Jilid 001 Halaman 3


Agung Sedayu seakan-akan membeku di dalam air parit yang dingin. Ia melihat seekor kuda lari di muka hidungnya. Dilihatnya pula anak muda sebayanya duduk merapat di atas punggung kuda itu seperti sedang berpacu. Dalam keremangan cahaya bulan Agung Sedayu dapat mengenal, bahwa penunggang kuda itu adalah anak muda yang tadi bertempur dengan kakaknya, Alap-alap Jalatunda. Maka dari itu giginya gemeretak, tetapi sama sekali bukan karena kemarahannya. Untuk beberapa saat Agung Sedayu tidak dapat menggerakkan meskipun hanya ujung jarinya. Hatinya berdebar-debar seakan-akan bunyi guruh meledak-ledak di dalam rongga dadanya. Suara kuda Alap-alap Jalatunda itu pun semakin lama semakin samar. Ketika Agung Sedayu menjengukkan kepalanya yang gemetar lamat-lamat dilihatnya sebuah noktah hitam semakin lama semakin menjadi kabur. Dan akhirnya hilang seakan-akan ditelan oleh gendoruwo bermata satu di ujung jalan. Tetapi Sadayu kini sudah tidak ingat lagi kepada gendoruwo bermata satu itu. Dan matanya pun kini dapat melihat pohon randu alas itu dengan jelas. Lingkaran yang keputih-putihan di tengah-tengah bayangan hitam itu tidak lain adalah bagian-bagian yang tak berdaun. Sedayu menarik nafas. Namun ketakutan yang lain kini mencekamnya. Bagaimanakah seandainya Alap-alap Jalatunda itu nanti kembali. Dan perasaan takutnya itu semakin lama semakin menghunjam ke pusat dadanya. Demikian takutnya sehingga akhirnya Agung Sedayu tidak dapat lagi berpikir. Tiba-tiba saja ia berdiri dan merangkak menaiki tepian parit. Seperti orang yang kehilangan kesadaran diri, Agung Sedayu berlari-lari ke arah jalan kembali ke dukuh Pakuwon. Biarlah kakaknya membunuhnya, daripada mati karena tangan Alap-alap Jalatunda yang garang itu. Mula-mula ada juga niatnya untuk lari kemana saja. Tidak ke arah Alap-alap Jalatunda dan tidak kembali ke kakaknya. Tetapi kemana? Dan apakah yang akan terjadi dengan dirinya besok lusa dan seterusnya. Karena itu maka niat itu pun tak berani dilakukannya. Ketika Agung Sedayu hampir sampai ke pangkal jalan bulak yang panjang itu, sebelum ia membelok tiba-tiba sekali lagi ia mendengar derap kuda. Karena itu langkahnya pun terhenti. Dicobanya untuk mengetahui dari arah mana kuda itu datang. Ketika ia menoleh, di sepanjang bulak dawa itu tak dilihatnya sesuatu, sementara itu derap kuda itu pun menjadi semakin dekat. Sekali lagi Agung Sedayu menjadi sedemikian bingungnya sehingga kembali ia berlari ke parit ke tepi jalan. Tetapi parit itu melengkung dan berbelok. Karena itu ia memerlukan waktu untuk mencapai kelokan parit itu.

Ketika kuda itu muncul di siku jalan, Agung Sedayu baru mencapai tanggul parit, sehingga dengan tergesa-gesa ia meloncat terjun ke dalamnya. Namun orang yang berkuda itu sempat melihatnya. Dan tiba-tiba saja penunggangnya menarik kekang kudanya, dan tepat di muka Agung Sedayu terjun, kuda yang berlari kencang itu pun berhenti. Agung Sedayu masih terbaring di dalam parit. Hanya wajahnya sajalah yang berada di permukaan air. Ketika ia mendengar bahwa derap kuda itu berhenti, maka ia menjadi semakin ketakutan da kembali merataplah ia di dalam hati. Meratapi nasibnya yang malang semalang-malangnya. Didengarnya orang di atas punggung kuda itu menggeram. Dan kemudian didengarnya orang itu berkata,
“Siapa yang bersembunyi di dalam parit?”
Mendengar suara itu dada Agung Sedayu bergoncang. Serasa nyawanya telah berada di ujung ubun-ubunnya.
“He, jawablah” terdengar suara itu pula. Berat dan lantang,
“Siapa itu? Kalau kau ingin berbuat baik, datanglah. Kalau kau tidak datang, bersiaplah. Kita akan bertempur.”
Agung Sedayu benar-benar menjadi beku. Ia tidak dapat berbuat lagi sesuatu apapun. Tubuhnya menggigil namun mulutnya masih terkunci.
“Nah” suara itu berkata pula,
“Kau tidak mau menampakkan dirimu. Siapa pun kau aku tidak akan takut. Berkemaslah, kita mengadu kesaktian.”
Sedayu masih mendengar orang itu meloncat turun. Kemudian tiba-tiba ia melihat sesosok tubuh menjenguknya dari atas tanggul. Melihat orang itu Sedayu benar-benar hampir pingsan. Seorang yang mengenakan sebuah topeng untuk menutupi wajahnya. Tubuhnya yang sedang berbalut dengan sebuah kain gringsing. Ketika orang itu melihat Agung Sedayu, maka berderailah tertawanya.
“He” kenapa kau berbaring disitu? Apakah kau sedang mulai bertapa? Tapa kungkum? Ayo wudarlah tapamu sebentar. Kita berkenalan. Orang yang biasa tapa kungkum adalah orang yang sakti, tak akan betah sedemikian lama merendam diri dalam air di kala udara begini dingin. Ayo bangunlah”

Agung Sedayu masih menggigil. Memang udara sedemikian dinginnya. Tetapi Sedayu tak merasakan udara yang dingin itu. Sehingga terdengar orang itu berkata lagi,
“Hem, benar-benar kau orang sakti. Kau dapat menutup segenap panca indramu sehingga kau tak terpengaruh oleh kedatanganku. Kalau demikian aku terpasaksa membangunkan kau”
Tiba-tiba orang itu pun meloncat turun. Dengan serta merta ia mencoba untuk mengangkat tubuh Agung Sedayu. Tetapi tubuh itu tak terangkat. Bahkan orang itu kemudian berkata,
“Belum pernah aku menjumpai orang seberat ini. Aku telah menjelajahi hampir setiap sudut kerajaan Demak dan kemudian Pajang, Jipang dan segala pecahan Demak”. Hem” orang itu menggeleng-gelengkan kepala. Tetapi ia berkata pula,
“Bangunlah hai pertapa mumpung kau baru memulainya. Kalau tidak, jangan kau sebut aku curang kalau aku membunuhmu sebelum kau wudar dari tapamu”
Agung Sedayu belum pernah melihat orang seorang pertapa. Karena itu ia tidak tahu bagaimana seseorang mesu diri dengan bertapa. Maka ketika orang itu menyebutnya sedang bertapa, ia tidak mengerti meskipun terasa juga sebutan itu terlalu berlebih-lebihan. Namun ketika orang itu mengancamnya akan membunuhnya, maka dengan susah payah, ia mencoba untuk menguasai tubuhnya. Dengan susah payah ia mengangkat kepalanya, kemudian duduk bersandar kedua belah tangannya.
Melihat Agung Sedayu bangkit, orang itu mundur selangkah. Dan sekali lagi ia tertawa nyaring,
“Ha” katanya,
“ternyata masih belum tega akan hidup matimu. Ayo berdirilah, kita bertempur”
Agung Sedayu tanpa sesadarnya memandangi orang yang berdiri di hadapannya itu. Dan tiba-tiba saja merayaplah suatu perasaan yang aneh di dalam dadanya. Meskipun orang yang baru saja datang itu selalu menantangnya, namun nadanya sangat berbeda dengan kata-kata yang bernah diucapkan oleh si Pande besi Sendang Gabus atau oleh Alap-alap Jalatunda.
“Berdirilah” tiba-tiba orang itu mengulangi kata-katanya.

Sedayu masih belum berdiri. Ia masih duduk dan sebagian tubuhnya masih terendam air. Namun tak disangka-sangkanya orang itu datang menghampirinya dan menolongnya berdiri. Katanya,
“Ayo, tegaklah. Kau hampir beku terendam air”
Ketika Agung Sedayu kemudian berdiri, orang itu memandangnya dengan seksama. Lalu katanya,
“Kau gagah benar. Badanmu kekar sedang urat-uratmu kencang. Tubuh idaman bagi setiap lelaki. Nah, sudahkah kau bersedia untuk bertempur?”
Dengan serta merta, tanpa dikehendakinya sendiri Agung Sedayu menggeleng lemah.
“Tidak?” teriak orang bertopeng itu,
“Kau tidak mau berkelahi?”
Sekali lagi Agung Sedayu menggeleng dengan sendirinya.
“Hem” desis orang bertopeng itu,
“Kau belum mengenal aku. Panggillah aku Kiai Gringsing. Sebutan itu bukan namaku, tetapi aku senang dipanggil demikian”
Perasaan yang aneh, yang merayap-rayap di dalam dada Agung Sedayu menjadi semakin menebal. Orang itu mempunyai sikap yang sangat berbeda. Tiba-tiba ketakutannya pun berkurang. Kalau orang itu ingin berbuat jahat terhadapnya, maka dengan mudah hal itu dapat dilakukan. Namun tanda-tanda yang demikian masih belum dilihatnya. Nada suaranya pun tidak kasar dan tidak mengandung permusuhan. Sedikit demi sedikit Aung Sedayu mencoba menguasai otaknya kembali, meskipun ia masih belum dapat melepaskan perasaan takutnya.
“Aku sangka kau termasuk orang sakti yang tidak menyukai permusuhan. Baik. Aku pun tidak akan memaksa. Dahulu aku pun pernah mengenal orang serupa kau ini” berkata orang bertopeng itu.
Tiba-tiba, ya tiba-tiba saja terloncat dari mulut Sedayu sebuah pertanyaan. Lirih dan gemetar. Tetapi orang bertopeng itu mendengarnya,
“Siapa?” katanya.
Orang yang menyebut dirinya Kiai Gringsing itu mengangguk-anggukkan kepalanya, jawabnya,
“Namanya Ki Sadewa”
“He” Agung Sedayu terkejut,
“Kau sebut nama itu?”
“Ya, kenapa? Kau kenal dia? Atau orang itu gurumu? Kalau demikian benar dugaanku. Kau orang sakti yang tak ingin bermusuhan dengan siapun juga” sahut kiai Gringsing.
“Orang itu ayahku” berkata Agung Sedayu dengan penuh kebanggaan.
“He” orang itu terkejut,
“Kau anak Ki Sadewa? Benarkah demikian?”
“Ya” jawab Agung Sedayu pendek.
“Pantas, pantas” gumamnya,
“Kau memiliki kekekaran tubuh seperti ayahmu, ketahanan tubuh seperti ayahmu pula, dan sifat-sifat yang sama pula”. Tetapi tiba-tiba orang bertopeng itu bertanya menyentak,
“Bohong. Kau akan menakut-nakuti aku. Aku takut seribu turunan dengan orang yang bernama Sadewa itu. Dan kau sekarang anaknya?”
“Tidak” jawab Agung sedayu,
“orang itu benar-benar ayahku”
“Kalau demikian akan aku buktikan” desis Kiai Gringsing.

Darah Agung Sedayu berdesir. Bagaimanakah caranya membuktikan? Haruskah ia berkelahi lebih dahulu. Agung Sedayu kemudian menyesal bahwa ia telah menyebut nama ayahnya. Kiai Gringsing itu kemudian berkata pula,
“Kau masih tetap pada pendirianmu, bahwa kau tak mau berkelahi?”
Agung Sedayu ragu-ragu sejenak, namun kemudian ia mengangguk.
“Bukti yang pertama, seperti Ki Sadewa” berkata orang bertopeng itu.
“Tetapi” ia meneruskan,
“kau dapat berpura-pura. Sedang sebenarnya nafsumu berkelahi melonjak-lonjak. Sekarang aku ingin membuktikan dengan cara lain. Ki Sadewa adalah seorang ahli bidik. Memanah, paser, bandil dan sebagainya. Adakah kau mewarisi kepandaian itu?”
Tiba-tiba wajah Agung Sedayu menjadi cerah. Permainan yang sama sekali tidak memerlukan keberanian. Karena iru Agung Sedayu sering melakukannya. Bahkan ia benar-benar mewarisi keahlian ayahnya itu.
“Baiklah” jawabnya.
“Nah” berkata Kiai Gringsing,
“aku akan melambungkan batu ke udara. Kenailah dengan lemparan pula”.
“Bagus” teriak Agung Sedayu gembira. Permainan itu memang sering dilakukan dengan ayahnya dahulu. Bahkan kakaknya, Untara tak menyamainya.
Kiai Gringsing itu kemudian memungut sebuah batu, dan dilemparkannya tak begitu tinggi,
“Aku sudah mulai” teriaknya.
Sedayu pun segera memungut batu pula. Ketika batu yang dilemparkan oleh Kiai Gringsing itu telah mencapai puncaknya dan meluncur turun, Sedayu mulai melemparkan batunya. Sesaat kemudian terdengarlah suara kedua batu itu beradu.
“Dahsyat” teriak Kiai Gringsing, “Di dalam cahaya bulan yang hanya samar-samar kau telah berhasil mengenainya, Kau benar-benar anak Ki Sadewa. Karena itu aku tak akan berani menantangmu”
“Kau percaya?” bertanya Agung Sedayu dengan bangga.
“Ya, aku percaya” jawab orang itu.

Agung Sedayu tersenyum. Dan tiba-tiba hatinya menjadi agak tenteram. Ia merasa bahwa di dalam dirinya tersembunyi pula kemampuan yang tak dimiliki oleh orang lain. Tetapi selagi Agung Sedayu berbangga atas kemampuannya itu, lamat-lamat didengarnya derap seekor kuda. Hatinya yang mulai berkembang itu tiba-tiba kuncup kembali,
“Suara kuda” desisnya.
“Ya” jawab Kiai Gringsing,
“dari arah tikungan randu alas”
Dada Agung Sedayu berdentang. Apakah Alap-alap Jalatunda yang sedang mencarinya? Keringat dingin mulai mengaliri seluruh tubuhnya. Dan kembali anak muda itu menjadi gemetar. Tetapi agaknya Kiai Gringsing sama sekali tidak tertarik pada suara derap kaki-kaki kuda itu, maka katanya,
“Jangan hiraukan suara derap itu, siapa pun yang akan lewat biarlah ia lewat”
Namun Agung Sedayu tidak dapat berbuat demikian. Dalam pada itu terdengar kembali suara Kiai Gringsing,
“Anak muda, kecakapanmu benar-benar melampaui kecakapan anak-anak muda biasa. Sejak kapan kau berlatih membidik?”
Agung Sedyu mendengar juga pertanyaan itu. Tetapi meskipun derap kaki-kaki kuda masih cukup jauh serasa seperti derap dijantungnya. Namun ia menjawab,
“Sejak kecil” Dan terlintaslah untuk sesaat kenangan masa kanak-kanak itu. Kakaknya lebih suka berburu ke hutan daripada berlatih membidik di rumah. Sedangkan Agung Sedayu yang tak berani ikut serta, menghabiskan waktunya dengan berlatih memanah, paser, bandil dan sebagainya. Tetapi kecakapannya itu tidak dipergunakannya, selain dalam perlombaan memanah untuk anak-anak. Tetapi kenangan itu kemudian terusir oleh gemeretak kaki-kaki kuda yang semakin dekat. Dan karena itu maka tubuhnya semakin gemetar pula.
“Anak muda” berkata Kiai Gringsing,
“agaknya kau tertarik sekali pada orang berkuda itu. Adakah itu sahabatmu? Kalau demikian biarlah aku pergi dahulu. Lain kali kita beremu”
“Jangan, jangan pergi Kiai” tanpa diduga-duga Agung Sedayu berteriak. Dan tiba-tiba saja ia meloncat mendekati orang bertopeng itu.
“Kenapa?” Kiai Gringsing bertanya.
“Orang yang berkuda itu mungkin Alap-alap Jalatunda” jawab Agung Sedayu.
“Alap-alap Jalatunda? Darimana kau tahu?” bertanya orang bertopeng itu pula.
“Ia sedang mengejar kami. Aku dan kakakku” jawab Sedayu.
“Aku pernah mendengar namanya. Tetapi apakah keberatanmu?” desak Kiai Gringsing,
“Kalau Alap-alap Jalatunda itu berani mengejar putra Ki Sadewa, apakah ia sudah gila?”
“Ya, ia mengejar aku dan kakakku yang terluka” jawab Agung sedayu.
“Kau dan kakakmu? Siapakah namamu he anak muda dan siapa nama kakakmu?” sahut kiai Gringsing,
“Apakah Alap-alap Jalatunda itu bernyawa tujuh rangkap?”
“Namaku Sedayu, Agung Sedayu dan kakakku bernama Untara,” jawab Sedayu yang segera disusulnya dengan terbata-bata,
“Kiai, tolonglah aku” minta anak muda itu.

Kiai Gringsing memandangi Agung Sedayu dengan seksama. Kemudian orang bertopeng itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi sesaat kemudian ia tertawa. Katanya,
“Kau benar-benar tidak mau melibatkan diri dalam perkelahian melawan siapa saja. Tetapi jangan kau umpankan orang lain. Kalau kau tak mau berkelahi, jangan berkelahi. Aku pun tidak”
“Tidak kiai. Aku minta kiai menolong aku” desak Agung Sedayu ketakutan. Meskipun mula-mula ia agak malu juga, namun kemudian terpaksa ia berkata,
“Aku tidak pernah berkelahi. Aku takut”
Orang bertopeng itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya,
“Orang-orang sakti sering berbuat aneh-aneh. Ki Sadewa juga selalu menghindari perkelahian. Namun ia mempunyai cara yang baik. Caramu itu adalah keterlaluan. Carilah cara lain. Jangan pura-pura takut. Tak akan ada orang percaya, keturunan Ki Sadewa menjadi ketakutan karena Alap-alap Jalatunda. Sedang Ki Sadewa itu pun tak pernah membiarkan kejahatan berlangsung terus. Kalau ia bertemu Alap-alap Jalatunda misalnya, orang itu pasti akan ditaklukkan dan diusahakan untuk meluruskan jalannya”
Agung Sedayu sudah tidak mendengar kata-kata itu. Karena derap kuda itu semakin dekat, maka Sedayu pun menjadi bingung. Ketika ia menatap bulak yang panjang dalam keremangan cahaya bulan telah dilihatnya, seekor kuda berpacu ke arahnya.
“Itulah dia kiai” berkata Sedayu,
“Tolonglah aku”
“Bagaimana aku bisa menolongmu, kau mempunyai kemampuan lebih baik dari aku” jawab Kiai Gringsing,
“Atau kau ingin mengenali aku dengan melihat caraku berkelahi?”
“Tidak, tidak” jawab Sedayu mendesak,
“aku takut”
“Angger Sedayu” berkata orang bertopeng itu. Dan tiba-tiba suaranya menjadi bersungguh-sungguh,
“Seandainya kau bertempur melawan Alap-alap Jalatunda itu, dan karena tak kau sengaja lawanmu terbunuh, kau tak usah menyesal. Sebab bukan kau sebab dari perkelahian itu. Apabila kau tak membunuhnya, atau memaksanya pergi, kau sendiri pasti akan dibunuhnya”
Tetapi agung Sedayu malahan menjadi bertambah ngeri. Maka jawabnya,
“Aku tidak berani Kiai, aku takut”

Kiai Gringsing menggeleng-gelengkan kepalanya kembali. Ditariknya keningnya sehingga topengnya bergerak-gerak.
“Baiklah” katanya,
“agaknya kau bercuriga kepadaku dan ingin mengenal aku lewat unsur-unsur gerakku, tetapi apakah kau mampu melawan Alap-alap itu?” Dan tiba-tiba saja orang yang bertopeng dan berselimut kain gringsing itu meloncat, ringan sekali, ke atas tanggul parit. Masih terdengar ia berkata,
“Jangan berendam lagi di dalam air Sedayu, kau akan membeku” Namun kemudian orang itu bergumam lirih, yang hanya dapat didengarnya sendiri,
“Tak berhasil”
Sementara itu kuda yang berlari kencang-kencang itu pun menjadi semakin dekat. Di atas punggung kuda itu tampak seseorang yang hampir melekatkan tubuhnya pada tubuh kudanya. Dari kejauhan penunggang kuda itu pun telah melihat seekor kuda berhenti di tengah jalan. Karena itu, timbullah pertanyaan di dalam hatinya.
“Siapakah gerangan orang berkuda itu?”
Orang yang datang itu benar-benar Alap-alap Jalatunda. Anak itu mengumpat tak habis-habisnya ketika ia berhasil menyusul kuda Agung Sedayu, namun tanpa penunggangnya.
“Setan” dengusnya setelah ia mengetahui kuda itu tak berpenumpang,
“Dimana kau sembunyi kelinci licik” Dan karena itu maka segera ia memutar kudanya kembali. Menurut perhitungan Alap-alap Jalatunda, Sedayu pasti masih bersembunyi di sekitar jalan yang dilampauinya. Tetapi ketika ia melihat seekor kuda berdiri di jalan itu, maka Alap-alap Jalatunda itu menjadi berdebar-debar.
“Persetan, siapa saja orang itu. Kalau ia berusaha menyembunyikan buruanku, maka orang itulah yang akan aku penggal kepalanya dan aku lemparkan di sekitar Sangkal Putung”

Kuda Alap-alap Jalatunda itu pun semakin lama menjadi semakin dekat, dan Agung Sedayu pun menjadi semakin gemetar. Tetapi Kiai Gringsing berdiri saja dengan tenangnya menanti kedatangan Alap-alap muda yang garang itu.
“Aku baru kenal namanya” berkata Kiai Gringsing,
“Kalau aku terbunuh oleh Alap-alap Jalatunda, kaulah yang bersalah”
Agung Sedayu tidak menjawab, memang ia tidak tahu bagaimana harus menjawab. Kalau orang bertopeng itu kalah, maka sudah pasti dirinya pun akan mengalami bencana. Karena itu desisnya,
“Jangan Kiai, jangan kalah”
Kiai Gringsing tertawa berderai. Benar-benar ia tertawa karena geli.
“Tak seorang pun yang mau kalah dalam setiap perkelahian. Tetapi tak seorang pun yang pasti bahwa ia tidak akan dikalahkan, betapa pun lemah lawannya. Bukankah nasib seseorang tak dapat ditentukan oleh orang itu sendiri, meskipun sudah menjadi kewajiban seseorang untuk berusaha”
Agung Sedayu tak sempat menjawab karena Alap-alap Jalatunda telah sedemikian dekatnya. Anak muda di atas punggung kuda itu segera menarik kekang kudanya, dan kuda itu berhenti beberapa langkah saja di hadapan kuda Kiai Gringsing. Di dalam cahaya bulan dilihatnya seorang bertopeng berdiri tegak di atas tanggul parit. Dan tiba-tiba dilihatnya di dalam parit seorang lain berdiri gemetar,
“Ha” teriaknya kegirangan,
“Kaukah itu?”
Agung Sedayu terbungkam. Namun dadanya melonjak-lonjak. Darahnya serasa mengalir semakin cepat. Alap-alap Jalatunda tertegun. Dipandanginya orang bertopeng itu dari ujung kakinya sampai keujung ikat kepalanya,
“Apakah kau penari topeng?”
Tetapi orang bertopeng itu menjawab,
“Tepat. Aku adalah tokoh Panji dalam setiap ceritera”
“Huh” Alap-alap itu mencibirkan bibirnya,
“Jangan main-main, kau berhadapan dengan Alap-alap Jalatunda”
“Ya, aku sudah tahu” jawab Kiai Gringsing
Alap-alap Jalatunda mengerutkan keningnya,
“Dari mana kau tahu?”
“Dari anak muda itu” sahut Kiai Gringsing sambil menunjuk Agung Sedayu.
“Apamukah itu?” bertanya Alap-alap Jalatunda pula.
“Bukan apa-apa. Aku baru saja bertempur melawan anak itu, dengan perjanjian, siapa yang kalah harus bertempur melawan Alap-alap Jalatunda. Ternyata aku kalah” jawab Kiai Gringsing,
“Karena itu aku harus bertempur melawan Alap-alap Jalatunda”

Alap-alap Jalatunda membelalakkan matanya. Ditatapnya Kiai Gringsing dengan tajam penuh pertanyaan. Terdengarlah kemudian anak muda itu menggeram,
“Hem, kanapa kau pakai topeng? Sebutkan dirimu, supaya aku dapat mengukur kesaktianmu”
“Namaku Kiai Gringsing” jawab orang bertopeng itu.
“Aku belum mengenalmu, kenapa kau menghina aku?” bertanya Alap-alap Jalatunda.
“Aku berkata sebenarnya” jawab Kiai Gringsing.
“Kenapa yang kalah yang harus menghadapi Alap-alap Jalatunda? Adakah kalian yakin, bahwa kalian adalah orang-orang sakti yang tak terkalahkan?” desak Alap-alap yang sedang marah itu.
“Tidak” sahut Kiai Gringsing,
“Aku sama sekali tak berniat untuk bertempur melawanmu, sebab aku baru pernah mendengar namamu. Tetapi ketika aku lewat, anak muda itu mendekam di dalam parit. Dengan serta merta ia menghentikan aku. Tetapi ia menjadi kecewa setelah ternyata aku bukan yang ditunggunya. Sebab aku bukan Alap-alap Jalatunda. Anak muda itu marah kepadaku, dianggapnya aku mengganggu pekerjaannya. Kami bertengkar, dan diambilnya keputusan, kalau aku kalah aku harus menyerahkan Alap-alap Jalatunda kepadanya. Hidup atau mati. Tetapi …..”
“Cukup!” bentak Alap-alap Jalatunda,
“jangan membual” Suaranya keras mengguruh, sehingga Agung Sedayu hampir terjatuh karena terkejut. Namun dalam ketakutannya, timbul pula perasaan yang aneh, ketika ia mendengar ceritera Kiai Gringsing tentang dirinya.

Kemudian terdengar Alap-alap Jalatunda itu meneruskan,
“Kau memakai topeng itu bukan karena kebetulan. Apakah maksudmu. Mungkin kau salah seorang yang pernah aku kenal dan mencoba menyembunyikan dirimu. Tetapi itu tak akan berarti. Hidup atau mati aku akan dapat merenggut topeng itu dari wajahmu, dan akan jelas bagiku siapakah kau ini dan apa maksudmu sebenarnya”
Kiai Gringsing menggeleng,
“Tidak” jawabnya,
“Tak seorang pun dapat melepas topeng ini, sebab topengku telah melekat pada kulit wajahku”
“Hem” Alap-alap itu menggeram penuh kemarahan.
“Bagus. Kalau demikian akan aku kelupas kulit mukamu itu”. Meskipun demikian timbul pula pertanyaan di dalam dadanya. Telah dua orang yang menyebut anak itu sebagai orang sakti yang tak perlu melayaninya sendiri. Dari mulut Untara pun ia pernah mendengar hal itu. Tau, adakah orang bertopeng ini Untara yang sedang menjebaknya? Alap-alap itu menggeleng,
“Tak mungkin, Untara terluka”
Terdengar kemudian jawaban Kiai Gringsing,
“Jangan. Jangan kau kelupas kulit mukaku. Wajahku pasti akan menakuti anak-anak kelak”
“Jangan banyak bicara” potong Alap-alap Jalatunda yang menjadi kian marah,
“bersiaplah. Kau atau anak muda itu bagiku sama saka. Satu demi satu kalian akan aku bunuh. Atau kalian berdua sekaligus. Mari” Alap-alap itu pun segera bersiap. Agaknya ia mau epat-cepat selesai sehingga tiba-tiba saja di tangannya tergenggam pedangnya jang putih berkilat-kilat.
“O” berkata Kiai Gringsing,
“baiklah. Karena aku yang harus bertempur maka biarlah aku melayanimu dahulu. Tunggu sebentar, aku mengambil senjataku” Kiai Gringsing tidak menunggu jawaban Alap-alap Jalatunda. Dengan enaknya ia berjalan mendekati kudanya. Katanya kemudian,
“Apakah kau akan bertempur di atas punggung kuda?”
Alap-alap Jalatunda menggeram. Jawabnya,
“Aku dapat berkelahi dimana saja. Pilihlah yang kau sukai”
“Aku akan bertempur di atas tanah” sahut Kiai Gringsing.

Alap-alap Jalatunda tidak berkata-kata lagi. Segera ia meloncat turun dari kudanya. Agung Sedayu melihat peristiwa-peristiwa itu seperti di dalam mimpi. Ya, hampir semalam penuh ia diganggu oleh mimpi yang dahsyat. Sehingga rasa-rasanya, apa yang terjadi itu pun sebagian dari mimpinya itu. Tetapi apabila ia sadar bahwa ujung pedang Alap-alap Jalatunda itu bukan sekadar menakut-nakutinya di dalam mimpi, maka kembali bulu-bulunya meremang, dan tubuhnya yang kuyup itu dibasahi pula oleh keringat dinginnya. Apa yang diambil oleh Kiai Gringsing benar-benar mengejutkan Alap-alap Jalatunda. Senjata orang tua itu tidak lebih daripada sebatang cambuk kecil, cambuk kuda. Karena itu Alap-alap Jalatunda merasa terhina memaki-maki,
“Setan topengan. Kau sangka leluconmu itu baik. Kalau kau terbunuh pada sabetan pedangku yang pertama jangan menyesal. Dan jangan mengharap orang lain dapat menuntut atas setiap pembunuhan yang aku lakukan. Di daerah pertempuran tak pernah ada hukum yang dapat ditegakkan setegak-tegaknya”.
“Kau benar” sahut Kiai Gringsing,
“Hukum di daerah perang seperti Pajang dan Jipang sekarang adalah hukum perang. Tetapi karena yang berperang itu adalah manusia-manusia, seharusnya mereka tidak kehilangan kemanusiaannya”
“Persetan” bentak Alap-alap Jalatunda yang sudah tidak sbar lagi. Dengan satu loncatan yang panjang ia menyerang Kiai Gringsing dengan pedang terjulur. Sedang ujung pedangnya tepat mengarah ke dada orang bertopeng itu.
“Mampus kau” teriak Alap-alap Jalatunda.
Tetapi sekali lagi Alap-alap Jalatunda terkejut. Kiai Gringsing itu hampir-hampir tak tampak bergerak, namun ujung pedang Alap-alap Jalatunda tidak menyentuhnya.
“Gila” geram Alap-alap Jalatunda. Anak muda yang garang itu menjadi semakin marah. Diputarnya pedangnya dan seperti angin prahara ia menyerang lawannya.

Ternyata Kiai Gringsing itu benar-benar lincah. Alap-alap Jalatunda itu pun lincah dan tangkas. Namun Kiai Gringsing dapat mengimbanginya, sehingga serangan Alap-alap yang garang itu selalu dapat dielakkan. Kemudian mereka berdua terlibat dalam perkelahian yang sengit. Mereka berdua bergerak dengan cepatnya melingkar-lingkar. Pedang Alap-alap Jalatunda itu segera mengurung lawannya, sehingga seakan-akan Kiai Gringsing tidak diberikan kesempatan untuk bergerak. Namun adalah sangat mengherankan. Alap-alap Jalatunda tak dapat mengerti, setiap sentuhan dengan senjata Kiai Gringsing yang aneh itu, terasa tangannya bergetar. Mula-mula ia menyangka bahwa cambuk kuda itu akan segera putus apabila tersentuh tajam pedangnya. Tetapi ternyata dugaan itu meleset. Cambuk itu benar-benar merupakan senjata yang membingungkan bagi Alap-alap yang masih muda itu. Meskipun demikian, Alap-alap Jalatunda tidak menjadi cemas. Bahkan ia menjadi semakin marah. Karena itu ia bertempur semakin garang. Perkelahian itu berlangsung semakin cepat karena kemarahan Alap-alap Jalatunda. Di atas tanah yang becek itu kaki-kaki mereka meloncat-loncat dan air yang kemerah-merahan pun memercik seperti hendak menyingkirkan diri dari injakan kaki mereka yang sedang bertempur. Orang bertopeng itu tiba-tiba menengadahkan wajahnya. Dilihatnya dari lubang topengnya, bulan tua memanjat sampai ke puncak langit. Karena itu tiba-tiba ia pun menjadi gelisah.
“Hampir fajar” bisiknya dalam hati. Sesaat kemudian menyambar anak muda yang masih berdiri kaku di dalam parit dengan sudut pandangannya.
“Perkelahian ini harus segera selesai supaya Agung Sedayu tidak terlambat” kembali Kiai Gringsing itu berkata di dalam hatinya. Karena itu, maka tiba-tiba gerakannya pun segera berubah. Kiai Gringsing intu kini tidak saja banyak meloncat-loncat seperti katak untuk menghindar dan hanya menyerang, tetapi ia telah mengambil keputusan untuk segera menyelesaikan pertempuran itu. Bersamaan dengan itu terdengarlah ia berteriak nyaring kepada Agung Sedayu,
“Sedayu, selagi kau sempat, bersiaplah untuk meneruskan perjalanan. Hari hampir pagi”
Sedayu mendengar teriakan itu. Tetapi ia masih terpaku di tempatnya. Ia tidak dapat menguasai dirinya karena ia terpukau melihat perkelahian yang mengerikan itu.

Kiai Gringsing menggeleng-gelengkan kepalanya. Sementara itu ia masih harus melayani Alap-alap Jalatunda. Sedang Alap-alap yang garang itu pun terkejut melihat perubahan tata perkelahian lawannya. Kalau ia semula masih menyangka bahwa orang bertopeng itu dapat bertahan karena senjata anehnya, maka tiba-tiba ia merasa bahwa yang dihadapinya itu benar-benar orang yang setidak-tidaknya melampaui keperkasaannya. Karena itu maka timbullah berbagai pertanyaan di dalam dirinya. Kiai Gringsing adalah nama yang belum pernah didengarnya, bahkan orang bertopeng yang berkeliaran di daerah ini pun belum juga pernah ada yang menyebutnya. Kembali ia berpikir, adakah orang ini Untara yang sedang menjebaknya, namun menilik tata perkelahiannya, orang ini jauh berbeda dengan cara Untara mempertahankan dirinya. Untara bertempur dengan sungguh-sungguh dan selalu mempergunakan kesempatan-kesempatan untuk menekan lawannya sesuai dengan sikap keprajuritannya. Tetapi orang ini ternyata berkelahi seenak-enaknya. Bahkan sama sekali tidak sungguh-sungguh. Baru pada saat-saat terkhir ia merasa, orang bertopeng semakin cepat dan yang kemudian terasa benar oleh Alap-alap Jalatunda bahwa ia benar-benar tidak akan dapat melawannya. Namun kalau teringat olehnya pesan Plasa Ireng, hatinya pun menjadi berdebar-debar. Apakah kata orang yang ganas itu, kalau diketahuinya bahwa ia tak mampu menangkap kawan Untara itu. Tetapi anak muda itu tak dapat mengingkari kenyataan. Beberapa kali terasa cambuk orang bertopeng itu menyengat tubuhnya. Panas dan pedih. Bahkan beberapa bagian kulitnya menjadi terluka karenanya. Karena itu Alap-alap Jalatunda menjadi bingung. Menghadapi orang bertopeng itu terasa, betapa dirinya tidak lebih dari alap-alap yang tak bersayap. Alangkah kecil dirinya. Pada saat ia bertempur berempat dengan Untara masih juga ia mengharap untuk dapat mengalahkan lawannya itu. Tetapi kini ia seorang diri berhadapan dengan seorang sakti yang aneh, Seorang yang bertempur dengan cambuk kuda.
“Persetan dengan kakang Plasa Ireng” gumam Alap-alap Jalatunda,
“Biarlah pada suatu saat ia bertemu dengan orang bertopeng dan berselimut kain gringsing ini”
Alap-alap Jalatunda pun akhirnya merasa pasti, bahwa tak ada gunanya lagi untuk bertempur lebih lama. Sebab dengan demikian ia hanya akan menambah luka-luka dikulitnya. Tetapi meskipun demikian dendamnya kepada Agung Sedayu belum juga hilang. Apalagi ketika ia dapat mengambil kesimpulan dari peristiwa itu. Orang bertopeng itu agaknya telah melindungi Agung Sedayu.

Alap-alap yang garang itu kemudian tidak mempunyai pilihan lain kecuali melarikan diri. Karena itu dengan berteriak nyaring ia meloncat dengan garangnya, menyerang Kiai Gringsing dengan pedangnya. Tetapi tiba-tiba ia menarik serangannya dan dengan satu loncatan panjang ia berlari ke arah kudanya. Ternyata anak itu benar-benar cakap bermain-main dengan kuda. Dengan tangkasnya ia melontarkan diri dan jatuh langsung di atas punggung kuda itu. Kudanya pun seakan-akan mengetahui apa yang terjadi dengan penunggangnya. Karena itu segera pula kuda itu meloncat dan berlari kencang-kencang seperti anak panah. Kiai Gringsing memandang Alap-alap Jalatunda yang melarikan diri itu. Tetapi ia sama sekali tak berusaha untuk mengejarnya. Sebab pekerjaan yang lain masih menunggunya. Agung Sedayu. Perlahan-lahan ia melangkah kembali ketepi parit. Dan dari tanggul ia berkata,
“Bukankah aku menang?”
Ketika Agung Sedayu melihat Alap-alap Jalatunda itu melarikan diri, maka dadanya yang bergelora seakan-akan disiram oleh tetesan-tetesan embun malam yang sejuk dingin. Maka anak muda itu pun menarik nafas sedalam-dalamnya. Maut yang menghampirinya kini telah terusir pergi.
“Nah Agung Sedayu” berkata Kiai Gringsing,
“sekarang sebutlah namaku, setelah kau melihat tata perkelahianku” Agung Sedayu menggeleng. Jawabnya jujur,
“Aku tak tahu Kiai”
Kiai Gringsing tersenyum. Namun Agung Sedayu tidak melihat wajah orang itu. Senyum yang aneh. Sedang matanya memandang anak muda itu dengan penuh kecewa. Gumamnya di dalam hati,
“Sayang” Tetapi orang itu pun kemudian segera berkata,
“Sedayu, bukankah kau akan pergi ke Sangkal Putung?”
“Ya” jawab anak muda itu,
“Dari mana Kiai mengetahuinya?”
“Aku hanya mengira-irakan saja. Sebab pasti laskar Widura perlu mendapat bantuanmu. Kalau tidak, bahaya yang besar akan mengancam. Dengan kehadiranmu, aku kira bahaya itu akan dapat dielakkan” berkata orang bertopeng itu.
“Kenapa kehadiranku akan dapat mengelakkan bencana itu?” bertanya Agung Sedayu.
“Ah” desah orang bertopeng itu. Kemudian katanya,
“Bukankah dengan demikian Widura akan mengetahui bahaya yang akan mengancamnya? Dan dengan kehadiranmu, maka bahaya itu akan dapat dikurangi. Siapakah di antara mereka yang mampu melawan putera Ki Sadewa?”
Agung Sedayu menundukkan wajahnya. Terasa sesuatu berdesir di dadanya. Tetapi Kiai Gringsing itu berkata terus,
“Nah, pergilah. Mumpung masih ada waktu”

Agung Sedayu sadar akan dirinya. Diingatnya kata-kata kakaknya. Alangkah marahnya Untara kelak, apabila ia tidak sampai ke Sangkal Putung tepat pada waktunya. Karena itu maka ia pun menjawab,
“Baiklah Kiai, kita pergi ke Sangkal Putung sekarang”
“Kenapa kita?” bertanya Kiai Gringsing,
“Kaulah yang akan pergi. Aku tidak”
“Tidak” sahut Agung Sedayu cepat-cepat.
“Kiai pun akan pergi ke sana”
“Aku tidak berkepentingan dengan mereka” sanggah Kiai Gringsing.
Agung Sedayu berdiam. Tanpa sesadarnya anak muda itu memandangi pohon randu alas dikejauhan. Dan tiba-tiba bulu-bulunya tegak diseluruh wajah kulitnya. Tetapi ia malu untuk mengatakannya. Orang bertopeng itu pasti tidak akan percaya, dan pasti akan menyebutnya, putera Ki Sadewa. “Hem” Agung Sedayu mengeluh. Meskipun demikian ia berkata,
“Aku akan terlambat”
“Mungkin” sahut Kiai Gringsing.
“Nah, pakailah kudaku supaya kau sampai sebelum fajar menyingsing. Orang-orang yang lapar itu akan berusaha merebut perbekalan di Sangkal Putung tepat pada saat cahaya matahari yang pertama jatuh di atas pedukuhan itu”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Orang bertopeng itu tahu seluruhnya. Tepat seperti apa yang dikatakan Untara sebelum mereka berangkat. Tetapi selagi ia akan bertanya, orang bertopeng itu berkata,
“Naiklah. Dan pakai kudaku”
Kiai Gringsing tidak menunggu Sedayu menjawab. Dan tiba-tiba saja orang bertopeng itu meloncat dan berlari ke utara.
“Kiai, kiai…” panggil Agung Sedayu. Tetapi orang itu segera menghilang disiku jalan. Terdengarlah orang bertopeng itu bergumam, lirih dan hanya didengarnya sendiri,
“Kalau aku tidak memaksamu pergi dengan cara ini Sedayu, agaknya kau lebih senang berendam di dalam parit”

Sebenarnyalah. Dengan demikian Agung Sedayu tidak berani tinggal di tempat itu lebih lama lagi. Karena itu segera ia memanjat tebing parit itu. Dilihatnya kuda Kiai Gringsing masih berdiri di tempatnya. Semula anak muda itu berbimbang hati. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain daripada pergi ke Sangkal Putung. Bahkan akhirnya ia pun merasa berterima kasih kepada orang yang tak dikenalnya itu. Terima kasih karena nyawanya telah diselamatkan, dan terima kasih karena ia dapat mempergunakan kuda itu untuk mencapai Sangkal Putung. Meskipun Agung Sedayu tak juga dapat mengerti, atas segala macam sikap dan anggapan orang aneh itu terhadapnya. Dan kini, sebuah kewajiban menunggunya. Sangkal Putung. Perlahan-lahan Agung Sedayu mendekati kuda Kiai Gringsing. Ia belum pernah mengenal kuda itu. Dicobanya untuk membelai surinya. Kuda itu menggerak-gerakkan kepalanya. Ternyata kuda itu cukup jinak.
“Nah” bisik Agung Sedayu,
“Kawani aku ke Sangkal Putung”.
Agung Sedayu segera naik kepunggung kuda itu. Dan dengan hati yang berdebar-debar kuda itu dipacunya ke Sangkal Putung. Di hadapannya terbentang sebuah jalan di tengah sawah yang panjang. Dan di ujung jalan itu menunggunya tikungan randu alas. Namun Sedayu mencoba untuk melenyapkan perasaan takutnya. Dipaksanya juga kudanya melaju terus. Tikungan randu alas itu kini tinggal beberapa puluh tombak saja di hadapannya. Agung Sedayu segera memejamkan matanya. Dilekatkannya tubuhnya pada tubuh kudanya, dan dilecutnya kuda itu sehingga berlari kencang seperti kuda itu takut pula kepada genderuwo bermata satu. Agung Sedayu merasa, kudanya membelok dengan tajam dan sesaat kemudian kuda itu berlari menurun. Tikungan randu alas telah lewat. Agung Sedayu membuka matanya.
“Hem” anak muda itu menarik nafas panjang. Diamatinya seluruh tubuhnya, dan dirabanya kedua matanya. Masih utuh. Genderuwo itu sama sekali tidak mengganggunya seperti kata orang. Genderuwo bermata satu itu selalu iri kepada mereka yang bermata lengkap. Tetapi Agung Sedayu tak berani menoleh betapa pun keinginan mendesaknya.
“Ah mungkin genderuwo itu takut karena aku putera Ki Sadewa” pikirnya. Tetapi tiba-tiba disadarinya, bahwa Alap-alap Jalatunda itu pun tak diganggunya.

Jalan di hadapan Agung Sedayu masih menurun. Kini di hadapannya dilihatnya pedukuhan yang kecil. Kali Asat. Pedukuhan yang sepi itu tak banyak menarik perhatiannya. Dan ketika sekali lagi Agung Sedayu membelok ke kanan sampailah ia ke jalan lurus menuju Sangkal Putung. Agung Sedayu menjadi agak tenang. Jarak itu menjadi semakin dekat juga. Karena itu anak muda itu sempat berangan-angan. Diingatnya semua kata-kata orang bertopeng yang menyebut dirinya Kiai Gringsing itu.
“Alangkah senangnya kalau apa yang dikatakan orang itu benar-benar ada padaku” pikir Agung Sedayu.
“Kalau aku seorang sakti yang tak terkalahkan. Dan bahkan Kiai Gringsing pun tak dapat mengalahkan pula. Dengan bekal kesaktian itu aku akan mengembara. Akan aku datangi sarang-sarang gerombolan liar yang sering mengganggu ketentraman. Aku bunuh mereka satu demi satu.”,
“Ah, tidak” bantahnya sendiri.
“Setiap orang akan ngeri menghadapi kematian. Kalau aku bunuh mereka, anak istrinya akan menderita. Mereka akan aku ampuni, apabila mereka kelak menjadi orang yang baik”. Namun disudut hatinya yang lain berkata,
“Tetapi mereka telah berbuat jauh lebih kejam daripada membunuh”. Dijawabnya sendiri,
“Biarlah mereka berbuat demikian. Kalau aku berbuat demikian pula, apakah bedanya? Alap-alap Jalatunda misalnya. Aku harus memaafkannya apabila ia benar-benar telah menemukan jalan yang benar. Bukankah ayah dahulu pernah berceritera, tentang seorang saudagar kaya yang jatuh miskin. Karena itulah maka ia tidak dapat membayar hutangnya kepada raja. Namun raja itu bijaksana. Saudagar itu dibebaskan dari pembayaran hutang. Tetapi, saudagar itu sama sekali tidak mau membebaskan hutang seorang miskin kepadanya. Sedang hutang itu sama sekali tak berarti dibandingkan dengan hutangnya kepada raja. Ketika raja mendengar kedengkian saudagar itu, maka raja menjadi murka. Dipanggilnya saudagar itu. Dan raja mencabut kemurahan hatinya. Saudagar itu dipaksa untuk bekerja kepada raja sebagai ganti hutang yang tak dapat dibayarnya”.
Agung Sedayu puas dengan angan-angannya. Ia puas dengan sikap yang disimpulkannya. Katanya di dalam hati,
“Memang Tuhan tak akan memaafkan kesalahan kita, kalau kita tak juga memaafkan kesalahan orang lain kepada kita”

Tetapi kemudian Agung Sedayu menjadi kecewa ketika ia menyadari keadaannya. Tak pernah ia dapat memaafkan orang lain yang telah ditundukkannya sebab tak akan ada orang yang pernah ditundukkan, apalagi disadarkannya dari kesesatan.
“Ya, seandainya” kembali ia bergumam.
Tiba-tiba Agung Sedayu tersentak, dan tiba-tiba saja kakinya terasa gemetar ketika dedengarnya sebuah teriakan melengking. Tetapi ia menarik nafas panjang, ketika diketahuinya suara itu ternyata hanyalah suara burung engkak yang pulang ke kandangnya, setelah semalam-malaman mencari mangsanya.
“Hampir pagi” desis Agung Sedayu kemudian. Karena itu dipacunya kudanya semakin cepat. Di mukanya tampak sebuah pedukuhan seakan-akan sebuah pulau yang mengapung di dalam lautan yang hijau. Itulah Sangkal Putung. Beberapa cahaya lampu yang menembus celah-celah dinding telah dilihatnya, dan di sudut jalan tampak sebuah gardu perondaan. Agung Sedayu langsung berpacu ke gardu itu. Ia tahu benar bahwa di gardu itu berjaga-jaga beberapa orang pamannya, Widura. Karena itu ia pun tidak takut lagi bertemu dengan Alap-alap Jalatunda. Ketika mereka mendengar suara kuda, maka orang-orang di gardu itu pun segera turun. Dari jauh mereka sudah melihat seekor kuda berpacu dengan kencangnya. Karena itu, orang-orang yang sedang berjaga-jaga itu pun segera bersiap. Pasti ada sesuatu yang penting. Maka mereka segera menghentikan kuda Agung Sedayu. Seorang yang bertubuh sedang berhitung mancung maju ke depan dan bertanya,
“Siapa kau?”
“Agung Sedayu” jawab Agung Sedayu lantang,
“Aku akan bertemu paman Widura”
“Apakah keperluanmu?” bertanya orang itu pula.
“Penting sekali. Hanya paman Widura lah yang boleh mengetahuinya” jawab Sedayu.
Beberapa orang saling berpandangan. Kemudian orang yang berhidung mancung itu berkata,
“Apakah kau tidak dapat menunggu sampai besok?”
“Demi kepentingan paman Widura, keselamatanmu sekalian” sahut Sedayu dengan bangganya.
“Antarkan anak muda ini” berkata orang itu kemudian.
Agung Sedayu masih berada dipunggung kuda, ketika dua orang mendekatinya,
“Marilah” berkata salah seorang daripadanya.
“Berjalanlah di muka” sahut Agung Sedayu.

Sesaat orang itu saling berpandangan. Kemudian mereka berdua menoleh ke arah orang yang berhidung mancung, yang agaknya pemimpin mereka. Orang yang berhidung mancung itu pun kemudian berkata,
“Anak muda, kami para penjaga tidak mengenal siapakah kau. Tetapi adalah menjadi kebiasaan, bahwa anak muda seharusnya turun dari kuda sejak anakmas sampai di gardu ini”
“Oh” sahut Agung Sedayu,
“Maafkan aku. Aku tergesa-gesa sehingga aku melupakan kebiasaan itu” dan dengan tergesa-gesa pula Agung Sedayu meloncat dari kudanya.
“Nah” berkata pemimpin itu,
“Kami silahkan mengikuti orang-orangku yang akan mengantarkan anakmas dan biarlah kuda itu di sini”.
“Baik” jawab Sedayu,
“Terima kasih”.
“Marilah” ajak salah seorang di antaranya. Dan orang itu pun segera berjalan. Tetapi yang seorang lagi masih berdiri tegak.
“Silahkan” katanya.
Agung Sedayu menjadi agak bimbang. Namun akhirnya tahulah ia, bahwa ia harus berjalan di belakang orang pertama, kemudian orang kedua itu berjalan di belakangnya.
“Anak buah paman Widura sangat berhati-hati” katanya di dalam hati. Namun meskipun demikian, sekali-sekali ia menoleh juga ke belakang, seakan-akan orang yang berjalan di belakangnya itu akan menerkamnya.
Waktu yang diperlukan tidak terlalu lama. Setelah mereka menyusur jalan desa, di antara pagar-pagar batu setinggi dada, maka sampailah mereka di sebuah halaman yang luas. Pagar halaman itu pun agak lebih tinggi dari pagar-pagar di sekelilingnya. Di depan halaman itu tampak sebuah regol yang tertutup rapat. Orang pertama, yang berjalan dimuka Agung Sedayu itu pun segera mengetuk pintu regol itu. Untuk sesaat tidak terdengar jawaban. Bahkan yang terdengar ketokan pula di dalam. Empat kali berturut-turut. Agung Sedayu sama sekali tidak tahu maksud dari ketokan itu. Ia menjadi heran ketika orang yang di mukanya itu sekali lagi mengetuk pintu itu. Dua kali tiga ganda. Dan tak lama kemudian pintu itu pun terbuka.
“Siapa?” terdengar sebuah pertanyaan.
“Peronda digardu utara” jawab orang itu.
“Kami membawa seorang tamu. Dan tamu itu ingin bertemu dengan Ki Widura”.
“Sekarang?” bertanya orang di dalam halaman.
“Ya. Inilah orangnya. Bertanyalah sendiri” jawab orang itu. Kemudian kepada Sedayu ia berkata,
“Marilah anak muda”

Sedayu maju selangkah. Tetapi hatinya mulai berdebar-debar. Meskipun demikian ia berkata dengan ketenangan yang dibuat-buat,
“Ya. Aku akan bertemu dengan paman Widura”
“Adakah sesuatu hal yang penting sekali?” bertanya orang itu.
“Ya” jawab Agung Sedayu,
“Penting sekali. Paman Widura harus segera mendengarnya sebelum fajar”.
Penjaga gardu itu tanpa disengajanya menengadahkan wajahnya. Di timur laut dilihatnya bintang panjer esuk memancar dengan terangnya. Meskipun demikian orang itu tidak mau kehilangan kewaspadaan-nya. Maka orang itu pun bertanya,
“Siapakah kau?”
“Agung Sedayu” jawab Sedayu.
Orang itu mengerutkan keningnya. Nama itu belum pernah didengarnya. Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya orang itu berdesis,
“Nama itu asing bagi kami di sini”
Agung Sedayu menjadi gelisah. Karena itu katanya,
“Paman Widura telah mengenal aku. Bertanyalah kepadaya”
“Baru saja Ki Widura beristirahat setelah nganglang hampir di seluruh Kademangan Sangkal Putung, Biarlah ia beristirahat. Besok kau akan menemuinya” berkata orang itu tegas.
Agung Sedayu menjadi bingung. Kalau berita itu tak didengar oleh Widura, maka kakaknya akan menyalahkannya. Selagi Agung Sedayu terdiam, dilihatnya seseorang berjalan ke regol halaman itu. Dan terdengarlah orang itu berkata,
“Apa yang terjadi?”
“Oh” orang yang berada di halaman itu menoleh, dan kemudian membungkukkan kepalanya,
“Selamat malam bapak Demang. Inilah seorang anak muda ingin bertemu Ki Widura sekarang juga. Aku ingin menundanya sampai besok”
Bapak Demang Sangkal Putung itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ditatapnya Agung Sedayu dengan seksama. Dan kemudian terdengar orang itu bertanya,
“Kabar apakah yang kau bawa?”

Agung Sedayu menjadi ragu-ragu. Benarkah seandainya berita itu dikatakannya tidak langsung kepada Widura? Apakah kakaknya kelak tidak akan marah kepadanya? Tiba-tiba ketika Agung Sedayu teringat kepada kakaknya, maka dengan serta merta ia berkata untuk membuktikan kebenarannya dan mudah-mudahan dengan demikian, dirinya pun akan dikenal oleh orang-orang itu, katanya,
“Aku membawa berita dari kakang Untara”
“Untara” Demang Sangkal Putung itu mengulang, dan hampir setiap mulut yang mendengar nama itu pun mengulang pula meskipun hanya di dalam hati.
“Adakah angger ini utusan Angger Untara?” bertanya Demang itu.
“Ya” sahut Sedayu cepat-cepat dengan penuh harapan.
“Aku adiknya”
“Oh” desis Ki Demang. Dan tiba-tiba ia pun segera membungkukkan kepalanya. Katanya,
“Maafkan kami. Kami belum mengenal anakmas. Namun nama kakak anakmas adalah jaminan bagi kami, bahwa kabar yang anakmas bawa pasti kabar yang penting”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya dengan bangganya. Demikian berpengaruhnya nama kakaknya itu, sehingga pengaruh nama itu melimpah pula kepadanya.
“Marilah ngger” ajak Demang Sangkal Putung.
“Biarlah adi Widura dibangunkan apabila kabar itu memang penting”
Agung Sedayu pun kemudian berjalan mengikuti Ki Demang Sangkal Putung itu. Mereka berjalan melintas halaman yang luas menuju kependapa. Meskipun demikian Sedayu merasa bahwa dua orang berjalan di belakangnya.
“Rumah ini adalah rumahku” berkata Demang itu lirih,
“Dan kademangan ini adalah kademangan yang subur. Karena itu Pajang menganggap penting untuk menempatkan adi Widura di sini meskipun daerah ini jauh dari garis pertempuran. Apalagi setelah pasukan Jipang cerai berai”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun ia tidak menjawab.
“Sayang” demang itu meneruskan,
“Persoalan antara Jipang dan Pajang harus diselesaikan dengan pertumpahan darah. Sebenarnya adipati Jipang itu pun tidak sejahat yang kita sangka. Namun sayang. Orang-orang di sekitarnya adalah orang-orang yang tamak dan haus akan kekuasaan. Mereka membakar hati Arya Jipang yang memang agak mudah menyala, dengan hasutan-hasutan. Akhirnya Arya Jipang harus menebus ketergesa-gesaannya dengan jiwanya. Dan orang-orangnya menjadi putus asa dan liar”.
Demang itu berhenti sejenak, kemudian meneruskan,
“Sekarang kita lihat, dendam menyala dimana-mana. Dapatkah angger mengatakan, siapakah yang bersalah kalau seandainya dua orang bersaudara terpaksa bertempur dan saling membunuh karena mereka berada di pihak yang berlainan?”
Agung Sedayu berdiam diri. Tak tahu ia bagaimana harus menanggapi kata-kata demang Sangkal Putung itu. Tetapi di dalam hatinya pun timbul pertanyaan,
“Kenapa kita mesti bertengkar?” Apalagi bagi Agung Sedayu, pertengkaran adalah perbuatan yang mengerikan.


Halaman 1 2 3


<<< Pengantar                                                                                                    Jilid 002 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar