Namun semuanya tertarik pula. Karena itu, maka semua yang hadir disitu bergeser mendekat. Namun Untara ternyata masih terlalu lemah. Tiba-tiba matanya terpejam kembali.
“Kakang”
panggil Agung Sedayu.
“Jangan ngger”
berkata Ki Tanu Metir,
“Jangan
dipaksa”
“Hem” Agung
Sedayu menggeram. Ia ingin segera tahu siapa yang telah melakukan perbuatan
itu. Tohpati atau Alap-alap Jalatunda? Tetapi ia harus bersabar lagi menunggu
Untara itu menjadi lebih kuat.
Di luar, kabut
yang tebal mulai turun. Namun ayam jantan yang berkokok semakin lama menjadi
semakin ramai bersahutan. Meskipun demikian, lewat pintu mereka masih melihat
kehitaman yang kelam di antara kabut yang keputih-putihan. Tetapi mereka
menyadari bahwa sebentar lagi, fajar telah menjenguk di garis kaki langit. Kini
mereka tidak dapat berdiri saja di seputar Untara. Widura dan Ki Tanu Metir
minta diri sesaat kepada Agung Sedayu untuk sesuci, untuk kemudian mereka
bergantian menunggu Untara yang terluka itu.
“Silakan
paman” berkata Agung Sedayu.
Ki Demang
Sangkal Putung dan Swandaru pun kemudian meninggalkan ruangan itu, sehingga
kini tinggallah Agung Sedayu seorang diri.
Telah lama
Widura menunggu kesempatan itu. Berjalan berdua dengan Ki Tanu Metir. Dan
kesempatan itu kini datang. Karena itu, maka berkata Widura itu sambil berjalan
ke padasan,
“Ki Tanu
Metir, apakah Ki Tanu telah pernah datang ke tempat ini sebelumnya?” Ki Tanu
Metir menggeleng,
“Belum ngger”
Widura
tersenyum. katanya,
“Baru kali
ini?”
“Ya” sahut
orang tua itu
“Ke
daerah-daerah sekitar tempat ini?”
“Juga belum”
“Ki Tanu Metir
benar-benar belum mengenal aku?”
Ki Tanu Metir
berhenti. Diamatinya Widura dengan seksama, namun ia menggeleng,
“Belum ngger.
Baru kali ini aku mengenal Angger Widura”
Sekali lagi
Widura tersenyum,
“Mungkin Kiai
benar”
Ki Tanu Metir
terkejut. Bagaimana sesaat kemudian ia tersenyum sambil berjalan terus.
Sepeninggal
Widura, Agung Sedayu masih juga menunggu kakaknya dengan tekun. Sekali-sekali
dilihatnya Untara menarik nafas panjang. Namun Untara itu masih belum juga
membuka matanya kembali. Agung Sedayu hampir-hampir menjadi tidak sabar
menunggu. Ia ingin segera tahu, siapakah yang melukai kakaknya itu. Tetapi ia
tidak berani memaksa kakaknya untuk berbicara. Sesaat kemudian ketika Untara
itu membuka matanya kembali, segera Agung Sedayu membungkukkan badannya sambil
berbisik,
“Kakang,
apakah akan mengatakan kepadaku, siapakah yang telah melukai kakang?”
Untara menarik
nafas panjang. Tampak ia menyeringai, kemudian mencoba menggerakkan tangannya,
“Tanganku
masih lemah sekali” desisnya.
“Jangan
bergerak-gerak dulu kakang” Agung Sedayu mencoba mencegahnya.
Untara
mengangguk kecil.
“Dimana paman
Widura?”
“Baru sesuci
kakang” sahut Agung Sedayu.
“Aku ingin
mengatakan kepadanya, siapakah yang telah melukai aku”
“Katakanlah
kakang, selagi kakang sempat, nanti kakang dapat tidur dengan nyenyak”
“Dimana
pamanmu?”
“Biarlah nanti
aku sampaikan”
Untara menarik
nafas dalam-dalam. Kemudian dengan susah payah ia berkata,
“Agung Sedayu.
Sebenarnya aku telah berusaha untuk melupakan setiap persoalan yang ada di
antara kita masing-masing yang berada di tempat ini untuk kepentingan yang
lebih besar. Tetapi ternyata aku menghadapi bahaya yang hampir saja merenggut
nyawaku. Kalau kali ini aku, maka mungkin lain kali paman Widura dan kau.
Karena itu maka sebelum terjadi, kau harus mencegahnya. Aku percaya bahwa kau
akan dapat melakukannya bersama paman Widura”
“Ya kakang”sahut
Agung Sedayu tidak sabar,
“Aku siap
berbuat”
“Jangan orang
itu mendapat kesempatan meninggalkan tempat ini. Dengan demikian ia akan
menjadi lebih berbahaya bagimu dan bagi Sangkal Putung”
“Ya kakang,
tetapi siapakah itu?”
“Dimanakah
pamanmu Widura?”
“Sebentar lagi
ia datang. Aku akan mengatakannya”
“Ya. Memang
harus dilakukan secepatnya. Kalau ia tahu aku belum mati dan masih dapat
mengatakannya, maka ada kemungkinan ia segera akan kembali”
“Ya, ya” sahut
Agung Sedayu tidak sabar.
“Anak itu
adalah Sidanti”
“He?” alangkah
terperanjat Agung Sedayu,
“Sidanti”
ulangnya,
“Bagaimana
mungkin? Bukankah ia berada di sayap yang lain?”
“Sayap itu
telah bergabung dengan induk pasukan ketika kami mengejar lawan. Dan ternyata
Sidanti telah melakukan rencananya sendiri. Ditinggalkannya anak buahnya untuk
berbuat menurut rencananya. Aku terkejut ketika tiba-tiba ia menggamit aku.
Tetapi aku tidak mendapat kesempatan. Aku berpaling pada saat pisaunya menembus
punggungku. Tetapi aku tidak segera pingsan. Pukulannyalah yang menyebabkan aku
tidak tahu apa lagi yang terjadi. Tetapi Tuhan Maha Besar. Aku ternyata
diselamatkan oleh Nya dengan lantaran Ki Tanu Metir”
Terdengar gigi
Agung Sedayu gemeretak. Namun ketika ia masih ingin mengajukan pertanyaan lagi,
dilihatnya nafas kakaknya menjadi agak cepat.
“Kakang”
panggil Agung Sedayu.
Untara
memejamkan matanya. Dicobanya untuk menenangkan hatinya. Disadarinya bahwa ia
masih belum dapat terlalu banyak berbicara. Karena itu katanya,
“Aku akan
beristirahat. Katakanlah hal ini kepada paman Widura”
Agung Sedayu
tidak menjawab. tetapi dadanya seakan-akan hampir meledak. Dilihatnya kakaknya
menarik nafas dalam-dalam, dan sekali Untara itu berdesis,
“Aku masih
terlalu lemah. Kini kepalaku terasa agak pening. Aku akan mencoba tidur lagi”
“Tidurlah
kakang” jawab Agung Sedayu,
“Tenangkanlah
hatimu. Biarkan aku selesaikan persoalan Sidanti”
“Jangan
seorang diri” desis Untara.
Tetapi Agung
Sedayu tidak menjawab, hatinya sudah tidak dapat ditahannya lagi. Meskipun
selama ini Sidanti baginya seakan-akan hantu yang selalu mengejarnya kemana ia
pergi, namun hantu itu kini sama sekali tidak menakutkan lagi baginya. Karena
itu, maka demikian kakaknya memejamkan matanya dan mencoba untuk tidur,
cepat-cepat Agung Sedayu beringsut surut, dan dengan tergesa-gesa ia meloncat
keluar pringgitan. Sedemikian tergesa-gesa sehingga ia lupa menyandang
pedangnya yang telah diletakkannya di samping pembaringan kakaknya itu. Di
pendapa dengan nanar Agung Sedayu mencari Sidanti. Namun di sudut pendapa itu
tak dilihatnya seseorang. Karena itu dengan berlari-lari ia turun ke halaman
dan langsung dicarinya di belakang rumah. Namun di belakang rumah itu pun tak
ditemuinya Sidanti. Ia tadi mendengar Sekar Mirah mengumpat-umpat disitu.
Karena itu ketika ia melihat gadis itu menjengukkan kepalanya dipintu, dengan
serta-merta ia bertanya,
“Mirah,
kemanakah Sidanti?”
“Kenapa kau
mencari Sidanti?” bertanya Sekar Mirah,
“kenapa tidak
mencari aku?”
“Aku
tergesa-gesa Mirah”
“Apakah tuan
sangka aku menyembunyikan Sidanti?”
“Tidak. Tetapi
bukankah kau tadi bercakap-cakap dengan Sidanti di sini? Barangkali kau tahu
kemana ia pergi?”
Sekar Mirah
menggeleng sambil tersenyum. bahkan kemudian ia melangkah keluar,
“Biarlah
Sidanti pergi menurut kehendaknya sendiri, apakah kita berkepentingan atasnya?”
“Aku
berkepentingan”
“Aku tidak”
“Mirah” Agung
Sedayu menjadi jengkel karenanya,
“Aku sekarang
sedang dihadapkan pada suatu keharusan untuk menemukannya. Dimana ia sekarang?”
Sekar Mirah
mengerutkan keningnya. Dilihatnya wajah Agung Sedayu bersungguh-sungguh. Karena
itu, maka ia tidak mau bergurau lagi. Jawabnya,
“Mungkin ke sungai,
mungkin ke prapatan”
Agung Sedayu
berpikir sejenak. Apakah kepentingan Sidanti keprapatan yang paling mungkin
baginya adalah pergi ke kali di sebelah ujung halaman kademangan itu. Sebuah
kali yang tidak sedemikian besar, yang airnya seakan-akan hampir kering di
musim kemarau.
Agung Sedayu
itu pun tidak berkata-kata lagi. Dengan tergesa-gesa ia berjalan menuju kekali,
tempat beberapa orang laskar Pajang sering mandi dan mencuci pakaiannya. Namun
saat itu masih terlalu pagi. Belum ada seorang pun yang pergi kesana, selain
Agung Sedayu yang sedang mencari Sidanti itu. Ki Tanu Metir dan Widura, setelah
sesuci segera bersembahyang. Ketika mereka menengok Untara, dilihatnya anak
muda yang sedang terluka itu tidur. Karena itu, maka Ki Tanu Metir tidak
mendekatinya.
Sehabis
sembahyang, mereka berdua duduk kembali, di atas tikar pandan dan kembali
meneguk air yang masih hangat-hangat kuku.
“Dimanakah
Sedayu?” desis Widura.
“Ya, dimana
angger Sedayu?” sahut Ki Tanu Metir.
Mula-mula
mereka menyangka bahwa anak muda itu sedang sesuci di belakang. Tetapi setelah
ditunggu beberapa lama, maka Agung Sedayu tidak juga datang. Meskipun demikian,
mereka sama sekali tidak menaruh syaj bahwa Agung Sedayu sedang pergi mencari
Sidanti. Karena itu, maka Widura itu masih saja duduk dengan tenangnya bersama
dengan Ki Tanu Metir. Sekali Ki Tanu Metir itu berdiri. Didekatinya Untara yang
kembali jatuh tertidur karena lemahnya. Dirabanya dada anak itu sambil
bergumam,
“Pernafasannya
menjadi bertambah baik. Mudah-mudahan ia dapat segera memiliki kesadarannya
sepenunya kembali. Dalam keadaannya sekarang, maka angger Untara kadang-kadang
masih menjadi pening dan berkunang-kunang”
“Mudah-mudahan”
sahut Widura.
“Mulai besok,
angger Untara harus banyak minum obat reramuan sehingga badannya akan menjadi
segera kuat kembali. Obat-obatan yang dapat mengganti darahnya yang sudah
terlalu banyak mengalir seperti yang pernah dialaminya dahulu”
Widura
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba ia teringat kepada obat yang
diberikan oleh Sidanti. Karena itu, maka katanya,
“Bagaimanakah
dengan obat yang diberikan oleh Sidanti?”
Ki Tanu Metir
mengerutkan keningnya. Sesaat ia berdiam diri. Tampaklah ia menjadi ragu-ragu
karenanya.
“Bagaimana?”
desak Widura pula.
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun sesaat tampak wajahnya menjadi tegang.
Dan akhirnya menjawab,
“Maaf ngger.
Apakah aku boleh berkata sebenarnya?”
“Ya, tentu”
sahut Widura heran.
Perlahan-lahan
diraihnya obat dari Sidanti yang diletakkannya di samping kaku pembaringan
Untara. Sekali lagi obat itu dibukanya, dan ditunjukkannya kepada Widura.
“Obat ini
sangat berbahaya ngger”
“Kenapa?”
bertanya Widura heran.
Sekali Ki Tanu
Metir memandang ke daun pintu yang terbuka, namun kemudian kepalanya itu
ditundukkannya.
Widura menjadi
hran melihat sikap Ki Tanu Metir itu. Karena itu, maka ia mendesaknya,
“Kenapa obat
itu sangat berbahaya Kiai?”
Ki Tanu Metir
berpaling ke arah Untara yang masih tertidur. Sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya, ia bergumam,
“Untunglah
bahwa obat ini belum menyentuh lukanya. Kalau angger pernah melihat, ini adalah
salah satu jenis warangan yang akan dapat mempengaruhi peredaran darah”
“He?” Widura
terkejut mendengar keterangan itu.
“Warangan ini”
berkata Ki Tanu Metir,
“Akan dapat
membekukan darah, sehingga cairan darah Angger Untara akan bergumpal-gumpal dan
menyumbat jalur-jalur nadinya”
“Jadi….”
Kata-kata Widura terputus dikerongkongannya.
Namun Ki Tanu
Metir sudah dapat menangkap maksudnya. Karena itu, maka ia menyahut,
“Ya. Ternyata
angger Untara benar-benar akan dibunuhnya”
Terasa
keringat dingin mengalir di tubuhnya. Tiba-tiba teringatlah Widura itu kepada
peristiwa yang pernah dialaminya sendiri. Sidanti dan Ki Tambak Wedi pernah
akan membunuhnya pula, sehingga karena itu dengan serta-merta ia berkata,
“Kalau begitu,
maka luka Untara itu pun pasti dibuat oleh Sidanti”
Ki Tanu Metir
terdiam sesaat. Kemudian jawabnya,
“Mungkin
ngger. Adalah mungkin sekali”
Tubuh Widura
itu menjadi gemetar karenanya. Perbuatan itu benar-benar tidak dapat dimaafkan
lagi. Sidanti benar-benar tidak dapat dilunakkan hatinya. Nafsunya untuk segera
menanjak ke tingkatan-tingaktan yang lebih tinggi telah mendorongnya untuk berbuat
hal-hal yang kadang-kadang tidak dapat dimengerti. Dengan demikian maka anak
muda itu telah kehilangan segala tata cara dalam peradaban manusia. Bahkan
Sidanti itu, telah sedemikan sampai hati untuk melenyapkan kawan sendiri,
membunuhnya untuk segera dapat menempati kedudukannya.
Widura itu pun
menjadi marah bukan buatan. Karena itu, maka segera ia berdiri. Diambilnya
pedangnya dan disangkutkan di pinggangnya.
“Akan
kemanakah angger Widura ini?” bertanya Ki Tanu Metir.
“Aku harus
menemui Sidanti. Anak itu harus berada dalam pengawasan yang lebih baik. Kali
ini Untara, besok aku dan lusa Agung Sedayu”
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia pun berdiri juga. Widura yang telah
siap untuk berbuat apa pun juga itu memerlukan menjenguk sesaat. Dilihatnya
anak itu membuka matanya. Ketika dilihatnya Widura, maka desisnya,
“Dugaan Ki
Tanu Metir dan paman adalah benar. Aku mendengar apa yang kalian percakapkan.
Aku telah mengatakan kepada Agung Sedayu”
“He” kembali
Widura terkejut,
“Dimana Sedayu
sekarang?”
“Aku suruh ia
mengatakannya kepada paman Widura”
Widura
menggigit bibirnya. Ada sesuatu yang tersimpan di hati Agung Sedayu terhadap
Sidanti, seperti minyak yang tersekat di dalam bumbung. Kini ternyata ada api
yang menyambarnya, sehingga minyak itu pasti akan menyala dan bumbungnya akan
meledak. Karena itu, maka Widura pun
kemudian menganggukkan kepalanya sambil berkata,
“Baiklah aku
temui anak itu”
Untara tidak
mengerutkan keningnya. Dipejamkannya kembali matanya untuk mencoba beristirahat
sebanyak-banyaknya. Ki Tanu Metir lah kemudian yang menungguinya sambil duduk
di tikar di samping pembaringannya.
Widura yang
menahan kemarahan di dalam dadanya itu, berjalan perlahan-lahan keluar
pringgitan. Di luar malam telah berangsur hilang, sehingga bayangan pepohonan
di halaman semakin lama menjadi semakin jelas karenanya. Namun ia tidak melihat
Agung Sedayu dan Sidanti di halaman itu. Karena itu, maka segera ia menjadi
cemas. Beberapa orang yang melihat Widura menyandang pedangnya, bertanya-tanya
di dalam hati. Widura itu di kademangan hampir tidak pernah membawa pedangnya
dalam keadaan biasa. Namun kini pedang itu tergantung di lambungnya.
“Mungkin Ki
Lurah itu belum sempat melepas pedangnya” berkata salah seorang.
“Aku sudah
melihatnya sesuci. Dan pedang itu tidak tergantung di pinggangnya” sahut yang
lain.
“Entahlah”
gumam orang yang pertama.
Sementara itu
Agung Sedayu yang berlari-lari ke kali di ujung halaman dengan gelora kemarahan
yang menyala di dadanya, tiba-tiba terkejut, ketika pada keremangan pagi ia
melihat dua sosok tubuh berjalan ke arahnya. Namun tiba-tiba sesosok di
antaranya segera lenyap dan yang tinggal kemudian adalah Sidanti. Agung Sedayu
itu tidak sempat berpikir dan bertanya, siapakah orang yang satu itu yang
kemudian bersembunyi. Namun yang ada di dalam dadanya adalah kemarahan yang
menyala-nyala. Dengan serta-merta, maka Agung Sedayu itu berteriak,
“Kau telah
berusaha membunuh Untara. Sekarang aku datang untuk menuntut balas atas
luka-luka yang dideritanya”
Sidanti
terkejut. Jawabnya,
“Siapa
bilang?”
“Untara
sendiri”
“Omong kosong.
Untara belum sadar”
“Jangan
ingkar. Aku sudah tidak mempunyai pilihan lain sekarang”
Sidanti itu
mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba ia tertawa,
“Bagus”
katanya,
“Aku yang
berusaha membunuh Untara, sekarang aku harus membunuh Agung Sedayu”
Agung Sedayu
tidak menjawab. segera ia meloncat maju dan menyerang Sidanti sejadi-jadinya.
Sidanti
benar-benar terkejut menerima serangan yang tiba-tiba itu. Karena itu, maka ia
tidak segera dapat mengelak. Dengan cepatnya ia berusaha untuk memunahkan
serangan Agung Sedayu itu dengan menyilangkan kedua tangannya menyambut tangan
Agung Sedayu. Pada saat itu, Agung Sedayu benar-benar telah mempergunakan
segenap kekuatannya dilambari dengan kemarahan yang membara di dalam dirinya.
Karena itu, maka kekuatannya pun seakan-akan bertambah-tambah juga. Sehingga
kemudian terjadi suatu benturan yang dahsyat antara keduanya. Benturan kekuatan
antara Agung Sedayu yang melontarkan kemarahan yang meledak dengan kekuatan Sidanti
yang tegak seperti batu karang. Maka kedua kekuatan itu telah melemparkan
keduanya, sehingga masing-masing terpental dan jatuh terbanting di atas tanah,
namun setelah mereka terguling, maka segera mereka meloncat berdiri dan siap
kembali untuk mempertahankan diri masing-masing. Agung Sedayu yang sama sekali
tidak dapat mengekang dirinya karena kemarahannya, segera menyerang kembali.
Serangannya langsung mengarah ke titik-titik yang berbahaya pada tubuh Sidanti.
Kalau selama ini Sidanti dan Agung Sedayu selalu urung bertempur dalam setiap
persoalan, maka dendam yang tersimpan di hati masing-masing itu kini
seakan-akan tertumpahkan. Sidanti yang selama ini merasa, tersisihkan karena
kehadiran Agung Sedayu. Baik oleh Widura, orang-orang Sangkal Putung, lebih-lebih
Sekar Mirah, namun usahanya untuk memancing perselisihan selalu gagal, maka
kini aia terlibat dalam suatu perkelahian dengan Agung Sedayu. Karena itu, maka
kesempatan ini harus dipergunakan. Ia harus bertempur sampai rampung. Mati atau
mematikan. Apalagi Agung Sedayu ternyata telah mengetahui bahwa dirinyalah
sebenarnya yang telah berusaha membunuh Untara. Dan Sidanti tidak dapat
mengingkari kalau itu dikatakan oleh Untara sendiri. Meskipun demikian Sidanti
itu menyesal, kenapa ia tidak dapat menusuk anak muda yang mendapat kepercayaan
langsung dari Ki Gede Pemanahan itu sekaligus, sehingga Untara itu masih sempat
berkata tentang keadaannya. Karena itu, maka Agung Sedayu itu pun harus mati.
Kalau Agung Sedayu sudah mati di sini, maka ia akan dapat membunuh Untara nanti
pada suatu kesempatan. Mudah-mudahan obatnya diusapkan pada luka itu. Kalau
demikian maka Untara itu pun pasti akan mati. Tetapi kalau tidak? Kalau rencana
itu gagal? Sidanti itu menggeram. Apa yang dilakukan kali ini adalah suatu sikap
terakhir. Kalau ia gagal, maka kisahnya sebagai prajurit Pajang akan berakhir.
Kalau ia berhasil membunuh Agung Sedayu dan Untara, apakah tidak ada orang-orang
lain yang akan menuntutnya?,
“Hem” sekali
lagi Sidanti menggeram. Kegagalannya terletak pada kegagalannya membunuh
Untara, sehingga persoalan itu menjadi berlarut-larut. Tetapi meskipun
demikian, ia tidak dapat mengingkari. Ia sudah langsung berbuat dengan
tangannya meskipun ia berusaha untuk menghilangkan bekasnya. Ia menusuk Untara
tidak dengan senjatanya, tetapi dengan pisau yang lain. Kini tangannya telah
berbekas darah. Karena itu, maka apa pun yang akan dihadapinya ia tidak akan
ingkar.
Sedangkan
Agung Sedayu pun telah menyimpan dendam yang membara di dalam dirinya. Sejak ia
hadir di Sangkal Putung, maka ia telah merasakan, bahwa seorang ini sama sekali
tidak senang melihat kehadirannya. Anak muda inilah yang seakan-akan telah
menyebabkan pamannya selalu marah kepadanya, sehingga seolah-olah Ia menjadi
seorang tawanan yang dikurung di dalam pringgitan. Anak muda ini pulalah yang
telah berusaha membunuh kakaknya. Sampai saat itu kakaknya adalah orang yang
paling baik yang dikenalnya. Orang yang selalu melindunginya dalam setiap
kesempatan. Orang yang tidak pernah menyakiti hatinya. Orang yang telah
menggantikan ibu bapaknya. Kini orang yang bernama Sidanti itu akan membunuh
kakaknya itu. Karena itu, maka segenap kemarahan dam dendam tertumpah
kepadanya. Kepada Sidanti. Pertempuran itu menjadi seru sekali, masing-masing
telah menumpahkan segenap tenaganya dalam luapan kemarahan dan dendam.
Masing-masing sudah tidak dapat lagi melihat kemungkinan lain daripada membunuh
atau dibunuh. Agung Sedayu yang banyak sekali mempunyai pertimbangan di
kepalanya hampir dalam setiap persoalan, kini pertimbangan-pertimbangan itu
seakan-akan telah membeku. Tetapi ternyata bahwa Sidanti memiliki pengalaman
yang lebih luas dari Agung Sedayu. Meskipun persiapan-persiapan di dalam diri
Agung Sedayu telah cukup banyak untuk menghadapi murid Ki Tambak Wedi itu,
namun ada beberapa kelebihan dari Sidanti atas Agung Sedayu. Karena itu, maka
tampaklah bahwa Sidanti mempunyai kesempatan-kesempatan yang lebih baik dari
Agung Sedayu. Meskipun demikian, Agung Sedayu pun memiliki keadaan yang tidak
dimiliki oleh Sidanti. Agung Sedayu yang seakan-akan menyimpan dan menahan
gelora yang menyala di dadanya karena keadaannya, maka tiba-tiba kini ia
menemukan saluran yang dapat memuntahkan tekanan itu. Sebagai seorang penakut,
maka Agung Sedayu selalu berangan-angan untuk menjadi seorang yang pilih
tanding. Seorang yang tak terkalahkan. Namun setiap gejolak di dalam jiwanya
selalu disekapnya di dalam hati. Kemudian setelah ia berhasil menembus dinding
yang menyelubunginya, tiba-tiba ia dihadapkan pada persoalan yang langsung
menyentuh perasaannya yang paling dalam, sehingga dengan demikian maka Agung
Sedayu itu seakan-akan benar-benar sebuah bumbung minyak yang terbakar. Meledak
dengan dahsyatnya. Karena itu, maka tandangnya pun menjadi tidak menentu. Ia
telah kehilangan kemungkinan untuk mempertimbangkan setiap geraknya. Hanya satu
yang ada di dalam hatinya, membinasakan Sidanti.
Sidanti
melihat tandang Agung Sedayu itu benar-benar terkejut. Agung Sedayu dalam
tangkapan Sidanti adalah seorang yang halus dan lunak. Ia menyangka, bahwa
dalam perkelahian pun Agung Sedayu akan mencerminkan sifat-sifatnya itu. Tetapi
tiba-tiba ia berhadapan dengan gerak yang ganas dan kasar. Bahkan kadang-kadang
sama sekali diluar dugaannya. Agung Sedayu menyerang seperti seekor serigala
yang lapar. Tidak hanya seekor, namun tiba-tiba karena luapan perasaannya,
Agung Sedayu telah menumpahkan segenap ilmunya, sehingga seakan-akan Sidanti
itu menghadapi berpuluh-puluh serigala yang kelaparan sedang berusaha bersantap
dengan dagingnya. Karena itu, maka perkelahian itu menjadi semakin sengit.
Sidanti berusaha untuk melawan Agung Sedayu dengan segenap kemampuannya pula,
dengan lincahnya ia menghindari setiap serangan Agung Sedayu. Namun serangan
itu mengalir seperti banjir. Meskipun demikian kelincahan Sidanti, sekali-sekali
berhasil menerobos pertahanan Agung Sedayu yang kuat, sekali-sekali berhasil
mengenai tubuhnya, sehingga sekali-sekali Agung Sedayu terpaksa terlempar surut
dan bahkan jatuh berguling. Tetapi kambali anak muda itu bangkit, dan kembali
serangannya datang membadai. Namun Sidanti pada dasarnya adalah seorang anak
muda yang berjiwa kasar. Ia adalah seorang yang berbuat tanpa kesan membunuh
lawannya dan bahkan merobek mayat lawannya sekali. Karena itu, maka segera ia
menyesuaikan diri dengan Agung Sedayu. Sehingga sesaat kemudian Sidanti itu pun
bertempur dengan cara yang tidak kalah ganas dan kasar dari Agung Sedayu. Perkelahian
itu benar-benar menjadi perkelahian yang keras. Seakan-akan perkelahian di
antara binatang-binatang buas yang sedang kelaparan berebut makanan. Setiap
serangan hampir tak pernah dielakkan. Namun setiap serangan ditempuhnya dengan
pengerahan tenaga. Namun dalam perkelahian yang demikian itu pun, Sidanti
mempunyai kesempatan yang lebih banyak dari Agung Sedayu. Pengalamannya yang
jauh lebih banyak dan hatinya yang lebih keras, telah memungkinkannya untuk
berbuat lebih jauh dari apa yang dapat dilakukan pleh Agung Sedayu. Tetapi
Sidanti itu pun menjadi heran. Betapa ia berhasil mengenai lawannya, bahkan
dengan segenap tenaganya, dan betapa ia melihat Agung Sedayu terlempar jatuh,
tetapi seakan-akan tubuh Agung Sedayu itu sedemikian liatnya. Demikian ia
terbanting, demikian ia bangun kembali. Pukulan-pukulan yang mengenainya
benar-benar tak pernah membekas, seakan-akan tubuhnya dapat dibebaskan dari
rasa sakit. Sebenarnya Agung Sedayu sudah waringuten, ia seolah-olah kehilangan
segenap perasaannya. Bahkan rasa sakit pun seakan-akan tak dimilikinya. Tekanan
gelora yang membakar dadanya telah menjadikannya nggegirisi. Sidanti
benar-benar menjadi bimbang. Apakah Agung Sedayu memiliki ilmu kekebalan?,
“Omong kosong”
katanya dalam hati. Dan geraknya pun semakin dipercepatnya.
Sisa gelap
malam pun semakin lama menjadi semakin tipis. Dan sejalan dengan itu hati
Sidanti pun menjadi semakin cemas. Ia ingin segera menyelesaikan perkelahian
itu. Namun betapa mungkin, Agung Sedayu seakan-akan tak dapat disakitinya.
Seandainya seseorang melihatnya bertempur, dan orang itu mengetahui sebab dari
pertempuran itu, maka mau tak mau ia harus berhadapan dengan seluruh laskar
Pajang di Sangkal Putung. Meskipun pada saat itu gurunya berada di sampingnya,
namun alangkah baiknya kalau ia menyelesaikan persoalan itu sendiri, tanpa
gurunya. Dan persoalan itu akan selesai kalau ia dapat membunuh Agung Sedayu.
Mudah-mudahan baru Agung Sedayu sajalah yang mendengar dari Untara bahwa ialah
yang telah melukainya. Nanti, akan dicarinya kesempatan untuk menyempurnakan
pembunuhannya atas Untara. Seandainya ia sempat menutup jalan pernafasan anak
yang luka itu, maka segera pekerjaannya akan selesai tanpa bekas. Dengan
demikian maka Sidanti semakin memperketat tekanannya, sehingga titik
pertempuran itu telah bergeser dari tempatnya. Tanpa setahu mereka, maka mereka
kini sudah merambat mendekati kandang kuda Demang Sangkal Putung. Sidanti
terkejut ketika ia mendengar kuda di dalam kandang itu terpekik karena
terkejut. Sesaat kemudian kuda-kuda yang lain pun menjadi gelisah pula sehingga
kandang itu menjadi ribut karenanya.
“Gila” geram
Sidanti
Suara kuda itu
pasti akan memanggil beberapa orang untuk datang kepada mereka. Karena itu,
maka sebelum Agung Sedayu sempat berkata, maka ia harus dibunuh atau
dilumpuhkan. Sidanti menjadi semakin gelisah ketika dalam keremangan fajar,
benar dilihatnya beberapa orang berdatangan. Dan Agung Sedayu itu masih
bertempur dengan garangnya. Kini Sidanti benar-benar mengerahkan segenap
kemampuannya. Ia berkelahi seperti seekor harimau yang ganas. Dengan segenap
kemampuan dan tenaganya, ia berusaha segera mengakhiri pertempuran. Namun tubuh
Agung Sedayu itu seakan-akan terbuat dari tanah liat. Tetapi ketika langit
menjadi semakin terang, tampaklah bahwa dari tubuh anak muda itu telah mengalir
darah dari luka-luka di tubuhnya. Pakaiannya telah rontang-ranting dan wajahnya
menjadi merah biru. Bukan saja Agung Sedayu, Sidanti pun telah mengalami
tekanan-tekanan yang berat karena serangan-serangan Agung Sedayu yang sedang
mengamuk itu. Tetapi pertempuran itu harus segera berakhir. Dalam keadaan itu
akhirnya Sidanti mengambil keputusan yang pasti. Agung Sedayu harus dilumpuhkan
dengan cara apa pun juga. Karena itu, maka dengan serta-merta Sidanti itu
meloncat, meraih sepotong kayu yang tersandar di dinding kandang itu. Dengan
kayu itu ia bertempur melawan Agung Sedayu.
Betapapun
kuatnya Agung Sedayu, namun dalam kegelapan pikiran itu, ia sama sekali telah
kehilangan hampir segenap perhitungannya. Itulah sebabnya ia tidak dapat
melihat dengan hati yang dingin, apa yang telah dilakukan oleh Sidanti. Tangan
Sidanti benar-benar seperti tangan hantu yang sangat berbahaya. Meskipun kali
ini ia tidak memegang senjata perguruannya, namun sepotong kayu itu pun
benar-benar dapat dipergunakan sebagai senjata yang sangat berbahaya. Dalam
perkelahian tanpa senjata, anak muda itu telah menunjukkan beberapa kelebihan
dari lawannya. Apalagi kini ia menggenggam sepotong kayu. Maka tanpa
mempertimbangkan akibat-akibat yang dapat terjadi, Sidanti telah mempergunakan
senjatanya untuk melawan dan berusaha membinasakan Agung Sedayu. Sebuah pukulan
yang keras telah mendorong Agung Sedayu ke samping. Berbareng dengan teriakan
beberapa orang tiba-tiba melihat perkelahian itu. Bagaimana Sidanti tidak puas
dengan pukulan pertama itu. Sebelum Agung Sedayu sempat menguasai dirinya, maka
Sidanti telah mengulangi serangannya. Agung Sedayu masih sempat melihat kayu
yang terayun itu, karena itu, maka ia masih berusaha untuk menghindarkan
dirinya dengan membungkukkan badannya. Kayu itu menyambar beberapa jari di atas
kepalanya. Namun karena geraknya yang tiba-tiba, Agung Sedayu kurang dapat menguasai
keseimbangan dirinya, sehingga ia jatuh terguling. Kesempatan itu tidak
disia-siakan oleh Sidanti. Agung Sedayu harus menjadi terdiam saat itu, supaya
ia tidak dapat mengatakan sebab dari perkelahian ini. Dengan garangnya Sidanti
mengangkat sepotong kayu itu untuk diayunkan kekepala Agung Sedayu yang belum
sempat bangun kembali. Beberapa orang yang melihat perkelahian itu segera
berlari-lari mendekati. Mereka melihat Agung Sedayu itu terjatuh, dan mereka
melihat Sidanti mengayunkan sepotong kayu ke kepala Agung Sedayu. Namun jarak
mereka masih terlalu jauh. Sehingga mereka masih belum sempat untuk mencagah
Sidanti. Mereka hanya sempat berteriak keras. Pada saat itu Widura pun telah
sampai ke tempat itu pula. ia pun melihat sepotong kayu yang terayun itu. Namun
jaraknya pun masih beberapa langkah lagi. Karena itu, maka Widura itu pun hanya
dapat berteriak sambil melompat sejauh-jauh mungkin. Tetapi jarak yang harus
dicapainya masih ada dua tiga loncatan lagi.
Sidanti sama
sekali tidak mau mendengarkan teriakan-teriakan itu lagi. Ia lebih senang
mempertanggung-jawabkan perbuatannya itu daripada apabila Agung Sedayu
mengatakan sebab yang sebenarnya. Daripada Agung Sedayu bercerita tentang apa
yang pernah didengarnya dari Untara. Karena itu, maka sama sekali ia tidak mau
mengurungkan niatnya. Hatinya telah bulat sebulat-bulatnya. Dengan demikian
maka kayu itu pun telah diangkatnya untuk diayunkannya kuat-kuat. Ia tidak
perduli lagi seandainya kepala Agung Sedayu itu menjadi pecah karenanya. Tetapi
justru karena itu, maka perhatian Sidanti seluruhnya tercurah pada sepotong
kayu di tangannya dan kepala Sedayu. Anak muda itu hampir tidak memperhatikan
lagi apa yang terjadi di sekitarnya. Juga ia sama sekali tidak tahu, bahwa
seseorang telah berdiri dekat di belakangnya. Di samping kandang kuda itu. Ketika
kayu di tangannya itu telah sampai ke puncak ayunan dan siap untuk meluncur
kekepala Agung Sedayu, Sidanti itu terkejut ketika ia mendengar sebuah suitan
nyaring. Ia tahu benar, itu adalah suara gurunya. Namun ia tidak segera
mengetahui, apa yang sebenarnya terjadi. Karena itu, maka ia menjadi bingung
untuk sekejap. Dan waktu yang sekejap itu telah merubah segala-galanya.
Tiba-tiba ia melihat sesuatu melayang dari balik gerumbul-gerumbul di sekitar
tempat itu. Namun sesaat yang pendek. Ia sadar ketika tiba-tiba terdengar
sepotong besi yang meluncur itu menghantam sebilah pedang yang terjulur ke punggungnya.
Suara itu berdentang sedemikian kerasnya, sehingga menggetarkan halaman
belakang kademangan Sangkal Putung. Namun semuanya telah terlambat, pedang itu
telah menyentuh punggung Sidanti, meskipun kemudian terlontar jatuh. Namun
tajamnya telah menyobek punggung itu. Sidanti mengeluh pendek. Segera ia
memutar tubuhnya. Dilihatnya di belakangnya berdiri Swandaru Geni dengan mata
yang menyala, namun ternyata mulutnya menyeringai menahan sakit di tangannya.
Pedangnya terlempar beberapa langkah daripadanya. Sidanti itu pun menjadi
semakin marah bukan buatan. Namun terasa luka di punggungnya itu sedemikian
nyerinya. Terasa seakan-akan dari luka itu dihisapnya segenap kekuatannya,
sehingga dalam waktu yang singkat itu, hampir-hampir ia menjadi lemas dan tak
berdaya. Namun ia tidak mau jatuh dan mati di tempat itu. Dengan segenap
kemampuan yang ada dicobanya untuk tetap tegak berdiri sambil memandang setiap
wajah yang berada di sekitarnya. Dilihatnya Widura yang kini telah tegak di
hadapannya dengan pedang tergantung di lambungnya, di sampingnya Swandaru Geni
yang gemetar, namun dengan wajah yang menyala. Kemudian Agung Sedayu yang telah
tegak kembali, dan kemudian beberapa orang lain. Sidanti itu menggeram penuh
kemarahan dan dendam, ia belum berhasil membunuh Agung Sedayu, dan tiba-tiba
Swandaru ikut campur dalam persoalan ini.
Sidanti
menjadi semakin marah, ketika dilihatnya beberapa orang berdatangan. Ki Demang
Sangkal Putung, bahkan Sekar Mirah dan orang-orang lain. Dalam saat yang pendek
itu, maka Sidanti segera dapat mengambil kesimpulan, bahwa hari ini adalah
harinya yang terakhir bagi jabatan keprajuritannya. Hari ini adalah hari
penentuan bahwa Sidanti bukan lagi berada dalam lingkungan laskar Pajang. Ia
telah gagal mempercepat jalan dan memperpendek jarak dari tingkat ke tingkat
yang lebih tinggi. Bahkan sampai ke tingkat yang paling atas. Dan kini ia harus
mempertanggung-jawabkannya. Namun Sidanti itu menjadi berbesar hati, ketika
diingatnya gurunya berada di tempat itu pula. Dan gurunya ternyata tidak
membiarkan Sidanti itu menjadi gelisah sendiri, dengan garangnya ia meloncat dari
tempat persembunyiannya, dan dengan marahnya ia menggeram sambil berkata,
“Hem, kini
kita harus berterus terang. Siapa yang harus berhadapan sebagai lawan dan
siapakah yang akan dapat kita jadikan kawan. Namun adalah pasti, bahwa Sidanti
telah kalian anggap berbuat suatu kesalahan. Nah, cepat katakan kepadaku
Widura, apa yang akan kau lakukan? bukankah kau pemimpin dari laskar Pajang
ini? Aku menuntut, yang melukai Sidanti dengan curang, harus mendapat hukuman.
Setidak-tidaknya ia harus mengalami luka seperti yang dialami Sidanti”
Swandaru menjadi
berdebar-debar. Apakah ia mau menerima hukuman itu? Yang terdengar adalah
jawaban Sedayu,
“Sidanti
curang pula. Kami berkelahi tanpa senjata, tetapi Sidanti memungut sepotong
kayu”
“Itu bukan
senjata. Kau memiliki kesempatan yang sama kalau kau mampu. Tetapi Sidanti
tidak menyerang dari belakang”
Ketika Agung
Sedayu akan menjawab, Ki Tambak Wedi itu membentak,
“Tutup
mulutmu. Aku berkata kepada Widura. jangan mencoba bermain-main dengan Ki
Tambak Wedi”
Orang-orang
yang berdiri di sekitar tempat itu, yang belum reda getar jantungnya atas
kehadiran orang yang sedemikian tiba-tiba itu, kembali terguncang ketika mereka
mendengar orang itu menyebut dirinya Ki Tambak Wedi.
Sesaat Widura
menjadi bimbang. Namun kemudian kembali darah kepemimpinannya mengalir ke
dadanya. Maka jawabnya,
“Aku tidak
akan memberikan hukuman apa pun sebelum aku tahu benar, dimana letak kesalahan
dari peristiwa ini. Dan apakah sumber yang menyebabkan ini terjadi”
“Persetan”
teriak Ki Tambak Wedi.
“Kau jangan
mengigau Widura. atau aku sendiri yang harus menghukumnya?”
Widura
mengerutkan keningnya. Yang berdiri di hadapannya adalah Ki Tambak Wedi, maka
segala sesuatu harus dipertimbangkannya masak-masak. Karena itu untuk sesaat ia
hanya dapat berdiam diri. Dicobanya untuk mengurai setiap peristiwa yang telah
dan bakal terjadi.
Karena Widura
tidak segera menjawab, maka Ki Tambak Wedi itu pun membentaknya,
“Widura, buka
mulutmu”
Widura sama
sekali tidak senang mendengar Ki Tambak Wedi membentaknya. Ketika ia berpaling
ke arah Sidanti, dilihatnya anak muda itu berdiri gemetar, sedang dari
punggungnya menetes darah yang segar. Sekali-sekali tampak ia menyeringai,
namun ia masih mencoba untuk berdiri tegak.
Dalam pada
itu, Widura sedang menilai setiap orang yang berada di sekitarnya. Dirinya
sendiri, Agung Sedayu, sementara itu, beberapa orang laskarnya dan Ki Demang
Sangkal Putung. Kalau perlu ia dapat memanggil orang-orang lain, yang pasti
akan segera datang juga. Apakah dengan kekuatan itu ia akan dapat menangkap Ki
Tambak Wedi? Widura menjadi bimbang. Mungkin hal itu dapat dilakukannya, namun
apakah tidak banyak korban yang jatuh karenanya? Mungkin dirinya sendiri,
mungkin Agung Sedayu, mungkin Ki Demang Sangkal Putung dan mungkin mereka
bersama-sama.
Dalam
kebimbangan itu sekali lagi Ki Tambak Wedi berteriak,
“Widura, jawab
pertanyaanku. Kalau kau mau menyerahkan anak yang melukai punggung Sidanti dan
Agung Sedayu, maka aku tidak akan berbuat apa-apa”
Kini Widura
mengangkat kepalanya. Sudah pasti permintaan itu tidak akan dapat dipenuhinya.
Karena itu, maka jawabnya,
“Ki Tambak
Wedi, aku adalah orang yang bertanggung jawab terhadap semua yang terjadi di
Sangkal Putung. Karena itu aku tidak akan mungkin menyerahkan orang-orangku
kepada siapa pun juga, apa pun kesalahannya. Aku sendiri yang harus melakukan
hukuman atau segala macam tuntutan atas mereka seandainya mereka ternyata
bersalah. Karena itu, tinggalkan Sidanti di sini dan aku akan melihat apakah
yang telah terjadi, dan aku akan tentukan siapakah yang bersalah. Aku adalah
pemimpin tertinggi dari semua jabatan yang berada di tempat ini, sehingga aku
tidak mau ada orang lain yang mencampuri urusanku”
Terdengar Ki
Tambak Wedi menggeram. Betapa dadanya serasa terbakar mendengar kata-kata
Widura itu. Matanya tiba-tiba menjadi merah menyala, dan rambutnya yang telah
memutih di beberapa bagian itu, seakan-akan tegak di bawah ikat kepalanya.
Tanpa sesadarnya tangannya menggenggam sabil bergumam,
“Setan. Apakah
kaliah sudah bosan hidup?”
Sekali lagi
Widura melayangkan pandangan matanya. Beberapa orang berdatangan pula
berkerumun di sekitar tempat itu. Widura menarik nafas ketika ia melihat
sebagian besar dari mereka telah membawa senjata-senjata mereka. Kalau terjadi
sesuatu maka mereka pasti akan melawan Ki Tambak Wedi itu dengan gigih. Meskipun
mereka tahu, Ki Tambak Wedi adalah seorang yang ditakuti oleh hampir segenap
orang di sekitar gunung Merapi. Namun dalam melakukan kewajibannya, maka tak
akan ada di antara mereka yang mengenal takut. Apalagi mereka dalam satu
kelompok. Yang mereka hadapi kini hanya seorang saja, meskipun orang itu Ki
Tambak Wedi.
Namun meskipun
demikian, sebagian besar dari mereka berada di dalam kebimbangan. Widura
sendiri menjadi bimbang karenanya. Bukan karena ia takut mati, tetapi apakah ia
akan mengorbankan orang-orangnya yang terpercaya untuk menangkap Ki Tambak
Wedi? sedang besok atau lusa Macan Kepatihan masih mungkin menyerang mereka
kembali dengan kekuatan yang masih cukup besar? Ternyata di dalam pasukan Macan
Kepatihan itu bersembunyi tokoh-tokoh seperti Sanakeling, Alap-alap Jalatunda
dan orang-orang lain yang pernah menjadi kebanggaan Jipang. Baru Plasa Irenglah
yang dapat dibinasakan oleh Sidanti itu. Apakah dalam keadaan yang demikian, ia
harus mengurangi kekuatan pokoknya untuk menghadapi bahaya yang datang dari
jurusan lain? Widura itu menarik nafas. Ia menyesal, benar-benar menyesal,
bahwa di dalam tubuhnya ada anak-anak muda seperti Sidanti itu. Tetapi semuanya
itu telah terjadi. Dan kini ia dihadapkan pada puncak dari kesulitan itu. Widura
itu terkejut ketika ia mendengar Ki Tambak Wedi membentak pula,
“Widura,
jangan mimpi. Kau tidak dapat berbuat lain daripada memilih di antara dua.
Menyerahkan anak muda yang melukai Sidanti dan Agung Sedayu, atau aku membunuh
kalian bersama-sama. Jawab”
Sekali lagi
Widura menengadahkan dadanya. Ia tidak dapat ingkar akan kewajibannya. Karena
itu jawabnya,
“Ki Tambak
Wedi, kami adalah prajurit-prajurit. Kami tidak dapat menuruti kehendak dari
seseorang yang bertentangan dengan tata keprajuritan. Siapa pun orangnya,
meskipun orang itu bernama Ki Tambak Wedi, namun kami terpaksa mempertahankan
sendi tata keprajuritan yang menjadi pegangan kami. Kalau kami harus memilih,
Ki Tambak Wedi, maka pilihan kami adalah melawan sampai kemungkinan yang
terakhir. Bahkan kami telah bertekad untuk menangkap Ki Tambak Wedi dan Sidanti
bersama-sama”
“Gila” teriak
Ki Tambak Wedi. kemarahannya menjadi semakin memuncak. Namun tiba-tiba ia
terpaksa mempertimbangkan keadaannya. Widura ternyata benar-benar telah siap
dengan segenap anak buahnya. Mereka yang mendengar kata-kata Widura itu pun
tiba-tiba telah meraba hulu pedang mereka. Dalam kemerahan sinar matahari pagi,
Ki Tambak Wedi melihat orang-orang yang berkerumun di sekitarnya dengan
wajah-wajah yang tegang. Wajah-wajah jantan yang keras dan kasar. Wajah-wajah
yang untuk kesekian kalinya dihadapkan kepada kemungkinan yang paling akhir
dari hidupnya untuk kewajibannya. Maut. Ki Tambak Wedi tidak dapat menutup
segala penglihatannya. Pengalamannya yang panjang, segera dapat memberikan pertimbangan
kepadanya. Betapapun kesaktian yang tersimpan di dalam dirinya, namun untuk
melawan sekian banyak orang sekaligus, adalah pekerjaan yang sangat berat dan
berbahaya. Mungkin ia akan membunuh separo dari mereka itu. Namun setelah itu
ia akan kehabisan tenaga, dan yang separo lagi akan dapat menangkapnya, mengikatnya
dan membawanya ke Pajang.
“Hem” geramnya
di dalam hati,
“Apakah Ki
Tambak Wedi terpaksa diikat tangan dan kakinya digiring ke Pajang?”
Sesaat halaman
belakang kademangan Sangkal Putung itu menjadi sepi. Baik Ki Tambak Wedi maupun
Widura terpaksa membuat pertimbangan-pertimbangan yang memragukan diri mereka.
Keduanya agaknya segan untuk berbuat sesuatu atas yang lain. Karena itu, maka
suasana menjadi sedemikian tegangnya, ketika tiba-tiba Ki Tambak Wedi itu
berkata kepada Sidanti,
“Sidanti,
ikuti aku. Sangkal Putung sama sekali tak akan memberimu sesuatu”
Sidanti yang
luka itu pun menyadari sepenuhnya kata-kata gurunya. Sangkal Putung benar-benar
tak akan memberinya sesuatu. Dan ia sependapat dengan gurunya, meninggalkan
Sangkal Putung. Tetapi masih ada yang menjadikannya bimbang. Senjatanya berada
di pendapa kademangan.
Dengan
ragu-ragu ia berkata,
“Guru,
bagaimana dengan senjataku?”
Ki Tambak Wedi
mengerutkan keningnya. Namun kemudian jawabnya,
“Apakah
keberatanmu dengan senjata itu. Senjata itu dapat dibikin. Besok aku bikinkan
senjata semacam itu untukmu”
Sidanti tidak
menunggu apa-apa lagi. Segera ia beringsut ke samping gurunya. Tetapi Widura
melangkah selangkah maju. Kembali kebimbangan melandanya. Apakah ia akan
bertindak terhadap Ki Tambak Wedi dan Sidanti? Tetapi apakah ia akan memberikan
pengorbanan yang sangat besar untuk mereka berdua? Ki Tambak Wedi yang melihat
Widura itu bergerak, segera menggeram,
“Widura, aku
akan pergi. Kalau kau membuat kegaduhan di antara anak buahmu, baiklah. Mari
kita mati bersama-sama. Kau tidak akan dapat menangkap Ki Tambak Wedi, aku akan
membuat timbangan di antara kekuatan kita. Mungkin kau akan dapat membunuh aku,
tetapi tiga perempat dari kalian pasti akan mati bersama aku. Jangan mimpi
mengikat tangan Tambak Wedi”
Dada Widura
itu pun berdesir. Ia percaya akan kata-kata itu. Tiga perempat daripadanya,
atau sedikit-sedikitya separo pasti akan mati. Karena itu, maka ia tetap tegak
di tempatnya ketika Ki Tambak Wedi dan Sidanti beringsut mundur dari tempatnya.
Agung Sedayu
menjadi gemetar melihat keadaan itu. Dengan wajah yang merah membara ia menatap
wajah pamannya. Tetapi ia tidak berkata sesuatu. Namun tatapan matanya cukup
mengatakan hasratnya untuk menangkap Sidanti. Agung Sedayu terkejut ketika
pamannya menggeleng. Namun ia tidak dapat berbuat apa-apa, ia tidak akan dapat
menangkap Ki Tambak Wedi itu seorang diri. Meskipun demikian, tanpa sesadarnya
ia pun beringsut dari tempatnya. Ia terkejut ketika tiba-tiba dalam gerakan
yang sangat cepat di tangan Ki Tambak Wedi itu telah tergenggam dua buah
gelang. Masing-masing sebuah. Gelang dari sepotong besi yang dilengkungkannya.
Dengan gelang itu pula, ia mampu menangkis serangan pedang dan alat pemukul
lainnya. Akhirnya Widura terpaksa melepaskan Ki Tambak Wedi itu pergi. Dengan
penuh pertimbangan Widura masih lebih mengutamakan Macan Kepatihan dengan
seluruh laskarnya daripada Ki Tambak Wedi dan Sidanti. Widura mengharap bahwa
Ki Tambak Wedi untuk sementara tidak akan berbuat sesuatu. Sedang Macan
Kepatihan dengan laskarnya yang masih cukup kuat itu pasti akan menyerang
Sangkal Putung kembali. Mungkin Ki Gede Pemanahan sendiri atau gurunya akan
dapat dengan mudah melenyapkan Ki Tambak Wedi yang hanya seorang diri itu. Namun
dengan hilangnya Ki Tambak Wedi, maka bahaya yang sebenarnya akan selalu
menghantui Agung Sedayu, Swandaru yang telah melukai Sidanti, dan Widura
sendiri. Ketika Ki Tambak Wedi itu hilang dari lingkungan mereka, segera Agung
Sedayu bertanya,
“Paman, kenapa
mereka itu kita lepaskan?”
Widura menarik
nafas dalam-dalam. Kemudian katanya,
“Dengan
menangkap Ki Tambak Wedi, maka aku pasti akan melepaskan lebih separo dari
laskar kita. Seperti yang dikatakannya sendiri, ia sama sekali tidak akan dapat
kita tangkap hidup-hidup. Ki Tambak Wedi itu pasti akan menyerah apabila ia
telah mati dengan membawa korban yang tidak sedikit dari antara kita”
Agung Sedayu
menundukkan wajahnya. tetapi ia dapat mengerti pikiran pamannya. Pamannya
adalah seorang yang di tempatkan di Sangkal Putung untuk menghadapi Macan
Kepatihan sehingga karena itu, maka segenap perhatian, perhitungan dan kekuatan
dipusatkannya dalam menghadapi lawannya itu. Persoalan lain yang tidak
menyangkut itu, adalah bukan tanggung-jawabnya yang utama, sehingga juga dalam
menghadapi Ki Tambak Wedi, maka Widura itu pun memperhitungkan
kemungkinan-kemungkinan itu.
Sesaat
kemudian orang-orang yang berkerumun itu pun menjadi sadar bahwa bahaya yang
dihadapinya telah menghilang. Dengan lega mereka menarik nafas panjang. Dan
satu demi satu mereka pun segera pergi meninggalkan tempat itu setelah Widura
berkata kepada mereka,
“Kembalilah ke
tempat masing-masing. Tetapi jangan lupakan kewaspadaan. Peristiwa ini akan
dapat berbuntu panjang”. Kemudian kepada ki Demang Widura berkata,
“Kakang
Demang, apakah pintu butulan itu boleh kami tutup saja?”
“Silakan,
silakan” sahut Ki Demang.
Pintu butulan
dinding belakang itu pun segera ditutup. Pintu itu hanya boleh dibuka setiap
ada kepentingan yang perlu. Mereka yang pergi ke sungai kecil itu harus
mengambil jalan lain, jalan di samping dinding kademangan. Tetapi Widura sadar,
bahwa apa yang dilakukan itu hampir tak ada gunanya. Ki Tambak Wedi sama sekali
tidak memerlukan pintu itu. Ia dapat meloncat atau memanjat atau apa pun yang
ingin dilakukan. Namun, dengan demikian maka kemungkinan-kemungkinan yang kecil
dapat dihindarinya. Widura sendiri itu pun kemudian kembali masuk ke pringgitan
bersama Agung Sedayu. Dilihatnya Ki Tanu Metir masih duduk di tempatnya. Ketika
ia melihat Widura dan Agung Sedayu yang biru pengab, segera ia bertanya dengan
nada cemas,
“Kenapa
wajahmu ngger?”
Dengan singkat
Agung Sedayu mengatakan apa yang terjadi. Tanpa syak tanpa curiga. Dikatakan
semuanya yang telah dialaminya.
Ki Tanu Metir
mendengarkan setiap kata-kata Agung Sedayu itu dengan seksama. Sesaat Ki Tanu
Metir itu mengangkat wajahnya yang memancarkan kecemasan dan kebimbangan. Tanpa
sesadarnya ia berkata,
“Jadi, Ki
Tambak Wedi itu kini membawa Sidanti serta meninggalkan Sangkal Putung?”
“Ya” jawab
Agung Sedayu.
Ki Tanu Metir
menarik nafas dalam-dalam. Tetapi tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya.
Sehingga pringgitan itu pun menjadi sepi.
Diluar panas
matahari mulai membakar dedaunan yang letih. Di sana sini, dibawah batang-batang
pohon yang rindang, beberapa orang duduk dengan malasnya. Ada di antaranya yang
berbaring-baring di atas helaian anyaman daun-daun nyiur tua. Dalam keheningan
itu, terdengarlah tiba-tiba suara Untara yang lemah,
“Jadi Sidanti
itu tidak kalian tangkap?”
Widura
terkejut mendengar suara Untara. Maka segera ia berdiri dan berjalan mendekati,
diikuti oleh Ki Tanu Metir dan Agung Sedayu. Dengan ragu-ragu Widura menjawab,
“Tidak Untara.
Terpaksa aku tidak dapat menangkap anak muda itu, karena gurunya tiba-tiba
datang melindunginya”
“Ki Tambak
Wedi?” bertanya Untara
Widura
mengangguk,
“Ya” sahutnya.
“Mungkin aku
dapat menangkap Ki Tambak Wedi itu sendiri, namun berapa orang yang harus aku
korbankan?”
Untara menarik
nafas dalam-dalam. Sekali ia menyeringai menahan sakit, namun sesaat kemudian
wajahnya menjadi tenang kembali.
“Bagaimana
dengan lukamu?” bertanya Widura
“Sudah jauh
berkurang. Tidak terlalu pedih. Namun tubuhku masih lemah sekali”
“Ya.
Beristirahatlah sebaik-baiknya” berkata Widura
Tetapi Untara
itu bertanya kembali,
“Apakah Agung
Sedayu berkelahi dengan Sidanti?”
“Ya” jawab
Widura,
“Wajahnya
menjadi biru-biru dan Sidanti terluka oleh Swandaru”
Sekali lagi
Untara menarik nafas dalam-dalam. Persoalan Sangkal Putung benar-benar akan
menjadi pelik. Sidanti itu pasti akan menyimpan dendam di dalam hatinya. Kepada
dirinya, kepada Agung Sedayu dan kini kepada Swandaru, dan kepada pamannya itu
sendiri. Sekilas ia membuka matanya dan memandang wajah Ki Tanu Metir. Namun
tiba-tiba Ki Tanu Metir menggeleng lemah.
“Mudah-mudahan
mereka segera dapat ditangkap” desah Untara
Widura
terkejut mendengar kata-kata itu. Apakah ia harus menangkap Ki Tambak Wedi?
meskipun demikian Widura itu tidak bertanya sesuatu. Ketika dilihatnya Untara
memejamkan matanya kembali, maka Widura itu kembali duduk bersama Agung Sedayu
dan Ki Tanu Metir. Sementara itu Ki Demang dan Swandaru datang pula di antara
mereka. Hari itu adalah hari yang tegang bagi Sangkal Putung. Hampir setiap
orang tidak terpisah dari senjata mereka. Mungkin Macan Kepatihan, mungkin Ki
Tambak Wedi. namun mereka telah bertekad untuk melakukan tugas mereka
sebaik-baiknya. Gardu penjagaan pun masih juga diperkuat. Beberapa pengawas
berkuda hilir mudik di sekitar daerah kademangan Sangkal Putung. Namun Sangkal
Putung sendiri menjadi sangat sunyinya. Hampir setiap rumah telah menutup
pintunya, dan hampir setiap anak-anak tidak berani keluar dari rumah mereka.
Bahkan ada di antaranya yang masih belum berani pulang ke rumah sendiri, mereka
masih saja tinggal di kademangan atau banjar desa. Ki Tanu Metir pun kemudian
tidak hanya mengobati Untara, tetapi ia pun pergi juga ke banjar desa. Dan
dicobanya pula untuk meringankan setiap penderitaan dari mereka yang terluka. Bukan
saja hari itu Sangkal Putung diliputi oleh ketegangan. Beberapa orang pengawas
yang dipasang oleh Untara masih saja memberikan laporan bahwa Macan Kepatihan
masih menyusun kekuatannya di sekitar tempat itu. Karena itu, maka Untara itu
berkesimpulan bahwa laskar Pajang lah yang harus mengambil prakarsa
membersihkan mereka. Mereka tidak boleh menunggu saja di Sangkal Putung.
Menunggu apabila Macan Kepatihan datang menyerang mereka kembali. Tetapi laskar
Pajang suatu ketika harus mencari mereka. Menghancurkan mereka di sarang-sarang
mereka. Karena dengan demikian, maka pekerjaan laskar Pajang di Sangkal Putung
akan lekas selesai. Tetapi Widura tidak dapat dengan tergesa-gesa melakukan
pekerjaan itu. Menurut perhitungannya, kekuatan Macan Kepatihan masih cukup
banyak untuk mengimbangi kekuatan laskarnya. Dan di dalam pasukan mereka
terdapat seorang Macan Kepatihan yang berbahaya, dan beberapa orang penting
yang lain. Untara pun menyadari keadaan itu, sehingga kemudian diambilnya
ketetapan bahwa gerakan itu akan segera dilakukan apabila Untara telah sembuh
benar dari sakitnya itu.
Namun
ketegangan itu semakin lama menjadi semakin tipis. Ternyata Macan Kepatihan
tidak segera mengadakan penyerangan kembali. Agaknya mereka masih juga
memperhitungkan setiap kemungkinan. Dan hilangnya Plasa Ireng pun pasti mempengaruhi
keadaan mereka. Bukan saja keadaan Tohpati beserta pasukannya yang tidak lagi
tampak di seputar Sangkal Putung, namun perlahan-lahan mereka melupakan pula Ki
Tambak Wedi dan Sidanti. Demikian pula Agung Sedayu dan Swandaru, mereka
semakin lama menjadi semakin kehilangan perhatian atas orang yang menakutkan
itu. Tetapi Widura tidak mau melengahkan diri dan seluruh laskarnya. Setiap
hari ia masih saja mengawasi sendiri keadaan anak buahnya. Bahkan setiap malam
pun ia masih berjalan dari satu gardu kegardu yang lain. Dan diperingatkannya
setiap penjaga gardu itu, bahwa bahaya yang sebenarnya masih saja berada di
sekitar Sangkal Putung. Ternyata Widura sendiri telah melupakan setiap
kemungkinan yang paling berbahaya bagi dirinya dan Agung Sedayu. Ternyata,
mereka berdua sama sekali tidak memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang
dapat terjadi atas diri mereka. Ketika mereka sedang nganglang kademangan,
tiba-tiba mereka terhenti sebelum mereka sampai ke ujung jalan yang
mengelilingi daerah Gunung Gowok. Mereka terhenti ketika mereka melihat sesosok
tubuh berjongkok di tepi jalan itu. Widura bukanlah seorang anak kecil yang
bodoh. Ketika ia melihat orang itu, segera ia menjadi curiga. Karena itu, maka
digamitnya Agung Sedayu, dan keduanya pun berhenti.
“Kau lihat
orang itu?” bertanya Widura berbisik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar