Jilid 066 Halaman 2


Satu di belakang, satu di sisi kanan dan yang satu di sisi kiri. Ternyata menurut pertimbanganku, tenaga kalian akan sangat diperlukan. Jika aku yang ada di dalam memerlukan, aku akan memberikan isyarat. Pemimpin kelompok itu sendiri akan berada di gardu sebagai salah satu sasaran utama sergapan para penyerang itu.”
Pemimpin kelompok prajurit pilihan dan para perwira itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan demikian, maka yang akan ada di dalam rumah itu hanyalah Ki Ranadana dengan beberapa orang yang sama sekali bukan prajurit, meskipun ada di antara mereka adalah Agung Sedayu, adik Senapati Besar yang menguasai daerah Selatan ini. Sejenak kemudian, maka pemimpin kelompok itu pun telah memberikan penjelasan kepada prajurit-prajuritnya. Dengan cepat ia membagi kelompoknya menjadi empat kelompok yang lebih kecil yang masing-masing akan dipimpin langsung oleh seorang perwira, sedang pemimpin kelompok itu sendiri akan berada di gardu depan, seperti penjagaan yang biasa dilakukan setiap hari atas rumah Untara yang dipakai sebagai tempat tinggal para perwira itu. Tetapi pemimpin kelompok itu tidak mau lengah. Sergapan itu dapat datang setiap saat dari arah yang tidak terduga-duga. Tidak dapat dipastikan bahwa para penyerang itu akan masuk lewat kebun belakang. Mungkin mereka justru masuk lewat gerbang depan dan langsung menyerang para penjaga di gardu itu. Karena itu, maka selain mereka yang ada di gardu, pemimpin kelompok itu telah menempatkan beberapa orang di tempat yang terlindung, bahkan tiga orang terpencar di luar halaman, di seberang jalan. Mereka duduk di atas sebatang dahan yang tidak terlalu tinggi, tetapi cukup terlindung oleh segerumbul dedaunan di dalam gelapnya malam. Ketiga orang yang terpencar itu harus mengawasi jalan dan halaman rumah di seberang jalan. Mungkin para penyerang itu akan datang lewat halaman itu. Jika tidak, maka mereka akan dapat menjadi tenaga cadangan apabila dengan tiba-tiba saja para penyerang itu menyergap gardu. Selain tiga orang itu, maka ditempatkannya juga dua orang setiap sudut depan, sehingga ada empat orang yang tidak berada di gardu selain tiga orang yang berada di seberang jalan. Demikianlah, mereka memasuki malam yang semakin dalam dengan dada yang tegang. Setiap kejap rasa-rasanya terlampau lama berjalan. Dan karena itu, malam menjadi sangat panjang.

Di dalam rumah itu, Ki Ranadana masih duduk sejenak bersama Kiai Gringsing, kedua muridnya dan Ki Sumangkar. Mereka masih berbincang tentang beberapa hal, sebelum mereka membagi ruangan, di mana mereka akan tidur.
“Aku akan berada di bilik sebelah bersama Ki Sumangkar,” berkata Ki Ranadana,
“sedang Kiai Gringsing bersama kedua muridnya akan mempergunakan bilik yang satu.”
Tiba-tiba saja Agung Sedayu menyahut,
“Di dalam bilik itu pula aku tidur ketika aku masih kanak-kanak.”
Kiai Gringsing tersenyum. Demikian pula Ki Ranadana dan Ki Sumangkar. Sedang Swandaru menyahut,
“Bukankah kau sekarang masih juga kanak-kanak.”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menjawab. Dipandanginya saja Swandaru yang masih tertawa kecil.
“Kau akan diprimpeni nanti malam,” berkata Sedayu kemudian.
“Hati-hatilah di rumah ini.”
Swandaru masih saja tertawa. Tetapi ia tidak menjawab. Demikianlah mereka memasuki bilik masing-masing. Kiai Gringsing dan kedua muridnya berada di satu bilik, sedang Ki Ranadana dan Ki Sumangkar di bilik yang lain.
“Kita harus seakan-akan tertidur nyenyak jika mereka datang,” berkata Ki Ranadana.
Ki Sumangkar menganggukkan kepalanya. Katanya,
“Aku benar-benar mengantuk. Beberapa malam terakhir aku kurang sekali tidur.”
“Tetapi orang seperti Ki Sumangkar ini dapat tidak tidur terus menerus lima hari lima malam.”
“Jika memang harus demikian. Tetapi kekuatan seseorang ada juga batasnya. Aku pernah tidur sambil berjalan selagi aku masih mengikuti pasukan Tohpati. Tetapi aku dapat bangun dan berbuat sesuatu setiap saat.”
“Itulah kelebihanmu,” Ki Ranadana tersenyum.
“Jika demikian silahkan tidur. Ki Sumangkar akan terbangun setiap saat dan akan segera dapat berbuat sesuatu.”
Sumangkar hanya tersenyum saja. Tetapi ia benar-benar ingin tidur sebelum orang-orang yang ditunggunya itu datang. Menurut perhitungan Sumangkar, mereka baru akan datang di sekitar tengah malam. Namun seandainya lebih awal, Ki Ranadana pasti akan membangunkannya. Di bilik yang lain, Kiai Gringsing memang menyuruh kedua muridnya untuk tidur. Mereka pun kurang tidur beberapa malam terakhir. Mereka tidak dapat tidur nyenyak di rumah Widura yang sedang sibuk, tetapi juga selagi mereka mengikuti orang-orang yang akan menyerang Jati Anom itu.
“Aku akan membangunkan kalian jika terjadi sesuatu,” berkata gurunya.

Dalam pada itu, di Pengging, sambutan atas kedatangan Untara ternyata dilakukan dengan megah dan meriah. Beberapa orang sanak kadang pengantin perempuan telah siap menunggunya di rumah yang sudah ditentukan. Tidak jauh dari rumah pengantin perempuan. Hanya karena keadaan yang mendesak oleh kegawatan dan ketegangan yang timbul di daerah sekitar Alas Tambak Baya dan Mentaok sajalah, yang membuat pihak Untara tidak mematuhi kebiasaan. Ia tidak tinggal selama empat puluh hari empat puluh malam di rumah bakal mertuanya untuk ngenger. Tetapi ia datang sehari sebelum upacara perkawinan itu berlangsung. Di malam hari menjelang hari perkawinan, Untara duduk dikelilingi oleh sanak keluarga pengantin perempuan. Dan karena ayah pengantin perempuan adalah seorang Perwira Pajang pula, maka baik yang mengantar maupun yang menyambut, selain keluarga mereka, adalah perwira-perwira prajurit Pajang. Demikianlah mereka berbicara seakan-akan tanpa ujung dan pangkal. Perwira yang masih muda dengan riuhnya menggoda Untara yang besok akan mengenakan pakaian kebesaran seorang pengantin laki-laki. Dengan tersipu-sipu Untara menanggapi kelakar kawannya. Meskipun kadang-kadang angan-angannya terbang kembali ke Jati Anom, namun tampaknya ia selalu tersenyum dan tertawa. Tetapi kadang-kadang saja ia termenung jika tiba-tiba ia seolah-olah sadar, bahwa malam itulah Jati Anom akan mengalami serangan yang sangat berbahaya. Bukan dari segi pengamanan daerah karena kekuatan penyerang itu tidak cukup besar, tetapi justru dari segi lain. Dari segi hubungan antara Pajang dan Mataram.
“Jika ada seorang saja perwira yang terbunuh, maka hal itu sudah cukup alasan membakar setiap hati prajurit di seluruh Pajang untuk menyerang Mataram,” berkata Untara di dalam hatinya.
Tetapi setiap kali ia seolah-olah terperanjat ketika tiba-tiba saja seorang perwira muda mengganggunya dengan kelakarnya yang segar. Tetapi pertemuan itu tidak berlangsung lama. Orang tua-tua segera memperingatkan, bahwa Untara pasti masih sangat lelah. Karena itu, pertemuan itu tidak dilanjutkan. Meskipun masih juga agak kecewa, kawan-kawan Untara pun segera meninggalkan rumah yang disiapkan bagi Untara. Bagi kawan-kawannya yang mengiringkannya dari Jati Anom pun telah disediakan pula tempat untuk beristirahat. Namun demikian masih juga ada satu dua orang perwira yang mengawani Untara duduk sambil menghirup minuman hangat. Bahkan bakal mertuanya pun memerlukan datang menyambutnya dan berbicara beberapa lamanya.
Meskipun demikian, kegelisahan Untara rasa-rasanya semakin dalam menghunjam di jantungnya sejalan dengan malam yang semakin kelam, sehingga akhirnya ia tidak dapat menahannya lagi, betapapun ia berusaha. Apalagi di ruangan itu sudah tidak ada orang lain kecuali bakal mertuanya dan beberapa orang perwira Pajang yang terpercaya.
“Sebenarnya aku sangat gelisah malam ini,” berkata Untara,
“hampir saja aku menunda keberangkatanku.”
“Ah,” bakal mertuanya berdesis.
“Seisi padukuhan ini akan kecewa. Keluargaku akan kecewa dan kawan-kawan kita para prajurit pun akan kecewa.”
“Tetapi aku mempunyai alasan yang kuat. Justru sebagai seorang senapati.”
“Kenapa?” bakal mertuanya mengerutkan keningnya.

Untara ragu-ragu sejenak. Namun menurut pertimbangannya, tidak akan terjadi sesuatu jika orang-orang yang ada di sekitarnya itu mengetahui apa yang akan terjadi di Jati Anom, karena jarak antara Jati Anom dan Pengging tidak terlalu dekat. Apalagi yang tinggal duduk bersama hanya beberapa orang yang paling dekat dengan mertuanya saja. Sehingga dengan demikian, menurut pertimbangan Untara, sama sekali tidak akan menimbulkan gangguan apa pun bagi para perwira di Jati Anom. Bahkan dengan demikian ia akan dapat memberikan gambaran kepada mertuanya yang seolah-olah dengan mutlak menolak kehadiran Mataram.
Meskipun masih juga ragu-ragu, namun Untara akhirnya berkata,
“Di Jati Anom, ada beberapa orang yang berusaha meneguk di dalam kekeruhan yang terjadi sekarang ini.”
“Kekeruhan yang manakah yang kau maksud? Apakah sebelum kau berangkat ada sanak kadangmu yang mencoba mencatatkan atau merubah rencana hari-hari perkawinan ini?”
“Tidak, sama sekali tidak,” berkata Untara.
“Kekeruhan itu bukan di dalam rencana keberangkatanku. Tetapi justru karena rencana itu berjalan lancar.”
“Aku kurang mengerti.”
“Justru aku berangkat ke Pengging inilah, maka ada sekelompok orang-orang yang akan mempergunakan kesempatan. Mengganggu ketenangan Jati Anom.”
“Gila,” desis Rangga Parasta, “tentu orang Mataram.”
“Bukan. Tetapi mereka memang ingin meninggalkan kesan seolah-olah mereka adalah orang-orang Mataram. Dengan demikian maka hubungan antara Mataram dan Pajang akan menjadi kian memburuk bahkan lebih dari itu, mereka mengharapkan benturan langsung antara Mataram dan Pajang.”
“Omong kosong,” tiba-tiba Rangga Parasta memotong,
“mereka pasti benar-benar orang Mataram. Aku tidak tahu, kenapa Sultan Adiwijaya masih terlampau sabar menghadapi anak angkatnya yang begitu bengal. Sekarang ia mempergunakan kesempatan kepergianmu itu untuk mengacaukan keadaan.” Rangga Parasta berhenti sejenak, dan Untara sengaja membiarkan berbicara. Ia mengerti bahwa jika pembicaraan itu diputus di tengah, ia akan menjadi semakin bersitegang. Dan Rangga Parasta itu meneruskan,
“Jika kau sudah mengetahui akan hal itu, apakah yang kau lakukan?”
Untara menarik napas dalam-dalam. Lalu katanya,
“Yang perlu aku ulangi adalah, mereka bukan orang Mataram.”
“Tidak. Tentu orang Mataram.”

Akhirnya Untara menjadi jengkel juga. Meskipun Rangga Parasta adalah bakal mertuanya, tetapi Untara adalah senapati besar di daerah Selatan sehingga karena itu maka katanya,
“Aku tahu pasti, bahwa mereka bukan orang-orang Mataram. Aku akan membuktikannya sebagai seorang senapati yang mendapat kepercayaan langsung dari Sultan Pajang. Dan aku akan menemukan jawab siapakah mereka sebenarnya.”
Rangga Parasta mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba saja ia menyadari bahwa bakal menantunya itu adalah seorang senapati, sehingga ia tidak akan dapat berkata lebih pasti daripadanya meskipun hatinya meyakininya. Namun demikian, ia masih juga bertanya,
“Apakah yang sudah kau lakukan sebelum kau berangkat?”
“Menyiapkan jebakan. Malam ini semuanya itu akan terjadi, dan malam ini para perwira yang aku percaya di Jati Anom akan dapat menarik kesimpulan, siapakah mereka sebenarnya.”
Rangga Parasta tidak membantah lagi. Tetapi di dalam hati ia berkata,
“Jika Untara berhasil menangkap satu atau dua orang di antara mereka dalam keadaan hidup, maka barulah akan terbuka matanya, bahwa Mataram memang harus dihadapi dengan kekerasan. Tidak dengan senyum manis seorang ayah yang terlalu baik hati terhadap seorang anak yang berkhianat.”
Namun Rangga Parasta tidak berkata apa pun lagi. Dalam pada itu, selagi Untara berbicara dengan Rangga Parasta, seorang perwira yang duduk di antara mereka tiba-tiba saja menjadi sangat gelisah. Tetapi ia tetap berusaha untuk menghapuskan kesan dari wajahnya. Bahkan ia masih tetap duduk untuk sesaat, sampai saatnya ia berkata,
“Aku akan ke belakang sebentar, Kakang Rangga.”
“Kenapa?”
“Ke pakiwan.”
“O, silahkan.”
Perwira itu dengan tergesa-gesa meninggalkan lingkaran pembicaraan itu. Apalagi ketika ia sudah turun ke halaman, langsung ia menghilang di dalam kegelapan. Dengan hati yang gelisah, ia berlari-lari kecil mencari seseorang yang berada tidak begitu jauh dari rumah Rangga Parasta.
“Gila,” ia berkata dengan suara gemetar ketika ia berhasil menemukan kawannya,
“orang-orang Jati Anom telah mencium rencana itu.”
“He? Darimana kau tahu?”
“Sebelum berangkat, Untara telah menyusun jebakan.”
“Omong kosong. Rahasia itu disimpan cukup rapat.”
“Tetapi aku mendengar dari mulut Untara sendiri. Kau jangan merendahkan Untara. Ia mempunyai kemampuan yang tidak terduga-duga. Petugas sandinya adalah petugas-petugas sandi yang terbaik di seluruh Pajang.”
“Jadi?”
“Batalkan.”
“Bagaimana mungkin aku harus membatalkan.”
“Pergi ke Jati Anom.”
“Aku tidak akan dapat mencapai mereka. Mungkin mereka sekarang sudah mulai bergerak.”
“Berusaha. Berusahalah. Pergi ke Jati Anom dengan seekor kuda yang dapat berlari paling cepat. Ajak seorang kawan, dan segera kembali.”
“Pengging ke Jati Anom bukan jarak yang dekat sekali.”
“Pergi. Berusahalah membatalkan rencana itu. Atau, jika mungkin, hilangkan jejak mereka.”

Orang yang diajak berbicara oleh perwira itu masih terdiri termangu-mangu. Adalah tidak mungkin lagi untuk berusaha apa pun juga. Apalagi berusaha membatalkan rencana itu, karena orang-orang yang mendapat tugas untuk melakukan pembunuhan terhadap para perwira yang masih ada di jati Anom itu pasti sudah bergerak. Namun selagi orang itu masih kebingungan perwira itu membentaknya,
“Berangkat sekarang. Apa pun yang dapat kau lakukan. Cepat.”
Orang itu tidak mau berpikir lagi. Meskipun ia sadar, bahwa tidak banyak yang dapat dilakukan, maka ia pun segera berlari-lari pergi ke rumah seorang kawannya. Berkuda keduanya berpacu ke Jati Anom. Mereka mengharap bahwa kawan-kawannya di Jati Anom terlambat bergerak sehingga ia masih sempat menggagalkan mereka, karena ternyata Untara telah memasang sebuah jebakan bagi mereka. Karena itu, maka mereka pun telah memacu kuda mereka secepat-cepat dapat dilakukan, dan kuda-kuda itu pun berlari seperti dikejar hantu. Malam yang gelap menjadi semakin gelap. Di langit bintang-bintang bertaburan dari ujung sampai keujung. Angin malam yang dingin bertiup dari Selatan menyapu hutan-hutan kecil yang bertebaran. Namun kedua orang yang berkuda itu ternyata telah basah oleh keringat yang mengembun dari wajah-wajah kulitnya. Bukan saja karena mereka harus berpacu dengan waktu, tetapi juga karena kegelisahan yang mencengkam hati.
“Apakah masih ada harapan untuk melakukannya?” bertanya salah seorang dari mereka.
“Kita berusaha. Apa pun yang akan terjadi atas kuda-kuda kita. Mungkin kuda-kuda ini akan kehabisan napas.”
“Tetapi sia-sia. Mereka pasti sudah mulai bergerak.”
Kawannya tidak menyahut. Satu-satunya harapan adalah jika ada perubahan rencana, sehingga gerakan mereka mundur sampai jauh lewat tengah malam. Jika tidak, maka perjalanan yang melelahkan itu akan sia-sia.

Dalam pada itu di Jati Anom, sekelompok orang-orang yang tidak dikenal justru telah mulai bergerak. Mereka telah berada di Lemah Cengkar dan berjalan beriringan. Mereka akan memasuki Jati Anom dari Utara. Namun tiba-tiba saja dua orang yang mendapat tugas mengawasi jalan yang akan mereka lalui, memberikan isyarat kepada kawan-kawannya untuk berhenti dan bersembunyi. Dengan memperdengarkan suara burung bence, keduanya memberikan petunjuk kepada kawan-kawannya bahwa ada bahaya di depan mereka.
Ternyata kedua orang itu melihat sekelompok kecil peronda prajurit berkuda Pajang lewat.
“Gila,” desis pemimpin kelompok para penyerang itu,
“kenapa mereka meronda malam ini? Biasanya mereka tidak meronda sampai ke daerah ini.”
“Justru karena Untara tidak ada. Kiranya Untara telah berpesan kepada pasukan yang ditinggalkan agar mereka menjadi semakin berhati-hati dan meningkatkan perondaan di seluruh Jati Anom. Kemarin ada juga beberapa peronda berkuda yang sampai ke sebelan hutan di sisi jalan ke Selatan.”
“Apakah Untara sudah mencium gerakan kita?”
“Sore tadi dua orang petugas sandi kita lewat daerah Jati Anom. Tidak ada tanda-tanda pemusatan pasukan yang berarti. Mereka memang meningkatkan penjagaan, tetapi tidak lebih dari sikap hati-hati justru karena Untara tidak ada. Jika mereka telah mencium rencana kita, maka di rumah Untara itu pasti sudah dipasang pasukan yang kuat dan mungkin di luar padukuhan. Tetapi prajurit Pajang masih saja berkeliaran di muka banjar, dan beberapa orang perwira masih berada di rumah Untara itu.”
Pemimpin kelompok itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Barangkali sekarang Untara sedang menikmati makan bersama keluarga pengantin perempuan itu. Di sini beberapa orang kawannya akan mati dibantai orang. Kita harus berhasil. Beberapa orang kita yang berada lingkungan keprajuritan malam ini akan selalu mendampingi Untara, setidak-tidaknya akan mengawasinya di Pengging. Jika ada perubahan rencana yang mencurigakan, mereka akan mengirimkan beberapa orang untuk memberitahukan kepada kita di sini.”
“Tidak ada seorang pun yang datang. Tentu rencana perkawinan itu berlangsung seperti yang telah disusun. Memang tidak mudah untuk merubah rencana perkawinan apa pun yang terjadi. Apalagi pengaruh orang-orang kita atas Rangga Parasta akan menentukan.”
“Ya. Kita tidak boleh mengulangi kegagalan yang pernah terjadi di Alas Mentaok.”
“Tentu tidak. Meskipun kita berada di lingkungan prajurit Pajang, tetapi sebenarnya tugas kita tidak lebih berat dari tugas Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak.”

Pemimpin kelompok penyerang itu mengangguk-angguk. Kemudian dipandanginya seorang yang hampir tidak pernah berbicara apa pun. Wajahnya yang tegang dan kasar, melontarkan kesan yang khusus pada orang itu.
“Jangan seorang pun yang salah langkah. Ingat, setidaknya kau harus berhasil membunuh seorang perwira.”
Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Aku tidak sebodoh Kiai Telapak Jalak dan Kiai Damar.”
“Tentu tidak sia-sia Ki Lurah mengirimkan kau kemari.”
Orang itu tidak menyahut.
“Tetapi jangan meremehkan para perwira itu.”
“Aku dapat membunuh empat orang sekaligus. Jika kalian dapat membendung bantuan prajurit-prajurit Pajang yang bertugas menjaga rumah itu, maka para perwira itu akan aku bunuh. Aku hanya memerlukan lima enam orang untuk mengikat mereka dalam perkelahian sebelum aku sempat membunuh mereka seorang demi seorang.”
Pemimpin kelompok penyerang itu mengerutkan keningnya. Dipandanginya orang berwajah kasar itu. Namun kemudian katanya,
“Itulah kelemahanmu. Kau menganggap dirimu dapat membunuh empat orang perwira sekaligus apabila kau mendapat kesempatan. Kau hanya memerlukan orang lain menahan mereka agar tidak lari, supaya kau dapat membunuhnya.”
“Kenapa?” orang itu bertanya.
“Membunuh empat orang perwira sekaligus, meskipun seorang demi seorang, bukan pekerjaan yang mudah. Seorang perwira Pajang memiliki nilainya tersendiri.”
Orang itu tidak segera menjawab.
“Dan aku memang tidak hanya menyiapkan kau sendiri untuk menghadapi perwira-perwira itu. Sudah aku katakan, setidak-tidaknya kau harus membunuh seorang. Aku akan membunuh seorang di antara mereka. Tetapi kalau kau ingin menghadapi lebih dari seorang perwira, maka kaulah yang akan terbunuh.”
Orang berwajah kasar itu tidak menjawab. Tetapi di dalam hati ia berkata,
“Orang-orang ini belum mengenal siapa aku. Perwira Pajang bukan orang-orang ajaib. Dan aku akan membunuh mereka.”

Sesaat kemudian, dua orang yang berjalan mendahului mereka pun segera memberikan isyarat, bahwa orang-orang berkuda itu sudah menjauh. Dengan bunyi yang sama tetapi dalam irama yang lain, pemimpin kelompok itu segera mengetahui, bahwa mereka dapat meneruskan perjalanan. Dengan melewati semak-semak belukar dan kadang-kadang semak-semak berduri mereka merayap mendekati Jati Anom justru dari arah Utara. Menurut rencana, mereka akan memasuki padukuhan itu seorang demi seorang, agar para peronda tidak dengan mudah melihat kehadiran mereka. Seperti yang sudah mereka rencanakan, mereka akan berkumpul di kebun di belakang rumah Untara. Selanjutnya mereka akan memanjat dinding batu yang tidak begitu tinggi dan memasuki rumah yang dipergunakan oleh para perwira-perwira itu.
“Kami tidak dapat mengetahui dengan pasti, ada berapa orang yang masih tinggal di rumah itu,” desis pemimpin gerombolan penyerang itu.
“Lima atau enam menurut dugaan terakhir,” berkata salah seorang dari pembantunya.
“Tidak. Tentu kurang dari itu. Tentu di antara mereka ada yang bertugas menangani para peronda di malam itu, yang lain bertugas mengawasi para prajurit di banjar dan yang lain tentu ada yang mengawani Widura,” sahut yang lain.
“Tetapi jangan menilai mereka menurut ukuran yang rendah. Kita anggap saja ada enam orang di dalam rumah itu. Selain aku dan kepercayaan Ki Lurah itu, kalian yang bertugas di dalam rumah harus benar-benar mempersiapkan diri. Meskipun kalian tidak berhasil membunuh, namun kalian harus berhasil memberi kesempatan kepada kami untuk membunuh. Kami mengharap semuanya dapat terbunuh, selain yang sengaja kita hidupi agar ia dapat bercerita tentang orang-orang Mataram yang menyerang mereka dengan tiba-tiba,” berkata pemimpin gerombolan itu.
Mereka terdiam ketika mereka menjadi semakin dekat dengan padukuhan Jati Anom. Namun sekali, lagi mereka mendengar isyarat agar mereka berhenti sejenak. Pemimpin gerombolan itu tidak begitu sabar menunggu. Karena itu maka ia pun merayap maju mendekati kedua orang yang ditugaskannya untuk mendahului perjalanan mereka.
“Kenapa?” bertanya pemimpin rombongan itu.
“Api itu,” desis salah seorang dari petugas yang mendahului gerombolannya.
Pemimpin gerombolan itu mengerutkan keningnya. Kemudian mengumpat,
“Kenapa para peronda itu menyalakan api besar-besar.”
Kedua petugasnya tidak menjawab.
“Mendekatlah. Lihat apa yang mereka lakukan. Dan kenapa mereka bercakap-cakap begitu keras dan riuhnya?”

Kedua petugas itu pun kemudian merayap dengan hati-hati mendekati sebuah gardu peronda. Dari jarak yang tidak terlalu jauh keduanya melihat para prajurit Pajang yang meronda bersama beberapa orang anak muda sedang berkelakar dengan ramainya. Agaknya mereka mendapat kiriman makanan dari rumah Widura, sehingga mereka menjadi sangat ribut. Apalagi ada di antara mereka yang dengan diam-diam membawa sebumbung tuak.
“He,” pemimpin peronda itu membentak,
“kau membawa tuak?”
“Hanya sedikit. Malam terlalu dingin. Marilah, minumlah lebih dahulu.”
“Tidak. Aku tidak mau.”
“Malam ini adalah malam yang sangat menyenangkan. Ki Untara menjelang hari-hari yang bahagia di Pengging. Dan kita ikut merayakannya di sini.”
Ternyata para prajurit dan anak-anak muda itu seakan-akan mendapat kesempatan untuk melupakan ketegangan sehari-hari. Mereka bersuka-ria dan satu dua di antara mereka meneguk tuak dari bumbung itu.
“Bukankah kita sudah mendapat peringatan, agar kita berwaspada?” berkata pemimpin peronda itu.
“Kami tidak apa-apa. Kami akan dapat menjalankan tugas kami dengan baik. Bukankah api itu memberikan penerangan di sekitar gardu ini, sehingga kita akan dapat melihat apabila ada orang yang mendekat.”
Pemimpin peronda itu tidak menyahut lagi. Tetapi ia tetap sadar bahwa ia harus berhati-hati. Ketika pemimpin gerombolan penyerang mendengar laporan itu, ia pun mengumpat-umpat. Dengan demikian berarti rencananya harus tertunda, atau mereka mencari jalan lain untuk memasuki padukuhan itu, justru karena api yang menyala itu. Tetapi hampir di setiap lorong terdapat gardu-gardu peronda semacam itu.
“Kita menunggu sejenak sampai api itu redup. Kita akan tetap memasuki Jati Anom menurut rencana. Seorang demi seorang akan meloncati dinding batu yang rendah itu,” berkata pemimpin gerombolan itu.
Beberapa orang di antara mereka justru menjadi gelisah. Mereka ingin segera memasuki Jati Anom dan menjajagi kemampuan prajurit Pajang dan perwira-perwiranya. Dalam pada itu, dua ekor kuda sedang berpacu seperti angin. Mereka berusaha untuk secepat-cepatnya mencapai Jati Anom. Tetapi jarak yang mereka tempuh masih jauh. Apalagi malam gelapnya bukan kepalang. Sehingga karena itu, kadang-kadang kuda-kuda itu pun terpaksa memperlambat langkah kakinya jika jalan yang dilaluinya menjadi sulit.
“Mudah-mudahan mereka tertunda oleh sesuatu hal,” bergumam salah seorang dari keduanya.
“Hanya apabila terjadi sebuah keajaiban,” sahut yang lain.
Keduanya tidak berbicara lagi. Kuda mereka berpacu terus menembus gelapnya malam yang pekat.

Di Jati Anom gerombolan orang-orang yang akan menyerang rumah Untara masih harus menunggu sejenak. Meskipun mereka mulai menjadi jemu dan mengumpat-umpat, namun pemimpin mereka berkata,
“Kita menunggu sejenak. Kita tidak dapat mencari jalan lain.”
“Bukankah ada dua jalan yang kemarin kita perbincangkan?” berkata salah seorang dari mereka.
“Kenapa dengan dua jalan.”
“Yang lain, kita langsung datang dari arah Timur.”
Tetapi pemimpinnya menggeleng. Katanya,
“Kita sudah mematangkan rencana kita. Kita tidak dapat merubah begitu saja. Karena itu, kita harus bersabar sebentar. Justru yang mereka lakukan itu akan menguntungkan kita. Mereka akan kelelahan dan langsung menjadi lengah. Mungkin di bagian lain, penjaga-jaganya lebih berwaspada dari penjaga-jaga yang tidak menepati perintah itu.”
Tidak ada lagi yang membantah. Mereka sadar, bahwa mereka harus mentaati perintah itu tanpa banyak persoalan. Karena itu mereka pun segera berpencar dan duduk bersandar dahan-dahan kayu yang ada sambil menunggu api itu redup.
“Api sudah redup,” berkata salah seorang dari kedua pengawas yang mendahului gerombolan penyerang itu,
“kita akan segera maju.”
Laporan itu pun segera sampai kepada pemimpin mereka mengikuti perkembangan di gardu itu dengan saksama.
“Sebentar lagi perapian itu akan padam. Daerah ini akan menjadi gelap dan kita akan merayap maju mendekati dinding padukuhan itu. Daerah itulah yang paling ringkih, sehingga jalan inilah yang paling baik kita lalui. Kita akan langsung sampai ke jalan kecil yang menuju ke bagian belakang rumah Untara. Kita akan berkumpul sejenak di halaman rumah di belakang rumah Untara untuk mematangkan semua rencana.”
Orang-orang dari gerombolan itu pun mulai mempersiapkan diri. Api di dekat gardu itu telah benar-benar menjadi redup dan hampir padam. Suara gelak tidak lagi terdengar. Agaknya beberapa orang justru telah menjadi mabuk karenanya. Pemimpin gerombolan itu masih menunggu sejenak. Diperintahkannya kedua pengawasnya mendekat lagi dan melihat perkembangan terakhir di gardu itu.
Sejenak kemudian kedua pengawas itu datang kepadanya dan berkata,
“Hanya anak-anak muda sajalah yang menjadi mabuk. Para prajurit masih tetap berjaga-jaga, meskipun dengan lesu. Satu dua di antara mereka masih berjalan hilir-mudik. Tetapi dinding yang kita tandai sebagai tempat yang paling baik itu agaknya memang paling aman. Gardu yang paling dekat dari gardu itu, agaknya juga sepi.”
“Lihat pula gardu itu untuk meyakinkan.”

Kedua orang itu pun segera berangkat. Gardu itu pun tidak terlalu jauh dari tempat mereka. Dan menurut rencana, mereka akan menyusup di antara kedua gardu itu. Gardu yang baru saja ribut, dan gardu lain yang tidak begitu jauh.
“Kenapa kedua orang itu harus melihat pula gardu yang lain?” desis salah seorang dari gerombolan yang gelisah itu.
“Pemimpin kita terlalu berhati-hati. Adakalanya baik, tetapi, ada kalanya, kita justru terlambat karenanya,” sahut salah seorang kawannya.
Tidak seorang pun lagi yang menyambung. Namun kegelisahan nampaknya menjadi semakin tajam.
Akhirnya kedua pengawas itu pun datang kepada pemimpin gerombolan itu dan berkata,
“Mereka pun mendapat makanan dari rumah Widura tampaknya. Tetapi mereka tidak terlalu ribut seperti gardu yang satu itu.”
“Jika demikian, kita dapat melangsungkan rencana kita.”
Namun belum lagi mereka bergerak, terdengar suara kentongan di kejauhan. Meskipun kentongan itu adalah sekedar isyarat agar para peronda tetap berhati-hati, namun pemimpin gerombolan itu berkata,
“Bersiaplah. Kita tunggu gema suara kentongan itu lenyap.”
Orang-orangnya menarik napas dalam-dalam. Tetapi mereka tidak berkata apa pun juga. Di perjalanan, kedua orang yang berpacu dari Pengging mencoba mempercepat laju kudanya. Tetapi kemampuan kuda mereka terbatas dan jalan-jalan pun tidak serata yang mereka harapkan. Meskipun demikian mereka masih mengharap, bahwa ada keajaiban yang menahan orang-orang yang akan menyerang itu, sehingga ia mendapat kesempatan untuk menggagalkan mereka.
“Tetapi kemungkinan itu kecil sekali,” gumam yang seorang.
“Aku tidak peduli. Tetapi kita harus sampai ke Jati Anom. Kita harus menyusur jalan sesuai dengan rencana yang sudah mereka berikan itu.”
Kawannya tidak menjawab. Ia hanya berdesis ketika angin yang kencang megusap wajahnya. Dingin malam terasa semakin menggigit kulit. Dan mereka harus berpacu lebih cepat lagi, agar mereka dapat mencapai Jati Anom sebelum terlambat.
Demikianlah, maka akhirnya malam yang sepi itu menjadi semakin sepi. Gerombolan penyerang yang sudah bersiap di sebelah Utara padukuhan Jati Anom itu menjadi semakin tegang. Dan sejenak kemudian pemimpinnya berkata kepada pembantunya yang berada di dekatnya,
“Apakah semua sudah siap?”
“Sudah sejak lama,” jawab pembantunya.
“Baik. Kita akan berangkat sekarang.”
“Marilah. Kita jangan membuang waktu.”

Tetapi tampaknya pemimpin rombongan itu menjadi ragu-ragu. Ada sesuatu yang terasa agak menghambat niatnya untuk segera menyerang. Namun ia tidak tahu, apakah sebenarnya yang telah terjadi di dalam dirinya, sehingga ia menjadi ragu-ragu. Ia tidak pernah mengalami hal serupa itu. Selama ini ia adalah seorang yang tidak pernah gentar menghadapi apa pun juga. Meskipun ia harus melakukan tugas yang sangat berat sekalipun, ia dapat menjalankan tugas itu sambil tertawa. Tetapi rasa-rasanya kali ini ia telah dibebani oleh sesuatu yang tidak dimengertinya sendiri.
“Persetan,” ia menggeram untuk mendapatkan kemantapan di dalam hati,
“tidak ada seorang perwira Pajang yang memiliki kemampuan seperti Ki Gede Pemanahan sekarang ini. Untara sendiri masih belum mencapai tingkat itu. Karena itu, aku tidak harus ragu-ragu. Aku baru boleh ragu-ragu jika Pemanahan sendiri ada di gardu itu, atau orang-orang yang telah membunuh Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak.”
Namun tiba-tiba timbul pertanyaan,
“Apakah orang-orang yang membunuh Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak itu ada di sini?”
Tetapi ia sendiri belum pernah melihat orang yang telah membunuh Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak itu. Namun demikian ia harus berhati-hati. Sepeninggal Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak, orang-orang semacam itu pasti tidak akan mengeram di Alas Mentaok untuk seterusnya, ia meski akan bertualang. Dan mungkin sampai ke Jati Anom ini. Dalam pada itu, orang-orang yang berpacu dari Pengging itu menjadi semakin dekat juga dengan Jati Anom. Meskipun pengharapan mereka sangat kecil, tetapi mereka masih juga mencoba dan berpacu sekencang-kencangnya.
“Kita langsung ke Lemah Cengkar,” berkata salah seorang dari mereka.
“Menurut laporan terakhir, rencana itu mengatakan bahwa mereka memasuki Jati Anom dari sebelah Utara. Kita akan menyusul mereka. Kita tinggalkan kuda kita di Lemah Cengkar.”
Kawannya tidak menjawab. Tetapi mereka berpacu secepat dapat mereka lakukan. Akhirnya mereka pun menjadi semakin dekat. Dengan napas terengah-engah mereka memasuki sebuah hutan perdu lewat gerumbul-gerumbul dan semak-semak liar mereka menerobos langsung memasuki daerah Lemah Cengkar.
“Kita sudah sampai di Lemah Cengkar,” desis salah seorang dari mereka.
“Tetapi sudah lewat tengah malam. Ternyata daerah ini sudah sepi. Mereka pasti sudah berangkat.”
“Kita tinggalkan kuda kita di sini. Kita mendekat.”

Mereka pun segera mengikat kuda mereka di tempat yang tersembunyi. Kemudian dengan tergesa-gesa mereka menyusup semak-semak pergi menyusul kawan-kawannya yang sudah mendahului mereka mendekati Jati Anom. Seperti pesan yang mereka dengar, pasukan kecil itu akan menyerang Jati Anom dari sebelah Utara.
“Cepat. Mudah-mudahan mereka masih di sebelah Utara padukuhan Jati Anom.”
Pada saat itulah pemimpin pasukan kecil yang akan menyerang Jati Anom itu baru mendapat kepastian bahwa jalan telah aman di hadapan mereka. Karena itu, maka ia pun segera berkata kepada pembantunya,
“Marilah kita masuk.”
“Sekarang. Jangan ditunda lagi. Orang kita menjadi gelisah dan jika terlampau lama kita mendekam di sini, mereka akan kehilangan napsu dan gairah untuk menumpas prajurit-prajurit Pajang itu.”
“Baiklah. Ingat, hanya dengan kecepatan bergerak kita tidak akan gagal. Kita harus menghancurkan penjaga rumah itu dengan tiba-tiba tanpa memberi kesempatan mereka memukul tengara. Dan aku bersama orang-orang yang sudah ditentukan akan membunuh para perwira di dalam rumah itu, juga tanpa memberi kesempatan mereka berbuat sesuatu. Tetapi harus ada satu orang yang masih sempat hidup di antara mereka.”
“Baik.”
“Nah, aku akan masuk lebih dahulu. Kemudian biarlah orang-orang kita mengikuti aku. Sedang kau akan masuk yang terakhir sekali sambil mengawasi keadaan bersama kedua pengawas itu.”
“Baik.”
Pemimpin gerombolan penyerang itu pun kemudian merayap di dalam gelapnya malam. Dengan sangat hati-hati ia mendekati dinding batu. Di kedua gardu sebelah-menyebelah yang tidak terlampau jauh jaraknya itu sudah tidak terdengar suara apa pun lagi. Untunglah bahwa malam gelapnya bukan kepalang, sehingga pemimpin pasukan penyerang itu dapat merayap tanpa dapat dilihat di antara rerumputan yang tinggi. Kemudian ia harus menyeberang sawah yang tidak terlampau luas, menyelusur pematang. Tetapi sawah itu agaknya tidak terlampau subur, sehingga daerah itu kurang mendapat perhatian. Bahkan daerah yang bersemak-semak liar itu pun masih juga tidak pernah disentuh tangan apalagi digarap. Daerah di sebelah Utara Jati Anom itu memang masih diperlukan saluran air yang cukup untuk membuatnya menjadi tanah pertanian. Dalam pada itu, seorang demi seorang merayap mendekati dinding batu padukuhan Jati Anom, dan seorang demi seorang telah meloncat masuk dengan sangat hati-hati di dalam lindungan gelapnya malam.

Sementara itu, kedua orang penghubung dari Pengging dengan tergesa-gesa mendekati padukuhan itu dari Utara pula. Tetapi ketika ia sampai di sebelah padukuhan Jati Anom, ternyata tempat itu telah sepi. Mereka tidak menjumpai seorang pun juga, karena orang yang terakhir ternyata telah merayap mendekat dinding dan meloncat masuk pula.
“Terlambat,” desis salah seorang dari keduanya,
“mereka sudah memasuki padukuhan itu.”
Kawannya menarik napas dalam-dalam. Namun ia bergumam,
“Tetapi aneh. Tidak terdengar keributan sama sekali. Jika kedatangan mereka sudah diketahui, maka mereka pasti sudah disergap.”
“Prajurit Pajang menunggu di halaman rumah Untara.”
Kawannya mengerutkan keningnya. Lalu,
“Apakah kita akan menyusul mereka, barangkali mereka masih belum bertindak.”
“Atau kita akan masuk ke dalam jebakan itu sama sekali.”
“Kita tidak akan memasuki halaman rumah Untara, dan kita sudah mempersiapkan diri jika benar-benar hal itu terjadi, sehingga kita tidak boleh memasuki daerah yang tidak akan mungkin mudah kita tinggalkan.”
Kawannya mengangguk-angguk sejenak, lalu,
“Apakah kau mengenal daerah Jati Anom dengan baik.”
“Tidak dengan baik, tetapi aku pernah mengelilingi daerah ini. Barangkali aku masih dapat mengenal satu dua jalur lorong di dalam padukuhan itu.”
“Baiklah. Tetapi bersiaplah untuk mati.”
“Ah, aku masih belum ingin mati. Aku mempunyai anak dan isteri. Jika aku mati, mereka akan bersedih. Dan isteriku akan menjadi janda muda.”
“Ia akan segera kawin lagi. Jangan cemas.”
“Persetan,” kawannya mengumpat.

Demikianlah keduanya dengan hati-hati merayap mendekati dinding padukuhan. Sejenak mereka memperhatikan lampu minyak yang berkeredipan di gardu. Ternyata bahwa perapian yang dibuat oleh para peronda telah hampir padam sama sekali.
“Sst, gardu peronda,” bisik yang seorang. Sedang yang lain menunjuk pula ke kejauhan, “Itu juga.”
“Hati-hati. Kita menerobos di tengah.”
Mereka menjadi semakin hati-hati. Perlahan sekali mereka maju. Namun akhirnya mereka sampai pula di balik tanggul parit yang kering di seberang jalan di pinggir padukuhan. Mereka harus menyeberangi jalan itu dan meloncati dinding.
“Marilah, tidak ada yang memperhatikan kita dari kedua gardu di sebelah-menyebelah,” bisik yang seorang.
Kawannya tidak menyahut. Dengan hati-hati sekali keduanya pun segera meloncat, memasuki Padukuhan Jati Anom. Pada saat itulah pemimpin gerombolan yang akan menyerang rumah Untara itu sedang memberikan beberapa petunjuk kepada anak buahnya, di kebun yang rimbun di belakang rumah Untara. Empat orang pemimpin kelompok kecil dari antara mereka mendapat pesan bagi kelompok masing-masing dengan seteliti-telitinya. Ke mana mereka harus pergi, dan apa saja yang harus mereka lakukan. Dan pemimpin kelompok itu kemudian berkata,
“Ingat, kalian harus menyergap seperti kalian menangkap seekor kepiting. Jika kau tidak sekaligus mendekap, maka tanganmulah yang justru akan disapitnya. Jika kepiting itu besar, maka mungkin jari-jari kalian akan putus. Demikian juga prajurit-prajurit Pajang yang bertugas itu. Apalagi para perwira. Jika yang bertugas di dalam rumah itu tidak sempat membunuh mereka, jaga agar mereka tetap terikat pada perkelahian yang mantap, agar kami dapat membunuhnya pula kemudian, kecuali seorang dari mereka akan hidup dan satu dua orang dari para prajurit yang bertugas di luar.”
Para pemimpin kelompok itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nah, sekarang lakukanlah. Jika kalian gagal maka nasib kita semuanya tidak akan lebih baik dari nasib Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak. Dan kita pun akan berbuat jantan seperti Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak karena mereka yakin akan kebenaran perjuangan kita ini.”
Para pemimpin kelompok itu pun kemudian kembali ke kelompok masing-masing. Sebuah isyarat yang kemudian diberikan oleh pemimpin kelompok itu, telah menggerakkan orang-orang itu semakin mendekati halaman rumah Untara dari arah belakang. Dalam pada itu, para prajurit pilihan yang berada di halaman rumah itu pun hampir menjadi semakin jemu menunggu. Bahkan ada satu dua di antara mereka yang tanpa dikehendakinya sendiri, telah terkantuk-kantuk bersandar sebatang pohon perdu yang rimbun. Dan di dalam biliknya, ternyata bahwa Swandaru telah benar-benar tidur mendekur.

Namun suara isyarat pemimpin kelompok penyerang yang tidak begitu keras itu ternyata telah menumbuhkan kecurigaan. Suara burung hantu itu disekat oleh irama yang terlampau teratur, sehingga suara itu telah mengingatkan Kiai Gringsing pada suara burung kedasih di Alas Mentaok. Ternyata bukan saja Kiai Gringsing yang telah mendengar suara isyarat itu. Ki Ranadana, Sumangkar, dan bahkan para prajurit di halaman pun telah menjadi curiga mendengar suara burung yang aneh itu. Meskipun demikian, ada juga di antara mereka yang menyangka, bahwa suara itu adalah suara burung hantu yang sebenarnya. Tetapi, ternyata bahwa para pemimpin kelompok yang ada di dalam halaman itu telah memberikan aba-aba pula, dengan menyentuh seorang yang bertugas di sampingnya, kemudian sentuhan itu pun menjalar dari yang seorang kepada orang lain. Bagi mereka yang berada pada jarak beberapa langkah, maka para prajurit itu pun telah mempergunakan batu-batu kerikil sebagai isyarat, bahwa mereka harus bersiap. Pada saat itulah, beberapa orang penyerang mulai tersembul dari balik dinding halaman di belakang rumah. Dengan sangat hati-hati, seorang demi seorang telah meloncat dinding itu. Maka sejenak kemudian, saat-saat yang paling menegangkan telah terjadi di halaman rumah Untara itu. Beberapa orang prajurit yang terpencar dan bersembunyi di balik semak-semak dapat melihat beberapa orang yang meloncat masuk itu. Tetapi seperti pesan yang mereka terima, mereka tidak boleh berbuat sesuatu jika belum ada perintah, kecuali apabila tanpa disengaja mereka telah diketahui oleh para penyerang itu. Tetapi karena para prajurit itu telah menempatkan diri pada tempat yang paling baik menurut pilihan mereka, maka orang-orang yang memasuki halaman di dalam gelap itu pun tidak segera dapat melihat mereka. Bahkan mereka sama sekali tidak menyangka, bahwa kedatangan mereka telah ditunggu oleh prajurit-prajurit Pajang justru yang paling baik yang ada di Jati Anom. Perlahan-lahan orang-orang yang memasuki halaman itu merayap semakin dalam. Seperti pesan yang telah mereka terima, maka mereka pun segera mengambil tempat mereka masing-masing. Dua kelompok dari mereka harus menyergap para prajurit yang bertugas di gardu depan. Sedang sekelompok yang lain harus memasuki rumah itu tersama dengan pemimpin kelompok dan seorang yang dikirim langsung oleh pemimpin-pemimpin mereka untuk membantu pemimpin kelompok itu membunuh para perwira yang ada di dalam rumah. Satu kelompok lagi harus mengawasi suasana, dan membunuh setiap orang yang berusaha melarikan diri dari halaman itu. Apakah ia seorang prajurit atau seorang perwira. Karena itu, maka mereka pun harus dapat bekerja sama sebaik-baiknya jika yang mereka hadapi adalah seorang perwira yang memiliki kemampuan yang tinggi. Demikianlah, keempat kelompok itu telah berada di tempatnya masing-masing seperti pesan pemimpinnya. Mereka menemukan tempat-tempat yang telah ditentukan, yang agaknya oleh seseorang yang telah mengenal halaman rumah itu sebaik-baiknya. Namun mereka tidak menyangka, bahwa di setiap sudut, bahkan beberapa, langkah dari tempat mereka bersembunyi, prajurit-prajurit Pajang yang terpilih selalu mengawasi mereka dengan saksama.

Kelompok-kelompok penyerang itu telah siap untuk melakukan penyergapan. Yang terakhir adalah usaha memasuki rumah itu tanpa menimbulkan persoalan. Karena itu, maka pemimpin kelompok itu sendirilah yang akan melakukannya, sementara kelompok yang lain mengawasi dengan saksama jika ada di antara mereka yang melarikan diri. Ternyata pemimpin kelompok itu adalah orang yang berpengalaman. Dengan hati-hati ia memutus tali-tali pengikat dinding di sudut rumah Untara yang paling lemah, di sudut belakang. Hampir tidak menimbulkan desir yang paling lembut sekalipun ia kemudian membuka dinding-dinding itu, dan dengan sangat hati-hati ia pun merayap masuk. Seorang dari anak buahnya dibawanya serta memasuki rumah yang sepi itu. Sejenak orang-orangnya menunggu. Ternyata bahwa ketegangan yang menghentak-hentak dada hampir tidak tertahankan.


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar