Jilid 007 Halaman 3


“Ya” sahut Agung Sedayu perlahan-lahan.
“Siapa menurut dugaanmu?”
Agung Sedayu menggeleng,
“Entahlah”
Widura mengangkat alisnya. Kemudian katanya,
“Hanya ada dua kemungkinan. Ki Tambak Wedi atau Tohpati”
“Tohpati tidak akan seorang diri berada di tempat ini” sahut Agung Sedayu.
“Mungkin saja” jawab Widura.
“Beberapa orang lain berada di tempat lain pula. atau orang yang diumpankannya untuk memancing kita”

Agung Sedayu menarik nafas. Meskipun demikian mereka menjadi berdebar-debar juga. Baru saat itu mereka menyadari, bahwa bahaya yang demikian itu memang dapat terjadi. Tetapi kesadaran itu datangnya agak terlambat, sebab bahaya itu sendiri telah berada dipelupuk mata mereka. Beberapa saat terakhir, seakan-akan mereka telah melupakan kemungkinan ini. Namun kelengahan itu telah membawa mereka kedalam satu bahaya. Kini mereka tidak akan dapat mundur lagi, siapa pun yang akan mereka hadapi. Karena itu, maka Widura itu pun kemudian berkata,
“Marilah kita lihat, siapa orang itu.”
“Kita tidak usah mendekat” berkata Widura.
“Lalu bagaimana ?” bertanya Agung Sedayu
“Biarlah ia yang mendekat.”
“Apakah ia mau?”
“Marilah kita lihat” jawab Widura. Widura kemudian tidak menunggu jawaban Agung Sedayu lagi. Perlahan-lahan ia berjalan menepi dan duduk dengan enaknya di tepi jalan. Namun demikian, pedangnya telah disiapkannya, seandainya ada sesuatu yang tiba-tiba harus dihadapinya.
Agung Sedayu kini telah memahami maksud pamannya. Karena itu, maka ia pun berjalan menepi pula, dan berjongkok berhadapan dengan pamannya itu.
“Kalau orang itu ingin bertemu dengan kita, ia pasti akan datang kemari” berkata pamannya.
“Ya” sahut Agung Sedayu.
“Kalau ia akan bertahan di tempatkannya, maka biarlah kita tunggu di sini sampai besok siang.”
Agung Sedayu tersenyum. Meskipun demikian debar jantungnya menjadi semakin cepat. Seandainya orang itu benar-benar Ki Tambak Wedi, maka apakah mereka berdua akan mati sebelum mereka menyelesaikan pekerjaan mereka yang sebenarnya. Menumpas sisa-sisa laskar Jipang. Agung Sedayu kini sudah bukan seorang penakut lagi. Tetapi ia mempunyai beberapa perhitungan, yang dikatakannya kepada pamannya.
“Paman, adalah tidak menguntungkan sekali seandainya orang itu benar-benar Ki Tambak Wedi. Apakah dengan demikian kita tidak akan kehilangan kesempatan untuk melawan Tohpati dengan laskarnya?”
Widura mengangguk-angguk.
“Kau benar Sedayu” katanya,
“tetapi kita sudah tidak mempunyai kesempatan lagi. Kita hanya tinggal memilih satu kemungkinan. Mempertahankan diri. Apalagi? Kalau kita kembali sekalipun maka orang itu pasti akan mengejar kita, dan kita harus bertempur pula.”
“Tidak dapatkah kita memberikan tanda bahaya?”
“Kita tidak membawa alat untuk itu. Yang ada pada kita hanyalah sehelai pedang.”

Agung Sedayu terdiam. Jawaban pamannya tak akan dapat dipungkiri. Seandainya mereka berjalan kembali, maka orang itu pasti akan mengejarnya, atau bahkan menyerang dari arahnya dengan senjata-senjata jarak jauh. Paser atau bandil atau apa pun yang akan dapat dilemparkannya. Tiba-tiba Agung Sedayu itu teringat akan sesuatu. Ia mempunyai beberapa kelebihan dengan daya bidiknya. Mungkin akan mengurangi tekanan-tekanan yang akan dilakukan oleh orang yang berjongkok di pinggir jalan itu. Karena itu, maka tiba-tiba saja Agung Sedayu itu pun mengumpulkan beberapa butir batu yang berada di sekitarnya.
“Untuk apa?” bertanya Widura.
Agung Sedayu tersenyum meskipun masam.
“Kalau kita yakin bahwa orang itu lawan kita siapa pun ia, maka aku akan menyerangnya sebelum orang itu mendekat.”
Widura menjadi tersenyum pula. Jawabnya,
“Tak ada gunanya.”
Agung Sedayu menggigit bibirnya. Meskipun demikian, ia tetap pada pendiriannya.
Tetapi sesaat mereka duduk di pinggir jalan. Orang yang berjongkok itu pun tidak bergerak. Orang itu masih juga berada di tempat itu juga. Karena itu, maka Widura dan Agung Sedayu adalah menjadi semakin lama semakin gelisah
“Orang itu memang membiarkan kita menjadi gelisah” bisik Widura,
“tetapi biarlah. Kita akan tetap berada di tempat ini.”
“Ya” sahut Agung Sedayu pendek.
Sebenarnyalah bahwa kegelisahan mereka sudah hampir tak tertahankan lagi. Orang itu sama sekali tidak bergerak dan seakan-akan sebuah patung yang mati. Sikap itu sama sekali tidak menyenangkan bagi Widura dan Agung Sedayu. Ketika kegelisahan Agung Sedayu telah memuncak, maka ia berkata,
“Paman, biarlah aku mencoba melamparnya dengan batu, apakah ia masih akan berdiam diri? Aku kira aku akan dapat mengenainya.”
“Jangan” jawab Widura,
“kita jangan menjadi gelisah. Kita harus tetap tenang. Orang itu sengaja membuat kita gelisah.”
Agung Sedayu terdiam. Namun dadanya benar-benar akan menjadi pecah karena kegelisahan yang menghentak-hentak. Meskipun berkali-kali pamannya mengatakan bahwa orang itu sengaja membiarkan mereka gelisah, namun Agung Sedayu itu benar-benar hampir pingsan dibuatnya. Sedemikian gelisahnya Agung Sedayu sehingga sekali ia berdiri, kemudian kembali berjongkok di hadapan pamannya. Sesaat kemudian dengan lesunya ia membantingkan diri duduk di sini Widura. Sebenarnya Widura itu sendiri pun menjadi sangat gelisah. Namun ia masih berhasil mengendalikan dirinya. Ia masih tetap dalam sikapnya. Siap untuk menarik pedangnya apabila terjadi sesuatu.

Di Kademangan Sangkal Putung. Ki Tanu Metir duduk sambil mengantuk. Sekali-sekali Untara yang telah menjadi berangsur baik, bertanya-tanya kepadanya. Namun dengan segannya orang tua itu menjawab sekenanya.
“Apakah Ki Tanu Metir sudah mengantuk?” bertanya Untara
“Hem” sahut Ki Tanu Metir sambil menguap,
“aku tidak biasa mengantuk pada saat-saat seperti ini. Kalau tengah malam sudah lampau, biasanya barulah haku mengantuk. Tetapi kali ini mataku rasa-rasanya tak mau dibuka lagi”
“Kenapa?” bertanya Untara
“Mungkin aku makan terlalu kenyang” jawab Ki Tanu Metir
Untara tertawa. biasana Ki Tanu Metir itu, pada saat-saat yang demikian ini, pergi berjalan-jalan keluar. Baru segelah lewat tengah malam orang tua itu kembali ke pringgitan. Karena itu, maka Untara bertanya pula,
“Ki Tanu, apakah Kiai tidak ingin berjalan-jalan?”
Sekali lagi Ki Tanu Metir itu menguap. Jawabnya,
“Setiap hari aku pergi berjalan-jalan. Tetapi kali ini rasa-rasanya agak segan. Mungkin karena aku sudah terlalu lelah”
“Ya” jawab Untara singkat. Ia tahu benar, bahwa Ki Tanu Metir sibuk mengobati orang-orang yang terluka dan dirawat dibajar kademangan. Karena itu, maka Untara itu pun kemudian berdiam diri. Tetapi tiba-tiba ia mendengar Ki Tanu Metir berkata,
“angger Widura dan angger Sedayu agaknya mempunyai keperluan yang khusus, sehingga sampai saat ini masih belum kembali”
“Apakah ini telah melampaui tengah malam?” bertanya Untara
“Hampir tengah malam” sahut Ki Tanu Metir,
“Biasanya pada saat-saat begini mereka telah kembali”
Untara tidak menjawab. mungkin sekali mereka berdua berhenti di salah satu gardu perondan. Berkelakar dengan para petugas, atau menunggu mereka merebus ubi kayu. Tetapi agaknya Ki Tanu Metir berpendapat lain. Katanya,
“Hem, aku menjadi semakin mengantuk”
“Tidurlah Kiai” berkata Untara,
“Lebih baik ki Tanu beristirahat. Tenaga Kiai masih sangat diperlukan di sini”
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia berkata,
“Setiap malam aku keluar berjalan-jalan. Aku kira lebih baik aku berjalan-jalan pula malam ini supaya kantukku hilang. Orang yang tidur sebelum tengah malam, rejekinya akan berkurang”
Untara tertawa. Jawabnya,
“Jangan terlalu jauh Kiai”
Ki Tanu Metir tertawa pula,
“Kenapa?” ia bertanya.
Kembali Untara tertawa. ia tahu benar, bahwa ia tidak perlu memperingatkan orang tua itu. Karena itu, maka jawabnya,
“Nanti Kiai jadi lapar lagi”

Ki Tanu Metir itu pun tertawa. Ki Demang Sangkal Putung yang baru datang, dan mendengar percakapan itu pun tertawa pula. sambungnya,
“Jangan takut Kiai, di dapur masih tersedia ubi rebus”
“Terima kasih” sahut Ki Tanu Metir sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Terima kasih. Mudah-mudahan aku tidak memerlukannya”
Ki Tanu Metir itu pun kemudian berdiri dan perlahan-lahan berjalan keuar prtinggitan. Belum lagi ia melangkahi pintu, maka terdengar Ki Demang berkata,
“Apakah aku perlu mengantarkan Kiai?”
“Tidak, tidak” jawab Ki Tanu Metir cepat-cepat,
“Jangan repot karena aku. Biarlah aku berjalan-jalan sendiri. mungkin ke banjar desa, melihat mereka yang terluka, atau mungkin ke gardu-gardu peronda”
“Jangan ke gardu peronda. Di jalan Kiai dapat bertemu dengan bahaya”
“Oh ya, baiklah” berkata Ki Tanu Metir
Kemudian Ki Tanu Metir itu pun pergi meninggalkan Ki Demang yang kini duduk mengawani Untara. Dalam kegelapan malam, Ki Tanu Metir itu meraba-raba tongkatnya menuju ke gerbang halaman.
“Selamat malam Kiai” bertanya orang yang sedang bertugas,
“Apakah Kiai akan berjalan-jalan?”
“Ya” jawab Ki Tanu Metir
Orang yang sedang bertugas itu telah mengetahui kebiasaan Ki Tanu Metir itu. Setiap malam berjalan-jalan keluar halaman menikmati sejuknya udara. Karena itu, maka kepergian Ki Tanu Metir itu sama sekali tidak menarik perhatian mereka. Seorang yang sedang duduk menguap di samping regol berkata,
“Hem, dingin Kiai. Apakah Kiai tidak lebih senang tidur saja?”
“Uh” sahut Ki Tanu Metir,
“Sejak muda aku tidak pernah tidur sebelum lewat tengah malam”
Dan Ki Tanu Metir itu pun berjalan tertatih-tatih menyusup kedalam gelapnya malam. Namun setelah cukup jauh tiba-tiba Ki Tanu Metir itu berpaling. Sekali ia menarik nafas panjang. Kemudian disangkutkannya kain panjangnya. Dan tiba-tiba orang tua itu berjalan tergesa-gesa. Gumamnya,
“Hem, kenapa hari ini aku lebih senang terkantuk-kantuk di kademangan? Justru hari ini angger Widura dan angger Agung Sedayu pulang terlambat. Mudah-mudahan tak ada seusatu yang mengganggunya”
Meskipun demikian orang tua itu berjalan dengan cepatnya menyusup kegelapan. Kini Ki Tanu Metir itu sama sekali tidak mempergunakan tongkatnya lagi. Ketika dilihatnya di hadapannya sebuah gardu perondan, maka segera dengan tangkasnya ia menyelinap dan hilang di balik pagar. Kini orang tua itu menyusup di antara rimbunnya dedaunan dan dengan cepatnya berjalan melingkari gardu perondan itu.

Dalam pada itu Agung Sedayu yang duduk di pinggir jalan dengan gelisahnya, benar-benar tak dapat menguasai dirinya lagi. Karena itu, maka katanya,
“Paman, aku dapat menjadi gila karenanya. Marilah kita datang kepadanya, kita tanyakan apakah keperluannya”
“Itulah yang diharapkannya. Kita kehilangan kesabaran dan pengamatan diri”
Agung Sedayu menggeram. Ia dapat mengerti kata-kata pamannya, namun ia tidak dapat melawan perasaan gelisahnya, sehingga karenanya maka tubuhnya segera dilumuri oleh keringat dingin yang mengalir dari segenap permukaan kulitnya. Meskipun demikian, Agung Sedayu bertanya juga kepada pamannya,
“Paman, apakah bedanya, seandainya kita harus benar-benar bertempur, menunggu atau datang kepadanya?”
“Kalau orang itu Ki Tambak Wedi, Sedayu, maka keadaan kita memang hampir sama saja. Tetapi kalau orang itu Tohpati, maka kita akan mendapat beberapa keuntungan. Kalau kita maju lagi, mungkin kita akan dijebak oleh orang-orangnya. Sedangkan kalau kita berada di sini, maka kita mempunyai garis ancang-ancang yang cukup luas”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat juga mengerti keterangan itu. Bahkan seandainya orang itu Ki Tambak Wedi pun maka mereka akan lebih banyak waktu untuk memersiapkan diri mereka. Tetapi kenapa mereka harus menunggu terlalu lama?
“Agung Sedayu” berkata Widura,
“Sebenarnya pertempuran antara kita melawan orang itu sudah kita mulai. Dalam taraf ini kita sedang mengadu ketabahan jati kita masing-masing. Apakah kita dapat mengendalikan diri atau tidak. Siapa yang lebih dahulu kehilangan kesabaran maka ialah yang lebih dahulu akan kehilangan ketenangan. Seandainya kekuatan kita dengan orang itu seimbang, maka siapa yang kehilangan ketenangannya pasti akan kalah”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia tidak dapat menyabarkan dirinya sendiri lebih lama lagi. Bahkan akhirnya ia berkata,
“Paman, meskipun kita tidak mulai lebih dahulu, sebenarnya kita telah kehilangan ketenangan itu. Semakin lama kita menahan diri, maka ketenangan kita akan menjadi semakin tipis. Karena itu selagi kita masih menyadari keadaan, maka marilah kita lihat siapakah yang berada di hadapan kita itu”

Widura menarik nafas. Ia pun sebenarnya telah hampir kehabisan kesabarannya pula. Untunglah bahwa ia masih bersabar sesaat. Namun ternyata waktu yang sesaat itu telah benar-benar menguntungkannya. Bukan karena orang yang berjongkok itu menjadi bingung dan kehilangan ketenangan, tetapi sebenarnya bahwa mereka masih mendapat perlindungan dari Kekuasaan yang melampaui segenap Kekuasaan. Akhirnya ternyata Agung Sedayu itu menjadi benar-benar tidak dapat mengendalikan dirinya. Kini ia tidak minta ijin lagi kepada pamannya. Dengan serta-merta ia berdiri dan dengan sekuat tenaganya ia melemparkan sebuah batu mengarah kepada orang yang berjongkok di pinggir jalan itu. Tetapi alangkah kecewanya, dan bahkan kemarahan di dalam dadanya menjadi semakin menyala, ketika orang itu sama sekali tidak bergerak dari tempatnya. Apalagi bergerak, sikapnya pun sama sekali tidak berubah. Jongkok.
“Hem” Agung Sedayu menggeram.
“Sudahlah Sedayu” cegah pamannya.
“Aku tidak sabar lagi. Aku akan datang kepadanya dan akan melihat wajahnya. siapakah orang yang bermain hantu-hantuan itu”
“Jangan” pamannya segera memotong kata-katanya.
“Biarlah” sahut Agung Sedayu.
“Jangan” ulang pamannya.
Agung Sedayu menjadi kecewa. Tetapi ia tidak berani melanggar kata-kata pamannya. Karena itu, maka ia menjadi semakin bingung.

Tetapi ternyata ketabahan hati Widura telah menjengkelkan orang yang berjongkok itu. Orang itu memang membiarkan Widura dan Agung Sedayu menjadi gelisah dan bingung. Tetapi yang dilihatnya hanya Agung Sedayu sajalah yang benar-benar seperti cacing kepanasan. Sedang Widura masih saja duduk di tempatnya tanpa bergerak. Orang itu ingin melihat keduanya menjadi bingung dan dengan demikian, ia akan mendapat permainan yang lucu dan menyenangkan. Tetapi harapannya itu hanya separo berhasil. Ia hanya melihat Agung Sedayu yang berjingkat-jingkat, berdiri, berjongkok, duduk dan segala macam perbuatan-perbuatan yang aneh. Karena itu, maka akhirnya ia menganggap bahwa ia tidak perlu menunggu permainan yang lucu itu lebih lama lagi. Disadarinya bahwa cara berpikir pemimpin laskar Pajang itu benar-benar sudah dewasa. Karena itu, maka ia harus membuat permainan yang lain. Mula-mula ia sama sekali tidak menghiraukan lemparan-lemparan batu Agung Sedayu. Dengan sepotong besi batu-batu itu dipukulnya ke samping. Sedemikian cepatnya, sehingga Agung Sedayu sama sekali tidak melihat gerak itu. Kini ia akan membuat permainan yang lain. Ia ingin melihat Agung Sedayu mati ketakutan atas setidak-tidaknya karena dibakar oleh kemarahannya. Mati dengan cara itu adalah mengerikan sekali. Karena itu, maka orang itu pun tersenyum. Dalam pada itu, Agung Sedayu dan Widura benar-benar menjadi sangat terkejut. Sesaat mereka bercakap-cakap sehingga mereka tidak melihat orang yang berjongkok itu. Namun sesaat itu benar-benar telah mendebarkan jantung mereka. Orang yang berjongkok itu telah lenyap.
“Gila” tiba-tiba Agung Sedayu itu pun berteriak,
“Kemana orang itu?”
“Jangan berteriak” potong Widura. tetapi Widura itu pun menjadi bersiaga. Ia pun segera berdiri dan menarik pedang dari wrangkanya. Beberapa langkah ia berjalan ketengah jalan dan berbisik,
“Orang itu akan menyerang kita dari arah yang tidak kita ketahui”
“Kemana orang itu?” bertanya Agung Sedayu.
“Aku sangka ia berguling masuk ke parit di pinggir jalan itu. Dari sana ia dapat pergi kemana saja yang disukainya. Karena itu kita harus bersiap menghadapi lawan dari segala arah. Ia dapat selalu memperhatikan kita, sedang kita tidak dapat melihat orang itu”
“Marilah kita cari”
“Sangat berbahaya” sahut pamannya,
“Aku kini pasti. Orang itu bukan Macan Kepatihan, tetapi Ki Tambak Wedi. Macan Kepatihan tidak akan berbuat sedemikian. Ternyata Ki Tambak Wedi mencoba membunuh kita dengan cara yang paling jahat yang dapat dilakukannya”

Agung Sedayu menggeram. Tiba-tiba tangannya pun telah menggenggam pedangnya. Dengan suara yang berat ia berkata,
“Akhirnya akan sama saja paman. Kenapa kita tidak datang menyerangnya”
“Sudah aku katakan” sahut pamannya,
“Aku, sebelum ini tidak yakin kalau orang itu Ki Tambak Wedi”
Agung Sedayu tidak menjawab. tiba-tiba ia berputar sambil berteriak,
“Ayo, kemarilah. Kita bertempur beradu pedang”
“Jangan berteriak Sedayu” desis pamannya.
“Punggungku dilemparnya dengan batu” sahut Agung Sedayu.
Pamannya mengerutkan keningnya. Ki Tambak Wedi benar-benar ingin mempermainkan mereka. Karena itu, maka betapa kemarahan melonjak di kepalanya. Tetapi Ki Tambak Wedi itu belum dilihatnya. Agung Sedayu benar-benar menjadi sangat marah dan bingung, sehingga benar-benar seperti orang yang kehilangan kesadaran diri. Sekali-sekali terasa punggungnya dikenai oleh lemparan-lemparan batu dari arah yang tak diketahuinya.
“Agung Sedayu” berkata Widura,
“Jangan menjadi bingung dan kehilangan pengamatan. Tenanglah. Kita sudah bersedia menghadapi segala kemungkinan”
Kembali Agung Sedayu menggeram. Tetapi ia mencoba menenangkan dirinya. Sekali dua kali dibiarkannya beberapa butir batu mengenainya, namun ternyata semakin lama menjadi semakin keras. Betapapun ia mencoba berdiam diri, tetapi kembali kemarahannya itu meledak. Sehingga terdengar ia berteriak,
“Ayo yang bersembunyi di balik alang-alang atau di balik gerumbul-gerumbul itu. Kemarilah, kita bertempur sebagai laki-laki. Jangan bersembunyi dan menyerang sambil bersembunyi”
Tetapi masih belum terdengar jawaban, sehingga Agung Sedayu seolah-olah benar-benar menjadi gila.

Widura pun telah kehabisan akal. Bagaimana ia akan melawan orang yang tidak dilihatnya. Orang itu pasti bersembunyi sambil berpindah-pindah. Dengan demikian, ia akan dapat menyerangnya menurut arah yang dikehendaki. Namun akhirnya Widura harus mengambil sikap yang dapat memecahkan kebingungan itu. Ia harus berani menghadapi akibat yang paling parah sekalipun. Karena itu, maka katanya berbisik,
“Sedayu. Kita tidak akan dapat tetap tinggal di tempat ini. Kita pun harus mengambil sikap. Mari kita bersembunyi pula dengan kemungkinan yang paling pahit, apabila kita menyuruk kegerumbul yang di tempati olehnya. Tetapi kalau tidak kita tidak akan menjadi bulan-bulanan lagi. Dan kita mempunyai kesempatan yang sama dengan orang itu”
“Marilah paman” sahut Agung Sedayu yang juga telah kehilangan akal. Ia sudah tidak dapat berpikir lagi. Sehingga apa saja yang harus dilakukannya, dilaksanakannya tanpa pertimbangan.
Tetapi tiba-tiba didengarnya suara tertawa di dalam semak-semak diseberang parit. Suara itu tidak terlalu keras, tetapi benar-benar menyakitkan hati. Disela-sela suara tertawa itu terdengar ia berkata,
“Agung Sedayu. Aku senang sekali melihat kau kebingungan seperti kera yang ekornya terbakar. Kalian tak usah bersembunyi kemana pun sebab akibatnya akan sama saja. Aku akan selalu dapat melihat kalian. Karena itu lebih baik kalian berada di tempat yang terbuka supaya besok ada yang dapat menemukan mayat kalian”
Bukan main marah Widura dan Agung Sedayu mendengar suara itu. Namun suara itu seakan-akan memancar dari tempat yang tak dapat diketahui. Suara itu seakan-akan melingkar-lingkar dan bergetaran dari segenap arah. Sesaat kemudian suara itu berkata kembali,
“Agung Sedayu dan Widura. aku sudah berkeputusan untuk membunuh kalian dengan bantuan kalian sendiri. Kemarahan dan kebingungan, kesakitan dan kelelahan adalah cara pembunuhan yang paling dahsyat. Meskipun kalian tidak menjadi ketakutan, tetapi bagiku tidak ada bedanya. Kalian menderita sebelum ajal datang”
“Setan” sahut Widura,
“Itu bukan perbuatan seorang jantan”
Kembali suara tertawa itu menggetar.
“Jangan mengumpat-umpat” katanya.
“Kau hanya akan menambah dosa saja. Sebaiknya kalian berbaring saja di situ, tenangkan hatimu dan berdo’alah supaya nyawamu tidak tersesat masuk neraka”
“Diam, diam!” teriak Agung Sedayu,
“Aku sobek mulutmu dengan pedangku ini”
“Bagus, bagus” sahut suara itu,
“Sobeklah kalau kau ingin. Mulut ini memang tidak terlalu lebar”

Mereka berdua, Widura dan Agung Sedayu semakin lama menjadi benar-benar hampir gila dibakar oleh perasaan sendri. Dan suara itu pun masih selalu mengganggunya dari arah yang tidak ketahuan. Mudah-mudahan Widura masih dapat menyadari, bahwa orang itu pasti berpindah-pindah tempat. Namun disadarinya pula bahwa orang itu adalah seorang yang sakti. Tetapi semakin lama kesadarannya menjadi semakin tipis, sehingga akhirnya suara itu seakan-akan melingkar-lingkar di langit yang kelam.

Namun dalam kebingungan yang hampir menelan Widura dan Agung Sedayu itu tiba-tiba terdengar suara yang lain dari suara yang pertama. Suara yang kedua terdengar lunak dan lembut, meskipun tidak pula mereka ketahui arahnya. Katanya,
“Widura dan Agung Sedayu. Jangan bingung. Biarkan saja suara itu mengganggu kalian. Anggaplah suara itu suara angin yang lembut, menyentuh daun-daun yang kering. Memang suaranya gemerisik menyakitkan telinga. Namun suara itu sama sekali tidak berbahaya. Turutilah kehendak yang tersembul di dalam hati kalian, untuk mengurangi ketegangan di hati kalian. Kalau kalian ingin bersembunyi, bersembunyilah. Kalau kalian ingin kembali ke kademangan, kembalilah. Kalau kalian ingin berteriak, berteriaklah. Suara itu benar-benar tidak berbahaya”
Widura dan Agung Sedayu menggeram. Namun mereka menjadi bertambah bingung. Sehingga karena itu, maka mereka menjadi terpaku diam di tempatnya. Dalam pada itu suara yang kedua itu berkata pula,
“Jangan menjadi bingung. Tegasnya, jangan hiraukan suara itu”
Widura dan Agung Sedayu itu pun mencoba mengingat-ingat suara yang kedua itu. Suara itu pernah didengarnya. Lembut, lunak meskipun bernada tinggi. Tiba-tiba Widura itu pun bergumam,
“Kiai Gringsing”
Agung Sedayu segera menengadahkan wajahnya. perlahan-lahan mulutnya berdesis,
“Ya, Kiai Gringsing”
Sesaat kemudian suasana menjadi sunyi. Baik Ki Tambak Wedi maupun Kiai Gringsing tidak berkata-kata lagi. Widura dan Agung Sedayu pun berdiri kaku bertolak punggung dengan pedang telanjang di tangan masing-masing. Namun mereka sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa. Dalam pada itu angin malam yang lembut membelai kening mereka, menggerak-gerakkan ujung ikat kepala mereka yang berjuntai di belakang telinga. Tetapi betapa sejuknya angin menyentuh tubuh mereka, namun hati mereka serasa tersentuh bara. Panas dalam kesunyian malam yang dingin. Tetapi kesunyian itu benar-benar sangat menjemukan. Kesunyian itu terasa menjadi sedemikian tegangnya, sehingga karenanya Widura dan Agung Sedayu itu seolah-olah telah menahan nafas mereka. Tiba-tiba Agung Sedayu dan Widura itu terkejut bukan kepalang. Di balik gerumbul-gerumbul itu terdengar suara gemerisik. Bukan saja langkah seseorang, tetapi suara itu sedemikian ributnya.
“Suara apakah itu?” desis Agung Sedayu.

Widura memutar tubuhnya mengarah kepada suara itu. Namun suara itu telah jauh bergeser dari tempatnya semula. Sehingga Widura itu pun ikut berputar pula.
“Suara apakah itu paman“ ulang Agung Sedayu sambil menahan nafasnya.
Widura menggeleng lemah. Ia pun menjadi kebingungan karenanya. Sedang suara itu masih saja terdengar di antara rimbunnya gerumbul-gerumbul di sekitarnya. Namun seperti suara Ki Tambak Wedi dan Kiai Gringsing, maka suara gemerisik itu pun melingkar-lingkar tak tentu arahnya.
Namun akhirnya Widura menyadari keadaan itu. Dengan serta-merta ia berkata,
“Agung Sedayu. Mereka pasti sedang bertempur”
“Siapa?”
“Ki Tambak Wedi dengan Kiai Gringsing”
“He?” Agung Sedayu itu pun terkejut.
“Dimana?”
“Rupa-rupanya Ki Tambak Wedi tidak senang mendengar suara Kiai Gringsing, sehingga orang itu langsung menyerangnya. Dan kini keduanya sedang bertempur di dalam gelap itu. Mereka bergeser dari satu tempat ke lain tempat. Aku tidak tahu pasti, apakah Ki Tambak Wedi ataukah Kiai Gringsing yang sengaja memberikan kesan kepada kita, bahwa pertempuran itu seakan-akan terjadi di langit yang kelam”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Keterangan pamannya itu benar-benar dapat dimengertinya dan akhirnya ia pun merasakan, kesibukan perkelahian pada suara yang didengarnya. Tetapi perkelahian antara dua orang yang telah memiliki ilmu yang jauh lebih tinggi dari mereka. Meskipun demikian Agung Sedayu itu menjadi cemas. Ki Tambak Wedi adalah seorang yang telah mempunyai nama yang cukup menggetarkan di seluruh lereng gunung Merapi itu, sedang nama Kiai Gringsing sama sekali belum dikenal oleh siapapun. Sedemikian besar keragu-raguan Agung Sedayu, sehingga terdengar ia berbisik kepada pamannya,
“Paman, apakah Kiai Gringsing cukup memiliki kemampuan untuk melawan Ki Tambak Wedi?”
Widura menarik alisnya. Tetapi pedangnya masih selalu siap di dalam genggamannya. Jawabnya,
“Aku tidak meragukannya. Orang itu memiliki beberapa kelebihan. Kekuatan tenaganya telah membuktikannya”
“Apakah paman pernah melihat?”
“Aku belum pernah melihat ia bertempur, namun aku pernah melihat Kiai Gringsing mengimbangi kekuatan Ki Tambak Wedi. orang itu mampu meluruskan kembali lingkaran-lingkaran besi yang dibuat oleh Ki Tambak Wedi dengan tangannya”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun demikian masih saja perasaannya diliputi oleh keragu-raguan dan kecemasan. Di sekitarnya masih terdengar suara gemerisik dan bahkan menjadi jelas. Namun kadang-kadang suara itu menjadi semakin jauh dan berkisar dengan cepatnya.
“Marilah kita melihat paman” ajak Agung Sedayu.
“Kemana?” bertanya pamannya.
Agung Sedayu pun menjadi bingung. Ia tidak tahu arah yang harus didatangi. Suara itu benar-benar melingkar-lingkar seolah-olah memenuhi segenap penjuru. Ketika Agung Sedayu dan Widura terdiam, maka suara itu menjadi semakin jelas. Kadang-kadang suara itu sedemikian dekatnya, namun kadang-kadang menjadi agak jauh, tetapi suara itu menunjukkan betapa ributnya pertempuran yang sedang berlangsung. Tiba-tiba mereka terkejut, ketika mereka melihat bayangan yang melontar dari dalam kegelapan, disusul oleh sebuah bayangan yang lain. Maka kedua bayangan itu kini bertempur di tempat yang terbuka. Masing-masing dengan caranya dan masing-masing dengan ilmunya yang khusus. Sehingga dalam malam yang gelap itu, Widura dan Agung Sedayu melihat pameran kekuatan yang mengagumkan. Ki Tambak Wedi benar-benar sampai sedemikian garangnya. Tangannya bergerak-gerak dengan pasti dan cepat. Tangan yang hanya sepasang itu seakan-akan merupakan sepasang senjata yang sangat dahsyatnya. Seperti sepasang tombak pendek yang mematuk-matuk dari segenap arah. Tetapi lawannya adalah seorang yang sangat lincah. Seperti asap yang berputaran dalam pusaran angin yang kencang. Sepasang kakinya seakan-akan tidak berjejak di atas tanah. Sehingga dengan cepatnya ia dapat berpindah-pindah tempat. Betapapun kekuatan lawan yang menghantamnya, namun serangan itu seakan-akan tidak dapat menyentuhnya. Pertempuran itu menjadi semakin sengit. Widura dan Agung Sedayu berdiri saja mematung. Dadanya terasa berdentangan dan darahnya mengalir semakin cepat. Pedang-pedang di tangan mereka seolah-olah sama sekali tidak akan berarti seandainya mereka harus bertempur melawan salah seorang dari mereka.
“Seandainya kami yang harus bertempur melawan Ki Tambak Wedi,” desis Agung Sedayu di dalam hatinya,
“Entahlah apa kira-kira yang akan terjadi”
Sesungguhnyalah bahwa kekuatannya sama sekali tak akan berarti dibandingkan dengan kekuatan dan kesaktian orang yang menakutkan itu.

Malam yang dingin itu semakin lama menjadi semakin dingin. Angin yang basah perlahan-lahan mengalir dari selatan. Namun hati Widura dan Agung Sedayu terasa betapa panasnya. Mereka melihat perkelahian yang dahsyat antara Ki Tambak Wedi dan Kiai Gringsing. Namun kadang-kadang keduanya menjadi hilang di dalam kegelapan malam, untuk kemudian muncul kembali di tempat yang lain. Ternyata mereka berdua telah mempergunakan tempat yang amat luas untuk bertempur. Mereka melontar-lontar sangat cepatnya dan loncatan-loncatan panjang yang mengherankan. Seolah-olah kedua-duanya memiliki sayap di punggung mereka, sehingga mereka dapat beterbangan berputar-putar. Pertempuran itu benar-benar seperti pertempuran antara dua ekor burung-burung raksasa di langit yang luas berebut kekuasaan. Seakan-akan mereka sedang bertaruh, siapa yang menang di antara mereka maka ialah yang dapat merajai langit. Tetapi Widura dan Agung Sedayu menjadi bingung. Mereka sama sekali tidak dapat menilai, siapakah di antara mereka berdua yang lebih kuat. Keduanya sama-sama memiliki keunggulan dan kelebihan yang sulit dimengerti. Desak-mendesak, silih berganti. Sehingga kemudian keduanya menjadi seperti gumpalan-gumpalan asap yang berbenturan tidak menentu. Namun kemudian Widura dan Agung Sedayu terkejut ketika mereka melihat benda yang berkilat-kilat di tangan Ki Tambak Wedi pada kedua belahnya. Dalam genggaman tangannya, tiba-tiba telah melingkar gelang-gelang besi baja. Sepasang senjata yang pernah mereka lihat di halaman belakang kademangan serta ciri yang sudah pernah mereka kenal pula. Dengan senjata itu, maka tangan-tangan Ki Tambak Wedi itu menjadi semakin berbahaya. Serangan-serangan Kiai Gringsing kemudian selalu tidak pernah dihindarinya, namun dicobanya untuk menempuh serangan itu dengan gelang-gelang baja yang melingkari genggaman tangannya. Bahkan seandainya lawannya mempergunakan pedang sekalipun, namun pedang itu akan ditahannya dengan lingkaran-lingkaran itu. Dengan senjata itulah maka Ki Tambak Wedi menjadi semakin dahsyat. Tangannya menyambar-nyambar ke segenap tubuh lawannya. Pukulan-pukulannya adalah pukulan-pukulan maut, seandainya tersentuhpun, maka tulang-tulang Kiai Gringsing agaknya akan berserak retak. Karena itu, maka kini Widura dan Agung Sedayu dapat melihat, bahwa Kiai Gringsing lah yang selalu mencoba menghindar serangan-serangan lawannya. Berkali-kali ia melontar mundur dan menjauh. Tetapi lawannya selalu mengejarnya dengan ganasnya. Sambaran-sambaran tangannya berdesingan seperti lalat yang terbang mengitari tubuh Kiai Gringsing. Sedang cahaya besi baja di tangannya yang bergerak-gerak itu, tampaknya seolah-olah kilat yang menyambar-nyambar.

Widura dan Agung Sedayu menjadi cemas pula karenanya. Meskipun dengan demikian mereka dapat menduga bahwa kemampuan Kiai Gringsing ternyata masih berada setidak-tidaknya menyamai Ki Tambak Wedi. Ternyata dengan senjata yang kemudian terpaksa digunakan oleh Ki Tambak Wedi, namun apabila dengan senjata itu Kiai Gringsing dapat dikalahkan, lalu apakah jadinya mereka berdua?
Tetapi mereka berdua bukannya pengecut. Juga Agung Sedayu kini sama sekali tidak ingin melarikan dri dari bahaya. Meskipun kadang-kadang terasa juga sesuatu yang berdesir di dalam dadanya, seperti yang pernah dirasakannya dahulu, namun kini ia berkata kepada dirinya,
“dia itu mempunyai kesaktian yang tiada taranya. Seandainya aku melarikan diri, maka itu pasti hanya akan bersifat sementara. Ia akan dapat mengejarku dan menangkapku seperti kalau aku tetap berada di tempat ini. Karena itu, maka biarlah aku di sini bersama-sama dengan paman Widura dan Kiai Gringsing. Meskipun kekuatanku sama sekali tidak berarti, tetapi lebih baik menghadapinya bersama-sama daripada aku nanti harus dikejarnya seorang diri”
karena itu, maka Agung Sedayu masih tetap berdiri di tempatnya. Sekali-sekali ia berkisar mengikuti putaran pertempuran Ki Tambak Wedi dan Kiai Gringsing.

Ki Tambak Wedi yang kemudian merasa bahwa lawannya selalu terdesak, berkata dengan lantang sambil mengayunkan kedua tangannya berputaran menyerang lawannya,
“He, orang yang bodoh. Siapakah kau dan apamukah Agung Sedayu dan Widura ini?”
Jawabannya benar-benar menyakitkan hati Ki Tambak Wedi yang menyangka bahwa lawannya telah menjadi cemas akan nasibnya. Namun dengan jawaban itu, terasa seakan-akan lawannya itu masih saja menganggap perkelahian itu seperti sebuah permainan, katanya,
“Bukan apa-apa. kami hanya bersama-sama menghuni daerah ini, daerah yang diributkan oleh kehadiran Ki Tambak Wedi”
“Jangan mengigau” bentak Ki Tambak Wedi,
“apakah kau benar-benar telah jemu hidup?”
“Oh, kau salah sangka. Aku berkelahi karena aku ingin hidup tenteram di daerah ini”
“Hiduplah tenteram. Kenapa kau ganggu kami yang sedang terlibat dalam persoalan kami sendiri, apakah hubungannya hidupmu dengan persoalan ini?”
“Ada” sahut Kiai Gringsing,
“Angger Widura sedang memanggul tugasnya mempertahankan daerah perbekalan ini dari segapan Macan Kepatihan. Kalau kau binasakan orang itu, maka laskarnya pun akan berhamburan tanpa ikatan. Dan daerah ini akan menjadi kacau balau. Sangkal Putung akan berubah menjadi pusat perbekalan laskar Macan Kepatihan. Sehingga dengan demikian hidupku pun akan terancam”
“Gila. Jangan menganggap aku anak kambing yang bodoh. Kalau kau mampu bertempur melawan Ki Tambak Wedi, kenapa kau tidak mampu bertempur melawan Macan Kepatihan?”
“Seperti kau, kanapa kau tidak mau membunuh Macan Kepatihan? Kenapa mesti muridmu yang bernama Sidanti?”
“Gila, kau benar-benar gila. Seharusnya aku sudah membunuhmu. Nah sekarang kesempatan itu datang, orang yang tidak mau dikenal seperti kau ini pun harus mati. Dan aku akan dapat mengerti, apakah sebabnya kau menyebut dirimu dan memulai dirimu seperti itu. Bukankah kau yang aku jumpai di lapangan dekat banjar desa pada saat Sidanti berlomba memanah?”

Sementara itu perkelahian di antara mereka berdua, Ki Tambak Wedi dan Kiai Gringsing menjadi bertambah cepat. Meskipun beberapa kali Kiai Gringsing terpaksa melontar surut, namun perlawanannya masih tetap sengit. Dalam kesibukan perkelahian itu Kiai Gringsing menjawab,
“Ya, akulah yang bertemu dengan kau di lapangan itu, kau masih ingat?”
“Tampangmu tak mudah dilupakan” jawab Ki Tambak Wedi,
“Dan di daerah ini jarang-jaranglah orang yang mampu bertempur melawan Ki Tambak Wedi sampai dua tiga loncatan. Tetapi kau mampu bertahan beberapa lama”
Kiai Gringsing menggeram. Katanya,
“Jadi kau pasti bahwa akhirnya pertahananku pun akan runtuh?”
“Tentu, meskipun kulitmu berlapis baja sekalipun”
“Kau, yang mempergunakan lapisan baja di tanganmu”
“Persetan. Ambillah senjatamu. Kita menentukan siapa di antara angkatan tua yang akan dapat merajai lereng gunung Merapi”
“Aku tidak ingin” jawab Kiai Gringsing,
“Tetapi aku juga tak ingin dirajai”
Ki Tambak Wedi tidak berkata-kata lagi. Serangannya menjadi bertambah seru. Sepasang gelang dikedua tangannya bergerak dengan dahsyatnya. Setiap sentuhan daripadanya, pasti akibatnya akan sangat dahsyat. Namun kemudian masih juga ternyata bahwa Kiai Gringsing terpaksa selalu menghindari serangan Ki Tambak Wedi yang semakin garang. Beberapa kali Kiai Gringsing harus melontar surut, sedang Ki Tambak Wedi tidak akan melepaskan segenap kesempatan yang terbuka baginya. Tetapi kemudian Kiai Gringsing tidak mau menjadi sasaran untuk meluapkan kemarahan Ki Tambak Wedi saja. Ketika kemudian ternyata bahwa ia tidak dapat bertahan terlalu lama menghadapi sepasang gelang itu, maka kemudian dari balik bajunya Kiai Gringsing menarik pula senjatanya yang tak kalah anehnya. Sebuah cambuk. Ya, cambuk yang tidak terlalu besar, dan berujung agak panjang. Tetapi benda itu keseluruhan tidak lebih panjang dari setengah depa sampai ke ujung juntainya.

Ki Tambak Wedi terkejut melihat senjata itu. Ia lebih tatag menghadapi pedang, tombak dan tongkat baja seperti milik Macan Kepatihan. Tetapi menghadapi senjata yang aneh ini, maka hatinya menjadi berdebar-debar. Cambuk yang kecil itu pasti akan sulit untuk dilawan dengan gelang besinya. Senjata itu lemas dan juntainya akan dapat menyengat tubuhnya dari segenap arah. Dan Ki Tambak Wedi sadar bahwa cambuk itu pasti dari bahan yang dapat dipercaya oleh seorang yang setingkat Kiai Gringsing. Sebenarnyalah, tiba-tiba saja mereka telah dikejutkan oleh cambuk kecil itu. Cambuk itu memekik sedemikian kerasnya seperti sebuah ledakan yang dahsyat dalam nada yang tinggi. Sehingga tiba-tiba telinga mereka yang mendengarnya menjadi sakit. Dengan serta-merta Widura dan Agung Sedayu telah menutup sebelah telinga mereka dengan tangan-tangan kiri mereka. Dan terdengar kemudian adalah geram Ki Tambak Wedi.
“Dahsyat. Kau mau mempengaruhi aku dengan letupan yang memekakkan telinga itu?”
“Kalau kau mau” sahut Kiai Gringsing sekenanya.
“Gila. Kau berhadapan dengan maut. Jangan menyesal kalau kau tidak sempat melihat bintang pagi terbenam”
Kiai Gringsing tidak menjawab, kini ia menyerang Ki Tambak Wedi dengan dahsyatnya dengan ujung-ujung cambuknya.
Karena itu maka perkelahian di antara mereka menjadi semakin dahsyat. Masing-masing telah mempergunakan senjata-senjata yang terpercaya. Karena itulah maka perkelahian itu segera meningkat sampai pada saat-saat yang menentukan.

Widura dan Agung Sedayu pun menjadi bertambah tegang pula. Meskipun mereka berada diluar lingkungan perkelahian itu namun terasa pula oleh mereka, bahwa kedua orang yang sedang bertempur itu telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Mereka masing-masing sedang berusah untuk menumbangkan lawannya dalam taraf ilmu yang tertinggi yang mereka miliki. Kini Widura dan Agung Sedayu tidak lagi melihat Kiai Gringsing selalu terdesak mundur. Bahkan kini mereka dapat merasakan, bahwa cambuk kecilnya benar-benar berbahaya. Sekali-sekali terdengar cambuk itu meledak dan terasa sebuah sengatan yang pedih pada tubuh lawannya. Kedua gelang besi di tangan Ki Tambak Wedi benar-benar tidak dapat dipergunakannya untuk menangkis serangan senjata yang aneh itu. Maka kini keadaan menjadi berubah. Bayangan Ki Tambak Wedi yang bergerak-gerak dengan lincahnya itu seolah-olah terdesak mundur. Bayangan yang lain perlahan-lahan telah mengurungnya. Tidak saja tangan Kiai Gringsing yang bergerak-terak dengan cepatnya, namun ujung cambuknya pun menjadi seakan-akan gumpalan-gumpalan asap yang menyebarkan maut. Ternyata kemudian, bahwa saat yang menentukan telah datang. Ki Tambak Wedi menggeram tak henti-hentinya. Lawannya benar-benar menakjubkannya. Betapa ia menjadi marah dan memeras segenap kekuatannya, namun adalah diluar dugaannya bahwa suatu ketika di lereng Merapi akan datang seseorang yang akan dapat mengalahkannya. Karena itu mula-mula ia tidak mau melihat kenyataan itu. Dengan sekuat tenaga ia mencoba mempertahankan diri dan namanya. Bahkan hampir-hampir ia sampai pada suatu kesimpulan hidup dan mati. Namun tiba-tiba disadarinya kehadiran Widura dan Agung Sedayu. Diingatnya pula muridnya Sidanti yang belum sembuh benar dari lukanya. Dan diingatnya pula cita-cita masa depan muridnya itu. Karena itulah maka akhirnya Ki Tambak Wedi yang namanya ditakuti di sekitar gunung Merapi itu terpaksa mengakui keadaannya kini. Kiai Gringsing yang tidak dikenal itu telah mengalahkannya. Karena itu dengan penuh kemarahan, Ki Tambak Wedi menggeram,
“He orang gila. Kau mungkin menyangka bahwa Ki Tambak Wedi tidak akan mampu melawanmu. Tetapi aku mempunyai pertimbangan lain sehingga aku menghindari perkelahian seterusnya, hanya kali ini”

Kiai Gringsing tidak menjawab, ia ingin bahwa Ki Tambak Wedi tidak mendapat kesempatan untuk melarikan diri. Namun kelebihannya tidak terpaut banyak dari Ki Tambak Wedi, sehingga karena itu maka usahanya tidak berhasil. Ki Tambak Wedi sempat menghindarkan dirinya dan tenggelam ke dalam gerumbul-gerumbul di dalam gelap. Namun demikian terdengar Ki Tambak Wedi berkata,
“He orang yang gila. Kau ternyata telah mendorong Agung Sedayu dan Swandaru kedalam keadaan yang menyedihkan. Dengan perbuatanmu ini, maka keinginanku untuk membunuh mereka berdua menjadi semakin besar. Sidanti untuk seterusnya tidak akan kembali ke Sangkal Putung. Tak akan ada yang diharapkannya di sini. Karena itu, maka baginya, Widura sudah tidak penting lagi. Tetapi dendamnya kepada Agung Sedayu dan Swandaru tidak akan dapat dilupakan. Aku atau Sidanti sendiri pada suatu ketika pasti akan melakukannya. Membunuh Agung Sedayu dan Swandaru, menggantung mayat mereka di muka banjar desa Sangkal Putung”
“Jangan berangan-angan” potong Kiai Gringsing sambil mengejarnya,
“Selama aku masih ada, maka selama itu aku akan menghalangi maksud yang terkutuk itu. Marilah kita sejak ini menganggap diri kita sendiri berpacu. Aku berjanji untuk menyelamatkan Agung Sedayu dan Swandaru dari ketakutannya terhadap Sidanti. Sedang kalau kau ikut campur, maka aku akan ikut campur pula. Kalau suatu ketika aku menjadi lengah dan kedua anak itu mengalami bencana karena pokalmu, maka aku berjanji, bahwa aku sendiri akan membunuh Sidanti dan kau bersama-sama”
“Setan” teriak Ki Tambak Wedi dari kejauhan. Namun nada suaranya menggetarkan kemarahan yang tiada taranya. Belum pernah ia mengalami penghinaan yang sedemikian kasarnya. Ancaman yang langsung diberikan kepadanya dan muridnya. Namun ia harus mengakui, bahwa hal itu benar-benar mungkin dilakukan oleh orang yang belum dikenalnya dan menamakan dirinya Kiai Gringsing itu. Justru orang itu belum dikenalnya dengan baik, maka kemungkinan yang akan dilakukan oleh orang itu menjadi bertambah besar.

Namun sambil melarikan diri Ki Tambak Wedi yang bukan seorang yang tumpul otaknya itu sempat berpikir,
“Aku akan segera mengetahui siapakah orang itu. Siapa yang kemudian memimpin dan menggurui Agung Sedayu dan Swandaru, maka orang itulah sebenarnya yang bernama Kiai Gringsing”
Widura dan Agung Sedayu yang terpaku di tempatnya masih saja tegak seperti tonggak. Namun tiba-tiba Agung Sedayu terkejut ketika Widura itu berkata,
“Agung Sedayu, mari kembali ke kademangan. Cepat”
Agung Sedayu tidak sempat menjawab, tiba-tiba dilihatnya pamannya meloncat dan berlari kencang-kencang mendahului, setelah menyarungkan pedangnya. Karena itu, maka Agung Sedayu yang tidak tahu maksudnya pun ikut berlari pula, sepanjang jalan ia tidak habis berpikir tentang pamannya. Ketika Ki Tambak Wedi masih belum dapat dikalahkan, pamannya sama sekali tidak bergerak dari tempatnya. Kini ketika bahaya telah meninggalkan mereka, tiba-tiba pamannya itu berlari-lari pulang, tetapi ia tidak sempat untuk menanyakannya. Sehingga karena itu maka Agung Sedayu itu pun hanya dapat mengikutinya tanpa tahu maksudnya. Widura yang berlari itu meloncati parit-parit dan pematang-pematang. Ia tidak lewat jalan yang biasanya dilaluinya. Ditempuhnya jalan yang memintas. Kali ini Widura tidak lagi singgah di gardu-gardu perondan seperti biasanya. Baru ketika ia memasuki desa Sangkal Putung, maka Widura itu tidak berlari-lari lagi. Bagaimana langkahnya pun masih tetap panjang-panjang.
Agung Sedayu yang kemudian menyusulnya bertanya sambil terengah-engah,
“Kenapa paman berlari-lari?”
“Tidak apa-apa” jawabnya.
Agung Sedayu terdiam. Namun sudah tentu ia tidak percaya. Meskipun demikian, ia sudah tidak bertanya lagi. Dengan langkah yang panjang-panjang pula ia berjalan di samping pamannya.
Widura itu benar-benar menjadi seakan-akan tidak bersabar. Semakin dekat ia dengan kademangan, langkahnya menjadi semakin cepat. Tetapi ketika ia hampir sampai regol, maka dihentikannya langkahnya, diaturnya nafasnya. Dan seakan-akan tidak terjadi apa-apa Widura itu berjalan tenang-tenang. Agung Sedayu dapat mengerti apa yang dilakukan pamannya terakhir. Widura tidak mau membuat kesan yang aneh terhadap anak buahnya. Ki Widura malam itu datang menurut kebiasaan meskipun agak terlambat.
Seorang penjaga di regol halaman menganggukkan kepalanya sambil menyapa,
“Agak terlambat Ki Lurah pulang”
“Ya” sahut Widura. Ia mencoba menjawab tenang-tenang meskipun terasa nafasnya mendesaknya,
“aku berhenti di beberapa gardu perondan”
Seorang yang lain, yang berdiri pula di sisi pintu menyahut,
“Adalah sesuatu yang perlu diperhatikan?”
“Tidak” jawab Widura sambil melangkahi regol. Namun kemudian ia berkata,
“adalah seseorang yang baru saja memasuki regol ini?”
Penjaga-penjaga di regol itu mengangkat alisnya. Sambil menggeleng-gelengkan kepala penjaga itu menjawab,
“Tidak. Sepengetahuanku tidak”
“Sama sekali tidak?” desak Widura.
Penjaga itu berpikir sejenak. Sambil menggeleng ia menjawab,
“Tidak Ki Lurah”
Widura menggigit bibirnya. Kemudian katanya berbisik kepada Agung Sedayu,
“Kalau begitu kita lebih dahulu sampai”
“Siapa?” bertanya Agung Sedayu.
“Sst” desis Widura.

Namun tiba-tiba Widura itu menjadi kecewa ketika seorang penjaga berkata,
“Ki Tanu Metir, maksud Ki Lurah?”
“He?” bertanya Widura.
“Yang baru saja masuk regol adalah Ki Tanu Metir yang keluar untuk berjalan-jalan seperti yang dilakukannya setiap hari”
“Setiap hari?” bertanya Widura.
“Ya” jawab penjaga regol itu.
“Setiap orang yang bertugas di regol ini melihat, bahwa orang tua itu selalu pergi berjalan-jalan di malam hari”
Widura menarik nafas dalam-dalam. Otaknya bergerak menghubungkan keterangan-keterangan yang didengarnya itu. Tetapi kemudian ia tersenyum,
“Marilah Agung Sedayu” ajaknya.
Agung Sedayu benar-benar tidak tahu maksud pamannya. Tetapi ketika pamannya itu berjalan naik ke pendapa, maka ia ikut juga di belakangnya.
Widura berjalan perlahan-lahan masuk ke pringgitan. Dilihatnya Ki Tanu Metir duduk dengan tenangnya menggulung sehelai daun pisang pembungkus makanan, di samping Ki Demang dan Swandaru.
“Ha, kau baru pulang?” bertanya orang tua itu ketika dilihatnya Widura dan Agung Sedayu melangkah masuk
“Ya Kiai” jawab Widura.
“Kau pulang lebih malam dari biasanya. Aku juga baru saja datang. Berjalan-jalan dimalam hari benar-benar dapat memberi kesegaran padaku”
“Ya Kiai. Memang udara sangat segar. Tetapi agaknya terlampau dingin” berkata Widura.
“Ya. Memang malam ini terlampau dingin” sahut Ki Tanu Metir
“Apakah Kiai juga merasakan dinginnya malam?” bertanya Widura.
“Ya, tentu. Aku menjadi menggigil karenanya”
“Aku juga” sambung Widura,
“Tetapi memang sudah menjadi kebiasaanku, aku selalu berkeringat apabila aku kedinginan”
Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya. Kemudian katanya,
“Apakah kau berkeringat?”
“Ya, seperti Kiai juga”
Ki Tanu Metir mencoba mengamat-amati pakaiannya. Terasa punggung bajunya memang basah oleh keringat yang mengalir tak habis-habisnya. Karena itu, maka ia pun tersenyum sambil berkata,
“Aku juga berkeringat. Tetapi aku baru saja kepanasan minum air jahe hangat. Inilah. Mari minumlah mangkuk itu. Bukankah ini memang disediakan untukmu?” kemudian kepada Swandaru ia bertanya,
“Begitu bukan angger Swandaru?”
“Ya, ya. Silakan paman Widura dan tuan …..”


Halaman 1 2 3


<<< Jilid 006                                                                                                       Jilid 008 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar