Jilid 034 Halaman 2


Samekta tidak segera menjawab. Sekali lagi dipandanginya Sidanti dan Argajaya berganti-ganti. Baru sejenak kemudian ia berkata,
“Aku mendapat tugas dari Ki Gede Menoreh untuk menjemputmu. Ki Gede mencemaskan kau dan memerintahkan aku untuk mencarimu apabila tengah hari kau belum kembali. Apakah yang telah terjadi di sini?,“
Pandan Wangi memandangi wajah Sidanti yang kini menjadi ragu-ragu.
“Apakah kalian telah berkelahi?” terdengar lagi suara Samekta.
Pandan Wangi mengangguk. “Ya, Paman.”
Tiba-tiba wajah Samekta menjadi tegang. Perlahan-lahan ia turun dari kudanya dan berkata,
“Kenapa kau berkelahi, Ngger. Apakah terjadi sesuatu atasmu?,“
Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi tanpa disadarinya tangannya meraba lukanya. Setitik darah telah memerah di telapak tangannya.
“Kau terluka,” suara Samekta meninggi. Wajahnya kian menegang.
Pandan Wangi mengangguk.
“Siapakah yang telah melukaimu, Ngger?”
Pandan Wangi tidak segera menyahut. Tetapi dipandanginya beberapa orang laki-laki liar yang masih tegak berdiri di tempatnya.

Sejenak mereka dilontarkan dalam kediaman masing-masing. Tetapi mata Pandan Wangi telah berbicara, yang melukainya adalah satu dari antara laki-laki liar yang sedang dipandanginya itu. Sehingga meskipun Pandan Wangi tidak mengucapkan kata-kata, namun pemimpin pengawal tanah Perdikan Menoreh itu segera mengetahuinya bahwa salah seorang dari laki-laki itulah yang melukainya. Karena itu maka tiba-tiba ia menggeram. Ia tahu pasti bahwa laki-laki itu adalah termasuk sebagian dari orang-orang yang tak dikenal di Tanah Perdikan ini yang datang atas permintaan Sidanti dan Argajaya. Karena itu maka dengan sorot mata yang menyala dipandanginya Sidanti dan Argajaya berganti-ganti. Dan tanpa disadarinya tangan Samekta telah melekat di hulu pedangnya.
Namun agaknya Pandan Wangi menangkap getar hati Samekta. Sehingga ia berkata pula,
“Untunglah, bahwa Kakang Sidanti dan Paman Argajaya segera datang dan menolong aku. Kalau tidak, maka Paman akan tinggal mengenang namaku.”
“He?” Samekta terkejut mendengar keterangan itu. Sejenak ia berdiri keheranan. Bahkan seolah-olah ia tidak yakin akan pendengarannya, bahwa Sidanti dan Argajaya-lah yang telah menolongnya. Tetapi perasaan itu disimpannya di dalam hatinya. Ia terpaksa mempertimbangkan keadaan untuk menyatakan suatu sikap saat itu. Ia merasa berdiri di tempat yang tidak diketahui dengan pasti. Menilik keadaan dan arah sikap masing-masing, Samekta percaya kepada keterangan Pandan Wangi. Tetapi beberapa persoalan masih terasa kabur di dalam kepalanya.
Sesaat mereka hanya saling memandang dengan perasaan masing-masing. Samekta yang keheranan, Argajaya dan Sidanti yang marah, Pandan Wangi yang masih pucat dan laki-laki liar itu  pun bertambah liar. Sedang Ki Tambak Wedi yang duduk di atas punggung kudanya masih juga duduk sambil mengerutkan keningnya.
Tiba-tiba kesenyapan itu dipecahkan oleh Ki Tambak Wedi,
“Apakah maksudmu datang kemari?”
Samekta berpaling kepada Ki Tambak Wedi. Jawabnya,
“Aku menjemput Pandan Wangi.”
“Pandan Wangi berada bersama kakaknya,” berkata Ki Tambak Wedi pula.
“Tinggalkan dia.”
Samekta heran mendengar kata-kata itu. Tetapi ia mendengar Pandan Wangi menyahut,
“Tidak. Jangan kau tinggalkan aku, Paman Samekta. Tunggulah, kita pulang bersama-sama.”
Ki Tambak Wedi mengerutkan dahinya. Dipandanginya wajah Pandan Wangi yang masih pucat. Sejenak kemudian dipandanginya wajah Sidanti dan Argajaya yang masih merah.

Yang terdengar kemudian adalah kata-kata Samekta,
“Aku memang mendapat perintah dari Ki Argapati untuk menjemput Angger Pandan Wangi. Ki Argapati mencemaskannya, apabila terjadi sesuatu di sepanjang jalan, seperti yang ternyata sekarang. Untunglah Angger Sidanti dan Ki Argajaya menolongnya. Untuk itu, mendahului Ki Argapati aku mengucapkan diperbanyak terima kasih.”
Dada Sidanti menjadi berdebar-debar karenanya. Ia sadar bahwa yang diucapkan Samekta itu hanyalah sekedar tata kesopanan. Tetapi apakah Argapati akan benar-benar berterima kasih kepadanya? Mungkin untuk persoalan ini saja. Persoalan Pandan Wangi. Tetapi untuk seterusnya, Argapati pasti akan memusuhinya. Karena itu, maka jawabnya,
“Kau tidak usah mengucapkan terima kasih kepadaku. Juga Argapati. Aku berbuat atas kehendakku dan tanggung jawabku sendiri. Aku telah menolong adikku. Aku tidak peduli, apakah hubungannya semua persoalan ini dengan Argapati, yang sama sekali tidak bertanggung jawab terhadap anak-anaknya. Terhadapku dan ternyata pula kini terhadap Pandan Wangi. Seandainya aku tidak ada, apakah yang terjadi dengan gadis ini.”
“Kakang,” terdengar suara Pandan Wangi,
“Kakang jangan berkata demikian. Adalah wajar bahwa ayah mengucapkan terima kasih kepadamu dan kepada Paman Argajaya. Jangan dikaitkan persoalan ini dengan persoalan-persoalan lain yang masih terlampau gelap. Justru aku saat ini ingin menemuimu untuk kepentingan itu.”
Sidanti menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kemudian ia berkata,
“Aku adalah kakakmu Pandan Wangi. Lepas dari setiap persoalan yang kini sedang membakar Tanah Perdikan ini.”
“Dan lepas dari setiap persoalan itu pula Ki Gede Menoreh akan mengucapkan terima kasih kepada kalian.”
“Tidak perlu. Aku tidak memerlukan terima kasih dari orang lain. Aku menolong adikku. Itu adalah kuwajibanku. Aku tidak memerlukan terima kasih itu.”
Tanpa diduga-duga Argajaya berkata,
“Tetapi, Kakang Argapati adalah ayahnya, Sidanti. Ia mempunyai kuwajiban pula untuk menyatakan terima kasih kepada mereka yang menolong puterinya. Siapa  pun orangnya.”

Dada Sidanti berdesir mendengar kata-kata Argajaya itu. Tetapi sesaat kemudian disadarinya bahwa Argajaya itu adalah adik Argapati. Hampir-hampir saja ia berteriak memaki. Tetapi sebelum mulutnya bergerak terdengar suara Ki Tambak Wedi tertawa pendek. Katanya,
“Kalian adalah anak-anak cengeng. Kalian mempersoalkan suatu masalah yang sama sekali tidak berarti. Biar sajalah, apakah Argapati akan mengucapkan terima kasih atau tidak.”
Sidanti sejenak terbungkam di tempatnya. Hatinya bergolak tidak menentu. Ia tidak tahu kini, kepada siapa sebenarnya marah. Kepada laki-laki liar yang mengganggu Pandan Wangi itu, kepada Samekta atau justru kepada Argajaya? Karena itu, maka dadanya menjadi pepat dan terdengar giginya gemeretak.
“Kalian benar-benar telah kehilangan akal.” berkata Ki Tambak Wedi.
“Sekarang lepaskan semua persoalan. Biar sajalah Pandan Wangi menentukan sikapnya. Apakah ia akan kembali ke rumah ayahnya atau ia akan pergi kepada paman dan kakaknya.”
Namun mereka terkejut ketika mereka mendengar isak Pandan Wangi yang ditahannya kuat-kuat. Gadis itu masih menggenggam sepasang pedang. Ia tidak menangis ketika ia berhadapan dengan enam laki-laki liar dan bahkan sampai kemungkinan bahwa ia akan mati terbunuh atau membunuh diri. Tetapi kini ketika perasaannya sebagai seorang gadis tersentuh pada hubungan keluarganya yang kisruh maka hatinya menjadi terlampau pedih. Sehingga ia tidak dapat lagi menahan air matanya. Ia kini berdiri sebagai seorang gadis. Seorang gadis yang seakan-akan berada di persimpangan jalan. Ia berdiri tegak di antara ayahnya dan kakaknya. Tetapi ayah dan kakaknya itu sama sekali tidak mempunyai sangkutan darah sama sekali. Dan persoalan itulah yang agaknya ikut menjadi sebab menyalanya api yang akan membakar Tanah Perdikan ini.
Keenam laki-laki liar yang telah bertempur melawan Pandan Wangi itu pun menjadi heran. Gadis itu tidak gentar melihat mereka dan ujung-ujung pedang mereka. Tetapi kini, ketika ia sudah selamat dan tidak lagi berada di dalam bahaya, justru ia menangis.
“Dalam keadaan itu, terdengar Samekta berkata,
“Sudahlah, Ngger. Marilah kita kembali.”
Tangis Pandan Wangi belum mereda. Tetapi ia mencoba menahannya sekuat hati, sehingga dadanya menjadi pepat, dan seakan-akan hendak meledak.
“Pulanglah, Wangi,” terdengar suara Argajaya. Betapapun juga gadis itu adalah kemanakannya. Seperti Sidanti, Argajaya telah dilibat oleh kenangan di masa gadis itu masih kecil. Gadis kecil itu sering didukungnya, dibawanya bermain-main ke rumahnya sebelum ia sendiri mempunyai anak perempuan. Meskipun kini anaknya sendiri telah hampir sebesar Pandan Wangi, namun kenangan itu masih jelas di dalam ingatannya.
Pandan Wangi mengangkat wajahnya, ia memang ingin pulang kepada ayahnya. Namun sebelum ia melangkah, terdengar ia berkata di antara isak tangisnya,
“Kakang Sidanti. Kau akan melihat persoalan yang lebih buruk lagi di saat-saat mendatang, apabila kau masih tetap di dalam pendirianmu. Itulah yang akan aku, katakan, Kakang.”

Dada Sidanti berdesir mendengar kata-kata adiknya. Sejenak ia terdiam. Sekilas terasa kebenaran kata-kata Pandan Wangi. Sebelum persoalan ini meluas, maka ia telah menjumpai peristiwa yang disesalkannya, justru menimpa adiknya sendiri. Lalu apakah yang akan terjadi seandainya pergolakan yang kemelut ini menjadi semakin memburuk? Kekisruhan pasti akan terjadi di mana-mana. Orang-orang yang ingin meneguk di air yang keruh akan mendapat kesempatan seluas-luasnya. Kini ia telah dihadapkan pada suatu contoh yang baik. Dalam pada itu terdengar suara Pandan Wangi,
“Kakang, apa pun yang pernah terjadi atasmu, kau adalah anak dari Tanah ini. Tanah Perdikan Menoreh. Apakah dengan demikian kau sampai hati melihat Tanah ini menjadi ajang keributan dan kekisruhan? Apakah kau sampai hati melihat orang-orang tak dikenal seperti orang-orang liar ini, berbuat sekehendak hatinya di sini. Membunuh, merampok, dan memperkosa, justru kitalah yang mengundang mereka dan memberikan tempat terhormat kepada orang-orang itu. Mempersilahkan mereka merampas kekayaan di rumah kita sendiri dan sekaligus membakar rumah kita ini?”
Sidanti tegak sebagai karang. Terasa tusukan-tusukan yang tajam di jantungnya. Ia melihat kebenaran kata-kata Pandan Wangi. Betapa pertentangan terjadi di dalam rumah tangga sendiri, bukan seharusnya kita membawa tetangga-tetangga kita, Betapapun baiknya. Apalagi seliar laki-laki yang telah mengganggu Pandan Wangi itu, untuk ikut serta mengeruhkan suasana. Ternyata bukan saja Sidanti yang langsung tertusuk oleh kata-kata itu, tetapi juga Argajaya sebagai putera Tanah Perdikan Menoreh. Sudah tampak di depan matanya, pepucuk dari segala macam bencana yang akan menimpa Tanah ini. Tanah Perdikan yang kini dipimpin oleh kakaknya sendiri.
Tetapi berbeda tanggapan Ki Tambak Wedi yang masih saja berada di atas punggung kudanya. Ia melihat gelagat pada wajah-wajah Sidanti dan Argajaya. Terasa darahnya meluap karenanya. Ia sadar bahwa kata-kata Pandan Wangi itu langsung mengenai sasarannya. Tetapi ia tidak dapat membiarkannya. Persoalan ini sudah terlanjur sampai pada suatu tingkatan yang cukup parah. Sudah tentu bahwa ia tidak akan dapat melangkah surut, apa  pun yang terjadi. Karena itu maka, ia harus segera berbuat sesuatu. Membungkam Pandan Wangi sebelum ia berkata terlampau banyak dan berhasil melemahkan hati kakak dan pamannya. Apabila demikian, maka ia akan berdiri sendiri dan bahkan mungkin ia akan berhadapan dengan orang-orang yang selama ini berada di pihaknya. Dan yang paling menyakitkan hati apabila anaknya laki-laki, Sidanti, terpengaruh pula oleh kata-kata adiknya itu. Hampir saja Ki Tambak Wedi memilih jalan yang paling berbahaya baginya tanpa mengenal unggah-ungguh. Hampir saja ia berbuat kasar terhadap Pandan Wangi. Mengusirnya dan berteriak keras-keras membantah kata-kata itu dengan seribu macam alasan. Tetapi ternyata ia  pun tidak sampai hati berbuat demikian. Justru karena wajah Rara Wulan membayang di wajah gadis itu. Wajah seorang perempuan yang telah ikut menentukan jalan hidupnya. Perempuan yang telah mendorongnya untuk berperang tanding dan mempertaruhkan nyawa dan kehormatan di bawah Pucang Kembar beberapa puluh tahun lampau. Bayangan itulah yang telah mengekangnya. Dan karena itu yang dilakukan kemudian adalah, mencari jalan untuk segera mengusir Pandan Wangi itu dengan cara yang lain. Maka berkata orang tua itu,
“Pandan Wangi. Ayahmu telah memerintahkan bawahannya untuk menjemputmu. Pulanglah, supaya ayahmu tidak menjadi cemas.”
“Ya, Kiai,” jawab Pandan Wangi,
“aku akan segera pulang. Aku telah puas dapat bertemu dengan Kakang Sidanti, dapat mengatakan meskipun hanya sebagian kecil dari persoalan-persoalan yang tersimpan di dalam hatiku.”
“Kami berterima kasih atas peringatanmu itu. Tetapi kami mempunyai pertimbangan-pertimbangan tersendiri. Baiklah, aku kira saat ini yang harus kau lakukan adalah memenuhi panggilan ayahmu. Aku tahu, betapa gelisah hati orang tua menunggu anaknya pulang. Apalagi dalam keadaan serupa ini.”
Ternyata usaha Ki Tambak Wedi itu berhasil. Pandan Wangi segera merasa ingin untuk dapat bertemu secepatnya dengan ayahnya. Katanya di dalam hati,
“Ayah pasti menjadi gelisah karenanya.”

Karena itu maka kemudian disarungkannya sepasang pedangnya dan berkata kepada kakaknya,
“Aku minta diri, Kakang. Ingat-ingatlah peristiwa ini.”
Sidanti tidak menyahut. Dipandanginya wajah adiknya yang pucat dan basah oleh keringat dan air mata. Kemudian ia mengangguk kecil.
“Aku minta diri, Paman,” berkata Pandan Wangi pula.
“Hati-hatilah, Wangi. Apakah kau hanya berjalan kaki saja?”
Pandan Wangi menggeleng,
“Tidak, Paman. Aku berkuda. Tetapi kudaku telah lari.”
“Kenapa?”
Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi dipandanginya beberapa orang laki-laki liar yang masih berdiri di tempatnya masing-masing. Argajaya menggeram. Ia tahu, bahwa orang-orang itulah yang telah sengaja melepaskan kuda Pandan Wangi. Karena itu maka kemudian katanya,
“Pandan Wangi, pakailah kudaku. Aku masih mempunyai beberapa ekor di rumah.”
Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Ternyata hubungan antara paman dan kemanakannya tidak dapat segera diputuskan oleh persoalan yang tumbuh kini. Meskipun demikian Ki Tambak Wedi tidak berkeberatan. Dengan demikian maka Pandan Wangi itu akan segera pergi. Maka sejenak kemudian, setelah menyarungkan sepasang pedangnya, Pandan Wangi itu pun sekali lagi minta diri kepada paman dan kakaknya, kemudian kepada Ki Tambak Wedi. Ia masih ingin berpesan sesuatu, tetapi Ki Tambak Wedi mendahuluinya,
“Selamat jalan, Anak manis. Hati-hatilah di jalan.” Lalu kepada Samekta ia berpesan, “Jagalah gadis itu baik-baik. Mungkin banyak bahaya di sepanjang jalan. Ayahnya pasti sudah menunggunya.”
“Baik, Kiai,” sahut Samekta, meskipun hatinya mengumpat orang tua yang licik itu.
Sesaat kemudian maka kedua ekor kuda itu  pun segera berderap meninggalkan mereka yang masih berdiri mematung di tempatnya. Sejenak mereka yang ditinggalkan itu  pun masih tegak sambil berdiam diri. Mereka seolah masih belum dapat melepaskan diri dari peristiwa yang baru saja terjadi. Di tangan mereka masih tergenggam senjata-senjata masing-masing. Golok, pedang, dan tombak pendek di tangan Argajaya. Bahkan ketegangan yang mencengkam mereka sama sekali masih belum mereda.
Dalam keadaan demikian itu terdengar suara Ki Tambak Wedi tertawa,
“Jangan bermain-main lagi.”
Semua orang berpaling kepadanya, dan ia berkata seterusnya,
“Kadang-kadang kita memang perlu memanaskan diri, supaya apabila terjadi persoalan yang sebenarnya kita benar-benar sudah bersiap. Tetapi sebaiknya pemanasan itu tidak terjadi dalam kesalah-pahaman. Sebaiknya memanaskan diri itu harus terjadi secara sadar.”
Tidak seorang  pun yang menyahut. Sekian banyak laki-laki itu seolah-olah masih membeku.
“Sekarang sarungkanlah pedang kalian?” berkata Ki Tambak Wedi seterusnya.
Ketika masih belum ada yang melakukannya, maka ia berkata kepada Sidanti,
“Sidanti. Jangan dipengaruhi oleh perasaan yang kekanak-kanakan itu. Berpikirlah dewasa, seperti orang yang lain  pun harus berpikir dewasa.”
Laki-laki yang berkumis dan berjambang itu tiba-tiba menyadari dirinya. Dan tiba-tiba pula ia berkata,
“Aku bukan barang mainan di sini. Aku datang atas undangan kalian. Tetapi di sini aku sekedar akan dihinakan. Aku tidak mau. Aku harus berbuat sesuatu untuk menebus hinaan ini. Jangan kau sangka aku berdiri sendiri. Di sini ada beberapa puluh orang yang datang atas undangan kalian. Seperti aku. Apabila terjadi sesuatu atasku, maka mereka pasti akan berpikir tentang nasib mereka pula. Apalagi kalau aku berbicara tentang orang-orangku sendiri di tempatku. Mereka tidak akan tinggal diam. Kalian harus tahu akibat yang akan melanda Tanah ini.”
Wajah Sidanti yang masih tegang menjadi kian menegang. Dengan serta-merta ia menjawab,
“Tetapi, kami tidak mengundang kalian untuk menghinakan gadis-gadis kami di sini. Apalagi Pandan Wangi adalah adikku.”
Laki-laki berkumis itu mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia bertanya, “Apakah gadis itu adikmu?”
“Ya.”

Laki-laki berkumis itu mengangguk-anggukkan kepalanya, gumamnya,
“Aneh sekali. Kau telah bertekad untuk melawan Ayahmu. Ayahmu. Tetapi kau sangat terikat kepada adikmu. Kenapa adikmu tidak kau bawa bersamamu? Menilik pengamatanku, adikmu agaknya berpihak kepada Ayahmu. Padahal meskipun ia seorang gadis, ternyata ia seorang gadis yang luar biasa. Lihat, tanganku telah terluka karenanya. Beberapa orang kawanku pun terluka pula,”
“Salahmu sendiri. Untunglah adikku mampu menyelamatkan dirinya sendiri. Kalau tidak, maka kalian  pun akan menjadi mayat di sini.”
“He,” Laki-laki itu membelalakkan matanya.
“Jadi kau benar-benar menghendaki pertengkaran? Ayo, kami ternyata tidak akan berkeberatan.”
Hampir saja Sidanti berteriak menjawab tantangan itu, tetapi gurunya mendahuluinya,
“Sudah aku katakan. Apabila kalian ingin memanaskan diri jangan dalam suasana salah paham. Sarungkan senjata kalian. Yang terluka harus segera diobati. Setiap saat kalian akan diterkam oleh bahaya. Apalagi sejak Pandan Wangi mengalami perlakuan ini.”
“Jadi kalau terjadi benturan antara kalian dengan Argapati, kalian ingin menyalahkan kami karena kami mencegat Pandan Wangi?”
“Bukan itu soalnya. Maksudku, peristiwa ini akan dapat menjadi penyebab, meledaknya kemelut yang selama ini seolah-olah, tersekap dalam dekapan yang rapat.”
“Lalu bagaimana maksudmu? Apakah kami harus menunda perhitungan ini sampai persoalan kalian dengan Argapati selesai?”
“Tidak. Aku sama sekali tidak menghendaki persoalan ini berlarut-larut. Seharusnya Sidanti menyadari kedudukannya, dan tidak membuat persoalan-persoalan baru dengan pihak lain,”
Sidanti terkejut mendengar kata-kata gurunya, sehingga dengan serta-merta ia berpaling.
“Apakah maksud Guru?”
Ki Tambak Wedi menarik nafas dalam-dalam. Terasa mulutnya terlampau berat untuk mengucapkannya. Bahkan perasaannya  pun seakan-akan telah mengekangnya. Tetapi ia mencoba mempergunakan pikirannya. Ia harus memperhitungkan setiap keadaan dengan nalar, tidak dengan perasaan. Meskipun wajah Rara Wulan seolah-olah terbayang di wajah Pandan Wangi, namun ketika gadis itu sudah tidak berada di hadapannya, diusahakannya untuk mengusir bayangan itu dengan pikirannya.
“Apakah yang harus aku kerjakan guru?” bertanya Sidanti.
Ki Tambak Wedi tidak segera menyahut. Di pandanginya wajah Argajaya yang menegang pula. Kemudian wajah-wajah dari beberapa laki-laki liar yang sedang dilanda oleh kemarahan itu.
“Maksudku,” berkata Ki Tambak Wedi,
“jangan terjadi persoalan di antara kalian. Aku mengharap kalian yang kami undang  pun dapat menempatkan diri kalian sebagai tamu yang terhormat, tetapi aku mengharap pula bahwa Sidanti dan pamannya dapat menjadi Tuan rumah yang baik. Dengan demikian kalian tidak akan terlibat dalam persoalan-persoalan yang tidak perlu.”
“Tetapi semuanya telah terjadi,” potong laki-laki berkumis itu.
“Kami telah merasakan hinaan atas diri kami. Baik dari perempuan yang bernama Pandan Wangi maupun dari Sidanti.”
“Itulah yang ingin aku selesaikan sekarang,” berkata Ki Tambak Wedi.
“Persoalan kalian dengan Sidanti harus kalian anggap tidak pernah terjadi. Sidanti dan Argajaya harus beranggapan demikian pula,”
“Tetapi mereka telah menghina adikku,” Sidanti-lah yang kemudian memotong kata-kata gurunya.
“Persoalan mereka dengan Pandan Wangi bukanlah persoalan kita, Sidanti.”
“He,” hampir bersamaan Argajaya, dan Sidanti bertanya lantang,
“kenapa? Kenapa bukan persoalan kita?”
Sekali lagi Tambak Wedi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak segera mengucapkan jawabnya. Tetapi Sidanti, dan Argajaya menjadi semakin lama semakin tegang. Mereka ingin mendengar penjelasan dari orang tua yang masih saja tenang-tenang duduk di atas punggung kudanya.
“Guru,” berkata Sidanti,
“kenapa persoalan Pandan Wangi bukan persoalan kita?”
“Sidanti,” berkata Ki Tambak Wedi,
“kau sudah berbuat tepat saat ini. Sebagai seorang kakak, kau sudah melakukan kuwajibanmu. Tetapi kau juga mempunyai kewajiban-kewajiban yang lain, yang juga harus kau lakukan, dan kau pertanggung jawabkan, sehingga kewajiban yang satu, dan yang lain harus menjadi seimbang.”
Wajah Sidanti menjadi semakin tegang, dan ia mendengar Ki Tambak Wedi berkata pula,
“Maksudku begini Sidanti. Kau memang bertanggung jawab terhadap adikmu itu apabila kau melihatnya. Seandainya peristiwa ini terjadi, dan kau melihatnya, maka tidak seorang  pun yang dapat menyalahkan kau.”
“Melihat atau tidak melihat, Guru, tetapi peristiwa ini benar-benar peristiwa yang memalukan.”
“Tetapi kehadiran orang-orang itu sama sekali bukan peristiwa yang memalukan, sebab didorong oleh suatu cita-cita yang jauh lebih bernilai dari persoalan-persoalan harga diri seorang gadis. Persoalan yang kita tangani, dan yang mendorong kita mengundang mereka adalah persoalan Tanah Perdikan. Persoalan yang menyangkut hidup, dan mati seluruh rakyat di Tanah Perdikan ini. Sedang Pandan Wangi adalah hanya satu dari antaranya, dari antara rakyat Tanah Perdikan Menoreh ini. Seperti halnya kita sendiri. Jangankan kehormatan, tetapi jiwa, dan raga kita, kita pertaruhkan.”
“Guru. Betapapun tinggi nilai dari perjuangan kita, tetapi bukankah hal-hal serupa ini tidak perlu terjadi? Hal-hal yang menyangkut harga diri, dan kehormatan seorang gadis? Guru, keduanya sama sekali tidak ada sangkut pautnya. Perjuangan itu dapat berjalan, dan berlangsung terus, tetapi perampasan kehormatan serupa ini harus dihentikan.”
“Kau berada di dalam suatu dunia angan-angan yang hanya dapat terjadi di dalam mimpi, Sidanti. Kehadiran orang-orang itu di sini, sama sekali tidak dapat dibatasi menurut keinginan kita. Mereka hadir dengan segala keadaan mereka. Dengan segala sifat, dan watak mereka. Sehingga hal-hal yang akan terjadi sesuai dengan sikap, dan watak mereka seharusnya sudah kita perhitungkan sejak semula. Itulah sebabnya aku tidak terkejut apabila terjadi hal-hal serupa ini. Tetapi hal serupa ini harus terjadi di luar pengetahuan kita, di luar tanggung jawab kita. Dengan demikian, kita tidak akan tersangkut dengan perbuatan-perbuatan mereka, tetapi kita juga tidak akan membuat persoalan dengan mereka yang datang atas undangan kita.”
“Ah,” Sidanti berdesah.
Tetapi sebelum ia berkata gurunya mendahului,
“Adalah kebetulan bahwa yang menjadi korban pertama-tama adalah adikmu, Sidanti. Tetapi apa boleh buat. Perjuangan yang besar memang memerlukan pengorbanan.”
“Kiai,” Argajaya tiba-tiba menyahut,
“Kiai dapat berkata begitu karena Kiai tidak mempunyai sangkut paut dengan gadis itu. Tetapi ia adalah kemanakanku. Bagaimana mungkin aku dapat membiarkan hal itu terjadi?”

Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia tersenyum.
“Kau memang aneh. Kau sudah menentukan sikap. Kau telah memilih pihak di dalam pertentangan ini. Kalau kau masih terikat kepada hubungan keluarga, maka kau harus mempertimbangkannya sepuluh kali lagi. Argapati adalah kakakmu. Bukan sekedar kemanakanmu. Kau telah berada di dalam suatu rencana bersama dengan kami. Argapati harus disingkirkan. Apakah kau juga masih bertanya, bagaimana kau dapat membiarkan hal itu terjadi?”
Terasa desir yang tajam tergores di jantung Argajaya. Jawaban Tambak Wedi tepat mengenai sasarannya, sehingga sejenak ia terbungkam. Betapa dahsyatnya gejolak di dalam dadanya, tetapi ia tidak dapat menemukan jawaban yang tepat atas kata-kata Ki Tambak Wedi itu.
Sekilas dipandanginya Sidanti. Ia sadar, bahwa Ki Tambak Wedi tidak akan dapat mengemukakan persoalan serupa itu kepada Sidanti, karena Argapati bukanlah Ayahnya.
Suasana yang hening, sejenak mencengkam setiap hati laki-laki yang ada di tempat itu. Hanya mata-mata mereka sajalah yang bergerak-gerak hinggap dari satu orang ke orang yang lain. Dalam keheningan itulah kemudian mereka mendengar suara Ki Tambak Wedi,
“Nah, seharusnya kita  pun saling memelihara setiap hubungan baik yang telah ada. Orang-orang itu kini sudah tahu bahwa Pandan Wangi adalah adik Sidanti, sehingga mereka tidak akan dapat berbuat sesuatu atasnya di hadapan Sidanti, dan Argajaya.”
Urat-urat darah Sidanti, dan Argajaya serasa akan pecah. Tetapi mereka tidak dapat menjawab. Mereka tahu tujuan kata-kata gurunya, dan mereka pun sadar bahwa Ki Tambak Wedi hendak mengorbankan apa saja untuk kepentingan rencananya. Apalagi perempuan. Perempuan yang sama sekali tidak mendapat tempat yang baik di hatinya, sejak ia terlibat dalam persoalan yang rumit sampai di hari Tuanya. Rara Wulan. Dan Ki Tambak Wedi itu berkata seterusnya,
“Nah aku tetap pada pendirianku. Kalian harus melupakan apa yang telah terjadi supaya tidak ada retak betapapun kecilnya yang akan dapat mengganggu kekuatan kita. Tetapi itu tidak berarti bahwa kita masing-masing boleh berbuat sekehendak diri kita. Kita harus tetap dalam satu ikatan. Yang satu berusaha untuk tidak menyinggung perasaan yang lain. Kita harus dapat saling membatasi diri masing-masing,”
Ketika Sidanti akan berbicara, Ki Tambak Wedi mendahului.
“Sidanti, kalau masih ada persoalan di dalam dirimu atau di dalam diri pamanmu, marilah kita bicarakan di rumah. Tetapi bagaimanakah tanggapan kita bersama atas peristiwa ini seperti yang aku maksudkan?” Lalu kepada setiap laki-laki yang masih berdiri mematung di sekitarnya Ki Tambak Wedi berkata,
“Apakah kalian dapat mengerti? Tetapi ingat, Tanah ini bukan padang rumput yang hijau bagi kawanan kambing yang bodoh. Tetapi Tanah ini harus bersama-sama kita perjuangkan, kita semai, dan kita pelihara bersama-sama, supaya kita kelak dapat memetik hasilnya. Bukan sebaliknya, menjadi arena persengketaan tanpa ujung dan pangkal.”
Sejenak mereka saling berpandangan. Tetapi tidak seorang  pun dari mereka yang segera menjawab. Sekali lagi mereka terdampar ke dalam suatu suasana yang hening. Namun terasa bahwa sorot-sorot mata mereka memancarkan pergolakan di dalam dada masing-masing.

Ki Tambak Wedi yang masih duduk di atas punggung kudanya memandang wajah-wajah yang tegang itu satu demi satu, seakan-akan ingin melihat perasaan apakah yang tersembunyi di dalam hati mereka. Pengamatannya yang tajam mengatakan kepadanya bahwa dentang jantung orang-orang yang telah berkelahi bersama Pandan Wangi itu agak mereda. Sehingga tanpa sesadar mereka, senjata-senjata mereka  pun telah terkulai menunduk dalam-dalam. Maka ketika mereka mendengar Ki Tambak Wedi berkata kepada mereka, seakan-akan mereka telah digerakkan oleh tenaga yang tidak mereka mengerti untuk memenuhinya.
“Sarungkanlah senjata-senjata kalian.”
Orang-orang liar itu pun segera menyarungkan senjata-senjata mereka. Sidanti, Betapapun kebimbangan masih melanda dadanya, namun senjatanya  pun telah disarungkannya pula.
“Marilah kita kembali, Sidanti,” berkata Ki Tambak Wedi kemudian.
“Kita akan berbicara terlampau panjang di sini. Marilah, Ngger Argajaya.”
Sejenak Sidanti dan Argajaya saling berpandangan. Meskipun mereka mempunyai persamaan sikap tentang Pandan Wangi, namun ternyata bahwa di dalam hati mereka tumbuh pertentangan yang tidak mereka sadari. Betapapun juga Argajaya tidak dapat melepaskan kesadaran tentang dirinya, bahwa ia paman Pandan Wangi, adik ayah gadis itu, dan sama sekali tidak mempunyai sangkut-paut apa pun dengan Sidanti, kakak Pandan Wangi. Sedang Sidanti  pun menyadari hal itu pula. Kesadaran itu merupakan bibit yang tertanam di dalam hati masing-masing yang mungkin dapat tumbuh. Mungkin pula dapat menjadi subur, dan berbuah. Tetapi Ki Tambak Wedi yang mempunyai pengamatan yang tajam itu pun menyadari keadaan itu pula. Ia menyadari bahwa benih itu dapat tumbuh dengan subur, dan menghasilkan buah yang lebat tetapi beracun. Karena itu, maka ia harus menjaga agar benih itu menjadi kering, dan mati sebelum sempat tumbuh ngrembaka. Dan agaknya Ki Tambak Wedi mempunyai keahlian di dalam hal itu. Sejenak kemudian, Sidanti, dan Argajaya yang masih tegak berdiri di tempatnya, mendengar Ki Tambak Wedi itu berkata pula kepada mereka,
“Marilah kita pulang. Dapatkah kuda itu kalian pakai berdua? Kalau tidak, pakailah kudaku. Aku akan berjalan kaki saja.”
Sidanti dan Argajaya sekilas saling berpandangan. Namun kemudian Sidanti berkata,
“Kudaku cukup kuat, Paman. Marilah silahkan.”
Argajaya tidak menjawab. Tetapi ia melangkah mendekati kuda Sidanti. Maka kemudian mereka mempergunakan kuda itu berdua, bersama Ki Tambak Wedi kembali ke rumah Argajaya. Tetapi keduanya masih sekali lagi berpaling memandang wajah-wajah yang liar, yang masih berdiri termangu-mangu di tempatnya.

Namun Sidanti segera mengekang kendali kudanya ketika ia mendengar salah seorang dari orang-orang liar itu berkata,
“Persoalan kami dengan Pandan Wangi bukanlah persoalan kalian.”
Hampir saja Sidanti meloncat dari kudanya apabila gurunya tidak berkata,
“Jangan bodoh, Sidanti. Aku perlu memberi penjelasan kepadamu di rumah. Kau harus sadar sejak semula, bahwa korban yang harus diberikan kadang-kadang terlampau memberati perasaan. Tetapi dalam perjuangan ini kalian jangan terlampau dikuasai oleh perasaan. Tetapi kalian harus mempergunakan pikiran, supaya perhitungan kalian tidak terombang-ambing.”
“Maksud guru?”
“Sudah aku katakan, jangan mengurusi soal-soal yang tidak bersangkut paut dengan perjuanganmu. Salahnya sendiri, apabila Pandan Wangi bertemu dengan orang-orang liar itu. Biarlah ia mempertanggung-jawabkan dirinya sendiri. Bukankah Argapati lebih banyak mempunyai tanggung jawab atasnya daripada kau?”
Terasa dada Sidanti, dan Argajaya bergetar. Tetapi mereka masih mendengar Ki Tambak Wedi berkata,
“Betapa aku akan hancur didera oleh perasaanku, apabila aku membiarkan perasaan itu berbicara. Aku sama sekali tidak dapat melepaskan ingatanku apabila aku melihat wajah Pandan Wangi. Wajah itu adalah bayangan wajah Rara Wulan. Aku berkata berterus terang kepadamu, Sidanti, karena Rara Wulan adalah ibumu. Tetapi untuk kepentingan yang lebih besar, aku paksa diriku sendiri untuk melepaskan angan-angan, dan bayangan itu, supaya orang-orang liar itu tidak menusuk kita dari belakang.”
Sidanti dan Argajaya tidak menyahut. Mereka kini mengerti sepenuhnya maksud Ki Tambak Wedi. Namun demikian terasa dada mereka masih berdentangan.
“Kita bukan manusia-manusia cengeng yang hanya dikuasai oleh perasaan. Kita harus mempunyai perhitungan yang pasti. Kita harus mampu membuat perimbangan, apakah yang kita korbankan dan apakah yang dihasilkan karenanya.”
Sidanti dan Argajaya masih tetap berdiam diri. Tetapi kini terjadi percikan-percikan persoalan di dalam dada mereka. Kata-kata Ki Tambak Wedi itu ternyata seperti ujung jarum yang menusuk jantung mereka, dan meninggalkan bintik-bintik luka beracun.

Sementara itu, Pandan Wangi dan Samekta sedang mengendarai kuda mereka meninggalkan tempat terkutuk itu. Tetapi karena tubuh Pandan Wangi yang lelah, maka ia tidak berpacu terlampau cepat. Kuda pamannya itu  pun masih belum begitu dikenalnya, sehingga kadang-kadang ia masih harus berusaha menyesuaikan diri. Tiba-tiba mereka terpaksa mengekang kuda-kuda mereka ketika serombongan kambing berlari-larian memotong jalan. Agak jauh di belakang mereka seorang gembala berlari-lari pula, mengejarnya dengan sebuah cambuk di tangan. Pandan Wangi menarik nafas. Namun tiba-tiba ia mengerutkan keningnya dan bergumam,
“Sejak beberapa lama, baru kali ini aku melihat seorang gembala menggembalakan kambing-kambingnya di ladang terbuka. Apakah gembala itu tidak takut, bahwa kambing-kambingnya akan dirampas orang atau apa pun, yang dapat berbahaya bagi kambing-kambingnya, dan bahkan bagi dirinya sendiri?”
Samekta tidak menjawab. Matanya terikat kepada gembala yang berlari-larian di belakang kawanan kambingnya yang memotong jalan. Gembala yang bermandi peluh dan kelelahan.
Ketika gembala itu mencoba meloncati parit di pinggir jalan, ternyata satu kakinya tergelincir dan gembala itu jatuh terguling ke dalam air. Tertatih-tatih ia mencoba berdiri, sedang tubuhnya telah menjadi basah kuyup. Bukan karena keringat, tetapi karena air yang agak keruh. Gembala itu mencoba mengusap mukanya yang kotor. Kemudian sambil bersungut ia berjalan perlahan-lahan dekat di depan Samekta dan Pandan Wangi, menyeberangi jalan. Sesaat Pandan Wangi melupakan keadaan diri sendiri. Ia tersenyum melihat gembala yang basah kuyup itu. Gembala itu ternyata sudah bukan kanak-kanak lagi. Tetapi ia adalah seorang anak muda yang telah dewasa. Ketika gembala itu sampai di pinggir jalan seberang, ia membungkuk memungut serulingnya yang tiba-tiba saja terjatuh. Diusapnya seruling itu dengan ujung kainnya yang telah basah pula.
“Hati-hatilah lain kali,” tanpa sesadarnya Pandan Wangi berkata.
Gembala itu berpaling. Kemudian membungkuk hormat sekali.
“Aku tergesa-gesa sehingga aku tergelincir.”
“Kenapa kau tergesa-gesa?” bertanya Pandan Wangi pula.
“Menurut orang-orang tua, keadaan daerah ini agak kurang baik sekarang.”
“Tetapi kenapa kau pergi menggembala juga?”
“Aku kasihan melihat kambing-kambingku. Sekali-sekali aku bawa juga ke luar meskipun hanya sebentar.”
“Kalau dalam waktu yang sebentar itu kambingmu dirampas orang, bagaimana dengan kau? Apakah kambing-kambing itu kambingmu sendiri?”
“Ya, kambing-kambing ini adalah kambing-kambing ayahku sendiri. Aku memeliharanya dengan baik, supaya kambing-kambing itu dapat berkembang biak dengan baik pula. Kepada kambing-kambing itulah kami meletakkan harapan kami. Sawah kami terlampau sempit, dan pekerjaan-pekerjaan lain terlampau sulit didapatkan. Mudah-mudahan kambingku cepat menjadi banyak.”
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian tiba-tiba saja ia bertanya,
“Kenapa keadaan di daerah ini agak kurang baik? Siapakah yang berkata demikian, dan apakah sebabnya?”
“Ah, apakah aku mengerti persoalan itu? Aku tidak tahu. Menurut orang-orang tua dan anak-anak muda yang ikut bersiap-siap, keadaan semakin hari menjadi semakin buruk. Ki Gede Menoreh sedang berselisih dengan puteranya sendiri. Benarkah begitu? Akulah yang bertanya, sebab bukankah kau puteri Ki Gede Menoreh pula?”

Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Ia tidak menjadi heran bahwa seseorang segera dapat mengenalnya sebagai putri satu-satunya dari Kepala Tanah Perdikan ini, meskipun ia sendiri tidak mengenal gembala itu. Tetapi sudah tentu bahwa ia tidak dapat berceritera banyak kepada gembala itu, sehingga jawabnya,
“Nah, sekarang pulanglah. Hati-hatilah. Memang keadaan kini agak kurang baik. Tetapi mudah-mudahan segera dapat diselesaikan.”
Gembala itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Mudah-mudahan. Kami akan menjadi senang, karena kami dapat menggembalakan kambing-kambing kami dengan leluasa dan tidak terganggu oleh rasa takut, dan cemas. Kami  pun akan dapat mengerjakan sawah kami dengan tenang. Bukankah begitu? Kami tidak mengharap terlampau banyak.”
Pandan Wangi mengernyitkan alisnya. Ketika ia berpaling kepada Samekta dilihatnya wajah pimpinan pengawal Tanah Perdikan itu sedang berkerut. Harapan gembala itu memang sederhana, dan terlalu wajar. Mereka tidak mengharap terlampau banyak. Ketenangan untuk bekerja, tanpa dihantui oleh bermacam-macam persoalan yang menakutkan.
“Siapakah namamu?” tiba-tiba, Samekta bertanya.
“Gupita,” jawab gembala itu dengan serta merta.
“He,” Samekta menyahut,
“nama itu terlampau baik buat seorang gembala. Nama itu baik sekali lebih baik dari namaku sendiri. Gupita.”
“Siapakah nama Tuan?” tiba-tiba gembala itu bertanya. Wajahnya memancarkan kejujuran hatinya. Ia memang ingin tahu nama yang kurang baik dari namanya itu. Dan ia bertanya. Wajar sekali baginya.
Samekta mengerutkan keningnya. Tetapi ia tersenyum dan menjawab,
“Samekta. Namaku, Samekta. Bukankah namamu lebih baik dari namaku?”
Tanpa disangka-sangka gembala itu mengangguk, “Ya. Memang namaku agak lebih baik. Tetapi tidak terpaut banyak. Samekta juga nama yang baik meskipun tidak sebaik Gupita. Bukankah begitu?”

Mau tidak mau Samekta dan Pandan Wangi terpaksa tertawa. Sejenak mereka melupakan persoalan-persoalan yang sedang kemelut di Tanah Perdikan ini. Dan dengan demikian mereka mendapat gambaran, bahwa sebenarnya para gembala, para petani, para penarik pedati, tidak terlampau banyak mengharap untuk kepentingan mereka. Ketenangan. Ketenangan bekerja. Tidak ada ketakutan dan ancaman. Hidup damai dalam lingkungan keluarga yang damai. Mereka sama sekali tidak membayangkan atau mimpi untuk memiliki sepuluh ekor kuda tunggangan yang paling baik. Tidak ingin memiliki limabelas pasang lembu yang besar-besar, dan tidak mimpi untuk mempunyai rumah joglo gandeng tujuh. Tidak. Mereka hanya memerlukan ketenangan, dan kedamaian hati. Samekta yang masih tertawa itu kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia melihat mata gembala itu. Terasa sesuatu berdesir di dalam dadanya. Mata itu seolah-olah memercikkan sesuatu.
“Harapan,” desisnya di dalam hati.
“Mungkin ia terlampau mengharap ketenangan, dan kedamaian hati. Mudah-mudahan segera akan terpenuhi.”
Sejenak kemudian maka Pandan Wangi dan Samekta itu segera menyadari keadaannya. Mungkin ayahnya kini sudah menjadi terlampau gelisah. Karena itu, maka Pandan Wangi  pun berkata,
“Marilah, Paman, ayah menungguku, dan lukaku memerlukan pengobatan pula, meskipun tidak seberapa dalam.”
“Oh, marilah. Kita hampir-hampir lupa waktu karena gembala yang aneh ini.”
“Apakah aku menghambat perjalanan Tuan?” bertanya gembala itu.
Samekta menggeleng,
“Tidak. Kami sendirilah yang menghentikan perjalanan kami.”
Gembala itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia bertanya sambil menunjuk di kejauhan,
“Apakah orang-orang itu kawan Tuan?”
Samekta dan Pandan Wangi serentak berpaling. Sebuah goncangan telah memukul dada mereka. Orang-orang itu adalah orang-orang liar yang telah mencegat Pandan Wangi, sedang berjalan tergesa-gesa ke arah mereka. Sekilas Pandan Wangi dan Samekta saling berpandangan. Terasa tangan mereka gemetar, dan tanpa sesadar mereka, mereka telah meraba hulu pedang masing-masing. Gupita yang berdiri di pinggir jalan memandangi mereka dengan mulut ternganga-nganga. Sesaat ia berpaling kepada orang-orang yang berjalan tergesa-gesa itu, dan sesaat ia memandangi Pandan Wangi dan Samekta.
“Apakah mereka bukan kawan-kawan Tuan?” Gupita bertanya sekali lagi.
Samekta menggeleng. Tetapi tidak menjawab. Bahkan ia berkata kepada Pandan Wangi,
“Mereka benar-benar orang yang buas.”
Meskipun Pandan Wangi bukan seorang penakut, tetapi terasa bulu-bulunya meremang. Ia tidak takut seandainya ia harus bertempur di antara hidup, dan mati. Tetapi kerakusan orang-orang itulah yang telah membuatnya terlampau ngeri.
“Untung Angger Sidanti telah menyelamatkanmu,” desis Samekta.
Pandan Wangi mengangguk. Katanya,
“Aku sudah sampai kepada keputusan untuk membunuh diri. Tetapi berdua dengan Paman Samekta aku mengharap dapat membinasakan mereka.”
Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi kemudian ia berkata,
“Tetapi Ki Gede Menoreh akan menjadi terlampau gelisah. Ki Gede telah menunggumu.”
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Tetapi terasa tangannya terlampau gatal. Kemarahan, dan kebencian telah membakar jantungnya. Meskipun demikian ia berkata,
“Apakah yang sebaiknya kita lakukan, Paman?”
“Kembali. Kembali dahulu kepada ayahmu. Kemudian terserah, apa yang akan kau lakukan. Seandainya aku harus ikut bersamamu, aku  pun tidak akan berkeberatan.”
Pandan Wangi tidak menyahut. Orang-orang itu semakin lama menjadi semakin dekat. Tetapi mereka pasti tidak akan dapat mengejarnya seandainya Samekta dan Pandan Wangi melarikan kuda mereka, meskipun tidak usah dipacu. Karena itu Samekta dan Pandan Wangi tidak menjadi tergesa-gesa. Bahkan Pandan Wangi masih dapat berkata kepada Gupita,
“Gupita. Apakah kau tidak berusaha untuk menyingkirkan kambing-kambingmu?”
“Kenapa ?”
“Mudah-mudahan orang-orang itu tidak tertarik kepada kambing-kambingmu yang gemuk itu. Tetapi kalau kau sempat, singkirkanlah. Apabila mereka tiba-tiba saja ingin daging kambing maka kau pasti akan kehilangan. Mereka akan mengambil begitu saja tanpa banyak persoalan. Karena itu, lebih baik bagimu untuk menyingkir.”
Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia sama sekali tidak berbuat demikian. Ia tidak berlari dengan tergesa-gesa menggiring kambing-kambingnya. Tetapi ia masih berdiri sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, meskipun kini ia berdiri memandang ke arah orang-orang itu dengan tajamnya.
“Enam orang,” desisnya.
“Ya, enam orang,” ulang Samekta.
Dan Pandan Wangi menyahut, “Karena itu singkirkan kambing-kambingmu.”

Samekta berpaling ke arah beberapa ekor kambing yang sedang makan rumput dengan asyiknya di pinggir-pinggir pategalan. Sejenak kemudian matanya berkisar kepada orang-orang yang baru datang itu. Dan tiba-tiba saja ia bergumam,
“Enam orang. Bukankah mereka berenam? Dua di depan, dan empat di belakang. Bukankah begitu?”
“Ya. Mereka memang berenam. Kenapa?”
“Seandainya mereka ingin makan daging kambing, mereka tidak akan dapat menghabiskan seekor yang tidak terlampau besar.”
“Tetapi mereka tidak akan puas dengan demikian. Mungkin mereka akan mengambil tiga empat ekor. Atau bahkan seorang satu. Mereka bawa kambing-kambing itu ke pondok mereka. Setiap hari mereka menyembelih seekor daripadanya. Apabila kambing itu telah habis, mereka akan mencarimu atau mencari kandang-kandang kambing yang lain di padukuhan-padukuhan itu.”
Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih belum beranjak pergi. Bahkan kemudian ia berdesis,
“Aku akan mempertahankan milikku. Kambingku tidak lebih dari tujuh ekor selain anak-anaknya. Aku akan mempertahankan milik keluargaku itu.”
Samekta dan Pandan Wangi terperanjat. Hampir bersamaan mereka berkata,
“Jangan. Jangan kau coba, Gupita. Mereka adalah orang-orang yang paling buas yang pernah aku temui. Karena itu, menyingkirlah. Kau tidak akan dapat melawan mereka. Seorang daripadanya  pun kau tidak akan dapat mengalahkannya, apa lagi mereka berenam.”
Gupita mengerutkan keningnya. Katanya,
“Mereka tidak berhak berbuat demikian. Kambing itu adalah kambing keluarga kami. Kalau mereka minta dengan baik-baik, mungkin aku akan memberinya seekor. Kalau tidak, maka aku akan bertahan. Mereka akan dapat dihukum dengan melakukan perampasan itu.”
“Siapakah yang akan menghukum mereka?”
“Ki Gede Menoreh. Ki Gede Menoreh harus melindungi kami.”
Pandan Wangi dan Samekta terkejut mendengar jawaban itu. Sejenak mereka terdiam, dan saling berpandangan. Tetapi kata-kata itu sama sekali tidak salah.
“Apakah kami harus membiarkan diri dirampas hak-hak kami? Itu tidak adil.”
Samekta menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia mencoba untuk menasehati.
“Jangan berbicara tentang hak dan keadilan pada saat-saat seperti ini, Gupita. Aku hargai keberanianmu, tetapi kau harus mencoba menyesuaikan dirimu.”
“Kenapa?” bertanya gembala itu.
“Kini baru terjadi benturan kekuatan di atas Tanah ini. Benturan kekuatan yang kadang-kadang melanggar segala macam nilai-nilai yang selama ini kita junjung tinggi. Hak dan keadilan, bahkan kebenaran sedang berada di dalam ujian. Mudah-mudahan Ki Gede Menoreh mampu menegakkannya dengan melenyapkan kekuatan-kekuatan yang akan menodainya.”
Gembala itu meggeleng lemah,
“Aku tidak mengerti. Tetapi kambing itu kambingku. Tak ada orang lain yang berhak atasnya. Juga orang-orang itu. Bahkan kalian  pun tidak berhak pula merampasnya.”
Samekta dan Pandan Wangi menjadi berdebar-debar. Orang-orang itu kini sudah menjadi semakin dekat. Karena itu maka Pandan Wangi berkata pula,
“Menyingkirlah. Aku pun akan menyingkir karena Ayah menungguku. Apabila tidak, maka aku akan membantumu. Tetapi kesempatan yang paling baik saat ini bagimu adalah menyingkir cepat-cepat bersama kambing-kambing itu. Cobalah, berusahalah meskipun mereka telah semakin dekat.”

Gembala itu memandang Pandan Wangi dengan mata yang hampir tidak berkedip. Namun sesaat kemudian pandangannya beralih kepada Samekta, dan sesaat pula kepada orang-orang yang berjalan semakin dekat. Tetapi ia bertanya,
“Apakah orang-orang yang merampas hak orang lain itu tidak akan dihukum?”
Samekta menarik nafas dalam-dalam. Amat sulitlah agaknya memberi penjelasan kepada gembala itu. Meskipun demikian ia menjawab,
“Seharusnya ia dihukum. Tetapi kalau ia berpedang di lambungnya, maka untuk menghukumnya diperlukan kekuatan yang dapat melampaui kekuatan pedang orang-orang itu.”
Gembala itu masih belum mengerti menilik pandangannya yang termangu-mangu. Tetapi Pandan Wangi dan Samekta sudah tidak mempunyai kesempatan lagi. Orang-orang liar itu kini telah menjadi semakin dekat.
“Pergilah, lain kali kita berbicara. Di mana rumahmu?” bertanya Samekta.
“Di Randu Putung.”
“Randu Putung? Padukuhan itu dekat dengan Pucang Kembar, he?”
Gembala itu menganggukkan kepalanya, “Ya, di sebelah Utara.”
“Kenapa kau menggembala sampai ke tempat ini? Bukankah jarak ini terlampau jauh, apalagi dalam keadaan seperti ini?”
Gembala itu mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia menjawab,
“Aku mengikuti saja ke mana kambing-kambingku pergi.”
Sejenak Samekta dan Pandan Wangi saling berpandangan. Tetapi sebelum mereka berkata sesuatu, mereka berpaling. Terdengar salah seorang dari laki-laki yang datang itu berteriak,
“He, Pandan Wangi, apakah kau menunggu aku, he?”
Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi ia berkata kepada gembala itu,
“Pergilah. Aku  pun akan segera pergi.”
“Tunggulah. Aku segera datang,” terdengar yang lain berteriak pula. Langkah mereka ternyata menjadi semakin cepat, pergi ke arah mereka. Bahkan orang yang berjalan di paling belakang berlari-lari kecil menyusul kawan-kawannya yang sudah lebih dahulu daripadanya.
Pandan Wangi mengerutkan dahinya. Lalu ia bergumam,
“Marilah, Paman. Sebelum mereka terlalu dekat. Aku tidak yakin bahwa aku dapat menahan kebencianku kepada mereka. Sehingga lupa diri dan berusaha berbicara dengan pedangku.”
“Marilah, Ngger,” sahut Samekta, meskipun tangannya  pun melekat di hulu pedangnya. Agaknya kebenciannya  pun meluap sampai di ujung ubun-ubunnya. Bahkan ia menggeram,
“Seandainya Ki Gede tidak menunggu.”

Keduanya kemudian menggerakkan kuda mereka perlahan-lahan. Mereka masih mencoba meyakinkan gembala itu supaya pergi. Tetapi mereka tidak mau menunggu orang-orang liar itu supaya mereka tidak tertahan-tahan lagi.
“He, ke mana kau, Pandan Wangi? Bukankah kau menunggu aku?”
Pandan Wangi sama sekali tidak menghiraukannya. Perlahan-lahan kudanya mulai melangkah meninggalkan gembala yang masih berdiri termangu-mangu.
“Pergilah, pergilah. Jangan menarik perhatiannya,” desis Samekta.
Tetapi Samekta menggeleng-gelengkan kepalanya ketika gembala itu sama sekali tidak beranjak dari tempatnya.
“Apa boleh buat,” desis Pandan Wangi.
“Kami sudah mencoba memperingatkannya. Gembala itu jujur. Tetapi agak dungu.”
Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara kudanya berjalan meninggalkan Gupita yang masih berdiri di tempatnya. Mereka masih mendengar orang-orang yang berjalan ke arah mereka berteriak.
“Tunggu, tunggu, Pandan Wangi. Aku ingin berbicara. Sedikit saja.”
Tetapi Pandan Wangi dan Samekta tidak menghiraukannya lagi. Semakin lama langkah-langkah kuda mereka justru menjadi semakin cepat, meskipun kadang-kadang mereka masih berpaling. Mereka masih melihat orang-orang itu melambaikan tangan mereka dan berkata lantang,
“Aku ingin berbicara sedikit kepadamu, Wangi. Aku tidak akan mengganggumu lagi.”
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Tetapi Samekta berkata,
“Jangan hiraukan mereka. Mereka adalah orang-orang yang licik dan tidak mengenal tata kehidupan yang baik sebagaimana seharusnya.”
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Kudanya berjalan semakin cepat. Lambat laun kuda itu  pun berlari. Derap kakinya terdengar semakin lama semakin cepat, dan keras memukul-mukul jalan berbatu padas. Ketika mereka berdua berpaling, mereka melihat laki-laki itu berdiri berjajar di tengah-tengah jalan tanpa menghiraukan Gupita sama sekali.
“Mudah-mudahan anak itu tidak diganggu,” desis Pandan Wangi.
“Mudah-mudahan,” sahut Samekta.
“Aku melihat sesuatu yang aneh pada gembala itu. Aku semula menganggapnya jujur tetapi bodoh seperti sangkamu. Tetapi aku melihat sesuatu yang lain pada sorot matanya.”
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia berdesis,
“Ya, aku melihat juga sinar matanya yang berkilat-kilat. Tetapi mungkin ia memang seorang gembala yang jujur tetapi bodoh, namun ia memiliki sesuatu yang lain di dalam dirinya. Ah, tetapi ia terlampau mengharapkan sesuatu di hari mendatang. Pancaran harapannya itulah yang agaknya membuat matanya bersinar-sinar.”
Samekta tidak menjawab. Ketika ia sekali lagi berpaling, ia melihat gembala itu berdiri di antara orang-orang liar itu. Tetapi mereka telah agak jauh, sehingga mereka tidak dapat melihat dengan jelas apakah yang kemudian dapat terjadi.
“Mudah-mudahan anak itu selamat. Mudah-mudahan ia tidak berkeras kepala mempertahankan haknya, supaya kepalanya tidak dipenggal.”
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang gembala itu sangat menarik perhatian. Ada berapa ratus gembala yang pernah dilihatnya dan bahkan dikenalnya. Tetapi gembala yang satu ini ternyata agak lain. Sikapnya, kata-katanya, walau pun sederhana, dan sorot matanya.
Sepeninggal Pandan Wangi dan Samekta, orang-orang liar itu ternyata tertarik akan kehadiran gembala yang masih tegak di tempatnya. Salah seorang daripadanya segera menghampirinya, dan bertanya,


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar