“Tetapi kentongan ini masih bergoyang. Tentu seseorang baru saja membunyikannya. Lalu ditinggalkannya pergi.”
“Apakah
maksudnya? Kalau ia mempunyai sesuatu keinginan, ia tentu tinggal di sini dan
menunggu satu atau dua orang datang, karena pertanda yang dibunyikan memang
bukan pertanda di saat yang biasa, yang hanya dibunyikan di tengah-tengah
malam.”
“Aku kira,
orang itu benar-benar orang yang sedang ngelindur. Ia terbangun selagi ia
tertidur di gardu ini. Dengan serta-merta ia memukul kentongan sebelum ia sadar
sepenuhnya. Baru ketika ia menyadari dirinya ia merasa telah membuat kesalahan
dan dengan diam-diam meninggalkan gardu ini.”
Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan
kepalanya,
“Pasti hanya
suatu kesalahan,” katanya di dalam hati,
“kalau ada
hal-hal yang mencurigakan, seseorang tidak akan memukul kentongan. Apalagi
dalam nada dara muluk yang memang mempunyai arti yang khusus. Di malam hari
dara muluk menjadi pertanda tengah malam, sedang di siang hari mempunyai
artinya tersendiri pula. Sedangkan apabila benar-benar ada bahaya, tentu mereka
memukul pertanda yang khusus pula. Dua ganda, tiga ganda, atau titir.”
“Sudahlah, Ki
Jagabaya. Biarlah saja orang bingung itu. Marilah kita kembali ke kademangan.
Barangkali Swandaru masih mempunyai hidangan.”
“Ah, kau.
Semua hidangan sudah dikeluarkan ke pendapa. Apa lagi yang kau cari? Nagasari,
wajik ketan, hawug-hawug dan nasi panas dengan daging kambing? Apalagi yang
akan kau tunggu?”
Anak-anak muda
itu tersenyum. Tetapi mereka tidak menyahut. Mereka mengikuti saja ketika Ki
Jagabaya melangkah kembali ke kademangan. Tetapi langkah mereka tiba-tiba
tertegun. Mereka benar-benar terheran-heran, ketika mendengar sekali lagi suara
kentongan dalam nada dara muluk.
“He, apakah
ada orang gila di padukuhan ini?” bertanya Ki Jagabaya.
“Kentongan di
simpang empat ke kuburan,” desis seorang dari kedua anak muda.
“Ya,” sahut Ki
Jagabaya.
“Aku akan ke
sana,” desis salah seorang dari kedua anak muda itu pula.
“Marilah.”
“Aku akan
mendahului,” dan tanpa menunggu jawaban Ki Jagabaya salah seorang dari keduanya
telah berlari mendahului. Anak itu mengambil jalan memintas, bahkan
kadang-kadang menyusup halaman-halaman kosong yang terbuka. Tetapi sekali lagi
ia menjadi kecewa. Sekali lagi ia hanya menemukan kentongan yang masih
bergoyang, tetapi tidak seorang pun yang dilihatnya.
“Apakah ada
setan dari kuburan itu yang bangkit dan membuat gaduh?” anak muda itu
menggeram. Tetapi ia benar-benar tidak melihat apa pun. Jalan ke kuburan itu
seakan-akan menjadi semakin gelap pekat dan menakutkan.
Sejenak
kemudian, Ki Jagabaya dan anak muda yang seorang lagi telah datang pula ke
tempat itu. Mereka pun terheran-heran pula melihat kentongan yang masih
bergoyang dan gardu yang kosong.
“Apakah bukan
kau yang menyentuh kentongan itu?” bertanya Ki Jagabaya,
“Bukan, bukan
aku,” jawab anak muda yang telah datang lebih dahulu.
“Aku menemukan
kentongan ini sudah bergoyang.” Lalu tanpa sesadarnya ia memandang jalan yang
menuju ke kuburan.
Ki Jagabaya
seolah-olah mengerti apa yang terlintas di kepala anak muda itu, sehingga
katanya, “Tentu bukan demit dari kuburan itu. Tetapi siapa dan apa maksudnya?”
Sejenak mereka merenung. Namun tiba-tiba saja salah seorang dari kedua
anak-anak muda itu bergumam, “Sudahlah. Biar saja ia memukul seluruh kentongan
yang ada di padukuhan induk ini. Asal ia tidak memukul dalam nada titir atau
tiga ganda. Jika demikian, maka padukuhan ini akan benar-benar menjadi kacau.”
“Ya dan tentu
hanya gardu-gardu kosong sajalah yang ia datangi, selagi anak-anak muda berada
di kademangan. Tetapi ketika aku berangkat ke kademangan, aku melihat beberapa
orang tua yang melepaskan lelah setelah bekerja sehari penuh, duduk dan saling
berceritera di simpang tiga, di pinggir desa, di sebelah gardu. Satu dua ada
juga yang berbaring di dalamnya. Mungkin di gardu di pojok desa pun ada isinya
juga,” berkata Ki Jagabaya.
“Jika demikian
marilah, kita kembali saja.”
Ketiganya pun
kemudian kembali ke kademangan, meskipun mereka tidak dapat melepaskan
pertanyaan yang membelit hati.
“Apakah
maksudnya?”
Tetapi sekali
lagi mereka terkejut. Jauh di ujung lorong, terdengar pula suara kentongan
dalam nada dara muluk. Namun Ki Jagabaya berkata,
“Biarlah.
Meskipun ini pasti bukan kerja orang ngelindur, kita tidak akan berlari-lari ke
ujung desa untuk melihat kentongan yang bergoyang-goyang.”
Kedua
anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Tetapi kita
tidak akan membiarkannya.”
“Jadi?” kedua
anak-anak muda itu menjadi bingung.
“Kita pergi ke
gardu-gardu yang kosong. Kita tahu, urutan perjalanan anak atau orang atau
siapa pun yang membunyikan kentongan itu. Mula-mula yang dibunyikan adalah
kentongan di gardu di simpang tiga di bawah pohon aren, kemudian di simpang
empat ke kuburan. Kini kentongan di ujung lorong. Nah, kalian dapat
membayangkan jalan yang dilaluinya. Menurut perhitunganku, ia akan berjalan
lewat jalan kecil di pinggir desa ini, dan ia akan sampai ke gardu di sebelah
kelokan parit itu. Jika gardu itu tidak ditempati beberapa orang yang sedang
duduk-duduk melepaskan lelah, ia pasti akan memukul kentongan itu pula.”
“Jadi, apakah
kita akan langsung pergi ke sana?”
“Ya. Kita
pilih jalan memintas. Mungkin kita dapat mendahuluinya.”
Demikianlah,
mereka dengan tergesa-gesa pergi ke gardu di kelokan parit di pinggir desa.
Mereka memperhitungkan, bahwa orang yang sengaja membuat gaduh itu, akan sampai
pula ke tempat itu dan memukul kentongan yang ada di gardu itu pula. Ternyata
ketika mereka sampai ke gardu itu, mereka masih belum mendengar bunyi
kentongan, dan kentongan di gardu itu masih belum bergoyang.
“Kita bersembunyi,”
berkata Ki Jagabaya,
“kita tunggu
sejenak. Orang itu akan segera sampai kemari. Untunglah gardu ini pun kebetulan
kosong, sehingga kita akan dapat menangkap orang yang memukul kentongan tanpa
kita ketahui maksudnya itu.”
Ki Jagabaya
dan anak-anak muda yang mengikutinya itu pun kemudian bersembunyi di balik
semak-semak. Sejenak mereka menunggu dengan sabar, bahwa orang yang mereka cari
akan datang ke tempat itu pula.
“Lama sekali,”
desis anak muda yang seorang,
“menurut
perhitungan, ia pasti sudah sampai ke gardu ini jika ia memang pergi kemari.”
“Mungkin ia
tidak langsung berjalan ke gardu ini.”
“Mungkin ia
singgah sebentar di mana pun atau barangkali ia duduk-duduk sebentar di
pematang,” jawab yang lain.
“Mungkin kita
akan berhadapan dengan seorang yang tidak waras. Tetapi siapakah orang di
kademangan ini yang tidak waras ingatannya dan sering bermain-main dengan
kentongan?”
“Ssst,” desis
Ki Jagabaya. Mereka memang mendengar sebuah desir yang lembut. Namun ternyata
bukan seseorang.
“Seekor
kadal.”
“Atau ular.
Aku takut sekali kepada ular.”
“Tidak, tentu
bukan ular. Diamlah. Supaya orang itu tidak mengurungkan niatnya,” desis Ki
Jagabaya.
Mereka pun
kemudian terdiam. Dengan dada yang berdebar-debar mereka menunggu. Mereka tidak
menghiraukan gigitan nyamuk yang gatal di tubuh mereka.
Namun mereka
hampir terlonjak, ketika mereka mendengar kentongan berbunyi. Tetapi sama sekali
bukan kentongan di gardu itu. Bukan kentongan yang mereka intai sekian lamanya.
“Setan alas!”
salah seorang dari anak muda itu mengumpat sambil meloncat berdiri.
“Aku sudah
gatal-gatal, digigit nyamuk. Ternyata ia tidak berbelok ke kiri ketika ia berada
di ujung lorong tetapi berbelok ke kanan menyelusur jalan pematang itu.”
“Gila,” yang
lain ikut pula mengumpat,
“agaknya ia
memang orang gila.”
Ki Jagabaya
menarik nafas dalam-dalam sambil menekan punggungnya yang gatal. Katanya,
“Hampir sesak
nafasku duduk di balik semak-semak itu, ternyata orang itu tidak menempuh jalan
ini. Benar, ia pasti berbelok ke kanan di ujung lorong itu. Dan kita sudah
kehilangan kesempatan.”
Salah seorang
dari kedua anak muda itu pun mengumpat-umpat, sedang yang lain berkata,
“Kita kembali
saja ke kademangan.”
Ki Jagabaya
masih berdiri termangu-mangu. Ternyata, ia telah salah hitung, sehingga
beberapa saat lamanya mereka menjadi umpan nyamuk dengan sia-sia.
“Baiklah,”
berkata Ki Jagabaya kemudian,
“kita kembali
ke kademangan.”
“Sejak tadi
aku sudah mengajak, kita kembali ke kademangan. Di sana ada minuman hangat.
Sedang yang kita lakukan adalah tidak ada artinya.”
“Hus!” bentak
Ki Jagabaya.
“Kita
berusaha, apakah usaha kita berhasil atau tidak, itu tergantung pada keadaan.
Tetapi kita memang harus berusaha.”
Anak muda itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab. Namun Ki Jagabaya
sendirilah yang kemudian menggerutu,
“Agaknya orang
itu memang orang gila. Tetapi kalau ia membunyikan kentongan dengan nada yang
lain, tiga atau dua ganda misalnya, maka Sangkal Putung akan dibuat kacau
olehnya.”
Kedua
anak-anak muda yang mengikutinya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi mereka
sudah tidak berminat lagi untuk mencari dan mencegah orang yang mereka anggap
kurang waras itu. Di perjalanan kembali ke kademangan, mereka bertemu dengan
tiga orang yang berjalan menyusuri jalan padukuhan, yang ternyata juga sedang
mencari orang yang membunyikan kentongan dengan cara yang aneh itu.
“Kami tidak
menemukannya,” berkata Ki Jagabaya.
“Aneh sekali,”
berkata salah seorang dari ketiga orang itu,
“kami yang
sedang duduk di pojok desa menjadi terheran-heran. Bunyi kentongan itu sendiri
tidak aneh bagi kami, tetapi saat-saat yang tidak sesuai dan apalagi sampai
terulang beberapa kali, membuat kami bertanya-tanya.”
Ki Jagabaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Kami berada
di kademangan ketika kentongan itu mula-mula dibunyikan. Kami sudah mencoba
mencari sampai ke ujung lorong.”
“Aku akan
berkeliling terus,” berkata salah seorang dari ketiga orang itu,
“mungkin ada
sesuatu yang tidak wajar. Bukankah anak-anak muda sedang berkumpul di
kademangan?”
“Ya. Tetapi
dalam keadaan yang aneh ini, sebagian dari mereka harus pergi ke gardu-gardu.
Setidak-tidaknya untuk
mencegah agar
orang itu tidak membunyikan kentongan semalam suntuk.”
Ketiga orang
itu mengangguk-angguk. Dan mereka pun kemudian minta diri untuk meneruskan
usaha mereka, menemukan orang yang aneh itu. Dalam pada itu, anak muda yang
duduk di samping kawannya yang baru itu menjadi semakin curiga ketika ia
mendengar kentongan berbunyi untuk kedua dan apalagi ketiga kalinya. Tetapi ia
tidak dapat mengatakannya pada orang lain, karena ia masih belum meyakinkannya.
Karena itu, maka selagi orang di pendapa itu menjadi termangu-mangu, ia pun
mengajak salah seorang kawannya untuk meninggalkan pertemuan itu.
“Kemana?”
bertanya kawannya.
“Kita cari
anak itu,” jawabnya.
“Siapa?”
“Anak baru
yang tinggal pada pamannya itu.”
“Wita
maksudmu?”
“Ya. Wita.”
“Kenapa dengan
Wita?”
“Kita
mencarinya.”
Kawannya
termangu-mangu sejenak. Lalu,
“Aku kira
pertemuan ini pun akan segera berakhir.”
“Mungkin
belum. Nanti, apabila keadaan sudah tenang, mereka akan melanjutkannya. Mereka
akan berkelakar semalam suntuk.”
“Baiklah.
Marilah. Nanti kita kembali.”
Keduanya pun
kemudian turun dari pendapa tanpa minta diri kepada siapa pun. Mereka berniat
untuk segera kembali lagi, apabila keadaan menjadi tenang. Apabila tidak ada
lagi bunyi kentongan yang gila itu. Baru ketika mereka sudah berada di luar
halaman, anak muda yang duduk di sebelah Wita itu berceritera tentang sikap dan
tingkah laku Wita.
“Aku tidak
begitu menghiraukannya,” sahut kawannya,
“tetapi
menilik sikapnya sehari-hari memang mungkin sekali ia berbuat demikian. Tetapi
apakah maksudnya, ia memukul kentongan di beberapa tempat?”
“Untuk
melepaskan kejengkelannya. Tetapi aku kira ia memang ingin membubarkan
pertemuan yang dianggapnya menjemukan ini.”
Kawannya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Langkah mereka kemudian tertegun ketika mereka
bertemu Ki Jagabaya yang justru akan kembali ke kademangan.
“Mau kemana,
kalian?” bertanya Ki Jagabaya.
“Kami ingin
menemukan orang yang bermain-main dengan kentongan itu.”
“O, pergilah,”
berkata Ki Jagabaya,
“apakah
pertemuan sudah bubar?”
“Belum, dan
sebaiknya Ki Jagabaya menganjurkan agar mereka tidak usah tergesa-gesa
membubarkan diri. Biarlah mereka berkelakar semalam suntuk. Kami berdua
berharap dapat segera menemukan orang itu.”
“Bukan hanya
kau berdua. Kami bertiga, orang-orang tua yang semula duduk-duduk di pojok desa
dan barangkali masih ada lagi. Tetapi kami belum menemukannya.”
“Mungkin kami
berdua akan menemukannya.”
“Mudah-mudahan,”
desis Ki Jagabaya sambil meneruskan langkahnya kembali ke kademangan.
Dalam pada
itu, kedua anak-anak muda itu pun berjalan semakin lama semakin cepat. Mereka
berharap dapat menemukannya sebelum ia sempat membunyikan kentongan berikutnya.
Seperti Ki
Jagabaya, keduanya memperhitungkan juga arah jalan yang kira-kira ditempuh oleh
anak muda yang dicarinya. Seperti setiap orang di padukuhan itu, keduanya pun
mengenal ciri-ciri bunyi kentongan di setiap gardu, sehingga karena itu, maka
keduanya pun dapat memperhitungkan pula kemana kira-kira orang yang dicarinya
itu pergi.
“Ia pulang ke
rumah pamannya,” berkata salah seorang dari mereka.
“Ya, meskipun
agak melingkar.”
“Tetapi di
antara gardu di simpang tiga dan di jalan ke kuburan itu ada sebuah gardu lagi.
Kenapa ia tidak memukul kentongan yang ada di gardu itu?”
“Mungkin gardu
itu ada orangnya.”
“Orang-orang
itu tentu mencurigainya.”
“Kalau ia tahu
di gardu itu ada orang maka ia akan menghindar. Atau kemungkinan lain, kedua
gardu itu dianggapnya terlampau dekat, sehingga ia tidak merasa perlu memukul
kentongannya.”
Kawannya hanya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi, tanpa mereka sadari, langkah mereka
menjadi semakin cepat. Bahkan kadang-kadang mereka meloncati pagar-pagar rendah
dan melintas di halaman. Sejenak kemudian mereka pun telah sampai ke regol
sebuah halaman yang luas. Halaman rumah seorang yang kaya. Orang itu adalah
paman Wita. Dan di rumah itu pula Wita tinggal, selama ia berada di Sangkal
Putung.
“Kita tunggu
sebentar. Mungkin ia belum sampai.”
“Sebaiknya
kita menyongsongnya. Masih ada satu gardu sebelah tikungan itu. Kalau kita
dapat mendahuluinya, dan ternyata gardu itu kosong, kita mengharap ia akan
membunyikannya pula.”
Kawannya tidak
menjawab, tetapi kepalanya terangguk-angguk. Keduanya pun kemudian berjalan
dengan tergesa-gesa ke tikungan, beberapa puluh langkah saja dari regol halaman
rumah itu. Mereka mengharap, bahwa mereka akan dapat mendahului Wita yang
agaknya mengambil jalan melingkar. Tetapi sebelum mereka sampai di tikungan,
mereka terkejut. Ternyata dari gardu itu telah terdengar suara kentongan dalam
nada dara muluk.
“Ia sudah di
sana. Marilah, cepat sedikit.”
Keduanya pun
segera berlari-lari kecil. Tetapi ketika mereka sampai tepat di sudut tikungan,
maka mereka pun segera meloncat masuk ke dalam halaman. Dari halaman itulah
mereka merayap mendekati gardu.
Tepat seperti
yang mereka duga. Yang membunyikan kentongan itu adalah Wita. Dengan penuh
nafsu ia mengayunkan alat pemukul kentongan itu, dan membuat nada dara muluk
sekeras-kerasnya.
“Gardu itu
ternyata kosong.”
“Ya. Anak-anak
yang seharusnya berada di gardu ini masih berada di halaman kademangan.”
“Tetapi, bukankah
seharusnya bukan hanya anak-anak muda saja yang meronda? Tetapi juga orang
tua-tua?”
“Mereka
menjadi segan apabila anak-anak muda tidak ada di gardu. Apalagi setelah
keadaan menjadi semakin baik. Yang selalu berada di gardu-gardu itu setiap
malam hanyalah anak-anak muda saja.”
Yang seorang
tidak menyahut. Nada dara muluk itu sudah mulai menurun. Sebentar lagi
kentongan itu akan berhenti.
“Kita
mendekat.”
“Biarlah ia
meletakkan pemukulnya, supaya bukan kepalamu yang kemudian menjadi sasaran.”
Yang lain
mengangguk-anggukkan kepala, sehingga dengan demikian mereka masih tetap berada
di tempat sambil berdiam diri. Baru sejenak kemudian, suara kentongan itu
berhenti. Dengan tergesa-gesa Wita meletakkan pemukul kentongan di sudut gardu.
Kemudian dengan tergesa-gesa pula ia melangkah meninggalkan gardu itu. Tetapi
langkahnya tertegun, ketika tiba-tiba saja kedua anak-anak muda yang sejak tadi
mengintainya itu meloncat di hadapannya dari balik dinding batu halaman di
sudut tikungan. Wita mundur selangkah. Namun kemudian ia lebih senang
mendahului bertanya,
“Apa kerjamu
di sini?”
Salah seorang
dari kedua anak-anak muda itu melangkah maju. Ia sama sekali tidak menjawab
pertanyaan Wita, bahkan ia pun bertanya pula,
“Kenapa hal
itu kau lakukan, Wita?”
Wita tidak
segera menjawab. Dipandanginya kedua anak-anak muda itu berganti-ganti. Namun
kemudian ditebarkannya pandangan matanya ke sekelilingnya, seolah-olah sedang
mencari seseorang di dalam gelapnya malam.
“Kami hanya
berdua,” desis salah seorang dari kedua anak muda itu. Lalu,
“Kau belum
menjawab. Kenapa hal itu kau lakukan, Wita?”
Wita memandang
anak muda itu dengan tajamnya. Kemudian jawabnya,
“Tidak
apa-apa.”
“Tetapi
bukankah kau sudah mengetahui, bahwa pokalmu itu dapat menimbulkan
kegelisahan?”
“Aku membunyikan
kentongan dalam nada dara muluk. Tidak ada orang yang akan menjadi gelisah.”
“Tentu ada.
Pertama, kau membunyikan kentongan sebelum waktunya. Lihat, bintang Gubug
Penceng belum di tengah. Kedua, kau memukul kentongan di beberapa tempat
berturut-turut. Bukankah hal itu dapat menggelisahkan, selagi anak-anak muda
berada di halaman kademangan?”
“Itulah salah
mereka.”
“Yang mana?”
“Kenapa mereka
berada di halaman kademangan dan membiarkan gardu-gardu menjadi kosong? Memang
ada satu dua gardu yang berisi. Tetapi hanya beberapa orang-orang tua yang
tidak berani apa-apa apabila terjadi sesuatu di padukuhan ini.”
Kedua pemuda
itu saling berpandangan sejenak. Namun mereka menyadari, bahwa bukan itulah
alasan Wita yang sebenarnya, sehingga karena itu, salah seorang dari mereka pun
kemudian berkata,
“Kademangan
Sangkal Putung pada saat ini dalam keadaan aman. Meskipun demikian kita tidak
lengah sama sekali. Di beberapa gardu masih ada orang-orang yang kau sebut
orang-orang tua yang tidak berarti apa-apa. Tetapi mereka masih akan mampu
membunyikan tanda bahaya apabila terjadi sesuatu.”
“Apakah bahaya
itu akan lenyap dengan sendirinya hanya karena suara kentongan dua ganda atau
tiga ganda, bahkan titir sekalipun?”
“Tentu tidak.
Tetapi kau juga tahu, bahwa anak-anak muda sekarang sedang berkumpul di
kademangan. Apabila ada tanda bahaya itu, maka mereka pun akan segera dapat
bertindak. Bahkan serentak, karena mereka telah berkumpul.”
“Dan bahaya
itu harus menunggu sampai anak-anak muda itu bersiap?”
“Tentu tidak,
Wita. Tetapi, bukankah sampai saat ini tidak terjadi apa-apa, selain kericuhan
yang timbul karena suara kentonganmu?”
“Aku hanya
ingin membuktikan bahwa banyak gardu-gardu yang kosong. Kalau aku seorang
penjahat, aku sudah dapat berbuat apa pun dengan leluasa.”
“Tetapi kau
tahu, bahwa aku berhasil menemukan kau.”
Wajah Wita
menjadi merah. Tetapi katanya,
“Kembalilah ke
kademangan. Aku jemu melihat pertemuan itu. Swandaru menjadi aleman dan merasa
dirinya orang terbesar di seluruh Sangkal Putung.”
“Pertemuan itu
akan berlangsung semalam suntuk.”
“Bodoh sekali.
Itu sangat memuakkan.”
“Kalau kau
tidak senang pada pertemuan itu, kau boleh dan ternyata sudah meninggalkannya.
Tetapi jangan ganggu ketenangan kademangan ini.”
“Aku tidak mau
melihat seorang anak muda yang aleman, yang merasa dirinya menjadi orang
penting dan dihormati oleh anak-anak muda seluruh Sangkal Putung.”
“Kami memang
menghormatinya.”
“Aku tidak
mau.”
“Itu terserah
kepadamu. Dan kau memang bukan anak Sangkal Putung.”
Jawaban itu
benar-benar membuat Wita tersinggung. Jawabnya,
“Aku memang
bukan anak Sangkal Putung. Aku tidak peduli apa yang terjadi di sini. Aku tidak
peduli apakah anak-anak itu akan terganggu oleh suara kentonganku.”
“Tetapi kau
mengganggu ketenangan Sangkal Putung. Itu tidak boleh terjadi. Kau boleh tidak
sependapat dengan kami, bahkan menjadi muak terhadap sikap kami, karena kami
menyambut salah seorang kawan kami bahkan pemimpin dari anak-anak muda Sangkal
Putung. Itu adalah hak kami, orang di luar lingkungan kami tidak akan dapat menghalangi
kami dan tentu tidak akan kami biarkan membuat keributan di sini. Kami
menghormati tamu yang datang di daerah kami, tetapi kami tidak akan merelakan
perbuatan yang dapat mengganggu ketenangan kami.”
“Ah. Kalian
memang penjilat-penjilat yang dungu.”
“Wita!”
tiba-tiba salah seorang dari kedua anak muda itu maju semakin dekat. Ia
benar-benar menjadi marah meskipun ia masih berusaha menahan diri,
“Jangan
menghina kami. Kau dapat membuat keadaanmu menjadi sulit di sini meskipun aku
tahu, bahwa pada suatu saat kau akan meninggalkan Sangkal Putung. Tetapi
kesulitan itu akan memercik kepada pamanmu yang sebenarnya tidak tahu menahu
dan kami hormati di sini.”
“Persetan! Apa
sebenarnya maumu? Aku memang ingin membuat pertemuan yang memuakkan itu menjadi
berantakan. Aku muak. Muak sekali melihat Swandaru dan Agung Sedayu yang
seakan-akan dua orang pahlawan yang pulang dari medan perang membawa
kemenangan. Apakah sebenarnya yang telah mereka lakukan, sehingga kalian
menjadi seperti orang yang terbius di dalam suatu sikap yang rendah? Katakanlah
mereka adalah dua orang anak-anak muda yang perkasa semasa perang melawan
sisa-sisa pasukan Jipang. Tetapi yang menjadi pahlawan bukan kedua anak-anak
itu, tetapi Untara. Meskipun Agung Sedayu itu adik Untara, tetapi ia bukan
apa-apa bagiku.”
“Sudahlah,
Wita, kalau kau ingin pulang, pulanglah. Tetapi jangan kau ulangi lagi
perbuatan itu.”
“Apa pedulimu.
Sebenarnya sejak tadi aku memang mau pulang. Tetapi kau berdua menghalangi
jalanku. Nah, kalian mau apa?”
Telinga kedua anak-anak
muda itu menjadi panas. Karena itu salah seorang dari mereka berkata,
“Aku masih
berusaha memperingatkan kau, Wita. Jangan membuat persoalan yang menyulitkan
keadaanmu di sini.”
“Aku tidak
takut,” sahut Wita,
“aku adalah
seseorang yang biasa menghadapi kesulitan. Aku tidak gentar menghadapi apa pun.
Kasar atau halus.”
“Tetapi kau
berada di lingkungan lain dari lingkunganmu sendiri.”
“Jadi kalian
mau mengeroyok aku? Silahkan, silahkan. Panggil Swandaru dan Agung Sedayu.
Bahkan guru mereka sama sekali. Biarlah mereka mengeroyok aku. Apakah kalian
sangka aku takut? Kalau perlu aku dapat memanggil anak-anak padukuhanku. Aku
tidak berdiri sendiri, meskipun tampaknya sekarang aku memang sendiri. Tetapi
itu tidak perlu. Aku dapat melawan kalian bersama Swandaru dan Agung Sedayu
sekaligus.”
“Kau belum
mengenal Swandaru dan Agung Sedayu.”
“Persetan.
Panggil mereka kemari!”
“Aku tidak
akan memanggil siapa pun,” salah seorang dari kedua anak muda itu akhirnya
kehabisan kesabaran.
“Aku sudah
memperingatkan kau, jangan membuat gaduh di sini.”
Tetapi
ternyata, Wita adalah orang yang keras kepala. Ia sama sekali tidak mau surut.
Bahkan dengan dada tengadah ia berkata,
“Kau tidak
dapat menakut-nakuti aku. Aku seorang yang dikagumi di padukuhanku. Lebih dari
Swandaru dan Agung Sedayu. Aku adalah pelindung dari setiap orang. Siapa yang
berani menentang aku, mereka akan menyesal. Aku tidak pernah berbuat apa pun di
sini karena aku menghormati kalian sebagai tuan rumah. Tetapi kalian ternyata
sangat memuakkan. Dan karena itu, maka aku tidak perlu lagi menahan diri untuk
berbuat sesuatu. Aku pernah berbuat apa saja terhadap orang yang menentang aku.
Bukan sekedar berkelahi, aku juga pernah membunuh orang yang keras kepala.”
Anak muda
Sangkal Putung itu pun ternyata tidak juga mau mundur. Sebagai anak muda yang
pernah mengalami pergolakan pada masa-masa Tohpati masih mempunyai kekuatan,
dan yang pernah mengikuti dan mengalami pertempuran-pertempuran yang
menegangkan urat syaraf, maka ia pun tidak gentar sama sekali.
“Kau terlalu
sombong,” ia menggeram,
“aku akan
mencegahmu kalau kau tetap berkeras hati untuk membuat keributan di daerah
ini.”
“Persetan.
Ayo, panggil kawan-kawanmu.”
Anak muda
Sangkal Putung itu tidak menyahut. Selangkah ia maju, sedang kawannya
memperhatikannya dengan hati yang tegang.
Tiba-tiba saja
keduanya telah siap untuk berkelahi. Tidak ada yang berusaha memisahkan mereka.
Anak muda Sangkal Putung yang seorang, yang berdiri beberapa langkah dari
keduanya pun tidak berbuat apa pun juga. Demikianlah maka sejenak kemudian
keduanya sudah terlibat dalam perkelahian. Semakin lama semakin sengit.
Masing-masing tidak lagi mengekang diri, sehingga dengan demikian mereka telah
berkelahi sekuat-kuat tenaga mereka. Namun ternyata bahwa Wita memang mempunyai
kelebihan. Setiap kali anak muda Sangkal Putung itu pun terlempar beberapa
langkah dan terbanting jatuh. Semakin lama semakin sering, sehingga kemudian
ternyata bahwa keadaannya menjadi terlalu payah. Tetapi ia pun ternyata seorang
anak muda yang keras hati. Ia sama sekali tidak mau mundur. Bagaimanapun juga
ia tetap berkelahi sejadi-jadinya. Namun tenaganya memang terbatas juga.
Sehingga pada suatu saat, tenaganya sudah tidak memungkinkan lagi untuk melawan
dengan baik. Bertubi-tubi pukulan lawannya mengenainya, sehingga setiap kali ia
terdorong dan terbanting jatuh.
“Ia sudah
tidak dapat melawan. Kami mengakui kemenanganmu,” berkata anak muda Sangkal
Putung yang seorang.
“Kenapa kau
berdiri saja?” Wita membentak dengan sombongnya,
“Kenapa kau
tidak berkelahi bersama-sama?”
“Bukan
kebiasaan kami. Sekarang, dengan jujur kami mengakui bahwa kau menang. Tetapi
hentikan pukulan-pukulanmu yang gila itu. Agaknya kau memang tidak
berperikemanusiaan.”
“Aku tidak
peduli. Ia harus mendapat ajaran dari kesombongannya.”
Ternyata Wita
benar-benar tidak menghiraukan peringatan anak muda Sangkal Patung itu. Bahkan
ia menarik baju lawannya yang sudah menjadi sangat lemah. Mengangkatnya berdiri
dan sekali lagi memukul perutnya, sehingga anak muda itu terbungkuk sesaat.
Namun tangan Wita yang lain telah menyambar dagunya sehingga lawannya itu
terangkat dan jatuh menelentang. Wita ternyata masih belum puas. Hampir saja ia
menginjak dada lawannya, seandainya anak muda yang lain itu tidak melangkah
mendekat sambil berkata,
“Kau tidak ubahnya
seperti binatang buas. Hentikan atau aku akan ikut campur.”
“O, kau akan
ikut serta? Apakah kau ingin mengalami nasib yang serupa?”
“Aku tidak
peduli. Tetapi tingkah lakumu memang keterlaluan. Aku terpaksa sekali ikut
campur, meskipun itu bukan kebiasaan kami.”
“Persetan!
Ayo, kita coba. Apakah kau akan mengalami nasib yang justru lebih buruk dari
kawanmu itu.”
Anak muda
Sangkal Putung itu menggeretakkan giginya. Ia sadar bahwa lawannya memang
mempunyai kelebihan. Tetapi sudah tentu ia tidak dapat membiarkannya berbuat
sewenang-wenang terhadap kawannya yang sama sekali tidak mampu lagi untuk
melawan.
Demikianlah,
keduanya telah berhadapan dan saling bersiap. Tetapi Wita ternyata kini tidak
lagi setegang semula. Bahkan sambil tertawa ia berkata,
“Besok pagi
setiap orang pasti akan mempercakapkan kalian berdua. Tetapi aku memang tidak
ingin membunuh kali ini, karena aku menghormati kalian, tuan rumah di Sangkal
Putung ini. Dan aku akan menunggu siapa saja yang merasa tersinggung oleh
perbuatanku ini. Aku tidak akan lari.”
“Persetan!”
anak muda Sangkal Putung itu menggeram.
Tetapi sebelum
perkelahian itu berlangsung mereka terkejut karena mereka mendengar suara
tertawa pula. Kemudian dari balik dinding batu, seorang anak muda yang gemuk
meloncat dan berdiri beberapa langkah di samping Wita.
“Swandaru,”
desis anak muda Sangkal Putung itu.
Swandaru
tertawa. Katanya,
“Orang tua-tua
yang mencari bunyi kentongan itu sempat mengintai kalian berkelahi. Tetapi
mereka tidak berani berbuat apa-apa, karena mereka memang sudah terlalu tua
untuk berkelahi. Namun mereka sempat menyampaikan ceritera itu kepadaku lengkap
dengan alasan-alasan yang didengarnya selama kalian bertengkar. Maksudku, tamu
kita ini dengan kawan kita yang sudah tidak mampu bangkit itu.”
“Persetan! Kalau
kau akan mengeroyok aku, lakukanlah,” geram Wita.
Swandaru masih
saja tertawa. Ia berpaling ketika Agung Sedayu, Kiai Gringsing, Sumangkar, dan
beberapa orang bermunculan pula di tempat itu.
Wita memandang
mereka di dalam keremangan dengan wajah yang menjadi tegang kembali. Namun
sejenak kemudian, ia berkata dengan nada tinggi dan wajah yang tengadah,
“Hah, bukankah
usahaku sudah berhasil?”
“Aku memang
ingin membubarkan pertemuan yang memuakkan itu. Pertemuan yang seolah-olah
menyambut seorang pahlawan besar, yang datang dari medan membawa kemenangan.”
Tetapi
Swandaru menggelengkan kepalanya. Katanya,
“Tidak.
Pertemuan itu berlangsung terus. Anak-anak muda itu masih ada di kademangan. Di
dapur, para juru masak sedang menyiapkan suguhan baru yang hangat bagi mereka,
karena kami akan berada di pendapa kademangan itu semalam suntuk untuk
menghormati kedatanganku, pemimpin pengawal Kademangan Sangkal Putung, putera
laki-laki satu-satunya dari Ki Demang dan yang baru pulang di sebuah
petualangan, yang pernah menjadi senapati pasukan Sangkal Putung melawan
pasukan Tohpati yang bergelar Macan Kepatihan.”
“Persetan!”
teriak Wita.
“Nanti dulu,
aku belum selesai,” sahut Swandaru.
“Sampai di
mana tadi aku sesumbar? O, ya. Aku adalah senapati pasukan Sangkal Putung yang
pernah dua atau tiga kali dipukul oleh Sidanti tanpa berani membalas.”
“Ah,” tanpa
sesadarnya Agung Sedayu berdesah, sedang Kiai Gringsing dan Sumangkar hanya
menggeleng-gelengkan kepalanya saja.
“Ternyata
dugaanku benar!” Wita benar-benar berteriak,
“Aku memang
berhadapan dengan orang yang tidak waras.”
“Jangan berteriak-teriak,”
potong Swandaru,
“kau dapat
membangunkan orang-orang yang tinggal sebelah-menyebelah.”
Tetapi
ternyata bahwa, orang-orang itu ada yang memang sudah terbangun sejak suara kentongan
bernada dara muluk yang pertama berbunyi. Karena itu, ketika mereka mendengar
ribut-ribut di tikungan, mereka mencoba mengintip dari sela-sela dinding rumah
mereka. Tetapi yang mereka lihat ada-lah kehitaman malam yang kelam. Mereka
sama sekali tidak keluar dari rumah mereka, meskipun lamat-amat mereka
mendengar suara orang di tikungan, karena keadaan yang mereka hadapi sama
sekali tidak jelas. Tetapi kini mereka mendengar suara teriakan-teriakan yang
keras, sehingga mau tidak mau, mereka pun ingin melihat apa yang telah terjadi
sebenarnya. Bukan saja yang terbangun karena suara kentongan, tetapi
teriakan-teriakan Wita itu pun telah menimbulkan kegaduhan. Mereka yang semula
tidak menghiraukan suara kentongan dara muluk yang tidak pada waktunya dan berulang
kali itu, sehingga jatuh tertidur kembali, kini tidak lagi dapat acuh tidak
acuh, ketika mereka mendengar teriakan-teriakan yang keras, yang telah
membangunkan mereka pula. Satu dua di antara penghuni di sekitar tikungan itu
pun mencoba untuk mendengarkan lebih jelas lagi. Ternyata yang mereka dengar
adalah suara bentakan-bentakan, sehingga mereka pun kemudian dengan hati-hati
keluar pula dari rumahnya, dan pergi ke tikungan. Dalam pada itu, Wita menjadi
semakin marah melihat sikap Swandaru. Ternyata Swandaru berbeda sekali dari
kedua anak-anak muda Sangkal Putung yang terdahulu. Namun demikian, Wita
menganggap bahwa sikap itu adalah bentuk dari sikap aleman dan manja saja,
sehingga karena itu maka katanya dengan kasar,
“Swandaru. Kau
kira aku menjadi kagum atau heran atau kemudian lilih kemarahanku mendengar kau
berkicau? Kau kira aku lalu mengurungkan tuntutanku agar pertemuan yang
memuakkan itu bubar, bahkan tertawa-tertawa karena kau mencoba melucu? Tidak.
Aku tidak peduli pada sikapmu itu. Bahkan aku menganggap sikapmulah yang
membuat pertemuan itu memuakkan, seperti sikap yang baru saja kau perlihatkan.”
Sepercik warna
merah melonjak di wajah Swandaru. Ia bukan seorang anak muda yang berhati
lapang selapang lautan. Namun demikian, ia masih mencoba untuk tersenyum.
Katanya,
“Kenapa kau
marah-marah seperti kejatuhan sarang semut? Jangan cepat menjadi mata gelap.
Kau sudah memukuli seorang kawanku sampai hampir pingsan. Lihat, tanpa ditolong
oleh kawannya, ia tidak akan dapat bangkit dan menepi. Apakah kau masih kurang
puas?”
“Persetan.
Bukankah kalian berdatangan untuk mengeroyok aku? Mari, mari, lakukanlah. Aku
sudah sedia. Aku tidak akan lari.”
“Tidak,”
berkata Swandaru,
“besok kau
akan kembali ke padukuhanmu dan membawa kawan-kawanmu menyerang Sangkal Putung.
Itu tidak bijaksana.”
Wita menggeretakkan
giginya. Katanya,
“Tidak. Aku
tidak akan melakukannya, kalau kalian menjadi ketakutan.”
“Benar
begitu?”
“Benar. Aku
bukan pengecut yang licik.”
“Bagus.
Marilah anak ini kita tangkap beramai-ramai,” Swandaru berhenti sejenak. Lalu,
“Tetapi niat
kami hanyalah menghentikan agar kau tidak lagi memukul setiap kentongan di
Sangkal Putung.”
“Aku tidak
peduli. Cepat. Kalau kalian akan berkelahi berbareng.”
Swandaru
mengerutkan keningnya. Anak semacam ini memang perlu diperingatkan. Tetapi
agaknya Wita memang seorang anak muda yang mempunyai kelebihan. Karena itu,
Swandaru pun merasa bahwa ia harus berhati-hati. Belum lagi ia sempat
mentertawakan Agung Sedayu karena pakaiannya yang basah kuyup dan yang belum
sempat diceriterakan seluruhnya apa sebabnya, ternyata di padukuhan ini pun
timbul pula masalah yang hampir serupa, meskipun landasannya berbeda.
Swandaru
terperanjat ketika tiba-tiba saja Wita berteriak,
“Ayo, siapa
yang dahulu?”
Swandaru
menarik nafas dalam-dalam. Selangkah ia maju mendekat sambil berkata, kali ini
dengan bersungguh-sungguh,
“Wita, apakah
kau benar-benar akan berkelahi?”
“Apakah kau
takut, meskipun kalian datang bersama sekian banyak orang?”
Swandaru harus
berusaha untuk tetap dapat mengendalikan dirinya, agar ia tidak berbuat sesuatu
yang dapat membuat kesulitan di kemudian hari. Namun sikap Wita benar-benar
telah membuatnya marah, meskipun ia masih belum berbuat apa-apa.
“Wita,”
berkata Swandaru,
“kita belum
berkenalan secara pribadi. Kenapa tiba-tiba saja kita sudah bermusuhan
seolah-olah kita pernah terlibat dalam persoalan yang gawat?”
“Jangan banyak
bicara. Kalau kalian mau mengeroyok aku, cepat lakukan. Aku sudah mulai
mengantuk.”
“Baik,” sahut
Swandaru,
“kita akan
mengeroyokmu karena kau sendiri yang menantang. Kami akan mengikatmu di tiang
gardu, sedang satu tanganmu akan kami lepaskan agar kau dapat membunyikan
kentongan semalam suntuk. Bukankah itu kegemaranmu?”
Wita tidak
menjawab, tetapi ia melangkah mendekati Swandaru sambil membentak,
“Cepat! Ayo,
siapa yang maju?”
“Mari, mari,”
berkata Swandaru,
“kita tangkap
anak ini bersama-sama. Bukankah kita sering menangkap bajing bersama-sama di
masa kanak-kanak? Sekarang kita akan menangkap celeret gombel,” Swandaru
berhenti sejenak. Lalu,
“He, Wita,
bukankah kau pernah melihat celeret gombel? Celeret gombel yang hanya sebesar
jari itu pasti dengan sombong mencoba mengguncang-guncang pohon betapa pun
besarnya, seolah-olah ia tidak yakin bahwa pohon itu kuat menahan tubuhnya.”
Wita yang
merasa sindiran Swandaru itu bagaikan pisau yang tergores di jantungnya,
benar-benar tidak dapat menahan hati lagi. Ia mengerti maksud itu. Bahkan ia
mengerti. bahwa Swandaru menganggapnya seperti seekor celeret gombel yang tidak
tahu diri. Karena itu, Wita tidak menunggu lebih lama lagi. Tiba-tiba saja ia
menyerang Swandaru yang berdiri beberapa langkah di hadapannya. Swandaru yang
marah itu masih sempat memancing serangan Wita. Namun Swandaru itu pun ternyata
kini telah menjadi semakin dewasa pula, sehingga ia masih dapat mengendalikan
dirinya untuk tidak berbuat berlebih-lebihan. Dengan demikian, ketika ia
melihat Wita menyerangnya, Swandaru itu pun segera menghindar. Ia tidak
langsung menyerang tengkuk lawannya sehingga pingsan. Tetapi ia pun mencoba
menyentuh pundaknya dengan tangan kirinya. Tetapi Wita masih sempat menghindar
pula. Sambil menggeliat, ia memutar tubuhnya, sehingga serangan Swandaru yang
tidak bersungguh-sungguh itu, tidak mengenai sasarannya. Ternyata Wita salah
mengerti terhadap serangan itu. Ia tiba-tiba saja merasa dirinya benar-benar
seorang yang cukup lincah dan tangkas. Karena itu, maka dengan garangnya ia
telah menyerang Swandaru dengan kakinya, langsung mengarah lambung.
“Anak bengal,”
desis Swandaru di dalam hatinya. Serangan Wita itu telah membuatnya semakin
tidak senang. Tetapi ia tidak ingin mencelakai anak muda yang bukan anak
Sangkal Putung itu sendiri. Karena itu, betapa pun kemarahan membara di
hatinya, namun Swandaru masih tetap menahan diri. Sehingga dengan demikian, ia
hanya berusaha untuk menghindari serangan-serangan yang kemudian datang
bagaikan banjir bandang.
Tetapi semakin
seru Wita menyerang, semakin sadarlah lawannya, bahwa sebenarnya Wita adalah
anak muda yang sedang di dalam perkembangan ilmu kanuragan yang dituntutnya,
itulah sebabnya ia merasa dirinya tidak terkalahkan oleh siapa pun juga. Agung
Sedayu yang melihat perkelahian itu di dalam keremangan malam pun menarik nafas
dalam-dalam. Kali ini ia memuji di dalam hati,
“Untunglah
bahwa Swandaru tidak dihinggapi penyakitnya, sehingga ia tidak berbuat hal-hal
yang aneh atas anak muda itu. Agaknya Wita baru saja mulai berguru kepada
seseorang, sehingga ia masih merasa perlu untuk menilai ilmu yang sedang
dituntutnya. Sayang bahwa sikapnya terlampau kasar dan sombong.”
Demikianlah,
Wita semakin lama menjadi semakin garang. Tetapi Swandaru sama sekali tidak
berusaha menghentikannya dengan serangan yang berbahaya. Dibiarkannya saja Wita
meloncat-loncat dan berputar-putar.
“Ia akan
kelelahan sendiri,” berkata Swandaru.
Kiai Gringsing
dan Sumangkar masih juga menunggui perkelahian itu. Tetapi mereka tidak lagi
menjadi tegang melihat sikap Swandaru. Agaknya Swandaru kali ini benar-benar
masih dapat mengendalikan diri, meskipun ia telah menjadi marah melihat sikap
Wita.
“Biarlah aku
kembali ke kademangan,” berkata Sumangkar.
“Ki Demang dan
anak-anak muda yang masih tinggal akan menjadi gelisah dan mungkin di luar
keinginan kita, mereka akan melakukan hal-hal yang tidak wajar, apabila mereka
berdatangan ke mari.”
Kiai Gringsing
mengerutkan keningnya. Katanya sambil mengangguk-angguk,
“Baiklah. Aku
akan menunggui Swandaru. Mudah-mudahan ia tidak kehilangan kesabaran.”
Sumangkar pun
kemudian kembali ke kademangan untuk menenteramkan anak muda yang masih
tinggal. Mereka harus tahu, bahwa sebenarnya tidak terjadi sesuatu yang perlu
dicemaskan. Demikianlah, Swandaru masih berkelahi. Bukan saja Agung Sedayu,
tetapi anak-anak muda dan orang-orang yang ada di sekitarnya pun segera
mengetahui, bahwa Swandaru mampu mengatasi lawannya tanpa berbuat dengan
bersungguh-sungguh. Bahkan kadang-kadang Swandaru hanya sekedar mendorong
lawannya apabila ia menyerang, sehingga atas dorongan kekuatan sendiri dan
sentuhan tangan Swandaru, Wita telah terjerembab di tanah. Tetapi agaknya Wita
sendiri tidak menyadari. Ia masih bertempur sekuat tenaganya. Ia merasa bahwa
Swandaru belum pernah mengenainya pada tempat-tempat yang berbahaya. Karena
itu, maka ia masih tetap salah mengerti. Disangkanya, Swandaru memang tidak
mampu berbuat lebih dari yang dilakukannya itu. Demikianlah, perkelahian itu
berlangsung terus. Dan Agung Sedayu pun mengerti, Swandaru akan membiarkan
lawannya menjadi lelah sendiri. Namun ternyata, bahwa nafas Wita cukup panjang.
Setelah bertempur sekian lama, nafasnya masih juga mengalir dengan teratur. Karena
itu, maka Swandaru pun kemudian menjadi ragu-ragu. Apakah ia akan tetap
mempergunakan cara yang sudah dimulainya itu untuk memaksa Wita mengakui
kelemahannya?
“Tetapi aku
akan memerlukan waktu yang lama,” berkata Swandaru di dalam hati.
“Apakah
anak-anak di pendapa itu tidak menjadi gelisah dan bahkan menyusul aku ke mari?
Jika demikian, maka nasib Wita tidak akan dapat dibayangkan lagi. Kalau
anak-anak itu menjadi marah, maka akibatnya tidak akan menguntungkan bagi siapa
pun juga.”
Namun selagi
Swandaru berada dalam keragu-raguan itu Agung Sedayu agaknya dapat melihat,
karena sikapnya yang tidak menentu. Kadang-kadang Swandaru tampak ingin tetap
menghindarkan diri dari setiap benturan yang terjadi dan membiarkan Wita
berhenti dengan sendirinya. Tetapi kadang-kadang ia bersikap lain.
Kadang-kadang ia mulai bersikap keras.
Karena itu,
agar Swandaru tidak berbuat sesuatu yang dapat membahayakan lawannya, Agung
Sedayu berkata,
“Kau mempunyai
waktu yang panjang, Swandaru. Paman Sumangkar telah kembali ke kademangan untuk
mengabarkan, bahwa sebenarnya tidak terjadi apa-apa di sini.”
Swandaru
mengerutkan keningnya. Lalu, tiba-tiba saja ia tertawa sambil menyahut,
“Apakah kau
tahu apa yang aku pikirkan?”
“Sikapmu yang
ragu-ragu.”
“Ah, aku sama
sekali tidak ragu-ragu. Aku sudah menentukan sikap yang pasti menghadapi
keadaan ini.”
“Tetapi
kadang-kadang kau kehilangan pegangan. Kadang-kadang kau bersikap hampir
bersungguh-sungguh.”
“Mungkin,
tetapi bukan maksudku. Aku tetap pada pendirianku, bahwa aku akan dapat
menghentikannya dengan cara ini.”
“Teruskan,
cara yang kau tempuh sudah baik.”
“Diam, diam!”
tiba-tiba Wita menjerit. Ia benar-benar merasa terhina, bahwa Swandaru masih
sempat berbicara dengan Agung sedayu selagi ia berkelahi. Bahkan Wita merasa
telah mengerahkan segenap kemampuannya. Karena itu, sikap Swandaru yang
berbicara seenaknya membuatnya benar-benar menjadi sakit hati.
“Kau terlalu sombong
anak gemuk,” geram Wita.
“Aku akan
membuktikan, bahwa aku akan memenangkan perkelahian ini.”
“Marilah kita
lihat,” berkata Swandaru,
“kalau kau
berhasil, aku sembah kau.”
Wita tidak
menyahut. Tetapi dikerahkannya segenap kemampuan yang ada padanya untuk menekan
lawannya. Tetapi Swandaru masih bertempur sambil tersenyum-senyum.
Kadang-kadang ia menghindar, kadang-kadang berloncatan surut, bahkan hampir
berlari-lari.
“Licik,
pengecut. Jangan lari.”
“Aku tidak
akan lari. Aku sedang menghindar. Bukankah di dalam perkelahian yang mana pun,
seseorang diperbolehkan menghindar? Maksudku, bukankah menghindar itu bukan
perbuatan licik?”
“Persetan!”
teriak Wita. Dengan demikian, maka ia pun menjadi semakin garang.
Serangan-serangannya datang membadai tanpa henti-hentinya. Tetapi ternyata,
bahwa ia sama sekali tidak berhasil menyentuh tubuh lawannya, yang dengan
lincah dan sigap menghindarinya.
Namun lambat
laun Wita pun menyadari, bahwa sebenarnya Swandaru tidak berkelahi dengan
sungguh-sungguh. Bahwa sebenarnya Swandaru hanya sekedar memancingnya untuk
menyerang dan menyerang, tanpa melakukan perlawanan. Tetapi kesadaran itu
datangnya telah terlambat. Betapapun panjang nafasnya, namun akhirnya ia pun
menjadi terengah-engah. Tenaganya semakin susut, sehingga serangannya menjadi
semakin tidak terarah. Namun demikian, Swandaru masih tetap memancingnya.
Kadang-kadang ia berdiri selangkah di depannya. Kemudian meloncat dengan
cepatnya, hampir tidak diketahui bagaimana mungkin dilakukan, anak itu sudah
berada di sisinya. Wita yang hampir kehabisan nafas itu sudah hampir tidak
mampu berbuat apa-apa. Dalam keadaan yang demikian Swandaru menjadi kambuh
lagi. Sekali-sekali ia menepuk bahu Wita sambil berdesis,
“He, he,
apakah kau mencari sasaran yang paling baik di tubuhku? Ini, lihatlah. Kalau
kau berhasil mengenainya, aku menyerah,” berkata Swandaru sambil menunjukkan
dahinya.
“Kau tidak
usah memukul sampai kepalaku pening. Kalau kau berhasil menyentuh saja, kau
menang.”
“Gila!” teriak
Wita.
“Kau pun tidak
dapat melakukannya.”
“He, kau
sangka aku tidak dapat menyentuh dahimu?”
“Tidak.”
Belum lagi
mulut Wita terkatup, tangan Swandaru telah mendorong dahinya sehingga ia hampir
terjatuh.
“Kau bilang
aku tidak mampu?”
“Curang. Aku
belum mapan.”
“O, begitu?”
Tetapi tenaga
Wita benar-benar sudah habis. Nafasnya seperti akan terputus di tenggorokan.
“Bagaimana?”
bertanya Swandaru.
“Persetan!”
desis Wita, “Ayo, keroyok aku.”
“Ah,” Swandaru
berdesis, namun ia pun kemudian tertawa,
“jangan menipu
diri sendiri. Berkatalah sebenarnya, bahwa kau sudah tidak mampu lagi untuk
berkelahi. Aku pun akan berhenti pula, dan kita mulai berbicara dengan mulut.”
“Tidak ada
yang akan kita bicarakan. Serang aku atau kalian pergi dari sini.”
“Kemana aku
dan anak-anak muda Sangkal Putung harus pergi? Ini padukuhan dan kademangan
kami.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar