Jilid 016 Halaman 2


“Itukah mereka?”
“Hanya satu orang,” sahut Ki Gede Pemanahan.
Tapi ternyata yang kemudian menyeruak dari dalam gerumbul-gerumbul itu tidak hanya satu orang. Sesaat kemudian kembali mereka melihat seorang yang lain. Disusul orang yang ketiga dan keempat. Namun yang datang dari balik gerumbul itu sama sekali tidak seperti yang diharapkan oleh Untara dan para pemimpin Sangkal Putung. Mereka ternyata tidak lebih dari dua puluh orang.
“Hanya itu?” terdengar Ki Gede Pemanahan bertanya.
Untara tidak segera dapat menjawab. Tetapi keringat dinginnya telah melelehi di segenap permukaan kulitnya.
“Dua puluh atau dua puluh lima orang,” berkata Ki Gede Pemanahan pula.
“Dua puluh orang Jipang telah mampu menggerakkan Panglima Wira Tamtama untuk menyambut kedatangannya.”
Dada Untara kini benar-benar dipenuhi oleh kegelisahan yang melonjak-lonjak. Kalau yang datang hanya dua puluh lima orang itu, alangkah malunya. Ki Gede Pemanahan, Panglima Wira Tamtama itu  pun pasti akan menjadi sangat marah kepadanya, seolah-olah duapuluh lima orang Jipang itu cukup bernilai untuk memaksa Ki Gede Pemanahan datang ke daerah terpencil ini. Tetapi ketika kemudian mereka melihat dengan seksama maka mereka melihat sesuatu yang tidak begitu wajar pada orang-orang Jipang itu. Mereka melihat orang-orang Jipang itu memanggul sesuatu yang agaknya cukup berat.
“Apakah yang mereka bawa?” tanya Ki Gede bertanya kembali.
“Aku tidak tahu Ki Gede,”,” sahut Untara.
Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian matanya yang tajam melihat benda yang dipanggul oleh orang-orang Jipang itu. Terdengar ia bergumam,
“Senjata. Mereka memanggul senjata di atas pundak-pundak mereka. Kau lihat ujung-ujung dari senjata-senjata itu? Mereka memanggul tidak hanya sepucuk senjata di atas pundak masing-masing, tetapi seikat senjata.
Hati Untara menjadi semakin tegang. Ia tidak tahu kenapa orang-orang Jipang itu memanggul senjata-senjata mereka yang telah mereka ikat menjadi dua puluh ikat dan mereka bawa mendahului orang-orang mereka. Untara tidak tahu, apakah yang seterusnya akan dilakukan oleh orang-orang Jipang itu. Dalam persetujuan mereka, sama sekali mereka tidak pernah menyatakan bahwa mereka bersedia berbuat demikian.
Namun Untara tidak dapat berbuat lain daripada menunggu orang-orang itu menjadi semakin dekat. Untara harus mendapat keterangan dari mereka, apakah yang seterusnya akan dilakukan oleh orang-orang Jipang itu. Semakin lama orang-orang yang memanggul bongkokan senjata itu  pun menjadi semakin dekat. Dengan demikian, maka semakin jelas pula tampak, bahwa senjata yang mereka bawa itu adalah segala macam jenis senjata. Tombak, pedang, bindi dan sebagainya.

Ketika orang-orang itu menjadi semakin dekat, maka Untara  pun segera melihat, siapakah yang berdiri di paling depan dari orang-orang Jipang itu. Orang yang justru tidak membawa sesuatu. Tetapi ialah yang menentukan segala sesuatu atas orang-orang Jipang itu. Orang itu adalah Sumangkar. Dengan kepala tunduk ia berjalan. Langkahnya satu-satu seperti orang kehilangan gairah untuk menghadapi hidupnya di masa-masa mendatang.
Melihat orang itu Ki Gede Pemanahan menarik keningnya tinggi. Tanpa dikehendakinya sendiri ia melangkah maju sambil berdesis,
“Kakang Sumangkar.”
Sumangkar yang kemudian mengangkat wajahnya melihat Ki Gede Pemanahan itu berjalan ke arahnya, seolah-olah hendak menyongsongnya. Karena itu maka ia  pun segera berhenti sambil membungkukkan badannya dalam-dalam.
“Kakangmu yang tidak berharga telah menghadap Ki Gede Pemanahan.”
Ki Gede Pemanahan menarik nafas dalam-dalam. Sumangkar adalah lawan yang cukup tangguh sepeninggal Patih Mantahun. Ki Gede Pemanahan tahu benar kemampuan yang tersimpan pada orang tua itu. Tak ubahnya seperti kemampuan Patih Mantahun sendiri. Dari Untara Ki Gede Pemanahan sudah mendengar bahwa Sumangkar kini berada bersama-sama dengan laskar Jipang yang dipimpin oleh Tohpati. Sumangkar lah orang yang telah berusaha untuk menghentikan perlawanan sepeninggal Macan Kepatihan. Namun menitik perkembangan keadaan, maka Ki Gede Pemanahan memang harus berhati-hati. Apakah Sumangkar tidak sedang menjebaknya bersama-sama dengan Ki Tambak Wedi. Ketika Sumangkar melihat Ki Gede Pemanahan, maka orang itu seakan-akan tidak merasa terkejut. Apakah ia menganggap bahwa kehadiran Ki Gede Pemanahan menyambutnya itu adalah sesuatu yang sewajarnya, atau memang ia sudah mendengar dari Ki Tambak Wedi? Namun dalam keadaan yang bagaimanapun juga. Ki Gede Pemanahan harus menghadapinya dengan penuh kewaspadaan. Ia tidak akan kehilangan kewaspadaan hanya karena beberapa bongkok senjata yang dibawa oleh orang-orang Jipang itu. Ki Gede Pemanahan itu  pun kemudian berhenti beberapa langkah di muka Sumangkar. Untara dan Widura pun kemudian berdiri di kedua sisinya. Di belakang mereka berderet beberapa orang perwira pengawal Ki Gede Pemanahan. Sejenak Ki Gede Pemanahan memandangi orang tua itu. Wajahnya yang suram dan matanya yang cekung menunjukkan bahwa orang itu telah mengalami keadaan yang tidak menyenangkan hatinya.
“Kau nampak kurus dan lekas bertambah tua Kakang Sumangkar,” sapa Ki Gede Pemanahan.
Sumangkar membungkuk hormat sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia menjawab,
“Ya Ki Gede, aku bukan saja cepat menjadi tua, tetapi sebenarnya aku telah tua.”
Ki Gede tersenyum. Katanya pula,
“Sebenarnya Kakang belum terlampau tua. Bukankah umur Kakang tidak terpaut banyak dengan umurku. Bahkan mungkin kita sebaya?”
“Ya, ya,” Sumangkar masih mengangguk-anggukkan kepalanya,
“mungkin kita memang sebaya. Tetapi Ki Gede adalah Panglima Wira Tamtama. Ki Gede hidup dalam lingkungan yang baik sedang aku hidup di hutan-hutan seperti seekor ayam alas yang terbang dari satu sarang, hinggap ke sarang yang lain menghindari seekor musang yang selalu memburunya”
Ki Gede Pemanahan tertawa.
“Apakah Kakang sudah jemu?”
Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya,
“Aku sendiri sebenarnya tidak pernah merasakan itu sebagai suatu keadaan yang menjemukan Ki Gede. Aku telah membiasakan diri hidup dalam kesulitan dan penderitaan sejak aku berguru di Kedung Jati bersama Kakang Mantahun. Juga ketika Kakang Mantahun menjadi Patih Jipang aku tidak menjadi seorang tumenggung atau senapati perang. Aku waktu itu adalah seorang abdi kepatihan.”
Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya,
“Lalu apakah yang mendorong Kakang mengambil keputusan seperti ini?”

Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Sekali ia berpaling. Dilihatnya orang-orang Jipang yang memanggul senjata-senjata mereka, masih berdiri di belakangnya.
“Letakkanlah senjata-senjata itu,” berkata Sumangkar kepada orang-orang Jipang. Namun kemudian kepada Ki Gede Pemanahan ia berkata,
“Bukankah demikian Ki Gede? Apakah senjata-senjata ini boleh kami letakkan di sini?”
Ki Gede berpikir sejenak, kemudian jawabnya,
“Letakkanlah.”
Orang-orang Jipang itu segera meletakkan senjata-senjata yang terikat dalam ikatan-ikatan yang cukup besar.
“Itulah sebagian besar dari senjata-senjata kami, Ki Gede,” berkata Sumangkar kemudian kepada Untara ia berkata,
“Kami telah melakukan sesuatu di luar persetujuan Angger Untara. Tetapi kami yakin, bahwa dengan demikian, kami telah menegaskan kami untuk menghentikan perlawanan kami.”
Untara tidak segera menjawab. Ditatapnya wajah Ki Gede Pemanahan sejenak. Seolah-olah ia menyerahkan segala persoalan kepada Panglima Wira Tamtama itu.
“Hanya inikah senjata-senjata kalian seluruhnya?” bertanya Ki Gede Pemanahan.
“Ini sebagian terbesar dari seluruh senjata-senjata kami Ki Gede,” sahut Sumangkar.
“Kenapa tidak seluruhnya?”
“Kami masih memerlukan beberapa pucuk senjata di tangan kami,” sahut Sumangkar.
“Kakang tidak percaya kepada kami?”
“Bukan Ki Gede, bukan,” jawab orang tua itu cepat-cepat.
“Tetapi kami masih harus melindungi diri kami dari kebuasan serigala-serigala ke sarang kami sendiri.”
Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Namun tiba-tiba ia bertanya kembali,
“Kakang, Kakang belum menjawab pertanyaanku. Apakah yang mendorong Kakang Sumangkar mengambil keputusan ini? Bukankah Kakang tidak pernah mengalami kejemuan dengan keadaan Kakang selama ini. Hidup di hutan-hutan dan menurut istilah Kakang sendiri, terbang dari satu sarang hinggap ke sarang yang lain menghindari musang yang memburunya?”
Sekali lagi Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan hati-hati ia menyahut,
“Sebenarnya alasan itu tidak penting bagi Ki Gede. Apa pun yang mendorong kami untuk menyerahkan diri adalah persoalan kami. Namun meskipun demikian, secara pribadi aku akan menjawab, sebab Ki Gede sudah bertanya secara pribadi pula.”
“Benar,” potong Ki Gede,
“tetapi Sumangkar dalam segala keadaan akan dapat menentukan sikap orang-orang Jipang itu. Bukankah kakang berkata bahwa kakang sendiri, kakang pribadi tidak pernah merasakan kejemuan karena keadaan itu? Apakah dengan demikian berarti bahwa Sumangkar menyerah hanya karena kawan-kawannya menyerah tanpa sesuatu keyakinan apapun? Atau bahkan dengan suatu keyakinan yang lain?”

Sumangkar menggelengkan kepalanya. Namun terasa hatinya berdesir mendengar pertanyaan Ki Gede Pemanahan itu. Dengan hati-hati pula ia menjawab,
“Tidak Ki Gede. Aku cukup mempunyai keyakinan tentang sikap yang telah aku ambil ini. Dan sikap itu sama sekali tidak atas landasan kejemuan tentang diriku sendiri. Bukan karena aku sudah jemu hidup di hutan-hutan dan selalu dikejar-kejar oleh Angger Untara dan Angger Widura, bukan karena aku sudah jemu karena digigit nyamuk sebesar kelingking di paya-paya. Tidak Ki Gede. Kalau demikian maka justru aku menyerah karena putus asa dan tanpa suatu keyakinan apa-apa, selain keputus-asaan itu. Tetapi aku datang bukan karena itu. Aku memang menyerah karena jemu. Tetapi aku jemu melihat peperangan. Jemu melihat pertumpahan darah yang tidak ada henti-hentinya tanpa ujung dan pangkal. Karena kejemuan itulah maka aku membawa beberapa orang Jipang untuk menyerahkan dirinya kepada Angger Untara. Ternyata di sini bukan saja ada Angger Untara, namun ada Ki Gede Pemanahan, Panglima Wira Tamtama.”
“Kalau benar demikian alangkah menyenangkan,” sahut Ki Gede Pemanahan.
“Tetapi bagaimana dengan api yang telah membakar beberapa rumah ini? Dan bagaimanakah dengan orang orangmu di bulak jagung?”
“Pertanyaan Ki Gede adalah wajar,” berkata Sumangkar dalam nada yang datar.
“Ki Gede pasti akan terpengaruh oleh api yang menyala di desa ini, seperti kami menjadi bertanya-tanya di dalam hati kami pula. Kenapa di desa Benda terjadi kebakaran? Tetapi Angger Untara dan Angger Widura tahu pasti bahwa Sanakeling tidak sependapat dengan penyerahan ini. Apalagi Sidanti, murid Ki Tambak Wedi. Karena itu maka mereka telah membuat keributan di desa kecil ini dan bahkan telah berhasil mencegat Ki Gede di bulak jagung. Tetapi Ki Gede harus dapat membedakan, bahwa yang melakukannya sama sekali bukanlah orang-orang Jipang yang telah berjanji untuk menyerah. Mereka adalah orang-orang Jipang yang berpihak kepada Sanakeling dan Ki Tambak Wedi.”
Tampaklah wajah Ki Gede Pemanahan berkerut-kerut. Wajah itu tiba-tiba menjadi tegang. Ketika ia berpaling kepada Untara dan kemudian kepada Widura, maka dilihatnya wajah kedua pemimpin Prajurit Pajang di Sangkal Putung itu  pun menjadi tegang pula.
“Kakang Sumangkar,” berkata Ki Gede Pemanahan kemudian,
“apakah Kakang Sumangkar atau setidak-tidaknya orang-orang Kakang tidak melakukan perbuatan itu?”
“Tidak Ki Gede, tidak,” jawab Sumangkar.
“Jangan berbohong, Kakang.”
“Kenapa aku berbohong? Sekarang Ki Gede dapat melihat, aku telah menepati janjiku. Datang ke desa kecil ini, bahkan tanpa senjata untuk meyakinkan kesungguhan kami di hadapan Ki Gede Pemanahan dan Angger Untara dan Widura. Sebab sebenarnya kami  pun dapat mengerti, setelah terjadi peristiwa itu, maka para pemimpin Pajang akan dapat menjadi ragu-ragu.”

Tiba-tiba serentak mereka berpaling ketika dari belakang para pengawal Ki Gede Pemanahan terdengar seseorang berkata,
“Aneh. Bukankah itu aneh sekali ayah?”
Yang berkata itu adalah Sutawijaya. Beberapa langkah ia mendesak maju sehingga kemudian ia berdiri di samping Untara, menghadap ke arah Sumangkar itu pula.
Dada Sumangkar berdesir melihat anak muda itu. Anak muda itulah yang telah berhasil menyobek perut Arya Penangsang sehingga ususnya mencuat keluar. Bulu-bulu Sumangkar tiba-tiba terasa meremang mengenang peperangan itu. Arya Penangsang benar-benar orang yang keras hati. Meskipun ususnya telah keluar itu telah disangkutkan pada keris di lambungnya. Kini anak muda itu berdiri di mukanya dengan sebatang tombak pendek, bukan tombak berlandasan panjang seperti yang dipakainya bertempur melawan Arya Penangsang.
Sambil membungkukkan badannya Sumangkar berkata,
“Kau Angger yang perkasa. Berbahagialah ayahanda mempunyai seorang putera seperti Angger, dan berbahagialah Adipati Pajang mempunyai prajurit setangkas Tuan.”
“Terima kasih Paman Sumangkar,” sahut Sutawijaya. Namun sekali lagi ia bertanya kepada ayahnya,
“Apakah ayah merasakan keanehan itu?”
Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Ya, aku merasakan kejanggalan jawaban Kakang Sumangkar. Untara dan Widura pasti merasakannya pula.,” Kemudian kepada Sumangkar Ki Gede Pemanahan bertanya,
“Nah, Kakang. Anakku  pun merasakan suatu kejanggalan pada jawaban-jawaban yang Kakang ucapkan.”

Sumangkar menarik alisnya tinggi-tinggi, sehingga alis yang sudah mulai berwarna putih itu  pun bergerak-gerak. Sekali dipandanginya Sutawijaya. Kemudian Untara dan Widura. Sekali-sekali ia berpaling memandangi beberapa bagian dari para prajurit Pajang yang dapat dilihatnya di bawah pohon-pohon yang rindang sepanjang dinding desa. Dan sekali-sekali ia berpaling juga kepada orang-orangnya yang berdiri tegang di samping ikatan-ikatan senjata yang mereka bawa. Matahari yang kini telah melampaui titik pusat itu sama sekali tidak terasa membakar tubuh-tubuh mereka dan memeras keringat mereka.
“Apakah yang terasa janggal itu Ki Gede?” bertanya Sumangkar.
“Kakang Sumangkar, jangan Kakang menganggap bahwa aku terlampau berprasangka,” berkata Ki Gede Pemanahan.
“Di dalam peperangan segala macam siasat dan cara dapat terjadi. Mudah-mudahan Kakang Sumangkar tidak mempergunakan cara yang licik itu. Bahkan terbayang  pun jangan pada angan-angan Kakang sumangkar.” Ki Gede Pemanahan berhenti sejenak, namun kemu-dian diteruskanya,
“Tetapi Kakang, kenapa Kakang tidak terkejut dan heran melihat kehadiranku di sini? Apakah itu bukan hal yang aneh bagi Kakang? Apakah Kakang telah mengetahuinya lebih dulu?”
Sumangkar mengerutkan keningnya. Bahkan matanya kemudian menyorotkan berbagai macam pertanyaan. Bukan saja Ki Gede Pemanahan yang heran melihat sikap Sumangkar menilai kehadirannya, tetapi Sumangkar  pun heran mendengar pertanyaan Ki Gede Pemanahan itu.
“Ki Gede,” berkata Sumangkar kemudian,
“adakah mengherankan, dan apakah seharusnya aku menjadi terkejut dan heran melihat seorang Senapati Agung, seorang Panglima Prajurit Wira Tamtama berada di garis peperangan? Kalau seorang prajurit berada di garis perang merupakan suatu keanehan, maka alangkah piciknya pengetahuanku kini tentang peperangan.”
Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar jawaban Sumangkar itu. Katanya,
“Kau benar Kakang. Tetapi apakah sudah selayaknya, bahwa Panglima Wira Tamtama harus berada di garis perang pada saat-saat seperti ini? Kalau Kakang menganggap itu wajar, baiklah. Tetapi kenapa Kakang tidak terkejut medengar bahwa di desa ini telah terjadi kebakaran? Mungkin Kakang telah melihat asap yang mengepul tinggi dan api yang menjilat ke udara. Tetapi dari mana Kakang tahu bahwa yang melakukan pembakaran itu Sidanti, Sanakeling dan kawan-kawannya? Dari mana pula Kakang tahu, bahwa telah terjadi pencegatan di bulak jagung yang dilakukan oleh Ki Tambak Wedi? Maafkan Kakang, aku menjadi bercuriga mendengar semuanya itu. Aku menjadi berprasangka, bahwa semuanya telah diatur sebaik-baiknya. Suatu pembagian tugas yang rapi antara Ki Tambak Wedi dan Sumangkar.”
Sumangkar mendengarkan kata-kata itu dengan seksama. Baru kini ia justru menjadi terkejut. Tampak orang itu mengerutkan alisnya, kemudian wajahnya menegang sesaat. Tetapi ternyata hatinya telah benar-benar semeleh. Orang tua itu telah benar-benar meletakkan suatu tekad, bahwa ia sampai sedemikian jauh telah berbuat sebaik-baiknya dalam kemauan yang sebaik-baiknya pula. Karena itu maka sejenak kemudian ia menjadi tenang kembali.
“Pertanyaan Ki Gede Pemanahan adalah pertanyaan yang sewajarnya,” berkata Sumangkar itu kemudian.
“Kecurigaan dan prasangka Ki Gede  pun beralasan. Tetapi perkenankanlah aku mencoba menjelaskan”
“Ki Gede, ketika aku melihat api yang menyala di desa ini, aku menjadi bercuriga. Bukan saja aku sendiri, tetapi hampir seluruh orang-orang Jipang menjadi bimbang. Apakah sebenarnya yang telah terjadi. Apakah api itu suatu pertanda bahwa Pajang membatalkan perjanjian. Maksudku, Pajang membatalkan niatnya untuk menerima kami kembali? karena itulah maka aku mencoba untuk mengetahui apa yang telah terjadi. Ternyata dari balik gerumbul-gerumbul itu aku melihat Sidanti, Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda berlari-lari meninggalkan desa ini. Bukankah dengan demikian menjadi jelas, bahwa yang melakukan pembakaran ini pasti Sidanti dan orang-orangnya? Seterusnya aku menyangka, bahwa di belakang Sidanti pasti ada Tambak Wedi. Dan apakah dugaan itu meleset?”
“Tentang bulak jagung Ki Gede, memang aku telah mendengarnya lebih dahulu sebelum aku bertemu dengan Ki Gede.”
“Dari siapa Kakang mendengar?” bertanya Ki Gede Pemanahan
“Kiai Gringsing.”

Ki Gede Pemanahan mengerutkan keningnya. Nama itu masih asing baginya. Meskipun ia pernah mendengarnya sekali dua kali disebut-sebut oleh Untara, namun nama itu sama sekali tidak mendapat perhatian yang khusus dari padanya. Tetapi Untara, Widura apalagi Agung Sedayu dan Swandaru terkejut mendengar nama itu disebut oleh Sumangkar. Bahkan dengan serta merta Untara bertanya,
“Apakah Kiai Gringsing sekarang berada di sana?”
“Ya,” sahut Sumangkar,
“Kiai Gringsing berada di antara orang-orang Jipang yang akan menyerah.”
“Siapakah orang itu?” bertanya Ki Gede Pemanahan.
“Kiai Gringsing Ki Gede. Seorang dukun dari dukuh Pakuwon. Nama yang dipergunakannya sehari-hari adalah Ki Tanu Metir,” sahut Untara.
Wajah Ki Gede Pemanahan masih berkerut-kerut. Nama Tanu Metir itu  pun tak dikenalnya. Tetapi adalah menarik perhatian bahwa orang yang bernama Ki Tanu Metir itu dapat berada di kedua belah pihak. Maka kembali ia bertanya,
“Untara, apakah dukun yang bernama Ki Tanu Metir itu sering berada di Sangkal Putung dan sering berada di dalam laskar orang-orang Jipang?”
“Tidak Ki Gede,” jawab Untara.
“Dukun tua itu selalu berada di Sangkal Putung. Dukun itu pulalah yang telah menyembuhkan lukaku sampai dua kali. Namun dalam persoalan ini, persoalan penyerahan orang-orang Jipang ini. Ki Tanu Metir-lah yang seolah-olah menjadi perantara. Aku minta orang tua itu membuka jalan antara orang-orang Jipang itu dan Sangkal Putung.”
“Apakah orang itu dapat dipercaya?” bertanya Pemanahan pula.
“Sepengetahuanku Ki Gede, dan menurut tanggapanku maka aku mempercayainya,” jawab Untara.
“Tetapi kenapa ia sekarang berada di sana?”
Untara tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Ia memang mencari orang tua itu sejak ia kembali dari bulak jagung, tetapi ia tidak sempat menemukannya. Ternyata Ki Tanu Metir itu telah berada di antara orang-orang Jipang.
“Ki Gede,” Sumangkar lah yang kemudian menjawab pertanyaan Ki Gede Pemanahan itu,
“Kiai Gringsing datang dengan membawa pertanyaan seperti yang tersimpan di dalam hati Ki Gede. Kiai Gringsing bertanya, kenapa kami telah berbuat curang, mencegat Ki Gede di bulak jagung. Namun kecurigaan Kiai Gringnsing dapat segera terhapus setelah ia melihat persiapan kami. Apalagi Kiai Gringsing sendiri melihat pertentangan pendapat antara aku dan Sanakeling pada saat kami menentukan sikap ini. Dengan demikian maka Kiai Gringsing segera memaklumi, bahwa pasti Ki Tambak Wedi lah yang telah berbuat onar itu dengan maksud-maksud tertentu tanpa sepengetahuanku.”
Kembali wajah Ki Gede menjadi berkerut-kerut. Dicobanya untuk dapat mengerti penjelasan Sumangkar itu. Tetapi karena Ki Gede Pemanahan belum tahu benar tentang orang yang bernama Kiai Gringsing, maka kepada Untara ia bertanya,
“Untara, bagaimanakah tanggapanmu tentang Kiai Gringsing itu? Apakah keterangan Sumangkar tentang orang yang bernama Kiai Gringsing itu dapat kau benarkan, setidak-tidaknya menurut anggapanmu hal itu dapat terjadi atasnya?”

Untara menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi ia harus mengatakan tanggapannya tentang Kiai Gringsing menurut penilaiannya. Maka jawabnya,
“Menurut keadaan yang pernah aku saksikan Ki Gede, maka Kiai Gringsing itu memang mungkin dapat berbuat demikian.”
Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya,
“Kalau kau dapat menganggap bahwa Kiai Gringsing memang dapat berbuat demikian, dan apabila kau percaya kepada Kiai Gringsing, maka aku dapat mempercayai sebagian besar dari ceritera Kakang Sumangkar.”
Sumangkar menarik nafas dalam-dalam, seolah-olah ia kini telah dibebaskan dari sebuah hukuman yang mengerikan. Namun dalam pada itu kembali ia mendengar Ki Gede Pemanahan bertanya pula kepadanya,
“Tetapi apakah kau benar-benar dapat melihat Sidanti dan Sanakeling berlari-lari dari gerumbul sejauh itu?”
“Tidak Ki Gede,” jawab Sumangkar.
“Aku tidak melihat dari jarak itu. Tetapi aku menyelinap ke gerumbul-gerumbul yang lebih dekat di sebelah desa ini,” Sumangkar berhenti sejenak, kemudian dilanjutkannya,
“Kiai Gringsing juga ikut serta melihatnya, dan Kiai Gringsing membenarkan penglihatanku bahwa orang yang berlari-lari dari desa ini adalah Sidanti.”
Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian kepada Untara dan Widura ia bertanya,
“Untara dan Widura yang memegang tanggung jawab sepenuhnya atas Sangkal Putung, bagaimana pertimbanganmu?”
Kembali dada Untara dan Widura dilanda oleh ke ragu-raguan. Tetapi kembali mereka berkata seperti kata hati mereka,
“Ki Gede, kami dapat mempercayainya sampai sekian.”
Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya kepada Sumangkar,
“Mana orang-orangmu yang lain? Apakah kau hanya akan menyerah dengan duapuluh lima orang ini?”
“Tidak Ki Gede,” sahut sumangkar.
“Berdasarkan berbagai pertimbangan, menurut Kiai Gringsing, yang ternyata aku temui, yaitu kecurigaan para pemimpin Pajang atas diri kami, maka aku mengambil sikap seperti yang dikehendaki oleh Kiai Gringsing, untuk meyakinkan para pemimpin Pajang atas kehendak baik kami. Kami datang bersama-sama senjata-senjata kami. Sesudah itu, maka segera akan menyusul orang-orang kami apabila segala kesalahpahaman sudah di atasi.”

Sekali lagi Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia tertarik benar kepada orang yang menyebut dirinya Kiai Gringsing. Ia ingin bertemu dan berbincang tentang beberapa hal dengan orang itu. Apa yang didengarnya dari Sumangkar dan Untara seolah-olah telah memberikan kepadanya gambaran tentang seorang dukun tua yang memiliki beberapa kelebihan dalam menanggapi berbagai persoalan. Bahkan orang tua itu telah dengan cepat dapat mengambil sikap untuk menyelamatkan rencana penyerahan yang akan dilakukan oleh orang-orang Jipang.
“Kakang Sumangkar,” berkata Ki Gede Pemanahan itu pula.
“Telah sampai saatnya Kakang membawa orang-orang Kakang itu kemari. Apakah Kiai Gringsing akan kembali ke Sangkal Putung bersama dengan orang-orang Jipang?”
Sumangkar mengerutkan keningnya. Jawabnya,
“Aku tidak tahu Ki Gede. Aku tidak tahu apakah Kiai Gringsing akan bersama-sama dengan kami.”
“Baik. Kalau demikian, datanglah bersama laskarmu,” berkata Ki Gede Pemanahan.
“Terima kasih Ki Gede. Aku akan kembali menjemput mereka di belakang gerumbul-gerumbul itu. Mereka menunggu apakah mereka dapat datang tanpa kesulitan.”
“Kami telah berjanji,” berkata Ki Gede,
“Kalau kalian tidak berbuat sesuatu, maka kami akan menepati janji itu.”
“Terima kasih Ki Gede,” sahut Sumangkar sambil membungkukkan badannya.
“Kini perkenankanlah aku menjemput orang-orang kami.”
“Silahkan Kakang.”
Sumangkar itu  pun kemudian melangkah beberapa langkah mundur. Ia masih melayangkan pandangan matanya beredar pada dinding-dinding halaman desa Benda yang kecil. Ia melihat ujung-ujung tombak dan pedang di balik dinding-dinding itu. Dan di sana-sini ia melihat prajurit Pajang bertebaran dalam kelompok kecil di luar dinding.”
Kemudian setelah ia memutar tubuhnya ia berkata kepada orang-orang Jipang yang masih berdiri di samping onggokan senjata yang mereka bawa,
“Kalian tetap di sini. Aku akan menjemput kawan-kawan kalian.”
Orang-orang itu  pun mengangguk sambil menyahut,
“Baik, Kiai.”

Sumangkar  pun segera berjalan tergesa-gesa meninggalkan orang-orangnya yang berdiri tegang kaku. Seolah-olah mereka jadi membeku. Tak seorang  pun yang berani menggerakkan ujung jarinya sekalipun. Orang-orang Sangkal Putung dan para prajurit Pajang memandangi orang-orang itu dengan sorot mata yang aneh. Bahkan salah seorang anak muda Sangkal Putung bergumam lirih,
“Hem. Berapa orang anak-anak muda Sangkal Putung yang pernah dilukai oleh mereka, dan bahkan dibunuhnya.”
Kawannya yang berdiri di sampingnya berpaling. Perlahan-lahan ia mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Kenapa kita tidak menghancurkan mereka itu saja di sarang mereka?”
Kawannya yang lain menyahut,
“Sungguh menyenangkan. Sesudah tangannya berlumuran darah kami, mereka datang untuk berjabat tangan dengan tangan-tangan kami. Dan kami  pun harus menyambut uluran tangan berdarah itu. Huh.”
Anak-anak muda Sangkal Putung itu  pun kemudian terdiam ketika mereka melihat seorang prajurit Pajang berjalan di belakang mereka. Kini mereka berdiri mematung di dalam pagar batu yang membatasi desa Benda. Mereka masih melihat Sumangkar itu  pun hilang di balik gerumbul-gerumbul yang rimbun. Ketika salah seorang dari mereka ingin berkata pula, maka ia  pun terdiam ketika ia melihat Ki Gede Pemanahan melangkah maju mendekati orang-orang Jipang yang berdiri kaku di samping onggokan-onggokan senjata mereka.
“He,” berkata Ki Gede Pemanahan kepada salah seorang dari mereka,
“Siapa namamu?”
Orang itu menjadi berdebar-debar. Tergagap ia menjawab,
“Suradapa. Suradapa Ki Gede.”
Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya sambil mengulangi nama itu.
“Suradapa. Nama itu bagus sekali,” orang Jipang itu menundukkan kepalanya.
“Apakah kau sudah beristeri?”
“Sudah Ki Gede.”
“Berapakah anakmu?”
“Waktu aku tinggalkan isteriku, anakku ada delapan Ki Gede,” orang itu berhenti sejenak, lalu meneruskan,
“Sekarang mungkin anakku telah menjadi sepuluh”
“He?” Ki Gede terkejut,
“Berapa lama kau meninggalkan isterimu. Apakah isterimu beranak kembar?”
“Tidak, Ki Gede.”
“Kenapa bertambah dengan dua sekaligus?”
“Isteriku sama-sama sedang mengandung tua pada saat aku pergi”
“Berapa isterimu?”
“Dua, Ki Gede.”

Ki Gede Pemanahan terseyum. Ditepuknya bahu orang Jipang itu sambil berkata,
“Hem. Kau terlampau kurus untuk beristeri dua. Tetapi kau memang kaya akan anak. Tetapi kenapa kau menyerah?”
Orang itu menundukkan kepalanya. Ia mendapat kesulitan untuk menjawab pertanyaan itu. Ya, kenapa ia menyerah? Ia mendengar Sumangkar berkata, bahwa pertempuran-pertempuran yang akan terjadi kemudian hampir tak akan berarti apa-apa, selain kerusuhan, pembunuhan dan penaburan benih-benih dendam di mana-mana. Karena itu ia mencoba menirukan kata-kata Sumangkar.
“Ki Gede,” tetapi ia tidak ingat kalimat-kalimat yang harus diucapkannya. Maka ia meneruskan,
“Aku kepingin melihat anak-anakku dan kedua bayi yang belum pernah aku lihat.”
Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Apakah tanpa menyerahkan diri, kau tidak dapat melihat anak-anakmu itu.”
Orang itu menggeleng.
“Tidak Ki Gede,” jawabnya,
“Desa kami sudah dikuasai oleh prajurit Pajang.”
“Kalau demikian, apakah sesudah kau berhasil melihat anak-anakmu kau akan kembali melarikan diri memihak kenada Sanakeling dan Sidanti?”
“Tidak Ki Gede, tidak,” sahutnya cepat-cepat.
“Aku akan tetap menyerah untuk seterusnya, sebab aku tidak ingin lagi berperang. Aku sudah jemu berkeliling dari satu tempat ke tempat yang lain, dari satu hutan ke hutan yang lain. Aku sudah jemu mengalami masa yang pahit itu. Makan dari hasil rampasan dan pemerasan.”
“Bagaimana kalau kau memenangkan peperangan ini?” tiba-tiba terdengar pertanyaan yang tidak disangka-sangkanya. Pertanyaan yang tidak tahu bagaimana ia harus menjawabnya. Karena itu maka orang Jipang itu menjadi pucat dan gemetar.
“Bagaimana kalau kau menangkan peperangan ini,” desak Ki Gede Pemanahan,
“Apakah aku akan kau gantung, kau cincang atau kau angkat menjadi pepatih Jipang?”
Orang itu menjadi semakin pucat. Ia tidak tahu bagaimana ia menjawab. Keringatnya tiba-tiba semakin banyak membasahi tubuhnya, tetapi keringat yang dingin. Beberapa orang anak muda Sangkal Putung mendengarkan percakapan itu dari sudut desa. Mereka sengaja memerlukan memperhatikan setiap patah kata yang diucapkan oleh Ki Gede Pemanahan dan jawaban yang diucapkan oleh orang-orang Jipang itu. Tetapi orang Jipang itu masih belum menjawab. Kepalanya semakin tunduk dalam-dalam dan dadanya serasa menjadi kian sesak.
“Suradapa,” berkata Ki Gede Pemanahan,
“sebelum Adipati Jipang memenangkan perang ini, ia telah melakukan serangkaian pembunuhan-pembunuhan untuk menyingkirkan lawan-lawannya yang mungkin akan menjadi perintangnya menuju ke Singgasana Demak. Meskipun aku tahu, bahwa pengaruh pengikut-pengikutnya banyak mendorongnya melakukan perbuatan yang tidak terpuji itu. Nah, apakah kira-kira yang akan dilakukan kalau ia kemudian benar-benar menguasai Demak? Adipati Pajang pasti akan terbunuh. Aku, Ki Juru Mertani, Ki Penjawi, Ki Wila, Ki Wuragil dan para senapati prajurit. Bandingkan sikap Adipati Jipang itu dengan sikap Adipati Pajang. Mungkin Arya Penangsang sendiri tidak ingin berbuat demikian. Tetapi kekuasaan-kekuasaan yang ada di bawahnya itulah yang telah menjerumuskannya. Sekarang, Adipati Pajang bersikap lain. Ia tidak menaburkan dendam yang tersimpan di hati. Bahkan ia mencoba mencari jalan supaya pertentangan ini berakhir tanpa pertumpahan darah lebih banyak lagi. Apakah ini dapat kau mengerti dan kau rasakan?”
Orang itu masih menundukkan kepalanya.
“Ya Ki Gede,” suaranya menjadi sesak parau.
“Yang lain bagaimana? Apakah kalian dapat juga mengerti perbedaan itu?”
“Ya Ki Gede,” hampir serentak mereka menjawab.
“Kalau begitu, tularkan pengertian itu kepada kawan-kawanmu. Kepada keluargamu, kepada siapa saja yang kau temui. Supaya mereka dapat menilai keadaan sebaik-baiknya. Tetapi ingat, bahwa ini bukan berarti melepaskan setiap hukuman bagi yang bersalah, tapi hukuman itu pasti akan berlandaskan pada dasar yang kuat dan adil.”

Orang Jipang itu dapat memahami sepenuhnya kata-kata Ki Gede Pemanahan. Ia pernah mendengar pula ucapan-ucapan seperti itu dari pemimpin-pemimpinnya. Ia tidak akan menyesal akan hukuman yang harus di jalani. Tetapi ia tahu pasti kapan hukumannya itu akan berakhir. Dan ia tahu pasti, bahwa menilik sikap dan perbuatan para pemimpin prajurit Pajang, maka setiap hukuman pasti akan dilakukan di atas dasar-dasar perikemanusiaan yang adil dan tidak melanggar pancaran sinar cinta kasih dari Tuhan yang Maha Besar.
“Ya Tuhan Maha Besar dan Maha Murah,” orang Jipang itu terkejut mendengar suara angan-angannya sendiri. Sudah terlampau lama ia tidak sempat mengucapkannya. Tiba-tiba kalimat itu diulang-ulangnya di dalam hati,
“Tuhan Maha Besar dan Maha Murah” dan hatinya  pun menjadi tenteram. Seandainya orang-orang Pajang ingkar janji, memotong kepala mereka seperti menebas ilalang karena mereka sudah tidak bersenjata, maka kini ia telah menemukan ke-damain abadi di dalam dirinya.
“Tuhan Maha Besar dan Maha Murah.”
Orang Jipang itu mengangkat kepalanya ketika ia mendengar Ki Gede Pemanahan bertanya,
“Kenapa kau tepekur? Apakah kau menyesal mendengar bahwa kau harus bertanggung jawab atas semua perbuatanmu berdasarkan hukum yang berlaku?”
Orang itu menggelengkan kepalanya. Ketika ia mengangkat wajahnya Ki Gede Pemanahan menjadi heran. Wajah itu telah menjadi berbeda benar dengan wajah sebelumnya. Dengan tatag dan teguh ia menjawab,
“Tidak Ki Gede. Aku akan melakukan setiap hukuman. Hukuman kerja paksa atau pun kami sekeluarga harus menyingkir dari Demak untuk tinggal di daerah-daerah terpencil. Di hutan-hutan Mentaok atau di hutan-hutan sekitar Pati, Kami tidak akan selak meskipun kami akan dihukum mati.”
“He?,” berkata Ki Gede Pemanahan heran.
“Sikapmu tiba-tiba berubah. Apakah yang terjadi di dalam dirimu?”
“Aku menemukan ketenangan di dalam menyebut nama Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, Tuhan Yang Maha Besar dan Maha Murah.”
Ki Gede Pemanahan menepuk bahu orang Jipang itu. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata,
“Kau telah menemukan sumber hidupmu kembali. Genggamlah kedamaian itu di dalam hatimu. Jangan terlepas kembali. Kalau kau mampu menuangkan kedamaian hatimu itu kepada kawan-kawanmu, maka kau akan mendapat kebahagiaan berlipat-lipat.”
“Ya Ki Gede, mudah-mudahan aku mampu melakukannya.”

Yang mendengar percakapan itu, Untara, Widura, bahkan orang-orang Jipang yang lain dan para pemimpin Pajang, menjadi terharu. Orang ini ternyata tidak saja memilih jalan yang dikehendaki oleh pimpinan prajurit Pajang untuk segera menyelesaikan persengketaan yang terjadi dan tersebar di mana-mana, tetapi ia telah menemukan dirinya sebagai manusia yang berada di antara manusia yang lain. Manusia yang merasa dirinya berada di dalam lingkungannya sendiri. Lingkungan yang berasal dari sumber yang sama. Tetapi bukan saja mereka, orang-orang Jipang itu yang seakan menemukan ketetapan hati dalam kedamaian yang abadi apabila mereka dapat mempertahankan nama Tuhan Yang Maha Esa di dalam hatinya, namun tiba-tiba orang-orang Sangkal Putung yang tidak henti-hentinya mengumpat-umpat itu  pun terhenti pula. Tiba-tiba pula mereka merasakan sesuatu bergetar di dalam hatinya.
“Apakah arti dari sikap ini,” desis mereka di dalam hati masing-masing. Tiba-tiba mereka menjadi malu sendiri. Seolah-olah merekalah yang kini mempertahankan supaya peperangan tetap berlangsung terus. Supaya pepati masih bertambah-tambah setiap hari. Namun tiba-tiba mereka dihadapkan pada suatu sikap yang jernih dari pemimpin tertinggi Wira Tamtama dan hadirnya sinar terang di dalam diri orang-orang Jipang itu.
Bukan sekedar menyerahkan diri karena tidak lagi mampu untuk melawan kekuatan Pajang yang setiap hari menekan mereka, tetapi kini mereka menemukan sumber yang lebih tinggi dari pada sikap yang mereka ambil. Hakekat dari penghentian perlawanan, bukan saja karena alasan-alasan lahiriah semata-mata.
Ki Gede Pemanahan tidak berbicara lagi. Ketika ia memandang ke arah gerumbul-gerumbul liar di hadapannya, maka dilihatnya sebuah barisan yang menyeruak keluar dari balik gerumbul jarak kepyar yang menjadi lebat. Barisan itu adalah barisan orang-orang Jipang.
Panglima Wira Tamtama itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia melihat bahwa mereka sudah tidak bersenjata lagi. Orang-orang Sangkal Putung dan para prajurit Pajang  pun melihat pula, bahwa mereka datang dalam barisan yang teratur tanpa senjata di tangan. Dengan demikian, maka ketegangan yang menekan dada masing-masing tiba-tiba terasa mengendor. Terasa bahwa orang-orang Jipang itu sebenarnyalah berkehendak atas kebulatan tekad mereka, untuk menyerahkan diri. Bukan hanya sekedar permainan jebakan yang licik. Bahkan menurut persetujuan yang telah dibuat, mereka akan datang dengan senjata masih di tangan. Mereka baru akan mengumpulkan senjata itu di hadapan para pemimpin prajurit Pajang dan Sangkal Putung. Tetapi kini mereka datang dengan tangan hampa. Untara berpaling ketika ia mendengar langkah di belakangnya. Ki Demang Sangkal Putung dan beberapa orang pemimpin laskar Sangkal Putung datang kepadanya. Didengarnya Ki Demang berbisik,
“Mereka sudah tidak bersenjata.”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Desisnya perlahan-lahan,
“Itu adalah sikap yang terpuji. Ternyata Kiai Gringsing memegang peranan pula atas sikap orang-orang Jipang itu.”

Sambil memandang barisan yang semakin lama menjadi semakin dekat Ki demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia tidak berbicara lagi. Wajah-wajah para pemimpin prajurit Pajang, para pemimpin laskar Sangkal Putung, bahkan semuanya yang berada di tempat itu, menjadi tegang. Mereka melihat derap langkah yang tetap dan tidak ragu-ragu. Sebenarnya orang-orang Jipang itu  pun kini tidak ragu-ragu lagi. Apalagi setelah mereka mendengar, bahwa Panglima Wira Tamtama sendiri telah hadir. Ki Gede Pemanahan, Panglima Wira Tamtama itu memandangi barisan itu dengan hati yang berdebar-debar. Sekali-sekali ia berpaling memandangi wajah Untara yang tegang. Semula kepercayaan Ki Gede Pemanahan terhadap Untara seolah-olah jauh menjadi susut. Tetapi setelah ia melihat orang-orang Jipang dalam barisan itu, maka kepercayaannya tumbuh kembali. Dalam keadaan itu, maka Ki Gede Pemanahan segera dapat membuat perhitungan, bahwa Ki Tambak Wedi pasti akan menjadi musuh yang lebih berbahaya daripada Tohpati. Musuh yang bertindak terlampau cepat, mendahului semua perhitungan Untara dan Widura. Pada saat-saat mereka melawan Macan Kepatihan, maka Untara dan Widura hampir tidak pernah salah hitung. Hampir setiap gerakan Macan Kepatihan itu dapat dipotong oleh Widura dan kemudian Untara. Namun Ki Tambak Wedi dapat bergerak menembus semua perhitungan para Senapati Pajang. Barisan orang-orang Jipang itu  pun menjadi semakin lama semakin dekat. Yang berdiri di ujung barisan itu adalah Sumangkar dan beberapa orang pemimpin yang lain. Pemimpin-pemimpin rendahan yang tidak bersedia ikut beserta Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda. Beberapa puluh langkah dari Ki Gede Pemanahan yang dipayungi oleh bendera kebesarannya, bendera yang memberitahukan bahwa pada saat itu hadir Panglima Wira Tamtama, barisan itu berhenti. Di ujung belakang dari barisan itu masih ada beberapa orang yang membawa senjata di tangan mereka. Tetapi demikian mereka berhenti, maka segera senjata itu mereka kumpulkan bersama-sama. Ketika Sumangkar kemudian melangkah maju mendekati Ki Gede Pemanahan, maka Panglima Wira Tamtama itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Peristiwa itu memang peristiwa yang penting bagi kedua belah pihak. Bagi orang-orang Jipang dan bagi Kadipaten Pajang. Dengan penyerahan itu, maka Pajang akan mendapat kesempatan untuk berbuat lain dari hanya bermain kejar-kejaran dengan sisa-sisa laskar Jipang itu.

Tetapi bagaimanapun juga, terasa pada para prajurit Pajang dan laskar Sangkal Putung, bahwa mereka masih merasakan sentuhan yang pahit di dalam hati mereka. Lawan yang sudah sejak beberapa lama, selalu bertemu dalam medan-medan peperangan, dengan senjata di tangan masing-masing, maka kini mereka melihat orang-orang itu mendekati mereka tanpa gangguan suatu apa. Namun dada orang-orang Jipang itu  pun berdesir ketika mereka melihat kesiapsiagaan para prajurit Pajang dan laskar Sangkal Putung. Mereka melihat ujung-ujung senjata seperti ujung daun ilalang di padang rumput liar. Pada saat-saat lampau mereka  pun pernah datang ke desa ini, tetapi juga dengan senjata di tangan. Tetapi kini mereka datang dengan tangan yang hampa. Kalau terjadi sedikit kesalahpahaman, dan para prajurit Pajang dan laskar Sangkal Putung itu menyerangnya, maka mereka seolah-olah akan menebas batang-batang pisang tanpa perlawanan yang berarti sama sekali. Tetapi menilik sikap Panglima Wira Tamtama maka semuanya akan dapat berlangsung dengan sebaik-baiknya. Demikian pulalah harapan Untara. Ia telah memberanikan diri mengharap kehadiran Ki Gede Pemanahan dengan pengharapan yang serupa itu. Semula ia ragu-ragu akan ketaatan para prajurit Pajang dan laskar Sangkal Putung terhadap keputusan yang diambilnya. Menerima orang-orang Jipang yang menyerahkan diri dengan beberapa bentuk pengampunan. Karena itu, apabila Ki Gede Pemanahan bersedia hadir, akibatnya pasti akan menguntungkan kedua belah pihak. Para prajurit Pajang, sudah tentu tidak akan berani melanggar keputusannya dan orang-orang Jipang  pun akan terpengaruh oleh wibawa panglima itu. Dan kini ternyata semuanya itu telah terjadi. Maka di pinggir desa kecil itu, telah terjadi saat-saat yang penting. Dengan kesungguhan Sumangkar menyatakan janji dan kata-kata penyerahan. Betapa berat perasaan orang tua itu. Namun kata-kata itu harus diucapkannya. Di hadapan Ki Gede Pemanahan, Untara dan Widura. Ki Gede Pemanahan, Untara, Widura, Ki Demang Sangkal Putung, dan para pemimpin yang lain mendengarkan kata-kata Sumangkar itu dengan penuh minat. Setiap patah kata telah menunjukkan kesungguhan hati orang tua itu untuk benar-benar mengakhiri perlawanan.
“Ki Gede Pemanahan,” Sumangkar itu  pun kemudian mengakhiri kata-katanya,
“kami dengan ini menyatakan kesungguhan hati kami untuk menyerahkan diri tanpa syarat apa pun ke hadapan Ki Gede Pemanahan, ke hadapan senapati untuk daerah ini dan kepada pimpinan prajurit Pajang di sangkal Putung beserta para pemimpin kademangan. Kami tidak akan mengingkari kesalahan-kesalahan yang telah kami lakukan sehingga karenanya kami tidak akan menghindarkan diri dari setiap hukuman yang akan diletakkan di atas pundak kami.”
Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia telah mendengar dengan baik semua ucapan Sumangkar. Karena itu maka kemudian ia  pun berkata,
“Penyerahanmu kami terima. Semoga saat ini benar-benar dapat mengakhiri kerusuhan-kerusuhan yang terjadi. Tetapi sayang, bahwa penyerahan ini tidak sempurna. Masih ada beberapa orang dari kalian yang tidak bersedia berbuat seperti ini dan bahkan telah bekerja bersama dengan Ki Tambak Wedi. Tetapi itu bukan kesalahan kalian. Ketahuilah, bahwa terhadap mereka tidak ada pilihan lain kecuali dilenyapkan. Untuk seterusnya akan berlaku, semua persetujuan kalian dengan Senapati Pajang untuk daerah ini, Untara. Semoga Tuhan selalu menerangi hati kita semua. Hati kami, dan hatimu semua.”

Yang berbicara kemudian adalah Untara. Ia hanya menguraikan beberapa segi pelaksanaan. Orang-orang Jipang itu harus tinggal di Benda sebelum mereka dibawa ke Pajang bersama-sama dengan Ki Gede Pemanahan. Dalam pada itu tiba-tiba terdengar Sutawijaya bertanya,
“He, Paman Sumangkar yang suka mengembara, bukankah jalan ini pula yang menuju ke Alas Mentaok?”
Semua yang mendengar pertanyaan Sutawijaya yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan persoalan yang sedang terjadi itu, menjadi heran. Dengan wajah bertanya-tanya mereka hampir serentak berpaling memandangnya.
Ki Gede Pemanahan  pun heran pula mendengar pertanyaan itu, sehingga katanya,
“Apakah kau sedang bermimpi Jebeng?”
“Tidak, Ayah,” sahut Sutawijaya.
“Aku tiba-tiba saja ingin mengetahui, jalan ini akan menuju ke mana.”
“Apakah hubungannya dengan persoalan orang-orang Jipang yang menyerahkan diri dan Pamanmu Sumangkar?”
“Aku hanya ingin bertanya kepada Paman Sumangkar, karena Paman Sumangkar hampir selama ini selalu mengembara berkeliling. Mungkin Paman Sumangkar telah pernah menyelusur jalan ini terus ke Barat.”
Ki Gede Pemanahan menarik nafas panjang-panjang. Ia tahu pikiran apakah yang bergejolak di dalam dada anak itu, Sutawijaya pasti sedang berpikir tentang Alas Mentaok yang pernah dijanjikan oleh Adipati Pajang kepada dirinya, dan tanah Pati bagi kawan seperjuangannya melawan Adipati Jipang pada saat itu. Dan Sutawijaya  pun pasti pernah mendengar janji itu, sehingga tiba-tiba saja ia menyebut tanah Alas Mentaok.
Dalam pada itu terdengar Sumangkar berkata,
“Ya, Ngger. Jalan ini akan sampai ke Alas Mentaok, tetapi jalan terlampau sulit. Beberapa bagian hutan di sebelah Barat itu harus dilampaui. Meskipun hutan ini tidak terlampau lebat, tetapi hutan itu  pun cukup luas. Sekali-sekali Angger akan sampai di pedukuhan-pedukuhan kecil yang terserak-serak. Tetapi tempat-tempat itu hampir tak berarti. Padukuhan kecil dan miskin. Padukuhan yang hampir tidak pernah bersangkut paut dengan pemerintahan karena letak dan keadaan penduduknya. Tetapi agak yang ke sebelah Barat, Angger akan menjumpai daerah yang subur. Daerah yang cukup mempunyai kedudukan di daerah Selatan, Prambanan. Di daerah itu pasti juga sudah dilindungi oleh sepasukan prajurit dari Pajang. Sayang aku tidak tahu, siapakah yang berada di sana. Ki Gede Pemanahan pasti mengetahuinya. Prambanan adalah kademangan yang hampir sekaya Sangkal Putung. Kalau Angger masuk lebih dalam lagi, maka Angger akan sampai ke hutan Tambak Baya, setelah melewati Candi Sari, Cupu Watu, dan beberapa pedukuhan kecil yang lain. Di sebelah Barat hutan Tambak Baya itulah nanti Angger akan menjumpai hutan belukar yang besar, Alas Mentaok.”
“Apakah belum ada pedukuhan sama sekali di sekitar hutan itu Paman?”
“Ada Ngger. Pliridan, Gumawang, Lipura dan hampir di ujung Selatan, dekat pantai lautan terdapat pula daerah yang sudah mulai subur dan ramai, Mangir.”
“Sutawijaya,” potong Ki Gede Pemanahan, “Untuk apa kau ketahui semuanya itu. Aku sendiri pernah menjelajahi hampir setiap sudut yang berada di dalam wilayah Demak. Aku pernah juga sampai ke tempat-tempat yang disebut-sebut oleh Kakang Sumangkar. Tetapi sekarang ini bukanlah saatnya untuk berbicara tentang Alas Mentaok.”

Sutawijaya terdiam mendengar kata-kata ayahnya. Ia menyadari bahwa ayahnya dan para pemimpin prajurit Pajang di Sangkal Putung kini sedang menghadapi tugas yang berat, sehingga pertanyaannya tentang Alas Mentaok pasti hanya akan mengganggu saja. Setelah Sutawijaya tidak bertanya-tanya lagi, maka segala sesuatu segera mulai dipersiapkan. Untara segera mengatur tempat-tempat penampungan orang-orang Jipang itu, sedang Widura mempersiapkan para prajurit Pajang yang harus menjaga padesan kecil ini. Bukan saja menghadapi setiap orang yang mungkin dapat berubah pendirian selama mereka berada dalam penampungan, tetapi juga terhadap setiap usaha Sanakeling dan Sidanti, untuk mengacaukan keadaan. Adalah mungkin sekali mereka tiba-tiba datang dan membuat keributan. Menghasut orang-orang Jipang yang sudah menyerah atau mengancam mereka, sebab mereka kini sudah tidak bersenjata. Ketika upacara penyerahan itu telah selesai, serta segala macam persiapan penampungan telah cukup, maka Ki Gede Pemanahan serta para pemimpin prajurit Pajang dan Sangkal Putung  pun segera bersiap untuk kembali ke induk kademangan. Ki Gede Pemanahan sendiri telah memberikan beberapa pesan khusus bagi para prajurit Pajang yang bertugas menjaga desa terpencil itu. Bagaimana mereka harus menghadapi orang-orang Jipang yang sudah menyerah itu, dan bagaimana mereka harus menghadapi lawan yang masih tetap memandi senjata-senjata mereka apabila mereka benar-benar datang. Untuk kepentingan itu, maka di sekitar Desa Benda telah diletakkan beberapa pengawas yang harus dapat menilai setiap perkembangan keadaan dengan tepat.
Kepada Sumangkar, Ki Gede Pemanahan berpesan,
“Kakang, kalian akan kami tinggalkan. Kakang adalah tetua orang-orang Jipang, Segala sesuatu harus selalu berada dalam pengawasan Kakang. Kakang lah orang satu-satunya yang dapat langsung berhubungan dengan para prajurit Pajang yang sedang bertugas di tempat ini. Apa pun yang kurang serasi menurut penilaian Kakang, maka Kakang akan dapat memberitahukannya kepada para petugas.
“Baik Ki Gede. Kami akan mematuhi perintah itu,” sahut Sumangkar.
Namun ketika Ki Gede Pemanahan akan meninggalkan tempat itu, maka ia masih sempat bertanya kepada Sumangkar,
“Di manakah orang yang menamakan diri Kiai Gringsing itu? Apakah ia tidak turut beserta kalian?”
Sumangkar menggeleng lemah, jawabnya,
“Tidak Ki Gede. Orang yang menyebut dirinya Kiai Gringsing itu tidak bersama kami.”
“Apakah orang itu tidak ingin bertemu dengan aku?
Sumangkar tertegun sejenak. Namun kemudian ia menjawab,
“Tidak Ki Gede. Ternyata Kiai Gringsing belum ingin bertemu dengan Ki Gede Pemanahan.”

Ki Gede Pemanahan mengerutkan keningnya. Ia menjadi semakin tertarik kepada nama itu. Kiai Gringsing yang sehari-hari disebut Ki Tanu Metir. Seorang dukun yang cakap mengobati berbagai macam penyakit.
“Baiklah,” berkata Ki Gede Pemanahan.
“Lain kali aku mengharap untuk dapat bertemu dengan orang itu.”
“Pesan itu akan aku sampaikan Ki Gede,” sahut Sumangkar.
Dalam pada itu, semua persiapan  pun telah selesai. Ki Gede Pemanahan dan para pemimpin beserta sebagian dari prajurit Pajang dan laskar Sangkal Putung akan kembali ke induk kademangan.
Tetapi Sutawijaya tiba-tiba menggamit Agung Sedayu dan Swandaru Geni. Katanya,
“Kita tinggal di sini.”
“Kenapa?, “bertanya Agung Sedayu.
“Kita pergi ke Alas Mentaok.”
“Apakah yang menarik di Alas Mentaok itu?” bertanya Swandaru.
“Itulah yang ingin aku ketahui.”
“Apakah Tuan mempunyai kepentingan dengan hutan itu?” bertanya Agung Sedayu pula.
Sutawijaya memandang ayahnya dengan sudut matanya. Kemudian katanya perlahan-lahan,
“Tanah itu akan dihadiahkan oleh Adipati Pajang kepada ayah. Aku ingin melihatnya, apakah tanah itu cukup baik untuk dibuka menjadi suatu pedukuhan. Mentaok akan dapat menjadi sebuah tanah perdikan.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukan kepalanya. Tetapi ia pernah mendengar bahwa Mentaok kini masih berupa hutan belantara.
“Aku ikut bersama Tuan,” tiba-tiba Swandaru menyela. Wajahnya yang bulat tampak berseri-seri gembira.
Tetapi wajah Agung Sedayu disaput oleh keragu-raguan hatinya. Sekali-sekali ia memandangi Sutawijaya, namun sesaat kemudian ditatapnya wajah kakaknya yang masih sibuk mengatur barisan bersama pamannya, Widura.
“Aku harus minta ijin Kakang Untara dan Paman Widura lebih dahulu,” berkata Agung Sedayu.
“Uh, kau seperti anak-anak saja,” potong Sutawijaya.
“Bukankah kita sudah cukup dewasa? Kalau aku minta ijin pada ayah mungkin ayah akan melarangnya. Kau pun pasti akan dilarang pula. Karena itu maka kita tidak usah minta ijin.”
“Mereka pasti akan mencari kita,” berkata Agung Sedayu.
“Biarkan saja mereka mencari kita,” sahut Sutawijaya. “Besok atau lusa, kalau kita kembali, maka mereka akan berhenti mencari.”
“Tetapi apakah Ki Gede akan tinggal beberapa lama di sini?” bertanya Agung Sedayu.
Mas Ngabehi Loring Pasar menggelengkan kepalanya.
“Aku tidak tahu. Kalau ayah tergesa-gesa kembali ke Pajang, biarlah ia mendahului.”
Agung Sedayu terdiam sejenak. Hatinya dicekam oleh keragu-raguan.
“Kenapa kau selalu ragu-ragu”?” bertanya Sutawijaya,


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar