Jilid 059 Halaman 2


“Katakanlah. Mungkin kau mendapat pesan dari pimpinanmu untuk menakut-nakuti kami? Untuk mengatakan bahwa tempat ini sudah terkepung rapat-rapat tanpa dapat ditembus oleh ujung duri sekali pun? Bahwa mereka akan datang menumpas kami dengan cara yang paling mengerikan sesuai dengan gelar yang mereka sebut, Maharaja Kajiman? Ayo, apalagi. Pilihlah kata-kata yang paling dahsyat dari perbendaharaan bahasamu.”
Dada ketiga orang itu berdesir tajam sekali. Ternyata Sutawijaya itu dapat menebak tepat, seakan-akan ia melihat apa yang tersimpan di dalam hati mereka. Namun justru mereka menjadi semakin diam. Bahkan hampir berbareng ketiganya menundukkan kepala.
“Nah, kalau memang sudah tidak ada lagi yang akan kalian katakan, tinggalkan tempat ini. Aku menjadi beriba hati melihat wajah-wajah kalian yang memelas. Aku tidak akan membunuh kalian bertiga. Tetapi katakan, katakan kepada pimpinanmu bahwa aku akan membunuh siapa saja yang datang kemudian dengan cara seperti yang kalian pergunakan. Menyombongkan diri dan mencoba berbohong meski pun kalian tahu, bahwa semuanya tidak akan berarti apa-apa. Dan itu adalah suatu kebohongan yang besar bagi diri kalian sendiri, seolah-olah kalian akan dapat menghapus kenyataan yang sudah terjadi. Apakah kalian mengerti?”
Ketiga orang itu tiba-tiba saja menganggukkan kepala mereka.
“Sekarang pergilah, pergilah.”
“Baik, baik Tuan.”

Dengan tergesa-gesa mereka meloncat ke punggung kuda mereka. Tetapi mereka pun segera berloncatan turun kembali dengan tergesa-gesa. Bahkan salah seorang dari mereka hampir saja jatuh terjerembab, ketika mereka mendengar Swandaru membentak,
“Jangan naik ke atas kudamu. Turun! Bawa kudamu ke luar halaman lebih dahulu.”
“Ah,” Kiai Gringsing berdesis. Tetapi hampir semua orang yang menyaksikan tingkah laku ketiga orang berkuda itu tersenyum.
Setelah berada di luar halaman, barulah ketiganya meloncat ke punggung kuda mereka. Sekali lagi mereka berpaling, dan mereka melihat wajah-wajah yang sedang memandangi mereka. Wajah-wajah yang seakan-akan memancarkan suatu wibawa yang agung. Terlebih-lebih lagi anak muda yang bernama Raden Sutawijaya, putera Ki Gede Pemanahan yang juga menjadi putera angkat Sultan Pajang. Sejenak kemudian, ketiga orang itu pun meninggalkan barak itu. Semakin lama kuda mereka berpacu semakin cepat menyusup ke dalam rimbunnya dedaunan dan hilang di kejauhan, ditelan oleh pepohonan hutan yang semakin dalam menjadi semakin lebat. Tetapi ketiga orang itu telah mengenal jalan sebaik-baiknya. Setelah menyusup di rimbunnya dedaunan hutan yang cukup lebat, maka mereka pun sampai ke sebuah longkangan kecil. Sebuah lapangan rumput sempit yang seakan-akan sengaja dibuat di tengah-tengah hutan itu, karena pepohonan tidak dapat tumbuh di atas tanah yang berbatu-batu padas. Ketiga orang itu berhenti sejenak. Mereka memandang berkeliling. Kemudian salah seorang dari mereka terdengar melontarkan bunyi yang sudah banyak dikenal. Suara burung kedasih. Agaknya suaranya itu telah memanggil beberapa orang keluar dari lebatnya hutan disekeliling lapangan sempit itu. Seorang di antara mereka adalah Kiai Damar.
“Apa kata mereka?” bertanya Kiai Damar.
Ketiga orang itu termangu-mangu, sejenak.
“He, apakah kata mereka? Apakah kau dapat bertemu langsung dengan Sutawijaya?”
Ketiga orang itu pun kemudian turun dari punggung kuda mereka. Salah seorang dari mereka menjawab,
“Ya, kami sudah bertemu dengan Sutawijaya sendiri.”
“Kau lakukan seperti pesanku sebelumnya?”
“Ya.”
“Kau tidak turun dari kudamu?”
“Ya. Aku tidak turun dari punggung kuda.”
“Bagus. Apa katanya.”
Orang itu ragu-ragu sejenak, namun kemudian ia menjawab,
“Tidak apa-apa. Ia tidak mempersoalkannya.”
“Anak setan! Apakah ia tidak bertanya kenapa kau tidak turun dari punggung kuda dan dengan demikian memberi kesempatan kepadamu untuk menjawab seperti yang aku katakan?”
“Ya, ya, mereka memang bertanya, kenapa aku tidak turun dari kuda. Mereka menganggap bahwa berbicara dengan tetap duduk di atas punggung kuda adalah tidak sopan sama sekali. Apalagi di halaman barak itu.”
Kiai Damar mengerutkan keningnya. Sambil membentak ia bertanya,
“Jadi bagaimana sebenarnya?”
“Raden Sutawijaya memang mengatakan demikian. Dan aku disuruhnya turun. Tetapi aku tidak mau.”
“Dan kau katakan juga alasan itu?”
“Ya. Aku berkata bahwa aku adalah utusan dari Kerajaan Mataram Kajiman.”
“Lalu?”
“Lalu,” orang itu menjadi ragu-ragu.
“Lalu, apa katanya? Apakah ia mengangguk-anggukkan kepalanya, apakah ia bertanya lagi, dan apakah ia menjadi ketakutan dan kemudian mendengarkan semua permintaanmu?”
Orang itu menggeleng. Jawabnya
“Tidak. Ia tidak berbuat demikian.”
“Lalu, apa katanya?”
“Aku dipaksanya juga turun. Ia mengetahui segalanya. Ia mengetahui, bahwa sikapku sama sekali tidak wajar.”
“Dan kau mau juga turun?”

Orang itu menjadi semakin ragu-ragu. Sejenak dipandanginya kedua kawannya. Tetapi keduanya menundukkan kepala mereka.
“He, apakah kalian turun juga?”
Perlahan-lahan orang itu menganggukkan kepalanya. Suaranya menjadi lambat sekali,
“Ya, aku terpaksa turun.”
“Gila kau!” Kiai Damar tiba-tiba meloncat maju dan mencengkam baju orang itu. Sambil mengguncang-guncangnya ia berkata,
“Kau ternyata tidak mampu melakukan tugas yang aku bebankan kepadamu. Ternyata kau tidak lebih dari tikus celurut yang licik. Kenapa kau tidak dapat mengatasi wibawanya dengan kepribadianmu yang kuat? Aku kira hatimu benar-benar berlapis baja. Ternyata kau sama sekali tidak mampu melakukan tugas ini.”
“Tetapi, tetapi,” orang itu tergagap,
“ternyata Sutawijaya mempunyai perbawa yang lain. Aku tidak dapat menatap matanya dan aku tidak berhasil menolak perintahnya.”
“Kau yang pengecut!” bentak Kiai Damar lebih keras lagi sambil mengguncang-guncangnya lebih keras pula. Lalu tiba-tiba orang itu menggeram,
“Kau memang pantas dibunuh. Kau tidak berguna sama sekali di sini.”
Orang itu menjadi pucat. Lalu,
”Ampun. Tetapi aku jangan dibunuh. Lebih baik bagiku untuk ikut serta di dalam peperangan melawan Sutawijaya sekali pun daripada harus bersikap seperti yang Kiai pesankan. Dan barangkali seandainya aku harus mati, aku memilih mati di peperangan.”
Kiai Damar menggeretakkan giginya. Sambil mendorong orang itu, ia melepaskan bajunya. Namun dengan demikian orang itu seakan-akan telah terlempar jatuh hampir di kaki kudanya. Sambil menghentakkan tangannya Kiai Damar pun kemudian berkata,
“Memang tidak ada jalan lain, aku harus merebut mereka dengan kekerasan.” Ia berhenti sejenak, lalu,
“Bukankah kau juga akan mengatakan bahwa kau gagal membawa orang-orang itu kemari.”
“Ya, tetapi…………”
“Diam. Aku tidak bertanya kepadamu. Aku sudah tahu. Kau menjadi ketakutan dan sama sekali tidak dapat berkata apa-apa karena kau menjadi gemetar.” Kiai Damar diam sejenak, lalu,
“tidak ada jalan lain. Selagi daerah itu masih terpisah, dan selagi pengawal yang datang belum begitu banyak. Kita akan mengerahkan segenap kekuatan. Kita merebut orang-orang itu, atau kita akan menghancurkan semuanya, agar kegagalan-kegagalan di daerah ini tidak diketahui oleh daerah-daerah lain. Seandainya orang-orang di daerah pembukaan hutan yang lain mendengar, bahwa daerah ini hancur lebur karena kesiku oleh hantu-hantu dari Kerajaan Mataram, maka kedudukan kita akan menjadi semakin kuat di daerah itu.”
Orang-orang yang ada di tempat itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka kemudian mendengar Kiai Damar berkata,
“Sudah tentu, kita memerlukan bantuan beberapa orang kuat lagi.”
Orang-orang Kiai Damar itu masih mengangguk-anggukkan kepala mereka, Mereka pun agaknya sadar, tanpa bantuan orang-orang kuat seperti Kiai Damar, maka tidak akan ada gunanya, meski pun jumlah mereka akan ditambah.
“Kita akan segera menghubungi Kiai Telapak Jalak,” berkata Kiai Damar seterusnya,
“kemudian kita hancurkan saja barak itu. Kalau kita tidak berhasil membawa orang-orang kita yang tertawan, dan tidak pula berhasil menghancurkan barak, maka semua yang memungkinkan membuka rahasia kita harus kita musnahkan.”
“Jumlah mereka tidak begitu banyak,” berkata salah seorang dari mereka.
“Pengawal Sutawijaya tidak banyak. Kekuatan mereka sangat terbatas.”
“Ya. Kita harus segera berbuat sesuatu sebelum ada pengawal yang lain menambah jumlah itu,” sahut Kiai Damar.
”Sekarang kita harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Kita tidak boleh gagal lagi.”
Anak buahnya tidak menjawab lagi. Mereka pun segera pergi menghilang di dalam lebatnya pepohonan. Namun masih juga terdengar Kiai Damar berkata
“Awasi daerah itu baik-baik, jangan ada seorang pun yang lolos dan sempat menghubungi orang di luar daerah itu.”

Daerah terpencil itu memang benar-benar sudah terkepung, seperti tanggapan naluriah dan sesuai dengan firasat orang-orang yang ada di dalam kepungan itu. Di antaranya adalah Sutawijaya, Sumangkar, Kiai Gringssing, dan murid-muridnya.
“Angger Sutawijaya,” berkata Kiai Gringsing kemudian setelah mereka saling berdiam diri sejenak,
“sebaiknya orang-orang yang berada di barak sebelah, disatukan di dalam barak ini saja. Adalah sangat berbahaya, apabila mereka terpencar di dua tempat yang yang agak berjauhan. Mungkin orang-orang yang tidak kita ketahui itu akan berbuat licik, dengan mempergunakan perempuan dan anak-anak kita sendiri sebagai perisai.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Pendapat itu memang harus diperhatikan. Sudah tentu orang-orang di daerah terpencil ini harus berusaha melindungi perempuan dan anak sebaik-baiknya. Karena itu, maka Sutawijaya pun kemudian memerintahkan beberapa orang pengawalnya, beserta beberapa orang laki-laki dari barak itu, disertai kedua murid Kiai Gringsing, untuk membawa mereka menjadi satu di dalam barak ini.
“Kita akan menjadi saling berdesak-desakkan, “berkata Kiai Gringsing,
”tetapi itu adalah cara yang paling baik untuk menjaga keselamatan mereka. Laki-laki yang telah menyatakan dirinya ikut serta menjadi pengawal, akan berada di luar barak dan memberikan tempatnya kepada perempuan dan anak-anak”
Sejenak kemudian, maka mereka pun telah membawa perempuan dan anak-anak yang gelisah ke dalam barak itu. Betapa kecemasan membayang di wajah mereka. Anak-anak saling berpegangan ujung baju ibunya yang pucat karena ketakutan pula. Beberapa lama mereka selalu hidup dalam kecemasan dan ketakutan. Tetapi mereka belum pernah mengalami masa-masa seperti itu. Mereka belum pernah mengungsi dari barak mereka, dan tinggal di barak yang lain, meninggalkan dapur dan alat-alatnya yang setiap hari menjadi tanggung jawab mereka.

Tetapi agaknya kini keadaan sudah menjadi semakin memuncak, sehingga mereka harus mengungsi dari tempat mereka.
“Alat-alat dapur yang penting harus dibawa,” berkata seorang pengawal,
“kita tidak harus berhenti makan. Justru di dalam keadaan ini kita harus makan sebanyak-banyaknya. Apakah sisa bahan mentah sudah menipis?”
“Tidak,” jawab seorang laki-laki tua,
“bahan mentah masih cukup banyak.”
Orang-orang itu pun kemudian hilir-mudik mengambil alat-alat dapur dan bahan-bahan mentah yang diperlukan. Seperti kata-kata pengawal itu, bahwa mereka tidak harus berhenti makan. Mereka kini tinggal bersama-sama di dalam satu barak. Dengan demikian, mereka tidak perlu membagi tenaga untuk melindungi dua tempat yang terpisah. Kini mereka dapat memusatkan pertahanan mereka di sekitar satu barak itu saja. Ternyata bahwa sampai matahari tenggelam tidak terjadi apa pun pada barak itu. Namun mereka harus berhati-hati bahwa di malam hari semuanya dapat terjadi. Karena itu, maka setiap orang harus tetap bersiaga. Dalam waktu yang sangat sempit itu, para pengawal masih mencoba memberikan beberapa petunjuk untuk mempergunakan senjata masing-masing, bagi mereka yang sama sekali belum pernah mengalami perkelahian sama sekati. Sebagian dari mereka, meski pun dimasa kanak-anak, pada umumnya sudah pernah mengalaminya. Namun apa yang akan mereka hadapi kini adalah jauh berbeda daripada berkelahi di antara kawan sendiri. Sebagian dari mereka, mencoba mengayunkan pedangnya menebas kayu yang ditanam kuat-kuat ditanah. Mereka belajar menangkis serangan dan mencoba menghindar. Semuanya adalah serba sedikit dan sekedarnya. Namun yang penting bagi mereka, bagaimana mereka menempatkan diri di dalam perkelahian bersama.
Ketika malam yang semakin kelam kemudian turun menyelubungi daerah yang terpencil itu, maka para pengawal pun mulai bertebaran di sekitar barak bersama-sama beberapa orang laki-laki dan terutama mereka yang masih cukup muda. Sutawijaya sendiri duduk di atas tangga serambi bersama Kiai Gringsing dan Sumangkar, sementara Agung Sedayu dan Swandaru berjalan hilir-mudik di sekitar barak itu.
“Kita harus menyiapkan perangkap” desis Swandaru.
“Apa maksudmu?” bertanya Agung Sedayu.
“Aku kira mereka tidak sekedar datang berjalan kaki. Satu dua di antara mereka pasti ada yang berkuda.”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Sejenak ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi kemudian dahinya berkerut-merut.
“Bagaimana kau akan menjebak mereka?” bertanya Agung Sedayu.
“Dengan tali. Aku akan mengikat tali pada pepohonan setinggi lutut. Kura-kuda itu akan melanggar tali-tali itu dan aku kira, mereka akan jatuh terguling.”
“Ya. Penunggangnya akan terlempar jatuh. Tetapi mereka akan segera bangun dan langsung menyerang barak ini meski pun tidak di atas punggung kuda.”
“Bukankah dengan demikian, kita dapat mengurangi kemampuan pasukan mereka?”
“Pengaruhnya kecil sekali.”
Swandaru merenung sejenak. Namun kemudian ia pun mengangguk-anggukkan kepalanya sambil bergumam
“Ya kecil sekali. Tetapi kejutan itu akan mengganggu gerakan mereka. Setidak-tidaknya menghambat kecepatan maju pasukan lawan.”

Sekali lagi Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya,
“Memang ada pengaruhnya. Apakah kau akan mencobanya? Kita harus membuat tali lulup yang panjang. Kemudian kita mengikatnya dari pohon ke pohon, setinggi lutut.”
Swandaru mengangguk-angguk. Katanya kemudian
“Besok pagi-pagi aku akan mencari lulup sebanyak-banyaknya. Aku akan membuat tampar dan aku akan membuat perangkap-perangkap itu. Aku juga akan membuat lubang-lubang yang dalam, yang akan kita tutup dengan dedaunan. Kuda-kuda mereka pasti akan terperosok ke dalamnya. Bahkan seandainya mereka tidak berkuda pun, mereka akan terjerumus dan memerlukan waktu untuk memanjat ke atas.”
“Bagaimana kalau kita sendiri yang terjerumus ke dalamnya?”
“Kita akan memberikan tanda. Tanda itu akan kita beritahukan kepada semua orang di barak ini agar bukan merekalah yang justru terperosok masuk.”
“Tetapi bagaimana kalau mereka datang malam ini?
Swandaru menarik nafas. Jawabnya
“Kita tidak sempat.”
Agung Sedayu tidak bertanya lagi. Mereka masih berjalan hilir-mudik dari satu sudut ke sudut yang lain, sambil mengawasi orang-orang yang bertebaran di sekitar barak. Bahkan masih juga ada yang mencoba-coba bermain dengan senjata. Ada yang berlatih mempergunakan parang, tombak, sebuah kapak, dan bahkan ada yang membiasakan diri mempergunakan sepotong kayu panjang sebesar lengan tangannya, yang ujungnya diruncingkan, sebagai pengganti tombak. Ada juga yang mempergunakan panah dan busur yang biasa mereka pergunakan untuk berburu.
“Tetapi kalau lawanmu sudah berada di depan hidungmu, kau tidak akan dapat mempergunakan lagi,” berkata Agung Sedayu kepada orang itu. Lalu,
“Jadi kau harus mempergunakan senjata rangkap selain busur dan anak panah.”
“Apa?” ia bertanya.
“Apa saja.”
Orang itu termenung sejenak, lalu,
“Aku mempunyai tongkat sepotong besi.”
“Nah, pergunakan tongkatmu itu,” sahut Agung Sedayu.
“Cobalah, bagaimana sebaiknya kau mempergunakan tongkat itu sebagai senjata. Para pengawal itu akan dengan senang hati mengajarmu.”
Orang itu mengangguk-angguk. Tetapi tampaknya wajahnya tidak yakin bahwa tongkatnya itu dapat dipergunakannya sebagai senjata. Bahkan ia bertanya,
“Tetapi tongkat itu tidak tajam ujungnya. Apakah aku dapat mempergunakan?”
“Ujung cambukku juga tidak tajam seperti pedang.”
“Ya. Ya. Aku akan mencoba mengenal cara untuk mempergunakannya.”

Orang itu pun kemudian berlari-lari masuk ke dalam barak. Bahkan kadang-kadang ia harus melangkahi seseorang yang sedang berbaring dengan gelisah.
“Ada apa?” bertanya seorang tua.
“Tongkatku,” jawabnya singkat.
Maka sejenak kemudian ia sudah diajari oleh seorang pengawal, bagaimana sebaiknya mempergunakan sebatang tongkat sebagai senjata, meskipun malam sudah menjadi semakin malam.
“Sudahlah,” berkata para pangawal yang masih juga memberikan beberapa petunjuk. Lalu,
“Sekarang sebaiknya kalian tidur. Di mana pun juga, karena tempat kalian dipergunakan oleh perempuan dan anak-anak. Kalian dapat tidur di emper-emper samping barak dengan sehelai ketepe, anyaman belarak. Atau di atas rumput kering, atau di mana saja. Biarlah kami para pengawal yang mengawasi keadaan. Kalian tidak perlu lagi takut kepada hantu, karena hantu-hantu itu kini telah kemanungsan dan tidak lagi dapat kembali menjadi hantu.”
Orang-orang dari barak itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka memang sudah merasa lelah dan kantuk, sehingga di mana pun mereka merebahkan diri, mereka akan segera tertidur dengan tenang. Mereka tahu, bahwa para pengawal akan tetap berjaga-jaga, dan hantu-hantu pun sudah tidak akan mengusik lagi. Para pengawallah yang kemudian membagi diri dalam kelompok-kelompok kecil yang bergantian mengawasi barak itu dari segala penjuru bersama Agung Sedayu dan Swandaru. Tetapi sampai cahaya fajar memerah di langit, sama sekali tidak ada seorang pun yang datang mendekati barak itu. Orang-orang yang tertidur dapat mendengkur sampai pagi tanpa ada yang mengusiknya.

Dalam pada itu, Kiai Damar memang belum siap untuk menyerang malam itu. Ia sedang menghubungi beberapa pihak untuk mendapat kekuatan yang meyakinkan. Kiai Telapak Jalak pun telah dihubunginya pula. Beberapa orang bersama Kiai Telapak Jalak sendiri telah datang untuk mengetahui, siapa sajakah yang ada di barak itu, sehingga Kiai Damar tidak dapat menyelesaikannya sendiri.
“Gembala yang kepanjingan setan itu,” geram Kiai Damar setelah ia berceritera panjang lebar kepada Kiai Telapak Jalak.
Kiai Telapak Jalak mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi sebenarnya ia tidak begitu yakin pada ceritera Kiai Damar. Bagaimana mungkin gembala dan anak-anaknya itu mampu mengalahkan Kiai Damar bersama orang-orangnya yang jumlahnya lebih banyak.
“Apakah kau tidak dipengaruhi oleh sesuatu yang membuat kau kurang cermat menilai keadaan?” bertanya Kiai Telapak Jalak.
“Tidak. Aku kira aku sudah mencoba menimbangnya berulang kali. Aku tidak dapat mengalahkan salah seorang dari orang-orang yang ada di barak itu. Orang-orangku pun dapat dikalahkan oleh gembala dan dua anak-anaknya. Ketika satu demi satu orang-orangku jatuh, maka tidak ada jalan lain bagiku daripada menyingkir sebelum mereka sempat beramai-ramai menangkap aku.”
Kiai Telapak Jalaj mengangguk -anggukkan kepalanya.
“Apakah kau tidak melihat tanda-tanda yang aneh pada mereka? Atau barangkali ciri-ciri yang khusus?”
Kiai Damar menggeleng. Jawabnya,
“Tidak. Tetapi seandainya dapat juga disebut ciri, gembala itu mempergunakan cambuk sebagai senjatanya. Demikian juga kedua anak-anaknya. Tetapi yang seorang lagi mempergunakan jenis senjata yang lain. Benar-benar senjata. Sepasang trisula kecil dengan seutas rantai.”
Kiai Telapak Jalak mengerutkan keningnya. Ia mencoba mengingat-ingat. Tetapi kemudian ia menggeleng sambil berkata,
“Aku belum pernah mengalami perkelahian dengan orang-orang yang memiliki jenis senjata itu. Tetapi, mungkin mereka mempergunakan segala jenis senjata yang dapat mereka ketemukan, kecuali seorang dari padanya, yang mempergunakan sepasang trisula itu.”
“Dan satu hal yang menarik. Mereka mencoba menyebut-nyebut nama Kiai Dandang Wesi dari Gunung Merapi.”
Kiai Telapak Jalak mengangguk-anggukkan kepalanya sekali lagi. Setelah dengan singkat Kiai Damar menceriterakan Kiai Dandang Wesi, maka Kiai Telapak Jalak pun berkata,
“Mereka ingin membalas cara-cara yang kita pergunakan. Mereka akan melawan hantu dengan hantu.”
“Aku sudah menduga.”
“Aku sependapat, bahwa daerah ini harus dibereskan dahulu. Di daerahku, aku masih tetap menguasai keadaan. Orang-orang yang membuka hutan di daerah itu, masih selalu ketakutan mendengar gemerincing kaki-kaki kuda di malam hari. Orang-orangku yang ada di antara mereka pun masih dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Demikian juga orang-orang Kiai Branjangan di ujung Selatan. Ia masih juga berhasil menguasai daerahnya baik-baik. Bahkan hampir setiap hari berdatangan ke tempatnya yang terpencil itu, orang-orang yang mohon berkah dan perlindungan. Dengan mulutnya ia berhasil semakin memperkecil arti usaha pembukaan hutan itu.”
Kiai Damar mendengarkannya dengan saksama. Dan tiba-tiba ia berkata,
”Apakah kita perlu mengundang Kiai Branjangan?”
Kiai Telapak Jalak menggelengkan kepala. Katanya,
”Kau tidak percaya kepada dirimu sendiri. Hanya Ki Gede Pemanahan sajalah yang dapat mengalahkan kita di daerah ini. Biarlah kita mencoba menghadapi mereka. Biarlah aku melawan orang yang bersenjata trisula itu. Kau kuasai orang bercambuk, yang kau sebut sebagai gembala itu.”
“Kita masih harus memperhitungkan anak-anaknya.”
“Kita pilih, dua orang kita yang terbaik.”
“Raden Sutawijaya?”
“Kita sediakan dua orang pilihan yang lain.”

Kiai Damar mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Jumlah pengawal Raden Sutawijaya itu pun tidak begitu banyak,” Kiai Telapak Jalak berhenti sejenak.
”Bagaimana dengan orang-orang di barak itu sendiri?”
“Mereka dapat diabaikan. Mereka masih selalu dibayangi oleh ketakutan. Seandainya mereka berusaha berbuat sesuatu, kekuatan mereka tidak akan banyak berarti.”
Kiai Telapak Jalak mengangguk-anggukkan pula. Ia sudah mempunyai gambaran, berapa besarnya kekuatan yang akan dihadapinya. Sebagai seorang yang berilmu tinggi di dalam olah kanuragan, maka Kiai Telapak Jalak mempunyai kepercayaan kepada diri sendiri. Ia menganggap bahwa selama ini Kiai Damar telah salah hitung. Kiai Damar terlampau menganggap ringan atas orang-orang aneh di antara mereka yang tinggal di dalam barak.
“Besok pengawas-pengawas kita akan mendekati barak itu,” berkata Kiai Telapak Jalak. ”Aku ingin mengerti keadaan di sekitarnya. Sesudah itu baru kita akan menyerang dan melenyapkan segala bekas-bekas yang ada di daerah ini. Kita harus menghilangkan semua kesan, bahwa di sini pernah ada barak, para penghuninya, gardu-gardu pengawas, dan bahkan bahwa di daerah ini pernah dikunjungi oleh Sutawijaya.”
“Tetapi, bagaimanakah sikap Pajang atas kejadian itu?”
“Kita akan menyebarkan pendapat, bahwa mereka telah dikutuk oleh hantu-hantu Alas Mentaok. Hanya orang-orang di daerah ini sajalah yang sedikit banyak telah mengetahui rahasia hantu-hantu itu. Karena itu, apabila mereka dilenyapkan, maka lenyap pulalah semua anggapan, bahwa sebenarnya bukan hantu-hantulah yang telah mengganggu mereka selama ini.”
Kiai Damar sependapat dengan Kiai Telapak Jalak. Mereka menunda serangan mereka untuk membuat perhitungan-perhitungan yang lebih baik.

Kiai Telapak Jalak masih akan mengirimkan orang-orangnya untuk mengetahui keadaan di sekitar barak itu, sehingga dengan demikian ia akan dapat memperhitungkan keadaan dengan tepat, setidak-tidaknya lebih baik dari yang pernah dilakukan oleh Kiai Damar. Karena itulah, maka di malam pertama itu, tidak ada suatu tindakan apa pun yang dilakukan oleh Kiai Damar dengan pasukannya. Demikian pulalah agaknya dihari berikutnya, selain beberapa orang pengawas yang mencoba mendekati barak. Ketika malam telah lampau tanpa terjadi sesuatu, maka orang-orang di dalam barak itu mulai meragukan perhitungan Sutawijaya. Mereka menganggap bahwa kemenangan gembala itu pasti akan membuat lawan menjadi semakin ketakutan, bukan sebaliknya. Tetapi baik Sutawijaya mau pun Kiai Gringsing dan kedua muridnya masih tetap di dalam pendirian mereka. Bahkan mereka menganjurkan agar orang-orang di barak itu mempergunakan waktu yang pendek itu untuk mempersiapkan dirinya menghadapi kesulitan yang dapat saja datang setiap saat. Mula-mula mereka agak segan juga. Lebih baik bagi mereka untuk beristirahat, berbaring-baring di atas anyaman belarak jambe, atau duduk-duduk di serambi. Tetapi karena desakan para pengawal, maka mereka pun berdiri juga di halaman sambil membawa senjata masing-masing. Sejenak kemudian mereka pun berlatih kembali mengayunkan dan mempergunakan senjata mereka. Mereka menebas batang-batang kayu dengan pedang, menusuk-nusuk kayu yang lunak dengan ujung tombak. Mencoba menangkis serangan dan mencoba pula menghindar. Tetapi ketika keringat mereka mulai mengalir, kembali mereka dijalari oleh keseganan. Tetapi mereka terpaksa memaksa diri masing-masing untuk tetap memegang senjata di halaman. Dalam pada itu, Agung Sedayu dan Swandaru tidak ikut serta menunggui latihan-latihan itu. Mereka pergi ke dalam gerumbul-gerumbul di sekitar barak. Dengan lulup kayu, mereka mencoba merentang dari pohon yang satu ke pohon yang lain.
“Apabila mereka berlari dengan tergesa-gesa, mereka tidak akan melihatnya di malam hari, Kakang,” berkata Swandaru.
“Apakah menurut perhitunganmu, mereka akan menyerang di malam hari?”
“Ya.”
“Kenapa?”
“Sekedar kebiasaan. Mereka biasa bergerak di malam hari selagi mereka bermain hantu-hantuan. Pasti tidak akan terpikir oleh mereka untuk berbuat sesuatu di siang hari.”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Alasan yang sederhana sekali. Sama sekali bukan didasari oleh perhitungan medan yang bakal terjadi apabila mereka menyerang, tetapi sekedar didasari alasan yang sangat sederhana. Namun demikian, dugaan itu masuk akal juga.
“Apakah kau mempunyai dugaan lain?“
Agung Sedayu menggeleng. Katanya,
”Aku juga berpendapat demikian. Mereka akan datang di malam hari. Tetapi bukan sekedar karena kebiasaan. Tetapi mereka pasti menganggap bahwa di malam hari orang-orang di barak kita selalu dibayangi oleh ketakutan. Meskipun seandainya mereka sadar, bahwa orang-orang di barak kita tidak lagi takut terhadap hantu-hantu jadi-jadian itu, tetapi kesan yang mereka dapat adalah, malam hari yang gelap adalah saat-saat yang menakutkan sekali. Di dalam gelapnya malam, apa pun dapat terjadi.”
Swandaru lah yang kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia menjawab,
”Pertimbangan yang terlampau sulit. Kenapa kau tidak mencari alasan yang mudah dan dapat masuk akal? Barangkali kau sekedar tidak mau kalah dengan pikiranku.”
“Macammu,” desis Agung Sedayu.
“Kalau tidak, kenapa kau tidak mengiakan saja pendapatku?”
“Baiklah, aku sependapat dengan kau. Aku mengiakan pendapatmu.”
“Sudah tentu aku tidak puas dengan cara itu.”
“Jangan ribut,” sahut Agung Sedayu kemudian,
”sekarang, manakah yang akan dipasang rintangan-rintangan tersembunyi ini?”
Swandaru mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun mengangguk-angguk,
”Ya, ya. Kita sedang memasang rintangan-rintangan.”

Setelah mereka menimbang-nimbang sejenak, maka mereka pun menemukan beberapa arah yang menurut pertimbangan mereka, akan dilalui orang-orang yang akan mendekati barak itu. Kalau sebelum mereka sampai ke tempat itu, maka orang-orang dari barak itu sudah menunjukkan perlawanan, maka orang-orang yang datang itu pasti akan segera berlari menyerang. Rintangan-rintangan ini akan dapat menahan laju serangan itu dan memberi kesempatan orang-orang yang sedang bertahan menjadi mapan, menghadapi lawan-lawan mereka yang berdatangan, tetapi tidak seperti banjir yang melanda tanggul di tikungan yang dalam. Demikianlah Agung Sedayu dan Swandaru telah merentangkan beberapa utas tali lulup setinggi betis, dengan harapan agar lawan mereka mulai terganggu sebelum pertempuran yang sebenarnya mulai. Tanpa mereka sadari, maka kedua orang itu pun menjadi semakin jauh.
“Haus sekali,” desis Swandaru.
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika ia memandang sekelilingnya, barulah ia sadar, bahwa ia telah berada di tempat yang memang cukup jauh.
“Aku haus sekali,” sekali lagi Swandaru berdesis.
“Marilah kita kembali. Kalau kita mempunyai waktu, kita akan pergi memasang tali-tali semacam ini di arah yang lain.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya pula.
”Tentu kita akan pergi ke empat arah dan memasang perangkap di semua tempat itu.”
“Aku akan beristirahat dahulu sejenak,” berkata Swandaru kemudian. Perlahan-lahan ia melangkah ke arah sebatang pohon yang rimbun meskipun tidak begitu tinggi, yang tumbuh di antara batang-batang perdu. Agung Sedayu pun ikut pula duduk di sampingnya. Tetapi ia tidak bersandar pohon itu. Tiba-tiba saja keduanya terkejut ketika mereka mendengar kuda meringkik. Dengan serta-merta mereka, menjatuhkan diri dan berguling menyusup ke dalam batang-batang perdu.
“Kuda. Aku mendengar ringkik kuda, benar?”
“Ya, aku juga mendengar.”
Keduanya pun kemudian bersembunyi semakin rapat. Sambil saling berpandangan mereka mendengar suara derap kuda semakin lama semakin dekat. Keduanya hampir tidak bernafas lagi ketika kuda-kuda itu berhenti beberapa langkah saja di hadapan mereka bersembunyi.
“Jangan terlampau dekat,” berkata salah seorang dari orang-orang berkuda itu.
“Masih terlampau jauh.”
“Tidak. Kita sudah dekat dengan barak itu. Kita tinggalkan kuda-kuda kita di sini. Kita akan melihat, apa yang dikerjakan oleh orang-orang di dalam barak itu.”

Dada Agung Sedayu dan Swandaru menjadi berdebar-debar. Kalau orang-orang itu berjalan terus, apakah mereka tetap di atas punggung kudanya, atau mereka mendekat dengan berjalan kaki, maka mereka pasti akan melihat rahasia yang baru saja dipasang. Tali-tali lulup yang terentang di antara pepohonan.
“Apakah kita akan mendekati barak itu sekarang?”
“Ya,” jawab kawannya.
“Baiklah. Kita akan berjalan kaki supaya kedatangan kita tidak mereka ketahui.”
Swandaru menggamit Agung Sedayu yang mulai dibasahi oleh keringat dinginnya, ia menjadi bimbang. Apakah orang-orang itu akan dibiarkannya saja, atau sebaiknya orang-orang itu ditangkapnya? Keduanya tidak memberikan keuntungan bagi barak itu. Kalau orang yang datang itu dibiarkannya. Mereka akan mengetahui rahasia tentang tali-tali dan barangkali juga mereka akan melihat dari kejauhan, orang-orang yang sedang berlatih di halaman barak itu. Tetapi kalau mereka akan ditangkapnya, maka ketidak-hadiran mereka kembali ke dalam lingkungan mereka, akan dapat menumbuhkan kecurigaan dan persoalan bagi mereka, sehingga mereka akan menjadi lebih berhati-hati dan bahkan akan lebih memperkuat pasukan yang akan datang ke barak ini, karena baik Agung Sedayu mau pun Swandaru yakin, bahwa orang-orang itu adalah orang-orang yang dikirim oleh Kiai Damar untuk melihat keadaan. Dalam keragu-raguan itu, Agung Sedayu melihat orang-orang itu sudah siap untuk turun dan kuda-kuda mereka.
“Empat orang,” katannya di dalam hati.
Tiba-tiba saja tanpa disengaja, tangannya menyentuh sebutir batu sebesar telur. Batu itu ternyata telah menumbuhkan suatu pemecahan yang barangkali dapat dilakukannya. Sambil menunjukkan batu itu kepada Swandaru, Agung Sedayu memberikan isyarat, bahwa ia akan melempar kuda yang berhenti beberapa langkah dari mereka itu. Swandaru mengerutkan keningnya. Kemudian ia mengangguk-anggukkan kepala sambil tersenyum. Ia mengerti, bahwa Agung Sedayu akan mengejutkan kuda-kuda itu, sehingga kuda-kuda itu pasti akan berlari-larian dan sukar dikendalikan. Demikianlah, maka Agung Sedayu bergeser setapak maju. Kedua tangannya menggenggam masing-masing sebutir batu. Ketika kuda-kuda itu berdiri beberapa langkah daripadanya, dan ketika penunggangnya siap meloncat turun, maka Agung Sedayu pun segera melepaskan kedua butir batu itu, ke arah dua ekor kuda yang berdiri di paling depan. Ternyata usaha Agung Sedayu itu berhasil seperti yang diharapkan. Kedua ekor kuda itu terkejut bukan buatan. Keduanya hampir berbareng melonjak berdiri sambil meringkik keras-keras. Kemudian meloncat dan berlari tidak tentu arah.

Kedua ekor kuda yang lain pun ikut terkejut pula. Tetapi tidak seperti kedua ekor kuda yang pertama, sehingga keduanya masih dapat dikuasai, meskipun keduanya juga berlari secepat-cepatnya. Namun dengan susah payah kedua penunggangnya berhasil menarik kekangnya untuk menentukan arah, agar mereka tidak terperosok justru masuk ke dalam barak. Dengan demikian maka kedua kuda yang terakhir itu berpacu kembali ke arah darimana mereka datang. Agung Sedayu mengerutkan keningnya melihat hasil usahanya, sedang Swandaru tidak dapat menahan tertawanya. Tetapi suara tertawanya itu terputus, ketika Agung Sedayu berkata,
”He, kemana yang dua tadi berlari?”
“Entahlah,” Swandaru menggelengkan kepalanya, ”mungkin ke arah barak.“
“Marilah kita lihat. Kalau mereka tidak berhasil mengendalikan kuda-kuda mereka, maka kuda-kuda itu pasti akan tersangkut tali yang sudah kita rentang.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Segera ia pun meloncat berdiri seperti anak-anak yang mendapat mainan. Katanya,
”Ayo kita kejar.”
“Kau akan mengejar kuda-kuda yang sedang liar?”
“Maksudku, kita lihat, barangkali kedua ekor kuda beserta penunggangnya itu sedang berbaring di gerumbul-gerumbul liar itu.”
Agung Sedayu dan Swandaru pun kemudian berlari-larian sambil mencoba mengamati jejak kuda-kuda yang sedang kehilangan kekangan itu. Ternyata mereka berhasil menemukan jejak itu. Rerumputan yang patah terinjak-injak, bekasnya di tanah yang gembur dan ranting perdu yang patah. Sejenak kemudian Agung Sedayu berdesis dan menggamit Swandaru,
”Aku mendengar suara.”
Swandaru pun berhenti. Ia memang mendengar suara beberapa langkah di hadapannya. Ringkik kuda, gemerasak dedaunan dan desah seseorang.
“Pasti salah seorang dari keduanya. Jebakanku mengena,” berkata Agung Sedayu. Lalu,
”Uruslah. Bawalah ke barak. Mungkin aku masih harus mencari yang satu lagi.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia berkata,
”Tidak ada jejak ke arah lain. Keduanya ke arah ini.”
Agung Sedayu menggelengkan kepalanya. Ia melihat jejak yang tidak sejalan. Karena itu ia menjawab,
”Lihat, mereka beriringan sampai ke tempat ini. Tetapi kuda-kuda itu bagaikan binal, sehingga penunggangnya tidak dapat menguasainya. Jejak ini pasti salah satu di antaranya. Berputar-putar menerjang gerumbul-gerumbul ini, kemudian berbelok ke kiri.”
Swandaru mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia mengangguk-angguk.
“Cepat, sebelum ia sempat lari,” berkata Agung Sedayu yang tidak menunggu jawabnya, segera berlari mengikuti jejak kuda yang seekor lagi.

Swandaru yang dengan tergesa-gesa mendekati suara ribut itu pun segera menyakini, bahwa suara itu adalah suara kuda yang sedang berusaha melepaskan diri dari belitan tali-tali lulupnya. Sedang penunggangnya pun agaknya terpelanting dan terjatuh pula di dekatnya. Ternyata Swandaru telah mendengar orang itu mengumpat-umpat tidak keruan. Swandaru yang sudah menjadi semakin dekat, menjadi lebih berhati-hati. Ia kini bersembunyi di balik dedaunan. Namun ketika ia sudah melihat penunggang kuda itu seorang diri sambil mengibas-ngibaskan pakaiannya, maka ia pun merayap semakin dekat lagi. Sejenak kemudian, maka penunggang kuda itu berusaha menenangkan kudanya yang masih berusaha untuk bangkit. Ditepuk-tepuknya lehernya dan dipanggilnya namanya dengan suara lembut Perlahan-lahan kudanya menjadi semakin jinak. Apalagi ketika kemudian kuda itu berhasil bangun dan berdiri di atas keempat kakinya. Sambil memegang kendali, penunggangnya masih saja mengusap leher kudanya yang sudah mulai dapat dijinakkan. Meskipun kadang-kadang kuda itu masih menengadahkan kepalanya sambil meringkik tetapi kuda itu sudah tidak berusaha untuk lari lagi. Setelah kudanya menjadi tenang, maka penunggangnya melanjutkan umpatannya. Ia tidak tahu kepada siapa ia harus marah. Namun sejenak kemudian ia pun terkejut ketika tiba-tiba saja seorang anak muda yang gemuk telah berdiri di hadapannya. Sambil tertawa Swandaru memandanginya dengan tatapan mata yang aneh.
“Kasihan,” desis Swandaru,
”apakah kau terjatuh?”
“Siapa kau?” bertanya orang itu.
“Kau ingin tahu tentang aku?”
Sekali lagi orang itu mengumpat. Dan ia bertanya lagi,
“Apa maumu datang kemari?”
“Aku melihat kudamu menjadi gila. Aku mencoba melihat apakah yang terjadi kemudian. Agaknya kau terjatuh.”
“Gila.”
“Ya. Kudamu yang gila.”
“Kau yang gila.”
“Kenapa aku?”
Pertanyaan itu telah membuat penunggang kuda itu menjadi bingung. Karena itu sejenak ia tidak menjawab. Dan karena ia terdiam, maka Swandaru pun berkata pula,
”Hati-hatilah untuk lain kali. Hutan ini meskipun tidak begitu lebat di bagian ini, tetapi banyak rintangan yang dapat menjerat kaki kudamu.”

Orang itu masih berdiam diri. Agaknya ia belum menyadari bahwa kaki kudanya telah terjerat oleh tali lulup yang memang dipasang seseorang.
“Persetan,” orang itu menggeram. Dan tanpa sesadarnya ia bertanya sekali lagi,
”Siapa kau?”
Tiba-tiba saja Swandaru ingin mengganggunya. Maka jawabnya,
”Apakah kau belum pernah melihat aku?”
“Belum,” orang itu menggeleng.
“Semua orang Mataram mengenal aku. Apalagi orang orang yang sudah berada di pusat tanah ini.”
“Siapa kau?”orang itu tidak sabar.
“Jangan membentak-bentak. Aku sedang akan menyebutkan siapa aku ini.“
“Cepat, sebut namamu.”
“Aku adalah Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar.”
Sejenak orang itu terdiam. Wajahnya menjadi tegang dan matanya memancarkan sorot yang aneh. Swandaru tertawa di dalam hatinya. Ia menyangka bahwa orang itu terkeiut, bahwa tiba-tiba tanpa disangka-sangkanya ia berhadapan dengan Sutawijaya.
Tetapi dugaan Swandaru ternyata salah. Sambil menuding wajahnya, orang itu berkata,
”Jangan mencoba berbohong. Aku sudah mengenal orang yang bernama Sutawijaya. Sutawijaya tidak gemuk seperti macammu. Meskipun tidak kurus, tetapi tubuhnya langsing seperti kebanyakan orang-orang Istana.”
“Jadi kau tidak percaya?”
“Kau benar-benar gila. Aku tidak percaya.”
“Baiklah. Terserahlah kepadamu. Mungkin kau pernah melihat aku beberapa bulan yang lampau. Aku memang belum segemuk ini. Baru tiga hari aku menjadi gemuk seperti ini.”
Orang itu kini merasa, bahwa anak muda yang gemuk itu sengaja mempermainkannya. Karena itu, maka kemarahannya pun telah memuncak sampai diujung ubun-ubun. Katanya,
”Aku tidak peduli siapakah kau ini. Tetapi kau sudah membuat aku marah. Karena itu, bukan salahku, kalau aku membunuhmu.”
“Jangan berkata dengan istilah yang mendirikan bulu-bulu kudukku. Jangan sebut kematian. Lebih baik kau berbicara tentang dirimu sendiri.”
“Persetan,” giginya menjadi gemeretak,
”kau memang harus dicincang di sini.”

Swandaru mengerutkan keningnya. Dilihatnya orang itu menambatkan kudanya yang sudah jinak kembali pada sebatang pohon perdu. Dengan demikian Swandaru pun kemudian mempersiapkan dirinya. Ia sadar sepenuhnya, bahwa setelah menambatkan kudanya, orang itu pasti akan segera menyerangnya. Dugaan Swandaru itu sama sekali tidak salah. Dengan wajah yang merah padam, orang itu melangkah setapak demi setapak mendekatinya.
”Apakah kau orang dari barak itu?” orang itu menggeram.
“Ya,” jawab Swandaru.
“Adalah kebetulan sekali. Agaknya kau terlibat juga dalam kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang barak itu atas anak buah Kiai Damar.”
Swandaru mengerutkan keningnya. Dan ia pun bertanya,
“Apakah kau bukan anak buah Kiai Damar?”
Orang itu menggelengkan kepalanya. Jawabnya, ”Aku datang atas permintaan Kiai Damar. Barangkali tidak ada salahnya kalau kau tahu serba sedikit tentang aku, sebelum kau mati.”
“Ya. Aku ingin mendengar.”
“Sudah kau dengar. Aku bukan anak buah Kiai Damar.”
Swandaru mengerutkan keningnya,
”Jadi hanya itu? Hanya sekedar mengetahui bahwa kau bukan anak buah Kiai Damar.”
“Itu sudah cukup. Sekarang kau akan mati.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Sekarang aku tahu. Justru karena kau bukan anak buah dari Kiai Damar. Kau pun pasti belum mengenal aku.”
“Jangan sebut dirimu Sutawijaya lagi. Aku muak mendengarnya. Aku sudah pernah mengenal Sutawijaya. Aku pernah melihatnya.”
“Tidak. Aku tidak akan menyebut lagi bahwa aku Sutawijaya. Tetapi setiap anak buah Kiai Damar pasti mengenal aku, karena aku pernah berkelahi melawan mereka dan Kiai Damar.”
Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
”Ya. Kiai Damar memang pernah mengatakan kegagalannya. Agaknya kau salah seorang dari mereka. Siapa kau?”
“Itu sudah cukup. Kau sudah terlampau banyak mengetahui tentang diriku. Bahwa aku pernah bertempur dengan Kiai Damar, itu adalah pengetahuan yang cukup berharga bagimu sebelum kau mati di sini.”
“Setan alas,” kemarahan orang itu pun segera memuncak. Ia mengerti, bahwa anak yang gemuk itu memang sengaja mempermainkannya. Karena itu, tanpa berkata sepatah kata pun lagi, ia langsung menyerang Swandaru dengan garangnya.

Swandaru yang selalu berhati-hati, sama sekali tidak terkejut menerima serangan itu. Karena itu ia pun segera menghindarkan dirinya. Tangan orang itu terayun tidak lebih dari sejengkal dari pipinya. Namun yang mengejutkan Swandaru adalah desing tangan itu. Dengan demikian ia dapat menjajagi betapa besar kekuatan lawannya, sehingga dengan demikian ia pun harus menjadi semakin berhati-hati menghadapinya. Sejenak kemudian maka mereka pun terlibat dalam perkelahian yang sengit. Orang itu berusaha untuk mengalahkan Swandaru secepat-cepatnya, karena ia sadar, bahwa ia sudah berada di dekat barak yang ingin diamatinya. Ringkik kudanya mungkin dapat didengar dari barak, dan itu berarti memanggil satu dua orang dari mereka. Kalau yang datang Sutawijaya sendiri, maka ia tidak akan dapat pergi lagi dari tempat itu dan kembali kepada induk gerombolannya. Tetapi tanpa diduganya, ia mendapat lawan yang terlampau kuat baginya. Swandaru yang telah dapat menilai kekuatan lawannya, tidak mau mengambil akibat buruk daripadanya, sehingga ia pun telah bertempur bersungguh-sungguh. Dengan demikian, maka dalam waktu yang singkat, segera anak muda yang gemuk itu berhasil menguasai lawannya, meskipun ia masih memerlukan waktu untuk mengalahkannya. Seperti pesan Agung Sedayu, Swandaru ingin menangkap orang itu hidup-hidup. Dengan demikian, orang itu akan merupakan sumber keterangan tentang orang-orang yang tidak dikenal yang telah mengepung barak ini. Apalagi Swandaru mendengar dari orang itu, bahwa ia sama sekali bukan anak buah Kiai Damar. Dengan demikian Swandaru menduga, bahwa Kiai Damar telah memanggil kelompok-kelompok lain untuk menyerang barak itu kembali. Tetapi menangkap orang itu hidup-hidup bukanlah pekerjaan yang mudah. Apalagi setelah orang itu sadar, bahwa lawannya bukanlah anak muda yang dengan mudah dapat dikalahkan, maka ia pun segera menarik senjata dari sarungnya. Sehelai pedang yang panjang.

Swandaru masih melawannya dengan tangannya untuk beberapa saat. Namun akhirnya, ia menyadari, bahwa dengan demikian, ia menghadapi kemungkinan yang kurang baik baginya. Itulah sebabnya, maka ia pun segera mengurai senjatanya, sehelai cambuk dengan juntai yang panjang. Tiba-tiba lawannya mengerutkan keningnya. Kini ia sadar, bahwa ia berhadapan dengan salah seorang dari orang-orang bercambuk seperti yang dikatakan oleh Kiai Damar.
“Ya, yang seorang adalah anak yang gemuk ini. Aku baru ingat ceritera itu sekarang,” katanya di dalam hati. Namun dengan demikian orang itu menjadi semakin berhati-hati. Ternyata lawannya adalah seorang yang tangguh.
Namun sejenak kemudian, orang itu merasa, bahwa ia harus melihat kenyataan. Betapa pun nafsunya membakar dadanya untuk membunuh lawannya, tetapi ia tidak dapat ingkar, bahwa lawannya mempunyai kelebihan daripadanya. Karena itu, maka orang itu terpaksa berpikir, apakah yang sebaiknya dilakukan. Ia sudah tidak mempunyai harapan lagi untuk menang. Tetapi sudah tentu, bahwa ia tidak akan bersedia menyerahkan dirinya. Sebab ia sadar, akibat apa yang dapat timbul apabila ia jatuh ke tangan para pengawal Tanah Mataram ini. Tetapi ternyata bahwa Swandaru-lah yang memegang arah jalanannya perkelahian itu.


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar