“Itukah mereka?”
“Hanya satu
orang,” sahut Ki Gede Pemanahan.
Tapi ternyata
yang kemudian menyeruak dari dalam gerumbul-gerumbul itu tidak hanya satu
orang. Sesaat kemudian kembali mereka melihat seorang yang lain. Disusul orang yang
ketiga dan keempat. Namun yang datang dari balik gerumbul itu sama sekali tidak
seperti yang diharapkan oleh Untara dan para pemimpin Sangkal Putung. Mereka
ternyata tidak lebih dari dua puluh orang.
“Hanya itu?”
terdengar Ki Gede Pemanahan bertanya.
Untara tidak
segera dapat menjawab. Tetapi keringat dinginnya telah melelehi di segenap
permukaan kulitnya.
“Dua puluh
atau dua puluh lima orang,” berkata Ki Gede Pemanahan pula.
“Dua puluh
orang Jipang telah mampu menggerakkan Panglima Wira Tamtama untuk menyambut
kedatangannya.”
Dada Untara
kini benar-benar dipenuhi oleh kegelisahan yang melonjak-lonjak. Kalau yang
datang hanya dua puluh lima orang itu, alangkah malunya. Ki Gede Pemanahan,
Panglima Wira Tamtama itu pun pasti akan
menjadi sangat marah kepadanya, seolah-olah duapuluh lima orang Jipang itu
cukup bernilai untuk memaksa Ki Gede Pemanahan datang ke daerah terpencil ini. Tetapi
ketika kemudian mereka melihat dengan seksama maka mereka melihat sesuatu yang
tidak begitu wajar pada orang-orang Jipang itu. Mereka melihat orang-orang
Jipang itu memanggul sesuatu yang agaknya cukup berat.
“Apakah yang
mereka bawa?” tanya Ki Gede bertanya kembali.
“Aku tidak
tahu Ki Gede,”,” sahut Untara.
Ki Gede
Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian matanya yang tajam
melihat benda yang dipanggul oleh orang-orang Jipang itu. Terdengar ia
bergumam,
“Senjata.
Mereka memanggul senjata di atas pundak-pundak mereka. Kau lihat ujung-ujung
dari senjata-senjata itu? Mereka memanggul tidak hanya sepucuk senjata di atas
pundak masing-masing, tetapi seikat senjata.
Hati Untara
menjadi semakin tegang. Ia tidak tahu kenapa orang-orang Jipang itu memanggul
senjata-senjata mereka yang telah mereka ikat menjadi dua puluh ikat dan mereka
bawa mendahului orang-orang mereka. Untara tidak tahu, apakah yang seterusnya
akan dilakukan oleh orang-orang Jipang itu. Dalam persetujuan mereka, sama
sekali mereka tidak pernah menyatakan bahwa mereka bersedia berbuat demikian.
Namun Untara
tidak dapat berbuat lain daripada menunggu orang-orang itu menjadi semakin
dekat. Untara harus mendapat keterangan dari mereka, apakah yang seterusnya
akan dilakukan oleh orang-orang Jipang itu. Semakin lama orang-orang yang
memanggul bongkokan senjata itu pun
menjadi semakin dekat. Dengan demikian, maka semakin jelas pula tampak, bahwa
senjata yang mereka bawa itu adalah segala macam jenis senjata. Tombak, pedang,
bindi dan sebagainya.
Ketika
orang-orang itu menjadi semakin dekat, maka Untara pun segera melihat, siapakah yang berdiri di
paling depan dari orang-orang Jipang itu. Orang yang justru tidak membawa
sesuatu. Tetapi ialah yang menentukan segala sesuatu atas orang-orang Jipang
itu. Orang itu adalah Sumangkar. Dengan kepala tunduk ia berjalan. Langkahnya
satu-satu seperti orang kehilangan gairah untuk menghadapi hidupnya di
masa-masa mendatang.
Melihat orang
itu Ki Gede Pemanahan menarik keningnya tinggi. Tanpa dikehendakinya sendiri ia
melangkah maju sambil berdesis,
“Kakang
Sumangkar.”
Sumangkar yang
kemudian mengangkat wajahnya melihat Ki Gede Pemanahan itu berjalan ke arahnya,
seolah-olah hendak menyongsongnya. Karena itu maka ia pun segera berhenti sambil membungkukkan
badannya dalam-dalam.
“Kakangmu yang
tidak berharga telah menghadap Ki Gede Pemanahan.”
Ki Gede
Pemanahan menarik nafas dalam-dalam. Sumangkar adalah lawan yang cukup tangguh
sepeninggal Patih Mantahun. Ki Gede Pemanahan tahu benar kemampuan yang
tersimpan pada orang tua itu. Tak ubahnya seperti kemampuan Patih Mantahun
sendiri. Dari Untara Ki Gede Pemanahan sudah mendengar bahwa Sumangkar kini
berada bersama-sama dengan laskar Jipang yang dipimpin oleh Tohpati. Sumangkar lah
orang yang telah berusaha untuk menghentikan perlawanan sepeninggal Macan
Kepatihan. Namun menitik perkembangan keadaan, maka Ki Gede Pemanahan memang
harus berhati-hati. Apakah Sumangkar tidak sedang menjebaknya bersama-sama
dengan Ki Tambak Wedi. Ketika Sumangkar melihat Ki Gede Pemanahan, maka orang
itu seakan-akan tidak merasa terkejut. Apakah ia menganggap bahwa kehadiran Ki
Gede Pemanahan menyambutnya itu adalah sesuatu yang sewajarnya, atau memang ia
sudah mendengar dari Ki Tambak Wedi? Namun dalam keadaan yang bagaimanapun
juga. Ki Gede Pemanahan harus menghadapinya dengan penuh kewaspadaan. Ia tidak
akan kehilangan kewaspadaan hanya karena beberapa bongkok senjata yang dibawa
oleh orang-orang Jipang itu. Ki Gede Pemanahan itu pun kemudian berhenti beberapa langkah di
muka Sumangkar. Untara dan Widura pun kemudian berdiri di kedua sisinya. Di
belakang mereka berderet beberapa orang perwira pengawal Ki Gede Pemanahan. Sejenak
Ki Gede Pemanahan memandangi orang tua itu. Wajahnya yang suram dan matanya
yang cekung menunjukkan bahwa orang itu telah mengalami keadaan yang tidak
menyenangkan hatinya.
“Kau nampak
kurus dan lekas bertambah tua Kakang Sumangkar,” sapa Ki Gede Pemanahan.
Sumangkar
membungkuk hormat sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia menjawab,
“Ya Ki Gede,
aku bukan saja cepat menjadi tua, tetapi sebenarnya aku telah tua.”
Ki Gede
tersenyum. Katanya pula,
“Sebenarnya
Kakang belum terlampau tua. Bukankah umur Kakang tidak terpaut banyak dengan
umurku. Bahkan mungkin kita sebaya?”
“Ya, ya,”
Sumangkar masih mengangguk-anggukkan kepalanya,
“mungkin kita
memang sebaya. Tetapi Ki Gede adalah Panglima Wira Tamtama. Ki Gede hidup dalam
lingkungan yang baik sedang aku hidup di hutan-hutan seperti seekor ayam alas
yang terbang dari satu sarang, hinggap ke sarang yang lain menghindari seekor
musang yang selalu memburunya”
Ki Gede
Pemanahan tertawa.
“Apakah Kakang
sudah jemu?”
Sumangkar
menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya,
“Aku sendiri
sebenarnya tidak pernah merasakan itu sebagai suatu keadaan yang menjemukan Ki
Gede. Aku telah membiasakan diri hidup dalam kesulitan dan penderitaan sejak
aku berguru di Kedung Jati bersama Kakang Mantahun. Juga ketika Kakang Mantahun
menjadi Patih Jipang aku tidak menjadi seorang tumenggung atau senapati perang.
Aku waktu itu adalah seorang abdi kepatihan.”
Ki Gede
Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya,
“Lalu apakah
yang mendorong Kakang mengambil keputusan seperti ini?”
Sumangkar
menarik nafas dalam-dalam. Sekali ia berpaling. Dilihatnya orang-orang Jipang
yang memanggul senjata-senjata mereka, masih berdiri di belakangnya.
“Letakkanlah
senjata-senjata itu,” berkata Sumangkar kepada orang-orang Jipang. Namun
kemudian kepada Ki Gede Pemanahan ia berkata,
“Bukankah
demikian Ki Gede? Apakah senjata-senjata ini boleh kami letakkan di sini?”
Ki Gede berpikir
sejenak, kemudian jawabnya,
“Letakkanlah.”
Orang-orang
Jipang itu segera meletakkan senjata-senjata yang terikat dalam ikatan-ikatan
yang cukup besar.
“Itulah
sebagian besar dari senjata-senjata kami, Ki Gede,” berkata Sumangkar kemudian
kepada Untara ia berkata,
“Kami telah
melakukan sesuatu di luar persetujuan Angger Untara. Tetapi kami yakin, bahwa dengan
demikian, kami telah menegaskan kami untuk menghentikan perlawanan kami.”
Untara tidak
segera menjawab. Ditatapnya wajah Ki Gede Pemanahan sejenak. Seolah-olah ia
menyerahkan segala persoalan kepada Panglima Wira Tamtama itu.
“Hanya inikah
senjata-senjata kalian seluruhnya?” bertanya Ki Gede Pemanahan.
“Ini sebagian
terbesar dari seluruh senjata-senjata kami Ki Gede,” sahut Sumangkar.
“Kenapa tidak
seluruhnya?”
“Kami masih
memerlukan beberapa pucuk senjata di tangan kami,” sahut Sumangkar.
“Kakang tidak
percaya kepada kami?”
“Bukan Ki
Gede, bukan,” jawab orang tua itu cepat-cepat.
“Tetapi kami
masih harus melindungi diri kami dari kebuasan serigala-serigala ke sarang kami
sendiri.”
Ki Gede
Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Namun tiba-tiba ia bertanya
kembali,
“Kakang,
Kakang belum menjawab pertanyaanku. Apakah yang mendorong Kakang Sumangkar
mengambil keputusan ini? Bukankah Kakang tidak pernah mengalami kejemuan dengan
keadaan Kakang selama ini. Hidup di hutan-hutan dan menurut istilah Kakang
sendiri, terbang dari satu sarang hinggap ke sarang yang lain menghindari
musang yang memburunya?”
Sekali lagi
Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan hati-hati ia menyahut,
“Sebenarnya
alasan itu tidak penting bagi Ki Gede. Apa pun yang mendorong kami untuk
menyerahkan diri adalah persoalan kami. Namun meskipun demikian, secara pribadi
aku akan menjawab, sebab Ki Gede sudah bertanya secara pribadi pula.”
“Benar,”
potong Ki Gede,
“tetapi
Sumangkar dalam segala keadaan akan dapat menentukan sikap orang-orang Jipang
itu. Bukankah kakang berkata bahwa kakang sendiri, kakang pribadi tidak pernah
merasakan kejemuan karena keadaan itu? Apakah dengan demikian berarti bahwa
Sumangkar menyerah hanya karena kawan-kawannya menyerah tanpa sesuatu keyakinan
apapun? Atau bahkan dengan suatu keyakinan yang lain?”
Sumangkar
menggelengkan kepalanya. Namun terasa hatinya berdesir mendengar pertanyaan Ki
Gede Pemanahan itu. Dengan hati-hati pula ia menjawab,
“Tidak Ki
Gede. Aku cukup mempunyai keyakinan tentang sikap yang telah aku ambil ini. Dan
sikap itu sama sekali tidak atas landasan kejemuan tentang diriku sendiri.
Bukan karena aku sudah jemu hidup di hutan-hutan dan selalu dikejar-kejar oleh
Angger Untara dan Angger Widura, bukan karena aku sudah jemu karena digigit
nyamuk sebesar kelingking di paya-paya. Tidak Ki Gede. Kalau demikian maka
justru aku menyerah karena putus asa dan tanpa suatu keyakinan apa-apa, selain
keputus-asaan itu. Tetapi aku datang bukan karena itu. Aku memang menyerah
karena jemu. Tetapi aku jemu melihat peperangan. Jemu melihat pertumpahan darah
yang tidak ada henti-hentinya tanpa ujung dan pangkal. Karena kejemuan itulah
maka aku membawa beberapa orang Jipang untuk menyerahkan dirinya kepada Angger
Untara. Ternyata di sini bukan saja ada Angger Untara, namun ada Ki Gede
Pemanahan, Panglima Wira Tamtama.”
“Kalau benar
demikian alangkah menyenangkan,” sahut Ki Gede Pemanahan.
“Tetapi
bagaimana dengan api yang telah membakar beberapa rumah ini? Dan bagaimanakah
dengan orang orangmu di bulak jagung?”
“Pertanyaan Ki
Gede adalah wajar,” berkata Sumangkar dalam nada yang datar.
“Ki Gede pasti
akan terpengaruh oleh api yang menyala di desa ini, seperti kami menjadi
bertanya-tanya di dalam hati kami pula. Kenapa di desa Benda terjadi kebakaran?
Tetapi Angger Untara dan Angger Widura tahu pasti bahwa Sanakeling tidak
sependapat dengan penyerahan ini. Apalagi Sidanti, murid Ki Tambak Wedi. Karena
itu maka mereka telah membuat keributan di desa kecil ini dan bahkan telah
berhasil mencegat Ki Gede di bulak jagung. Tetapi Ki Gede harus dapat
membedakan, bahwa yang melakukannya sama sekali bukanlah orang-orang Jipang
yang telah berjanji untuk menyerah. Mereka adalah orang-orang Jipang yang
berpihak kepada Sanakeling dan Ki Tambak Wedi.”
Tampaklah
wajah Ki Gede Pemanahan berkerut-kerut. Wajah itu tiba-tiba menjadi tegang.
Ketika ia berpaling kepada Untara dan kemudian kepada Widura, maka dilihatnya
wajah kedua pemimpin Prajurit Pajang di Sangkal Putung itu pun menjadi tegang pula.
“Kakang
Sumangkar,” berkata Ki Gede Pemanahan kemudian,
“apakah Kakang
Sumangkar atau setidak-tidaknya orang-orang Kakang tidak melakukan perbuatan
itu?”
“Tidak Ki
Gede, tidak,” jawab Sumangkar.
“Jangan
berbohong, Kakang.”
“Kenapa aku
berbohong? Sekarang Ki Gede dapat melihat, aku telah menepati janjiku. Datang
ke desa kecil ini, bahkan tanpa senjata untuk meyakinkan kesungguhan kami di
hadapan Ki Gede Pemanahan dan Angger Untara dan Widura. Sebab sebenarnya
kami pun dapat mengerti, setelah terjadi
peristiwa itu, maka para pemimpin Pajang akan dapat menjadi ragu-ragu.”
Tiba-tiba
serentak mereka berpaling ketika dari belakang para pengawal Ki Gede Pemanahan
terdengar seseorang berkata,
“Aneh.
Bukankah itu aneh sekali ayah?”
Yang berkata
itu adalah Sutawijaya. Beberapa langkah ia mendesak maju sehingga kemudian ia
berdiri di samping Untara, menghadap ke arah Sumangkar itu pula.
Dada Sumangkar
berdesir melihat anak muda itu. Anak muda itulah yang telah berhasil menyobek
perut Arya Penangsang sehingga ususnya mencuat keluar. Bulu-bulu Sumangkar
tiba-tiba terasa meremang mengenang peperangan itu. Arya Penangsang benar-benar
orang yang keras hati. Meskipun ususnya telah keluar itu telah disangkutkan
pada keris di lambungnya. Kini anak muda itu berdiri di mukanya dengan sebatang
tombak pendek, bukan tombak berlandasan panjang seperti yang dipakainya
bertempur melawan Arya Penangsang.
Sambil
membungkukkan badannya Sumangkar berkata,
“Kau Angger
yang perkasa. Berbahagialah ayahanda mempunyai seorang putera seperti Angger,
dan berbahagialah Adipati Pajang mempunyai prajurit setangkas Tuan.”
“Terima kasih
Paman Sumangkar,” sahut Sutawijaya. Namun sekali lagi ia bertanya kepada
ayahnya,
“Apakah ayah
merasakan keanehan itu?”
Ki Gede
Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Ya, aku
merasakan kejanggalan jawaban Kakang Sumangkar. Untara dan Widura pasti
merasakannya pula.,” Kemudian kepada Sumangkar Ki Gede Pemanahan bertanya,
“Nah, Kakang.
Anakku pun merasakan suatu kejanggalan
pada jawaban-jawaban yang Kakang ucapkan.”
Sumangkar
menarik alisnya tinggi-tinggi, sehingga alis yang sudah mulai berwarna putih
itu pun bergerak-gerak. Sekali
dipandanginya Sutawijaya. Kemudian Untara dan Widura. Sekali-sekali ia
berpaling memandangi beberapa bagian dari para prajurit Pajang yang dapat
dilihatnya di bawah pohon-pohon yang rindang sepanjang dinding desa. Dan
sekali-sekali ia berpaling juga kepada orang-orangnya yang berdiri tegang di
samping ikatan-ikatan senjata yang mereka bawa. Matahari yang kini telah
melampaui titik pusat itu sama sekali tidak terasa membakar tubuh-tubuh mereka
dan memeras keringat mereka.
“Apakah yang
terasa janggal itu Ki Gede?” bertanya Sumangkar.
“Kakang
Sumangkar, jangan Kakang menganggap bahwa aku terlampau berprasangka,” berkata
Ki Gede Pemanahan.
“Di dalam peperangan
segala macam siasat dan cara dapat terjadi. Mudah-mudahan Kakang Sumangkar
tidak mempergunakan cara yang licik itu. Bahkan terbayang pun jangan pada angan-angan Kakang
sumangkar.” Ki Gede Pemanahan berhenti sejenak, namun kemu-dian diteruskanya,
“Tetapi
Kakang, kenapa Kakang tidak terkejut dan heran melihat kehadiranku di sini?
Apakah itu bukan hal yang aneh bagi Kakang? Apakah Kakang telah mengetahuinya
lebih dulu?”
Sumangkar
mengerutkan keningnya. Bahkan matanya kemudian menyorotkan berbagai macam
pertanyaan. Bukan saja Ki Gede Pemanahan yang heran melihat sikap Sumangkar
menilai kehadirannya, tetapi Sumangkar
pun heran mendengar pertanyaan Ki Gede Pemanahan itu.
“Ki Gede,”
berkata Sumangkar kemudian,
“adakah
mengherankan, dan apakah seharusnya aku menjadi terkejut dan heran melihat
seorang Senapati Agung, seorang Panglima Prajurit Wira Tamtama berada di garis
peperangan? Kalau seorang prajurit berada di garis perang merupakan suatu
keanehan, maka alangkah piciknya pengetahuanku kini tentang peperangan.”
Ki Gede
Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar jawaban Sumangkar itu.
Katanya,
“Kau benar
Kakang. Tetapi apakah sudah selayaknya, bahwa Panglima Wira Tamtama harus
berada di garis perang pada saat-saat seperti ini? Kalau Kakang menganggap itu
wajar, baiklah. Tetapi kenapa Kakang tidak terkejut medengar bahwa di desa ini
telah terjadi kebakaran? Mungkin Kakang telah melihat asap yang mengepul tinggi
dan api yang menjilat ke udara. Tetapi dari mana Kakang tahu bahwa yang
melakukan pembakaran itu Sidanti, Sanakeling dan kawan-kawannya? Dari mana pula
Kakang tahu, bahwa telah terjadi pencegatan di bulak jagung yang dilakukan oleh
Ki Tambak Wedi? Maafkan Kakang, aku menjadi bercuriga mendengar semuanya itu.
Aku menjadi berprasangka, bahwa semuanya telah diatur sebaik-baiknya. Suatu
pembagian tugas yang rapi antara Ki Tambak Wedi dan Sumangkar.”
Sumangkar
mendengarkan kata-kata itu dengan seksama. Baru kini ia justru menjadi
terkejut. Tampak orang itu mengerutkan alisnya, kemudian wajahnya menegang
sesaat. Tetapi ternyata hatinya telah benar-benar semeleh. Orang tua itu telah
benar-benar meletakkan suatu tekad, bahwa ia sampai sedemikian jauh telah
berbuat sebaik-baiknya dalam kemauan yang sebaik-baiknya pula. Karena itu maka
sejenak kemudian ia menjadi tenang kembali.
“Pertanyaan Ki
Gede Pemanahan adalah pertanyaan yang sewajarnya,” berkata Sumangkar itu
kemudian.
“Kecurigaan
dan prasangka Ki Gede pun beralasan. Tetapi
perkenankanlah aku mencoba menjelaskan”
“Ki Gede,
ketika aku melihat api yang menyala di desa ini, aku menjadi bercuriga. Bukan
saja aku sendiri, tetapi hampir seluruh orang-orang Jipang menjadi bimbang.
Apakah sebenarnya yang telah terjadi. Apakah api itu suatu pertanda bahwa
Pajang membatalkan perjanjian. Maksudku, Pajang membatalkan niatnya untuk
menerima kami kembali? karena itulah maka aku mencoba untuk mengetahui apa yang
telah terjadi. Ternyata dari balik gerumbul-gerumbul itu aku melihat Sidanti,
Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda berlari-lari meninggalkan desa ini. Bukankah
dengan demikian menjadi jelas, bahwa yang melakukan pembakaran ini pasti
Sidanti dan orang-orangnya? Seterusnya aku menyangka, bahwa di belakang Sidanti
pasti ada Tambak Wedi. Dan apakah dugaan itu meleset?”
“Tentang bulak
jagung Ki Gede, memang aku telah mendengarnya lebih dahulu sebelum aku bertemu
dengan Ki Gede.”
“Dari siapa
Kakang mendengar?” bertanya Ki Gede Pemanahan
“Kiai
Gringsing.”
Ki Gede
Pemanahan mengerutkan keningnya. Nama itu masih asing baginya. Meskipun ia
pernah mendengarnya sekali dua kali disebut-sebut oleh Untara, namun nama itu
sama sekali tidak mendapat perhatian yang khusus dari padanya. Tetapi Untara,
Widura apalagi Agung Sedayu dan Swandaru terkejut mendengar nama itu disebut
oleh Sumangkar. Bahkan dengan serta merta Untara bertanya,
“Apakah Kiai
Gringsing sekarang berada di sana?”
“Ya,” sahut
Sumangkar,
“Kiai
Gringsing berada di antara orang-orang Jipang yang akan menyerah.”
“Siapakah
orang itu?” bertanya Ki Gede Pemanahan.
“Kiai
Gringsing Ki Gede. Seorang dukun dari dukuh Pakuwon. Nama yang dipergunakannya
sehari-hari adalah Ki Tanu Metir,” sahut Untara.
Wajah Ki Gede
Pemanahan masih berkerut-kerut. Nama Tanu Metir itu pun tak dikenalnya. Tetapi adalah menarik
perhatian bahwa orang yang bernama Ki Tanu Metir itu dapat berada di kedua
belah pihak. Maka kembali ia bertanya,
“Untara,
apakah dukun yang bernama Ki Tanu Metir itu sering berada di Sangkal Putung dan
sering berada di dalam laskar orang-orang Jipang?”
“Tidak Ki
Gede,” jawab Untara.
“Dukun tua itu
selalu berada di Sangkal Putung. Dukun itu pulalah yang telah menyembuhkan
lukaku sampai dua kali. Namun dalam persoalan ini, persoalan penyerahan
orang-orang Jipang ini. Ki Tanu Metir-lah yang seolah-olah menjadi perantara.
Aku minta orang tua itu membuka jalan antara orang-orang Jipang itu dan Sangkal
Putung.”
“Apakah orang
itu dapat dipercaya?” bertanya Pemanahan pula.
“Sepengetahuanku
Ki Gede, dan menurut tanggapanku maka aku mempercayainya,” jawab Untara.
“Tetapi kenapa
ia sekarang berada di sana?”
Untara tidak
dapat menjawab pertanyaan itu. Ia memang mencari orang tua itu sejak ia kembali
dari bulak jagung, tetapi ia tidak sempat menemukannya. Ternyata Ki Tanu Metir
itu telah berada di antara orang-orang Jipang.
“Ki Gede,”
Sumangkar lah yang kemudian menjawab pertanyaan Ki Gede Pemanahan itu,
“Kiai
Gringsing datang dengan membawa pertanyaan seperti yang tersimpan di dalam hati
Ki Gede. Kiai Gringsing bertanya, kenapa kami telah berbuat curang, mencegat Ki
Gede di bulak jagung. Namun kecurigaan Kiai Gringnsing dapat segera terhapus
setelah ia melihat persiapan kami. Apalagi Kiai Gringsing sendiri melihat
pertentangan pendapat antara aku dan Sanakeling pada saat kami menentukan sikap
ini. Dengan demikian maka Kiai Gringsing segera memaklumi, bahwa pasti Ki
Tambak Wedi lah yang telah berbuat onar itu dengan maksud-maksud tertentu tanpa
sepengetahuanku.”
Kembali wajah
Ki Gede menjadi berkerut-kerut. Dicobanya untuk dapat mengerti penjelasan
Sumangkar itu. Tetapi karena Ki Gede Pemanahan belum tahu benar tentang orang
yang bernama Kiai Gringsing, maka kepada Untara ia bertanya,
“Untara,
bagaimanakah tanggapanmu tentang Kiai Gringsing itu? Apakah keterangan
Sumangkar tentang orang yang bernama Kiai Gringsing itu dapat kau benarkan,
setidak-tidaknya menurut anggapanmu hal itu dapat terjadi atasnya?”
Untara menjadi
ragu-ragu sejenak. Tetapi ia harus mengatakan tanggapannya tentang Kiai
Gringsing menurut penilaiannya. Maka jawabnya,
“Menurut
keadaan yang pernah aku saksikan Ki Gede, maka Kiai Gringsing itu memang
mungkin dapat berbuat demikian.”
Ki Gede Pemanahan
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya,
“Kalau kau
dapat menganggap bahwa Kiai Gringsing memang dapat berbuat demikian, dan
apabila kau percaya kepada Kiai Gringsing, maka aku dapat mempercayai sebagian
besar dari ceritera Kakang Sumangkar.”
Sumangkar
menarik nafas dalam-dalam, seolah-olah ia kini telah dibebaskan dari sebuah
hukuman yang mengerikan. Namun dalam pada itu kembali ia mendengar Ki Gede Pemanahan
bertanya pula kepadanya,
“Tetapi apakah
kau benar-benar dapat melihat Sidanti dan Sanakeling berlari-lari dari gerumbul
sejauh itu?”
“Tidak Ki
Gede,” jawab Sumangkar.
“Aku tidak
melihat dari jarak itu. Tetapi aku menyelinap ke gerumbul-gerumbul yang lebih
dekat di sebelah desa ini,” Sumangkar berhenti sejenak, kemudian dilanjutkannya,
“Kiai
Gringsing juga ikut serta melihatnya, dan Kiai Gringsing membenarkan
penglihatanku bahwa orang yang berlari-lari dari desa ini adalah Sidanti.”
Ki Gede
Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian kepada Untara dan Widura ia
bertanya,
“Untara dan
Widura yang memegang tanggung jawab sepenuhnya atas Sangkal Putung, bagaimana
pertimbanganmu?”
Kembali dada
Untara dan Widura dilanda oleh ke ragu-raguan. Tetapi kembali mereka berkata
seperti kata hati mereka,
“Ki Gede, kami
dapat mempercayainya sampai sekian.”
Ki Gede
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya kepada Sumangkar,
“Mana
orang-orangmu yang lain? Apakah kau hanya akan menyerah dengan duapuluh lima
orang ini?”
“Tidak Ki
Gede,” sahut sumangkar.
“Berdasarkan
berbagai pertimbangan, menurut Kiai Gringsing, yang ternyata aku temui, yaitu
kecurigaan para pemimpin Pajang atas diri kami, maka aku mengambil sikap
seperti yang dikehendaki oleh Kiai Gringsing, untuk meyakinkan para pemimpin
Pajang atas kehendak baik kami. Kami datang bersama-sama senjata-senjata kami.
Sesudah itu, maka segera akan menyusul orang-orang kami apabila segala
kesalahpahaman sudah di atasi.”
Sekali lagi Ki
Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia tertarik benar kepada
orang yang menyebut dirinya Kiai Gringsing. Ia ingin bertemu dan berbincang
tentang beberapa hal dengan orang itu. Apa yang didengarnya dari Sumangkar dan
Untara seolah-olah telah memberikan kepadanya gambaran tentang seorang dukun
tua yang memiliki beberapa kelebihan dalam menanggapi berbagai persoalan.
Bahkan orang tua itu telah dengan cepat dapat mengambil sikap untuk
menyelamatkan rencana penyerahan yang akan dilakukan oleh orang-orang Jipang.
“Kakang
Sumangkar,” berkata Ki Gede Pemanahan itu pula.
“Telah sampai
saatnya Kakang membawa orang-orang Kakang itu kemari. Apakah Kiai Gringsing
akan kembali ke Sangkal Putung bersama dengan orang-orang Jipang?”
Sumangkar mengerutkan
keningnya. Jawabnya,
“Aku tidak
tahu Ki Gede. Aku tidak tahu apakah Kiai Gringsing akan bersama-sama dengan
kami.”
“Baik. Kalau
demikian, datanglah bersama laskarmu,” berkata Ki Gede Pemanahan.
“Terima kasih
Ki Gede. Aku akan kembali menjemput mereka di belakang gerumbul-gerumbul itu.
Mereka menunggu apakah mereka dapat datang tanpa kesulitan.”
“Kami telah berjanji,”
berkata Ki Gede,
“Kalau kalian
tidak berbuat sesuatu, maka kami akan menepati janji itu.”
“Terima kasih
Ki Gede,” sahut Sumangkar sambil membungkukkan badannya.
“Kini
perkenankanlah aku menjemput orang-orang kami.”
“Silahkan
Kakang.”
Sumangkar
itu pun kemudian melangkah beberapa
langkah mundur. Ia masih melayangkan pandangan matanya beredar pada
dinding-dinding halaman desa Benda yang kecil. Ia melihat ujung-ujung tombak
dan pedang di balik dinding-dinding itu. Dan di sana-sini ia melihat prajurit
Pajang bertebaran dalam kelompok kecil di luar dinding.”
Kemudian
setelah ia memutar tubuhnya ia berkata kepada orang-orang Jipang yang masih
berdiri di samping onggokan senjata yang mereka bawa,
“Kalian tetap
di sini. Aku akan menjemput kawan-kawan kalian.”
Orang-orang
itu pun mengangguk sambil menyahut,
“Baik, Kiai.”
Sumangkar pun segera berjalan tergesa-gesa meninggalkan
orang-orangnya yang berdiri tegang kaku. Seolah-olah mereka jadi membeku. Tak
seorang pun yang berani menggerakkan
ujung jarinya sekalipun. Orang-orang Sangkal Putung dan para prajurit Pajang
memandangi orang-orang itu dengan sorot mata yang aneh. Bahkan salah seorang
anak muda Sangkal Putung bergumam lirih,
“Hem. Berapa
orang anak-anak muda Sangkal Putung yang pernah dilukai oleh mereka, dan bahkan
dibunuhnya.”
Kawannya yang
berdiri di sampingnya berpaling. Perlahan-lahan ia mengangguk-anggukkan
kepalanya,
“Kenapa kita
tidak menghancurkan mereka itu saja di sarang mereka?”
Kawannya yang
lain menyahut,
“Sungguh
menyenangkan. Sesudah tangannya berlumuran darah kami, mereka datang untuk
berjabat tangan dengan tangan-tangan kami. Dan kami pun harus menyambut uluran tangan berdarah
itu. Huh.”
Anak-anak muda
Sangkal Putung itu pun kemudian terdiam
ketika mereka melihat seorang prajurit Pajang berjalan di belakang mereka. Kini
mereka berdiri mematung di dalam pagar batu yang membatasi desa Benda. Mereka
masih melihat Sumangkar itu pun hilang
di balik gerumbul-gerumbul yang rimbun. Ketika salah seorang dari mereka ingin
berkata pula, maka ia pun terdiam ketika
ia melihat Ki Gede Pemanahan melangkah maju mendekati orang-orang Jipang yang
berdiri kaku di samping onggokan-onggokan senjata mereka.
“He,” berkata
Ki Gede Pemanahan kepada salah seorang dari mereka,
“Siapa
namamu?”
Orang itu
menjadi berdebar-debar. Tergagap ia menjawab,
“Suradapa.
Suradapa Ki Gede.”
Ki Gede
Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya sambil mengulangi nama itu.
“Suradapa.
Nama itu bagus sekali,” orang Jipang itu menundukkan kepalanya.
“Apakah kau
sudah beristeri?”
“Sudah Ki Gede.”
“Berapakah
anakmu?”
“Waktu aku
tinggalkan isteriku, anakku ada delapan Ki Gede,” orang itu berhenti sejenak,
lalu meneruskan,
“Sekarang
mungkin anakku telah menjadi sepuluh”
“He?” Ki Gede
terkejut,
“Berapa lama
kau meninggalkan isterimu. Apakah isterimu beranak kembar?”
“Tidak, Ki
Gede.”
“Kenapa
bertambah dengan dua sekaligus?”
“Isteriku
sama-sama sedang mengandung tua pada saat aku pergi”
“Berapa
isterimu?”
“Dua, Ki
Gede.”
Ki Gede
Pemanahan terseyum. Ditepuknya bahu orang Jipang itu sambil berkata,
“Hem. Kau
terlampau kurus untuk beristeri dua. Tetapi kau memang kaya akan anak. Tetapi
kenapa kau menyerah?”
Orang itu
menundukkan kepalanya. Ia mendapat kesulitan untuk menjawab pertanyaan itu. Ya,
kenapa ia menyerah? Ia mendengar Sumangkar berkata, bahwa
pertempuran-pertempuran yang akan terjadi kemudian hampir tak akan berarti
apa-apa, selain kerusuhan, pembunuhan dan penaburan benih-benih dendam di
mana-mana. Karena itu ia mencoba menirukan kata-kata Sumangkar.
“Ki Gede,”
tetapi ia tidak ingat kalimat-kalimat yang harus diucapkannya. Maka ia
meneruskan,
“Aku kepingin
melihat anak-anakku dan kedua bayi yang belum pernah aku lihat.”
Ki Gede
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Apakah tanpa
menyerahkan diri, kau tidak dapat melihat anak-anakmu itu.”
Orang itu
menggeleng.
“Tidak Ki
Gede,” jawabnya,
“Desa kami
sudah dikuasai oleh prajurit Pajang.”
“Kalau
demikian, apakah sesudah kau berhasil melihat anak-anakmu kau akan kembali
melarikan diri memihak kenada Sanakeling dan Sidanti?”
“Tidak Ki Gede,
tidak,” sahutnya cepat-cepat.
“Aku akan
tetap menyerah untuk seterusnya, sebab aku tidak ingin lagi berperang. Aku
sudah jemu berkeliling dari satu tempat ke tempat yang lain, dari satu hutan ke
hutan yang lain. Aku sudah jemu mengalami masa yang pahit itu. Makan dari hasil
rampasan dan pemerasan.”
“Bagaimana
kalau kau memenangkan peperangan ini?” tiba-tiba terdengar pertanyaan yang
tidak disangka-sangkanya. Pertanyaan yang tidak tahu bagaimana ia harus
menjawabnya. Karena itu maka orang Jipang itu menjadi pucat dan gemetar.
“Bagaimana
kalau kau menangkan peperangan ini,” desak Ki Gede Pemanahan,
“Apakah aku
akan kau gantung, kau cincang atau kau angkat menjadi pepatih Jipang?”
Orang itu
menjadi semakin pucat. Ia tidak tahu bagaimana ia menjawab. Keringatnya tiba-tiba
semakin banyak membasahi tubuhnya, tetapi keringat yang dingin. Beberapa orang
anak muda Sangkal Putung mendengarkan percakapan itu dari sudut desa. Mereka
sengaja memerlukan memperhatikan setiap patah kata yang diucapkan oleh Ki Gede
Pemanahan dan jawaban yang diucapkan oleh orang-orang Jipang itu. Tetapi orang
Jipang itu masih belum menjawab. Kepalanya semakin tunduk dalam-dalam dan
dadanya serasa menjadi kian sesak.
“Suradapa,”
berkata Ki Gede Pemanahan,
“sebelum
Adipati Jipang memenangkan perang ini, ia telah melakukan serangkaian
pembunuhan-pembunuhan untuk menyingkirkan lawan-lawannya yang mungkin akan
menjadi perintangnya menuju ke Singgasana Demak. Meskipun aku tahu, bahwa
pengaruh pengikut-pengikutnya banyak mendorongnya melakukan perbuatan yang
tidak terpuji itu. Nah, apakah kira-kira yang akan dilakukan kalau ia kemudian
benar-benar menguasai Demak? Adipati Pajang pasti akan terbunuh. Aku, Ki Juru
Mertani, Ki Penjawi, Ki Wila, Ki Wuragil dan para senapati prajurit. Bandingkan
sikap Adipati Jipang itu dengan sikap Adipati Pajang. Mungkin Arya Penangsang
sendiri tidak ingin berbuat demikian. Tetapi kekuasaan-kekuasaan yang ada di
bawahnya itulah yang telah menjerumuskannya. Sekarang, Adipati Pajang bersikap
lain. Ia tidak menaburkan dendam yang tersimpan di hati. Bahkan ia mencoba
mencari jalan supaya pertentangan ini berakhir tanpa pertumpahan darah lebih
banyak lagi. Apakah ini dapat kau mengerti dan kau rasakan?”
Orang itu
masih menundukkan kepalanya.
“Ya Ki Gede,”
suaranya menjadi sesak parau.
“Yang lain
bagaimana? Apakah kalian dapat juga mengerti perbedaan itu?”
“Ya Ki Gede,”
hampir serentak mereka menjawab.
“Kalau begitu,
tularkan pengertian itu kepada kawan-kawanmu. Kepada keluargamu, kepada siapa
saja yang kau temui. Supaya mereka dapat menilai keadaan sebaik-baiknya. Tetapi
ingat, bahwa ini bukan berarti melepaskan setiap hukuman bagi yang bersalah,
tapi hukuman itu pasti akan berlandaskan pada dasar yang kuat dan adil.”
Orang Jipang
itu dapat memahami sepenuhnya kata-kata Ki Gede Pemanahan. Ia pernah mendengar
pula ucapan-ucapan seperti itu dari pemimpin-pemimpinnya. Ia tidak akan
menyesal akan hukuman yang harus di jalani. Tetapi ia tahu pasti kapan
hukumannya itu akan berakhir. Dan ia tahu pasti, bahwa menilik sikap dan perbuatan
para pemimpin prajurit Pajang, maka setiap hukuman pasti akan dilakukan di atas
dasar-dasar perikemanusiaan yang adil dan tidak melanggar pancaran sinar cinta
kasih dari Tuhan yang Maha Besar.
“Ya Tuhan Maha
Besar dan Maha Murah,” orang Jipang itu terkejut mendengar suara angan-angannya
sendiri. Sudah terlampau lama ia tidak sempat mengucapkannya. Tiba-tiba kalimat
itu diulang-ulangnya di dalam hati,
“Tuhan Maha
Besar dan Maha Murah” dan hatinya pun
menjadi tenteram. Seandainya orang-orang Pajang ingkar janji, memotong kepala
mereka seperti menebas ilalang karena mereka sudah tidak bersenjata, maka kini
ia telah menemukan ke-damain abadi di dalam dirinya.
“Tuhan Maha
Besar dan Maha Murah.”
Orang Jipang
itu mengangkat kepalanya ketika ia mendengar Ki Gede Pemanahan bertanya,
“Kenapa kau
tepekur? Apakah kau menyesal mendengar bahwa kau harus bertanggung jawab atas
semua perbuatanmu berdasarkan hukum yang berlaku?”
Orang itu
menggelengkan kepalanya. Ketika ia mengangkat wajahnya Ki Gede Pemanahan
menjadi heran. Wajah itu telah menjadi berbeda benar dengan wajah sebelumnya.
Dengan tatag dan teguh ia menjawab,
“Tidak Ki
Gede. Aku akan melakukan setiap hukuman. Hukuman kerja paksa atau pun kami
sekeluarga harus menyingkir dari Demak untuk tinggal di daerah-daerah
terpencil. Di hutan-hutan Mentaok atau di hutan-hutan sekitar Pati, Kami tidak
akan selak meskipun kami akan dihukum mati.”
“He?,” berkata
Ki Gede Pemanahan heran.
“Sikapmu
tiba-tiba berubah. Apakah yang terjadi di dalam dirimu?”
“Aku menemukan
ketenangan di dalam menyebut nama Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, Tuhan
Yang Maha Besar dan Maha Murah.”
Ki Gede
Pemanahan menepuk bahu orang Jipang itu. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya
ia berkata,
“Kau telah
menemukan sumber hidupmu kembali. Genggamlah kedamaian itu di dalam hatimu.
Jangan terlepas kembali. Kalau kau mampu menuangkan kedamaian hatimu itu kepada
kawan-kawanmu, maka kau akan mendapat kebahagiaan berlipat-lipat.”
“Ya Ki Gede,
mudah-mudahan aku mampu melakukannya.”
Yang mendengar
percakapan itu, Untara, Widura, bahkan orang-orang Jipang yang lain dan para
pemimpin Pajang, menjadi terharu. Orang ini ternyata tidak saja memilih jalan
yang dikehendaki oleh pimpinan prajurit Pajang untuk segera menyelesaikan
persengketaan yang terjadi dan tersebar di mana-mana, tetapi ia telah menemukan
dirinya sebagai manusia yang berada di antara manusia yang lain. Manusia yang
merasa dirinya berada di dalam lingkungannya sendiri. Lingkungan yang berasal
dari sumber yang sama. Tetapi bukan saja mereka, orang-orang Jipang itu yang
seakan menemukan ketetapan hati dalam kedamaian yang abadi apabila mereka dapat
mempertahankan nama Tuhan Yang Maha Esa di dalam hatinya, namun tiba-tiba
orang-orang Sangkal Putung yang tidak henti-hentinya mengumpat-umpat itu pun terhenti pula. Tiba-tiba pula mereka
merasakan sesuatu bergetar di dalam hatinya.
“Apakah arti
dari sikap ini,” desis mereka di dalam hati masing-masing. Tiba-tiba mereka
menjadi malu sendiri. Seolah-olah merekalah yang kini mempertahankan supaya
peperangan tetap berlangsung terus. Supaya pepati masih bertambah-tambah setiap
hari. Namun tiba-tiba mereka dihadapkan pada suatu sikap yang jernih dari
pemimpin tertinggi Wira Tamtama dan hadirnya sinar terang di dalam diri
orang-orang Jipang itu.
Bukan sekedar
menyerahkan diri karena tidak lagi mampu untuk melawan kekuatan Pajang yang
setiap hari menekan mereka, tetapi kini mereka menemukan sumber yang lebih
tinggi dari pada sikap yang mereka ambil. Hakekat dari penghentian perlawanan,
bukan saja karena alasan-alasan lahiriah semata-mata.
Ki Gede
Pemanahan tidak berbicara lagi. Ketika ia memandang ke arah gerumbul-gerumbul
liar di hadapannya, maka dilihatnya sebuah barisan yang menyeruak keluar dari
balik gerumbul jarak kepyar yang menjadi lebat. Barisan itu adalah barisan
orang-orang Jipang.
Panglima Wira
Tamtama itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia melihat bahwa mereka sudah tidak
bersenjata lagi. Orang-orang Sangkal Putung dan para prajurit Pajang pun melihat pula, bahwa mereka datang dalam
barisan yang teratur tanpa senjata di tangan. Dengan demikian, maka ketegangan
yang menekan dada masing-masing tiba-tiba terasa mengendor. Terasa bahwa
orang-orang Jipang itu sebenarnyalah berkehendak atas kebulatan tekad mereka,
untuk menyerahkan diri. Bukan hanya sekedar permainan jebakan yang licik.
Bahkan menurut persetujuan yang telah dibuat, mereka akan datang dengan senjata
masih di tangan. Mereka baru akan mengumpulkan senjata itu di hadapan para
pemimpin prajurit Pajang dan Sangkal Putung. Tetapi kini mereka datang dengan
tangan hampa. Untara berpaling ketika ia mendengar langkah di belakangnya. Ki
Demang Sangkal Putung dan beberapa orang pemimpin laskar Sangkal Putung datang
kepadanya. Didengarnya Ki Demang berbisik,
“Mereka sudah
tidak bersenjata.”
Untara mengangguk-anggukkan
kepalanya. Desisnya perlahan-lahan,
“Itu adalah
sikap yang terpuji. Ternyata Kiai Gringsing memegang peranan pula atas sikap
orang-orang Jipang itu.”
Sambil
memandang barisan yang semakin lama menjadi semakin dekat Ki demang mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kini ia tidak berbicara lagi. Wajah-wajah para pemimpin prajurit
Pajang, para pemimpin laskar Sangkal Putung, bahkan semuanya yang berada di
tempat itu, menjadi tegang. Mereka melihat derap langkah yang tetap dan tidak
ragu-ragu. Sebenarnya orang-orang Jipang itu
pun kini tidak ragu-ragu lagi. Apalagi setelah mereka mendengar, bahwa
Panglima Wira Tamtama sendiri telah hadir. Ki Gede Pemanahan, Panglima Wira
Tamtama itu memandangi barisan itu dengan hati yang berdebar-debar. Sekali-sekali
ia berpaling memandangi wajah Untara yang tegang. Semula kepercayaan Ki Gede
Pemanahan terhadap Untara seolah-olah jauh menjadi susut. Tetapi setelah ia
melihat orang-orang Jipang dalam barisan itu, maka kepercayaannya tumbuh
kembali. Dalam keadaan itu, maka Ki Gede Pemanahan segera dapat membuat
perhitungan, bahwa Ki Tambak Wedi pasti akan menjadi musuh yang lebih berbahaya
daripada Tohpati. Musuh yang bertindak terlampau cepat, mendahului semua
perhitungan Untara dan Widura. Pada saat-saat mereka melawan Macan Kepatihan,
maka Untara dan Widura hampir tidak pernah salah hitung. Hampir setiap gerakan
Macan Kepatihan itu dapat dipotong oleh Widura dan kemudian Untara. Namun Ki
Tambak Wedi dapat bergerak menembus semua perhitungan para Senapati Pajang. Barisan
orang-orang Jipang itu pun menjadi
semakin lama semakin dekat. Yang berdiri di ujung barisan itu adalah Sumangkar
dan beberapa orang pemimpin yang lain. Pemimpin-pemimpin rendahan yang tidak
bersedia ikut beserta Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda. Beberapa puluh
langkah dari Ki Gede Pemanahan yang dipayungi oleh bendera kebesarannya,
bendera yang memberitahukan bahwa pada saat itu hadir Panglima Wira Tamtama,
barisan itu berhenti. Di ujung belakang dari barisan itu masih ada beberapa
orang yang membawa senjata di tangan mereka. Tetapi demikian mereka berhenti,
maka segera senjata itu mereka kumpulkan bersama-sama. Ketika Sumangkar
kemudian melangkah maju mendekati Ki Gede Pemanahan, maka Panglima Wira Tamtama
itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Peristiwa itu memang peristiwa yang penting
bagi kedua belah pihak. Bagi orang-orang Jipang dan bagi Kadipaten Pajang.
Dengan penyerahan itu, maka Pajang akan mendapat kesempatan untuk berbuat lain
dari hanya bermain kejar-kejaran dengan sisa-sisa laskar Jipang itu.
Tetapi
bagaimanapun juga, terasa pada para prajurit Pajang dan laskar Sangkal Putung,
bahwa mereka masih merasakan sentuhan yang pahit di dalam hati mereka. Lawan
yang sudah sejak beberapa lama, selalu bertemu dalam medan-medan peperangan,
dengan senjata di tangan masing-masing, maka kini mereka melihat orang-orang
itu mendekati mereka tanpa gangguan suatu apa. Namun dada orang-orang Jipang
itu pun berdesir ketika mereka melihat
kesiapsiagaan para prajurit Pajang dan laskar Sangkal Putung. Mereka melihat
ujung-ujung senjata seperti ujung daun ilalang di padang rumput liar. Pada
saat-saat lampau mereka pun pernah
datang ke desa ini, tetapi juga dengan senjata di tangan. Tetapi kini mereka
datang dengan tangan yang hampa. Kalau terjadi sedikit kesalahpahaman, dan para
prajurit Pajang dan laskar Sangkal Putung itu menyerangnya, maka mereka
seolah-olah akan menebas batang-batang pisang tanpa perlawanan yang berarti
sama sekali. Tetapi menilik sikap Panglima Wira Tamtama maka semuanya akan
dapat berlangsung dengan sebaik-baiknya. Demikian pulalah harapan Untara. Ia
telah memberanikan diri mengharap kehadiran Ki Gede Pemanahan dengan
pengharapan yang serupa itu. Semula ia ragu-ragu akan ketaatan para prajurit
Pajang dan laskar Sangkal Putung terhadap keputusan yang diambilnya. Menerima
orang-orang Jipang yang menyerahkan diri dengan beberapa bentuk pengampunan.
Karena itu, apabila Ki Gede Pemanahan bersedia hadir, akibatnya pasti akan
menguntungkan kedua belah pihak. Para prajurit Pajang, sudah tentu tidak akan
berani melanggar keputusannya dan orang-orang Jipang pun akan terpengaruh oleh wibawa panglima
itu. Dan kini ternyata semuanya itu telah terjadi. Maka di pinggir desa kecil
itu, telah terjadi saat-saat yang penting. Dengan kesungguhan Sumangkar menyatakan
janji dan kata-kata penyerahan. Betapa berat perasaan orang tua itu. Namun
kata-kata itu harus diucapkannya. Di hadapan Ki Gede Pemanahan, Untara dan
Widura. Ki Gede Pemanahan, Untara, Widura, Ki Demang Sangkal Putung, dan para
pemimpin yang lain mendengarkan kata-kata Sumangkar itu dengan penuh minat.
Setiap patah kata telah menunjukkan kesungguhan hati orang tua itu untuk
benar-benar mengakhiri perlawanan.
“Ki Gede
Pemanahan,” Sumangkar itu pun kemudian
mengakhiri kata-katanya,
“kami dengan
ini menyatakan kesungguhan hati kami untuk menyerahkan diri tanpa syarat apa
pun ke hadapan Ki Gede Pemanahan, ke hadapan senapati untuk daerah ini dan
kepada pimpinan prajurit Pajang di sangkal Putung beserta para pemimpin
kademangan. Kami tidak akan mengingkari kesalahan-kesalahan yang telah kami
lakukan sehingga karenanya kami tidak akan menghindarkan diri dari setiap
hukuman yang akan diletakkan di atas pundak kami.”
Ki Gede
Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia telah mendengar dengan baik semua
ucapan Sumangkar. Karena itu maka kemudian ia
pun berkata,
“Penyerahanmu
kami terima. Semoga saat ini benar-benar dapat mengakhiri kerusuhan-kerusuhan
yang terjadi. Tetapi sayang, bahwa penyerahan ini tidak sempurna. Masih ada
beberapa orang dari kalian yang tidak bersedia berbuat seperti ini dan bahkan
telah bekerja bersama dengan Ki Tambak Wedi. Tetapi itu bukan kesalahan kalian.
Ketahuilah, bahwa terhadap mereka tidak ada pilihan lain kecuali dilenyapkan.
Untuk seterusnya akan berlaku, semua persetujuan kalian dengan Senapati Pajang
untuk daerah ini, Untara. Semoga Tuhan selalu menerangi hati kita semua. Hati
kami, dan hatimu semua.”
Yang berbicara
kemudian adalah Untara. Ia hanya menguraikan beberapa segi pelaksanaan.
Orang-orang Jipang itu harus tinggal di Benda sebelum mereka dibawa ke Pajang
bersama-sama dengan Ki Gede Pemanahan. Dalam pada itu tiba-tiba terdengar
Sutawijaya bertanya,
“He, Paman
Sumangkar yang suka mengembara, bukankah jalan ini pula yang menuju ke Alas
Mentaok?”
Semua yang
mendengar pertanyaan Sutawijaya yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan
persoalan yang sedang terjadi itu, menjadi heran. Dengan wajah bertanya-tanya
mereka hampir serentak berpaling memandangnya.
Ki Gede
Pemanahan pun heran pula mendengar pertanyaan
itu, sehingga katanya,
“Apakah kau
sedang bermimpi Jebeng?”
“Tidak, Ayah,”
sahut Sutawijaya.
“Aku tiba-tiba
saja ingin mengetahui, jalan ini akan menuju ke mana.”
“Apakah
hubungannya dengan persoalan orang-orang Jipang yang menyerahkan diri dan
Pamanmu Sumangkar?”
“Aku hanya
ingin bertanya kepada Paman Sumangkar, karena Paman Sumangkar hampir selama ini
selalu mengembara berkeliling. Mungkin Paman Sumangkar telah pernah menyelusur
jalan ini terus ke Barat.”
Ki Gede
Pemanahan menarik nafas panjang-panjang. Ia tahu pikiran apakah yang bergejolak
di dalam dada anak itu, Sutawijaya pasti sedang berpikir tentang Alas Mentaok
yang pernah dijanjikan oleh Adipati Pajang kepada dirinya, dan tanah Pati bagi
kawan seperjuangannya melawan Adipati Jipang pada saat itu. Dan Sutawijaya pun pasti pernah mendengar janji itu,
sehingga tiba-tiba saja ia menyebut tanah Alas Mentaok.
Dalam pada itu
terdengar Sumangkar berkata,
“Ya, Ngger.
Jalan ini akan sampai ke Alas Mentaok, tetapi jalan terlampau sulit. Beberapa
bagian hutan di sebelah Barat itu harus dilampaui. Meskipun hutan ini tidak
terlampau lebat, tetapi hutan itu pun
cukup luas. Sekali-sekali Angger akan sampai di pedukuhan-pedukuhan kecil yang
terserak-serak. Tetapi tempat-tempat itu hampir tak berarti. Padukuhan kecil
dan miskin. Padukuhan yang hampir tidak pernah bersangkut paut dengan
pemerintahan karena letak dan keadaan penduduknya. Tetapi agak yang ke sebelah
Barat, Angger akan menjumpai daerah yang subur. Daerah yang cukup mempunyai
kedudukan di daerah Selatan, Prambanan. Di daerah itu pasti juga sudah
dilindungi oleh sepasukan prajurit dari Pajang. Sayang aku tidak tahu, siapakah
yang berada di sana. Ki Gede Pemanahan pasti mengetahuinya. Prambanan adalah
kademangan yang hampir sekaya Sangkal Putung. Kalau Angger masuk lebih dalam
lagi, maka Angger akan sampai ke hutan Tambak Baya, setelah melewati Candi
Sari, Cupu Watu, dan beberapa pedukuhan kecil yang lain. Di sebelah Barat hutan
Tambak Baya itulah nanti Angger akan menjumpai hutan belukar yang besar, Alas
Mentaok.”
“Apakah belum
ada pedukuhan sama sekali di sekitar hutan itu Paman?”
“Ada Ngger.
Pliridan, Gumawang, Lipura dan hampir di ujung Selatan, dekat pantai lautan
terdapat pula daerah yang sudah mulai subur dan ramai, Mangir.”
“Sutawijaya,”
potong Ki Gede Pemanahan, “Untuk apa kau ketahui semuanya itu. Aku sendiri
pernah menjelajahi hampir setiap sudut yang berada di dalam wilayah Demak. Aku
pernah juga sampai ke tempat-tempat yang disebut-sebut oleh Kakang Sumangkar.
Tetapi sekarang ini bukanlah saatnya untuk berbicara tentang Alas Mentaok.”
Sutawijaya
terdiam mendengar kata-kata ayahnya. Ia menyadari bahwa ayahnya dan para
pemimpin prajurit Pajang di Sangkal Putung kini sedang menghadapi tugas yang
berat, sehingga pertanyaannya tentang Alas Mentaok pasti hanya akan mengganggu
saja. Setelah Sutawijaya tidak bertanya-tanya lagi, maka segala sesuatu segera
mulai dipersiapkan. Untara segera mengatur tempat-tempat penampungan
orang-orang Jipang itu, sedang Widura mempersiapkan para prajurit Pajang yang
harus menjaga padesan kecil ini. Bukan saja menghadapi setiap orang yang
mungkin dapat berubah pendirian selama mereka berada dalam penampungan, tetapi
juga terhadap setiap usaha Sanakeling dan Sidanti, untuk mengacaukan keadaan.
Adalah mungkin sekali mereka tiba-tiba datang dan membuat keributan. Menghasut
orang-orang Jipang yang sudah menyerah atau mengancam mereka, sebab mereka kini
sudah tidak bersenjata. Ketika upacara penyerahan itu telah selesai, serta
segala macam persiapan penampungan telah cukup, maka Ki Gede Pemanahan serta
para pemimpin prajurit Pajang dan Sangkal Putung pun segera bersiap untuk kembali ke induk
kademangan. Ki Gede Pemanahan sendiri telah memberikan beberapa pesan khusus
bagi para prajurit Pajang yang bertugas menjaga desa terpencil itu. Bagaimana
mereka harus menghadapi orang-orang Jipang yang sudah menyerah itu, dan
bagaimana mereka harus menghadapi lawan yang masih tetap memandi
senjata-senjata mereka apabila mereka benar-benar datang. Untuk kepentingan
itu, maka di sekitar Desa Benda telah diletakkan beberapa pengawas yang harus
dapat menilai setiap perkembangan keadaan dengan tepat.
Kepada Sumangkar,
Ki Gede Pemanahan berpesan,
“Kakang,
kalian akan kami tinggalkan. Kakang adalah tetua orang-orang Jipang, Segala
sesuatu harus selalu berada dalam pengawasan Kakang. Kakang lah orang
satu-satunya yang dapat langsung berhubungan dengan para prajurit Pajang yang
sedang bertugas di tempat ini. Apa pun yang kurang serasi menurut penilaian
Kakang, maka Kakang akan dapat memberitahukannya kepada para petugas.
“Baik Ki Gede.
Kami akan mematuhi perintah itu,” sahut Sumangkar.
Namun ketika
Ki Gede Pemanahan akan meninggalkan tempat itu, maka ia masih sempat bertanya
kepada Sumangkar,
“Di manakah
orang yang menamakan diri Kiai Gringsing itu? Apakah ia tidak turut beserta
kalian?”
Sumangkar
menggeleng lemah, jawabnya,
“Tidak Ki
Gede. Orang yang menyebut dirinya Kiai Gringsing itu tidak bersama kami.”
“Apakah orang
itu tidak ingin bertemu dengan aku?
Sumangkar
tertegun sejenak. Namun kemudian ia menjawab,
“Tidak Ki
Gede. Ternyata Kiai Gringsing belum ingin bertemu dengan Ki Gede Pemanahan.”
Ki Gede
Pemanahan mengerutkan keningnya. Ia menjadi semakin tertarik kepada nama itu.
Kiai Gringsing yang sehari-hari disebut Ki Tanu Metir. Seorang dukun yang cakap
mengobati berbagai macam penyakit.
“Baiklah,”
berkata Ki Gede Pemanahan.
“Lain kali aku
mengharap untuk dapat bertemu dengan orang itu.”
“Pesan itu
akan aku sampaikan Ki Gede,” sahut Sumangkar.
Dalam pada
itu, semua persiapan pun telah selesai.
Ki Gede Pemanahan dan para pemimpin beserta sebagian dari prajurit Pajang dan
laskar Sangkal Putung akan kembali ke induk kademangan.
Tetapi
Sutawijaya tiba-tiba menggamit Agung Sedayu dan Swandaru Geni. Katanya,
“Kita tinggal
di sini.”
“Kenapa?,
“bertanya Agung Sedayu.
“Kita pergi ke
Alas Mentaok.”
“Apakah yang
menarik di Alas Mentaok itu?” bertanya Swandaru.
“Itulah yang
ingin aku ketahui.”
“Apakah Tuan
mempunyai kepentingan dengan hutan itu?” bertanya Agung Sedayu pula.
Sutawijaya
memandang ayahnya dengan sudut matanya. Kemudian katanya perlahan-lahan,
“Tanah itu
akan dihadiahkan oleh Adipati Pajang kepada ayah. Aku ingin melihatnya, apakah
tanah itu cukup baik untuk dibuka menjadi suatu pedukuhan. Mentaok akan dapat
menjadi sebuah tanah perdikan.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukan kepalanya. Tetapi ia pernah mendengar bahwa Mentaok kini
masih berupa hutan belantara.
“Aku ikut
bersama Tuan,” tiba-tiba Swandaru menyela. Wajahnya yang bulat tampak
berseri-seri gembira.
Tetapi wajah
Agung Sedayu disaput oleh keragu-raguan hatinya. Sekali-sekali ia memandangi
Sutawijaya, namun sesaat kemudian ditatapnya wajah kakaknya yang masih sibuk
mengatur barisan bersama pamannya, Widura.
“Aku harus
minta ijin Kakang Untara dan Paman Widura lebih dahulu,” berkata Agung Sedayu.
“Uh, kau seperti
anak-anak saja,” potong Sutawijaya.
“Bukankah kita
sudah cukup dewasa? Kalau aku minta ijin pada ayah mungkin ayah akan
melarangnya. Kau pun pasti akan dilarang pula. Karena itu maka kita tidak usah
minta ijin.”
“Mereka pasti
akan mencari kita,” berkata Agung Sedayu.
“Biarkan saja
mereka mencari kita,” sahut Sutawijaya. “Besok atau lusa, kalau kita kembali,
maka mereka akan berhenti mencari.”
“Tetapi apakah
Ki Gede akan tinggal beberapa lama di sini?” bertanya Agung Sedayu.
Mas Ngabehi
Loring Pasar menggelengkan kepalanya.
“Aku tidak
tahu. Kalau ayah tergesa-gesa kembali ke Pajang, biarlah ia mendahului.”
Agung Sedayu
terdiam sejenak. Hatinya dicekam oleh keragu-raguan.
“Kenapa kau
selalu ragu-ragu”?” bertanya Sutawijaya,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar