Apalagi karena obat-obat yang dipergunakan oleh gembala itu pun menambah nyeri pada luka-luka itu. Semalaman gembala tua itu duduk dengan tegangnya. Tidak kalah tegang dari pertempuran yang dialaminya semalam. Sekali-sekali ia harus berusaha untuk menahan panas tubuh Ki Argapati yang menanjak, dengan minuman reramuan obat yang dibuatnya. Ketika ayam jantan berkokok untuk yang terakhir kalinya, barulah gembala tua itu menarik nafas dalam-dalam. Ki Argayati dapat tertidur sejenak. Namun tidur yang sejenak itu akan sangat membantunya.
“Tidurlah,
Ngger,” berkata gembala tua itu kepada Pandan Wangi,
“mumpung Ki
Argapati juga lagi tidur.”
Pandan Wangi
mengangguk. Tetapi ia tidak mengambil tikar dan berbaring di lantai. Ia masih
saja duduk sambi bersandar dinding.
“Aku tidur di
sini saja Kiai.”
“Nanti kau
terjerembab.”
Pandan Wangi
menggeleng. “Tidak.”
Gembala tua
itu pun kemudian keluar dari bilik Ki Argapati. Dilihatnya Sutawijaya tidak ada
di ruang tengah. Yang ada adalah dua orang pengawal yang menunggui pintu bilik
Sidanti.
“Di mana
Anakmas Sutawijaya?” bertanya gembala tua itu.
“Ia akan tidur
bersama Gupita dan Gupala.”
Gembala tua
itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekilas ia memandang pintu bilik Sidanti.
Pintu itu masih tertutup rapat. Selaraknya
pun masih terpancang kuat-kuat.
“Anak itu akan
tetap merupakan masalah bagi Tanah Perdikan ini,” katanya di dalam bati.
“Aku tidak
dapat membayangkan bagaimana Ki Argapati akan menyelesaikannya.
Sambil
mengangguk-angguk di luar sadarnya gembala tua itu pun kemudian duduk di
samping kedua pengawal yang sedang bertugas menunggui pintu bilik Sidanti itu.
Sejenak
kemudian maka cahaya yang merah telah membayang di halaman. Semakin lama
semakin terang. Para pengawal yang berkesempaan tidur di gandok kanan dan kiri,
di ruang-ruang belakang, di pendapa dan di banjar, satu demi satu telah
terbangun. Gembala tua yang belum mendapat kesempatan untuk tidur itu pun telah
bangkit pula. Perlahan-lahan ia masuk ke dalam bilik Ki Argapati. Ketika
dilihatnya Ki Argapati masih tidur, maka ia pun menarik nafas dalam-dalam.
“Agaknya aku
berhasil mengobatinya,” desisnya di dalam hati.
Gembala tua
itu tersenyum pula ketika melihat Pandan Wangi pun masih tidur bersandar
dinding. Rambutnya yang panjang terurai ke bahunya, sedang kedua tangannya
bersilang di dada. Gadis itu sama sekali tidak berkesempatan untuk mengurus
dirinya sendiri seperti kebanyakan gadis-gadis di masa usia remaja. Pandan
Wangi selama ini hanya bergulat dengan pedang dan dengan ayahnya yang terluka. Orang
tua itu menarik nafas dalam-dalam. Kedatangan kakaknya di atas Tanah Perdikan
ini justru membuat hatinya pedih. Gadis yang seharusnya sedang dibuai oleh
usianya itu, kini seakan-akan telah meloncati satu lapisan dalam urut-urutan
hidupnya.
“Mudah-mudahan
selanjutnya Tanah ini menjadi tenang,” berkata gembala tua itu di dalam
hatinya.
Demikianlah,
maka gembala tua itu berpengharapan, bahwa hari itu Ki Argapati sudah menjadi
jauh lebih baik dari keadaan sehari sebelumnya, sehingga ia dapat menerima
Sutawijaya. Sutawijaya sendiri, setelah membersihkan dirinya, segera masuk ke
ruang tengah. Ditemuinya gembala itu duduk di antara dua orang pengawal yang ditinggalkannya
semalam.
“Bagaimana
Kiai, apakah hari ini aku dapat bertemu dengan Ki Argapati?”
“Mungkin,
Ngger. Agaknya Ki Argapati sudah menjadi semakin baik. Tetapi sudah tentu tidak
sepagi ini. Siang nanti, aku harap Ki Argapati sudah berkesempatan untuk
berbicara.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Aku menunggu
hari ini.
Sebenarnyalah
bahwa Ki Gede Pemanahan telah menunggu dengan cemas kedatangan puteranya yang
sedang pergi ke Tanah Perdikan Menoreh tanpa mengetahui dengan pasti, apa yang
telah terjadi di sana. Dan Sutawijaya masih harus menunggu satu hari lagi. Ketika
Ki Argapati kemudian terbangun dari tidurmya, ia merasakan bahwa keadaan
badannya telah menjadi jauh lebih baik. Lukanya sudah tidak terlampau pedih,
dan kepalanya sudah tidak lagi memberati. Meskipun ia masih pening dan terlalu
lemah, namun kesadarannya telah sepenuhnya dikuasainya. Saat itulah yang
ditunggu-tunggu oleh gembala tua itu. Ketika Ki Argapati telah dibersihkannya,
maka katanya,
“Angger
Sutawijaya ingin bertemu dengan Ki Gede hari ini. Tetapi lebih baik setelah
tengah hari. Keadaan Ki Gede akan menjadi semakin baik.”
“Apakah ada
keperluan yang penting?”
Gembala tua
itu menarik nafas dalam-dalam.
“Sebenarnya
tidak begitu penting Ki Gede. Tetapi karena ya sudah berada di atas Tanah ini,
maka ia memerlukan untuk menemui Ki Gede.”
Ki Gede
mengangguk-anggukkan kepalanya. Badannya yang terasa semakin segar membuat
pikirannya menjadi segar pula. Ternyata hari itu Ki Gede sudah dapat menelan
makanan sedikit demi sedikit, sehingga badannya tidak terasa sangat lesu.
Dengan telaten Pandan Wangi membantu ayahnya menyuapkan makanannya. Agaknya
Pandan Wangi pun menjadi sangat bersyukur bahwa ayahnya sudah menjadi semakin
baik. Pada siang harinya, Sutawijaya benar-benar mendapat kesempatan untuk
bertemu dengan Ki Gede, meskipun Ki Gede masih berada di pembaringannya. Tetapi
sebelum Sutawijaya memasuki bilik Ki Argapati gembala tua itu sudah berpesan,
“Katakan yang
paling penting saja Anakmas. Jangan terlampau berkepanjangan, karena Ki Argapati
masih belum seharusnya memikirkan masalah-masalah yang berat.”
Sutawijaya
mengerutkan keningnya. Kemudian desisnya,
“Kalau begitu,
kenapa aku harus menunggu sampai hari ini? Bukankah aku dapat meninggalkan
pesan saja.”
“Kau masih
terlampau muda untuk mengerti perasaan orang tua-tua. Meskipun akhirnya kau
meninggalkan masalah itu kepada orang lain, tetapi bahwa kau sendiri sudah
memerlukan datang menemuinya, bagi orang tua, itu akan banyak memberikan arti.
Kau sudah menyatakan kesungguhan hatimu, dengan datang menemuinya sendiri.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Baiklah,”
katanya.
Kemudian
dengan diantar oleh gembala tua itu, Sutawijaya memasuki bilik Ki Argapati.
“Maafkan,
Anakmas,” berkata Ki Argapati ketika ia melihat Sutawijaya,
“aku tidak
dapat menemui Anakmas sebagaimana sebarusnya aku menerima.”
Sutawijaya
tersenyum. Sekilas dipandanginya wajah Pandan Wangi yang buram oleh kelelahan yang
sangat. Kemudian jawabnya,
“Aku tahu apa
yang sedang terjadi Ki Gede. Karena itu, silahkan. Ki Gede sedang terluka.”
Sutawijaya dan
gembala tua itu pun kemudian duduk di
sebuah dingklik kayu di samping pembaringan. Sementara itu Pandan Wangi duduk
di sudut ruangan. Seolah-olah ia selalu ingin menunggui dan mengawasi ayahnya
yang baru sakit itu. Sejenak kemudian maka Sutawijaya pun mulai mengatakan maksudnya dengan
hati-hati. Ternyata Sutawijaya adalah anak muda yang memang cerdas. Sebelum ia
sampai pada persoalannya, maka katanya,
“Ki Argapati,
yang pertama-tama, aku ingin menyampaikan salam dari ayah Ki Gede Pemanahan
untuk Ki Argapati.”
Ki Argapati
tersenyum. Sambil mengangguk-angguk kecil ia berkata,
“Terima kasih.
Terima kasih, Anakmas. Nanti apabila Anakmas kembali, aku pun menyampaikan
salam kepada Ki Gede Pemanahan.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menjawab,
“Baiklah Ki
Gede. Aku akan menyampaikannya kepada ayah.”
Ki Argapati
yang menemui Sutawijaya sambil berbaring di pembaringannya itu pun kemudian berkata,
“Sayang,
Anakmas, aku tidak dapat menerima Anakmas sewajarnya. Keadaanku dan keadaan
rumah ini sama sekali tidak pantas bagi Anakmas.”
“O,”
Sutawijaya menyahut,
“aku menyadari
keadaan ini Ki Gede. Ki Gede tidak usah menganggap kedatanganku ini sebagai
suatu kunjungan yang penting.”
“Bagaimana pun juga, Anakmas adalah orang penting bagi
Pajang.”
Sutawijaya
tersenyum, dan sebelum ia menjawab Ki Argapati berkata,
“Selain salam
buat ayahanda Ki Gede Pemanahan, aku juga menyampaikan baktiku kepada Ayahanda
Sultan Pajang.”
Sutawijaya
kini mengerutkan keningnya. Senyumnya tiba-tiba seperti tersapu dari bibirnya.
Namun sejenak kemudian ia memperbaiki kesan di wajahnya sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Ya, ya Ki
Gede, apabila aku menghadap Ayahanda Sultan, maka aku akan menyampaikannya.” Sutawijaya
terdiam sejenak. Namun hal itu justru dapat dijadikannya pancadan untuk
menyampaikan maksudnya.
Maka anak muda
itu pun kemudian berkata,
“Tetapi Ki
Gede, kesempatanku untuk bertemu dengan Ayahanda Sultan kini terlampau jarang.”
Argapati
terperanjat. “Kenapa?” ia bertanya.
“Aku sekarang
berada di Mentaok.”
“Alas
Mentaok?”
“Ya, Ki Gede.
Kami telah membukanya. Desa di pinggir Alas Mentaok sampai ke Pliridan telah
kami jadikan modal. Dan kini daerah tersebut menjadi semakin ramai.”
Ki Argapati
menarik nafas dalam-dalam. Sutawijaya
pun berkata selanjutnya,
“Kini untuk
sementara aku berada bersama Ayahanda Pemanahan.”
Ki Argapati
tidak segera menyahut. Tetapi tampaklah sesuatu sedang bergetar di dalam
hatinya.
“Ki Gede,”
berkata Sutawijaya kemudian,
“karena itu
pulalah aku datang kemari atas nama ayah Ki Gede Pemanahan.”
Ki Argapati
yang mempunyai tangkapan yang tajam itu pun segera mengerti, meskipun
Sutawijaya baru mulai menyebut tentang tanah yang baru dibukanya itu. Meskipun
demikian Ki Argapati masih tetap berdiam diri dan memberi kesempatan kepada
Sutawijaya untuk mengatakannya. Demikianlah Sutawijaya pun kemudian berceritera
tentang Alas Mentaok. Tentang janji Sultan Hadiwjaya atas Tanah Mentaok dan
Pati. Tentang Ki Gede Pemanahan yang menganggap bahwa Sultan Pajang telah
berkisar dari sifat-sifatnya semula.
Meskipun
Sutawjaya selalu mengingat pesan gembala tua untuk tidak mengatakan semua
persoalannya, namun ternyata Ki Argapati sendiri langsung dapat menangkap
maksud Sutawijaya seluruhnya. Tetapi Sutawijaya memang seorang anak muda yang
bijaksana. Ketika ia hampir mengakhiri keterangannya mengenai Alas Mentaok
ia pun berkata,
“Tetapi Ki
Gede jangan dicengkam oleh masalah yang sebenamya tidak begitu penting ini.
Sebaiknya Ki Gede memusatkan perhatian Ki Gede pada Tanah Perdikan yang kini
sedang luka parah seperti Ki Gede sendiri yang terluka.”
Ki Gede
mengerutkan keningnya. Sekilas ia melihat Pandan Wangi yang duduk di sudut
ruangan itu dengan wajah yang tegang. Agaknya gadis itu pun mengikuti pembicaraan
ayahnya dengan saksama. Dalam pada itu Sutawijaya berkata pula,
“Anggaplah
bahwa kedatanganku ini hanya sekedar memberitahukan, bahwa aku akan segera
menjadi tetangga Tanah Perdikan ini. Ki Gede dan aku nanti akan dapat membuat
jembatan yang melangkahi Sungai Praga, sehingga hubungan kami akan menjadi
semakin baik.”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun ia masih terlalu lemah, tetapi
nalarnya telah mampu mengungkap semua pembicaraan Sutawijaya, sehingga kemudian
Ki Argapati itu berkata dalam nada yang datar,
“Maaf, Anakmas
Sutawijaya. Mungkin aku mendahului Anakmas. Tetapi sebaiknya aku memang
mengatakannya supaya tidak menjadi teka-teki yang tidak terjawab nanti, apabila
Angger telah meninggalkan Tanah Perdikan ini.”
Ketika Ki Argapati
berhenti sejenak, Sutawijaya menjadi berdebar-debar.
“Anakmas,
kalau aku tidak salah menanggapi pembicaraan Anakmas, maka di seberang Kali
Praga akan segera tumbuh suatu padukuhan baru. Padukuhan yang dipimpin oleh Ki
Gede Pemanahan dan puteranya, pasti bukan sekedar padukuhan yang kecil. Tetapi
aku yakin bahwa padukuhan itu akan segera berkembang.” Ki Argapati berhenti
sejenak, namun kemudian dilanjutkannya setelah menarik nafas panjang-panjang,
“Bagiku
Anakmas, perkembangan daerah baru itu akan memberikan banyak keuntungan.
Setidak-tidaknya kami akan dapat membuka hubungan yang saling menguntungkan.
Apa yang tidak kami punyai di sini, sedangkan yang tidak kami punyai itu ada
berlebih-lebihan di tempat Anakmas, maka pasti bahwa Anakmas tidak berkeberatan
untuk memberikannya kepada kami, dan sebaliknya. Tetapi yang menjadi pertanyaan
kami, apakah Ki Gede Pemanahan sudah mendapat ijin, maksudku ijin yang
sebenarnya ijin dari Ayahanda Sultan Hadiwijaya?”
Sutawijaya
tidak segera menyahut. Dibiarkannya Ki Argapati untuk berkata selanjutnya,
“Menilik
ceritera Anakmas, agaknya Ki Gede Pemanahan telah menyatakan sikapnya tanpa
menghiraukan Sultan Pajang lagi. Apakah dengan demikian masalahnya tidak akan
berkepanjangan?”
Namun
tiba-tiba Sutawijaya tersenyum. Katanya,
“Banyak
masalah yang dapat kami persoalkan Ki Gede. Tetapi aku tidak ingin mengganggu
Ki Gede saat ini. Biarlah apa yang aku katakan sekedar merupakan bahan
pembicaraan Ki Gede beserta para pemimpin Tanah Perdikan ini.”
Argapati
menarik nafas dalam-dalam pula. Sambil menganggukkan kepalanya ia berkata,
“Baiklah,
Anakmas. Kami memang tidak akan mampu berbuat banyak saat ini, selagi masalah
kami sendiri masih belum selesai. Aku sudah mendapat laporan, bahwa Sidanti dan
Argajaya menunggu penyelesaian. Para pengungsi yang harus kembali ke tempatnya
masing-masing, dan masih banyak lagi.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia merasa untuk sementara persoalan yang
dikemukakan kepada Ki Argapati yang terluka itu sudah cukup. Meskipun masih ada
masalah yang penting biarlah disampaikan oleh gembala tua itu. Karena itu maka
ia pun berkata,
“Ki Gede,
meskipun belum semua masalah dapat aku katakan, namun aku merasa beruntung
sekali mendapat kesempatan bertemu dengan Ki Gede. Apa yang sudah aku katakan
akan menjadi bahan pertimbangan Ki Gede.”
Ki Gede
mengangguk-angguk pula.
“Baiklah
anakmas.” Ki Gede berhenti sejenak. Namun tiba-tiba dipandanginya gembala tua
yang duduk terangguk-angguk sambil berkata,
“Anakmas,
apakah Ki Gede Pemanahan tidak pernah menyebut perguruan Windu Jati dalam
hubungannya dengan usahanya membuka alas Mentaok.”
Pertanyaan itu
telah mengejutkan gembala tua itu. Namun kesan itu hanya melintas sekejap di
wajahnya. Sutawijaya sendiri hanya termangu-mangu saja. Ia tidak mengerti apa
yang dikatakan oleh Ki Argapati. Ki Argapati yang terluka itu sempat tersenyum,
katanya,
“Mungkin
Anakmas belum pernah mengenal Padepokan Windu Jati. Padepokan yang selalu
diliputi oleh teka-teki.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata,
“Ya, Ki Gede,
aku memang belum mengenal Padepokan Windu Jati.”
“Sudahlah,
Anakmas,” berkata Ki Argapati kemudian,
“jangan
hiraukan padepokan itu. Mungkin Ayahanda Ki Gede Pemanahan sudah
memperhitungkannya.”
“Kini,”
berkata Sutawijaya kemudian, “aku minta diri.”
Meskipun Ki
Argapati mencoba menahanmya untuk satu dua hari, namun Sutawijaya berkeras
untuk meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh, sehingga akhirnya Ki Argapati harus
melepaskannya.
Pada hari itu
juga Sutawijaya benar-benar meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh, selelah ia
minta diri pula kepada Gupita dan Gupala. Sekali lagi Sutawijaya memperingatkan
bahwa sebentar lagi alas Mentaok akan menjadi sebuah negeri yang tidak akan
kalah ramainya dari Pati. Ki Hanggapati dan Ki Dipasanga pun ikut bersama
Sutawijaya kembali ke Alas Mentaok. Dengan demikian pengawasan terhadap Sidanti
kini dilakukan oleh sekelompok pengawal pilihan, langsung di bawah pengamatan
gembala tua itu. Sementara itu Gupala yang duduk bersandar tiang di ujung
belakang gandok bersungut-sungut, Ki Hanggapati dan Ki Dipasanga telah bebas
dari pekerjaan yang menjemukan ini.
“Seandainya
diperkenankan oleh guru aku akan mengikutinya sekarang. Aku sudah jemu sekali
disiksa oleh tugas ini.”
Gupita
berpaling. Dipandanginya wajah adik seperguruannya itu. Kemudian katanya,
“Apakah kau
sudah mencoba mengatakannya kepada guru?”
“Aku yakin,
bahwa kita pasti masih harus berada di tempat ini sampai waktu yang tidak
terbatas.”
Gupita
mengerutkan keningnya sejenak. Kemudian katanya,
“Apakah kau
sudah benar-benar ingin meninggalkan tempat ini. Kalau kau memang sudah tidak
kerasan di sini, biarlah aku yang minta ijin kepada guru. Aku masih mengharap
bahwa kita akan diijinkannnya mengusul Sutawijaya.”
Gupala tidak
segera menyahut.
“Biarlah guru
tinggal di sini sementara.”
Gupala masih
berdiam diri.
“Bagaimana?
Bagiku tidak ada yang mengikat di atas Tanah ini. Kau juga agaknya tidak ada
sesuatu yang dapat menarik perhatianmu.”
Gupala yang
bersungut-sungut itu menjadi semakin muram. Namun tiba-tiba ia tersenyum,
“Ah, kau.”
“Jadi
bagaimana?”
“Biarlah aku
di sini untuk sementara.”
Gupita pun
tertawa pula. Ia tahu apa yang tergetar di dalam hati Gupala meskipun ia tidak
tapat menyembunyikan kepada diri sendiri, getaran-getaran yang serupa. Namun
Gupita adalah seseorang yang sudah biasa mengendalikan dirinya. Bahkan agak
berlebih-lebihan.
Sementara itu,
Alas Mentaok memang sudah menjadi semakin ramai. Hubungan dengan
padukuhan-padukuhan di sekitarnya menjadi semakin luas. Namun perkembangan Alas
Mentaok itu tidak lepas dari pengamatan Pajang. Meskipun daerah itu akhirnya
diserahkan dengan resmi kepada Ki Gede Pemanahan, namun persoalan pada tingkat
pertama dalam hubungannya dengan tanah itu, sama sekali kurang menguntungkan,
sehingga seakan-akan ada sepucuk duri yang tajam membatasi antara Pajang dan
Alas Mentaok. Seperti yang dicemaskan oleh guru Gupita dan Gupala, maka
sebenarnyalah pimpinan prajurit di Pajang telah memerintahkan seorang senopati
yang bernama Untara untuk mengamati perkembangan daerah baru itu. Dalam pada
itu terbersit pula kecemasan di dada senapati muda itu. Adiknya, Agung Sedayu
yang pergi ke daerah Barat melintasi hutan Mentaok dan menyeberangi sungai
Praga bersama Swandaru dan gurunya, Kiai Gringsing, masih belum kembali. Apabila
dalam perjalanan mereka kembali, mereka menentukan Alas Mentaok sudah menjadi
kota yang ramai, mereka pasti akan tertahan di sana. Tetapi Untara tidak
berbuat sesuatu. Ia hanya dapat menunggu dalam kecemasan. Sementara itu, para
pengawal di tanah Perdikan Menoreh masih sibuk membersihkan dirinya. Di
sana-sini kadang-kadang masih terjadi benturan-benturan kecil. Tapi pada
umumnya mereka yang selama ini telah tersesat mempercayai seruan pengampunan Ki
Gede Menoreh. Argajaya yang dikenal berhati sekeras batu-batu padas, ternyata
mulai memandang ke dalam dirinya sendiri. Tanah Perdikan Menoreh kini
seakan-akan telah menjadi abu, dibakar oleh api pertentangan di antara keluarga
sendiri, sehingga untuk membangun Menoreh, diperlukan semua kemampuan, yang ada
di atas Tanah Perdikan itu. Harta, benda, tenaga maupun pikiran.
Gembala tua
yang masih berada di Tanah Perdikan Menoreh itu pun menjadi heran ketika ia
melihat perubahan sikap Argajaya. Pada suatu kesempatan, atas permintaan Ki
Argapati, gembala tua itu menemui Ki Argajaya. Meskipun perasaan tinggi hati
masih juga nampak pada sikapnya, namun Argajaya sudah mulai bersikap lain.
“Ki Argapati
masih terluka,” berkata gembala tua itu,
“sehingga ia
masih belum sempat mengunjungimu.”
“Aku tidak
mengharap kunjungan siapa pun,” berkata Argajaya.
“Aku tahu,”
berkata gembala tua itu,
“tetapi adalah
wajar sekali, bahwa Ki Argapati selalu memperhatikan kau. Kau adalah saudara
muda daripadanya.”
Argajaya tidak
menyahut. Kepalanya menjadi tertunduk dalam-dalam.
“Aku memang
mendapat pesan dari Ki Argapati untuk menemui dan menyampaikan kepadamu akan
hal itu.”
Ki Argajaya
masih berdiam diri. Tetapi dari sikapnya, gembala tua itu dapat meraba, bahwa
Argajaya yang keras hati itu sudah mulai melihat kesalahan sendiri. Ketika Ki
Argajaya kemudian mengangkat wajahnya, gembala tua itu menunggu, apakah yang
akan dikatakannya.
“Kiai,” berkata
Ki Argajaya itu kemudian,
“apakah yang
dikatakan oleh Kakang Argapati?”
“Ki Argapati
pernah berkata kepadaku bahwa semua tenaga dan kekuatan oang yang masih ada
harus dikerahkan untuk membangun kembali Tanah Perdikan ini.”
Ki Argajaya mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Mungkin
Kakang Argapati benar-benar berkata demikian. Tetapi itu tidak ditujukan
kepadaku. Kakang Argapati pasti lebih menghargai Kiai dan murid-murid Kiai itu,
meskipun mereka orang asing bagi kami di sini.”
“Tidak. Bukan
begitu. Semua tenaga yang masih mungkin dipergunakan harus dipergunakan.
Apalagi tenaga putra-putra Menoreh sendiri.”
Ki Argajaya
menarik nafas dalam-dalam. Katanya lebih ditujukan kepada diri sendiri,
“Tetapi tidak
untuk aku.”
“Kenapa?”
bertanya gembala tua itu.
“Kalau kau
sudah melihat kesalahan sendiri, kemudian bersedia untuk memperbaiki, apakah
salahnya?”
“Apakah aku
pernah bersalah?”
“Kepada Tanah
Perdikan ini dan kepada Ki Argapati?”
Sekali lagi
Argajaya menundukkan kepalanya. Kemudian terdengar ia berdesis,
“Ya. Aku ikut
membakar Tanah ini. Itu semata-mata karena kebodohanku dan keragu-raguan Kakang
Argapati sendiri. Kalau ia tidak membiarkan kami dicengkam oleh kegelisahan
karena permusuhan dengan orang-orang Pajang, maka kami tidak akan berbuat
begitu bodoh.”
“Tetapi
perhitungan siapakah yang benar? Orang-orang Pajang pun tidak akan begitu bodoh
menyeberangi sungai Praga tanpa memperhitungkan bahaya yang mengancam di
seberang. Apalagi Pajang yang belum sempat tegak benar itu sudah mulai goyah
kembali.”
Ki Argajaya
tidak segera menjawab.
“Ternyata Ki
Argapatti adalah seorang yang berpandangan sangat tajam. Dan kau harus
berbangga karenanya, bahwa kau mempunyai seorang kakak seperti itu.”
Ki Argajaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian,
“Aku tahu,
Kakang Argapati adalah seorang yang berpijak pada ketentuan yang sudah
digariskannya. Dan itu akan berlaku bagi siapa pun, meskipun bagi adiknya
sendiri. Siapa yang bersalah akan menerima hukuman. Aku pun pasti akan
dihukumnya.” Argajaya berhenti sejenak, kemudian,
“Tetapi aku
tidak akan ingkar. Aku akan menjalaninya dengan dada tengadah. Itu sudah
menjadi akibat yang aku perhitungkan.”
Gembala tua
itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Teringat olehnya sikap Argajaya di ujung
Gunung Baka, di tepian Kali Opak. Ia sama sekali tidak gentar menghadapi ujung
tombak Sutawijaya, meskipun tombaknya sendiri sudah terlepas dari tangannya. Ia
masih berani menantang agar anak muda itu membunuhnya. Baginya memang lebih
baik mati daripada mengaku kalah. Sikap itu kini masih juga terasa, meskipun
nadanya sudah lain. Kini ia melihat kesalahan itu ada di dalam dirinya. Tetapi
dengan jantan ia bertanggung jawab atas kesalahannya.
“Ki Argajaya,”
berkata gembala itu,
“pada suatu
saat Ki Argapati akan memanggilmu. Ia ingin berbicara langsung dengan kau
sendiri.”
“Ia akan
memberitahukan hukuman apakah yang dipilihnya untukku.” Ki Argajaya berhenti
sejenak. Setelah menelan ludahnya ia meneruskan,
“Kiai, akulah
yang telah melakukan kesalahan ini. Karena itu, aku minta tolong kepadamu
apabila Kiai masih sempat untuk menemukan anakku. Ia masih terlampau muda.
Mungkin Kakang Argapati mau memaafkannya. Ia hanya sekedar hanyut saja ke dalam
arus yang tidak dimengertinya.”
Gembala tua
itu mengerutkan keningnya. Kemudian katanya,
“Baik.
Baiklah. Aku akan mencarinya. Mungkin orang-orang lain akan berusaha pula. Aku
sendiri akan mengatakannya kepada Ki Argapati permintaan itu, agar anak itu tidak
dipersalahkannya pula. Aku yakin bahwa Ki Argapati tidak akan berkeberatan.
Bahkan secara umum Ki Argapati sudah menyerukan pengampunan bagi mereka yang
menyerah. Tetapi bagi mereka yang melanjutkan perlawanan karena sikap putus
asa, mereka akan benar-benar dihancurkan.”
Argajaya
menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi dengan nada yang dalam ia bertanya,
“Kakang
Argapati menyerukan pengampunan umum bagi mereka yang melawannya selama ini?”
“Ya.”
Argajaya
menarik nafas dalam-dalam.
“Ki Argapati
tidak akan dapat membuat beratus-ratus tiang gantungan di alun-alun,” berkata
gembala itu.
“Tetapi ada
nilai yang lebih tinggi dari kesulitan tiang gantungan itu. Ki Argapati memang
memiliki jiwa besar. Ia melihat masa depan Tanah ini sebagai suatu kenyataan.
Tetapi ia pun dapat bertindak tegas
terhadap mereka yang mencoba merintangi usahanya.”
Argajaya masih
tetap berdiam diri. Pandangan matanya jauh menyusup pintu yang tidak tertutup
rapat. Sudah agak lama ia tersekap di dalam bilik yang sempit. Sepi dan
sendiri. Sudah agak lama ia mendapat kesempatan mempertimbangkan keadaannya,
apa yang sudah, sedang, dan akan dilakukan. Dan karena Argajaya tidak segera
menjawab, maka gembala itu pun berkata
selanjutnya,
“Ki Argajaya,
sebenarnyalah bahwa Ki Argapati ingin mengetahui sikapmu sekarang, setelah kau
merenung beberapa saat lamanya.”
Bagaimana pun
juga, ternyata Ki Argajaya tetap seorang yang tinggi hati. Meskipun ia mengakui
di dalam hatinya sampai ke segenap relung, namun ia menjawab,
“Aku akan
mengatakannya kepada Ki Argapati. Baik ia sebagai kakakku mau pun ia sebagai
Kepala Tanah Perdikan yang telah mampu mempertahankan diri dari sebuah
guncangan yang dahsyat. Aku akan mengatakan sikapku kepadanya. Tidak kepada
siapa pun. Tidak kepadamu, Kiai. Karena kau bukan apa-apa di sini. Kau bukan
pemimpin dan bukan tetua Tanah ini.”
Gembala tua
itu mengerutkan keningnya.
“Jangan kau
kira,” berkata Argajaya,
“bahwa, tanpa
kau, persoalan Tanah ini tidak akan dapat selesai. Kau sama sekali tidak kami
perlukan di sini.”
Gembala tua
itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian tersenyum.
“Ya. Ya. Kau
memang tidak memerlukan aku, kecuali untuk sekedar mencari anakmu yamg hilang.
Tetapi aku tidak akan ingkar atas tugas kemanusiaan itu. Kalau aku dapat
menemukannya, aku akan berusaha menolongnya. Menariknya dari arus yang telah
kau sediakan sendiri untuk menyeret anakmu yang tidak bersalah itu.”
Wajah Argajaya
menegang sejenak. Tiba-tiba tubuhnya serasa menjadi lemah. Kepalanya
perlahan-lahan menunduk. Tetapi ia tidak mengatakan sepatah kata pun.
“Baiklah, Ki Argajaya,”
berkata gembala itu,
“aku akan
menyampaikan semua pesanmu, semua jawabanmu dan semua yang aku ketahui kepada
Ki Argapati.”
Argajaya masih
tetap berdiam diri.
“Apakah kau
masih mempunyai pesan?”
Argajaya
seakan-akan acuh tidak acuh saja, meskipun tampak di wajahnya kekecewaan dan
kegelisahan.
“Jadi,
bagaimana?” bertanya gembala itu.
Ki Argajaya
tetap tidak menjawab.
“Baiklah.
Baiklah. Aku minta diri.”
Argajaya sama
sekali tidak bergerak. Kepalanya pun
tidak. Dibiarkannya saja gembala tua itu berjalan ke pintu yang tidak tertutup
rapat. Namun ketika tangan orang tua itu telah meraih daun pintu lereg,
terdengar ia berkata,
“Kiai. Aku
tidak akan minta apa pun kepadamu, selain pesan tentang anakku.”
Gembala itu
berbalik. Sebuah senyum membayang di wajahnya.
“Aku akan
berusaha.”
“Leherku sudah
aku siapkan buat umpan tiang gantungan. Tetapi aku harap anak laki-laki itu
tidak.”
“Aku akan
berusaha.”
“Hem,”
Argajaya menarik nafas dalam-dalam. Terdengar ia menggeram,
“Kau terlampau
berkuasa di sini Kiai. Sebenarnya kau harus menyingkir. Kau terlampau banyak
ikut campur dalam persoalan kami.”
“Bukan
maksudku, Ki Argajaya,” jawab orang tua itu,
“tetapi aku
justru telah mengorbankan diriku untuk menjadi pesuruh lengkap dari Ki
Argapati. Dari mengobati lukanya sampai masalah-masalah keluarga seperti ini.”
“Bohong!
Apakah yang telah kau tuntut daripadanya? Separuh dari Tanah Perdikan ini?
Sepertiga atau kau ingin salah seorang muridmu menjadi menantunya yang dengan
demikian akan menjadi pewaris Tanah ini?”
“He?” gembala
tua itu justru berdiri tegak dengan penuh keheranan. Sama sekali tidak
terlintas di kepalanya tuntutan serupa itu. Separuh Tanah ini atau menantu?
Sambil menggelengkan kepalanya ia menjawab,
“Pertanyaanmu
aneh. Kau pasti pernah mendengar, apa yang aku dapatkan dari Pajang setelah aku
dan murid-muridku membantu memecahkan padepokan Tambak Wedi? Kami
mempertaruhkan nyawa kami tanpa pamrih.”
“Bohong!”.
“Kau anggap
kau berkelahi tanpa pamrih? Jangan kau kira aku tidak tahu Kiai. Kau ingin
menyelamatkan Kademangan Sangkal Putung, kademangan ayah dari salah seorang
muridmu. Kau ingin menyingkirkan Angger Sidanti dari Sekar Mirah, seorang gadis
yang diinginkan oleh muridmu yang lain. Tanah dan Perempuan adalah lambang
perjuangan laki-laki jantan. Katakan sekarang bahwa kau tidak mempunyai pamrih
apa pun. Juga atas Tanah Perdikan ini? Aku yakin kau mempunyai pamrih serupa.”
Gembala tua
itu mengerutkan keningnya. Kepalanya digeleng- gelengkannya, seolah-olah ia
ingin meyakinkan dirinya sendiri atas kata-kata Argajaya itu.
“Eh, begitu
bodoh aku ini,” katanya.
“Sebagian
memang benar. Tetapi terlampau murah untuk menilai seluruh perjuangan kami atas
dasar itu, tanpa menilai sikap orang-orang yang bersembunyi di balik dinding
padepokan Tambak Wedi.” Orang tua itu berhenti sejenak, lalu,
“Apakah kau
dapat menyebut pembebasan Sangkal Putung dan Sekar Mirah itu suatu pamrih?”
Argajaya
terdiam. Ia tidak dapat menjawab pertanyaan gembala itu. Apakah perjuangan
untuk membebaskan Sangkal Putung dari ancaman Tambak Wedi dan pembebasan Sekar
Mirah itu pamrih atau memang tujuan perjuangan mereka.
“Aku pun
menjadi sangat bodoh,” desisnya di dalam hati.
“Sudahlah,
sebaiknya kita tidak berbantah tentang lelucon-lelucon yang tidak kita pahami.
Sekarang, aku akan menghadap Ki Argapati untuk melihat lukanya dan menyampaikan
laporan.”
“Kiai,”
tiba-tiba suara Argajaya merendah, “bagaimana dengan keadaan Sidanti sekarang?”
Gembala tua
itu menarik nafas dalam-dalam. Dalam keadaannya itu Argajaya masih juga sempat
bertanya tentang keadaan Sidanti. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya gembala
itu menjawab,
“Baik.
Keadaannya cukup baik, meskipun ia harus tetap berada di tempatnya.”
Argajaya
menundukkan wajahnya. Tetapi ia tidak bertanya apa pun lagi.
“Apakah Ki
Argajaya masih mempunyai pesan tentang apa pun?”
Ki Argajaya
menggeleng, tetapi tidak sepatah kata
pun terlontar dari bibirnya.
“Baiklah. Aku
akan minta diri. Kalau Ki Argajaya memerlukan sesuatu, di luar ada beberapa
orang yang dapat kau panggil.”
“Aku sudah tahu,”
tiba-tiba Argajaya menjawab lantang,
“aku sudah
tahu kalau seseorang yang ditahan pasti dijaga oleh beberapa orang. Mereka sama
sekali tidak berada di situ, menyediakan diri melayani aku apabila aku
memerlukan mereka. Tetapi mereka mengawasi kalau-kalau aku akan lari.”
Gembala itu
menarik nafas. Katanya, “Ya, begitulah kira-kira.”
“Kalau Kiai
mau meninggalkan ruangan ini silahkanlah. Jangan mengatakan lelucon-lelucon
yang tidak perlu lagi bagiku.”
Gembala itu
mengangguk-angguk.
“Baik. Baik.
Aku memang terlampau banyak berbicara.”
Maka gembala
itu pun kemudian meninggalkan ruangan yang suram itu. Ketika pintu kemudian
ditutup dan di selarak, sekali lagi gembala itu menarik nafas dalam-dalam. Yang
berada di dalam ruangan itu adalah adik Kepala Tanah Perdikan ini sendiri.
“Tetapi apa
boleh buat. Semakin tinggi kedudukan seseorang, apabila ia berniat jahat, ia
menjadi semakin berbahaya,” berkata gembala itu di dalam hatinya.
Ketika
kemudian gembala itu menemui Argapati, selain untuk mengobati luka-lukanya, maka
dikatakannya pula apa yang telah dibicarakannya dengan Argajaya. Seperti yang
dipesankan Argajaya, gembala tua itu menyinggung pula tentang anak laki-laki
yang mohon diampunkan segala kesalahannya.
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia selama ini tidak pernah membeda-bedakan
sikap kepada siapa pun yang bersalah,
tetapi ketika yang bersalah itu adalah adiknya sendiri, maka dadanya pun serasa
diguncang-guncang. Apalagi dada itu masih terasa pedih karena luka yang masih
cukup parah.
“Baiklah, Kiai,”
berkata Ki Argapati,
“betapa pun
beratnya, adalah kuwajibanku untuk menyelesaikannya.”
“Kemudaan juga
masalah Sidanti, Ki Gede,” berkata gembala itu.
Ki Argapati
terdiam sejenak. Tatapan matanya yang lurus ke atas, serasa akan menembus
langit-langit yang terbentang di atas pembaringannya.
“Temuilah anak
itu, Kiai,” berkata Ki Argapati tiba-tiba.
“Aku minta
tolong. Tidak ada orang lain yang dapat aku percaya.”
Belum lagi
gembala itu menjawab, terdengar Pandan Wangi menyahut,
“Aku dapat
melakukannya, Ayah.”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Kau memang
dapat melakukannya, Pandan Wangi. Tetapi kita belum dapat menjajagi perasaan
Sidanti sekarang.”
“Biarlah aku
menemuinya.”
“Kau dapat
menemuinya kemudian.”
“Biarlah aku
yang pertama-tama menemuinya, Ayah. Sebelum orang lain. Aku benharap bahwa
Kakang Sidanti dapat mengatakan isi hatinya kepadaku. Karena aku adalah
adiknya.”
Sesuatu terasa
berdesir di dada orang tua itu. Pandan Wangi, satu-satunya anak yang diharapkan
mewarisi Tanah Perdikan ini memang adik Sidanti. Tetapi, setelah Sidanti
membakar Tanah Perdikan ini menjadi abu, semakin terasa olehnya, jarak yang
terbentang di antara mereka.”
“Bagaimana,
Ayah? Apakah Ayah lebih percaya kepada orang lain daripada kepadaku?”
Ki Argapati
tidak mancegahnya lagi. Meskipun demikian ia berkata,
“Baiklah
Pandan Wangi. Kau dapat mengunjunginya. Tetapi untuk kebaikanmu sendiri,
biarlah gembala itu mengikutimu.”
“Apakah
gunanya?”
“Tidak
apa-apa. Itu hanya sekedar sikap hati-hati.”
“Kakang
Sidanti tidak akan berbuat apa-apa kepadaku. Aku yakin.”
“Tetapi apakah
salahnya orang itu menyaksikan pertemuanmu dengan Sidanti.”
Pandan Wangi
merenung sejenak. Kemudian ia menganggukkan kepalanya.
“Baiklah. Apa
boleh buat, apabila ayah menghendaki.”
Pandan Wangi
pun kemudian minta diri kepada ayahnya sejenak untuk menemui kakaknya, Sidanti,
yang berada di ujung lain dari ruangan tengah itu.
“Tolong, Kiai,
amatilah anak-anak itu.”
Gembala itu
mengangguk,
“Baiklah, Ki
Gede. Aku akan mengamati mereka. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu, karena
tampaknya mereka sangat baik.”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berdesis,
“Itulah yang
membuat kepalaku selama ini menjadi semakin pening.”
Gembala tua
itu pun kemudian meninggalkan bilik Ki
Argapati pula mengikuti Pandan Wangi. Ia masih melihat Pandan Wangi berbicara
dengan para pengawal yang bertugas menjaga Sidanti.
“Apakah Ki
Argapati sudah mengijinkan?” salah seorang dari mereka bertanya.
“Tentu. Aku
mendapat perintah dari ayah untuk menemuinya.”
Pengawal itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Silahkan.”
“Aku juga,”
sela gembala tua yang sudah berdiri di belakang para pengawal itu.
Pandan Wangi
pun kemudian membuka selarak pintu bilik itu. Tetapi tanpa disangka-sangka,
pintu itu tiba-tiba telah terbuka. Sidanti sudah siap menyerang siapa saja yang
berada di muka pintu. Seperti seekor harimau lapar ia meloncat menerkam Pandan
Wangi. Pandan Wangi tidak menyangka, bahwa Sidanti akan berbuat demikian,
sehingga karena itu, ia sama sekali tidak bersiap menghadapinya. Meskipun
demikian Pandan Wangi telah terlalih lahir dan batinnya menghadapi setiap
persoalan. Meskipun ia tidak bersiap sama sekali, namun gerak naluriahnya telah
melemparkannya selangkah ke samping secepat terkaman Sidanti. Namun demikian,
tangan Sidanti masih berhasil mengenai pundaknya, sehingga gadis itu terdorong
beberapa langkah surut. Dengan susah payah ia berusaha, untuk tetap tegak dan
menguasai keseimbangannya. Para pengawal yang melihat peristiwa itu pun segera
berloncatan memencar dengan senjata masing-masing. Mereka sadar bahwa Sidanti
adalah seorang yang berilmu tinggi. Apalagi dalam keadaan serupa itu. Namun
ternyata Sidanti tidak dapat berbuat terlampau banyak. Ketika ia akan menyerang
para pengawal, maka terasa sebuah telapak tangan melekat di tengkuknya. Dengan
tangkasnya ia merendahkan dirinya, berputar pada lututnya sambil memukul tangan
yang sudah mencengkam tengkuknya itu. Namun ia tidak berhasil. Tiba-tiba saja
terasa seakan-akan seluruh sendi-sendinya terlepas, dan Sidanti itu pun kehilangan tenaganya.
“Jangan
terlampau bernafsu, Ngger,” desis gembala tua itu.
Sidanti masih
mencoba untuk tetap berdiri di atas kedua kakinya. Dengan suara gemetar ia
menjawab,
“Apakah kau
masih tidak puas dengan segala campur tanganmu di mana pun, he tua bangka?”
Gembala tua
itu tidak menjawab. Dibimbingnya Sidanti untuk kembali ke dalam biliknya.
Kemudian diletakkannya ia di pembaringannya.
“Pergi, pergi
kau!” anak muda itu membentak.
Tetapi gembala
tua itu masih tetap berdiri di tempatnya.
“Pergi kataku!”
Sidanti berteriak.
“Tenanglah,
Ngger. Sebaiknya Angger mencoba menenangkan diri sejenak. Adikmu, Angger Pandan
Wangi ingin bertemu.”
Sdanti
mengerutkan keningnya. Ketika ia memandangi pintu, ia melihat Pandan Wangi
berdiri tegak dengan kaki renggang dan sepasang pedang di lambungnya.
“Kau akan
membunuh aku?” bertanya Sidanti dengan kasar.
Tampaklah
wajah gadis itu menjadi terlampau muram. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa
demikianlah sambutan kakaknya atas kedatangannya. Perlahan-lahan ia menggelengkan
kepalanya. Katanya,
“Tidak,
Kakang. Aku sekedar ingin melihat keadaan Kakang di sini.”
“Sambil
menengadahkan dada menyorakkan kemenangan-mu?”
“Sama sekadi
tidak, Kakang. Sama sekali tidak. Tidak ada yang menang dan tidak ada yang
kalah di antara kita berdua. Bagaimana pun akhirnya, kita tinggal menemukan
Tanah Perdikan ini yang telah menjadi abu.”
“Dan kau akan
menyalahkan aku? Kau akan menuduh akulah yang menyebabkan Tanah Perdikan ini
kini menjadi hancur? Kau akan menunjuk hidungku sambil berkata, bahwa aku
adalah seorang pengkhianat.”
Pandan Wangi
menggeleng. Tetapi tampak keragu-raguan membayang di wajahnya, meskipun
mulutnya berkata,
“Tidak,
Kakang.”
“Bohong!
Jangan mencoba menipu aku. Meskipun kau menggeleng dan mulutmu berkata ‘tidak,’
tetapi sorot matamu tidak dapat kau pungkiri.
Pandan Wangi
menjadi bingung. Bagaimana ia menghadapi kakaknya yang kini seakan-akan menjadi
sangat asing, baginya.
“Kakang,” Pandan
Wangi mencoba membujuknya,
“marilah kita
melupakan apa yang sudah terjadi. Aku akan minta agar ayah pun mau
melupakannya. Marilah kita menghadapi masa depan dengan tekad baru. Reruntuhan
ini seharusnya kita tegakkan kembali.”
“Huh,” Sidanti
mencibirkar bibirnya,
“aku bukan
anak-anak yang dapat kau bujuk dengan sepotong gula kelapa.” Tiba-tiba Sidanti
berteriak,
“Ayo, katakan
kepada Argapati, kepada ayahmu itu. Kalau ia akan membunuh aku, cepatlah
dikerjakan. Aku sudah siap.”
“Jangan
berpikir begitu, Kakang. Ayah tidak akan melakukannya.”
“Omong kosong!
Ayah itu adalah ayahmu. Bukan ayahku. Ia tidak akan memperlakukan kau seperti
memperlakukan aku. Lihat, aku sudah dikurungnya seperti kambing di dalam
kandang yang kotor pengap ini.”
“Tetapi bukan
maksudnya. Ruangan rumah ini tidak ada yang tidak kotor, Kakang. Semua
bilik-biliknya seperti bilik hantu.”
“Dan akulah
yang mengotorinya, setelah rumah ini aku duduki beberapa lama. Begitu
maksudmu?”
Pandan Wangi
menarik nafas. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa ia akan berhadapan dengan
Sidanti yang lain sama sekali dari Sidanti yang dikenalnya.
“Benar juga
kata ayah,” berkata gadis itu di dalam hatinya,
“dan benar
juga gembala tua itu. Kalau ia tidak mengawani aku, mungkin Kakang Sidanti
telah berbuat sesuatu di luar dugaan. Setidak-tidaknya ia akan berusaha
melarikan dirinya kembali.”
Pandan Wangi
terperanjat ketika tiba-tiba Sidanti berkata lantang,
“Tinggalkan
aku sendiri.”
“Kakang,”
berkata Pandan Wangi. Ia masih berusaha untuk yang terakhir kalinya,
“Orang lain
pun akan diampuni. Apalagi kau. Tanah ini memerlukan apa saja yang dapat membantu
menegakkannya kembali. Apalagi tenagamu, Kakang.”
“Diam! Diam
kau perempuan celaka. Kau selalu berbicara tentang ayahmu. Kau sangka aku tidak
tahu, bahwa kami, yang kalian anggap tawanan itu akan kalian pekerjakan seperti
sapi dan lembu? Aku tidak mau. Lebih baik aku dibunuh daripada aku harus
merangkak menarik bajak.”
“Kau keliru,
Kakang.”
“Pergi! Pergi
kau dari sini! Pergi! Kau juga tua bangka. Aku tidak memerlukan kalian sama
sekali.” Tiba-tiba Sidanti berusaha untuk bangkit, sambil mengepalkan tinjunya.
Tetapi ia terduduk kembali. Ternyata kekuatannya masih belum pulih sama sekali,
sehingga hanya matanya sajalah yang seakan-akan menyala membakar seluruh
ruangan.
Pandan Wangi
dan gembala tua itu masih berdiri termangu-mangu di tempatnya. Kini mereka benar-benar
dihadapkan pada kekerasan hati Sidanti. Ia sama sekali tidak mau melihat
kenyataan yang dihadapinya, yang justru semuanya itu telah membuat hatinya
menjadi semakin gelap. Bayangan-bayangan yang hitam selalu merupakan kabut yang
menghantuinya. Ia sama sekali tidak dapat melihat, apa yang akan terjadi di
hari-hari mendatang. Karena itulah maka Sidanti itu berbuat berlebih-lebihan di
dalam kelam. Pandan Wangi akhirnya merasa, bahwa saatnya masih tidak tepat
untuk dapat berbicara dengan baik. Hati Sidanti sama sekali masih belum
terbuka. Karena itu, ketika Sidanti sekali lagi berteriak mengusirnya, ia
berkata,
“Baik, Kakang.
Aku akan pergi.”
Bersama
gembala tua itu, akhirnya Pandan Wangi meninggalkan bilik Sidanti. Sementara
kemudian Sidanti mendengar slarak pintu bergerit di luar.
Suara itu
tiba-tiba saja telah membangkitkan kemarahan yang tidak tertahankan lagi.
Dengan serta-merta ia meloncat tertatih-tatih ke arah pintu yang tertutup
rapat. Dengan sisa-sisa tenaganya ia memukul pintu itu sekuat-kuatnya. Tetapi
kekuatannya memang belum pulih kembali. Karena itu luapan perasaan yang tidak
terkendali itu telah membuatnya seakan-akan kehilangan kesadaran. Ketika ia
menghentakkan dirinya, menghantam pintu itu sekali lagi, maka seluruh sisa-sisa
kekuatannya yang memang belum pulih itu seakan-akan telah terkuras habis,
sehingga perlahan-lahan Sidanti terjatuh di muka pintu. Meskipun tangannya
mencoba meraih dan berpegangan uger-uger, tetapi akhirnya dengan lemahnya ia
terduduk bersandar dinding.
“Dukun gila.
Ia telah menyihir aku, sehingga aku kehilangan sebagian dari kekuatanku,” ia
menggeram.
Dalam pada
itu, gembala tua itu masih berdiri di luar pintu. Dengan dada yang
berdebar-debar ia mendengar usaha Sidanti untuk memecah pintu. Bahkan para pengawal
pun telah siap dengan senjata masing-masing, sedang Pandan Wangi berdiri dengan
penuh kebimbangan beberapa langkah dari pintu yang berderak-derak itu. Namun
setiap kali perasaan seorang gadis telah menyentuh-nyentuh jantungnya. Yang
berada di dalam bilik yang kotor pengap itu adalah kakaknya. Kakak yang baik
baginya sejak kanak-kanak. Tetapi keadaan dan jalan yang bersimpangan telah
membuat mereka berhadapan. Ketika bilik itu seakan-akan sudah menjadi tenang,
maka gembala tua itu pun berdesis,
“Sudahlah,
Ngger, tinggalkan bilik ini. Kembalilah kepada Ki Argapati. Mungkin Ki Argapati
memerlukan minum atau pelayanan apa pun.”
Pandan Wangi
menganggukkan kepalanya. “Baik, Kiai.”
“Biarlah aku
untuk sementara tinggal di sini,” berkata gembala tua itu.
Pandan Wangi pun
kemudian meninggalkan pintu bilik itu dengan kepala tunduk. Perlahan-lahan ia
berjalan di ruang tengah, menuju ke bilik ayahnya. Kini ia melihat, bahwa
ayahnya memang bersikap hati-hati. Bukan sekedar didorong oleh kemarahannya
kepada Sidanti sajalah ia membatasi dan mengawasi anak itu dengan sangat ketat.
Tetapi Sidanti memang berbahaya.
Demikian ia
memasuki bilik ayahnya, terdengar ayahnya bertanya,
“Kau tidak
apa-apa, Pandan Wangi?”
Pandan Wangi
menjadi heran mendengar pertanyaan itu, seolah-olah ayahnya melihat apa yang
baru saja terjadi. Karena Pandan Wangi tidak segera menyahut, maka Ki Argapati
melanjutkannya,
“Aku mendengar
lamat-lamat suara Sidanti berteriak-teriak. Apakah ia marah karena kunjunganmu
yang dianggapnya menghina?”
Pandan Wangi
menundukkan kepalanya. Kini ia semakin yakin, bahwa ayahnya mengenal Sidanti
lebih baik daripadanya. Perlahan-lahan maka ia
pun menjawab,
“Ya, Ayah.”
“Aku sudah
menduga. Itulah sebabnya, aku semula mencegahmu untuk menemuinya.”
Kepala Pandan
Wangi pun menjadi semakin menunduk.
“Anak yang
keras dan tinggi hati itu tidak akan dapat mengerti perasaanmu. Kau pasti
disangkanya datang untuk mengatakan bahwa kau telah menang, dan Sidanti telah
kalah. Atau bahkan lebih daripada itu, kau dianggapnya akan berbuat
sewenang-wenang saja atasnya.”
“Ya, Ayah,”
desis Pandan Wangi hampir tidak terdengar.
Ayahnya yang
sedang sakit itu ternyata dapat membaca perasaan kedua kakak-beradik itu
meskipun tidak tepat benar.
“Pandan Wangi,”
berkata Ki Argapati kemudian,
“kalian berdua
memang terlampau dilibat oleh perasaan kalian, sehingga suasana yang terjadi
justru sebaliknya dari yang kalian harapkan. Kau selalu dicengkam oleh perasaan
seorang adik yang baik, yang merasa berhutang budi dan barangkali kau ingin
menunjukkan bahwa kau adalah seorang adik. Sementara itu Sidanti dibayangi oleh
kegagalan-kegagalan yang dialaminya. Kematian orang-orang terdekat dan justru
perasaan bersalah di dasar hatinya. Tetapi ia ingin meniadakan
perasaan-perasaan itu, sehingga ledakan-ledakan yang demikian akan terjadi.”
Pandan Wangi
mengangguk-angguk kecil.
“Kalau aku
sudah berangsur baik, Wangi,” berkata Ki Argapati,
“aku akan
memanggil pamanmu Argajaya dan Sidanti berganti-ganti. Aku ingin berbicara
langsung dengan mereka satu-persatu. Apakah aku masih dapat mengharapkan
mereka, atau tidak sama sekali. Kalau aku masih dapat berharap tentang mereka,
biarlah mereka mendapat kesempatan untuk ikut membangun kembali reruntuhan
Tanah Perdikan yang parah ini. Tetapi kalau tidak, apa boleh buat. Mereka tidak
boleh justru menjadi penghalang yang selalu mengganggu kerja kita saja.”
“Jika
demikian, apakah yang akan Ayah lakukan atas mereka? Apakah mereka akan dihukum
mati?”
Argapati
menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya,
“Aku belum
memikirkannya sampai begitu jauh. Tetapi setidak-tidaknya mereka harus dikurung
dalam sangkar yang kuat untuk waktu yang tidak terbatas. Sebab kami yakin,
bahwa kami tidak akan dapat mempergunakan tenaga Gupala dan Gupita
terus-menerus. Pada suatu saat mereka pasti akan meninggalkan Tanah Perdikan
ini.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar