“Aku kira kau sudah mengantarku cukup jauh.”
“Biarlah.
Marilah.”
Kembali mereka
berjalan bersama-sama. Dan kembali Alap-alap Jalatunda mulai membual.
Berceritera tentang dirinya dan tentang orang-orang Jipang di padepokan itu.
“He, apakah
yang sedang kita bicarakan tadi?” bertanya Alap-alap Jalatunda itu.
“Seorang
gadis,” sahut Wuranta.
“Ya, seorang
gadis cantik. Sidanti mengambilnya dari Sangkal Putung.”
“Apakah gadis
itu bakal isterinya?”
Sekali lagi
Alap-alap Jalatunda itu tertawa terbahak-bahak. Jawabnya,
“Dicurinya
gadis itu di tengah jalan. Gadis itu adalah anak Demang Sangkal Putung.”
“Tetapi
bukankah maksud Sidanti mengambil gadis itu menjadi isterinya?”
“Darimana kau
tahu?”
“Aku
bertanya.”
Alap-alap
Jalatunda menarik nafas dalam-dalam. Kemudian jawabnya,
“Mungkin.
Tetapi mungkin pula tidak. Melihat sikapnya yang cukup hati-hati, aku kira
memang gadis itu akan diperisterikannya. Kalau tidak, maka Sekar Mirah pasti
sudah menjadi korbannya. Tetapi Sidanti itu pun nanti akan tinggal menggigit
jari.”
“Kenapa?”
“Gadis itu
cantik sekali. Kau kira aku seorang laki-laki yang buta akan kecantikan seorang
gadis?”
“Tetapi
bukankah gadis itu seakan-akan milik Sidanti?”
“Omong kosong.
Gadis itu adalah barang curian. Aku akan dapat mencurinya, meskipun bukan
membawanya lari.”
Dada Wuranta
menjadi berdebar-debar. Gadis itu pasti adik Swandaru. Ia menjadi bertambah
cemas karenanya. Seorang gadis di dalam lingkungan laki-laki sekasar Alap-alap
Jalatunda, Sanakeling dan Sidanti pasti akan sangat berbahaya, seperti seekor
ayam yang berada di dalam sarang musang. Tetapi bukankah dengan demikian akan
dapat timbul pertentangan yang semakin tajam di antara mereka? Meskipun
demikian, meskipun pertentangan itu akan dapat menguntungkan Pajang, namun
umpan yang diberikan ternyata terlampau mahal. Tidaklah sewajarnya, bahwa Sekar
Mirah harus dibiarkan saja di dalam sarang hantu-hantu supaya mereka saling
berkelahi satu sama lain.
Wuranta itu
tiba-tiba terkejut ketika Alap-alap Jalatunda bertanya,
“He, apa yang
kau renungkan? Apakah kau ingin gadis itu juga?”
“Aku belum
pemah melihatnya. Sehari aku berada di padepokanmu, tetapi aku tidak bertemu
dengan seorang gadis cantik. Yang aku lihat hanyalah perempuan-perempuan yang
garang seperti kalian.”
Suara tertawa
Alap-alap Jalatunda terdengar lagi memenuhi lereng-lereng Gunung Merapi. Dua
orang pengawas yang duduk di atas sebuah batu sebesar punggung gajah,
mengawasinya dalam kegelapan malam sambil bersungut,
“Suara itu
adalah suara Alap-alap Jalatunda.”
“Ya, agaknya
ia mendapat sesuatu,” sahut yang lain.
Mereka terdiam
ketika Alap-alap Jalatunda itu kemudian berjalan di sisi batu tempat mereka
duduk.
“He, siapa di
sini?”
“Aku, ki
Lurah,” sahut pengawas itu.
“Buka matamu
baik-baik. Anak muda yang bernama Wuranta ini adalah kawan kita di sini. Kalau
nanti ia kembali dari Jati Anom, maka ia tidak boleh diganggu. Beritahu semua
kawan-kawanmu yang bertugas malam ini. Ingat, namanya Wuranta.”
“Baik, ki
Lurah.”
Kedua anak
muda itu meneruskan perjalanannya. Kini Wuranta justru berusaha menahan
Alap-alap Jalatunda untuk tetap berjalan bersamanya.
“Apakah gadis
itu disembunyikan?” bertanya Wuranta.
“Kenapa?”
“Aku ingin
melihatnya. Aku ingin menilai, apakah kau benar-benar mengerti kecantikan
seorang gadis.”
“Besok kau
akan melihatnya apabila kau masih hidup.”
“Apakah aku
nanti malam akan mati?”
Alap-alap
Jalatunda itu tersenyum. Kemudian katanya,
“Nah,
pergilah. Aku sudah cukup jauh mengantarmu. Kau sudah melampaui pengawasan
terakhir. Hati-hatilah di jalan. Lakukan pekerjaanmu baik-baik.”
“Kalau aku
berhasil, apakah aku akan mendapat hadiah gadis yang cantik itu?”
“Huh, apa
artinya kau buat gadis itu? Gadis itu akan menjadi milikku.”
“Kau harus
menyisihkan Sidanti.”
“Huh, Sidanti
tidak banyak berarti bagiku,” sahut Alap-alap Jalatunda, namun kemudian ia
berkata,
“sekarang
pergilah. Besok pagi kau harus sudah menghadap Sidanti.”
“Kenapa tidak
menghadap kau saja? Bukankah pengaruhmu atas orang-orang Jipang jauh lebih
besar daripada Sidanti?”
“Padepokan ini
adalah padepokannya.”
“Dan gadis
itu?” Wuranta sengaja membakar hati Alap-alap muda itu, meskipun hatinya masih
saja diselubungi oleh kecemasan. Mudah-mudahan segala sesuatunya tidak terjadi
seperti yang dikatakan oleh Alap-alap muda yang buas itu.
Alap-alap
Jalatunda tidak segera menjawab. Pertanyaan itu telah mendebarkan jantungnya.
Tetapi di dalam hatinya ia sibuk menilai diri. Apakah ilmu Sidanti masih juga
jauh berada di atas kepandaiannya? Selama ini ia telah mencoba menempa diri
sendiri dengan bekal ilmu yang telah dimilikinya. Diperasnya segenap kemampuan
yang ada padanya untuk mencoba meningkatkan ilmunya. Dengan tekun ia
memperbesar kekuatannya dengan berbagai macam alat-alat yang dapat diketemukan:
pasir, batu dan pepohonan. Hampir setiap hari, apabila ia pergi mandi ke
sungai, ia selalu melatih jari-jarinya hampir seperempat hari dengan pasir
tepian. Kemudian latihan itu diulanginya di malam hari. Dicobanya pula untuk meningkatkan
kelincahan kakinya dengan meloncat-loncat dari batu ke batu. Kemudian berlari
di tebing-tebing sungai yang curam. Meloncat terjun, kemudian kembali berlari
mendaki lereng-lereng yang terjal. Alap-alap Jalatunda berharap bahwa ilmunya
akan menjadi semakin sempurna, sehingga apabila sekali lagi ia bertemu dengan
Agung Sedayu, maka ia tidak akan menjadi malu. Tetapi sasaran itu ternyata
tidak saja ditujukan kepada Agung Sedayu. Kini, setelah ia melihat seorang
gadis yang cantik itu, tiba-tiba ia mulai menilai dirinya kembali. Namun kini
ia mencoba memperbandingkan dirinya dengan Sidanti.
Kedua anak
muda itu, Wuranta dan Alap-alap Jalatunda untuk sejenak saling berdiam diri.
Yang terdengar hanyalah desir kaki mereka menyentuh kerikil yang tersebar di sepanjang
jalan. Sekali-sekali di kejauhan terdengar bunyi burung hantu yang seakan-akan
sedang meratap. Wuranta menunggu jawaban Alap-alap itu. Tetapi ternyata
Alap-alap Jalatunda masih saja berdiam diri. Tiba-tiba sekali lagi Alap-alap
Jalatunda berkata,
“He, sampai ke
mana aku mengantarmu?”
Wuranta
berpaling. Dipandangi wajah Alap-alap Jalatunda. Namun di dalam kegelapan
malam, ia tidak mendapatkan suatu kesan apapun. Meskipun demikian, dada Wuranta
berdesir melihat ketajaman mata anak muda itu.
“Sudahlah. Aku
akan berjalan sendiri. Mungkin langkahku akan lebih cepat. Besok pagi-pagi aku
mengharap akan dapat melihat gadis yang kau katakan.”
“Kau akan
menjadi orang ketiga yang menginginkan gadis itu besok.”
“Tidak ada
orang lain?”
“Hampir semua
laki-laki di sini. Tetapi yang lain tidak berani berbuat apa-apa. Bahkan kakang
Sanakeling pun lebih baik menutup matanya daripada berhadapan dengan Sidanti.”
Wuranta
mengangguk-anggukkan kepalanya. Menurut penilaiannya Sanakeling adalah seorang
laki-laki yang kasar. Tetapi agaknya orang itu lebih senang melihat darah di
medan perang daripada kecantikan paras seorang gadis. Meskipun demikian
laki-laki yang kasar itu tidak dapat diabaikan dalam memperhitungkan
keselamatan Sekar Mirah. Tetapi kali ini Wuranta belum tahu, di manakah Sekar
Mirah itu disimpan.
Alap-alap
Jalatunda pun kemudian berhenti,
melepaskan Wuranta berjalan sendiri. Ketika anak muda itu melangkahkan kakinya,
Alap-alap itu berkata,
“Hati-hatilah.
Kau akan melampaui hutan-hutan, meskipun tidak terlampau lebat, satu dua sungai
yang curam, dan Tegal Mlanding yang justru lebih lebat dari hutan. Mungkin kau
akan bertemu dengan harimau, tetapi lebih celaka lagi kalau kau bertemu dengan
gerombolan anjing-anjing liar yang ganas.”
“Tentu. Aku
akan sangat berhati-hati. Tetapi aku tidak takut menghadapi binatang-binatang
itu, karena aku cukup pandai memanjat.”
Alap-alap
Jalatunda tertawa. Katanya,
“Aku sangka
kau tidak takut karena pedang di lambungmu.”
Wuranta pun tertawa pula. Sambil meneruskan
langkahnya ia berkata,
“Sampai ketemu
lagi.”
Alap-alap
Jalatunda tidak menjawab. Ditatapnya punggung Wuranta sampai anak muda itu
lenyap ditelan oleh kelamnya malam.
Ketika Wuranta
telah tidak tampak lagi Alap-alap Jalatunda itu menarik nafas dalam-dalam.
Tiba-tiba hatinya menjadi berdebar-debar ketika disadarinya, apa saja yang
telah dikatakan kepada Wuranta. Ia belum tahu, apakah Wuranta itu berpihak
kepadanya atau kepada Sidanti. Mulutnya begitu saja membual seperti apabila ia
berada di tengah-tengah orang-orang Jipang.
“Gila,”
desisnya,
“kalau anak
itu berkhianat, maka akan aku patahkan lehernya. Atau kenapa tidak sekarang
saja?”
Alap-alap
Jalatunda itu menggeleng-gelengkan kepalanya,
“Sidanti
menghendaki ia hidup.”
Alap-alap
Jalatunda kemudian menggeretakkan giginya. Tetapi ia tidak begitu menyesal akan
ketelanjurannya. Bahkan kemudian berkata,
“Kalau aku
benar-benar berhasil mendapatkan gadis itu sebelum Sidanti, maka aku tidak akan
perlu merahasiakannya lagi. Aku pasti akan menengadahkan dada untuk menerima tantangannya.
Aku sekarang bukan lagi beberapa bulan yang lalu. Mudah-mudahan usahaku dan
ketekunanku selama ini mendapat imbalan sewajarnya.”
Alap-alap
Jalatunda itu pun kemudian melangkahkan
kakinya lagi. Sambil meraba-raba hulu pedangnya ia berkata,
“Aku harus
mengikutinya. Mudah-mudahan ia benar-benar menemui Agung Sedayu. Besok anak itu
pasti akan digantung di ujung Kademangan Jati Anom.”
Dengan
demikian maka Alap-alap Jalatunda itu
pun mempercepat langkahnya. Ia harus tidak kehilangan Wuranta. Tetapi
beberapa puluh langkah saja, Alap-alap Jalatunda yang bermata setajam mata
burung Alap-alap segera melihat sebuah bayangan yang berjalan beberapa jauh di
mukanya menuju ke Jati Anom. Bayangan itu adalah Wuranta, yang sama sekali
tidak menyadari bahwa sepasang mata yang tajam selalu mengikutinya. Langkah
Wuranta pun semakin lama menjadi semakin
cepat. Ia ingin segera sampai ke Jati Anom. Ia ingin segera bertemu dengan
Agung Sedayu dan Kiai Gringsing beserta Swandaru untuk menceriterakan
pengalamannya yang pendek itu. Jalan yang ditempuh oleh Wuranta adalah jalan
yang cukup gelap. Apalagi ia belum pernah berjalan melewati daerah itu. Tetapi
Wuranta mempunyai pegangan arah. Ketika ia berjalan bersama Sidanti naik ke
lereng Merapi, ia dapat mengenali bahwa tidak ada jalan lain selain jalan yang
dilewatinya itu. Meskipun di beberapa tempat jalan itu tampaknya seakan-akan
terputus oleh semak-semak, namun Wuranta berhasil menembusnya. Sebelah
menyebelah jalan itu adalah pepohonan hutan, yang meskipun tidak lebat tetapi
cukup gelap. Wuranta seakan-akan tidak dapat lagi melihat jalan di hadapan
kakinya karena kepekatan malam. Karena itu maka anak muda itu berjalan sambil
menengadahkan kepalanya. Diikuti saja celah-celah dedaunan yang menjelujur
sepanjang jalan. Tetapi yang masih belum diketahuinya adalah, bahwa di
belakangnya seorang anak muda yang garang telah mengikutinya. Justru ingin
melihat apakah Wuranta menemui Agung Sedayu atau tidak. Karena itu, maka
Wuranta sama sekali tidak memperhitungkan bahaya yang kini sedang mengikutinya.
Ketika malam
menjadi semakin malam, maka Wuranta pun
segera semakin mempercepat langkahnya. Angin malam yang sejuk berhembus membawa
udara lembab yang dingin. Meskipun demikian, namun tubuh Wuranta telah menjadi
basah karena keringatnya yang mengalir dari lubang-lubang kulitnya. Sementara
itu, di belakangnya Alap-alap Jalatunda
pun terpaksa mempercepat langkahnya pula. Anak muda ini pun sama sekali tidak merasa betapa sejuknya
malam karena hatinya sedang dibakar oleh tugasnya. Ia pun ingin segera sampai ke Jati Anom untuk
melihat apa saja yang akan dilakukan oleh Wuranta. Bahkan sekali-sekali
timbullah keinginannya untuk menyelesaikan tugasnya dengan membunuh anak muda
itu. Sudah terlampau lama ia tidak meneteskan darah lawan dengan pedangnya.
Rasa-rasanya sudah bertahun-tahun. Tetapi selalu saja diingatnya, bahwa Sidanti
menghendaki Wuranta itu besok hidup-hidup menghadapnya. Kalau ternyata Wuranta
itu berkhianat maka Sidanti sendiri agaknya yang akan mendapat permainan. Tiba-tiba
Alap-alap Jalatunda itu menggerutu di dalam hatinya.
“Huh, Sidanti
ingin mendapat permainan tetapi ia tidak mau mengambilnya sendiri malam ini.”
Dalam pada itu
maka jarak yang mereka tempuh pun
semakin lama menjadi semakin jauh, dan sejalan dengan itu, maka Jati Anom pun menjadi semakin dekat pula. Sekali-sekali
Wuranta mendengar suara binatang-binatang buas yang berkeliaran di hutan-hutan.
Terasa bulu kuduknya meremang. Tetapi ketika tersentuh tangkai pedangnya, maka
kembali ia menengadahkan wajahnya sambil berdesis seorang diri,
“Ayo, siapa
yang ingin mencoba tajam pedangku?”
Tetapi ia
menjadi ngeri ketika didengarnya gonggong anjing liar di kejauhan. Anjing liar
itu akan dapat merupakan bahaya yang jauh lebih besar dari bahaya seekor
harimau, karena anjing itu biasanya bergerombol sampai berbilang puluhan. Meskipun
demikian Wuranta masih dapat menghibur dirinya.
“Aku pandai
memanjat, sedang anjing-anjing itu tidak akan dapat mengejarku.” Namun sejenak
kemudian ia berdesis,
“Tetapi dengan
demikian aku tidak akan dapat menyelesaikan tugasku. Kembali besok pagi-pagi ke
lereng Merapi.”
Kadang-kadang
Wuranta menjadi berdebar-debar mengenangkan tugasnya. Apakah sebenarnya yang
dimaksud oleh Sidanti? Apakah cukup apabila ia besok mengatakan bahwa Jati Anom
tidak ada perubahan sesuatu dan Agung Sedayu masih berada di rumahnya? Apakah
dengan demikian Sidanti akan datang dengan beberapa orang untuk menangkap Agung
Sedayu? Dalam kebingungan itu ia bergumam,
“Lebih baik
aku beritahukan saja kepada Agung Sedayu. Orang tua yang bernama Ki Tanu Metir
itu pasti akan dapat memberinya beberapa pertimbangan yang baik baginya dan
bagi aku. Bukankah nasibku sendiri bagaikan sebutir telur di ujung tanduk yang
runcing?”
Wuranta
menarik nafas dalam-dalam. Ia ingin menyerahkan bagaimana dan apa saja yang
harus dilakukan kepada Ki Tanu Metir. Dalam pada itu, di belakangnya seorang
anak muda sedang mengintainya. Apakah ia nanti akan menemui Agung Sedayu atau
tidak. Perjalanan Wuranta dan Alap-alap Jalatunda itu pun semakin mendekati Jati Anom. Alap-alap
Jalatunda menjadi heran terhadap dirinya sendiri. Kenapa ia menjadi
berdebar-debar?,
“Persetan
dengan Agung Sedayu,” tiba-tiba ia bergumam perlahan-lahan.
“Kalau aku
nanti dilihatnya, baiklah, aku akan mencoba apakah aku sudah berhasil
menyamainya.” Tetapi meskipun demikian dada Alap-alap Jalatunda masih terus
bergetar Betapapun ia mencoba menenangkannya.
Kedua anak
muda itu berjalan dengan berbagai persoalannya sendiri-sendiri. Tetapi keduanya
masih harus meraba-raba, apakah sebenarnya yang sedang dihadapinya. Mereka,
seperti malam itu juga, berjalan di dalam kelam. Kakinya tidak akan dapat
menghindar seandamya seonggok duri berada tepat di bawah telapak kakinya yang
sudah hampir menginjaknya. Tetapi tiba-tiba Wuranta itu tertegun sejenak.
Telinganya seakan-akan mendengar desir di balik dedaunan di sisi jalan itu.
Tetapi ketika dicobanya untuk mendengar sekali lagi, maka suara itu pun lenyap.
“Siapa?”
desisnya di dalam hati. Dengan demikian maka langkahnya pun menjadi kian lambat.
Alap-alap
Jalatunda yang melihat langkah anak muda itu tertegun-tegun menjadi heran.
Kenapa? Bahkan kadang-kadang ia melihat Wuranta itu berhenti sama sekali untuk
sesaat. Sehingga dengan demikian maka Alap-alap Jalatunda itu harus bersembunyi
di belakang pepohonan atau berjongkok di samping rumput-rumput ilalang yang
tumbuh liar di pinggir-pinggir jalan. Namun setiap kali suara desir itu di
dengar lagi oleh Wuranta. Wuranta bukanlah seorang penakut. Tetapi karena ia
hampir belum pernah mengalami peristiwa-peristiwa semacam itu, maka
hatinya pun semakin lama menjadi semakin
berdebar-debar. Sekali-sekali ia berpaling dan ditebarkannya pandangan matanya
tajam-tajam berkeliling. Tetapi yang dilihatnya hanyalah kelamnya malam.
Pepohonan yang tegak membisu. Sekali-sekali dilihatnya dedaunan bergerak-gerak
disentuh angin malam. Wuranta menarik nafas. Untuk menenteramkan hatinya ia
berkata kepada diri sendiri,
“Tak ada
sesuatu yang perlu mendapat perhatian yang berlebih-lebihan.”
Wuranta pun kemudian berjalan kembali. Ditenangkannya
hatinya. Ditetapkannya langkahnya seperti semula. Namun terasa setiap kali
jantungnya menghentak semakin keras.
“Beberapa
langkah lagi aku akan sampai ke ujung hutan,” gumamnya. Tetapi di ujung hutan
itu didapatinya sebuah hutan perdu. Baru sesudah hutan perdu itu ia akan sampai
ke daerah persawahan dan pategalan dari desa-desa kecil sebelum ia sampai ke
Kademangan Jati Anom.
Ketika suara
berdesir itu masih saja di dengarnya, maka Wuranta pun mempercepat langkahnya.
Aku harus segera sampai ke daerah persawahan. Aku harus berada di tempat.
Terbuka supaya tidak seorang pun yang
dapat mengikuti aku dengan sembunyi-sembunyi. Ternyata kegelisahan itu tidak
saja melanda Wuranta, Alap-alap Jalatunda
pun menjadi gelisah. Apakah anak muda itu merasa bahwa beberapa langkah
di belakangnya, seseorang sedang mengikutinya? Tetapi Alap-alap Jalatunda sama
sekali tidak tahu, bahwa Wuranta sedang diganggu oleh suara berdesir di antara
pepohonan di sisi jalan. Sedang Wuranta sendiri akhirnya tidak mempedulikan
lagi suara itu. Terdengar ia menggeram perlahan,
“Kalau ada
seseorang yang ingin mengganggu aku, marilah, Aku tidak akan gentar.”
Dengan
demikian maka Wuranta seakan-akan tidak lagi merasa seseorang berada di sisi
jalan dan mengikuti langkahnya. Dibiarkannya saja suara berdesir yang
sekali-sekali masih juga didengarnya. Meskipun demikian, namun tangan Wuranta
itu selalu meraba hulu pedangnya. Di dalam hati ia berkata,
“Tidak
bersenjata pun aku berani melewati jalan
ini. Apalagi kini aku mempunyai sebilah pedang.”
Yang
didengarnya kemudian adalah gonggong anjing liar di kejauhan. Kemudian disahut
oleh sebuah auman yang dahsyat. Terbayanglah di dalam kepala Wuranta, bahwa
sedang terjadi bertarungan yang sengit antara segerombol anjing-anjing liar melawan
seekor harimau. Anjing adalah binatang yang seakan-akan disediakan menjadi
makanan harimau. Tetapi kalau anjing-anjing itu sedang lapar, maka suatu ketika
terjadi harimau menjadi makanan anjing-anjing liar itu. Tetapi ketika
hiruk-pikuk itu semakin menjauh, kembali terdengar sebuah desir yang lembut.
Kini semakin dekat di pinggir jalan, bahkan seolah-olah desir itu adalah desir
kakinya sendiri yang menyentuh daun-daun perdu. Namun yang dilihatnya tidak
lebih dari batang-batang kayu dan dedaunan. Kegelisahan Wuranta semakin lama
menjadi semakin kuat melanda hatinya. Namun karena anak muda itu belum memiliki
pengalaman yang cukup, maka ia sama sekali tidak dapat menanggapinya. Bahkan
kemudian di cobanya menenangkan hatinya dan menganggap bahwa sebenarnya tidak
ada apa-apa sama sekali. Telinganya sajalah yang seakan-akan melihat hantu,
tetapi yang sebenarnya tidak ada apa-apa. Yang disangkanya hantu itu tidak
lebih dari sebuah ranting yang kering, atau selembar kelaras kering ditiup
angin. Tetapi semakin lama Wuranta justru menjadi semakin yakin, bahwa yang
didengarnya itu bukan sekedar daun kering yang gugur ditiup angin. Dengan
demikian maka akhirnya Wuranta tidak lagi dapat menghibur dirinya dengan
macam-macam dugaan. Mau tidak mau ia harus mengatakan kepada dirinya sendiri,
bahwa yang didengarnya itu adalah langkah seseorang. Bahkan kemudian ia
mendengar suara nafas yang semakin deras dan desis perlahan-lahan. Karena itu
maka Wuranta harus menyiapkan dirinya menghadapi segala macam kemungkinan.
“Siapakah yang
mengikuti aku?” katanya di dalam hati.
“Apakah ia
orang lereng Merapi yang sengaja di kirim oleh Sidanti untuk mengawasi aku,
atau orang lain yang menyangka justru aku orang dari padepokan Ki Tambak Wedi.”
Dalam
kegelisahannya Wuranta itu berhenti. Dihadapinya suara berdesir yang semakin
dekat itu dengan hati yang berdebar-debar. Bahkan untuk mengatasi
kegelisahannya, tiba-tiba Wuranta itu berkata keras,
“He, siapa
yang berada di balik pepohonan. Ayo, tampakkan dirimu!”
Namun tidak
terdengar jawaban. Yang terkejut bukan kepalang mendengar sapa itu adalah
Alap-alap Jalatunda. Ketika ia melihat Wuranta berhenti, Alap-alap Jalatunda
segera berdiri di belakang sebatang pohon yang cukup besar melindungi tubuhnya,
“Apakah
Wuranta telah melihat aku?”
Sekali lagi ia
mendengar Wuranta berkata,
“Ayo,
keluarlah dari persembunyianmu!”
Masih tak ada
jawaban. Sedang kegelisahan Alap-alap Jalatunda pun menjadi semakin meningkat. Dalam
kegelapan malam ia melihat bayangan Wuranta berdiri tegak seperti patung.
Tetapi ia tidak melihat Wuranta itu melangkah kembali ke arahnya.
“Apakah yang
di lihat anak itu?” desis Alap-alap Jalatunda di dalam hatinya. Tetapi berbeda
dengaa Wuranta, Alap-alap muda itu telah menyimpan banyak sekali pengalaman di
dalam dirinya. Ia menganggap bahwa Wuranta sedang diganggu oleh firasatnya.
Mungkin Wuranta itu merasa sesuatu yang tidak pada tempatnya dan sekedar
menganggap bahwa seseorang sedang mengikutinya. Tetapi Alap-alap Jalatunda
tidak yakin bahwa sebenarnya anak itu telah melihatnya. Karena itu maka
Alap-alap Jalatunda masih saja bersembunyi di balik sebatang pohon. Di dalam
malam yang gelap tidak sulit baginya untuk berusaha supaya Wuranta tidak dapat
melihatnya meskipun seandainya Wuranta itu berpaling ke arahnya. Dari sisi
pohon tempatnya berlindung, Alap-alap Jalatunda berusaha melihat bayangan anak
muda Jati Anom yang tampaknya menjadi sangat gelisah.
“Apakah anak
itu dicekik hantu?” gumam Alap-alap Jalatunda perlahan-lahan.
Tetapi ia
mendengar Wuranta berteriak lagi,
“Ayo, siapakah
yang bersembunyi?”
“Uh,” desis
Alap-alap Jalatunda,
“penakut itu
hampir menjadi gila.” Tetapi kemudian tumbuh pertanyaan di dalam hatinya,
“Apakah ia
telah melihat aku, dan akulah yang di panggilnya?”
Hati Alap-alap
yang buas itu berdesir. Bahkan terdengar giginya gemeretak. Sekali lagi ia
bergumam di dalam hatinya,
“Setan, jangan
terlampau sombong. Kalau kau menantang Alap-alap Jalatunda maka lehermu
benar-benar akan aku patahkan.”
Kalau saja
Alap-alap Jalatunda itu tidak selalu mengingat pesan Sidanti untuk membiarkan
Wuranta itu hidup, maka ia pasti sudah menyergapnya, membunuhnya dan
melemparkan mayatnya ke dalam parit.
“Sidanti ingin
setan kecil itu hidup sampai besok,” katanya pula di dalam hatinya,
“tetapi kalau
ia menyerangku, apa boleh buat. Aku harus membunuhnya, dan membawa kepalanya
kembali ke padepokan. Tetapi aku tidak akan mendahuluinya. Aku akan menunggu di
sini sampai anak itu datang untuk membunuh dirinya.”
Namun
tiba-tiba Alap-alap itu terkejut. Ia melihat Wuranta meloncat surut dan
mencabut pedangnya. Dengan tegangnya anak muda Jati Anom itu siap menghadapi
segala kemungkinan dengan pedang yang datar setinggi dada.
“Hem,” desah
Alap-alap Jalatunda,
“anak itu
benar-benar telah menjadi gila karena ketakutan. Tetapi melihat gerak tangannya
ia memang memiliki sedikit kecakapan bermain pedang.”
Namun belum
delesai Alap-alap Jalatunda berdesah kepada diri sendiri, ia kini benar-benar
terkejut ketika ia melihat dengan tiba-tiba sebuah bayangan lain yang melontar
dari dalam gerumbul di sisi jalan langsung menyerang Wuranta.
“O,” Alap-alap
muda itu menggeram,
“ternyata
Wuranta tidak sedang gila. Tetapi orang yang menyerangnya itulah yang gila.
Tetapi siapa orang itu? Dan apakah maksudnya menyerang Wuranta?”
Alap-alap
Jalatunda itu pun menjadi tegang pula.
Dengan tajam ia mencoba melihat apa yang seterusnya terjadi. Dan yang terjadi
adalah sebuah perkelahian yang sengit. Ternyata orang yang menyerangnya itu
memiliki kemampuan yang cukup baik seperti Wuranta yang ternyata mampu pula
mempertahankan diri. Dalam gelap malam Alap-alap Jalatunda melihat dua bayangan
hitam yang melontar berputaran. Serang menyerang dengan serunya.
“Hem,”
Alap-alap Jalatunda itu menarik nafas untuk mencoba melepaskan ketegangannya,
dan kemudian berkata di dalam hatinya,
“ternyata
Wuranta itu pandai juga bermain pedang, meskipun ayunan tangannya masih juga
seperti orang membelah kaju.”
Tetapi
perkelahian itu sendiri telah membingungkan Alap-alap Jalatunda. Bagaimana ia
harus bersikap menghadapi pertempuran itu? Kalau kemudian Wuranta dapat
memenangkan perkelahian itu, maka rencananya sama sekali tidak berubah. Ia
hanya mengikuti saja anak itu meneruskan perjalanannya ke Jati Anom. Tetapi
bagaimana kalau Wuranta itu terdesak?
“Setan,”
Alap-alap itu menggeram.
“Siapakah yang
berani mengganggu perjalanan ini. Orang itu pasti tidak tahu bahwa di sini ada
Alap-alap Jalatunda.”
Tiba-tiba
kening Alap-alap itu menjadi berkerut-merut. Tumbuhlah pertanyaan di dalam
hatinya,
“Apakah orang
itu Agung Sedayu?” Menurut pendengaran Alap-alap Jalatunda dari Sidanti, bahwa
Wuranta pagi tadi sedang dikejar-kejar oleh Agung Sedayu ketika dijumpainya.
Tetapi Sidanti meragukan kebenaran peristiwa itu. Bahkan Sidanti meragukan
sikap Agung Sedayu sendiri yang meninggalkannya berlari. Tetapi kalau hal itu
benar terjadi karena Wuranta ingin mencuri milik Agung Sedayu, maka adalah
suatu kemungkinan bahwa Agung Sedayu mendendamnya. Tetapi Alap-alap Jalatunda
tidak melihatnya dengan jelas.
Dari jarak
itu, apalagi di malam yang gelap Alap-alap Jalatunda tidak mudah untuk mencoba
mengenali unsur-unsur gerak dari lawan Wuranta itu.
“Apakah aku
akan mendekatinya?” Tetapi Alap-alap Jalatunda menjadi ragu-ragu. Kemungkinan
yang tidak diharapkan cepat terjadi. Kalau Wuranta melihatnya, maka gagallah
tugasnya. Apalagi kalau orang yang menyerang Wuranta itu ternyata Agung Sedayu,
maka ia harus berkelahi melawannya. Dan ia tidak yakin, apakah ia pada saat itu
dapat mengimbangi adik senapati Pajang yang bertugas di sekitar Gunung Merapi
ini. Seandainya demikian, maka tugasnya
pun akan gagal pula karenanya. Sekali lagi Alap-alap Jalatunda
menggeram. Ia benar-benar menjadi bingung dan tidak segera tahu apa yang
sebaiknya dikerjakan.
Dalam pada itu
perkelahian itu pun menjadi semakin lama
semakin sengit. Wuranta berusaha melawan dengan pedang di tangan. Dikerahkannya
segenap kemampuan yang ada padanya. Namun meskipun orang yang menyerangnya itu
tidak bersenjata, tetapi kelincahannya telah memaksa Wuranta untuk memeras
keringatnya. Orang itu meloncat-loncat berputaran mengelilingi Wuranta untuk
menghindari sambaran pedangnya. Sekali-sekali ia meloncat menjauh, namun
tiba-tiba serangannya datang menyambar dengan cepatnya. Seperti pusaran
serangannya membelit dari segala arah. Dengan sepenuh tenaga Wuranta
melawannya. Namun keragu-raguan di hatinya kadang-kadang telah mengekang
sambaran-sambaran pedangnya. Betapa dadanya dilanda oleh beberapa pertanyaan
tentang orang yang tiba-tiba menyerangnya.
“Siapa dan
mengapa?”
Tetapi
serangan orang itu semakin lama menjadi semakin cepat. Bahkan hampir-hampir tak
tertahankan lagi. Meskipun Wuranta belum merasa dikenai di bagian tubuhnya yang
berbahaya, tetapi ia merasa, apabila perkelahian itu diteruskan, ia pasti akan
kehabisan tenaga. Anak muda itu merasa beruntung bahwa ia telah mendapatkan
sepucuk senjata yang dapat menolongnya memperpanjang perlawanannya. Tetapi
sudah sekian lama ia berkelahi, namun senjatanya seakan-akan hampir tidak
berguna. Meskipun demikian Wuranta tidak segera menjadi berputus asa. Selama ia
masih mampu menggerakkan pedangnya, maka ia akan melawannya terus. Apa pun yang
terjadi. Namun dalam pada itu, terbersit suatu penyesalan di dalam hatinya.
Kalau ia gagal menghindarkan diri dari orang yang menyerangnya itu, maka
tugasnya pun menjadi gagal pula
karenanya. Gagal bukan karena kesalahannya, tetapi justru karena sebab-sebab
yang tidak diketahuinya. Karena itu maka tiba-tiba timbullah keinginannya untuk
bertanya. Meskipun tangannya sibuk menggerakkan pedang, namun dengan
tersengal-sengal ia bertanya,
“He, siapakah
kau dan apakah sebabnya kau menyerangku?”
Alap-alap
Jalatunda lamat-lamat mendengar pula pertanyaan itu. Dengan demikian ia
mengambil kesimpulan bahwa orang yang menyerang itu sama sekali bukan Agung
Sedayu. Kalau demikian siapakah ia? Apakah orang itu salah seorang yang sengaja
ditugaskan oleh Sidanti? Tetapi seandainya demikian, maka Alap-alap Jalatunda
pasti segera dapat mengenalnya. Tetapi penyerang itu sama sekali belum pernah
dikenalnya, baik orangnya maupun tata geraknya. Dengan demikian maka Alap-alap
Jalatunda itu menjadi semakin bingung. Karena itu, maka ia pun ingin sekali mendengar jawab orang yang
menyerang Wuranta itu. Tetapi orang itu tidak segera menyahut. Mereka masih
saja berkelahi dengan serunya. Bahkan kemudian titik perkelahian itu sudah
berkisar ke sana ke mari. Sekali lagi Wuranta yang sudah mulai kelelahan itu
bertanya,
“Siapakah kau,
dan apakah sebabnya kau menyerang aku?”
Sejenak masih
belum terdengar jawaban. Dengan berdebar-debar Wuranta menunggu, bahkan
Alap-alap Jalatunda pun menjadi berdebar-debar
pula.
Tetapi sejenak
kemudian Wuranta itu pun terkejut bukan
main. Hampir saja ia meloncat surut ketika ia mendengar lawannya itu berbisik,
“Jangan
terlampau keras. Suaramu didengar oleh orang lain.”
Kini
Wuranta-lah yang terdiam. Ketika perlawanannya menjadi kendor karena keheranan
yang menghinggapi perasaannya, terdengar lawannya berkata,
“Lawanlah
terus. Sepasang mata Alap-alap sedang mengintaimu.”
“Siapa kau?”
Wuranta tidak tahan lagi, sehingga sekali lagi ia bertanya keras-keras.
“Jangan
terlampau keras,” jawab suara itu pula. Wuranta menjadi semakin heran. Tetapi
jawaban itu benar-benar mempengaruhinya, sehingga tanpa sesadarnya ia berbisik,
“Siapa kau?”
Wuranta
mendengar orang itu tertawa perlahan sekali. Meskipun demikian serangannya sama
sekali tidak berkurang. Sesaat kemudian didengarnya orang itu menjawab,
“Jangan lengah
supaya pedangmu tidak terlempar jatuh.” Orang itu terdiam sejenak. Lalu
terdengar suaranya kembali,
“Kenapa kau
berjalan ke Jati Anom malam ini?”
“Siapa kau?”
bertanya Wuranta kemudian.
“Apakah kau
tidak dapat mengenali aku?”
“Siapa?”
Kembali ia
mendengar suara tertawa,
“Aneh,
meskipun kau pandai juga bermain pedang, tetapi ingatanmu ternyata kurang baik.
Kau baru saja melihatku pagi tadi bersama Agung Sedayu.”
“He?” Wuranta
menjadi semakin heran. Tetapi ketika ia meloncat surut, serangan orang tua itu
menjadi semakin garang. Sekali lagi ia mendengar peringatan,
“Berkelahilah
terus. Seseorang mengikutimu.”
“Siapa?”
Wuranta berhenti bertanya lalu katanya, “Maksudku siapa kau?”
“Tanu Metir,”
jawab suara itu pendek.
“He?” sekali
lagi Wuranta menjadi heran. Ia mengenal dukun itu. Tetapi ia tidak menyangka
bahwa orang tua itu mampu bergerak sedemikian lincahnya. Meskipun ia telah
menduga bahwa Ki Tanu Metir memiliki beberapa kelebihan, tetapi bukan kelebihan
jasmaniah. Namun ternyata bahwa orang tua itu mampu berkelahi melampaui
anak-anak muda yang pernah dilihatnya.
“Apakah benar
kau dukun tua yang datang bersama Agung Sedayu?”
“Kenapa aku
berbohong? Bukankah kau masih dapat mengenali aku, setidak-tidaknya suaraku?”
Wuranta
terdiam. Tetapi ia berkelahi terus seperti permintaan lawannya yang mengaku
bernama Ki Tanu Metir.
“Ya. Ya. Aku
mengenalmu.”
“Nah,
ketahuilah bahwa seseorang mengikutimu, Alap-alap Jalatunda”
“He?”
“Jangan
terlampau keras.”
“Kenapa ia
mengikuti aku?”
“Aku tidak
tahu. Tetapi apakah maksudmu datang kembali ke Jati Anom malam ini? Apakah hal
itu tidak menimbulkan kecurigaan mereka? Bahkan Alap-alap Jalatunda telah
mengikutimu sampai di sini?”
Wuranta masih
berkelahi terus. Perlahan-lahan ia menjawab,
“Aku harus
pergi ke Jati Anom atas perintah Sidanti. Aku harus melihat apa yang terjadi di
kademangan itu dan apakah Agung Sedayu masih ada di Jati Anom?”
Ki Tanu Metir
terdiam sesaat. Sekali ia meloncat ke samping namun kemudian kakinya berputar
hampir menyentuh lambung Wuranta. Wuranta mengumpat di dalam hati. Orang tua
itu benar-benar di luar dugaannya. Apalagi serangannya seakan-akan
bersungguh-sungguh sehingga apabila Wuranta lengah sesaat, maka tubuhnya pasti
akan dikenai oleh serangan Ki Tanu Metir itu. Tetapi justru Wuranta mengetahui
bahwa lawanya adalah Ki Tanu Metir, maka tendangannya pun menjadi ragu-ragu. Pedangnya tidak
terayun-ayun dengan garangnya. Bahkan setiap kali ia menahan ayunan senjatannya
itu.
“Jangan ragu-ragu,”
berkata Ki Tanu Metir.
“Kalau kau
ragu-ragu, maka mata Alap-alap yang tajam itu pasti akan mengetahuinya.”
“Dimanakan ia
sekarang?”
“Tidak
terlampau jauh. Karena itu jangan terlalu keras. Kita bisa berkisar ke tempat
yang lebih lapang supaya ia tidak dapat mendekat.”
Demikian
perkelahian itu berkisar ke tempat yang agak lapang. Kesempatan Alap-alap
Jalatunda untuk mendekati perkelahian itu menjadi semakin kecil. Karena itu,
maka di kejauhan Alap-alap Jalatunda hanya dapat mengumpat di dalam hatinya
yang semakin kisruh. Sekali-sekali ia melihat Wuranta terdesak. Dalam keadaan
yang demikian ia benar-benar menjadi bingung. Apakah ia akan membantunya atau tidak?
Tetapi lawan Wuranta itu sudah jelas bukan Agung Sedayu dan bukan pula orang
yang dikirim Sidanti. Sekali-sekali Alap-alap Jalatunda itu menggertakkan
giginya. Ingin ia meloncat dan ikut serta berkelahi di pihak manapun. Tetapi
tugasnya telah mencegahnya berbuat demikian. Ia hanya dapat menilai dengan
tegang kedua orang yang sedang berkelahi itu.
“Tetapi Wuranta
itu terdesak,” desisnya.
“Mereka
berkisar semakin jauh.” Lalu gumamnya,
“Bagaimanakah
kalau Wuranta itu terbunuh. Apakah aku akan membiarkannya? Sidanti pasti
menyangka bahwa aku yang membunuhnya. Tetapi kalau aku membantunya, maka
tugasku pun akan gagal sama sekali.”
Dalam
kebingungan itu Alap-alap Jalatunda berdiri saja seperti patung. Sekali-sekali
dirabanya hulu pedangnya namun kemudian tangannya itu terkulai dengan lemahnya,
tergantung di sisi tubuhnya yang bersandar sebatang pohon tempatnya berlindung.
Sementara itu
Wuranta masih juga berkelahi melawan Ki Tanu Metir. Perlahan-lahan Wuranta mendengar
Ki Tanu Metir berkata,
“Kau ternyata
sedang dalam pengawasan. Mungkin Sidanti ingin membuktikan, apakah kau bukan
sekedar seorang yang memancing kepercayaan seperti yang sebenarnya kau lakukan.
Karena itu berhati-hatilah. Ternyata lereng Merapi itu pun berisi orang-orang
yang berotak terang meskipun kadang-kadang licik.”
“Jadi apa yang
harus aku lakukan?” bertanya Wuranta
“Pulanglah ke
rumahmu. Aku, Agung Sedayu, dan Swandaru berada di sana. Tetapi jangan
terlampau cepat. Berilah kami kesempatan masuk ke rumah itu. Apakah Agung
Sedayu sudah mengenal keluargamu sehingga ia dapat masuk dengan aman?”
“Aku kira
sudah. Yang ada di rumah hanyalah orang-orang tua. Tak ada orang lain lagi. Dan
mereka pasti mengenalnya. Mungkin mereka lupa, tetapi mereka akan segera ingat
kembali apabila Agung Sedayu menyebut dirinya.”
“Baik. Kami
akan kesana. Kami akan menemuimu di rumahmu sehingga tidak menimbulkan
kecurigaan bagi orang yang mengikutinya.”
“Terima kasih
atas peringatan itu Kiai. Kalau aku tidak mengetahui bahwa seseorang mengikuti
aku, maka besok mungkin aku sudah digantung di pinggir jurang.”
“Suatu
peringatan bagimu. Hati-hatilah untuk seterusnya.”
“Baik, Kiai.”
“Sekarang
bertempurlah sesungguhnya. Aku akan menghindar dan meninggalkan perkelahian
ini. Ingat, jangan terlampau cepat, supaya aku mendapat waktu masuk lebih
dahulu ke rumahmu bersama Agung Sedayu”
“Baik, Kiai.”
“Mulailah.”
Wuranta pun segera memutar pedangnya lebih cepat.
Tetapi tenaganya telah benar-benar hampir habis. Ia harus mengerahkan sisa-sisa
tenaga yang ada padanya untuk dapat bergerak lebih cepat.
Alap-alap
Jalatunda yang melihat perkelahian itu dari kejauhan menjadi semakin cemas. Ia
tidak dapat melihat dengan jelas apa yang terjadi. Ketika perkelahian itu
berkisar ke tempat yang agak lapang, maka bayangan keduanya menjadi tidak jelas.
Tetapi dari jarak yang agak jauh itu, Alap-alap Jalatunda hanya sekedar melihat
dua buah bayangan yang melontar ke sana ke mari. Sekali-sekali tampak sekilas
sinar gemerlapnya pedang Wuranta memantulkan cahaya bintang gemintang di
langit. Tetapi setelah itu maka kedua bayangan itu pun seakan-akan menjadi lebur tak
terpisahkan. Setiap kali Alap-alap Jalatunda merasa bahwa Wuranta terdesak,
hatinya menjadi berdebar-debar. Ia berdiri pada keadaan yang sulit. Tetapi ia
melihat suatu perubahan pada perkelahian itu. Ia melihat salah seorang
daripadanya terdorong beberapa langkah surut bahkan kemudian berguling beberapa
kali untuk menghindari lawannya. Dalam pada itu, lawannya berusaha mengejarnya
terus. Sebuah pedang terjulur lurus-lurus ke depan sedang lawannya
terus-menerus menghindarinya.
Alap-alap
Jalatunda menarik napas dalam-dalam. “Hem,” desahnya, “ternyata Wuranta
berhasil mengatasi kesulitan. Agaknya anak itu cakap juga bermain pedang.”
Pertempuran
itu memang hampir sampai pada akhirnya. Wuranta dengan sisa-sisa tenaganya
ingin menunjukkan bahwa ia benar-benar sempat memenangkan perkelahian itu, dan
Ki Tanu Metir pun mampu pula bermain
dengan baiknya. Kali ini ia beperan sebagai seorang yang sedang di desak oleh
lawannya. Sebagai seorang yang mencoba mengerahkan sisa-sisa kekuatannya untuk
menyelamatkan diri dari sambaran pedang. Melihat saat-saat terakhir dari
perkelahian itu Alap-alap Jalatunda menahan nafasnya. Setiap kali Wuranta
mendesak lawannya, Alap-alap Jalatunda itu mengepalkan tinjunya. Seolah-olah ia
ingin meloncat dan membantu menerkam lawan Wuranta itu. Tetapi hanya giginya
sajalah yang terdengar gemeretak.
Alap-alap
Jalatunda itu bersorak di dalam hatinya ketika melihat lawan Wuranta itu
meloncat surut beberapa langkah, kemudian dengan tergesa-gesa membalikkan
tubuhnya dan berlari meninggalkan anak muda Jati Anom itu.
“Jangan lari!”
Alap-alap Jalatunda mendengar lamat-lamat suara Wuranta.
“Jangan
sombong,” jawab orang yang lari itu, “aku belum kalah.”
“Tunggu dan
kita teruskan perkelahian ini.”
“Belum
waktunya.”
“Pengecut!”
“Kau pembual
yang besar kepala.”
“Siapakah kau
he?” bertanya Wuranta
Yang terdengar
hanyalah suara tertawa. Lawan Wuranta itu tertawa dalam nada yang tinggi.
Demikian tajamnya nada suara itu sehingga dada Alap-alap Jalatunda serasa
tertusuk beribu jarum. Apalagi Wuranta, kali ini ia benar-benar menderita di
dalam dadanya, bukan sekedar sebuah permainan. Untunglah bahwa suara tertawa
itu tidak terlampau lama. Suara tertawa yang aneh itu segera berhenti. Wuranta
tidak mampu lagi berlari mengejar lawannya itu. Kini ia berdiri bersandar
sebatang pohon di pinggir jalan. Tenaganya benar-benar terkuras habis, apalagi
isi dadanya serasa hancur tersayat-sayat oleh suara tertawa yang bernada tinggi
dan tajam itu.
“Hem,” desahnya,
“siapakah sebenarnya orang yang bernama Ki Tanu Metir itu? Tanpa tenaganya ia
dapat membunuh aku hanya dengan nada suaranya.”
Di tempat lain
Alap-alap Jalatunda pun berdiri pula
bersandar sebatang pohon sambil menahan dadanya dengan telapak tangannya.
“Gila,”
geramnya. Tetapi ia tidak sepayah Wuranta. Tenaganya masih cukup kuat untuk
menahan dirinya meskipun suara tertawa itu benar-benar seperti meremas ulu
hati.
“Hampir aku
tidak percaya bahwa orang yang memiliki kekuatan seperti orang itu dapat
dikalahkan oleh Wuranta. Suara tertawanya seakan-akan mempu merontokkan
tulang-tulang iga. Aneh. Mungkin ia mempunyai kekuatan batin yang tinggi,
tetapi kekuatan jasmaniahnya yang sangat kurang. Tetapi kenapa ia tidak
berusaha mengalahkannya lawannya itu dengan kelebihannya itu?”
Orang itu bagi
Alap-alap Jalatunda telah menimbulkan pertanyaan yang sulit untuk dijawabnya.
Tetapi dengan demikian ia mengenal bahwa di lereng Merapi ini ada seseorang
yang aneh. Yang selama ini tidak pernah diperhitungkan. Orang itu bukan Agung
Sedayu, bukan Untara, bukan Widura, bukan Sidanti, dan bukan Ki Tambak Wedi. Ketika
Alap-alap Jalatunda telah terasa segar kembali, maka dijulurkannya kepalanya
melihat apakah Wuranta sudah meneruskan perjalanannya. Tetapi anak muda Jati Anom
itu ternyata kini malahan duduk di atas rerumputan kering bersandar pohon di
sisi jalan. Tampaklah ia terlalu payah setelah berkelahi sekian lama melawan
orang yang tidak dikenalnya.
“O, anak itu
hampir mati,” gumam Alap-alap Jalatunda di dalam hatinya.
“Mudah-mudahan
ia tidak mati karena jantungnya rontok. Apabila demikian Sidanti akan marah
kepadaku. Akulah yang disangkanya membunuh anak itu. Tetapi kalau ia masih saja
duduk di situ, maka perkerjaan ini pasti akan tertunda. Kalau anak itu sampai
ke Jati Anom setelah terang, maka aku tidak akan dapat mengikutinya terus.”
Namun
Alap-alap Jalatunda masih mencoba menyabarkan diri.
“Biarlah ia
sekedar bernafas.”
Wuranta yang
duduk bersandar sebatang pohon itu sebenarnya memang sedang berusaha untuk memulihkan
nafasnya yang tersengal-sengal. Tetapi ia juga sengaja beristirahat agak lama
seperti pesan Ki Tanu Metir. Meskipun kemudian nafasnya telah agak teratur,
tetapi ia masih saja duduk dengan tenangnya.
“Mampuslah
tikus cengeng,” geram Alap-alap Jalatunda yang hampir kehabisan kesabaran.
Alangkah senangnya apabila ia diijinkan meloncati anak muda itu dan kemudian
mencekik lehernya.
Tetapi
akhirnya Wuranta itu berdiri juga. Sekali ia menggeliat, kemudian memijit
punggungnya dengan kedua tangannya.
“Pemalas,”
Alap-alap Jalatunda masih saja mengumpat-umpat seorang diri.
Wuranta itu
akhirnya melangkahkan kakinya juga. Perlahan-lahan. Bukan saja karena ia
sengaja memperlambat perjalanannya, tetapi sebenarnyalah bahwa ia sendiri
sedang kelelahan.
Ketika menurut
perhitungan Wuranta waktu yang diberikan kapada Agung Sedayu, Swandaru, dan Ki
Tanu Metir telah cukup, maka barulah ia mempercepat langkahnya. Pedangnya kini
telah menggantung di lambungnya. Namun dalam pada itu ia dapat juga berbangga
kepada diri sendiri. Ternyata ia dapat juga bermain pedang, meskipun tidak
terlampau baik. Langkah Wuranta itu pun
semakin lama menjadi semakin cepat. Angin yang silir telah menyegarkan
tubuhnya. Selembar-selembar daun yang kuning berguguran di atas tanah yang
basah oleh embun.
Alap-alap
Jalatunda mengikutinya dengan berdebar-debar. Semakin dekat dengan Jati Anom
hatinya menjadi semakin tegang. Alap-alap Jalatunda sendiri tidak berusaha
menyadari apakah sebabnya maka ia diganggu oleh kecemasan. Kalau sekali-sekali
timbul gambaran Agung Sedayu di dalam benaknya, maka cepat-cepat ia menggeram,
“Persetan
dengan anak itu. Bahkan aku ingin berjumpa langsung dengan Agung Sedayu supaya
aku sempat membunuhnya dalam perang tanding sebagai laki-laki.”
Tetapi
Alap-alap Jalatunda tidak meyakini angan-angan itu. Agung Sedayu yang
dibencinya itu masih merupakan seorang yang disegani.
“Tetapi suatu
kali dendamku akan aku lepaskan,” Alap-alap Jalatunda menggeram lagi.
Perjalanan
itu pun semakin lama menjadi semakin
dekat. Jati Anom kini telah berada di hadapan hidung mereka. Kini Alap-alap
Jalatunda tidak lagi dapat lengah barang sekejap. Ia tidak boleh kehilangan
Wuranta. Pekerjaan untuk mengikutinya bukanlah pekerjaan yang mudah. Tetapi
Alap-alap Jalatunda itu cukup berpengalaman, sehingga ia tidak banyak menemui
kesulitan. Apalagi Wuranta sendiri dengan sengaja membiarkan dirinya diawasi.
Karena itulah pekerjaan Alap-alap Jalatunda itu menjadi terasa lebih mudah. Alap-alap
Jalatunda menjadi berdebar-debar ketika Wuranta berjalan dengan perlahan-lahan
langsung menuju ke rumah Agung Sedayu. Bahkan mulai timbullah kecurigaannya,
bahwa anak itu bukanlah anak yang dapat dipercaya. Kalau demikian maka
prasangka Sidanti atasnya benar-benar beralasan.
“O, umurmu
tidak lebih sampai besok,” berkata Alap-alap Jalatunda itu di dalam hatinya.
Meskipun demikian ia tidak mau melepaskannya. Dengan hati-hati ia mengikuti
anak itu sampai ke depan regol rumah Agung Sedayu.
“Bukankah
rumah itu rumah Agung Sedayu,” berkata Alap-alap Jalatunda di dalam hatinya.
Alap-alap itu pernah satu kali memasuki rumah itu bersama dengan Sidanti
sebelumnya. Di muka regol, Alap-alap Jalatunda melihat Wuranta itu berhenti.
Ketika Wuranta itu kemudian dengan hati-hati menjengukkan kepalanya di regol
halaman, maka ia mulai menjadi ragu-ragu.
“Kalau anak
itu sengaja dikirim oleh Agung Sedayu, ia pasti tidak akan ragu-ragu lagi masuk
ke dalam halaman,” desisnya kepada diri sendiri. Tetapi Wuranta itu tidak
segera langsung masuk ke dalam halaman. Karena itu maka keinginannya untuk melihat
apa yang akan dilakukan oleh Wuranta itu menjadi semakin besar. Kini ia tidak
dapat memastikan apakah Wuranta itu termasuk orangnya Agung Sedayu seperti yang
disangka oleh Sidanti.
Ketika Wuranta
masuk, maka Alap-alap Jalatunda segera mendesak maju. Ia tidak mau kehilangan
anak muda Jati Anom itu. Dengan hati-hati pula diikutinya saja ke mana anak
muda itu pergi. Dengan berdebar-debar Alap-alap Jalatunda melihat Wuranta pergi
ke belakang. Dengan penuh perhatian dilihatnya Wuranta pergi ke sebuah bilik di
bagian balakang rumah Agung Sedayu.
Alap-alap
Jalatunda itu berhenti dan segera bersembunyi di balik rumpun pisang ketika ia
melihat Wuranta pun berhenti. Anak muda
itu segera melepas ikat kepalanya dan dengan ikat kepala itu ia menutup
wajahnya. Dilepasnya pula bajunya dan diikatkannya di lambungnya.
“Apakah yang
akan dilakukannya?” bertanya Alap-alap Jalatunda kepada diri sendiri. Tingkah
laku Wuranta itu benar-benar menimbulkan keheranan di hatinya.
Alap-alap
Jalatunda itu berkisar semakin dekat ketika ia melihat Wuranta perlahan-lahan
mengetuk pintu bilik belakang rumah itu.
“Siapa?”
terdengar seorang perempuan bertanya.
“Aku bibi.”
“Siapa?”
“Aku”
Perlahan-lahan
terdengar amben bambu bergerit, disusul oleh langkah seorang perempuan
mendekati pintu. Sejenak kemudian pintu itu
pun bergerit terbuka.
Alangkah
terkejutnya perempuan itu ketika tiba-tiba ia melihat ujung pedang tepat
mengarah ke dadanya. Hampir-hampir ia memekik, tetapi segera Wuranta membentak,
“Jangan
membuat gaduh! Kalau kau berteriak, maka perutmu akan berlubang.”
Perempuan itu
terdiam. Ia berdiri gemetar di muka pintu.
“Jawab pertanyaanku!”
berkata Wuranta.
“Apakah Agung
Sedayu masih ada di sini?”
Dengan
tergagap perempuan itu menjawab,
“Aku tidak
tahu, Tuan.”
“Jangan
bohong! Aku melihatnya sore tadi. Ayo katakan, apakah ia di rumah ini. Kalau
tidak, maka kepala anakmu itu akan aku penggal.”
“Jangan, Tuan.
Kalau Tuan ingin membunuh, bunuh aku saja.”
“Itu adalah
urusanku, apakah aku akan membunuhmu atau akan menggantung anakmu.”
“Anakku tidak
bersalah apapun, Tuan,” perempuan itu mulai menangis.
“Kalau kau
ingin anakmu selamat, jawab apakah siang ini Agung Sedayu masih di sini?”
Perempuan itu
ragu-ragu sejenak. Tetapi ujung pedang Wuranta menjadi semakin dekat dengan
dadanya.
“Ayo katakan!
Atau kepala anakmu akan menggelinding di halaman ini?”
“Jangan,
Tuan.”
“Katakan
sebelum aku kehabisan kesabaran!”
“Ya, siang
tadi Angger Agung Sedayu ada di rumah ini.”
“Apakah
sekarang ia ada di rumah ini juga?”
Perempuan itu
terdiam. Kembali ia mejadi ragu-ragu untuk mejawab pertanyaan itu. Tetapi
pedang itu hampir menyentuh dadanya.
“Bagaimana?
Apakah kau tidak dapat berbicara lebih cepat?”
“Aku tidak
tahu, Tuan. Aku tidak tahu.”
“Bohong!
Jangan mencoba berbohong ya. Aku tidak banyak mempunyai waktu untuk
bercakap-cakap tanpa arti. Atau kau menunggu aku marah dan kehilangan kesabaran
sehingga anakmu mati?”
“Tidak, Tuan.
Tetapi sebenarnyalah aku tidak tahu apa-apa.”
Wuranta tidak
menjawab. Tetapi tiba-tiba ia melangkah maju sambil berkata,
“Minggir, aku
akan mengambil anakmu yang sedang tidur itu.”
“Jangan, Tuan.
Jangan”
Mata Wuranta
yang menyembul di atas ikat kepala yang menutupi wajahnya memancarkan sorot
yang mengerikan. Terdengar ia menggeram sambil beringsut maju. “Minggir,
minggir, atau kalian berdua aku bunuh bersama-sama.”
“Jangan,
Tuan,” rintih perempuan itu. “Kalau tuan ingin membunuh aku, bunuhlah, tetapi
jangan anakku itu.”
“Persetan!”
sahut Wuranta.
“Aku hanya
akan menghidupimu kalau kau berkata sebenarnya. Ayo jawab di mana Agung Sedayu
sekarang?”
Perempuan itu
terdiam.
“Cepat
katakan, apakah ia masih berada di sini?”
Tubuh
perempuan itu bergetar. Dengan suara parau ia menjawab penuh keragu-raguan.
“Ya, Tuan.
Angger Agung Sedayu masih berada di sini.”
Wuranta
menarik nafas dalam-dalam. “Bagus!” katanya.
“Ternyata kau
menjawab sebenarnya. Di mana ia sekarang? Apakah ia berada di dalam rumah, atau
bersembunyi di atas kandang?”
“Angger Agung
Sedayu baru pergi, Tuan.”
“Cukup,”
potong Wuranta. Ia tidak mau mendengar perempuan itu menjelaskan kemana Agung
Sedayu pergi atau bahkan mengatakan dengan siapa ia pergi.
“Keteranganmu
sudah cukup. Aku hanya ingin tahu apakah Agung Sedayu masih berada di Jati
Anom. Ternyata anak itu benar-benar anak yang sombong. Siang tadi ia telah
dilihat oleh kawan-kawanku dari lereng Merapi, tetapi ia merasa bahwa ia tidak
perlu melarikan dirinya.”
Perempuan itu
hanya berdiam diri.
“Jangan kau
katakan kepada Agung Sedayu, bahwa aku malam ini datang kemari. Kalau besok
Agung Sedayu mendengar kedatanganku dan anak itu lari, maka anakmulah yang akan
aku penggal lehernya.”
“Tuan,”
perempuan itu hampir menjerit, “bagaimanakah kalau Angger Agung Sedayu itu
dengan kehendaknya sendiri ingin pergi dari rumah ini meskipun aku tidak
mengatakan sesuatu kepadanya?”
“Mustahil! Kalau
ia ingin pergi, maka ia akan pergi siang tadi. Tetapi sampai malam ini ia masih
berada di rumah ini.”
“Tetapi anak
muda itu sekarang ternyata telah pergi. Bagaimanakah kalau ia tidak kembali?”
“Cukup, cukup!
Sekarang masuklah. Tutup pintu ini. Aku akan melihat pintumu sepanjang malam.”
Perempuan itu
masih saja menggigil di muka pintu rumahnya, sehingga sekali lagi Wuranta
membentaknya,
“Masuk,
cepat!”
Perempuan itu
tidak dapat berbuat lain daripada menurut saja perintah itu. Dengan tubuh yang
gemetar ia surut selangkah, dan dengan perlahan-lahan ia menutup pintu
rumahnya.
“Jangan kau
buka lagi pintu rumahmu sampai besok, supaya kau tidak aku bunuh bersama
anakmu”
Tak terdengar
jawab. Tetapi Wuranta mendengar suara perempuan itu menangis. Dan tangis perempuan
itu telah menyentuh hati anak muda itu. Ia kenal benar siapakah perempuan
penunggu rumah Agung Sedayu itu. Dan ia dapat merasakan betapa ketakutan telah
melanda hatinya. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain. Ia sendiri sedang dalam
keadaan yang mengkhawatirkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar