Namun kemudian barulah dapat mereka lihat dengan jelas, setelah mereka pun ada di bulak itu. Yang mereka lihat sama sekali bukan tanaman jagung raksasa yang rapat berhimpit-himpitan, bukan pula sebuah dinding batu di pinggir parit, tetapi yang mereka lihat adalah anak-anak muda Sangkal Putung yang berdiri berjajar rapat di sebelah menyebelah jalan. Darah anak-anak muda Semangkak itu bagaikan berhenti mengalir. Mereka tidak dapat mengirakan, berapa jumlah anak-anak muda Sangkal Putung itu. Mungkin empat atau lima kali lipat jumlah mereka. Tetapi ternyata anak-anak muda Sangkal Putung itu tidak berbuat apa-apa. Mereka hanya. berdiri saja seakan-akan membeku.
Ketika
anak-anak Semangkak menyadari bahwa disebelah menyebelah mereka berdiri
anak-anak Sangkal Putung dalam jumlah yang tidak mereka duga, terasa betapa
kecutnya hati mereka. Anak-anak bengal yang semula membusungkan dada, menjadi
semakin berkerut melihat kenyataan itu. Mereka mulai ragu-ragu sejak seorang
gadis bernama Sekar Mirah dengan mudahnya berhasil mengalahkan anak-anak muda
Semangkak yang mereka anggap anak-anak terbaik di kalangan mereka. Apalagi kini
mereka melihat anak-anak mudanya dalam jumlah yang tidak dapat mereka
perkirakan.
Wita sendiri
yang berjalan di depan rasa-rasanya hampir tidak lagi dapat mengangkat kakinya.
Kakinya itu seakan-akan menjadi berat, dan meskipun ia melangkah terus, tetapi
seakan-akan ia tidak bergerak maju. Setiap kali ia memandang dengan sudut
matanya, masih saja dilihatnya bayangan hitam yang berderet di seberang parit.
“Gila, mereka
memang gila” ia menggeram didalam hatinya. Namun ia dapat juga berpikir,
“Jika Seorang
gadis dapat mengalahkan aku, apa saja yang dapat dilakukan oleh anak-anak muda
Sangkal Putung itu?”
Wita terkejut
ketika tiba-tiba saja ia mendengar suara di belakang iring-iringan anak-anak
Semangkak itu,
“Ha, ternyata
dugaanku benar. Anak-anak Sangkal Putung yang sekarang masih seperti anak-anak
mudanya pada masa-masa Tohpati ada di mulut gerbang Kademangan kalian. He.
apakah masih ada diantara kalian yang mengenal aku?”
Tidak
terdengar jawaban.
“Siapakah yang
masih mengenal aku? Dimana Swandaru?”
Baru kemudian
terdengar jawaban,
“Ia berada
di-rumahnya.
“Di rumahnya.
Jadi ia berada di Kademangan?”
“Ya. Ia sudah
siap melindungi rumahnya jika terjadi sesuatu bersama Agung Sedayu.”
“Maksudmu adik
Senapati Untara?”
“Ya, bersama
gurunya dan guru Tohpati.”
“He gila kau.
Gurunya dan guru Tohpati?”
“Ya, Kiai
Gringsing dan paman guru Tohpati, Sumangkar.”
“Bukan main,
bukan main” bekas prajurit Pajang itu mengangguk-angguk. Lalu,
“Terima kasih
atas kebaikan hati kalian. Ternyata kalian bersikap cukup dewasa. Kalian tidak
terpancing oleh kebodohan anakku ini. Dan kalian telah menang tanpa mengalahkan
kami.”
Anak-anak muda
Sangkal Putung itu tidak menjawab. Namun terdengar anak muda yang lain berkata,
“Selamat jalan
mudah-mudahan hal yang serupa tidak terulang lagi.”
“Terima kasih.
Terima kasih. Aku akan menjaganya. Seharusnya aku menang di perjudian malam
ini. Hari ini adalah hari yang paling baik bagiku. Tetapi lewat tengah malam.
kabegjan itu sudah beralih pada orang lain.” lalu iapun mengumpat,
“anak setan.
Kalian sudah mengganggu kemujuranku malam ini.”
Anak-anak
Semangkak itu berjalan sambil menundukkan kepalanya. Hati mereka memang sudah
berkerut. Dan mereka tidak berani memandang wajah-wajah anak Sangkal Putung
meskipun di dalam kegelapan.
Ternyata bahwa
anak-anak Sangkal memanjang di pinggir
jalan itu cukup banyak. Rasa-rasanya pagar itu tidak habis-habisnya sampai ke
tengah bulak. Dan rasa-rasanya kaki anak-anak muda Semangkak itu semakin lama
menjadi semakin berat. Mereka yang berdiri di pinggir jalan tidak sekedar
anak-anak dari induk Kademangan saja, tetapi juga dari padukuhan-padukuhan lain
di Kademangan Sangkal Putung. Susunan tata hubungan anak-anak muda Sangkal
Putung yang dibentuk sejak Tohpati masih berada di hadapan hidung mereka,
ternyata masih memungkinkan mereka bergerak cepat dan teratur. Meskipun mereka
berkumpul dalam jumlah yang besar, tetapi mereka tetap terkendali oleh pemimpin
kelompok yang harus bertanggung jawab kepada Swandaru. Demikianlah, ketika Wita
berhasil mencapai ujung dari pagar manusia itu, tiba-tiba langkahnya menjadi
semakin cepat. Rasa-rasanya ia sudah terlepas dari hisapan tanah di sepanjang
jalan, dan terasa kakinya menjadi semakin ringan. Demikian pula kawan-kawannya
yang lain. Mereka berjalan semakin cepat, bahkan seolah-olah mereka telah
berlari-lari kecil. Dengan kepala tunduk mereka mau tidak mau harus meresapi
suatu pengalaman baru didalam hidup. Mau tidak mau mereka harus mulai menilai
kembali perbuatan yang baru saja mereka lakukan. Terlebih-lebih Wita. Meskipun
mula-mula ia berusaha untuk mencari alasan yang dapat menyenangkan hatinya
sendiri, namun akhirnya ia jatuh kedalam suatu pengakuan, bahwa perbuatan yang
baru saja dilakukan adalah perbuatan yang bodoh. Kini hatinya menjadi
berdebar-debar. Pengasuhnya itu pasti akan marah-marah tiada terkirakan.
Mungkin ia benar-benar akan memukuli anak-anak muda itu seorang demi seorang.
Atau bahkan tidak mau lagi mengajari mereka dengan olah kanuragan. Jika
demikian maka kawan-kawannya itu pasti akan mulai menyalahkannya, karena ia
adalah sumber dari peristiwa ini. Sejenak Wita yang gelisah itu berpaling.
Dilihatnya kawan-kawannya berjalan dengan kepala tunduk pula. Demikianlah maka
anak-anak muda itu berjalan semakin cepat tanpa berbicara lagi yang satu dengan
yang lain. Yang masih terdengar bergeremang adalah bekas prajurit yang berjalan
bersama beberapa anak muda yang tidak mau membantu Wita. Karena setiap kali
bekas prajurit itu masih saja berkata,
“Aku
kehilangan kesempatan. Jika aku menang dan menjadi kaya, kalian akan aku
belikan sepasang ayam yang paling baik. Ayam-ayam itu akan bertelur dan menetas
menjadi banyak. Kalian dapat menjualnya dan membeli kambing”
Tidak seorang
pun yang menyahut. Tetapi beberapa orang diantara mereka hanya tersenyum saja.
Sepeninggal
anak-anak Semangkak, maka para bebahu Semangkak pun segera minta diri. Seperti
juga ayah Wita, maka para bebahu Kademangan Semangkak itupun minta maaf atas
segala kelalaian mereka mengurusi anak-anak itu.
“Kami akan
berusaha lebih baik lagi di masa datang” berkata Ki Demang di Semangkak,
“kami menjadi
iri melihat, bagaimana kalian di sini berhasil menguasai anak-anak muda
kalian.”
“Anak-anak
muda itu sendiri bersedia membantu kami. Mereka berusaha mengendalikan diri
masing-masing” sahut Ki Demang di Sangkal Putung,
“tetapi itu
bukan berarti bahwa tidak ada persoalan sama sekali di sini”
“Tetapi aku
melihat Kademangan mu selalu tenang.”
“Kadang-kadang
ada juga gelombang-gelombang kecil didalam tata pergaulan. Tetapi justru
perjuangan untuk mempertahankan Kademangan ini dari kehancuran itulah yang telah
mengikat anak-anak kita, meskipun ada juga yang berusaha melupakannya
seolah-olah hal itu tidak pernah terjadi.”
“Salah” desis
Ki Demang di Semangkak,
“kalian yang
sudah mempunyai kesempatan yang baik harus tetap memelihara kesadaran itu.
Kesadaran atas pengorbanan yang pernah kalian berikan untuk mempertahankan
Kademangan ini dari kehancuran. Kami yang meskipun juga mengalami tetapi tidak
sedahsyat Sangkal Putung, telah terlanjur kehilangan ikatan itu. Dan ini adalah
kesalahan kami yang terbesar.”
Ki Demang
Sangkal Putung mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Perjuangan
itu adalah puncak perjuangan bagi kalian. Yang dapat kita lakukan sekarang
adalah akibat dari perjuangan kalian dibantu oleh prajurit Pajang.”
“Setiap masa
mempunyai puncak-puncak perjuangan masing-masing, yang merupakan mata rantai
perjalanan sejarah Kademangan ini menjelang masa depan yang baik. Setiap masa
menyimpan kemungkinan yang sama dan setaraf dalam pembentukan wajah Kademangan
ini. Namun yang satu tidak boleh bertentangan dengan yang lain. Yang kemudian
tidak boleh menghapuskan nilai-nilai yang hakiki yang pernah dicapai
sebelumnya, apalagi jika diingat korban-korban yang pernah jatuh. Tentu mereka
tidak akan merelakan dirinya menjadi korban tanpa suatu keyakinan atas tujuan
perjuangannya. Itulah yang kita kenang. Dan tujuan itu tidak boleh menyimpang.
Sekarang dan seterusnya”
Ki Demang di
Semangkak dan bebahunya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Aku akan
berusaha. Kami di Semangkak pernah mengalaminya juga meskipun tidak sebesar
Sangkal Putung. Tetapi itu bukan berarti bahwa kami sekarang dapat berbuat
sekehendak hati. Dan inilah yang sudah terjadi di daerah kami. Tuak, judi,
sabung ayam dan semuanya yang sama sekali tidak pernah dibayangkan akan
berkembang sampai demikian luasnya.”
“Dan yang
tidak pernah dibayangkan oleh siapapun juga di saat-saat kita menggenggam
senjata di peperangan” tiba-tiba
terdengar suara lain di belakang mereka.
Ketika mereka
berpaling. dilihatnya Swandaru datang diikuti oleh Agung Sedayu.
“O, kau” desis
Ki Demang di Semangkak,
“dimana kau
selama ini? Adikmu telah membuat kami semuanya kagum. Meskipun ia seorang
gadis, namun tindakannya yang tepat hampir menentukan. Kelicikan sebagian
anak-anak muda Semangkak itu akhirnya dapat diatasi oleh guru mereka sendiri.”
Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekilas ia berpaling memandang Sekar Mirah yang
duduk di tangga pendapa. Sambil tersenyum ia berkata,
“Kau tentu
kecewa bahwa anak-anak muda itu tidak berhasil mengalahkan kau.”
Sekar Mirah
mengerutkan keningnya.
“Aku juga ikut
berharap agar salah seorang dari mereka dapat menang atasmu, dan kau akan ikut
berani dengan mereka.”
Sekar Mirah
menjadi tegang sejenak namun kemudian tangannya meraba-raba di bawah kakinya.
Ketika terpegang olehnya sebutir batu maka batu itupun segera dilemparkan kepada
kakaknya sambil berkata,
“Kaulah yang
membuat gara-gara.”
“Eh, jangan”
Swandaru sempat menghindar. Ketika Sekar Mirah mencari batu berikutnya,
Swandaru pun segera berlindung dibalik ayahnya yang sedang berdiri berhadapan
dengan Ki Demang Semangkak.
“Sst,
ketegangan di dada kami masih belum mereda” berkata Ki Demang,
“jangan
bergurau. Ki Demang di Semangkak masih ada di sini.”
“O” Swandaru
menganggukkan kepalanya sambil berkata,
“aku melihat
semuanya dari dahan pohon di sebelah halaman.”
Ki Demang di
Semangkak mengerutkan keningnya. Di dalam kegelapan ia melihat beberapa anak
muda berdiri termangu-mangu.
“Ternyata
bahwa kalian mampu mengendalikan diri. Perjuangan yang berat dimasa lewat itu
membuat kalian benar-benar menjadi anak muda yang masak. Yang bertanggung
jawab.”
“Ah, Ki Demang
memuji.” sahut Swandaru,
“tidak semua
anak-anak muda Semangkak mudah dibakar oleh api perasaan sendiri. Tetapi karena
jumlah mereka yang dewasa lebih sedikit dari mereka yang sedang bergulat dalam
pembentukan pribadi itu ternyata bahwa mereka tampaknya justru tersisih.”
Demikianlah,
sejenak kemudian Ki Demang di Semangkak pun minta diri kepada Ki Demang di
Sangkal putung. Bersama beberapa orang bebahu yang lain iapun kemudian
meninggalkan halaman Kademangan. Tetapi agaknya Ki Demang Sangkal Putung tidak
melepaskannya begitu saja. Maka diantarkannya Ki Demang itu sampai lepas dari
padukuhan induk Sangkal Putung.
Di depan
regol, kedua Demang itu mengerutkan keningnya. Mereka masih menjumpai anak-anak
muda Sangkal Putung di luar padesan berdiri berjajar di sebelah menyebelah
jalan.
“Apa yang
terjadi?” Ki Demang Sangkal Putung bertanya dengan cemas.
Namun jawab
salah seorang dari anak-anak muda itu membuatnya menarik nafas lega,
“Tidak ada apa-apa
Ki Demang.”
“Jadi,
darimanakah kalian?” bertanya Ki Demang di Semangkak.
“Kami baru
datang menyingkirkan diri.”
“O” Ki Demang
di Semangkak mengangguk-anggukkan kepalanya,
“terima kasih
atas kebaikan hati kalian. Kalian telah menghindari benturan yang dapat
terjadi.”
Anak muda itu
tidak menyahut. Ia hanya tersenyum saja.
“Aku minta
diri” berkata Ki Demang di Semangkak kepada anak-anak muda itu,
“mudah-mudahan
persoalannya tidak akan terulang lagi. Aku minta maaf.”
“Mudah-mudahan
Ki Demang” sahut anak-anak muda itu.
Ki Demang di
Semangkak dan beberapa orang Semangkak yang lain itupun segera meninggalkan
Sangkal Putung. Ternyata mereka telah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk
mengendalikan anak mudanya. Bahkan ayah Wita yang hampir saja melepaskan
anaknya yang tidak dapat diaturnya lagi, untuk kali yang terakhir berusaha
menghindarkan benturan antara anak-anak Semangkak dan Sangkal Putung. Meskipun
demikian kadang-kadang tumbuh juga di hati Demang di Semangkak, bahkan para
bebahu yang lain yang hampir-hampir tidak dapat menahan kejengkelannya terhadap
anak-anak mereka sendiri pendirian,
“Jika
anak-anak Semangkak itu sudah menjadi babak belur oleh anak-Sangkal Putung,
barulah mereka akan jera.”
Dalam pada
itu, sepeninggal para bebahu Kademangan Semangkak, Ki Demang di Sangkal Putung
berbisik kepada Swandaru,
“Apa kerja
anak-anak itu di luar regol? Apakah mereka dengan sengaja memancing persoalan
atas Semangkak yang justru sudah berhasil didorong keluar dari Kademangan ini?”
Swandaru menarik
nafas dalam-dalam. Jawabnya,
“Mereka tidak
berbuat apa-apa ayah.”
“Tetapi kenapa
mereka berada di situ? Dalam keadaan yang panas, sesuatu masih mungkin terjadi.
Bukankah aku minta kau menyingkirkan anak-anak itu?”
“Aku memang
sudah menyingkirkan mereka. Tetapi bagaimana jika terjadi sesuatu? Aku memang
minta mereka tidak pergi terlampau jauh.”
Namun Ki
Demang memotong,
“Dan kau
memang meminta kepada mereka agar mereka berdiri berderet-deret jika anak-anak
Semangkak itu kembali meninggalkan Sangkal Putung. Kau ingin mengatakan kepada
mereka bahwa sebenarnya anak-anak muda Semangkak itu sama sekali tidak ada arti
apa-apa bagi anak-anak muda Sangkal Putung. Kau ingin mengatakan. Jika kami
mau, kalian akan dapat kami hancurkan. Bukankah begitu?”
Swandaru tidak
menyahut.
“Permainanmu
termasuk berbahaya Swandaru masih juga tidak dapat melepaskan perasaanmu sama
sekali. Di satu pihak kau menyingkirkan anak-anak muda itu agar tidak terjadi
benturan, tetapi di lain pihak, kesombongan masih saja belum dapat kau tekan
sedalam-dalamnya. Kau masih tidak mau disebut, bahwa anak-anak muda Sangkal
Putung lari. Bukankah begitu?”
Swandaru masih
belum menyahut. Kepalanya tertunduk semakin dalam.
“Bayangkan.
Kau mengumpulkan anak-anak muda sekian banyaknya, jika terjadi sesuatu,
anak-anak Semangkak itu pasti akan babak belur. Jika sudah terpercik setitik
api pertengkaran, kau tidak akan dapat mencegahnya lagi. Dan jika akibatnya
terlampau berat bagi anak-anak Semangkak, maka anak-anak yang lain, yang
sebenarnya tidak ikut-ikutan, akan menjadi sakit hati juga. Bagaimanapun juga
mereka adalah kawan-kawan sepermainan. Bahkan mungkin mereka akan berusaha
berbuat sesuatu untuk menghapuskan sakit hati mereka itu.”
Swandaru
mengangguk-angguk keeil. Dipandanginya anak-anak muda Sangkal Putung yang masih
berkeliaran diluar regol.
“Nah, akan kau
suruh kemana mereka sekarang. Tentu ada sesuatu yang tersimpan didalam dada dan
masih belum tersalur. Mereka tidak akan puas berdiri saja di pinggir desa,
kemudian pulang tanpa berbuat apa-apa.”
Swandaru menjadi
bingung. Ditatapnya wajah Agung Sedayu sejenak, seolah-olah la ingin bertanya,
“Bagaimana
sebaiknya?”
Tetapi Agung
Sedayu ternyata menyesali pula sikap Swandaru yang seolah-olah bermain-main
dengan api disamping seonggok jerami yang basah karena minyak.
“Lalu apakah
yang sebaiknya kita kerjakan ayah?” bertanya Swandaru kemudian.
Ki Demang di
Sangkal Putung termangu-mangu sejenak. Tetapi ia tidak akan dapat membiarkan
anak-anak itu begitu saja dan bubar dengan sendirinya. Karena itu, maka katanya
kepada Swandaru,
“Suruhlah
mereka bubar. Tetapi kau harus berusaha agar anak-anak itu tidak kecewa setelah
berdiri saja tanpa berbuat apa-apa.”
“Jadi
bagaimana?”
“Mereka harus
berada di gardu-gardu di padukuhan mereka masing-masing. Katakan kepada mereka,
bahwa keadaan sudah akan mereda dengan perlahan-lahan. Jika tidak ada apa-apa
lagi, maka kau sendiri akan berkeliling ke setiap gardu.”
Swandaru
mengerutkan keningnya. Itu berarti bahwa semalam suntuk ia tidak akan dapat
tidur, karena ia pergi dari gardu ke gardu. Dari padukuhan ke padukuhan. Tetapi
Swandaru tidak dapat menolak. Ia harus memberikan imbangan, karena anak-anak
muda itu telah berkumpul di Kademangan induk untuk sekedar berdiri berjajar di
pinggir jalan.
“Untunglah
bahwa mereka cukup kuat menahan perasaan” berkata Swandaru didalam hatinya.
Baru kini merasa, permainan itu cukup berbahaya. Dan untuk sekedar memanjakan
harga dirinya.
“Kenapa kau
diam saja Swandaru?” bertanya ayahnya.
Swandaru
mengangguk sambil menjawab,
“Ya Aku akan
menemui mereka.”
“Cepat. Aku
akan kembali. Para bebahu yang lain pun akan kembali”
Demikianlah
maka dengan langkah yang berat Swandaru pergi keluar regol padukuhannya. Atas
permintaanya maka Agung Sedayu pun mengikutinya pula.
Hati Swandaru
menjadi berdebar-debar ketika ia melihat anak-anak muda itu masih utuh dan
menunggunya. Agaknya mereka dengan patuh memenuhi segala pesannya untuk menahan
diri jika tidak ada persoalan yang tidak terhindarkan lagi, karena anak-anak
Semangkak telah memulai.
“Apa yang
harus kita lakukan sekarang Swandaru” bertanya salah seorang dari mereka.
Swandaru menarik
nafas dalam-dalam. Jawabnya,
“Pertama-tama
kita bersyukur bahwa tidak terjadi sesuatu diantara kita dengan anak-anak
Semangkak itu.”
“Aku berpikir
lain” desis seorang dari mereka aku merasa kecewa bahwa mereka tidak berbuat
apa-apa.
“Jika mereka
memulainya akan ada alasan bagi kita untuk memukul mereka sampai jera.”
“Ya, dan kita
ternyata hanya sekedar berdiri saja menjadi makanan nyamuk.”
“Tetapi kita
sudah berbangga.”
“Apa yang
dapat kita banggakan.” bertanya seorang yang bertubuh tinggi.
“Kita berhasil
menahan perasaan yang bergejolak di dalam dada kita. Itu adalah suatu
perjuangan tersendiri. Perjuangan yang paling berat. Yang tidak dapat dilakukan
oleh anak-anak muda Semangkak sehingga mereka datang beramai-ramai kemari.
Sedang kita yang yakin akan kelebihan dan kemenangan kita, tidak berbuat apapun
juga meskipun anak-anak Semangkak itu sudah berada di hadapan hidung kita.”
Anak-anak muda
itu menarik nafas dalam-dalam.
“Lalu sekarang?”bertanya
salah seorang dari mereka.
“Sebagian dari
kewajiban kita sudah selesai. Mudah-mudahan tidak ada akibat apapun yang
menyusul.”
Anak-anak yang
lebih muda dari Swandaru menjadi kecewa. Tetapi yang lebih tua dari mereka pun
kemudian berkata,
“Marilah kita
kembali. Lebih baik tidak terjadi sesuatu daripada kita harus mempersoalkannya
sampai berkepanjangan”
“Selanjutnya
aku akan memberi kabar kepada kalian” berkata Swandaru kemudian.
“Kabar apa?”
bertanya salah seorang dari mereka.
“Aku akan
memberikan kabar tentang perkembangan keadaan. Apapun yang akan terjadi, aku
akan menemui kalian di gardu-gardu di padukuhan kalian.”
“Kau akan
mengelilingi Kademangan?”
“Ya.”
“Semalam
suntuk?”
“Ya.”
Anak-anak muda
itu saling berpandangan sejenak Kemudian salah seorang bertanya,
“Kau
benar-benar akan mengelilingi Kademangan ini?”
“Ya, kenapa?”
jawab Swandaru
”didalam
keadaan yang tenang dan aman seperti sekarang, mengelilingi Kademangan adalah
suatu tamasya yang menarik. Apalagi di malam hari. Sedang di saat Kademangan
ini berada di ujung kuku Tohpati, aku kadang-kadang harus mengelilingi
Kademangan ini di malam hari.”
Anak-anak muda
itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka percaya bahwa Swandaru memang ikut
menghayati perjuangan melawan Tohpati seperti beberapa orang anak-anak muda
itu. Sedang mereka yang lebih muda saat itu, mengetahui pula, bahwa Swandaru
merupakan seorang yang ikut memimpin anak-anak muda Sangkal Putung. Demikianlah,
maka dengan hati yang kecewa, anak-anak muda itu kembali ke padukuhan masing-masing.
Meskipun mereka berhasil menahan perasaan namun sebenarnya, sebagian besar dari
mereka ingin berbuat sesuatu, ingin membuat anak-anak muda Semangkak itu
menjadi jera. Tetapi mereka tidak mendapat kesempatan itu. Karena itu, mereka
melepaskan kekecewaan itu dengan duduk-duduk dan berbaring di gardu-gardu.
Berbicara, berkelakar dan bahkan ada yang melontarkan tembang macapat
keras-keras.
“Kau kawani
aku” berkata Swandaru kepada Agung Sedayu.
“Mengelilingi
Kademangan?”
“Ya.”
Agung Sedayu
menggelengkan kepala sambil menyahut,
“Aku lelah
sekali. Pergilah sendiri. Apakah kau takut?”
“Takut tidak.
Tetapi seorang diri dimalam begini menyelusur bulak adalah kerja yang
menjemukan sekali.”
“Salahmu.”
“Kenapa
salahku?”
“Kau suruh
anak-anak itu berkumpul di depan regol.”
“Kalau terjadi
sesuatu?”
“Asal mereka
tahu. Dengan kentongan kita dapat memanggil mereka tanpa membuat mereka jemu
berdiri di pinggir parit bernyamuk itu.”
Swandaru tidak
segera menyahut. Dipandanginya wajah Agung Sedayu sejenak. Tetapi ia tidak
mendapat kesan apapun dari wajah yang kosong itu.
“Jadi kau juga
menyalahkan aku seperti ayah?” bertanya Swandaru.
“Ya.
Barangkali setiap orang di Sangkal Putung menganggap kau salah.”
Swandaru
menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun kemudian berkata,
“Baiklah.
Katakanlah aku telah melakukan kesalahan. Tetapi kau harus mau mengawani aku
mengelilingi Sangkal Putung.”
Agung Sedayu
menggeleng,
“Aku akan
tidur.”
“Aku akan
memukul kentongan” berkata Swandaru.
“Kenapa?”
“Kau orang
asing di sini.”
“Ah” Agung Sedayu
mengerutkan keningnya.
“Pilih salah
satu” berkata Swandaru,
“pergi
bersamaku atau aku memanggil anak-anak itu kemari. Di sini ada orang asing.
Biarlah mereka menyalurkan kekecewaannya di sini, sehingga dengan demikian aku
tidak usah pergi mengelilingi Kademangan.”
“Ah, macammu.”
Swandaru tidak
menyahut. Tetapi tiba-tiba ia tertawa sambil berkata,
“Kau tinggal
memilih. Aku akan menghitung sampai tiga. Kau harus menentukan pilihan.”
Agung Sedayu
tidak menyahut. Tetapi ia berjalan kembali ke Kademangan.
“Jika kau
tidak menjawab, artinya kau bersedia. Kita memang harus kembali ke Kademangan
mengambil kuda.”
“Macam kau”
gumam Agung Sedayu,
“cepat
sedikit, sehingga kita masih mempunyai kesempatan untuk tidur barang sekejap.”
Swandaru masih
tertawa. Tetapi ia pun berlari-lari di belakang Agung Sedayu kembali ke
Kademangan untuk mengambil kuda. Sejenak kemudian mereka berdua telah
menjelajahi Kademangan Sangkal Putung diatas punggung kuda. Di setiap bulak
mereka seakan-akan berpacu, agar mereka segera mencapai padukuhan berikutnya.
Di setiap padukuhan mereka berhenti pada gardu-gardu yang berserakan sekedar
menampakkan diri untuk mengurangi perasaan kecewa yang mencengkam. Namun
anak-anak muda yang lebih besar dapat juga memberikan penjelasan sehingga anak
yang lebih muda dapat mengerti, maksud dan tujuan Swandaru.
“Swandaru
ingin membuat mereka jera tanpa menimbulkan benturan” berkata salah seorang
pemimpin kelompok kepada anak buahnya.
“Aku lebih
senang berkelahi” desis seorang anak tanggung yang baru saja meningkat masa
yang gelisah.
“Mungkin kau
senang mendapat suatu pengalaman. Tetapi akibatnya akan berkepanjangan. Kita
tidak ingin berperang melawan Semangkak meskipun kita menang, karena kita
memiliki ikatan kesatuan dengan Kademangan di sekitar Sangkal Putung”
Anak-anak yang
lebih muda itu tidak menjawab. Mereka mencoba untuk mengerti arti kata-kata
kawannya yang lebih tua itu.
Demikianlah
Swandaru dan Agung Sedayu benar-benar telah mengelilingi Kademangan Sangkal
Putung tanpa ada yang dilampauinya. Terutama padukuhan-padukuhan yang terdekat
dengan induk Kademangan, yang telah mengirimkan beberapa orang anak-anak
mudanya untuk pergi ke Sangkal Putung, berdiri berderet-deret di tepi parit. Dalam
pada itu, di Kademangan Ki Demang Sangkal Putung masih berbicara sejenak dengan
para bebahu Kademangan dan kedua orang guru yang tinggal di Kademangan itu
pula, Kiai Gringsing dan Sumangkar. Tetapi karena malam menjadi semakin larut,
maka para bebahu yang lain pun segera minta diri pula.
“Swandaru
masih belum mencapai separo perjalanannya” desis Ki Jagabaya,
“kasihan anak
itu.”
Ki Demang
tidak menyahut. Ia hanya tersenyum saja ia tahu benar, bahwa keadaan di
Kademangan ini sudah cukup baik, sehingga tidak akan ada bahaya diperjalanan. Kecuali
kalau karena lelah dan kantuk, anak itu dilemparkan oleh kudanya. Tetapi
Swandaru dan Agung Sedayu adalah penunggang kuda yang baik.
Demikianlah,
setelah Kademangan itu menjadi sepi, Kiai Gringsing dan Sumangkar duduk di
serambi gandok. Pendapa Kademangan telah menjadi lengang dan di halaman pun
tidak ada lagi anak-anak muda yang berkeliaran, selain beberapa orang yang
berada di gardu. Keduanya masih belum dapat tidur jika Swandaru dan Agung
Sedayu masih belum datang kembali. Namun selain kedua anak-anak muda itu,
keduanya melihat keadaan yang berkembang di daerah Selatan ini dengan sudut
pandangan mereka sendiri. Meskipun demikian agaknya keduanya mendapatkan
beberapa persesuaian penilaian atas keadaan itu.
“Mudah-mudahan
goncangan-angan atas nilai peradaban ini tidak berkembang terus” berkata Kiai
Gringsing,
“sebab dengan
demikian keadaan akan semakin goyah, sejalan dengan perkembangan hubungan yang
memburuk antara Pajang dan Mataram. Menurut Agung Sedayu, diantara para
prajurit Pajang telah berkembang suatu pandangan yang sangat buruk terhadap
Mataram. Bahkan ada diantara perwira yang tidak dapat mempergunakan nalarnya
lagi.”
“Kesan
keseluruhan, ada kecurigaan yang semakin lama semakin memuncak” sahut
Sumangkar.
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu,
“Dan di sini
kita menemukan goncangan-goncangan semacam itu pula, meskipun dari segi yang
berbeda. Jika anak-anak muda itu tidak terkendali, maka jika terjadi sesuatu
antara Mataram dan Pajang, yang seharusnya masih mungkin dikendalikan, namun
api itu pasti sudah membakar jiwa anak-anak muda yang masih belum punya
pegangan hidup itu. Mereka tidak akan menyadari arti dari persoalannya, tetapi
mereka akan menjadi minyak yang paling peka terhadap api itu.”
“Itulah yang
mencemaskan” berkata Sumangkar kemudian,
“suasana yang
berkembang mirip sekali dengan keadaan menjelang Pajang berdiri. Saling curiga
mencurigai, saling mendendam dan berkelahi tanpa sebab.”
Kiai Gringsing
mengerutkan keningnya. Ternyata Sumangkar yang pernah tinggal di Kepatihan
Jipang memandang keadaan ini bukan saja di permukaannya. Bukan saja riak-riak
kecil di atas wajah air yang bergetar karena angin. Tetapi Sumangkar sudah
menilai arus yang mengalir dibawah gelombang yang katon. Dan Kiai Gringsing pun
sebenarnya menjadi sangat cemas pula. Jika para prajurit Pajang tidak lagi
mempunyai kepercayaan terhadap kehadiran Mataram, maka pengaruhnya pasti akan
meluas. Tetapi keduanya kini tidak mempunyai banyak kesempatan untuk berbuat
sesuatu. Keduanya bukan orang-orang istana dan bukan pula perwira tertinggi
prajurit Pajang. Karena itu, mereka hanya dapat berharap, agar para pemimpin di
Pajang mampu mengendalikan dirinya, sehingga persoalannya dengan Mataram dapat
diselesaikan sewajarnya.
Keduanya untuk
beberapa lamanya masih saja berbincang. Meskipun tidak ada yang dapat mereka
lakukan untuk ikut menentukan perkembangan keadaan secara pasti, tetapi mereka
berketetapan hati akan menempuh segala cara jikalau mungkin, untuk membantu
menjernihkan suasana.
“Tetapi Sultan
Pajang ternyata bukan seorang yang teguh memegang pendirian” berkata Sumangkar
tiba-tiba.
Kiai Gringsing
mengerutkan keningnya. Sumangkar adalah adik seperguruan Patih Mantahun dari
Jipang yang dikalahkan oleh Sultan Pajang, sehingga penilaiannya pasti masih
dipengaruhi oleh keadaannya itu. Namun Sumangkar melanjutkan,
“Aku adalah
orang yang paling lunak menghadapi Pajang pada saat Jipang masih kuat. Aku
memang berpengharapan, bahwa Sultan Pajang yang sekarang akan dapat
mengembangkan kebesaran Demak yang hancur karena setiap orang ingin berkuasa.
Setiap orang merasa dirinya berhak dan mampu memerintah. Tetapi yang terjadi
adalah kehancuran yang hampir tidak dapat ditolong lagi. Dalam keadaan yang
gawat itu tampil Adiwijaya. Adipati Pajang. Namun setelah ia berhasil mewarisi
kekuasaan Demak, maka pemerintahan yang dipimpinnya sama sekali tidak
berkembang. Orang-orang yang paling penting di sekitarnya, ternyata telah
pergi. Meskipun orang-orang itu lahir dari celah-celah rakyat kecil, tetapi
kemampuan mereka dalam olah kanuragan dan tata pemerintahan memberikan banyak
keuntungan bagi Pajang dan bagi Adiwijaya sendiri. Tetapi orang-orang itu kini
tidak ada lagi di istana. Mereka telah berada di Pati dan Mataram yang baru
dibuka.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sudah lama ia bergaul dengan Sumangkar. Tetapi
jarang sekali ia menyatakan pendapatnya tentang pemerintahan Pajang. Kini
agaknya ia tidak dapat menahan kecewa yang mendesak didalam hatinya terhadap
Sultan Adiwijaya. Tetapi Kiai Gringsing tidak banyak menanggapinya dalam
keadaan yang semakin parah, Sumangkar pasti tidak terlepas dari pengaruh
lingkungannya dahulu. Dan seakan-akan terbayang di matanya kata-kata hatinya,
“Jika Arya
Penangsang yang berhasil menduduki tahta, keadaan akan berbeda.”
Namun bagi
Kiai Gringsing, baik Arya Penangsang maupun Adiwijaya, ternyata terdapat
kelemahan-kelemahan yang mengganggu perkembangan negeri ini. Adiwijaya yang
membinasakan Arya Penangsang dengan dorongan Ratu Kalinyamat, yang bahkan telah
menyediakan dua orang gadis cantik buatnya, kini semakin dalam tenggelam dalam
kebesarannya sendiri. Adiwijaya sibuk dengan persoalan-persoalan pribadinya,
sehingga pemerintahannya seakan-akan telah dikesampingkan. Sejak Pajang
berkuasa, maka tidak ada perubahan penting yang tumbuh dan tidak ada
pembaharuan dapat menguntungkan rakyatnya. Tetapi itu tidak berarti bahwa jika
Arya Penangsang memegang pimpinan, Jipang akan mampu mengangkat bekas daerah
kekuasaan Demak menjadi suatu negara besar. Arya Penangsang memang lebih lincah
dan cita-citanya pasti melambung tinggi. Tetapi ia adalah orang yang keras hati
yang pasti akan lebih mementingkan kekerasan dari pembicaraan-pembicaraan yang
baik.
Tiba-tiba Kiai
Gringsing menarik nafas dalam-dalam, sehingga Sumangkar berpaling kepadanya.
Tetapi Kiai Gringsing tidak berkata apapun juga.
“O” desis
Sumangkar,
“apakah aku
sudah berbicara terlampau banyak?”
“Tidak, tidak”
cepat-cepat Kiai Gringsing menyahut.
“Aku senang
mendengar pendapatmu tentang Pajang, Pati dan Mataram. Dengan demikian barulah
kau tampak, bahwa kau bukan sekedar seorang juru masak Tohpati di hutan-hutan
rindang itu. Tetapi kau benar-benar adik seperguruan Patih Mantahun dari
Jipang.”
Sumangkar menarik
nafas dalam-dalam. Katanya,
“Aku telah
mendapat pengampunan khusus dari Pajang. Saat itu Pemanahan lah yang membawa aku
menghadap Sultan Adiwijaya. Dan aku merasa sangat berterima kasih. Sultan
Adiwijaya memang seorang yang sabar dan menaruh kasihan kepada rakyatnya.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih menunggu, kelanjutan dari
kata-kata Sumangkar. Namun Sumangkar tidak berkata apapun. Sekali lagi Kiai
Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Tentu kalimat Sumangkar itu masih ada
kelanjutannya. Ia pasti akan memperbandingkan sifat-sifat yang baik yang ada
pada Adiwijaya dan kelemahan-kelemahannya. Tetapi kata-kata yang sudah
disusunnya itu ditelannya kembali. Justru karena itu, maka Kiai Gringsing lah
yang berkata,
“Sultan
Adiwijaya memang seorang yang sabar dan menaruh banyak belas kasihan. Tetapi
cita-citanya yang meledak-ledak dimasa mudanya tiba-tiba terhenti diantara
isteri-istri dan selir-selirnya.”
“Ah.”
“Memang bukan
kau yang mengatakannya. Tetapi aku.”
Sumangkar
mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menanggapinya. Bagaimanapun juga ia
masih selalu dibayangi oleh keadaannya beberapa saat yang lampau. Bagaimanapun
juga ia berada didalam pasukan Tohpati yang telah mengeraskan hatinya, melawan
Pajang sepeninggal Arya Penangsang. Kiai Gringsing pun tidak mempersoalkannya
lagi. Iapun sadar, bahwa Sumangkar pasti masih belum dapat dibawa berbicara
terbuka sepenuhnya. Ia pasti belum dapat mengatakan seluruhnya yang tersimpan
didalam hati. Juga karena ia merasa berhutang budi kepada Sultan Pajang, tetapi
juga kepada Ki Gede Pemanahan. Meskipun demikian, pandangan yang tajam dari
kedua orang tua itu, mendapatkan tanggapan dan penilaian yang serupa tentang
Pajang meskipun sebagian masih disimpan didalam hati.
Bahkan
penilaian mereka sampai juga kepada Pangeran Benawa, Putera Sultan Pajang yang
seharusnya diangkat menjadi Putera Mahkota. Tetapi menilik sikapnya yang lemah,
ia tidak akan mungkin dapat mengangkat Pajang melampaui ayahnya, Sultan
Adiwijaya. Pangeran Benawa adalah putera yang sangat dikasihi oleh ayah
bundanya. Namun dengan demikian, Pangeran itu menjadi manja dan kehilangan
kesempatan untuk menempa diri didalam lingkungan, yang lebih keras. Seperti
kerasnya tantangan yang dihadapi oleh pajang saat itu. Pangeran Benawa
menganggap bahwa perjuangan ayahnya telah sampai pada titik akhir. Seakan-akan
semuanya sudah tercapai. Seakan-akan Pajang telah menjadi tenang dan bahkan
tertidur nyenyak. Pangeran Benawa tidak mengenal kerasnya benturan perjuangan
membuka Alas Mentaok. Tidak melihat gejolak gelombang di pesisir yang
diperintah oleh para Adipati. Tidak mendengar desau angin yang menghembus layar
para nelayan dan lebih-lebih lagi pedagang asing yang merapat di pantai,
meskipun sampai juga di telinganya, bagaimana perjuangan leluhurnya, Pangeran
Pati Unus yang menjelajahi lautan.
Bergesernya
pemerintahan dari Demak masuk kedaerah yang semakin dalam telah memisahkan
Pajang dari keakraban dengan buih lautan.
“Pusat
pemerintahan tidak perlu berada di pantai” berkata Kiai Gringsing di dalam
hatinya,
“tetapi
pimpinan pemerintahan harus menyadari, betapa pentingnya air lautan bagi tanah
ini.”
Dan hidup yang
di lingkungi oleh gemerlapnya istana dan cantiknya wanita telah memisahkan
Adiwijaya dan Puteranya dari kerasnya gelombang dan pepohonan hutan.
Terlebih-lebih lagi, Pajang tidak berhasil menguasai hasrat hidup dan kesatuan
pandangan hidup yang tercermin di dalam persoalan-persoalan kecil di Sangkal
Putung dan Jati anom. Namun persoalan-persoalan kecil itu tumbuh justru pada
jalur arus antara Pajang dan Mataram. Dalam pada itu, kedua orang-orang tua
yang seakan-akan lelap dalam angan-angan masing-masing itu terkejut ketika
mereka mendengar derap kuda memasuki halaman.
“Mereka
datang” berkata Ki Sumangkar. Kiai Gringsing menganggukkan kepalanya sambil
berdiri diikuti oleh Sumangkar. Keduanya pun kemudian luar dari gandok,
menyongsong kedua anak-anak muda yang baru datang setelah mengelilingi seluruh
Kademangan. Namun dalam pada itu, langit pun sudah mulai semburat merah. Hampir
fajar.
“Perjalanan
yang menyenangkan” Swandaru meloncat turun dari kudanya sambil tersenyum.
Ketika seseorang datang kepadanya, maka diserahkannya kudanya-sama sekali
dengan kuda Agung Sedayu yang telah turun pula.
“Aku hampir
tertidur di punggung kuda” Swandaru meneruskan,
“Untunglah aku
tidak seorang diri, sehingga ada kawan berbicara di tengah-tengah bulak yang
dingin.”
“Beristirahatlah”
Berkata Kiai Gringsing kepada kedua muridnya.
“Aku akan
mencuci kaki” desis Agung Sedayu sambil melangkah ke pakiwan bersama Swandaru.
Tetapi langkah mereka berhenti di longkangan ketika mereka melihat Sekar Mirah
berdiri di pintu butulan
“Kau tidak
mengajak aku” ia bersungut-sungut.
“Jangan
mencari perkara. Mengelilingi Kademangan dimalam hari terasa sangat melelahkan.
Tidur sajalah”
“Bukankah kau
baru saja berkelahi” sahut Swandaru
“Sayang, Wita
tidak bersungguh-sungguh.”
Sekar Mirah
tidak menyahut. Tetapi ketika ia mencari sesuatu di bawah kakinya, Swandaru
segera berlari meninggalkannya langsung ke pakiwan di belakang rumah.
Agung Sedayu
masih berdiri termangu-mangu. la belum sempat berbicara banyak dengan gadis itu
sejak ia kembali dari Alas Mentaok, karena ia segera pergi ke Jati Anom dan
begitu ia kembali, ia sudah dihadapkan pada anak-anak muda yang berkumpul di
pendapa, bahkan persoalan kentongan itupun telah merampas perhatiannya. Di hari
berikutnya, suasana Kademangan diliputi oleh kegelisahan karena pokal Wita
pula, sehingga waktunya seakan-akan terampas habis untuk ikut berbicara tentang
kemungkinan yang bakal terjadi. Apalagi semalaman ia harus bersembunyi di
kandang, memanjat pohon dan mengelilingi Kademangan diatas punggung kuda. Tetapi
keduanya tidak berbicara apapun. Namun sentuhan tatapan mata merekalah yang
banyak melontarkan isi hati masing-masing. Tiba-tiba saja Sekar Mirah melangkah
surut, masuk ke dalam sambil berkata,
“Selamat tidur
kakang.”
Agung Sedayu
mengangguk kaku. Sebelum ia menjawab, pintu itu sudah tertutup. Perlahan-lahan
ia melangkah menyusul Swandaru dengan kepala tunduk. Terbayang kesibukan yang
akan segera terjadi di Jati Anom jika kakaknya kawin kelak. Setelah itu, jalan
telah terbuka pula baginya. Setelah membersihkan dirinya, maka iapun kemudian
kembali kepada gurunya, menyusul Swandaru yang telah lebih dahulu. Sejenak
mereka menunggu gurunya yang juga pergi ke pakiwan bersama Ki Sumangkar untuk
kemudian bersama-sama menghadap Tuhannya, dalam suatu saat yang khusuk. Setelah
selesai, barulah Agung Sedayu dan Swandaru pergi beristirahat, berbaring-baring
sejenak didalam bilik gandok itu. Mereka bangkit ketika gurunya masuk ke
ruangan itu bersama Ki Sumangkar, namun gurunya segera berkata,
“Berbaringlah.
Kau perlu beristirahat.”
“Kami tidak
terlalu lelah” jawab Agung Sedayu.
“Tidak. Kau
tentu lelah. Seandainya tidak, berbaringlah. Aku tidak akan membicarakan
masalah yang berat. Aku hanya akan berbicara saja untuk mengisi waktu sampai
matahari naik.”
Agung Sedayu
ragu-ragu sejenak. Namun iapun kemudian tersenyum sambil berkata,
“Maaf, kami
berbaring.”
“Ya,
berbaringlah.”
Swandaru pun
menyahut,
“Tetapi dengan
berbaring, aku dapat tertidur tanpa aku sadari,”
“Tidurlah
jikalau mengantuk.”
Swandaru
tersenyum. Tetapi ia memang lebih senang berbaring daripada duduk di bibir
amben bambunya, setelah hampir semalam suntuk ia duduk diatas punggung kuda.
“Bagaimana
dengan anak-anak muda itu?” bertanya Kiai Gringsing kemudian.
“Tidak apa-apa
guru” jawab Swandaru,
“meskipun
mereka masih berkeliaran dan berkumpul di-gardu-gardu, tetapi mereka sudah
dapat ditenangkan.”
“Kehadiranmu
memang dapat menenangkan mereka, meskipun kekecewaan masih tetap ada didalam
hati. Namun mereka merasa kau perhatikan, sehingga meskipun malam telah larut,
kau kunjungi mereka di gardu-gardu.”
“Ya.”
“Jadikanlah
suatu pengalaman” berkata Kiai Gringsing,
“anak-anak
muda yang sudah bergerak, tetapi tidak mendapat sasaran, kadang-kadang dapat
menumbuhkan persoalan tersendiri. Namun demikian, didalam keadaan yang semakin
gawat ini, cobalah memelihara ikatan yang telah ada.”
Swandaru
mengerutkan keningnya.
“Disadari atau
tidak disadari, Sangkal Putung akan tersentuh oleh perkembangan hubungan antara
Pajang dan Mataram. Jika hubungan itu semakin baik, daerah ini pun akan menjadi
semakin baik, tetapi jika hubungan itu memburuk, maka daerah ini akan mengalami
kesulitan pula, karena daerah ini berada di jalur lurus antara Pajang dan
Mataram.”
Swandaru
mengerutkan keningnya. la menyadari, bahwa persoalan Pajang dan Mataram pasti
akan mempengaruhi Kademangannya. Persoalan Jipang dan Pajang pun menyangkut
keamanan dan ketenteraman Sangkal Putung, apalagi Mataram dan Pajang. Justru
karena Sangkal Putung merupakan daerah yang subur, maka Sangkal Putung akan
dapat dijadikan daerah perbekalan yang mantap. Baik Mataram maupun Pajang
didalam keadaan yang memburuk, memerlukan daerah perbekalan.
“Karena itu Swandaru”
berkata Kiai Gringsing,
“sebelum
persoalan yang menyangkut daerah ini menjadi semakin gawat, meskipun bukan itu
yang kami harapkan, maka kau lebih dahulu dapat menyiapkan dirimu sendiri dan
Agung Sedayu. Maksudku, sebelum kau terlibat di dalam persoalan yang
berlarut-larut tanpa diketahui ujung dan lebih baik kau selesaikan dahulu
persoalan-persoalan pribadimu.”
Tiba-tiba
hampir berbareng Swandaru dan Agung Sedayu bangkit. Hampir berbarengan pula
keduanya bertanya,
“Maksud guru?”
“Tentu
persoalan-persoalan kalian berdua sebagai anak-anak muda. Bukankah menurut
Agung Sedayu, anakmas Untara juga hampir menginjak masa baru didalam hidupnya?
Nah, jika demikian, Swandaru dan Agung Sedayu pun dapat segera menyusulnya.
Tetapi tentu terlebih dahulu, persoalan-persoalan yang menyangkut adat upacara
harus dipenuhi.”
Kedua
anak-anak muda itu menundukkan kepalanya,
“Maksudku,
setelah anakmas Untara selesai, ayahmu Swandaru, harus segera datang ke
Menoreh. Ki Gede Menoreh pasti sudah terlampau lama menunggu. Apalagi ia kini
menjadi cacat. Tentu ia memerlukan seseorang yang akan segera menjadi pelindung
Pandan Wangi. Berbareng dengan itu, anakmas Untara pun harus menghadap Ki
Demang Sangkal Putung, untuk minta secara resmi, agar Sekar Mirah diperkenankan
hidup bersama Agung Sedayu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar