“Ya” sahut Agung Sedayu perlahan-lahan.
“Siapa menurut
dugaanmu?”
Agung Sedayu
menggeleng,
“Entahlah”
Widura mengangkat
alisnya. Kemudian katanya,
“Hanya ada dua
kemungkinan. Ki Tambak Wedi atau Tohpati”
“Tohpati tidak
akan seorang diri berada di tempat ini” sahut Agung Sedayu.
“Mungkin saja”
jawab Widura.
“Beberapa
orang lain berada di tempat lain pula. atau orang yang diumpankannya untuk memancing
kita”
Agung Sedayu
menarik nafas. Meskipun demikian mereka menjadi berdebar-debar juga. Baru saat
itu mereka menyadari, bahwa bahaya yang demikian itu memang dapat terjadi.
Tetapi kesadaran itu datangnya agak terlambat, sebab bahaya itu sendiri telah
berada dipelupuk mata mereka. Beberapa saat terakhir, seakan-akan mereka telah
melupakan kemungkinan ini. Namun kelengahan itu telah membawa mereka kedalam
satu bahaya. Kini mereka tidak akan dapat mundur lagi, siapa pun yang akan
mereka hadapi. Karena itu, maka Widura itu pun kemudian berkata,
“Marilah kita
lihat, siapa orang itu.”
“Kita tidak
usah mendekat” berkata Widura.
“Lalu
bagaimana ?” bertanya Agung Sedayu
“Biarlah ia
yang mendekat.”
“Apakah ia
mau?”
“Marilah kita
lihat” jawab Widura. Widura kemudian tidak menunggu jawaban Agung Sedayu lagi.
Perlahan-lahan ia berjalan menepi dan duduk dengan enaknya di tepi jalan. Namun
demikian, pedangnya telah disiapkannya, seandainya ada sesuatu yang tiba-tiba
harus dihadapinya.
Agung Sedayu
kini telah memahami maksud pamannya. Karena itu, maka ia pun berjalan menepi
pula, dan berjongkok berhadapan dengan pamannya itu.
“Kalau orang
itu ingin bertemu dengan kita, ia pasti akan datang kemari” berkata pamannya.
“Ya” sahut
Agung Sedayu.
“Kalau ia akan
bertahan di tempatkannya, maka biarlah kita tunggu di sini sampai besok siang.”
Agung Sedayu
tersenyum. Meskipun demikian debar jantungnya menjadi semakin cepat. Seandainya
orang itu benar-benar Ki Tambak Wedi, maka apakah mereka berdua akan mati
sebelum mereka menyelesaikan pekerjaan mereka yang sebenarnya. Menumpas
sisa-sisa laskar Jipang. Agung Sedayu kini sudah bukan seorang penakut lagi.
Tetapi ia mempunyai beberapa perhitungan, yang dikatakannya kepada pamannya.
“Paman, adalah
tidak menguntungkan sekali seandainya orang itu benar-benar Ki Tambak Wedi.
Apakah dengan demikian kita tidak akan kehilangan kesempatan untuk melawan
Tohpati dengan laskarnya?”
Widura
mengangguk-angguk.
“Kau benar
Sedayu” katanya,
“tetapi kita
sudah tidak mempunyai kesempatan lagi. Kita hanya tinggal memilih satu
kemungkinan. Mempertahankan diri. Apalagi? Kalau kita kembali sekalipun maka
orang itu pasti akan mengejar kita, dan kita harus bertempur pula.”
“Tidak
dapatkah kita memberikan tanda bahaya?”
“Kita tidak
membawa alat untuk itu. Yang ada pada kita hanyalah sehelai pedang.”
Agung Sedayu
terdiam. Jawaban pamannya tak akan dapat dipungkiri. Seandainya mereka berjalan
kembali, maka orang itu pasti akan mengejarnya, atau bahkan menyerang dari
arahnya dengan senjata-senjata jarak jauh. Paser atau bandil atau apa pun yang
akan dapat dilemparkannya. Tiba-tiba Agung Sedayu itu teringat akan sesuatu. Ia
mempunyai beberapa kelebihan dengan daya bidiknya. Mungkin akan mengurangi
tekanan-tekanan yang akan dilakukan oleh orang yang berjongkok di pinggir jalan
itu. Karena itu, maka tiba-tiba saja Agung Sedayu itu pun mengumpulkan beberapa
butir batu yang berada di sekitarnya.
“Untuk apa?”
bertanya Widura.
Agung Sedayu
tersenyum meskipun masam.
“Kalau kita
yakin bahwa orang itu lawan kita siapa pun ia, maka aku akan menyerangnya
sebelum orang itu mendekat.”
Widura menjadi
tersenyum pula. Jawabnya,
“Tak ada
gunanya.”
Agung Sedayu
menggigit bibirnya. Meskipun demikian, ia tetap pada pendiriannya.
Tetapi sesaat
mereka duduk di pinggir jalan. Orang yang berjongkok itu pun tidak bergerak.
Orang itu masih juga berada di tempat itu juga. Karena itu, maka Widura dan
Agung Sedayu adalah menjadi semakin lama semakin gelisah
“Orang itu
memang membiarkan kita menjadi gelisah” bisik Widura,
“tetapi
biarlah. Kita akan tetap berada di tempat ini.”
“Ya” sahut
Agung Sedayu pendek.
Sebenarnyalah
bahwa kegelisahan mereka sudah hampir tak tertahankan lagi. Orang itu sama
sekali tidak bergerak dan seakan-akan sebuah patung yang mati. Sikap itu sama
sekali tidak menyenangkan bagi Widura dan Agung Sedayu. Ketika kegelisahan
Agung Sedayu telah memuncak, maka ia berkata,
“Paman,
biarlah aku mencoba melamparnya dengan batu, apakah ia masih akan berdiam diri?
Aku kira aku akan dapat mengenainya.”
“Jangan” jawab
Widura,
“kita jangan
menjadi gelisah. Kita harus tetap tenang. Orang itu sengaja membuat kita
gelisah.”
Agung Sedayu
terdiam. Namun dadanya benar-benar akan menjadi pecah karena kegelisahan yang
menghentak-hentak. Meskipun berkali-kali pamannya mengatakan bahwa orang itu sengaja
membiarkan mereka gelisah, namun Agung Sedayu itu benar-benar hampir pingsan
dibuatnya. Sedemikian gelisahnya Agung Sedayu sehingga sekali ia berdiri,
kemudian kembali berjongkok di hadapan pamannya. Sesaat kemudian dengan lesunya
ia membantingkan diri duduk di sini Widura. Sebenarnya Widura itu sendiri pun
menjadi sangat gelisah. Namun ia masih berhasil mengendalikan dirinya. Ia masih
tetap dalam sikapnya. Siap untuk menarik pedangnya apabila terjadi sesuatu.
Di Kademangan
Sangkal Putung. Ki Tanu Metir duduk sambil mengantuk. Sekali-sekali Untara yang
telah menjadi berangsur baik, bertanya-tanya kepadanya. Namun dengan segannya
orang tua itu menjawab sekenanya.
“Apakah Ki
Tanu Metir sudah mengantuk?” bertanya Untara
“Hem” sahut Ki
Tanu Metir sambil menguap,
“aku tidak
biasa mengantuk pada saat-saat seperti ini. Kalau tengah malam sudah lampau,
biasanya barulah haku mengantuk. Tetapi kali ini mataku rasa-rasanya tak mau
dibuka lagi”
“Kenapa?”
bertanya Untara
“Mungkin aku
makan terlalu kenyang” jawab Ki Tanu Metir
Untara
tertawa. biasana Ki Tanu Metir itu, pada saat-saat yang demikian ini, pergi
berjalan-jalan keluar. Baru segelah lewat tengah malam orang tua itu kembali ke
pringgitan. Karena itu, maka Untara bertanya pula,
“Ki Tanu,
apakah Kiai tidak ingin berjalan-jalan?”
Sekali lagi Ki
Tanu Metir itu menguap. Jawabnya,
“Setiap hari
aku pergi berjalan-jalan. Tetapi kali ini rasa-rasanya agak segan. Mungkin
karena aku sudah terlalu lelah”
“Ya” jawab
Untara singkat. Ia tahu benar, bahwa Ki Tanu Metir sibuk mengobati orang-orang
yang terluka dan dirawat dibajar kademangan. Karena itu, maka Untara itu pun
kemudian berdiam diri. Tetapi tiba-tiba ia mendengar Ki Tanu Metir berkata,
“angger Widura
dan angger Sedayu agaknya mempunyai keperluan yang khusus, sehingga sampai saat
ini masih belum kembali”
“Apakah ini
telah melampaui tengah malam?” bertanya Untara
“Hampir tengah
malam” sahut Ki Tanu Metir,
“Biasanya pada
saat-saat begini mereka telah kembali”
Untara tidak
menjawab. mungkin sekali mereka berdua berhenti di salah satu gardu perondan.
Berkelakar dengan para petugas, atau menunggu mereka merebus ubi kayu. Tetapi
agaknya Ki Tanu Metir berpendapat lain. Katanya,
“Hem, aku
menjadi semakin mengantuk”
“Tidurlah
Kiai” berkata Untara,
“Lebih baik ki
Tanu beristirahat. Tenaga Kiai masih sangat diperlukan di sini”
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia berkata,
“Setiap malam
aku keluar berjalan-jalan. Aku kira lebih baik aku berjalan-jalan pula malam
ini supaya kantukku hilang. Orang yang tidur sebelum tengah malam, rejekinya
akan berkurang”
Untara
tertawa. Jawabnya,
“Jangan
terlalu jauh Kiai”
Ki Tanu Metir
tertawa pula,
“Kenapa?” ia
bertanya.
Kembali Untara
tertawa. ia tahu benar, bahwa ia tidak perlu memperingatkan orang tua itu.
Karena itu, maka jawabnya,
“Nanti Kiai
jadi lapar lagi”
Ki Tanu Metir
itu pun tertawa. Ki Demang Sangkal Putung yang baru datang, dan mendengar
percakapan itu pun tertawa pula. sambungnya,
“Jangan takut
Kiai, di dapur masih tersedia ubi rebus”
“Terima kasih”
sahut Ki Tanu Metir sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Terima kasih.
Mudah-mudahan aku tidak memerlukannya”
Ki Tanu Metir
itu pun kemudian berdiri dan perlahan-lahan berjalan keuar prtinggitan. Belum
lagi ia melangkahi pintu, maka terdengar Ki Demang berkata,
“Apakah aku
perlu mengantarkan Kiai?”
“Tidak, tidak”
jawab Ki Tanu Metir cepat-cepat,
“Jangan repot
karena aku. Biarlah aku berjalan-jalan sendiri. mungkin ke banjar desa, melihat
mereka yang terluka, atau mungkin ke gardu-gardu peronda”
“Jangan ke
gardu peronda. Di jalan Kiai dapat bertemu dengan bahaya”
“Oh ya,
baiklah” berkata Ki Tanu Metir
Kemudian Ki
Tanu Metir itu pun pergi meninggalkan Ki Demang yang kini duduk mengawani
Untara. Dalam kegelapan malam, Ki Tanu Metir itu meraba-raba tongkatnya menuju
ke gerbang halaman.
“Selamat malam
Kiai” bertanya orang yang sedang bertugas,
“Apakah Kiai
akan berjalan-jalan?”
“Ya” jawab Ki
Tanu Metir
Orang yang
sedang bertugas itu telah mengetahui kebiasaan Ki Tanu Metir itu. Setiap malam
berjalan-jalan keluar halaman menikmati sejuknya udara. Karena itu, maka
kepergian Ki Tanu Metir itu sama sekali tidak menarik perhatian mereka. Seorang
yang sedang duduk menguap di samping regol berkata,
“Hem, dingin
Kiai. Apakah Kiai tidak lebih senang tidur saja?”
“Uh” sahut Ki Tanu
Metir,
“Sejak muda
aku tidak pernah tidur sebelum lewat tengah malam”
Dan Ki Tanu
Metir itu pun berjalan tertatih-tatih menyusup kedalam gelapnya malam. Namun
setelah cukup jauh tiba-tiba Ki Tanu Metir itu berpaling. Sekali ia menarik
nafas panjang. Kemudian disangkutkannya kain panjangnya. Dan tiba-tiba orang
tua itu berjalan tergesa-gesa. Gumamnya,
“Hem, kenapa
hari ini aku lebih senang terkantuk-kantuk di kademangan? Justru hari ini
angger Widura dan angger Agung Sedayu pulang terlambat. Mudah-mudahan tak ada
seusatu yang mengganggunya”
Meskipun
demikian orang tua itu berjalan dengan cepatnya menyusup kegelapan. Kini Ki
Tanu Metir itu sama sekali tidak mempergunakan tongkatnya lagi. Ketika
dilihatnya di hadapannya sebuah gardu perondan, maka segera dengan tangkasnya
ia menyelinap dan hilang di balik pagar. Kini orang tua itu menyusup di antara
rimbunnya dedaunan dan dengan cepatnya berjalan melingkari gardu perondan itu.
Dalam pada itu
Agung Sedayu yang duduk di pinggir jalan dengan gelisahnya, benar-benar tak
dapat menguasai dirinya lagi. Karena itu, maka katanya,
“Paman, aku
dapat menjadi gila karenanya. Marilah kita datang kepadanya, kita tanyakan
apakah keperluannya”
“Itulah yang
diharapkannya. Kita kehilangan kesabaran dan pengamatan diri”
Agung Sedayu
menggeram. Ia dapat mengerti kata-kata pamannya, namun ia tidak dapat melawan
perasaan gelisahnya, sehingga karenanya maka tubuhnya segera dilumuri oleh
keringat dingin yang mengalir dari segenap permukaan kulitnya. Meskipun
demikian, Agung Sedayu bertanya juga kepada pamannya,
“Paman, apakah
bedanya, seandainya kita harus benar-benar bertempur, menunggu atau datang
kepadanya?”
“Kalau orang
itu Ki Tambak Wedi, Sedayu, maka keadaan kita memang hampir sama saja. Tetapi
kalau orang itu Tohpati, maka kita akan mendapat beberapa keuntungan. Kalau
kita maju lagi, mungkin kita akan dijebak oleh orang-orangnya. Sedangkan kalau
kita berada di sini, maka kita mempunyai garis ancang-ancang yang cukup luas”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat juga mengerti keterangan itu. Bahkan
seandainya orang itu Ki Tambak Wedi pun maka mereka akan lebih banyak waktu
untuk memersiapkan diri mereka. Tetapi kenapa mereka harus menunggu terlalu
lama?
“Agung Sedayu”
berkata Widura,
“Sebenarnya
pertempuran antara kita melawan orang itu sudah kita mulai. Dalam taraf ini
kita sedang mengadu ketabahan jati kita masing-masing. Apakah kita dapat
mengendalikan diri atau tidak. Siapa yang lebih dahulu kehilangan kesabaran
maka ialah yang lebih dahulu akan kehilangan ketenangan. Seandainya kekuatan
kita dengan orang itu seimbang, maka siapa yang kehilangan ketenangannya pasti
akan kalah”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia tidak dapat menyabarkan dirinya
sendiri lebih lama lagi. Bahkan akhirnya ia berkata,
“Paman,
meskipun kita tidak mulai lebih dahulu, sebenarnya kita telah kehilangan
ketenangan itu. Semakin lama kita menahan diri, maka ketenangan kita akan
menjadi semakin tipis. Karena itu selagi kita masih menyadari keadaan, maka
marilah kita lihat siapakah yang berada di hadapan kita itu”
Widura menarik
nafas. Ia pun sebenarnya telah hampir kehabisan kesabarannya pula. Untunglah
bahwa ia masih bersabar sesaat. Namun ternyata waktu yang sesaat itu telah
benar-benar menguntungkannya. Bukan karena orang yang berjongkok itu menjadi
bingung dan kehilangan ketenangan, tetapi sebenarnya bahwa mereka masih
mendapat perlindungan dari Kekuasaan yang melampaui segenap Kekuasaan. Akhirnya
ternyata Agung Sedayu itu menjadi benar-benar tidak dapat mengendalikan
dirinya. Kini ia tidak minta ijin lagi kepada pamannya. Dengan serta-merta ia
berdiri dan dengan sekuat tenaganya ia melemparkan sebuah batu mengarah kepada
orang yang berjongkok di pinggir jalan itu. Tetapi alangkah kecewanya, dan
bahkan kemarahan di dalam dadanya menjadi semakin menyala, ketika orang itu
sama sekali tidak bergerak dari tempatnya. Apalagi bergerak, sikapnya pun sama
sekali tidak berubah. Jongkok.
“Hem” Agung
Sedayu menggeram.
“Sudahlah
Sedayu” cegah pamannya.
“Aku tidak
sabar lagi. Aku akan datang kepadanya dan akan melihat wajahnya. siapakah orang
yang bermain hantu-hantuan itu”
“Jangan”
pamannya segera memotong kata-katanya.
“Biarlah”
sahut Agung Sedayu.
“Jangan” ulang
pamannya.
Agung Sedayu
menjadi kecewa. Tetapi ia tidak berani melanggar kata-kata pamannya. Karena
itu, maka ia menjadi semakin bingung.
Tetapi
ternyata ketabahan hati Widura telah menjengkelkan orang yang berjongkok itu.
Orang itu memang membiarkan Widura dan Agung Sedayu menjadi gelisah dan
bingung. Tetapi yang dilihatnya hanya Agung Sedayu sajalah yang benar-benar
seperti cacing kepanasan. Sedang Widura masih saja duduk di tempatnya tanpa
bergerak. Orang itu ingin melihat keduanya menjadi bingung dan dengan demikian,
ia akan mendapat permainan yang lucu dan menyenangkan. Tetapi harapannya itu
hanya separo berhasil. Ia hanya melihat Agung Sedayu yang berjingkat-jingkat,
berdiri, berjongkok, duduk dan segala macam perbuatan-perbuatan yang aneh. Karena
itu, maka akhirnya ia menganggap bahwa ia tidak perlu menunggu permainan yang
lucu itu lebih lama lagi. Disadarinya bahwa cara berpikir pemimpin laskar
Pajang itu benar-benar sudah dewasa. Karena itu, maka ia harus membuat
permainan yang lain. Mula-mula ia sama sekali tidak menghiraukan
lemparan-lemparan batu Agung Sedayu. Dengan sepotong besi batu-batu itu
dipukulnya ke samping. Sedemikian cepatnya, sehingga Agung Sedayu sama sekali
tidak melihat gerak itu. Kini ia akan membuat permainan yang lain. Ia ingin
melihat Agung Sedayu mati ketakutan atas setidak-tidaknya karena dibakar oleh
kemarahannya. Mati dengan cara itu adalah mengerikan sekali. Karena itu, maka
orang itu pun tersenyum. Dalam pada itu, Agung Sedayu dan Widura benar-benar
menjadi sangat terkejut. Sesaat mereka bercakap-cakap sehingga mereka tidak
melihat orang yang berjongkok itu. Namun sesaat itu benar-benar telah
mendebarkan jantung mereka. Orang yang berjongkok itu telah lenyap.
“Gila”
tiba-tiba Agung Sedayu itu pun berteriak,
“Kemana orang
itu?”
“Jangan
berteriak” potong Widura. tetapi Widura itu pun menjadi bersiaga. Ia pun segera
berdiri dan menarik pedang dari wrangkanya. Beberapa langkah ia berjalan
ketengah jalan dan berbisik,
“Orang itu
akan menyerang kita dari arah yang tidak kita ketahui”
“Kemana orang
itu?” bertanya Agung Sedayu.
“Aku sangka ia
berguling masuk ke parit di pinggir jalan itu. Dari sana ia dapat pergi kemana
saja yang disukainya. Karena itu kita harus bersiap menghadapi lawan dari
segala arah. Ia dapat selalu memperhatikan kita, sedang kita tidak dapat
melihat orang itu”
“Marilah kita
cari”
“Sangat
berbahaya” sahut pamannya,
“Aku kini
pasti. Orang itu bukan Macan Kepatihan, tetapi Ki Tambak Wedi. Macan Kepatihan
tidak akan berbuat sedemikian. Ternyata Ki Tambak Wedi mencoba membunuh kita
dengan cara yang paling jahat yang dapat dilakukannya”
Agung Sedayu
menggeram. Tiba-tiba tangannya pun telah menggenggam pedangnya. Dengan suara
yang berat ia berkata,
“Akhirnya akan
sama saja paman. Kenapa kita tidak datang menyerangnya”
“Sudah aku
katakan” sahut pamannya,
“Aku, sebelum
ini tidak yakin kalau orang itu Ki Tambak Wedi”
Agung Sedayu
tidak menjawab. tiba-tiba ia berputar sambil berteriak,
“Ayo,
kemarilah. Kita bertempur beradu pedang”
“Jangan
berteriak Sedayu” desis pamannya.
“Punggungku
dilemparnya dengan batu” sahut Agung Sedayu.
Pamannya
mengerutkan keningnya. Ki Tambak Wedi benar-benar ingin mempermainkan mereka.
Karena itu, maka betapa kemarahan melonjak di kepalanya. Tetapi Ki Tambak Wedi
itu belum dilihatnya. Agung Sedayu benar-benar menjadi sangat marah dan
bingung, sehingga benar-benar seperti orang yang kehilangan kesadaran diri.
Sekali-sekali terasa punggungnya dikenai oleh lemparan-lemparan batu dari arah
yang tak diketahuinya.
“Agung Sedayu”
berkata Widura,
“Jangan
menjadi bingung dan kehilangan pengamatan. Tenanglah. Kita sudah bersedia
menghadapi segala kemungkinan”
Kembali Agung
Sedayu menggeram. Tetapi ia mencoba menenangkan dirinya. Sekali dua kali
dibiarkannya beberapa butir batu mengenainya, namun ternyata semakin lama
menjadi semakin keras. Betapapun ia mencoba berdiam diri, tetapi kembali
kemarahannya itu meledak. Sehingga terdengar ia berteriak,
“Ayo yang
bersembunyi di balik alang-alang atau di balik gerumbul-gerumbul itu.
Kemarilah, kita bertempur sebagai laki-laki. Jangan bersembunyi dan menyerang
sambil bersembunyi”
Tetapi masih
belum terdengar jawaban, sehingga Agung Sedayu seolah-olah benar-benar menjadi
gila.
Widura pun
telah kehabisan akal. Bagaimana ia akan melawan orang yang tidak dilihatnya. Orang
itu pasti bersembunyi sambil berpindah-pindah. Dengan demikian, ia akan dapat
menyerangnya menurut arah yang dikehendaki. Namun akhirnya Widura harus
mengambil sikap yang dapat memecahkan kebingungan itu. Ia harus berani
menghadapi akibat yang paling parah sekalipun. Karena itu, maka katanya
berbisik,
“Sedayu. Kita
tidak akan dapat tetap tinggal di tempat ini. Kita pun harus mengambil sikap.
Mari kita bersembunyi pula dengan kemungkinan yang paling pahit, apabila kita
menyuruk kegerumbul yang di tempati olehnya. Tetapi kalau tidak kita tidak akan
menjadi bulan-bulanan lagi. Dan kita mempunyai kesempatan yang sama dengan
orang itu”
“Marilah
paman” sahut Agung Sedayu yang juga telah kehilangan akal. Ia sudah tidak dapat
berpikir lagi. Sehingga apa saja yang harus dilakukannya, dilaksanakannya tanpa
pertimbangan.
Tetapi
tiba-tiba didengarnya suara tertawa di dalam semak-semak diseberang parit.
Suara itu tidak terlalu keras, tetapi benar-benar menyakitkan hati. Disela-sela
suara tertawa itu terdengar ia berkata,
“Agung Sedayu.
Aku senang sekali melihat kau kebingungan seperti kera yang ekornya terbakar.
Kalian tak usah bersembunyi kemana pun sebab akibatnya akan sama saja. Aku akan
selalu dapat melihat kalian. Karena itu lebih baik kalian berada di tempat yang
terbuka supaya besok ada yang dapat menemukan mayat kalian”
Bukan main
marah Widura dan Agung Sedayu mendengar suara itu. Namun suara itu seakan-akan
memancar dari tempat yang tak dapat diketahui. Suara itu seakan-akan
melingkar-lingkar dan bergetaran dari segenap arah. Sesaat kemudian suara itu
berkata kembali,
“Agung Sedayu
dan Widura. aku sudah berkeputusan untuk membunuh kalian dengan bantuan kalian
sendiri. Kemarahan dan kebingungan, kesakitan dan kelelahan adalah cara
pembunuhan yang paling dahsyat. Meskipun kalian tidak menjadi ketakutan, tetapi
bagiku tidak ada bedanya. Kalian menderita sebelum ajal datang”
“Setan” sahut
Widura,
“Itu bukan
perbuatan seorang jantan”
Kembali suara
tertawa itu menggetar.
“Jangan
mengumpat-umpat” katanya.
“Kau hanya akan
menambah dosa saja. Sebaiknya kalian berbaring saja di situ, tenangkan hatimu
dan berdo’alah supaya nyawamu tidak tersesat masuk neraka”
“Diam, diam!”
teriak Agung Sedayu,
“Aku sobek
mulutmu dengan pedangku ini”
“Bagus, bagus”
sahut suara itu,
“Sobeklah
kalau kau ingin. Mulut ini memang tidak terlalu lebar”
Mereka berdua,
Widura dan Agung Sedayu semakin lama menjadi benar-benar hampir gila dibakar
oleh perasaan sendri. Dan suara itu pun masih selalu mengganggunya dari arah
yang tidak ketahuan. Mudah-mudahan Widura masih dapat menyadari, bahwa orang
itu pasti berpindah-pindah tempat. Namun disadarinya pula bahwa orang itu
adalah seorang yang sakti. Tetapi semakin lama kesadarannya menjadi semakin
tipis, sehingga akhirnya suara itu seakan-akan melingkar-lingkar di langit yang
kelam.
Namun dalam
kebingungan yang hampir menelan Widura dan Agung Sedayu itu tiba-tiba terdengar
suara yang lain dari suara yang pertama. Suara yang kedua terdengar lunak dan
lembut, meskipun tidak pula mereka ketahui arahnya. Katanya,
“Widura dan
Agung Sedayu. Jangan bingung. Biarkan saja suara itu mengganggu kalian.
Anggaplah suara itu suara angin yang lembut, menyentuh daun-daun yang kering.
Memang suaranya gemerisik menyakitkan telinga. Namun suara itu sama sekali
tidak berbahaya. Turutilah kehendak yang tersembul di dalam hati kalian, untuk
mengurangi ketegangan di hati kalian. Kalau kalian ingin bersembunyi,
bersembunyilah. Kalau kalian ingin kembali ke kademangan, kembalilah. Kalau
kalian ingin berteriak, berteriaklah. Suara itu benar-benar tidak berbahaya”
Widura dan
Agung Sedayu menggeram. Namun mereka menjadi bertambah bingung. Sehingga karena
itu, maka mereka menjadi terpaku diam di tempatnya. Dalam pada itu suara yang
kedua itu berkata pula,
“Jangan
menjadi bingung. Tegasnya, jangan hiraukan suara itu”
Widura dan
Agung Sedayu itu pun mencoba mengingat-ingat suara yang kedua itu. Suara itu
pernah didengarnya. Lembut, lunak meskipun bernada tinggi. Tiba-tiba Widura itu
pun bergumam,
“Kiai
Gringsing”
Agung Sedayu
segera menengadahkan wajahnya. perlahan-lahan mulutnya berdesis,
“Ya, Kiai
Gringsing”
Sesaat
kemudian suasana menjadi sunyi. Baik Ki Tambak Wedi maupun Kiai Gringsing tidak
berkata-kata lagi. Widura dan Agung Sedayu pun berdiri kaku bertolak punggung
dengan pedang telanjang di tangan masing-masing. Namun mereka sama sekali tidak
dapat berbuat apa-apa. Dalam pada itu angin malam yang lembut membelai kening
mereka, menggerak-gerakkan ujung ikat kepala mereka yang berjuntai di belakang
telinga. Tetapi betapa sejuknya angin menyentuh tubuh mereka, namun hati mereka
serasa tersentuh bara. Panas dalam kesunyian malam yang dingin. Tetapi
kesunyian itu benar-benar sangat menjemukan. Kesunyian itu terasa menjadi
sedemikian tegangnya, sehingga karenanya Widura dan Agung Sedayu itu
seolah-olah telah menahan nafas mereka. Tiba-tiba Agung Sedayu dan Widura itu
terkejut bukan kepalang. Di balik gerumbul-gerumbul itu terdengar suara
gemerisik. Bukan saja langkah seseorang, tetapi suara itu sedemikian ributnya.
“Suara apakah
itu?” desis Agung Sedayu.
Widura memutar
tubuhnya mengarah kepada suara itu. Namun suara itu telah jauh bergeser dari
tempatnya semula. Sehingga Widura itu pun ikut berputar pula.
“Suara apakah
itu paman“ ulang Agung Sedayu sambil menahan nafasnya.
Widura
menggeleng lemah. Ia pun menjadi kebingungan karenanya. Sedang suara itu masih
saja terdengar di antara rimbunnya gerumbul-gerumbul di sekitarnya. Namun
seperti suara Ki Tambak Wedi dan Kiai Gringsing, maka suara gemerisik itu pun
melingkar-lingkar tak tentu arahnya.
Namun akhirnya
Widura menyadari keadaan itu. Dengan serta-merta ia berkata,
“Agung Sedayu.
Mereka pasti sedang bertempur”
“Siapa?”
“Ki Tambak
Wedi dengan Kiai Gringsing”
“He?” Agung
Sedayu itu pun terkejut.
“Dimana?”
“Rupa-rupanya
Ki Tambak Wedi tidak senang mendengar suara Kiai Gringsing, sehingga orang itu
langsung menyerangnya. Dan kini keduanya sedang bertempur di dalam gelap itu.
Mereka bergeser dari satu tempat ke lain tempat. Aku tidak tahu pasti, apakah
Ki Tambak Wedi ataukah Kiai Gringsing yang sengaja memberikan kesan kepada
kita, bahwa pertempuran itu seakan-akan terjadi di langit yang kelam”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Keterangan pamannya itu benar-benar dapat
dimengertinya dan akhirnya ia pun merasakan, kesibukan perkelahian pada suara
yang didengarnya. Tetapi perkelahian antara dua orang yang telah memiliki ilmu
yang jauh lebih tinggi dari mereka. Meskipun demikian Agung Sedayu itu menjadi
cemas. Ki Tambak Wedi adalah seorang yang telah mempunyai nama yang cukup
menggetarkan di seluruh lereng gunung Merapi itu, sedang nama Kiai Gringsing
sama sekali belum dikenal oleh siapapun. Sedemikian besar keragu-raguan Agung
Sedayu, sehingga terdengar ia berbisik kepada pamannya,
“Paman, apakah
Kiai Gringsing cukup memiliki kemampuan untuk melawan Ki Tambak Wedi?”
Widura menarik
alisnya. Tetapi pedangnya masih selalu siap di dalam genggamannya. Jawabnya,
“Aku tidak
meragukannya. Orang itu memiliki beberapa kelebihan. Kekuatan tenaganya telah
membuktikannya”
“Apakah paman
pernah melihat?”
“Aku belum
pernah melihat ia bertempur, namun aku pernah melihat Kiai Gringsing
mengimbangi kekuatan Ki Tambak Wedi. orang itu mampu meluruskan kembali
lingkaran-lingkaran besi yang dibuat oleh Ki Tambak Wedi dengan tangannya”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun demikian masih saja perasaannya
diliputi oleh keragu-raguan dan kecemasan. Di sekitarnya masih terdengar suara
gemerisik dan bahkan menjadi jelas. Namun kadang-kadang suara itu menjadi
semakin jauh dan berkisar dengan cepatnya.
“Marilah kita
melihat paman” ajak Agung Sedayu.
“Kemana?”
bertanya pamannya.
Agung Sedayu
pun menjadi bingung. Ia tidak tahu arah yang harus didatangi. Suara itu
benar-benar melingkar-lingkar seolah-olah memenuhi segenap penjuru. Ketika
Agung Sedayu dan Widura terdiam, maka suara itu menjadi semakin jelas.
Kadang-kadang suara itu sedemikian dekatnya, namun kadang-kadang menjadi agak
jauh, tetapi suara itu menunjukkan betapa ributnya pertempuran yang sedang
berlangsung. Tiba-tiba mereka terkejut, ketika mereka melihat bayangan yang
melontar dari dalam kegelapan, disusul oleh sebuah bayangan yang lain. Maka
kedua bayangan itu kini bertempur di tempat yang terbuka. Masing-masing dengan
caranya dan masing-masing dengan ilmunya yang khusus. Sehingga dalam malam yang
gelap itu, Widura dan Agung Sedayu melihat pameran kekuatan yang mengagumkan. Ki
Tambak Wedi benar-benar sampai sedemikian garangnya. Tangannya bergerak-gerak
dengan pasti dan cepat. Tangan yang hanya sepasang itu seakan-akan merupakan
sepasang senjata yang sangat dahsyatnya. Seperti sepasang tombak pendek yang
mematuk-matuk dari segenap arah. Tetapi lawannya adalah seorang yang sangat
lincah. Seperti asap yang berputaran dalam pusaran angin yang kencang. Sepasang
kakinya seakan-akan tidak berjejak di atas tanah. Sehingga dengan cepatnya ia
dapat berpindah-pindah tempat. Betapapun kekuatan lawan yang menghantamnya,
namun serangan itu seakan-akan tidak dapat menyentuhnya. Pertempuran itu
menjadi semakin sengit. Widura dan Agung Sedayu berdiri saja mematung. Dadanya
terasa berdentangan dan darahnya mengalir semakin cepat. Pedang-pedang di
tangan mereka seolah-olah sama sekali tidak akan berarti seandainya mereka
harus bertempur melawan salah seorang dari mereka.
“Seandainya
kami yang harus bertempur melawan Ki Tambak Wedi,” desis Agung Sedayu di dalam
hatinya,
“Entahlah apa
kira-kira yang akan terjadi”
Sesungguhnyalah
bahwa kekuatannya sama sekali tak akan berarti dibandingkan dengan kekuatan dan
kesaktian orang yang menakutkan itu.
Malam yang
dingin itu semakin lama menjadi semakin dingin. Angin yang basah perlahan-lahan
mengalir dari selatan. Namun hati Widura dan Agung Sedayu terasa betapa
panasnya. Mereka melihat perkelahian yang dahsyat antara Ki Tambak Wedi dan
Kiai Gringsing. Namun kadang-kadang keduanya menjadi hilang di dalam kegelapan
malam, untuk kemudian muncul kembali di tempat yang lain. Ternyata mereka
berdua telah mempergunakan tempat yang amat luas untuk bertempur. Mereka
melontar-lontar sangat cepatnya dan loncatan-loncatan panjang yang mengherankan.
Seolah-olah kedua-duanya memiliki sayap di punggung mereka, sehingga mereka
dapat beterbangan berputar-putar. Pertempuran itu benar-benar seperti
pertempuran antara dua ekor burung-burung raksasa di langit yang luas berebut
kekuasaan. Seakan-akan mereka sedang bertaruh, siapa yang menang di antara
mereka maka ialah yang dapat merajai langit. Tetapi Widura dan Agung Sedayu
menjadi bingung. Mereka sama sekali tidak dapat menilai, siapakah di antara
mereka berdua yang lebih kuat. Keduanya sama-sama memiliki keunggulan dan
kelebihan yang sulit dimengerti. Desak-mendesak, silih berganti. Sehingga
kemudian keduanya menjadi seperti gumpalan-gumpalan asap yang berbenturan tidak
menentu. Namun kemudian Widura dan Agung Sedayu terkejut ketika mereka melihat
benda yang berkilat-kilat di tangan Ki Tambak Wedi pada kedua belahnya. Dalam
genggaman tangannya, tiba-tiba telah melingkar gelang-gelang besi baja.
Sepasang senjata yang pernah mereka lihat di halaman belakang kademangan serta
ciri yang sudah pernah mereka kenal pula. Dengan senjata itu, maka
tangan-tangan Ki Tambak Wedi itu menjadi semakin berbahaya. Serangan-serangan
Kiai Gringsing kemudian selalu tidak pernah dihindarinya, namun dicobanya untuk
menempuh serangan itu dengan gelang-gelang baja yang melingkari genggaman
tangannya. Bahkan seandainya lawannya mempergunakan pedang sekalipun, namun
pedang itu akan ditahannya dengan lingkaran-lingkaran itu. Dengan senjata
itulah maka Ki Tambak Wedi menjadi semakin dahsyat. Tangannya menyambar-nyambar
ke segenap tubuh lawannya. Pukulan-pukulannya adalah pukulan-pukulan maut,
seandainya tersentuhpun, maka tulang-tulang Kiai Gringsing agaknya akan
berserak retak. Karena itu, maka kini Widura dan Agung Sedayu dapat melihat,
bahwa Kiai Gringsing lah yang selalu mencoba menghindar serangan-serangan
lawannya. Berkali-kali ia melontar mundur dan menjauh. Tetapi lawannya selalu
mengejarnya dengan ganasnya. Sambaran-sambaran tangannya berdesingan seperti
lalat yang terbang mengitari tubuh Kiai Gringsing. Sedang cahaya besi baja di
tangannya yang bergerak-gerak itu, tampaknya seolah-olah kilat yang
menyambar-nyambar.
Widura dan
Agung Sedayu menjadi cemas pula karenanya. Meskipun dengan demikian mereka
dapat menduga bahwa kemampuan Kiai Gringsing ternyata masih berada setidak-tidaknya
menyamai Ki Tambak Wedi. Ternyata dengan senjata yang kemudian terpaksa
digunakan oleh Ki Tambak Wedi, namun apabila dengan senjata itu Kiai Gringsing
dapat dikalahkan, lalu apakah jadinya mereka berdua?
Tetapi mereka
berdua bukannya pengecut. Juga Agung Sedayu kini sama sekali tidak ingin
melarikan dri dari bahaya. Meskipun kadang-kadang terasa juga sesuatu yang
berdesir di dalam dadanya, seperti yang pernah dirasakannya dahulu, namun kini
ia berkata kepada dirinya,
“dia itu
mempunyai kesaktian yang tiada taranya. Seandainya aku melarikan diri, maka itu
pasti hanya akan bersifat sementara. Ia akan dapat mengejarku dan menangkapku
seperti kalau aku tetap berada di tempat ini. Karena itu, maka biarlah aku di
sini bersama-sama dengan paman Widura dan Kiai Gringsing. Meskipun kekuatanku
sama sekali tidak berarti, tetapi lebih baik menghadapinya bersama-sama
daripada aku nanti harus dikejarnya seorang diri”
karena itu,
maka Agung Sedayu masih tetap berdiri di tempatnya. Sekali-sekali ia berkisar mengikuti
putaran pertempuran Ki Tambak Wedi dan Kiai Gringsing.
Ki Tambak Wedi
yang kemudian merasa bahwa lawannya selalu terdesak, berkata dengan lantang
sambil mengayunkan kedua tangannya berputaran menyerang lawannya,
“He, orang
yang bodoh. Siapakah kau dan apamukah Agung Sedayu dan Widura ini?”
Jawabannya
benar-benar menyakitkan hati Ki Tambak Wedi yang menyangka bahwa lawannya telah
menjadi cemas akan nasibnya. Namun dengan jawaban itu, terasa seakan-akan
lawannya itu masih saja menganggap perkelahian itu seperti sebuah permainan,
katanya,
“Bukan
apa-apa. kami hanya bersama-sama menghuni daerah ini, daerah yang diributkan
oleh kehadiran Ki Tambak Wedi”
“Jangan
mengigau” bentak Ki Tambak Wedi,
“apakah kau
benar-benar telah jemu hidup?”
“Oh, kau salah
sangka. Aku berkelahi karena aku ingin hidup tenteram di daerah ini”
“Hiduplah
tenteram. Kenapa kau ganggu kami yang sedang terlibat dalam persoalan kami
sendiri, apakah hubungannya hidupmu dengan persoalan ini?”
“Ada” sahut
Kiai Gringsing,
“Angger Widura
sedang memanggul tugasnya mempertahankan daerah perbekalan ini dari segapan
Macan Kepatihan. Kalau kau binasakan orang itu, maka laskarnya pun akan
berhamburan tanpa ikatan. Dan daerah ini akan menjadi kacau balau. Sangkal
Putung akan berubah menjadi pusat perbekalan laskar Macan Kepatihan. Sehingga
dengan demikian hidupku pun akan terancam”
“Gila. Jangan
menganggap aku anak kambing yang bodoh. Kalau kau mampu bertempur melawan Ki
Tambak Wedi, kenapa kau tidak mampu bertempur melawan Macan Kepatihan?”
“Seperti kau,
kanapa kau tidak mau membunuh Macan Kepatihan? Kenapa mesti muridmu yang
bernama Sidanti?”
“Gila, kau
benar-benar gila. Seharusnya aku sudah membunuhmu. Nah sekarang kesempatan itu
datang, orang yang tidak mau dikenal seperti kau ini pun harus mati. Dan aku
akan dapat mengerti, apakah sebabnya kau menyebut dirimu dan memulai dirimu
seperti itu. Bukankah kau yang aku jumpai di lapangan dekat banjar desa pada
saat Sidanti berlomba memanah?”
Sementara itu
perkelahian di antara mereka berdua, Ki Tambak Wedi dan Kiai Gringsing menjadi
bertambah cepat. Meskipun beberapa kali Kiai Gringsing terpaksa melontar surut,
namun perlawanannya masih tetap sengit. Dalam kesibukan perkelahian itu Kiai
Gringsing menjawab,
“Ya, akulah
yang bertemu dengan kau di lapangan itu, kau masih ingat?”
“Tampangmu tak
mudah dilupakan” jawab Ki Tambak Wedi,
“Dan di daerah
ini jarang-jaranglah orang yang mampu bertempur melawan Ki Tambak Wedi sampai
dua tiga loncatan. Tetapi kau mampu bertahan beberapa lama”
Kiai Gringsing
menggeram. Katanya,
“Jadi kau
pasti bahwa akhirnya pertahananku pun akan runtuh?”
“Tentu,
meskipun kulitmu berlapis baja sekalipun”
“Kau, yang
mempergunakan lapisan baja di tanganmu”
“Persetan.
Ambillah senjatamu. Kita menentukan siapa di antara angkatan tua yang akan
dapat merajai lereng gunung Merapi”
“Aku tidak
ingin” jawab Kiai Gringsing,
“Tetapi aku
juga tak ingin dirajai”
Ki Tambak Wedi
tidak berkata-kata lagi. Serangannya menjadi bertambah seru. Sepasang gelang
dikedua tangannya bergerak dengan dahsyatnya. Setiap sentuhan daripadanya,
pasti akibatnya akan sangat dahsyat. Namun kemudian masih juga ternyata bahwa
Kiai Gringsing terpaksa selalu menghindari serangan Ki Tambak Wedi yang semakin
garang. Beberapa kali Kiai Gringsing harus melontar surut, sedang Ki Tambak
Wedi tidak akan melepaskan segenap kesempatan yang terbuka baginya. Tetapi
kemudian Kiai Gringsing tidak mau menjadi sasaran untuk meluapkan kemarahan Ki
Tambak Wedi saja. Ketika kemudian ternyata bahwa ia tidak dapat bertahan
terlalu lama menghadapi sepasang gelang itu, maka kemudian dari balik bajunya
Kiai Gringsing menarik pula senjatanya yang tak kalah anehnya. Sebuah cambuk. Ya,
cambuk yang tidak terlalu besar, dan berujung agak panjang. Tetapi benda itu
keseluruhan tidak lebih panjang dari setengah depa sampai ke ujung juntainya.
Ki Tambak Wedi
terkejut melihat senjata itu. Ia lebih tatag menghadapi pedang, tombak dan
tongkat baja seperti milik Macan Kepatihan. Tetapi menghadapi senjata yang aneh
ini, maka hatinya menjadi berdebar-debar. Cambuk yang kecil itu pasti akan
sulit untuk dilawan dengan gelang besinya. Senjata itu lemas dan juntainya akan
dapat menyengat tubuhnya dari segenap arah. Dan Ki Tambak Wedi sadar bahwa
cambuk itu pasti dari bahan yang dapat dipercaya oleh seorang yang setingkat
Kiai Gringsing. Sebenarnyalah, tiba-tiba saja mereka telah dikejutkan oleh
cambuk kecil itu. Cambuk itu memekik sedemikian kerasnya seperti sebuah ledakan
yang dahsyat dalam nada yang tinggi. Sehingga tiba-tiba telinga mereka yang
mendengarnya menjadi sakit. Dengan serta-merta Widura dan Agung Sedayu telah
menutup sebelah telinga mereka dengan tangan-tangan kiri mereka. Dan terdengar
kemudian adalah geram Ki Tambak Wedi.
“Dahsyat. Kau
mau mempengaruhi aku dengan letupan yang memekakkan telinga itu?”
“Kalau kau
mau” sahut Kiai Gringsing sekenanya.
“Gila. Kau
berhadapan dengan maut. Jangan menyesal kalau kau tidak sempat melihat bintang
pagi terbenam”
Kiai Gringsing
tidak menjawab, kini ia menyerang Ki Tambak Wedi dengan dahsyatnya dengan
ujung-ujung cambuknya.
Karena itu
maka perkelahian di antara mereka menjadi semakin dahsyat. Masing-masing telah
mempergunakan senjata-senjata yang terpercaya. Karena itulah maka perkelahian
itu segera meningkat sampai pada saat-saat yang menentukan.
Widura dan
Agung Sedayu pun menjadi bertambah tegang pula. Meskipun mereka berada diluar
lingkungan perkelahian itu namun terasa pula oleh mereka, bahwa kedua orang
yang sedang bertempur itu telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Mereka
masing-masing sedang berusah untuk menumbangkan lawannya dalam taraf ilmu yang
tertinggi yang mereka miliki. Kini Widura dan Agung Sedayu tidak lagi melihat
Kiai Gringsing selalu terdesak mundur. Bahkan kini mereka dapat merasakan,
bahwa cambuk kecilnya benar-benar berbahaya. Sekali-sekali terdengar cambuk itu
meledak dan terasa sebuah sengatan yang pedih pada tubuh lawannya. Kedua gelang
besi di tangan Ki Tambak Wedi benar-benar tidak dapat dipergunakannya untuk
menangkis serangan senjata yang aneh itu. Maka kini keadaan menjadi berubah.
Bayangan Ki Tambak Wedi yang bergerak-gerak dengan lincahnya itu seolah-olah
terdesak mundur. Bayangan yang lain perlahan-lahan telah mengurungnya. Tidak
saja tangan Kiai Gringsing yang bergerak-terak dengan cepatnya, namun ujung
cambuknya pun menjadi seakan-akan gumpalan-gumpalan asap yang menyebarkan maut.
Ternyata kemudian, bahwa saat yang menentukan telah datang. Ki Tambak Wedi
menggeram tak henti-hentinya. Lawannya benar-benar menakjubkannya. Betapa ia
menjadi marah dan memeras segenap kekuatannya, namun adalah diluar dugaannya
bahwa suatu ketika di lereng Merapi akan datang seseorang yang akan dapat
mengalahkannya. Karena itu mula-mula ia tidak mau melihat kenyataan itu. Dengan
sekuat tenaga ia mencoba mempertahankan diri dan namanya. Bahkan hampir-hampir ia
sampai pada suatu kesimpulan hidup dan mati. Namun tiba-tiba disadarinya
kehadiran Widura dan Agung Sedayu. Diingatnya pula muridnya Sidanti yang belum
sembuh benar dari lukanya. Dan diingatnya pula cita-cita masa depan muridnya
itu. Karena itulah maka akhirnya Ki Tambak Wedi yang namanya ditakuti di
sekitar gunung Merapi itu terpaksa mengakui keadaannya kini. Kiai Gringsing
yang tidak dikenal itu telah mengalahkannya. Karena itu dengan penuh kemarahan,
Ki Tambak Wedi menggeram,
“He orang
gila. Kau mungkin menyangka bahwa Ki Tambak Wedi tidak akan mampu melawanmu.
Tetapi aku mempunyai pertimbangan lain sehingga aku menghindari perkelahian
seterusnya, hanya kali ini”
Kiai Gringsing
tidak menjawab, ia ingin bahwa Ki Tambak Wedi tidak mendapat kesempatan untuk
melarikan diri. Namun kelebihannya tidak terpaut banyak dari Ki Tambak Wedi,
sehingga karena itu maka usahanya tidak berhasil. Ki Tambak Wedi sempat
menghindarkan dirinya dan tenggelam ke dalam gerumbul-gerumbul di dalam gelap.
Namun demikian terdengar Ki Tambak Wedi berkata,
“He orang yang
gila. Kau ternyata telah mendorong Agung Sedayu dan Swandaru kedalam keadaan
yang menyedihkan. Dengan perbuatanmu ini, maka keinginanku untuk membunuh
mereka berdua menjadi semakin besar. Sidanti untuk seterusnya tidak akan
kembali ke Sangkal Putung. Tak akan ada yang diharapkannya di sini. Karena itu,
maka baginya, Widura sudah tidak penting lagi. Tetapi dendamnya kepada Agung
Sedayu dan Swandaru tidak akan dapat dilupakan. Aku atau Sidanti sendiri pada
suatu ketika pasti akan melakukannya. Membunuh Agung Sedayu dan Swandaru,
menggantung mayat mereka di muka banjar desa Sangkal Putung”
“Jangan
berangan-angan” potong Kiai Gringsing sambil mengejarnya,
“Selama aku
masih ada, maka selama itu aku akan menghalangi maksud yang terkutuk itu.
Marilah kita sejak ini menganggap diri kita sendiri berpacu. Aku berjanji untuk
menyelamatkan Agung Sedayu dan Swandaru dari ketakutannya terhadap Sidanti.
Sedang kalau kau ikut campur, maka aku akan ikut campur pula. Kalau suatu
ketika aku menjadi lengah dan kedua anak itu mengalami bencana karena pokalmu,
maka aku berjanji, bahwa aku sendiri akan membunuh Sidanti dan kau
bersama-sama”
“Setan” teriak
Ki Tambak Wedi dari kejauhan. Namun nada suaranya menggetarkan kemarahan yang
tiada taranya. Belum pernah ia mengalami penghinaan yang sedemikian kasarnya.
Ancaman yang langsung diberikan kepadanya dan muridnya. Namun ia harus
mengakui, bahwa hal itu benar-benar mungkin dilakukan oleh orang yang belum
dikenalnya dan menamakan dirinya Kiai Gringsing itu. Justru orang itu belum
dikenalnya dengan baik, maka kemungkinan yang akan dilakukan oleh orang itu
menjadi bertambah besar.
Namun sambil
melarikan diri Ki Tambak Wedi yang bukan seorang yang tumpul otaknya itu sempat
berpikir,
“Aku akan
segera mengetahui siapakah orang itu. Siapa yang kemudian memimpin dan
menggurui Agung Sedayu dan Swandaru, maka orang itulah sebenarnya yang bernama
Kiai Gringsing”
Widura dan
Agung Sedayu yang terpaku di tempatnya masih saja tegak seperti tonggak. Namun
tiba-tiba Agung Sedayu terkejut ketika Widura itu berkata,
“Agung Sedayu,
mari kembali ke kademangan. Cepat”
Agung Sedayu
tidak sempat menjawab, tiba-tiba dilihatnya pamannya meloncat dan berlari
kencang-kencang mendahului, setelah menyarungkan pedangnya. Karena itu, maka
Agung Sedayu yang tidak tahu maksudnya pun ikut berlari pula, sepanjang jalan
ia tidak habis berpikir tentang pamannya. Ketika Ki Tambak Wedi masih belum
dapat dikalahkan, pamannya sama sekali tidak bergerak dari tempatnya. Kini
ketika bahaya telah meninggalkan mereka, tiba-tiba pamannya itu berlari-lari
pulang, tetapi ia tidak sempat untuk menanyakannya. Sehingga karena itu maka
Agung Sedayu itu pun hanya dapat mengikutinya tanpa tahu maksudnya. Widura yang
berlari itu meloncati parit-parit dan pematang-pematang. Ia tidak lewat jalan
yang biasanya dilaluinya. Ditempuhnya jalan yang memintas. Kali ini Widura
tidak lagi singgah di gardu-gardu perondan seperti biasanya. Baru ketika ia
memasuki desa Sangkal Putung, maka Widura itu tidak berlari-lari lagi.
Bagaimana langkahnya pun masih tetap panjang-panjang.
Agung Sedayu
yang kemudian menyusulnya bertanya sambil terengah-engah,
“Kenapa paman
berlari-lari?”
“Tidak
apa-apa” jawabnya.
Agung Sedayu
terdiam. Namun sudah tentu ia tidak percaya. Meskipun demikian, ia sudah tidak
bertanya lagi. Dengan langkah yang panjang-panjang pula ia berjalan di samping
pamannya.
Widura itu
benar-benar menjadi seakan-akan tidak bersabar. Semakin dekat ia dengan kademangan,
langkahnya menjadi semakin cepat. Tetapi ketika ia hampir sampai regol, maka
dihentikannya langkahnya, diaturnya nafasnya. Dan seakan-akan tidak terjadi
apa-apa Widura itu berjalan tenang-tenang. Agung Sedayu dapat mengerti apa yang
dilakukan pamannya terakhir. Widura tidak mau membuat kesan yang aneh terhadap
anak buahnya. Ki Widura malam itu datang menurut kebiasaan meskipun agak
terlambat.
Seorang
penjaga di regol halaman menganggukkan kepalanya sambil menyapa,
“Agak
terlambat Ki Lurah pulang”
“Ya” sahut
Widura. Ia mencoba menjawab tenang-tenang meskipun terasa nafasnya mendesaknya,
“aku berhenti
di beberapa gardu perondan”
Seorang yang
lain, yang berdiri pula di sisi pintu menyahut,
“Adalah
sesuatu yang perlu diperhatikan?”
“Tidak” jawab
Widura sambil melangkahi regol. Namun kemudian ia berkata,
“adalah
seseorang yang baru saja memasuki regol ini?”
Penjaga-penjaga
di regol itu mengangkat alisnya. Sambil menggeleng-gelengkan kepala penjaga itu
menjawab,
“Tidak.
Sepengetahuanku tidak”
“Sama sekali
tidak?” desak Widura.
Penjaga itu
berpikir sejenak. Sambil menggeleng ia menjawab,
“Tidak Ki
Lurah”
Widura
menggigit bibirnya. Kemudian katanya berbisik kepada Agung Sedayu,
“Kalau begitu
kita lebih dahulu sampai”
“Siapa?”
bertanya Agung Sedayu.
“Sst” desis
Widura.
Namun
tiba-tiba Widura itu menjadi kecewa ketika seorang penjaga berkata,
“Ki Tanu
Metir, maksud Ki Lurah?”
“He?” bertanya
Widura.
“Yang baru
saja masuk regol adalah Ki Tanu Metir yang keluar untuk berjalan-jalan seperti
yang dilakukannya setiap hari”
“Setiap hari?”
bertanya Widura.
“Ya” jawab
penjaga regol itu.
“Setiap orang
yang bertugas di regol ini melihat, bahwa orang tua itu selalu pergi
berjalan-jalan di malam hari”
Widura menarik
nafas dalam-dalam. Otaknya bergerak menghubungkan keterangan-keterangan yang
didengarnya itu. Tetapi kemudian ia tersenyum,
“Marilah Agung
Sedayu” ajaknya.
Agung Sedayu
benar-benar tidak tahu maksud pamannya. Tetapi ketika pamannya itu berjalan
naik ke pendapa, maka ia ikut juga di belakangnya.
Widura
berjalan perlahan-lahan masuk ke pringgitan. Dilihatnya Ki Tanu Metir duduk
dengan tenangnya menggulung sehelai daun pisang pembungkus makanan, di samping
Ki Demang dan Swandaru.
“Ha, kau baru
pulang?” bertanya orang tua itu ketika dilihatnya Widura dan Agung Sedayu melangkah
masuk
“Ya Kiai”
jawab Widura.
“Kau pulang
lebih malam dari biasanya. Aku juga baru saja datang. Berjalan-jalan dimalam
hari benar-benar dapat memberi kesegaran padaku”
“Ya Kiai.
Memang udara sangat segar. Tetapi agaknya terlampau dingin” berkata Widura.
“Ya. Memang
malam ini terlampau dingin” sahut Ki Tanu Metir
“Apakah Kiai
juga merasakan dinginnya malam?” bertanya Widura.
“Ya, tentu.
Aku menjadi menggigil karenanya”
“Aku juga”
sambung Widura,
“Tetapi memang
sudah menjadi kebiasaanku, aku selalu berkeringat apabila aku kedinginan”
Ki Tanu Metir
mengerutkan keningnya. Kemudian katanya,
“Apakah kau
berkeringat?”
“Ya, seperti
Kiai juga”
Ki Tanu Metir
mencoba mengamat-amati pakaiannya. Terasa punggung bajunya memang basah oleh
keringat yang mengalir tak habis-habisnya. Karena itu, maka ia pun tersenyum
sambil berkata,
“Aku juga
berkeringat. Tetapi aku baru saja kepanasan minum air jahe hangat. Inilah. Mari
minumlah mangkuk itu. Bukankah ini memang disediakan untukmu?” kemudian kepada
Swandaru ia bertanya,
“Begitu bukan
angger Swandaru?”
“Ya, ya.
Silakan paman Widura dan tuan …..”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar