Jilid 001 Halaman 2


“Untara” ulang Ki Tanu Metir,
“Untara, o, adakah engkau Angger Untara putera Ki Sadewa?”
“Ya Ki Tanu” jawab Untara dengan suara gemetar.
Ki Tanu Metir segera mengenal suara itu. Suara seseorang yang sedang mengalami cedera. Karena itu dengan tergesa-gesa orang tua itu berjalan ke arah pintu. Terdengar suara telumpahnya diseret di atas lantai tanah.

Sesaat kemudian pintu bambu itu bergerit, dan muncullah dari celah-celahnya seorang tua bertubuh sedang. Rambutnya telah hampir seluruhnya menjadi putih. Alisnya yang tumbuh jarang-jarang di atas sepasang matanya telah memutih pula. Dahinya terbuka lebar, serta di bawahnya memancar sepasang mata yang tajam bening. Ketika ia melihat Untara dipapah adiknya, orang tua itu terkejut dan terloncatlah dari mulutnya,
“Kau terluka ngger? Marilah” Ki Tanu Metir mempersilahkan,
“duduklah” biarlah aku mencoba melihat luka itu.”
Untara berlega hati. Ia tak perlu memintanya. Orang tua itu telah berusaha untuk menolongnya atas kemauan sendiri.
Segera orang tua itu menuntun Untara dan dipersilahkan duduk di atas bale-bale bambu. Katanya kepada Sedayu,
“Tolong ngger peganglah celupak ini, mataku telah menjadi kurang baik”
Sedayu pun segera melangkah mengambil lampu minyak kelapa dan membawa ke dekat kakaknya. Sementara itu Ki Tanu telah sibuk membuka pembalut luka di pundak Untara. Ketika Ki Tanu melihat luka yang menganga itu, ia menggelengkan kepalanya, gumannya,
“Hem, luar biasa”
“Apa yang luar biasa?” desis Untara.
“Tubuhmu sangat tahan ngger”. Sudah berapa darah yang tertumpah. Angger masih tetap sadar. Marilah, bersandarlah supaya angger tidak terlalu lelah.”
Untara segera bersandar pada setumpuk bantal. Terasa tulang-tulangnya seperti dilolosi. Sebentar-sebentar matanya terkatub dan perasaannya seperti hilang-hilang datang. Karena itu segera Untara memusatkan segenap kekuatan betinnya untuk bertahan. Sementara Ki Tanu Metir memelihara luka itu, tiba-tiba terbersit kembali dalam pikiran Untara,
“Widura harus diselamatkan”
Tetapi kemudian disadarinya keadaan diri. Dengan demikian Untara hanya dapat menarik nafas untuk mencoba menentramkan hatinya yang bergolak.

Sambil mengusapi luka Untara dengan reramuan daun-daunan Ki Tanu bertanya,
“Agaknya angger berdua menjumpai bahaya di perjalanan.”
“Ya” jawab Untara singkat
“Penyamun?” bertanya Ki Tanu pula
Untara menggeleng lemah,
“Bukan” jawabnya,
“sisa-sisa laskar Adipati Jipang”
“Hem, guman Ki Tanu,
“mereka berkeliaran di tempat ini.”
“Di sini?” Untara terkejut mendengarnya.
“Ya,di sekitar tempat ini” jawab Ki Tanu.
Untara diam sejenak. Nafasnya menjadi kian sesak. Namun darahnya sidah tidak mengalir lagi dari lubang lukanya.
“Salah satu di antara mereka adalah pande besi dari Sendang Gabus” berkata Untara lirih.
“Ya, mereka itulah” sahut Ki Tanu
“segerombolan orang-orang yang putus asa. Adakah angger bertemu dengan pande besi itu?”
“Ya” jawab Untara
“Sendiri?”
“Tidak. Mereka mencegat jalan di ujung hutan. Berempat”.
“Angger berdua” potong Ki Tanu.
“Ya” jawab Untara. Tetapi Sedayu segera menundukkan wajahnya.
“Sungguh luar biasa. Angger berdua berhadapan dengan empat orang yang bengis. Pande besi itu terkenal di daerah ini” berkata Ki Tanu seterusnya,
“Bagaimana dengan mereka? Dan siapa sajakah mereka itu”

Untara menarik nafas dalam-dalam. Lukanya sudah tidak terlalu pedih. Tetapi tenaganyalah yang terasa semakin susut. Karena itu ua menjawab singkat,
“Aku belum kenal mereka”
“O” Ki Tanu pun segera menyadari keadaan tamunya, maka segera ia menyelesaikan pekerjaannya. Baru kemudian ia duduk di samping Agung Sedayu dan dibiarkannya Untara meristirahat bersandar setumpuk bantal.
“Bagaimanakah lawanmu yang tiga orang angger?” bertanya Ki Tanu kepada Sedayu.
Sedayu menjadi bingung. Sebenarknya ia malu mendengar pertanyaan itu, Tetapi akhirnya ia menjawab,
“Seorang tinggi kekurus-kurusan”
“Sebenarnya ia orang lugu” potong Ki Tanu,
“Sayang ia terlalu mudah terpikat. Namanya Tumida”
“Yang seorang tinggi besar” sambung Sedayu.
“Aku belum mengenalnya” gumam Ki Tanu.
“Yang seorang lagi masih muda” Sedayu meneruskan.
“Sebaya angger?” bertanya Ki Tanu.
“Kira-kira” Sedayu mengangguk.
“Alap-alap Jalatunda” desis Ki Tanu,
“Anak itu ikut serta?”
“Ya” jawab Sedayu, namun dadanya bergetar. Nama Alap-alap Jalatunda pernah didengarnya.
Mendengar nama itu Untara terperanjat pula. Desisnya,
“Jadi anak itukah yang disebut Alap-alap Jalatunda. Pantas ia lincah dan cerdas”
“Ya” sahut Ki Tanu,
“Nama itu timbul sesudah laskar Penangsang pecah. Pande besi dan Alap-alap Jalatunda menjadi terkenal. Mereka bersarang di Karajan”.
“Di Karajan?” ulang Untara heran,
“Di samping Jati Anom?”
“Ya” jawab Ki Tanu.

Untara kemudian termenung. Kalau demikian mereka bukan bagian dari laskar yang akan memukul Sangkal Putung. Dengan demikian Untara menjadi sedikit berlega hati. Namun kecemasannya yang lain segera timbul. Kalau demikian maka mereka segera akan datang kembali dengan kawan-kawan baru mereka menjelajahi tempat ini untuk mencarinya. Ketia ia sedang berangan-angan terdengar Ki Tanu bertanya kepada Sedayu,
“Mereka itukah yang melukai angger Untara?”
“Ya” jawab Sedayu.
Ki Tanu mengangguk-angguk, kemudian seperti orang terbangun daru tidurnya ia bertanya,
“Lalu siapakah angger ini?”
“Sedayu” jawab Sedayu, “adik kakang Untara”
“Pantas, pantas” orang tua itu mengangguk-angguk,
“Kalian menjadi seakan-akan sepasang burung rajawali yang perkasa. Kalau tidak, tidak akan kalian dapat melawan Pande besi dan Alap-alap Jalatunda sekaligus. Apalagi bersama kedua kawan-kawannya yang lain. Lalu bagaimana dengan mereka? Adakah mereka mengejar kalian?”
Sekali lagi Sedayu menundukkan wajahnya. Kemudian perasaan malu merayapi dadanya. Telinganya menjadi gatal mendengar orang tua itu menyebut mereka berdua seperti sepasang burung rajawali. Tetapi sejalan dengan itu Sedayu menjadi semakin kagum kepada kakaknya. Bukankah kakaknya sendiri dapat melawan mereka berempat, dan membunuh tiga di antaranya. Maka segera ia menjawab dengan bangga,
“Tiga di antaranya terbunuh, Anak muda yang bernama Alap-alap Jalatunda itu melarikan diri”.
“Luar biasa, luar biasa” gumamnya. Diamat-amatinya Untara yang bersandar sambil memejamkan matanya. Perlahan-lahan orang tua itu mengusap keningnya sambil berdesis,
“Nama Untara benar-benar cemerlang. Kini akan tumbuh nama baru di sampingnya, Sedayu”

Agung Sedayu menggigit bibirnya. Ia tidak berani memandangi wajah kakaknya yang menjadi kian pucat. Kalau saja ia mampu berbuat seoerti yang dikatakan orang tua itu, maka kakaknya pasti tidak akan terluka. Karena itu tiba-tiba tanpa disengajanya, Sedayu memandang kepada dirinya. Seorang penakut yang tidak ada bandingnya. Pada saat kakaknya berjuang untuk menegakkan Pajang, ia hanya dapat bersembunyi di rumah pamannya di Banyu Asri. Pada saat anak-anak muda memandi senjata, yang dilakukan tidak lebih daripada membantu ibunya menanak nasi dan membelah kayu. Tidak lebih daripada itu. Sedayu memejamkan matanya. Tetapi seakan-akan bayangan masa lampaunya menjadi semakin jelas. Dikenangknya kembali masa kanak-kanaknya. Ayah dan ibunya terlalu menanjakannya setelah dua orang kakaknya yang lain, adik-adik Untara, meninggal pada umurnya yang tidak lebih dari empat dan enam tahun. Karena mereka takut kehilangan Agung Sedayu pula, maka mereka memeliharanya agak berlebih-lebihan. Agung Sedayu menyadari semuanya itu. Tetapi semuanya sudah lampau. Agung Sedayu terkejut ketika ia mendengar kakaknya berkata,
“Sedayu, Aku tidak mampu untuk bangkit berdiri. Bagaimanakah dengan paman Widura?”
Sedayu tidak tahu, bagaimana ia harus menjawab pertanyaan itu, karena itu ia berdiam diri.
“Jangan pikirkan yang lain” potong Ki Tanu,
“berisitirahatlah”
Untara berdesis menahan perasaan-perasaan yang bergumal di dalam dadanya, perasaan cemas dan bingung. Akhirnya terdengar ia berkata perlahan-lahan,
“Sedayu. Hanya engkaulah yang aku harapkan untuk menolong menyelamatkan paman Widura”
Sedayu terkejut mendengar kata-kata itu. Dengan tergagap ia bertanya,
“Apa yang harus aku lakukan?”
“Kau pergi ke Sangkal Putung” desis Untara.

Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Benarkah kakaknya menyuruhnya ke Sangkal Putung? Sebelum ia bertanya terdengar Untara berkata pula,
“Agung Sedayu, aku tidak tahu lagi, bagaimana aku harus melindungimu. Di sini dan di perjalanan ke Sangkal Putung akan sama saja bahayanya. Bahkan mungkin bahaya itu akan datang kemari lebih dahulu. Sebab orang-orang Alap-alap Jalatunda pasti kan mencari aku. Kalau benar sarang mereka di Karajan, maka mereka pasti akan sampai ke tempat ini. Mereka pasti memperhitungkan bahwa kita akan datang kemari. Dan mencobanya mencari”
“Tetapi Sangkal Putung tidak terlalu dekat” potong Sedayu terbata-bata.
“Jalannya gelap dan licin. Dan bagaimanakah kalau aku bertemu dengan Alap-alap Jalatunda?”
“Anak itu akan kembali ke Karajan, sedang kau akan pergi ke selatan. Kalau kau ingin menempuh jalan yang paling aman, meskipun agak jauh, pergilah menyusur Kali Sat, kemudian kau akan sampai Sangkal Putung dari arah barat”.
Mulut Agung Sedayu terasa menjadi beku. Perjalanan ke Sangkal Putung benar-benar tidak menyenangkan. Ia menyesal kenapa ia ikut dengan kakaknya. Kalau ia berada di rumah, maka keadaannya pasti akan lebih baik. Ki Tanu melihat Agung Sedayu dengan keheran-heranan.. Katanya ragu-ragu,
“Sebenarnya aku tidak tahu mengapa angger harus pergi ke Sangkal Putung. Namun aku melihat sesuatu yang tidak aku duga. Kalau perjalanan ke Sangkal Putung memang penting, kenapa Angger Sedayu berkeberatan? Dan apa pula keberatannya kalau angger bertemu dengan dengan Alap-alap Jalatunda?”
Agung Sedayu benar-benar menjadi bingung. Bahkan Untara pun tak tahu, bagaimana menjawab pertanyaan Ki Tanu Metir itu. Karena itu sesaat kemudian suasana menjadi beku. Yang terdengar kemudian adalah suara Ki Tanu pula,
“Bukankah Angger Sedayu berdua dengan angger Untara mampu menghadapi Alap-alap Jalatunda itu sekaligus dengan Pande besi Sendang Gabus? Bukankah pade besi itu bahkan terbunuh bersama-sama dengan dua kawannya lagi?”
“Angger Sedayu, dalam gerombolan itu tak ada seorang pun yang melampaui kesaktiannya dari si pande besi yang tamak itu. Karena itu jangan takut dengan Alap-alap Jalatunda”
Mulut Sedayu seakan-akan tersumbat. Nafasnya terdengar meloncat satu-satu, namun dadanya terasa sesak.

Sedang Untara masih duduk bersandar tumpukan bantal. Matanya kadang-kadang terbuka, tetapi kadang-kadang terpejam. Dalam kekelaman pikiran itu Untara benar-benar menjadi bingung. Ia hampir-hampir tidak tahu apa yang sebaiknya dilakukan. Dengan sisa-sisa kesadarannya yang masih ada, Untara membuat perhitungan-perhitungan. Akhirnya ia mendapat kesimpulan bahwa Agung Sedayu lebih aman di perjalanan ke Sangkal Putung daripada tinggal di dukuh Pakuwaon. Didorong pula oleh rasa tanggung jawab terhadap Widura, maka kemudian ia berkata perlahan-lahan namun penuh kepastian,
“Agung Sedayu, tinggalkan tempat ini sebelum Alap-alap Jalatunda datang mencabut nyawa kita. Pergilah ke Sangkal Putung dan temuilah paman Widura”
Jantung Agung Sedayu terasa berdentangan. Dengan suara gemetar ia mencoba membantah perintah itu,
“Kalau aku bertemu dengan mereka, bukankah kepergianku tidak ada gunanya?”
“Tidak, kau tidak akan bertemu dengan mereka. Aku sudah pasti” jawab Untara,
“Tempuhlah jalan barat”
“Bagaimana dengan tikungan Randu Alas?” Sedayu menjadi semakin cemas.
“Omong kosong dengan gendoruwo mata satu” Untara hampir membentak,
“Pergilah”
Bibir Agung Sedayu tampak bergerak-gerak namun tak sepatah kata pun terloncat dari bibirnya, bahkan akhirnya matanyalah yang berkaca-kaca.

Ki Tanu masih belum dapat mengerti, kenapa Agung Sedayu tiba-tiba menjadi ketakutan. Tetapi sebelum ia bertanya lagi terdengar suara Sedayu mengiba-iba tanpa malu-malu,
“kakang, aku takut”
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mengerti kini, siapakah sebenarnya Untara dan bagaimanakah dengan Sedayu. Karena itu ia pun berdiam diri. Tiba-tiba orang tua itu terkejut ketika Untara berkata dengan keras sambil meraba hulu kerisnya dengan tangannya yang lemah,
“Sedayu, pergilah! Kalau kau tidak mau pergi juga, biarlah kau memilih mati karena kau berbuat seperti seorang laki-laki atau mati karena kerisku sendiri”
“Kakang” Sedayu hampir menjerit. Namun wajah Untara seolah-olah telah menjadi beku.
Seakan-akan suara adiknya tidak didengarnya. Bahkan dengan mata terpejam Untara berkata pula,
“Bagiku Sedayu, daripada kau mati ketakutan selama Alap-alap Jalatunda itu nanti mencekikku, lebih baik kau mati dengan luka senjata di dadamu”
Tubuh Sedayu benar-benar menggigil. Jantungnya berdentangan seperti guruh yang menggelegar di dalam rongga dadanya. Sementara itu Ki Tanu Metir berkata dengan terbata-bata,
“Angger Untara, apa yang akan angger lakukan itu?”
“Kalau Sedayu tidak mau pergi, akan aku bunuh dia” desisnya.
“Angger” Ki Tanu Metir mencoba menenangkannya,
“jangan berkata begitu”
Untara tidak menjawab, namun terdengar ia menggeram.

Akhirnya berkatalah Ki Tanu Metir,
“Angger Sedayu, kakangmu telah menentukan apa yang akan dilakukan. Karena itu sebaiknya angger pergi. Bukankah puncak ketakutan angger itu adalah maut. Dan maut itu berada dalam gubug ini. Kalau angger pergi ke Sangkal Putung, belum pasti angger bertemu dengan maut itu. Seandainya demikian, maka maut di perjalanan itu akan jauh lebih baik daripada maut yang akan menerkam angger di sini. Baik itu dilakukan oleh angger Untara, mau pun dilakukan Alap-alap yang gila itu, yang pasti akan jauh mengerikan lagi”
Kepala Sedayu tiba-tiba menjadi pening. Berdesak-desakanlah perasaan yang bergumul di dalam dadanya. Maut terlalu mengerikan. Dan maut itu tiba-tiba saja kini hadir di hadapannya. Sehingga seperti seorang perempuan cengeng Sedayu membiarkan dirinya hanyut dalam perasaannya tanpa malu. Sedayu menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Dan terdengar suaranya gemetar,
“Adakah kakang berkata sebenarnya”
“Akan kulakukan apa saja yang telah aku katakan, Sedayu” suara Untara lirih namun pasti,
“Tinggalkan tempat ini segera. Aku sudah muak melihat kau merengek-rengek seperti bayi”
Dada Agung Sedayu hampir meledak mendengar kata-kata itu. Namun mulutnya bahkan menjadi terkunci. Seperti patung ia tidak bergerak, sampai kakaknya membentaknya,
“Pergi sekarang juga!”

Perlahan-lahan Sedayu berdiri. Kakinya hampir-hampir tidak kuat lagi menahan berat tubuhnya. Tetapi ia takut. Takut kepada kakaknya. Takut kalau kakaknya akan membunuhnya. Dan ketakutannya itu begitu menekan dadanya, sehingga melampaui ketakutannya atas kegelapan malam diluar dan tikungan randu alas. Karena itu meskipun hayatnya serasa telah terbang meninggalkan tubuhnya, Sedayu berjalan juga menuju kepintu. Ketika Ki Tanu Metir mendahuluinya, dan membuka pintu untuknya, orang tua itu mendengar Sedayu menahan isak di dadanya. Maka bisiknya menghibur,
“angger, serahkan jiwa dan ragamu kepada yang memilikinya. Kalau sudah saatnya akan diambilNya, maka berlakulah kehendakNya meskipun angger berperisai baja. Namun kalau angger akan disingkirkan dari bencana, maka berlakulah pula kehendak Nya itu. Karena itu jangan takut”.
Agung Sedayu menganggukkan kepalanya, namun ketakutan yang mencekamnya tidak juga mau meninggalkannya. Di muka pintu sekali lagi ia menoleh kepada kakaknya. Tetapi kakaknya memejamkan matanya. Karena itu Sedayu melangkah terus. Di luar dilihatnya kuda kakaknya. Dengan gemetar ia melangkah kepunggung kuda itu.
“Selamat jalan ngger” desis Ki Tanu Metir. Aging Sedayu tidak menjawab. Namun kepalanya terangguk. Dengan hati yang kosong ia menarik kekang kudanya, dan ketika kuda itu bergerak menyusup kedalam malam yang pekat, maka Sedayu merasa seakan-akan dirinya telah menyusup kedaerah maut. Akhirnya ketika Sedayu sadar, bahwa perjalanan itu harus dilakukannya, maka segera ia memacu kudanya dengan mata yang hampir terpejam. Setiap kali ia membuka matanya, setiap kali dadanya berdesir. Di malam yang gelap itu selalu dilihatnya seakan-akan bayangan-bayangan hitam menghadangnya di perjalanan. Namun ia sudah tidak dapat lagi berpikir. Karena itu ia tidak mau lagi melihat apa pun yang berada di perjalanan itu.

Ketika Sedayu telah hilang di balik kekelaman malam, Ki Tanu Metir menutup pintunya kembali. Kemudian perlahan-lahan ia mendekati Untara yang lesu. Dan terdengarlah ia bertanya,
“Kenapa hal itu angger lakukan?”
Untara menarik nafas dalam-dalm. Terdengar ia bergumam,
“Mudah-mudahan Tuhan melindunginya”
Ki Tanu Metir duduk perlahan-lahan di samping Untara. Ia mengangguk-angguk kecil ketika terdengar gumam Untara pula,
“Kasihan Sedayu”
“Tetapi bukankah angger menghendakinya?” bertanya orang tua itu.
“Aku hanya ingin supaya Sedayu meninggalkan rumah ini dan sekaligus aku ingin paman Widura melindunginya, selain keselamatan laskar paman Widura sendiri. Paman Widura kenal anak itu” jawab Untara.
Kembali Ki Tanu metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Tahulah ia sekarang bahwa Untara sama sekali tak bersungguh-sungguh dengan ancamannya.
“Anak itu benar-benar keterlaluan” berkata Untara pula,
“Aku hanya menakut-nakutinya, supaya ia mau pergi. Ketakutan hanya dapat dikalahkan dengan ketakutan yang lebih besar. Dan aku sudah berhasil mengusirnya. Mudah-mudahan ia selamat” Untara berhenti sejenak, kemudian terdengar ia meneruskan dengan susah payah,
“Bukankah lebih baik Ki Tanu Metir menyingkirkan aku pula sebelum Alap-alap Jalatunda datang kemari?”
“Tidak angger, tidak” sahut orang tua itu cepat-cepat,
“Angger memerlukan perawatanku di sini”
“Tetapi” jawab Untara,
“kalau hal itu membahayakan ki Tanu? Kalau mereka datang kemari, dan ditemuinya aku di sini, maka tidak saja aku yang akan dibunuhnya, tetapi Ki Tanu akan diganggunya pula”
“Jangan berpikir tentang aku” berkata Ki Tanu Metir,
“Luka angger agak parah, Aku sedang mencoba untuk mengobatinya”

Untuk sesaat keduanya terdiam. Ketika Untara mendengar derap kuda di halaman, hampir saja ia berteriak memanggil adiknya itu kembali, tetapi segera ia mempergunakan akal dan perhitungannya untuk melawan perasaannya.
“Kalau Alap-alap Jalatunda itu tidak datang kemari, dan Sedayu menemui bencana dalam perjalanannya, akulah yang bertanggung jawab” katanya dalam hati. Dan Untara sadar, apabila terjadi demikian maka peristiwa itu pasti akan menyiksanya seumur hidup. Ia akan kehilangan adiknya dan sekaligus ia sama sekali tidak berhasil menyelamatkan Widura dan laskarnya. Tetapi kalau Alap-alap Jalatunda yang bengis itu benar-benar datang ke rumah itu bersyukurlah ia, meskipun nyawanya sendiri pasti akan melayang. Namun ia telah berhasil untuk terakhir kalinya menyelamatkan adiknya. Tetapi kemungkinan yang lebih jelek lagi, Alap-alap Jalatunda itu berpapasan dengan adiknya, dan adiknya itu dibunuhnya setelah anak itu menunjukkan tempatnya, kemudian Alap-alap itu datang membunuhnya.
“Aku telah berusaha” pikir Untara. Segalanya akan mungkin terjadi. Untara menarik nafas dalam-dalam. Dengan penuh kepercayaan kepada kekuasaan Tuhan, Untara berhasil menenangkan dirinya. Bahkan ia berdoa semoga kemungkinan yang paling baiklah yang terjadi. Agung Sedayu selamat sampai Sangkal Putung dan Alap-alap Jalatunda tidak datang kepondok itu.
Tetapi Untara terkejut ketika didengarnya bentakan-bentakan kasar jauh di tikungan jalan. Ketika ia membuka matanya, dilihatnya Ki Tanu Metir berdiri dengan gelisah.
“Suara apakah itu Ki Tanu?” bertanya Untara lemah.
Ki Tanu Metir tidak segera menjawab. Dicobanya untuk menangkap setiap kata-kata kasar dan keras yang memecah kesepian malam itu. Lamat-lamat terdengar suara itu,
“Dimana he, dimana rumah dukun itu?”
Tak terdengar jawaban, namun terdengar seseorang mengaduh perlahan-lahan. Sesaat kemudian terdengar bentakan,
“Kalau kau tak mau mengatakan, maka kaulah yang akan kami bunuh”
“Ampun” sahut suara yang lain,
“aku hanya mendengar suara kuda berderap”
“Gila, aku tidak bertanya apakah kau mendengar suara kuda itu. Tunjukkanlah rumah Tanu Metir. Orang itu akan mengatakan segala-galanya dan kau akan aku lepaskan” teriak yang lain.

Kembali tak terdengar jawaban, dan kembali terdengar suara kasar dan beberapa buah pukulan. Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya. Desisnya,
“Orang itu tidak mau menunjukkan rumah ini”
“Kasihan” geram Untara. Terdengar giginya gemeretak menahan marah. Tetapi tubuhnya sudah terlalu payah.
“Ki Tanu” katanya kemudian,
“Biarlah mereka menemukan aku. Maka nyawa orang itu dan mungkin nyawa Ki Tanu dapat diselamatkan”
“Apakah arti nyawa-nyawa kami” jawab Ki Tanu Metir,
“angger adalah salah seorang yang sangat berguna, sedang kami adalah orang-orang yang tak berarti”
Untara terharu mendengar jawaban itu. Ternyata bahwa jiwa kepahlawanan tidak saja berkobar di dalam dada para prajurit yang dengan senjata di tangan mempertaruhkan nyawanya demi pengabdiannya kepada tanah kelahiran dan kebenaran yang diyakininya, tetapi di dalam dada orang tua itu pun ternyata menyala api kepahlawanan yang tidak kalah dahsyatnya. Melampaui keteguhan hati seorang prajurit dengan senjata di tangan menghadapi lawannya dalam kemungkinan yang sama, membunuh atau dibunuh. Tetapi orang tua itu, seorang dukun yang hidup di antara para petani yang sederhana, telah menantang maut dengan perisai dadanya, kulit dagingnya.
Untara menggeleng lemah,
“Tidak” katanya,
“sudah sewajarnya seorang prajurit mati karena ujung senjata, namun tidak seharusnya aku berperisai orang lain untuk keselamatanku. Karena itu biarlah mereka menemukan aku di sini. Selagi sempat, biarlah Ki Tanu Metir menyelamatkan diri”.
“Ini adalah rumahku” jawab Ki Tanu Metir,
“Kalau aku lari sekarang, maka ke rumah ini pula aku akan kembali, dan orang-orang itu akan dapat menemukan aku di sini. Tak ada gunanya”

Sekali lagi Untara menarik nafas. Sebelum sempat ia menjawab berkatalah Ki Tanu Metir,
“Angger, kenapa kita tidak berusaha menyelamatkan diri kita berdua? Angger akan aku sembunyikan. Kalau-kalau orang-orang yang gila itu datang kemari, dan tidak menemukan angger maka aku pun akan selamat pula”
“Hem” Untara menggeram. Belum pernah ia berpikir untuk menyembunyikan diri pada saat musuhnya datang. Tetapi kali ini keadaannya jelek sekali. Bahkan tubuhnya semakin lama menjadi semakin lemah, meskipun darahnya tidak lagi mengalir.
“Mungkinkah itu” terdengar suara Untara lirih, sedang di tikungan bentakan-bentakan kasar masih terdengar.
“Marilah angger aku sembunyikan di sentong kiri. Aku timbuni angger dengan ikatan bulir-bulir padi”. Ki Tanu Metir tidak menunggu Untara menjawab. Segera ia mencoba menolongnya berdiri. Untara takut kalau-kalau mereka berdua akan roboh, tetapi agaknya Ki Tanu yang tua itu masih cukup kuat untuk memapahnya. Di sentong kiri, Ki Tanu Metir segera membongkar timbunan bulir-bulir padi. Perlahan-lahan Untara ditolongnya masuk ke dalam sebuah bakul yang besar,
“Melingkarlah di situ ngger, dan berusahalah untuk dapat bernafas” berkata Ki Tanu Metir.
Kembali Untara menggeram, Namun ia mengharap bahwa dengan demikian, ia dan sekaligus Ki Tanu Metir dapat diselamatkan. Lusa apabila luka di bahunya itu sudah sembuh, ia akan datang kembali untuk bertemu dengan Alap-alap Jalatunda. Dengan tergesa-gesa Ki Tanu segera menimbuni Untara dengan ikatan bulir-bulir padi. Seikat demi seikat dengan hati-hati. Di dalam bakul yang besar itu Untara memejamkan matanya. Terasa nafasnya menjadi semakin sesak. Namun ia masih dapat bernafas. Demikian Ki Tanu selesai dengan pekerjaannya, terdengar pintu rumahnya diketuk keras-keras, dan terdengarlah suara kasar memanggilnya,
“mbah dukun, buka pintumu”

Untara menjadi berdebar-debar. Ternyata Alap-alap Jalatunda atau orang-orangnya benar-benar datang. Meskipun demikian ia masih dapat mengucap syukur karena adiknya telah pergi. Untuk sesaat Ki Tanu Metir berdiri dengan tegang. Ia tidak segera beranjak dari tempatnya sehingga terdengar kembali pintu rumahnya dipukul keras-keras,
“He, buka pintu Ki Tanu”
Ki Tanu tidak mungkin untuk mengelak lagi. Karena itu dengan terbata-bata ia berteriak dari sentong kiri,
“Ya, ya tunggu. Aku sudah bangun”
Tersuruk-suruk Ki Tanu Metir bergegas pergi ke pintu, dengan menyeret telumpah dikakinya. Sementara itu kembali terdengar pintunya hampir berderak patah,
“Aku tidak sempat menunggu” terdengar suara di belakang pintu.
“Ya, ya” sahut orang tua itu,
“aku sedang berjalan”
Sesaat kemudian Ki Tanu Metir telah membuka pintunya. Demikian pintu itu menganga, beberapa orang dengan senjata di tangan berloncatan masuk. Dua orang yang lain memasuki rumah itu sambil mendorong-dorong seorang yang bertubuh kecil pendek.
“Kaukah itu Kriya” terloncat dari mulut Ki Tanu Metir. Orang itu menyeringai ketakutan. Jawabnya,
“Ya kiai, aku diseretnya ketika aku sedang melihat air di parit. Aku sangka karena hujan yang lebat ini, parit-parit akan banjir. Waktu aku sedang menutup pematang, datanglah orang-orang ini”
“Tak usah mengigau” bentak salah seorang dari mereka,
“Monyet itu tidak kembali ke Jati Anom. Mereka pasti kemari untuk mengobati lukanya”
“Siapa?” berkata Ki Tanu Metir.

Seorang anak muda di antara mereka perlahan-lahan melangkah mendekati Ki Tanu Metir,
“Hem” geramnya,
“Kita telah berkenalan kiai, namun baru hari ini aku sempat mengunjungi rumahmu”
“Ya, ya angger, aku pernah mengenal nama angger. Bukankah angger Alap-alap Jalatunda?”
“Siapakah yang memberi aku gelar demikian” bertanya anak muda itu. Namun terasa pada nada kata-katanya betapa ia bangga mendengar sebutan itu.
“Aku tidak tahu” sahut Ki Tanu Metir,
“Mungkin karena kedahsyatan angger, maka dengan sendirinya nama itu tumbuh”
Anak muda itu tertawa lirih. Kemudian katanya,
“Bagus. Kalau kau sudah mengenal aku maka jangan sekali-sekali mengganggu pekerjaanku”
“Tidak ngger, tidak” sahut Ki Tanu cepat-cepat,
“aku pasti akan membantu angger”
Di sentong kiri, Untara masih dapat mendengar semua percakapan itu. Karena itu ia menjadi semakin berdebar-debar ketika didengarnya nama Alap-alap Jalatunda. Anak itu bukan lawan yang berat baginya. Tetapi dalam keadaannya kini, maka tak ada yang dapat dilakukan. Meskipun demikian, dibelainya juga hulu kerisnya. Tangan yang pertama menyentuhnya, pasti akan digoresnya dengan keris itu. Dan ia yakin, setiap goresan ditubuh lawannya, betapa pun kecilnya, akibatnya adalah maut. Warangan yang keras dikerisnya itu benar-benar sangat berbahaya, apabila tidak segera dapat penawarnya. Sebentar kemudian Untara mendengar Alap-alap Jalatunda berkata,
“Ki Tanu, aku sedang mencari seseorang. Ia terluka ketika ia mencoba melawan aku. Adakah seseorang datang kemari untuk berobat?”

Ki Tanu Metir berdiam diri sesaat. Ia sedang mencoba mencari jawaban atas pertanyaan itu. Tetapi karena itu maka Alap-alap muda itu membentaknya,
“Jawab pertanyaanku”
Ki Tanu Metir menggeleng, jawabnya,
“tidak ngger, tak seorang pun datang kemari”
Alap-alap Jalatunda tertawa. Katanya,
“Kiai adalah seorang dukun yang terkenal. Orang yang terluka itu pasti pernah mendengarnya. Karena itu ia mesti datang kemari. Apakah untung rugimu kalau kau sebut dimana dia sekarang?”
“O, angger benar. Tak ada untung ruginya kalau aku menyebut tempatnya, kalau aku mengetahuinya. Tetapi siapakah orang itu?” bertanya Ki Tanu Metir.
“Jangan berpura-pura. Orang itu bernama Untara. Sangat berbahaya bagi kami dan bagi kalian” jawab Alap-alap Jalatunda.
“Hem. Untara” ulang Ki Tanu Metir.
“Tak seorang pun datang kemari sehari ini”
“Baru beberapa saat. Aku telah melukai pundaknya. Jangan bohong” bentak anak muda itu.
“Aku tidak berbohong ngger” jawab Ki Tanu.
Pandangan mata Alap-alap Jalatunda itu menjadi tajam, benar-benar seperti mata burung alap-alap. Selangkah ia maju mendekati Ki Tanu Metir sambil berkata,
“Kau sudah tua. Tidakkah kau ingin menikmati sisa-sisa hidupmu? Jawab pertanyaanku dimana Untara kau sembunyikan”
Ki Tanu Metir menjadi gemetar. Namun ia menjawab juga,
“Tak ada ngger, benar-benar tak ada”
“Dengar Ki Tanu” bentak anak muda itu,
“Aku bertemu dengan anak itu di ujung hutan. Ia mencoba melarikan diri. Dalam perkelahian seorang lawan seorang, aku telah melukainya. Kemudian Untara yang mempunyai nama yang cemerlang itu bertempur berdua dengan kawannya. Karena mereka berdua itulah maka mereka sempat melarikan diri. Nah katakan kepadaku, dimana dia sekarang. Kawan-kawanku yang menyusuri jalan ke Jati Anom tidak menemuinya. Ia pasti datang kemari”
“Tidak ngger” jawab Ki Tanu,
“sungguh tidak”
“He monyet bungkik” teriak Alap-alap itu kepada Kriya,
“Jawab pertanyaanku”

Kriya itu pun didorongnya maju. Dan terdengarlah Alap-alap yang garang itu berteriak,
“Kau lihat orang berkuda masuk ke dukuh Pakuwon”
“Aku dengar derap kuda” sahut orang itu.
Tiba-tiba sebuah pukulan bersarang di wajahnya, sehingga Kriya itu pun terpelanting jatuh.
“Ampun” mintanya.
“Kau lihat dua orang di atas satu punggung kuda seperti katamu tadi di tikungan” teriak Alap-alap itu.
Kriya terdiam. Matanya memandangi Ki Tanu Metir, dan dari mata itu memancar kengerian yang tersangkut dihatinya. Orang yang pendek kecil itu benar-benar berada dalam kesulitan. Ia tidak dapat mengingkari penglihatannya, yang sudah terdorong dikatakannya di tikungan ketika bertubi-tubi tangkai-tangkai senjata mengenai punggungnya. Tetapi ia takut pula untuk menyebutnya sekali lagi di hadapan Ki Tanu Metir. Bukan karena Ki Tanu Metir mempunyai kekasaran dan kebengisan seperti orang-orang itu, namun karena Ki Tanu Metir adalah orang tua yang disegani dipadukuhan itu. Ki Tanu Metir adalah seorang yang sangat baik bagi mereka. Apabila anak istri orang-orang padukuhan itu sakit, maka Ki Tanu Metir pasti bersedia untuk menolongnya. Pagi, sore, siang atau malam. Karena itu Kriya tidak sampai hati untuk mengatakan apa yang dilihatnya, Sebab dengan demikian, maka akan celakalah orang tua yang baik hati itu. Tetapi tiba-tiba dadanya berdesir ketika Kriya melihat Alap-alap Jalatunda melangkah mendekatinya. Dengan mengerutkan tubuhnya yang kecil itu, serta menutupi ubun-ubun di kepalanya dengan kedua telapak tangannya ia memohon,
“Ampun”
Alap-alap jalatunda tertawa. Seperti anak nakal yang tertawa-tawa melihat seekor anjing ketakutan, ia memandangi Kriya yang kecil dan pendek itu,
“Kenapa kau tak mau mengulangi kata-katamu. Kau takut kepada orang tua ini?” berkata anak muda itu sambil menunjuk Ki Tanu.

Sekali lagi Kriya memandangi wajah Ki Tanu Metir, wajah yang biasanya selalu bening, namun kali ini pun tampak, betapa perasaan cemas sangat mengganggunya. Tiba-tiba terdengarlah orang tua itu berkata perlahan-lahan,
“Kriya, berkatalah sebenarnya”
Kriya tidak segera mengetahui maksud Ki Tanu Metir. Karena itu untuk sesaat ia beragu, sehingga terdengar Ki Tanu Metir berkata mengulangi,
“Katakanlah apa yang kau ketahui kepada angger alap-alap Jalatunda”
Meskipun dengan ragu-ragu, kemudian Kriya membuka mulutnya ketika ia mendengar Alap-alap Jalatunda itu tertawa dan selangkah mendekatinya sambil menggerak-gerakkan ujung pedangnya dimuka wajahnya,
“Ampun ngger, Sebenarnya aku melihat orang berkuda itu”
“Hem, baru sekarang kau katakan itu,” geram Alap-alap Jalatunda.
“Lalu?”
“Ya, dua ekor kuda di atas punggung orang…..eh …..eh…., dua orang berkuda di atas satu punggung kuda” sahut Kriya kebingungan.
Kemudian Alap-alap Jalatunda itu memutar tubuhnya menghadap Ki Tanu Metir sambil tertawa menyeringai. Katanya,
“Kau dengar dukun tua, lidah si bungkik itu terputar-putar?”
“Aku dengar” jawab Ki Tanu Metir,
“Tetapi adakah seseorang yang masuk kepadukuhan ini pasti datang ke rumahku? Bagaimanakah kalau orang itu sekedar lewat dan terus ke Glagah Legi atau ke Gedawung?”
Alap-alap Jalatunda mengerutkan keningnya, namun jawabnya,
“Hanya di sini tinggal seorang dukun yang ternama” Dan tiba-tiba mata Alap-alap itu menjadi liar,
“Mana dia” bentaknya, sehingga Kriya terkejut dan menggigil karenanya.

Untara yang mendengar bentakan-bentakan itu pun menjadi gelisah. Apakah yang akan dilakukan terhadap orang setua Ki Tanu. Tetapi Untara terkejut ketika jawabnya Ki Tanu justru menjadi tenang,
“Angger, kalau angger tidak percaya, silakan mencarinya”
Mata Alap-alap Jalatunda yang liar itu beredar berkeliling ke segenap sudut, kemudian sekali lagi ia berteriak,
“Bohong!”
Tiba-tiba di antara mereka, di antara kawan-kawan Alap-alap Jalatunda itu terdengar seseorang tertawa. Suaranya menggelegar dan jauh berbeda dengan suara Alap-alap Jalatunda,
“He Alap-alap kecil, agaknya kau terlalu baik hati. Jangan buang-buang waktu. Berpencarlah dan cari di semua sudut rumah ini”
Ki Tanu Metir terkejut mendengar suara itu. Demikian juga Untara. Orang yang menyebut, Alap-alap Jalatunda dengan sebutan Alap-alap kecil itu pun pasti bukan orang kebanyakan. Karena itu dada Untara menjadi semakin berdebar-debar. Alap-alap Jalatunda sendiri mengerutkan keningnya. Kemudian sahutnya,
“Bagus”, dan kepada anak buahnya ia berkata,
“Carilah orang yang bernama Untara itu sampai ketemu. Suguhkan dia kepada tamu kita kakang Plasa Ireng”
“Plasa Ireng” Untara menyebut nama itu di dalam hati. Dan debar jantungnya pun menjadi bertambah cepat, sejalan dengan tubuhnya yang bertambah lemah. Plasa Ireng adalah orang yang benar-benar menakutkan. Ia adalah salah seorang prajurit Jipang yang dipercaya. Seperti Arya Penangsang sendiri, Plasa Ireng adalah seorang pemarah, dan bahkan Plasa Ireng memiliki sifat-sifat yang jauh lebih bengis dari Arya Penangsang.
“Orang itu ada di sini pada saat aku tak mampu menemuinya” pikir Untara. Seandainya Untara tidak terluka, maka dengan penuh gairah Plasa Ireng itu akan disambutnya. Tetapi keadaan Untara sedemikian buruknya, sehingga untuk berdiri pun agaknya terlalu payah baginya, hanya karena darahnya terlalu banyak mengalir.

Sesaat kemudian orang-orang Alap-alap Jalatunda itu memencar ke segenap sudut rumah Ki Tanu Metir. Setiap lekuk-lekuk diperiksanya, bahkan sampai-sampai gledeg-gledeg bambu pun dibukanya. Tetapi tak seorang pun mereka ketemukan. Sentong kanan, tengah dan kiri pun mereka jenguk pula, bahkan dengan lampu di tangan mereka. Namun di sentong-sentong itu mereka hanya melihat setumpuk bantal dan di sentong kiri seonggok untaian padi di dalam bakul yang besar. Namun Untara tak mereka temukan. Selagi mereka sibuk mencari-cari, kembali terdengar Plasa Ireng terawa nyaring diluar pintu. Katanya,
“Kuda itu telah kemari, tetapi aku melihat bekas kakinya meninggalkan tempat ini”
Alap-alap Jalatunda pun segera meloncat keluar. Segera ia pun mengamat-amati bekas kaki-kaki kuda itu di bawah cahaya oncor di tangan Plasa Ireng. Kemudian terdengar ia memanggil,
“Bawa Kriya kemari”
Kriya yang pendek itu pun segera didorong keluar. Kemudian diseret mendekati alap-alap Jalatunda yang masih terbungkuk-bungkuk mengamat-amati telapak-telapak kaki kuda.
“Kriya bungkik..!” teriak Alap-alap muda itu,
“Kau lihat orang ini datang. Pasti kau lihat ia pergi”
“Ya, aku lihat” jawab Kriya terbata-bata.
“Kenapa kau tidak bilang sejak tadi? Kau sengaja mempermainkan kami?” bentak Alap-alap Jalatunda sambil melekatkan ujung pedangnya pada perut Kriya yang kecil itu.
“Tidak, tidak..” sauara Kriya hampir merintih.
“Atau kau termasuk gerombolan orang yang bernama Untara itu?” desak Alap-alap Jalatunda
“Tidak…” sahut Kriya.
“Jadi kenapa kau lindungi dia?” desak anak muda itu. Ia harus dapat berlaku kasar, sekasar Plasa Ireng.
“Aku tidak tahu kalau kuda yang datang itu kemudian juga kuda yang aku lihat meninggalkan padukuhan ini” jawan Kriya mencoba menyelamatkan dirinya.
“Kenapa? Adakah perbedaanya?” pertanyaan itu sedemikian cepatnya sehingga Kriya tidak sempat mempertimbangkan jawabannya. Karena itu tiba-tiba meluncur dari mulutnya,
“Yang datang berdua, yang pergi hanya seorang”
“Ha” jawaban itu benar-benar mengejutkan. Kriya sendiri terkejut mendengar jawaban itu. Ki Tanu Metir yang mendengar percakapan itu mengerutkan keningnya. Ia tak akan dapat mengelak lagi. Tetapi ia tidak kehilangan ketenangannya. Karena itu sikapnya benar-benar mengherankan.
Tiba-tiba terdengar Alap-alap Jalatunda tertawa berderai dan Plasa Ireng itu pun tertawa pula. Terdengar Plasa Ireng berkata, “Yang seorang melarikan diri, tetapi kawannya yang luka ditinggalkannya di sini”

Untara mnenjadi gelisah. Bukan karena dirinya sendiri, namun dengan demikian maka Ki Tanu Metir pasti akan mengalami bencana. Alap-alap Jalatunda yang ingin mendapat pujian dari Plasa Ireng itu dapat berbuat hal-hal diluar dugaan. Dan apa yang dilakukan Plasa Ireng sendiri akan sangat mengerikan. Apalagi ketika Untara mendengar Plasa Ireng membentak,
“He dukun celaka, aku tidak telaten melihat cara Alap-alap kecil itu mencari lawannya. Untara adalah seorang yang sangat berbahaya. Aku ingin menemuinya di segala medan peperangan namun aku selalu gagal. Hanya namanya saja yang pernah aku dengar. Di segala garis perang Untara pasti berhasil menyapu lawan-lawannya. Nah, tunjukkan kepadaku sekarang dimana orang itu” Kemudian katanya kepada Alap-alap Jalatunda,
“Alap-alap kecil, serahkan Untara kepadaku, kau dapat menemukan yang seorang lagi”
“Anak itu telah pergi” jawab Alap-alap Jalatunda.
“Kau dapat memeras keterangan dari orang pendek itu kemana ia melarikan diri. Pakai kudaku. Kejar dia dan bawa dia kemari atau penggal lehernya dan tinggalkan di sekitar Sangkal Putung”
Perintah-perintah itu mengalir seperti pancuran. Dan perintah-perintah itu benar-benar mengejutkan. Dada Untara pun tiba-tiba bergolak dengan dahsyatnya. Untara sesaat ia lupa tentang lukanya. Yang didengarnya kemudian adalah suara Alap-alap Jalatunda,
“Untara adalah lawanku. Karena itu aku ingin menyelesaikan perkelahian itu”
Plasa Ireng menarik nafas, tampak dahinya berkerut. Katanya,
“Kaukah yang melukainya?”
“Sudah aku katakan” jawab Alap-alap Jalatunda.
“Dalam perkelahian seorang lawan seorang?” desak Plasa Ireng.
“Ya” sahut anak muda itu.
Tiba-tiba Plasa Ireng tertawa, katanya,
“Jangan mengelabui orang tua. Aku tahu siapakah Untara dan siapakah Pratanda yang sekarang bergelar Alap-alap Jalatunda. Atau kau takut kepada yang seorang itu pula”

Wajah Alap-alap Jalatunda menjadi merah. Namun tidak berani berbuat sesuatu meskipun hatinya melonjak. Meskipun demikian ia menjawab,
“Jangan memperkecil arti Alap-alap Jalatunda di daerah ini. Kenapa aku takut kepada yang seorang lagi. Berdua dengan Untara aku telah berhasil mengalahkan mereka”
“Jangan ulangi!” bentak Plasa Ireng. Sikapnya benar-benar garang. Apalagi kepada lawan-lawannya. Kepada Alap-alap Jalatunda itu pun ia berkata,
“Kalau sekali lagi kau sebut kemenanganmu itu, aku tampar mulutmu. Sekarang pakai kudaku, kejar yang seorang sampai ketemu” kemudian kepada Kriya Plasa Ireng berkata,
“ke arah mana kuda yang itu?”
Kriya yang kecil pendek itu telah kehilangan seluruh hatinya, karena itu maka jawabannya pun meluncur dengan lancarnya, “keselatan”
“Terus?” desak Plasa ireng.
“Tidak. Di simpang tiga membelok ke barat” jawabnya.
“Nah, kejar dia. Lewat Kali asat” perintahnya.
Alap-alap Jalatunda masih berdiri di tempatnya, sehingga Plasa Ireng membentak,
“Pergi…!”
Alap-alap Jalatunda yang garang itu tidak membantah. Bergegas-gegas ia pergi ke jalan kecil di muka halaman Ki Tanu Metir. Dan sesaat kemudian terdengarlah derap kuda berlari.

Mendengar derap kuda itu, berdentanglah jantung Untara. Segera ia mencemaskan nasib adiknya. Tiba-tiba saja ia mencoba menyibakkan tumpukan padi di atasnya. Namun terasa pundaknya menjadi semakin sakit. Dan ketika ia meraba pundak itu, terasa darahnya kembali mengalir. Karena itu dicobanya untuk menenangkan dirinya. Ia mencoba berpikir, apakah yang sebaiknya dilakukan. Dalam pada itu terdengar Plasa Ireng membentak,
“He dukun tua, jangan menyamakan aku dengan Pratanda yang cengeng itu. Sekali aku bertanya, kau harus menunjukkan tempat Untara. Kalau tidak sebaiknya aku sobek mulutmu, dan aku bakar rumah ini. Nah, tunjukkan tempat Untara itu sekarang”
Sekali lagi Untara menggeliat. Ia sama sekali tidak rela, apabila dukun yang baik itu mengalami bencana karena dirinya. Tetapi dengan demikian, keadaannya menjadi semakin buruk. Darah yang kembali mengalir dari lukanya itu, sangat mempengaruhinya. Sehingga Untara menjadi sangat cemas. Ketika matanya seakan-akan tidak dapat dibukanya lagi, sesaat kesadarannya seperti hilang. Dan tiba-tiba ia menjadi sangat pening. Lamat-lamat masih didengarnya Ki Tanu Metir menjawab tenang,
“Sayang ngger Plasa Ireng, aku tidak dapat menunjukkan tempat itu”
“He..!” Plasa Ireng berteriak,
“Kau mencoba membantah. Jangan mengorbankan dirimu untuk monyet yang ganas itu”
“Ia berada di rumahku” jawab Ki Tanu,
“karena itu keselamatannya berada di tanganku”
Jawaban itu benar-benar mengejutkan. Untara pun terkejut. Namun ia tidak mau mengorbankan orang tua itu. Tetapi ketika ia mencoba sekali lagi untuk bangkit, maka kepalanya menjadi semakin peningnya. Perlahan-lahan kesadarannya menjadi semakin tipis. Dan ketika ia mencoba berteriak untuk menunjukkan dirinya maka dunia seakan-akan kelam. Untara tidak sadarkan diri.

Malam yang gelap masih merajai seluruh permukaan bumi. Satu-satu dilangit bintang berebut dahulu muncul dari balik awan yang mengalir dihanyutkan angin selatan. Udara yang dingin membelai daun-daunan dan pohon-pohonan yang masih basah. Di atas jalan berbatu-batu menuju Sangkal Putung, lewat Kali Asat terdengarlah suara kaki kuda berderap. Kuda itu berlari dengan kencang, namun tidak dengan kecepatan penuh. Penunggangnya, Agung Sedayu, bukanlah seorang penunggang kuda yang berani. Karena itu, meskipun perasaan takut selalu mengejarnya, namun ia tidak berani memacu kudanya dengan kecepatan penuh. Ketika Agung Sedayu mencoba memandang jauh ke depan, jantungnya menjadi berdebar-debar. Sekali lagi ia harus membelok kemudian ia kan sampai ke Bulak Dawa. Di ujung bulak yang panjang itulah terdapat sebuah pohon randu alas raksasa, yang terkenal dengan sebutan tikungan randu alas. Di bawah randu alas jalan membelok kekiri lewat Kali Asat dan sekali lagi ia harus membelok ke kanan. Kemudian ia akan sampai ke jalan lurus langsung menuju Sangkal Putung. Teringatlah ia akan ceritera tentang genderuwo bermata satu penunggu randu alas itu. Terasalah seluruh bulu-bulunya tegak. Tetapi terdorong oleh ketakutannya yang lain, ketakutannya kepada kakaknya yang akan membunuhnya, maka dipaksanya juga kudanya berlari. Meskipun demikian Agung Sedayu tidak henti-hentinya meratap di dalam hati. Perintah kakaknya dirasanya telah menghadapkannya pada suatu pilihan yang sama-sama mengerikan baginya. Seakan-akan kakaknya sengaja menjerumuskannya ke daerah maut. Berjalan ke Sangkal Putung atau tinggal di rumah Ki Tanu Metir, maut itu dapat hadir setiap saat untuk mencekiknya. Ketika sekali lagi Agung Sedayu memandang ke depan, kudanya telah sampai di kelok jalan, dan sesaat kemudian di hadapannya terbentang daerah persawahan yang panjang. Bulak dawa. Kini hujan telah benar-benar teduh. Bahkan di antara bintang-bintang di langit, tampak bulan tua muncul dari balik awan. Cahayanya yang kemerah-merahan memencar terlempar ke atas daun-daun padi yang subur di tanah persawahan. Di sana sini air yang bergenangan memantulkan sinar bulan yang redup itu. Sekali-sekali Agung Sedayu menengadahkan wajahnya. Mula-mula ia agak berlega hati, ketika malam tidak lagi sedemikian pekat. Namun tiba-tiba karena itu maka terasa segenap bulu-bulu ditubuhnya menjadi tegak.

Jauh di arah timur, remang-remang dilihatnya hutan yang terbujur ke selatan, seakan-akan raksasa sedang lelap tertidur. Sepi. Agung Sedayu segera memalingkan wajahnya. Kalau ia menempuh jalan timur, maka ia akan menyusur jalan di tepi hutan itu. Ia manarik nafas. Untunglah kakaknya berpesan untuk menempuh jalan barat, meskipun agak jauh sedikit. Lewat jalan ini, jaranglah orang bertemu binatang buas yang kelaparan, dan mencari mangsanya sampai keluar daerah perburuan mereka. Tetapi tiba-tiba mata Sedayu terbentur pada sebuah pohon yang besar menghadang di ujung jalan. Randu alas. Tanpa disadarinya Sedayu menarik kekang kudanya, sehingga kuda itu memperlambat larinya. Pohon itu di mata Sedayu seolah-olah berbentuk seorang raksasa yang tegak memandangnya dengan penuh nafsu. Tidak. Malahan tiba-tiba rimbun daunnya berubah menjadi kepala hantu yang bulat keputih-putihan, genderuwo mata satu. Hampir Sedayu memekik ketakutan. Tetapi suaranya tak sempat meloncat keluar. Sekali lagi ia menarik kendali kudanya, lebih keras. Dan kini kuda itu berhenti. Jantung Sedayu berdebar terlalu cepat. Terdengarlah nafasnya berkejaran lewat lubang hidungnya. Tiba-tiba perasaan takutnya memuncak. Tetapi ketika terpikir olehnya untuk kembali ke dukuh Pakuwon, hatinya diterkam oleh ketakutan yang lain. Kakaknya siap membunuhnya.
“O” terdengar Agung Sedayu mengeluh. Dirasanya seakan-akan dirinya adalah manusia paling sengsara di atas bumi ini. Kakaknya yang selama ini amat menyayanginya, menjaganya setiap saat, tiba-tiba kini membiarkannya dihadang maut. Bahkan memaksanya untuk terjun ke daerah yang mengerikan itu. Terasa mata Sedayu menjadi basah karenanya. Ia tidak dapat mengerti, mengapa ia harus pergi ke Sangkal Putung malam ini. Ternyata Untara lebih sayang kepada Widura daripada kepadanya.
“Ibu, ayah” desisnya. Tetapi ia terkejut mendengar suaranya sendiri. Kalau ayah dan ibunya yang sudah meninggal itu tiba-tiba datang, maka ia pun akan mati ketakutan. Karena perasaan itulah maka Sedayu menjadi semakin bingung. Ingin ia berteriak, namun tak bisa dilakukannya.

Tanpa disadarinya, ketakutannya itu telah membawanya mendekati bencana yang jauh lebih besar dari yang dikhayalkan tentang genderuwo bermata satu. Jauh di belakangnya berderap seekor kuda yang lain, Alap-alap Jalatunda. Pada saat Agung Sedayu dibakar oleh ketakutan, pada saat itu Alap-alap Jalatunda memacu kudanya habis-habisan. Mula-mula ia ragu-ragu terhadap pemuda yang dikejarnya. Apakah pemuda itu tidak akan mencelakakannya. Seandainya pemuda itu benar-benar seperti yang dikatakan Untara, maka kedatangannya adalah untuk mengantarkan nyawanya. Tetapi kemudian diingatnya, bagaimana sikap anak muda itu ketika pande besi Sendang Gabus menyerangnya. Tiba-tiba Alap-alap Jalatunda itu tersenyum. Kalau Agung Sedayu benar-benar anak yang mumpuni, ia pasti mengambil jalan timur. Ternyata anak itu menurut Kriya telah mengambil jalan barat.
“Menyenangkan” desisnya,
“Aku akan mendapat permainan yang baik, jauh lebih baik dari Untara yang luka itu” Maka Alap-alap Jalatunda itu pun memacu kudanya lebih cepat,
“Mudah-mudahan aku dapat menyusulnya”
Kaki-kaki kuda Alap-alap Jalatunda itu pun berderap pula di atas jalan berbatu menuju Kali Asat. Di benaknya sama sekali tidak terhiraukan genderuwo mata satu di tikungan randu alas. Ceritera itu pernah didengarnya pula. Tetapi hati Alap-alap yang muda itu tidak sekecil hati Agung Sedayu. Karena itu Alap-alap yang garang itu tidak pernah gentar seandainya betul-betul ada genderuwo mata satu menghadang di depannya, bahkan ia akan lebih gentar apabila ia bertemu dengan Untara. Karena itu Alap-alap Jalatunda berpacu dengan penuh gairah. Kalau ia dapat menangkap anak muda itu, memenggal kepalanya dan melemparkan kedua bagian tubuh yang terpisah itu maka ia akan dapat menggetarkan laskar Pajang yang bersarang di Sangkal Putung. Kembali Alap-alap Jalatunda tersenyum dan bersamaan dengan itu, kudanya dipacu semakin cepat. Kini ia bertekad untuk dapat menyusul anak muda itu.

Di Bulak dawa Agung Sedayu masih terpekur di atas punggung kudanya yang tegak seperti patung. Dadanya yang penuh sesak oleh gelora perasaannya seakan-akan hendak meledak. Bahkan akhirnya Agung Sedayu tidak berhasil menguasai dirinya, sehingga beberapa kali terdengar ia mengeluh. Di tengah-tengah bulak yang panjang dan sepi itu, seolah-olah Agung Sedayu mendapat kesempatan untuk meledakkan segala himpitan di dadanya. Agung Sedayu tidak tahu, sudah berapa lama ia berhenti di tengah-tengah jalan di antara sawah-sawah yang terbentang sedemikian luasnya, tetapi akhirnya ia terkejut ketika lamat-lamat didengarnya derap kuda di belakangnya. Perlahan-lahan Agung Sedayu mengangkat wajahnya. Didengarnya suara itu baik-baik,
“Derap kuda”, desisnya.
“Siapa?”
Sedayu mencoba untuk menebak,
“Adakah kakang Untara” katanya seorang diri. Kemudian ia menggeleng,
“Lukanya agak parah” kata-katanya dijawabnya sendiri.
“Adakah mereka itu gerombolan Alap-alap Jalatunda?” kembali ia berkata sendiri. Mendengar kata-katanya itu sendiri dada Sedayu berdentang. Namun karena pengalamannya yang picik maka perhitungannya pun picik pula. Katanya,
“Alap-alap Jalatunda tidak berkuda”
Untuk sesaat Agung Sedayu menjadi agak tenang. Bahkan ia mengharap mendapat teman untuk melewati tikungan randu alas. Tetapi tiba-tiba tumbuhlah di dalam benaknya,
“Bagaimanakah kalau Alap-alap Jalatunda itu menemukan kudaku?”
Sekali lagi dada Agung Sedayu berguncang. Pikiran itu semakin lama menjadi semakin kuat. Malah kemudian Agung Sedayu menjadi pasti. Pikirnya,
“Derap kuda itu adalah derap kudaku sendiri, tetapi dengan Alap-alap Jalatunda dipunggungnya”.
Demikianlah tiba-tiba kaki Agung Sedayu menjadi gemetar. Dalam kecemasannya, maka lenyaplah segala akalnya yang jernih. Yang ada di dalam hatinya tinggallah,
“Bagaimana aku harus bersembunyi di bulak ini?”

Derap kuda di belakangnya itu pun semakin lama menjadi semakin dekat. Ia tidak dapat mengira-irakan, masih seberapa jauhnya. Namun di malam yang sepi itu, suara derap itu rasa-rasanya tinggal beberapa langkah di belakangnya. Tiba-tiba mata Agung Sedayu tersangkut pada sebuah parit yang agak dalam. Tanpa berpikir lagi, maka dengan tergesa-gesa ia meloncat turun. Demikian tergesa-gesanya sehingga ia jatuh terjerebab di tanah yang becek. Tertatih-tatih ia bangun, kemudian berlari-lari terjun ke dalam parit, sehingga pakaian yang basah menjadi semakin kuyup. Tetapi Sedayu sama sekali tidak menghiraukannya lagi. Bahkan kemudian, dengan tidak mengingat persoalan-persoalan yang dapat terjadi kemudian, anak yang ketakutan itu memungut sebuah batu dan dengan batu itu ia melempar kudanya. Kuda itu terkejut. Satu kali kuda itu meloncat, kemudian berputar-putar dan berlari kencang-kencang ke arah tikungan randu alas. Pada saat itulah Alap-alap Jalatunda muncul di kelok jalan di belakangnya. Hati anak muda yang sedang berpacu itu pun berdesir ketika di dalam keremangan cahaya bulan ia melihat seekor kuda yang berlari searah dengan kudanya.
“Adakah kuda itu kuda kawan Untara?” Jarak kedua ekor kuda itu masih belum terlalu dekat. Dengan demikian Alap-alap Jalatunda masih belum dapat melihat bahwa di punggung kuda itu tak ada seorang pun yang menaikinya. Karena itu, sesaat ia masih diganggu oleh keragu-raguannya. Jangan-jangan penunggang kuda itu benar-benar sakti seperti yang dikatakan Untara.
“Bukankah aku Alap-alap Jalatunda” desisnya.
“Alap-alap Jalatunda tidak mengenal takut. Meskipun seandainya yang berkuda itu Untara sendiri”. Alap-alap yang muda itu tersenyum sendiri ketika dari sudut hatinya terdengar jawaban,
“Ya, karena kau tahu pasti bahwa Untara sedang terluka parah”
Alap-alap Jalatunda itu pun segera memacu kudanya secepat angin. Ia tidak mau melepaskan buruannya atau menunggu sampai ke Sangkal Putung. Orang itu harus segera ditangkapnya. Hidup atau mati. Karena itu tiba-tiba Alap-alap itu berteriak ngeri, mirip seperti suara burung alap-alap yang berteriak di udara. Kudanya itu pun berlari semakin kencang seperti gila.


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar