Jilid 007 Halaman 2


Namun semuanya tertarik pula. Karena itu, maka semua yang hadir disitu bergeser mendekat. Namun Untara ternyata masih terlalu lemah. Tiba-tiba matanya terpejam kembali.
“Kakang” panggil Agung Sedayu.
“Jangan ngger” berkata Ki Tanu Metir,
“Jangan dipaksa”
“Hem” Agung Sedayu menggeram. Ia ingin segera tahu siapa yang telah melakukan perbuatan itu. Tohpati atau Alap-alap Jalatunda? Tetapi ia harus bersabar lagi menunggu Untara itu menjadi lebih kuat.

Di luar, kabut yang tebal mulai turun. Namun ayam jantan yang berkokok semakin lama menjadi semakin ramai bersahutan. Meskipun demikian, lewat pintu mereka masih melihat kehitaman yang kelam di antara kabut yang keputih-putihan. Tetapi mereka menyadari bahwa sebentar lagi, fajar telah menjenguk di garis kaki langit. Kini mereka tidak dapat berdiri saja di seputar Untara. Widura dan Ki Tanu Metir minta diri sesaat kepada Agung Sedayu untuk sesuci, untuk kemudian mereka bergantian menunggu Untara yang terluka itu.
“Silakan paman” berkata Agung Sedayu.
Ki Demang Sangkal Putung dan Swandaru pun kemudian meninggalkan ruangan itu, sehingga kini tinggallah Agung Sedayu seorang diri.
Telah lama Widura menunggu kesempatan itu. Berjalan berdua dengan Ki Tanu Metir. Dan kesempatan itu kini datang. Karena itu, maka berkata Widura itu sambil berjalan ke padasan,
“Ki Tanu Metir, apakah Ki Tanu telah pernah datang ke tempat ini sebelumnya?” Ki Tanu Metir menggeleng,
“Belum ngger”
Widura tersenyum. katanya,
“Baru kali ini?”
“Ya” sahut orang tua itu
“Ke daerah-daerah sekitar tempat ini?”
“Juga belum”
“Ki Tanu Metir benar-benar belum mengenal aku?”
Ki Tanu Metir berhenti. Diamatinya Widura dengan seksama, namun ia menggeleng,
“Belum ngger. Baru kali ini aku mengenal Angger Widura”
Sekali lagi Widura tersenyum,
“Mungkin Kiai benar”
Ki Tanu Metir terkejut. Bagaimana sesaat kemudian ia tersenyum sambil berjalan terus.

Sepeninggal Widura, Agung Sedayu masih juga menunggu kakaknya dengan tekun. Sekali-sekali dilihatnya Untara menarik nafas panjang. Namun Untara itu masih belum juga membuka matanya kembali. Agung Sedayu hampir-hampir menjadi tidak sabar menunggu. Ia ingin segera tahu, siapakah yang melukai kakaknya itu. Tetapi ia tidak berani memaksa kakaknya untuk berbicara. Sesaat kemudian ketika Untara itu membuka matanya kembali, segera Agung Sedayu membungkukkan badannya sambil berbisik,
“Kakang, apakah akan mengatakan kepadaku, siapakah yang telah melukai kakang?”
Untara menarik nafas panjang. Tampak ia menyeringai, kemudian mencoba menggerakkan tangannya,
“Tanganku masih lemah sekali” desisnya.
“Jangan bergerak-gerak dulu kakang” Agung Sedayu mencoba mencegahnya.
Untara mengangguk kecil.
“Dimana paman Widura?”
“Baru sesuci kakang” sahut Agung Sedayu.
“Aku ingin mengatakan kepadanya, siapakah yang telah melukai aku”
“Katakanlah kakang, selagi kakang sempat, nanti kakang dapat tidur dengan nyenyak”
“Dimana pamanmu?”
“Biarlah nanti aku sampaikan”
Untara menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan susah payah ia berkata,
“Agung Sedayu. Sebenarnya aku telah berusaha untuk melupakan setiap persoalan yang ada di antara kita masing-masing yang berada di tempat ini untuk kepentingan yang lebih besar. Tetapi ternyata aku menghadapi bahaya yang hampir saja merenggut nyawaku. Kalau kali ini aku, maka mungkin lain kali paman Widura dan kau. Karena itu maka sebelum terjadi, kau harus mencegahnya. Aku percaya bahwa kau akan dapat melakukannya bersama paman Widura”
“Ya kakang”sahut Agung Sedayu tidak sabar,
“Aku siap berbuat”
“Jangan orang itu mendapat kesempatan meninggalkan tempat ini. Dengan demikian ia akan menjadi lebih berbahaya bagimu dan bagi Sangkal Putung”
“Ya kakang, tetapi siapakah itu?”
“Dimanakah pamanmu Widura?”
“Sebentar lagi ia datang. Aku akan mengatakannya”
“Ya. Memang harus dilakukan secepatnya. Kalau ia tahu aku belum mati dan masih dapat mengatakannya, maka ada kemungkinan ia segera akan kembali”
“Ya, ya” sahut Agung Sedayu tidak sabar.
“Anak itu adalah Sidanti”
“He?” alangkah terperanjat Agung Sedayu,
“Sidanti” ulangnya,
“Bagaimana mungkin? Bukankah ia berada di sayap yang lain?”
“Sayap itu telah bergabung dengan induk pasukan ketika kami mengejar lawan. Dan ternyata Sidanti telah melakukan rencananya sendiri. Ditinggalkannya anak buahnya untuk berbuat menurut rencananya. Aku terkejut ketika tiba-tiba ia menggamit aku. Tetapi aku tidak mendapat kesempatan. Aku berpaling pada saat pisaunya menembus punggungku. Tetapi aku tidak segera pingsan. Pukulannyalah yang menyebabkan aku tidak tahu apa lagi yang terjadi. Tetapi Tuhan Maha Besar. Aku ternyata diselamatkan oleh Nya dengan lantaran Ki Tanu Metir”

Terdengar gigi Agung Sedayu gemeretak. Namun ketika ia masih ingin mengajukan pertanyaan lagi, dilihatnya nafas kakaknya menjadi agak cepat.
“Kakang” panggil Agung Sedayu.
Untara memejamkan matanya. Dicobanya untuk menenangkan hatinya. Disadarinya bahwa ia masih belum dapat terlalu banyak berbicara. Karena itu katanya,
“Aku akan beristirahat. Katakanlah hal ini kepada paman Widura”
Agung Sedayu tidak menjawab. tetapi dadanya seakan-akan hampir meledak. Dilihatnya kakaknya menarik nafas dalam-dalam, dan sekali Untara itu berdesis,
“Aku masih terlalu lemah. Kini kepalaku terasa agak pening. Aku akan mencoba tidur lagi”
“Tidurlah kakang” jawab Agung Sedayu,
“Tenangkanlah hatimu. Biarkan aku selesaikan persoalan Sidanti”
“Jangan seorang diri” desis Untara.
Tetapi Agung Sedayu tidak menjawab, hatinya sudah tidak dapat ditahannya lagi. Meskipun selama ini Sidanti baginya seakan-akan hantu yang selalu mengejarnya kemana ia pergi, namun hantu itu kini sama sekali tidak menakutkan lagi baginya. Karena itu, maka demikian kakaknya memejamkan matanya dan mencoba untuk tidur, cepat-cepat Agung Sedayu beringsut surut, dan dengan tergesa-gesa ia meloncat keluar pringgitan. Sedemikian tergesa-gesa sehingga ia lupa menyandang pedangnya yang telah diletakkannya di samping pembaringan kakaknya itu. Di pendapa dengan nanar Agung Sedayu mencari Sidanti. Namun di sudut pendapa itu tak dilihatnya seseorang. Karena itu dengan berlari-lari ia turun ke halaman dan langsung dicarinya di belakang rumah. Namun di belakang rumah itu pun tak ditemuinya Sidanti. Ia tadi mendengar Sekar Mirah mengumpat-umpat disitu. Karena itu ketika ia melihat gadis itu menjengukkan kepalanya dipintu, dengan serta-merta ia bertanya,
“Mirah, kemanakah Sidanti?”
“Kenapa kau mencari Sidanti?” bertanya Sekar Mirah,
“kenapa tidak mencari aku?”
“Aku tergesa-gesa Mirah”
“Apakah tuan sangka aku menyembunyikan Sidanti?”
“Tidak. Tetapi bukankah kau tadi bercakap-cakap dengan Sidanti di sini? Barangkali kau tahu kemana ia pergi?”

Sekar Mirah menggeleng sambil tersenyum. bahkan kemudian ia melangkah keluar,
“Biarlah Sidanti pergi menurut kehendaknya sendiri, apakah kita berkepentingan atasnya?”
“Aku berkepentingan”
“Aku tidak”
“Mirah” Agung Sedayu menjadi jengkel karenanya,
“Aku sekarang sedang dihadapkan pada suatu keharusan untuk menemukannya. Dimana ia sekarang?”
Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Dilihatnya wajah Agung Sedayu bersungguh-sungguh. Karena itu, maka ia tidak mau bergurau lagi. Jawabnya,
“Mungkin ke sungai, mungkin ke prapatan”
Agung Sedayu berpikir sejenak. Apakah kepentingan Sidanti keprapatan yang paling mungkin baginya adalah pergi ke kali di sebelah ujung halaman kademangan itu. Sebuah kali yang tidak sedemikian besar, yang airnya seakan-akan hampir kering di musim kemarau.
Agung Sedayu itu pun tidak berkata-kata lagi. Dengan tergesa-gesa ia berjalan menuju kekali, tempat beberapa orang laskar Pajang sering mandi dan mencuci pakaiannya. Namun saat itu masih terlalu pagi. Belum ada seorang pun yang pergi kesana, selain Agung Sedayu yang sedang mencari Sidanti itu. Ki Tanu Metir dan Widura, setelah sesuci segera bersembahyang. Ketika mereka menengok Untara, dilihatnya anak muda yang sedang terluka itu tidur. Karena itu, maka Ki Tanu Metir tidak mendekatinya.
Sehabis sembahyang, mereka berdua duduk kembali, di atas tikar pandan dan kembali meneguk air yang masih hangat-hangat kuku.
“Dimanakah Sedayu?” desis Widura.
“Ya, dimana angger Sedayu?” sahut Ki Tanu Metir.

Mula-mula mereka menyangka bahwa anak muda itu sedang sesuci di belakang. Tetapi setelah ditunggu beberapa lama, maka Agung Sedayu tidak juga datang. Meskipun demikian, mereka sama sekali tidak menaruh syaj bahwa Agung Sedayu sedang pergi mencari Sidanti. Karena itu, maka Widura itu masih saja duduk dengan tenangnya bersama dengan Ki Tanu Metir. Sekali Ki Tanu Metir itu berdiri. Didekatinya Untara yang kembali jatuh tertidur karena lemahnya. Dirabanya dada anak itu sambil bergumam,
“Pernafasannya menjadi bertambah baik. Mudah-mudahan ia dapat segera memiliki kesadarannya sepenunya kembali. Dalam keadaannya sekarang, maka angger Untara kadang-kadang masih menjadi pening dan berkunang-kunang”
“Mudah-mudahan” sahut Widura.
“Mulai besok, angger Untara harus banyak minum obat reramuan sehingga badannya akan menjadi segera kuat kembali. Obat-obatan yang dapat mengganti darahnya yang sudah terlalu banyak mengalir seperti yang pernah dialaminya dahulu”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba ia teringat kepada obat yang diberikan oleh Sidanti. Karena itu, maka katanya,
“Bagaimanakah dengan obat yang diberikan oleh Sidanti?”
Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya. Sesaat ia berdiam diri. Tampaklah ia menjadi ragu-ragu karenanya.
“Bagaimana?” desak Widura pula.
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun sesaat tampak wajahnya menjadi tegang. Dan akhirnya menjawab,
“Maaf ngger. Apakah aku boleh berkata sebenarnya?”
“Ya, tentu” sahut Widura heran.
Perlahan-lahan diraihnya obat dari Sidanti yang diletakkannya di samping kaku pembaringan Untara. Sekali lagi obat itu dibukanya, dan ditunjukkannya kepada Widura.
“Obat ini sangat berbahaya ngger”
“Kenapa?” bertanya Widura heran.
Sekali Ki Tanu Metir memandang ke daun pintu yang terbuka, namun kemudian kepalanya itu ditundukkannya.
Widura menjadi hran melihat sikap Ki Tanu Metir itu. Karena itu, maka ia mendesaknya,
“Kenapa obat itu sangat berbahaya Kiai?”

Ki Tanu Metir berpaling ke arah Untara yang masih tertidur. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, ia bergumam,
“Untunglah bahwa obat ini belum menyentuh lukanya. Kalau angger pernah melihat, ini adalah salah satu jenis warangan yang akan dapat mempengaruhi peredaran darah”
“He?” Widura terkejut mendengar keterangan itu.
“Warangan ini” berkata Ki Tanu Metir,
“Akan dapat membekukan darah, sehingga cairan darah Angger Untara akan bergumpal-gumpal dan menyumbat jalur-jalur nadinya”
“Jadi….” Kata-kata Widura terputus dikerongkongannya.
Namun Ki Tanu Metir sudah dapat menangkap maksudnya. Karena itu, maka ia menyahut,
“Ya. Ternyata angger Untara benar-benar akan dibunuhnya”
Terasa keringat dingin mengalir di tubuhnya. Tiba-tiba teringatlah Widura itu kepada peristiwa yang pernah dialaminya sendiri. Sidanti dan Ki Tambak Wedi pernah akan membunuhnya pula, sehingga karena itu dengan serta-merta ia berkata,
“Kalau begitu, maka luka Untara itu pun pasti dibuat oleh Sidanti”
Ki Tanu Metir terdiam sesaat. Kemudian jawabnya,
“Mungkin ngger. Adalah mungkin sekali”
Tubuh Widura itu menjadi gemetar karenanya. Perbuatan itu benar-benar tidak dapat dimaafkan lagi. Sidanti benar-benar tidak dapat dilunakkan hatinya. Nafsunya untuk segera menanjak ke tingkatan-tingaktan yang lebih tinggi telah mendorongnya untuk berbuat hal-hal yang kadang-kadang tidak dapat dimengerti. Dengan demikian maka anak muda itu telah kehilangan segala tata cara dalam peradaban manusia. Bahkan Sidanti itu, telah sedemikan sampai hati untuk melenyapkan kawan sendiri, membunuhnya untuk segera dapat menempati kedudukannya.

Widura itu pun menjadi marah bukan buatan. Karena itu, maka segera ia berdiri. Diambilnya pedangnya dan disangkutkan di pinggangnya.
“Akan kemanakah angger Widura ini?” bertanya Ki Tanu Metir.
“Aku harus menemui Sidanti. Anak itu harus berada dalam pengawasan yang lebih baik. Kali ini Untara, besok aku dan lusa Agung Sedayu”
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia pun berdiri juga. Widura yang telah siap untuk berbuat apa pun juga itu memerlukan menjenguk sesaat. Dilihatnya anak itu membuka matanya. Ketika dilihatnya Widura, maka desisnya,
“Dugaan Ki Tanu Metir dan paman adalah benar. Aku mendengar apa yang kalian percakapkan. Aku telah mengatakan kepada Agung Sedayu”
“He” kembali Widura terkejut,
“Dimana Sedayu sekarang?”
“Aku suruh ia mengatakannya kepada paman Widura”
Widura menggigit bibirnya. Ada sesuatu yang tersimpan di hati Agung Sedayu terhadap Sidanti, seperti minyak yang tersekat di dalam bumbung. Kini ternyata ada api yang menyambarnya, sehingga minyak itu pasti akan menyala dan bumbungnya akan meledak. Karena itu, maka Widura  pun kemudian menganggukkan kepalanya sambil berkata,
“Baiklah aku temui anak itu”
Untara tidak mengerutkan keningnya. Dipejamkannya kembali matanya untuk mencoba beristirahat sebanyak-banyaknya. Ki Tanu Metir lah kemudian yang menungguinya sambil duduk di tikar di samping pembaringannya.

Widura yang menahan kemarahan di dalam dadanya itu, berjalan perlahan-lahan keluar pringgitan. Di luar malam telah berangsur hilang, sehingga bayangan pepohonan di halaman semakin lama menjadi semakin jelas karenanya. Namun ia tidak melihat Agung Sedayu dan Sidanti di halaman itu. Karena itu, maka segera ia menjadi cemas. Beberapa orang yang melihat Widura menyandang pedangnya, bertanya-tanya di dalam hati. Widura itu di kademangan hampir tidak pernah membawa pedangnya dalam keadaan biasa. Namun kini pedang itu tergantung di lambungnya.
“Mungkin Ki Lurah itu belum sempat melepas pedangnya” berkata salah seorang.
“Aku sudah melihatnya sesuci. Dan pedang itu tidak tergantung di pinggangnya” sahut yang lain.
“Entahlah” gumam orang yang pertama.
Sementara itu Agung Sedayu yang berlari-lari ke kali di ujung halaman dengan gelora kemarahan yang menyala di dadanya, tiba-tiba terkejut, ketika pada keremangan pagi ia melihat dua sosok tubuh berjalan ke arahnya. Namun tiba-tiba sesosok di antaranya segera lenyap dan yang tinggal kemudian adalah Sidanti. Agung Sedayu itu tidak sempat berpikir dan bertanya, siapakah orang yang satu itu yang kemudian bersembunyi. Namun yang ada di dalam dadanya adalah kemarahan yang menyala-nyala. Dengan serta-merta, maka Agung Sedayu itu berteriak,
“Kau telah berusaha membunuh Untara. Sekarang aku datang untuk menuntut balas atas luka-luka yang dideritanya”
Sidanti terkejut. Jawabnya,
“Siapa bilang?”
“Untara sendiri”
“Omong kosong. Untara belum sadar”
“Jangan ingkar. Aku sudah tidak mempunyai pilihan lain sekarang”
Sidanti itu mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba ia tertawa,
“Bagus” katanya,
“Aku yang berusaha membunuh Untara, sekarang aku harus membunuh Agung Sedayu”
Agung Sedayu tidak menjawab. segera ia meloncat maju dan menyerang Sidanti sejadi-jadinya.

Sidanti benar-benar terkejut menerima serangan yang tiba-tiba itu. Karena itu, maka ia tidak segera dapat mengelak. Dengan cepatnya ia berusaha untuk memunahkan serangan Agung Sedayu itu dengan menyilangkan kedua tangannya menyambut tangan Agung Sedayu. Pada saat itu, Agung Sedayu benar-benar telah mempergunakan segenap kekuatannya dilambari dengan kemarahan yang membara di dalam dirinya. Karena itu, maka kekuatannya pun seakan-akan bertambah-tambah juga. Sehingga kemudian terjadi suatu benturan yang dahsyat antara keduanya. Benturan kekuatan antara Agung Sedayu yang melontarkan kemarahan yang meledak dengan kekuatan Sidanti yang tegak seperti batu karang. Maka kedua kekuatan itu telah melemparkan keduanya, sehingga masing-masing terpental dan jatuh terbanting di atas tanah, namun setelah mereka terguling, maka segera mereka meloncat berdiri dan siap kembali untuk mempertahankan diri masing-masing. Agung Sedayu yang sama sekali tidak dapat mengekang dirinya karena kemarahannya, segera menyerang kembali. Serangannya langsung mengarah ke titik-titik yang berbahaya pada tubuh Sidanti. Kalau selama ini Sidanti dan Agung Sedayu selalu urung bertempur dalam setiap persoalan, maka dendam yang tersimpan di hati masing-masing itu kini seakan-akan tertumpahkan. Sidanti yang selama ini merasa, tersisihkan karena kehadiran Agung Sedayu. Baik oleh Widura, orang-orang Sangkal Putung, lebih-lebih Sekar Mirah, namun usahanya untuk memancing perselisihan selalu gagal, maka kini aia terlibat dalam suatu perkelahian dengan Agung Sedayu. Karena itu, maka kesempatan ini harus dipergunakan. Ia harus bertempur sampai rampung. Mati atau mematikan. Apalagi Agung Sedayu ternyata telah mengetahui bahwa dirinyalah sebenarnya yang telah berusaha membunuh Untara. Dan Sidanti tidak dapat mengingkari kalau itu dikatakan oleh Untara sendiri. Meskipun demikian Sidanti itu menyesal, kenapa ia tidak dapat menusuk anak muda yang mendapat kepercayaan langsung dari Ki Gede Pemanahan itu sekaligus, sehingga Untara itu masih sempat berkata tentang keadaannya. Karena itu, maka Agung Sedayu itu pun harus mati. Kalau Agung Sedayu sudah mati di sini, maka ia akan dapat membunuh Untara nanti pada suatu kesempatan. Mudah-mudahan obatnya diusapkan pada luka itu. Kalau demikian maka Untara itu pun pasti akan mati. Tetapi kalau tidak? Kalau rencana itu gagal? Sidanti itu menggeram. Apa yang dilakukan kali ini adalah suatu sikap terakhir. Kalau ia gagal, maka kisahnya sebagai prajurit Pajang akan berakhir. Kalau ia berhasil membunuh Agung Sedayu dan Untara, apakah tidak ada orang-orang lain yang akan menuntutnya?,
“Hem” sekali lagi Sidanti menggeram. Kegagalannya terletak pada kegagalannya membunuh Untara, sehingga persoalan itu menjadi berlarut-larut. Tetapi meskipun demikian, ia tidak dapat mengingkari. Ia sudah langsung berbuat dengan tangannya meskipun ia berusaha untuk menghilangkan bekasnya. Ia menusuk Untara tidak dengan senjatanya, tetapi dengan pisau yang lain. Kini tangannya telah berbekas darah. Karena itu, maka apa pun yang akan dihadapinya ia tidak akan ingkar.

Sedangkan Agung Sedayu pun telah menyimpan dendam yang membara di dalam dirinya. Sejak ia hadir di Sangkal Putung, maka ia telah merasakan, bahwa seorang ini sama sekali tidak senang melihat kehadirannya. Anak muda inilah yang seakan-akan telah menyebabkan pamannya selalu marah kepadanya, sehingga seolah-olah Ia menjadi seorang tawanan yang dikurung di dalam pringgitan. Anak muda ini pulalah yang telah berusaha membunuh kakaknya. Sampai saat itu kakaknya adalah orang yang paling baik yang dikenalnya. Orang yang selalu melindunginya dalam setiap kesempatan. Orang yang tidak pernah menyakiti hatinya. Orang yang telah menggantikan ibu bapaknya. Kini orang yang bernama Sidanti itu akan membunuh kakaknya itu. Karena itu, maka segenap kemarahan dam dendam tertumpah kepadanya. Kepada Sidanti. Pertempuran itu menjadi seru sekali, masing-masing telah menumpahkan segenap tenaganya dalam luapan kemarahan dan dendam. Masing-masing sudah tidak dapat lagi melihat kemungkinan lain daripada membunuh atau dibunuh. Agung Sedayu yang banyak sekali mempunyai pertimbangan di kepalanya hampir dalam setiap persoalan, kini pertimbangan-pertimbangan itu seakan-akan telah membeku. Tetapi ternyata bahwa Sidanti memiliki pengalaman yang lebih luas dari Agung Sedayu. Meskipun persiapan-persiapan di dalam diri Agung Sedayu telah cukup banyak untuk menghadapi murid Ki Tambak Wedi itu, namun ada beberapa kelebihan dari Sidanti atas Agung Sedayu. Karena itu, maka tampaklah bahwa Sidanti mempunyai kesempatan-kesempatan yang lebih baik dari Agung Sedayu. Meskipun demikian, Agung Sedayu pun memiliki keadaan yang tidak dimiliki oleh Sidanti. Agung Sedayu yang seakan-akan menyimpan dan menahan gelora yang menyala di dadanya karena keadaannya, maka tiba-tiba kini ia menemukan saluran yang dapat memuntahkan tekanan itu. Sebagai seorang penakut, maka Agung Sedayu selalu berangan-angan untuk menjadi seorang yang pilih tanding. Seorang yang tak terkalahkan. Namun setiap gejolak di dalam jiwanya selalu disekapnya di dalam hati. Kemudian setelah ia berhasil menembus dinding yang menyelubunginya, tiba-tiba ia dihadapkan pada persoalan yang langsung menyentuh perasaannya yang paling dalam, sehingga dengan demikian maka Agung Sedayu itu seakan-akan benar-benar sebuah bumbung minyak yang terbakar. Meledak dengan dahsyatnya. Karena itu, maka tandangnya pun menjadi tidak menentu. Ia telah kehilangan kemungkinan untuk mempertimbangkan setiap geraknya. Hanya satu yang ada di dalam hatinya, membinasakan Sidanti.

Sidanti melihat tandang Agung Sedayu itu benar-benar terkejut. Agung Sedayu dalam tangkapan Sidanti adalah seorang yang halus dan lunak. Ia menyangka, bahwa dalam perkelahian pun Agung Sedayu akan mencerminkan sifat-sifatnya itu. Tetapi tiba-tiba ia berhadapan dengan gerak yang ganas dan kasar. Bahkan kadang-kadang sama sekali diluar dugaannya. Agung Sedayu menyerang seperti seekor serigala yang lapar. Tidak hanya seekor, namun tiba-tiba karena luapan perasaannya, Agung Sedayu telah menumpahkan segenap ilmunya, sehingga seakan-akan Sidanti itu menghadapi berpuluh-puluh serigala yang kelaparan sedang berusaha bersantap dengan dagingnya. Karena itu, maka perkelahian itu menjadi semakin sengit. Sidanti berusaha untuk melawan Agung Sedayu dengan segenap kemampuannya pula, dengan lincahnya ia menghindari setiap serangan Agung Sedayu. Namun serangan itu mengalir seperti banjir. Meskipun demikian kelincahan Sidanti, sekali-sekali berhasil menerobos pertahanan Agung Sedayu yang kuat, sekali-sekali berhasil mengenai tubuhnya, sehingga sekali-sekali Agung Sedayu terpaksa terlempar surut dan bahkan jatuh berguling. Tetapi kambali anak muda itu bangkit, dan kembali serangannya datang membadai. Namun Sidanti pada dasarnya adalah seorang anak muda yang berjiwa kasar. Ia adalah seorang yang berbuat tanpa kesan membunuh lawannya dan bahkan merobek mayat lawannya sekali. Karena itu, maka segera ia menyesuaikan diri dengan Agung Sedayu. Sehingga sesaat kemudian Sidanti itu pun bertempur dengan cara yang tidak kalah ganas dan kasar dari Agung Sedayu. Perkelahian itu benar-benar menjadi perkelahian yang keras. Seakan-akan perkelahian di antara binatang-binatang buas yang sedang kelaparan berebut makanan. Setiap serangan hampir tak pernah dielakkan. Namun setiap serangan ditempuhnya dengan pengerahan tenaga. Namun dalam perkelahian yang demikian itu pun, Sidanti mempunyai kesempatan yang lebih banyak dari Agung Sedayu. Pengalamannya yang jauh lebih banyak dan hatinya yang lebih keras, telah memungkinkannya untuk berbuat lebih jauh dari apa yang dapat dilakukan pleh Agung Sedayu. Tetapi Sidanti itu pun menjadi heran. Betapa ia berhasil mengenai lawannya, bahkan dengan segenap tenaganya, dan betapa ia melihat Agung Sedayu terlempar jatuh, tetapi seakan-akan tubuh Agung Sedayu itu sedemikian liatnya. Demikian ia terbanting, demikian ia bangun kembali. Pukulan-pukulan yang mengenainya benar-benar tak pernah membekas, seakan-akan tubuhnya dapat dibebaskan dari rasa sakit. Sebenarnya Agung Sedayu sudah waringuten, ia seolah-olah kehilangan segenap perasaannya. Bahkan rasa sakit pun seakan-akan tak dimilikinya. Tekanan gelora yang membakar dadanya telah menjadikannya nggegirisi. Sidanti benar-benar menjadi bimbang. Apakah Agung Sedayu memiliki ilmu kekebalan?,
“Omong kosong” katanya dalam hati. Dan geraknya pun semakin dipercepatnya.

Sisa gelap malam pun semakin lama menjadi semakin tipis. Dan sejalan dengan itu hati Sidanti pun menjadi semakin cemas. Ia ingin segera menyelesaikan perkelahian itu. Namun betapa mungkin, Agung Sedayu seakan-akan tak dapat disakitinya. Seandainya seseorang melihatnya bertempur, dan orang itu mengetahui sebab dari pertempuran itu, maka mau tak mau ia harus berhadapan dengan seluruh laskar Pajang di Sangkal Putung. Meskipun pada saat itu gurunya berada di sampingnya, namun alangkah baiknya kalau ia menyelesaikan persoalan itu sendiri, tanpa gurunya. Dan persoalan itu akan selesai kalau ia dapat membunuh Agung Sedayu. Mudah-mudahan baru Agung Sedayu sajalah yang mendengar dari Untara bahwa ialah yang telah melukainya. Nanti, akan dicarinya kesempatan untuk menyempurnakan pembunuhannya atas Untara. Seandainya ia sempat menutup jalan pernafasan anak yang luka itu, maka segera pekerjaannya akan selesai tanpa bekas. Dengan demikian maka Sidanti semakin memperketat tekanannya, sehingga titik pertempuran itu telah bergeser dari tempatnya. Tanpa setahu mereka, maka mereka kini sudah merambat mendekati kandang kuda Demang Sangkal Putung. Sidanti terkejut ketika ia mendengar kuda di dalam kandang itu terpekik karena terkejut. Sesaat kemudian kuda-kuda yang lain pun menjadi gelisah pula sehingga kandang itu menjadi ribut karenanya.
“Gila” geram Sidanti
Suara kuda itu pasti akan memanggil beberapa orang untuk datang kepada mereka. Karena itu, maka sebelum Agung Sedayu sempat berkata, maka ia harus dibunuh atau dilumpuhkan. Sidanti menjadi semakin gelisah ketika dalam keremangan fajar, benar dilihatnya beberapa orang berdatangan. Dan Agung Sedayu itu masih bertempur dengan garangnya. Kini Sidanti benar-benar mengerahkan segenap kemampuannya. Ia berkelahi seperti seekor harimau yang ganas. Dengan segenap kemampuan dan tenaganya, ia berusaha segera mengakhiri pertempuran. Namun tubuh Agung Sedayu itu seakan-akan terbuat dari tanah liat. Tetapi ketika langit menjadi semakin terang, tampaklah bahwa dari tubuh anak muda itu telah mengalir darah dari luka-luka di tubuhnya. Pakaiannya telah rontang-ranting dan wajahnya menjadi merah biru. Bukan saja Agung Sedayu, Sidanti pun telah mengalami tekanan-tekanan yang berat karena serangan-serangan Agung Sedayu yang sedang mengamuk itu. Tetapi pertempuran itu harus segera berakhir. Dalam keadaan itu akhirnya Sidanti mengambil keputusan yang pasti. Agung Sedayu harus dilumpuhkan dengan cara apa pun juga. Karena itu, maka dengan serta-merta Sidanti itu meloncat, meraih sepotong kayu yang tersandar di dinding kandang itu. Dengan kayu itu ia bertempur melawan Agung Sedayu.

Betapapun kuatnya Agung Sedayu, namun dalam kegelapan pikiran itu, ia sama sekali telah kehilangan hampir segenap perhitungannya. Itulah sebabnya ia tidak dapat melihat dengan hati yang dingin, apa yang telah dilakukan oleh Sidanti. Tangan Sidanti benar-benar seperti tangan hantu yang sangat berbahaya. Meskipun kali ini ia tidak memegang senjata perguruannya, namun sepotong kayu itu pun benar-benar dapat dipergunakan sebagai senjata yang sangat berbahaya. Dalam perkelahian tanpa senjata, anak muda itu telah menunjukkan beberapa kelebihan dari lawannya. Apalagi kini ia menggenggam sepotong kayu. Maka tanpa mempertimbangkan akibat-akibat yang dapat terjadi, Sidanti telah mempergunakan senjatanya untuk melawan dan berusaha membinasakan Agung Sedayu. Sebuah pukulan yang keras telah mendorong Agung Sedayu ke samping. Berbareng dengan teriakan beberapa orang tiba-tiba melihat perkelahian itu. Bagaimana Sidanti tidak puas dengan pukulan pertama itu. Sebelum Agung Sedayu sempat menguasai dirinya, maka Sidanti telah mengulangi serangannya. Agung Sedayu masih sempat melihat kayu yang terayun itu, karena itu, maka ia masih berusaha untuk menghindarkan dirinya dengan membungkukkan badannya. Kayu itu menyambar beberapa jari di atas kepalanya. Namun karena geraknya yang tiba-tiba, Agung Sedayu kurang dapat menguasai keseimbangan dirinya, sehingga ia jatuh terguling. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Sidanti. Agung Sedayu harus menjadi terdiam saat itu, supaya ia tidak dapat mengatakan sebab dari perkelahian ini. Dengan garangnya Sidanti mengangkat sepotong kayu itu untuk diayunkan kekepala Agung Sedayu yang belum sempat bangun kembali. Beberapa orang yang melihat perkelahian itu segera berlari-lari mendekati. Mereka melihat Agung Sedayu itu terjatuh, dan mereka melihat Sidanti mengayunkan sepotong kayu ke kepala Agung Sedayu. Namun jarak mereka masih terlalu jauh. Sehingga mereka masih belum sempat untuk mencagah Sidanti. Mereka hanya sempat berteriak keras. Pada saat itu Widura pun telah sampai ke tempat itu pula. ia pun melihat sepotong kayu yang terayun itu. Namun jaraknya pun masih beberapa langkah lagi. Karena itu, maka Widura itu pun hanya dapat berteriak sambil melompat sejauh-jauh mungkin. Tetapi jarak yang harus dicapainya masih ada dua tiga loncatan lagi.

Sidanti sama sekali tidak mau mendengarkan teriakan-teriakan itu lagi. Ia lebih senang mempertanggung-jawabkan perbuatannya itu daripada apabila Agung Sedayu mengatakan sebab yang sebenarnya. Daripada Agung Sedayu bercerita tentang apa yang pernah didengarnya dari Untara. Karena itu, maka sama sekali ia tidak mau mengurungkan niatnya. Hatinya telah bulat sebulat-bulatnya. Dengan demikian maka kayu itu pun telah diangkatnya untuk diayunkannya kuat-kuat. Ia tidak perduli lagi seandainya kepala Agung Sedayu itu menjadi pecah karenanya. Tetapi justru karena itu, maka perhatian Sidanti seluruhnya tercurah pada sepotong kayu di tangannya dan kepala Sedayu. Anak muda itu hampir tidak memperhatikan lagi apa yang terjadi di sekitarnya. Juga ia sama sekali tidak tahu, bahwa seseorang telah berdiri dekat di belakangnya. Di samping kandang kuda itu. Ketika kayu di tangannya itu telah sampai ke puncak ayunan dan siap untuk meluncur kekepala Agung Sedayu, Sidanti itu terkejut ketika ia mendengar sebuah suitan nyaring. Ia tahu benar, itu adalah suara gurunya. Namun ia tidak segera mengetahui, apa yang sebenarnya terjadi. Karena itu, maka ia menjadi bingung untuk sekejap. Dan waktu yang sekejap itu telah merubah segala-galanya. Tiba-tiba ia melihat sesuatu melayang dari balik gerumbul-gerumbul di sekitar tempat itu. Namun sesaat yang pendek. Ia sadar ketika tiba-tiba terdengar sepotong besi yang meluncur itu menghantam sebilah pedang yang terjulur ke punggungnya. Suara itu berdentang sedemikian kerasnya, sehingga menggetarkan halaman belakang kademangan Sangkal Putung. Namun semuanya telah terlambat, pedang itu telah menyentuh punggung Sidanti, meskipun kemudian terlontar jatuh. Namun tajamnya telah menyobek punggung itu. Sidanti mengeluh pendek. Segera ia memutar tubuhnya. Dilihatnya di belakangnya berdiri Swandaru Geni dengan mata yang menyala, namun ternyata mulutnya menyeringai menahan sakit di tangannya. Pedangnya terlempar beberapa langkah daripadanya. Sidanti itu pun menjadi semakin marah bukan buatan. Namun terasa luka di punggungnya itu sedemikian nyerinya. Terasa seakan-akan dari luka itu dihisapnya segenap kekuatannya, sehingga dalam waktu yang singkat itu, hampir-hampir ia menjadi lemas dan tak berdaya. Namun ia tidak mau jatuh dan mati di tempat itu. Dengan segenap kemampuan yang ada dicobanya untuk tetap tegak berdiri sambil memandang setiap wajah yang berada di sekitarnya. Dilihatnya Widura yang kini telah tegak di hadapannya dengan pedang tergantung di lambungnya, di sampingnya Swandaru Geni yang gemetar, namun dengan wajah yang menyala. Kemudian Agung Sedayu yang telah tegak kembali, dan kemudian beberapa orang lain. Sidanti itu menggeram penuh kemarahan dan dendam, ia belum berhasil membunuh Agung Sedayu, dan tiba-tiba Swandaru ikut campur dalam persoalan ini.

Sidanti menjadi semakin marah, ketika dilihatnya beberapa orang berdatangan. Ki Demang Sangkal Putung, bahkan Sekar Mirah dan orang-orang lain. Dalam saat yang pendek itu, maka Sidanti segera dapat mengambil kesimpulan, bahwa hari ini adalah harinya yang terakhir bagi jabatan keprajuritannya. Hari ini adalah hari penentuan bahwa Sidanti bukan lagi berada dalam lingkungan laskar Pajang. Ia telah gagal mempercepat jalan dan memperpendek jarak dari tingkat ke tingkat yang lebih tinggi. Bahkan sampai ke tingkat yang paling atas. Dan kini ia harus mempertanggung-jawabkannya. Namun Sidanti itu menjadi berbesar hati, ketika diingatnya gurunya berada di tempat itu pula. Dan gurunya ternyata tidak membiarkan Sidanti itu menjadi gelisah sendiri, dengan garangnya ia meloncat dari tempat persembunyiannya, dan dengan marahnya ia menggeram sambil berkata,
“Hem, kini kita harus berterus terang. Siapa yang harus berhadapan sebagai lawan dan siapakah yang akan dapat kita jadikan kawan. Namun adalah pasti, bahwa Sidanti telah kalian anggap berbuat suatu kesalahan. Nah, cepat katakan kepadaku Widura, apa yang akan kau lakukan? bukankah kau pemimpin dari laskar Pajang ini? Aku menuntut, yang melukai Sidanti dengan curang, harus mendapat hukuman. Setidak-tidaknya ia harus mengalami luka seperti yang dialami Sidanti”
Swandaru menjadi berdebar-debar. Apakah ia mau menerima hukuman itu? Yang terdengar adalah jawaban Sedayu,
“Sidanti curang pula. Kami berkelahi tanpa senjata, tetapi Sidanti memungut sepotong kayu”
“Itu bukan senjata. Kau memiliki kesempatan yang sama kalau kau mampu. Tetapi Sidanti tidak menyerang dari belakang”
Ketika Agung Sedayu akan menjawab, Ki Tambak Wedi itu membentak,
“Tutup mulutmu. Aku berkata kepada Widura. jangan mencoba bermain-main dengan Ki Tambak Wedi”
Orang-orang yang berdiri di sekitar tempat itu, yang belum reda getar jantungnya atas kehadiran orang yang sedemikian tiba-tiba itu, kembali terguncang ketika mereka mendengar orang itu menyebut dirinya Ki Tambak Wedi.

Sesaat Widura menjadi bimbang. Namun kemudian kembali darah kepemimpinannya mengalir ke dadanya. Maka jawabnya,
“Aku tidak akan memberikan hukuman apa pun sebelum aku tahu benar, dimana letak kesalahan dari peristiwa ini. Dan apakah sumber yang menyebabkan ini terjadi”
“Persetan” teriak Ki Tambak Wedi.
“Kau jangan mengigau Widura. atau aku sendiri yang harus menghukumnya?”
Widura mengerutkan keningnya. Yang berdiri di hadapannya adalah Ki Tambak Wedi, maka segala sesuatu harus dipertimbangkannya masak-masak. Karena itu untuk sesaat ia hanya dapat berdiam diri. Dicobanya untuk mengurai setiap peristiwa yang telah dan bakal terjadi.
Karena Widura tidak segera menjawab, maka Ki Tambak Wedi itu pun membentaknya,
“Widura, buka mulutmu”
Widura sama sekali tidak senang mendengar Ki Tambak Wedi membentaknya. Ketika ia berpaling ke arah Sidanti, dilihatnya anak muda itu berdiri gemetar, sedang dari punggungnya menetes darah yang segar. Sekali-sekali tampak ia menyeringai, namun ia masih mencoba untuk berdiri tegak.
Dalam pada itu, Widura sedang menilai setiap orang yang berada di sekitarnya. Dirinya sendiri, Agung Sedayu, sementara itu, beberapa orang laskarnya dan Ki Demang Sangkal Putung. Kalau perlu ia dapat memanggil orang-orang lain, yang pasti akan segera datang juga. Apakah dengan kekuatan itu ia akan dapat menangkap Ki Tambak Wedi? Widura menjadi bimbang. Mungkin hal itu dapat dilakukannya, namun apakah tidak banyak korban yang jatuh karenanya? Mungkin dirinya sendiri, mungkin Agung Sedayu, mungkin Ki Demang Sangkal Putung dan mungkin mereka bersama-sama.
Dalam kebimbangan itu sekali lagi Ki Tambak Wedi berteriak,
“Widura, jawab pertanyaanku. Kalau kau mau menyerahkan anak yang melukai punggung Sidanti dan Agung Sedayu, maka aku tidak akan berbuat apa-apa”

Kini Widura mengangkat kepalanya. Sudah pasti permintaan itu tidak akan dapat dipenuhinya. Karena itu, maka jawabnya,
“Ki Tambak Wedi, aku adalah orang yang bertanggung jawab terhadap semua yang terjadi di Sangkal Putung. Karena itu aku tidak akan mungkin menyerahkan orang-orangku kepada siapa pun juga, apa pun kesalahannya. Aku sendiri yang harus melakukan hukuman atau segala macam tuntutan atas mereka seandainya mereka ternyata bersalah. Karena itu, tinggalkan Sidanti di sini dan aku akan melihat apakah yang telah terjadi, dan aku akan tentukan siapakah yang bersalah. Aku adalah pemimpin tertinggi dari semua jabatan yang berada di tempat ini, sehingga aku tidak mau ada orang lain yang mencampuri urusanku”
Terdengar Ki Tambak Wedi menggeram. Betapa dadanya serasa terbakar mendengar kata-kata Widura itu. Matanya tiba-tiba menjadi merah menyala, dan rambutnya yang telah memutih di beberapa bagian itu, seakan-akan tegak di bawah ikat kepalanya. Tanpa sesadarnya tangannya menggenggam sabil bergumam,
“Setan. Apakah kaliah sudah bosan hidup?”
Sekali lagi Widura melayangkan pandangan matanya. Beberapa orang berdatangan pula berkerumun di sekitar tempat itu. Widura menarik nafas ketika ia melihat sebagian besar dari mereka telah membawa senjata-senjata mereka. Kalau terjadi sesuatu maka mereka pasti akan melawan Ki Tambak Wedi itu dengan gigih. Meskipun mereka tahu, Ki Tambak Wedi adalah seorang yang ditakuti oleh hampir segenap orang di sekitar gunung Merapi. Namun dalam melakukan kewajibannya, maka tak akan ada di antara mereka yang mengenal takut. Apalagi mereka dalam satu kelompok. Yang mereka hadapi kini hanya seorang saja, meskipun orang itu Ki Tambak Wedi.

Namun meskipun demikian, sebagian besar dari mereka berada di dalam kebimbangan. Widura sendiri menjadi bimbang karenanya. Bukan karena ia takut mati, tetapi apakah ia akan mengorbankan orang-orangnya yang terpercaya untuk menangkap Ki Tambak Wedi? sedang besok atau lusa Macan Kepatihan masih mungkin menyerang mereka kembali dengan kekuatan yang masih cukup besar? Ternyata di dalam pasukan Macan Kepatihan itu bersembunyi tokoh-tokoh seperti Sanakeling, Alap-alap Jalatunda dan orang-orang lain yang pernah menjadi kebanggaan Jipang. Baru Plasa Irenglah yang dapat dibinasakan oleh Sidanti itu. Apakah dalam keadaan yang demikian, ia harus mengurangi kekuatan pokoknya untuk menghadapi bahaya yang datang dari jurusan lain? Widura itu menarik nafas. Ia menyesal, benar-benar menyesal, bahwa di dalam tubuhnya ada anak-anak muda seperti Sidanti itu. Tetapi semuanya itu telah terjadi. Dan kini ia dihadapkan pada puncak dari kesulitan itu. Widura itu terkejut ketika ia mendengar Ki Tambak Wedi membentak pula,
“Widura, jangan mimpi. Kau tidak dapat berbuat lain daripada memilih di antara dua. Menyerahkan anak muda yang melukai Sidanti dan Agung Sedayu, atau aku membunuh kalian bersama-sama. Jawab”
Sekali lagi Widura menengadahkan dadanya. Ia tidak dapat ingkar akan kewajibannya. Karena itu jawabnya,
“Ki Tambak Wedi, kami adalah prajurit-prajurit. Kami tidak dapat menuruti kehendak dari seseorang yang bertentangan dengan tata keprajuritan. Siapa pun orangnya, meskipun orang itu bernama Ki Tambak Wedi, namun kami terpaksa mempertahankan sendi tata keprajuritan yang menjadi pegangan kami. Kalau kami harus memilih, Ki Tambak Wedi, maka pilihan kami adalah melawan sampai kemungkinan yang terakhir. Bahkan kami telah bertekad untuk menangkap Ki Tambak Wedi dan Sidanti bersama-sama”
“Gila” teriak Ki Tambak Wedi. kemarahannya menjadi semakin memuncak. Namun tiba-tiba ia terpaksa mempertimbangkan keadaannya. Widura ternyata benar-benar telah siap dengan segenap anak buahnya. Mereka yang mendengar kata-kata Widura itu pun tiba-tiba telah meraba hulu pedang mereka. Dalam kemerahan sinar matahari pagi, Ki Tambak Wedi melihat orang-orang yang berkerumun di sekitarnya dengan wajah-wajah yang tegang. Wajah-wajah jantan yang keras dan kasar. Wajah-wajah yang untuk kesekian kalinya dihadapkan kepada kemungkinan yang paling akhir dari hidupnya untuk kewajibannya. Maut. Ki Tambak Wedi tidak dapat menutup segala penglihatannya. Pengalamannya yang panjang, segera dapat memberikan pertimbangan kepadanya. Betapapun kesaktian yang tersimpan di dalam dirinya, namun untuk melawan sekian banyak orang sekaligus, adalah pekerjaan yang sangat berat dan berbahaya. Mungkin ia akan membunuh separo dari mereka itu. Namun setelah itu ia akan kehabisan tenaga, dan yang separo lagi akan dapat menangkapnya, mengikatnya dan membawanya ke Pajang.
“Hem” geramnya di dalam hati,
“Apakah Ki Tambak Wedi terpaksa diikat tangan dan kakinya digiring ke Pajang?”

Sesaat halaman belakang kademangan Sangkal Putung itu menjadi sepi. Baik Ki Tambak Wedi maupun Widura terpaksa membuat pertimbangan-pertimbangan yang memragukan diri mereka. Keduanya agaknya segan untuk berbuat sesuatu atas yang lain. Karena itu, maka suasana menjadi sedemikian tegangnya, ketika tiba-tiba Ki Tambak Wedi itu berkata kepada Sidanti,
“Sidanti, ikuti aku. Sangkal Putung sama sekali tak akan memberimu sesuatu”
Sidanti yang luka itu pun menyadari sepenuhnya kata-kata gurunya. Sangkal Putung benar-benar tak akan memberinya sesuatu. Dan ia sependapat dengan gurunya, meninggalkan Sangkal Putung. Tetapi masih ada yang menjadikannya bimbang. Senjatanya berada di pendapa kademangan.
Dengan ragu-ragu ia berkata,
“Guru, bagaimana dengan senjataku?”
Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Namun kemudian jawabnya,
“Apakah keberatanmu dengan senjata itu. Senjata itu dapat dibikin. Besok aku bikinkan senjata semacam itu untukmu”
Sidanti tidak menunggu apa-apa lagi. Segera ia beringsut ke samping gurunya. Tetapi Widura melangkah selangkah maju. Kembali kebimbangan melandanya. Apakah ia akan bertindak terhadap Ki Tambak Wedi dan Sidanti? Tetapi apakah ia akan memberikan pengorbanan yang sangat besar untuk mereka berdua? Ki Tambak Wedi yang melihat Widura itu bergerak, segera menggeram,
“Widura, aku akan pergi. Kalau kau membuat kegaduhan di antara anak buahmu, baiklah. Mari kita mati bersama-sama. Kau tidak akan dapat menangkap Ki Tambak Wedi, aku akan membuat timbangan di antara kekuatan kita. Mungkin kau akan dapat membunuh aku, tetapi tiga perempat dari kalian pasti akan mati bersama aku. Jangan mimpi mengikat tangan Tambak Wedi”
Dada Widura itu pun berdesir. Ia percaya akan kata-kata itu. Tiga perempat daripadanya, atau sedikit-sedikitya separo pasti akan mati. Karena itu, maka ia tetap tegak di tempatnya ketika Ki Tambak Wedi dan Sidanti beringsut mundur dari tempatnya.

Agung Sedayu menjadi gemetar melihat keadaan itu. Dengan wajah yang merah membara ia menatap wajah pamannya. Tetapi ia tidak berkata sesuatu. Namun tatapan matanya cukup mengatakan hasratnya untuk menangkap Sidanti. Agung Sedayu terkejut ketika pamannya menggeleng. Namun ia tidak dapat berbuat apa-apa, ia tidak akan dapat menangkap Ki Tambak Wedi itu seorang diri. Meskipun demikian, tanpa sesadarnya ia pun beringsut dari tempatnya. Ia terkejut ketika tiba-tiba dalam gerakan yang sangat cepat di tangan Ki Tambak Wedi itu telah tergenggam dua buah gelang. Masing-masing sebuah. Gelang dari sepotong besi yang dilengkungkannya. Dengan gelang itu pula, ia mampu menangkis serangan pedang dan alat pemukul lainnya. Akhirnya Widura terpaksa melepaskan Ki Tambak Wedi itu pergi. Dengan penuh pertimbangan Widura masih lebih mengutamakan Macan Kepatihan dengan seluruh laskarnya daripada Ki Tambak Wedi dan Sidanti. Widura mengharap bahwa Ki Tambak Wedi untuk sementara tidak akan berbuat sesuatu. Sedang Macan Kepatihan dengan laskarnya yang masih cukup kuat itu pasti akan menyerang Sangkal Putung kembali. Mungkin Ki Gede Pemanahan sendiri atau gurunya akan dapat dengan mudah melenyapkan Ki Tambak Wedi yang hanya seorang diri itu. Namun dengan hilangnya Ki Tambak Wedi, maka bahaya yang sebenarnya akan selalu menghantui Agung Sedayu, Swandaru yang telah melukai Sidanti, dan Widura sendiri. Ketika Ki Tambak Wedi itu hilang dari lingkungan mereka, segera Agung Sedayu bertanya,
“Paman, kenapa mereka itu kita lepaskan?”
Widura menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya,
“Dengan menangkap Ki Tambak Wedi, maka aku pasti akan melepaskan lebih separo dari laskar kita. Seperti yang dikatakannya sendiri, ia sama sekali tidak akan dapat kita tangkap hidup-hidup. Ki Tambak Wedi itu pasti akan menyerah apabila ia telah mati dengan membawa korban yang tidak sedikit dari antara kita”
Agung Sedayu menundukkan wajahnya. tetapi ia dapat mengerti pikiran pamannya. Pamannya adalah seorang yang di tempatkan di Sangkal Putung untuk menghadapi Macan Kepatihan sehingga karena itu, maka segenap perhatian, perhitungan dan kekuatan dipusatkannya dalam menghadapi lawannya itu. Persoalan lain yang tidak menyangkut itu, adalah bukan tanggung-jawabnya yang utama, sehingga juga dalam menghadapi Ki Tambak Wedi, maka Widura itu pun memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan itu.

Sesaat kemudian orang-orang yang berkerumun itu pun menjadi sadar bahwa bahaya yang dihadapinya telah menghilang. Dengan lega mereka menarik nafas panjang. Dan satu demi satu mereka pun segera pergi meninggalkan tempat itu setelah Widura berkata kepada mereka,
“Kembalilah ke tempat masing-masing. Tetapi jangan lupakan kewaspadaan. Peristiwa ini akan dapat berbuntu panjang”. Kemudian kepada ki Demang Widura berkata,
“Kakang Demang, apakah pintu butulan itu boleh kami tutup saja?”
“Silakan, silakan” sahut Ki Demang.
Pintu butulan dinding belakang itu pun segera ditutup. Pintu itu hanya boleh dibuka setiap ada kepentingan yang perlu. Mereka yang pergi ke sungai kecil itu harus mengambil jalan lain, jalan di samping dinding kademangan. Tetapi Widura sadar, bahwa apa yang dilakukan itu hampir tak ada gunanya. Ki Tambak Wedi sama sekali tidak memerlukan pintu itu. Ia dapat meloncat atau memanjat atau apa pun yang ingin dilakukan. Namun, dengan demikian maka kemungkinan-kemungkinan yang kecil dapat dihindarinya. Widura sendiri itu pun kemudian kembali masuk ke pringgitan bersama Agung Sedayu. Dilihatnya Ki Tanu Metir masih duduk di tempatnya. Ketika ia melihat Widura dan Agung Sedayu yang biru pengab, segera ia bertanya dengan nada cemas,
“Kenapa wajahmu ngger?”
Dengan singkat Agung Sedayu mengatakan apa yang terjadi. Tanpa syak tanpa curiga. Dikatakan semuanya yang telah dialaminya.
Ki Tanu Metir mendengarkan setiap kata-kata Agung Sedayu itu dengan seksama. Sesaat Ki Tanu Metir itu mengangkat wajahnya yang memancarkan kecemasan dan kebimbangan. Tanpa sesadarnya ia berkata,
“Jadi, Ki Tambak Wedi itu kini membawa Sidanti serta meninggalkan Sangkal Putung?”
“Ya” jawab Agung Sedayu.
Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam. Tetapi tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Sehingga pringgitan itu pun menjadi sepi.

Diluar panas matahari mulai membakar dedaunan yang letih. Di sana sini, dibawah batang-batang pohon yang rindang, beberapa orang duduk dengan malasnya. Ada di antaranya yang berbaring-baring di atas helaian anyaman daun-daun nyiur tua. Dalam keheningan itu, terdengarlah tiba-tiba suara Untara yang lemah,
“Jadi Sidanti itu tidak kalian tangkap?”
Widura terkejut mendengar suara Untara. Maka segera ia berdiri dan berjalan mendekati, diikuti oleh Ki Tanu Metir dan Agung Sedayu. Dengan ragu-ragu Widura menjawab,
“Tidak Untara. Terpaksa aku tidak dapat menangkap anak muda itu, karena gurunya tiba-tiba datang melindunginya”
“Ki Tambak Wedi?” bertanya Untara
Widura mengangguk,
“Ya” sahutnya.
“Mungkin aku dapat menangkap Ki Tambak Wedi itu sendiri, namun berapa orang yang harus aku korbankan?”
Untara menarik nafas dalam-dalam. Sekali ia menyeringai menahan sakit, namun sesaat kemudian wajahnya menjadi tenang kembali.
“Bagaimana dengan lukamu?” bertanya Widura
“Sudah jauh berkurang. Tidak terlalu pedih. Namun tubuhku masih lemah sekali”
“Ya. Beristirahatlah sebaik-baiknya” berkata Widura
Tetapi Untara itu bertanya kembali,
“Apakah Agung Sedayu berkelahi dengan Sidanti?”
“Ya” jawab Widura,
“Wajahnya menjadi biru-biru dan Sidanti terluka oleh Swandaru”

Sekali lagi Untara menarik nafas dalam-dalam. Persoalan Sangkal Putung benar-benar akan menjadi pelik. Sidanti itu pasti akan menyimpan dendam di dalam hatinya. Kepada dirinya, kepada Agung Sedayu dan kini kepada Swandaru, dan kepada pamannya itu sendiri. Sekilas ia membuka matanya dan memandang wajah Ki Tanu Metir. Namun tiba-tiba Ki Tanu Metir menggeleng lemah.
“Mudah-mudahan mereka segera dapat ditangkap” desah Untara
Widura terkejut mendengar kata-kata itu. Apakah ia harus menangkap Ki Tambak Wedi? meskipun demikian Widura itu tidak bertanya sesuatu. Ketika dilihatnya Untara memejamkan matanya kembali, maka Widura itu kembali duduk bersama Agung Sedayu dan Ki Tanu Metir. Sementara itu Ki Demang dan Swandaru datang pula di antara mereka. Hari itu adalah hari yang tegang bagi Sangkal Putung. Hampir setiap orang tidak terpisah dari senjata mereka. Mungkin Macan Kepatihan, mungkin Ki Tambak Wedi. namun mereka telah bertekad untuk melakukan tugas mereka sebaik-baiknya. Gardu penjagaan pun masih juga diperkuat. Beberapa pengawas berkuda hilir mudik di sekitar daerah kademangan Sangkal Putung. Namun Sangkal Putung sendiri menjadi sangat sunyinya. Hampir setiap rumah telah menutup pintunya, dan hampir setiap anak-anak tidak berani keluar dari rumah mereka. Bahkan ada di antaranya yang masih belum berani pulang ke rumah sendiri, mereka masih saja tinggal di kademangan atau banjar desa. Ki Tanu Metir pun kemudian tidak hanya mengobati Untara, tetapi ia pun pergi juga ke banjar desa. Dan dicobanya pula untuk meringankan setiap penderitaan dari mereka yang terluka. Bukan saja hari itu Sangkal Putung diliputi oleh ketegangan. Beberapa orang pengawas yang dipasang oleh Untara masih saja memberikan laporan bahwa Macan Kepatihan masih menyusun kekuatannya di sekitar tempat itu. Karena itu, maka Untara itu berkesimpulan bahwa laskar Pajang lah yang harus mengambil prakarsa membersihkan mereka. Mereka tidak boleh menunggu saja di Sangkal Putung. Menunggu apabila Macan Kepatihan datang menyerang mereka kembali. Tetapi laskar Pajang suatu ketika harus mencari mereka. Menghancurkan mereka di sarang-sarang mereka. Karena dengan demikian, maka pekerjaan laskar Pajang di Sangkal Putung akan lekas selesai. Tetapi Widura tidak dapat dengan tergesa-gesa melakukan pekerjaan itu. Menurut perhitungannya, kekuatan Macan Kepatihan masih cukup banyak untuk mengimbangi kekuatan laskarnya. Dan di dalam pasukan mereka terdapat seorang Macan Kepatihan yang berbahaya, dan beberapa orang penting yang lain. Untara pun menyadari keadaan itu, sehingga kemudian diambilnya ketetapan bahwa gerakan itu akan segera dilakukan apabila Untara telah sembuh benar dari sakitnya itu.

Namun ketegangan itu semakin lama menjadi semakin tipis. Ternyata Macan Kepatihan tidak segera mengadakan penyerangan kembali. Agaknya mereka masih juga memperhitungkan setiap kemungkinan. Dan hilangnya Plasa Ireng pun pasti mempengaruhi keadaan mereka. Bukan saja keadaan Tohpati beserta pasukannya yang tidak lagi tampak di seputar Sangkal Putung, namun perlahan-lahan mereka melupakan pula Ki Tambak Wedi dan Sidanti. Demikian pula Agung Sedayu dan Swandaru, mereka semakin lama menjadi semakin kehilangan perhatian atas orang yang menakutkan itu. Tetapi Widura tidak mau melengahkan diri dan seluruh laskarnya. Setiap hari ia masih saja mengawasi sendiri keadaan anak buahnya. Bahkan setiap malam pun ia masih berjalan dari satu gardu kegardu yang lain. Dan diperingatkannya setiap penjaga gardu itu, bahwa bahaya yang sebenarnya masih saja berada di sekitar Sangkal Putung. Ternyata Widura sendiri telah melupakan setiap kemungkinan yang paling berbahaya bagi dirinya dan Agung Sedayu. Ternyata, mereka berdua sama sekali tidak memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi atas diri mereka. Ketika mereka sedang nganglang kademangan, tiba-tiba mereka terhenti sebelum mereka sampai ke ujung jalan yang mengelilingi daerah Gunung Gowok. Mereka terhenti ketika mereka melihat sesosok tubuh berjongkok di tepi jalan itu. Widura bukanlah seorang anak kecil yang bodoh. Ketika ia melihat orang itu, segera ia menjadi curiga. Karena itu, maka digamitnya Agung Sedayu, dan keduanya pun berhenti.
“Kau lihat orang itu?” bertanya Widura berbisik.


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar