“Untara” ulang Ki Tanu Metir,
“Untara, o,
adakah engkau Angger Untara putera Ki Sadewa?”
“Ya Ki Tanu”
jawab Untara dengan suara gemetar.
Ki Tanu Metir
segera mengenal suara itu. Suara seseorang yang sedang mengalami cedera. Karena
itu dengan tergesa-gesa orang tua itu berjalan ke arah pintu. Terdengar suara
telumpahnya diseret di atas lantai tanah.
Sesaat
kemudian pintu bambu itu bergerit, dan muncullah dari celah-celahnya seorang
tua bertubuh sedang. Rambutnya telah hampir seluruhnya menjadi putih. Alisnya
yang tumbuh jarang-jarang di atas sepasang matanya telah memutih pula. Dahinya
terbuka lebar, serta di bawahnya memancar sepasang mata yang tajam bening. Ketika
ia melihat Untara dipapah adiknya, orang tua itu terkejut dan terloncatlah dari
mulutnya,
“Kau terluka
ngger? Marilah” Ki Tanu Metir mempersilahkan,
“duduklah”
biarlah aku mencoba melihat luka itu.”
Untara berlega
hati. Ia tak perlu memintanya. Orang tua itu telah berusaha untuk menolongnya
atas kemauan sendiri.
Segera orang
tua itu menuntun Untara dan dipersilahkan duduk di atas bale-bale bambu.
Katanya kepada Sedayu,
“Tolong ngger
peganglah celupak ini, mataku telah menjadi kurang baik”
Sedayu pun
segera melangkah mengambil lampu minyak kelapa dan membawa ke dekat kakaknya.
Sementara itu Ki Tanu telah sibuk membuka pembalut luka di pundak Untara. Ketika
Ki Tanu melihat luka yang menganga itu, ia menggelengkan kepalanya, gumannya,
“Hem, luar
biasa”
“Apa yang luar
biasa?” desis Untara.
“Tubuhmu
sangat tahan ngger”. Sudah berapa darah yang tertumpah. Angger masih tetap
sadar. Marilah, bersandarlah supaya angger tidak terlalu lelah.”
Untara segera
bersandar pada setumpuk bantal. Terasa tulang-tulangnya seperti dilolosi.
Sebentar-sebentar matanya terkatub dan perasaannya seperti hilang-hilang
datang. Karena itu segera Untara memusatkan segenap kekuatan betinnya untuk
bertahan. Sementara Ki Tanu Metir memelihara luka itu, tiba-tiba terbersit
kembali dalam pikiran Untara,
“Widura harus
diselamatkan”
Tetapi
kemudian disadarinya keadaan diri. Dengan demikian Untara hanya dapat menarik
nafas untuk mencoba menentramkan hatinya yang bergolak.
Sambil
mengusapi luka Untara dengan reramuan daun-daunan Ki Tanu bertanya,
“Agaknya
angger berdua menjumpai bahaya di perjalanan.”
“Ya” jawab
Untara singkat
“Penyamun?”
bertanya Ki Tanu pula
Untara
menggeleng lemah,
“Bukan”
jawabnya,
“sisa-sisa
laskar Adipati Jipang”
“Hem, guman Ki
Tanu,
“mereka
berkeliaran di tempat ini.”
“Di sini?”
Untara terkejut mendengarnya.
“Ya,di sekitar
tempat ini” jawab Ki Tanu.
Untara diam
sejenak. Nafasnya menjadi kian sesak. Namun darahnya sidah tidak mengalir lagi
dari lubang lukanya.
“Salah satu di
antara mereka adalah pande besi dari Sendang Gabus” berkata Untara lirih.
“Ya, mereka
itulah” sahut Ki Tanu
“segerombolan
orang-orang yang putus asa. Adakah angger bertemu dengan pande besi itu?”
“Ya” jawab
Untara
“Sendiri?”
“Tidak. Mereka
mencegat jalan di ujung hutan. Berempat”.
“Angger
berdua” potong Ki Tanu.
“Ya” jawab
Untara. Tetapi Sedayu segera menundukkan wajahnya.
“Sungguh luar
biasa. Angger berdua berhadapan dengan empat orang yang bengis. Pande besi itu
terkenal di daerah ini” berkata Ki Tanu seterusnya,
“Bagaimana
dengan mereka? Dan siapa sajakah mereka itu”
Untara menarik
nafas dalam-dalam. Lukanya sudah tidak terlalu pedih. Tetapi tenaganyalah yang
terasa semakin susut. Karena itu ua menjawab singkat,
“Aku belum
kenal mereka”
“O” Ki Tanu
pun segera menyadari keadaan tamunya, maka segera ia menyelesaikan
pekerjaannya. Baru kemudian ia duduk di samping Agung Sedayu dan dibiarkannya
Untara meristirahat bersandar setumpuk bantal.
“Bagaimanakah
lawanmu yang tiga orang angger?” bertanya Ki Tanu kepada Sedayu.
Sedayu menjadi
bingung. Sebenarknya ia malu mendengar pertanyaan itu, Tetapi akhirnya ia
menjawab,
“Seorang tinggi
kekurus-kurusan”
“Sebenarnya ia
orang lugu” potong Ki Tanu,
“Sayang ia
terlalu mudah terpikat. Namanya Tumida”
“Yang seorang
tinggi besar” sambung Sedayu.
“Aku belum
mengenalnya” gumam Ki Tanu.
“Yang seorang
lagi masih muda” Sedayu meneruskan.
“Sebaya angger?”
bertanya Ki Tanu.
“Kira-kira”
Sedayu mengangguk.
“Alap-alap
Jalatunda” desis Ki Tanu,
“Anak itu ikut
serta?”
“Ya” jawab
Sedayu, namun dadanya bergetar. Nama Alap-alap Jalatunda pernah didengarnya.
Mendengar nama
itu Untara terperanjat pula. Desisnya,
“Jadi anak
itukah yang disebut Alap-alap Jalatunda. Pantas ia lincah dan cerdas”
“Ya” sahut Ki
Tanu,
“Nama itu
timbul sesudah laskar Penangsang pecah. Pande besi dan Alap-alap Jalatunda
menjadi terkenal. Mereka bersarang di Karajan”.
“Di Karajan?”
ulang Untara heran,
“Di samping
Jati Anom?”
“Ya” jawab Ki
Tanu.
Untara
kemudian termenung. Kalau demikian mereka bukan bagian dari laskar yang akan
memukul Sangkal Putung. Dengan demikian Untara menjadi sedikit berlega hati.
Namun kecemasannya yang lain segera timbul. Kalau demikian maka mereka segera
akan datang kembali dengan kawan-kawan baru mereka menjelajahi tempat ini untuk
mencarinya. Ketia ia sedang berangan-angan terdengar Ki Tanu bertanya kepada
Sedayu,
“Mereka itukah
yang melukai angger Untara?”
“Ya” jawab
Sedayu.
Ki Tanu
mengangguk-angguk, kemudian seperti orang terbangun daru tidurnya ia bertanya,
“Lalu siapakah
angger ini?”
“Sedayu” jawab
Sedayu, “adik kakang Untara”
“Pantas,
pantas” orang tua itu mengangguk-angguk,
“Kalian
menjadi seakan-akan sepasang burung rajawali yang perkasa. Kalau tidak, tidak
akan kalian dapat melawan Pande besi dan Alap-alap Jalatunda sekaligus. Apalagi
bersama kedua kawan-kawannya yang lain. Lalu bagaimana dengan mereka? Adakah
mereka mengejar kalian?”
Sekali lagi Sedayu
menundukkan wajahnya. Kemudian perasaan malu merayapi dadanya. Telinganya
menjadi gatal mendengar orang tua itu menyebut mereka berdua seperti sepasang
burung rajawali. Tetapi sejalan dengan itu Sedayu menjadi semakin kagum kepada
kakaknya. Bukankah kakaknya sendiri dapat melawan mereka berempat, dan membunuh
tiga di antaranya. Maka segera ia menjawab dengan bangga,
“Tiga di
antaranya terbunuh, Anak muda yang bernama Alap-alap Jalatunda itu melarikan
diri”.
“Luar biasa,
luar biasa” gumamnya. Diamat-amatinya Untara yang bersandar sambil memejamkan
matanya. Perlahan-lahan orang tua itu mengusap keningnya sambil berdesis,
“Nama Untara
benar-benar cemerlang. Kini akan tumbuh nama baru di sampingnya, Sedayu”
Agung Sedayu
menggigit bibirnya. Ia tidak berani memandangi wajah kakaknya yang menjadi kian
pucat. Kalau saja ia mampu berbuat seoerti yang dikatakan orang tua itu, maka
kakaknya pasti tidak akan terluka. Karena itu tiba-tiba tanpa disengajanya,
Sedayu memandang kepada dirinya. Seorang penakut yang tidak ada bandingnya.
Pada saat kakaknya berjuang untuk menegakkan Pajang, ia hanya dapat bersembunyi
di rumah pamannya di Banyu Asri. Pada saat anak-anak muda memandi senjata, yang
dilakukan tidak lebih daripada membantu ibunya menanak nasi dan membelah kayu.
Tidak lebih daripada itu. Sedayu memejamkan matanya. Tetapi seakan-akan
bayangan masa lampaunya menjadi semakin jelas. Dikenangknya kembali masa
kanak-kanaknya. Ayah dan ibunya terlalu menanjakannya setelah dua orang
kakaknya yang lain, adik-adik Untara, meninggal pada umurnya yang tidak lebih
dari empat dan enam tahun. Karena mereka takut kehilangan Agung Sedayu pula,
maka mereka memeliharanya agak berlebih-lebihan. Agung Sedayu menyadari
semuanya itu. Tetapi semuanya sudah lampau. Agung Sedayu terkejut ketika ia
mendengar kakaknya berkata,
“Sedayu, Aku
tidak mampu untuk bangkit berdiri. Bagaimanakah dengan paman Widura?”
Sedayu tidak
tahu, bagaimana ia harus menjawab pertanyaan itu, karena itu ia berdiam diri.
“Jangan pikirkan
yang lain” potong Ki Tanu,
“berisitirahatlah”
Untara
berdesis menahan perasaan-perasaan yang bergumal di dalam dadanya, perasaan
cemas dan bingung. Akhirnya terdengar ia berkata perlahan-lahan,
“Sedayu. Hanya
engkaulah yang aku harapkan untuk menolong menyelamatkan paman Widura”
Sedayu
terkejut mendengar kata-kata itu. Dengan tergagap ia bertanya,
“Apa yang
harus aku lakukan?”
“Kau pergi ke
Sangkal Putung” desis Untara.
Agung Sedayu
menjadi berdebar-debar. Benarkah kakaknya menyuruhnya ke Sangkal Putung?
Sebelum ia bertanya terdengar Untara berkata pula,
“Agung Sedayu,
aku tidak tahu lagi, bagaimana aku harus melindungimu. Di sini dan di
perjalanan ke Sangkal Putung akan sama saja bahayanya. Bahkan mungkin bahaya
itu akan datang kemari lebih dahulu. Sebab orang-orang Alap-alap Jalatunda
pasti kan mencari aku. Kalau benar sarang mereka di Karajan, maka mereka pasti
akan sampai ke tempat ini. Mereka pasti memperhitungkan bahwa kita akan datang
kemari. Dan mencobanya mencari”
“Tetapi
Sangkal Putung tidak terlalu dekat” potong Sedayu terbata-bata.
“Jalannya
gelap dan licin. Dan bagaimanakah kalau aku bertemu dengan Alap-alap
Jalatunda?”
“Anak itu akan
kembali ke Karajan, sedang kau akan pergi ke selatan. Kalau kau ingin menempuh
jalan yang paling aman, meskipun agak jauh, pergilah menyusur Kali Sat,
kemudian kau akan sampai Sangkal Putung dari arah barat”.
Mulut Agung
Sedayu terasa menjadi beku. Perjalanan ke Sangkal Putung benar-benar tidak
menyenangkan. Ia menyesal kenapa ia ikut dengan kakaknya. Kalau ia berada di
rumah, maka keadaannya pasti akan lebih baik. Ki Tanu melihat Agung Sedayu
dengan keheran-heranan.. Katanya ragu-ragu,
“Sebenarnya
aku tidak tahu mengapa angger harus pergi ke Sangkal Putung. Namun aku melihat
sesuatu yang tidak aku duga. Kalau perjalanan ke Sangkal Putung memang penting,
kenapa Angger Sedayu berkeberatan? Dan apa pula keberatannya kalau angger
bertemu dengan dengan Alap-alap Jalatunda?”
Agung Sedayu
benar-benar menjadi bingung. Bahkan Untara pun tak tahu, bagaimana menjawab
pertanyaan Ki Tanu Metir itu. Karena itu sesaat kemudian suasana menjadi beku.
Yang terdengar kemudian adalah suara Ki Tanu pula,
“Bukankah
Angger Sedayu berdua dengan angger Untara mampu menghadapi Alap-alap Jalatunda
itu sekaligus dengan Pande besi Sendang Gabus? Bukankah pade besi itu bahkan
terbunuh bersama-sama dengan dua kawannya lagi?”
“Angger
Sedayu, dalam gerombolan itu tak ada seorang pun yang melampaui kesaktiannya
dari si pande besi yang tamak itu. Karena itu jangan takut dengan Alap-alap
Jalatunda”
Mulut Sedayu
seakan-akan tersumbat. Nafasnya terdengar meloncat satu-satu, namun dadanya
terasa sesak.
Sedang Untara
masih duduk bersandar tumpukan bantal. Matanya kadang-kadang terbuka, tetapi
kadang-kadang terpejam. Dalam kekelaman pikiran itu Untara benar-benar menjadi
bingung. Ia hampir-hampir tidak tahu apa yang sebaiknya dilakukan. Dengan
sisa-sisa kesadarannya yang masih ada, Untara membuat perhitungan-perhitungan.
Akhirnya ia mendapat kesimpulan bahwa Agung Sedayu lebih aman di perjalanan ke
Sangkal Putung daripada tinggal di dukuh Pakuwaon. Didorong pula oleh rasa
tanggung jawab terhadap Widura, maka kemudian ia berkata perlahan-lahan namun
penuh kepastian,
“Agung Sedayu,
tinggalkan tempat ini sebelum Alap-alap Jalatunda datang mencabut nyawa kita.
Pergilah ke Sangkal Putung dan temuilah paman Widura”
Jantung Agung
Sedayu terasa berdentangan. Dengan suara gemetar ia mencoba membantah perintah
itu,
“Kalau aku
bertemu dengan mereka, bukankah kepergianku tidak ada gunanya?”
“Tidak, kau
tidak akan bertemu dengan mereka. Aku sudah pasti” jawab Untara,
“Tempuhlah
jalan barat”
“Bagaimana
dengan tikungan Randu Alas?” Sedayu menjadi semakin cemas.
“Omong kosong
dengan gendoruwo mata satu” Untara hampir membentak,
“Pergilah”
Bibir Agung
Sedayu tampak bergerak-gerak namun tak sepatah kata pun terloncat dari
bibirnya, bahkan akhirnya matanyalah yang berkaca-kaca.
Ki Tanu masih
belum dapat mengerti, kenapa Agung Sedayu tiba-tiba menjadi ketakutan. Tetapi
sebelum ia bertanya lagi terdengar suara Sedayu mengiba-iba tanpa malu-malu,
“kakang, aku
takut”
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mengerti kini, siapakah sebenarnya Untara
dan bagaimanakah dengan Sedayu. Karena itu ia pun berdiam diri. Tiba-tiba orang
tua itu terkejut ketika Untara berkata dengan keras sambil meraba hulu kerisnya
dengan tangannya yang lemah,
“Sedayu,
pergilah! Kalau kau tidak mau pergi juga, biarlah kau memilih mati karena kau
berbuat seperti seorang laki-laki atau mati karena kerisku sendiri”
“Kakang”
Sedayu hampir menjerit. Namun wajah Untara seolah-olah telah menjadi beku.
Seakan-akan
suara adiknya tidak didengarnya. Bahkan dengan mata terpejam Untara berkata
pula,
“Bagiku
Sedayu, daripada kau mati ketakutan selama Alap-alap Jalatunda itu nanti
mencekikku, lebih baik kau mati dengan luka senjata di dadamu”
Tubuh Sedayu
benar-benar menggigil. Jantungnya berdentangan seperti guruh yang menggelegar
di dalam rongga dadanya. Sementara itu Ki Tanu Metir berkata dengan
terbata-bata,
“Angger
Untara, apa yang akan angger lakukan itu?”
“Kalau Sedayu
tidak mau pergi, akan aku bunuh dia” desisnya.
“Angger” Ki
Tanu Metir mencoba menenangkannya,
“jangan
berkata begitu”
Untara tidak
menjawab, namun terdengar ia menggeram.
Akhirnya
berkatalah Ki Tanu Metir,
“Angger
Sedayu, kakangmu telah menentukan apa yang akan dilakukan. Karena itu sebaiknya
angger pergi. Bukankah puncak ketakutan angger itu adalah maut. Dan maut itu
berada dalam gubug ini. Kalau angger pergi ke Sangkal Putung, belum pasti
angger bertemu dengan maut itu. Seandainya demikian, maka maut di perjalanan
itu akan jauh lebih baik daripada maut yang akan menerkam angger di sini. Baik
itu dilakukan oleh angger Untara, mau pun dilakukan Alap-alap yang gila itu,
yang pasti akan jauh mengerikan lagi”
Kepala Sedayu
tiba-tiba menjadi pening. Berdesak-desakanlah perasaan yang bergumul di dalam
dadanya. Maut terlalu mengerikan. Dan maut itu tiba-tiba saja kini hadir di
hadapannya. Sehingga seperti seorang perempuan cengeng Sedayu membiarkan
dirinya hanyut dalam perasaannya tanpa malu. Sedayu menutup wajahnya dengan
kedua tangannya. Dan terdengar suaranya gemetar,
“Adakah kakang
berkata sebenarnya”
“Akan
kulakukan apa saja yang telah aku katakan, Sedayu” suara Untara lirih namun
pasti,
“Tinggalkan
tempat ini segera. Aku sudah muak melihat kau merengek-rengek seperti bayi”
Dada Agung
Sedayu hampir meledak mendengar kata-kata itu. Namun mulutnya bahkan menjadi
terkunci. Seperti patung ia tidak bergerak, sampai kakaknya membentaknya,
“Pergi
sekarang juga!”
Perlahan-lahan
Sedayu berdiri. Kakinya hampir-hampir tidak kuat lagi menahan berat tubuhnya.
Tetapi ia takut. Takut kepada kakaknya. Takut kalau kakaknya akan membunuhnya.
Dan ketakutannya itu begitu menekan dadanya, sehingga melampaui ketakutannya
atas kegelapan malam diluar dan tikungan randu alas. Karena itu meskipun
hayatnya serasa telah terbang meninggalkan tubuhnya, Sedayu berjalan juga
menuju kepintu. Ketika Ki Tanu Metir mendahuluinya, dan membuka pintu untuknya,
orang tua itu mendengar Sedayu menahan isak di dadanya. Maka bisiknya
menghibur,
“angger,
serahkan jiwa dan ragamu kepada yang memilikinya. Kalau sudah saatnya akan
diambilNya, maka berlakulah kehendakNya meskipun angger berperisai baja. Namun
kalau angger akan disingkirkan dari bencana, maka berlakulah pula kehendak Nya
itu. Karena itu jangan takut”.
Agung Sedayu menganggukkan
kepalanya, namun ketakutan yang mencekamnya tidak juga mau meninggalkannya. Di muka
pintu sekali lagi ia menoleh kepada kakaknya. Tetapi kakaknya memejamkan
matanya. Karena itu Sedayu melangkah terus. Di luar dilihatnya kuda kakaknya.
Dengan gemetar ia melangkah kepunggung kuda itu.
“Selamat jalan
ngger” desis Ki Tanu Metir. Aging Sedayu tidak menjawab. Namun kepalanya
terangguk. Dengan hati yang kosong ia menarik kekang kudanya, dan ketika kuda
itu bergerak menyusup kedalam malam yang pekat, maka Sedayu merasa seakan-akan
dirinya telah menyusup kedaerah maut. Akhirnya ketika Sedayu sadar, bahwa
perjalanan itu harus dilakukannya, maka segera ia memacu kudanya dengan mata
yang hampir terpejam. Setiap kali ia membuka matanya, setiap kali dadanya berdesir.
Di malam yang gelap itu selalu dilihatnya seakan-akan bayangan-bayangan hitam
menghadangnya di perjalanan. Namun ia sudah tidak dapat lagi berpikir. Karena
itu ia tidak mau lagi melihat apa pun yang berada di perjalanan itu.
Ketika Sedayu
telah hilang di balik kekelaman malam, Ki Tanu Metir menutup pintunya kembali.
Kemudian perlahan-lahan ia mendekati Untara yang lesu. Dan terdengarlah ia
bertanya,
“Kenapa hal
itu angger lakukan?”
Untara menarik
nafas dalam-dalm. Terdengar ia bergumam,
“Mudah-mudahan
Tuhan melindunginya”
Ki Tanu Metir
duduk perlahan-lahan di samping Untara. Ia mengangguk-angguk kecil ketika
terdengar gumam Untara pula,
“Kasihan
Sedayu”
“Tetapi
bukankah angger menghendakinya?” bertanya orang tua itu.
“Aku hanya
ingin supaya Sedayu meninggalkan rumah ini dan sekaligus aku ingin paman Widura
melindunginya, selain keselamatan laskar paman Widura sendiri. Paman Widura
kenal anak itu” jawab Untara.
Kembali Ki
Tanu metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Tahulah ia sekarang bahwa Untara sama
sekali tak bersungguh-sungguh dengan ancamannya.
“Anak itu
benar-benar keterlaluan” berkata Untara pula,
“Aku hanya
menakut-nakutinya, supaya ia mau pergi. Ketakutan hanya dapat dikalahkan dengan
ketakutan yang lebih besar. Dan aku sudah berhasil mengusirnya. Mudah-mudahan
ia selamat” Untara berhenti sejenak, kemudian terdengar ia meneruskan dengan
susah payah,
“Bukankah
lebih baik Ki Tanu Metir menyingkirkan aku pula sebelum Alap-alap Jalatunda
datang kemari?”
“Tidak angger,
tidak” sahut orang tua itu cepat-cepat,
“Angger
memerlukan perawatanku di sini”
“Tetapi” jawab
Untara,
“kalau hal itu
membahayakan ki Tanu? Kalau mereka datang kemari, dan ditemuinya aku di sini,
maka tidak saja aku yang akan dibunuhnya, tetapi Ki Tanu akan diganggunya pula”
“Jangan berpikir
tentang aku” berkata Ki Tanu Metir,
“Luka angger
agak parah, Aku sedang mencoba untuk mengobatinya”
Untuk sesaat
keduanya terdiam. Ketika Untara mendengar derap kuda di halaman, hampir saja ia
berteriak memanggil adiknya itu kembali, tetapi segera ia mempergunakan akal
dan perhitungannya untuk melawan perasaannya.
“Kalau
Alap-alap Jalatunda itu tidak datang kemari, dan Sedayu menemui bencana dalam
perjalanannya, akulah yang bertanggung jawab” katanya dalam hati. Dan Untara
sadar, apabila terjadi demikian maka peristiwa itu pasti akan menyiksanya
seumur hidup. Ia akan kehilangan adiknya dan sekaligus ia sama sekali tidak
berhasil menyelamatkan Widura dan laskarnya. Tetapi kalau Alap-alap Jalatunda
yang bengis itu benar-benar datang ke rumah itu bersyukurlah ia, meskipun
nyawanya sendiri pasti akan melayang. Namun ia telah berhasil untuk terakhir
kalinya menyelamatkan adiknya. Tetapi kemungkinan yang lebih jelek lagi,
Alap-alap Jalatunda itu berpapasan dengan adiknya, dan adiknya itu dibunuhnya
setelah anak itu menunjukkan tempatnya, kemudian Alap-alap itu datang
membunuhnya.
“Aku telah
berusaha” pikir Untara. Segalanya akan mungkin terjadi. Untara menarik nafas
dalam-dalam. Dengan penuh kepercayaan kepada kekuasaan Tuhan, Untara berhasil
menenangkan dirinya. Bahkan ia berdoa semoga kemungkinan yang paling baiklah
yang terjadi. Agung Sedayu selamat sampai Sangkal Putung dan Alap-alap
Jalatunda tidak datang kepondok itu.
Tetapi Untara
terkejut ketika didengarnya bentakan-bentakan kasar jauh di tikungan jalan.
Ketika ia membuka matanya, dilihatnya Ki Tanu Metir berdiri dengan gelisah.
“Suara apakah
itu Ki Tanu?” bertanya Untara lemah.
Ki Tanu Metir
tidak segera menjawab. Dicobanya untuk menangkap setiap kata-kata kasar dan
keras yang memecah kesepian malam itu. Lamat-lamat terdengar suara itu,
“Dimana he,
dimana rumah dukun itu?”
Tak terdengar
jawaban, namun terdengar seseorang mengaduh perlahan-lahan. Sesaat kemudian
terdengar bentakan,
“Kalau kau tak
mau mengatakan, maka kaulah yang akan kami bunuh”
“Ampun” sahut
suara yang lain,
“aku hanya
mendengar suara kuda berderap”
“Gila, aku
tidak bertanya apakah kau mendengar suara kuda itu. Tunjukkanlah rumah Tanu
Metir. Orang itu akan mengatakan segala-galanya dan kau akan aku lepaskan”
teriak yang lain.
Kembali tak
terdengar jawaban, dan kembali terdengar suara kasar dan beberapa buah pukulan.
Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya. Desisnya,
“Orang itu
tidak mau menunjukkan rumah ini”
“Kasihan”
geram Untara. Terdengar giginya gemeretak menahan marah. Tetapi tubuhnya sudah
terlalu payah.
“Ki Tanu”
katanya kemudian,
“Biarlah
mereka menemukan aku. Maka nyawa orang itu dan mungkin nyawa Ki Tanu dapat
diselamatkan”
“Apakah arti
nyawa-nyawa kami” jawab Ki Tanu Metir,
“angger adalah
salah seorang yang sangat berguna, sedang kami adalah orang-orang yang tak
berarti”
Untara terharu
mendengar jawaban itu. Ternyata bahwa jiwa kepahlawanan tidak saja berkobar di
dalam dada para prajurit yang dengan senjata di tangan mempertaruhkan nyawanya
demi pengabdiannya kepada tanah kelahiran dan kebenaran yang diyakininya,
tetapi di dalam dada orang tua itu pun ternyata menyala api kepahlawanan yang
tidak kalah dahsyatnya. Melampaui keteguhan hati seorang prajurit dengan
senjata di tangan menghadapi lawannya dalam kemungkinan yang sama, membunuh
atau dibunuh. Tetapi orang tua itu, seorang dukun yang hidup di antara para
petani yang sederhana, telah menantang maut dengan perisai dadanya, kulit
dagingnya.
Untara
menggeleng lemah,
“Tidak”
katanya,
“sudah
sewajarnya seorang prajurit mati karena ujung senjata, namun tidak seharusnya
aku berperisai orang lain untuk keselamatanku. Karena itu biarlah mereka
menemukan aku di sini. Selagi sempat, biarlah Ki Tanu Metir menyelamatkan
diri”.
“Ini adalah
rumahku” jawab Ki Tanu Metir,
“Kalau aku
lari sekarang, maka ke rumah ini pula aku akan kembali, dan orang-orang itu
akan dapat menemukan aku di sini. Tak ada gunanya”
Sekali lagi
Untara menarik nafas. Sebelum sempat ia menjawab berkatalah Ki Tanu Metir,
“Angger,
kenapa kita tidak berusaha menyelamatkan diri kita berdua? Angger akan aku
sembunyikan. Kalau-kalau orang-orang yang gila itu datang kemari, dan tidak
menemukan angger maka aku pun akan selamat pula”
“Hem” Untara
menggeram. Belum pernah ia berpikir untuk menyembunyikan diri pada saat
musuhnya datang. Tetapi kali ini keadaannya jelek sekali. Bahkan tubuhnya
semakin lama menjadi semakin lemah, meskipun darahnya tidak lagi mengalir.
“Mungkinkah
itu” terdengar suara Untara lirih, sedang di tikungan bentakan-bentakan kasar
masih terdengar.
“Marilah
angger aku sembunyikan di sentong kiri. Aku timbuni angger dengan ikatan
bulir-bulir padi”. Ki Tanu Metir tidak menunggu Untara menjawab. Segera ia
mencoba menolongnya berdiri. Untara takut kalau-kalau mereka berdua akan roboh,
tetapi agaknya Ki Tanu yang tua itu masih cukup kuat untuk memapahnya. Di
sentong kiri, Ki Tanu Metir segera membongkar timbunan bulir-bulir padi.
Perlahan-lahan Untara ditolongnya masuk ke dalam sebuah bakul yang besar,
“Melingkarlah
di situ ngger, dan berusahalah untuk dapat bernafas” berkata Ki Tanu Metir.
Kembali Untara
menggeram, Namun ia mengharap bahwa dengan demikian, ia dan sekaligus Ki Tanu
Metir dapat diselamatkan. Lusa apabila luka di bahunya itu sudah sembuh, ia
akan datang kembali untuk bertemu dengan Alap-alap Jalatunda. Dengan
tergesa-gesa Ki Tanu segera menimbuni Untara dengan ikatan bulir-bulir padi.
Seikat demi seikat dengan hati-hati. Di dalam bakul yang besar itu Untara
memejamkan matanya. Terasa nafasnya menjadi semakin sesak. Namun ia masih dapat
bernafas. Demikian Ki Tanu selesai dengan pekerjaannya, terdengar pintu
rumahnya diketuk keras-keras, dan terdengarlah suara kasar memanggilnya,
“mbah dukun,
buka pintumu”
Untara menjadi
berdebar-debar. Ternyata Alap-alap Jalatunda atau orang-orangnya benar-benar datang.
Meskipun demikian ia masih dapat mengucap syukur karena adiknya telah pergi. Untuk
sesaat Ki Tanu Metir berdiri dengan tegang. Ia tidak segera beranjak dari
tempatnya sehingga terdengar kembali pintu rumahnya dipukul keras-keras,
“He, buka
pintu Ki Tanu”
Ki Tanu tidak
mungkin untuk mengelak lagi. Karena itu dengan terbata-bata ia berteriak dari
sentong kiri,
“Ya, ya
tunggu. Aku sudah bangun”
Tersuruk-suruk
Ki Tanu Metir bergegas pergi ke pintu, dengan menyeret telumpah dikakinya.
Sementara itu kembali terdengar pintunya hampir berderak patah,
“Aku tidak
sempat menunggu” terdengar suara di belakang pintu.
“Ya, ya” sahut
orang tua itu,
“aku sedang
berjalan”
Sesaat
kemudian Ki Tanu Metir telah membuka pintunya. Demikian pintu itu menganga,
beberapa orang dengan senjata di tangan berloncatan masuk. Dua orang yang lain
memasuki rumah itu sambil mendorong-dorong seorang yang bertubuh kecil pendek.
“Kaukah itu
Kriya” terloncat dari mulut Ki Tanu Metir. Orang itu menyeringai ketakutan.
Jawabnya,
“Ya kiai, aku
diseretnya ketika aku sedang melihat air di parit. Aku sangka karena hujan yang
lebat ini, parit-parit akan banjir. Waktu aku sedang menutup pematang,
datanglah orang-orang ini”
“Tak usah
mengigau” bentak salah seorang dari mereka,
“Monyet itu
tidak kembali ke Jati Anom. Mereka pasti kemari untuk mengobati lukanya”
“Siapa?”
berkata Ki Tanu Metir.
Seorang anak
muda di antara mereka perlahan-lahan melangkah mendekati Ki Tanu Metir,
“Hem”
geramnya,
“Kita telah
berkenalan kiai, namun baru hari ini aku sempat mengunjungi rumahmu”
“Ya, ya
angger, aku pernah mengenal nama angger. Bukankah angger Alap-alap Jalatunda?”
“Siapakah yang
memberi aku gelar demikian” bertanya anak muda itu. Namun terasa pada nada
kata-katanya betapa ia bangga mendengar sebutan itu.
“Aku tidak
tahu” sahut Ki Tanu Metir,
“Mungkin
karena kedahsyatan angger, maka dengan sendirinya nama itu tumbuh”
Anak muda itu
tertawa lirih. Kemudian katanya,
“Bagus. Kalau
kau sudah mengenal aku maka jangan sekali-sekali mengganggu pekerjaanku”
“Tidak ngger,
tidak” sahut Ki Tanu cepat-cepat,
“aku pasti
akan membantu angger”
Di sentong
kiri, Untara masih dapat mendengar semua percakapan itu. Karena itu ia menjadi
semakin berdebar-debar ketika didengarnya nama Alap-alap Jalatunda. Anak itu
bukan lawan yang berat baginya. Tetapi dalam keadaannya kini, maka tak ada yang
dapat dilakukan. Meskipun demikian, dibelainya juga hulu kerisnya. Tangan yang
pertama menyentuhnya, pasti akan digoresnya dengan keris itu. Dan ia yakin,
setiap goresan ditubuh lawannya, betapa pun kecilnya, akibatnya adalah maut.
Warangan yang keras dikerisnya itu benar-benar sangat berbahaya, apabila tidak
segera dapat penawarnya. Sebentar kemudian Untara mendengar Alap-alap Jalatunda
berkata,
“Ki Tanu, aku
sedang mencari seseorang. Ia terluka ketika ia mencoba melawan aku. Adakah
seseorang datang kemari untuk berobat?”
Ki Tanu Metir
berdiam diri sesaat. Ia sedang mencoba mencari jawaban atas pertanyaan itu.
Tetapi karena itu maka Alap-alap muda itu membentaknya,
“Jawab
pertanyaanku”
Ki Tanu Metir
menggeleng, jawabnya,
“tidak ngger,
tak seorang pun datang kemari”
Alap-alap
Jalatunda tertawa. Katanya,
“Kiai adalah
seorang dukun yang terkenal. Orang yang terluka itu pasti pernah mendengarnya.
Karena itu ia mesti datang kemari. Apakah untung rugimu kalau kau sebut dimana
dia sekarang?”
“O, angger
benar. Tak ada untung ruginya kalau aku menyebut tempatnya, kalau aku
mengetahuinya. Tetapi siapakah orang itu?” bertanya Ki Tanu Metir.
“Jangan
berpura-pura. Orang itu bernama Untara. Sangat berbahaya bagi kami dan bagi
kalian” jawab Alap-alap Jalatunda.
“Hem. Untara”
ulang Ki Tanu Metir.
“Tak seorang
pun datang kemari sehari ini”
“Baru beberapa
saat. Aku telah melukai pundaknya. Jangan bohong” bentak anak muda itu.
“Aku tidak
berbohong ngger” jawab Ki Tanu.
Pandangan mata
Alap-alap Jalatunda itu menjadi tajam, benar-benar seperti mata burung
alap-alap. Selangkah ia maju mendekati Ki Tanu Metir sambil berkata,
“Kau sudah
tua. Tidakkah kau ingin menikmati sisa-sisa hidupmu? Jawab pertanyaanku dimana
Untara kau sembunyikan”
Ki Tanu Metir
menjadi gemetar. Namun ia menjawab juga,
“Tak ada
ngger, benar-benar tak ada”
“Dengar Ki
Tanu” bentak anak muda itu,
“Aku bertemu
dengan anak itu di ujung hutan. Ia mencoba melarikan diri. Dalam perkelahian
seorang lawan seorang, aku telah melukainya. Kemudian Untara yang mempunyai
nama yang cemerlang itu bertempur berdua dengan kawannya. Karena mereka berdua
itulah maka mereka sempat melarikan diri. Nah katakan kepadaku, dimana dia
sekarang. Kawan-kawanku yang menyusuri jalan ke Jati Anom tidak menemuinya. Ia
pasti datang kemari”
“Tidak ngger”
jawab Ki Tanu,
“sungguh
tidak”
“He monyet
bungkik” teriak Alap-alap itu kepada Kriya,
“Jawab
pertanyaanku”
Kriya itu pun
didorongnya maju. Dan terdengarlah Alap-alap yang garang itu berteriak,
“Kau lihat
orang berkuda masuk ke dukuh Pakuwon”
“Aku dengar
derap kuda” sahut orang itu.
Tiba-tiba
sebuah pukulan bersarang di wajahnya, sehingga Kriya itu pun terpelanting
jatuh.
“Ampun”
mintanya.
“Kau lihat dua
orang di atas satu punggung kuda seperti katamu tadi di tikungan” teriak
Alap-alap itu.
Kriya terdiam.
Matanya memandangi Ki Tanu Metir, dan dari mata itu memancar kengerian yang tersangkut
dihatinya. Orang yang pendek kecil itu benar-benar berada dalam kesulitan. Ia
tidak dapat mengingkari penglihatannya, yang sudah terdorong dikatakannya di tikungan
ketika bertubi-tubi tangkai-tangkai senjata mengenai punggungnya. Tetapi ia
takut pula untuk menyebutnya sekali lagi di hadapan Ki Tanu Metir. Bukan karena
Ki Tanu Metir mempunyai kekasaran dan kebengisan seperti orang-orang itu, namun
karena Ki Tanu Metir adalah orang tua yang disegani dipadukuhan itu. Ki Tanu
Metir adalah seorang yang sangat baik bagi mereka. Apabila anak istri
orang-orang padukuhan itu sakit, maka Ki Tanu Metir pasti bersedia untuk
menolongnya. Pagi, sore, siang atau malam. Karena itu Kriya tidak sampai hati
untuk mengatakan apa yang dilihatnya, Sebab dengan demikian, maka akan
celakalah orang tua yang baik hati itu. Tetapi tiba-tiba dadanya berdesir
ketika Kriya melihat Alap-alap Jalatunda melangkah mendekatinya. Dengan
mengerutkan tubuhnya yang kecil itu, serta menutupi ubun-ubun di kepalanya
dengan kedua telapak tangannya ia memohon,
“Ampun”
Alap-alap
jalatunda tertawa. Seperti anak nakal yang tertawa-tawa melihat seekor anjing
ketakutan, ia memandangi Kriya yang kecil dan pendek itu,
“Kenapa kau
tak mau mengulangi kata-katamu. Kau takut kepada orang tua ini?” berkata anak
muda itu sambil menunjuk Ki Tanu.
Sekali lagi
Kriya memandangi wajah Ki Tanu Metir, wajah yang biasanya selalu bening, namun
kali ini pun tampak, betapa perasaan cemas sangat mengganggunya. Tiba-tiba
terdengarlah orang tua itu berkata perlahan-lahan,
“Kriya,
berkatalah sebenarnya”
Kriya tidak
segera mengetahui maksud Ki Tanu Metir. Karena itu untuk sesaat ia beragu,
sehingga terdengar Ki Tanu Metir berkata mengulangi,
“Katakanlah
apa yang kau ketahui kepada angger alap-alap Jalatunda”
Meskipun dengan
ragu-ragu, kemudian Kriya membuka mulutnya ketika ia mendengar Alap-alap
Jalatunda itu tertawa dan selangkah mendekatinya sambil menggerak-gerakkan ujung
pedangnya dimuka wajahnya,
“Ampun ngger,
Sebenarnya aku melihat orang berkuda itu”
“Hem, baru
sekarang kau katakan itu,” geram Alap-alap Jalatunda.
“Lalu?”
“Ya, dua ekor
kuda di atas punggung orang…..eh …..eh…., dua orang berkuda di atas satu
punggung kuda” sahut Kriya kebingungan.
Kemudian
Alap-alap Jalatunda itu memutar tubuhnya menghadap Ki Tanu Metir sambil tertawa
menyeringai. Katanya,
“Kau dengar
dukun tua, lidah si bungkik itu terputar-putar?”
“Aku dengar”
jawab Ki Tanu Metir,
“Tetapi adakah
seseorang yang masuk kepadukuhan ini pasti datang ke rumahku? Bagaimanakah
kalau orang itu sekedar lewat dan terus ke Glagah Legi atau ke Gedawung?”
Alap-alap
Jalatunda mengerutkan keningnya, namun jawabnya,
“Hanya di sini
tinggal seorang dukun yang ternama” Dan tiba-tiba mata Alap-alap itu menjadi
liar,
“Mana dia”
bentaknya, sehingga Kriya terkejut dan menggigil karenanya.
Untara yang
mendengar bentakan-bentakan itu pun menjadi gelisah. Apakah yang akan dilakukan
terhadap orang setua Ki Tanu. Tetapi Untara terkejut ketika jawabnya Ki Tanu
justru menjadi tenang,
“Angger, kalau
angger tidak percaya, silakan mencarinya”
Mata Alap-alap
Jalatunda yang liar itu beredar berkeliling ke segenap sudut, kemudian sekali
lagi ia berteriak,
“Bohong!”
Tiba-tiba di
antara mereka, di antara kawan-kawan Alap-alap Jalatunda itu terdengar
seseorang tertawa. Suaranya menggelegar dan jauh berbeda dengan suara Alap-alap
Jalatunda,
“He Alap-alap
kecil, agaknya kau terlalu baik hati. Jangan buang-buang waktu. Berpencarlah
dan cari di semua sudut rumah ini”
Ki Tanu Metir
terkejut mendengar suara itu. Demikian juga Untara. Orang yang menyebut, Alap-alap
Jalatunda dengan sebutan Alap-alap kecil itu pun pasti bukan orang kebanyakan.
Karena itu dada Untara menjadi semakin berdebar-debar. Alap-alap Jalatunda
sendiri mengerutkan keningnya. Kemudian sahutnya,
“Bagus”, dan kepada
anak buahnya ia berkata,
“Carilah orang
yang bernama Untara itu sampai ketemu. Suguhkan dia kepada tamu kita kakang
Plasa Ireng”
“Plasa Ireng”
Untara menyebut nama itu di dalam hati. Dan debar jantungnya pun menjadi
bertambah cepat, sejalan dengan tubuhnya yang bertambah lemah. Plasa Ireng
adalah orang yang benar-benar menakutkan. Ia adalah salah seorang prajurit
Jipang yang dipercaya. Seperti Arya Penangsang sendiri, Plasa Ireng adalah
seorang pemarah, dan bahkan Plasa Ireng memiliki sifat-sifat yang jauh lebih
bengis dari Arya Penangsang.
“Orang itu ada
di sini pada saat aku tak mampu menemuinya” pikir Untara. Seandainya Untara
tidak terluka, maka dengan penuh gairah Plasa Ireng itu akan disambutnya.
Tetapi keadaan Untara sedemikian buruknya, sehingga untuk berdiri pun agaknya
terlalu payah baginya, hanya karena darahnya terlalu banyak mengalir.
Sesaat
kemudian orang-orang Alap-alap Jalatunda itu memencar ke segenap sudut rumah Ki
Tanu Metir. Setiap lekuk-lekuk diperiksanya, bahkan sampai-sampai gledeg-gledeg
bambu pun dibukanya. Tetapi tak seorang pun mereka ketemukan. Sentong kanan,
tengah dan kiri pun mereka jenguk pula, bahkan dengan lampu di tangan mereka.
Namun di sentong-sentong itu mereka hanya melihat setumpuk bantal dan di
sentong kiri seonggok untaian padi di dalam bakul yang besar. Namun Untara tak
mereka temukan. Selagi mereka sibuk mencari-cari, kembali terdengar Plasa Ireng
terawa nyaring diluar pintu. Katanya,
“Kuda itu
telah kemari, tetapi aku melihat bekas kakinya meninggalkan tempat ini”
Alap-alap Jalatunda
pun segera meloncat keluar. Segera ia pun mengamat-amati bekas kaki-kaki kuda
itu di bawah cahaya oncor di tangan Plasa Ireng. Kemudian terdengar ia
memanggil,
“Bawa Kriya
kemari”
Kriya yang
pendek itu pun segera didorong keluar. Kemudian diseret mendekati alap-alap
Jalatunda yang masih terbungkuk-bungkuk mengamat-amati telapak-telapak kaki
kuda.
“Kriya bungkik..!”
teriak Alap-alap muda itu,
“Kau lihat
orang ini datang. Pasti kau lihat ia pergi”
“Ya, aku
lihat” jawab Kriya terbata-bata.
“Kenapa kau
tidak bilang sejak tadi? Kau sengaja mempermainkan kami?” bentak Alap-alap
Jalatunda sambil melekatkan ujung pedangnya pada perut Kriya yang kecil itu.
“Tidak,
tidak..” sauara Kriya hampir merintih.
“Atau kau
termasuk gerombolan orang yang bernama Untara itu?” desak Alap-alap Jalatunda
“Tidak…” sahut
Kriya.
“Jadi kenapa
kau lindungi dia?” desak anak muda itu. Ia harus dapat berlaku kasar, sekasar
Plasa Ireng.
“Aku tidak
tahu kalau kuda yang datang itu kemudian juga kuda yang aku lihat meninggalkan
padukuhan ini” jawan Kriya mencoba menyelamatkan dirinya.
“Kenapa?
Adakah perbedaanya?” pertanyaan itu sedemikian cepatnya sehingga Kriya tidak
sempat mempertimbangkan jawabannya. Karena itu tiba-tiba meluncur dari
mulutnya,
“Yang datang
berdua, yang pergi hanya seorang”
“Ha” jawaban
itu benar-benar mengejutkan. Kriya sendiri terkejut mendengar jawaban itu. Ki
Tanu Metir yang mendengar percakapan itu mengerutkan keningnya. Ia tak akan
dapat mengelak lagi. Tetapi ia tidak kehilangan ketenangannya. Karena itu
sikapnya benar-benar mengherankan.
Tiba-tiba
terdengar Alap-alap Jalatunda tertawa berderai dan Plasa Ireng itu pun tertawa
pula. Terdengar Plasa Ireng berkata, “Yang seorang melarikan diri, tetapi
kawannya yang luka ditinggalkannya di sini”
Untara
mnenjadi gelisah. Bukan karena dirinya sendiri, namun dengan demikian maka Ki
Tanu Metir pasti akan mengalami bencana. Alap-alap Jalatunda yang ingin
mendapat pujian dari Plasa Ireng itu dapat berbuat hal-hal diluar dugaan. Dan
apa yang dilakukan Plasa Ireng sendiri akan sangat mengerikan. Apalagi ketika
Untara mendengar Plasa Ireng membentak,
“He dukun
celaka, aku tidak telaten melihat cara Alap-alap kecil itu mencari lawannya.
Untara adalah seorang yang sangat berbahaya. Aku ingin menemuinya di segala
medan peperangan namun aku selalu gagal. Hanya namanya saja yang pernah aku
dengar. Di segala garis perang Untara pasti berhasil menyapu lawan-lawannya.
Nah, tunjukkan kepadaku sekarang dimana orang itu” Kemudian katanya kepada
Alap-alap Jalatunda,
“Alap-alap
kecil, serahkan Untara kepadaku, kau dapat menemukan yang seorang lagi”
“Anak itu
telah pergi” jawab Alap-alap Jalatunda.
“Kau dapat
memeras keterangan dari orang pendek itu kemana ia melarikan diri. Pakai
kudaku. Kejar dia dan bawa dia kemari atau penggal lehernya dan tinggalkan di
sekitar Sangkal Putung”
Perintah-perintah
itu mengalir seperti pancuran. Dan perintah-perintah itu benar-benar
mengejutkan. Dada Untara pun tiba-tiba bergolak dengan dahsyatnya. Untara
sesaat ia lupa tentang lukanya. Yang didengarnya kemudian adalah suara
Alap-alap Jalatunda,
“Untara adalah
lawanku. Karena itu aku ingin menyelesaikan perkelahian itu”
Plasa Ireng
menarik nafas, tampak dahinya berkerut. Katanya,
“Kaukah yang
melukainya?”
“Sudah aku
katakan” jawab Alap-alap Jalatunda.
“Dalam
perkelahian seorang lawan seorang?” desak Plasa Ireng.
“Ya” sahut
anak muda itu.
Tiba-tiba
Plasa Ireng tertawa, katanya,
“Jangan
mengelabui orang tua. Aku tahu siapakah Untara dan siapakah Pratanda yang
sekarang bergelar Alap-alap Jalatunda. Atau kau takut kepada yang seorang itu
pula”
Wajah
Alap-alap Jalatunda menjadi merah. Namun tidak berani berbuat sesuatu meskipun
hatinya melonjak. Meskipun demikian ia menjawab,
“Jangan
memperkecil arti Alap-alap Jalatunda di daerah ini. Kenapa aku takut kepada
yang seorang lagi. Berdua dengan Untara aku telah berhasil mengalahkan mereka”
“Jangan
ulangi!” bentak Plasa Ireng. Sikapnya benar-benar garang. Apalagi kepada
lawan-lawannya. Kepada Alap-alap Jalatunda itu pun ia berkata,
“Kalau sekali
lagi kau sebut kemenanganmu itu, aku tampar mulutmu. Sekarang pakai kudaku,
kejar yang seorang sampai ketemu” kemudian kepada Kriya Plasa Ireng berkata,
“ke arah mana
kuda yang itu?”
Kriya yang
kecil pendek itu telah kehilangan seluruh hatinya, karena itu maka jawabannya
pun meluncur dengan lancarnya, “keselatan”
“Terus?” desak
Plasa ireng.
“Tidak. Di simpang
tiga membelok ke barat” jawabnya.
“Nah, kejar
dia. Lewat Kali asat” perintahnya.
Alap-alap
Jalatunda masih berdiri di tempatnya, sehingga Plasa Ireng membentak,
“Pergi…!”
Alap-alap
Jalatunda yang garang itu tidak membantah. Bergegas-gegas ia pergi ke jalan
kecil di muka halaman Ki Tanu Metir. Dan sesaat kemudian terdengarlah derap
kuda berlari.
Mendengar
derap kuda itu, berdentanglah jantung Untara. Segera ia mencemaskan nasib
adiknya. Tiba-tiba saja ia mencoba menyibakkan tumpukan padi di atasnya. Namun
terasa pundaknya menjadi semakin sakit. Dan ketika ia meraba pundak itu, terasa
darahnya kembali mengalir. Karena itu dicobanya untuk menenangkan dirinya. Ia
mencoba berpikir, apakah yang sebaiknya dilakukan. Dalam pada itu terdengar
Plasa Ireng membentak,
“He dukun tua,
jangan menyamakan aku dengan Pratanda yang cengeng itu. Sekali aku bertanya,
kau harus menunjukkan tempat Untara. Kalau tidak sebaiknya aku sobek mulutmu, dan
aku bakar rumah ini. Nah, tunjukkan tempat Untara itu sekarang”
Sekali lagi
Untara menggeliat. Ia sama sekali tidak rela, apabila dukun yang baik itu
mengalami bencana karena dirinya. Tetapi dengan demikian, keadaannya menjadi
semakin buruk. Darah yang kembali mengalir dari lukanya itu, sangat
mempengaruhinya. Sehingga Untara menjadi sangat cemas. Ketika matanya
seakan-akan tidak dapat dibukanya lagi, sesaat kesadarannya seperti hilang. Dan
tiba-tiba ia menjadi sangat pening. Lamat-lamat masih didengarnya Ki Tanu Metir
menjawab tenang,
“Sayang ngger
Plasa Ireng, aku tidak dapat menunjukkan tempat itu”
“He..!” Plasa
Ireng berteriak,
“Kau mencoba
membantah. Jangan mengorbankan dirimu untuk monyet yang ganas itu”
“Ia berada di
rumahku” jawab Ki Tanu,
“karena itu
keselamatannya berada di tanganku”
Jawaban itu
benar-benar mengejutkan. Untara pun terkejut. Namun ia tidak mau mengorbankan
orang tua itu. Tetapi ketika ia mencoba sekali lagi untuk bangkit, maka
kepalanya menjadi semakin peningnya. Perlahan-lahan kesadarannya menjadi
semakin tipis. Dan ketika ia mencoba berteriak untuk menunjukkan dirinya maka
dunia seakan-akan kelam. Untara tidak sadarkan diri.
Malam yang
gelap masih merajai seluruh permukaan bumi. Satu-satu dilangit bintang berebut
dahulu muncul dari balik awan yang mengalir dihanyutkan angin selatan. Udara
yang dingin membelai daun-daunan dan pohon-pohonan yang masih basah. Di atas
jalan berbatu-batu menuju Sangkal Putung, lewat Kali Asat terdengarlah suara
kaki kuda berderap. Kuda itu berlari dengan kencang, namun tidak dengan
kecepatan penuh. Penunggangnya, Agung Sedayu, bukanlah seorang penunggang kuda
yang berani. Karena itu, meskipun perasaan takut selalu mengejarnya, namun ia
tidak berani memacu kudanya dengan kecepatan penuh. Ketika Agung Sedayu mencoba
memandang jauh ke depan, jantungnya menjadi berdebar-debar. Sekali lagi ia
harus membelok kemudian ia kan sampai ke Bulak Dawa. Di ujung bulak yang
panjang itulah terdapat sebuah pohon randu alas raksasa, yang terkenal dengan
sebutan tikungan randu alas. Di bawah randu alas jalan membelok kekiri lewat
Kali Asat dan sekali lagi ia harus membelok ke kanan. Kemudian ia akan sampai
ke jalan lurus langsung menuju Sangkal Putung. Teringatlah ia akan ceritera
tentang genderuwo bermata satu penunggu randu alas itu. Terasalah seluruh
bulu-bulunya tegak. Tetapi terdorong oleh ketakutannya yang lain, ketakutannya
kepada kakaknya yang akan membunuhnya, maka dipaksanya juga kudanya berlari.
Meskipun demikian Agung Sedayu tidak henti-hentinya meratap di dalam hati.
Perintah kakaknya dirasanya telah menghadapkannya pada suatu pilihan yang
sama-sama mengerikan baginya. Seakan-akan kakaknya sengaja menjerumuskannya ke
daerah maut. Berjalan ke Sangkal Putung atau tinggal di rumah Ki Tanu Metir,
maut itu dapat hadir setiap saat untuk mencekiknya. Ketika sekali lagi Agung
Sedayu memandang ke depan, kudanya telah sampai di kelok jalan, dan sesaat
kemudian di hadapannya terbentang daerah persawahan yang panjang. Bulak dawa. Kini
hujan telah benar-benar teduh. Bahkan di antara bintang-bintang di langit,
tampak bulan tua muncul dari balik awan. Cahayanya yang kemerah-merahan
memencar terlempar ke atas daun-daun padi yang subur di tanah persawahan. Di
sana sini air yang bergenangan memantulkan sinar bulan yang redup itu. Sekali-sekali
Agung Sedayu menengadahkan wajahnya. Mula-mula ia agak berlega hati, ketika
malam tidak lagi sedemikian pekat. Namun tiba-tiba karena itu maka terasa
segenap bulu-bulu ditubuhnya menjadi tegak.
Jauh di arah
timur, remang-remang dilihatnya hutan yang terbujur ke selatan, seakan-akan
raksasa sedang lelap tertidur. Sepi. Agung Sedayu segera memalingkan wajahnya.
Kalau ia menempuh jalan timur, maka ia akan menyusur jalan di tepi hutan itu.
Ia manarik nafas. Untunglah kakaknya berpesan untuk menempuh jalan barat,
meskipun agak jauh sedikit. Lewat jalan ini, jaranglah orang bertemu binatang
buas yang kelaparan, dan mencari mangsanya sampai keluar daerah perburuan
mereka. Tetapi tiba-tiba mata Sedayu terbentur pada sebuah pohon yang besar
menghadang di ujung jalan. Randu alas. Tanpa disadarinya Sedayu menarik kekang
kudanya, sehingga kuda itu memperlambat larinya. Pohon itu di mata Sedayu
seolah-olah berbentuk seorang raksasa yang tegak memandangnya dengan penuh
nafsu. Tidak. Malahan tiba-tiba rimbun daunnya berubah menjadi kepala hantu
yang bulat keputih-putihan, genderuwo mata satu. Hampir Sedayu memekik
ketakutan. Tetapi suaranya tak sempat meloncat keluar. Sekali lagi ia menarik
kendali kudanya, lebih keras. Dan kini kuda itu berhenti. Jantung Sedayu
berdebar terlalu cepat. Terdengarlah nafasnya berkejaran lewat lubang
hidungnya. Tiba-tiba perasaan takutnya memuncak. Tetapi ketika terpikir olehnya
untuk kembali ke dukuh Pakuwon, hatinya diterkam oleh ketakutan yang lain.
Kakaknya siap membunuhnya.
“O” terdengar
Agung Sedayu mengeluh. Dirasanya seakan-akan dirinya adalah manusia paling
sengsara di atas bumi ini. Kakaknya yang selama ini amat menyayanginya,
menjaganya setiap saat, tiba-tiba kini membiarkannya dihadang maut. Bahkan
memaksanya untuk terjun ke daerah yang mengerikan itu. Terasa mata Sedayu
menjadi basah karenanya. Ia tidak dapat mengerti, mengapa ia harus pergi ke
Sangkal Putung malam ini. Ternyata Untara lebih sayang kepada Widura daripada
kepadanya.
“Ibu, ayah”
desisnya. Tetapi ia terkejut mendengar suaranya sendiri. Kalau ayah dan ibunya
yang sudah meninggal itu tiba-tiba datang, maka ia pun akan mati ketakutan.
Karena perasaan itulah maka Sedayu menjadi semakin bingung. Ingin ia berteriak,
namun tak bisa dilakukannya.
Tanpa
disadarinya, ketakutannya itu telah membawanya mendekati bencana yang jauh
lebih besar dari yang dikhayalkan tentang genderuwo bermata satu. Jauh di
belakangnya berderap seekor kuda yang lain, Alap-alap Jalatunda. Pada saat
Agung Sedayu dibakar oleh ketakutan, pada saat itu Alap-alap Jalatunda memacu
kudanya habis-habisan. Mula-mula ia ragu-ragu terhadap pemuda yang dikejarnya.
Apakah pemuda itu tidak akan mencelakakannya. Seandainya pemuda itu benar-benar
seperti yang dikatakan Untara, maka kedatangannya adalah untuk mengantarkan
nyawanya. Tetapi kemudian diingatnya, bagaimana sikap anak muda itu ketika
pande besi Sendang Gabus menyerangnya. Tiba-tiba Alap-alap Jalatunda itu
tersenyum. Kalau Agung Sedayu benar-benar anak yang mumpuni, ia pasti mengambil
jalan timur. Ternyata anak itu menurut Kriya telah mengambil jalan barat.
“Menyenangkan”
desisnya,
“Aku akan
mendapat permainan yang baik, jauh lebih baik dari Untara yang luka itu” Maka
Alap-alap Jalatunda itu pun memacu kudanya lebih cepat,
“Mudah-mudahan
aku dapat menyusulnya”
Kaki-kaki kuda
Alap-alap Jalatunda itu pun berderap pula di atas jalan berbatu menuju Kali
Asat. Di benaknya sama sekali tidak terhiraukan genderuwo mata satu di tikungan
randu alas. Ceritera itu pernah didengarnya pula. Tetapi hati Alap-alap yang
muda itu tidak sekecil hati Agung Sedayu. Karena itu Alap-alap yang garang itu
tidak pernah gentar seandainya betul-betul ada genderuwo mata satu menghadang
di depannya, bahkan ia akan lebih gentar apabila ia bertemu dengan Untara. Karena
itu Alap-alap Jalatunda berpacu dengan penuh gairah. Kalau ia dapat menangkap
anak muda itu, memenggal kepalanya dan melemparkan kedua bagian tubuh yang
terpisah itu maka ia akan dapat menggetarkan laskar Pajang yang bersarang di
Sangkal Putung. Kembali Alap-alap Jalatunda tersenyum dan bersamaan dengan itu,
kudanya dipacu semakin cepat. Kini ia bertekad untuk dapat menyusul anak muda
itu.
Di Bulak dawa
Agung Sedayu masih terpekur di atas punggung kudanya yang tegak seperti patung.
Dadanya yang penuh sesak oleh gelora perasaannya seakan-akan hendak meledak.
Bahkan akhirnya Agung Sedayu tidak berhasil menguasai dirinya, sehingga
beberapa kali terdengar ia mengeluh. Di tengah-tengah bulak yang panjang dan
sepi itu, seolah-olah Agung Sedayu mendapat kesempatan untuk meledakkan segala
himpitan di dadanya. Agung Sedayu tidak tahu, sudah berapa lama ia berhenti di
tengah-tengah jalan di antara sawah-sawah yang terbentang sedemikian luasnya,
tetapi akhirnya ia terkejut ketika lamat-lamat didengarnya derap kuda di
belakangnya. Perlahan-lahan Agung Sedayu mengangkat wajahnya. Didengarnya suara
itu baik-baik,
“Derap kuda”,
desisnya.
“Siapa?”
Sedayu mencoba
untuk menebak,
“Adakah kakang
Untara” katanya seorang diri. Kemudian ia menggeleng,
“Lukanya agak
parah” kata-katanya dijawabnya sendiri.
“Adakah mereka
itu gerombolan Alap-alap Jalatunda?” kembali ia berkata sendiri. Mendengar
kata-katanya itu sendiri dada Sedayu berdentang. Namun karena pengalamannya
yang picik maka perhitungannya pun picik pula. Katanya,
“Alap-alap
Jalatunda tidak berkuda”
Untuk sesaat
Agung Sedayu menjadi agak tenang. Bahkan ia mengharap mendapat teman untuk
melewati tikungan randu alas. Tetapi tiba-tiba tumbuhlah di dalam benaknya,
“Bagaimanakah
kalau Alap-alap Jalatunda itu menemukan kudaku?”
Sekali lagi dada
Agung Sedayu berguncang. Pikiran itu semakin lama menjadi semakin kuat. Malah
kemudian Agung Sedayu menjadi pasti. Pikirnya,
“Derap kuda
itu adalah derap kudaku sendiri, tetapi dengan Alap-alap Jalatunda
dipunggungnya”.
Demikianlah
tiba-tiba kaki Agung Sedayu menjadi gemetar. Dalam kecemasannya, maka lenyaplah
segala akalnya yang jernih. Yang ada di dalam hatinya tinggallah,
“Bagaimana aku
harus bersembunyi di bulak ini?”
Derap kuda di
belakangnya itu pun semakin lama menjadi semakin dekat. Ia tidak dapat
mengira-irakan, masih seberapa jauhnya. Namun di malam yang sepi itu, suara
derap itu rasa-rasanya tinggal beberapa langkah di belakangnya. Tiba-tiba mata
Agung Sedayu tersangkut pada sebuah parit yang agak dalam. Tanpa berpikir lagi,
maka dengan tergesa-gesa ia meloncat turun. Demikian tergesa-gesanya sehingga
ia jatuh terjerebab di tanah yang becek. Tertatih-tatih ia bangun, kemudian
berlari-lari terjun ke dalam parit, sehingga pakaian yang basah menjadi semakin
kuyup. Tetapi Sedayu sama sekali tidak menghiraukannya lagi. Bahkan kemudian,
dengan tidak mengingat persoalan-persoalan yang dapat terjadi kemudian, anak
yang ketakutan itu memungut sebuah batu dan dengan batu itu ia melempar
kudanya. Kuda itu terkejut. Satu kali kuda itu meloncat, kemudian berputar-putar
dan berlari kencang-kencang ke arah tikungan randu alas. Pada saat itulah
Alap-alap Jalatunda muncul di kelok jalan di belakangnya. Hati anak muda yang
sedang berpacu itu pun berdesir ketika di dalam keremangan cahaya bulan ia
melihat seekor kuda yang berlari searah dengan kudanya.
“Adakah kuda
itu kuda kawan Untara?” Jarak kedua ekor kuda itu masih belum terlalu dekat.
Dengan demikian Alap-alap Jalatunda masih belum dapat melihat bahwa di punggung
kuda itu tak ada seorang pun yang menaikinya. Karena itu, sesaat ia masih
diganggu oleh keragu-raguannya. Jangan-jangan penunggang kuda itu benar-benar
sakti seperti yang dikatakan Untara.
“Bukankah aku
Alap-alap Jalatunda” desisnya.
“Alap-alap
Jalatunda tidak mengenal takut. Meskipun seandainya yang berkuda itu Untara
sendiri”. Alap-alap yang muda itu tersenyum sendiri ketika dari sudut hatinya
terdengar jawaban,
“Ya, karena
kau tahu pasti bahwa Untara sedang terluka parah”
Alap-alap
Jalatunda itu pun segera memacu kudanya secepat angin. Ia tidak mau melepaskan
buruannya atau menunggu sampai ke Sangkal Putung. Orang itu harus segera
ditangkapnya. Hidup atau mati. Karena itu tiba-tiba Alap-alap itu berteriak
ngeri, mirip seperti suara burung alap-alap yang berteriak di udara. Kudanya
itu pun berlari semakin kencang seperti gila.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar