Samekta tidak segera menjawab. Sekali lagi dipandanginya Sidanti dan Argajaya berganti-ganti. Baru sejenak kemudian ia berkata,
“Aku mendapat
tugas dari Ki Gede Menoreh untuk menjemputmu. Ki Gede mencemaskan kau dan
memerintahkan aku untuk mencarimu apabila tengah hari kau belum kembali. Apakah
yang telah terjadi di sini?,“
Pandan Wangi
memandangi wajah Sidanti yang kini menjadi ragu-ragu.
“Apakah kalian
telah berkelahi?” terdengar lagi suara Samekta.
Pandan Wangi
mengangguk. “Ya, Paman.”
Tiba-tiba
wajah Samekta menjadi tegang. Perlahan-lahan ia turun dari kudanya dan berkata,
“Kenapa kau
berkelahi, Ngger. Apakah terjadi sesuatu atasmu?,“
Pandan Wangi
tidak menjawab. Tetapi tanpa disadarinya tangannya meraba lukanya. Setitik
darah telah memerah di telapak tangannya.
“Kau terluka,”
suara Samekta meninggi. Wajahnya kian menegang.
Pandan Wangi
mengangguk.
“Siapakah yang
telah melukaimu, Ngger?”
Pandan Wangi
tidak segera menyahut. Tetapi dipandanginya beberapa orang laki-laki liar yang
masih tegak berdiri di tempatnya.
Sejenak mereka
dilontarkan dalam kediaman masing-masing. Tetapi mata Pandan Wangi telah
berbicara, yang melukainya adalah satu dari antara laki-laki liar yang sedang
dipandanginya itu. Sehingga meskipun Pandan Wangi tidak mengucapkan kata-kata,
namun pemimpin pengawal tanah Perdikan Menoreh itu segera mengetahuinya bahwa
salah seorang dari laki-laki itulah yang melukainya. Karena itu maka tiba-tiba
ia menggeram. Ia tahu pasti bahwa laki-laki itu adalah termasuk sebagian dari
orang-orang yang tak dikenal di Tanah Perdikan ini yang datang atas permintaan
Sidanti dan Argajaya. Karena itu maka dengan sorot mata yang menyala dipandanginya
Sidanti dan Argajaya berganti-ganti. Dan tanpa disadarinya tangan Samekta telah
melekat di hulu pedangnya.
Namun agaknya
Pandan Wangi menangkap getar hati Samekta. Sehingga ia berkata pula,
“Untunglah,
bahwa Kakang Sidanti dan Paman Argajaya segera datang dan menolong aku. Kalau
tidak, maka Paman akan tinggal mengenang namaku.”
“He?” Samekta
terkejut mendengar keterangan itu. Sejenak ia berdiri keheranan. Bahkan
seolah-olah ia tidak yakin akan pendengarannya, bahwa Sidanti dan Argajaya-lah
yang telah menolongnya. Tetapi perasaan itu disimpannya di dalam hatinya. Ia
terpaksa mempertimbangkan keadaan untuk menyatakan suatu sikap saat itu. Ia
merasa berdiri di tempat yang tidak diketahui dengan pasti. Menilik keadaan dan
arah sikap masing-masing, Samekta percaya kepada keterangan Pandan Wangi.
Tetapi beberapa persoalan masih terasa kabur di dalam kepalanya.
Sesaat mereka
hanya saling memandang dengan perasaan masing-masing. Samekta yang keheranan,
Argajaya dan Sidanti yang marah, Pandan Wangi yang masih pucat dan laki-laki
liar itu pun bertambah liar. Sedang Ki
Tambak Wedi yang duduk di atas punggung kudanya masih juga duduk sambil
mengerutkan keningnya.
Tiba-tiba
kesenyapan itu dipecahkan oleh Ki Tambak Wedi,
“Apakah
maksudmu datang kemari?”
Samekta berpaling
kepada Ki Tambak Wedi. Jawabnya,
“Aku menjemput
Pandan Wangi.”
“Pandan Wangi
berada bersama kakaknya,” berkata Ki Tambak Wedi pula.
“Tinggalkan
dia.”
Samekta heran
mendengar kata-kata itu. Tetapi ia mendengar Pandan Wangi menyahut,
“Tidak. Jangan
kau tinggalkan aku, Paman Samekta. Tunggulah, kita pulang bersama-sama.”
Ki Tambak Wedi
mengerutkan dahinya. Dipandanginya wajah Pandan Wangi yang masih pucat. Sejenak
kemudian dipandanginya wajah Sidanti dan Argajaya yang masih merah.
Yang terdengar
kemudian adalah kata-kata Samekta,
“Aku memang
mendapat perintah dari Ki Argapati untuk menjemput Angger Pandan Wangi. Ki
Argapati mencemaskannya, apabila terjadi sesuatu di sepanjang jalan, seperti
yang ternyata sekarang. Untunglah Angger Sidanti dan Ki Argajaya menolongnya.
Untuk itu, mendahului Ki Argapati aku mengucapkan diperbanyak terima kasih.”
Dada Sidanti
menjadi berdebar-debar karenanya. Ia sadar bahwa yang diucapkan Samekta itu
hanyalah sekedar tata kesopanan. Tetapi apakah Argapati akan benar-benar berterima
kasih kepadanya? Mungkin untuk persoalan ini saja. Persoalan Pandan Wangi.
Tetapi untuk seterusnya, Argapati pasti akan memusuhinya. Karena itu, maka
jawabnya,
“Kau tidak
usah mengucapkan terima kasih kepadaku. Juga Argapati. Aku berbuat atas kehendakku
dan tanggung jawabku sendiri. Aku telah menolong adikku. Aku tidak peduli,
apakah hubungannya semua persoalan ini dengan Argapati, yang sama sekali tidak
bertanggung jawab terhadap anak-anaknya. Terhadapku dan ternyata pula kini
terhadap Pandan Wangi. Seandainya aku tidak ada, apakah yang terjadi dengan
gadis ini.”
“Kakang,”
terdengar suara Pandan Wangi,
“Kakang jangan
berkata demikian. Adalah wajar bahwa ayah mengucapkan terima kasih kepadamu dan
kepada Paman Argajaya. Jangan dikaitkan persoalan ini dengan
persoalan-persoalan lain yang masih terlampau gelap. Justru aku saat ini ingin
menemuimu untuk kepentingan itu.”
Sidanti
menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kemudian ia berkata,
“Aku adalah
kakakmu Pandan Wangi. Lepas dari setiap persoalan yang kini sedang membakar
Tanah Perdikan ini.”
“Dan lepas
dari setiap persoalan itu pula Ki Gede Menoreh akan mengucapkan terima kasih
kepada kalian.”
“Tidak perlu.
Aku tidak memerlukan terima kasih dari orang lain. Aku menolong adikku. Itu
adalah kuwajibanku. Aku tidak memerlukan terima kasih itu.”
Tanpa
diduga-duga Argajaya berkata,
“Tetapi,
Kakang Argapati adalah ayahnya, Sidanti. Ia mempunyai kuwajiban pula untuk
menyatakan terima kasih kepada mereka yang menolong puterinya. Siapa pun orangnya.”
Dada Sidanti
berdesir mendengar kata-kata Argajaya itu. Tetapi sesaat kemudian disadarinya
bahwa Argajaya itu adalah adik Argapati. Hampir-hampir saja ia berteriak
memaki. Tetapi sebelum mulutnya bergerak terdengar suara Ki Tambak Wedi tertawa
pendek. Katanya,
“Kalian adalah
anak-anak cengeng. Kalian mempersoalkan suatu masalah yang sama sekali tidak
berarti. Biar sajalah, apakah Argapati akan mengucapkan terima kasih atau
tidak.”
Sidanti
sejenak terbungkam di tempatnya. Hatinya bergolak tidak menentu. Ia tidak tahu
kini, kepada siapa sebenarnya marah. Kepada laki-laki liar yang mengganggu
Pandan Wangi itu, kepada Samekta atau justru kepada Argajaya? Karena itu, maka
dadanya menjadi pepat dan terdengar giginya gemeretak.
“Kalian
benar-benar telah kehilangan akal.” berkata Ki Tambak Wedi.
“Sekarang
lepaskan semua persoalan. Biar sajalah Pandan Wangi menentukan sikapnya. Apakah
ia akan kembali ke rumah ayahnya atau ia akan pergi kepada paman dan kakaknya.”
Namun mereka
terkejut ketika mereka mendengar isak Pandan Wangi yang ditahannya kuat-kuat.
Gadis itu masih menggenggam sepasang pedang. Ia tidak menangis ketika ia
berhadapan dengan enam laki-laki liar dan bahkan sampai kemungkinan bahwa ia
akan mati terbunuh atau membunuh diri. Tetapi kini ketika perasaannya sebagai
seorang gadis tersentuh pada hubungan keluarganya yang kisruh maka hatinya
menjadi terlampau pedih. Sehingga ia tidak dapat lagi menahan air matanya. Ia
kini berdiri sebagai seorang gadis. Seorang gadis yang seakan-akan berada di
persimpangan jalan. Ia berdiri tegak di antara ayahnya dan kakaknya. Tetapi
ayah dan kakaknya itu sama sekali tidak mempunyai sangkutan darah sama sekali.
Dan persoalan itulah yang agaknya ikut menjadi sebab menyalanya api yang akan
membakar Tanah Perdikan ini.
Keenam
laki-laki liar yang telah bertempur melawan Pandan Wangi itu pun menjadi heran.
Gadis itu tidak gentar melihat mereka dan ujung-ujung pedang mereka. Tetapi
kini, ketika ia sudah selamat dan tidak lagi berada di dalam bahaya, justru ia
menangis.
“Dalam keadaan
itu, terdengar Samekta berkata,
“Sudahlah,
Ngger. Marilah kita kembali.”
Tangis Pandan
Wangi belum mereda. Tetapi ia mencoba menahannya sekuat hati, sehingga dadanya
menjadi pepat, dan seakan-akan hendak meledak.
“Pulanglah,
Wangi,” terdengar suara Argajaya. Betapapun juga gadis itu adalah kemanakannya.
Seperti Sidanti, Argajaya telah dilibat oleh kenangan di masa gadis itu masih
kecil. Gadis kecil itu sering didukungnya, dibawanya bermain-main ke rumahnya
sebelum ia sendiri mempunyai anak perempuan. Meskipun kini anaknya sendiri
telah hampir sebesar Pandan Wangi, namun kenangan itu masih jelas di dalam
ingatannya.
Pandan Wangi
mengangkat wajahnya, ia memang ingin pulang kepada ayahnya. Namun sebelum ia
melangkah, terdengar ia berkata di antara isak tangisnya,
“Kakang Sidanti.
Kau akan melihat persoalan yang lebih buruk lagi di saat-saat mendatang,
apabila kau masih tetap di dalam pendirianmu. Itulah yang akan aku, katakan,
Kakang.”
Dada Sidanti
berdesir mendengar kata-kata adiknya. Sejenak ia terdiam. Sekilas terasa kebenaran
kata-kata Pandan Wangi. Sebelum persoalan ini meluas, maka ia telah menjumpai
peristiwa yang disesalkannya, justru menimpa adiknya sendiri. Lalu apakah yang
akan terjadi seandainya pergolakan yang kemelut ini menjadi semakin memburuk? Kekisruhan
pasti akan terjadi di mana-mana. Orang-orang yang ingin meneguk di air yang
keruh akan mendapat kesempatan seluas-luasnya. Kini ia telah dihadapkan pada
suatu contoh yang baik. Dalam pada itu terdengar suara Pandan Wangi,
“Kakang, apa
pun yang pernah terjadi atasmu, kau adalah anak dari Tanah ini. Tanah Perdikan
Menoreh. Apakah dengan demikian kau sampai hati melihat Tanah ini menjadi ajang
keributan dan kekisruhan? Apakah kau sampai hati melihat orang-orang tak
dikenal seperti orang-orang liar ini, berbuat sekehendak hatinya di sini.
Membunuh, merampok, dan memperkosa, justru kitalah yang mengundang mereka dan
memberikan tempat terhormat kepada orang-orang itu. Mempersilahkan mereka
merampas kekayaan di rumah kita sendiri dan sekaligus membakar rumah kita ini?”
Sidanti tegak
sebagai karang. Terasa tusukan-tusukan yang tajam di jantungnya. Ia melihat
kebenaran kata-kata Pandan Wangi. Betapa pertentangan terjadi di dalam rumah
tangga sendiri, bukan seharusnya kita membawa tetangga-tetangga kita, Betapapun
baiknya. Apalagi seliar laki-laki yang telah mengganggu Pandan Wangi itu, untuk
ikut serta mengeruhkan suasana. Ternyata bukan saja Sidanti yang langsung
tertusuk oleh kata-kata itu, tetapi juga Argajaya sebagai putera Tanah Perdikan
Menoreh. Sudah tampak di depan matanya, pepucuk dari segala macam bencana yang
akan menimpa Tanah ini. Tanah Perdikan yang kini dipimpin oleh kakaknya
sendiri.
Tetapi berbeda
tanggapan Ki Tambak Wedi yang masih saja berada di atas punggung kudanya. Ia
melihat gelagat pada wajah-wajah Sidanti dan Argajaya. Terasa darahnya meluap
karenanya. Ia sadar bahwa kata-kata Pandan Wangi itu langsung mengenai
sasarannya. Tetapi ia tidak dapat membiarkannya. Persoalan ini sudah terlanjur
sampai pada suatu tingkatan yang cukup parah. Sudah tentu bahwa ia tidak akan
dapat melangkah surut, apa pun yang
terjadi. Karena itu maka, ia harus segera berbuat sesuatu. Membungkam Pandan
Wangi sebelum ia berkata terlampau banyak dan berhasil melemahkan hati kakak
dan pamannya. Apabila demikian, maka ia akan berdiri sendiri dan bahkan mungkin
ia akan berhadapan dengan orang-orang yang selama ini berada di pihaknya. Dan
yang paling menyakitkan hati apabila anaknya laki-laki, Sidanti, terpengaruh
pula oleh kata-kata adiknya itu. Hampir saja Ki Tambak Wedi memilih jalan yang
paling berbahaya baginya tanpa mengenal unggah-ungguh. Hampir saja ia berbuat
kasar terhadap Pandan Wangi. Mengusirnya dan berteriak keras-keras membantah
kata-kata itu dengan seribu macam alasan. Tetapi ternyata ia pun tidak sampai hati berbuat demikian.
Justru karena wajah Rara Wulan membayang di wajah gadis itu. Wajah seorang
perempuan yang telah ikut menentukan jalan hidupnya. Perempuan yang telah
mendorongnya untuk berperang tanding dan mempertaruhkan nyawa dan kehormatan di
bawah Pucang Kembar beberapa puluh tahun lampau. Bayangan itulah yang telah
mengekangnya. Dan karena itu yang dilakukan kemudian adalah, mencari jalan
untuk segera mengusir Pandan Wangi itu dengan cara yang lain. Maka berkata
orang tua itu,
“Pandan Wangi.
Ayahmu telah memerintahkan bawahannya untuk menjemputmu. Pulanglah, supaya
ayahmu tidak menjadi cemas.”
“Ya, Kiai,”
jawab Pandan Wangi,
“aku akan
segera pulang. Aku telah puas dapat bertemu dengan Kakang Sidanti, dapat
mengatakan meskipun hanya sebagian kecil dari persoalan-persoalan yang
tersimpan di dalam hatiku.”
“Kami
berterima kasih atas peringatanmu itu. Tetapi kami mempunyai
pertimbangan-pertimbangan tersendiri. Baiklah, aku kira saat ini yang harus kau
lakukan adalah memenuhi panggilan ayahmu. Aku tahu, betapa gelisah hati orang
tua menunggu anaknya pulang. Apalagi dalam keadaan serupa ini.”
Ternyata usaha
Ki Tambak Wedi itu berhasil. Pandan Wangi segera merasa ingin untuk dapat
bertemu secepatnya dengan ayahnya. Katanya di dalam hati,
“Ayah pasti
menjadi gelisah karenanya.”
Karena itu
maka kemudian disarungkannya sepasang pedangnya dan berkata kepada kakaknya,
“Aku minta
diri, Kakang. Ingat-ingatlah peristiwa ini.”
Sidanti tidak
menyahut. Dipandanginya wajah adiknya yang pucat dan basah oleh keringat dan
air mata. Kemudian ia mengangguk kecil.
“Aku minta
diri, Paman,” berkata Pandan Wangi pula.
“Hati-hatilah,
Wangi. Apakah kau hanya berjalan kaki saja?”
Pandan Wangi
menggeleng,
“Tidak, Paman.
Aku berkuda. Tetapi kudaku telah lari.”
“Kenapa?”
Pandan Wangi
tidak menjawab. Tetapi dipandanginya beberapa orang laki-laki liar yang masih
berdiri di tempatnya masing-masing. Argajaya menggeram. Ia tahu, bahwa
orang-orang itulah yang telah sengaja melepaskan kuda Pandan Wangi. Karena itu
maka kemudian katanya,
“Pandan Wangi,
pakailah kudaku. Aku masih mempunyai beberapa ekor di rumah.”
Ki Tambak Wedi
mengerutkan keningnya. Ternyata hubungan antara paman dan kemanakannya tidak
dapat segera diputuskan oleh persoalan yang tumbuh kini. Meskipun demikian Ki
Tambak Wedi tidak berkeberatan. Dengan demikian maka Pandan Wangi itu akan
segera pergi. Maka sejenak kemudian, setelah menyarungkan sepasang pedangnya,
Pandan Wangi itu pun sekali lagi minta diri kepada paman dan kakaknya, kemudian
kepada Ki Tambak Wedi. Ia masih ingin berpesan sesuatu, tetapi Ki Tambak Wedi
mendahuluinya,
“Selamat
jalan, Anak manis. Hati-hatilah di jalan.” Lalu kepada Samekta ia berpesan,
“Jagalah gadis itu baik-baik. Mungkin banyak bahaya di sepanjang jalan. Ayahnya
pasti sudah menunggunya.”
“Baik, Kiai,”
sahut Samekta, meskipun hatinya mengumpat orang tua yang licik itu.
Sesaat
kemudian maka kedua ekor kuda itu pun
segera berderap meninggalkan mereka yang masih berdiri mematung di tempatnya. Sejenak
mereka yang ditinggalkan itu pun masih
tegak sambil berdiam diri. Mereka seolah masih belum dapat melepaskan diri dari
peristiwa yang baru saja terjadi. Di tangan mereka masih tergenggam
senjata-senjata masing-masing. Golok, pedang, dan tombak pendek di tangan
Argajaya. Bahkan ketegangan yang mencengkam mereka sama sekali masih belum
mereda.
Dalam keadaan
demikian itu terdengar suara Ki Tambak Wedi tertawa,
“Jangan
bermain-main lagi.”
Semua orang
berpaling kepadanya, dan ia berkata seterusnya,
“Kadang-kadang
kita memang perlu memanaskan diri, supaya apabila terjadi persoalan yang
sebenarnya kita benar-benar sudah bersiap. Tetapi sebaiknya pemanasan itu tidak
terjadi dalam kesalah-pahaman. Sebaiknya memanaskan diri itu harus terjadi
secara sadar.”
Tidak
seorang pun yang menyahut. Sekian banyak
laki-laki itu seolah-olah masih membeku.
“Sekarang
sarungkanlah pedang kalian?” berkata Ki Tambak Wedi seterusnya.
Ketika masih
belum ada yang melakukannya, maka ia berkata kepada Sidanti,
“Sidanti.
Jangan dipengaruhi oleh perasaan yang kekanak-kanakan itu. Berpikirlah dewasa,
seperti orang yang lain pun harus
berpikir dewasa.”
Laki-laki yang
berkumis dan berjambang itu tiba-tiba menyadari dirinya. Dan tiba-tiba pula ia
berkata,
“Aku bukan
barang mainan di sini. Aku datang atas undangan kalian. Tetapi di sini aku
sekedar akan dihinakan. Aku tidak mau. Aku harus berbuat sesuatu untuk menebus
hinaan ini. Jangan kau sangka aku berdiri sendiri. Di sini ada beberapa puluh
orang yang datang atas undangan kalian. Seperti aku. Apabila terjadi sesuatu
atasku, maka mereka pasti akan berpikir tentang nasib mereka pula. Apalagi
kalau aku berbicara tentang orang-orangku sendiri di tempatku. Mereka tidak
akan tinggal diam. Kalian harus tahu akibat yang akan melanda Tanah ini.”
Wajah Sidanti
yang masih tegang menjadi kian menegang. Dengan serta-merta ia menjawab,
“Tetapi, kami
tidak mengundang kalian untuk menghinakan gadis-gadis kami di sini. Apalagi
Pandan Wangi adalah adikku.”
Laki-laki
berkumis itu mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia bertanya, “Apakah gadis itu
adikmu?”
“Ya.”
Laki-laki berkumis
itu mengangguk-anggukkan kepalanya, gumamnya,
“Aneh sekali.
Kau telah bertekad untuk melawan Ayahmu. Ayahmu. Tetapi kau sangat terikat
kepada adikmu. Kenapa adikmu tidak kau bawa bersamamu? Menilik pengamatanku,
adikmu agaknya berpihak kepada Ayahmu. Padahal meskipun ia seorang gadis,
ternyata ia seorang gadis yang luar biasa. Lihat, tanganku telah terluka
karenanya. Beberapa orang kawanku pun terluka pula,”
“Salahmu
sendiri. Untunglah adikku mampu menyelamatkan dirinya sendiri. Kalau tidak,
maka kalian pun akan menjadi mayat di
sini.”
“He,” Laki-laki
itu membelalakkan matanya.
“Jadi kau
benar-benar menghendaki pertengkaran? Ayo, kami ternyata tidak akan
berkeberatan.”
Hampir saja
Sidanti berteriak menjawab tantangan itu, tetapi gurunya mendahuluinya,
“Sudah aku
katakan. Apabila kalian ingin memanaskan diri jangan dalam suasana salah paham.
Sarungkan senjata kalian. Yang terluka harus segera diobati. Setiap saat kalian
akan diterkam oleh bahaya. Apalagi sejak Pandan Wangi mengalami perlakuan ini.”
“Jadi kalau
terjadi benturan antara kalian dengan Argapati, kalian ingin menyalahkan kami
karena kami mencegat Pandan Wangi?”
“Bukan itu
soalnya. Maksudku, peristiwa ini akan dapat menjadi penyebab, meledaknya
kemelut yang selama ini seolah-olah, tersekap dalam dekapan yang rapat.”
“Lalu
bagaimana maksudmu? Apakah kami harus menunda perhitungan ini sampai persoalan
kalian dengan Argapati selesai?”
“Tidak. Aku
sama sekali tidak menghendaki persoalan ini berlarut-larut. Seharusnya Sidanti
menyadari kedudukannya, dan tidak membuat persoalan-persoalan baru dengan pihak
lain,”
Sidanti
terkejut mendengar kata-kata gurunya, sehingga dengan serta-merta ia berpaling.
“Apakah maksud
Guru?”
Ki Tambak Wedi
menarik nafas dalam-dalam. Terasa mulutnya terlampau berat untuk
mengucapkannya. Bahkan perasaannya pun
seakan-akan telah mengekangnya. Tetapi ia mencoba mempergunakan pikirannya. Ia
harus memperhitungkan setiap keadaan dengan nalar, tidak dengan perasaan.
Meskipun wajah Rara Wulan seolah-olah terbayang di wajah Pandan Wangi, namun
ketika gadis itu sudah tidak berada di hadapannya, diusahakannya untuk mengusir
bayangan itu dengan pikirannya.
“Apakah yang
harus aku kerjakan guru?” bertanya Sidanti.
Ki Tambak Wedi
tidak segera menyahut. Di pandanginya wajah Argajaya yang menegang pula.
Kemudian wajah-wajah dari beberapa laki-laki liar yang sedang dilanda oleh
kemarahan itu.
“Maksudku,”
berkata Ki Tambak Wedi,
“jangan
terjadi persoalan di antara kalian. Aku mengharap kalian yang kami undang pun dapat menempatkan diri kalian sebagai
tamu yang terhormat, tetapi aku mengharap pula bahwa Sidanti dan pamannya dapat
menjadi Tuan rumah yang baik. Dengan demikian kalian tidak akan terlibat dalam
persoalan-persoalan yang tidak perlu.”
“Tetapi
semuanya telah terjadi,” potong laki-laki berkumis itu.
“Kami telah
merasakan hinaan atas diri kami. Baik dari perempuan yang bernama Pandan Wangi
maupun dari Sidanti.”
“Itulah yang
ingin aku selesaikan sekarang,” berkata Ki Tambak Wedi.
“Persoalan
kalian dengan Sidanti harus kalian anggap tidak pernah terjadi. Sidanti dan
Argajaya harus beranggapan demikian pula,”
“Tetapi mereka
telah menghina adikku,” Sidanti-lah yang kemudian memotong kata-kata gurunya.
“Persoalan
mereka dengan Pandan Wangi bukanlah persoalan kita, Sidanti.”
“He,” hampir
bersamaan Argajaya, dan Sidanti bertanya lantang,
“kenapa?
Kenapa bukan persoalan kita?”
Sekali lagi
Tambak Wedi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak segera mengucapkan
jawabnya. Tetapi Sidanti, dan Argajaya menjadi semakin lama semakin tegang.
Mereka ingin mendengar penjelasan dari orang tua yang masih saja tenang-tenang
duduk di atas punggung kudanya.
“Guru,”
berkata Sidanti,
“kenapa
persoalan Pandan Wangi bukan persoalan kita?”
“Sidanti,”
berkata Ki Tambak Wedi,
“kau sudah
berbuat tepat saat ini. Sebagai seorang kakak, kau sudah melakukan kuwajibanmu.
Tetapi kau juga mempunyai kewajiban-kewajiban yang lain, yang juga harus kau
lakukan, dan kau pertanggung jawabkan, sehingga kewajiban yang satu, dan yang
lain harus menjadi seimbang.”
Wajah Sidanti
menjadi semakin tegang, dan ia mendengar Ki Tambak Wedi berkata pula,
“Maksudku
begini Sidanti. Kau memang bertanggung jawab terhadap adikmu itu apabila kau
melihatnya. Seandainya peristiwa ini terjadi, dan kau melihatnya, maka tidak
seorang pun yang dapat menyalahkan kau.”
“Melihat atau
tidak melihat, Guru, tetapi peristiwa ini benar-benar peristiwa yang
memalukan.”
“Tetapi
kehadiran orang-orang itu sama sekali bukan peristiwa yang memalukan, sebab
didorong oleh suatu cita-cita yang jauh lebih bernilai dari persoalan-persoalan
harga diri seorang gadis. Persoalan yang kita tangani, dan yang mendorong kita
mengundang mereka adalah persoalan Tanah Perdikan. Persoalan yang menyangkut
hidup, dan mati seluruh rakyat di Tanah Perdikan ini. Sedang Pandan Wangi
adalah hanya satu dari antaranya, dari antara rakyat Tanah Perdikan Menoreh
ini. Seperti halnya kita sendiri. Jangankan kehormatan, tetapi jiwa, dan raga
kita, kita pertaruhkan.”
“Guru.
Betapapun tinggi nilai dari perjuangan kita, tetapi bukankah hal-hal serupa ini
tidak perlu terjadi? Hal-hal yang menyangkut harga diri, dan kehormatan seorang
gadis? Guru, keduanya sama sekali tidak ada sangkut pautnya. Perjuangan itu
dapat berjalan, dan berlangsung terus, tetapi perampasan kehormatan serupa ini
harus dihentikan.”
“Kau berada di
dalam suatu dunia angan-angan yang hanya dapat terjadi di dalam mimpi, Sidanti.
Kehadiran orang-orang itu di sini, sama sekali tidak dapat dibatasi menurut
keinginan kita. Mereka hadir dengan segala keadaan mereka. Dengan segala sifat,
dan watak mereka. Sehingga hal-hal yang akan terjadi sesuai dengan sikap, dan
watak mereka seharusnya sudah kita perhitungkan sejak semula. Itulah sebabnya
aku tidak terkejut apabila terjadi hal-hal serupa ini. Tetapi hal serupa ini
harus terjadi di luar pengetahuan kita, di luar tanggung jawab kita. Dengan
demikian, kita tidak akan tersangkut dengan perbuatan-perbuatan mereka, tetapi
kita juga tidak akan membuat persoalan dengan mereka yang datang atas undangan
kita.”
“Ah,” Sidanti
berdesah.
Tetapi sebelum
ia berkata gurunya mendahului,
“Adalah
kebetulan bahwa yang menjadi korban pertama-tama adalah adikmu, Sidanti. Tetapi
apa boleh buat. Perjuangan yang besar memang memerlukan pengorbanan.”
“Kiai,”
Argajaya tiba-tiba menyahut,
“Kiai dapat
berkata begitu karena Kiai tidak mempunyai sangkut paut dengan gadis itu.
Tetapi ia adalah kemanakanku. Bagaimana mungkin aku dapat membiarkan hal itu
terjadi?”
Ki Tambak Wedi
mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia tersenyum.
“Kau memang
aneh. Kau sudah menentukan sikap. Kau telah memilih pihak di dalam pertentangan
ini. Kalau kau masih terikat kepada hubungan keluarga, maka kau harus
mempertimbangkannya sepuluh kali lagi. Argapati adalah kakakmu. Bukan sekedar
kemanakanmu. Kau telah berada di dalam suatu rencana bersama dengan kami.
Argapati harus disingkirkan. Apakah kau juga masih bertanya, bagaimana kau
dapat membiarkan hal itu terjadi?”
Terasa desir
yang tajam tergores di jantung Argajaya. Jawaban Tambak Wedi tepat mengenai
sasarannya, sehingga sejenak ia terbungkam. Betapa dahsyatnya gejolak di dalam
dadanya, tetapi ia tidak dapat menemukan jawaban yang tepat atas kata-kata Ki
Tambak Wedi itu.
Sekilas
dipandanginya Sidanti. Ia sadar, bahwa Ki Tambak Wedi tidak akan dapat
mengemukakan persoalan serupa itu kepada Sidanti, karena Argapati bukanlah
Ayahnya.
Suasana yang
hening, sejenak mencengkam setiap hati laki-laki yang ada di tempat itu. Hanya
mata-mata mereka sajalah yang bergerak-gerak hinggap dari satu orang ke orang
yang lain. Dalam keheningan itulah kemudian mereka mendengar suara Ki Tambak
Wedi,
“Nah,
seharusnya kita pun saling memelihara
setiap hubungan baik yang telah ada. Orang-orang itu kini sudah tahu bahwa
Pandan Wangi adalah adik Sidanti, sehingga mereka tidak akan dapat berbuat
sesuatu atasnya di hadapan Sidanti, dan Argajaya.”
Urat-urat
darah Sidanti, dan Argajaya serasa akan pecah. Tetapi mereka tidak dapat
menjawab. Mereka tahu tujuan kata-kata gurunya, dan mereka pun sadar bahwa Ki
Tambak Wedi hendak mengorbankan apa saja untuk kepentingan rencananya. Apalagi
perempuan. Perempuan yang sama sekali tidak mendapat tempat yang baik di
hatinya, sejak ia terlibat dalam persoalan yang rumit sampai di hari Tuanya.
Rara Wulan. Dan Ki Tambak Wedi itu berkata seterusnya,
“Nah aku tetap
pada pendirianku. Kalian harus melupakan apa yang telah terjadi supaya tidak
ada retak betapapun kecilnya yang akan dapat mengganggu kekuatan kita. Tetapi
itu tidak berarti bahwa kita masing-masing boleh berbuat sekehendak diri kita.
Kita harus tetap dalam satu ikatan. Yang satu berusaha untuk tidak menyinggung
perasaan yang lain. Kita harus dapat saling membatasi diri masing-masing,”
Ketika Sidanti
akan berbicara, Ki Tambak Wedi mendahului.
“Sidanti,
kalau masih ada persoalan di dalam dirimu atau di dalam diri pamanmu, marilah
kita bicarakan di rumah. Tetapi bagaimanakah tanggapan kita bersama atas
peristiwa ini seperti yang aku maksudkan?” Lalu kepada setiap laki-laki yang
masih berdiri mematung di sekitarnya Ki Tambak Wedi berkata,
“Apakah kalian
dapat mengerti? Tetapi ingat, Tanah ini bukan padang rumput yang hijau bagi
kawanan kambing yang bodoh. Tetapi Tanah ini harus bersama-sama kita
perjuangkan, kita semai, dan kita pelihara bersama-sama, supaya kita kelak
dapat memetik hasilnya. Bukan sebaliknya, menjadi arena persengketaan tanpa
ujung dan pangkal.”
Sejenak mereka
saling berpandangan. Tetapi tidak seorang
pun dari mereka yang segera menjawab. Sekali lagi mereka terdampar ke
dalam suatu suasana yang hening. Namun terasa bahwa sorot-sorot mata mereka
memancarkan pergolakan di dalam dada masing-masing.
Ki Tambak Wedi
yang masih duduk di atas punggung kudanya memandang wajah-wajah yang tegang itu
satu demi satu, seakan-akan ingin melihat perasaan apakah yang tersembunyi di
dalam hati mereka. Pengamatannya yang tajam mengatakan kepadanya bahwa dentang
jantung orang-orang yang telah berkelahi bersama Pandan Wangi itu agak mereda.
Sehingga tanpa sesadar mereka, senjata-senjata mereka pun telah terkulai menunduk dalam-dalam. Maka
ketika mereka mendengar Ki Tambak Wedi berkata kepada mereka, seakan-akan
mereka telah digerakkan oleh tenaga yang tidak mereka mengerti untuk
memenuhinya.
“Sarungkanlah
senjata-senjata kalian.”
Orang-orang
liar itu pun segera menyarungkan senjata-senjata mereka. Sidanti, Betapapun
kebimbangan masih melanda dadanya, namun senjatanya pun telah disarungkannya pula.
“Marilah kita
kembali, Sidanti,” berkata Ki Tambak Wedi kemudian.
“Kita akan
berbicara terlampau panjang di sini. Marilah, Ngger Argajaya.”
Sejenak
Sidanti dan Argajaya saling berpandangan. Meskipun mereka mempunyai persamaan
sikap tentang Pandan Wangi, namun ternyata bahwa di dalam hati mereka tumbuh
pertentangan yang tidak mereka sadari. Betapapun juga Argajaya tidak dapat
melepaskan kesadaran tentang dirinya, bahwa ia paman Pandan Wangi, adik ayah
gadis itu, dan sama sekali tidak mempunyai sangkut-paut apa pun dengan Sidanti,
kakak Pandan Wangi. Sedang Sidanti pun
menyadari hal itu pula. Kesadaran itu merupakan bibit yang tertanam di dalam hati
masing-masing yang mungkin dapat tumbuh. Mungkin pula dapat menjadi subur, dan
berbuah. Tetapi Ki Tambak Wedi yang mempunyai pengamatan yang tajam itu pun
menyadari keadaan itu pula. Ia menyadari bahwa benih itu dapat tumbuh dengan
subur, dan menghasilkan buah yang lebat tetapi beracun. Karena itu, maka ia
harus menjaga agar benih itu menjadi kering, dan mati sebelum sempat tumbuh
ngrembaka. Dan agaknya Ki Tambak Wedi mempunyai keahlian di dalam hal itu. Sejenak
kemudian, Sidanti, dan Argajaya yang masih tegak berdiri di tempatnya,
mendengar Ki Tambak Wedi itu berkata pula kepada mereka,
“Marilah kita
pulang. Dapatkah kuda itu kalian pakai berdua? Kalau tidak, pakailah kudaku.
Aku akan berjalan kaki saja.”
Sidanti dan
Argajaya sekilas saling berpandangan. Namun kemudian Sidanti berkata,
“Kudaku cukup
kuat, Paman. Marilah silahkan.”
Argajaya tidak
menjawab. Tetapi ia melangkah mendekati kuda Sidanti. Maka kemudian mereka
mempergunakan kuda itu berdua, bersama Ki Tambak Wedi kembali ke rumah
Argajaya. Tetapi keduanya masih sekali lagi berpaling memandang wajah-wajah
yang liar, yang masih berdiri termangu-mangu di tempatnya.
Namun Sidanti
segera mengekang kendali kudanya ketika ia mendengar salah seorang dari orang-orang
liar itu berkata,
“Persoalan
kami dengan Pandan Wangi bukanlah persoalan kalian.”
Hampir saja
Sidanti meloncat dari kudanya apabila gurunya tidak berkata,
“Jangan bodoh,
Sidanti. Aku perlu memberi penjelasan kepadamu di rumah. Kau harus sadar sejak
semula, bahwa korban yang harus diberikan kadang-kadang terlampau memberati
perasaan. Tetapi dalam perjuangan ini kalian jangan terlampau dikuasai oleh
perasaan. Tetapi kalian harus mempergunakan pikiran, supaya perhitungan kalian
tidak terombang-ambing.”
“Maksud guru?”
“Sudah aku
katakan, jangan mengurusi soal-soal yang tidak bersangkut paut dengan
perjuanganmu. Salahnya sendiri, apabila Pandan Wangi bertemu dengan orang-orang
liar itu. Biarlah ia mempertanggung-jawabkan dirinya sendiri. Bukankah Argapati
lebih banyak mempunyai tanggung jawab atasnya daripada kau?”
Terasa dada
Sidanti, dan Argajaya bergetar. Tetapi mereka masih mendengar Ki Tambak Wedi
berkata,
“Betapa aku
akan hancur didera oleh perasaanku, apabila aku membiarkan perasaan itu
berbicara. Aku sama sekali tidak dapat melepaskan ingatanku apabila aku melihat
wajah Pandan Wangi. Wajah itu adalah bayangan wajah Rara Wulan. Aku berkata
berterus terang kepadamu, Sidanti, karena Rara Wulan adalah ibumu. Tetapi untuk
kepentingan yang lebih besar, aku paksa diriku sendiri untuk melepaskan
angan-angan, dan bayangan itu, supaya orang-orang liar itu tidak menusuk kita
dari belakang.”
Sidanti dan
Argajaya tidak menyahut. Mereka kini mengerti sepenuhnya maksud Ki Tambak Wedi.
Namun demikian terasa dada mereka masih berdentangan.
“Kita bukan
manusia-manusia cengeng yang hanya dikuasai oleh perasaan. Kita harus mempunyai
perhitungan yang pasti. Kita harus mampu membuat perimbangan, apakah yang kita
korbankan dan apakah yang dihasilkan karenanya.”
Sidanti dan
Argajaya masih tetap berdiam diri. Tetapi kini terjadi percikan-percikan
persoalan di dalam dada mereka. Kata-kata Ki Tambak Wedi itu ternyata seperti
ujung jarum yang menusuk jantung mereka, dan meninggalkan bintik-bintik luka
beracun.
Sementara itu,
Pandan Wangi dan Samekta sedang mengendarai kuda mereka meninggalkan tempat
terkutuk itu. Tetapi karena tubuh Pandan Wangi yang lelah, maka ia tidak
berpacu terlampau cepat. Kuda pamannya itu
pun masih belum begitu dikenalnya, sehingga kadang-kadang ia masih harus
berusaha menyesuaikan diri. Tiba-tiba mereka terpaksa mengekang kuda-kuda
mereka ketika serombongan kambing berlari-larian memotong jalan. Agak jauh di
belakang mereka seorang gembala berlari-lari pula, mengejarnya dengan sebuah
cambuk di tangan. Pandan Wangi menarik nafas. Namun tiba-tiba ia mengerutkan
keningnya dan bergumam,
“Sejak
beberapa lama, baru kali ini aku melihat seorang gembala menggembalakan
kambing-kambingnya di ladang terbuka. Apakah gembala itu tidak takut, bahwa
kambing-kambingnya akan dirampas orang atau apa pun, yang dapat berbahaya bagi
kambing-kambingnya, dan bahkan bagi dirinya sendiri?”
Samekta tidak
menjawab. Matanya terikat kepada gembala yang berlari-larian di belakang
kawanan kambingnya yang memotong jalan. Gembala yang bermandi peluh dan
kelelahan.
Ketika gembala
itu mencoba meloncati parit di pinggir jalan, ternyata satu kakinya tergelincir
dan gembala itu jatuh terguling ke dalam air. Tertatih-tatih ia mencoba
berdiri, sedang tubuhnya telah menjadi basah kuyup. Bukan karena keringat,
tetapi karena air yang agak keruh. Gembala itu mencoba mengusap mukanya yang
kotor. Kemudian sambil bersungut ia berjalan perlahan-lahan dekat di depan
Samekta dan Pandan Wangi, menyeberangi jalan. Sesaat Pandan Wangi melupakan
keadaan diri sendiri. Ia tersenyum melihat gembala yang basah kuyup itu.
Gembala itu ternyata sudah bukan kanak-kanak lagi. Tetapi ia adalah seorang
anak muda yang telah dewasa. Ketika gembala itu sampai di pinggir jalan
seberang, ia membungkuk memungut serulingnya yang tiba-tiba saja terjatuh.
Diusapnya seruling itu dengan ujung kainnya yang telah basah pula.
“Hati-hatilah
lain kali,” tanpa sesadarnya Pandan Wangi berkata.
Gembala itu
berpaling. Kemudian membungkuk hormat sekali.
“Aku
tergesa-gesa sehingga aku tergelincir.”
“Kenapa kau
tergesa-gesa?” bertanya Pandan Wangi pula.
“Menurut
orang-orang tua, keadaan daerah ini agak kurang baik sekarang.”
“Tetapi kenapa
kau pergi menggembala juga?”
“Aku kasihan
melihat kambing-kambingku. Sekali-sekali aku bawa juga ke luar meskipun hanya
sebentar.”
“Kalau dalam
waktu yang sebentar itu kambingmu dirampas orang, bagaimana dengan kau? Apakah
kambing-kambing itu kambingmu sendiri?”
“Ya,
kambing-kambing ini adalah kambing-kambing ayahku sendiri. Aku memeliharanya
dengan baik, supaya kambing-kambing itu dapat berkembang biak dengan baik pula.
Kepada kambing-kambing itulah kami meletakkan harapan kami. Sawah kami
terlampau sempit, dan pekerjaan-pekerjaan lain terlampau sulit didapatkan.
Mudah-mudahan kambingku cepat menjadi banyak.”
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian tiba-tiba saja ia bertanya,
“Kenapa
keadaan di daerah ini agak kurang baik? Siapakah yang berkata demikian, dan
apakah sebabnya?”
“Ah, apakah
aku mengerti persoalan itu? Aku tidak tahu. Menurut orang-orang tua dan
anak-anak muda yang ikut bersiap-siap, keadaan semakin hari menjadi semakin
buruk. Ki Gede Menoreh sedang berselisih dengan puteranya sendiri. Benarkah
begitu? Akulah yang bertanya, sebab bukankah kau puteri Ki Gede Menoreh pula?”
Pandan Wangi
mengerutkan keningnya. Ia tidak menjadi heran bahwa seseorang segera dapat
mengenalnya sebagai putri satu-satunya dari Kepala Tanah Perdikan ini, meskipun
ia sendiri tidak mengenal gembala itu. Tetapi sudah tentu bahwa ia tidak dapat
berceritera banyak kepada gembala itu, sehingga jawabnya,
“Nah, sekarang
pulanglah. Hati-hatilah. Memang keadaan kini agak kurang baik. Tetapi
mudah-mudahan segera dapat diselesaikan.”
Gembala itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Mudah-mudahan.
Kami akan menjadi senang, karena kami dapat menggembalakan kambing-kambing kami
dengan leluasa dan tidak terganggu oleh rasa takut, dan cemas. Kami pun akan dapat mengerjakan sawah kami dengan
tenang. Bukankah begitu? Kami tidak mengharap terlampau banyak.”
Pandan Wangi
mengernyitkan alisnya. Ketika ia berpaling kepada Samekta dilihatnya wajah
pimpinan pengawal Tanah Perdikan itu sedang berkerut. Harapan gembala itu
memang sederhana, dan terlalu wajar. Mereka tidak mengharap terlampau banyak.
Ketenangan untuk bekerja, tanpa dihantui oleh bermacam-macam persoalan yang
menakutkan.
“Siapakah
namamu?” tiba-tiba, Samekta bertanya.
“Gupita,”
jawab gembala itu dengan serta merta.
“He,” Samekta
menyahut,
“nama itu
terlampau baik buat seorang gembala. Nama itu baik sekali lebih baik dari
namaku sendiri. Gupita.”
“Siapakah nama
Tuan?” tiba-tiba gembala itu bertanya. Wajahnya memancarkan kejujuran hatinya.
Ia memang ingin tahu nama yang kurang baik dari namanya itu. Dan ia bertanya.
Wajar sekali baginya.
Samekta
mengerutkan keningnya. Tetapi ia tersenyum dan menjawab,
“Samekta.
Namaku, Samekta. Bukankah namamu lebih baik dari namaku?”
Tanpa
disangka-sangka gembala itu mengangguk, “Ya. Memang namaku agak lebih baik.
Tetapi tidak terpaut banyak. Samekta juga nama yang baik meskipun tidak sebaik
Gupita. Bukankah begitu?”
Mau tidak mau
Samekta dan Pandan Wangi terpaksa tertawa. Sejenak mereka melupakan
persoalan-persoalan yang sedang kemelut di Tanah Perdikan ini. Dan dengan
demikian mereka mendapat gambaran, bahwa sebenarnya para gembala, para petani,
para penarik pedati, tidak terlampau banyak mengharap untuk kepentingan mereka.
Ketenangan. Ketenangan bekerja. Tidak ada ketakutan dan ancaman. Hidup damai
dalam lingkungan keluarga yang damai. Mereka sama sekali tidak membayangkan
atau mimpi untuk memiliki sepuluh ekor kuda tunggangan yang paling baik. Tidak
ingin memiliki limabelas pasang lembu yang besar-besar, dan tidak mimpi untuk
mempunyai rumah joglo gandeng tujuh. Tidak. Mereka hanya memerlukan ketenangan,
dan kedamaian hati. Samekta yang masih tertawa itu kemudian
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia melihat mata gembala itu. Terasa sesuatu
berdesir di dalam dadanya. Mata itu seolah-olah memercikkan sesuatu.
“Harapan,”
desisnya di dalam hati.
“Mungkin ia
terlampau mengharap ketenangan, dan kedamaian hati. Mudah-mudahan segera akan
terpenuhi.”
Sejenak
kemudian maka Pandan Wangi dan Samekta itu segera menyadari keadaannya. Mungkin
ayahnya kini sudah menjadi terlampau gelisah. Karena itu, maka Pandan
Wangi pun berkata,
“Marilah,
Paman, ayah menungguku, dan lukaku memerlukan pengobatan pula, meskipun tidak
seberapa dalam.”
“Oh, marilah.
Kita hampir-hampir lupa waktu karena gembala yang aneh ini.”
“Apakah aku
menghambat perjalanan Tuan?” bertanya gembala itu.
Samekta
menggeleng,
“Tidak. Kami sendirilah
yang menghentikan perjalanan kami.”
Gembala itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia bertanya sambil menunjuk di
kejauhan,
“Apakah
orang-orang itu kawan Tuan?”
Samekta dan
Pandan Wangi serentak berpaling. Sebuah goncangan telah memukul dada mereka.
Orang-orang itu adalah orang-orang liar yang telah mencegat Pandan Wangi,
sedang berjalan tergesa-gesa ke arah mereka. Sekilas Pandan Wangi dan Samekta
saling berpandangan. Terasa tangan mereka gemetar, dan tanpa sesadar mereka,
mereka telah meraba hulu pedang masing-masing. Gupita yang berdiri di pinggir
jalan memandangi mereka dengan mulut ternganga-nganga. Sesaat ia berpaling
kepada orang-orang yang berjalan tergesa-gesa itu, dan sesaat ia memandangi
Pandan Wangi dan Samekta.
“Apakah mereka
bukan kawan-kawan Tuan?” Gupita bertanya sekali lagi.
Samekta
menggeleng. Tetapi tidak menjawab. Bahkan ia berkata kepada Pandan Wangi,
“Mereka
benar-benar orang yang buas.”
Meskipun
Pandan Wangi bukan seorang penakut, tetapi terasa bulu-bulunya meremang. Ia
tidak takut seandainya ia harus bertempur di antara hidup, dan mati. Tetapi
kerakusan orang-orang itulah yang telah membuatnya terlampau ngeri.
“Untung Angger
Sidanti telah menyelamatkanmu,” desis Samekta.
Pandan Wangi
mengangguk. Katanya,
“Aku sudah sampai
kepada keputusan untuk membunuh diri. Tetapi berdua dengan Paman Samekta aku
mengharap dapat membinasakan mereka.”
Samekta
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi kemudian ia berkata,
“Tetapi Ki
Gede Menoreh akan menjadi terlampau gelisah. Ki Gede telah menunggumu.”
Pandan Wangi
mengerutkan keningnya. Tetapi terasa tangannya terlampau gatal. Kemarahan, dan
kebencian telah membakar jantungnya. Meskipun demikian ia berkata,
“Apakah yang
sebaiknya kita lakukan, Paman?”
“Kembali.
Kembali dahulu kepada ayahmu. Kemudian terserah, apa yang akan kau lakukan.
Seandainya aku harus ikut bersamamu, aku
pun tidak akan berkeberatan.”
Pandan Wangi
tidak menyahut. Orang-orang itu semakin lama menjadi semakin dekat. Tetapi
mereka pasti tidak akan dapat mengejarnya seandainya Samekta dan Pandan Wangi
melarikan kuda mereka, meskipun tidak usah dipacu. Karena itu Samekta dan
Pandan Wangi tidak menjadi tergesa-gesa. Bahkan Pandan Wangi masih dapat
berkata kepada Gupita,
“Gupita.
Apakah kau tidak berusaha untuk menyingkirkan kambing-kambingmu?”
“Kenapa ?”
“Mudah-mudahan
orang-orang itu tidak tertarik kepada kambing-kambingmu yang gemuk itu. Tetapi
kalau kau sempat, singkirkanlah. Apabila mereka tiba-tiba saja ingin daging
kambing maka kau pasti akan kehilangan. Mereka akan mengambil begitu saja tanpa
banyak persoalan. Karena itu, lebih baik bagimu untuk menyingkir.”
Gupita
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia sama sekali tidak berbuat demikian.
Ia tidak berlari dengan tergesa-gesa menggiring kambing-kambingnya. Tetapi ia masih
berdiri sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, meskipun kini ia berdiri
memandang ke arah orang-orang itu dengan tajamnya.
“Enam orang,”
desisnya.
“Ya, enam
orang,” ulang Samekta.
Dan Pandan
Wangi menyahut, “Karena itu singkirkan kambing-kambingmu.”
Samekta
berpaling ke arah beberapa ekor kambing yang sedang makan rumput dengan
asyiknya di pinggir-pinggir pategalan. Sejenak kemudian matanya berkisar kepada
orang-orang yang baru datang itu. Dan tiba-tiba saja ia bergumam,
“Enam orang.
Bukankah mereka berenam? Dua di depan, dan empat di belakang. Bukankah begitu?”
“Ya. Mereka
memang berenam. Kenapa?”
“Seandainya
mereka ingin makan daging kambing, mereka tidak akan dapat menghabiskan seekor
yang tidak terlampau besar.”
“Tetapi mereka
tidak akan puas dengan demikian. Mungkin mereka akan mengambil tiga empat ekor.
Atau bahkan seorang satu. Mereka bawa kambing-kambing itu ke pondok mereka.
Setiap hari mereka menyembelih seekor daripadanya. Apabila kambing itu telah
habis, mereka akan mencarimu atau mencari kandang-kandang kambing yang lain di
padukuhan-padukuhan itu.”
Gupita
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih belum beranjak pergi. Bahkan
kemudian ia berdesis,
“Aku akan
mempertahankan milikku. Kambingku tidak lebih dari tujuh ekor selain anak-anaknya.
Aku akan mempertahankan milik keluargaku itu.”
Samekta dan
Pandan Wangi terperanjat. Hampir bersamaan mereka berkata,
“Jangan.
Jangan kau coba, Gupita. Mereka adalah orang-orang yang paling buas yang pernah
aku temui. Karena itu, menyingkirlah. Kau tidak akan dapat melawan mereka.
Seorang daripadanya pun kau tidak akan
dapat mengalahkannya, apa lagi mereka berenam.”
Gupita mengerutkan
keningnya. Katanya,
“Mereka tidak
berhak berbuat demikian. Kambing itu adalah kambing keluarga kami. Kalau mereka
minta dengan baik-baik, mungkin aku akan memberinya seekor. Kalau tidak, maka
aku akan bertahan. Mereka akan dapat dihukum dengan melakukan perampasan itu.”
“Siapakah yang
akan menghukum mereka?”
“Ki Gede
Menoreh. Ki Gede Menoreh harus melindungi kami.”
Pandan Wangi
dan Samekta terkejut mendengar jawaban itu. Sejenak mereka terdiam, dan saling
berpandangan. Tetapi kata-kata itu sama sekali tidak salah.
“Apakah kami
harus membiarkan diri dirampas hak-hak kami? Itu tidak adil.”
Samekta
menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia mencoba untuk menasehati.
“Jangan
berbicara tentang hak dan keadilan pada saat-saat seperti ini, Gupita. Aku
hargai keberanianmu, tetapi kau harus mencoba menyesuaikan dirimu.”
“Kenapa?”
bertanya gembala itu.
“Kini baru
terjadi benturan kekuatan di atas Tanah ini. Benturan kekuatan yang
kadang-kadang melanggar segala macam nilai-nilai yang selama ini kita junjung
tinggi. Hak dan keadilan, bahkan kebenaran sedang berada di dalam ujian.
Mudah-mudahan Ki Gede Menoreh mampu menegakkannya dengan melenyapkan
kekuatan-kekuatan yang akan menodainya.”
Gembala itu
meggeleng lemah,
“Aku tidak
mengerti. Tetapi kambing itu kambingku. Tak ada orang lain yang berhak atasnya.
Juga orang-orang itu. Bahkan kalian pun
tidak berhak pula merampasnya.”
Samekta dan Pandan
Wangi menjadi berdebar-debar. Orang-orang itu kini sudah menjadi semakin dekat.
Karena itu maka Pandan Wangi berkata pula,
“Menyingkirlah.
Aku pun akan menyingkir karena Ayah menungguku. Apabila tidak, maka aku akan
membantumu. Tetapi kesempatan yang paling baik saat ini bagimu adalah
menyingkir cepat-cepat bersama kambing-kambing itu. Cobalah, berusahalah
meskipun mereka telah semakin dekat.”
Gembala itu
memandang Pandan Wangi dengan mata yang hampir tidak berkedip. Namun sesaat
kemudian pandangannya beralih kepada Samekta, dan sesaat pula kepada
orang-orang yang berjalan semakin dekat. Tetapi ia bertanya,
“Apakah
orang-orang yang merampas hak orang lain itu tidak akan dihukum?”
Samekta
menarik nafas dalam-dalam. Amat sulitlah agaknya memberi penjelasan kepada
gembala itu. Meskipun demikian ia menjawab,
“Seharusnya ia
dihukum. Tetapi kalau ia berpedang di lambungnya, maka untuk menghukumnya
diperlukan kekuatan yang dapat melampaui kekuatan pedang orang-orang itu.”
Gembala itu
masih belum mengerti menilik pandangannya yang termangu-mangu. Tetapi Pandan
Wangi dan Samekta sudah tidak mempunyai kesempatan lagi. Orang-orang liar itu
kini telah menjadi semakin dekat.
“Pergilah,
lain kali kita berbicara. Di mana rumahmu?” bertanya Samekta.
“Di Randu
Putung.”
“Randu Putung?
Padukuhan itu dekat dengan Pucang Kembar, he?”
Gembala itu
menganggukkan kepalanya, “Ya, di sebelah Utara.”
“Kenapa kau
menggembala sampai ke tempat ini? Bukankah jarak ini terlampau jauh, apalagi
dalam keadaan seperti ini?”
Gembala itu
mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia menjawab,
“Aku mengikuti
saja ke mana kambing-kambingku pergi.”
Sejenak
Samekta dan Pandan Wangi saling berpandangan. Tetapi sebelum mereka berkata
sesuatu, mereka berpaling. Terdengar salah seorang dari laki-laki yang datang
itu berteriak,
“He, Pandan
Wangi, apakah kau menunggu aku, he?”
Pandan Wangi
tidak menjawab. Tetapi ia berkata kepada gembala itu,
“Pergilah.
Aku pun akan segera pergi.”
“Tunggulah.
Aku segera datang,” terdengar yang lain berteriak pula. Langkah mereka ternyata
menjadi semakin cepat, pergi ke arah mereka. Bahkan orang yang berjalan di
paling belakang berlari-lari kecil menyusul kawan-kawannya yang sudah lebih
dahulu daripadanya.
Pandan Wangi
mengerutkan dahinya. Lalu ia bergumam,
“Marilah,
Paman. Sebelum mereka terlalu dekat. Aku tidak yakin bahwa aku dapat menahan
kebencianku kepada mereka. Sehingga lupa diri dan berusaha berbicara dengan
pedangku.”
“Marilah,
Ngger,” sahut Samekta, meskipun tangannya
pun melekat di hulu pedangnya. Agaknya kebenciannya pun meluap sampai di ujung ubun-ubunnya.
Bahkan ia menggeram,
“Seandainya Ki
Gede tidak menunggu.”
Keduanya
kemudian menggerakkan kuda mereka perlahan-lahan. Mereka masih mencoba
meyakinkan gembala itu supaya pergi. Tetapi mereka tidak mau menunggu
orang-orang liar itu supaya mereka tidak tertahan-tahan lagi.
“He, ke mana
kau, Pandan Wangi? Bukankah kau menunggu aku?”
Pandan Wangi
sama sekali tidak menghiraukannya. Perlahan-lahan kudanya mulai melangkah
meninggalkan gembala yang masih berdiri termangu-mangu.
“Pergilah,
pergilah. Jangan menarik perhatiannya,” desis Samekta.
Tetapi Samekta
menggeleng-gelengkan kepalanya ketika gembala itu sama sekali tidak beranjak
dari tempatnya.
“Apa boleh
buat,” desis Pandan Wangi.
“Kami sudah
mencoba memperingatkannya. Gembala itu jujur. Tetapi agak dungu.”
Samekta
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara kudanya berjalan meninggalkan Gupita
yang masih berdiri di tempatnya. Mereka masih mendengar orang-orang yang berjalan
ke arah mereka berteriak.
“Tunggu,
tunggu, Pandan Wangi. Aku ingin berbicara. Sedikit saja.”
Tetapi Pandan
Wangi dan Samekta tidak menghiraukannya lagi. Semakin lama langkah-langkah kuda
mereka justru menjadi semakin cepat, meskipun kadang-kadang mereka masih
berpaling. Mereka masih melihat orang-orang itu melambaikan tangan mereka dan
berkata lantang,
“Aku ingin
berbicara sedikit kepadamu, Wangi. Aku tidak akan mengganggumu lagi.”
Pandan Wangi
mengerutkan keningnya. Tetapi Samekta berkata,
“Jangan
hiraukan mereka. Mereka adalah orang-orang yang licik dan tidak mengenal tata
kehidupan yang baik sebagaimana seharusnya.”
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kudanya berjalan semakin cepat. Lambat laun
kuda itu pun berlari. Derap kakinya
terdengar semakin lama semakin cepat, dan keras memukul-mukul jalan berbatu
padas. Ketika mereka berdua berpaling, mereka melihat laki-laki itu berdiri
berjajar di tengah-tengah jalan tanpa menghiraukan Gupita sama sekali.
“Mudah-mudahan
anak itu tidak diganggu,” desis Pandan Wangi.
“Mudah-mudahan,”
sahut Samekta.
“Aku melihat
sesuatu yang aneh pada gembala itu. Aku semula menganggapnya jujur tetapi bodoh
seperti sangkamu. Tetapi aku melihat sesuatu yang lain pada sorot matanya.”
Pandan Wangi
mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia berdesis,
“Ya, aku melihat
juga sinar matanya yang berkilat-kilat. Tetapi mungkin ia memang seorang
gembala yang jujur tetapi bodoh, namun ia memiliki sesuatu yang lain di dalam
dirinya. Ah, tetapi ia terlampau mengharapkan sesuatu di hari mendatang.
Pancaran harapannya itulah yang agaknya membuat matanya bersinar-sinar.”
Samekta tidak
menjawab. Ketika ia sekali lagi berpaling, ia melihat gembala itu berdiri di
antara orang-orang liar itu. Tetapi mereka telah agak jauh, sehingga mereka
tidak dapat melihat dengan jelas apakah yang kemudian dapat terjadi.
“Mudah-mudahan
anak itu selamat. Mudah-mudahan ia tidak berkeras kepala mempertahankan haknya,
supaya kepalanya tidak dipenggal.”
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang gembala itu sangat menarik perhatian.
Ada berapa ratus gembala yang pernah dilihatnya dan bahkan dikenalnya. Tetapi
gembala yang satu ini ternyata agak lain. Sikapnya, kata-katanya, walau pun
sederhana, dan sorot matanya.
Sepeninggal
Pandan Wangi dan Samekta, orang-orang liar itu ternyata tertarik akan kehadiran
gembala yang masih tegak di tempatnya. Salah seorang daripadanya segera
menghampirinya, dan bertanya,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar