Jilid 064 Halaman 3


Namun kemudian barulah dapat mereka lihat dengan jelas, setelah mereka pun ada di bulak itu. Yang mereka lihat sama sekali bukan tanaman jagung raksasa yang rapat berhimpit-himpitan, bukan pula sebuah dinding batu di pinggir parit, tetapi yang mereka lihat adalah anak-anak muda Sangkal Putung yang berdiri berjajar rapat di sebelah menyebelah jalan. Darah anak-anak muda Semangkak itu bagaikan berhenti mengalir. Mereka tidak dapat mengirakan, berapa jumlah anak-anak muda Sangkal Putung itu. Mungkin empat atau lima kali lipat jumlah mereka. Tetapi ternyata anak-anak muda Sangkal Putung itu tidak berbuat apa-apa. Mereka hanya. berdiri saja seakan-akan membeku.
Ketika anak-anak Semangkak menyadari bahwa disebelah menyebelah mereka berdiri anak-anak Sangkal Putung dalam jumlah yang tidak mereka duga, terasa betapa kecutnya hati mereka. Anak-anak bengal yang semula membusungkan dada, menjadi semakin berkerut melihat kenyataan itu. Mereka mulai ragu-ragu sejak seorang gadis bernama Sekar Mirah dengan mudahnya berhasil mengalahkan anak-anak muda Semangkak yang mereka anggap anak-anak terbaik di kalangan mereka. Apalagi kini mereka melihat anak-anak mudanya dalam jumlah yang tidak dapat mereka perkirakan.
Wita sendiri yang berjalan di depan rasa-rasanya hampir tidak lagi dapat mengangkat kakinya. Kakinya itu seakan-akan menjadi berat, dan meskipun ia melangkah terus, tetapi seakan-akan ia tidak bergerak maju. Setiap kali ia memandang dengan sudut matanya, masih saja dilihatnya bayangan hitam yang berderet di seberang parit.
“Gila, mereka memang gila” ia menggeram didalam hatinya. Namun ia dapat juga berpikir,
“Jika Seorang gadis dapat mengalahkan aku, apa saja yang dapat dilakukan oleh anak-anak muda Sangkal Putung itu?”

Wita terkejut ketika tiba-tiba saja ia mendengar suara di belakang iring-iringan anak-anak Semangkak itu,
“Ha, ternyata dugaanku benar. Anak-anak Sangkal Putung yang sekarang masih seperti anak-anak mudanya pada masa-masa Tohpati ada di mulut gerbang Kademangan kalian. He. apakah masih ada diantara kalian yang mengenal aku?”
Tidak terdengar jawaban.
“Siapakah yang masih mengenal aku? Dimana Swandaru?”
Baru kemudian terdengar jawaban,
“Ia berada di-rumahnya.
“Di rumahnya. Jadi ia berada di Kademangan?”
“Ya. Ia sudah siap melindungi rumahnya jika terjadi sesuatu bersama Agung Sedayu.”
“Maksudmu adik Senapati Untara?”
“Ya, bersama gurunya dan guru Tohpati.”
“He gila kau. Gurunya dan guru Tohpati?”
“Ya, Kiai Gringsing dan paman guru Tohpati, Sumangkar.”
“Bukan main, bukan main” bekas prajurit Pajang itu mengangguk-angguk. Lalu,
“Terima kasih atas kebaikan hati kalian. Ternyata kalian bersikap cukup dewasa. Kalian tidak terpancing oleh kebodohan anakku ini. Dan kalian telah menang tanpa mengalahkan kami.”
Anak-anak muda Sangkal Putung itu tidak menjawab. Namun terdengar anak muda yang lain berkata,
“Selamat jalan mudah-mudahan hal yang serupa tidak terulang lagi.”
“Terima kasih. Terima kasih. Aku akan menjaganya. Seharusnya aku menang di perjudian malam ini. Hari ini adalah hari yang paling baik bagiku. Tetapi lewat tengah malam. kabegjan itu sudah beralih pada orang lain.” lalu iapun mengumpat,
“anak setan. Kalian sudah mengganggu kemujuranku malam ini.”
Anak-anak Semangkak itu berjalan sambil menundukkan kepalanya. Hati mereka memang sudah berkerut. Dan mereka tidak berani memandang wajah-wajah anak Sangkal Putung meskipun di dalam kegelapan.

Ternyata bahwa anak-anak Sangkal  memanjang di pinggir jalan itu cukup banyak. Rasa-rasanya pagar itu tidak habis-habisnya sampai ke tengah bulak. Dan rasa-rasanya kaki anak-anak muda Semangkak itu semakin lama menjadi semakin berat. Mereka yang berdiri di pinggir jalan tidak sekedar anak-anak dari induk Kademangan saja, tetapi juga dari padukuhan-padukuhan lain di Kademangan Sangkal Putung. Susunan tata hubungan anak-anak muda Sangkal Putung yang dibentuk sejak Tohpati masih berada di hadapan hidung mereka, ternyata masih memungkinkan mereka bergerak cepat dan teratur. Meskipun mereka berkumpul dalam jumlah yang besar, tetapi mereka tetap terkendali oleh pemimpin kelompok yang harus bertanggung jawab kepada Swandaru. Demikianlah, ketika Wita berhasil mencapai ujung dari pagar manusia itu, tiba-tiba langkahnya menjadi semakin cepat. Rasa-rasanya ia sudah terlepas dari hisapan tanah di sepanjang jalan, dan terasa kakinya menjadi semakin ringan. Demikian pula kawan-kawannya yang lain. Mereka berjalan semakin cepat, bahkan seolah-olah mereka telah berlari-lari kecil. Dengan kepala tunduk mereka mau tidak mau harus meresapi suatu pengalaman baru didalam hidup. Mau tidak mau mereka harus mulai menilai kembali perbuatan yang baru saja mereka lakukan. Terlebih-lebih Wita. Meskipun mula-mula ia berusaha untuk mencari alasan yang dapat menyenangkan hatinya sendiri, namun akhirnya ia jatuh kedalam suatu pengakuan, bahwa perbuatan yang baru saja dilakukan adalah perbuatan yang bodoh. Kini hatinya menjadi berdebar-debar. Pengasuhnya itu pasti akan marah-marah tiada terkirakan. Mungkin ia benar-benar akan memukuli anak-anak muda itu seorang demi seorang. Atau bahkan tidak mau lagi mengajari mereka dengan olah kanuragan. Jika demikian maka kawan-kawannya itu pasti akan mulai menyalahkannya, karena ia adalah sumber dari peristiwa ini. Sejenak Wita yang gelisah itu berpaling. Dilihatnya kawan-kawannya berjalan dengan kepala tunduk pula. Demikianlah maka anak-anak muda itu berjalan semakin cepat tanpa berbicara lagi yang satu dengan yang lain. Yang masih terdengar bergeremang adalah bekas prajurit yang berjalan bersama beberapa anak muda yang tidak mau membantu Wita. Karena setiap kali bekas prajurit itu masih saja berkata,
“Aku kehilangan kesempatan. Jika aku menang dan menjadi kaya, kalian akan aku belikan sepasang ayam yang paling baik. Ayam-ayam itu akan bertelur dan menetas menjadi banyak. Kalian dapat menjualnya dan membeli kambing”
Tidak seorang pun yang menyahut. Tetapi beberapa orang diantara mereka hanya tersenyum saja.

Sepeninggal anak-anak Semangkak, maka para bebahu Semangkak pun segera minta diri. Seperti juga ayah Wita, maka para bebahu Kademangan Semangkak itupun minta maaf atas segala kelalaian mereka mengurusi anak-anak itu.
“Kami akan berusaha lebih baik lagi di masa datang” berkata Ki Demang di Semangkak,
“kami menjadi iri melihat, bagaimana kalian di sini berhasil menguasai anak-anak muda kalian.”
“Anak-anak muda itu sendiri bersedia membantu kami. Mereka berusaha mengendalikan diri masing-masing” sahut Ki Demang di Sangkal Putung,
“tetapi itu bukan berarti bahwa tidak ada persoalan sama sekali di sini”
“Tetapi aku melihat Kademangan mu selalu tenang.”
“Kadang-kadang ada juga gelombang-gelombang kecil didalam tata pergaulan. Tetapi justru perjuangan untuk mempertahankan Kademangan ini dari kehancuran itulah yang telah mengikat anak-anak kita, meskipun ada juga yang berusaha melupakannya seolah-olah hal itu tidak pernah terjadi.”
“Salah” desis Ki Demang di Semangkak,
“kalian yang sudah mempunyai kesempatan yang baik harus tetap memelihara kesadaran itu. Kesadaran atas pengorbanan yang pernah kalian berikan untuk mempertahankan Kademangan ini dari kehancuran. Kami yang meskipun juga mengalami tetapi tidak sedahsyat Sangkal Putung, telah terlanjur kehilangan ikatan itu. Dan ini adalah kesalahan kami yang terbesar.”
Ki Demang Sangkal Putung mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Perjuangan itu adalah puncak perjuangan bagi kalian. Yang dapat kita lakukan sekarang adalah akibat dari perjuangan kalian dibantu oleh prajurit Pajang.”
“Setiap masa mempunyai puncak-puncak perjuangan masing-masing, yang merupakan mata rantai perjalanan sejarah Kademangan ini menjelang masa depan yang baik. Setiap masa menyimpan kemungkinan yang sama dan setaraf dalam pembentukan wajah Kademangan ini. Namun yang satu tidak boleh bertentangan dengan yang lain. Yang kemudian tidak boleh menghapuskan nilai-nilai yang hakiki yang pernah dicapai sebelumnya, apalagi jika diingat korban-korban yang pernah jatuh. Tentu mereka tidak akan merelakan dirinya menjadi korban tanpa suatu keyakinan atas tujuan perjuangannya. Itulah yang kita kenang. Dan tujuan itu tidak boleh menyimpang. Sekarang dan seterusnya”
Ki Demang di Semangkak dan bebahunya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Aku akan berusaha. Kami di Semangkak pernah mengalaminya juga meskipun tidak sebesar Sangkal Putung. Tetapi itu bukan berarti bahwa kami sekarang dapat berbuat sekehendak hati. Dan inilah yang sudah terjadi di daerah kami. Tuak, judi, sabung ayam dan semuanya yang sama sekali tidak pernah dibayangkan akan berkembang sampai demikian luasnya.”
“Dan yang tidak pernah dibayangkan oleh siapapun juga di saat-saat kita menggenggam senjata di peperangan”  tiba-tiba terdengar suara lain di belakang mereka.

Ketika mereka berpaling. dilihatnya Swandaru datang diikuti oleh Agung Sedayu.
“O, kau” desis Ki Demang di Semangkak,
“dimana kau selama ini? Adikmu telah membuat kami semuanya kagum. Meskipun ia seorang gadis, namun tindakannya yang tepat hampir menentukan. Kelicikan sebagian anak-anak muda Semangkak itu akhirnya dapat diatasi oleh guru mereka sendiri.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekilas ia berpaling memandang Sekar Mirah yang duduk di tangga pendapa. Sambil tersenyum ia berkata,
“Kau tentu kecewa bahwa anak-anak muda itu tidak berhasil mengalahkan kau.”
Sekar Mirah mengerutkan keningnya.
“Aku juga ikut berharap agar salah seorang dari mereka dapat menang atasmu, dan kau akan ikut berani dengan mereka.”
Sekar Mirah menjadi tegang sejenak namun kemudian tangannya meraba-raba di bawah kakinya. Ketika terpegang olehnya sebutir batu maka batu itupun segera dilemparkan kepada kakaknya sambil berkata,
“Kaulah yang membuat gara-gara.”
“Eh, jangan” Swandaru sempat menghindar. Ketika Sekar Mirah mencari batu berikutnya, Swandaru pun segera berlindung dibalik ayahnya yang sedang berdiri berhadapan dengan Ki Demang Semangkak.
“Sst, ketegangan di dada kami masih belum mereda” berkata Ki Demang,
“jangan bergurau. Ki Demang di Semangkak masih ada di sini.”
“O” Swandaru menganggukkan kepalanya sambil berkata,
“aku melihat semuanya dari dahan pohon di sebelah halaman.”
Ki Demang di Semangkak mengerutkan keningnya. Di dalam kegelapan ia melihat beberapa anak muda berdiri termangu-mangu.
“Ternyata bahwa kalian mampu mengendalikan diri. Perjuangan yang berat dimasa lewat itu membuat kalian benar-benar menjadi anak muda yang masak. Yang bertanggung jawab.”
“Ah, Ki Demang memuji.” sahut Swandaru,
“tidak semua anak-anak muda Semangkak mudah dibakar oleh api perasaan sendiri. Tetapi karena jumlah mereka yang dewasa lebih sedikit dari mereka yang sedang bergulat dalam pembentukan pribadi itu ternyata bahwa mereka tampaknya justru tersisih.”
Demikianlah, sejenak kemudian Ki Demang di Semangkak pun minta diri kepada Ki Demang di Sangkal putung. Bersama beberapa orang bebahu yang lain iapun kemudian meninggalkan halaman Kademangan. Tetapi agaknya Ki Demang Sangkal Putung tidak melepaskannya begitu saja. Maka diantarkannya Ki Demang itu sampai lepas dari padukuhan induk Sangkal Putung.
Di depan regol, kedua Demang itu mengerutkan keningnya. Mereka masih menjumpai anak-anak muda Sangkal Putung di luar padesan berdiri berjajar di sebelah menyebelah jalan.
“Apa yang terjadi?” Ki Demang Sangkal Putung bertanya dengan cemas.
Namun jawab salah seorang dari anak-anak muda itu membuatnya menarik nafas lega,
“Tidak ada apa-apa Ki Demang.”
“Jadi, darimanakah kalian?” bertanya Ki Demang di Semangkak.
“Kami baru datang menyingkirkan diri.”
“O” Ki Demang di Semangkak mengangguk-anggukkan kepalanya,
“terima kasih atas kebaikan hati kalian. Kalian telah menghindari benturan yang dapat terjadi.”

Anak muda itu tidak menyahut. Ia hanya tersenyum saja.
“Aku minta diri” berkata Ki Demang di Semangkak kepada anak-anak muda itu,
“mudah-mudahan persoalannya tidak akan terulang lagi. Aku minta maaf.”
“Mudah-mudahan Ki Demang” sahut anak-anak muda itu.
Ki Demang di Semangkak dan beberapa orang Semangkak yang lain itupun segera meninggalkan Sangkal Putung. Ternyata mereka telah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mengendalikan anak mudanya. Bahkan ayah Wita yang hampir saja melepaskan anaknya yang tidak dapat diaturnya lagi, untuk kali yang terakhir berusaha menghindarkan benturan antara anak-anak Semangkak dan Sangkal Putung. Meskipun demikian kadang-kadang tumbuh juga di hati Demang di Semangkak, bahkan para bebahu yang lain yang hampir-hampir tidak dapat menahan kejengkelannya terhadap anak-anak mereka sendiri pendirian,
“Jika anak-anak Semangkak itu sudah menjadi babak belur oleh anak-Sangkal Putung, barulah mereka akan jera.”
Dalam pada itu, sepeninggal para bebahu Kademangan Semangkak, Ki Demang di Sangkal Putung berbisik kepada Swandaru,
“Apa kerja anak-anak itu di luar regol? Apakah mereka dengan sengaja memancing persoalan atas Semangkak yang justru sudah berhasil didorong keluar dari Kademangan ini?”
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya,
“Mereka tidak berbuat apa-apa ayah.”
“Tetapi kenapa mereka berada di situ? Dalam keadaan yang panas, sesuatu masih mungkin terjadi. Bukankah aku minta kau menyingkirkan anak-anak itu?”
“Aku memang sudah menyingkirkan mereka. Tetapi bagaimana jika terjadi sesuatu? Aku memang minta mereka tidak pergi terlampau jauh.”
Namun Ki Demang memotong,
“Dan kau memang meminta kepada mereka agar mereka berdiri berderet-deret jika anak-anak Semangkak itu kembali meninggalkan Sangkal Putung. Kau ingin mengatakan kepada mereka bahwa sebenarnya anak-anak muda Semangkak itu sama sekali tidak ada arti apa-apa bagi anak-anak muda Sangkal Putung. Kau ingin mengatakan. Jika kami mau, kalian akan dapat kami hancurkan. Bukankah begitu?”
Swandaru tidak menyahut.
“Permainanmu termasuk berbahaya Swandaru masih juga tidak dapat melepaskan perasaanmu sama sekali. Di satu pihak kau menyingkirkan anak-anak muda itu agar tidak terjadi benturan, tetapi di lain pihak, kesombongan masih saja belum dapat kau tekan sedalam-dalamnya. Kau masih tidak mau disebut, bahwa anak-anak muda Sangkal Putung lari. Bukankah begitu?”
Swandaru masih belum menyahut. Kepalanya tertunduk semakin dalam.
“Bayangkan. Kau mengumpulkan anak-anak muda sekian banyaknya, jika terjadi sesuatu, anak-anak Semangkak itu pasti akan babak belur. Jika sudah terpercik setitik api pertengkaran, kau tidak akan dapat mencegahnya lagi. Dan jika akibatnya terlampau berat bagi anak-anak Semangkak, maka anak-anak yang lain, yang sebenarnya tidak ikut-ikutan, akan menjadi sakit hati juga. Bagaimanapun juga mereka adalah kawan-kawan sepermainan. Bahkan mungkin mereka akan berusaha berbuat sesuatu untuk menghapuskan sakit hati mereka itu.”

Swandaru mengangguk-angguk keeil. Dipandanginya anak-anak muda Sangkal Putung yang masih berkeliaran diluar regol.
“Nah, akan kau suruh kemana mereka sekarang. Tentu ada sesuatu yang tersimpan didalam dada dan masih belum tersalur. Mereka tidak akan puas berdiri saja di pinggir desa, kemudian pulang tanpa berbuat apa-apa.”
Swandaru menjadi bingung. Ditatapnya wajah Agung Sedayu sejenak, seolah-olah la ingin bertanya,
“Bagaimana sebaiknya?”
Tetapi Agung Sedayu ternyata menyesali pula sikap Swandaru yang seolah-olah bermain-main dengan api disamping seonggok jerami yang basah karena minyak.
“Lalu apakah yang sebaiknya kita kerjakan ayah?” bertanya Swandaru kemudian.
Ki Demang di Sangkal Putung termangu-mangu sejenak. Tetapi ia tidak akan dapat membiarkan anak-anak itu begitu saja dan bubar dengan sendirinya. Karena itu, maka katanya kepada Swandaru,
“Suruhlah mereka bubar. Tetapi kau harus berusaha agar anak-anak itu tidak kecewa setelah berdiri saja tanpa berbuat apa-apa.”
“Jadi bagaimana?”
“Mereka harus berada di gardu-gardu di padukuhan mereka masing-masing. Katakan kepada mereka, bahwa keadaan sudah akan mereda dengan perlahan-lahan. Jika tidak ada apa-apa lagi, maka kau sendiri akan berkeliling ke setiap gardu.”
Swandaru mengerutkan keningnya. Itu berarti bahwa semalam suntuk ia tidak akan dapat tidur, karena ia pergi dari gardu ke gardu. Dari padukuhan ke padukuhan. Tetapi Swandaru tidak dapat menolak. Ia harus memberikan imbangan, karena anak-anak muda itu telah berkumpul di Kademangan induk untuk sekedar berdiri berjajar di pinggir jalan.
“Untunglah bahwa mereka cukup kuat menahan perasaan” berkata Swandaru didalam hatinya. Baru kini merasa, permainan itu cukup berbahaya. Dan untuk sekedar memanjakan harga dirinya.
“Kenapa kau diam saja Swandaru?” bertanya ayahnya.
Swandaru mengangguk sambil menjawab,
“Ya Aku akan menemui mereka.”
“Cepat. Aku akan kembali. Para bebahu yang lain pun akan kembali”
Demikianlah maka dengan langkah yang berat Swandaru pergi keluar regol padukuhannya. Atas permintaanya maka Agung Sedayu pun mengikutinya pula.

Hati Swandaru menjadi berdebar-debar ketika ia melihat anak-anak muda itu masih utuh dan menunggunya. Agaknya mereka dengan patuh memenuhi segala pesannya untuk menahan diri jika tidak ada persoalan yang tidak terhindarkan lagi, karena anak-anak Semangkak telah memulai.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang Swandaru” bertanya salah seorang dari mereka.
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya,
“Pertama-tama kita bersyukur bahwa tidak terjadi sesuatu diantara kita dengan anak-anak Semangkak itu.”
“Aku berpikir lain” desis seorang dari mereka aku merasa kecewa bahwa mereka tidak berbuat apa-apa.
“Jika mereka memulainya akan ada alasan bagi kita untuk memukul mereka sampai jera.”
“Ya, dan kita ternyata hanya sekedar berdiri saja menjadi makanan nyamuk.”
“Tetapi kita sudah berbangga.”
“Apa yang dapat kita banggakan.” bertanya seorang yang bertubuh tinggi.
“Kita berhasil menahan perasaan yang bergejolak di dalam dada kita. Itu adalah suatu perjuangan tersendiri. Perjuangan yang paling berat. Yang tidak dapat dilakukan oleh anak-anak muda Semangkak sehingga mereka datang beramai-ramai kemari. Sedang kita yang yakin akan kelebihan dan kemenangan kita, tidak berbuat apapun juga meskipun anak-anak Semangkak itu sudah berada di hadapan hidung kita.”
Anak-anak muda itu menarik nafas dalam-dalam.
“Lalu sekarang?”bertanya salah seorang dari mereka.
“Sebagian dari kewajiban kita sudah selesai. Mudah-mudahan tidak ada akibat apapun yang menyusul.”
Anak-anak yang lebih muda dari Swandaru menjadi kecewa. Tetapi yang lebih tua dari mereka pun kemudian berkata,
“Marilah kita kembali. Lebih baik tidak terjadi sesuatu daripada kita harus mempersoalkannya sampai berkepanjangan”
“Selanjutnya aku akan memberi kabar kepada kalian” berkata Swandaru kemudian.
“Kabar apa?” bertanya salah seorang dari mereka.
“Aku akan memberikan kabar tentang perkembangan keadaan. Apapun yang akan terjadi, aku akan menemui kalian di gardu-gardu di padukuhan kalian.”
“Kau akan mengelilingi Kademangan?”
“Ya.”
“Semalam suntuk?”
“Ya.”
Anak-anak muda itu saling berpandangan sejenak Kemudian salah seorang bertanya,
“Kau benar-benar akan mengelilingi Kademangan ini?”
“Ya, kenapa?” jawab Swandaru
”didalam keadaan yang tenang dan aman seperti sekarang, mengelilingi Kademangan adalah suatu tamasya yang menarik. Apalagi di malam hari. Sedang di saat Kademangan ini berada di ujung kuku Tohpati, aku kadang-kadang harus mengelilingi Kademangan ini di malam hari.”

Anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka percaya bahwa Swandaru memang ikut menghayati perjuangan melawan Tohpati seperti beberapa orang anak-anak muda itu. Sedang mereka yang lebih muda saat itu, mengetahui pula, bahwa Swandaru merupakan seorang yang ikut memimpin anak-anak muda Sangkal Putung. Demikianlah, maka dengan hati yang kecewa, anak-anak muda itu kembali ke padukuhan masing-masing. Meskipun mereka berhasil menahan perasaan namun sebenarnya, sebagian besar dari mereka ingin berbuat sesuatu, ingin membuat anak-anak muda Semangkak itu menjadi jera. Tetapi mereka tidak mendapat kesempatan itu. Karena itu, mereka melepaskan kekecewaan itu dengan duduk-duduk dan berbaring di gardu-gardu. Berbicara, berkelakar dan bahkan ada yang melontarkan tembang macapat keras-keras.
“Kau kawani aku” berkata Swandaru kepada Agung Sedayu.
“Mengelilingi Kademangan?”
“Ya.”
Agung Sedayu menggelengkan kepala sambil menyahut,
“Aku lelah sekali. Pergilah sendiri. Apakah kau takut?”
“Takut tidak. Tetapi seorang diri dimalam begini menyelusur bulak adalah kerja yang menjemukan sekali.”
“Salahmu.”
“Kenapa salahku?”
“Kau suruh anak-anak itu berkumpul di depan regol.”
“Kalau terjadi sesuatu?”
“Asal mereka tahu. Dengan kentongan kita dapat memanggil mereka tanpa membuat mereka jemu berdiri di pinggir parit bernyamuk itu.”
Swandaru tidak segera menyahut. Dipandanginya wajah Agung Sedayu sejenak. Tetapi ia tidak mendapat kesan apapun dari wajah yang kosong itu.
“Jadi kau juga menyalahkan aku seperti ayah?” bertanya Swandaru.
“Ya. Barangkali setiap orang di Sangkal Putung menganggap kau salah.”
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun kemudian berkata,
“Baiklah. Katakanlah aku telah melakukan kesalahan. Tetapi kau harus mau mengawani aku mengelilingi Sangkal Putung.”
Agung Sedayu menggeleng,
“Aku akan tidur.”
“Aku akan memukul kentongan” berkata Swandaru.
“Kenapa?”
“Kau orang asing di sini.”
“Ah” Agung Sedayu mengerutkan keningnya.
“Pilih salah satu” berkata Swandaru,
“pergi bersamaku atau aku memanggil anak-anak itu kemari. Di sini ada orang asing. Biarlah mereka menyalurkan kekecewaannya di sini, sehingga dengan demikian aku tidak usah pergi mengelilingi Kademangan.”
“Ah, macammu.”
Swandaru tidak menyahut. Tetapi tiba-tiba ia tertawa sambil berkata,
“Kau tinggal memilih. Aku akan menghitung sampai tiga. Kau harus menentukan pilihan.”
Agung Sedayu tidak menyahut. Tetapi ia berjalan kembali ke Kademangan.
“Jika kau tidak menjawab, artinya kau bersedia. Kita memang harus kembali ke Kademangan mengambil kuda.”
“Macam kau” gumam Agung Sedayu,
“cepat sedikit, sehingga kita masih mempunyai kesempatan untuk tidur barang sekejap.”

Swandaru masih tertawa. Tetapi ia pun berlari-lari di belakang Agung Sedayu kembali ke Kademangan untuk mengambil kuda. Sejenak kemudian mereka berdua telah menjelajahi Kademangan Sangkal Putung diatas punggung kuda. Di setiap bulak mereka seakan-akan berpacu, agar mereka segera mencapai padukuhan berikutnya. Di setiap padukuhan mereka berhenti pada gardu-gardu yang berserakan sekedar menampakkan diri untuk mengurangi perasaan kecewa yang mencengkam. Namun anak-anak muda yang lebih besar dapat juga memberikan penjelasan sehingga anak yang lebih muda dapat mengerti, maksud dan tujuan Swandaru.
“Swandaru ingin membuat mereka jera tanpa menimbulkan benturan” berkata salah seorang pemimpin kelompok kepada anak buahnya.
“Aku lebih senang berkelahi” desis seorang anak tanggung yang baru saja meningkat masa yang gelisah.
“Mungkin kau senang mendapat suatu pengalaman. Tetapi akibatnya akan berkepanjangan. Kita tidak ingin berperang melawan Semangkak meskipun kita menang, karena kita memiliki ikatan kesatuan dengan Kademangan di sekitar Sangkal Putung”
Anak-anak yang lebih muda itu tidak menjawab. Mereka mencoba untuk mengerti arti kata-kata kawannya yang lebih tua itu.
Demikianlah Swandaru dan Agung Sedayu benar-benar telah mengelilingi Kademangan Sangkal Putung tanpa ada yang dilampauinya. Terutama padukuhan-padukuhan yang terdekat dengan induk Kademangan, yang telah mengirimkan beberapa orang anak-anak mudanya untuk pergi ke Sangkal Putung, berdiri berderet-deret di tepi parit. Dalam pada itu, di Kademangan Ki Demang Sangkal Putung masih berbicara sejenak dengan para bebahu Kademangan dan kedua orang guru yang tinggal di Kademangan itu pula, Kiai Gringsing dan Sumangkar. Tetapi karena malam menjadi semakin larut, maka para bebahu yang lain pun segera minta diri pula.
“Swandaru masih belum mencapai separo perjalanannya” desis Ki Jagabaya,
“kasihan anak itu.”
Ki Demang tidak menyahut. Ia hanya tersenyum saja ia tahu benar, bahwa keadaan di Kademangan ini sudah cukup baik, sehingga tidak akan ada bahaya diperjalanan. Kecuali kalau karena lelah dan kantuk, anak itu dilemparkan oleh kudanya. Tetapi Swandaru dan Agung Sedayu adalah penunggang kuda yang baik.

Demikianlah, setelah Kademangan itu menjadi sepi, Kiai Gringsing dan Sumangkar duduk di serambi gandok. Pendapa Kademangan telah menjadi lengang dan di halaman pun tidak ada lagi anak-anak muda yang berkeliaran, selain beberapa orang yang berada di gardu. Keduanya masih belum dapat tidur jika Swandaru dan Agung Sedayu masih belum datang kembali. Namun selain kedua anak-anak muda itu, keduanya melihat keadaan yang berkembang di daerah Selatan ini dengan sudut pandangan mereka sendiri. Meskipun demikian agaknya keduanya mendapatkan beberapa persesuaian penilaian atas keadaan itu.
“Mudah-mudahan goncangan-angan atas nilai peradaban ini tidak berkembang terus” berkata Kiai Gringsing,
“sebab dengan demikian keadaan akan semakin goyah, sejalan dengan perkembangan hubungan yang memburuk antara Pajang dan Mataram. Menurut Agung Sedayu, diantara para prajurit Pajang telah berkembang suatu pandangan yang sangat buruk terhadap Mataram. Bahkan ada diantara perwira yang tidak dapat mempergunakan nalarnya lagi.”
“Kesan keseluruhan, ada kecurigaan yang semakin lama semakin memuncak” sahut Sumangkar.
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu,
“Dan di sini kita menemukan goncangan-goncangan semacam itu pula, meskipun dari segi yang berbeda. Jika anak-anak muda itu tidak terkendali, maka jika terjadi sesuatu antara Mataram dan Pajang, yang seharusnya masih mungkin dikendalikan, namun api itu pasti sudah membakar jiwa anak-anak muda yang masih belum punya pegangan hidup itu. Mereka tidak akan menyadari arti dari persoalannya, tetapi mereka akan menjadi minyak yang paling peka terhadap api itu.”
“Itulah yang mencemaskan” berkata Sumangkar kemudian,
“suasana yang berkembang mirip sekali dengan keadaan menjelang Pajang berdiri. Saling curiga mencurigai, saling mendendam dan berkelahi tanpa sebab.”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Ternyata Sumangkar yang pernah tinggal di Kepatihan Jipang memandang keadaan ini bukan saja di permukaannya. Bukan saja riak-riak kecil di atas wajah air yang bergetar karena angin. Tetapi Sumangkar sudah menilai arus yang mengalir dibawah gelombang yang katon. Dan Kiai Gringsing pun sebenarnya menjadi sangat cemas pula. Jika para prajurit Pajang tidak lagi mempunyai kepercayaan terhadap kehadiran Mataram, maka pengaruhnya pasti akan meluas. Tetapi keduanya kini tidak mempunyai banyak kesempatan untuk berbuat sesuatu. Keduanya bukan orang-orang istana dan bukan pula perwira tertinggi prajurit Pajang. Karena itu, mereka hanya dapat berharap, agar para pemimpin di Pajang mampu mengendalikan dirinya, sehingga persoalannya dengan Mataram dapat diselesaikan sewajarnya.

Keduanya untuk beberapa lamanya masih saja berbincang. Meskipun tidak ada yang dapat mereka lakukan untuk ikut menentukan perkembangan keadaan secara pasti, tetapi mereka berketetapan hati akan menempuh segala cara jikalau mungkin, untuk membantu menjernihkan suasana.
“Tetapi Sultan Pajang ternyata bukan seorang yang teguh memegang pendirian” berkata Sumangkar tiba-tiba.
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Sumangkar adalah adik seperguruan Patih Mantahun dari Jipang yang dikalahkan oleh Sultan Pajang, sehingga penilaiannya pasti masih dipengaruhi oleh keadaannya itu. Namun Sumangkar melanjutkan,
“Aku adalah orang yang paling lunak menghadapi Pajang pada saat Jipang masih kuat. Aku memang berpengharapan, bahwa Sultan Pajang yang sekarang akan dapat mengembangkan kebesaran Demak yang hancur karena setiap orang ingin berkuasa. Setiap orang merasa dirinya berhak dan mampu memerintah. Tetapi yang terjadi adalah kehancuran yang hampir tidak dapat ditolong lagi. Dalam keadaan yang gawat itu tampil Adiwijaya. Adipati Pajang. Namun setelah ia berhasil mewarisi kekuasaan Demak, maka pemerintahan yang dipimpinnya sama sekali tidak berkembang. Orang-orang yang paling penting di sekitarnya, ternyata telah pergi. Meskipun orang-orang itu lahir dari celah-celah rakyat kecil, tetapi kemampuan mereka dalam olah kanuragan dan tata pemerintahan memberikan banyak keuntungan bagi Pajang dan bagi Adiwijaya sendiri. Tetapi orang-orang itu kini tidak ada lagi di istana. Mereka telah berada di Pati dan Mataram yang baru dibuka.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Sudah lama ia bergaul dengan Sumangkar. Tetapi jarang sekali ia menyatakan pendapatnya tentang pemerintahan Pajang. Kini agaknya ia tidak dapat menahan kecewa yang mendesak didalam hatinya terhadap Sultan Adiwijaya. Tetapi Kiai Gringsing tidak banyak menanggapinya dalam keadaan yang semakin parah, Sumangkar pasti tidak terlepas dari pengaruh lingkungannya dahulu. Dan seakan-akan terbayang di matanya kata-kata hatinya,
“Jika Arya Penangsang yang berhasil menduduki tahta, keadaan akan berbeda.”
Namun bagi Kiai Gringsing, baik Arya Penangsang maupun Adiwijaya, ternyata terdapat kelemahan-kelemahan yang mengganggu perkembangan negeri ini. Adiwijaya yang membinasakan Arya Penangsang dengan dorongan Ratu Kalinyamat, yang bahkan telah menyediakan dua orang gadis cantik buatnya, kini semakin dalam tenggelam dalam kebesarannya sendiri. Adiwijaya sibuk dengan persoalan-persoalan pribadinya, sehingga pemerintahannya seakan-akan telah dikesampingkan. Sejak Pajang berkuasa, maka tidak ada perubahan penting yang tumbuh dan tidak ada pembaharuan dapat menguntungkan rakyatnya. Tetapi itu tidak berarti bahwa jika Arya Penangsang memegang pimpinan, Jipang akan mampu mengangkat bekas daerah kekuasaan Demak menjadi suatu negara besar. Arya Penangsang memang lebih lincah dan cita-citanya pasti melambung tinggi. Tetapi ia adalah orang yang keras hati yang pasti akan lebih mementingkan kekerasan dari pembicaraan-pembicaraan yang baik.

Tiba-tiba Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam, sehingga Sumangkar berpaling kepadanya. Tetapi Kiai Gringsing tidak berkata apapun juga.
“O” desis Sumangkar,
“apakah aku sudah berbicara terlampau banyak?”
“Tidak, tidak” cepat-cepat Kiai Gringsing menyahut.
“Aku senang mendengar pendapatmu tentang Pajang, Pati dan Mataram. Dengan demikian barulah kau tampak, bahwa kau bukan sekedar seorang juru masak Tohpati di hutan-hutan rindang itu. Tetapi kau benar-benar adik seperguruan Patih Mantahun dari Jipang.”
Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
“Aku telah mendapat pengampunan khusus dari Pajang. Saat itu Pemanahan lah yang membawa aku menghadap Sultan Adiwijaya. Dan aku merasa sangat berterima kasih. Sultan Adiwijaya memang seorang yang sabar dan menaruh kasihan kepada rakyatnya.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih menunggu, kelanjutan dari kata-kata Sumangkar. Namun Sumangkar tidak berkata apapun. Sekali lagi Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Tentu kalimat Sumangkar itu masih ada kelanjutannya. Ia pasti akan memperbandingkan sifat-sifat yang baik yang ada pada Adiwijaya dan kelemahan-kelemahannya. Tetapi kata-kata yang sudah disusunnya itu ditelannya kembali. Justru karena itu, maka Kiai Gringsing lah yang berkata,
“Sultan Adiwijaya memang seorang yang sabar dan menaruh banyak belas kasihan. Tetapi cita-citanya yang meledak-ledak dimasa mudanya tiba-tiba terhenti diantara isteri-istri dan selir-selirnya.”
“Ah.”
“Memang bukan kau yang mengatakannya. Tetapi aku.”
Sumangkar mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menanggapinya. Bagaimanapun juga ia masih selalu dibayangi oleh keadaannya beberapa saat yang lampau. Bagaimanapun juga ia berada didalam pasukan Tohpati yang telah mengeraskan hatinya, melawan Pajang sepeninggal Arya Penangsang. Kiai Gringsing pun tidak mempersoalkannya lagi. Iapun sadar, bahwa Sumangkar pasti masih belum dapat dibawa berbicara terbuka sepenuhnya. Ia pasti belum dapat mengatakan seluruhnya yang tersimpan didalam hati. Juga karena ia merasa berhutang budi kepada Sultan Pajang, tetapi juga kepada Ki Gede Pemanahan. Meskipun demikian, pandangan yang tajam dari kedua orang tua itu, mendapatkan tanggapan dan penilaian yang serupa tentang Pajang meskipun sebagian masih disimpan didalam hati.

Bahkan penilaian mereka sampai juga kepada Pangeran Benawa, Putera Sultan Pajang yang seharusnya diangkat menjadi Putera Mahkota. Tetapi menilik sikapnya yang lemah, ia tidak akan mungkin dapat mengangkat Pajang melampaui ayahnya, Sultan Adiwijaya. Pangeran Benawa adalah putera yang sangat dikasihi oleh ayah bundanya. Namun dengan demikian, Pangeran itu menjadi manja dan kehilangan kesempatan untuk menempa diri didalam lingkungan, yang lebih keras. Seperti kerasnya tantangan yang dihadapi oleh pajang saat itu. Pangeran Benawa menganggap bahwa perjuangan ayahnya telah sampai pada titik akhir. Seakan-akan semuanya sudah tercapai. Seakan-akan Pajang telah menjadi tenang dan bahkan tertidur nyenyak. Pangeran Benawa tidak mengenal kerasnya benturan perjuangan membuka Alas Mentaok. Tidak melihat gejolak gelombang di pesisir yang diperintah oleh para Adipati. Tidak mendengar desau angin yang menghembus layar para nelayan dan lebih-lebih lagi pedagang asing yang merapat di pantai, meskipun sampai juga di telinganya, bagaimana perjuangan leluhurnya, Pangeran Pati Unus yang menjelajahi lautan.
Bergesernya pemerintahan dari Demak masuk kedaerah yang semakin dalam telah memisahkan Pajang dari keakraban dengan buih lautan.
“Pusat pemerintahan tidak perlu berada di pantai” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya,
“tetapi pimpinan pemerintahan harus menyadari, betapa pentingnya air lautan bagi tanah ini.”
Dan hidup yang di lingkungi oleh gemerlapnya istana dan cantiknya wanita telah memisahkan Adiwijaya dan Puteranya dari kerasnya gelombang dan pepohonan hutan. Terlebih-lebih lagi, Pajang tidak berhasil menguasai hasrat hidup dan kesatuan pandangan hidup yang tercermin di dalam persoalan-persoalan kecil di Sangkal Putung dan Jati anom. Namun persoalan-persoalan kecil itu tumbuh justru pada jalur arus antara Pajang dan Mataram. Dalam pada itu, kedua orang-orang tua yang seakan-akan lelap dalam angan-angan masing-masing itu terkejut ketika mereka mendengar derap kuda memasuki halaman.
“Mereka datang” berkata Ki Sumangkar. Kiai Gringsing menganggukkan kepalanya sambil berdiri diikuti oleh Sumangkar. Keduanya pun kemudian luar dari gandok, menyongsong kedua anak-anak muda yang baru datang setelah mengelilingi seluruh Kademangan. Namun dalam pada itu, langit pun sudah mulai semburat merah. Hampir fajar.
“Perjalanan yang menyenangkan” Swandaru meloncat turun dari kudanya sambil tersenyum. Ketika seseorang datang kepadanya, maka diserahkannya kudanya-sama sekali dengan kuda Agung Sedayu yang telah turun pula.
“Aku hampir tertidur di punggung kuda” Swandaru meneruskan,
“Untunglah aku tidak seorang diri, sehingga ada kawan berbicara di tengah-tengah bulak yang dingin.”
“Beristirahatlah” Berkata Kiai Gringsing kepada kedua muridnya.
“Aku akan mencuci kaki” desis Agung Sedayu sambil melangkah ke pakiwan bersama Swandaru. Tetapi langkah mereka berhenti di longkangan ketika mereka melihat Sekar Mirah berdiri di pintu butulan
“Kau tidak mengajak aku” ia bersungut-sungut.
“Jangan mencari perkara. Mengelilingi Kademangan dimalam hari terasa sangat melelahkan. Tidur sajalah”
“Bukankah kau baru saja berkelahi” sahut Swandaru
“Sayang, Wita tidak bersungguh-sungguh.”
Sekar Mirah tidak menyahut. Tetapi ketika ia mencari sesuatu di bawah kakinya, Swandaru segera berlari meninggalkannya langsung ke pakiwan di belakang rumah.

Agung Sedayu masih berdiri termangu-mangu. la belum sempat berbicara banyak dengan gadis itu sejak ia kembali dari Alas Mentaok, karena ia segera pergi ke Jati Anom dan begitu ia kembali, ia sudah dihadapkan pada anak-anak muda yang berkumpul di pendapa, bahkan persoalan kentongan itupun telah merampas perhatiannya. Di hari berikutnya, suasana Kademangan diliputi oleh kegelisahan karena pokal Wita pula, sehingga waktunya seakan-akan terampas habis untuk ikut berbicara tentang kemungkinan yang bakal terjadi. Apalagi semalaman ia harus bersembunyi di kandang, memanjat pohon dan mengelilingi Kademangan diatas punggung kuda. Tetapi keduanya tidak berbicara apapun. Namun sentuhan tatapan mata merekalah yang banyak melontarkan isi hati masing-masing. Tiba-tiba saja Sekar Mirah melangkah surut, masuk ke dalam sambil berkata,
“Selamat tidur kakang.”
Agung Sedayu mengangguk kaku. Sebelum ia menjawab, pintu itu sudah tertutup. Perlahan-lahan ia melangkah menyusul Swandaru dengan kepala tunduk. Terbayang kesibukan yang akan segera terjadi di Jati Anom jika kakaknya kawin kelak. Setelah itu, jalan telah terbuka pula baginya. Setelah membersihkan dirinya, maka iapun kemudian kembali kepada gurunya, menyusul Swandaru yang telah lebih dahulu. Sejenak mereka menunggu gurunya yang juga pergi ke pakiwan bersama Ki Sumangkar untuk kemudian bersama-sama menghadap Tuhannya, dalam suatu saat yang khusuk. Setelah selesai, barulah Agung Sedayu dan Swandaru pergi beristirahat, berbaring-baring sejenak didalam bilik gandok itu. Mereka bangkit ketika gurunya masuk ke ruangan itu bersama Ki Sumangkar, namun gurunya segera berkata,
“Berbaringlah. Kau perlu beristirahat.”
“Kami tidak terlalu lelah” jawab Agung Sedayu.
“Tidak. Kau tentu lelah. Seandainya tidak, berbaringlah. Aku tidak akan membicarakan masalah yang berat. Aku hanya akan berbicara saja untuk mengisi waktu sampai matahari naik.”
Agung Sedayu ragu-ragu sejenak. Namun iapun kemudian tersenyum sambil berkata,
“Maaf, kami berbaring.”
“Ya, berbaringlah.”
Swandaru pun menyahut,
“Tetapi dengan berbaring, aku dapat tertidur tanpa aku sadari,”
“Tidurlah jikalau mengantuk.”
Swandaru tersenyum. Tetapi ia memang lebih senang berbaring daripada duduk di bibir amben bambunya, setelah hampir semalam suntuk ia duduk diatas punggung kuda.
“Bagaimana dengan anak-anak muda itu?” bertanya Kiai Gringsing kemudian.
“Tidak apa-apa guru” jawab Swandaru,
“meskipun mereka masih berkeliaran dan berkumpul di-gardu-gardu, tetapi mereka sudah dapat ditenangkan.”
“Kehadiranmu memang dapat menenangkan mereka, meskipun kekecewaan masih tetap ada didalam hati. Namun mereka merasa kau perhatikan, sehingga meskipun malam telah larut, kau kunjungi mereka di gardu-gardu.”
“Ya.”
“Jadikanlah suatu pengalaman” berkata Kiai Gringsing,
“anak-anak muda yang sudah bergerak, tetapi tidak mendapat sasaran, kadang-kadang dapat menumbuhkan persoalan tersendiri. Namun demikian, didalam keadaan yang semakin gawat ini, cobalah memelihara ikatan yang telah ada.”
Swandaru mengerutkan keningnya.
“Disadari atau tidak disadari, Sangkal Putung akan tersentuh oleh perkembangan hubungan antara Pajang dan Mataram. Jika hubungan itu semakin baik, daerah ini pun akan menjadi semakin baik, tetapi jika hubungan itu memburuk, maka daerah ini akan mengalami kesulitan pula, karena daerah ini berada di jalur lurus antara Pajang dan Mataram.”

Swandaru mengerutkan keningnya. la menyadari, bahwa persoalan Pajang dan Mataram pasti akan mempengaruhi Kademangannya. Persoalan Jipang dan Pajang pun menyangkut keamanan dan ketenteraman Sangkal Putung, apalagi Mataram dan Pajang. Justru karena Sangkal Putung merupakan daerah yang subur, maka Sangkal Putung akan dapat dijadikan daerah perbekalan yang mantap. Baik Mataram maupun Pajang didalam keadaan yang memburuk, memerlukan daerah perbekalan.
“Karena itu Swandaru” berkata Kiai Gringsing,
“sebelum persoalan yang menyangkut daerah ini menjadi semakin gawat, meskipun bukan itu yang kami harapkan, maka kau lebih dahulu dapat menyiapkan dirimu sendiri dan Agung Sedayu. Maksudku, sebelum kau terlibat di dalam persoalan yang berlarut-larut tanpa diketahui ujung dan lebih baik kau selesaikan dahulu persoalan-persoalan pribadimu.”
Tiba-tiba hampir berbareng Swandaru dan Agung Sedayu bangkit. Hampir berbarengan pula keduanya bertanya,
“Maksud guru?”
“Tentu persoalan-persoalan kalian berdua sebagai anak-anak muda. Bukankah menurut Agung Sedayu, anakmas Untara juga hampir menginjak masa baru didalam hidupnya? Nah, jika demikian, Swandaru dan Agung Sedayu pun dapat segera menyusulnya. Tetapi tentu terlebih dahulu, persoalan-persoalan yang menyangkut adat upacara harus dipenuhi.”
Kedua anak-anak muda itu menundukkan kepalanya,
“Maksudku, setelah anakmas Untara selesai, ayahmu Swandaru, harus segera datang ke Menoreh. Ki Gede Menoreh pasti sudah terlampau lama menunggu. Apalagi ia kini menjadi cacat. Tentu ia memerlukan seseorang yang akan segera menjadi pelindung Pandan Wangi. Berbareng dengan itu, anakmas Untara pun harus menghadap Ki Demang Sangkal Putung, untuk minta secara resmi, agar Sekar Mirah diperkenankan hidup bersama Agung Sedayu.”


Halaman 1 2 3


<<< Jilid 063                                                                                                       Jilid 065 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar