“Persetan, persetan!”
Ternyata sifat
yang keras itu sangat menjengkelkan Swandaru. Maka katanya,
“Wita, apakah
kau tidak melihat kenyataan yang kau hadapi?”
“Aku akan
berkelahi terus. Aku adalah laki-laki. Tidak seorang pun yang dapat memaksakan
kehendaknya atasku, … uh …” suaranya terputus. Swandaru yang benar-benar telah
menjadi jengkel, telah memukul pipi Wita yang sedang berbicara itu sehingga
suaranya patah.
Sejenak Wita
berdiri sambil meraba-raba pipinya. Ia tidak dapat ingkar, bahwa pipinya
menjadi sakit sekali. Sentuhan tangan Swandaru yang gemuk itu ternyata telah
benar-benar membuatnya menyeringai.
“Nah, apa
katamu?” bertanya Swandaru.
“Aku dapat
berbuat lebih banyak. Bukan sekedar memukul pipimu. Aku dapat merontokkan
gigimu dan membuat kau pingsan, seperti kawanku itu.”
Wita
menggeretakkan giginya. Tetapi ia sadar bahwa ia berhadapan dengan Swandaru,
yang lain dari anak-anak muda Sangkal Putung yang telah dikalahkannya. Tetapi
ternyata, Wita sama sekali tidak menerima kekalahannya dengan ikhlas. Pipinya
yang sakit telah membakar dendam di hatinya. Sehingga karena itu, tanpa berkata
sepatah pun ia meninggalkan tikungan itu. Swandaru tidak berusaha mencegahnya.
Bahkan ketika seorang anak muda meloncat maju dan memandanginya dengan heran,
ia berkata,
“Aku tahu. Ia
mendendam. Tetapi jika aku berbuat lebih banyak, dendam di hatinya akan menjadi
semakin menyala. Dari manakah sebenarnya anak itu?”
“Ia adalah
anak Semangkak.”
“Semangkak?
Kenapa aku belum pernah mengenalnya?”
“Entahlah.
Memang kita sudah banyak mengenal anak-anak dari padukuhan Semangkak. Tetapi
kita belum pernah mengenal anak itu sebelumnya.”
Swandaru
menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia bergumam,
“Tentu ada
juga anak-anak Semangkak yang belum kita kenal dan belum mengenal kita. Dan
kita tahu, siapakah anak-anak muda dari Semangkak dan apa saja yang pernah
dilakukan selama ini, sehingga membuat para bebahu kademangannya dan
orang-orang tua di Semangkak sendiri menjadi pening.”
“Ya. Ternyata
anak-anak Semangkak sendiri telah terpecah. Yang separo tidak lagi menghendaki
cara hidup yang tidak wajar, sedang yang lain masih saja tidak mau meninggalkan
jalan mereka yang sesat, sehingga tidak jarang terjadi bentrokan-bentrokan di
antara mereka di Semangkak.”
Swandaru
mengangguk-angguk, perlahan-lahan ia berdesis,
“Kita tidak
tahu, dari lingkungan yang manakah Wita itu.”
“Menilik
sikapnya sebelum ini, ia termasuk anak yang tidak banyak tingkah. Tetapi
ternyata, sekarang kita harus berpikir lain.”
Swandaru
mengangguk-angguk dan mengangguk-angguk. Terbayang dendam anak Semangkak itu
dapat menyala semakin besar. Apalagi apabila ia termasuk lingkungan anak-anak
yang justru membuat keluarga Semangkak sendiri menjadi sulit.
“Sudahlah,”
berkata Swandaru kemudian,
“kita kembali
ke kademangan. Mudah-mudahan, Wita tidak mempersoalkannya lebih jauh.”
“Besok kita
akan melihat, apakah ia masih berada di rumah pamannya atau tidak. Jika tidak,
kita harus bersiap-siap menghadapi setiap kemungkinan yang dapat terjadi.”
Swandaru tidak
menyahut. Dipandanginya jalan yang gelap, yang seakan-akan telah menelan Wita
beberapa saat yang lalu. Sekilas terbayang di kepalanya, beberapa waktu yang lampau,
anak-anak muda Sangkal Putung berkeliaran hampir di setiap sudut kademangan,
untuk mengawasi kemungkinan orang-orang Tohpati yang menyusup masuk ke
kademangannya.
“Apakah
sekarang kita harus berbuat seperti itu, sekedar untuk menghadapi anak-anak dari
kademangan yang lain?” katanya di dalam hati.
Tetapi
Swandaru tidak mengucapkannya. Yang dikatakannya kemudian adalah,
“Marilah kita
kembali ke kademangan. Jangan hiraukan lagi Wita, setidak-tidaknya untuk malam
ini.”
Agung Sedayu
yang selama itu berdiri diam di samping gurunya, mengangguk-anggukkan
kepalanya. Memang benar apa yang dikatakan oleh Swandaru, Wita itu dapat
diabaikan, setidak-tidaknya untuk malam ini. Entahlah untuk besok atau lusa. Demikianlah
maka mereka yang berkerumun di tikungan itu pun segera bubar. Ada yang kembali
ke kademangan, tetapi orang-orang tua, kembali pulang ke rumah masing-masing,
meskipun ada juga satu dua orang yang duduk-duduk di gardu terdekat. Mereka
masih saja memperbincangkan peristiwa yang baru saja terjadi. Di kademangan,
ternyata ceritera tentang Wita itu pun segera menjalar dari mulut ke mulut.
Setiap orang yang ada di pendapa pun segera mengetahui apa yang telah terjadi.
“Ada-ada
saja,” gumam Ki Jagabaya,
“persoalan
anak-anak muda jaman ini memang membuat kepala ini menjadi botak.”
Ki Demang
memandang wajah Ki Jagabaya yang tegang sejenak. Namun ia pun kemudian berkata,
“Persoalan
yang perlu mendapat perhatian yang mendalam.”
Ki Jagabaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun pembicaraan itu pun segera terputus. Ia
mendengar gelak yang meledak di antara anak-anak muda yang duduk di sudut.
Ternyata mereka sudah mulai berkelakar kembali. Pendapa kademangan itu pun
menjadi riuh kembali. Ki Demang yang duduk di sebelah Ki Jagabaya berkata,
“Anak-anak
muda sebanyak ini, bahkan jauh lebih banyak lagi, memerlukan perhatian. Jika
mereka kehilangan pegangan apa yang sebaiknya mereka lakukan, maka kita akan
dihadapkan pada tanda bahaya yang tidak kalah dari bahaya yang dapat
ditimbulkan oleh pasukan Tohpati saat itu.”
Ki Jagabaya
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Anak-anak
yang tumbuh semakin dewasa, ingin juga menunjukkan sifat kejantanan dan
kepahlawanan seperti kakak-kakaknya. Tetapi, sasaran mereka kini tidak tersedia
seperti pada saat Tohpati ada di luar kademangan ini, sehingga kadang-kadang
mereka menimbulkan persoalan tersendiri.”
Ki Jagabaya
mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Dengan nada rendah ia menyahut,
“Untunglah,
bahwa anak-anak muda di Sangkal Putung sampai saat ini masih tetap terkendali.
Mudah-mudahan kita tidak menghadapi kesulitan yang akan mereka timbulkan
kemudian.”
Ki Demang
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia pun merasa beruntung bahwa anak-anak muda
Sangkal Putung masih menyadari kedudukannya. Mereka masih tetap menyadari,
bahwa masa depan Sangkal Putung ada di tangan mereka, sehingga mereka tidak
menyia-nyiakan masa muda mereka.
“Sebagian
terbesar dari anak-anak muda kita yang ikut di dalam perjuangan menyelamatkan
Sangkal Putung, masih ada di antara mereka,” berkata Ki Jagabaya kemudian,
“sehingga mereka
masih tetap menyadari arti dari perjuangan itu sepenuhnya.”
“Kita harus
berhati-hati, Ki Jagabaya. Kalau kita lengah, maka peristiwa-peristiwa yang
tidak kita kehendaki, dapat saja tumbuh di kademangan ini.”
Keduanya pun
kemudian terdiam. Di sebelah mereka, Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar pun hanya
duduk sambil berdiam diri. Mereka memandangi anak-anak muda yang berkelakar
dengan gembira, hampir semalam suntuk. Swandaru sendiri duduk bersandar dinding
sambil terkantuk-kantuk. Sedang Agung Sedayu hanya tersenyum-senyum saja
menanggapi kelakar anak-anak muda Sangkal Putung. Anak-anak muda itu
seakan-akan tersadar, dari suasana yang telah memukau mereka, ketika mereka
mendengar ayam jantan berkokok bersahut-sahutan. Ketika mereka berpaling ke
halaman, mereka pun telah melihat bayangan kemerah-merahan di pepohonan.
“Fajar,” desis
salah seorang dari mereka.
“O, ternyata
kita berada di pendapa ini semalam suntuk.”
“Ya. Marilah
kita pulang. Siang nanti aku masih harus menyelesaikan garapan di sawahku.”
Anak-anak itu
pun kemudian minta diri dan pulang ke rumah masing-masing. Tetapi ada juga di
antara mereka yang malas berjalan pulang. Mereka langsung berkerudung kain
panjang dan berbaring di pendapa Kademangan Sangkal Putung.
“Kepalang
tanggung untuk pulang,” desis salah seorang dari mereka, “aku akan tidur saja
di sini. Nanti, kalau nasi sudah masak, barulah aku pulang.”
Swandaru tidak
dapat mengusir mereka. Namun ia pun terpaksa ikut tidur di pendapa itu pula,
menghabiskan ujung malam yang masih tersisa. Demikian pula dengan Agung Sedayu.
Ia tidak dapat meninggalkan mereka yang berbaring silang-menyilang di antara
daun-daun pembungkus makanan yang masih berserakan. Tetapi Kiai Gringsing,
Sumangkar, Ki Demang, Ki Jagabaya, dan orang-orang tua yang lain pun
meninggalkan pendapa yang menjadi lengang. Mereka pun segera pergi ke bilik
masing-masing dan yang lain pulang ke rumah. Namun demikian, terutama Ki Demang
dan Ki Jagabaya, masih juga memikirkan akibat yang dapat timbul oleh persoalan
yang tampaknya terlampau kecil. Persoalan yang seakan-akan begitu saja dapat
dilupakan, tetapi yang sebenarnya akan dapat menimbulkan persoalan yang
berkepanjangan.
Sebenarnyalah,
di pagi-pagi buta, Wita telah minta diri kepada pamannya untuk segera pulang ke
Semangkak.
“He, kenapa
begitu tergesa-gesa? Bukankah kau pernah mengatakan bahwa kau akan berada di
sini sampai ayahmu menjemputmu, atau bahkan kau akan tetap tinggal di sini? Aku
memerlukan bantuanmu menjelang bertanam padi di musim mendatang.”
“Aku hanya
akan menengok ayah dan ibu sebentar saja, Paman. Mungkin sehari atau dua hari.
Aku akan segera kembali.”
“Apakah kau
mempunyai keperluan khusus, yang agaknya kau segan mengatakannya?” bertanya
bibinya.
“Tidak, Bibi.
Tidak apa-apa. Aku hanya akan menengok keluarga di Semangkak barang sehari dua
hari. Sudah lama aku tinggal di sini. Aku sudah ingin melihat adik-adikku
meskipun hanya sekilas.”
Paman dan
bibinya memang merasa agak curiga. Tetapi mereka tidak dapat mencegahnya.
Karena itu, Wita diberinya bekal uang sedikit yang barangkali diperlukan di
perjalanan.
Baru ketika
matahari menjadi semakin tinggi, dan Wita telah menjadi semakin jauh dari
Kademangan Sangkal Putung, pamannya mendengar peristiwa yang telah terjadi
semalam.
“O, jadi. Wita
telah berbuat onar di sini? Aku memang mendengar bunyi kentongan
berturut-turut. Tetapi kenapa aku tidak mendengar bahwa di tikungan sebelah
telah terjadi keributan?” berkata paman Wita kepada tetangganya, yang
memberitahukan persoalan kemanakannya.
“Tidak banyak
yang mendengar. Hanya, orang-orang yang tinggal di sebelah-menyebelah tikungan
itu saja.”
Pamannya
berpikir sejenak. Lalu,
“Kalau begitu
aku akan menyusulnya. Aku akan pergi ke Semangkak menemui kakang, ayah Wita.
Anak itu harus mendapat pengertian, bahwa yang dilakukan itu sama sekali tidak
baik baginya, bagiku, dan bagi orang tuanya sendiri.”
Tetangganya
tidak menyahut. ia hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja.
“Sebaiknya aku
menemui Swandaru dan Ki Demang, sebelum aku pergi ke Semangkak,” berkata paman
Wita.
“Itu lebih baik,”
sahut tetangganya,
“kau akan
mendapat penjelasan yang jelas, apa yang sebenarnya telah terjadi.”
Paman Wita itu
pun kemudian dengan dada yang berdebar-debar pergi ke kademangan. Ia kenal
benar dengan kemanakannya yang tampaknya baik dan diam. Tetapi kadang-kadang
hatinya memang meledak-ledak, sehingga orang tuanya sendiri menjadi cemas akan
perkembangannya. Itulah sebabnya Wita diserahkan kepadanya, yang mempunyai
pengaruh agak kuat pada anak itu. Biasanya Wita menurut apa yang dikatakan oleh
pamannya. Namun pada suatu saat, Wita telah membuat pamannya itu menjadi
gelisah.
Di kademangan,
paman Wita berhasil menemui Swandaru. Bahkan Ki Demang pun ikut menemuinya
pula.
“Ada baiknya
kau pergi ke Semangkak,” berkata Ki Demang.
“Kau dapat
memberi penjelasan kepada orang tuanya, supaya tidak salah paham. Siapakah
sebenarnya kakangmu yang tinggal di Semangkak itu?” bertanya Ki Demang
kemudian.
Paman Wita
mengerutkan keningnya. Apakah kira-kira Ki Demang sudah mengenal kakaknya yang
tinggal di Semangkak?
“Kakakmu
laki-laki atau perempuan?” desak Ki Demang.
“Saudaraku
adalah ibu Wita,” jawab paman Wita itu,
“tetapi
ayahnya pun masih ada sangkut pautnya, meskipun sekedar muntu katutan sambel.”
Ki Demang
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih bertanya,
“Siapakah nama
bapaknya?”
“Santa,” jawab
paman Wita,
“orang
memanggilnya Santa duwur.”
“O,” Ki Demang
mengangguk-anggukkan kepalanya pula,
“aku sudah
mengenalnya. Memang ada dua Santa yang aku kenal di Semangkak. Yang seorang
pendek dan yang seorang tinggi. Kakakmu adalah Santa yang tinggi itu.”
“Ya, Ki
Demang.”
“Ia adalah
suami kakak perempuanmu.”
“Ya. Kakak
perempuanku yang sulung.”
Ki Demang
mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Lalu katanya,
“Baiklah kau
menemuinya. Seingatku, Santa termasuk orang yang keras hati juga. Agaknya
sifatnya itu menurun pada anaknya.”
Demikianlah,
maka paman Wita hari itu memerlukan menyusul kemanakannya. Ia mempunyai dugaan,
bahwa Wita menaruh dendam kepada anak-anak Sangkal Putung. Karena itu, ia harus
segera sampai ke Semangkak dan menemui kakaknya.
“Tetapi
agaknya Kakang Santa tidak lagi merasa mampu mengendalikan anaknya. Betapapun
keras hatinya, namun ternyata bahwa ia tidak berhasil menundukkan hati anaknya,
sekedar dengan kekerasan,” berkata paman Wita di dalam hatinya.
Demikianlah,
maka sebelum matahari sampai ke puncak langit, paman Wita sudah sampai ke rumah
kakaknya. Ternyata kedatangannya telah mengejutkan seisi rumah itu.
“O, baru saja
Wita datang, kau sudah menyusulnya. Apakah ada sesuatu yang penting?” bertanya
kakaknya.
Paman Wita
menggeleng sambil tersenyum,
“Tidak,
Kakang. Tidak ada apa-apa. Bahkan aku khawatir, kenapa tiba-tiba saja Wita
kepingin pulang.”
Kakaknya suami
isteri menarik nafas lega. Sambil tersenyum Santa berkata,
“Aku sudah
kecemasan melihat kedatanganmu. Syukurlah kalau tidak ada apa-apa terjadi di
Sangkal Putung.”
“Tidak,
Kakang. Memang tidak ada apa-apa,” paman Wita terdiam sejenak. Lalu,
“Di mana Wita
sekarang?”
“Entahlah.
Mungkin ia menemui kawan-kawannya setelah sekian lama tidak ketemu.”
“Apakah ia
tidak mengatakan sesuatu?”
Santa
mengerutkan keningnya.
“Maksudmu?” ia
bertanya.
“Tidak
apa-apa. Maksudku, apakah Wita mempunyai suatu keperluan yang penting, tetapi
ia tidak berani berterus terang? pakaian misalnya, atau apa pun yang lain?”
Tetapi ayah
dan ibunya menggelengkan kepalanya.
“Ia tidak
mengatakan apa-apa.”
Pamannya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun sikapnya ternyata membuat ayahnya menjadi
curiga, sehingga ia mendesaknya, “Apakah sebenarnya yang terjadi?”
Pamannya tidak
segera menjawab, tetapi ia bertanya,
“Di mana Wita
sekarang?”
Santa
mengerutkan keningnya. Sekali lagi ia menjawab,
“Aku tidak
tahu. Ia pergi kepada kawan-kawannya.”
Pamannya
mengangguk-angguk pula. Tetapi ia tidak segera berkata sesuatu.
Ibu Wita-lah
yang kemudian berdiri memanggil adik Wita. Kepadanya ia bertanya,
“Di mana
kakakmu?”
“Ia pergi ke
gardu, Ibu.”
“Ke gardu?
Apakah kerjanya di sana?”
Adiknya menggelengkan
kepalanya. Jawabnya,
“Aku tidak
tahu, ia berada di gardu bersama beberapa orang.”
“Beberapa orang?”
“Ya. Dengan
anak-anak muda sebaya Kakang Wita. Agaknya Kakang sedang berceritera. Tetapi
aku tidak boleh mendekat.”
Paman Wita
mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia berkata,
“Coba,
lihatlah, apakah ia masih di gardu itu.”
Adik Wita itu
memandang ayahnya sejenak. Ketika ayahnya menganggukkan kepalanya, maka anak
itu pun segera berlari ke luar. Sepeninggal anak itu, maka barulah pamannya
berterus terang apa yang terjadi. Apa yang sudah dilakukan oleh Wita, sehingga
telah terjadi bentrokan antara Wita dengan anak-anak Sangkal Putung.
“Gila!” orang
tuanya menggeram,
“Wita memang
pantas dihajar, ia membuat aku malu. Aku kenal baik dengan Demang Sangkal
Putung. Kelakuannya ternyata telah membuat aku malu. Anak itu memang pantas
dihajar.”
“Jangan,”
cegah pamannya. Lalu,
“Jangan dengan
cara itu.”
Ibu Wita pun
menjadi pucat. Setiap kali ia melihat suaminya menghajar anak-anaknya, ia hanya
dapat menekan dadanya. Bahkan kadang-kadang ia menjadi ketakutan dan sama
sekali tidak tahu apa yang pantas dilakukan.
“Lalu, mau kau
apakan anak itu?” bertanya ayahnya kepada adik iparnya.
“Kita mencari
jalan lain. Tetapi kalau anak itu dipaksa dengan kekerasan, pada saat-saat
serupa ini, akibatnya tidak akan menguntungkan baginya dan bagi keluarga ini.”
“Anak itu
membuat aku menjadi gila,” gumam ayahnya.
“Tentu ia
mengumpulkan kawan-kawannya. Tentu ia akan membalas dendam kepada anak-anak
Sangkal Putung.”
“Mungkin,”
jawab pamannya. Tetapi, sebelum ia meneruskan kata-katanya, adik Wita sudah
berlari-lari masuk ke ruangan itu sambil berkata,
“Anak-anak
yang berkumpul di gardu menjadi semakin banyak.”
“Nah, apa
kataku. Aku harus mencegahnya.”
Paman Wita
menjadi termangu-mangu sejenak. Tetapi kecemasan yang sangat telah merambat di
dadanya. Ia sadar, bahwa anak-anak Semangkak adalah anak-anak yang mempunyai
ikatan yang kuat satu dengan yang lain, sehingga tidak mustahil bahwa Wita
telah mempengaruhi kawan-kawannya untuk membalas sakit hatinya.
“Aku akan
pergi ke gardu,” berkata ayah Wita.
“Tunggu,”
berkata isterinya,
“jangan bertindak
terlampau keras di hadapan kawan-kawannya. Ia akan tersinggung dan justru akan
berbuat lebih kasar lagi.”
“Aku tidak
peduli.”
“Biarlah aku menemuinya,”
berkata paman Wita,
“aku akan
mencoba memanggilnya pulang.”
“Biarlah
pamannya yang memanggilnya,” berkata ibu Wita.
Ayahnya berpikir
sejenak. Lalu,
“Baiklah.
Panggillah pulang.”
Paman Wita itu
pun segera pergi ke gardu yang ditunjukkan oleh kemanakannya yang kecil. Tetapi
ia menjadi termangu-mangu, ketika ia melihat anak-anak muda yang berkumpul di
gardu itu. Sehingga karena itu langkahnya terhenti.
“Apakah
kakangmu ada di antara mereka?” bertanya paman Wita.
“Ya, Paman.”
“Panggil ia
kemari. Aku akan berbicara.”
Adik Wita itu
mengerutkan lehernya. Katanya,
“Kakang tentu
akan marah kepadaku.”
Pamannya tidak
mempunyai pilihan lain. Ia pun kemudian melangkah mendekati gardu yang penuh
dengan anak-anak muda.
Tetapi ketika
ia sampai di dekat gardu itu, ia menjadi heran. Tidak seorang pun yang
memperhatikannya Tampaknya mereka sedang sibuk sendiri, dan bahkan dengan
herannya ia mendengar beberapa orang di antara mereka sedang bertengkar.
“Aku tidak mau
ikut campur,” terdengar seseorang berbicara mengatasi suara kawan-kawannya.
“Terserah
kepadamu. Tetapi kau akan terpencil dari lingkungan kami, bahkan kami tidak akan
bertanggung jawab terhadap keselamatanmu.”
“Ayo, siapa
berani melawan aku sekarang? Jangan mengancam. Kalau ada yang merasa
berkeberatan karena aku tidak ikut-ikutan berbuat gila itu, katakan sekarang.
Aku tidak takut. Dua atau tiga orang sekaligus termasuk Wita sendiri.”
“Gila,” dengus
Wita.
Tetapi
kawannya itu menjawab,
“Jangan kau
sangka bahwa kau adalah anak yang paling kuat di Semangkak. Kau telah
mencemarkan nama baik padukuhan kita. Sekarang kau membujuk anak-anak mudanya
untuk berbuat gila di Sangkal Putung. Apakah kau sangka tindakan semacam itu
benar dan baik?”
“Tutup
mulutmu. Kalau tidak ikut, pergi saja dari sini.”
“Sekehendakku.
Aku anak Semangkak. Aku boleh berada di mana saja di padukuhan ini.”
“Jangan keras
kepala. Kau akan benar-benar terpencil dan nasibmu ada di tangan kami.”
“Persetan. Aku
berani menghadapi akibat itu. Kalian mau apa? Dan jangan di sangka bahwa aku
berdiri sendiri. Coba, siapakah dari anak-anak muda sebelah selokan ada di sini
dan mau membantu kalian? Tidak ada. Mereka menyadari kebodohan cara yang kalian
tempuh sekarang. Dan siapakah di antara kalian yang tidak mengenal Jumena,
Data, Urip dan Wana? Ayo katakan, siapakah yang dapat mengimbangi kemampuan
mereka berkelahi? Tetapi mereka tidak mau berpihak kepadamu, meskipun mereka
anak-anak Semangkak juga, karena mereka tidak mau melibatkan diri dalam
perbuatan yang bodoh itu.”
Sejenak
anak-anak muda itu terdiam. Namun tiba-tiba Wita berteriak,
“Persetan
dengan mereka. Aku adalah salah seorang dari mereka sebelumnya, seperti kau
juga. Tetapi kalau kalian meninggalkan ikatan persahabatan ini karena kalian
telah menjadi pengecut, aku tidak peduli.”
“Terserah. Aku
sudah berusaha mencegah kalian. Kalian akan mengalami bencana yang tidak pernah
kalian duga-duga di Sangkal Putung. Kita, lebih-lebih kakak-kakak kita, pasti
mengetahui, apa yang pernah dilakukan oleh anak-anak muda Sangkal Putung pada
saat daerah ini masih dibayangi oleh pasukan Tohpati yang menggetarkan itu.”
“Mereka tidak
berbuat apa-apa. Pasukan Pajang yang berada di Sangkal Putung itulah yang telah
berbuat banyak, untuk menyelamatkan kademangan itu.”
“Terserah.
Terserah. Aku tidak akan ikut campur.”
“Aku tidak
peduli!” geram Wita.
Sejenak
kemudian, anak-anak yang berkerumun itu mulai menyibak. Dari antara mereka,
seseorang melangkah tergesa-gesa meninggalkan gardu itu, itulah agaknya anak
muda yang tidak mau ikut campur dengan kawan-kawannya, yang ternyata telah
dibakar oleh keinginan untuk berkelahi, untuk sekedar menunjukkan bahwa mereka
adalah laki-laki. Ternyata paman Wita mengetahui gelagat yang tidak
menguntungkan itu. Ia mengurungkan niatnya untuk menemui kemanakannya. Ia yakin
bahwa dalam keadaan serupa itu, kata-katanya tidak akan didengarnya. Karena
itu, maka ia ingin menunggu saat yang lebih baik, karena menurut
perhitungannya, anak-anak Semangkak itu pasti menunggu senja untuk bertindak. Karena
itu, maka sebelum anak-anak muda itu menyadari kehadirannya, maka ia pun segera
menyelinap ke dalam sebuah tikungan kecil dan berjalan dengan tergesa-gesa
meninggalkan tempat itu, menjauhi gardu sambil menggandeng adik Wita.
“Kemana kita,
Paman?”
“Kita pulang
ke rumahmu. Apakah ada jalan yang sampai ke sana lewat jalan ini?”
“Ada. Jalan
ini memang akan tembus ke jalan di belakang rumah kami. Dan kami dapat memasuki
kebun belakang lewat pintu regol butulan.”
“Marilah.”
Keduanya pun
kemudian berjalan semakin cepat lewat jalan sempit. Setelah meloncati parit dan
beberapa kali berbelok, maka mereka pun kemudian sampai ke jalan yang akan
melewati kebun belakang rumah Wita. Kedatangan mereka yang tergesa-gesa
mengejutkan ayah dan ibu Wita, sehingga dengan serta-merta mereka bertanya,
“Kenapa dengan
Wita?”
Pamannya menggelengkan
kepalanya. Jawabnya,
“Tidak
apa-apa. Tetapi aku tidak sempat menemuinya, karena ia sedang sibuk berbincang
dengan kawan-kawannya.”
“O,” kedua
orang tua Wita itu menarik nafas dalam-dalam. Namun ayah Wita itu pun bertanya,
“Kenapa kau
lewat jalan belakang?”
Paman Wita
termenung sejenak sambil memandang kemanakan yang diajaknya berjalan
cepat-cepat melewati jalan sempit itu. Namun kemudian Paman Wita itu tersenyum.
Katanya,
“Anak itu
ingin menunjukkan jalan lain untuk pulang ke rumahnya.”
Santa
memandang anaknya sejenak. Namun tampak olehnya bahwa jawaban itu pasti bukan
jawaban yang sebenarnya, karena sorot mata anaknya yang aneh.
Karena itu,
maka ia pun mendesaknya,
“Apakah yang
sebenarnya dilakukan oleh anak itu?”
Paman Wita itu
pun tidak segera dapat menjelaskan apa yang telah disaksikannya. Ia masih
mencoba mencari, cara yang baik untuk mencegah hal itu. Jika ayah Wita menjadi
marah dan tidak terkendali lagi, maka hal itu akan mendorong Wita menjadi
semakin kasar dan mendendam.
“Apakah kau
melihat sesuatu yang mencemaskan?” ayah Wita mendesak.
“Kakang,” berkata
paman Wita itu kemudian,
“memang tidak
mudah mengurusi anak-anak muda saat ini.”
“Apa yang
sudah mereka lakukan?”
“Memang ada
usaha untuk membalas dendam.”
“Gila! Aku
memang harus mencarinya.”
“Ia sudah
pergi,” cepat-cepat paman Wita menyahut,
“tetapi aku
kira ia masih akan pulang. Aku tidak tahu pasti, apakah yang akan mereka
lakukan. Tetapi kita mencoba menunggunya. Mungkin ia masih akan pulang, sebelum
pergi ke Sangkal Putung.”
“Itulah yang
mencemaskan. Suasana padukuhan ini menjadi semakin jelek karena anak-anak yang
kehilangan arah. Wita memang harus dihajar.”
“Itu tidak akan
menolong,” berkata iparnya,
“kita harus
menemukan suatu cara yang baik untuk menghindarkan anak-anak kita dari suasana
yang suram itu.”
“Dengan
kekerasan saja, mereka tidak jera. Apa yang dapat kita lakukan kemudian?”
“Mungkin
dengan cara yang justru tidak kasar dan keras.”
“Persetan!”
geram ayah Wita.
“Aku sudah
pening dibuatnya. Biar saja ia datang ke Sangkal Putung. Ia akan tahu,
anak-anak muda Sangkal Putung tidak dapat dianggap ringan. Mereka telah
terlatih menghadapi bahaya yang sebenarnya. Hampir seperti sepasukan prajurit.”
Paman Wita
mengerutkan keningnya.
“Aku tidak
peduli lagi,” Santa masih menggeram.
“Tetapi,
tetapi, bagaimana kalau terjadi sesuatu atasnya?” ibu Wita lah yang menjadi
sangat cemas.
“Itu akan
menjadi pelajaran baginya.”
“Kalau yang
terjadi itu membahayakan? Ia adalah sebab dari keributan ini.”
“Biar saja,
biar saja. Hanya ada dua jalan bagiku. Menyeretnya pulang dan menghajarnya,
atau membiarkannya sama sekali.”
“Tetapi, ia
tidak menyadari apa yang dilakukannya.”
“Anak itu
sudah cukup besar untuk mengerti baik dan buruk. Aku tidak lagi dapat berbuat
apa-apa. Ketika ia mempelajari olah kanuragan, sebenarnya aku sudah
mencemaskannya jika ia tidak mendapat tuntunan, bukan saja lahir tetapi batinnya.
Akibatnya ia senang berkelahi, karena ia dianggap salah seorang dari beberapa
orang terbaik yang mendapat tuntunan olah kanuragan itu.”
“Siapakah
gurunya?”
“Bekas seorang
prajurit. Ia memberikan tuntunan itu bagi anak-anak muda di Semangkak bersama-sama.
Penilikan seorang demi seorang agaknya memang kurang.”
Paman Wita
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Aku akan
menemuinya. Mudah-mudahan ia dapat mencegah murid-muridnya. Orang itu tentu
mempunyai pengaruh yang kuat bagi anak-anak yang mendapat latihan daripadanya.”
Santa
mengerutkan keningnya. Tetapi ia pun menganggukkan kepalanya,
“Cobalah.
Temuilah orang itu. Kemanakanmu itu dapat mengantarkan kau.”
Demikianlah,
dengan diantar oleh adik Wita, pamannya itu pergi ke rumah seorang bekas prajurit,
yang selama ini memberikan bimbingan olah kanuragan kepada anak-anak muda
Semangkak.
“Mudah-mudahan
ia berada di rumah,” desis adik Wita.
“Apakah ia
sering pergi?”
“Ya.”
“Kemana?”
“Adu ayam.”
“He?” paman
Wita mengerutkan keningnya.
“Jadi ia senang
menyabung ayam?”
“Ya. Bukan
saja menyabung ayam. Tetapi juga berjudi.”
Paman Wita
menarik nafas dalam-dalam. Ternyata bekas prajurit itu sering menyabung ayam
dan berjudi. Jadi apakah dengan demikian sikap dan tuntunan kerohanian bagi
anak-anak latihnya dapat dipertanggung jawabkan?
Tetapi, paman
Wita masih ingin membuktikan. Mudah-mudahan ia dapat mengerti, dan berusaha
mencegah anak-anaknya untuk tidak melanjutkan usaha mereka melepaskan sakit
hati anak-anak Sangkal Putung, karena anak-anak Sangkal Putung mempunyai
kemampuan yang agak lebih baik dari anak-anak muda di padukuhan lain. Karena
itu, langkah paman Wita itu pun menjadi semakin cepat. Ia ingin segera
menenangkan masalah yang sedang bergolak. Rasa-rasanya ia berdiri di atas
padukuhan yang sedang membara dan siap untuk meledak.
“Itulah
rumahnya,” berkata adik Wita.
“O,” pamannya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi rasa-rasanya dadanya menjadi
berdebar-debar. Kedatangannya mungkin akan dapat menimbulkan salah paham,
karena ia dapat disangka telah mencampuri persoalan perguruannya.
“Tetapi yang
dilakukan belum dapat digolongkan dalam bentuk perguruan, karena sifatnya yang
terbuka,” berkata paman Wita di dalam hatinya. Namun demikian, ia masih tetap
dibayangi oleh kecemasannya.
Sejenak
kemudian, maka mereka berdua pun telah memasuki regol halaman rumah yang
sedang. Tetapi nampaknya rumah itu agak kurang terpelihara. Beberapa bagian
dari sudut-sudutnya telah berlubang, bahkan sebelah dindingnya telah miring.
“Agaknya
penghuni rumah itu tidak sempat memelihara rumahnya,” berkata paman Wita di
dalam hatinya.”
Sejenak ia
berdiri termangu-mangu di depan pintu rumah yang tertutup itu. Tanpa sesadarnya
dipandanginya wajah kemanakannya yang berkerut-merut.
“Benar di sini
ia tinggal?” ia sekedar bertanya saja untuk melepaskan ketegangan di dadanya.
Kemanakannya
menganggukkan kepalanya. Dengan tangan yang agak gemetar, maka paman Wita itu
pun segera mengetuk pintu rumah yang tertutup itu.
“Mungkin ia
tidak ada di rumah,” berkata adik Wita.
“Apakah ia
tinggal seorang diri?”
“Tidak.
Isterinya ada di rumah. Ia tidak pernah pergi kecuali membeli garam dan gula di
pojok desa.”
Pamannya
mengangguk-angguk. Sekali lagi ia mengetuk pintu.
“Siapa?”
terdengar suara seorang perempuan.
“Itukah
isterinya?” paman Wita berdesis.
Kemanakannya
menganggukkan kepalanya,
“Ya. Tidak ada
orang lain di rumah itu.”
Sejenak
kemudian, pintu rumah itu terbuka. Seorang perempuan setengah tua menjengukkan
kepalanya dari sela-sela pintu. Namun sebelum paman Wita bertanya, perempuan itu
sudah mendahuluinya,
“Suamiku tidak
ada di rumah. Ia pergi membawa ayam aduan. Carilah di kalangan sabung ayam,
atau di tempat perjudian.” Paman Wita mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu
ia bertanya,
“Di manakah
kalangan sabung ayam itu?”
“Aku tidak tahu.
Ada empat tempat yang sering dikunjunginya, dan beberapa tempat perjudian. Aku
tidak tahu di mana ia sekarang berada.”
“Apakah ia
akan pulang segera?”
“Aku tidak
pernah tahu, kapan ia akan pulang. Mungkin hari ini, mungkin besok atau lusa.
Aku tidak pernah tahu, dan aku tidak pernah ingin tahu.”
Paman Wita
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menjadi kecewa. Tetapi ia tidak dapat
berbuat apa pun juga, apalagi ketika ia masih belum beranjak dari tempatnya,
pintu itu sudah tertutup kembali.
“Hem,” ia
menarik nafas dalam-dalam.
“Apakah kita
akan mencarinya, Paman?”
“Kemana?”
“Aku tahu
empat tempat menyabung ayam yang dimaksud.”
“Dan tempat
berjudi itu?”
Adik Wita
menggelengkan kepalanya. Tetapi ia pun kemudian menjawab,
“Mungkin ayah
mengetahuinya.”
“Ayahmu mengetahui
tempat-tempat itu?”
“Mungkin.”
“Marilah kita
pulang.”
Sekali lagi,
mereka kembali ke rumah Santa dengan tergesa-gesa. Sekali lagi, ayah dan ibu
Santa menjadi berdebar-debar. Tetapi mereka, terutama ibunya, menjadi sangat
kecewa ketika adiknya itu mengatakan bahwa bekas prajurit itu tidak ada di
rumah.
“Sudahlah. Aku
tidak akan memikirkannya lagi,” desis ayah Wita.
“Tetapi anak
itu tidak menyadari keadaannya,” berkata isterinya.
“Aku sudah
kehabisan akal. Agaknya memang lebih baik baginya untuk mendapat pelajaran
sekali-sekali. Kalau ia tahu apa yang terjadi akibat perbuatannya, ia akan
berpikir tentang dirinya lebih dalam.”
“Tetapi
akibatnya mungkin di luar dugaan kita,” sahut isterinya.
“Ya, Kakang.
Kita harus berusaha mencegahnya,” berkata iparnya.
“Memang
akibatnya mungkin tidak kita bayangkan. Di Sangkal Putung pun ada anak-anak
muda seperti Wita. Anak-anak muda yang baru tumbuh setelah perang selesai.
Mereka juga ingin disebut pahlawan seperti angkatan sebelumnya. Tetapi mereka
salah jalan. Mereka tidak berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi kampung
halamannya, tetapi mereka sekedar memperlihatkan kejantanannya. Karena bagi
mereka, kejantanan itu sejalan dengan kepahlawanan tanpa mengingat arti dari
perbuatannya itu bagi kampung halamannya dan sesamanya.”
“Lalu, apa
yang harus aku lakukan? Aku tidak dibenarkan untuk mencari Wita di antara
kawan-kawannya, karena hal itu akan dapat membuatnya menjadi semakin kasar.
Sekarang aku didesak harus berbuat sesuatu. Apa yang harus aku lakukan?”
“Kakang,”
berkata paman Wita,
“aku akan
kembali ke Sangkal Putung. Kalau mungkin, aku akan mencegah anak-anak Sangkal
Putung. Tetapi, Kakang pun harus berusaha menemui bekas prajurit itu. Ia adalah
satu-satunya orang yang masih mungkin mempunyai pengaruh atas Wita dan
kawan-kawannya.”
“Apa yang akan
kau lakukan?”
“Menemui Ki
Demang di Sangkal Putung.”
Santa
mengerutkan keningnya. Sejenak ia berpikir. Tetapi sekali lagi ia menggeleng,
“Tidak. Aku
tidak mau mengurusi anak itu lagi.”
“Jangan, Kakang,”
berkata adik iparnya,
“kau harus
tetap berusaha. Aku juga akan berusaha. Mudah-mudahan Ki Demang di Sangkal
Putung dapat mengerti.”
“Kalau ia
dapat mengerti, apa yang akan dilakukannya?”
“Menguasai
anak-anak muda Sangkal Putung.”
“Mustahil.
Apalagi anak-anak muda Sangkal Putung merasa dirinya kuat dan di dalam hal ini,
kalau benar ceriteramu, anak Semangkak lah yang salah.”
“Tetapi apakah
jeleknya kita mencobanya?” Namun demikian, sekilas terbayang di angan-angan
paman Wita itu, seorang anak muda yang gemuk tertawa di tangga pendapa
kademangan. Dengan ragu-ragu ia bertanya kepada diri sendiri,
“Apakah
Swandaru dapat mengerti?”
Sejenak Santa
pun merenung. Ketika tanpa sesadarnya ia berpaling memandang wajah isterinya,
dilihatnya mata itu basah.
“Hem,” Santa
menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian dalam nada yang rendah,
“Baiklah. Aku
akan berusaha menemui penjudi, penyabung ayam dan pemabuk itu.”
“Mungkin ia
dapat mencegah anak-anak Semangkak.”
“Atau justru
ikut serta dengan mereka.”
“Ah. Tentu tidak.
Seharusnya tidak.”
“Baiklah. Aku
akan mencarinya. Tetapi tentu amat sulit untuk menemukannya.”
“Sebaiknya
Kakang berusaha. Sekarang aku akan kembali ke Sangkal Putung. Kepergian Wita
memang menimbulkan kecurigaan. Supaya tidak terjadi sesuatu, kita yang tua-tua
inilah yang harus berusaha.”
Santa tidak
menjawab. Sekali ia menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia duduk saja merenung
memandang ke kejauhan.
“Sudahlah,
Kakang,” berkata adik iparnya,
“aku akan
segera kembali, supaya kita tidak terlambat. Bukankah Kakang akan segera pergi
juga, mencari orang yang mengajari anak-anak Semangkak berkelahi itu?”
Santa
mengangguk. Jawabnya kosong,
“Ya. Aku juga
akan pergi.”
Demikianlah,
maka paman Wita itu pun segera minta diri kepada kakaknya suami isteri. Dengan tergesa-gesa,
ia meninggalkan Semangkak dan kembali ke Sangkal Putung. Dadanya menjadi
semakin berdebar-debar, ketika dari kejauhan ia melihat anak-anak muda yang
berkumpul di gardu itu sudah berpindah ke sudut desa, sehingga ia pun terpaksa
mengambil jalan lain, melintasi pematang yang justru malahan memintas lebih
dekat. Meskipun paman Wita itu lewat di tempat terbuka, namun agaknya anak muda
Semangkak itu tidak begitu menghiraukannya. Jika mereka mengerti, bahwa
seseorang dari Sangkal Putung mengetahui persiapan mereka, mungkin mereka akan
mengambil suatu sikap. Setidak-tidaknya menahan paman Wita itu untuk tetap
tinggal di Semangkak sampai senja. Tetapi paman Wita ternyata lepas dari
perhatian anak-anak muda itu, sehingga ia berhasil meninggalkan Semangkak dan
kembali ke Sangkal Putung. Tetapi hatinya menjadi berdebar-debar ketika ia
melihat bahwa beberapa anak muda Sangkal Putung pun telah berkumpul di sudut
desa. Meskipun tidak sebanyak anak-anak muda Semangkak.
“Berbahaya
sekali,” berkata paman Wita itu di dalam hatinya,
“yang berdiri
di sudut desa itu adalah anak-anak muda Sangkal Putung yang baru berkembang.
Yang pernah melihat peperangan di jaman pasukan Tohpati ada di sekitar daerah
mereka, tetapi yang pada saat itu masih merupakan kekuatan cadangan. Karena
mereka dianggap masih belum cukup masak untuk turun ke pertempuran.”
Karena itu,
seolah-olah paman Wita itu telah didera untuk berjalan lebih cepat lagi, agar
ia segera dapat berbicara dengan Ki Demang di Sangkal Putung. Untunglah, bahwa
Ki Demang Sangkal Putung ada di rumahnya. Bahkan Swandaru yang masih lelah, ada
juga di pendapa, bersama dengan Agung Sedayu. Sedang Sumangkar dan Kiai
Gringsing, duduk di serambi gandok menghadapi mangkok air hangat dan beberapa
potong makanan.
“O, silahkan,”
Ki Demang mempersilahkan tamunya,
“marilah.
Duduklah di sini.”
Paman Wita itu
pun kemudian duduk di pendapa. Tetapi nafasnya masih juga terengah-engah,
sehingga Ki Demang segera bertanya dengan cemas,
“Apakah kau
sudah pergi ke Semangkak?”
“Aku datang
dari Semangkak.”
“O, bagaimana
dengan Santa?”
“Kakang Santa
tidak apa-apa. Tetapi anak-anak muda Semangkak lah yang telah berhasil
dipengaruhi oleh Wita.”
“Mereka akan
membalas dendam?” bertanya Swandaru dengan serta-merta.
Paman Wita
menganggukkan kepalanya.
“Gila!”
Swandaru menggeram,
“Alangkah
bodohnya anak-anak Semangkak.”
“Tidak. Tidak
semua anak-anak Semangkak bodoh. Ada juga di antara mereka yang tidak
sependapat dengan Wita.”
Swandaru
mengerutkan keningnya. Sementara itu paman Wita pun menceriterakan apa yang
telah dilihatnya di Semangkak.
“Ternyata ada
juga ekor dari peristiwa itu,” desis Ki Demang.
“Aku tidak
menghendaki terjadi bentrokan antara anak-anak kita di padukuhan induk ini,
dengan anak-anak Semangkak.”
“Kita perlu
menunjukkan kepada mereka, bahwa mereka adalah anak-anak yang tidak tahu diri.”
“Ah,” desah
Agung Sedayu. Tetapi ia tidak melanjutkan kata-katanya. Bahkan Swandaru-lah
yang bertanya,
“Kenapa?”
Agung Sedayu
menarik nafas. Sejenak dipandanginya wajah Ki Demang, kemudian wajah Swandaru
yang bulat.
“Apa yang akan
kau katakan?” bertanya Swandaru kemudian kepada Agung Sedayu.
Agung Sedayu
tidak segera menjawab. Ia masih memandang Ki Demang sejenak, seolah-olah untuk
mendapatkan pertimbangan. Tetapi Ki Demang tampaknya sedang merenungi persoalan
yang sedang dihadapinya.
“Apa yang akan
kau katakan?” Swandaru mendesak,
“Kenapa kau
menjadi ragu-ragu?”
“Apakah yang
akan kau lakukan menghadapi persoalan ini?” bertanya Agung Sedayu kepada
Swandaru.
Swandaru tidak
segera menyahut. Ia lah yang kini merenung, sekilas dipandanginya paman Wita,
kemudian ayahnya dan sejenak kemudian, ia menatap wajah Agung Sedayu.
“Apakah kau
juga akan mengumpulkan anak-anak muda Sangkal Putung?” bertanya Agung Sedayu
pula.
Swandaru masih
termangu-mangu. Tetapi ia kemudian menyahut,
“Anak
Semangkak itu harus menyadari, bahwa merekalah yang sebenarnya bersalah,
apabila mereka benar-benar akan datang ke Sangkal Putung untuk membalas
dendam.”
“Belum tentu
kalau anak-anak Semangkak itu bersalah. Mungkin Wita lah yang telah
memutar-balikkan persoalannya, sehingga kawan-kawannya dapat dihasutnya.”
Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya. Desisnya,
“Memang
mungkin sekali.”
“Itulah
sebabnya, kita harus berhati-hati menghadapi keadaan serupa ini,” Agung Sedayu
berhenti sejenak. Lalu,
“Anak-anak
Semangkak tidak dapat kita samakan dengan anak buah Tohpati, atau seperti
orang-orang Menoreh yang berpihak pada Sidanti waktu itu, atau seperti anak
buah Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak.”
“Ya, aku
mengerti,” Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya,
“tetapi,
apakah kita akan membiarkan mereka berbuat sesuka hati di Sangkal Putung?”
“Itulah yang
harus kita pikirkan. Bagaimana kita mencegah hal itu, tanpa menimbulkan
benturan di antara kita, itulah yang penting. Di dalam hal ini, bukanlah masalah
harga diri dan bukan sekali-sekali suatu perjuangan mempertahankan hak milik
serta kebebasan. Tetapi masalahnya adalah masalah yang tumbuh di sudut lain
dari segi-segi kehidupan anak-anak muda.”
Swandaru tidak
menyahut. Tetapi ketika ia berpaling kepada ayahnya, Ki Demang berkata, “Angger
Agung Sedayu benar. Kita tidak boleh berbenturan dengan anak-anak muda dari
Kademangan tetangga. Kita akan menghubungi bebahu Kademangan Semangkak. Mereka
pun harus berusaha mencegah anak-anak mereka.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar