Agung Sedayu seakan-akan membeku di dalam air parit yang dingin. Ia melihat seekor kuda lari di muka hidungnya. Dilihatnya pula anak muda sebayanya duduk merapat di atas punggung kuda itu seperti sedang berpacu. Dalam keremangan cahaya bulan Agung Sedayu dapat mengenal, bahwa penunggang kuda itu adalah anak muda yang tadi bertempur dengan kakaknya, Alap-alap Jalatunda. Maka dari itu giginya gemeretak, tetapi sama sekali bukan karena kemarahannya. Untuk beberapa saat Agung Sedayu tidak dapat menggerakkan meskipun hanya ujung jarinya. Hatinya berdebar-debar seakan-akan bunyi guruh meledak-ledak di dalam rongga dadanya. Suara kuda Alap-alap Jalatunda itu pun semakin lama semakin samar. Ketika Agung Sedayu menjengukkan kepalanya yang gemetar lamat-lamat dilihatnya sebuah noktah hitam semakin lama semakin menjadi kabur. Dan akhirnya hilang seakan-akan ditelan oleh gendoruwo bermata satu di ujung jalan. Tetapi Sadayu kini sudah tidak ingat lagi kepada gendoruwo bermata satu itu. Dan matanya pun kini dapat melihat pohon randu alas itu dengan jelas. Lingkaran yang keputih-putihan di tengah-tengah bayangan hitam itu tidak lain adalah bagian-bagian yang tak berdaun. Sedayu menarik nafas. Namun ketakutan yang lain kini mencekamnya. Bagaimanakah seandainya Alap-alap Jalatunda itu nanti kembali. Dan perasaan takutnya itu semakin lama semakin menghunjam ke pusat dadanya. Demikian takutnya sehingga akhirnya Agung Sedayu tidak dapat lagi berpikir. Tiba-tiba saja ia berdiri dan merangkak menaiki tepian parit. Seperti orang yang kehilangan kesadaran diri, Agung Sedayu berlari-lari ke arah jalan kembali ke dukuh Pakuwon. Biarlah kakaknya membunuhnya, daripada mati karena tangan Alap-alap Jalatunda yang garang itu. Mula-mula ada juga niatnya untuk lari kemana saja. Tidak ke arah Alap-alap Jalatunda dan tidak kembali ke kakaknya. Tetapi kemana? Dan apakah yang akan terjadi dengan dirinya besok lusa dan seterusnya. Karena itu maka niat itu pun tak berani dilakukannya. Ketika Agung Sedayu hampir sampai ke pangkal jalan bulak yang panjang itu, sebelum ia membelok tiba-tiba sekali lagi ia mendengar derap kuda. Karena itu langkahnya pun terhenti. Dicobanya untuk mengetahui dari arah mana kuda itu datang. Ketika ia menoleh, di sepanjang bulak dawa itu tak dilihatnya sesuatu, sementara itu derap kuda itu pun menjadi semakin dekat. Sekali lagi Agung Sedayu menjadi sedemikian bingungnya sehingga kembali ia berlari ke parit ke tepi jalan. Tetapi parit itu melengkung dan berbelok. Karena itu ia memerlukan waktu untuk mencapai kelokan parit itu.
Ketika kuda
itu muncul di siku jalan, Agung Sedayu baru mencapai tanggul parit, sehingga
dengan tergesa-gesa ia meloncat terjun ke dalamnya. Namun orang yang berkuda
itu sempat melihatnya. Dan tiba-tiba saja penunggangnya menarik kekang kudanya,
dan tepat di muka Agung Sedayu terjun, kuda yang berlari kencang itu pun
berhenti. Agung Sedayu masih terbaring di dalam parit. Hanya wajahnya sajalah
yang berada di permukaan air. Ketika ia mendengar bahwa derap kuda itu
berhenti, maka ia menjadi semakin ketakutan da kembali merataplah ia di dalam
hati. Meratapi nasibnya yang malang semalang-malangnya. Didengarnya orang di
atas punggung kuda itu menggeram. Dan kemudian didengarnya orang itu berkata,
“Siapa yang
bersembunyi di dalam parit?”
Mendengar
suara itu dada Agung Sedayu bergoncang. Serasa nyawanya telah berada di ujung
ubun-ubunnya.
“He, jawablah”
terdengar suara itu pula. Berat dan lantang,
“Siapa itu?
Kalau kau ingin berbuat baik, datanglah. Kalau kau tidak datang, bersiaplah.
Kita akan bertempur.”
Agung Sedayu
benar-benar menjadi beku. Ia tidak dapat berbuat lagi sesuatu apapun. Tubuhnya
menggigil namun mulutnya masih terkunci.
“Nah” suara
itu berkata pula,
“Kau tidak mau
menampakkan dirimu. Siapa pun kau aku tidak akan takut. Berkemaslah, kita
mengadu kesaktian.”
Sedayu masih
mendengar orang itu meloncat turun. Kemudian tiba-tiba ia melihat sesosok tubuh
menjenguknya dari atas tanggul. Melihat orang itu Sedayu benar-benar hampir
pingsan. Seorang yang mengenakan sebuah topeng untuk menutupi wajahnya.
Tubuhnya yang sedang berbalut dengan sebuah kain gringsing. Ketika orang itu
melihat Agung Sedayu, maka berderailah tertawanya.
“He” kenapa
kau berbaring disitu? Apakah kau sedang mulai bertapa? Tapa kungkum? Ayo
wudarlah tapamu sebentar. Kita berkenalan. Orang yang biasa tapa kungkum adalah
orang yang sakti, tak akan betah sedemikian lama merendam diri dalam air di kala
udara begini dingin. Ayo bangunlah”
Agung Sedayu
masih menggigil. Memang udara sedemikian dinginnya. Tetapi Sedayu tak merasakan
udara yang dingin itu. Sehingga terdengar orang itu berkata lagi,
“Hem,
benar-benar kau orang sakti. Kau dapat menutup segenap panca indramu sehingga
kau tak terpengaruh oleh kedatanganku. Kalau demikian aku terpasaksa
membangunkan kau”
Tiba-tiba
orang itu pun meloncat turun. Dengan serta merta ia mencoba untuk mengangkat
tubuh Agung Sedayu. Tetapi tubuh itu tak terangkat. Bahkan orang itu kemudian
berkata,
“Belum pernah
aku menjumpai orang seberat ini. Aku telah menjelajahi hampir setiap sudut
kerajaan Demak dan kemudian Pajang, Jipang dan segala pecahan Demak”. Hem”
orang itu menggeleng-gelengkan kepala. Tetapi ia berkata pula,
“Bangunlah hai
pertapa mumpung kau baru memulainya. Kalau tidak, jangan kau sebut aku curang
kalau aku membunuhmu sebelum kau wudar dari tapamu”
Agung Sedayu
belum pernah melihat orang seorang pertapa. Karena itu ia tidak tahu bagaimana
seseorang mesu diri dengan bertapa. Maka ketika orang itu menyebutnya sedang
bertapa, ia tidak mengerti meskipun terasa juga sebutan itu terlalu
berlebih-lebihan. Namun ketika orang itu mengancamnya akan membunuhnya, maka
dengan susah payah, ia mencoba untuk menguasai tubuhnya. Dengan susah payah ia
mengangkat kepalanya, kemudian duduk bersandar kedua belah tangannya.
Melihat Agung
Sedayu bangkit, orang itu mundur selangkah. Dan sekali lagi ia tertawa nyaring,
“Ha” katanya,
“ternyata
masih belum tega akan hidup matimu. Ayo berdirilah, kita bertempur”
Agung Sedayu
tanpa sesadarnya memandangi orang yang berdiri di hadapannya itu. Dan tiba-tiba
saja merayaplah suatu perasaan yang aneh di dalam dadanya. Meskipun orang yang
baru saja datang itu selalu menantangnya, namun nadanya sangat berbeda dengan
kata-kata yang bernah diucapkan oleh si Pande besi Sendang Gabus atau oleh
Alap-alap Jalatunda.
“Berdirilah”
tiba-tiba orang itu mengulangi kata-katanya.
Sedayu masih
belum berdiri. Ia masih duduk dan sebagian tubuhnya masih terendam air. Namun
tak disangka-sangkanya orang itu datang menghampirinya dan menolongnya berdiri.
Katanya,
“Ayo,
tegaklah. Kau hampir beku terendam air”
Ketika Agung
Sedayu kemudian berdiri, orang itu memandangnya dengan seksama. Lalu katanya,
“Kau gagah
benar. Badanmu kekar sedang urat-uratmu kencang. Tubuh idaman bagi setiap
lelaki. Nah, sudahkah kau bersedia untuk bertempur?”
Dengan serta
merta, tanpa dikehendakinya sendiri Agung Sedayu menggeleng lemah.
“Tidak?”
teriak orang bertopeng itu,
“Kau tidak mau
berkelahi?”
Sekali lagi
Agung Sedayu menggeleng dengan sendirinya.
“Hem” desis
orang bertopeng itu,
“Kau belum
mengenal aku. Panggillah aku Kiai Gringsing. Sebutan itu bukan namaku, tetapi
aku senang dipanggil demikian”
Perasaan yang
aneh, yang merayap-rayap di dalam dada Agung Sedayu menjadi semakin menebal. Orang
itu mempunyai sikap yang sangat berbeda. Tiba-tiba ketakutannya pun berkurang.
Kalau orang itu ingin berbuat jahat terhadapnya, maka dengan mudah hal itu
dapat dilakukan. Namun tanda-tanda yang demikian masih belum dilihatnya. Nada
suaranya pun tidak kasar dan tidak mengandung permusuhan. Sedikit demi sedikit
Aung Sedayu mencoba menguasai otaknya kembali, meskipun ia masih belum dapat
melepaskan perasaan takutnya.
“Aku sangka
kau termasuk orang sakti yang tidak menyukai permusuhan. Baik. Aku pun tidak
akan memaksa. Dahulu aku pun pernah mengenal orang serupa kau ini” berkata
orang bertopeng itu.
Tiba-tiba, ya
tiba-tiba saja terloncat dari mulut Sedayu sebuah pertanyaan. Lirih dan
gemetar. Tetapi orang bertopeng itu mendengarnya,
“Siapa?”
katanya.
Orang yang
menyebut dirinya Kiai Gringsing itu mengangguk-anggukkan kepalanya, jawabnya,
“Namanya Ki
Sadewa”
“He” Agung
Sedayu terkejut,
“Kau sebut
nama itu?”
“Ya, kenapa?
Kau kenal dia? Atau orang itu gurumu? Kalau demikian benar dugaanku. Kau orang
sakti yang tak ingin bermusuhan dengan siapun juga” sahut kiai Gringsing.
“Orang itu
ayahku” berkata Agung Sedayu dengan penuh kebanggaan.
“He” orang itu
terkejut,
“Kau anak Ki
Sadewa? Benarkah demikian?”
“Ya” jawab
Agung Sedayu pendek.
“Pantas,
pantas” gumamnya,
“Kau memiliki
kekekaran tubuh seperti ayahmu, ketahanan tubuh seperti ayahmu pula, dan
sifat-sifat yang sama pula”. Tetapi tiba-tiba orang bertopeng itu bertanya
menyentak,
“Bohong. Kau
akan menakut-nakuti aku. Aku takut seribu turunan dengan orang yang bernama
Sadewa itu. Dan kau sekarang anaknya?”
“Tidak” jawab
Agung sedayu,
“orang itu
benar-benar ayahku”
“Kalau
demikian akan aku buktikan” desis Kiai Gringsing.
Darah Agung
Sedayu berdesir. Bagaimanakah caranya membuktikan? Haruskah ia berkelahi lebih
dahulu. Agung Sedayu kemudian menyesal bahwa ia telah menyebut nama ayahnya. Kiai
Gringsing itu kemudian berkata pula,
“Kau masih
tetap pada pendirianmu, bahwa kau tak mau berkelahi?”
Agung Sedayu
ragu-ragu sejenak, namun kemudian ia mengangguk.
“Bukti yang
pertama, seperti Ki Sadewa” berkata orang bertopeng itu.
“Tetapi” ia
meneruskan,
“kau dapat
berpura-pura. Sedang sebenarnya nafsumu berkelahi melonjak-lonjak. Sekarang aku
ingin membuktikan dengan cara lain. Ki Sadewa adalah seorang ahli bidik.
Memanah, paser, bandil dan sebagainya. Adakah kau mewarisi kepandaian itu?”
Tiba-tiba
wajah Agung Sedayu menjadi cerah. Permainan yang sama sekali tidak memerlukan
keberanian. Karena iru Agung Sedayu sering melakukannya. Bahkan ia benar-benar
mewarisi keahlian ayahnya itu.
“Baiklah”
jawabnya.
“Nah” berkata
Kiai Gringsing,
“aku akan
melambungkan batu ke udara. Kenailah dengan lemparan pula”.
“Bagus” teriak
Agung Sedayu gembira. Permainan itu memang sering dilakukan dengan ayahnya
dahulu. Bahkan kakaknya, Untara tak menyamainya.
Kiai Gringsing
itu kemudian memungut sebuah batu, dan dilemparkannya tak begitu tinggi,
“Aku sudah
mulai” teriaknya.
Sedayu pun
segera memungut batu pula. Ketika batu yang dilemparkan oleh Kiai Gringsing itu
telah mencapai puncaknya dan meluncur turun, Sedayu mulai melemparkan batunya.
Sesaat kemudian terdengarlah suara kedua batu itu beradu.
“Dahsyat”
teriak Kiai Gringsing, “Di dalam cahaya bulan yang hanya samar-samar kau telah
berhasil mengenainya, Kau benar-benar anak Ki Sadewa. Karena itu aku tak akan
berani menantangmu”
“Kau percaya?”
bertanya Agung Sedayu dengan bangga.
“Ya, aku
percaya” jawab orang itu.
Agung Sedayu
tersenyum. Dan tiba-tiba hatinya menjadi agak tenteram. Ia merasa bahwa di
dalam dirinya tersembunyi pula kemampuan yang tak dimiliki oleh orang lain. Tetapi
selagi Agung Sedayu berbangga atas kemampuannya itu, lamat-lamat didengarnya
derap seekor kuda. Hatinya yang mulai berkembang itu tiba-tiba kuncup kembali,
“Suara kuda”
desisnya.
“Ya” jawab
Kiai Gringsing,
“dari arah
tikungan randu alas”
Dada Agung
Sedayu berdentang. Apakah Alap-alap Jalatunda yang sedang mencarinya? Keringat
dingin mulai mengaliri seluruh tubuhnya. Dan kembali anak muda itu menjadi
gemetar. Tetapi agaknya Kiai Gringsing sama sekali tidak tertarik pada suara
derap kaki-kaki kuda itu, maka katanya,
“Jangan
hiraukan suara derap itu, siapa pun yang akan lewat biarlah ia lewat”
Namun Agung
Sedayu tidak dapat berbuat demikian. Dalam pada itu terdengar kembali suara
Kiai Gringsing,
“Anak muda,
kecakapanmu benar-benar melampaui kecakapan anak-anak muda biasa. Sejak kapan
kau berlatih membidik?”
Agung Sedyu
mendengar juga pertanyaan itu. Tetapi meskipun derap kaki-kaki kuda masih cukup
jauh serasa seperti derap dijantungnya. Namun ia menjawab,
“Sejak kecil”
Dan terlintaslah untuk sesaat kenangan masa kanak-kanak itu. Kakaknya lebih
suka berburu ke hutan daripada berlatih membidik di rumah. Sedangkan Agung
Sedayu yang tak berani ikut serta, menghabiskan waktunya dengan berlatih
memanah, paser, bandil dan sebagainya. Tetapi kecakapannya itu tidak
dipergunakannya, selain dalam perlombaan memanah untuk anak-anak. Tetapi
kenangan itu kemudian terusir oleh gemeretak kaki-kaki kuda yang semakin dekat.
Dan karena itu maka tubuhnya semakin gemetar pula.
“Anak muda”
berkata Kiai Gringsing,
“agaknya kau
tertarik sekali pada orang berkuda itu. Adakah itu sahabatmu? Kalau demikian
biarlah aku pergi dahulu. Lain kali kita beremu”
“Jangan,
jangan pergi Kiai” tanpa diduga-duga Agung Sedayu berteriak. Dan tiba-tiba saja
ia meloncat mendekati orang bertopeng itu.
“Kenapa?” Kiai
Gringsing bertanya.
“Orang yang
berkuda itu mungkin Alap-alap Jalatunda” jawab Agung Sedayu.
“Alap-alap
Jalatunda? Darimana kau tahu?” bertanya orang bertopeng itu pula.
“Ia sedang
mengejar kami. Aku dan kakakku” jawab Sedayu.
“Aku pernah
mendengar namanya. Tetapi apakah keberatanmu?” desak Kiai Gringsing,
“Kalau
Alap-alap Jalatunda itu berani mengejar putra Ki Sadewa, apakah ia sudah gila?”
“Ya, ia
mengejar aku dan kakakku yang terluka” jawab Agung sedayu.
“Kau dan
kakakmu? Siapakah namamu he anak muda dan siapa nama kakakmu?” sahut kiai
Gringsing,
“Apakah
Alap-alap Jalatunda itu bernyawa tujuh rangkap?”
“Namaku
Sedayu, Agung Sedayu dan kakakku bernama Untara,” jawab Sedayu yang segera disusulnya
dengan terbata-bata,
“Kiai,
tolonglah aku” minta anak muda itu.
Kiai Gringsing
memandangi Agung Sedayu dengan seksama. Kemudian orang bertopeng itu menarik
nafas dalam-dalam. Tetapi sesaat kemudian ia tertawa. Katanya,
“Kau
benar-benar tidak mau melibatkan diri dalam perkelahian melawan siapa saja.
Tetapi jangan kau umpankan orang lain. Kalau kau tak mau berkelahi, jangan
berkelahi. Aku pun tidak”
“Tidak kiai.
Aku minta kiai menolong aku” desak Agung Sedayu ketakutan. Meskipun mula-mula
ia agak malu juga, namun kemudian terpaksa ia berkata,
“Aku tidak
pernah berkelahi. Aku takut”
Orang
bertopeng itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya,
“Orang-orang
sakti sering berbuat aneh-aneh. Ki Sadewa juga selalu menghindari perkelahian.
Namun ia mempunyai cara yang baik. Caramu itu adalah keterlaluan. Carilah cara
lain. Jangan pura-pura takut. Tak akan ada orang percaya, keturunan Ki Sadewa
menjadi ketakutan karena Alap-alap Jalatunda. Sedang Ki Sadewa itu pun tak
pernah membiarkan kejahatan berlangsung terus. Kalau ia bertemu Alap-alap
Jalatunda misalnya, orang itu pasti akan ditaklukkan dan diusahakan untuk
meluruskan jalannya”
Agung Sedayu
sudah tidak mendengar kata-kata itu. Karena derap kuda itu semakin dekat, maka
Sedayu pun menjadi bingung. Ketika ia menatap bulak yang panjang dalam
keremangan cahaya bulan telah dilihatnya, seekor kuda berpacu ke arahnya.
“Itulah dia
kiai” berkata Sedayu,
“Tolonglah
aku”
“Bagaimana aku
bisa menolongmu, kau mempunyai kemampuan lebih baik dari aku” jawab Kiai
Gringsing,
“Atau kau
ingin mengenali aku dengan melihat caraku berkelahi?”
“Tidak, tidak”
jawab Sedayu mendesak,
“aku takut”
“Angger
Sedayu” berkata orang bertopeng itu. Dan tiba-tiba suaranya menjadi
bersungguh-sungguh,
“Seandainya
kau bertempur melawan Alap-alap Jalatunda itu, dan karena tak kau sengaja
lawanmu terbunuh, kau tak usah menyesal. Sebab bukan kau sebab dari perkelahian
itu. Apabila kau tak membunuhnya, atau memaksanya pergi, kau sendiri pasti akan
dibunuhnya”
Tetapi agung
Sedayu malahan menjadi bertambah ngeri. Maka jawabnya,
“Aku tidak
berani Kiai, aku takut”
Kiai Gringsing
menggeleng-gelengkan kepalanya kembali. Ditariknya keningnya sehingga topengnya
bergerak-gerak.
“Baiklah”
katanya,
“agaknya kau
bercuriga kepadaku dan ingin mengenal aku lewat unsur-unsur gerakku, tetapi
apakah kau mampu melawan Alap-alap itu?” Dan tiba-tiba saja orang yang
bertopeng dan berselimut kain gringsing itu meloncat, ringan sekali, ke atas
tanggul parit. Masih terdengar ia berkata,
“Jangan
berendam lagi di dalam air Sedayu, kau akan membeku” Namun kemudian orang itu
bergumam lirih, yang hanya dapat didengarnya sendiri,
“Tak berhasil”
Sementara itu
kuda yang berlari kencang-kencang itu pun menjadi semakin dekat. Di atas
punggung kuda itu tampak seseorang yang hampir melekatkan tubuhnya pada tubuh
kudanya. Dari kejauhan penunggang kuda itu pun telah melihat seekor kuda
berhenti di tengah jalan. Karena itu, timbullah pertanyaan di dalam hatinya.
“Siapakah
gerangan orang berkuda itu?”
Orang yang
datang itu benar-benar Alap-alap Jalatunda. Anak itu mengumpat tak
habis-habisnya ketika ia berhasil menyusul kuda Agung Sedayu, namun tanpa
penunggangnya.
“Setan”
dengusnya setelah ia mengetahui kuda itu tak berpenumpang,
“Dimana kau
sembunyi kelinci licik” Dan karena itu maka segera ia memutar kudanya kembali.
Menurut perhitungan Alap-alap Jalatunda, Sedayu pasti masih bersembunyi di
sekitar jalan yang dilampauinya. Tetapi ketika ia melihat seekor kuda berdiri
di jalan itu, maka Alap-alap Jalatunda itu menjadi berdebar-debar.
“Persetan,
siapa saja orang itu. Kalau ia berusaha menyembunyikan buruanku, maka orang
itulah yang akan aku penggal kepalanya dan aku lemparkan di sekitar Sangkal
Putung”
Kuda Alap-alap
Jalatunda itu pun semakin lama menjadi semakin dekat, dan Agung Sedayu pun menjadi
semakin gemetar. Tetapi Kiai Gringsing berdiri saja dengan tenangnya menanti
kedatangan Alap-alap muda yang garang itu.
“Aku baru
kenal namanya” berkata Kiai Gringsing,
“Kalau aku
terbunuh oleh Alap-alap Jalatunda, kaulah yang bersalah”
Agung Sedayu
tidak menjawab, memang ia tidak tahu bagaimana harus menjawab. Kalau orang
bertopeng itu kalah, maka sudah pasti dirinya pun akan mengalami bencana.
Karena itu desisnya,
“Jangan Kiai,
jangan kalah”
Kiai Gringsing
tertawa berderai. Benar-benar ia tertawa karena geli.
“Tak seorang
pun yang mau kalah dalam setiap perkelahian. Tetapi tak seorang pun yang pasti
bahwa ia tidak akan dikalahkan, betapa pun lemah lawannya. Bukankah nasib
seseorang tak dapat ditentukan oleh orang itu sendiri, meskipun sudah menjadi kewajiban
seseorang untuk berusaha”
Agung Sedayu
tak sempat menjawab karena Alap-alap Jalatunda telah sedemikian dekatnya. Anak
muda di atas punggung kuda itu segera menarik kekang kudanya, dan kuda itu
berhenti beberapa langkah saja di hadapan kuda Kiai Gringsing. Di dalam cahaya
bulan dilihatnya seorang bertopeng berdiri tegak di atas tanggul parit. Dan
tiba-tiba dilihatnya di dalam parit seorang lain berdiri gemetar,
“Ha” teriaknya
kegirangan,
“Kaukah itu?”
Agung Sedayu
terbungkam. Namun dadanya melonjak-lonjak. Darahnya serasa mengalir semakin
cepat. Alap-alap Jalatunda tertegun. Dipandanginya orang bertopeng itu dari
ujung kakinya sampai keujung ikat kepalanya,
“Apakah kau
penari topeng?”
Tetapi orang
bertopeng itu menjawab,
“Tepat. Aku
adalah tokoh Panji dalam setiap ceritera”
“Huh”
Alap-alap itu mencibirkan bibirnya,
“Jangan
main-main, kau berhadapan dengan Alap-alap Jalatunda”
“Ya, aku sudah
tahu” jawab Kiai Gringsing
Alap-alap Jalatunda
mengerutkan keningnya,
“Dari mana kau
tahu?”
“Dari anak
muda itu” sahut Kiai Gringsing sambil menunjuk Agung Sedayu.
“Apamukah
itu?” bertanya Alap-alap Jalatunda pula.
“Bukan
apa-apa. Aku baru saja bertempur melawan anak itu, dengan perjanjian, siapa
yang kalah harus bertempur melawan Alap-alap Jalatunda. Ternyata aku kalah”
jawab Kiai Gringsing,
“Karena itu
aku harus bertempur melawan Alap-alap Jalatunda”
Alap-alap
Jalatunda membelalakkan matanya. Ditatapnya Kiai Gringsing dengan tajam penuh
pertanyaan. Terdengarlah kemudian anak muda itu menggeram,
“Hem, kanapa
kau pakai topeng? Sebutkan dirimu, supaya aku dapat mengukur kesaktianmu”
“Namaku Kiai
Gringsing” jawab orang bertopeng itu.
“Aku belum
mengenalmu, kenapa kau menghina aku?” bertanya Alap-alap Jalatunda.
“Aku berkata
sebenarnya” jawab Kiai Gringsing.
“Kenapa yang
kalah yang harus menghadapi Alap-alap Jalatunda? Adakah kalian yakin, bahwa
kalian adalah orang-orang sakti yang tak terkalahkan?” desak Alap-alap yang
sedang marah itu.
“Tidak” sahut
Kiai Gringsing,
“Aku sama
sekali tak berniat untuk bertempur melawanmu, sebab aku baru pernah mendengar
namamu. Tetapi ketika aku lewat, anak muda itu mendekam di dalam parit. Dengan
serta merta ia menghentikan aku. Tetapi ia menjadi kecewa setelah ternyata aku
bukan yang ditunggunya. Sebab aku bukan Alap-alap Jalatunda. Anak muda itu
marah kepadaku, dianggapnya aku mengganggu pekerjaannya. Kami bertengkar, dan
diambilnya keputusan, kalau aku kalah aku harus menyerahkan Alap-alap Jalatunda
kepadanya. Hidup atau mati. Tetapi …..”
“Cukup!”
bentak Alap-alap Jalatunda,
“jangan
membual” Suaranya keras mengguruh, sehingga Agung Sedayu hampir terjatuh karena
terkejut. Namun dalam ketakutannya, timbul pula perasaan yang aneh, ketika ia
mendengar ceritera Kiai Gringsing tentang dirinya.
Kemudian
terdengar Alap-alap Jalatunda itu meneruskan,
“Kau memakai
topeng itu bukan karena kebetulan. Apakah maksudmu. Mungkin kau salah seorang
yang pernah aku kenal dan mencoba menyembunyikan dirimu. Tetapi itu tak akan
berarti. Hidup atau mati aku akan dapat merenggut topeng itu dari wajahmu, dan
akan jelas bagiku siapakah kau ini dan apa maksudmu sebenarnya”
Kiai Gringsing
menggeleng,
“Tidak”
jawabnya,
“Tak seorang
pun dapat melepas topeng ini, sebab topengku telah melekat pada kulit wajahku”
“Hem”
Alap-alap itu menggeram penuh kemarahan.
“Bagus. Kalau
demikian akan aku kelupas kulit mukamu itu”. Meskipun demikian timbul pula
pertanyaan di dalam dadanya. Telah dua orang yang menyebut anak itu sebagai
orang sakti yang tak perlu melayaninya sendiri. Dari mulut Untara pun ia pernah
mendengar hal itu. Tau, adakah orang bertopeng ini Untara yang sedang menjebaknya?
Alap-alap itu menggeleng,
“Tak mungkin,
Untara terluka”
Terdengar kemudian
jawaban Kiai Gringsing,
“Jangan.
Jangan kau kelupas kulit mukaku. Wajahku pasti akan menakuti anak-anak kelak”
“Jangan banyak
bicara” potong Alap-alap Jalatunda yang menjadi kian marah,
“bersiaplah.
Kau atau anak muda itu bagiku sama saka. Satu demi satu kalian akan aku bunuh.
Atau kalian berdua sekaligus. Mari” Alap-alap itu pun segera bersiap. Agaknya
ia mau epat-cepat selesai sehingga tiba-tiba saja di tangannya tergenggam
pedangnya jang putih berkilat-kilat.
“O” berkata
Kiai Gringsing,
“baiklah.
Karena aku yang harus bertempur maka biarlah aku melayanimu dahulu. Tunggu
sebentar, aku mengambil senjataku” Kiai Gringsing tidak menunggu jawaban
Alap-alap Jalatunda. Dengan enaknya ia berjalan mendekati kudanya. Katanya
kemudian,
“Apakah kau
akan bertempur di atas punggung kuda?”
Alap-alap
Jalatunda menggeram. Jawabnya,
“Aku dapat
berkelahi dimana saja. Pilihlah yang kau sukai”
“Aku akan
bertempur di atas tanah” sahut Kiai Gringsing.
Alap-alap
Jalatunda tidak berkata-kata lagi. Segera ia meloncat turun dari kudanya. Agung
Sedayu melihat peristiwa-peristiwa itu seperti di dalam mimpi. Ya, hampir
semalam penuh ia diganggu oleh mimpi yang dahsyat. Sehingga rasa-rasanya, apa
yang terjadi itu pun sebagian dari mimpinya itu. Tetapi apabila ia sadar bahwa
ujung pedang Alap-alap Jalatunda itu bukan sekadar menakut-nakutinya di dalam
mimpi, maka kembali bulu-bulunya meremang, dan tubuhnya yang kuyup itu dibasahi
pula oleh keringat dinginnya. Apa yang diambil oleh Kiai Gringsing benar-benar
mengejutkan Alap-alap Jalatunda. Senjata orang tua itu tidak lebih daripada
sebatang cambuk kecil, cambuk kuda. Karena itu Alap-alap Jalatunda merasa
terhina memaki-maki,
“Setan
topengan. Kau sangka leluconmu itu baik. Kalau kau terbunuh pada sabetan
pedangku yang pertama jangan menyesal. Dan jangan mengharap orang lain dapat
menuntut atas setiap pembunuhan yang aku lakukan. Di daerah pertempuran tak
pernah ada hukum yang dapat ditegakkan setegak-tegaknya”.
“Kau benar”
sahut Kiai Gringsing,
“Hukum di
daerah perang seperti Pajang dan Jipang sekarang adalah hukum perang. Tetapi
karena yang berperang itu adalah manusia-manusia, seharusnya mereka tidak
kehilangan kemanusiaannya”
“Persetan”
bentak Alap-alap Jalatunda yang sudah tidak sbar lagi. Dengan satu loncatan
yang panjang ia menyerang Kiai Gringsing dengan pedang terjulur. Sedang ujung
pedangnya tepat mengarah ke dada orang bertopeng itu.
“Mampus kau”
teriak Alap-alap Jalatunda.
Tetapi sekali
lagi Alap-alap Jalatunda terkejut. Kiai Gringsing itu hampir-hampir tak tampak
bergerak, namun ujung pedang Alap-alap Jalatunda tidak menyentuhnya.
“Gila” geram
Alap-alap Jalatunda. Anak muda yang garang itu menjadi semakin marah.
Diputarnya pedangnya dan seperti angin prahara ia menyerang lawannya.
Ternyata Kiai
Gringsing itu benar-benar lincah. Alap-alap Jalatunda itu pun lincah dan
tangkas. Namun Kiai Gringsing dapat mengimbanginya, sehingga serangan Alap-alap
yang garang itu selalu dapat dielakkan. Kemudian mereka berdua terlibat dalam
perkelahian yang sengit. Mereka berdua bergerak dengan cepatnya
melingkar-lingkar. Pedang Alap-alap Jalatunda itu segera mengurung lawannya,
sehingga seakan-akan Kiai Gringsing tidak diberikan kesempatan untuk bergerak.
Namun adalah sangat mengherankan. Alap-alap Jalatunda tak dapat mengerti,
setiap sentuhan dengan senjata Kiai Gringsing yang aneh itu, terasa tangannya
bergetar. Mula-mula ia menyangka bahwa cambuk kuda itu akan segera putus
apabila tersentuh tajam pedangnya. Tetapi ternyata dugaan itu meleset. Cambuk
itu benar-benar merupakan senjata yang membingungkan bagi Alap-alap yang masih
muda itu. Meskipun demikian, Alap-alap Jalatunda tidak menjadi cemas. Bahkan ia
menjadi semakin marah. Karena itu ia bertempur semakin garang. Perkelahian itu
berlangsung semakin cepat karena kemarahan Alap-alap Jalatunda. Di atas tanah
yang becek itu kaki-kaki mereka meloncat-loncat dan air yang kemerah-merahan
pun memercik seperti hendak menyingkirkan diri dari injakan kaki mereka yang
sedang bertempur. Orang bertopeng itu tiba-tiba menengadahkan wajahnya.
Dilihatnya dari lubang topengnya, bulan tua memanjat sampai ke puncak langit.
Karena itu tiba-tiba ia pun menjadi gelisah.
“Hampir fajar”
bisiknya dalam hati. Sesaat kemudian menyambar anak muda yang masih berdiri
kaku di dalam parit dengan sudut pandangannya.
“Perkelahian
ini harus segera selesai supaya Agung Sedayu tidak terlambat” kembali Kiai
Gringsing itu berkata di dalam hatinya. Karena itu, maka tiba-tiba gerakannya
pun segera berubah. Kiai Gringsing intu kini tidak saja banyak meloncat-loncat
seperti katak untuk menghindar dan hanya menyerang, tetapi ia telah mengambil
keputusan untuk segera menyelesaikan pertempuran itu. Bersamaan dengan itu
terdengarlah ia berteriak nyaring kepada Agung Sedayu,
“Sedayu,
selagi kau sempat, bersiaplah untuk meneruskan perjalanan. Hari hampir pagi”
Sedayu
mendengar teriakan itu. Tetapi ia masih terpaku di tempatnya. Ia tidak dapat
menguasai dirinya karena ia terpukau melihat perkelahian yang mengerikan itu.
Kiai Gringsing
menggeleng-gelengkan kepalanya. Sementara itu ia masih harus melayani Alap-alap
Jalatunda. Sedang Alap-alap yang garang itu pun terkejut melihat perubahan tata
perkelahian lawannya. Kalau ia semula masih menyangka bahwa orang bertopeng itu
dapat bertahan karena senjata anehnya, maka tiba-tiba ia merasa bahwa yang
dihadapinya itu benar-benar orang yang setidak-tidaknya melampaui
keperkasaannya. Karena itu maka timbullah berbagai pertanyaan di dalam dirinya.
Kiai Gringsing adalah nama yang belum pernah didengarnya, bahkan orang
bertopeng yang berkeliaran di daerah ini pun belum juga pernah ada yang
menyebutnya. Kembali ia berpikir, adakah orang ini Untara yang sedang
menjebaknya, namun menilik tata perkelahiannya, orang ini jauh berbeda dengan
cara Untara mempertahankan dirinya. Untara bertempur dengan sungguh-sungguh dan
selalu mempergunakan kesempatan-kesempatan untuk menekan lawannya sesuai dengan
sikap keprajuritannya. Tetapi orang ini ternyata berkelahi seenak-enaknya.
Bahkan sama sekali tidak sungguh-sungguh. Baru pada saat-saat terkhir ia
merasa, orang bertopeng semakin cepat dan yang kemudian terasa benar oleh
Alap-alap Jalatunda bahwa ia benar-benar tidak akan dapat melawannya. Namun
kalau teringat olehnya pesan Plasa Ireng, hatinya pun menjadi berdebar-debar.
Apakah kata orang yang ganas itu, kalau diketahuinya bahwa ia tak mampu
menangkap kawan Untara itu. Tetapi anak muda itu tak dapat mengingkari
kenyataan. Beberapa kali terasa cambuk orang bertopeng itu menyengat tubuhnya.
Panas dan pedih. Bahkan beberapa bagian kulitnya menjadi terluka karenanya. Karena
itu Alap-alap Jalatunda menjadi bingung. Menghadapi orang bertopeng itu terasa,
betapa dirinya tidak lebih dari alap-alap yang tak bersayap. Alangkah kecil
dirinya. Pada saat ia bertempur berempat dengan Untara masih juga ia mengharap
untuk dapat mengalahkan lawannya itu. Tetapi kini ia seorang diri berhadapan
dengan seorang sakti yang aneh, Seorang yang bertempur dengan cambuk kuda.
“Persetan
dengan kakang Plasa Ireng” gumam Alap-alap Jalatunda,
“Biarlah pada
suatu saat ia bertemu dengan orang bertopeng dan berselimut kain gringsing ini”
Alap-alap
Jalatunda pun akhirnya merasa pasti, bahwa tak ada gunanya lagi untuk bertempur
lebih lama. Sebab dengan demikian ia hanya akan menambah luka-luka dikulitnya.
Tetapi meskipun demikian dendamnya kepada Agung Sedayu belum juga hilang.
Apalagi ketika ia dapat mengambil kesimpulan dari peristiwa itu. Orang
bertopeng itu agaknya telah melindungi Agung Sedayu.
Alap-alap yang
garang itu kemudian tidak mempunyai pilihan lain kecuali melarikan diri. Karena
itu dengan berteriak nyaring ia meloncat dengan garangnya, menyerang Kiai
Gringsing dengan pedangnya. Tetapi tiba-tiba ia menarik serangannya dan dengan
satu loncatan panjang ia berlari ke arah kudanya. Ternyata anak itu benar-benar
cakap bermain-main dengan kuda. Dengan tangkasnya ia melontarkan diri dan jatuh
langsung di atas punggung kuda itu. Kudanya pun seakan-akan mengetahui apa yang
terjadi dengan penunggangnya. Karena itu segera pula kuda itu meloncat dan
berlari kencang-kencang seperti anak panah. Kiai Gringsing memandang Alap-alap
Jalatunda yang melarikan diri itu. Tetapi ia sama sekali tak berusaha untuk
mengejarnya. Sebab pekerjaan yang lain masih menunggunya. Agung Sedayu. Perlahan-lahan
ia melangkah kembali ketepi parit. Dan dari tanggul ia berkata,
“Bukankah aku
menang?”
Ketika Agung
Sedayu melihat Alap-alap Jalatunda itu melarikan diri, maka dadanya yang
bergelora seakan-akan disiram oleh tetesan-tetesan embun malam yang sejuk
dingin. Maka anak muda itu pun menarik nafas sedalam-dalamnya. Maut yang
menghampirinya kini telah terusir pergi.
“Nah Agung Sedayu”
berkata Kiai Gringsing,
“sekarang
sebutlah namaku, setelah kau melihat tata perkelahianku” Agung Sedayu
menggeleng. Jawabnya jujur,
“Aku tak tahu
Kiai”
Kiai Gringsing
tersenyum. Namun Agung Sedayu tidak melihat wajah orang itu. Senyum yang aneh.
Sedang matanya memandang anak muda itu dengan penuh kecewa. Gumamnya di dalam
hati,
“Sayang”
Tetapi orang itu pun kemudian segera berkata,
“Sedayu,
bukankah kau akan pergi ke Sangkal Putung?”
“Ya” jawab
anak muda itu,
“Dari mana
Kiai mengetahuinya?”
“Aku hanya
mengira-irakan saja. Sebab pasti laskar Widura perlu mendapat bantuanmu. Kalau
tidak, bahaya yang besar akan mengancam. Dengan kehadiranmu, aku kira bahaya
itu akan dapat dielakkan” berkata orang bertopeng itu.
“Kenapa
kehadiranku akan dapat mengelakkan bencana itu?” bertanya Agung Sedayu.
“Ah” desah
orang bertopeng itu. Kemudian katanya,
“Bukankah
dengan demikian Widura akan mengetahui bahaya yang akan mengancamnya? Dan
dengan kehadiranmu, maka bahaya itu akan dapat dikurangi. Siapakah di antara
mereka yang mampu melawan putera Ki Sadewa?”
Agung Sedayu
menundukkan wajahnya. Terasa sesuatu berdesir di dadanya. Tetapi Kiai Gringsing
itu berkata terus,
“Nah,
pergilah. Mumpung masih ada waktu”
Agung Sedayu
sadar akan dirinya. Diingatnya kata-kata kakaknya. Alangkah marahnya Untara
kelak, apabila ia tidak sampai ke Sangkal Putung tepat pada waktunya. Karena
itu maka ia pun menjawab,
“Baiklah Kiai,
kita pergi ke Sangkal Putung sekarang”
“Kenapa kita?”
bertanya Kiai Gringsing,
“Kaulah yang
akan pergi. Aku tidak”
“Tidak” sahut
Agung Sedayu cepat-cepat.
“Kiai pun akan
pergi ke sana”
“Aku tidak
berkepentingan dengan mereka” sanggah Kiai Gringsing.
Agung Sedayu
berdiam. Tanpa sesadarnya anak muda itu memandangi pohon randu alas dikejauhan.
Dan tiba-tiba bulu-bulunya tegak diseluruh wajah kulitnya. Tetapi ia malu untuk
mengatakannya. Orang bertopeng itu pasti tidak akan percaya, dan pasti akan
menyebutnya, putera Ki Sadewa. “Hem” Agung Sedayu mengeluh. Meskipun demikian
ia berkata,
“Aku akan
terlambat”
“Mungkin”
sahut Kiai Gringsing.
“Nah, pakailah
kudaku supaya kau sampai sebelum fajar menyingsing. Orang-orang yang lapar itu
akan berusaha merebut perbekalan di Sangkal Putung tepat pada saat cahaya
matahari yang pertama jatuh di atas pedukuhan itu”
Agung Sedayu
mengerutkan keningnya. Orang bertopeng itu tahu seluruhnya. Tepat seperti apa yang
dikatakan Untara sebelum mereka berangkat. Tetapi selagi ia akan bertanya,
orang bertopeng itu berkata,
“Naiklah. Dan
pakai kudaku”
Kiai Gringsing
tidak menunggu Sedayu menjawab. Dan tiba-tiba saja orang bertopeng itu meloncat
dan berlari ke utara.
“Kiai, kiai…”
panggil Agung Sedayu. Tetapi orang itu segera menghilang disiku jalan.
Terdengarlah orang bertopeng itu bergumam, lirih dan hanya didengarnya sendiri,
“Kalau aku
tidak memaksamu pergi dengan cara ini Sedayu, agaknya kau lebih senang berendam
di dalam parit”
Sebenarnyalah.
Dengan demikian Agung Sedayu tidak berani tinggal di tempat itu lebih lama
lagi. Karena itu segera ia memanjat tebing parit itu. Dilihatnya kuda Kiai
Gringsing masih berdiri di tempatnya. Semula anak muda itu berbimbang hati. Tetapi
ia tidak dapat berbuat lain daripada pergi ke Sangkal Putung. Bahkan akhirnya
ia pun merasa berterima kasih kepada orang yang tak dikenalnya itu. Terima
kasih karena nyawanya telah diselamatkan, dan terima kasih karena ia dapat
mempergunakan kuda itu untuk mencapai Sangkal Putung. Meskipun Agung Sedayu tak
juga dapat mengerti, atas segala macam sikap dan anggapan orang aneh itu
terhadapnya. Dan kini, sebuah kewajiban menunggunya. Sangkal Putung. Perlahan-lahan
Agung Sedayu mendekati kuda Kiai Gringsing. Ia belum pernah mengenal kuda itu.
Dicobanya untuk membelai surinya. Kuda itu menggerak-gerakkan kepalanya.
Ternyata kuda itu cukup jinak.
“Nah” bisik
Agung Sedayu,
“Kawani aku ke
Sangkal Putung”.
Agung Sedayu
segera naik kepunggung kuda itu. Dan dengan hati yang berdebar-debar kuda itu
dipacunya ke Sangkal Putung. Di hadapannya terbentang sebuah jalan di tengah
sawah yang panjang. Dan di ujung jalan itu menunggunya tikungan randu alas.
Namun Sedayu mencoba untuk melenyapkan perasaan takutnya. Dipaksanya juga
kudanya melaju terus. Tikungan randu alas itu kini tinggal beberapa puluh
tombak saja di hadapannya. Agung Sedayu segera memejamkan matanya.
Dilekatkannya tubuhnya pada tubuh kudanya, dan dilecutnya kuda itu sehingga
berlari kencang seperti kuda itu takut pula kepada genderuwo bermata satu. Agung
Sedayu merasa, kudanya membelok dengan tajam dan sesaat kemudian kuda itu
berlari menurun. Tikungan randu alas telah lewat. Agung Sedayu membuka matanya.
“Hem” anak
muda itu menarik nafas panjang. Diamatinya seluruh tubuhnya, dan dirabanya
kedua matanya. Masih utuh. Genderuwo itu sama sekali tidak mengganggunya
seperti kata orang. Genderuwo bermata satu itu selalu iri kepada mereka yang
bermata lengkap. Tetapi Agung Sedayu tak berani menoleh betapa pun keinginan
mendesaknya.
“Ah mungkin
genderuwo itu takut karena aku putera Ki Sadewa” pikirnya. Tetapi tiba-tiba
disadarinya, bahwa Alap-alap Jalatunda itu pun tak diganggunya.
Jalan di
hadapan Agung Sedayu masih menurun. Kini di hadapannya dilihatnya pedukuhan yang
kecil. Kali Asat. Pedukuhan yang sepi itu tak banyak menarik perhatiannya. Dan
ketika sekali lagi Agung Sedayu membelok ke kanan sampailah ia ke jalan lurus
menuju Sangkal Putung. Agung Sedayu menjadi agak tenang. Jarak itu menjadi
semakin dekat juga. Karena itu anak muda itu sempat berangan-angan. Diingatnya
semua kata-kata orang bertopeng yang menyebut dirinya Kiai Gringsing itu.
“Alangkah
senangnya kalau apa yang dikatakan orang itu benar-benar ada padaku” pikir
Agung Sedayu.
“Kalau aku
seorang sakti yang tak terkalahkan. Dan bahkan Kiai Gringsing pun tak dapat
mengalahkan pula. Dengan bekal kesaktian itu aku akan mengembara. Akan aku
datangi sarang-sarang gerombolan liar yang sering mengganggu ketentraman. Aku
bunuh mereka satu demi satu.”,
“Ah, tidak”
bantahnya sendiri.
“Setiap orang
akan ngeri menghadapi kematian. Kalau aku bunuh mereka, anak istrinya akan
menderita. Mereka akan aku ampuni, apabila mereka kelak menjadi orang yang
baik”. Namun disudut hatinya yang lain berkata,
“Tetapi mereka
telah berbuat jauh lebih kejam daripada membunuh”. Dijawabnya sendiri,
“Biarlah
mereka berbuat demikian. Kalau aku berbuat demikian pula, apakah bedanya?
Alap-alap Jalatunda misalnya. Aku harus memaafkannya apabila ia benar-benar
telah menemukan jalan yang benar. Bukankah ayah dahulu pernah berceritera,
tentang seorang saudagar kaya yang jatuh miskin. Karena itulah maka ia tidak
dapat membayar hutangnya kepada raja. Namun raja itu bijaksana. Saudagar itu
dibebaskan dari pembayaran hutang. Tetapi, saudagar itu sama sekali tidak mau
membebaskan hutang seorang miskin kepadanya. Sedang hutang itu sama sekali tak
berarti dibandingkan dengan hutangnya kepada raja. Ketika raja mendengar
kedengkian saudagar itu, maka raja menjadi murka. Dipanggilnya saudagar itu.
Dan raja mencabut kemurahan hatinya. Saudagar itu dipaksa untuk bekerja kepada
raja sebagai ganti hutang yang tak dapat dibayarnya”.
Agung Sedayu
puas dengan angan-angannya. Ia puas dengan sikap yang disimpulkannya. Katanya
di dalam hati,
“Memang Tuhan
tak akan memaafkan kesalahan kita, kalau kita tak juga memaafkan kesalahan
orang lain kepada kita”
Tetapi
kemudian Agung Sedayu menjadi kecewa ketika ia menyadari keadaannya. Tak pernah
ia dapat memaafkan orang lain yang telah ditundukkannya sebab tak akan ada
orang yang pernah ditundukkan, apalagi disadarkannya dari kesesatan.
“Ya,
seandainya” kembali ia bergumam.
Tiba-tiba
Agung Sedayu tersentak, dan tiba-tiba saja kakinya terasa gemetar ketika
dedengarnya sebuah teriakan melengking. Tetapi ia menarik nafas panjang, ketika
diketahuinya suara itu ternyata hanyalah suara burung engkak yang pulang ke kandangnya,
setelah semalam-malaman mencari mangsanya.
“Hampir pagi”
desis Agung Sedayu kemudian. Karena itu dipacunya kudanya semakin cepat. Di mukanya
tampak sebuah pedukuhan seakan-akan sebuah pulau yang mengapung di dalam lautan
yang hijau. Itulah Sangkal Putung. Beberapa cahaya lampu yang menembus
celah-celah dinding telah dilihatnya, dan di sudut jalan tampak sebuah gardu
perondaan. Agung Sedayu langsung berpacu ke gardu itu. Ia tahu benar bahwa di gardu
itu berjaga-jaga beberapa orang pamannya, Widura. Karena itu ia pun tidak takut
lagi bertemu dengan Alap-alap Jalatunda. Ketika mereka mendengar suara kuda,
maka orang-orang di gardu itu pun segera turun. Dari jauh mereka sudah melihat
seekor kuda berpacu dengan kencangnya. Karena itu, orang-orang yang sedang
berjaga-jaga itu pun segera bersiap. Pasti ada sesuatu yang penting. Maka
mereka segera menghentikan kuda Agung Sedayu. Seorang yang bertubuh sedang
berhitung mancung maju ke depan dan bertanya,
“Siapa kau?”
“Agung Sedayu”
jawab Agung Sedayu lantang,
“Aku akan
bertemu paman Widura”
“Apakah
keperluanmu?” bertanya orang itu pula.
“Penting
sekali. Hanya paman Widura lah yang boleh mengetahuinya” jawab Sedayu.
Beberapa orang
saling berpandangan. Kemudian orang yang berhidung mancung itu berkata,
“Apakah kau
tidak dapat menunggu sampai besok?”
“Demi
kepentingan paman Widura, keselamatanmu sekalian” sahut Sedayu dengan
bangganya.
“Antarkan anak
muda ini” berkata orang itu kemudian.
Agung Sedayu
masih berada dipunggung kuda, ketika dua orang mendekatinya,
“Marilah”
berkata salah seorang daripadanya.
“Berjalanlah
di muka” sahut Agung Sedayu.
Sesaat orang
itu saling berpandangan. Kemudian mereka berdua menoleh ke arah orang yang
berhidung mancung, yang agaknya pemimpin mereka. Orang yang berhidung mancung
itu pun kemudian berkata,
“Anak muda,
kami para penjaga tidak mengenal siapakah kau. Tetapi adalah menjadi kebiasaan,
bahwa anak muda seharusnya turun dari kuda sejak anakmas sampai di gardu ini”
“Oh” sahut
Agung Sedayu,
“Maafkan aku.
Aku tergesa-gesa sehingga aku melupakan kebiasaan itu” dan dengan tergesa-gesa
pula Agung Sedayu meloncat dari kudanya.
“Nah” berkata
pemimpin itu,
“Kami silahkan
mengikuti orang-orangku yang akan mengantarkan anakmas dan biarlah kuda itu di
sini”.
“Baik” jawab
Sedayu,
“Terima
kasih”.
“Marilah” ajak
salah seorang di antaranya. Dan orang itu pun segera berjalan. Tetapi yang seorang
lagi masih berdiri tegak.
“Silahkan”
katanya.
Agung Sedayu
menjadi agak bimbang. Namun akhirnya tahulah ia, bahwa ia harus berjalan di
belakang orang pertama, kemudian orang kedua itu berjalan di belakangnya.
“Anak buah
paman Widura sangat berhati-hati” katanya di dalam hati. Namun meskipun
demikian, sekali-sekali ia menoleh juga ke belakang, seakan-akan orang yang
berjalan di belakangnya itu akan menerkamnya.
Waktu yang
diperlukan tidak terlalu lama. Setelah mereka menyusur jalan desa, di antara
pagar-pagar batu setinggi dada, maka sampailah mereka di sebuah halaman yang
luas. Pagar halaman itu pun agak lebih tinggi dari pagar-pagar di sekelilingnya.
Di depan halaman itu tampak sebuah regol yang tertutup rapat. Orang pertama,
yang berjalan dimuka Agung Sedayu itu pun segera mengetuk pintu regol itu. Untuk
sesaat tidak terdengar jawaban. Bahkan yang terdengar ketokan pula di dalam.
Empat kali berturut-turut. Agung Sedayu sama sekali tidak tahu maksud dari
ketokan itu. Ia menjadi heran ketika orang yang di mukanya itu sekali lagi
mengetuk pintu itu. Dua kali tiga ganda. Dan tak lama kemudian pintu itu pun
terbuka.
“Siapa?”
terdengar sebuah pertanyaan.
“Peronda digardu
utara” jawab orang itu.
“Kami membawa
seorang tamu. Dan tamu itu ingin bertemu dengan Ki Widura”.
“Sekarang?”
bertanya orang di dalam halaman.
“Ya. Inilah orangnya.
Bertanyalah sendiri” jawab orang itu. Kemudian kepada Sedayu ia berkata,
“Marilah anak
muda”
Sedayu maju
selangkah. Tetapi hatinya mulai berdebar-debar. Meskipun demikian ia berkata
dengan ketenangan yang dibuat-buat,
“Ya. Aku akan
bertemu dengan paman Widura”
“Adakah
sesuatu hal yang penting sekali?” bertanya orang itu.
“Ya” jawab
Agung Sedayu,
“Penting
sekali. Paman Widura harus segera mendengarnya sebelum fajar”.
Penjaga gardu
itu tanpa disengajanya menengadahkan wajahnya. Di timur laut dilihatnya bintang
panjer esuk memancar dengan terangnya. Meskipun demikian orang itu tidak mau
kehilangan kewaspadaan-nya. Maka orang itu pun bertanya,
“Siapakah
kau?”
“Agung Sedayu”
jawab Sedayu.
Orang itu
mengerutkan keningnya. Nama itu belum pernah didengarnya. Sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya orang itu berdesis,
“Nama itu
asing bagi kami di sini”
Agung Sedayu
menjadi gelisah. Karena itu katanya,
“Paman Widura
telah mengenal aku. Bertanyalah kepadaya”
“Baru saja Ki
Widura beristirahat setelah nganglang hampir di seluruh Kademangan Sangkal
Putung, Biarlah ia beristirahat. Besok kau akan menemuinya” berkata orang itu
tegas.
Agung Sedayu
menjadi bingung. Kalau berita itu tak didengar oleh Widura, maka kakaknya akan
menyalahkannya. Selagi Agung Sedayu terdiam, dilihatnya seseorang berjalan ke
regol halaman itu. Dan terdengarlah orang itu berkata,
“Apa yang
terjadi?”
“Oh” orang
yang berada di halaman itu menoleh, dan kemudian membungkukkan kepalanya,
“Selamat malam
bapak Demang. Inilah seorang anak muda ingin bertemu Ki Widura sekarang juga.
Aku ingin menundanya sampai besok”
Bapak Demang
Sangkal Putung itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ditatapnya Agung Sedayu
dengan seksama. Dan kemudian terdengar orang itu bertanya,
“Kabar apakah
yang kau bawa?”
Agung Sedayu
menjadi ragu-ragu. Benarkah seandainya berita itu dikatakannya tidak langsung
kepada Widura? Apakah kakaknya kelak tidak akan marah kepadanya? Tiba-tiba
ketika Agung Sedayu teringat kepada kakaknya, maka dengan serta merta ia
berkata untuk membuktikan kebenarannya dan mudah-mudahan dengan demikian,
dirinya pun akan dikenal oleh orang-orang itu, katanya,
“Aku membawa
berita dari kakang Untara”
“Untara”
Demang Sangkal Putung itu mengulang, dan hampir setiap mulut yang mendengar
nama itu pun mengulang pula meskipun hanya di dalam hati.
“Adakah angger
ini utusan Angger Untara?” bertanya Demang itu.
“Ya” sahut
Sedayu cepat-cepat dengan penuh harapan.
“Aku adiknya”
“Oh” desis Ki
Demang. Dan tiba-tiba ia pun segera membungkukkan kepalanya. Katanya,
“Maafkan kami.
Kami belum mengenal anakmas. Namun nama kakak anakmas adalah jaminan bagi kami,
bahwa kabar yang anakmas bawa pasti kabar yang penting”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya dengan bangganya. Demikian berpengaruhnya nama
kakaknya itu, sehingga pengaruh nama itu melimpah pula kepadanya.
“Marilah
ngger” ajak Demang Sangkal Putung.
“Biarlah adi
Widura dibangunkan apabila kabar itu memang penting”
Agung Sedayu
pun kemudian berjalan mengikuti Ki Demang Sangkal Putung itu. Mereka berjalan
melintas halaman yang luas menuju kependapa. Meskipun demikian Sedayu merasa
bahwa dua orang berjalan di belakangnya.
“Rumah ini
adalah rumahku” berkata Demang itu lirih,
“Dan
kademangan ini adalah kademangan yang subur. Karena itu Pajang menganggap
penting untuk menempatkan adi Widura di sini meskipun daerah ini jauh dari
garis pertempuran. Apalagi setelah pasukan Jipang cerai berai”
Agung Sedayu
mengangguk-angguk. Namun ia tidak menjawab.
“Sayang”
demang itu meneruskan,
“Persoalan
antara Jipang dan Pajang harus diselesaikan dengan pertumpahan darah.
Sebenarnya adipati Jipang itu pun tidak sejahat yang kita sangka. Namun sayang.
Orang-orang di sekitarnya adalah orang-orang yang tamak dan haus akan
kekuasaan. Mereka membakar hati Arya Jipang yang memang agak mudah menyala,
dengan hasutan-hasutan. Akhirnya Arya Jipang harus menebus ketergesa-gesaannya
dengan jiwanya. Dan orang-orangnya menjadi putus asa dan liar”.
Demang itu
berhenti sejenak, kemudian meneruskan,
“Sekarang kita
lihat, dendam menyala dimana-mana. Dapatkah angger mengatakan, siapakah yang
bersalah kalau seandainya dua orang bersaudara terpaksa bertempur dan saling
membunuh karena mereka berada di pihak yang berlainan?”
Agung Sedayu
berdiam diri. Tak tahu ia bagaimana harus menanggapi kata-kata demang Sangkal
Putung itu. Tetapi di dalam hatinya pun timbul pertanyaan,
“Kenapa kita
mesti bertengkar?” Apalagi bagi Agung Sedayu, pertengkaran adalah perbuatan
yang mengerikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar