Jilid 021 Halaman 2


“Aku kira kau sudah mengantarku cukup jauh.”
“Biarlah. Marilah.”

Kembali mereka berjalan bersama-sama. Dan kembali Alap-alap Jalatunda mulai membual. Berceritera tentang dirinya dan tentang orang-orang Jipang di padepokan itu.
“He, apakah yang sedang kita bicarakan tadi?” bertanya Alap-alap Jalatunda itu.
“Seorang gadis,” sahut Wuranta.
“Ya, seorang gadis cantik. Sidanti mengambilnya dari Sangkal Putung.”
“Apakah gadis itu bakal isterinya?”
Sekali lagi Alap-alap Jalatunda itu tertawa terbahak-bahak. Jawabnya,
“Dicurinya gadis itu di tengah jalan. Gadis itu adalah anak Demang Sangkal Putung.”
“Tetapi bukankah maksud Sidanti mengambil gadis itu menjadi isterinya?”
“Darimana kau tahu?”
“Aku bertanya.”
Alap-alap Jalatunda menarik nafas dalam-dalam. Kemudian jawabnya,
“Mungkin. Tetapi mungkin pula tidak. Melihat sikapnya yang cukup hati-hati, aku kira memang gadis itu akan diperisterikannya. Kalau tidak, maka Sekar Mirah pasti sudah menjadi korbannya. Tetapi Sidanti itu pun nanti akan tinggal menggigit jari.”
“Kenapa?”
“Gadis itu cantik sekali. Kau kira aku seorang laki-laki yang buta akan kecantikan seorang gadis?”
“Tetapi bukankah gadis itu seakan-akan milik Sidanti?”
“Omong kosong. Gadis itu adalah barang curian. Aku akan dapat mencurinya, meskipun bukan membawanya lari.”
Dada Wuranta menjadi berdebar-debar. Gadis itu pasti adik Swandaru. Ia menjadi bertambah cemas karenanya. Seorang gadis di dalam lingkungan laki-laki sekasar Alap-alap Jalatunda, Sanakeling dan Sidanti pasti akan sangat berbahaya, seperti seekor ayam yang berada di dalam sarang musang. Tetapi bukankah dengan demikian akan dapat timbul pertentangan yang semakin tajam di antara mereka? Meskipun demikian, meskipun pertentangan itu akan dapat menguntungkan Pajang, namun umpan yang diberikan ternyata terlampau mahal. Tidaklah sewajarnya, bahwa Sekar Mirah harus dibiarkan saja di dalam sarang hantu-hantu supaya mereka saling berkelahi satu sama lain.
Wuranta itu tiba-tiba terkejut ketika Alap-alap Jalatunda bertanya,
“He, apa yang kau renungkan? Apakah kau ingin gadis itu juga?”
“Aku belum pemah melihatnya. Sehari aku berada di padepokanmu, tetapi aku tidak bertemu dengan seorang gadis cantik. Yang aku lihat hanyalah perempuan-perempuan yang garang seperti kalian.”
Suara tertawa Alap-alap Jalatunda terdengar lagi memenuhi lereng-lereng Gunung Merapi. Dua orang pengawas yang duduk di atas sebuah batu sebesar punggung gajah, mengawasinya dalam kegelapan malam sambil bersungut,
“Suara itu adalah suara Alap-alap Jalatunda.”
“Ya, agaknya ia mendapat sesuatu,” sahut yang lain.
Mereka terdiam ketika Alap-alap Jalatunda itu kemudian berjalan di sisi batu tempat mereka duduk.
“He, siapa di sini?”
“Aku, ki Lurah,” sahut pengawas itu.
“Buka matamu baik-baik. Anak muda yang bernama Wuranta ini adalah kawan kita di sini. Kalau nanti ia kembali dari Jati Anom, maka ia tidak boleh diganggu. Beritahu semua kawan-kawanmu yang bertugas malam ini. Ingat, namanya Wuranta.”
“Baik, ki Lurah.”

Kedua anak muda itu meneruskan perjalanannya. Kini Wuranta justru berusaha menahan Alap-alap Jalatunda untuk tetap berjalan bersamanya.
“Apakah gadis itu disembunyikan?” bertanya Wuranta.
“Kenapa?”
“Aku ingin melihatnya. Aku ingin menilai, apakah kau benar-benar mengerti kecantikan seorang gadis.”
“Besok kau akan melihatnya apabila kau masih hidup.”
“Apakah aku nanti malam akan mati?”
Alap-alap Jalatunda itu tersenyum. Kemudian katanya,
“Nah, pergilah. Aku sudah cukup jauh mengantarmu. Kau sudah melampaui pengawasan terakhir. Hati-hatilah di jalan. Lakukan pekerjaanmu baik-baik.”
“Kalau aku berhasil, apakah aku akan mendapat hadiah gadis yang cantik itu?”
“Huh, apa artinya kau buat gadis itu? Gadis itu akan menjadi milikku.”
“Kau harus menyisihkan Sidanti.”
“Huh, Sidanti tidak banyak berarti bagiku,” sahut Alap-alap Jalatunda, namun kemudian ia berkata,
“sekarang pergilah. Besok pagi kau harus sudah menghadap Sidanti.”
“Kenapa tidak menghadap kau saja? Bukankah pengaruhmu atas orang-orang Jipang jauh lebih besar daripada Sidanti?”
“Padepokan ini adalah padepokannya.”
“Dan gadis itu?” Wuranta sengaja membakar hati Alap-alap muda itu, meskipun hatinya masih saja diselubungi oleh kecemasan. Mudah-mudahan segala sesuatunya tidak terjadi seperti yang dikatakan oleh Alap-alap muda yang buas itu.
Alap-alap Jalatunda tidak segera menjawab. Pertanyaan itu telah mendebarkan jantungnya. Tetapi di dalam hatinya ia sibuk menilai diri. Apakah ilmu Sidanti masih juga jauh berada di atas kepandaiannya? Selama ini ia telah mencoba menempa diri sendiri dengan bekal ilmu yang telah dimilikinya. Diperasnya segenap kemampuan yang ada padanya untuk mencoba meningkatkan ilmunya. Dengan tekun ia memperbesar kekuatannya dengan berbagai macam alat-alat yang dapat diketemukan: pasir, batu dan pepohonan. Hampir setiap hari, apabila ia pergi mandi ke sungai, ia selalu melatih jari-jarinya hampir seperempat hari dengan pasir tepian. Kemudian latihan itu diulanginya di malam hari. Dicobanya pula untuk meningkatkan kelincahan kakinya dengan meloncat-loncat dari batu ke batu. Kemudian berlari di tebing-tebing sungai yang curam. Meloncat terjun, kemudian kembali berlari mendaki lereng-lereng yang terjal. Alap-alap Jalatunda berharap bahwa ilmunya akan menjadi semakin sempurna, sehingga apabila sekali lagi ia bertemu dengan Agung Sedayu, maka ia tidak akan menjadi malu. Tetapi sasaran itu ternyata tidak saja ditujukan kepada Agung Sedayu. Kini, setelah ia melihat seorang gadis yang cantik itu, tiba-tiba ia mulai menilai dirinya kembali. Namun kini ia mencoba memperbandingkan dirinya dengan Sidanti.

Kedua anak muda itu, Wuranta dan Alap-alap Jalatunda untuk sejenak saling berdiam diri. Yang terdengar hanyalah desir kaki mereka menyentuh kerikil yang tersebar di sepanjang jalan. Sekali-sekali di kejauhan terdengar bunyi burung hantu yang seakan-akan sedang meratap. Wuranta menunggu jawaban Alap-alap itu. Tetapi ternyata Alap-alap Jalatunda masih saja berdiam diri. Tiba-tiba sekali lagi Alap-alap Jalatunda berkata,
“He, sampai ke mana aku mengantarmu?”
Wuranta berpaling. Dipandangi wajah Alap-alap Jalatunda. Namun di dalam kegelapan malam, ia tidak mendapatkan suatu kesan apapun. Meskipun demikian, dada Wuranta berdesir melihat ketajaman mata anak muda itu.
“Sudahlah. Aku akan berjalan sendiri. Mungkin langkahku akan lebih cepat. Besok pagi-pagi aku mengharap akan dapat melihat gadis yang kau katakan.”
“Kau akan menjadi orang ketiga yang menginginkan gadis itu besok.”
“Tidak ada orang lain?”
“Hampir semua laki-laki di sini. Tetapi yang lain tidak berani berbuat apa-apa. Bahkan kakang Sanakeling pun lebih baik menutup matanya daripada berhadapan dengan Sidanti.”
Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya. Menurut penilaiannya Sanakeling adalah seorang laki-laki yang kasar. Tetapi agaknya orang itu lebih senang melihat darah di medan perang daripada kecantikan paras seorang gadis. Meskipun demikian laki-laki yang kasar itu tidak dapat diabaikan dalam memperhitungkan keselamatan Sekar Mirah. Tetapi kali ini Wuranta belum tahu, di manakah Sekar Mirah itu disimpan.
Alap-alap Jalatunda  pun kemudian berhenti, melepaskan Wuranta berjalan sendiri. Ketika anak muda itu melangkahkan kakinya, Alap-alap itu berkata,
“Hati-hatilah. Kau akan melampaui hutan-hutan, meskipun tidak terlampau lebat, satu dua sungai yang curam, dan Tegal Mlanding yang justru lebih lebat dari hutan. Mungkin kau akan bertemu dengan harimau, tetapi lebih celaka lagi kalau kau bertemu dengan gerombolan anjing-anjing liar yang ganas.”
“Tentu. Aku akan sangat berhati-hati. Tetapi aku tidak takut menghadapi binatang-binatang itu, karena aku cukup pandai memanjat.”
Alap-alap Jalatunda tertawa. Katanya,
“Aku sangka kau tidak takut karena pedang di lambungmu.”
Wuranta  pun tertawa pula. Sambil meneruskan langkahnya ia berkata,
“Sampai ketemu lagi.”
Alap-alap Jalatunda tidak menjawab. Ditatapnya punggung Wuranta sampai anak muda itu lenyap ditelan oleh kelamnya malam.

Ketika Wuranta telah tidak tampak lagi Alap-alap Jalatunda itu menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba hatinya menjadi berdebar-debar ketika disadarinya, apa saja yang telah dikatakan kepada Wuranta. Ia belum tahu, apakah Wuranta itu berpihak kepadanya atau kepada Sidanti. Mulutnya begitu saja membual seperti apabila ia berada di tengah-tengah orang-orang Jipang.
“Gila,” desisnya,
“kalau anak itu berkhianat, maka akan aku patahkan lehernya. Atau kenapa tidak sekarang saja?”
Alap-alap Jalatunda itu menggeleng-gelengkan kepalanya,
“Sidanti menghendaki ia hidup.”
Alap-alap Jalatunda kemudian menggeretakkan giginya. Tetapi ia tidak begitu menyesal akan ketelanjurannya. Bahkan kemudian berkata,
“Kalau aku benar-benar berhasil mendapatkan gadis itu sebelum Sidanti, maka aku tidak akan perlu merahasiakannya lagi. Aku pasti akan menengadahkan dada untuk menerima tantangannya. Aku sekarang bukan lagi beberapa bulan yang lalu. Mudah-mudahan usahaku dan ketekunanku selama ini mendapat imbalan sewajarnya.”
Alap-alap Jalatunda itu  pun kemudian melangkahkan kakinya lagi. Sambil meraba-raba hulu pedangnya ia berkata,
“Aku harus mengikutinya. Mudah-mudahan ia benar-benar menemui Agung Sedayu. Besok anak itu pasti akan digantung di ujung Kademangan Jati Anom.”
Dengan demikian maka Alap-alap Jalatunda itu  pun mempercepat langkahnya. Ia harus tidak kehilangan Wuranta. Tetapi beberapa puluh langkah saja, Alap-alap Jalatunda yang bermata setajam mata burung Alap-alap segera melihat sebuah bayangan yang berjalan beberapa jauh di mukanya menuju ke Jati Anom. Bayangan itu adalah Wuranta, yang sama sekali tidak menyadari bahwa sepasang mata yang tajam selalu mengikutinya. Langkah Wuranta  pun semakin lama menjadi semakin cepat. Ia ingin segera sampai ke Jati Anom. Ia ingin segera bertemu dengan Agung Sedayu dan Kiai Gringsing beserta Swandaru untuk menceriterakan pengalamannya yang pendek itu. Jalan yang ditempuh oleh Wuranta adalah jalan yang cukup gelap. Apalagi ia belum pernah berjalan melewati daerah itu. Tetapi Wuranta mempunyai pegangan arah. Ketika ia berjalan bersama Sidanti naik ke lereng Merapi, ia dapat mengenali bahwa tidak ada jalan lain selain jalan yang dilewatinya itu. Meskipun di beberapa tempat jalan itu tampaknya seakan-akan terputus oleh semak-semak, namun Wuranta berhasil menembusnya. Sebelah menyebelah jalan itu adalah pepohonan hutan, yang meskipun tidak lebat tetapi cukup gelap. Wuranta seakan-akan tidak dapat lagi melihat jalan di hadapan kakinya karena kepekatan malam. Karena itu maka anak muda itu berjalan sambil menengadahkan kepalanya. Diikuti saja celah-celah dedaunan yang menjelujur sepanjang jalan. Tetapi yang masih belum diketahuinya adalah, bahwa di belakangnya seorang anak muda yang garang telah mengikutinya. Justru ingin melihat apakah Wuranta menemui Agung Sedayu atau tidak. Karena itu, maka Wuranta sama sekali tidak memperhitungkan bahaya yang kini sedang mengikutinya.

Ketika malam menjadi semakin malam, maka Wuranta  pun segera semakin mempercepat langkahnya. Angin malam yang sejuk berhembus membawa udara lembab yang dingin. Meskipun demikian, namun tubuh Wuranta telah menjadi basah karena keringatnya yang mengalir dari lubang-lubang kulitnya. Sementara itu, di belakangnya Alap-alap Jalatunda  pun terpaksa mempercepat langkahnya pula. Anak muda ini  pun sama sekali tidak merasa betapa sejuknya malam karena hatinya sedang dibakar oleh tugasnya. Ia  pun ingin segera sampai ke Jati Anom untuk melihat apa saja yang akan dilakukan oleh Wuranta. Bahkan sekali-sekali timbullah keinginannya untuk menyelesaikan tugasnya dengan membunuh anak muda itu. Sudah terlampau lama ia tidak meneteskan darah lawan dengan pedangnya. Rasa-rasanya sudah bertahun-tahun. Tetapi selalu saja diingatnya, bahwa Sidanti menghendaki Wuranta itu besok hidup-hidup menghadapnya. Kalau ternyata Wuranta itu berkhianat maka Sidanti sendiri agaknya yang akan mendapat permainan. Tiba-tiba Alap-alap Jalatunda itu menggerutu di dalam hatinya.
“Huh, Sidanti ingin mendapat permainan tetapi ia tidak mau mengambilnya sendiri malam ini.”
Dalam pada itu maka jarak yang mereka tempuh  pun semakin lama menjadi semakin jauh, dan sejalan dengan itu, maka Jati Anom  pun menjadi semakin dekat pula. Sekali-sekali Wuranta mendengar suara binatang-binatang buas yang berkeliaran di hutan-hutan. Terasa bulu kuduknya meremang. Tetapi ketika tersentuh tangkai pedangnya, maka kembali ia menengadahkan wajahnya sambil berdesis seorang diri,
“Ayo, siapa yang ingin mencoba tajam pedangku?”
Tetapi ia menjadi ngeri ketika didengarnya gonggong anjing liar di kejauhan. Anjing liar itu akan dapat merupakan bahaya yang jauh lebih besar dari bahaya seekor harimau, karena anjing itu biasanya bergerombol sampai berbilang puluhan. Meskipun demikian Wuranta masih dapat menghibur dirinya.
“Aku pandai memanjat, sedang anjing-anjing itu tidak akan dapat mengejarku.” Namun sejenak kemudian ia berdesis,
“Tetapi dengan demikian aku tidak akan dapat menyelesaikan tugasku. Kembali besok pagi-pagi ke lereng Merapi.”
Kadang-kadang Wuranta menjadi berdebar-debar mengenangkan tugasnya. Apakah sebenarnya yang dimaksud oleh Sidanti? Apakah cukup apabila ia besok mengatakan bahwa Jati Anom tidak ada perubahan sesuatu dan Agung Sedayu masih berada di rumahnya? Apakah dengan demikian Sidanti akan datang dengan beberapa orang untuk menangkap Agung Sedayu? Dalam kebingungan itu ia bergumam,
“Lebih baik aku beritahukan saja kepada Agung Sedayu. Orang tua yang bernama Ki Tanu Metir itu pasti akan dapat memberinya beberapa pertimbangan yang baik baginya dan bagi aku. Bukankah nasibku sendiri bagaikan sebutir telur di ujung tanduk yang runcing?”

Wuranta menarik nafas dalam-dalam. Ia ingin menyerahkan bagaimana dan apa saja yang harus dilakukan kepada Ki Tanu Metir. Dalam pada itu, di belakangnya seorang anak muda sedang mengintainya. Apakah ia nanti akan menemui Agung Sedayu atau tidak. Perjalanan Wuranta dan Alap-alap Jalatunda itu  pun semakin mendekati Jati Anom. Alap-alap Jalatunda menjadi heran terhadap dirinya sendiri. Kenapa ia menjadi berdebar-debar?,
“Persetan dengan Agung Sedayu,” tiba-tiba ia bergumam perlahan-lahan.
“Kalau aku nanti dilihatnya, baiklah, aku akan mencoba apakah aku sudah berhasil menyamainya.” Tetapi meskipun demikian dada Alap-alap Jalatunda masih terus bergetar Betapapun ia mencoba menenangkannya.
Kedua anak muda itu berjalan dengan berbagai persoalannya sendiri-sendiri. Tetapi keduanya masih harus meraba-raba, apakah sebenarnya yang sedang dihadapinya. Mereka, seperti malam itu juga, berjalan di dalam kelam. Kakinya tidak akan dapat menghindar seandamya seonggok duri berada tepat di bawah telapak kakinya yang sudah hampir menginjaknya. Tetapi tiba-tiba Wuranta itu tertegun sejenak. Telinganya seakan-akan mendengar desir di balik dedaunan di sisi jalan itu. Tetapi ketika dicobanya untuk mendengar sekali lagi, maka suara itu  pun lenyap.
“Siapa?” desisnya di dalam hati. Dengan demikian maka langkahnya  pun menjadi kian lambat.
Alap-alap Jalatunda yang melihat langkah anak muda itu tertegun-tegun menjadi heran. Kenapa? Bahkan kadang-kadang ia melihat Wuranta itu berhenti sama sekali untuk sesaat. Sehingga dengan demikian maka Alap-alap Jalatunda itu harus bersembunyi di belakang pepohonan atau berjongkok di samping rumput-rumput ilalang yang tumbuh liar di pinggir-pinggir jalan. Namun setiap kali suara desir itu di dengar lagi oleh Wuranta. Wuranta bukanlah seorang penakut. Tetapi karena ia hampir belum pernah mengalami peristiwa-peristiwa semacam itu, maka hatinya  pun semakin lama menjadi semakin berdebar-debar. Sekali-sekali ia berpaling dan ditebarkannya pandangan matanya tajam-tajam berkeliling. Tetapi yang dilihatnya hanyalah kelamnya malam. Pepohonan yang tegak membisu. Sekali-sekali dilihatnya dedaunan bergerak-gerak disentuh angin malam. Wuranta menarik nafas. Untuk menenteramkan hatinya ia berkata kepada diri sendiri,
“Tak ada sesuatu yang perlu mendapat perhatian yang berlebih-lebihan.”
Wuranta  pun kemudian berjalan kembali. Ditenangkannya hatinya. Ditetapkannya langkahnya seperti semula. Namun terasa setiap kali jantungnya menghentak semakin keras.
“Beberapa langkah lagi aku akan sampai ke ujung hutan,” gumamnya. Tetapi di ujung hutan itu didapatinya sebuah hutan perdu. Baru sesudah hutan perdu itu ia akan sampai ke daerah persawahan dan pategalan dari desa-desa kecil sebelum ia sampai ke Kademangan Jati Anom.

Ketika suara berdesir itu masih saja di dengarnya, maka Wuranta pun mempercepat langkahnya. Aku harus segera sampai ke daerah persawahan. Aku harus berada di tempat. Terbuka supaya tidak seorang  pun yang dapat mengikuti aku dengan sembunyi-sembunyi. Ternyata kegelisahan itu tidak saja melanda Wuranta, Alap-alap Jalatunda  pun menjadi gelisah. Apakah anak muda itu merasa bahwa beberapa langkah di belakangnya, seseorang sedang mengikutinya? Tetapi Alap-alap Jalatunda sama sekali tidak tahu, bahwa Wuranta sedang diganggu oleh suara berdesir di antara pepohonan di sisi jalan. Sedang Wuranta sendiri akhirnya tidak mempedulikan lagi suara itu. Terdengar ia menggeram perlahan,
“Kalau ada seseorang yang ingin mengganggu aku, marilah, Aku tidak akan gentar.”
Dengan demikian maka Wuranta seakan-akan tidak lagi merasa seseorang berada di sisi jalan dan mengikuti langkahnya. Dibiarkannya saja suara berdesir yang sekali-sekali masih juga didengarnya. Meskipun demikian, namun tangan Wuranta itu selalu meraba hulu pedangnya. Di dalam hati ia berkata,
“Tidak bersenjata  pun aku berani melewati jalan ini. Apalagi kini aku mempunyai sebilah pedang.”
Yang didengarnya kemudian adalah gonggong anjing liar di kejauhan. Kemudian disahut oleh sebuah auman yang dahsyat. Terbayanglah di dalam kepala Wuranta, bahwa sedang terjadi bertarungan yang sengit antara segerombol anjing-anjing liar melawan seekor harimau. Anjing adalah binatang yang seakan-akan disediakan menjadi makanan harimau. Tetapi kalau anjing-anjing itu sedang lapar, maka suatu ketika terjadi harimau menjadi makanan anjing-anjing liar itu. Tetapi ketika hiruk-pikuk itu semakin menjauh, kembali terdengar sebuah desir yang lembut. Kini semakin dekat di pinggir jalan, bahkan seolah-olah desir itu adalah desir kakinya sendiri yang menyentuh daun-daun perdu. Namun yang dilihatnya tidak lebih dari batang-batang kayu dan dedaunan. Kegelisahan Wuranta semakin lama menjadi semakin kuat melanda hatinya. Namun karena anak muda itu belum memiliki pengalaman yang cukup, maka ia sama sekali tidak dapat menanggapinya. Bahkan kemudian di cobanya menenangkan hatinya dan menganggap bahwa sebenarnya tidak ada apa-apa sama sekali. Telinganya sajalah yang seakan-akan melihat hantu, tetapi yang sebenarnya tidak ada apa-apa. Yang disangkanya hantu itu tidak lebih dari sebuah ranting yang kering, atau selembar kelaras kering ditiup angin. Tetapi semakin lama Wuranta justru menjadi semakin yakin, bahwa yang didengarnya itu bukan sekedar daun kering yang gugur ditiup angin. Dengan demikian maka akhirnya Wuranta tidak lagi dapat menghibur dirinya dengan macam-macam dugaan. Mau tidak mau ia harus mengatakan kepada dirinya sendiri, bahwa yang didengarnya itu adalah langkah seseorang. Bahkan kemudian ia mendengar suara nafas yang semakin deras dan desis perlahan-lahan. Karena itu maka Wuranta harus menyiapkan dirinya menghadapi segala macam kemungkinan.
“Siapakah yang mengikuti aku?” katanya di dalam hati.
“Apakah ia orang lereng Merapi yang sengaja di kirim oleh Sidanti untuk mengawasi aku, atau orang lain yang menyangka justru aku orang dari padepokan Ki Tambak Wedi.”

Dalam kegelisahannya Wuranta itu berhenti. Dihadapinya suara berdesir yang semakin dekat itu dengan hati yang berdebar-debar. Bahkan untuk mengatasi kegelisahannya, tiba-tiba Wuranta itu berkata keras,
“He, siapa yang berada di balik pepohonan. Ayo, tampakkan dirimu!”
Namun tidak terdengar jawaban. Yang terkejut bukan kepalang mendengar sapa itu adalah Alap-alap Jalatunda. Ketika ia melihat Wuranta berhenti, Alap-alap Jalatunda segera berdiri di belakang sebatang pohon yang cukup besar melindungi tubuhnya,
“Apakah Wuranta telah melihat aku?”
Sekali lagi ia mendengar Wuranta berkata,
“Ayo, keluarlah dari persembunyianmu!”
Masih tak ada jawaban. Sedang kegelisahan Alap-alap Jalatunda pun menjadi semakin meningkat. Dalam kegelapan malam ia melihat bayangan Wuranta berdiri tegak seperti patung. Tetapi ia tidak melihat Wuranta itu melangkah kembali ke arahnya.
“Apakah yang di lihat anak itu?” desis Alap-alap Jalatunda di dalam hatinya. Tetapi berbeda dengaa Wuranta, Alap-alap muda itu telah menyimpan banyak sekali pengalaman di dalam dirinya. Ia menganggap bahwa Wuranta sedang diganggu oleh firasatnya. Mungkin Wuranta itu merasa sesuatu yang tidak pada tempatnya dan sekedar menganggap bahwa seseorang sedang mengikutinya. Tetapi Alap-alap Jalatunda tidak yakin bahwa sebenarnya anak itu telah melihatnya. Karena itu maka Alap-alap Jalatunda masih saja bersembunyi di balik sebatang pohon. Di dalam malam yang gelap tidak sulit baginya untuk berusaha supaya Wuranta tidak dapat melihatnya meskipun seandainya Wuranta itu berpaling ke arahnya. Dari sisi pohon tempatnya berlindung, Alap-alap Jalatunda berusaha melihat bayangan anak muda Jati Anom yang tampaknya menjadi sangat gelisah.
“Apakah anak itu dicekik hantu?” gumam Alap-alap Jalatunda perlahan-lahan.
Tetapi ia mendengar Wuranta berteriak lagi,
“Ayo, siapakah yang bersembunyi?”
“Uh,” desis Alap-alap Jalatunda,
“penakut itu hampir menjadi gila.” Tetapi kemudian tumbuh pertanyaan di dalam hatinya,
“Apakah ia telah melihat aku, dan akulah yang di panggilnya?”
Hati Alap-alap yang buas itu berdesir. Bahkan terdengar giginya gemeretak. Sekali lagi ia bergumam di dalam hatinya,
“Setan, jangan terlampau sombong. Kalau kau menantang Alap-alap Jalatunda maka lehermu benar-benar akan aku patahkan.”

Kalau saja Alap-alap Jalatunda itu tidak selalu mengingat pesan Sidanti untuk membiarkan Wuranta itu hidup, maka ia pasti sudah menyergapnya, membunuhnya dan melemparkan mayatnya ke dalam parit.
“Sidanti ingin setan kecil itu hidup sampai besok,” katanya pula di dalam hatinya,
“tetapi kalau ia menyerangku, apa boleh buat. Aku harus membunuhnya, dan membawa kepalanya kembali ke padepokan. Tetapi aku tidak akan mendahuluinya. Aku akan menunggu di sini sampai anak itu datang untuk membunuh dirinya.”
Namun tiba-tiba Alap-alap itu terkejut. Ia melihat Wuranta meloncat surut dan mencabut pedangnya. Dengan tegangnya anak muda Jati Anom itu siap menghadapi segala kemungkinan dengan pedang yang datar setinggi dada.
“Hem,” desah Alap-alap Jalatunda,
“anak itu benar-benar telah menjadi gila karena ketakutan. Tetapi melihat gerak tangannya ia memang memiliki sedikit kecakapan bermain pedang.”
Namun belum delesai Alap-alap Jalatunda berdesah kepada diri sendiri, ia kini benar-benar terkejut ketika ia melihat dengan tiba-tiba sebuah bayangan lain yang melontar dari dalam gerumbul di sisi jalan langsung menyerang Wuranta.
“O,” Alap-alap muda itu menggeram,
“ternyata Wuranta tidak sedang gila. Tetapi orang yang menyerangnya itulah yang gila. Tetapi siapa orang itu? Dan apakah maksudnya menyerang Wuranta?”
Alap-alap Jalatunda itu  pun menjadi tegang pula. Dengan tajam ia mencoba melihat apa yang seterusnya terjadi. Dan yang terjadi adalah sebuah perkelahian yang sengit. Ternyata orang yang menyerangnya itu memiliki kemampuan yang cukup baik seperti Wuranta yang ternyata mampu pula mempertahankan diri. Dalam gelap malam Alap-alap Jalatunda melihat dua bayangan hitam yang melontar berputaran. Serang menyerang dengan serunya.
“Hem,” Alap-alap Jalatunda itu menarik nafas untuk mencoba melepaskan ketegangannya, dan kemudian berkata di dalam hatinya,
“ternyata Wuranta itu pandai juga bermain pedang, meskipun ayunan tangannya masih juga seperti orang membelah kaju.”
Tetapi perkelahian itu sendiri telah membingungkan Alap-alap Jalatunda. Bagaimana ia harus bersikap menghadapi pertempuran itu? Kalau kemudian Wuranta dapat memenangkan perkelahian itu, maka rencananya sama sekali tidak berubah. Ia hanya mengikuti saja anak itu meneruskan perjalanannya ke Jati Anom. Tetapi bagaimana kalau Wuranta itu terdesak?
“Setan,” Alap-alap itu menggeram.
“Siapakah yang berani mengganggu perjalanan ini. Orang itu pasti tidak tahu bahwa di sini ada Alap-alap Jalatunda.”
Tiba-tiba kening Alap-alap itu menjadi berkerut-merut. Tumbuhlah pertanyaan di dalam hatinya,
“Apakah orang itu Agung Sedayu?” Menurut pendengaran Alap-alap Jalatunda dari Sidanti, bahwa Wuranta pagi tadi sedang dikejar-kejar oleh Agung Sedayu ketika dijumpainya. Tetapi Sidanti meragukan kebenaran peristiwa itu. Bahkan Sidanti meragukan sikap Agung Sedayu sendiri yang meninggalkannya berlari. Tetapi kalau hal itu benar terjadi karena Wuranta ingin mencuri milik Agung Sedayu, maka adalah suatu kemungkinan bahwa Agung Sedayu mendendamnya. Tetapi Alap-alap Jalatunda tidak melihatnya dengan jelas.
Dari jarak itu, apalagi di malam yang gelap Alap-alap Jalatunda tidak mudah untuk mencoba mengenali unsur-unsur gerak dari lawan Wuranta itu.
“Apakah aku akan mendekatinya?” Tetapi Alap-alap Jalatunda menjadi ragu-ragu. Kemungkinan yang tidak diharapkan cepat terjadi. Kalau Wuranta melihatnya, maka gagallah tugasnya. Apalagi kalau orang yang menyerang Wuranta itu ternyata Agung Sedayu, maka ia harus berkelahi melawannya. Dan ia tidak yakin, apakah ia pada saat itu dapat mengimbangi adik senapati Pajang yang bertugas di sekitar Gunung Merapi ini. Seandainya demikian, maka tugasnya  pun akan gagal pula karenanya. Sekali lagi Alap-alap Jalatunda menggeram. Ia benar-benar menjadi bingung dan tidak segera tahu apa yang sebaiknya dikerjakan.

Dalam pada itu perkelahian itu  pun menjadi semakin lama semakin sengit. Wuranta berusaha melawan dengan pedang di tangan. Dikerahkannya segenap kemampuan yang ada padanya. Namun meskipun orang yang menyerangnya itu tidak bersenjata, tetapi kelincahannya telah memaksa Wuranta untuk memeras keringatnya. Orang itu meloncat-loncat berputaran mengelilingi Wuranta untuk menghindari sambaran pedangnya. Sekali-sekali ia meloncat menjauh, namun tiba-tiba serangannya datang menyambar dengan cepatnya. Seperti pusaran serangannya membelit dari segala arah. Dengan sepenuh tenaga Wuranta melawannya. Namun keragu-raguan di hatinya kadang-kadang telah mengekang sambaran-sambaran pedangnya. Betapa dadanya dilanda oleh beberapa pertanyaan tentang orang yang tiba-tiba menyerangnya.
“Siapa dan mengapa?”
Tetapi serangan orang itu semakin lama menjadi semakin cepat. Bahkan hampir-hampir tak tertahankan lagi. Meskipun Wuranta belum merasa dikenai di bagian tubuhnya yang berbahaya, tetapi ia merasa, apabila perkelahian itu diteruskan, ia pasti akan kehabisan tenaga. Anak muda itu merasa beruntung bahwa ia telah mendapatkan sepucuk senjata yang dapat menolongnya memperpanjang perlawanannya. Tetapi sudah sekian lama ia berkelahi, namun senjatanya seakan-akan hampir tidak berguna. Meskipun demikian Wuranta tidak segera menjadi berputus asa. Selama ia masih mampu menggerakkan pedangnya, maka ia akan melawannya terus. Apa pun yang terjadi. Namun dalam pada itu, terbersit suatu penyesalan di dalam hatinya. Kalau ia gagal menghindarkan diri dari orang yang menyerangnya itu, maka tugasnya  pun menjadi gagal pula karenanya. Gagal bukan karena kesalahannya, tetapi justru karena sebab-sebab yang tidak diketahuinya. Karena itu maka tiba-tiba timbullah keinginannya untuk bertanya. Meskipun tangannya sibuk menggerakkan pedang, namun dengan tersengal-sengal ia bertanya,
“He, siapakah kau dan apakah sebabnya kau menyerangku?”
Alap-alap Jalatunda lamat-lamat mendengar pula pertanyaan itu. Dengan demikian ia mengambil kesimpulan bahwa orang yang menyerang itu sama sekali bukan Agung Sedayu. Kalau demikian siapakah ia? Apakah orang itu salah seorang yang sengaja ditugaskan oleh Sidanti? Tetapi seandainya demikian, maka Alap-alap Jalatunda pasti segera dapat mengenalnya. Tetapi penyerang itu sama sekali belum pernah dikenalnya, baik orangnya maupun tata geraknya. Dengan demikian maka Alap-alap Jalatunda itu menjadi semakin bingung. Karena itu, maka ia  pun ingin sekali mendengar jawab orang yang menyerang Wuranta itu. Tetapi orang itu tidak segera menyahut. Mereka masih saja berkelahi dengan serunya. Bahkan kemudian titik perkelahian itu sudah berkisar ke sana ke mari. Sekali lagi Wuranta yang sudah mulai kelelahan itu bertanya,
“Siapakah kau, dan apakah sebabnya kau menyerang aku?”
Sejenak masih belum terdengar jawaban. Dengan berdebar-debar Wuranta menunggu, bahkan Alap-alap Jalatunda  pun menjadi berdebar-debar pula.

Tetapi sejenak kemudian Wuranta itu  pun terkejut bukan main. Hampir saja ia meloncat surut ketika ia mendengar lawannya itu berbisik,
“Jangan terlampau keras. Suaramu didengar oleh orang lain.”
Kini Wuranta-lah yang terdiam. Ketika perlawanannya menjadi kendor karena keheranan yang menghinggapi perasaannya, terdengar lawannya berkata,
“Lawanlah terus. Sepasang mata Alap-alap sedang mengintaimu.”
“Siapa kau?” Wuranta tidak tahan lagi, sehingga sekali lagi ia bertanya keras-keras.
“Jangan terlampau keras,” jawab suara itu pula. Wuranta menjadi semakin heran. Tetapi jawaban itu benar-benar mempengaruhinya, sehingga tanpa sesadarnya ia berbisik,
“Siapa kau?”
Wuranta mendengar orang itu tertawa perlahan sekali. Meskipun demikian serangannya sama sekali tidak berkurang. Sesaat kemudian didengarnya orang itu menjawab,
“Jangan lengah supaya pedangmu tidak terlempar jatuh.” Orang itu terdiam sejenak. Lalu terdengar suaranya kembali,
“Kenapa kau berjalan ke Jati Anom malam ini?”
“Siapa kau?” bertanya Wuranta kemudian.
“Apakah kau tidak dapat mengenali aku?”
“Siapa?”
Kembali ia mendengar suara tertawa,
“Aneh, meskipun kau pandai juga bermain pedang, tetapi ingatanmu ternyata kurang baik. Kau baru saja melihatku pagi tadi bersama Agung Sedayu.”
“He?” Wuranta menjadi semakin heran. Tetapi ketika ia meloncat surut, serangan orang tua itu menjadi semakin garang. Sekali lagi ia mendengar peringatan,
“Berkelahilah terus. Seseorang mengikutimu.”
“Siapa?” Wuranta berhenti bertanya lalu katanya, “Maksudku siapa kau?”
“Tanu Metir,” jawab suara itu pendek.
“He?” sekali lagi Wuranta menjadi heran. Ia mengenal dukun itu. Tetapi ia tidak menyangka bahwa orang tua itu mampu bergerak sedemikian lincahnya. Meskipun ia telah menduga bahwa Ki Tanu Metir memiliki beberapa kelebihan, tetapi bukan kelebihan jasmaniah. Namun ternyata bahwa orang tua itu mampu berkelahi melampaui anak-anak muda yang pernah dilihatnya.
“Apakah benar kau dukun tua yang datang bersama Agung Sedayu?”
“Kenapa aku berbohong? Bukankah kau masih dapat mengenali aku, setidak-tidaknya suaraku?”
Wuranta terdiam. Tetapi ia berkelahi terus seperti permintaan lawannya yang mengaku bernama Ki Tanu Metir.
“Ya. Ya. Aku mengenalmu.”
“Nah, ketahuilah bahwa seseorang mengikutimu, Alap-alap Jalatunda”
“He?”
“Jangan terlampau keras.”
“Kenapa ia mengikuti aku?”
“Aku tidak tahu. Tetapi apakah maksudmu datang kembali ke Jati Anom malam ini? Apakah hal itu tidak menimbulkan kecurigaan mereka? Bahkan Alap-alap Jalatunda telah mengikutimu sampai di sini?”
Wuranta masih berkelahi terus. Perlahan-lahan ia menjawab,
“Aku harus pergi ke Jati Anom atas perintah Sidanti. Aku harus melihat apa yang terjadi di kademangan itu dan apakah Agung Sedayu masih ada di Jati Anom?”

Ki Tanu Metir terdiam sesaat. Sekali ia meloncat ke samping namun kemudian kakinya berputar hampir menyentuh lambung Wuranta. Wuranta mengumpat di dalam hati. Orang tua itu benar-benar di luar dugaannya. Apalagi serangannya seakan-akan bersungguh-sungguh sehingga apabila Wuranta lengah sesaat, maka tubuhnya pasti akan dikenai oleh serangan Ki Tanu Metir itu. Tetapi justru Wuranta mengetahui bahwa lawanya adalah Ki Tanu Metir, maka tendangannya  pun menjadi ragu-ragu. Pedangnya tidak terayun-ayun dengan garangnya. Bahkan setiap kali ia menahan ayunan senjatannya itu.
“Jangan ragu-ragu,” berkata Ki Tanu Metir.
“Kalau kau ragu-ragu, maka mata Alap-alap yang tajam itu pasti akan mengetahuinya.”
“Dimanakan ia sekarang?”
“Tidak terlampau jauh. Karena itu jangan terlalu keras. Kita bisa berkisar ke tempat yang lebih lapang supaya ia tidak dapat mendekat.”
Demikian perkelahian itu berkisar ke tempat yang agak lapang. Kesempatan Alap-alap Jalatunda untuk mendekati perkelahian itu menjadi semakin kecil. Karena itu, maka di kejauhan Alap-alap Jalatunda hanya dapat mengumpat di dalam hatinya yang semakin kisruh. Sekali-sekali ia melihat Wuranta terdesak. Dalam keadaan yang demikian ia benar-benar menjadi bingung. Apakah ia akan membantunya atau tidak? Tetapi lawan Wuranta itu sudah jelas bukan Agung Sedayu dan bukan pula orang yang dikirim Sidanti. Sekali-sekali Alap-alap Jalatunda itu menggertakkan giginya. Ingin ia meloncat dan ikut serta berkelahi di pihak manapun. Tetapi tugasnya telah mencegahnya berbuat demikian. Ia hanya dapat menilai dengan tegang kedua orang yang sedang berkelahi itu.
“Tetapi Wuranta itu terdesak,” desisnya.
“Mereka berkisar semakin jauh.” Lalu gumamnya,
“Bagaimanakah kalau Wuranta itu terbunuh. Apakah aku akan membiarkannya? Sidanti pasti menyangka bahwa aku yang membunuhnya. Tetapi kalau aku membantunya, maka tugasku  pun akan gagal sama sekali.”
Dalam kebingungan itu Alap-alap Jalatunda berdiri saja seperti patung. Sekali-sekali dirabanya hulu pedangnya namun kemudian tangannya itu terkulai dengan lemahnya, tergantung di sisi tubuhnya yang bersandar sebatang pohon tempatnya berlindung.

Sementara itu Wuranta masih juga berkelahi melawan Ki Tanu Metir. Perlahan-lahan Wuranta mendengar Ki Tanu Metir berkata,
“Kau ternyata sedang dalam pengawasan. Mungkin Sidanti ingin membuktikan, apakah kau bukan sekedar seorang yang memancing kepercayaan seperti yang sebenarnya kau lakukan. Karena itu berhati-hatilah. Ternyata lereng Merapi itu pun berisi orang-orang yang berotak terang meskipun kadang-kadang licik.”
“Jadi apa yang harus aku lakukan?” bertanya Wuranta
“Pulanglah ke rumahmu. Aku, Agung Sedayu, dan Swandaru berada di sana. Tetapi jangan terlampau cepat. Berilah kami kesempatan masuk ke rumah itu. Apakah Agung Sedayu sudah mengenal keluargamu sehingga ia dapat masuk dengan aman?”
“Aku kira sudah. Yang ada di rumah hanyalah orang-orang tua. Tak ada orang lain lagi. Dan mereka pasti mengenalnya. Mungkin mereka lupa, tetapi mereka akan segera ingat kembali apabila Agung Sedayu menyebut dirinya.”
“Baik. Kami akan kesana. Kami akan menemuimu di rumahmu sehingga tidak menimbulkan kecurigaan bagi orang yang mengikutinya.”
“Terima kasih atas peringatan itu Kiai. Kalau aku tidak mengetahui bahwa seseorang mengikuti aku, maka besok mungkin aku sudah digantung di pinggir jurang.”
“Suatu peringatan bagimu. Hati-hatilah untuk seterusnya.”
“Baik, Kiai.”
“Sekarang bertempurlah sesungguhnya. Aku akan menghindar dan meninggalkan perkelahian ini. Ingat, jangan terlampau cepat, supaya aku mendapat waktu masuk lebih dahulu ke rumahmu bersama Agung Sedayu”
“Baik, Kiai.”
“Mulailah.”
Wuranta  pun segera memutar pedangnya lebih cepat. Tetapi tenaganya telah benar-benar hampir habis. Ia harus mengerahkan sisa-sisa tenaga yang ada padanya untuk dapat bergerak lebih cepat.

Alap-alap Jalatunda yang melihat perkelahian itu dari kejauhan menjadi semakin cemas. Ia tidak dapat melihat dengan jelas apa yang terjadi. Ketika perkelahian itu berkisar ke tempat yang agak lapang, maka bayangan keduanya menjadi tidak jelas. Tetapi dari jarak yang agak jauh itu, Alap-alap Jalatunda hanya sekedar melihat dua buah bayangan yang melontar ke sana ke mari. Sekali-sekali tampak sekilas sinar gemerlapnya pedang Wuranta memantulkan cahaya bintang gemintang di langit. Tetapi setelah itu maka kedua bayangan itu  pun seakan-akan menjadi lebur tak terpisahkan. Setiap kali Alap-alap Jalatunda merasa bahwa Wuranta terdesak, hatinya menjadi berdebar-debar. Ia berdiri pada keadaan yang sulit. Tetapi ia melihat suatu perubahan pada perkelahian itu. Ia melihat salah seorang daripadanya terdorong beberapa langkah surut bahkan kemudian berguling beberapa kali untuk menghindari lawannya. Dalam pada itu, lawannya berusaha mengejarnya terus. Sebuah pedang terjulur lurus-lurus ke depan sedang lawannya terus-menerus menghindarinya.
Alap-alap Jalatunda menarik napas dalam-dalam. “Hem,” desahnya, “ternyata Wuranta berhasil mengatasi kesulitan. Agaknya anak itu cakap juga bermain pedang.”
Pertempuran itu memang hampir sampai pada akhirnya. Wuranta dengan sisa-sisa tenaganya ingin menunjukkan bahwa ia benar-benar sempat memenangkan perkelahian itu, dan Ki Tanu Metir  pun mampu pula bermain dengan baiknya. Kali ini ia beperan sebagai seorang yang sedang di desak oleh lawannya. Sebagai seorang yang mencoba mengerahkan sisa-sisa kekuatannya untuk menyelamatkan diri dari sambaran pedang. Melihat saat-saat terakhir dari perkelahian itu Alap-alap Jalatunda menahan nafasnya. Setiap kali Wuranta mendesak lawannya, Alap-alap Jalatunda itu mengepalkan tinjunya. Seolah-olah ia ingin meloncat dan membantu menerkam lawan Wuranta itu. Tetapi hanya giginya sajalah yang terdengar gemeretak.

Alap-alap Jalatunda itu bersorak di dalam hatinya ketika melihat lawan Wuranta itu meloncat surut beberapa langkah, kemudian dengan tergesa-gesa membalikkan tubuhnya dan berlari meninggalkan anak muda Jati Anom itu.
“Jangan lari!” Alap-alap Jalatunda mendengar lamat-lamat suara Wuranta.
“Jangan sombong,” jawab orang yang lari itu, “aku belum kalah.”
“Tunggu dan kita teruskan perkelahian ini.”
“Belum waktunya.”
“Pengecut!”
“Kau pembual yang besar kepala.”
“Siapakah kau he?” bertanya Wuranta
Yang terdengar hanyalah suara tertawa. Lawan Wuranta itu tertawa dalam nada yang tinggi. Demikian tajamnya nada suara itu sehingga dada Alap-alap Jalatunda serasa tertusuk beribu jarum. Apalagi Wuranta, kali ini ia benar-benar menderita di dalam dadanya, bukan sekedar sebuah permainan. Untunglah bahwa suara tertawa itu tidak terlampau lama. Suara tertawa yang aneh itu segera berhenti. Wuranta tidak mampu lagi berlari mengejar lawannya itu. Kini ia berdiri bersandar sebatang pohon di pinggir jalan. Tenaganya benar-benar terkuras habis, apalagi isi dadanya serasa hancur tersayat-sayat oleh suara tertawa yang bernada tinggi dan tajam itu.
“Hem,” desahnya, “siapakah sebenarnya orang yang bernama Ki Tanu Metir itu? Tanpa tenaganya ia dapat membunuh aku hanya dengan nada suaranya.”
Di tempat lain Alap-alap Jalatunda  pun berdiri pula bersandar sebatang pohon sambil menahan dadanya dengan telapak tangannya.
“Gila,” geramnya. Tetapi ia tidak sepayah Wuranta. Tenaganya masih cukup kuat untuk menahan dirinya meskipun suara tertawa itu benar-benar seperti meremas ulu hati.
“Hampir aku tidak percaya bahwa orang yang memiliki kekuatan seperti orang itu dapat dikalahkan oleh Wuranta. Suara tertawanya seakan-akan mempu merontokkan tulang-tulang iga. Aneh. Mungkin ia mempunyai kekuatan batin yang tinggi, tetapi kekuatan jasmaniahnya yang sangat kurang. Tetapi kenapa ia tidak berusaha mengalahkannya lawannya itu dengan kelebihannya itu?”

Orang itu bagi Alap-alap Jalatunda telah menimbulkan pertanyaan yang sulit untuk dijawabnya. Tetapi dengan demikian ia mengenal bahwa di lereng Merapi ini ada seseorang yang aneh. Yang selama ini tidak pernah diperhitungkan. Orang itu bukan Agung Sedayu, bukan Untara, bukan Widura, bukan Sidanti, dan bukan Ki Tambak Wedi. Ketika Alap-alap Jalatunda telah terasa segar kembali, maka dijulurkannya kepalanya melihat apakah Wuranta sudah meneruskan perjalanannya. Tetapi anak muda Jati Anom itu ternyata kini malahan duduk di atas rerumputan kering bersandar pohon di sisi jalan. Tampaklah ia terlalu payah setelah berkelahi sekian lama melawan orang yang tidak dikenalnya.
“O, anak itu hampir mati,” gumam Alap-alap Jalatunda di dalam hatinya.
“Mudah-mudahan ia tidak mati karena jantungnya rontok. Apabila demikian Sidanti akan marah kepadaku. Akulah yang disangkanya membunuh anak itu. Tetapi kalau ia masih saja duduk di situ, maka perkerjaan ini pasti akan tertunda. Kalau anak itu sampai ke Jati Anom setelah terang, maka aku tidak akan dapat mengikutinya terus.”
Namun Alap-alap Jalatunda masih mencoba menyabarkan diri.
“Biarlah ia sekedar bernafas.”
Wuranta yang duduk bersandar sebatang pohon itu sebenarnya memang sedang berusaha untuk memulihkan nafasnya yang tersengal-sengal. Tetapi ia juga sengaja beristirahat agak lama seperti pesan Ki Tanu Metir. Meskipun kemudian nafasnya telah agak teratur, tetapi ia masih saja duduk dengan tenangnya.
“Mampuslah tikus cengeng,” geram Alap-alap Jalatunda yang hampir kehabisan kesabaran. Alangkah senangnya apabila ia diijinkan meloncati anak muda itu dan kemudian mencekik lehernya.
Tetapi akhirnya Wuranta itu berdiri juga. Sekali ia menggeliat, kemudian memijit punggungnya dengan kedua tangannya.
“Pemalas,” Alap-alap Jalatunda masih saja mengumpat-umpat seorang diri.
Wuranta itu akhirnya melangkahkan kakinya juga. Perlahan-lahan. Bukan saja karena ia sengaja memperlambat perjalanannya, tetapi sebenarnyalah bahwa ia sendiri sedang kelelahan.
Ketika menurut perhitungan Wuranta waktu yang diberikan kapada Agung Sedayu, Swandaru, dan Ki Tanu Metir telah cukup, maka barulah ia mempercepat langkahnya. Pedangnya kini telah menggantung di lambungnya. Namun dalam pada itu ia dapat juga berbangga kepada diri sendiri. Ternyata ia dapat juga bermain pedang, meskipun tidak terlampau baik. Langkah Wuranta itu  pun semakin lama menjadi semakin cepat. Angin yang silir telah menyegarkan tubuhnya. Selembar-selembar daun yang kuning berguguran di atas tanah yang basah oleh embun.

Alap-alap Jalatunda mengikutinya dengan berdebar-debar. Semakin dekat dengan Jati Anom hatinya menjadi semakin tegang. Alap-alap Jalatunda sendiri tidak berusaha menyadari apakah sebabnya maka ia diganggu oleh kecemasan. Kalau sekali-sekali timbul gambaran Agung Sedayu di dalam benaknya, maka cepat-cepat ia menggeram,
“Persetan dengan anak itu. Bahkan aku ingin berjumpa langsung dengan Agung Sedayu supaya aku sempat membunuhnya dalam perang tanding sebagai laki-laki.”
Tetapi Alap-alap Jalatunda tidak meyakini angan-angan itu. Agung Sedayu yang dibencinya itu masih merupakan seorang yang disegani.
“Tetapi suatu kali dendamku akan aku lepaskan,” Alap-alap Jalatunda menggeram lagi.
Perjalanan itu  pun semakin lama menjadi semakin dekat. Jati Anom kini telah berada di hadapan hidung mereka. Kini Alap-alap Jalatunda tidak lagi dapat lengah barang sekejap. Ia tidak boleh kehilangan Wuranta. Pekerjaan untuk mengikutinya bukanlah pekerjaan yang mudah. Tetapi Alap-alap Jalatunda itu cukup berpengalaman, sehingga ia tidak banyak menemui kesulitan. Apalagi Wuranta sendiri dengan sengaja membiarkan dirinya diawasi. Karena itulah pekerjaan Alap-alap Jalatunda itu menjadi terasa lebih mudah. Alap-alap Jalatunda menjadi berdebar-debar ketika Wuranta berjalan dengan perlahan-lahan langsung menuju ke rumah Agung Sedayu. Bahkan mulai timbullah kecurigaannya, bahwa anak itu bukanlah anak yang dapat dipercaya. Kalau demikian maka prasangka Sidanti atasnya benar-benar beralasan.
“O, umurmu tidak lebih sampai besok,” berkata Alap-alap Jalatunda itu di dalam hatinya. Meskipun demikian ia tidak mau melepaskannya. Dengan hati-hati ia mengikuti anak itu sampai ke depan regol rumah Agung Sedayu.
“Bukankah rumah itu rumah Agung Sedayu,” berkata Alap-alap Jalatunda di dalam hatinya. Alap-alap itu pernah satu kali memasuki rumah itu bersama dengan Sidanti sebelumnya. Di muka regol, Alap-alap Jalatunda melihat Wuranta itu berhenti. Ketika Wuranta itu kemudian dengan hati-hati menjengukkan kepalanya di regol halaman, maka ia mulai menjadi ragu-ragu.
“Kalau anak itu sengaja dikirim oleh Agung Sedayu, ia pasti tidak akan ragu-ragu lagi masuk ke dalam halaman,” desisnya kepada diri sendiri. Tetapi Wuranta itu tidak segera langsung masuk ke dalam halaman. Karena itu maka keinginannya untuk melihat apa yang akan dilakukan oleh Wuranta itu menjadi semakin besar. Kini ia tidak dapat memastikan apakah Wuranta itu termasuk orangnya Agung Sedayu seperti yang disangka oleh Sidanti.
Ketika Wuranta masuk, maka Alap-alap Jalatunda segera mendesak maju. Ia tidak mau kehilangan anak muda Jati Anom itu. Dengan hati-hati pula diikutinya saja ke mana anak muda itu pergi. Dengan berdebar-debar Alap-alap Jalatunda melihat Wuranta pergi ke belakang. Dengan penuh perhatian dilihatnya Wuranta pergi ke sebuah bilik di bagian balakang rumah Agung Sedayu.

Alap-alap Jalatunda itu berhenti dan segera bersembunyi di balik rumpun pisang ketika ia melihat Wuranta  pun berhenti. Anak muda itu segera melepas ikat kepalanya dan dengan ikat kepala itu ia menutup wajahnya. Dilepasnya pula bajunya dan diikatkannya di lambungnya.
“Apakah yang akan dilakukannya?” bertanya Alap-alap Jalatunda kepada diri sendiri. Tingkah laku Wuranta itu benar-benar menimbulkan keheranan di hatinya.
Alap-alap Jalatunda itu berkisar semakin dekat ketika ia melihat Wuranta perlahan-lahan mengetuk pintu bilik belakang rumah itu.
“Siapa?” terdengar seorang perempuan bertanya.
“Aku bibi.”
“Siapa?”
“Aku”
Perlahan-lahan terdengar amben bambu bergerit, disusul oleh langkah seorang perempuan mendekati pintu. Sejenak kemudian pintu itu  pun bergerit terbuka.
Alangkah terkejutnya perempuan itu ketika tiba-tiba ia melihat ujung pedang tepat mengarah ke dadanya. Hampir-hampir ia memekik, tetapi segera Wuranta membentak,
“Jangan membuat gaduh! Kalau kau berteriak, maka perutmu akan berlubang.”
Perempuan itu terdiam. Ia berdiri gemetar di muka pintu.
“Jawab pertanyaanku!” berkata Wuranta.
“Apakah Agung Sedayu masih ada di sini?”
Dengan tergagap perempuan itu menjawab,
“Aku tidak tahu, Tuan.”
“Jangan bohong! Aku melihatnya sore tadi. Ayo katakan, apakah ia di rumah ini. Kalau tidak, maka kepala anakmu itu akan aku penggal.”
“Jangan, Tuan. Kalau Tuan ingin membunuh, bunuh aku saja.”
“Itu adalah urusanku, apakah aku akan membunuhmu atau akan menggantung anakmu.”
“Anakku tidak bersalah apapun, Tuan,” perempuan itu mulai menangis.
“Kalau kau ingin anakmu selamat, jawab apakah siang ini Agung Sedayu masih di sini?”
Perempuan itu ragu-ragu sejenak. Tetapi ujung pedang Wuranta menjadi semakin dekat dengan dadanya.
“Ayo katakan! Atau kepala anakmu akan menggelinding di halaman ini?”
“Jangan, Tuan.”
“Katakan sebelum aku kehabisan kesabaran!”
“Ya, siang tadi Angger Agung Sedayu ada di rumah ini.”
“Apakah sekarang ia ada di rumah ini juga?”

Perempuan itu terdiam. Kembali ia mejadi ragu-ragu untuk mejawab pertanyaan itu. Tetapi pedang itu hampir menyentuh dadanya.
“Bagaimana? Apakah kau tidak dapat berbicara lebih cepat?”
“Aku tidak tahu, Tuan. Aku tidak tahu.”
“Bohong! Jangan mencoba berbohong ya. Aku tidak banyak mempunyai waktu untuk bercakap-cakap tanpa arti. Atau kau menunggu aku marah dan kehilangan kesabaran sehingga anakmu mati?”
“Tidak, Tuan. Tetapi sebenarnyalah aku tidak tahu apa-apa.”
Wuranta tidak menjawab. Tetapi tiba-tiba ia melangkah maju sambil berkata,
“Minggir, aku akan mengambil anakmu yang sedang tidur itu.”
“Jangan, Tuan. Jangan”
Mata Wuranta yang menyembul di atas ikat kepala yang menutupi wajahnya memancarkan sorot yang mengerikan. Terdengar ia menggeram sambil beringsut maju. “Minggir, minggir, atau kalian berdua aku bunuh bersama-sama.”
“Jangan, Tuan,” rintih perempuan itu. “Kalau tuan ingin membunuh aku, bunuhlah, tetapi jangan anakku itu.”
“Persetan!” sahut Wuranta.
“Aku hanya akan menghidupimu kalau kau berkata sebenarnya. Ayo jawab di mana Agung Sedayu sekarang?”
Perempuan itu terdiam.
“Cepat katakan, apakah ia masih berada di sini?”
Tubuh perempuan itu bergetar. Dengan suara parau ia menjawab penuh keragu-raguan.
“Ya, Tuan. Angger Agung Sedayu masih berada di sini.”
Wuranta menarik nafas dalam-dalam. “Bagus!” katanya.
“Ternyata kau menjawab sebenarnya. Di mana ia sekarang? Apakah ia berada di dalam rumah, atau bersembunyi di atas kandang?”
“Angger Agung Sedayu baru pergi, Tuan.”
“Cukup,” potong Wuranta. Ia tidak mau mendengar perempuan itu menjelaskan kemana Agung Sedayu pergi atau bahkan mengatakan dengan siapa ia pergi.
“Keteranganmu sudah cukup. Aku hanya ingin tahu apakah Agung Sedayu masih berada di Jati Anom. Ternyata anak itu benar-benar anak yang sombong. Siang tadi ia telah dilihat oleh kawan-kawanku dari lereng Merapi, tetapi ia merasa bahwa ia tidak perlu melarikan dirinya.”
Perempuan itu hanya berdiam diri.
“Jangan kau katakan kepada Agung Sedayu, bahwa aku malam ini datang kemari. Kalau besok Agung Sedayu mendengar kedatanganku dan anak itu lari, maka anakmulah yang akan aku penggal lehernya.”
“Tuan,” perempuan itu hampir menjerit, “bagaimanakah kalau Angger Agung Sedayu itu dengan kehendaknya sendiri ingin pergi dari rumah ini meskipun aku tidak mengatakan sesuatu kepadanya?”
“Mustahil! Kalau ia ingin pergi, maka ia akan pergi siang tadi. Tetapi sampai malam ini ia masih berada di rumah ini.”
“Tetapi anak muda itu sekarang ternyata telah pergi. Bagaimanakah kalau ia tidak kembali?”
“Cukup, cukup! Sekarang masuklah. Tutup pintu ini. Aku akan melihat pintumu sepanjang malam.”
Perempuan itu masih saja menggigil di muka pintu rumahnya, sehingga sekali lagi Wuranta membentaknya,
“Masuk, cepat!”

Perempuan itu tidak dapat berbuat lain daripada menurut saja perintah itu. Dengan tubuh yang gemetar ia surut selangkah, dan dengan perlahan-lahan ia menutup pintu rumahnya.
“Jangan kau buka lagi pintu rumahmu sampai besok, supaya kau tidak aku bunuh bersama anakmu”
Tak terdengar jawab. Tetapi Wuranta mendengar suara perempuan itu menangis. Dan tangis perempuan itu telah menyentuh hati anak muda itu. Ia kenal benar siapakah perempuan penunggu rumah Agung Sedayu itu. Dan ia dapat merasakan betapa ketakutan telah melanda hatinya. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain. Ia sendiri sedang dalam keadaan yang mengkhawatirkan.


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar