“Jangan seperti anak kecil. Kau telah mampu berkelahi melawan Sanakeling yang menurut pengamatanku, apabila perkelahian berlangsung lebih lama lagi, kau akan memenangkan perkelahian itu. Kenapa kau selalu masih harus minta ijin kepada kakakmu?”
Agung Sedayu
menggigit bibirnya. Tetapi adalah menjadi kebiasannya untuk berbuat demikian.
Bahkan sampai saat ia telah mampu memecah dinding yang mencengkamnya dalam
ketakutan, maka kebiasaan itu tidak segera dapat dilupakan.
“Jangan
takut,” berkata Swandaru.
“Aku pun tidak
akan minta ijin kepada ayahku.“
Agung Sedayu
masih berdiri dalam kebimbangan, sehingga Sutawijaya berkata,
“Ayolah. Mau
tidak mau kau harus pergi bersama kami.”
Agung Sedayu
tidak dapat membantah lagi. Ia harus pergi ke Mentaok bersama Sutawijaya yang
bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar dan Swandaru Geni.
“Tetapi kita
harus memberi tahukan kepada para penjaga,” gumam Agung Sedayu.
“Ah, bodoh
kau,” berkata Sutawijaya.
“Kalau mereka
tahu dan mereka mengatakannya kepada ayah, maka aku tidak akan
diperbolehkannya.”
“Setidak-tidaknya
sepeninggalan Ki Gede Pemanahan dari desa ini”
Sutawijaya
berpikir sejenak, kemudian katanya,
“Baiklah nanti
kita memberitahukannya kepada para penjaga.”
Agung Sedayu
masih akan mengatakan sesuatu ketika ia mendengar Ki Gede Pemanahan memanggil,
“Sutawijaya.
Mari, kita kembali ke induk kademangan.”
Sutawijaya
berpikir sejenak. Sekali-sekali dipandanginya wajah Agung Sedayu dan Swandaru
Geni. Hampir-hampir ia kehilangan akal bagaimana ia akan dapat menyelinap
meninggalkan barisan itu. Mendengar ajakan itu, Agung Sedayu menjadi senang.
Mudah-mudahan Sutawijaya mengurungkan niatnya. Sama sekali bukan karena takut
menghadapi bahaya di sepanjang jalan, tetapi dengan demikian kakaknya akan
memarahinya.
Tiba-tiba
Agung Sedayu kecewa ketika ia mendengar Sutawijaya menjawab,
“Aku akan
tinggal di sini sebentar ayah. Aku akan segera menyusul.”
Ki Gede
Pemanahan memandanginya dengan penuh pertanyaan, bahkan orang tua itu menjadi
curiga. Katanya,
“Apalagi yang
akan kau lakukan?”
Sutawijaya
tertawa, jawabnya,
“Aku hanya
akan beristirahat sebentar ayah. Bukankah di sini sudah ada sepasukan prajurit
Pajang? kalau terjadi sesuatu, maka mereka pasti akan dapat melindungi aku.”
“Tetapi jangan
terlampau lama Sutawijaya,” berkata ayahnya.
“Meskipun
jarak induk Kademangan Sangkal Putung dan desa ini tidak terlampau jauh, namun
di tengah-tengah bulak itu dapat bersembunyi segala macam bahaya.”
Sekilas terasa
pula oleh Sutawijaya kekhawatiran ayahnya tentang dirinya di daerah yang
ternyata masih diliputi oleh bahaya itu. Bahaya yang kini datang tidak saja
dari orang-orang Jipang, tetapi lebih-lebih lagi adalah hantu lereng Merapi
yang bernama Tambak Wedi. Namun Sutawijaya itu berpikir, “Tambak Wedi itu pasti
sudah pergi jauh-jauh. Setidak-tidaknya hari ini ia tidak akan datang kembali
kemari. Kalau besok ia datang, maka aku sudah berada di Alas Mentaok.
Mudah-mudahan nanti apabila aku kembali aku tidak menemuinya dan hantu itu
tidak mengetahui bahwa aku pergi ke Alas Mentaok.”
Sutawijaya itu
terkejut ketika ia mendengar suara ayahnya kembali,
“He,
Sutawijaya, bagaimana? Jangan terlalu lama, kau dengar?”
“Ya, ya Ayah,”
jawabnya tergagap.
“Aku tidak
akan lama di sini”
“Jangan
memberi aku bermacam-macam pekerjaan lagi,” berkata Ki Gede Pemanahan pula.
“Aku sudah
terlalu letih.”
“Baik ayah,”
sahut Sutawijaya.
Ki Gede
Pemanahan itu pun kemudian bersama-sama
dengan Untara, Widura dan para pemimpin Pajang dan Sangkal Putung yang lain
pergi meninggalkan desa kecil itu. Mereka akan kembali ke induk kademangan, dan
Ki Gede Pemanahan bermaksud bermalam di Sangkal Putung semalam, sambil menunggu
persiapan orang-orang Jipang dan pasukan pengawal yang akan membawa mereka ke
Pajang. Tetapi keadaan kini telah berkembang menjadi bertambah sulit. Ketika
Untara mengetahui, bahwa Ki Tambak Wedi ternyata bergerak terlampau cepat, maka
ia harus memperhitungkan keadaan. Baik yang akan pergi mengawal orang-orang
Jipang bersama Ki Gede Pemanahan, maupun yang akan ditinggalkan di Sangkal Putung.
Jangan sampai Ki Tambak Wedi dapat memanfaatkan keadaan itu. Keadaan di mana
pasukan Pajang sedang terbagi. Ki Tambak Wedi yang cerdik itu akan dapat
menghadang rombongan ke Pajang atau menusuk jantung Sangkal Putung yang sedang
ditinggalkan oleh sebagian dari para pengawalnya mengantar orang-orang Jipang
ke Pajang. Karena itu semuanya, maka Untara harus berpikir lebih masak lagi.
Sutawijaya dan
kedua kawan-kawan barunya itu memandangi pasukan yang berjalan meninggalkan
desa Benda. Semakin lama semakin jauh. Sejalan dengan itu, maka hatinya pun menjadi semakin gembira pula. Katanya
berbisik kepada Agung Sedayu dan Swandaru.
“Nah, kita
segera berangkat. Jangan menunggu matahari terlampau rendah. Mungkin kita harus
bermalam beberapa malam di perjalanan.”
“Marilah,”
terdengar Swandaru yang menyahut.
“Kau masih
ragu-ragu,” bertanya Sutawijaya kepada Agung Sedayu.
“Aku tidak
meragukan perjalanan yang akan kita lakukan, tetapi bagaimana Kakang Untara
setelah mengetahuinya?”
“Aku yang
bertanggung jawab,” potong Sutawijaya.
“Kalau ia
marah, biarlah ia marah kepadaku.”
Agung Sedayu
tidak menjawab lagi. Ketika kemudian Sutawijaya berjalan kembali ke gardu di
ujung desa, kedua anak muda murid Ki Tanu Metir itu mengikutinya di belakang.
“Apakah kita
akan pergi berkuda atau berjalan kaki?” bertanya Swandaru.
“Mana yang
lebih baik?,” Sutawijaya minta pertimbangan.
Mereka terdiam
sejenak. Menilik jarak yang harus mereka tempuh, maka kuda akan membantu
mereka, tetapi mengingat hutan-hutan yang mungkin terlampau sulit ditembus,
maka lebih baik bagi mereka apabila mereka berjalan kaki. Sebab kuda-kuda
mereka pasti hanya akan mengganggu di sepanjang perjalanan di hutan-hutan
belukar itu.
Ketika kedua
kawannya tidak menyahut, maka Sutawijaya itu
pun akhirnya memutuskan, “Kita berjalan kaki. Mungkin kita akan
memerlukan waktu seminggu. Tetapi kita pasti akan sampai. Tetapi apabila kita
pergi berkuda, maka kita akan terhalang di hutan-hutan belukar atau kita akan
melepaskan kuda-kuda kita. Mungkin kuda-kuda kita itu akan diterkam oleh
binatang-binatang buas. Karena itu lebih baik kita berjalan kaki.”
“Baik,” sahut
Swandaru Geni,
“Kita berjalan
kaki. Bagaimana kakang Agung Sedayu?”
Meskipun
hatinya masih ragu-ragu, namun Agung Sedayu menganggukkan kepalanya sambil
menjawab,
“Baik. Kita
berjalan kaki.”
“Nah, kita
berangkat sekarang. Kita akan masuk ke hutan di hadapan desa Benda ini dan
menyeberanginya. Kita harus keluar dari hutan itu sebelum senja.”
“Tidak
mungkin,” potong Agung Sedayu,
“Lihat,
matahari telah terguling ke Barat. Meskipun hutan itu tidak begitu lebat,
tetapi hutan itu cukup luas.”
“Ah,
persetan,” gumam Sutawijaya kemudian, “Apakah kita akan menembus hutan itu
senja nanti atau apakah kita akan berjalan di malam hari, kita tidak usah
meributkannya. Marilah kita pergi.”
“Ingat, Tuan,
kita sebaiknya memberitahukan kepergian ini kepada para penjaga, supaya Ki Gede
Pemanahan, Ki Demang Sangkal Putung dan Kakang Untara mendapat gambaran, berapa
hari kita akan kembali,” berkata Agung Sedayu kemudian.
Sutawijaya
berpikir sejenak, kemudian ia pun mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Baik,”
katanya,
“aku akan
berkata kepada pemimpin pengawal.”
Sutawijaya
itu pun kemudian pergi ke gardu penjaga.
Kepada seorang prajurit Sutawijaya bertanya,
“Siapa
pemimpin pengawal di sini?”
“Kakang Sendawa,
Tuan,” sahut penjaga itu.
“Ia berada di
rumah sebelah. Rumah itu dipakai sementara untuk memimpin pengawalan desa ini.”
Sutawijaya
mengangguk-angguk. Namun, tiba-tiba ia berkata,
“Katakan
kepadanya, aku akan pergi ke Alas Mentaok.”
“He?” prajurit
itu terkejut, sehingga matanya terbeliak.
Tetapi
Sutawijaya pun menjadi heran pula
melihat prajurit itu memandangnya dengan pandangan yang aneh, sehingga terloncat
pertanyaan dari bibirnya,
“Kenapa kau
memandangku seperti melihat hantu?”
“Tuan,”
bertanya prajurit itu,
“apakah aku
tidak salah dengar? Apakah benar Tuan akan pergi ke Alas Mentaok?”
“Ya, kenapa?”
jawab Sutawijaya.
“Alas Mentaok
itu terletak di sebelah Barat hutan Tambak Baya, Tuan.”
“Ya, aku sudah
tahu. Aku akan berjalan terus ke Barat. Aku akan melewati Prambanan, Candi
Sari, Cupu Watu dan hutan Tambak Baya. Kenapa?”
“Perjalanan
yang tidak masuk dalam akalku. Tuan hanya bertiga?”
“Kenapa tidak
masuk dalam akalmu? Jarak itu dapat kau ketahui, apakah kau pernah pergi ke
sana?”
“Belum, Tuan,
tetapi sebagai seorang prajurit aku pernah mendapat tugas ke Prambanan. Kakak
Adi Sedayu itu pernah pula mendapat tugas di Prambanan.”
“Kau dapat
juga sampai ke Prambanan, mengapa kau heran mendengar rencana perjalanan ini?
Bukankah sesudah Prambanan jarak ke Alas Mentaok tidak lagi begitu jauh?”
“Justru daerah
itu adalah daerah yang berbahaya, Tuan. Mungkin Tuan akan berjumpa dengan
penyamun-penyamun yang sakti. Dan aku pergi ke Prambanan bersama dengan
rombongan prajurit dalam jumlah yang cukup. Karena itu maka aku tidak kwatir
menjumpai bahaya-bahaya yang serupa. Tetapi apakah Tuan hanya akan bertiga
saja?”
Sutawijaya
tertawa. Ditepuknya bahu prajurit itu sambil berkata,
“Katakan
kepada Sendawa. Aku pergi ke Alas Mentaok.”
“Apakah Tuan
tidak akan menjumpainya sendiri? Mungkin Kakang Sendawa dapat menceriterakan
serba sedikit tentang hutan itu. Mungkin Kakang Sendawa pernah mendapat tugas
mengunjungi daerah-daerah terpencil di seberang hutan Mentaok beberapa waktu
yang lampau atas nama kekuasaan Pajang yang menerima limpahan kekuasaan Demak
pada waktu itu. Daerah-daerah yang pernah dikunjungi adalah daerah-daerah
Mangir dan Lipura.”
Sutawijaya
menggelengkan kepalanya,
“Tidak.
Sendawa pasti hanya akan menakut-nakuti aku. Katakan saja, aku pergi bertiga
dengan berjalan kaki. Mungkin kami akan melintasi hutan-hutan bebondotan yang
sukar sekali dilalui seekor kuda.”
“Ya, Tuan
benar. Kuda-kuda itu hampir tak berarti di hutan-hutan yang lebat.”
“Sudahlah,”
berkata Sutawijaya.
“Aku akan
pergi.”
“Tetapi,
Tuan,” bertanya prajurit itu,
“Tuan tidak
membawa bekal apa pun di perjalanan.
Bagaimana Tuan akan mendapatkan makanan? Apakah Tuan mempunyai beberapa orang
yang telah Tuan kenal di sepanjang jalan?”
Sutawijaya
tertegun sejenak. Dipandanginya wajah-wajah Agung Sedayu dan Swandaru Geni.
Tetapi kedua anak muda itu pun agaknya
tidak tahu, bagaimana mendapatkan bekal di perjalanan. Sudah tentu mereka tidak
dapat mencari bekal di desa Benda yang kosong itu. Yang ada hanyalah orang-orang
Jipang dan para prajurit yang sedang bertugas. Mereka sama sekali tidak
mempunyai persediaan makanan dari Sangkal Putung.
Tiba-tiba
Sutawijaya itu bertanya,
“Apakah di
antara kalian ada yang membawa busur dan anak panah?”
Prajurit itu
terdiam sejenak.
“Ada?” desak
Sutawijaya.
Prajurit itu mencoba
melihat beberapa orang kawan-kawannya yang mendengarkan percakapan itu dengan
mulut ternganga.
Tiba-tiba
Sutawijaya melihat beberapa buah busur di sudut gardu. Tanpa bertanya kepada
siapa pun ia meloncat dan mengambil tiga
daripadanya.
“He, Agung Sedayu
dan Swandaru, apakah kalian dapat memanah?”
Yang menjawab
adalah Swandaru Geni,
“Kakang Agung
Sedayu adalah pemanah terbaik dari seluruh penghuni Sangkal Putung, termasuk
para prajurit Pajang.”
“Bagus,”
Sutawijaya menjadi gembira. Diraihnya beberapa endong anak panah sambil
berkata,
“Aku pinjam
busur-busur ini.”
Para prajurit
yang berada di dalam gardu itu seolah-olah terpaku beku di tempatnya. Mereka
tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka hanya melihat Sutawijaya mengambil tiga
buah busur dari lima persediaan busur di gardu itu, beserta tiga endong penuh
dengan anak panah. Mereka kemudian melihat Sutawijaya meloncat keluar sambil
membagikan ketiga busur itu kepada Agung Sedayu dan Swandaru Geni.
“Kalian tidak
akan mendapat musuh lagi di sini. Biarlah senjata-senjata ini kami bawa ke Alas
Mentaok,” berkata Sutawijaya kepada para prajurit Pajang itu.
Sebelum
mendapat jawaban, maka Sutawijaya segera mengajak kedua kawannya itu berjalan
meninggalkan desa Benda menuju ke arah Barat. Alas Mentaok.
Perjalanan itu
bukanlah perjalanan yang ringan. Jalan yang harus mereka lewati adalah jalan
yang sulit dan jauh.
“Dengan
anak-anak panah ini kita akan mendapat bekal di sepanjang jalan,” gumam
Sutawijaya.
“Apakah kita
akan menyamun atau memeras sambil menakut-nakuti orang dengan anak panah,”
bertanya Swandaru.
Sutawijaya
tertawa terbahak-bahak sehingga tubuhnya berguncang-guncang. Agung Sedayu yang
segera menangkap maksud Sutawijaya pun
tersenyum.
“Kenapa?”
bertanya Swandaru heran.
“Aku belum
pernah menyamun orang,” berkata Sutawijaya di antara derai tertawanya.
“Lebih baik
kita menyamun kijang atau menjangan.”
“O,” Swandaru
tersenyum sambil menundukkan kepalanya. Pipinya yang gembul itu pun menjadi kemerah-merahan. Ternyata ia
tidak cepat menangkap maksud Sutawijaya dengan busur dan anak panah itu, yang
akan menjadi alat berburu yang baik.
Sesaat
kemudian ketiga anak-anak muda itu terdiam. Mereka berjalan dengan cepat ke
arah Barat. Di belakang mereka pedesaan Benda seolah-olah berjalan mundur
sedang gerumbul-gerumbul jarak yang liar di hadapan mereka pun menjadi semakin dekat. Di belakang
semak-semak itu akan terbentang sebuah lapangan rumput yang tidak begitu lebar.
Dan di seberang lapangan itu mereka akan mendapatkan sebuah hutan yang cukup
luas, meskipun tidak terlampau lebat. Di langit, matahari telah melewati titik
puncaknya dan dengan perlahan-lahan turun ke cakrawala. Namun panasnya masih
terasa seakan-akan membakar kulit. Sutawijaya, Agung Sedayu, dan Swandaru
berjalan tanpa berpaling lagi. Panas matahari telah memeras keringat mereka
sehingga seluruh pakaian mereka menjadi basah. Kulit mereka yang menjadi
semerah tembaga, menjadi berkilat-kilat karena keringat dan debu yang melekat.
Para prajurit
di Benda pun kemudian menjadi gempar.
Ceritera tentang Sutawijaya dan kedua anak muda yang telah mereka kenal dengan
baik, yaitu Agung Sedayu dan Swandaru benar-benar menimbulkan berbagai
pembicaraan. Ada yang menjadi cemas, ada yang menjadi heran dan ada yang
menjadi kagum karenanya. Sendawa yang kemudian diberi tahu pula tentang
kepergian ketiga anak-anak muda itu terkejut sekali. Katanya,
“Apakah kalian
tidak mencoba mencegahnya?”
“Aku telah mencobanya,”
jawab prajurit itu,
“tetapi mereka
tidak mendengarkan.”
“Alas Mentaok
adalah hutan belukar yang luar biasa lebatnya. Binatang-binatang buas masih
berkeliaran dan bahkan di sekitar hutan yang liar itu masih banyak didiami oleh
penjahat-penjahat yang sebuas binatang-binatang di dalam hutan itu.”
“Aku sudah
mengatakannya.”
Sendawa
menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kemudian ia bergumam,
“Mudah-mudahan
mereka tidak memasuki hutan itu. Mudah-mudahan mereka berhenti setelah mereka
melihat wajah Alas Mentaok.”
“Tetapi,”
berkata prajurit itu,
“bukankah
menyeberangi hutan Tambak Baya itu pun
cukup berbahaya?”
“Mungkin
mereka akan mendapat beberapa orang kawan. Mudah-mudahan mereka menyeberang
bersama-sama dengan rombongan-rombongan yang sering melewati hutan itu pula
bersama-sama dengan beberapa orang pengawal. Dengan demikian, mereka akan
terhindar dari banyak kesulitan.”
“Mudah-mudahan,”
desis prajurit itu.
“Meskipun
demikian, kita harus memberitahukannya kepada para pemimpin prajurit Pajang di
Sangkal Putung. Bahkan kepada Ki Gede Pemanahan sendiri. Bukankah Raden
Sutawijaya itu putera Ki Gede Pemanahan?”
“Ya. Demikian
sebaiknya,” sahut prajurit itu.
“Nah, sekarang
pergilah. Sampaikan laporan ini.”
Belum lagi
prajurit itu pergi, mereka terkejut melihat seseorang memasuki rumah pimpinan
itu. Ternyata orang itu adalah dukun tua yang selama ini tidak menampakkan
diri. Orang itu adalah Ki Tanu Metir.
Dengan nada
tinggi ia bertanya sambil tersenyum,
“Aku dengar,
ada di antara kalian yang akan pergi ke Alas Mentaok?”
“Tidak, Kiai,”
sahut Sendawa.
“Yang pergi ke
Alas Mentaok adalah putera Ki Gede Pemanahan, Raden Sutawijaya.”
Ki Tenu Metir
mengerutkan keningnya. Kemudian kembali ia bertanya, “Sendiri ?”
“Tidak,” jawab
Sendawa pula.
“Bersama
dengan dua kawannya. Agung Sedayu dan Swandaru Geni.”
“He?” Ki Tanu
Metir itu pun terkejut. Wajahnya yang
tua itu menjadi semakin berkerut-merut.
“Apakah
kepentingan mereka dengan Alas Mentaok itu?”
“Kami tidak
tahu Kiai,” sahut Sendawa.
“Seorang
prajurit telah mencoba mencegah mereka dengan memberikan gambaran-gambaran
tentang perjalanan yang berbahaya itu. Tetapi mereka bertiga sama sekali tidak
takut.”
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya. Gumamnya,
“Tentu tidak.
Putera Ki Gede Pemanahan yang telah berhasil membinasakan Arya Penangsang itu
tidak akan mengenal takut terhadap apapun.”
“Tetapi
perjalanan itu sangat berbahaya.”
“Ya,” kembali
dukun tua itu bergumam seolah-olah untuk dirinya sendiri,
“perjalanan
yang berbahaya.”
“Kami akan
memberitahukannya kepada ki Gede Pemanahan Kiai. Bukankah sebaiknya demikian?”
“Bagus,” sahut
Ki Tanu Metir.
“Beritahukan
kepada Ki Gede Pemanahan. Apakah mereka belum lama berangkat? dan apakah mereka
berkuda?”
“Belum
terlampau lama. Mereka tidak berkuda.”
“Apakah dengan
berkuda anak-anak itu akan dapat dicapai sebelum mereka masuk ke dalam hutan?”
Sendawa
mengerutkan keningnya. Dicobanya menghitung waktu yang sudah dipergunakan oleh
Sutawijaya. Namun kemudian ia mengambil kesimpulan,
“Mungkin
mereka telah memasuki hutan itu Kiai. Mereka sudah meninggalkan padukuhan ini
sesaat setelah pasukan Pajang kembali ke induk Kademangan Sangkal Putung.
Tetapi agaknya para prajurit lebih senang memperbincangkannya lebih dahulu,
baru memberitahukannya kepadaku.”
Tampaklah
sejenak kecemasan membayang di wajah orang tua itu. Namun hanya sejenak.
Kemudian kembali ia tersenyum,
“Bagus.
Secepatnya kalian beritahukan kepada Ki Gede Pemanahan. Anak-anak itu hanya
berjalan kaki saja bukan?”
“Baik, Kiai,”
sahut Sendawa. Kemudian kepada prajurit yang memberitahukannya, Sendawa
berkata,
“Laporkan
kepada Ki Gede Pemanahan, atau kepada Ki Untara atau Ki Widura.”
“Baik,” jawab
prajurit itu sambil menganggukkan kepalanya. Kemudian menghilang di belakang
pintu rumah itu. Dengan tergesa-gesa ia pergi ke belakang gardu untuk mengambil
seekor kuda. Para prajurit yang lain, yang melihat seorang kawannya
berlari-lari mengambil seekor kuda segera mengetahuinya, bahwa prajurit itu
harus melaporkan kepergian Raden Sutawijaya bersama dengan Agung Sedayu dan
Swandaru kepada Ki Gede Pemanahan, Untara dan Ki Demang Sangkal Putung.
Meskipun demikian, salah seorang dari mereka
pun bertanya,
“Apakah kau
akan menyusul anak-anak muda itu atau akan pergi ke Sangkal Putung?”
“Aku hanya
akan melapor,” sahut prajurit itu sambil meloncat ke atas punggung kuda. Sesaat
kemudian maka kuda itu pun melontar
berlari menyusul pasukan Pajang dan laskar Sangkal Putung yang kembali ke induk
kademangan. Suara kakinya berderap di atas tanah berbatu-batu, mengejutkan para
pengawal dan bahkan orang-orang Jipang yang sedang beristirahat di dalam
rumah-rumah.
Di ujung
lorong yang lain beberapa orang pengawal menghentikannya. Salah seorang dari
mereka bertanya,
“Kemana kau?”
“Menyusul Ki
Gede Pemanahan.”
“Ada sesuatu
yang penting?”
“Ya. Aku harus
memberitahukan bahwa putera Ki Gede Pemanahan bersama Agung Sedayu dan Swandaru
Geni tanpa setahu Ki Gede sendiri pergi ke Alas Mentaok.”
“Alas
Mentaok?” beberapa mulut bersama-sama mengulanginya.
“Ya.”
“Mengapa?”
“Tak
seorang pun di antara kami yang tahu.
Apa perlunya maka putera Ki Gede itu pergi ke Mentaok.”
Para pengawal
itu tidak bertanya lagi. Prajurit itu pun kembali memacu kudanya. Derap kakinya
melemparkan kepulan debu yang putih ditimpa sinar matahari yang telah menjadi
semakin condong ke Barat. Dengan tergesa-gesa prajurit itu berusaha untuk dapat
menyusul Ki Gede Pemanahan secepatnya. Ketika telah dilewatinya beberapa padukuhan
kecil, maka kemudian dilihatnya ujung panji-panji. Tiba-tiba hatinya menjadi
berdebar-debar. Apakah jawabnya nanti apabila Ki Gede itu bertanya kepadanya,
mengapa puteranya itu tidak dicegahnya? Akhirnya kuda itu menjadi semakin
dekat. Beberapa orang di barisan yang paling belakang yang lebih dahulu
mendengar derap kakinya, segera berpaling. Ketika mereka melihat seekor kuda
berlari kencang, maka mereka pun menjadi
terkejut.
“Apakah yang
terjadi?” pertanyaan itu mengetuk setiap dada para prajurit Pajang dan laskar
Sangkal Putung.
Untara dan
Widura yang kemudian mendengar derap itu pula, menjadi berdebar-debar. Seperti
setiap prajurit yang lain timbul pula pertanyaan di dalam dadanya,
“Apakah yang
telah terjadi?”
Dalam pada itu
terdengar Ki Gede Pemanahan bertanya,
“Siapakah yang
berkuda itu?”
“Seorang
prajurit pengawal yang kita tinggalkan di Benda, Ki Gede,” sahut Untara.
Ki Gede
Pemanahan mengerutkan keningnya. Ketika orang berkuda itu menjadi semakin dekat,
maka Ki Gede itu berkata,
“Mungkin ia membawa
persoalan yang segera perlu kau ketahui Untara.”
“Ya, Ki Gede,”
sahut Untara yang kemudian melambaikan tangannya memanggil prajurit itu.
Kuda itu pun kemudian berlari mendahului barisan yang
menjelujur di sepanjang jalan. Beberapa langkah dari Untara prajurit itu segera
meloncat turun.
“Apakah ada
sesuatu yang penting?” bertanya Untara.
“Penting bagi
Ki Gede Pemanahan.” sahut prajurit itu.
Ki Gede yang
mendengar jawaban itu segera bertanya,
“Penting
bagiku? Apakah itu?”
Prajurit itu
menjadi ragu-ragu sejenak. Baru ketika Untara menyuruhnya mengatakan, ia
berkata,
“Ki Gede,
Putera Ki Gede bersama Adi Agung Sedayu dan Adi Swandaru telah pergi
meninggalkan Benda ke arah Barat. Menurut keterangannya, mereka bertiga akan
pergi ke Alas Mentaok.”
“He?” bukan
main terkejut Ki Gede Pemanahan, Untara, Widura dan orang-orang lain yang
mendengarnya, sehingga sejenak justru mereka terdiam.
Barisan yang
panjang itu pun kemudian berhenti dengan
sendirinya. Mereka yang tidak mendengar laporan itu bertanya-tanya di dalam
hati. Tetapi berita itu pun kemudian
menjalar dari mulut ke mulut, dari ujung terdepan merambat sampai ke ujung
belakang. Hampir semua orang menggeleng-gelengkan kepala mereka.
“Bukan main,”
gumam salah seorang prajurit.
“Mereka adalah
anak-anak muda yang berani,” sahut yang lain.
“Tetapi apakah
kepentingan mereka?”
Untara dan
Widura pun berdiri terpaku. Mereka
sejenak saling berpandangan, namun tak sepatah kata pun yang mereka katakan. Sesaat kemudian
terdengar Ki Gede Pemanahan bertanya,
“Apakah mereka
sudah lama pergi? Dan apakah mereka berkuda?”
“Tidak, Ki
Gede. Mereka berjalan kaki. Mereka berangkat sejenak setelah pasukan ini
meninggalkan desa Benda.”
“Kenapa baru
sekarang kau memberitahukan?” bertanya Ki Gede.
Prajurit itu
terdiam. Ia tidak tahu bagaimana ia akan menjawab. Tetapi semuanya sudah
terlanjur. Sejenak mereka saling berdiam diri. Ki Demang Sangkal Putung yang
mendengar berita itu pun segera pergi ke
ujung barisan. Namun ketika dilihatnya Untara, Widura dan beberapa orang yang
lain terpaku diam, maka Ki Demang Sangkal Putung pun tidak bertanya apa-apa lagi.
“Hem,” Ki Gede
Pemanahan kemudian menarik napas dalam-dalam.
“Anak itu
memang nakal.”
Tetapi
kata-katanya tidak dilanjutkannya. Ki Gede itu mencoba membayangkan perjalanan
yang akan dilalui oleh puteranya beserta Agung Sedayu dan Swandaru. Ki Gede
Pemanahan meskipun hanya sekilas telah melihat, bagaimana Agung Sedayu dan
Swandaru menggerakkan pedangnya.
Perjalanan ke
Alas Mentaok bukanlah perjalanan yang menyenangkan seperti sebuah tamasya. Yang
dihadapi di dalam perjalanan itu adalah alam yang keras dan mungkin juga para
penjahat. Tetapi Ki Gede Pemanahan tidak sempat memberi pesan apa pun kepada puteranya yang nakal itu. Sebagai
seorang senapati Perang, Panglima Wiratamtama, maka Ki Gede Pemanahan pun pernah mengunjungi daerah-daerah di
seberang hutan Mentaok. Karena itu maka Ki Gede dapat membayangkan apakah yang
akan ditemui puteranya di sepanjang jalan.
Ki Gede
Pemanahan itu pun kini berdiri dalam
kebimbangan. Perasaannya menjadi sangat berat untuk membiarkan puteranya dengan
dua anak-anak muda itu tanpa berbuat sesuatu. Tetapi ia tidak melihat
seorang pun yang dapat diperintahkannya
menyusul mereka. Untara atau Widura bukanlah seorang yang akan dapat melindungi
Sutawijaya, sebab menurut penilaian Ki Gede Pemanahan, Untara tidak lebih cakap
berolah pedang dan tombak daripada Sutawijaya sendiri. Tetapi Ki Gede Pemanahan
sendiri sudah tentu tidak akan dapat meninggalkan Pajang terlampau lama untuk
menyusul puteranya. Belum pasti puteranya itu segera dapat diketemukan. Apabila
anak-anak muda itu sudah masuk ke dalam hutan, maka mencari seseorang di dalam
hutan adalah sama sulitnya dengan mencarinya di dalam kota yang ramai. Bahkan
mungkin di dalam kota masih sempat bertanya-tanya, siapakah di antara
orang-orang kota yang pernah melihat orang yang ciri-cirinya dapat dikenal.
Tetapi di dalam hutan, pepohonan justru menjadi tempat-tempat bersembunyi yang
baik.
Ki Gede
Pemanahan seolah-olah berdiri di persimpangan jalan antara kekhawatirannya
tentang anaknya dan kewajibannya sebagai seorang Panglima. Saat ini Pajang
masih sedang dalam pergolakan. Pajang masih mendapat penilaian daripada para
adipati di sepanjang Pantai dan adipati di wilayah Demak lainnya bagian Timur.
Apakah Pajang akan mampu berdiri tegak menggantikan Demak. Karena itu, maka
Panglima Wira Tamtama selalu harus berada di tempatnya. Dalam kebingungan itu
Ki Gede Pemanahan berkata,
“Marilah kita
teruskan perjalanan ini. Biarlah kita pertimbangkan sesudah kita sampai di induk
Kademangan Sangkal Putung.”
“Marilah Ki
Gede,” sahut Untara, yang kemudian kepada prajurit yang membawa berita tentang
kepergian Sutawijaya, Untara berkata,
“Kembalilah ke
tempatmu.”
Prajurit
itu pun menganggukkan kepalanya sambil
menjawab, “Baik.”
Ketika Ki Gede
Pemanahan kemudian berjalan kembali diikuti oleh seluruh barisan, maka prajurit
itu pun kembali ke Benda untuk
meneruskan tugasnya. Di sepanjang jalan Ki Gede Pemanahan hampir tidak berkata
sepatah kata pun. Hatinya menjadi risau dan gelisah. Kedatangannya di Sangkal
Putung ternyata menjadikannya bingung setelah beberapa kali ia menemui
kekecewaan. Tetapi di sepanjang jalan itu pula ia menemukan keputusan. Sebagai
seorang panglima, maka ia tidak dapat meninggalkan tugasnya. Ia harus segera kembali
ke Pajang sesuai dengan rencana yang telah dibuatnya. Ia akan mengatakan apa
yang terjadi sebenarnya dengan puteranya, Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi
Loring Pasar. Karena Sutawijaya itu telah diambil putera pula oleh Adipati
Pajang, maka sudah tentu Adipati Pajang akan menanyakannya. Baru apabila ia
mendapat perintah untuk mencari puteranya, ia akan berangkat dengan
menanggalkan baju kebesarannya sebagai seorang panglima, sementara ia pergi. Karena
itu, maka ketika mereka telah sampai di Sangkal Putung, Ki Gede segera
memberitahukan kepada Untara dan Widura bahwa ia tidak akan merubah rencana. Dengan
demikian, maka segera setelah mereka beristirahat di Banjar Desa Sangkal
Putung, Ki Gede Pemanahan memanggil Untara, Widura, dan para perwira yang dibawanya
dari Pajang.
“Kita besok
harus kembali membawa orang-orang Jipang itu sesuai dengan rencana,” berkata Ki
Gede Pemanahan kepada para pengawalnya.
“Ya, Ki Gede,”
sahut salah seorang dari mereka.
“Tetapi kita
harus mempertimbangkan keadaan. Bagaimana dengan pertimbanganmu, Untara. Apakah
kau dapat menganggap cukup dengan membagi prajuritmu menjadi dua. Separo ikut
aku mengawal orang-orang Jipang itu ke Pajang, dan yang separo tinggal di
Sangkal Putung?”
“Bagi Sangkal
Putung, separo dari prajurit-prajurit Pajang itu telah cukup untuk melindungi
Kademangan ini. Tetapi yang aku cemaskan justru perjalanan Ki Gede. Apabila
perjalanan Ki Gede bertemu dengan laskar Tambak Wedi dan Sanakeling, kita belum
tahu pasti apakah orang-orang Jipang yang sudah menyerah ini tidak akan
terlibat dalam pertempuran itu. Meskipun mereka tidak bersenjata, tetapi jumlah
mereka cukup banyak untuk menentukan keadaan,” jawab Untara.
Ki Gede
Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sependapat dengan Untara. Karena
itu, maka katanya kemudian kepada perwira bawahannya yang dibawanya dari
Pajang, “Dua di antara kalian malam ini kembali ke Pajang. Kalian harus
melaporkan keadaan kami di sini. Tetapi ingat, jangan kau katakan apa pun
tentang Sutawijaya. Aku sendiri yang akan menyampaikannya kepada Adipati
Pajang. Kemudian mintalah kepada Adi Adipati supaya memberimu ijin membawa
limapuluh prajurit berkuda Wira Tamtama untuk membantu pengawalan orang-orang
Jipang itu. Dengan demikian kita terpaksa menunda saat kembali ini dengan semalam
lagi.”
“Baik, Ki
Gede,” sahut perwira itu.
“Kedua orang
di antara kami akan segera berangkat sebelum gelap.”
Demikianlah
maka segera mereka menentukan dua orang di antara para pengawal itu untuk
kembali ke Pajang. Sementara itu mereka telah mempergunakan waktu beristirahat
sebaik-baiknya. Para prajurit yang lain
pun segera bertebaran di tempat masing-masing. Di banjar desa dan yang
lain ke kademangan dan rumah-rumah yang ditentukan.
Sementara itu
Sutawijaya, Agung Sedayu, dan Swandaru, berjalan secepat-cepatnya menuju ke
hutan yang semakin dekat di hadapan mereka. Sutawijaya masih merasa cemas
kalau-kalau ayahnya datang menyusul mereka, sehingga apabila mereka telah
berada di dalam hutan itu, maka kesempatan untuk menyembunyikan diri menjadi
lebih besar. Matahari yang merangkak di langit kini menjadi semakin rendah.
Cahayanya tidak lagi terasa membakar kulit, tetapi karena mereka berjalan ke
arah Barat, maka mereka pun kini menjadi
silau.
“Di hutan
itukah Tohpati dahulu menyembunyikan diri?” bertanya Sutawijaya.
“Ya,” jawab
Agung Sedayu, “Agak ke tengah.”
“Apakah kau
pernah melihatnya?”
“Belum,” sahut
Agung Sedayu.
“Marilah kita
lihat.”
“Marilah,”
tiba-tiba Swandaru menyela, “aku juga ingin melihatnya.”
“Belum ada
yang pernah melihat di antara kita,” berkata Agung Sedayu.
“Kita dapat
mencarinya,” jawab Swandaru.
“Bukan
pekerjaan yang mudah. Kita akan kehilangan waktu untuk suatu kerja yang sama
sekali tidak ada hubungannya dengan maksud kepergian kita.”
“Tidak apa,”
potong Sutawijaya. “Kita memberikan waktu sejenak.”
Agung Sedayu
tidak menjawab lagi. Kedua kawannya telah sependapat untuk pergi melihat-lihat
bekas sarang orang-orang Jipang itu. Karena itu, maka ia harus tunduk dan
mengikutinya.
Ketika mereka
telah hampir sampai ke tepi hutan itu, maka segera Sutawijaya memperhatikan
rerumputan di hadapan langkah kakinya. “Hati-hati,” seakan-akan ada yang
dicarinya.
“Adakah yang
tuan cari?” bertanya Swandaru.
“Ada,” sahut
Sutawijaya.
“Apa?”
Sutawijaya
tidak segera menjawab. Tetapi tiba-tiba ia tertawa,
“Itulah.”
Agung Sedayu
segera mengetahuinya, bahwa Sutawijaya sedang mencari jejak kaki orang-orang
Jipang. Orang-orang Jipang yang pagi itu telah meninggalkan sarang mereka untuk
menyerahkan diri mereka ke Sangkal Putung.
“Itulah salah
satu tanda yang dapat kita ikuti,” berkata Sutawijaya sambil menunjuk
ujung-ujung ilalang yang terpatah-patahkan oleh injakan kaki.
“Kita
mengikuti arah itu. Berlawanan dengan arah yang mereka tempuh.”
Kedua
kawan-kawannya tidak menjawab. Mereka berjalan saja di samping Sutawijaya.
Sejenak lagi mereka akan sampai kehutan yang sejuk. Panas matahari tidak lagi
menyentuh tubuh mereka karena daun pepohonan yang lebat dan rimbun. Demikian
mereka menginjakkan kaki-kaki mereka di batas hutan itu, maka Sutawijaya segera
berkata,
“Di sini kita
mendapat petunjuk yang lebih jelas lagi. Lihat iring-iringan itu pasti telah
melewati jalan ini pula. Ranting-ranting yang patah, dan dedaunan yang
terinjak-injak itu akan menjadi penunjuk jalan yang baik. Marilah kita ikuti.
Kita harus menemukan perkemahan itu sebelum senja.”
Tetapi ketika
Agung Sedayu menengadahkan wajahnya, maka ia menggelengkan kepalanya sambil
bergumam,
“Matahari
telah turun terlampau cepat. Aku tidak yakin bahwa kita akan sampai sebelum
senja. Kalau kita dapat menentukan jalan memintas, maka kita akan dapat
mencapainya. Tetapi aku kira jalan yang dilalui oleh orang-orang Jipang dalam
rombongan yang besar ini adalah jalan yang paling mudah, bukan yang paling
dekat.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya, ia pun
mempunyai perhitungan yang serupa, tetapi ia menjawab,
“Marilah kita
coba.”
Kembali mereka
bertiga berjalan beriringan. Kali ini mereka berjalan di antara pepohonan yang
belum terlampau pepat. Yang banyak mereka lintasi barulah gerumbul-gerumbul
yang bertebaran di sana-sini. Satu dua mereka melintasi pohon-pohon yang cukup
besar. Namun sejenak kemudian, hutan itu
pun menjadi semakin pepat. Pepohonan menjadi semakin padat dan
gerumbul-gerumbulnya pun menjadi semakin
rapat. Bahkan di sana-sini mereka harus melewati rumpun-rum pun berduri.
Namun
Sutawijaya yang berjalan di paling depan tidak kehilangan jejak. Semakin rimbun
hutan itu, semakin jelaslah bekas-bekas rombongan orang-orang Jipang. Semakin
banyak ranting-ranting yang patah dan mereka patahkan untuk memberi jalan
kepada kawan-kawan mereka yang masih di belakang. Daun-daun yang menjorok ke
dalam barisan dan duri-duri yang berada di depan rombongan itu telah
disingkirkan. Ketika Sutawijaya melihat sebuah tikungan yang lengkung dari
bekas orang-orang Jipang itu, kemudian satu putaran lagi di hadapan mereka.
Terdengar ia bergumam,
“Ya,
orang-orang Jipang ini mengambil jalan yang paling mudah, bukan yang paling
dekat. Seandainya kita tahu jalan memintas maka kita akan sampai ke tempat itu
segera.”
“Ya,” sahut
Agung Sedayu.
“Tetapi dengan
mengikuti jejak ini kita pasti akan sampai. Kalau kita memilih jalan sendiri
bahkan mungkin kita sama sekali tidak akan menemukan perkemahan itu.”
“Ya, aku
sependapat,” jawab Sutawijaya,
“karena itu,
mari kita percepat jalan kita.”
Langkah
mereka pun menjadi semakin cepat dan
panjang. Mereka ingin berlomba dengan waktu. Namun setiap kali terasa bahwa
jalan mereka terlampau lambat. Meskipun mereka telah meloncat-loncat,
berlari-lari kecil. Namun matahari serasa meluncur amat cepatnya ke atas
cakrawala. Sinarnya yang kemudian menjadi kemerah-merahan tampak bergayutan di
tepi-tepi awan yang bergerak di langit yang biru.
Tetapi
matahari itu pun turun lebih rendah
lagi. Hampir hilang ditelan punggung-punggung bukit. Sehingga hutan itu pun kini menjadi semakin kabur.
“Apakah
perkemahan itu masih jauh?” bertanya Sutawijaya.
“Aku tidak
tahu,” sahut Agung Sedayu,
“Aku belum
pernah sampai ke perkemahan itu.”
Sutawijaya
terdiam. Kini ia menjadi semakin sukar untuk mengenal bekas-bekas yang telah di
buat oleh rombongan orang-orang Jipang yang menyerah. Tetapi tiba-tiba
Sutawijaya itu berteriak,
“Ha, lihat.
Ini adalah sebuah gardu peronda yang telah mereka buat.”
Agung Sedayu
dan Swandaru segera melihat di belakang sebuah pohon yang cukup besar, tampak
sebuah atap ilalang yang cukup untuk berteduh dua orang bersama-sama.
“Kita hampir
sampai,” desis Sutawijaya.
Mereka pun terdiam. Dengan penuh perhatian mereka
memandangi keadaan di sekeliling mereka. Ketika mereka maju lagi, maka segera
mereka mengenal tempat itu. Tempat itu pasti tempat orang-orang Jipang
berkemah. Sebuah halaman yang kotor dan di sana-sini mereka melihat
batang-batang kayu yang telah tumbang. Karena itu maka tempat itu menjadi agak
lebih terang dari tempat-tempat yang lain karena sisa-sisa sinar senja.
“Kita sudah
sampai. Tetapi kita harus menemukan gubug-gubug mereka di sekitar tempat ini.”
“Sudah dekat
sekali,” desis Swandaru,
“Tidak ada
seratus langkah kita akan sampai.”
“Belum pasti,”
jawab Sutawijaya.
Kembali mereka
terdiam. Hutan itu menjadi semakin suram. Sekali-sekali mereka terpaksa
menggaruk-garuk tubuh mereka karena gigitan nyamuk yang berterbangan.
Dan kini
langkah mereka terhenti. Kembali Sutawijaya berteriak,
“Nah, itulah.
Kau lihat?”
“Ya,” hampir
bersamaan Agung Sedayu dan Swandaru menyahut.
Di dalam
kesuraman senja, mereka melihat beberapa buah gubug berdiri berjajar-jajar.
Udara terasa sangat lembab dan pengab. Tetapi gubug-gubug itu adalah gubug yang
kecil-kecil.
“Kita
melihat-lihat keadaannya,” berkata Sutawijaya. “Tetapi hati-hatilah. Siapa
tahu, di dalam perkemahan itu masih ada beberapa orang yang berkeras kepala.”
“Marilah,”
sahut Agung Sedayu dan Swandaru Geni. Mereka
pun kemudian mencabut senjata-senjata mereka dan berjalan hati-hati
mendekati gubug-gubug itu.
“Sepi,” bisik
Sutawijaya.
“Sudah
kosong,” sahut Swandaru.
“Terlampau
sedikit,” berkata Sutawijaya kemudian.
“Di sekitar
tempat ini pasti masih ada perkemahan lagi.”
“Mungkin,”
jawab Agung Sedayu.
“Tetapi
biarlah. Hari telah gelap. Aku kira akan berbahayalah bagi kita apabila kita
merayap-rayap di dalam gelap di tempat yang belum kita kenal. Tetapi menilik
tempat-tempat penjagaan telah dikosongkan, maka perkemahan ini pun pasti telah kosong. Seandainya ada
tempat-tempat lain di sekitar tempat ini
pun pasti benar-benar telah menjadi kosong pula.”
“Ya,” desis
Agung Sedayu dan Swandaru bersama-sama.
“Kita bermalam
di sini,” berkata Sutawijaya.
“Kita akan
mendapat tempat untuk tidur.”
“Kita lihat
dahulu di dalam gubug-gubug itu, apakah mungkin kita tidur di dalamnya?”
berkata Swandaru.
“Marilah,”
sahut Sutawijaya.
Maka dengan
hati-hati ketiga anak-anak muda itu pun
memilih satu di antara kemah-kemah yang kosong itu. Mereka pun kemudian melangkah ke pintunya.
“Siapa di
dalam?” desis Sutawijaya, tetapi kemudian anak muda itu tertawa.
“Mengapa Tuan
tertawa?” bertanya Swandaru.
“Aku merasa
geli sendiri. Kenapa aku bertanya?”
“Kalau Tuan
mendengar jawaban maka Tuan pasti akan lari,” berkata Swandaru.
“Kalau ada
yang menjawab di dalam, maka ia akan aku sobek perutnya dengan tombak ini.”
“Bukankah
gubug itu kosong,” berkata Swandaru
“Ya, kenapa
ada jawaban?”
“Itulah. Kalau
ada jawaban dari dalam gubug yang kosong dan gelap-kelam itu, maka pasti bukan
jawaban yang keluar dari mulut orang-orang Jipang. Bukan pula keluar dari mulut
orang manapun.”
Sekali lagi
Sutawijaya tertawa. Katanya,
“Ha. kau sudah
mulai membayangkan, bahwa di dalam gubug itu akan kau temui sebuah kerangka
yang akan menyambut kehadiranmu.”
Swandaru dan
Agung Sedayu tertawa. Tanpa mereka sadari maka mereka pun memandang berkeliling. Gelap malam telah
mulai menyelubungi hutan itu sehingga gubug-gubug di sekitar mereka kini hanya
tampak sebagai onggokan bayangan-bayangan hitam. Tiba-tiba bulu kuduk Swandaru
meremang.
“Ngeri,”
desisnya.
“Kenapa?”
“Aku
seolah-olah merasa berada di tengah-tengah kuburan. Bayangan-bayangan hitam itu
seperti bayangan-bayangan cungkup yang bertebaran. Aku lebih baik merasa berada
di tengah-tengah hutan yang lebat. Aku tidak takut diterkam macan.”
Kini
Sutawijaya dan Agung Sedayu tidak dapat menahan tertawanya. Suara tertawa itu
telah menggetarkan hutan yang sepi. Berkepanjangan, seolah-olah telah
membangunkan dedaunan yang telah mulai tidur lelap.
Tetapi
akhirnya Swandaru sendiri turut tertawa pula.
“Marilah kita
masuk,” ajak Sutawijaya.
“Gelap,” sahut
Swandaru.
“Tidak ada
kerangka yang hidup di dalam gubug itu. Kalau ada kerangka itu pasti sudah
menyambut kita di muka pintu ini,” sela Agung Sedayu.
Namun kembali
bulu-bulu mereka meremang, bukan saja Swandaru. Ketika angin yang lemah
berdesir menyentuh leher-leher mereka, maka tanpa mereka sengaja mereka menjadi
semakin berhati-hati.
Di kejauhan
ketiga anak-anak muda itu mendengar suara burung hantu memekik-mekik. Sedang
malam pun menjadi semakin gelap pula.
Tiba-tiba terdengar Sutawijaya berkata,
“Siapa di
antara kita yang membawa titikan? Kita sebaiknya membuat api.”
“Aku,” sahut
Swandaru sambil mencari sesuatu di kantong bajunya.
“Aku selalu
membawa titikan. Setiap kali Sekar Mirah minta aku membuat api untuknya, apabila
api di dapur padam dan beberapa orang pembantunya akan merebus air dan menanak
nasi di pagi hari.”
“Ha,” seru
Sutawijaya, “Buatlah api.”
“Apakah yang
akan kita bakar? Kita belum mengumpulkan kayu atau sampah.”
“Sampah telah
cukup terkumpul,” potong Agung Sedayu. Tiba-tiba tangannya meraih atap gubug
yang terbuat daripada ilalang. Sekali tangan kirinya merenggut, maka segenggam
ilalang telah didapatkannya.
“Hanya
segenggam?” bertanya Swandaru.
“Kalau kurang,
maka dua tiga buah gubug akan kita bakar,” sahut Agung Sedayu.
Ketiga
anak-anak muda itu pun tertawa. Swandaru
kemudian menyarungkan pedangnya dan dengan hati-hati membuat api dengan batu
titikan dan emput lugut aren yang telah dihaluskan. Sekali dua kali akhirnya
lugut aren itu pun membara.
“Hembuslah
kuat-kuat di atas ilalang ini,” katanya kepada Agung Sedayu.
Maka kemudian
mereka bertiga pun bergantian menghembus
emput itu. Bara emput itu pun kemudian
menjalar dan sejenak kemudian ilalang di dalam genggaman tangan Agung Sedayu
itu pun mulai menyala.
“Cari yang
lain, sebanyak-banyaknya,” berkata Agung Sedayu.
Sutawijaya dan
Swandaru pun kemudian berebutan
merenggut ilalang atap gubug dan meletakkannya di atas tanah. Dengan api di
tangannnya Agung Sedayu pun kemudian
membakar ilalang itu.
Mereka
bertiga pun kemudian mencari
sampah-sampah yang agak basah ditimbunkannya ke dalam api supaya perapian itu
tidak lekas habis.
“Kalau ada
kita beri kayu di atasnya,” gumam Sutawijaya,
“supaya
semalam suntuk api tidak padam.”
“Dari manakah
kita mendapatkan kayu ?” bertanya Swandaru.
Agung Sedayu
menebarkan pandangannya berkeliling. Karena api yang menyala di perapian itu,
maka dilihatnya beberapa buah gubug berdiri bertebaran, seolah-olah betapa
lelahnya. Sebagian dari mereka telah menjadi condong dan bahkan sebagian yang
lain telah hampir roboh.
“Bukankah
tiang-tiang gubug itu sebagian terbuat dari kayu dan sebagian yang lain dari
bambu?” gumam Agung Sedayu.
Sutawijaya pun kemudian menyahut,
“Bagus, kita
robohkan salah satu daripadanya.”
Mereka bertiga pun kemudian meletakkan busur masing-masing
dan Agung Sedayu pun menyarungkan
pedangnya pula, sedang Sutawijaya menyandarkan tombaknya di dekat perapian itu.
Setelah menyingsingkan lengan baju mereka, maka segera mereka pun bekerja. Mereka telah merobohkan sebuah
gubug dan mengambil segenap kayu yang ada. Mereka melemparkan kayu-kayu itu ke
atas perapian dan membiarkannya terbakar.
“Perapian ini
akan tahan semalam suntuk,” gumam Sutawijaya.
“Ya, kita
tidak akan kedinginan,” sahut Swandaru.
“Tetapi kita tidak
akan dapat tidur bersama-sama,” berkata Sutawijaya kemudian.
“Kita lebih
baik tidur di samping perapian ini, tidak di dalam gubug meskipun kita tidak
takut kepada kerangka-kerangka yang menunggui gubug-gubug itu. Atau mungkin
banaspati atau semacam wedon. Tetapi di sini kita lebih aman. Kita dapat
melihat keadaan di sekitar kita dalam jarak yang cukup.”
“Tetapi kita
akan menjadi tontonan di sini,” sahut Swandaru,
“Kalau ada
orang yang bersembunyi di dalam gelap itu, maka mereka akan melihat kita dengan
leluasa.”
“Tak ada orang
di sekitar tempat ini,” jawab Sutawijaya
“Atau kita
tidak terlampau dekat dengan api, supaya kita tidak terlampau jelas di lihat
dari kegelapan.”
“Mungkin
tetekan, peri atau prayangan yang mengintip kita,” berkata Agung Sedayu.
“Kalau
demikian, maka meskipun kita berada di dalam kegelapan pun mereka akan dapat melihat.”
“Huh. Kita
bicarakan yang lain,” potong Swandaru, “Bukan tentang hantu-hantuan saja.”
Kedua
kawan-kawannya tertawa. Swandaru pun
kemudian tertawa pula.
“Hem,” desis
Suiawijaya,
“Alangkah
nyamannya kalau kita mendapat daging kijang. Kita panggang di atas api.”
“Di sekitar
tempat ini pasti ada kijang.”
“Kalian sering
berburu?”
Agung Sedayu
menggeleng,
“Kakang Untara
sering berburu, bahkan sejak kecil.”
“Kau tidak ikut?”
“Jarang
sekali. Kalau ibu tahu, maka Kakang Untara pasti dimarahi.”
“He?”
Sutawijaya menjadi heran,
“Ibumu tidak
mengijinkan?”
Agung Sedayu
menggeleng, “Dahulu tidak.”
“Aku sering
berburu juga bersama ayah. Tetapi mencari kijang lebih baik di siang hari.
Malam hari kita jarang-jarang menemui binatang selain binatang buas yang sedang
mencari makan.”
Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya. Anak itu tidak pernah pergi berburu selain
berburu kambing di kandang rumahnya. Karena itu, ia sama sekali tidak tahu,
bagaimanakah caranya harus memburu kijang. Kini mereka terdiam sejenak. Mereka
duduk memeluk lutut mereka. Namun senjata-senjata mereka tetap tergantung di
lambung dan busur-busur mereka berada di sisi, sedang Sutawijaya memeluk tombak
pendeknya sambil memandangi nyala api yang seakan-akan melonjak-lonjak. Angin
malam semakin lama menjadi semakin sejuk. Tetapi panas perapian telah
menghangatkan tubuh mereka. Lidah api yang merah menggapai-gapai seperti sedang
menari. Cahayanya yang melekat di dedaunan bergetaran meloncat dari lembar ke
lembar yang lain.
Terkantuk-kantuk
Swandaru menguap sambil bergumam,
“Siapakah yang
akan tidur lebih dahulu?”
“Kau sudah
kantuk?” bertanya Agung Sedayu.
“Ya. Apakah
aku dapat tidur lebih dahulu? Setelah tengah malam maka berganti aku yang
jaga?”
“Pikiran yang
bagus,” sahut Sutawijaya,
“Tetapi
bagaimana kalau kau kami tinggalkan di sini seorang diri? Ketika kau kemudian
membuka mata di tengah malam, kau dikerumuni oleh kerangka-kerangka yang
bangkit dari dalam tanah? Kau pasti tahu bahwa di sekitar perkemahan ini pasti
ada kuburan. Kuburan orang-orang Jipang yang terbunuh di peperangan atau yang
mati karena luka-lukanya?”
Swandaru
mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ditebarkannya pandangannya berkeliling.
Dilihatnya dari dalam gelap bayangan api yang kemerah-merahan seperti hantu
yang sedang menari-nari, bahkan kemudian seperti serombongan hantu yang siap
menerkamnya. Tetapi Swandaru bukan seorang penakut. Bahkan kemudian ia tertawa
sambil berkata,
“Lihat, itu
mereka telah datang.”
Sutawijaya dan
Agung Sedayu pun tertawa. Tanpa mereka
kehendaki mereka memandang ke arah ujung jari Swandaru yang menunjuk bayangan
api yang satu-satu jatuh ke dalam gelap. Tetapi tiba-tiba Sutawijaya
mengerutkan keningnya. Ia melihat bayangan di tempat yang terlampau jauh.
Bayangan yang terlampau terang dibandingkan dengan jarak antara perapiannya dan
tempat itu. Apalagi pepohonan dan dedaunan yang menghalanginya, pasti akan
menutup jauh lebih banyak dari apa yang dilihatnya. Karena itu, maka Sutawijaya
itu pun tiba-tiba berdiri. Digenggamnya
tombak pendeknya erat-erat.
“Apa yang Tuan
lihat?” bertanya Swndaru.
“Kau lihat
bayangan api di kejauhan itu?” bertanya Sutawijaya.
“Ya,” sahut
Swandaru.
“Kau lihat
keanehannya?” bertanya Sutawijaya pula.
Swandaru
menjadi heran mendengar pertanyaan itu. Semula ia sama sekali tidak menaruh
perhatian atas bayangan api itu. Namun ternyata bayangan itu semakin lama
menjadi semakin besar. Di kejauhan itu kemudian tampaklah warna merah yang
memancar bertebaran seperti pancaran api dari perapian mereka.
“Perapian,”
desis Agung Sedayu.
Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia pun mengulanginya,
“Perapian.”
“Ya,” sahut
Sutawijaya,
“Seseorang
telah menyalakan perapian.”
“Siapa?” desis
Swandaru kemudian.
Sutawijaya
menggelengkan kepalanya,
“Kita tidak
tahu.”
Sejenak
kemudian mereka terdiam. Namun hati mereka menjadi berdebar-debar. Ternyata
bahwa di sekitar tempat itu, masih juga ada seseorang setidak-tidaknya, yang
mungkin telah melihat mereka bertiga.
“Tetapi apa
maksudnya membuat perapian itu?”
Pertanyaan itu
timbul di dalam dada ketiga anak-anak muda itu.
“Siapkan senjata
kalian,” berkata Sutawijaya,
“Kita yang
akan datang melihatnya. Kita tidak akan menunggu sampai seseorang datang kepada
kita dengan maksud apa pun.”
“Marilah,”
jawab Agung Sedayu dan Swandaru hampir bersamaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar