sangat hati-hati di dalam lindungan gelapnya malam.
Sementara itu,
kedua orang penghubung dari Pengging dengan tergesa-gesa mendekati padukuhan
itu dari Utara pula. Tetapi ketika ia sampai di sebelah padukuhan Jati Anom,
ternyata tempat itu telah sepi. Mereka tidak menjumpai seorang pun juga, karena
orang yang terakhir ternyata telah merayap mendekat dinding dan meloncat masuk
pula.
“Terlambat,”
desis salah seorang dari keduanya,
“mereka sudah
memasuki padukuhan itu.”
Kawannya
menarik napas dalam-dalam. Namun ia bergumam,
“Tetapi aneh.
Tidak terdengar keributan sama sekali. Jika kedatangan mereka sudah diketahui,
maka mereka pasti sudah disergap.”
“Prajurit
Pajang menunggu di halaman rumah Untara.”
Kawannya
mengerutkan keningnya. Lalu,
“Apakah kita
akan menyusul mereka, barangkali mereka masih belum bertindak.”
“Atau kita
akan masuk ke dalam jebakan itu sama sekali.”
“Kita tidak
akan memasuki halaman rumah Untara, dan kita sudah mempersiapkan diri jika
benar-benar hal itu terjadi, sehingga kita tidak boleh memasuki daerah yang
tidak akan mungkin mudah kita tinggalkan.”
Kawannya mengangguk-angguk
sejenak, lalu,
“Apakah kau
mengenal daerah Jati Anom dengan baik.”
“Tidak dengan
baik, tetapi aku pernah mengelilingi daerah ini. Barangkali aku masih dapat
mengenal satu dua jalur lorong di dalam padukuhan itu.”
“Baiklah.
Tetapi bersiaplah untuk mati.”
“Ah, aku masih
belum ingin mati. Aku mempunyai anak dan isteri. Jika aku mati, mereka akan
bersedih. Dan isteriku akan menjadi janda muda.”
“Ia akan
segera kawin lagi. Jangan cemas.”
“Persetan,”
kawannya mengumpat.
Demikianlah
keduanya dengan hati-hati merayap mendekati dinding padukuhan. Sejenak mereka
memperhatikan lampu minyak yang berkeredipan di gardu. Ternyata bahwa perapian
yang dibuat oleh para peronda telah hampir padam sama sekali.
“Sst, gardu
peronda,” bisik yang seorang. Sedang yang lain menunjuk pula ke kejauhan, “Itu
juga.”
“Hati-hati.
Kita menerobos di tengah.”
Mereka menjadi
semakin hati-hati. Perlahan sekali mereka maju. Namun akhirnya mereka sampai
pula di balik tanggul parit yang kering di seberang jalan di pinggir padukuhan.
Mereka harus menyeberangi jalan itu dan meloncati dinding.
“Marilah,
tidak ada yang memperhatikan kita dari kedua gardu di sebelah-menyebelah,”
bisik yang seorang.
Kawannya tidak
menyahut. Dengan hati-hati sekali keduanya pun segera meloncat, memasuki
Padukuhan Jati Anom. Pada saat itulah pemimpin gerombolan yang akan menyerang
rumah Untara itu sedang memberikan beberapa petunjuk kepada anak buahnya, di
kebun yang rimbun di belakang rumah Untara. Empat orang pemimpin kelompok kecil
dari antara mereka mendapat pesan bagi kelompok masing-masing dengan
seteliti-telitinya. Ke mana mereka harus pergi, dan apa saja yang harus mereka
lakukan. Dan pemimpin kelompok itu kemudian berkata,
“Ingat, kalian
harus menyergap seperti kalian menangkap seekor kepiting. Jika kau tidak
sekaligus mendekap, maka tanganmulah yang justru akan disapitnya. Jika kepiting
itu besar, maka mungkin jari-jari kalian akan putus. Demikian juga
prajurit-prajurit Pajang yang bertugas itu. Apalagi para perwira. Jika yang
bertugas di dalam rumah itu tidak sempat membunuh mereka, jaga agar mereka
tetap terikat pada perkelahian yang mantap, agar kami dapat membunuhnya pula
kemudian, kecuali seorang dari mereka akan hidup dan satu dua orang dari para
prajurit yang bertugas di luar.”
Para pemimpin
kelompok itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nah, sekarang
lakukanlah. Jika kalian gagal maka nasib kita semuanya tidak akan lebih baik
dari nasib Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak. Dan kita pun akan berbuat jantan
seperti Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak karena mereka yakin akan kebenaran
perjuangan kita ini.”
Para pemimpin
kelompok itu pun kemudian kembali ke kelompok masing-masing. Sebuah isyarat
yang kemudian diberikan oleh pemimpin kelompok itu, telah menggerakkan
orang-orang itu semakin mendekati halaman rumah Untara dari arah belakang. Dalam
pada itu, para prajurit pilihan yang berada di halaman rumah itu pun hampir
menjadi semakin jemu menunggu. Bahkan ada satu dua di antara mereka yang tanpa
dikehendakinya sendiri, telah terkantuk-kantuk bersandar sebatang pohon perdu
yang rimbun. Dan di dalam biliknya, ternyata bahwa Swandaru telah benar-benar
tidur mendekur.
Namun suara
isyarat pemimpin kelompok penyerang yang tidak begitu keras itu ternyata telah
menumbuhkan kecurigaan. Suara burung hantu itu disekat oleh irama yang
terlampau teratur, sehingga suara itu telah mengingatkan Kiai Gringsing pada
suara burung kedasih di Alas Mentaok. Ternyata bukan saja Kiai Gringsing yang
telah mendengar suara isyarat itu. Ki Ranadana, Sumangkar, dan bahkan para
prajurit di halaman pun telah menjadi curiga mendengar suara burung yang aneh
itu. Meskipun demikian, ada juga di antara mereka yang menyangka, bahwa suara
itu adalah suara burung hantu yang sebenarnya. Tetapi, ternyata bahwa para
pemimpin kelompok yang ada di dalam halaman itu telah memberikan aba-aba pula,
dengan menyentuh seorang yang bertugas di sampingnya, kemudian sentuhan itu pun
menjalar dari yang seorang kepada orang lain. Bagi mereka yang berada pada
jarak beberapa langkah, maka para prajurit itu pun telah mempergunakan
batu-batu kerikil sebagai isyarat, bahwa mereka harus bersiap. Pada saat itulah,
beberapa orang penyerang mulai tersembul dari balik dinding halaman di belakang
rumah. Dengan sangat hati-hati, seorang demi seorang telah meloncat dinding
itu. Maka sejenak kemudian, saat-saat yang paling menegangkan telah terjadi di
halaman rumah Untara itu. Beberapa orang prajurit yang terpencar dan
bersembunyi di balik semak-semak dapat melihat beberapa orang yang meloncat
masuk itu. Tetapi seperti pesan yang mereka terima, mereka tidak boleh berbuat
sesuatu jika belum ada perintah, kecuali apabila tanpa disengaja mereka telah
diketahui oleh para penyerang itu. Tetapi karena para prajurit itu telah
menempatkan diri pada tempat yang paling baik menurut pilihan mereka, maka
orang-orang yang memasuki halaman di dalam gelap itu pun tidak segera dapat melihat
mereka. Bahkan mereka sama sekali tidak menyangka, bahwa kedatangan mereka
telah ditunggu oleh prajurit-prajurit Pajang justru yang paling baik yang ada
di Jati Anom. Perlahan-lahan orang-orang yang memasuki halaman itu merayap
semakin dalam. Seperti pesan yang telah mereka terima, maka mereka pun segera
mengambil tempat mereka masing-masing. Dua kelompok dari mereka harus menyergap
para prajurit yang bertugas di gardu depan. Sedang sekelompok yang lain harus
memasuki rumah itu tersama dengan pemimpin kelompok dan seorang yang dikirim
langsung oleh pemimpin-pemimpin mereka untuk membantu pemimpin kelompok itu
membunuh para perwira yang ada di dalam rumah. Satu kelompok lagi harus
mengawasi suasana, dan membunuh setiap orang yang berusaha melarikan diri dari
halaman itu. Apakah ia seorang prajurit atau seorang perwira. Karena itu, maka
mereka pun harus dapat bekerja sama sebaik-baiknya jika yang mereka hadapi
adalah seorang perwira yang memiliki kemampuan yang tinggi. Demikianlah,
keempat kelompok itu telah berada di tempatnya masing-masing seperti pesan
pemimpinnya. Mereka menemukan tempat-tempat yang telah ditentukan, yang agaknya
oleh seseorang yang telah mengenal halaman rumah itu sebaik-baiknya. Namun
mereka tidak menyangka, bahwa di setiap sudut, bahkan beberapa, langkah dari
tempat mereka bersembunyi, prajurit-prajurit Pajang yang terpilih selalu
mengawasi mereka dengan saksama.
Kelompok-kelompok
penyerang itu telah siap untuk melakukan penyergapan. Yang terakhir adalah
usaha memasuki rumah itu tanpa menimbulkan persoalan. Karena itu, maka pemimpin
kelompok itu sendirilah yang akan melakukannya, sementara kelompok yang lain
mengawasi dengan saksama jika ada di antara mereka yang melarikan diri. Ternyata
pemimpin kelompok itu adalah orang yang berpengalaman. Dengan hati-hati ia
memutus tali-tali pengikat dinding di sudut rumah Untara yang paling lemah, di
sudut belakang. Hampir tidak menimbulkan desir yang paling lembut sekalipun ia
kemudian membuka dinding-dinding itu, dan dengan sangat hati-hati ia pun
merayap masuk. Seorang dari anak buahnya dibawanya serta memasuki rumah yang
sepi itu. Sejenak orang-orangnya menunggu. Ternyata bahwa ketegangan yang
menghentak-hentak dada hampir tidak tertahankan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar