Jilid 063 Halaman 3


“Persetan, persetan!”
Ternyata sifat yang keras itu sangat menjengkelkan Swandaru. Maka katanya,
“Wita, apakah kau tidak melihat kenyataan yang kau hadapi?”
“Aku akan berkelahi terus. Aku adalah laki-laki. Tidak seorang pun yang dapat memaksakan kehendaknya atasku, … uh …” suaranya terputus. Swandaru yang benar-benar telah menjadi jengkel, telah memukul pipi Wita yang sedang berbicara itu sehingga suaranya patah.

Sejenak Wita berdiri sambil meraba-raba pipinya. Ia tidak dapat ingkar, bahwa pipinya menjadi sakit sekali. Sentuhan tangan Swandaru yang gemuk itu ternyata telah benar-benar membuatnya menyeringai.
“Nah, apa katamu?” bertanya Swandaru.
“Aku dapat berbuat lebih banyak. Bukan sekedar memukul pipimu. Aku dapat merontokkan gigimu dan membuat kau pingsan, seperti kawanku itu.”
Wita menggeretakkan giginya. Tetapi ia sadar bahwa ia berhadapan dengan Swandaru, yang lain dari anak-anak muda Sangkal Putung yang telah dikalahkannya. Tetapi ternyata, Wita sama sekali tidak menerima kekalahannya dengan ikhlas. Pipinya yang sakit telah membakar dendam di hatinya. Sehingga karena itu, tanpa berkata sepatah pun ia meninggalkan tikungan itu. Swandaru tidak berusaha mencegahnya. Bahkan ketika seorang anak muda meloncat maju dan memandanginya dengan heran, ia berkata,
“Aku tahu. Ia mendendam. Tetapi jika aku berbuat lebih banyak, dendam di hatinya akan menjadi semakin menyala. Dari manakah sebenarnya anak itu?”
“Ia adalah anak Semangkak.”
“Semangkak? Kenapa aku belum pernah mengenalnya?”
“Entahlah. Memang kita sudah banyak mengenal anak-anak dari padukuhan Semangkak. Tetapi kita belum pernah mengenal anak itu sebelumnya.”
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia bergumam,
“Tentu ada juga anak-anak Semangkak yang belum kita kenal dan belum mengenal kita. Dan kita tahu, siapakah anak-anak muda dari Semangkak dan apa saja yang pernah dilakukan selama ini, sehingga membuat para bebahu kademangannya dan orang-orang tua di Semangkak sendiri menjadi pening.”
“Ya. Ternyata anak-anak Semangkak sendiri telah terpecah. Yang separo tidak lagi menghendaki cara hidup yang tidak wajar, sedang yang lain masih saja tidak mau meninggalkan jalan mereka yang sesat, sehingga tidak jarang terjadi bentrokan-bentrokan di antara mereka di Semangkak.”
Swandaru mengangguk-angguk, perlahan-lahan ia berdesis,
“Kita tidak tahu, dari lingkungan yang manakah Wita itu.”
“Menilik sikapnya sebelum ini, ia termasuk anak yang tidak banyak tingkah. Tetapi ternyata, sekarang kita harus berpikir lain.”

Swandaru mengangguk-angguk dan mengangguk-angguk. Terbayang dendam anak Semangkak itu dapat menyala semakin besar. Apalagi apabila ia termasuk lingkungan anak-anak yang justru membuat keluarga Semangkak sendiri menjadi sulit.
“Sudahlah,” berkata Swandaru kemudian,
“kita kembali ke kademangan. Mudah-mudahan, Wita tidak mempersoalkannya lebih jauh.”
“Besok kita akan melihat, apakah ia masih berada di rumah pamannya atau tidak. Jika tidak, kita harus bersiap-siap menghadapi setiap kemungkinan yang dapat terjadi.”
Swandaru tidak menyahut. Dipandanginya jalan yang gelap, yang seakan-akan telah menelan Wita beberapa saat yang lalu. Sekilas terbayang di kepalanya, beberapa waktu yang lampau, anak-anak muda Sangkal Putung berkeliaran hampir di setiap sudut kademangan, untuk mengawasi kemungkinan orang-orang Tohpati yang menyusup masuk ke kademangannya.
“Apakah sekarang kita harus berbuat seperti itu, sekedar untuk menghadapi anak-anak dari kademangan yang lain?” katanya di dalam hati.
Tetapi Swandaru tidak mengucapkannya. Yang dikatakannya kemudian adalah,
“Marilah kita kembali ke kademangan. Jangan hiraukan lagi Wita, setidak-tidaknya untuk malam ini.”
Agung Sedayu yang selama itu berdiri diam di samping gurunya, mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang benar apa yang dikatakan oleh Swandaru, Wita itu dapat diabaikan, setidak-tidaknya untuk malam ini. Entahlah untuk besok atau lusa. Demikianlah maka mereka yang berkerumun di tikungan itu pun segera bubar. Ada yang kembali ke kademangan, tetapi orang-orang tua, kembali pulang ke rumah masing-masing, meskipun ada juga satu dua orang yang duduk-duduk di gardu terdekat. Mereka masih saja memperbincangkan peristiwa yang baru saja terjadi. Di kademangan, ternyata ceritera tentang Wita itu pun segera menjalar dari mulut ke mulut. Setiap orang yang ada di pendapa pun segera mengetahui apa yang telah terjadi.
“Ada-ada saja,” gumam Ki Jagabaya,
“persoalan anak-anak muda jaman ini memang membuat kepala ini menjadi botak.”
Ki Demang memandang wajah Ki Jagabaya yang tegang sejenak. Namun ia pun kemudian berkata,
“Persoalan yang perlu mendapat perhatian yang mendalam.”

Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun pembicaraan itu pun segera terputus. Ia mendengar gelak yang meledak di antara anak-anak muda yang duduk di sudut. Ternyata mereka sudah mulai berkelakar kembali. Pendapa kademangan itu pun menjadi riuh kembali. Ki Demang yang duduk di sebelah Ki Jagabaya berkata,
“Anak-anak muda sebanyak ini, bahkan jauh lebih banyak lagi, memerlukan perhatian. Jika mereka kehilangan pegangan apa yang sebaiknya mereka lakukan, maka kita akan dihadapkan pada tanda bahaya yang tidak kalah dari bahaya yang dapat ditimbulkan oleh pasukan Tohpati saat itu.”
Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Anak-anak yang tumbuh semakin dewasa, ingin juga menunjukkan sifat kejantanan dan kepahlawanan seperti kakak-kakaknya. Tetapi, sasaran mereka kini tidak tersedia seperti pada saat Tohpati ada di luar kademangan ini, sehingga kadang-kadang mereka menimbulkan persoalan tersendiri.”
Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Dengan nada rendah ia menyahut,
“Untunglah, bahwa anak-anak muda di Sangkal Putung sampai saat ini masih tetap terkendali. Mudah-mudahan kita tidak menghadapi kesulitan yang akan mereka timbulkan kemudian.”
Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia pun merasa beruntung bahwa anak-anak muda Sangkal Putung masih menyadari kedudukannya. Mereka masih tetap menyadari, bahwa masa depan Sangkal Putung ada di tangan mereka, sehingga mereka tidak menyia-nyiakan masa muda mereka.
“Sebagian terbesar dari anak-anak muda kita yang ikut di dalam perjuangan menyelamatkan Sangkal Putung, masih ada di antara mereka,” berkata Ki Jagabaya kemudian,
“sehingga mereka masih tetap menyadari arti dari perjuangan itu sepenuhnya.”
“Kita harus berhati-hati, Ki Jagabaya. Kalau kita lengah, maka peristiwa-peristiwa yang tidak kita kehendaki, dapat saja tumbuh di kademangan ini.”
Keduanya pun kemudian terdiam. Di sebelah mereka, Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar pun hanya duduk sambil berdiam diri. Mereka memandangi anak-anak muda yang berkelakar dengan gembira, hampir semalam suntuk. Swandaru sendiri duduk bersandar dinding sambil terkantuk-kantuk. Sedang Agung Sedayu hanya tersenyum-senyum saja menanggapi kelakar anak-anak muda Sangkal Putung. Anak-anak muda itu seakan-akan tersadar, dari suasana yang telah memukau mereka, ketika mereka mendengar ayam jantan berkokok bersahut-sahutan. Ketika mereka berpaling ke halaman, mereka pun telah melihat bayangan kemerah-merahan di pepohonan.
“Fajar,” desis salah seorang dari mereka.
“O, ternyata kita berada di pendapa ini semalam suntuk.”
“Ya. Marilah kita pulang. Siang nanti aku masih harus menyelesaikan garapan di sawahku.”

Anak-anak itu pun kemudian minta diri dan pulang ke rumah masing-masing. Tetapi ada juga di antara mereka yang malas berjalan pulang. Mereka langsung berkerudung kain panjang dan berbaring di pendapa Kademangan Sangkal Putung.
“Kepalang tanggung untuk pulang,” desis salah seorang dari mereka, “aku akan tidur saja di sini. Nanti, kalau nasi sudah masak, barulah aku pulang.”
Swandaru tidak dapat mengusir mereka. Namun ia pun terpaksa ikut tidur di pendapa itu pula, menghabiskan ujung malam yang masih tersisa. Demikian pula dengan Agung Sedayu. Ia tidak dapat meninggalkan mereka yang berbaring silang-menyilang di antara daun-daun pembungkus makanan yang masih berserakan. Tetapi Kiai Gringsing, Sumangkar, Ki Demang, Ki Jagabaya, dan orang-orang tua yang lain pun meninggalkan pendapa yang menjadi lengang. Mereka pun segera pergi ke bilik masing-masing dan yang lain pulang ke rumah. Namun demikian, terutama Ki Demang dan Ki Jagabaya, masih juga memikirkan akibat yang dapat timbul oleh persoalan yang tampaknya terlampau kecil. Persoalan yang seakan-akan begitu saja dapat dilupakan, tetapi yang sebenarnya akan dapat menimbulkan persoalan yang berkepanjangan.
Sebenarnyalah, di pagi-pagi buta, Wita telah minta diri kepada pamannya untuk segera pulang ke Semangkak.
“He, kenapa begitu tergesa-gesa? Bukankah kau pernah mengatakan bahwa kau akan berada di sini sampai ayahmu menjemputmu, atau bahkan kau akan tetap tinggal di sini? Aku memerlukan bantuanmu menjelang bertanam padi di musim mendatang.”
“Aku hanya akan menengok ayah dan ibu sebentar saja, Paman. Mungkin sehari atau dua hari. Aku akan segera kembali.”
“Apakah kau mempunyai keperluan khusus, yang agaknya kau segan mengatakannya?” bertanya bibinya.
“Tidak, Bibi. Tidak apa-apa. Aku hanya akan menengok keluarga di Semangkak barang sehari dua hari. Sudah lama aku tinggal di sini. Aku sudah ingin melihat adik-adikku meskipun hanya sekilas.”
Paman dan bibinya memang merasa agak curiga. Tetapi mereka tidak dapat mencegahnya. Karena itu, Wita diberinya bekal uang sedikit yang barangkali diperlukan di perjalanan.

Baru ketika matahari menjadi semakin tinggi, dan Wita telah menjadi semakin jauh dari Kademangan Sangkal Putung, pamannya mendengar peristiwa yang telah terjadi semalam.
“O, jadi. Wita telah berbuat onar di sini? Aku memang mendengar bunyi kentongan berturut-turut. Tetapi kenapa aku tidak mendengar bahwa di tikungan sebelah telah terjadi keributan?” berkata paman Wita kepada tetangganya, yang memberitahukan persoalan kemanakannya.
“Tidak banyak yang mendengar. Hanya, orang-orang yang tinggal di sebelah-menyebelah tikungan itu saja.”
Pamannya berpikir sejenak. Lalu,
“Kalau begitu aku akan menyusulnya. Aku akan pergi ke Semangkak menemui kakang, ayah Wita. Anak itu harus mendapat pengertian, bahwa yang dilakukan itu sama sekali tidak baik baginya, bagiku, dan bagi orang tuanya sendiri.”
Tetangganya tidak menyahut. ia hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja.
“Sebaiknya aku menemui Swandaru dan Ki Demang, sebelum aku pergi ke Semangkak,” berkata paman Wita.
“Itu lebih baik,” sahut tetangganya,
“kau akan mendapat penjelasan yang jelas, apa yang sebenarnya telah terjadi.”
Paman Wita itu pun kemudian dengan dada yang berdebar-debar pergi ke kademangan. Ia kenal benar dengan kemanakannya yang tampaknya baik dan diam. Tetapi kadang-kadang hatinya memang meledak-ledak, sehingga orang tuanya sendiri menjadi cemas akan perkembangannya. Itulah sebabnya Wita diserahkan kepadanya, yang mempunyai pengaruh agak kuat pada anak itu. Biasanya Wita menurut apa yang dikatakan oleh pamannya. Namun pada suatu saat, Wita telah membuat pamannya itu menjadi gelisah.
Di kademangan, paman Wita berhasil menemui Swandaru. Bahkan Ki Demang pun ikut menemuinya pula.
“Ada baiknya kau pergi ke Semangkak,” berkata Ki Demang.
“Kau dapat memberi penjelasan kepada orang tuanya, supaya tidak salah paham. Siapakah sebenarnya kakangmu yang tinggal di Semangkak itu?” bertanya Ki Demang kemudian.
Paman Wita mengerutkan keningnya. Apakah kira-kira Ki Demang sudah mengenal kakaknya yang tinggal di Semangkak?
“Kakakmu laki-laki atau perempuan?” desak Ki Demang.
“Saudaraku adalah ibu Wita,” jawab paman Wita itu,
“tetapi ayahnya pun masih ada sangkut pautnya, meskipun sekedar muntu katutan sambel.”
Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih bertanya,
“Siapakah nama bapaknya?”
“Santa,” jawab paman Wita,
“orang memanggilnya Santa duwur.”
“O,” Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya pula,
“aku sudah mengenalnya. Memang ada dua Santa yang aku kenal di Semangkak. Yang seorang pendek dan yang seorang tinggi. Kakakmu adalah Santa yang tinggi itu.”
“Ya, Ki Demang.”
“Ia adalah suami kakak perempuanmu.”
“Ya. Kakak perempuanku yang sulung.”
Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Lalu katanya,
“Baiklah kau menemuinya. Seingatku, Santa termasuk orang yang keras hati juga. Agaknya sifatnya itu menurun pada anaknya.”
Demikianlah, maka paman Wita hari itu memerlukan menyusul kemanakannya. Ia mempunyai dugaan, bahwa Wita menaruh dendam kepada anak-anak Sangkal Putung. Karena itu, ia harus segera sampai ke Semangkak dan menemui kakaknya.
“Tetapi agaknya Kakang Santa tidak lagi merasa mampu mengendalikan anaknya. Betapapun keras hatinya, namun ternyata bahwa ia tidak berhasil menundukkan hati anaknya, sekedar dengan kekerasan,” berkata paman Wita di dalam hatinya.
Demikianlah, maka sebelum matahari sampai ke puncak langit, paman Wita sudah sampai ke rumah kakaknya. Ternyata kedatangannya telah mengejutkan seisi rumah itu.
“O, baru saja Wita datang, kau sudah menyusulnya. Apakah ada sesuatu yang penting?” bertanya kakaknya.
Paman Wita menggeleng sambil tersenyum,
“Tidak, Kakang. Tidak ada apa-apa. Bahkan aku khawatir, kenapa tiba-tiba saja Wita kepingin pulang.”
Kakaknya suami isteri menarik nafas lega. Sambil tersenyum Santa berkata,
“Aku sudah kecemasan melihat kedatanganmu. Syukurlah kalau tidak ada apa-apa terjadi di Sangkal Putung.”
“Tidak, Kakang. Memang tidak ada apa-apa,” paman Wita terdiam sejenak. Lalu,
“Di mana Wita sekarang?”
“Entahlah. Mungkin ia menemui kawan-kawannya setelah sekian lama tidak ketemu.”
“Apakah ia tidak mengatakan sesuatu?”
Santa mengerutkan keningnya.
“Maksudmu?” ia bertanya.
“Tidak apa-apa. Maksudku, apakah Wita mempunyai suatu keperluan yang penting, tetapi ia tidak berani berterus terang? pakaian misalnya, atau apa pun yang lain?”
Tetapi ayah dan ibunya menggelengkan kepalanya.
“Ia tidak mengatakan apa-apa.”
Pamannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun sikapnya ternyata membuat ayahnya menjadi curiga, sehingga ia mendesaknya, “Apakah sebenarnya yang terjadi?”
Pamannya tidak segera menjawab, tetapi ia bertanya,
“Di mana Wita sekarang?”
Santa mengerutkan keningnya. Sekali lagi ia menjawab,
“Aku tidak tahu. Ia pergi kepada kawan-kawannya.”

Pamannya mengangguk-angguk pula. Tetapi ia tidak segera berkata sesuatu.
Ibu Wita-lah yang kemudian berdiri memanggil adik Wita. Kepadanya ia bertanya,
“Di mana kakakmu?”
“Ia pergi ke gardu, Ibu.”
“Ke gardu? Apakah kerjanya di sana?”
Adiknya menggelengkan kepalanya. Jawabnya,
“Aku tidak tahu, ia berada di gardu bersama beberapa orang.”
“Beberapa orang?”
“Ya. Dengan anak-anak muda sebaya Kakang Wita. Agaknya Kakang sedang berceritera. Tetapi aku tidak boleh mendekat.”
Paman Wita mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia berkata,
“Coba, lihatlah, apakah ia masih di gardu itu.”
Adik Wita itu memandang ayahnya sejenak. Ketika ayahnya menganggukkan kepalanya, maka anak itu pun segera berlari ke luar. Sepeninggal anak itu, maka barulah pamannya berterus terang apa yang terjadi. Apa yang sudah dilakukan oleh Wita, sehingga telah terjadi bentrokan antara Wita dengan anak-anak Sangkal Putung.
“Gila!” orang tuanya menggeram,
“Wita memang pantas dihajar, ia membuat aku malu. Aku kenal baik dengan Demang Sangkal Putung. Kelakuannya ternyata telah membuat aku malu. Anak itu memang pantas dihajar.”
“Jangan,” cegah pamannya. Lalu,
“Jangan dengan cara itu.”
Ibu Wita pun menjadi pucat. Setiap kali ia melihat suaminya menghajar anak-anaknya, ia hanya dapat menekan dadanya. Bahkan kadang-kadang ia menjadi ketakutan dan sama sekali tidak tahu apa yang pantas dilakukan.
“Lalu, mau kau apakan anak itu?” bertanya ayahnya kepada adik iparnya.
“Kita mencari jalan lain. Tetapi kalau anak itu dipaksa dengan kekerasan, pada saat-saat serupa ini, akibatnya tidak akan menguntungkan baginya dan bagi keluarga ini.”
“Anak itu membuat aku menjadi gila,” gumam ayahnya.
“Tentu ia mengumpulkan kawan-kawannya. Tentu ia akan membalas dendam kepada anak-anak Sangkal Putung.”
“Mungkin,” jawab pamannya. Tetapi, sebelum ia meneruskan kata-katanya, adik Wita sudah berlari-lari masuk ke ruangan itu sambil berkata,
“Anak-anak yang berkumpul di gardu menjadi semakin banyak.”
“Nah, apa kataku. Aku harus mencegahnya.”

Paman Wita menjadi termangu-mangu sejenak. Tetapi kecemasan yang sangat telah merambat di dadanya. Ia sadar, bahwa anak-anak Semangkak adalah anak-anak yang mempunyai ikatan yang kuat satu dengan yang lain, sehingga tidak mustahil bahwa Wita telah mempengaruhi kawan-kawannya untuk membalas sakit hatinya.
“Aku akan pergi ke gardu,” berkata ayah Wita.
“Tunggu,” berkata isterinya,
“jangan bertindak terlampau keras di hadapan kawan-kawannya. Ia akan tersinggung dan justru akan berbuat lebih kasar lagi.”
“Aku tidak peduli.”
“Biarlah aku menemuinya,” berkata paman Wita,
“aku akan mencoba memanggilnya pulang.”
“Biarlah pamannya yang memanggilnya,” berkata ibu Wita.
Ayahnya berpikir sejenak. Lalu,
“Baiklah. Panggillah pulang.”
Paman Wita itu pun segera pergi ke gardu yang ditunjukkan oleh kemanakannya yang kecil. Tetapi ia menjadi termangu-mangu, ketika ia melihat anak-anak muda yang berkumpul di gardu itu. Sehingga karena itu langkahnya terhenti.
“Apakah kakangmu ada di antara mereka?” bertanya paman Wita.
“Ya, Paman.”
“Panggil ia kemari. Aku akan berbicara.”
Adik Wita itu mengerutkan lehernya. Katanya,
“Kakang tentu akan marah kepadaku.”
Pamannya tidak mempunyai pilihan lain. Ia pun kemudian melangkah mendekati gardu yang penuh dengan anak-anak muda.
Tetapi ketika ia sampai di dekat gardu itu, ia menjadi heran. Tidak seorang pun yang memperhatikannya Tampaknya mereka sedang sibuk sendiri, dan bahkan dengan herannya ia mendengar beberapa orang di antara mereka sedang bertengkar.
“Aku tidak mau ikut campur,” terdengar seseorang berbicara mengatasi suara kawan-kawannya.
“Terserah kepadamu. Tetapi kau akan terpencil dari lingkungan kami, bahkan kami tidak akan bertanggung jawab terhadap keselamatanmu.”
“Ayo, siapa berani melawan aku sekarang? Jangan mengancam. Kalau ada yang merasa berkeberatan karena aku tidak ikut-ikutan berbuat gila itu, katakan sekarang. Aku tidak takut. Dua atau tiga orang sekaligus termasuk Wita sendiri.”
“Gila,” dengus Wita.
Tetapi kawannya itu menjawab,
“Jangan kau sangka bahwa kau adalah anak yang paling kuat di Semangkak. Kau telah mencemarkan nama baik padukuhan kita. Sekarang kau membujuk anak-anak mudanya untuk berbuat gila di Sangkal Putung. Apakah kau sangka tindakan semacam itu benar dan baik?”
“Tutup mulutmu. Kalau tidak ikut, pergi saja dari sini.”
“Sekehendakku. Aku anak Semangkak. Aku boleh berada di mana saja di padukuhan ini.”
“Jangan keras kepala. Kau akan benar-benar terpencil dan nasibmu ada di tangan kami.”
“Persetan. Aku berani menghadapi akibat itu. Kalian mau apa? Dan jangan di sangka bahwa aku berdiri sendiri. Coba, siapakah dari anak-anak muda sebelah selokan ada di sini dan mau membantu kalian? Tidak ada. Mereka menyadari kebodohan cara yang kalian tempuh sekarang. Dan siapakah di antara kalian yang tidak mengenal Jumena, Data, Urip dan Wana? Ayo katakan, siapakah yang dapat mengimbangi kemampuan mereka berkelahi? Tetapi mereka tidak mau berpihak kepadamu, meskipun mereka anak-anak Semangkak juga, karena mereka tidak mau melibatkan diri dalam perbuatan yang bodoh itu.”
Sejenak anak-anak muda itu terdiam. Namun tiba-tiba Wita berteriak,
“Persetan dengan mereka. Aku adalah salah seorang dari mereka sebelumnya, seperti kau juga. Tetapi kalau kalian meninggalkan ikatan persahabatan ini karena kalian telah menjadi pengecut, aku tidak peduli.”
“Terserah. Aku sudah berusaha mencegah kalian. Kalian akan mengalami bencana yang tidak pernah kalian duga-duga di Sangkal Putung. Kita, lebih-lebih kakak-kakak kita, pasti mengetahui, apa yang pernah dilakukan oleh anak-anak muda Sangkal Putung pada saat daerah ini masih dibayangi oleh pasukan Tohpati yang menggetarkan itu.”
“Mereka tidak berbuat apa-apa. Pasukan Pajang yang berada di Sangkal Putung itulah yang telah berbuat banyak, untuk menyelamatkan kademangan itu.”
“Terserah. Terserah. Aku tidak akan ikut campur.”
“Aku tidak peduli!” geram Wita.

Sejenak kemudian, anak-anak yang berkerumun itu mulai menyibak. Dari antara mereka, seseorang melangkah tergesa-gesa meninggalkan gardu itu, itulah agaknya anak muda yang tidak mau ikut campur dengan kawan-kawannya, yang ternyata telah dibakar oleh keinginan untuk berkelahi, untuk sekedar menunjukkan bahwa mereka adalah laki-laki. Ternyata paman Wita mengetahui gelagat yang tidak menguntungkan itu. Ia mengurungkan niatnya untuk menemui kemanakannya. Ia yakin bahwa dalam keadaan serupa itu, kata-katanya tidak akan didengarnya. Karena itu, maka ia ingin menunggu saat yang lebih baik, karena menurut perhitungannya, anak-anak Semangkak itu pasti menunggu senja untuk bertindak. Karena itu, maka sebelum anak-anak muda itu menyadari kehadirannya, maka ia pun segera menyelinap ke dalam sebuah tikungan kecil dan berjalan dengan tergesa-gesa meninggalkan tempat itu, menjauhi gardu sambil menggandeng adik Wita.
“Kemana kita, Paman?”
“Kita pulang ke rumahmu. Apakah ada jalan yang sampai ke sana lewat jalan ini?”
“Ada. Jalan ini memang akan tembus ke jalan di belakang rumah kami. Dan kami dapat memasuki kebun belakang lewat pintu regol butulan.”
“Marilah.”
Keduanya pun kemudian berjalan semakin cepat lewat jalan sempit. Setelah meloncati parit dan beberapa kali berbelok, maka mereka pun kemudian sampai ke jalan yang akan melewati kebun belakang rumah Wita. Kedatangan mereka yang tergesa-gesa mengejutkan ayah dan ibu Wita, sehingga dengan serta-merta mereka bertanya,
“Kenapa dengan Wita?”
Pamannya menggelengkan kepalanya. Jawabnya,
“Tidak apa-apa. Tetapi aku tidak sempat menemuinya, karena ia sedang sibuk berbincang dengan kawan-kawannya.”
“O,” kedua orang tua Wita itu menarik nafas dalam-dalam. Namun ayah Wita itu pun bertanya,
“Kenapa kau lewat jalan belakang?”
Paman Wita termenung sejenak sambil memandang kemanakan yang diajaknya berjalan cepat-cepat melewati jalan sempit itu. Namun kemudian Paman Wita itu tersenyum. Katanya,
“Anak itu ingin menunjukkan jalan lain untuk pulang ke rumahnya.”
Santa memandang anaknya sejenak. Namun tampak olehnya bahwa jawaban itu pasti bukan jawaban yang sebenarnya, karena sorot mata anaknya yang aneh.
Karena itu, maka ia pun mendesaknya,
“Apakah yang sebenarnya dilakukan oleh anak itu?”

Paman Wita itu pun tidak segera dapat menjelaskan apa yang telah disaksikannya. Ia masih mencoba mencari, cara yang baik untuk mencegah hal itu. Jika ayah Wita menjadi marah dan tidak terkendali lagi, maka hal itu akan mendorong Wita menjadi semakin kasar dan mendendam.
“Apakah kau melihat sesuatu yang mencemaskan?” ayah Wita mendesak.
“Kakang,” berkata paman Wita itu kemudian,
“memang tidak mudah mengurusi anak-anak muda saat ini.”
“Apa yang sudah mereka lakukan?”
“Memang ada usaha untuk membalas dendam.”
“Gila! Aku memang harus mencarinya.”
“Ia sudah pergi,” cepat-cepat paman Wita menyahut,
“tetapi aku kira ia masih akan pulang. Aku tidak tahu pasti, apakah yang akan mereka lakukan. Tetapi kita mencoba menunggunya. Mungkin ia masih akan pulang, sebelum pergi ke Sangkal Putung.”
“Itulah yang mencemaskan. Suasana padukuhan ini menjadi semakin jelek karena anak-anak yang kehilangan arah. Wita memang harus dihajar.”
“Itu tidak akan menolong,” berkata iparnya,
“kita harus menemukan suatu cara yang baik untuk menghindarkan anak-anak kita dari suasana yang suram itu.”
“Dengan kekerasan saja, mereka tidak jera. Apa yang dapat kita lakukan kemudian?”
“Mungkin dengan cara yang justru tidak kasar dan keras.”
“Persetan!” geram ayah Wita.
“Aku sudah pening dibuatnya. Biar saja ia datang ke Sangkal Putung. Ia akan tahu, anak-anak muda Sangkal Putung tidak dapat dianggap ringan. Mereka telah terlatih menghadapi bahaya yang sebenarnya. Hampir seperti sepasukan prajurit.”
Paman Wita mengerutkan keningnya.
“Aku tidak peduli lagi,” Santa masih menggeram.
“Tetapi, tetapi, bagaimana kalau terjadi sesuatu atasnya?” ibu Wita lah yang menjadi sangat cemas.
“Itu akan menjadi pelajaran baginya.”
“Kalau yang terjadi itu membahayakan? Ia adalah sebab dari keributan ini.”
“Biar saja, biar saja. Hanya ada dua jalan bagiku. Menyeretnya pulang dan menghajarnya, atau membiarkannya sama sekali.”
“Tetapi, ia tidak menyadari apa yang dilakukannya.”

“Anak itu sudah cukup besar untuk mengerti baik dan buruk. Aku tidak lagi dapat berbuat apa-apa. Ketika ia mempelajari olah kanuragan, sebenarnya aku sudah mencemaskannya jika ia tidak mendapat tuntunan, bukan saja lahir tetapi batinnya. Akibatnya ia senang berkelahi, karena ia dianggap salah seorang dari beberapa orang terbaik yang mendapat tuntunan olah kanuragan itu.”
“Siapakah gurunya?”
“Bekas seorang prajurit. Ia memberikan tuntunan itu bagi anak-anak muda di Semangkak bersama-sama. Penilikan seorang demi seorang agaknya memang kurang.”
Paman Wita mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Aku akan menemuinya. Mudah-mudahan ia dapat mencegah murid-muridnya. Orang itu tentu mempunyai pengaruh yang kuat bagi anak-anak yang mendapat latihan daripadanya.”
Santa mengerutkan keningnya. Tetapi ia pun menganggukkan kepalanya,
“Cobalah. Temuilah orang itu. Kemanakanmu itu dapat mengantarkan kau.”
Demikianlah, dengan diantar oleh adik Wita, pamannya itu pergi ke rumah seorang bekas prajurit, yang selama ini memberikan bimbingan olah kanuragan kepada anak-anak muda Semangkak.
“Mudah-mudahan ia berada di rumah,” desis adik Wita.
“Apakah ia sering pergi?”
“Ya.”
“Kemana?”
“Adu ayam.”
“He?” paman Wita mengerutkan keningnya.
“Jadi ia senang menyabung ayam?”
“Ya. Bukan saja menyabung ayam. Tetapi juga berjudi.”
Paman Wita menarik nafas dalam-dalam. Ternyata bekas prajurit itu sering menyabung ayam dan berjudi. Jadi apakah dengan demikian sikap dan tuntunan kerohanian bagi anak-anak latihnya dapat dipertanggung jawabkan?

Tetapi, paman Wita masih ingin membuktikan. Mudah-mudahan ia dapat mengerti, dan berusaha mencegah anak-anaknya untuk tidak melanjutkan usaha mereka melepaskan sakit hati anak-anak Sangkal Putung, karena anak-anak Sangkal Putung mempunyai kemampuan yang agak lebih baik dari anak-anak muda di padukuhan lain. Karena itu, langkah paman Wita itu pun menjadi semakin cepat. Ia ingin segera menenangkan masalah yang sedang bergolak. Rasa-rasanya ia berdiri di atas padukuhan yang sedang membara dan siap untuk meledak.
“Itulah rumahnya,” berkata adik Wita.
“O,” pamannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi rasa-rasanya dadanya menjadi berdebar-debar. Kedatangannya mungkin akan dapat menimbulkan salah paham, karena ia dapat disangka telah mencampuri persoalan perguruannya.
“Tetapi yang dilakukan belum dapat digolongkan dalam bentuk perguruan, karena sifatnya yang terbuka,” berkata paman Wita di dalam hatinya. Namun demikian, ia masih tetap dibayangi oleh kecemasannya.
Sejenak kemudian, maka mereka berdua pun telah memasuki regol halaman rumah yang sedang. Tetapi nampaknya rumah itu agak kurang terpelihara. Beberapa bagian dari sudut-sudutnya telah berlubang, bahkan sebelah dindingnya telah miring.
“Agaknya penghuni rumah itu tidak sempat memelihara rumahnya,” berkata paman Wita di dalam hatinya.”
Sejenak ia berdiri termangu-mangu di depan pintu rumah yang tertutup itu. Tanpa sesadarnya dipandanginya wajah kemanakannya yang berkerut-merut.
“Benar di sini ia tinggal?” ia sekedar bertanya saja untuk melepaskan ketegangan di dadanya.
Kemanakannya menganggukkan kepalanya. Dengan tangan yang agak gemetar, maka paman Wita itu pun segera mengetuk pintu rumah yang tertutup itu.
“Mungkin ia tidak ada di rumah,” berkata adik Wita.
“Apakah ia tinggal seorang diri?”
“Tidak. Isterinya ada di rumah. Ia tidak pernah pergi kecuali membeli garam dan gula di pojok desa.”
Pamannya mengangguk-angguk. Sekali lagi ia mengetuk pintu.
“Siapa?” terdengar suara seorang perempuan.
“Itukah isterinya?” paman Wita berdesis.
Kemanakannya menganggukkan kepalanya,
“Ya. Tidak ada orang lain di rumah itu.”

Sejenak kemudian, pintu rumah itu terbuka. Seorang perempuan setengah tua menjengukkan kepalanya dari sela-sela pintu. Namun sebelum paman Wita bertanya, perempuan itu sudah mendahuluinya,
“Suamiku tidak ada di rumah. Ia pergi membawa ayam aduan. Carilah di kalangan sabung ayam, atau di tempat perjudian.” Paman Wita mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya,
“Di manakah kalangan sabung ayam itu?”
“Aku tidak tahu. Ada empat tempat yang sering dikunjunginya, dan beberapa tempat perjudian. Aku tidak tahu di mana ia sekarang berada.”
“Apakah ia akan pulang segera?”
“Aku tidak pernah tahu, kapan ia akan pulang. Mungkin hari ini, mungkin besok atau lusa. Aku tidak pernah tahu, dan aku tidak pernah ingin tahu.”
Paman Wita mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menjadi kecewa. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa pun juga, apalagi ketika ia masih belum beranjak dari tempatnya, pintu itu sudah tertutup kembali.
“Hem,” ia menarik nafas dalam-dalam.
“Apakah kita akan mencarinya, Paman?”
“Kemana?”
“Aku tahu empat tempat menyabung ayam yang dimaksud.”
“Dan tempat berjudi itu?”
Adik Wita menggelengkan kepalanya. Tetapi ia pun kemudian menjawab,
“Mungkin ayah mengetahuinya.”
“Ayahmu mengetahui tempat-tempat itu?”
“Mungkin.”
“Marilah kita pulang.”
Sekali lagi, mereka kembali ke rumah Santa dengan tergesa-gesa. Sekali lagi, ayah dan ibu Santa menjadi berdebar-debar. Tetapi mereka, terutama ibunya, menjadi sangat kecewa ketika adiknya itu mengatakan bahwa bekas prajurit itu tidak ada di rumah.
“Sudahlah. Aku tidak akan memikirkannya lagi,” desis ayah Wita.
“Tetapi anak itu tidak menyadari keadaannya,” berkata isterinya.
“Aku sudah kehabisan akal. Agaknya memang lebih baik baginya untuk mendapat pelajaran sekali-sekali. Kalau ia tahu apa yang terjadi akibat perbuatannya, ia akan berpikir tentang dirinya lebih dalam.”
“Tetapi akibatnya mungkin di luar dugaan kita,” sahut isterinya.
“Ya, Kakang. Kita harus berusaha mencegahnya,” berkata iparnya.
“Memang akibatnya mungkin tidak kita bayangkan. Di Sangkal Putung pun ada anak-anak muda seperti Wita. Anak-anak muda yang baru tumbuh setelah perang selesai. Mereka juga ingin disebut pahlawan seperti angkatan sebelumnya. Tetapi mereka salah jalan. Mereka tidak berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi kampung halamannya, tetapi mereka sekedar memperlihatkan kejantanannya. Karena bagi mereka, kejantanan itu sejalan dengan kepahlawanan tanpa mengingat arti dari perbuatannya itu bagi kampung halamannya dan sesamanya.”
“Lalu, apa yang harus aku lakukan? Aku tidak dibenarkan untuk mencari Wita di antara kawan-kawannya, karena hal itu akan dapat membuatnya menjadi semakin kasar. Sekarang aku didesak harus berbuat sesuatu. Apa yang harus aku lakukan?”
“Kakang,” berkata paman Wita,
“aku akan kembali ke Sangkal Putung. Kalau mungkin, aku akan mencegah anak-anak Sangkal Putung. Tetapi, Kakang pun harus berusaha menemui bekas prajurit itu. Ia adalah satu-satunya orang yang masih mungkin mempunyai pengaruh atas Wita dan kawan-kawannya.”
“Apa yang akan kau lakukan?”
“Menemui Ki Demang di Sangkal Putung.”
Santa mengerutkan keningnya. Sejenak ia berpikir. Tetapi sekali lagi ia menggeleng,
“Tidak. Aku tidak mau mengurusi anak itu lagi.”
“Jangan, Kakang,” berkata adik iparnya,
“kau harus tetap berusaha. Aku juga akan berusaha. Mudah-mudahan Ki Demang di Sangkal Putung dapat mengerti.”
“Kalau ia dapat mengerti, apa yang akan dilakukannya?”
“Menguasai anak-anak muda Sangkal Putung.”
“Mustahil. Apalagi anak-anak muda Sangkal Putung merasa dirinya kuat dan di dalam hal ini, kalau benar ceriteramu, anak Semangkak lah yang salah.”
“Tetapi apakah jeleknya kita mencobanya?” Namun demikian, sekilas terbayang di angan-angan paman Wita itu, seorang anak muda yang gemuk tertawa di tangga pendapa kademangan. Dengan ragu-ragu ia bertanya kepada diri sendiri,
“Apakah Swandaru dapat mengerti?”

Sejenak Santa pun merenung. Ketika tanpa sesadarnya ia berpaling memandang wajah isterinya, dilihatnya mata itu basah.
“Hem,” Santa menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian dalam nada yang rendah,
“Baiklah. Aku akan berusaha menemui penjudi, penyabung ayam dan pemabuk itu.”
“Mungkin ia dapat mencegah anak-anak Semangkak.”
“Atau justru ikut serta dengan mereka.”
“Ah. Tentu tidak. Seharusnya tidak.”
“Baiklah. Aku akan mencarinya. Tetapi tentu amat sulit untuk menemukannya.”
“Sebaiknya Kakang berusaha. Sekarang aku akan kembali ke Sangkal Putung. Kepergian Wita memang menimbulkan kecurigaan. Supaya tidak terjadi sesuatu, kita yang tua-tua inilah yang harus berusaha.”
Santa tidak menjawab. Sekali ia menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia duduk saja merenung memandang ke kejauhan.
“Sudahlah, Kakang,” berkata adik iparnya,
“aku akan segera kembali, supaya kita tidak terlambat. Bukankah Kakang akan segera pergi juga, mencari orang yang mengajari anak-anak Semangkak berkelahi itu?”
Santa mengangguk. Jawabnya kosong,
“Ya. Aku juga akan pergi.”
Demikianlah, maka paman Wita itu pun segera minta diri kepada kakaknya suami isteri. Dengan tergesa-gesa, ia meninggalkan Semangkak dan kembali ke Sangkal Putung. Dadanya menjadi semakin berdebar-debar, ketika dari kejauhan ia melihat anak-anak muda yang berkumpul di gardu itu sudah berpindah ke sudut desa, sehingga ia pun terpaksa mengambil jalan lain, melintasi pematang yang justru malahan memintas lebih dekat. Meskipun paman Wita itu lewat di tempat terbuka, namun agaknya anak muda Semangkak itu tidak begitu menghiraukannya. Jika mereka mengerti, bahwa seseorang dari Sangkal Putung mengetahui persiapan mereka, mungkin mereka akan mengambil suatu sikap. Setidak-tidaknya menahan paman Wita itu untuk tetap tinggal di Semangkak sampai senja. Tetapi paman Wita ternyata lepas dari perhatian anak-anak muda itu, sehingga ia berhasil meninggalkan Semangkak dan kembali ke Sangkal Putung. Tetapi hatinya menjadi berdebar-debar ketika ia melihat bahwa beberapa anak muda Sangkal Putung pun telah berkumpul di sudut desa. Meskipun tidak sebanyak anak-anak muda Semangkak.
“Berbahaya sekali,” berkata paman Wita itu di dalam hatinya,
“yang berdiri di sudut desa itu adalah anak-anak muda Sangkal Putung yang baru berkembang. Yang pernah melihat peperangan di jaman pasukan Tohpati ada di sekitar daerah mereka, tetapi yang pada saat itu masih merupakan kekuatan cadangan. Karena mereka dianggap masih belum cukup masak untuk turun ke pertempuran.”

Karena itu, seolah-olah paman Wita itu telah didera untuk berjalan lebih cepat lagi, agar ia segera dapat berbicara dengan Ki Demang di Sangkal Putung. Untunglah, bahwa Ki Demang Sangkal Putung ada di rumahnya. Bahkan Swandaru yang masih lelah, ada juga di pendapa, bersama dengan Agung Sedayu. Sedang Sumangkar dan Kiai Gringsing, duduk di serambi gandok menghadapi mangkok air hangat dan beberapa potong makanan.
“O, silahkan,” Ki Demang mempersilahkan tamunya,
“marilah. Duduklah di sini.”
Paman Wita itu pun kemudian duduk di pendapa. Tetapi nafasnya masih juga terengah-engah, sehingga Ki Demang segera bertanya dengan cemas,
“Apakah kau sudah pergi ke Semangkak?”
“Aku datang dari Semangkak.”
“O, bagaimana dengan Santa?”
“Kakang Santa tidak apa-apa. Tetapi anak-anak muda Semangkak lah yang telah berhasil dipengaruhi oleh Wita.”
“Mereka akan membalas dendam?” bertanya Swandaru dengan serta-merta.
Paman Wita menganggukkan kepalanya.
“Gila!” Swandaru menggeram,
“Alangkah bodohnya anak-anak Semangkak.”
“Tidak. Tidak semua anak-anak Semangkak bodoh. Ada juga di antara mereka yang tidak sependapat dengan Wita.”
Swandaru mengerutkan keningnya. Sementara itu paman Wita pun menceriterakan apa yang telah dilihatnya di Semangkak.
“Ternyata ada juga ekor dari peristiwa itu,” desis Ki Demang.
“Aku tidak menghendaki terjadi bentrokan antara anak-anak kita di padukuhan induk ini, dengan anak-anak Semangkak.”
“Kita perlu menunjukkan kepada mereka, bahwa mereka adalah anak-anak yang tidak tahu diri.”
“Ah,” desah Agung Sedayu. Tetapi ia tidak melanjutkan kata-katanya. Bahkan Swandaru-lah yang bertanya,
“Kenapa?”
Agung Sedayu menarik nafas. Sejenak dipandanginya wajah Ki Demang, kemudian wajah Swandaru yang bulat.
“Apa yang akan kau katakan?” bertanya Swandaru kemudian kepada Agung Sedayu.

Agung Sedayu tidak segera menjawab. Ia masih memandang Ki Demang sejenak, seolah-olah untuk mendapatkan pertimbangan. Tetapi Ki Demang tampaknya sedang merenungi persoalan yang sedang dihadapinya.
“Apa yang akan kau katakan?” Swandaru mendesak,
“Kenapa kau menjadi ragu-ragu?”
“Apakah yang akan kau lakukan menghadapi persoalan ini?” bertanya Agung Sedayu kepada Swandaru.
Swandaru tidak segera menyahut. Ia lah yang kini merenung, sekilas dipandanginya paman Wita, kemudian ayahnya dan sejenak kemudian, ia menatap wajah Agung Sedayu.
“Apakah kau juga akan mengumpulkan anak-anak muda Sangkal Putung?” bertanya Agung Sedayu pula.
Swandaru masih termangu-mangu. Tetapi ia kemudian menyahut,
“Anak Semangkak itu harus menyadari, bahwa merekalah yang sebenarnya bersalah, apabila mereka benar-benar akan datang ke Sangkal Putung untuk membalas dendam.”
“Belum tentu kalau anak-anak Semangkak itu bersalah. Mungkin Wita lah yang telah memutar-balikkan persoalannya, sehingga kawan-kawannya dapat dihasutnya.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Desisnya,
“Memang mungkin sekali.”
“Itulah sebabnya, kita harus berhati-hati menghadapi keadaan serupa ini,” Agung Sedayu berhenti sejenak. Lalu,
“Anak-anak Semangkak tidak dapat kita samakan dengan anak buah Tohpati, atau seperti orang-orang Menoreh yang berpihak pada Sidanti waktu itu, atau seperti anak buah Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak.”
“Ya, aku mengerti,” Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya,
“tetapi, apakah kita akan membiarkan mereka berbuat sesuka hati di Sangkal Putung?”
“Itulah yang harus kita pikirkan. Bagaimana kita mencegah hal itu, tanpa menimbulkan benturan di antara kita, itulah yang penting. Di dalam hal ini, bukanlah masalah harga diri dan bukan sekali-sekali suatu perjuangan mempertahankan hak milik serta kebebasan. Tetapi masalahnya adalah masalah yang tumbuh di sudut lain dari segi-segi kehidupan anak-anak muda.”
Swandaru tidak menyahut. Tetapi ketika ia berpaling kepada ayahnya, Ki Demang berkata, “Angger Agung Sedayu benar. Kita tidak boleh berbenturan dengan anak-anak muda dari Kademangan tetangga. Kita akan menghubungi bebahu Kademangan Semangkak. Mereka pun harus berusaha mencegah anak-anak mereka.”


Halaman 1 2 3


<<< Jilid 062                                                                                                       Jilid 064 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar